Makalah Birokrasi Pemerintahan [PDF]

  • Author / Uploaded
  • rosma
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar belakang Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sudah diselenggarakan lebih dari satu dasawarsa. Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Secara konseptual, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dilandasi oleh tiga tujuan utama yang meliputi tujuan politik, tujuan administratif dan tujuan ekonomi. Hal yang ingin diwujudkan melalui tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah upaya untuk mewujudkan demokratisasi politik melalui partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Perwujudan tujuan administratif yang ingin dicapai melalui pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah, termasuk sumber kuangan, serta pembaharuan manajemen birokrasi pemerintahan di daerah. Sedangkan tujuan ekonomi yang ingin dicapai dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah terwujudnya peningkatan Indeks pembangunan manusia sebagai indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah dan masyarakat di suatu daerah memiliki peranan yang penting dalam peningkatan kualitas pembangunan di daerahnya masing-masing. Hal ini



terutama disebabkan karena dalam



otonomi



kewenangan



daerah



terjadi



peralihan



yang



pada



awalnya



diselenggarakan oleh pemerintah pusat kini menjadi urusan pemerintahan



1



daerah masing-masing. Dalam rangka mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah, terdapat beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan, antara lain : faktor manusia yang meliputi kepala daerah beserta jajaran dan pegawai, seluruh anggota lembaga legislatif dan partisipasi masyarakatnya. Faktor keuangan daerah, baik itu dana perimbangan dan pendapatan asli daerah,



yang



akan



mendukung



pelaksanaan



pogram



dan



kegiatan



pembangunan daerah. Faktor manajemen organisasi atau birokrasi yang ditata secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan pengembangan daerah. Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi



logis



dari



tugas



utama



negara



(pemerintahan)



untuk



menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Untuk itu negara mernbangun sistem administrasi dalam pemerintahan yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.



B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan birokrasi ? 2. Bagaimana pola birokrasi di era otonomi daerah ?



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Birokrasi Birokrasi yang dalam bahasa Inggris disebut bureaucracy berasal dari dua kata yaitu “bureau” yang artinya meja dan “ cratein” berarti kekuasaan. Jadi, maksudnya kekuasaan yang berada pada orang-orang yang ada di belakang meja (Raha, 2014). Menurut Rourke (1978) dalam Azhari (2011:59), mengungkapkan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dan dijalankan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kemampuan dan keahlian di bidangnya. Sedangkan menurut Setiyono (2012:15), birokrasi dapat dipahami secara simpel sebagai aparatur negara, secara praktis, pengertian ini masih sering menimbulkan kontroversi. Pada konsepsi yang paling luas, birokrasi sering disebut sebagai badan/sektor pemerintah, atau dalam konsepsi bahasa Inggris disebut public sector, atau juga public service atau public administration. Konsepsi itu mencakup institusi atau orang yang penghasilannya berasal secara langsung dari uang Negara atau rakyat yang biasanya tercantum dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Lebih lanjut Kristiadi dalam Pasolong (2011:67), mengatakan bahwa birokrasi adalah merupakan struktur organisasi di sektor pemerintah, yang memiliki ruang lingkup tugas-tugas yang sangat luas serta memerlukan organisasi besar dengan sumber daya manusia yang besar pula jumlahnya. Birokrasi



yang



dimaksudkan



untuk



penyelenggaraan



bernegara,



penyelenggaraan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan umum dan pembangunan, seringkali oleh masyarakat diartikan



3



dalam konotasi yang berbeda. Birokrasi seolah-olah memberi kesan adanya suatu



proses



panjang



yang



berbelit-belit



apabila



masyarakat



akan



menyelesaikan suatu urusan dengan aparat pemerintah. Sedangkan menurut Thoha (2011:16), birokrasi pemerintah sering kali diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan pejabat. Berdasarkan uraian dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa birokrasi merupakan sistem administratif dan pelaksanaan tugas keseharian yang terstruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis, dilakukan oleh bagian tertentu yang terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang yang dipilih karena kemampuan dan keahlian di bidangnya. Dalam bidang publik konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti, dan mudah dikendalikan. B. Makna dan Kategori Birokrasi Meskipun secara umum sudah ada penjelasan atau definisi tentang birokrasi, tetapi dalam khasanah ilmu pengetahuan perbedaan pendapat dan pandangan sangat dihargai. Demikian juga dengan perbedaan pandangan tentang birokrasi. Ada beberapa tokoh atau ahli yang memandang birokrasi secara positif, ada juga yang secara negatif, tetapi ada juga yang melihatnya secara netral (value free). a.



