MAKALAH COPD (Paliative Care) .. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIFE CARE END STAGE COPD



Nama Kelompok : 1. Wita Yulianti Barges (241911009) 2. Yulia Puspita Sari ( 2419110010) 3. Zela Valenza (241911011)



MAYAPADA NURSING ACADEMY TAHUN AJARAN 2020/2021



1



KATA PENGANTAR Dengan nama Tuhan YME Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang, penulis panjatkan syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnta atas rahmat, nikmat, kebahagiaan serta seluruh anugrah yang telah dilimpahkan kepada seluruh hambaNya. Dengan segala rahmatnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Makalah Keperawatan Paliative And Stage COPD” ini dengan baik. Dengan selesainya makalah ini penulis ingin mengucapkan trimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Dengan kesempatan ini penulis menyampaikan trimakasih kepada : 1. Tuhan TME yang telah melancarkan pembuatan makalah ini. 2. Ibu Ns Veronica Papo Bage M, Kep selaku dosen mata kuliah Paliative Care. 3. Orang tua yang telah memberi semangat, nasehat dan dukungan baik berupa moral maupun materi. 4. Teman-teman Angkatan 24. Penulis sebagai manusia biasa, menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk dapat lebih baik lagi kedepan nya. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.



Jakarta, 1 Oktober 2021



Penulis



2



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PPOK adalah suatu penyakit paru kronik yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas beracun. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan COPD ? 2. Bagaimana etiologi dari COPD ? 3. Bagaimana patofisiologi Kondisi Terminal? 4. Bagaimana tanda dan gejala COPD ? 5. Bagaimana diagnosa COPD ? 6. Bagaimana penatalaksanaan dari COPD ? 7. Perawatan Paliative yang sesuai?



3



1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui definisi dari COPD ? 2. Mengetahui etiologi dari COPD ? 3. Mengetahui patofisiologi Kondisi Terminal COPD ? 4. Mengetahui tanda dan gejala COPD ? 5. Mengetahui diagnosa COPD ? 6. Mengetahui penatalaksanaan dari COPD? 7. Perawatan Paliative yang sesuai? 1.4 Manfaat Penulisan 1. Penulisan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembangkan wawasan tentang definisi dari anestesi dan jenis-jenisnya seperti anestesi umum dan lokal serta bagaimana mekanisme kerja obat dari anestesi umum dan lokal. 2. Untuk menambah kajian ilmu pengetahuan tentang anestesi dan jenis-jenisnya khususnya anestesi umum dan anestesi lokal.



4



BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (PDPI, 2003) Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ekstrapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita. Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersifat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap partikel atau gas berbahaya (GOLD, 2011) Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan sekumpulan penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaraan patofisiologi utamanya. Bronkitis kronis, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk satu kesatuan yang disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) (Sylvia Anderson Price, 2005). Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi batuk kronik yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-turut. Sementara emfisema didefinisikan sebagai pembesaran alveolus di hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai dengan destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas (Kamangar, 2010).



5



Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah kelainan dengan klasifikasi yang luas, termasuk bronkitis, brokiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan kondisi yang tidak dapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan mengurangi aliran udara (Suzanne C. Smeltzer, 2001) 2.2 Etiologi Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting. Selain itu, terdapat faktor-faktor resiko yang lain seperti riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, hiperaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran nafas berulang, dan defisiensi antitripsin alfa-1. Di Indonesia defisiensi antitripsin alfa-1 sangat jarang terjadi (Elizabeth, 2007). Dalam pencatatan perlu diperhatikan riwayat merokok. Termasuk perokok aktif, perokok pasif, dan bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Kategori ringan 0-200, sedang 200-600, dan berat >600 (Elizabeth, 2007). a) Merokok Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama mortalitas bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Hubungan antara penurunan fungsi paru dengan intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalansi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan wanita semakin meningkat



6



akibat peningkatan jumlah wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). PPOK berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok, jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang merokok mengalami penurunan pada FEV 1 dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010). Second-hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa gestasi. b) Hiperesponsif saluran pernafasan Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Sementara British hypothesis menyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon saluran pernafasan dengan penurunan fungsi paru membuktikan bahwa peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang signifikan bagi penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). c) Infeksi saluran pernafasan Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Dipercaya bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK. Meskipun infeksi saluran nafas adalah



7



penyebab penting terjadinya eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). d) Pemaparan akibat pekerjaan Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi saluran nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu selama bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar dengan kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun secara signifikan (FVC, force vital capacity; DLCO, carbon monoxide diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan efek akibat merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008) e) Polusi udara Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). f) Faktor genetik Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang disebabkan defisiensi α1antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang daripada satu peratus. α1-



8



antitrips in merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja menginhibisi neutrophil elastasedi paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi perokok (Kamangar, 2010).



