Makalah Biografi Imam Syafi'i [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam ilmu fikih terdapat empat mazhab yang masyhur dalam kehidupan masyarakat, yaitu madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali. Keempat madzhab terkenal sampai kepada seluruh umat di dunia. Masing-masing madzhab memiliki ciri dan perbedaan satu dengan lainnya. Salah satu perbedaan yang menonjol adalah perbedaan dalam mengambil sumber hukum. Perbedaan ini dikarenakan berbagai faktor yang mempengaruhi, seperti faktor sosial, budaya, dan lain sebagainya. Madzhab Imam Syafi’i adalah madzhab yang paling sering dipakai di Indonesia. Madzhab ini menyatukan pemikiran ahli hadits dan ahli ra’yi atau lebih dikenal dengan moderat. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang madzhab Imam Syafi’i. Lebih rinci akan menjelaskan tentang biografi Imam Syafi’i, pola pemikiran dan karakteristiknya,qaul qadim dan qaul jadidnya, metode istinbath yang dipakai, dan karya-karyanya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana biografi Imam Syafi’i? 2. Bagaimana pola pemikiran dan karakterisrik madzhab Imam Syafi’i? 3. Bagaimana qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i? 4. Bagaimana metode istinbath yang digunakan madzhab Imam Syafi’i? 5. Bagaimana contoh hukum madzhab Imam Syafi’i? 6. Apa saja karya-karya Imam Syafi’i? C. Tujuan 1. Mengetahui biografi Imam Syafi’i 2. Mengetahui pola pemikiran dan karakteristik madzhab Imam Syafi’i 3. Mengetahui qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i 4. Mengetahui metode istinbath yang digunakan madzhab Imam Syafi’i 5. Mengetahui contoh hukum madzhab Imam Syafi’i



1



6. Mengetahui karya-karya Imam Syaf’i



2



BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Imam Syafi’i Imam Syafi’i memiliki nama asli Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Said bin Abu Yazid bin Hakim bin Muthalib bin Abdul Manaf.1 Keturunan beliau dari pihak bapak bertemu dengan keturunan Nabi Muhammad saw. pada Abdul Manaf. Oleh karena itu beliau masih termasuk suku Quraisy. Sedang ibu beliau berasal dari golongan Al-Azd. Imam Syafi’i lahir pada tahun yang sama dengan tahun kematian Imam Abu Hanifah. Beliau lahir di Ghaza, salah satu kota di daerah Palestina di pinggir laut Tengah pada tahun 150 H (767 M). 2 Ayah beliau meninggal ketika beliau masih kecil. Pada usia dua tahun, beliau dibawa ibunya pindah ke Mekkah. Di Mekkah, Imam Syafi’i dan ibunya hidup dalam keadaan miskin dan kekurangan. Namun Imam Syafi’i memiliki cita-cita yang tinggi untuk menuntut ilmu pengetahuan, sedangkan ibunya bercita-cita agar anaknya menjadi orang yang berpengetahuan, terutama pengetahuan islam. Ilmu yang pertama kali dipelajarinya adalah Al-Qur’an sehingga pada usia yang masih sangat belia, sekitar tujuh tahun, beliau sudah hafal Al-Qur’an diluar kepala. Sesudah itu beliau menghafal hadits-hadits Nabi. Beliau juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian besar terhadap bidang ini membawanya berkelana hingga ke pelosok pedesaan. Kemudian atas persetujuan ibu beliau, maka pergilah beliau ke perkampungan kabilah Hudzail di salah satu dusun di luar kota Mekkah. Orangorang Arab kabilah Hudzail adalah kabilah yang terkenal ahli dalam tata bahasa dan sastra Arab.3 Ibnu Katsir dalam salah satu riwayatnya menyebutkan bahwa 1



Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1989), hal. 88 Ibid 3 Ibid. 2