Makna Positif Birokrasi yang bermakna positif diartikan sebagai birokrasi legal-rasional



yang bekerja secara efisien dan efektif. Birokrasi tercipta karena kebutuhan akan



adanya



penghubung



antara



negara



dan



masyarakat,



untuk



mengejawantahkan kebijakan-kebijakan negara. Artinya, birokrasi dibutuhkan baik oleh negara maupun oleh rakyat. Tokoh pendukungnya adalah : Max Weber dan Hegel. b.



Makna Negatif



4



Birokrasi yang bermakna negatif diartikan sebagai birokrasi yang penuh dengan patologi (penyakit), organisasi tambun, boros, tidak efisien dan tidak efektif, korupsi, dan lain-lain. Birokrasi adalah alat penindas (penghisap) bagi kaum yang lemah (miskin) dan hanya membela kepentingan orang kaya. Artinya, briokrasi hanya menguntungkan kelompok orang kaya saja. Tokoh pendukungnya adalah : Karl Max dan Harold Laski. c.



Makna Netral (value free) Sedangkan birokrasi yang bermakna netral diartikan sebagai keseluruhan



pejabat negara pada cabang eksekutif atau bisa juga diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar. (Martini, 2012:11-12). Berdasarkan perbedaan tugas pokok atau misi yang mendasari suatu organisasi birokrasi menurut Syukur Abdullah dalam Kumorotomo (2009:79) menguraikannya dalam tiga kategori birokrasi sebagai berikut: a.



Birokrasi pemerintahan umum yaitu rangkaian organisasi pemerintahan



yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan dari tingkat pusat sampai daerah (propinsi), kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa. Tugas-tugas tersebut bersifat mengatur. b.



Birokrasi pembangunan yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan



salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan pembangunan, seperti pertanian, kesehatan, pendidikan, dan indusri. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function. c.



Birokrasi pelayanan yaitu unit organisasi yang pada hakikatnya merupakan



bagian yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Yang termasuk dalam kategori ini antara lain : rumah sakit, sekolah, koperasi, bank rakyat desa, transmigrasi, dan berbagai unit organisasi lainnya yang memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat atas nama pemerintah, fungsi utamanya adalah service.



5



C. Intervensi Politik Terhadap Netralitas Birokrasi Menurut Azhari (2011:93), intervensi diartikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pejabat politik dalam mempengaruhi proses rekrutmen dan promosi birokrat pada jabatan-jabatan birokrasi. Sementara netralitas birokrasi merupakan kondisi terlepasnya birokrasi spoil sistem yang berarti birokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan. Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Setiyono (2012:76), bahwa birokrasi adalah institusi publik yang dibentuk dan dibiayai oleh masyarakat (melalui pajak, rertribusi dan lain-lain pungutan) untuk melayani seluruh lapisan masyarakat, maka birokrasi harus terlepas dari ikatan partai politik maupun golongan. Sedangkan Carino (Dalam Thoha, 2012:48) menjelaskan bahwa hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Menurut Setiyono (2012:76), persoalan birokrasi dalam kaitannya dengan politik ini meliputi 2 (dua) hal: a.



Adanya intervensi partai politik dalam proses rekrutmen dan mutasi



jabatan-jabatan birokrasi. b.



Penggunaan personil, aset-aset dan infrastruktur birokrasi untuk



kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi maupun oleh birokrasi itu sendiri.



