Makalah Ekonomi Pembangunan Kelompok 5 Migrasi Urbanisasi-Dikonversi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH EKONOMI PEMBANGUNAN “MIGRASI URBANISASI” Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ekonomi Pembangunan Dosen Pengampu : Dr. Saparuddin Mukhtar, S.E., M.Si.



Dikerjakan oleh: Dinda Putri Wulandari



(1701619054)



Dwi Octavianti Santoso



(1701619109)



Rainhard Benjamin



(1701619035)



Ridho Mulyo Pambagyo



(1701619032) Pendidikan Ekonomi Koperasi A 2019



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020



ABSTRAK Migrasi merupakan perpindahan suatu penduduk atau warga negara ke tempat lain baik secara nasional maupun internasional yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pekerjaan,melanjutkan pendidikan,kepadatan penduduk, dan lain sebagainya. Migrasi memiliki peranan penting dalam kemajuan suatu negara yang mana masing masing memiliki tujuan tersendiri baik dalam pemerataan persebaran penduduk, mengurangi kepadatan penduduk, memanfaatkan SDA (Sumber Daya Alam) yang belum dikelola dengan baik,meningkatkan kualitas sumber daya manusia hingga menambah sumber devisa negara. Dalam pelaksanaannya, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan mengenai migrasi antara lain kebijakan migrasi kependudukan, kebijakan migrasi lintas negara yang masing masing tercantum dalam UU No.20 tahun 1960 mengenai transmigrasi, Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1970 tentang proses pengiriman TKI ke luar negeri, Depnaker melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 129/Men/1983 tentang Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri yang mengatur tentang ijin usaha, hak dan kewajiban perusahaan dan sanksi pidana untuk yang melanggarnya. dan lain sebagainya.



Asumsi Model Todaro menyatakan bahwa keputusan migrasi didasarkan pada perbedaan pendapatan yang diharapkan antara daerah pedesaan dengan perkotaan daripada perbedaan upah. Urbanisasi merupakan pergeseran populasi dari daerah perdesaan menuju ke daerah perkotaan sehingga jumlah penduduk di perkotaan semakin tinggi.Pandangan Viet Cuong dalam Does Urbanization Help Poverty Reduction in Rural Areas? Evidence from a Developing Country dapat menjadi suatu acuan mendasar bahwa urbanisasi adalah “a key feature of economic development”. Kebijakan yang diambil pemerintah antara lain; Reformasi agraria sebagai basis pendapatan masyarakat dan petani di pedesaan secepatnya segera direalisasikan, evitalisasi pembangungan ekonomi pedesaan dan lain sebagainya. Kata Kunci : Teori Migrasi, Teori Urbanisasi, Model Todaro, Pembangunan Ekonomi, Analisis Kebijakan



I.



Pendahuluan/Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi berpengaruh terhadap kebutuhan dalam sumber daya alam akan meningkat terutama persoalan lahan. Perubahan lahan dapat menimbulkan perkembangan wilayah pinggiran kota dan wilayah desa sekitarnya. Pertumbuhan penduduk merupakan masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesia. Hal itu bisa terlihat bahwa Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri melalui Dukcapil bahwa Data Penduduk Indonesia semester 1 per 30 Juni 2020 sebanyak 268.583.016 jiwa. Jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 0,99 persen dari tahun 2019 dimana pada saat itu sebanyak 270.680.179. Mungkin hal itu disebabkan virus corona yang menyerang seluruh dunia termasuk Indonesia. Penataan ruang sebagai matra spasial pembangunan kota merupakan alat untuk mengkoordinasikan pembangunan perkotaan secara berkelanjutan. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius bagi wilayah kota. Persebaran penduduk menjadi tidak merata antara wilayah desa dengan perkotaan akan menimbulkan suatu masalah dalam kehidupan sosial masyarakat. Jumlah penduduk yang naik secara signifikan tanpa diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja, sarana dan prasarana, apparat pengegak hukum, penyediaan pangan bagi masyarakat merupakan contoh masalah yang harus dicarikan solusinya. Proses urbanisasi sangat berkaitan erat dengan migrasi maupun mobilitas penduduk. Namun ada yang membedakan kedua hal tersebut, yaitu mobilitas penduduk didefinisikan sebagai perpindahan penduduk namun tidak berniat untuk menentap dengan waktu yang lama, sedangkan migrasi penduduk diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dengan waktu yang lama di daerah yang baru. Maraknya urbanisasi ini dilakukan oleh masyarkat dalam artian migrasi pun dapat berdampak kerugian baik untuk kota sendiri maupun desa. Dalam kurun waktu 20 tahun penduduk kota bertambah hampir 50 persen, sebaliknya setengah penduduk desa sudah bertransformasi menjadi penduduk kota. Berdasarkan data BPS tahun 2010 jumlah penduduk kota 47,9 persen sementara BPS memprediksikan bahwa pada tahun 2025 jumlah penduduk kota akan meningkat menjadi 68 persen. Banyaknya penduduk yang pindah dari desa menuju kota menyebabkan di perkotaan penduduknya menjadi padat sehingga dapat menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di perkotaan. Untuk mengatasi masalah melonjaknya perpindahan penduduk dari desa menuju kota pemerintah melakukan sebuah program yaitu pengembangan desa. Namun hal tersebut seringkali gagal karena kurangnya pemahaman alasan orang untuk melakukan perpindahan. Menurut (Tjiptoherijanto, 2016) pertambahan penduduk yang tinggal di perkotaan dapat disebabkan oleh beberapa factor diantaranya kelahiran alamiah yang terjadi di daerah tersebut, perpindahan penduduk baik dari perkotaan lainnya maupun dari pedesaan, anexasi, dan reklasifikasi. Dengan demikian perpindahan penduduk dari desa ke kota hanyalah sebagian factor mempengaruhi tingkat urbanisasi. Dari berbagai studi mengatakan bahwa semakin maju tingkat perekonomian suatu negara, maka



semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya. Oleh karena itu urbanisasi merupakan fenomena alamiah yang sejalan dengan perkembangan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu negara.



II.



Kajian Teori



1. Teori Migrasi 1.1 Pengertian Dalam arti luas, migrasi merupakan perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen (Tjiptoherijanto, 2009). Dalam pengertian yang demikian tersebut tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, serta tidak dibedakan antara migrasi dalam negeri dengan migrasi luar negeri (Lee, 2011). Sejarah kehidupan suatu bangsa selalu diwarnai dengan adanya migrasi, dan oleh karena itu pula terjadi proses pencampuran darah dan kebudayaan. Migrasi juga dapat diartikan sebagai perubahan tempat tinggal seseorang baik secara permanen maupun semi permanen, dan tidak ada batasan jarak bagi perubahan tempat tinggal tersebut (Lee, 2011). Migrasi salah satu dari tiga komponen dasar dalam demografi. (Kotijah, 2008).Tinjauan migrasi sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata. (Agung Stiyawan, Adi Dwi Susanto, Bhian Rangga JR, M.Khanif Mahmudin, Ricky Fitriyana, 2010). Migrasi adalah perpindahan orang-orang dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap, secara permanen atau sementara di lokasi baru. (Trendyari & Yasa, 2014). Ditinjau dari jaraknya, perpindahan ini dapat terjadi pada jarak jauh dari satu negara ke negara lain, tetapi dapat juga terjadi secara internal dalam satu negara. (Υπο & Οικονομιεσ, 1980). 1.2 Teori Migrasi Dalam pandangannya, migrasi sangat ditentukan oleh faktor ekonomi yang seringkali melatarbelakangi seseorang untuk melakukan perpindahan (Rutman, 1970). Pengertian migrasi sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari satu tempat ketempat lain melampau batas politik/negara ataupun batas administratif atau batas bagian suatu Negara. Jadi dalam pengertian ini migrasi dapatlah diatakan sebagai perpindahan yang cukup permanen dari satu tempat ketempat lain.(Munir, Rozy 1981). migrasi adalah suatu bentuk respon yang ada dalam diri manusia terhadap kondisi/peristiwa yang tidak menyenangkan di daerah asal, seperti halnya dengan sistem pemilikan tanah yang tidak sama sekali menguntungkan, dan lain sebagainya.(Syariffudin, La Ode 1985).Negara-negara yang sedang berkembang terdapat dualisme kegiatan perekonomian, yaitu di sector ekonomi subsisten (pertanian) di pedesaan, dan sector ekonomi modern dengan tingkat prodiktivitas yang tinggi diperkotaan.(Lewin,1954). 1.3 Jenis Migrasi Jenis Migrasi menurut wilayahnya dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Migrasi Nasional dan Migrasi Internasional. 1.3.1



Jenis Migrasi Nasional



Migrasi Nasional adalah merupakan perpindahan penduduk di dalam satu wilayah negara yang dilakukan dengan tidak adanya keterpaksaaan dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.(Ainy et al., 2019) Jenis Migrasi Nasional terdiri dari:



