Makalah Epidemologi Tentang Alergi Makanan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH EPIDEMOLOGI TENTANG ALERGI MAKANAN



Disusun oleh GINASTRYSUSATYA / P00313019046 Tk. II / B



KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI JURUSAN GIZI PRODI D IV GIZI 2020



Page i



Kata pengantar Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu watala, karena berkat rahmat-nya kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya sangat sederhana dan tepat waktu yang berjudul ‘’ ALERGI MAKANAN’’ makalah ini diajukan guna memenuhi salah satu mata kuliah EPIDEMOLOGI Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini tepat waktunya. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.



Kendari , 13 DESEMBER 2020



Page ii



DAFTAR ISI



COVER............................................................................................................................................i Kata pengantar.................................................................................................................................ii DAFTAR ISI..................................................................................................................................iii BAB I...............................................................................................................................................1 PENDAHULUAN...........................................................................................................................1 A. LATAR BELAKANG............................................................................................................1 B. rumusan masalah.....................................................................................................................1 C. tujuan.......................................................................................................................................2 BAB II.............................................................................................................................................3 PEMBAHASAN..............................................................................................................................3 1. DEFINISI ALERGI MAKANAN...........................................................................................3 2. ETIOLOGI...............................................................................................................................4 3. EPIDEMOLOGI......................................................................................................................4 4. PATOFISIOLOGI....................................................................................................................5 5. FACTOR RESIKO.................................................................................................................6 6. DIAGNOSIS ALERGI............................................................................................................8 7. alergi yang umum dijumpai.....................................................................................................8 8. PENATAKLAKSANAAN....................................................................................................10 BAB III..........................................................................................................................................11 PENUTUP.....................................................................................................................................11 A. KESIMPULAN.....................................................................................................................11 B. SARAN.................................................................................................................................11 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12



Page iii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Reaksi alergi terhadap makanan dapat berakibat serius. Pilihan terapi yang tersedia hanyalah penghindaran alergen makanan secara ketat, namun konsumsi alergen makanan secara tidak disengaja sering kali terjadi dan tidak jarang menimbulkan reaksi alergi yang berpotensi mengancam jiwa. Alergi makanan merupakan salah satu penyebab tersering reaksi anafilaksis. Oleh karenanya, injeksi epinefrin yang dapat disuntikan secara mandiri harus selalu disiapsediakan untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk. Beberapa jenis alergi makanan dapat ‘sembuh’ dengan berjalannya waktu, namun sebagian besar pasien alergi makanan yang menetap harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan terjadinya reaksi anafilaksis. Dalam beberapa tahun terakhir, telah diteliti manfaat imunoterapi untuk alergi makanan. Beberapa jenis imunoterapi telah dikembangkan, baik yang diberikan secara oral, sublingual, epikutan, atau subkutan. Pemberian pada umumnya mengikuti prinsip imunoterapi untuk penyakit alergi lainnya, yaitu terdiri dari fase induksi dan dilanjutkan dengan fase rumatan, yaitu makanan dengan dosis maksimal yang dapat ditoleransi terus diberikan secara reguler. Walaupun tampaknya menjanjikan untuk pasien alergi makanan, saat ini imunoterapi makanan masih perlu diteliti lebih lanjut sebelum diaplikasikan dalam praktik klinis sehari-hari. Diharapkan dengan penelitian multisenter, dengan desain acak disertai kelompok kontrol dapat menjawab beberapa pertanyaan tentang dosis optimal, durasi imunoterapi yang ideal, efektivitasnya pada kelompok umur yang berbeda, serta jenis alergi makanan yang mana yang akan berespons terhadap imunoterapi.



B. rumusan masalah 1. Apa definisi alergi ? 2. Etiologi alergi makanan 3. Apa epidemologi alergi ? 4. Patofisiologi dari alergi makanan?



Page 1



5. Apa saja factor resiko, factor lingkungan dan factor genetic alergi makanan 6. Bagaimana diagnosis alergi makanan? 7. Apa saja alergi makanan yang umum ditemukan? 8. Bagaimana penataklaksanaan alergi makanan?