3



Imam Syafi’i hidup ditengah-tengah masyarakat Hudzail selama sepuluh tahun. 4 Barangkali inilah yang menyebabkan Imam Syafi’i ahli dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa yang indah. Setelah kembali dari perkampungan kabilah Hudzail, Imam Syafi’i kembali menekuni pelajaran agama islam. Diantara ulama Mekkah, Imam Syafi’i menimba ilmu paling lama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanjilah. Muslim bin Khalid Az-Zanjilah adalah seorang ahli fiqh yang terkenal saat itu, dan menjabat sebagai mufti kota Mekkah. Pada saat berusia 15 tahun, Imam Syafi’i telah diberi wewenang oleh gurunya untuk memberikan fatwa dan bertindak sebagai wakil mufti. Di samping berguru kepada Muslim bin Khalid Az-Zanjilah, beliau juga menekuni pelajaran hadits kepada Sufyan bin ‘Uyaynah. Ketika mendengar kealiman Imam Malik dengan buku monumentalnya, Al-Muwattha’ di Madinah, Imam Syafi’i meminjam kitab Al-Muwattha kepada salah seorang temannya di Mekkah dan menghafalnya dalam waktu Sembilan hari ketika berusia sepuluh tahun. Sekalipun beliau telah mempelajari bahkan telah menghafal kitab Al-Muwattha’ dibawah bimbingan gurunya, Sufyan bin Uyaynah, beliau belum merasa puas kalau belum belajar dibawah bimbingan penyusun kitab itu sendiri. Oleh karena itu, pada saat usia beliau 20 tahun, dengan membawa surat pengantar dari wali kota Mekkah dan surat pengantar dari gurunya, Muslim bin Khalid, beliau pergi ke Madinah untuk berguru dan menuntut ilmu kepada Imam Malik.5 Imam Malik sangat mengagumi kemerduan bacaan Imam Syafi’i dan keindahan untaian bahasanya. Selama belajar kepada Imam Malik, Imam Syafi’i menjadi murid kesayangannya. Bahkan atas ajakan Imam Malik, beliau tinggal di rumah Imam Malik. Guru hadits beliau yang lain adalah Fudhal bin Iyadh dan pamannya sendiri, Muhammad bin Syafi’i. 4 5



Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995), hal. 100 Muslim Ibrahim, op.cit, hal. 89



4



Ketika mendengar nama Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, ulama besar di Baghdad, timbul keinginan untuk menuntut ilmu kesana. Selama di Kufah, beliau tinggal di rumah Muhammad bin Hasan. Beliau mempelajari naskah-naskah, dan buku-buku yang berhubungan dengan madzhab Hanafi. Disamping itu, beliau juga mempelajari tentang peradilan dan hukum-hukum acara yang berlaku diperadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pada diri Imam Syafi’i terkumpul pemikiran fiqih ulama Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Guru-gurunya yang ahli fiqih sekitar duapuluh orang, lima orang Mekkah, tujuh orang Madinah, empat orang dari Yaman, dan empat orang dari Irak. Mereka adalah : 1. Muslim bin Khalid al-Zinji (Mekkah) 2. Sufyan bin ‘Uyainah (Mekkah) 3. Sa’id bin Salim (Mekkah) 4. Daud bin Abdur Rahman Al-Atthar (Mekkah) 5. Abdul Hamid bin Abdul Aziz (Mekkah) 6. Malik bin Anas (Madinah) 7. Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari (Madinah) 8. Abdul Aziz bin Muhammad Al-Daruridi (Madinah) 9. Ibrahim bin Abi Yahya Al-Asami (Madinah) 10. Muhammad bin Abi Sa’id (Madinah) 11. Abdullah bin Nafi’ (Madinah) 12. Syihab bin Abi Dzuaib (Madinah) 13. Matraf bin Mazim (Yaman) 14. Hisyam bin Yusuf (Yaman) 15. Umar bin Abi Salamah (Yaman) 16. Yahya bin Hasan (Yaman) 17. Waki’ bin Al-Jarrah (Irak) 18. Abu Usamah Hamad bin Usamah al-Kufayan (Irak) 19. Ismail bin ‘Ilyah (Irak)