1.3.1.1 Transmigrasi Pengertiannya adalah perpindahan penduduk dan daerah berpenduduk padat ke daerah berpenduduk jarang. Ada beberapa jenis transmigrasi. Transmigrasi umum, diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan untuk transmigrasi spontan, dilakukan atas biaya, kesadaran, dan kemauan sendiri.Transmigrasi sektoral, diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah daerah asal dan daerah tujuan. Transmigrasi swakarsa, dibiayai oleh transmigran sendiri. Transmigrasi khusus seperti bedol desa, dilakukan penduduk karena terkena proyek pembangunan seperti pembangunan waduk.(Kemennakertrans, 2010). 1.3.1.2 Urbanisasi Pengertiannya adalah perpindahan penduduk dan desa ke kota. Urbanisasi terjadi karena kota mempunyai daya tarik sebagai daerah tujuan dan desa mempunyai daya dorong untuk ditinggalkan. (Damardono, 2016). Daya tarik kota antara lain tersedia berbagai lapangan pekerjaan, upah tenaga kerja tinggi, fasilitas hidup lengkap, dan tersedia fasilitas hiburan. Daya dorong desa antara lain lapangan pekerjaan di luar bidang pertaniari terbatas, lahan pertanian semakin sempit, upah tenaga kerja rendah, fasilitas umum terbatas, fasilitas hiburan terbatas, kegiatan pertanian di desa bersifat musiman, serta keinginan penduduk untuk memperbaiki taraf hidup. (Agung et al., 2017). Urbanisasi sendiri berdampak bagi daerah yang ditinggalkan dan daerah tujuan. Dampak bagi daerah yang ditinggalkan antara lain jumlah penduduk berkurang, jumlah penganggur berkurang, stabilitas keamanan menurun, dan tenaga kerja berkurang. Dampak bagi daeráh tujuan antara lain jumlah tenaga kerja meningkat, kriminalitas meningkat, kepadatan penduduk meningkatt, muncul permukiman kumuh, serta lapangan pekerjaan berkurang.(Tjiptoherijanto, 2016). 1.3.1.3 Ruralisasi Pengertian rulalisasi adalah kembalinya penduduk kedesa setelah menetap di kota atau kembalinya pelaku urbanisasi ke daerah asal. Biasanya, hal ini dilakukan oleh orang- orang kota yang ingin menghabiskan masa tua di pedesaan, atau ingin membesarkan anaknya di lingkungan pedesaan karena di perkotaan terlalu sibuk.(Lubis et al., 2019). 1.3.1.4 Forensen Pengertiannya adalah pergi dan pulangnya orang desa ke kota untuk bekerja setiap hari (melaju).hal ini terjadi karna orang yang mempunyai mata pencaharian di kota dan setiap hari pulang pergi atau tidak menginap di kota tersebut. Ada berbagai macam alasan mengapa seseorang melakukan forensen atau nglaju ini, seperti sulitnya mencari perumahan di kota, besarnya biaya hidup di kota, dan lain sebagainya.(Siregar, 2017). 1.3.1.5 Weekend Pengertian weekend yaitu perginya orang kota ke tempat peristirahatan di luar kota pada akhir minggu untuk tujuan berlibur menghilangkan penat akibat bekerja dan lain sebagainya.(Sinuraya & Saptana, 2007).



1.3.1.6 Evakuasi Pengertian evakuasi yaitu perpindahan penduduk ke suatu wilayah karena bencana atau perang. Sebagai catatan untuk Forensen, weekend, dan evakuasi merupakan bentuk sirkulasi yaitu perpindahan penduduk yang tidak menetap atau tinggal sementara waktu di daerah tujuan.(Sinuraya & Saptana, 2007). 1.3.2



Migrasi Internasional



Migrasi internasional merupakan perpindahan yang di lakukan masyarakat dari menjadi penduduk suatu negara ke negara lainya. yang bertujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, contoh nya seperti seseorang yang melakukan migrasi internasional ini seperti artis cantik yang bernama Anggun dari Warga Negara Indonesia menjadi Warga Negara Prancis pada saat ini. (Daniah & Apriani, 2018). Jenis Migrasi Internasional terdiri atas: 1.3.2.1 Imigrasi Pengertian imigrasi merupakan masuknya penduduk yang ada di negara lain ke suatu negara berniat untuk menetap dengan tujuan untuk secara totalitas menjadi bagian dari negara yang bersangkutan tersebut.(Budiharsono, 2015). 1.3.2.2 Emigrasi Pengertian emigrasi merupakan keluarnya penduduk yang ada dalam suatu negara ke suatu negara ke negara lain lagi guna menetap dengan niatan secara nyata mengambil pada negara yang baru. Contoh dalam kasus ini yaitu seperti artis ternama Indonesia, yakni artis cantik Anggun yang memilih menjadi Warga Negara Prancis daripada Indonesia.(-, 2017). 1.3.2.3 Remigrasi (repatriasi) Pengertian remigrasi yaitu kembalinya penduduk dan suatu negara ke negara asal nya.(Puspitasari, 2017). 1.3.2.4 . Turisme Pengertian Turisme yaitu orang-orang yang bepergian ke luar untuk mengunjungi tempattempat pariwisata di daerah/Negara yang dituju.(Daniah & Apriani, 2018). 1.3.3



Migrasi menurut sifatnya Selain itu ada juga jenis migrasi yang didasarkan pada sifatnya yaitu 1.3.3.1 Migrasi sirkuler atau migrasi musiman adalah migrasi yang terjadi jika seseorang berpindah tempat tetapi tidak bermaksud untuk menetap di tempat tujuan migrasi. 1.3.3.2 Migrasi ulang-alik adalah orang berpindah setiap hari meninggalkan tempat tinggalnya pergi ke tempat lain untuk bekerja atau berdagang.



1.4 Faktor Penyebab Migrasi Perbedaan ini disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Beberapa studi migrasi menyimpulkan bahwa migrasi terjadi disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi sehinga akan meningkatkan kualitas hidup. Kondisi tersebut sesuai dengan model migrasi Todaro (2008) yang menyatakan bahwa arus migrasi berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan antara daerah asal dan daerah tujuan. (wulan Puspitasari, 2010). Berikut ini adalah faktor pendorong terjadinya migrasi antara lain sebagai berikut: 1. Kepadatan penduduk merupakan suatu alasan seseorang melakukan migrasi.Kepadatan penduduk ini menyebabkan sesorang hidup kurang nyaman, banyak persaingan sehingga sebagian akan sulit mendapatkan pekerjaan. Karena sulit mendapatkan pekerjaan, maka banyak orang yang akan melakukan berbagai macam tindak kriminal. Selain itu masih banyak pula hal- hal yang dapat terjadi karena kepadatan penduduk yang berlebihan. Karena kelebihan penduduk inilah beberapa orang memutuskan untuk pindah ke daerah yang tidak terlalu padat. Selain akan mendapatkan suasana hidup yang baru, hal semacam ini juga sangat baik untuk mendukung program pemerataan penduduk. (Husnah, 2019). 2. Melanjutkan pendidikan tujuan lainnya adalah di bidang pendidikan. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan bagus dan jenjang yang lebih tinggi membuat seseorang melakukan migrasi. Misalnya di luar Jawa fasilitas pendidikan belum lengkap, dan seseorang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi. Kebetulan jurusan yang diinginkan hanya ada di universitas di Jawa, maka tidak menutup kemungkinan orang tersebut akan melakukan migrasi. Perpindahan penduduk yang termasuk migrasi, mempunyai minimal waktu sesingkat- singkatnya adalah enam bulan. Jadi, apabila seseorang pindah selama dia dalam proses pendidikan (artinya beberapa tahun) dan setelah lulus akan kembali lagi ke daerah asalnya, selama dia menetapnya lebih dari enam bulan, maka bisa dikatakan sebagai migrasi.(Puspitasari, 2017). 3. Keadaan geografis yang tidak cocok Keadaan geografis atau lingkungan yang kurang cocok juga menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan migrasi. Misalnya saja seseorang mempunyai penyakit asma yang akan kambuh apabila dia berada di udara yang dingin. Dan orang itu tinggal di lingkungan pegunungan yang udara paginya sangat dingin. Nah, kemungkinan orang tersebut tiap pagi akan menderita asma bisa saja terjadi. Dengan demikian, orang tersebut mungkin akan berfikir untuk pindah ditempat lain, dimana udara di sekitarnya tidak terlalu dingin. Selain itu, wilayah yang dikepung oleh hutan dengan jalan akses yang sulit juga akan memaksa sesorang untuk berfikir pindah ke tempat lain. Atau contoh yang lainnya.(Kristina, 2010). 4. Kurangnya lapangan pekerjaan Salah satu penyebab atau pendorong terjadinya migrasi adalah alasan sedikitnya lapanagn pekerjaan yang ada di daerah asal. Semua orang bisa memenuhi kebutuhan hidup hanya jika mereka bekerja. Bekerja untuk mendapatkan uang dan bisa dibelanjakan kebutuhan sehari- hari. apabila di daerahnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan, lalu bagaimana seseorang bisa bekerja. Apabila di



