Makalah Endokrin+Askep Juvenile Diabetes - Kel 5 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PATAFISIOLOGY KELAINAN PADA SISTEM ENDOKRIN DAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK:JUVENILE DIABETES



DosenPengampu : DisusunOleh : 1. Adini larasati 1903011 2. Eka fitriarahmasari 19030 3. Indah puspitasari 19030 4. Nikmatunazilah 1903041 5. Novi setioryni 1903042



PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARYA HUSADA SEMARANG 2021 DAFTAR ISI Kata Pengantar...............................................................................................



ii



Daftar isi..........................................................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN...............................................................................



1



1.1 Latar Belakang....................................................................................



1



1.2 Rumusan Masalah...............................................................................



2



1.3 Tujuan..................................................................................................



2



BAB II PEMBAHASAN ................................................................................



3



2.1 Definisi Sistem Endokrin.....................................................................



3



2.2 Patofisiologi Gangguan Sistem Endikrin............................................



4



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN..........................................................



11



3.1 Pengkajian...........................................................................................



11



3.2 Diagnosa keperawatan.........................................................................



12



3.3 Intervensi keperawatan........................................................................



13



BAB IV PENUTUP.........................................................................................



15



4.1 Kesimpulan..........................................................................................



15



4.2 Saran............................................................................................................



15



DAFTAR PUSTAKA......................................................................................



16



BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sistem endokrin mengatur dan mempertahankan fungsi tubuh dan metabolisme tubuh, jika terjadi ganguan endokrin akan menimbulkanmasalah yang komplek terutama metabolisme fungsi tubuh terganggu salahsatu gangguan endokrin adalah Diabetes Melitus yang disebabkan karenadefisiensi absolute atau relatif yang disebabkan metabolisme karbohidrat,lemak dan protein (Maulana. 2008). Secara umum di dunia terdapat 15 kasus per 100.000 individu pertahun yang menderita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pada anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat bervariasi, terutama tergantung pada lingkungan tempat tinggal. Ada kecenderungan semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung lebih rendah dibanding di negara-negara Eropa. Di Indonesia penderita Diabetes Melitus ada 1,2 % sampai 2,3 % daripenduduk berusia diatas 15 tahun, sehingga Diabetes Melitus (DM) tercantumdalam urutan nomor empat dari prioritas pertama adalah  penyakitkardiovaskuler, kemudian disusul penyakit selebrolaskuler dan katarak. (Depkes RI,2008). Di Jawa Tengah berdasarkan atas pola penyakit penderita puskesmasdan rumah sakit dari berbagai tingkat umur, jumlah kasus Diabets Melitusmenempati nomor dua. Setelah penyakit neoplasma ganas, sedangkanberdasarkan data pola kematian menurt penyakit penyebab kematian pasiendirawat di rumah sakit Jawa Tengah DM menempati urutan ke 16 denganjumlah 430 orang dari jumlah kematian 37.279 orang dengan kematianpenyakit lainnya (Dinkes Jateng,2006). Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan ke 4 dengan jumlah penderita Diabetes terbesar didunia setelah India, Cina, Amerika Serikat. Dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk dan pada tahun2025 diperkirakan meningkat menjadi 12.4 juta penderita. Sedangkan



daridata Departemen Kesehatan , jumlah pasien Diabetes mellitus rawat inapmaupun rawat  jalan di Rumah Sakit menempati urutan pertama dari seluruhpenyakit endokrin. (Maulana. 2008) Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiridalam



 pengaruhnya



terhadap



perubahan



toleransi



tubuh



terhadap



glukosa.Umumnya  pasien diabetes dewasa 90% termasuk diabetes tipe 2. Dari jumlahtersebut dikatakan 50% adalah pasien berumur > 60 tahun.(Dinkes Jateng,2006) Hal ini terjadi karena adanya faktor- faktor yang menghambatdiantaranya adalah sosial ekonomi yang kurang, perumahan dan lingkunganyang kotor,  pengetahuan tentang DM yang masih kurang. Faktor pengetahuankeluarga merupakan penghambat yang sering terjadi, karena denganpengetahuan yang kurang akan mengetahui proses pengobatan penyakit. Akibat dari kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit DM perlu dilaksanakan suatu tindakan yaitu memberikan asuhan keperawatanpada keluarga yang mempunyai masalah Diabetus Mellitus. 1.2 RUMUSAN MASALAH 1.