5



20. Abdul Wahab bin Abdul Majid (Irak)6 Setelah belajar di Baghdad, kemudian beliau kembali ke Madinah untuk memperdalam ilmunya kepada Imam Malik dan membantu Imam Malik mengajar, hingga Imam Malik meninggal pada tahun 179 H. Sepeninggal Imam Malik, Imam Syafi’i harus mulai membiayai keperluan hidupnya sendiri. Akhirnya beliau menerima tawaran sebagai sekretaris wali negeri Yaman. Waktu itulah beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi’. Negeri Yaman waktu itu termasuk salah satu daerah dibawah kekuasaan dinasti Abbasiyah dengan kepala pemerintahan Harun Ar-Rasyid. Di negeri itu sedang berkembang gerakan Syi’ah yang menjadi musuh dinasti Abbasiyah. Kemudian Imam Syafi’i dituduh ikut terlibat dalam gerakan tersebut, bahkan dianggap sebagai pemimpin gerakan Syi’ah. Pada tahun 184 H, Imam Syafi’i dipanggil ke Baghdad.7 Terdapat sembilan orang yang dipenggal kepalanya didepan khalifah, sedang Imam Syafi’i dibebaskan berkat bantuan dari Muhammad bin Hasan, guru beliau saat di Kuffah. Imam Syafi’i hidup pada masa kejayaan dinasti Abbasiyah, dalam masa terjadinya persinggungan tajam antara ilmu filsafat, kebudayaan Helenisme dengan ajaran islam. Sekalipun para khalifah banyak yang terlibat dalam persinggungan-persinggungan tersebut, namun mereka sangat menghargai perkembangan ilmu hadits dan ilmu fiqih. Imam Syafi’i memandang penguasa pada saat itu pada umumnya banyak melakukan perbuatan maksiat. Dengan ikut memegang salah satu jabatan dalam pemerintah berarti tidak dapat mengelakkan diri dari perbuatan maksiat. Mungkin inilah latar belakang Imam Syafi’i menolak secara halus tawaran Harun Ar-Rasyid untuk memegang jabatan qadhi. Setelah melakukan perjalanan menuju Yaman, Hijaz, dan Irak, akhirnya Imam Syafi’i wafat di Mesir pada tahun 204 H dalam usia lima puluh empat



6 7



Mun’im A. Sirry, op.cit, hal. 102 Salman Al-Audah, Bersama Imam Mazhab, (Jakarta : Mutiara Publishing, 2014), hal. 188



6



tahun.8 Imam Syafi’i wafat pada malam kamis sesudah Maghrib, yaitu pada malam akhir bulan Rajab. Beliau wafat di kediaman Abdullah bin Abdul Hakam, dan kepada beliau lah Imam Syafi’i meninggalkan wasiat, jenazah Imam Syafi’i dikebumikan pada hari jum’at keesokan harinya.9 B. Pola Pemikiran dan Karakteristik Madzhab Syafi’i Karakteristik pemikiran Imam Syafi’i dibagi menjadi tiga periode. Ketiga periode ini adalah tahapan-tahapan terbentuknya madzhab Syafi’i. Tahapan pertama di Mekkah, tahapan kedua di Baghdad, dan tahapan ketiga di Mesir.10 Imam Syafi’i berada di Mekkah selama kurang lebih sembilan tahun. Beliau berusia kira-kira empat puluhan, dan baru mempelajari berbagai pendapat dan aliran pemikiran. Masa kehidupan ilmiah yang paling enerjik dan kreatif. Di Mekkah inilah mulai merumuskan pemikirannya, khususnya bidang fiqih secara sungguh-sungguh dan mendalam. Dapat dikatakan bahwa pada tahapan pertama merupakan metode berpikir dan kaidah-kaidah dasar. Karakteristik pemikiran fiqih Syafi’i pada tahapan ini lebih bersifat global dan perumusan kaidah-kaidah dasar yang akan menjadi pijakannya dalam melakukan ijtihad dan kajian-kajian fiqih. Pada tahapan ini, Imam Syafi’i menulis kitab Ar-Risalah. Pada tahun 195 H, Imam Syafi’i kembali ke Baghdad dan menetap dalam waktu yang cukup lama. Ia mulai memperlihatkan sikapnya terhadap pendapatpendapat fuqaha yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat para sahabat dan tabi’in. Imam Syafi’i mempraktekkan kaidah-kaidah ushuliyahnya terhadap berbagai pendapat yang berkembang saat itu dan menjelaskan letak perbendaan dan alasannya.