daerahnya menag tidak ada lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan jika berwirausaha pun dirasa tidak cocok, maka seseorang akan melakukan migrasi. Migrasi ini tentu saja akan mencari tempat yang kiranya banyak tedapat lowongan kerja yang sesuai, atau mampu menjadi tempat starategis untuk menjalankan suatu usaha. Tak heran maka penduduk di Jawa banyak sekali yang migrasi ke luar jawa, hal ini karena luar Jawa belum mempunyai banyak pesaing, jadi jika seseorang membuka usaha di luar Jawa, dia akan mendapatkan untung yang lebih besar.(Nor Ermawati Hussain et al., 2015). 5. Sumber daya alam yang kurang Sebagian penduduk yang berpindah ke tempat lain dikarenakan sumber daya alam yang kurang memadai. Misalnya saja di suatu tempat keadaan tanahnya gersang sehingga ketika ditanami tumbuhan maka tidak mudah tumbuh subur atau karena keadaan tanah dan udaranya suatu tempat hanya mempunyai sumber daya alam yang sangat sedikit. hal ini akan menyulitkan apabila digunakan oleh sejumlah banyak orang. Beberapa orang mungkin tidak akan kebagian apabila jumlah sumber daya alam telah habis. Maka dari itulah daripada harus hidup dalam keterbatasan, seseorang mungkin akan lebih memilih pindah ke tempat lain yang memiliki sumber daya alam yang jumlahnya lebih banyak. Dengan demikian kebutuhan akan sumber daya alam tersebut menjadi terpenuhi.(Darmawan & Chotib, 2007). 6. Pemerataan penduduk migrasi tak selamanya berasal dari keinginan penduduk. Adakalanya seseorang melakukan migrasi karena menjalankan program dari pemerintah. Misalnya pemerintah ingin memeratakan jumlah penduduk agar tidak terpusat di pulau Jawa. Untuk mencapai tujuan ini maka pemerintah harus mengambil penduduk dari pulau Jawa untuk dibawa ke luar Jawa. Hal ini bisa terealisasi apabila banyak warga masyarakat dari Pulau Jawa bersedia dipindahkan ke luar Jawa.(Puspitasari, 2017). 1.5 Model Todaro Model Todaro merumuskan bahwa migrasi berkembang karena perbedaan-perbedaan Antara pendapatan yang diharapkan dan yang terjadi dipedesaan dan di perkotaan. Anggaran yang mendasar adalah bahwa para migran tersebut memperhatikan eberbagai kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka dan memilih salah satu yang bisa memaksimumkan manfaat yang mereka harapkan dari bermigrasi tersebut.(Todaro, 1969). Manfaat-manfaat yang diharapkan ditentukan oleh perbedaan-perbedaan nyata Antara kerja di desa dan di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Pada hakekatnya, teori ini menganggap bahwa angkatan kerja, baik actual maupun potensial, memperbandingkan pendapatan yang mereka “harapkan” di perkotaan pada siatu waktu tertentu dengan memperhitungan pendapatan rata-rata di pedesaan. Akhirnya mereka akan melakukan migrasi jika pendapatan yang “diharapkan” di kota lebih besar daripada pendapatan rata-rata di pedesaan. (Chang et al., 2009). Secara singkat bisa disebutkan disini bahwa model migrasi dari Todaro mempunyai 4 karakteristik utama(Millock, 2015). yaitu:



1. Migrasi terutama sekali dirangsang oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis yang rasional. Misalnya pertimbangan manfaan (benefits) dan biaya (cost), terutama sekali secara finansial tetapi juga secara psikologis. 2. Keputusan untuk bermigrasi lebih tergantung pada perbedaan upah riil “yang diharapkan” daripada “yang terjadi” Antara pedesaan dan perkotaan, dimana perbedaan yang “diharapkan” itu ditentukan oleh interaksi Antara dua variable yaitu perbedaan upah pedesaan-perkotaan yang terjadi dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan disektor perkotaan. 3. Kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan diperkotaan berhubungan terbaik dengan tingkat pengangguran di perkotaan. 4. Tingkat migrasi yang melebihi tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, tingkat pengangguran yang tinggi diperkotaan merupakan hal yang tidak terelakan karena adanya ketidakseimbangan yang parah Antara kesempatan-kesempatan ekonomi di perkotaan dan di pedesaan pada hampir semua NSB. Sumber: Faculty.washington.edu



2. Pembangunan Migrasi Sampai sekarang ini persoalan migrasi dari desa-desar ternyata masih dipandang sebagai suatu hal yang positif dalam kajian ilmu ekonomi pembangunan pada umumnya. Perpindahan dalam suatu negara (migrasi internal) dianggap sebagai proses alamiah yang menyalurkan surplus tenaga kerja dari daerah-daerah pedesaan untuk memenuhi tenaga kerja bagi pertumbuhan industri perkotaan (teori Lewis). Akan tetapi kenyataan-kenyataan di negara berkembang pada masa sekarang ini seperti Indonesia memang sangat bertentangan dengan pandangan para ahli ekonomi tradisional tersebut. Arus perpindahan tenaga kerja dari daerah ke kota-kota telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan kerja. Migrasi yang berlangsung sedemikian deras telah jauh melampaui daya serap sektor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di daerah perkotaan. Dengan kata lain, migrasi desa-kota harus dillihat sebagai suatu faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus-menerus memperburuk masalah pengangguran di berbagai daerah perkotaan.



1. Proses Migrasi Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari suatu daerah tertentu ke daerah lainnya dalam batas waktu tertentu. Orang yang pindah tersebut dinamakan dengan migran. Pada dasarnya migrasi merupakan suatu proses memilih (selective process) yang mempengaruhi individu-individu dengan karakteristik-karakteristik ekonomi, sosial, pendidikan, dan demografis tertentu. Hal-hal yang mempengaruhi mungkin bersifat ekonomis atau non-ekonomis yang mungkin berbeda tidak hanya antar negara dan wilayah tetapi juga di dalam daerah geografis dan penduduk tertentu. Tidak sedikit penelitian awal tentang migrasi cenderung memfokuskan perhatiannya terhadap faktor-faktor sosial, budaya, dan psikologis saja, tanpa memerhatikan arti penting dari variabel-variabel ekonomi. Biasanya penekanan pokok dari penelitian-penelitian tersebut antara lain menyangkut : a. Faktor-faktor sosial termasuk hasrat para migran untuk melepaskan diri dari kendalakendala tradisional yang terkandung dalam organisasi-organisasi sosial yang sebelumnya mengungkung mereka b. Faktor-faktor fisikal, termasuk iklim dan bencana alam seperti banjir dan kekeringan c. Faktor-faktor demografis termasuk penurunan tingkat kematian yang kemudian mempercepat laju pertumbuhan penduduk pedesaan d. Faktor-faktor budaya, termasuk adanya hubungan “keluarga besar” (extended family) sesampainya di perkotaan dan daya tarik “gemerlapnya kehidupan kota” e. Faktor-faktor komunikasi yang dihasilkan oleh perbaikan transportasi, sistem pendidikan yang berorientasi pada kehidupan perkotaan dan dampak modernisasi dan pengenalan radio, televisi, dan bioskop Semua faktor non ekonomis tersebut tentu saja relevan untuk dijadikan bahan penelitian. Namun demikian, sekarang tampaknya telah ada kesepakatan antara para ahli ekonomi dan ahli ilmu sosial lainnnya bahwa migrasi dari desa ke kota terutama sekali disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor ekonomi. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang mendorong terjadinya migrasi tersebut bukan hanya berupa faktor pendorong (push factor) tetapi juga faktor-faktor penarik (pull factor)



2. Karakteristik-Karakteristik Migran Karakteristik para migran dapat dibedakan menjadi 3 kategori yaitu karakteristik demografi, pendidikan, dan ekonomi. a. Karakteristik Demografis Para migran di perkotaan negara-negara berkembang pada umumnya berusia antara 15 sampai 24 tahun. Proporsi wanita yang melakukan migrasi tampaknya cenderung meningkat karena semakin membaiknya tingkat pendidikan mereka. Di Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika Barat, misalnya migran dari desa ke kota didominasi oleh kaum wanita.



b. Karakteristik Pendidikan Salah satu pola hubungan yang paling konsisten dari temuan studi-studi tentang migrasi desa-kota adalah adanya korelasi yang positif antara tingkat pendidikan yang dicapai dengan kecenderungan untuk melakukan migrasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tampaknya ada hubungan yang jelas antara tingkat pendidikan yang dicapai dengan keinginan untuk bermigrasi. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak melakukan migrasi daripada yang pendidikannya lebih rendah. Dalam suatu penelitian yang komprehensif di Tanzania tentang pendidikan dan migrasi terbukti secara jelas, terutama dalam kaitannya dengan dampak penurunan kesempatan kerja di perkotaan terhadap karakteristik pendidikan para migran. Persentase migran tamatan sekolah menengah ke atas menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Penjelasan Barnum dan Sabot menunjukkan bahwa kesempatan untuk memperoleh pekerjaan ditentukan oleh tingkat pendidikan. Mereka yang hanya tamatan sekolah dasar sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, proporsi mereka dalam arus migrasi mulai menurun. c. Karakteristik Ekonomi Selama beberapa tahun terakhir ini persentase migran yang terbanyak adalah kaum miskin, tidak memiliki tanah, dan tidak mempunyai keterampilan. Pada zaman penjajahan di Afrika, migrasi musiman didominasi oleh para migran dari berbagai tingkat pendapatan yang sama-sama berusaha mencari pekerjaan jangka pendek di kota-kota. Para migran ini datang dari semua tingkat sosio-ekonomi yang sebagian besar adalah sangat miskin. Mereka ingin melepaskan diri dari belenggu kemiskinan di daerah-daerah pedesaan.