Apa pengertian sistem endokrin ?



2.



Apa saja kelainan dari sistem endokrin ?



1.3 TUJUAN 1.



Mengetahui pengertian dari sistem endokrin.



2.



Mengetahui apa saja kelainan dari sistem endokrin.



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Sistem Endokrin Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai "pembawa pesan" dan dibawa oleh aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh, yang selanjutnya akan menerjemahkan "pesan" tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjarkelenjar lain dalam saluran gastroinstestin.



Gambar 1.1 Sistem endokrin Kelenjar endokrin merupakan kelenjar yang tidak mempunyai saluran, yang menyalurkan sekresi hormonnya langsung kedalam darah. Hormon tersebut memberikan efek ke organ atau jaringan target. Beberapa hormon seperti insulin dan trioksin mempunyai banyak target. Sedangkan hormon lain hanya memiliki satu atau beberapa target. Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormonhormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau



rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh. Untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas-batas yang tepat. 2.2 Patofisiologi Kelainan Sistem Endokrin Pada Anak Hormon berperan sebagai pembawa pesan untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh. Jika kelenjar endokrin mengalami kelainan fungsi, maka kadar hormon di dalam darah bisa menjadi tinggi atau rendah, sehingga mengganggu fungsi tubuh.Untuk mengendalikan fungsi endokrin, maka pelepasan setiap hormon harus diatur dalam batas- yang tepat. a. Abnormalitas Pada Sekresi Hormone Pertumbuhan 1.Kerdil (Dwarfism) Dwarfism disebabkan oleh hiposekresi growth hormone (GH) selama masa



kanak-kanak



mengakibatkan



pertumbuhan



terhenti.



Hormon



pertumbuhan manusia digunakan secara terapeutik dalam kasus dwarfism hipofisis. Tes diagnosa yang dapat dilakukan untuk menilai pertumbuhan anak dan memastikan apakah mengidap dwarfism mencakup:  Pengukuran Yang biasanya diukur adalah tinggi dan berat badan anak serta lingkar kepalanya. Pengukuran yang dilakukan secara rutin ini akan membantu mengidentifikasi apakah anak Anda tumbuh normal atau mengidap kelainan pertumbuhan. Indikasinya dapat mencakup pertumbuhan tinggi badan yang tertunda atau ukuran kepala yang tidak proporsional atau lebih besar daripada ukuran kepala anak seusianya.  Teknologi pencitraan X-ray atau scan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat dilakukan untuk mencari tahu kelainan pertumbuhan yang mungkin dialami anak. Berbagai teknologi pencitraan ini dapat mengungkapkan pematangan tulang yang tertunda yang disebabkan oleh defisiensi hormon pertumbuhan dan juga dapat mengungkapkan kelainan kelenjar pituitaru dan hipotalamus yang berperan penting dalam mengatur fungsi hormon.



 Tes genetic Tes ini tersedia untuk mendiagnosis banyak penyebab gangguan dwarfisme dan jenis dwarfisme yang diidap ana, misalnya sindrom Turner.Tes laboratorium khusus dapat dilakukan untuk menilai keadaan kromosom X yang diambil dari sel darah merah.Perlu diketahui bahwa tes ini belum tentu memberikan diagnosis yang akurat. Sejumlah gangguan yang berhubungan dengan dwarfisme dapat mengarah ke gangguan pertumbuhan dan komplikasi medis lebih lanjut. Pengobatan dan perawatan yang dilakukan mungkin tidak akan menyembuhkan anak, seperti memiliki tinggi badan normal, tetapi dapat mengurangi masalah yang disebabkan oleh komplikasi. Ada beberapa pengobatan dan perawatan yang tersedia, antara lain:  Bedah Sering kali bedah dilakukan untuk mengoreksi tulang. Beberapa prosedur bedah yang dapat dilakukan mencakup memasukkan staples logam untuk mengoreksi arah bertumbuhnya tulang, memasukkan batang logam untuk mengoreksi bentuk tulang belakang, meluruskan tulang dengan bantuan pelat logam, dan memperbesar ukuran pembukaan pada tulang belakang untuk mengurangi tekanan pada sumsum tulang belakang. Selain itu, bedah juga dapat dilakukan untuk memanjangkan anggota badan walaupun agak lebih berisiko dibandingkan dengan bedah yang bertujuan untuk mengoreksi tulang.  Terapi hormon Kekurangan hormon pertumbuhan dapat diobati dengan memberikan suntikan hormon sintetis.Anak yang mengidap dwarfisme disarankan menerima suntikan harian selama beberapa tahun sampai dia mencapai rata-rata tinggi badan orang dewasa di keluarganya. Pengobatan ini disarankan berlanjut terus sepanjang masa remaja dan dewasa muda untuk memastikan pertumbuhan yang seimbang, termasuk massa otot dan lemak yang sewajarnya. Terapi ini juga dapat mencakup hormon lainnya, misalnya hormon estrogen untuk anak perempuan yang mengidap sindrom