8



Ibid, hal. 220 Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, diterjemah oleh Sabil Huda dan H.A Ahmadi, (Penerbit Amzah, 2004), hal. 188 10 Mun’im A. Sirry, op.cit, hal. 108 9



7



Karakteristik pemikiran Imam Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah far’iyyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran fiqih Syafi’i. Pada tahun 191 H, Imam Syafi’i pindah ke Mesir dan menetap hingga wafat pada tahun 204 H. Selama empat tahun di Mesir, Imam Syafi’i berusaha melangkah lebih jauh dalam suatu situasi yang berbeda. Tahun-tahun terakhir hingga saat wafatnya, ia gunakan untuk menulis sebagian besar buku-bukunya, bahkan untuk merevisi buku-buku yang sudah pernah ditulisnya. Tahapan ketiga ini adalah pembentukan madzhab Syafi’i. Karakteristik yang paling menonjol dari tahapan ketiga terletak pada kajian-kajian analitis Imam Syafi’i terhadap berbagai pemikiran yang berkembang bahkan terhadap pemikirannya sendiri sekalipun. Kadang-kadang ia menguatkan pendapat barunya dan tidak jarang pula membiarkan kedua pendapat (qaul qadim dan qaul jaded) menjadi rujukan sesuai kondisi dimana akan dipraktekkan. Artinya, masalah-masalah fiqih dan pemikiran bukanlah sesuatu yang abadi, melainkan merupakan refleksi kehidupan sosial. Fiqih akan terus berkembang dan berubah sejalan dengan perkembangan masyarakat dan zamannya. Imam Syafi’i merupakan imam kaum moderat. Ia mempelajari secara seimbang pemikiran fiqih yang berkembang di Hijaz dan Irak yang pada saat itu perbedaan antara ahli hadis (Hijaz) dan ahli ra’yi (Irak) tidak terlalu runcing.11 Imam Syafi’i dapat mempergunakan metode ahli hadis dalam kehati-hatiannya menyeleksi hadis dan mengembangkan pemikiran ahli ra’yi dalam menggali tujuan moral dan ‘illat dibalik hukum yang tampak secara bersamaan. Ketika hidup bersama Imam Malik selama tiga tahun, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana, Imam Syafi’i cenderung pada aliran hadis bahkan mengaku sebagai pengikut madzhab Maliki. Tetapi setelah ia 11



Ibid, hal. 104



8



mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap disana untuk waktu yang lama serta mempelajari fiqh Abu Hanifah dan pemikiran rasional ahli ra’yi, ia mulai condong pada aliran rasionalisme. Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Maliki dalam beberapa hal. Ia mengkritik pemikiran fiqih gurunya dan menuliskannya dalam buku berjudul Ikhtilaf Malik (Tanggapan terhadap Malik).12 Ia sependapat dengan madzhab gurunya dalam mengambil ijma’ sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi, ia memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ketat sehingga ijma’ bukan semata-mata hasil pemikiran para ahli tanpa ketentuanketentuan yang pasti. Imam Syafi’i sepakat dengan pendapat Abu Hanifah dalam hal kecenderungan menggunakan ijtihad dan rasio, tetapi ia menolak penggunaan Istihsan dan menganggapnya sebagai mempermainkan agama. Di sisi lain, Imam Syafi’i juga ikut dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan pengikut madzhab Hanafi, dan banyak melontarkan koreksi terhadapnya. Kedua kondisi yang berbeda ini diikuti secara cermat oleh Imam Syafi’i sehingga melahirkan pemikiran fiqih yang moderat. Perkembangan Imam Syafi’i pada masa perumusan dua madzhab itu banyak mewarnai pemikiran madzhab Syafi’i yang moderat dan cenderung pada sikap jalan tengah. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i terhadap kedua madzhab tersebut, akhirnya ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan perpaduan dari fiqih ahli hadis dan fiqih ahli ra’yi. Imam Syafi’i adalah sosok yang sangat hati-hati dalam menyikapi hukum islam.13 Hal ini tergambarkan pada satu riwayat yang menceritakan bahwa Imam Syafi’i ketika ditanya tentang ayat yang menjelaskan tentang ijma’ sebagai sumber hukum islam, ia membaca Al-Qur’an sebanyak 300 kali, kemudian menemukan surat An-Nisa’ ayat 15. 12 13