3. Model Migrasi Tordano Model ini bertolak dari asumsi bahwa migrasi desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Model Todaro merumuskan bahwa migrasi berlangsung karena adanya perbedaan pendapatan antara kota dengan desa. Anggapan yang mendasar dalam model ini adalah bahwa para migran tersebut memperhatikan berbagai kesempatan-kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka dan memilih salah satu yang bisa memaksimumkan manfaat yang mereka harapkan dari bermigrasi tersebut. Manfaatmanfaat yang diharapkan ditentukan oleh perbedaan-perbedaan nyata antara pendapatan di desa dan di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Pada hakekatnya, model ini menganggap bahwa angkatan kerja, baik aktual maupun potensial, memperbandingkan pendapatan yang mereka harapkan di perkotaan pada suatu waktu tertentu dengan memperhitungkan pendapatan rata-rata yang dapat diperoleh di pedesaan. Akhirnya mereka akan memutuskan melakukan migrasi jika pendapatan yang diharapkan di kota lebih besar daripada pendapatan rata-rata di pedesaan. Secara singkat, model migrasi Todaro mempunyai 4 pemikiran dasar, yaitu :



a. Migrasi desa-kota terutama sekali dirangsang oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan pertimbangan manfaat (benefit) dan biaya (cost), baik dalam wujud finansial maupun secara psikologis b. Keputusan untuk bermigrasi tergantung pada perbedaan upah riil yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. Besar kecilnya perbedaan tersebut ditentukan oleh interaksi antara dua variabel yaitu perbedaan upah riil antara pedesaan dengan perkotaan dan besar-kecilnya kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan di sektor perkotaan c. Kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan berhubungan terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan d. Migrasi desa-kota yang terus berlangsung melebihi tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, tingkat pengangguran yang tinggi di perkotaan merupakan hal yang tidak terelakkan karena adanya ketidakseimbangan yang parah antara kesempatan-kesempatan ekonomi di perkotaan dan pedesaan kebanyak negara Dunia Ketiga.



4. Kebijakan Terkait Pembangunan Migrasi Mobilitas penduduk menuju perkotaan di Indonesia meningkat sangat tajam. Salah satu indikator yang membuktikan hal itu adalah angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi. Migrasi masuk ke kota sangat erat kaitannya dengan kebijakan pembangunan yang bersifat bias kota (urban bias), perkotaan menjadi pusat dari berbagai kegiatan pembangunan, mulai dari perdagangan, industri sampai dengan administrasi dan pembangunan politik (Todaro 1976 dan Hugo 1979, dalam Romdiati & Noveria 2004:3). Hal ini menyebabkan kota besar, seperti Jakarta, tidak terhindarkan lagi menjadi daya tarik yang kuat bagi penduduk dari daerah-daerah lain. Perkotaan menyediakan kesempatan kerja dan usaha ekonomi di berbagai bidang, sementara di daerah asal mereka menghadapi keterbatasan kesempatan ekonomi. Artinya, perpindahan penduduk terjadi akibat tingginya upah yang dapat diperoleh di daerah tujuan. Kondisi nyata pendatang menuju perkotaan terlihat paska perayaan Idul Fitri. Kaum migran yang kembali dari kampung halamannya beberapa diantaranya malah membawa serta kerabatnya menuju kota. Di samping itu, ketersediaan sarana dan prasarana sosial, seperti pendidikan, di kota ini juga menjadikan penduduk usia sekolah untuk datang dan bertempat tinggal di perkotaan. dalam konteks tersebut, Tjiptoherijanto (2000, mengutip Kunz 1973; Rusell 1966) menjelaskan, baik secara konseptual maupun metodologi, sampai saat ini para ahli masih kesulitan membedakan secara lebih tajam proses migrasi berlatar belakang ekonomi maupun non-ekonomi.



A. Kebijakan Kota Tertutup Mobilitas para migran (baik permanen maupun non-permanen) yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali di kota-kota besar berindikasi memunculkan dampak positif maupun negatif. Dari sisi pelaku migrasi, mobilitas ke kota relatif berdampak positif karena dapat memperoleh penghasilan yanglebih tinggi dibanding dengan penghasilan di desa asal. Di sisi lain, maraknya migrasi menuju perkotaan berdampak negatif karena secara langsung atau tidak, kota besar membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, lingkungan, keindahan dan ketertiban (Bandiyono, 2004:3, dalam Romdiati & Noveria 2004; Supriyatna 2008). Pelaku migrasi ke kota (utamanya kelompok pendatang dengan kualitas rendah) menimbulkan berbagai masalah, antara lain berkembangnya kawasan permukiman kumuh, degradasi lingkungan, kerawanan sosial, tindak kriminal dan permasalahan pengangguran serta kemiskinan. Berdasarkan fenomena tersebut, banyak pemerintahan di perkotaan yang menjalankan kebijakan untuk “menjaga” kotanya dari serbuan pendatang. Pemerintahan kota-kota besar di Indonesia memberlakukan kebijakan “kota tertutup”, yaitu larangan bagi penduduk (khususnya penduduk pendatang) yang tidak memiliki KTP atau pekerjaan tetap untuk tinggal di kota yang dituju. Kebijakan ini menjadi salah satu langkah yang dilakukan pemerintah lokal agar para pendatang yang tidak memiliki modal atau peluang kerja di perkotaan tidak lantas menumpuk di kota-kota besar. Kebijakan ini menjadi salah satu upaya untuk menekan kedatangan para migran dari perdesaan atau luar kota. Untuk menegaskan kebijakan tersebut, operasi yustisi kerap dilakukan pemerintah kota-kota besar dengan melakukan razia kartu tanda penduduk (KTP). Warga yang tidak memiliki KTP ataupun surat keterangan tinggal dari RT/RW setempat, serta tidak memiliki bukti telah memiliki pekerjaan, akan ‘dipulangkan’ ke daerah asalnya (Palupi 2004; Widyaningrum 2009). B. Dampak Kebijakan Kota Tertutup Kebijakan pemerintah lokal maupun nasional mengenai “kota tertutup”, sebagai upaya untuk melarang penduduk termasuk dari perdesaan untuk datang ke suatu kota merupakan upaya yang cenderung kurang efektif dilakukan. Salah satu bukti yang dapat ditinjau adalah tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan kota tertutup oleh pemerintah Kota Jakarta pada tahun 1970-an, semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (Supriyatna 2008). Pelaksanaan kebijakan “kota tertutup” dianggap kurang efektif karena anggapan bahwa melarang kedatangan seseorang ke suatu tempat merupakan pelanggaran hak azasi manusia. Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui beberapa cara. Salah satunya adalah melalui pembangunan daerah perdesaan, termasuk mengembangkan sektorsektor ekonomi perdesaan yang dapat berperan untuk mencegah aliran mobilitas penduduk desa ke perkotaan. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi migrasi penduduk ke kota besar adalah penyediaan sarana transportasi yang terjangkau namun nyaman yang menghubungkan kota-kota kecil dengan kota besar yang berperan sebagai pusat ekonomi. Ketersediaan transportasi memungkinkan migran untuk tinggal di kota kecil, sementara aktivitas ekonomi dilakukan di kota besar (Anonim 2009; Noveria 2009).



3. Teori Urbanisasi 3.1 Pengertian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi V urbanisasi ialah perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan); perubahan sifat suatu tempat. Setiap orang mempunyai penafsiran yang berbeda-beda mengenai pengertian urbanisasi, menurut Ir. Triatno Yudo Harjako ialah urbanisasi diartikan sebagai suatu proses perubahan masyarakat dan kawasan dalam suatu wilayah yang non-urban menjadi urban di mana secara keruangan hal tersebut dinilai sebagai suatu bentuk proses pembedaan dan spesialisasi untuk pemanfaatan ruang dimana suatu lokasi menerima bagian pemukiman dan fasilitas yang tidak proporsional. Sementara itu, menurut Shogo Kayono memberikan suatu definisi bahwa urbanisasi sebagai perpindahan dan pemusatan penduduk secara nyata yang memberikan dampak dalam hubungan dengan masyaraka yang disebabkan oleh factor sosial seperti ekonomi, politik dan budaya. Pengertian lain diutarakan oleh Keban yang berpendapat bahwa urbanisasi jangan hanya dalam konteks demografi saja karena urbanisasi mengandung pengertian yang multidimensional. (Harahap, 2013) Menurut Sedangkan menurut Ningsih urbanisasi diartikan sebagai suatu gejala atau suatu proses yang sifatnya multisectoral yang dilihat dari sebab maupun akibat yang ditimbulkannya. Sementara pengertian lain diutarakan oleh Firman yang mendefinisikan urbaniasasi sebagai sebuah transformasi dari pedesaan menjadi hidup secara industry. Secara tidak langsung urbanisasi dinilai sebagai perubahan sosial ekonomi dunia yang paling fenomenal. (Katherina, 2014). Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa urbanisasi ialah suatu perpindahan atau proses perubahan dari desa menuju kota yang meliputi wilayah atau daerah beserta masyarakat di dalamnya yang dipengaruhi oleh aspekaspek baik fisik atau morfologi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. 3.2 Teori Urbanisasi Dari sisi ekonomi urbanisasi dianggap sebagai suatu proses dalam perubahan struktur pada bidang ekonomi yang dapat diamati pada munculnya perubahan dalam pekerjaan masyarakat desa yaitu dari sector pertanian yang selanjutnya beralih bekerja menjadi buruh atau bekerja dalam bidang yang non agraris di kota. Selanjutnya dari sisi perilaku dimana hal ini berfokus pada proses adaptasi manusia terhadap situasi yang mengalami perubahan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi maupun yang diakibatkan dari timbulnya atau munculnya perkembangan baru dalam kehidupan manusia. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek sosiologis urbanisasi dikaitkan dengan adanya perubahan life style warga desa sebagai dampak dari adanya pengaruh masyarakat perkotaan. Jika ditinjau dari sisi geografi urbanisasi dalam hal ini dipandang sebagai proses terjadinya distribusi, difusi dalam perubahan dan pola menurut waktu dan tempat. Sementara itu apabila dilihat dari sisi demografi urbanisasi dianggap sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan dalam jumlah penduduk dalam suatu wilayah atau dengan kata lain