2.3 Patofisiologi Kondisi Terminal Perubahan patologis pada PPOK terjadi di saluran pernafasan, bronkiolus dan parenkim paru. Peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear yang diaktivasi dan makrofag yang melepaskan elastase tidak dapat dihalangi secara efektif oleh antiprotease. Hal ini mengakibatkan destruksi paru. Peningkatan tekanan oksidatif yang disebabkan oleh radikal-radikal bebas di dalam rokok dan pelepasan oksidan oleh fagosit, dan leukosit polimorfonuklear menyebabkan apoptosis atau nekrosis sel yang terpapar. Penurunan usia dan mekanisme autoimun juga mempunyai peran dalam patogenesis PPOK (Kamangar, 2010). a) Bronkitis kronik Pembesaran kelenjar mukus, perubahan struktur pada saluran pernafasan termasuk atrofi, metaplasia sel squamous, abnormalitas silia, hiperplasia otot lurik, proses inflamasi, dan penebalan dinding bronkiolus adalah tanda-tanda bronkitis kronik. Neutrofilia terjadi di lumen saluran pernafasan dan infiltrasi neutrofil berkumpul di submukosa. Di bronkiolus, terjadi proses inflamasi mononuklear, oklusi lumen oleh mukus, metaplasia sel goblet, hiperplasia otot lurik, dan distorsi akibat fibrosis. Semua perubahan ini dikombinasikan bersama kehilangan supporting alveolar attachments menyebabkan pernafasan yang terbatas akibat penyempitan lumen saluran pernafasan dan deformitas dinding saluran pernafasan (Kamangar, 2010). b) Emfisema Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat 3 jenis emfisema menurut



9



morfologinya: 1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama. 2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α1-antitripsin. 3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003) 2.4 Gejala dan Tanda PPOK 2.4.1



Gejala PPOK Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut. Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak nafas yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis PPOK eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak nafas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan nafas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (Riyanto, Hisyam, 2006).



2.4.2



Tanda Dan Gejala PPOK



10



Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, PPOK dibagi atas 4 derajat: 1. PPOK Ringan: biasanya tanpa gejala, faal paru VEP1/KVP < 70% 2. PPOK Sedang: VEP1/KVP < 70%, atau 50% =< VEP1 < 80% prediksi 3. PPOK Berat: VEP1/KVP < 70%, atau 30%= 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline Penyebab eksaserbasi akut Primer : -



Infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus)



Sekunder : - Pneumonia - Gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia - Emboli paru - Pneumotoraks spontan - Penggunaan oksigen yang tidak tepat - Penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat - Penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit) - Nutrisi buruk - Lingkunagn memburuk/polusi udara - Aspirasi berulang - Stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi) Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara :



25



- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebulizer - Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur - Menambahkan mukolitik - Menambahkan ekspektoran Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan



meliputi :



1. Diagnosis beratnya eksaerbasi - Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal - Kesadaran - Tanda vital - Analisis gas darah - Pneumonia - Terapi oksigen adekuat Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,



bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah



keadaan yang mengancam jiwa. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi. 2. Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut: a. Antibiotik - Peningkatan jumlah sputum - Sputum berubah menjadi purulen



26



- Peningkatan sesak Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal. b. Bronkodilator Bila rawat jalan B-2 agonis dan antikolinorgik harus diberikan dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila digunakan dengan cara yang tepat, nebuliser dapat digunakan agar bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebuliser yang



memakai



oksigen sebagai kompressor, karena penggunaan oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO2. Golongan xantin diberikan bersama-sama dengan bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan secara intravena dan nebuliser, dengan pemberian lebih sering perlu monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping bronkodilator. c. Kortikosteroid Tidak selalu diberikan tergantung derajat berat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari 2 minggu tidak memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak menimbulkan efek samping. (Gold, 20011). 2.7.3