Ibid, hal. 106 Ibid, hal. 105



9



C. Qaul Qadim dan Qaul Jadid Imam Syafi’i mempunyai dua pandangan masyhur yang dikenal dengan Qaul Qadim dan Qaul Jadid. 1. Qaul Qadim (Pendapat Lama) Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i ketika berada di Irak. Pada tahun 195 H pada masa pemerintahan Al-Amin, beliau kembali ke Irak.14 Beliau menyusun kitabnya yang lama, yang diberi nama AlHujjah. Kitab ini secara komprehensif memuat sikapnya terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Empat orang sahabatnya yang berkebangsaan Irak telah meriwayatkan darinya, yaitu Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, Za’farani, dan Al-Karabisi. Periwayatan mereka yang paling kokoh adalah riwayat dari Za’farani. Imam Syafi’i tinggal di Irak selama dua tahun, kemudian pulang ke Hijaz untuk beberapa waktu lamanya. Pada tahun 198 H, Imam Syafi’i datang lagi ke Irak untuk ketiga kalinya dan menetap selama beberapa bulan. Kemudian beliau berangkat ke Mesir dan tinggal bersama Abdullah bin Abdul Hakam. Ketika itu, di Mesir tersiar metode Imam Malik dan mayoritas ulama mengikuti madzhab tersebut. Sahabat Imam Malik yang mendengar langsung dan meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Abdul Hakam dan Syahab. 2. Qaul Jadid (Pendapat Baru) Qaul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i ketika beliau berada di Mesir



yang



dalam



banyak



hal



mengoreksi



pendapat-pendapat



sebelumnya.15 Beliau mengajarkan kepada murid-muridnya yang berkebangsaan Mesir, kitab-kitabnya yang memuat pendapat beliau yang baru yang terhimpun dalam kitab Al-Umm. Lahirnya madzhab baru ini merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya. Adapun sebab terdapatnya dua pandangan ini adalah sebagai berikut : 14 15



Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fikih Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 153 Mun’im A. Sirry, op.cit, hal. 107



10



a. Karena ijtihad. b. Bergaul dan duduk bersama ulama Mesir. c. Terdapat situasi baru di Mesir yang tidak dikenal oleh penduduk Irak. d. Imam Syafi’i bertambah pintar, semakin matang, dan pengalamannya semakin tumbuh dengan pertambahan usia dan pergaulannya dengan ulama.16 Lahirnya qaul qadim dan qaul jadid ini bukan merupakan tahapan dari perkembangan pemikiran Imam Syafi’i, tetapi sebagai suatu refleksi dari kehidupan sosial yang berbeda. Keistimewaan yang tampak dari qaul jadid adalah hati-hati (al ihtiyath), sedangkan pada qaul qadim adalah menjaga kemudahan dalam hukum Islam dan menghilangkan kepicikan, dan sebagian besar hampir sama dengan fiqh imam Malik. Contoh qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i diantaranya yaitu : 1. Hukum air musta’mal untuk bersuci yang wajib Qaul Qadim



: Air musta’mal hukumnya suci lagi



menyucikan Qaul Jadid



:



Air



musta’mal



suci



tetapi



tidak



menyucikan 2. Batas usapan tayamum pada tangan Qaul Qadim



: Hingga pergelangan tangan



Qaul Jadid



: Sampai ke siku



3. Permulaan waktu wajib membayar zakat fitrah Qaul Qadim



: Saat terbitnya fajar di hari raya Idul Fitri



Qaul Jadid



: Wajib membayar zakat fitrah pada waktu



selepas terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan atau malam menjelang Idul Fitri. D. Metode Istinbath Madzhab Syafi’i 16



Salman Al-AUdah,op.cit, hal. 213-214



11



Pemikiran moderat Imam Syafi’i dapat terlihat dalam dasar-dasar madzhabnya. Dalam kitabnya ar Risalah Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan dasar-dasar pemikirannya dan contoh-contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum far’iyyah dengan menggunakan dasar-dasar. Pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam mengistinbatkan hukum adalah memakai empat dasar, yaitu al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. 1) Al-Qur’an Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada persoalan yang pernah ditemui oleh peminat agama Allah, kecuali dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk untuk memecahkannya. 17 Ada empat cara Al-Qur’an menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa dan haji, atau nash yang mengharamkan zina, minum khamr, memakan bangkai dan lainnya. Yang kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah nabi. Misalnya, jumlah raka’at shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini yaitu dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 80 yang artinya 17



Imam Syafi’i, Ar-Risalah, diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha, (Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus, 2004), hal. 32.