urbanisasi lebih ditekankan dalam aspek kependudukan dalam arti terjadi ledakan penduduk yang terjadi baik itu di kawasan pedesaan maupun perkotaan yang dinilai melampui daya dukung suatu wilayah. (Haris, 2015). Dalam teori migrasi klasik, perpindahan dalam urbanisasi disebabkan oleh dua factor utama yaitu factor pendorong (push factor) dari daerah asal dan factor penarik (pull factor) dari daerah tujuan. Perpindahan itu dikarenakan nilai kefaedahan dari dua wilayah yang berbeda tadi. 3.3 Jenis Urbanisasi Grunfeld dalam Daldjoeni (2003), mengemukakan ada dua jenis urbanisasi atau pengkotaan yaitu pengkotaan fisik dan pengkotaan mental. Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas areal, jumlah dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-gedung (arah horisontal atau vertikal), variasi tata guna lahannya yang non agraris. Sedangkan pengkotaan mental berarti perkembangan orientasi nilai-nilai dan kebisaan hidup meniru apa yang terdapat di kota-kota besar. (Malau, 2013). 3.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi urbanisasi Terdapat factor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi yang meliputi factor pendorong dan factor penarik. Faktor penarik merupakan kondisi yang menyebabkan seseorang tertarik untuk pindah ke Kawasan perkotaan karena terdapat daya Tarik yang ditawarkan. Sedangkan factor pendorong merupakan factor yang menyebabkan seseorang pindah ke kawasan perkotaan karena kondisi pedesaan yang sudah tidak mendukung. Faktor penarik dan pendorong tersebut seringkali mempengaruhi pikiran masyarakat dengan kuat, sehingga masyarakat merasa yakin dengan keputusannya untuk melakukan urbanisasi tanpa memikirkan faktor-faktor lain yang mereka butuhkan di daerah tujuan urban. Hal inilah yang menjadi masalah di daerah perkotaan sehingga urbanisasi dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan arah yang tidak sesuai dengan tujuan pembangunan nasional yang mengharapkan urbanisasi dapat membantu perekonomian masyarakat. Pengaruh dalam bentuk sesuatu yang bersifat mendorong atau memaksa maupun yamng bersifat menarik perhatian atau penarik. Faktor pendorong antara lain : a) Lahan pertanian yang semakin sempit b) Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya. c) Menanggur karena tidak banyak tersedia lapangan pekerjaan di desa d) Terbatasnya sarana dan prasarana di desa dan, e) Memiliki impian kuat menjadi orang kaya Faktor penarik antara lain : a) b) c) d)



Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap. Banyaknya lapangan pekerjaan di kota. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng



e) Pengaruh buruk sinetron Indonesia, dan f) Tersedia pendidikan sekolah dan perguruan tinggi yang lebih banyak dan berkualitas. Selain itu menurut Hauser dalam (Suntajaya, 2016) factor lain yang ikut mempengaruhi migrasi dari desa ke kota antara lain : a) Perubahan teknologi yang lebih cepat di bidang pertanian dibandingkan dibidang non pertanian, ikut mempercepat arus penduduk dari pedesaan. b) Kegiatan produksi untuk ekspor terpusat di Kawasan kota c) Pertambahan alami yang tinggi di perkotaan. d) Susunan kelembagaan yang membatasi daya serap pedesaan seperti kepemilikan tanah kebijakan harga dan pajak yang bersifat menganakemaskan penduduk perkotaan. e) Layanan pemerintah yang lebih berat pada perkotaan. f) Kelembagaan yang menahan penduduk untuk tetap tinggal di perdesaan dan g) Kebijakan perpindahan penduduk oleh pemerintah dengan tujuan mengurangi arus penduduk dari pedesaan ke perkotaan. 3.5 Dampak Urbanisasi Dampak dari urbanisasi dibedakan menjadi dua yaitu dampak positif dan dampak negative : ➢ Dampak Positif Urbanisasi Dampak urbanisasi yang menimbulkan positif menurut Bintarto dalam (สุร ัตน์ จงดา, 2012) diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Timbul bermacam-macam usaha antara lain transportasi, perdagangan, bermacam usaha di bidang jasa dan lain-lain. 2) Berkembangnya usaha di bidang wiraswasta, seperi peternakan ayam, burung puyuh, kerajinantangan, pariwisata, dan lain-lain. 3) Berkembangnya bidang pendidikan mulai sekolah dasar sampai akademik atau perguruan tinggi. 4) Meluasnya kota ke arah pinggiran kota sehingga transportasi menjadi lebih lancar. 5) Meningkatnya harga tanah baik di kota maupun di pinggiran kota. 6) Berkembangnya industrialisasi sebab tenaga kerja murah, pasaran meluas sehingga industry cenderung lebih berkembang. ➢ Dampak negative urbanisasi Sementara itu menurut (Harahap, 2013) dampak negative yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Semakin minimnya lahan kosong di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat yang sulit diikuti dengan kemampuan daya dukung kotanya. Saat ini lahan kosong sudah jarang ditemui di daerah perkotaan. Bahkan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) pun sudah tidak ada lagi. Banyak para urban yang memanfaatkan



b)



c)



d)



e)



f)



lahan kosong secara illegal untuk tempat tinggal (pemukiman liar), perdagangan, dan perindustrian. Menambah polusi di daerah perkotaan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota terus menerus dapat menimbulkan berbagau polusi atau pencemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia. Penyebab bencana alam. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar. Hal ini justru membuat lingkungan yang seharusnya dapat menyerap air justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Penyebab yang bersifat sosial dan ekonomi. Mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Bahkan sebagian dari mereka terpaksa memilih untuk menganggur. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan. Bahkan apabila terpaksa mereka dapat melakukan tindakan kriminalitas seperti merampok, dan lain-lain. Penyebab kemacetan lalu lintas. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Selain itu tidak sedikit para urban memiliki kendaraan sehingga menambah volum kendaraan di setiap ruas jalan di kota. Merusak tata kota. Pada negara berkembang, kota-kotanya tdiak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri.



4. Pembangunan Urbanisasi Di awal abad 21 ini Indonesia masih direpotkan dengan masalah penduduk yang sangat serius. Jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah (di atas 1,40 % per tahun) menjadi beban serius setiap rejim politik pembangunan. Kualitas penduduk yang relatif sangat rendah juga merupakan tantangan berat bagi setiap rejim politik dalam menjalankan amanat Undang-undang 1945. Apapun konsep pembangunan yang dianut, kualitas kehidupan masyarakat atau penduduk harus tetap menjadi fokus pencapaian pembangunan nasional. Dengan tingkat kemiskinan di atas 27,1 persen (UNHDR, 2006), banyaknya pengangguran terselubung (disguise unemployment, diperkirakan mencapai 40-50 %), tidak terkendalinya perkembangan sektor informal di perkotaan, undergroud ekonomi, berbagai indikasi kriminal di perkotaan dan tidak layaknya tempat-tempat pemukiman menunjukkan bahwa rejim pembangunan di Indonesia masih tergolong belum mampu