Sulistiyani



dan



Rosidah



(2009:173),



mengungkapkan



bahwa



kepentingan politik oleh pihak eksternal birokrasi sangat kuat mempengaruhi proses rekrutmen dan mutasi, terutama untuk posisi-posisi yang strategis dalam pemerintahan. Intervensi partai politik dalam institusi birokrasi akan mengacaukan tata kerja birokrasi yang harusnya berdasar pada prinsip-prinsip manajemen pemerintahan (public sector management) yang sehat, rasional, dan berdasarkan hukum. Thoha (2010:8), menjelaskan bahwa masalah netralitas birokrasi pemerintah terhadap pengaruh dan intervensi partai politik tampaknya 6



tidak bisa dianggap ringan sekarang ini. Apabila intervensi dilakukan, maka sistem pembinaan pegawai akan rusak, karena pengangkatan pejabat hanya didasari oleh prinsip suka atau tidak suka (like or dislike) disebabkan dalam konteks kepentingan politik, tidak didasari atas pertimbangan kemampuan, kapasitas, dan pengalaman kerja. Sedangkan apabila kita mengacu pada konsep netralitas birokrasi maka sesungguhnya seorang pegawai dalam sebuah instansi diangkat berdasarkan pada profesionalitas kerja dan prestasinya. D. Pejabat Politik dan Birokrasi Kuatnya konflik kepentingan politik dalam sistem kerja birokrasi menjadi salah satu penyebab lemahnya kompetensi birokrasi di Indonesia. Sehingga optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat, tegas, serta bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya pengembalian fungsi birokrasi sebagai public servant. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik telah melahirkan sistem yang saling melemahkan. Adanya penyakit kronis yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Dimana di dalam pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah sarat dengan politik uang. Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk “mengembalikan bayaran” kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut. Dana pengembalian itu paling mungkin diambil dari anggaran yang tersedia. Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak taat atau tidak loyal kepada partai politik dan kandidat terpilih. Selain hal tersebut, perbedaan latar belakang kebutuhan dan kepentingan antara birokrasi dan partai politik juga merupakan suatu masalah. Menurut Tjokrowinoto, dkk (2011:121-122) birokrasi dilatarbelakangi oleh pengalaman profesionalisme dan keahlian di bidangnya masing-masing melalui cara-cara meritokrasi yang merujuk kepada cita-cita untuk menguatkan eksistensi masyarakat melalui penghargaan terhadap beraneka ragam kebutuhan dan kepentingan masyarakat, tanpa



7



melihat simbol-simbol politik di belakangnya. Sedangkan partai politik, dilatarbelakangi oleh pengalaman profesi perjuangan untuk mempengaruhi dan merebut kekuasaan agar bisa memerintah (to govern) serta bahkan berlaku otoriter yang justru melanggar prinsip-prinsip bekerjanya birokrasi. Kenyataan lainnya adalah banyaknya birokrasi yang terjebak untuk mendukung salah satu satu calon dengan harapan untuk mendapatkan jabatan. Akhirnya para pejabat politik yang terpilih harus mendudukkan orang-orang yang mendukungnya. Sehingga proses mutasi dan rekrutmen pejabat tidak lagi objektif yang kemudian memperburuk kinerja birokrasi. Hal demikian seperti yang dikemukakan oleh Hardiyansyah (2012:158-159), yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang akan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang diajukan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dan tembusannya disampaikan kepada atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serendah-rendahnya pejabat struktural eselon IV, pejabat yang bertanggungjawab di bidang kepegawaian instansi yang bersangkutan, dan pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan yang bersangkutan. E. Reformasi Birokrasi Secara riil kinerja birokrasi Indonesia memang masih banyak mengecewakan. Dalam survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118), terlihat bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas, dan akuntabilitas birokrasi kita masih sangat rendah. Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118) dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks Competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari segi kualitas pelayanan publik dibandingkan dengan 100 negara lain di dunia. Hal ini terbukti dari hasil penelitian Dwiyanto, dkk dalam Setiyono (2012:118) bahwa dari segi orientasi pelayanan, birokrasi kita masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaganya untuk menjalankan tugasnya melayani rakyat. Desentralisasi dan otonomi berarti