Turner untuk memastikan dia mencapai pubertas dan pertumbuhan seksual yang diperlukan ketika dia dewasa kelak. 2.Gigantisme Gigantisme terjadi karena hipersekresi growth hormone (GH) selama masa



remaja



dan



sebelum



penutupan



lempeng



lempeng



epifisis



mengakibatkan pertumbuhan tulang panjang yang berlebihan (gigantisme hipofisis).Jenis sekresi berlebihan ini biasanya disebabkan oleh tumor hipofisis yang jarang terjadi. 3.Akromegali Akromegali terjadi karena hipersekresigrowth hormone (GH) setelah penutupan lempeng epifisis tidak menyebabkan penambahan panjang tulang panjang, tetapi menyebabkan pembesaran yang tidak proporsional pada jaringan, penambahan ketebalan tulang pipih dan wajah, dan memperbesar ukuran tangan dan kaki. Sasaran pengobatan akromegali /gigantisme adalah mengendalikan pertumbuhan / menormalkan sekresi GH dan  mengangkat massa tumor. Sasaran biokimiawi : IGF-1 normal dan kadar GH < 1 ng/ml setelah beban glukosa (13). Terdapat 3 macam pengobatan akromegali yaitu pengobatan medis, bedah dan radiasi.  Pengobatan medis. Pengobatan medis / farmakologis sangat pesat akhir-akhir ini. Tujuan pengobatan medis adalah menghilangkan keluhan / gejala efek lokal dari tumor dan / atau kelebihan GH / IGF-1. Untuk itu sasaran pengobatan adalah kadar GH < 2 ng/ml pada pemeriksaan setelah pebebanan dengan glukosa ( < 1 mcg / l dengan cara IRMA), disamping tercapainya kadar IGF-1 normal. Pengobatan medisutama adalah dengan analog somatostatin dan analog dopamin. Oleh karena somatostatin, penghambat sekresi GH, mempunyai waktu paruh pendek maka yang digunakan adalah analog kerja panjang yang dapat diberikan 1 kali sebulan.Yang  banyak digunakan adalah octreotide yang bekerja pada reseptor somatostatin sub tipe II dan V dan



menghambat sekresi GH. Pengobatan dengan octreotide dapat menurunkan kadar GH sampai < 5 ng/ml pada 50% pasien dan menormalkan kadar IGF-1 pada 60% pasien akromegali. Lanreotide, suatu analog somatostatin “sustained-release” yang dapat diberikan satu kali dua minggu ternyata efektif dan aman untuk pengobatan akromegali. Bromokriptin merupakan suatu antagonist dopamin yang banyak digunakan dalam menekan kadar GH / IGF-1, akan tetapi kurang efektif dibandingkan dengan oktreotid. Suatu agonist dopamin yang baru, yaitu cabergoline ternyata lebih efektif dan lebih dapat ditolerir dalam menekan GH terutama apabila terdapat kombinasi dengan hiperprolatinemia. Akhirakhir ini pegvisomant, suatu antagonist reseptor GH terbukti dapat menormalkan kadar IGF-1 dan memperbaiki gejala klinis.  Pembedahan Untuk adenoma hipofisis, pembedahan transsphenoid merupakan pilihan dan dapat menyembuhkan.Laws dkk. (2000) melaporkan hasil terapi pembedahan transsphenoid pada 86 pasien akromegali : IGF-1 mencapai normal pada 67%, kadar GH dapat disupresi sampai < 1 ng/ml oleh beban glukosa pada 52%. Walaupun pembedahan tidak dapat menyembuhkan pada sejumlah pasien, namun terapi perbedahan disepakati sebagai terapi lini pertama.Pada pasien-pasien dengan gejala sisa setelah pembedahan dapat diberikan pengobatan penunjang (medis dan radiasi). Hipofisektomi transsfenoid akan segera menghilangkan keluhan-keluhan akibat efek lokal massa tumor sekaligus menekan / menormalkan kadar GH / IGF-1. Remisi tergantung pada besarnya tumor, kadar GH dan keterampilan ahli bedahnya. Angka remisi mencapai 80 – 85% pada mikroadenoma dan 50 – 65% pada makroadenomia. Pembedahan hipofisis transsphenoid berhasil pada 80 – 90% pasien dengan tumor < 2 cm dan kadar GH < 50 ng/ml.  Radiasi. Untuk tercapainya hasil yang diharapkan dengan terapi radiasi diperlukan waktu bertahun-tahun.Terapi radiasi konvensional saja menghasilkan remisi sekitar 40% setelah 2 tahun dan 75% setelah 5 tahun terapi, namun disertai efek negatif berupa pan hipopituitarisme.Di samping itu studi Ariel dkk