mengatasi masalah kependudukan. Hal ini menunjukkan juga bahwa selama ini perancangan dan penyelenggaraan pembangunan nasional berbasis kependudukan belum dapat dikatakan berhasil. Di samping Indonesia telah menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, dengan jumlah penduduk mencapai 245 juta jiwa (2006), penyebaran penduduk di Indonesia relatif sangat timpang. Kepadatan penduduk antara Jawa (salah satu pulau terpadat di dunia) dan luar Jawa sangat timpang, dan demikian juga antara kota dan desa. Sebagai gambaran, kepadatan penduduk di Jawa mencapai lebih dari 951 jiwa per km2 (2000); lebih dari sepuluh kali lipat dibanding Sumatera (90 jiwa/km2), Sulawesi (77 jiwa/km2), juga Maluku dan Papua. Tertinggalnya masyarakat Indonesia dengan negara-negara lain, seperti dengan Malaysia dan Thailand, menunjukkan bahwa arah urbanisasi secara umum telah melenceng dari tujuan pembangunan. Krisis ekonomi (dan mengarah ke multi dimensi) yang berkepanjangan, besar dan tidak berkurangnya penduduk miskin, rusaknya lingkungan di banyak tempat, dan tingginya index korupsi di Indonesia merupakan gambaran tentang tidak tepatnya pendekatan pembangunan yang telah dilakukan selama lebih dari tiga decade terakhir. Arah urbanisasi yang melenceng dari cita-cita negara, yang seharusnya untuk mensejahterakan kehidupan rakyat banyak ditopang dengan sarana yang merata dan peningkatan modal alam (dan lingkungan hidup) yang lebih baik, adalah sebagai konsekuensi dari pendekatan pembangunan yang tidak tepat. Pendekatan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi (mengabaikan pemerataan) dan budaya material (mengabaikan penguatan sumberdaya manusia, modal sosial, politik, pemerintahan yang bersih dan budaya) merupakan faktor utama tidak terarahnya proses urbanisasi yang terjadi pada sebagian besar wilayah di Indonesia. Pendewaan terhadap mekanisme trickle down effect, yang dibanggakan kalangan perancang pembangunan di EKUIN, dapat dipandang sebagai keangkuhan hegemoni akademik dari kalangan penganut ekonomi neo-klasik dari Barat Arah urbanisasi yang menyimpang dari tujuan pembangunan dapat ditarik dari terjadinya kesenjangan antara kemajuan di pedesaan dan perkotaan. Dengan latar belakang kesenjangan yang relatif tajam, proses urbanisasi banyak mengarah pada penyimpangan dari tujuan pembangunan. Gejala unintended aspects (latent function) yang muncul dan urbanisasi relatif menonjol dibanding intended aspects (manifest function). Menurut Merton (1962), kegiatan pembangunan telah mengalami disfungsi yang serius dalam mentransformasikan masyarakat ke arah yang lebih sejahtera. Dari gambaran ini dapat dikembangkan pemikiran bahwa seharusnya proses urbanisasi dapat dijadikan sebagai salah satu bagian dari strategi pembangunan berbasis kependudukan di Indonesia. Dalam kenyataan urbanisasi tidak dapat lagi dipisahkan dari berprosesnya kegiatan pembangunan, baik yang berlangsung di perkotaan maupun pedesaan. Secara umum, peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Namun, proporsi serta pertumbuhannya berbeda-beda antarprovinsi. Di antara seluruh provinsi di Indonesia, DKI Jakarta merupakan wilayah dengan persentase penduduk kota terbesar. Pada tahun 1990, umpamanya, sebanyak 99,6 persen penduduk DKI Jakarta tinggal di wilayah yang tergolong sebagai perkotaan, sementara di provinsi-provinsi yang lain proporsinya kurang dari 50 persen. Selanjutnya,



pada tahun 2000 dan 2010, semua penduduk DKI Jakarta tinggal di perkotaan (BPS, Bappenas, dan UNFPA 2005). Kenyataan ini tidak mengherankan mengingat semua wilayah DKI Jakarta termasuk dalam klasifikasi kota. Proporsi penduduk kota di provinsi-provinsi lain terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh, pada tahun 1995, persentase penduduk kota di dua provinsi, yaitu DIY dan Kalimantan Timur sudah mencapai 50 persen. Peningkatan persentase penduduk kota yang pesat di kedua provinsi ini dapat dipahami dengan alasan-alasan berikut: kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar (karena mempunyai banyak lembaga pendidikan dan dengan biaya hidup yang relatif murah) menjadi daya tarik bagi pelajar dan mahasiswa dari berbagai provinsi, sehingga persentase penduduk kota meningkat dengan cepat akibat banyaknya pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan di kota tersebut. Selanjutnya, peningkatan pembangunan di wilayah provinsi Kalimantan Timur juga menjadi daya tarik bagi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia untuk memanfaatkan peluang ekonomi akibat proses pembangunan yang berlangsung. Pada tahun 2005, terdapat enam provinsi yang mempunyai tingkat urbanisasi lebih dari 50 persen, yaitu DKI Jakarta, DIY, Kalimantan Timur, Banten, Jawa Barat, dan Bali dengan urutan tertinggi sampai terendah secara berturut-turut. Sebaliknya, NTT merupakan provinsi dengan persentase penduduk kota terendah di antara seluruh provinsi di Indonesia, meskipun juga mengalami peningkatan persentase kelompok penduduk tersebut dalam kurun waktu 1990 – 2005. Pertumbuhan penduduk kota di masing-masing provinsi sangat bervariasi. Secara nasional, angka pertumbuhan penduduk perkotaan selama periode 1980 – 1990 sebesar 5,37 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perdesaan (0,83 persen per tahun) dan penduduk Indonesia secara keseluruhan (1,99 persen per tahun). Dalam periode 10 tahun berikutnya (1990 – 2000) angka pertumbuhan penduduk perkotaan menurun menjadi 4,41 persen per tahun, namun masih lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk perdesaan dan Indonesia secara umum, yaitu (-) 0,66 persen dan 1,16 persen per tahun secara berturut-turut (dihitung dari hasil Sensus Penduduk tahun 1980, 1990, dan 2000). Selama 2000 – 2005 angka pertumbuhan penduduk kota adalah 1,51 persen per tahun, penduduk perdesaan 0,93 persen, dan penduduk Indonesia sebesar 1,17 persen per tahun (dihitung dari hasil Sensus Penduduk 2000 dan SUPAS 2005). Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa perpinadahan penduduk (dari desa ke kota) merupakan faktor dominan yang menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, khususnya kota menengah dan sedang, di Indonesia. Hal ini berdasar pada asumsi bahwa jika laju pertumbuhan penduduk suatu kota di atas 2,5 persen per tahun, maka faktor perpindahan (net migrasi positif) lebih berpengaruh daripada pertumbuhan penduduk alami (Mamas 2000). Beberapa kota mengalami pertumbuhan penduduk yang lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan, namun sebagian lainnya masih memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. Selama tahun 2000 – 2005 dua kota besar (berpenduduk di atas 1.000.000 jiwa) di Provinsi Jawa Barat (Depok dan Bekasi) mempunyai pertumbuhan penduduk di atas 3,5 persen per tahun (Romdiati 2008). Tingginya pertumbuhan penduduk di kota Depok dan Bekasi kemungkinan besar akibat migrasi masuk, terutama ke berbagai permukiman yang



berkembang pesat di kedua daerah tersebut. Di kota Depok, khususnya, keberadaan Universitas Indonesia kemungkinan juga berperan dalam menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk kota tersebut. Banyak mahasiswa yang berasal dari luar kota yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tersebut tinggal di permukiman sekitar kampus. Tiga kota menengah/sedang, yaitu kota yang berpenduduk antara 500.000 – 1.000.000 jiwa, yang pertumbuhan penduduknya di atas 3,5 persen per tahun adalah Bogor, Pekanbaru, dan Batam. Pertumbuhan penduduk Kota Batam bahkan di atas 7 persen per tahun. Banyaknya industri di kota yang perbatasan dengan negara Singapura ini menjadi daya tarik bagi pencari kerja dari berbagai wilayah di Indonesia, baik yang berasal dari wilayah perdesaan maupun yang dari perkotaan, untuk bermigrasi ke kota Batam. Peningkatan proporsi penduduk perkotaan bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia. Di berbagai negara, termasuk negara berkembang juga terjadi peningkatan proporsi penduduk kota, walaupun masih lebih rendah daripada negara-negara maju. Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan penduduk perkotaan di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Laos dan Papua Nugini merupakan dua negara yang mengalami pertumbuhan penduduk kota terbesar. Apabila tidak disertai dengan penyediaan semua sarana dan prasarana perkotaan, maka kedua negara tersebut kemungkinan besar akan menghadapi berbagai persoalan yang berkaitan dengan perkotaan yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara yang lain. Masyarakat Indonesia diidentifikasi melalui tingkat pertumbuhannya. Jika laju pertumbuhan penduduk kota kurang dari 2,5 persen per tahun, maka peningkatan jumlah penduduk kota disebabkan oleh pertumbuhan alami (selisih kelahiran dan kematian). Namun, jika laju pertumbuhannya di atas 2,5 persen, maka faktor urbanisasi masuk lebih berperan dalam peningkatan jumlah penduduk kota.



1.) Strategi Kebijakan Untuk Mengurangi Arus Urbanisasi Berdasarkan analisis aspek demografis secara umum masalah urbanisasi belum sampai pada kondisi kritis atau menghawatirkan, akan tetapi bila dilihat dari segi kecepatan maka semestinya pemerintah memperhatikan atau melakukan tindakan antisipasi sejak awal, oleh karena itu perhatian pemerintah harus diarahkan pada bagaimana mengontrol atau mengendalikan arus urbanisasi sedemikian rupa sehingga selalu berjalan serasi dengan kemajuan di berbagai bidang pembangunan yang ada. Proses urbanisasi di Indonesia sangat berkaitan dengan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah pada masa lampau, baik menyangkut pembangunan spasial maupun sektoral. Sebagai akibat dari kebijakan spasial maka perpindahan desa-kota sangat mempercepat tempo urbanisasi di beberapa daerah perkotaan. Selain itu kebijaksanaan yang bersifat sektoral sangat diperlukan karena secara tidak langsung juga mempengaruhi urbanisasi, kebijakan sektoral ini antara lain bidang pendidikan, kependudukan, kebijakan harga, industri dan kebijakan transportasi serta komunikasi, kebijakan upah dan lain-lain.



Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi untuk menanggulangi masalah pengangguran di desa-desa maupun di perkotaan, jadi dalam hal ini perlu ada titik berat pembangunan ke sektor perdesaan. Komposisi atau paduan output sangat mempengaruhi jangkauan kesempatan kerja karena beberapa produk. Membutuhkan lebih banyak tenaga kerja bagi tiap unit output dan tiap unit modal dari pada produk atau barang lainnya. Untuk meningkatkan kesempatan kerja dan memperbaiki penggunaan sumber daya modal langka yang tersedia maka upaya untuk menghilangkan distorsi harga faktor produksi, terutama melalui penghapusan berbagai subsidi modal dan menghentikan pembakuan tingkat upah diatas harga pasar. Salah satu faktor utama yang menghambat keberhasilan setiap program penciptaan kesempatan kerja dalam jangka panjang baik pada sektor industri di perkotaan maupun pada sektor pertanian diperdesaan adalah terlalu besarnya kekaguman dan kepercayaan pemerintah dari negara-negara dunia ketiga terhadap mesin-mesin dan aneka peralatan yang canggih (biasanya hemat tenaga kerja) yang diimpor dari negara-negara maju. Munculnya fenomena “pengangguran berpendidikan” dibanyak negara berkembang mengundang berbagai pertanyaan tentang kelayakan pengembangan pendidikan khususnya pendidikan tinggi secara besar-besaran yang terkadang kelewat berlebihan. Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolut dan perbaikan distribusi pendapatan yang disertai dengan penggalakan program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di daerah perdesaan.Selain itu dikena pula pembangunan agropolitan yang dapat mendorong kegiatan sektor pertanian dan sektor komplemennya di wilayah perdesaan. Untuk itu diharapkan adanya kebijaksanaan desentralisasi, sehingga terjadi keseimbangan ekonomi secara spasial antar wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.



2.) Strategi Mengendalikan Tingkat Urbanisasi Peran pemerintah pusat sangat tinggi dalam menciptakan lapangan kerja yang lebih terencana dan permanen di desa, terutama desa tertinggal, lewat menteri yang terkait. Peranan bupati, kepala daerah, pemda, dan kepala desa sangat dibutuhkan dalam memberi prioritas pembangunan pedesaan terutama dalam pengurangan kemiskinan dan peluang penciptaan tenaga kerja. Perlu adanya intensif pelatihan bagi pemuda yang mau membantu atau berperan dalam pembangunan pedesaan. Penggalangan dana baik dari pajak, zakat dan shodakoh untuk membangkitkan peluang usaha baru. Komunikasi kota desa sehingga untuk setiap pemuda yang meninggalkan desa harus berkontribusi dalam pembangunan desa. Menghindari profokasi yang berlebihan terhadap janji manis mengenai kehidupan di kota. Melakukan penyuluhan mengenai pentingnya mengembangkan kualitas daerah sendiri dan memiliki pekerjaan layak daripada sekedar menjadi pengangguran atau pekerja kasar di kota besar karena persaingan yang sangat keras



III.



Penutup/Kesimpulan



Dalam pengertian yang demikian tersebut tidak ada pembatasan baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, serta tidak dibedakan antara migrasi dalam negeri dengan migrasi luar negeri. Tinjauan migrasi sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata. Dalam pandangannya, migrasi sangat ditentukan oleh faktor ekonomi yang seringkali melatarbelakangi seseorang untuk melakukan perpindahan (Rutman, 1970). Jenis Migrasi menurut wilayahnya dibedakan menjadi 2 jenis yaitu Migrasi Nasional dan Migrasi Internasional. Migrasi internasional merupakan perpindahan yang di lakukan masyarakat dari menjadi penduduk suatu negara ke negara lainya. Pengertian emigrasi merupakan keluarnya penduduk yang ada dalam suatu negara ke suatu negara ke negara lain lagi guna menetap dengan niatan secara nyata mengambil pada negara yang baru. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Beberapa studi migrasi menyimpulkan bahwa migrasi terjadi disebabkan oleh alasan ekonomi, yaitu untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi sehinga akan meningkatkan kualitas hidup. Selain itu masih banyak pula hal- hal yang dapat terjadi karena kepadatan penduduk yang berlebihan. Karena kelebihan penduduk inilah beberapa orang memutuskan untuk pindah ke daerah yang tidak terlalu padat. Melanjutkan pendidikan tujuan lainnya adalah di bidang pendidikan. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan bagus dan jenjang yang lebih tinggi membuat seseorang melakukan migrasi. Dan orang itu tinggal di lingkungan pegunungan yang udara paginya sangat dingin. Atau contoh yang lainnya. Model Todaro merumuskan bahwa migrasi berkembang karena perbedaanperbedaan Antara pendapatan yang diharapkan dan yang terjadi dipedesaan dan di perkotaan. Manfaat-manfaat yang diharapkan ditentukan oleh perbedaan-perbedaan nyata antara kerja di desa dan di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Model migrasi Todaro memiliki 4 karakteristik utama. Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dari suatu daerah tertentu ke daerah lainnya dalam batas waktu tertentu. Orang yang pindah tersebut dinamakan dengan migran. Semua faktor non ekonomis tersebut tentu saja relevan untuk dijadikan bahan penelitian. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang mendorong terjadinya migrasi tersebut bukan hanya berupa faktor pendorong (push factor) tetapi juga faktor-faktor penarik (pull factor). Para migran di perkotaan negara-negara berkembang pada umumnya berusia antara 15 sampai 24 tahun. Proporsi wanita yang melakukan migrasi tampaknya cenderung meningkat karena semakin membaiknya tingkat pendidikan mereka. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung lebih banyak melakukan migrasi daripada yang pendidikannya lebih rendah. Mereka yang hanya tamatan sekolah dasar sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Selama beberapa tahun terakhir ini persentase migran yang terbanyak adalah kaum miskin, tidak memiliki tanah, dan tidak mempunyai keterampilan. Para migran ini datang dari semua tingkat sosio-ekonomi yang sebagian besar adalah sangat miskin. Anggapan yang mendasar dalam model ini adalah bahwa para migran tersebut memperhatikan berbagai kesempatan-kesempatan kerja yang tersedia bagi mereka dan



memilih salah satu yang bisa memaksimumkan manfaat yang mereka harapkan dari bermigrasi tersebut. Manfaat-manfaat yang diharapkan ditentukan oleh perbedaanperbedaan nyata antara pendapatan di desa dan di kota serta kemungkinan migrasi tersebut untuk mendapatkan pekerjaan di kota. Pada hakekatnya, model ini menganggap bahwa angkatan kerja, baik aktual maupun potensial, memperbandingkan pendapatan yang mereka harapkan di perkotaan pada suatu waktu tertentu dengan memperhitungkan pendapatan rata-rata yang dapat diperoleh di pedesaan. Akhirnya mereka akan memutuskan melakukan migrasi jika pendapatan yang diharapkan di kota lebih besar daripada pendapatan rata-rata di pedesaan. b. Keputusan untuk bermigrasi tergantung pada perbedaan upah riil yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan. d. Migrasi desa-kota yang terus berlangsung melebihi tingkat pertumbuhan kesempatan kerja di perkotaan sangat mungkin terjadi. Salah satu indikator yang membuktikan hal itu adalah angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi. Artinya, perpindahan penduduk terjadi akibat tingginya upah yang dapat diperoleh di daerah tujuan. Di samping itu, ketersediaan sarana dan prasarana sosial, seperti pendidikan, di kota ini juga menjadikan penduduk usia sekolah untuk datang dan bertempat tinggal di perkotaan. Mobilitas para migran (baik permanen maupun non-permanen) yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali di kota-kota besar berindikasi memunculkan dampak positif maupun negatif. Berdasarkan fenomena tersebut, banyak pemerintahan di perkotaan yang menjalankan kebijakan untuk “menjaga” kotanya dari serbuan pendatang. Salah satu bukti yang dapat ditinjau adalah tidak efektifnya pelaksanaan kebijakan kota tertutup oleh pemerintah Kota Jakarta pada tahun 1970-an, semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin. Salah satunya adalah melalui pembangunan daerah perdesaan, termasuk mengembangkan sektor-sektor ekonomi perdesaan yang dapat berperan untuk mencegah aliran mobilitas penduduk desa ke perkotaan. Setiap orang mempunyai penafsiran yang berbeda-beda mengenai pengertian urbanisasi, menurut Ir. Secara tidak langsung urbanisasi dinilai sebagai perubahan sosial ekonomi dunia yang paling fenomenal. Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa urbanisasi ialah suatu perpindahan atau proses perubahan dari desa menuju kota yang meliputi wilayah atau daerah beserta masyarakat di dalamnya yang dipengaruhi oleh aspek-aspek baik fisik atau morfologi sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Dari sisi ekonomi urbanisasi dianggap sebagai suatu proses dalam perubahan struktur pada bidang ekonomi yang dapat diamati pada munculnya perubahan dalam pekerjaan masyarakat desa yaitu dari sector pertanian yang selanjutnya beralih bekerja menjadi buruh atau bekerja dalam bidang yang non agraris di kota. Perpindahan itu dikarenakan nilai kefaedahan dari dua wilayah yang berbeda tadi. Pengkotaan fisik berarti perkembangan kota dalam arti luas areal, jumlah dan kepadatan penduduknya, pembangunan gedung-gedung (arah horisontal atau vertikal), variasi tata guna lahannya yang non agraris. Sedangkan pengkotaan mental berarti perkembangan orientasi nilai-nilai dan kebisaan hidup meniru apa yang terdapat di kota-kota besar. Terdapat factor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi yang meliputi factor pendorong dan factor penarik. faktor-faktor lain yang mereka butuhkan di daerah tujuan urban. 1) Struktur ekonomi menjadi lebih bervariasi. Pertambahan penduduk kota yang begitu pesat yang sulit diikuti