12



“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan tatilah Rasul dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka bila kamu berselisih tentang suatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” Menurut Imam Syafi’i, “Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”, artinya kembalikanlah kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Melalui ayat ini, Imam Syafi’i ingin menjelaskan bahwa ijtihad merupakan perintah dari Al-Qur’an itu sendiri dan bukan rekayasa hukum. 2) Sunnah Bagi Imam Syafi’i, Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan sumber syari’at islam. Menurut Imam Syafi’i, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari Al-Qur’an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Karenanya, Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Pandangan Imam Syafi’I terhadap Sunnah yang shahih sebagaimana pandangannya terhadap Al-Qur’an, masing-masing wajib diikuti. Beliau mensyaratkan harus hadits shahih dan bersambung sanadnya dan sangat mempertahankan hadits ahad yang shahih. Dengan pembelaannya ini, Imam Syafi’i mendapat julukan dari penduduk Hijaz yaitu Nashir As-Sunnah. Ia menerima hadis ahad dengan syarat sebagai berikut : a. Perawi dapat dipercaya keagamaannya dan juga tidak menerima hadis dari orang yang tidak dipercaya. b. Perawinya dabit.



13



c. Perawinya berakal dalam artinya bisa memahami apa yang diriwayatkan. d. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadis itu dari orang yang menyampaikan kepadanya. e. Perawinya tidak menyalahi para ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis itu.18 Imam Syafi’i tidak berhujjah pada hadis mursal kecuali imam Ibnu Musayyab yang disepakati keshashihannya.19 Beliau adalah orang pertama yang mencela hadis mursal. Berbeda dengan Ats-Tsauri, Malik, dan Abu Hanifah yang menggunakan semua hadis mursal sebagai hujjah. Ada beberapa alasan Imam Syafi’i tidak menerima hadis mursal. Pertama, irsal yang mereka buat kepada Nabi terlalu jauh melompat. Kedua, adanya ketidakjelasan sumber. Ketiga, sering terjadi penyimpangan yang dapat memancing salah pengertian.20 3) Ijma’ Menurut Imam Syafi’i, ijma’ merupakan metode dan prinsip.21 Ia tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma’, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ijma’ dalam pandangan Imam Syafi’i adalah sesuatu yang disepakati ulama dan ada landasan riwayat dari Rasulullah.22 Ijma’ adalah argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan. Ijma’ memiliki kedudukan lebih tinggi disbanding hadits ahad.23Ijma’ yang dipakai adalah 18



Imam Syafi’i, op.cit, hal. 243 Muhammad Ali As-Sayis, op.cit, hal. 155 20 Imam Syafi’i, op.cit, hal. 287 21 Mun’im A. Sirry, op.cit, hal. 113 22 Imam Syafi’i, op.cit, hal. 291 23 Muslim Ibrahim, op.cit, hal.49 19



14



kesepakatan para ulama saja, karena hanya merekalah yang orang-orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah itu. 4) Qiyas Qiyas



merupakan



sesuatu



yang



dibahas



dengan



mengguanakan berbagai dalil dan harus bersesuaian dengan alQur’an. Semua persoalan yang terjadi dalam kehidupan seorang muslim tentu ada hukum yang jelas dan mengikat atau sekurangkurangnya ada ketentuan umum yang merujuk kepadanya. Jika tidak, maka ketentuan hukum itu harus dicari dengan ijtihad, dan ijtihad tak lain adalah qiyas.24 Qiyas adalah pengetahuan yang benar secara lahir bagi orang yang menemukannya, tapi tidak harus dipandang demikian bagi pihak lainnya, sebab tak seorang pun memiliki pengetahuan tentang hakikat yang tersembunyi kecuali Allah swt. Penalaran analogis (qiyas) menurut pendapat Imam Syafi’i menawarkan pemahaman baru. Beliau membagi qiyas menjadi dua. Yang pertama, qiyas bil furu’ yaitu penalaran analogis terhadap masalah-masalah particular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu presenden. Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalamprinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sadd al dara’i, dan metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawa’id (penalaran analogis trhadap prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri).25



