Makalah Cacingan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I 1.1



Latar belakang Penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit yang masih



banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diesease).



Penyakit yang termasuk kelompok neglected



diesease memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tibatiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah penyakit cacingan. Infeksi



cacingan



ini



daat



menyebabkan



menurunnya



kondisi



kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderita karena adalanya kehilangan karbohirat dan protein serta kehilangan darah. Spesies cacing yang masih sering menjadi masalah kesehatan diantaranya ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Ancylostoma duodenale dan nechator americanus. 1.2



Rumusan masalah 1. 2. 3. 4. 5.



1.3



Apa yang dimaksud dengan cacingan? Bagaimana Ethiologi dan Pathofisiologi dari cacingan? Apa saja tanda dan gejala dari cacingan? Apa saja parameter laboratorium untuk cacingan? Bagaimana tatalaksana terapi dan monitoring?



Tujuan 1. 2. 3. 4. 5.



Mengerti tentang definisi cacingan Memahami ethiologi dan pathofisiologi dari cacingan Mengetahui tanda dan gejala dari acingan Mengetahui parameter laboratorium untuk penyakit cacingan Mengerti dan memahami tatalaksana dan monitoring cacingan



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Penyakit cacingan Infeksi cacingan adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing. Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara



Nematoda



usus



tedapat



sejumlah



spesies



yang



penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang



tersering



adalah



Ascaris



lumbricoides,



Necator



americanus,



Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada, 2000). 2.2 Ascaris Lumbricoides (Cacing Gelang) 1.



Morfologi dan Daur Hidup Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan



berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. (anonim, 2013) Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2



2



bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).



Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides.



2.



Patofisiologi Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.



Dapat



berupa



gangguan



usus



ringan



seperti



mual,



nafsu



makan



berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anakanak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.



3



3.



Ethiologi Ascariasis disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif



Ascaris Lumbricoides adalah telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh hospes manusia, larva dilepaskan dari telur dan menembus diding usus sebelum migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan paru-paru masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing dewasa (jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm). Cacing betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan 200.000 telur setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 µm dan lebar 35-50 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi lingkungan yang mendukung. 4.



Tanda dan gejala Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain.



Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar. Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya



anak



masih



dapat



beraktivitas



walau



sudah



mengalami



penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006) Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar.(anonim,2014)



4



Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit, perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya



anak



masih



dapat



beraktivitas



walau



sudah



mengalami



penuruanan kemampuan belajar dan produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri Kesehatan, 2006) 5.



Epidemiologi Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab



dan tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri Kesehatan,2006). 2.3 Ancylostoma (Cacing Tambang) 1.



Morfologi dan Daur Hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies



cacing tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. (anonim, 2013) Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron,



5



sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).



6



Gambar 2. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Menteri Kesehatan, 2006). 2.



Pathofisiologi



7



Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006) 3.



Etiologi: Penyakit cacing tambang adalah penyakit infeksi yang disebabkan



cacing Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing ini banyak terdapat di tanah di perkebunan kopi, teh dan karet. Cara penularan penyakit cacing tambang adalah melalui larva cacing yang terdapat di tanah yang menembus kulit (biasanya diantara jari-jari kaki), cacing ini akan berpindah ke paru kemudian ke tenggorokan dan akan tertelan masuk saluran cerna. Seekor cacing tambang dapat menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,2 ml setiap harinya. Cacing dewasa dapat hidup di usus selama satu hingga lima tahun di mana cacing betina memproduksi telur. Pada infeksi ringan hanya sedikit sekali kehilangan darahnya tetapi pada infeksi berat dapat menimbulkan pendarahan hebat, kekurangan zat besi dan berat badan turun drastis. Seekor cacing tambang dewasa dapat bertelur antara 10.000-30.000 telur per 24 jam. Telur ini akan bertahan lama di tanah yang lembab, sejuk dan di sekitar pohon yang rindang yang biasanya terdapat di daerah perkebunan. Untuk telur cacing tambang akan dikeluarkan bersama feses. Ketika berada di dalam tanah akan menetas dalam waktu 1-2 hari dan kemudian akan menjadi larva “Rabeniti Forem”. Pada hari ke-3 “Rabeniti Forem” akan menjadi “Pilari Forem”. Dalam bentuk ini dapat hidup di tanah selama 8 minggu. Dalam waktu kisaran tersebut akan terinjak kaki dan akan menembus kulit dan menuju kepiler darah. 4.



Tanda dan gejala 8



Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006). Gjala yang sering ditungjukan adalah Gangguan pencernaan berupa mual, muntah, diare dan nyeri di ulu hati, Pusing, nyeri kepala,Lemas dan lelah, Anemia, Gatal didaerah masuknya cacing. (anonim, 2014) 5.



Epidemiologi Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada



penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah. 1.



Trichuris Trichiura (Cacing Cambuk) 1.



Morfologi dan Daur Hidup Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang



jantan sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam



9



tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.(anonim, 2013) Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian



distal



dan



masuk



ke



kolon



asendens



dan



sekum.



Masa



pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).



Gambar 3. Daur Hidup Trichuris trichiura (Menteri Kesehatan, 2006)



2.



Patofisiologi Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga



ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang 10



terlihat



pada



mukosa



rektum



yang



mengalami



prolapsus



akibat



mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu



cacing



ini



juga



mengisap



darah



hospesnya



sehingga



dapat



menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006)



3.