8



pemerintah lebih banyak memberikan kepercayaan dan pemberdayaan kepada daerah agar mampu berperintahan dan berotonomi mengatasi persoalanpersoalan daerahnya. Campur tangan dan intervensi pemerintah pusat seharusnya tidak segencar di zaman pemerintahan orde baru. Evaluasi peraturan



daerah



(Perda)



tidak



hanya



mempertimbangkan



keinginan



pemerintah pusat saja. Akan tetapi, juga mengutamakan aspirasi rakyat daerah. Sistem politik yang berubah dari zaman pemerintahan orde baru menyadarkan kita bahwa semakin banyaknya partai politik, maka semakin banyak keinginan partai politik memerintah birokrasi pemerintah. Orang-orang parpol akan menjadi pimpinan lembaga birokrasi pemerintah. Oleh karena itu, perlu diatur sistem hubungan kerja antara jabatan politik, jabatan negara, dan jabatan birokrasi karier pemerintah. Sampai sekarang ini hubungan dari ketiga jabatan tersebut belum ada tanda-tanda diatur. Adapun yang sekarang berlaku adalah cara-cara pemerintahan Pak Harto yang diteruskan oleh pemerintahan yang sekarang ini. Krisis anggaran membuat pemerintah harus berhemat, salah satunya ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, mengevaluasi program dan sistem kerja, dan jumlah pegawai yang ada. Besarnya organisasi akan berdampak memperbesar jumlah anggaran belanja pemerintah. Sementara itu program kerja, perjalanan dinas ke luar negeri perlu juga dievaluasi manfaatnya. Kita senantiasa disajikan berita tentang defisit anggaran dari tahun ke tahun akan tetapi pejabatnya kelihatannya tidak menyadarinya bahkan program kerja semakin tidak hemat, kepergian ke luar negeri semakin banyak dilakukan. F. Landasan Reformasi Birokrasi di Indonesia Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Selanjutnya, dalam implementasinya telah ditetapkan landasan operasional dalam bentuk Peraturan Menteri Pemberdayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun



9



2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Kemajuan yang cukup berarti, dalam tahun 2010, sebanyak 9 kementerian/lembaga telah melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Dengan demikian, saat ini sudah terdapat 13 kementrian/lembaga yang melaksanakan RBI. Dalam rangka meningkatkan koordinasi, menajamkan dan mengawal pelaksanaan reformasi birokrasi, telah ditempuh langkah-langkah kebijakan, antara lain: a. Penerbitan Keppres 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional, yang disempurnakan menjadi Keppres Nomor 23 Tahun 2010; b. Keputusan Menpan dan RB Nomor 355 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Independen, dan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 356 Tahun 2010 tentang Pembentukan Tim Penjamin Kualitas (Quality Assurance). c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 mengamanatkan bahwa pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk mendukung keberhasilan pembangunan bidangbidang lain. G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Birokrasi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Rentang birokrasi terlampau panjang dan berbelit-belit yang bersumber dari kalangan birokrat, akan menghambat kinerja birokrasi. Dalam kenyataan, birokrasi adalah untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dan pelayanan umum. Birokrasi seringkali diartikan oleh masyarakat dalam konotasi yang berbeda-beda. Birokrasi seolaholah memberi kesan adanya suatu proses panjang yang berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan kepada aparatur, kinerja birokrasi dipandang sebagai penghambat.



10



Kesan umum terhadap kinerja birokrasi oleh masyarakat senantiasa dikaitkan dengan segala sesuatu yang serba lamban, lambat, dan berbelit-belit serta formalitas. Dalam penyelesaian urusan kinerja birokrasi selalu mendapatka hambatan yang memakan waktu, sehingga selalu tertunda penyelesaiannya. Sebenarnya, kalau kita memahami kinerja birokrasi tugastugas yang diberikan adalah lebih teratur, dan lebih tertib, sehingga tidak diharapkan akan terjadi hambatan atau penundaan. Masyarakat yang dinamis telah berkembang dalam berbagai kegiatan yang semakin membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional. Seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangannya, kebutuhan akan pelayanan yang semakin kompleks serta pelayanan yang semakin baik, cepat dan tepat, termasuk kinerja birokrasi yang semakin baik pula, dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian birokrasi dalam mengantisipasi akan kebutuhan pelayanan tersebut : a.