24 25



Imam Syafi’i, op.cit, hal. 294 Mun’im A. Sirry, op.cit, hal. 115



15



Apa saja yang telah memperoleh penegasan nash dari Allah, tapi kemudian Rasulullah menetapkan sebuah Sunnah yang memberikan keringanan pada sebagian kewajiban atas yang lainnya, maka pilihan jatuh kepada yang ringan. Tetapi, yang bisa di-qiyas-i adalah hukum yang pertama. Demikian pula ketika Rasul menetapkan suatu ketentuan umum, kemudian menyusul Sunnah lain yang bersifat khusus, maka qiyas dilakukan pada Sunnah yang pertama.26 Orang yang memiliki akal matang tetapi tidak memiliki kualifikasi lain seperti memahami ketentuan-ketentuan kitab, kewajiban-kewajibannya,



disiplin



etisnya,



ayat-ayat



yang



menasakh dan dinasakh, yang umum dan khusus hendaknya tidak mengemukakan pendapat yang didasarkan pada qiyas. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan melalui hafalan tetapi tidak faham benar akan kebenarannya, hendaknya tidak mengemukakan qiyas. Juga mereka yang memiliki hafalan baik tapi kurang sempurna dalam pemahaman atau pengetahuan tentang bahasa Arab, hendaknya tidak melakukan qiyas.27 Imam Syafi’i tidak menggunakan istihsan yang telah dijabarkan Malik dan Abu Hanifah karena dianggap mengambil yang enak tanpa ada nash. Menurutnya, hanya mereka yang ahli yang boleh memberikan pendapat. Jika mereka mengetahui sebuah khabar maka harus diikuti. Jika mereka tidak mendapat khabar, mereka dapat melakukan qiyas. Apabila qiyas dilarang, maka orang awampun dapat melakukan istihsan dalam ketiadaan khabar.28 Pada ketidaksetujuannya terhadap Istihsan ini, Imam Syafi’i menulis buku yang diberi judul Ibthal Al-Istihsan.



26



Imam Syafi’i, op.cit, hal. 330 Ibid, hal. 312 28 Ibid, hal. 310 27



16



Imam Syafi’i juga tidak menggunakan qiyas kecuali apabila illatnya itu jelas, menolak Maslahah Mursalah, dan tidak mengakui berhujjah dengan amal/perbuatan penduduk Madinah. E. Contoh Hukum Madzhab Imam Syafi’i Mazhab As-syafi’iyah mewajibkan makmum dalam sholat jama’ah untuk membaca surat Al-fatihah sendiri meskipun dalam sholat jahriyah (yang dikeraskan bacaan imamnya). Tidak cukup hanya mendengaran bacaan imam saja. Hal ini didasarkan pada. Artinya: “Tidak ada yang namanya sholat tampa adanya bacaan surat al-kita (Alfatihah)”. (HR.Bukhari, Azam/714; Tirmizi, 247). Kemudian juga didasarkan pada hadits dia berkata: Rasulullah saw bersabda: dari Abu hurairah. Artinya: “Barang siapa yang tidak membaca Al-fatihah maka sholatnya kurang, tidak sempurna. (HR. Muslim no. 359). Karena itu mereka menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat Al-fatihah, makmum baru mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan, masingmasing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-fatihah secara sirr (tidak terdengar). Hal ini didasarkan dengan surat Al-araaf: 204). Artinya; “dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-araf: 204). Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-fatihah gugur dalam kasus seseorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku’. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku’ bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat. Membaca Al-fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah. F. Karya Imam Syafi’i