Ethiologi Cacing Cambuk Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina



panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon ascendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon ascendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30 – 90 hari. Untuk penyebaran infeksi ini yang paling penting merupakan kontaminasi tanah dengan tinja. Telur cacing trichuris trichiura ini tumbuh didaerah tanah liat, tempat yang lembab dan teduh dengan suhu rata-rata 30˚C. pada daerah yang banyak menggunakan tinja sebagai pupuk merupakan jalur infeksi yang tepat. Frekuensi infeksi cacing ini diindonesia sangat tinggi. Di berbagai daerah pedesaan di Indonesia frekuensi infeksinya hingga mencapai 30-90%. 4.



Tanda dan gejala Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan



gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi 11



berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. (anonim, 2014) Infeksi Trichuris trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000). 5.



Epidemiologi Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah



dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Gandahusada, 2000). Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura



adalah



Albendazole,



Mebendazole



dan



Oksantel



pamoate



(Gandahusada, 2000).



1.



PARAMETER UJI LABORATORIUM



1.



Pemeriksaan makroskopis.



12



Pemeriksaan fses ( tinja ) merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Indikasi pemeriksaan : Adankya diare dan konstipasi, adanya darah dalam tinja, adanya lendir



dalam



tinja,



adany



ikterus,



adanya



gangguan



pencernaan,



kecurigaan penyakit gastroointestinal. Pemeriksaan makroskopis tinja meliputi: pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah, lendir, dan parasit. Feses untuk pemeriksaan sebaiknya berasal dari defekasi spontan. Jika pemeriksaan sangat diperlukan, bisa juga mengambl sampel tinja dengan cara memasukkan jari secara langsung ke dalam rectum. Untuk pemeriksaan biasanya dipakai tinja sewaktu, jarang menggunakan tinja selama 24 jam untuk pemetiksaan tertentu.



2.



Pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis meliputi : pemeriksaan protozoa, telur



cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, kristal, makrofag dan sel ragi. Dari pemeriksaan yang dilalkukan, yang terpenting dalam pemeriksaan adalah pemeriksaan protozoa dan telur cacing. Protozoa: biasanya berbentuk kista,bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit. Telur cacing yang mungkin didapatkan adalah ; ascaris lumbricoides, necator



americanus,



enterobius



vermicularis,



trichuris



trichiura,



strongloides stercoralis, dan sebagainya. 2.



Terapi dan Monitoring Pencegahan:



13



-



Pengobatan masal 6 bulan sekali di daerah endemic atau di



daerah yang rawan infeksi. Penyuluhan kesehatan tentang sanitasi yang baik, personal and family hygiene seperti:  Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman  Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci dulu dengan sabun  Penggunaan alas kaki Penatalaksanaan: Pirantel pamoat 10 mg/kgBB dosis tunggal Mebendazol 500 mg dosis tunggal (sekali) atau 100 mg 2x sehari 3 hari berturut-turut Albendazol 400 mg dosis tunggal (tidak diperbolehkan untuk ibu hamil) Kombinasi mg/kgBB/kali



Sulfas



(untuk



ferosus



anak)



3x1



untuk



tablet



(dewasa)



mengatasi



anemia



atau



10



karena



cacingan.



14



BAB III PENUTUP KESIMPULAN 1. Infeksi cacingan adalah adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing atau Nematoda usus yang penularannya melalui tanah (Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura. 2. Etiologi dan Patofisiologi dari penyakit cacingan ini berbeda pada setiap jenis cacingan yang disebabkan oleh jenis cacing yang berbeda. Namun secara umum, penularan dan penyebab penyakit ini adalah dikarenakan mengkonsumsi makanan yang tercemar, sanitasi yang kurang baik, dan personal dan family hygien yang kurang baik. 3. Tanda dan Gejala dari penyakit cacingan secara umum adalah lesu, kurang



bergairang,



tidak



nafsu



makan,



eosinofilia,



gangguan



pencernaan seperti diare, mual, dan muntah, pada sebagian kasus ditemukan anemia, perut buncit dan gatal pada daerah masuknya cacing. Terkecuali pada infeksi cacing cambuk (Trichuris trichiura) pada infeksi ringan tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. 4. Parameter uji laboratorium pada pemeriksaan infeksi cacingan bisa dilakukan dengan Pemeriksaan Uji Makroskopis dengan sampel feses (meliputi jumlah, warna, bau, darah, lender, dan parasit), dan Pemeriksaan Uji Mikroskopis meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritrosit, sel epitel, kristal, makrofag dan sel ragi. 5. Terapi dan Monitoring pada penyakit ini bisa dilakukan dengan pencegahan penularan cacing seperti pengobatan masal 6 bulan sekali pada daerah endemic rawan



infeksi, memperbaiki sanitasi, 15



dan personal and family hygien yang baik. Untuk penatalaksanaan cacingan



bisa



digunakan



pirantel



pamoat,



mebendazol,



dan



albendazol. Untuk penyembuhan anemia yang disebabkan oleh cacingan



tersebut,



bisa



digunakan



sulfas



ferosus



sebagai



antianemia.



16



DAFTAR PUSTAKA Gandahusada, S. dkk, 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi II. FKUI. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2006. Departemen Kesehatan, Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim, 2014: http://www.pdpersi.co.id/content/ajax_popular_science.php? psid=23 Anonim, 2013: http://nasmiandibiologi.blogspot.com/2013/06/makalahcacing-cambuk-semoga-bermamfaat.html Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Pengobatan Dasar Di Puskesmas. Departemen Kesehatan Republik Indonesi. Jakarta. Anonim, 2013: http://www.slideshare.net/Sistin?feses-29286316? next_slideshow=1



17