Sifat pendekatan tugas, lebih mengarah kepada pengayoman dan



pelayanan masyarakat, bukan pendekatan kekuasaan dan kewenangan. b.



Penyempurnaan organisasi, efisiensi, efektif dan profesional.



c.



Sistem dan prosedur kerja cepat, tepat dan akurat. Tugas utama sebagai birokrat adalah memberikan pelayanan kepada



masyarakat. Paradigma baru yang memandang birokrasi sebagai organisasi pemerintah, tidak lagi hanya semata-mata melakukan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat, akan tetapi juga memberikan dorongan dan motivator bagi berkembang tumbuhnya peran serta masyarakat. Birokrasi yang berada ditengah-tengah mayarakat dinamis tidak dapat tinggal diam, tetapi harus mampu memberikan kinerja birokrasi bagi pelayanan masyarakat sesuai dengan kebutuhan.



11



Otonomi Daerah tidak saja berjalan secara mekanis prosedural, akan tetapi didalamnya terkandung pula nilai-nilai budaya setempat. Dalam kinerja birokrasi budaya setempat juga harus dikembangkan diseluruh jajaran dan tingkatan pemerintah daerah, sehingga budaya setempat ini melayani kepentingan masyarakat. Kinerja birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah banyak menghadapi tantangan. Para birokrat pada umumnya dalam melaksanakan tugas-tugasnya sering dihadapkan pada benturan-benturan yang kadang-kadang tanpa disadari oleh pertimbangan-pertimbangan yang sering merugikan pihak lain. Kondisi yang seperti ini jelas akan mengakibatkan kinerja birokrasi kurang menguntungkan, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah. Menurut Akbar Silo (2005) apabila dikaji secara mendalam, ada banyak faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut : 



Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Perhatianpun tersedot ke program restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera



12



mengadopsi PP tersebut dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya 



manusia di daerah. Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas disertai dana yang cukup, daripada mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.



Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada, pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuan. Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002)



13



mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi, mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja. Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur antara lain dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Human resource planning. Perencanaan sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang efektif dan efisien. 2. Recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki. 3. Compensation and benefits. Maksudnya adalah adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi jiwa, dan sebagainya.



14



4. Performance evaluation. Fungsi manajemen ini adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya. Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai. 5. Human resource development. Progam pelatihan dan pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal. Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya akan lebih terbuka. 6. Career development. Pengembangan karir dapat dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi. 7. Rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka. Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.



15



8. Employee management relations. Fungsi ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi senantiasa terjaga dengan baik. Meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan



mengadopsi



prinsip-prinsip



good



governance



pada



birokrasi



pemerintah, yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya. Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebutsebut telah diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal



ditandai



dengan



penandatanganan



kesepakatan



tentang



good



governance. Namun sampai saat ini hal tersebut belum terlalu terlihat outputnya. Good governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua, melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang diuraikan di atas. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor penggerak roda pemerintahan. Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumber daya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang berkualitas.



16



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung kepada birokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yaitu DPRD dan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah serta masyarakatnya untuk bekerja keras, terampil, disiplin dan berperilaku dan atau tidak sesuai dengan nilai, moral dan norma serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan prasarana dan sarana serta dana atau pembiyaan yang terbatas secara efisien, efektif dan profesional. B. Saran Pemerintah daerah harus lebih bersinergi dengan pemerintah pusat agar lebih terjadi keseimbangan di dalam pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah dalam segala bidang. Selain itu, masyarakat dan seluruh stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan otonomi daerah harus mengetahui dan lebih memahami maksud dan tujuan di selenggarakannya otonomi daerah di daerahnya masing-masing.



17



Daftar Pustaka



http://asrulpkg.blogspot.co.id/2015/01/menggagas-kinerja-birokrasipemerintah.html http://naynaily.blogspot.co.id/2015/05/kinerja-birokrasi-dalampelaksanaan_14.html http://irhamfadli96.blogspot.co.id/2015/04/kinerja-birokrasi-dalampelaksanaan.html



18