(1997) pada 140 pasien akromegali mendapatkan terapi radiasi tidak dapat menormalkan kadar IGF-1 walaupun kadar GH sudah dapat dikontrol.  Oleh karena kekurangannya tersebut, terapi radiasi hanya diberikan sebagai terapi penunjang untuk tumor besar dan invasif dan apabila terdapat kontraindikasi operasi.Apabila mungkin, terapi radiasi harus dihindari untuk pengobatan gigantisme. b. Abnormalitas Pada Sekresi Antidiretik Hormone: 1.Hiposekresi ADH Hiposekri ADH mengakibatkan diabetes insipidus. Penyakit diabetes Insipidus merupakan penyakit yang cukup langka, karena jarang ditemukan. Penyakit diabetes insipidus merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan mual, pusing (simtoma), kondisi dimana tubuh tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak buang air kecil (poliuria) dan rasa haus yang terjadi terus menerus tidak bisa berhenti meskipun sudah menghabiskan beberapa liter air (polidipsia). Pada umunya ada dua jenis diabetes insipidus dengan dua penyebab yang berbeda.  Diabetes Insipidus Sentral Jenis diabetes Insipidus yang paling banyak dijumpai, yang pada dasarnya disebabkan karena terjadi gangguan pada saat hormon antidiurektik melakukan proses produksi yang disebabkan karena daerah sekitar hipotalamus mengalami gangguan. Gangguan yang terjadi pada hipotalamus dapat disebabkan karena pertumbuhan tumor atau luka cidera pada hipotalamus itu sendiri, atau bisa juga disebabkan karena kelenjar hipofisis mengalami kerusakan atau gangguan pada pembuluh darah. Kondisi tersebut yang jika tidak ditangani dengan cepat akan mengakibatkan dan memicu munculnya penyakit diabetes Insipidus sentral.  Diabetes Insipidus Nefrogenesis Sedangkan untuk jenis penyakit diabetes insipidus nefrogenesis, lebih disebabkan karena adanya gangguan pada ginjal.Ginjal yang seharusnya bertugas untuk memberikan reaksi pada hormon vasopresin justru tidak bisa



melaksanakan tugasnya dengan baik. Hormon vasopresin tetap diproduksi dengan normal, akan terapi kondisi ginjal yang tidak prima membuat ginjal tidak mampu untuk merespon dengan baik, maka dari itu cairan urin yang semestinya bisa dikontrol pengeluarannya jadi tidak bisa terkontrol sehingga seseorang yang menderita penyakit diabetes insipidus nefrogenesis akan lebih sering ke kamar kecil untuk buang air kecil. Dibutuhkan serangkaian tes yang cukup rumit dan berat untuk mengetahui apakah menderita penyakit ini atau hanya menderita penyakit kencing biasa. Dan apakah penyebab diabetes inspidius nefrogenesis beserta gejala nya cocok dengan apa yang dikeluhkan. 2.Hipersekresi Hipersekresi kadang terjadi setelah hipotalamus mengalami cedera atau karena tumor. Hal ini mengakibatkan retensi air, dilusi cairan tubuh, dan peningkatan volume darah. c. Abnormalitas Sekresi Hormon Tiroid 1.Hipotiroidisme  Hipotiroidisme adalah penurunan produksi hormon tiroid. Hal ini mengakibatkan penurunan aktivitas metabolik, konstipasi, letargi, reaksi mental lambat, dan peningkatan simpanan lemak. Pada anak-anak, hipotiroidisme mengakibatkan retardasi mental dan fisisk, disebut dengan kretinisme. 2.Hipotiroidisme adalah produksi hormon tiroid yang berlebihan. Hal ini mengakibatkan aktivitas metabolik meningkat, berat badan turun, gelisah, tumor,diare, frekuensi jantung meningkat, dan pada hipertiroidisme berlebihan, gejalanya adalah toksisitas hormone. Lingkungan memang mempengaruhi terjadinya IDDM, namun berbagai ras dalam satu lingkungan belum tentu memiliki perbedaan. Orang-orang kulit putih cenderung memiliki insiden paling tinggi, sedangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah dengan insiden rendah cenderung akan lebih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita



laki-laki lebih banyak pada daerah dengan insiden yang tinggi, sedangkan perempuan akan lebih berisiko pada daerah dengan insiden yang rendah. Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Kadang-kadang IDDM juga dapat terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, meskipun kejadiannya sangat langka. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang tidak jelas penyebabnya, penurunan berat badan, senantiasa haus, muntah, dan dehidrasi. Insulin merupakan komponen vital dalam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (glikogenolisis) dan memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di hepar dan ginjal. Bisa dibayangkan betapa vitalnya peran insulin dalam metabolisme. Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di darah dan terjadinya glukoneogenesis terusmenerus sehingga menyebabkan kadar gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah dikategorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal, sedangkan angka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk menentukan benar-benar IDDM atau kategori yang tidak toleran terhadap glukosa oral.



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ANAK ”DM JUVENILE” 3.1 PENGKAJIAN a. Identitas Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, dan sebagainya yang digunakan untuk membedakan klien satu dengan yang lain. b. Status kesehatan a) Keluhan utama Ds yang mungkin muncul : -



Klien mengeluh sering kesemutan.



-



Klien mengeluh sering buang air kecil saat malam hari



-



Klien mengeluh sering merasa haus



-



Klien mengeluh mengalami rasa lapar yang berlebihan (polifagia)



-



Klien mengeluh merasa lemah



-



Klien mengeluh pandangannya kabur



DO yang mungkin muncul : -



Klien tampak lemas



-



Warna kulit pucat



-



Terjadi penurunan berat badan



-



Tonus otot menurun



-



Terjadi atropi otot



-



Kulit dan membrane mukosa tampak kering



-



Tampak adanya luka ganggren



-



Tampak adanya pernapasan yang cepat dan dalam



b) Riwayat kesehatan keluarga Apakah pada anggot keluarga ada penyakit keturunan seperti hipertensi,DM,penyakit jantung. c. Pola kesehatan fungsional Pola pengkajian ini meliputi pola persepsi kesehatan, pola nutrisi dan metabolik, pola eliminasi, pola aktivitas dan latihan, pola istirahat dan tidur,



pola



kognitif



dan



perseptual,



pola



persepsi



diri/konsep



diri,



pola



hubungan/peran, pola seksual/reproduksi, pola koping/toleransi stress, pola nilai dan kepercayaan. d. Pemeriksaan fisik a)



Keadaan umum : bisa saja composmetis, samnolen/koma (tergantung



dari kesadaran pasien) b)



Tanda-tanda vital



c)



Pemeriksaan kepala



d)



Pemeriksaan Mata



e)



Pemeriksaan Mulut



f)



Pemeriksaan Hidung



g)



Pemeriksaan leher : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi



h)



Pemeriksaan abdomen : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi



i)



Pemeriksaan thorak : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi



j)



Pemeriksaan kulit



e. Pemeriksaan penunjang -



Glukosa darah



-



Insulin darah



-



Urine



-



Elektrolit



-



Trombosit darah



3.2 Analisa data (SDKI) N O 1



DATA



PROBLEM



INTERPRETASI



(SIGN/SYMPTON) (MASALAH) (ETIOLOGI) DS : klien mengeluh Ketidakstabilan kadar Gangguang sering merasa haus, klien glukosa darah



toleransi glukosa



mengeluh mengalami rasa



darah



lapar yang berlebih. DO : klien tampak lemas, kulit 2



dan



membrane



mukosa tampak kering. DS : klien mengeluh Perfusi



perifer



tidak Hiperglikemia



sering



kesemutan efektif



(parastesia) DO : warna kulit pucat 3.3 Diagnosa keperawatan 1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah b.d gangguan toleransi glukosa darah d.d klien mengeluh sering haus, klien mengeluh mengalami rasa lapar yang berlebih, klien tampak lemas, kulit dan membrane mukosa tampak kering. 2. Perfusi perifer tidak efektif b.d hiperglikemia d.d klien mengeluh sering kesemutan (parastesia), warna kulit pucat. 3.4 Rencana tindakan keperawatan No