Perawatan Paliative Ppok Tim perawatan paliatif biasanya terdiri dari seorang dokter, seorang perawat, farmasi, psikolog dan beberapa volunteer. Bagaimanapun juga jika membetuk suatu tim tersendiri maka akan menimbulkan biaya yang cukup mahal. Tujuan dari



27



perawatan paliatif adalah untuk memaksimalkan perawatan, mengurangi penderitaan dan meningkatkan kwalitas hidup penderita. Tingkat perawatan sangat tergantung dari keadaan penderita dan program yang sedang dijalanim contohnya perawat yang melakukan perawatan dirumah. Untuk saat ini terapi paliatif tidak tersedia secara luas karena tingginya permintaan pada pasien yng memburuhkan perawatan paliatif yang menderita kanker dan penyakit progresif lainnya. Bagaimanapun juga data di Amerika menunjukkan peningkatan angka perawatan paliatif sejak tahun 2000 sebanyak 632 sampai dengan 2003 sebanyak 1027. Perawatan paliatif tidaklah sama dengan perawatan fase akhir (terminal care), harus jelas bahwa perawatan paliatif berakses pada penanganan gejala, mempertahankan kwatlitas hidup, komunikasi yang baik, meningkatkan aktifitas fisik untuk mempertahankan kemandirian dan mempertahankan emosional, keagamaan dan psikososial penderita. Saat ini perawatan paliatif banyak diterima oleh peara penderita kanker, untuk menekan gejala penyakit yang biasanya menyertai seperti nyeri, mual dan dukungan spiritual sampai akhir kehidupan. Bagaimanapun juga para penderita COPD tidak akan mendapatkan seluruh aspek dari perawatan paliatif tersebut. Dari banyak penelitian bahwa banyak penderita COPD yang dapat melakukan aktivitas sendiri sehingga jarang bagi mereka merasa butuh perawatan paliatif, namun pada COPD yang parah akan didapatkan gejala seperti nyeri, kesulitan bernafas dan kelelahan. Dalam beberapa penelitian juga disebutkan COPD memiliki resiko meningkatnya angka depresi. Pada penelitian Curtis dkk, peningkatan angka depresi pada COPD dapat dilihat dari perbandingan penderita COPD, AIDS dan Kanker. Yang mana pada penderita COPD mereka cenderung mengabaikan terapi yang diberikan. Pasien dengan COPD yang berat biasanya mengalami isolasi social, ketidakmampuan secara fisik dan mengalami penurunan kwalitas hidup. Beberapa membutuhkan kursi roda dan membutuhkan bantuan kebutuhan hidup dasar seperti mandi. Keuntungan Terapi paliatif COPD Terapi paliatif akan mewujudkan



28



BAB III PENUTUP 1.1 Kesimpulan Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Merokok adalah faktor risiko yang dapat dimodifikasi utama untuk pengembangan COPD, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan kombinasi dari faktor-faktor risiko yang terkait dengan faktor pengembangan, dan umumnya, interaksi antara risiko ini menyebabkan ekpession penyakit, faktor tuan rumah , seperti predisposisi genetik, mungkin tidak dimodifikasi tetapi penting untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi mengembangkan penyakit. faktor lingkungan, seperti asap tembakau dan debu kerja dan bahan kimia, merupakan dua faktor itu, jika dihindari, dapat mengurangi risiko pengembangan penyakit.



29



DAFTAR PUSTAKA GOLD, 2010. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available from: http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Pocket_May2512.pdf [Accessed 18 October 2011] Anderson, Elisabeth T, (2001). Buku ajar keperawatan komunitas:teori dan praktek. Jakarta:EGC. Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. EMedicine.com. Available from:http://www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview [Accessed 18 October 2010] Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma Bronkial di Indonesia. Jakarta: Indonesia. Price,Sylvia Anderson.2005.patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.edisi 6. Volume1. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C.2001.buku ajar keperawatan medical bedah brunner & suddarth. Jakarta :EGC Reilly Jr., John J., Silverman, Edwin K., Shapiro, Steven D. 2005. Harrison's principles of internal medicine 16th edition. New York: McGraw-Hill



30



Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006



31