17



Kitab-kitab karangan Imam Syafi’i pada umumnya dapat dibagi menjadi dua bagian : Pertama: Yang diajarkan dan didiktekan kepada murid-murid beliau selama beliau berada di Mekah dan Baghdad. Kumpulan kitab ini berisi “qaul qadim”. Kedua : Yang diajarkan dan didiktekan kepada murid-murid beliau selama beliau mengajar di Mesir, yang disebut “qaul jadid”. Diantara buku-buku yang beliau karang adalah29 : 1. Kitab Ar-Risalah. Kitab ini adalah kitab yang pertama yang dikarang oleh Imam Syafi’i, dan dikarang pada usia beliau masih muda belia. Beliau mengarang kitab ini atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi, seorang ahli hadits yang terkemuka pada saat itu. Kitab Ar-Risalah merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang, yang sampai bukunya pada generasi sekarang. Didalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum. 2. Kitab Al-Umm. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqih yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam Ar-Risalah. Kitab Ar-Risalah dan Al-Umm diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Maradi. Kitab Al-Umm cetakan terakhir terdiri dari tujuh jilid yang telah dimasukkan didalamnya beberapa karangan Imam Syafi’i yang lain, seperti : a. Kitab Jaami’ul Ilmi, berisi pembelaan Imam Syafi’i terhadap Sunnah Nabi Muhammad saw. b. Kitab Ibthaalul Istihsan, bantahan beliau terhadap penggunaan istihsan sebagai dasar hujjah. c. Kitab Ar-Ra’du ‘ala Muhammad bin Hasan, bantahan beliau terhadap pendapat Muhammad bin Hasan tentang pendapat ulama Madinah sebagai dasar hukum.



29



Muslim Ibrahim, op.cit, hal. 95



18



d. Kitab Sijaarul Auza’i, pembelaan beliau terhadap pembahasan tentang Imam Auza’i. 3. Kitab Ikhtilaaful Hadits, penjelasan beliau tentang hadits-hadits Nabi. 4. Kitab Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya, Kitab Al-Umm, sebenarnya telah disusun oleh Imam Syafi’i sejak beliau berada di Irak, yang dinamakan Al-Hujjah atau Al-Mabsuth, kemudian setelah beliau berada di Mesir kitab ini direvisi dan diberi nama Al-Umm. Ada dua macam kitab-kitab Imam Syafi’i : a) Kitab-kitab yang disusun oleh beliau sendiri baik disusun secara langsung atau didiktekan kepada murid beliau, seperti Ar-Risalah dan Al-Umm. b) Kitab yang tidak langsung dikarang oleh beliau, berupa pendapatpendapat beliau kemudian diriwayatkan atau ditulis kembali oleh muridmurid beliau dengan redaksi mereka sendiri, seperti : a. Kitab Al-Fiqh, yang disusun oleh Al-Haramain bin Yahya. b. Kitab Al-Mukhtasarul Kabiir dan Al-Mukhtasarul Al-Jaami’ ushShaghir, yang semuanya disusun oleh Al-Muzani. c. Kitab Al-Mukhtasarul Kaabir, Al-Mukhtasarush Shaghir, dan AlFaraa-idh yang disusun oleh Al-Buwaithi.30



BAB III PENUTUP 30



Ibid, hal. 96



19



A. Kesimpulan Imam Syafi’i adalah salah satu tokoh moderat yang lahir diantara dua pemikiran ahli hadits dan ahli ra’yi. Beliau menggabungkan dua pemikiran ini dan mengambil jalan tengahnya. Metode istibath yang digunakan yaitu AlQur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Beliau tidak menyetujui amalan ahli Madinah sebagai hujjah, metode istihsan, dan maslahah mursalah. Kitab-kitab beliau yang terkenal adalah Al-Umm dan Ar-Risalah. Kitab ini berisi tentang fiqih dan ushul fiqih. Kitab Ar-Risalah ditulis pada saat beliau mengemukakan qaul qadim di Baghdad. Sedangkan Al-Umm ditulis saat beliau mengemukakan qaul jadid di Mesir. B. Kritik dan Saran Kami menyadari dalam penulisa makalah ini tentunya tidak luput dari kekurangan, maka dari itu kami memohon saran dan kritik nya demi peningkatan mutu makalah kedepannya.



20



DAFTAR PUSTAKA Al-Audah, Salman, Bersama Imam Mazhab, (Jakarta : Mutiara Publishing, 2014) As-Sayis, Muhammad Ali, Sejarah Fikih Islam, (Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar, 2003) Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, terj oleh Sabil Huda dan H.A Ahmadi, (Penerbit Amzah, 2004) Ibrahim, Muslim, Pengantar Fiqh Muqaaran, (Jakarta : Penerbit Erlangga, 1989) Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqih Islam (Sebuah Pengantar), (Surabaya : Risalah Gusti, 1995) Syafi’i, Imam, Ar-Risalah, terj oleh Ahmadie Thoha, (Jakarta : Penerbit Pustaka Firdaus, 2004)



21