Tujuan&kriteria hasil



Intervensi keperawatan



DX



(SLKI)



(SIKI)



1



Setelah



dilakukan



tindakan Manajemen hiperglikemia :



keperawatan 2x24 jam (T) maka



-



Identifikasi



masalah ketidakstabilan kadar



kemungkinan



glukosa



penyebab



(S)



akan



membaik



(M,A) :



hiperglikemia -



Kestabilan kadar glukosa darah membaik dengan kriteria hasil : -



Rasa Kadar



glukosa



dalam



kadar



Monitor tanda dan Kel5 gejala hiperglikemia



menurun



(M,A) -



-



haus



Monitor glukosa



Lelah atau lesu menurun (M,A)



-



TTD



Monitor intake dan output cairan



-



Berikan asupan oral



-



Anjurkan



darah membaik (M,A)



monitor



kadar glukosa darah secara mandiri -



Kolaborasi pemberian insulin



2



Setelah



dilakukan



tindakan Perawatan sirkulasi :



keperawatan 2x24 jam (T) maka



-



Periksa



sirkulasi



masalah perfusi perifer tidak



perifer



efektif



perifer,



edema,



pengisian



kapiler,



(S)



akan



membaik



(M,A):



(mis



nadi



warna, suhu) -



Warna



kulit



pucat



-



Identifikasi



factor



menurun



resiko



gangguan



-



Kram otot menurun



sirkulasi



-



Akral membaik



diabetes,



-



Turgor kulit membaik



orang tua, hipertensi



(mis Kel5 perokok,



dan kadar kolestrol tinggi) -



Lakukan



perawatan



kaki dan kuku -



Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat



(mis,



melembabkan



kulit



kering pada kaki) 3.5 Implementasi Implementasi Keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatuskesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Tujuannya untuk melaksanakan hasil dari intervensi keperawatan. 3.6 Evaluasi Tujuan dari evaluasi adalah ntuk mengetahui sejauh mana perawat dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikat.Langkah-langkah evaluasi sebagai berikut : -



Daftar tujuan-tujuan pasien.



-



Lakukan pengkajian apakah pasien dapat melakukan sesuatu.



-



Bandingkan antara tujuan dengan kemampuan pasien.



-



Diskusikan dengan pasien, apakah tujuan dapat tercapai atau tidak.



-



Melihat bahasan diatas, yang dimaksud dengan evaluasi merupakan



hasil pencapaian yang telah dilakukan dengan berdasarkan kriteria hasil dan tujuan.



BAB IV PENUTUP 4.1 KESIMPULAN Sistem endokrin, dalam kaitannya dengan sistem saraf, mengontrol dan memadukan



fungsi



tubuh.



Kedua



sistem



ini



bersama-sama



bekerja



untuk



mempertahankan homeostasis tubuh. Fungsi mereka satu sama lain saling berhubungan, namun dapat dibedakan dengan karakteristik tertentu. Sistem endokrin memiliki fungsi untuk mempertahankan hemoestatis, membatu mensekresikan hormon-hormon yang bekerja dalam sistem persyarafan, pengaturan  pertumbuhan dan perkembangan dan kontrol perkembangan seksual dan reproduksi. 1.2 SARAN Pada sistem endokrin ditemukan berbagai macam gangguan dan kelainan, baik karena  bawaan maupun karena faktor luar, seperti virus atau kesalahan mengkonsumsi makanan. Untuk itu jagalah kesehatan anda agar selalu dapat beraktivitas dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA Bare & Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 2 (Edisi 8). Jakarta: ECG Corwin J. Elizabeth. 2001. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan (Edisi 2). Jakarta: ECG



Doenges, E. Marilynn dan MF. Moorhouse. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi III). Jakarta: ECG Rostinah. TIM. 2017. Asuhan Keperawatan System Endokrin Dilengkapi Mind Mapping Dan Asuhan Keperawatan Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Deepublish Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan System Endokrin. Jakarta: EGC