dengan kemampuan daya dukung kotanya. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendirikan bangunan liar. Hal ini justru membuat lingkungan yang seharusnya dapat menyerap air justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Pada negara berkembang, kota-kotanya tdiak siap dalam menyediakan perumahan yang layak bagi seluruh populasinya. Apalagi para migran tersebut kebanyakan adalah kaum miskin yang tidak mampu untuk membangun atau membeli perumahan yang layak bagi mereka sendiri. Di awal abad 21 ini Indonesia masih direpotkan dengan masalah penduduk yang sangat serius. Dengan latar belakang kesenjangan yang relatif tajam, proses urbanisasi banyak mengarah pada penyimpangan dari tujuan pembangunan. Dalam kenyataan urbanisasi tidak dapat lagi dipisahkan dari berprosesnya kegiatan pembangunan, baik yang berlangsung di perkotaan maupun pedesaan. Secara umum, peningkatan proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Peningkatan persentase penduduk kota yang pesat di kedua provinsi ini dapat dipahami dengan alasan-alasan berikut: kota Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pelajar (karena mempunyai banyak lembaga pendidikan dan dengan biaya hidup yang relatif murah) menjadi daya tarik bagi pelajar dan mahasiswa dari berbagai provinsi, sehingga persentase penduduk kota meningkat dengan cepat akibat banyaknya pelajar dan mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan di kota tersebut. Selanjutnya, peningkatan pembangunan di wilayah provinsi Kalimantan Timur juga menjadi daya tarik bagi penduduk dari berbagai wilayah di Indonesia untuk memanfaatkan peluang ekonomi akibat proses pembangunan yang berlangsung. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa perpinadahan penduduk (dari desa ke kota) merupakan faktor dominan yang menyebabkan tingginya pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, khususnya kota menengah dan sedang, di Indonesia. Beberapa kota mengalami pertumbuhan penduduk yang lebih rendah daripada pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan, namun sebagian lainnya masih memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. Banyak mahasiswa yang berasal dari luar kota yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tersebut tinggal di permukiman sekitar kampus. Peningkatan proporsi penduduk perkotaan bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan penduduk perkotaan di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Laos dan Papua Nugini merupakan dua negara yang mengalami pertumbuhan penduduk kota terbesar. Proses urbanisasi di Indonesia sangat berkaitan dengan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah pada masa lampau, baik menyangkut pembangunan spasial maupun sektoral. Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi untuk menanggulangi masalah pengangguran di desa-desa maupun di perkotaan, jadi dalam hal ini perlu ada titik berat pembangunan ke sektor perdesaan.



Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolut dan perbaikan distribusi pendapatan yang disertai dengan penggalakan program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di daerah perdesaan.Selain itu dikena pula pembangunan agropolitan yang dapat mendorong kegiatan sektor pertanian dan sektor komplemennya di wilayah perdesaan. Untuk itu diharapkan adanya kebijaksanaan desentralisasi, sehingga terjadi keseimbangan ekonomi secara spasial antar wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Perlu adanya intensif pelatihan bagi pemuda yang mau membantu atau berperan dalam pembangunan pedesaan. Komunikasi kota desa sehingga untuk setiap pemuda yang meninggalkan desa harus berkontribusi dalam pembangunan desa.



Daftar Pustaka



-, A. (2017). Migrasi Internasional Pada Wanita di Kabupaten Tulungagung: Sebuah Konstruksi Sosial. JURNAL SOSIAL POLITIK. https://doi.org/10.22219/.v2i2.4399 Agung, P., Hartono, D., & Awirya, A. A. (2017). Pengaruh Urbanisasi Terhadap Konsumsi Energi Dan Emisi CO2: Analisis Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. https://doi.org/10.24843/jekt.2017.v10.i01.p02 Agung Stiyawan, Adi Dwi Susanto, Bhian Rangga JR, M.Khanif Mahmudin, Ricky Fitriyana, Y. S. D. (2010). Teori dan Konsep Migrasi. Program Pendidikan Geografi, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Ainy, H., Nurrochmah, S., & Katmawanti, S. (2019). HUBUNGAN ANTARA FERTILITAS, MORTALITAS, DAN MIGRASI DENGAN LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK. Preventia :



The



Indonesian



Journal



of



Public



Health.



https://doi.org/10.17977/um044v4i1p15-22 Budiharsono, S. (2015). Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah untuk Meningkatkan Daya Saing Daerah. Www.Academia.Edu. Chang, R., Kaltani, L., & Loayza, N. V. (2009). Openness can be good for growth: The role of policy



complementarities.



Journal



of



Development



Economics.



https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2008.06.011 Damardono, H. (2016). Urbanisasi. Harian Kompas. Daniah, R., & Apriani, F. (2018). Kebijakan Nasional Anti-Trafficking dalam Migrasi Internasional. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan



Internasional. https://doi.org/10.22212/jp.v8i2.1140 Darmawan, B., & Chotib. (2007). Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi di Indonesia Berdasarkan “Indeks Ketertarikan Ekonomi.” Parallel Session IIIC: Poverty, Population & Health. Husnah, A. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI SEUMUR HIDUP DI INDONESIA. Jurnal Kajian Ekonomi Dan Pembangunan. Kemennakertrans. (2010). Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi. Kotijah, S. (2008). Analisis Faktor Pendorong Migrasi Warga Klaten ke Jakarta. Universitas Diponegoro Semarang. Kristina, A. (2010). Partisipasi Perempuan Dalam Perbaikan Perekonomian Keluarga dan Masyarakat. Jurnal Pamator. Lubis, M. R., Wirawan, B., & Tambunan, A. (2019). Studi Hubungan Ruralisasi Dengan Penduduk Lokal: Pola Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Daerah Pinggiran Jakarta. ILMU USHULUDDIN. https://doi.org/10.15408/iu.v6i1.13891 Millock, K. (2015). Migration and environment. In Annual Review of Resource Economics. https://doi.org/10.1146/annurev-resource-100814-125031 Nor Ermawati Hussain, Norehan Abdullah, & Hussin Abdullah. (2015). Hubungan Migrasi Dalaman dengan Faktor-Faktor Penarik : Kajian Kes di Malaysia. Jurnal Ekonomi Malaysia. Puspitasari, W. I. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI TENAGA KERJA KE LUAR NEGERI BERDASARKAN PROVINSI DI INDONESIA. Jurnal Ilmu Ekonomi Terapan. https://doi.org/10.20473/jiet.v2i1.5505 Sinuraya, J. F., & Saptana. (2007). Migrasi tenaga kerja pedesaan dan pola pemanfaatannya. SOCA Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian. Siregar, R. (2017). Sumber Daya Manusia Dalam Pembangunan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Meda. Tjiptoherijanto, P. (2016). URBANISASI DAN PENGEMBANGAN KOTA DI INDONESIA. Populasi. https://doi.org/10.22146/jp.12484



Todaro, M. P. (1969). A Model of Labor Migration and Urban Unemployment in Less Developed Countries. The American Economic Review. Trendyari, A., & Yasa, I. (2014). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MIGRASI MASUK KE KOTA DENPASAR. E-Jurnal Ekonomi Pembangunan Universitas Udayana. wulan Puspitasari, A. ( U. D. S. (2010). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT MIGRASI SIRKULER KE KABUPATEN SEMARANG. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT MIGRASI SIRKULER KE KABUPATEN SEMARANG. Υπο, Σ., & Οικονομιεσ, Μ. (1980). No Title 22–1. ‫ גלית גם‬- ‫דוקטורט‬. Harahap, F. R. (2013). Dampak Urbanisasi Bagi Perkembangan Kota Di Indonesia. Society, 1(1), 35–45. https://doi.org/10.33019/society.v1i1.40 Haris, A. (2015). Studi Media Dan Perpustakaan Tentang Urbanisasi. Jupiter, XIV(1), 60–65. Katherina, L. K. (2014). Tren Urbanisasi Pada Secondary Cities Di Indonesia Periode Tahun 1990-2010. Jurnal Kependudukan Indonesia, 9(2), 73–82. Malau, W. (2013). Dampak Urbanisasi Terhadap Pemukiman Kumuh (Slumarea) Di Daerah Perkotaan. Jupiis, 5(2), 39–47. Suntajaya, I. (2016). Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Terjadinya Urbanisasi Di Provinsi Bali. Piramida, 10(2), 61–70. Tjiptoherijanto, P. (2016). Urbanisasi Dan Pengembangan Kota Di Indonesia. Populasi, 10(2), 57–72. https://doi.org/10.22146/jp.12484 สุร ัตน์ จงดา. (2012). Urbanisasi Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan. Humaniora, 13(3), 275–283. https://doi.org/10.22146/jh.v13i3.734 Thurrow. L. 1996. The Future of Capitalism: How Today’s Economic Forces Will Shape Tomorrow’s World. Nicholas Brealey Publishing. London. Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi hijau dan perubahan sosial di pedesaan Jawa. PRISMA, X(2):3-14. UNHDR (United Nations Human Development Report). 2006. http://akademik.uhn.ac.id/portal/public_html/FISIPOL/Ridhon_Simangunsong/Pengantar%2 0Ekonomi%20Pembangunan%20opt.pdf https://media.neliti.com/media/publications/553-ID-kebijakan-terkait-migrasi-dan-polamigrasi.pdf