C. tujuan 1. Mengetahui apa itu alergi 2. Mengetahui etiologi alergi makanan 3. Mengetahui epidemologi alergi 4. Mengetahui patologi alergi 5. Mengetahui Apa saja factor resiko, factor lingkungan dan factor genetic alergi makanan 6. Mengetahui diagnosis alergi makanan 7. Mengetahui apa saja alergi makanan yang umum ditemukan 8. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan terhadap alergi makanan



Page 2



BAB II PEMBAHASAN 1. DEFINISI ALERGI MAKANAN Istilah alergi makanan sebenarnya termasuk dalam salah satu kategori dari adverse food reaction atau reaksi merugikan dari makanan. Adverse food reaction didefinisikan oleh The American Academy of Allergy and The National Institutes of Health sebagai istilah untuk semua reaksi merugikan dari makanan atau bahan aditif makanan yang telah dikonsumsi. Reaksi ini kemudian dibagi menjadi food allergy (alergi makanan) dan food intolerance (intoleransi makanan). Alergi makanan adalah semua reaksi merugikan dari makanan yang melalui mekanisme imun. Sedangkan intoleransi makanan adalah semua reaksi merugikan melalui mekanisme non imun. Dalam hal ini termasuk food poisoning (keracunan makanan), pharmacological food reaction (reaksi akibat sifat farmakologis makanan), metabolic food reaction (reaksi akibat gangguan metabolisme) Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik terhadap makanan. Alergi makanan bisa mengenai semua kelompok usia dengan prevalensi pada anak lebih besar daripada dewasa. Alergi makanan pada dewasa bisa timbul akibat alergi pada masa kanak-kanak yang persisten atau muncul pertama kali pada saat dewasa.1,2,3 Alergi makanan adalah gangguan kesehatan yang timbul akibat respon imun spesifik yang muncul akibat paparan dari makanan. Penting untuk membedakan alergi makanan dengan reaksi simpang terhadap makanan yang tidak dimediasi oleh imun. Reaksi simpang yang tidak diklasifikasikan sebagai alergi makanan termasuk intoleransi makanan yang sekunder terhadap gangguan metabolik (contoh: intoleransi laktosa), reaksi terhadap kontaminasi yang toksik (contoh: histamin yang dihasilkan oleh ikan scromboid yang dikontaminasi oleh Salmonella) atau komponen makanan yang aktif secara farmakologis (contoh: kafein pada kopi yang membuat berdebardebar.



Page 3



Prevalensi alergi makanan pada anak adalah 6%, sementara pada dewasa 3 – 4%. Pada anak, makanan yang paling sering menyebabkan alergi adalah susu sapi, telur ayam, susu kedelai, kacang, gandum, ikan, dan shellfish. Alergi terhadap kacang, ikan, dan shellfish bertahan hingga dewasa. Lebih lanjut, prevalensi alergi makanan tampak berlipat ganda atau bahkan meningkat 4 kali lipat sejak 15 tahun terakhir di Amerika Serikat, Inggris, dan Cina Toleransi oral yang tidak berkembang atau terganggu menyebabkan terjadinya respon alergi terhadap alergen yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi. Respon alergi tersebut bisa dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE), non-IgE, atau campuran yang bisa menimbulkan gejala pada beberapa organ, sistem organ, bahkan sistemik pada seluruh tubuh. Variasi gejala pada alergi makanan sangat luas dan tergantung dengan mekanisme dan organ yang dikenai. Contoh gejala tersebut dimulai dari reaksi alergi ringan seperti gatal, hingga reaksi alergi sistemik berupa anafilaksis. Alergi makanan merupakan penyebab anafilaksis yang paling sering, yaitu sebesar 30%. Makanan yang paling sering menyebabkan anafilaksis adalah kacang dan tree nut. Setiap tahunnya, diperkirakan 200 kematian di amerika serikat disebabkan oleh reaksi anafilaksis yang ditimbulkan oleh alergi makanan.



2. ETIOLOGI Eiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host, dan lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini semakin rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen dapat berupa alergen. Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat beragam.4 Diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim, hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, sterptomisin, sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa rumput-rumputan atau jamur, serum ATS, ADS, dan anti bisa ular. Produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat menyebabkan alergi. Makanan yang dapat menjadi penyebab alergi diantaranya susu sapi, kerang, kacang-kacangan, ikan, telur, dan udang



Page 4



3. EPIDEMOLOGI Prevalensi alergi di dunia meningkat secara dramatis di negara maju dan negara berkembang. Peningkatan alergi terutama terjadi pada anak dari meningkatnya tren yang telah terjadi selama dua dekade terakhir. Meskipun begitu, pelayanan untuk pasien dengan penyakit alergi jauh dari ideal. 1 Prevalensi alergi telah meningkat, maka alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan utama. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diperkirakan 300 juta orang memiliki asma, sekitar 50% diantaranya tinggal di negara-negara berkembang dengan akses terbatas terhadap obat esensial. Oleh karena itu, asma sering tidak terkontrol di daerahdaerah. Empat ratus juta orang di seluruh dunia memiliki rhinitis, 1,2,3 serta 5-15% populasi anak di seluruh dunia menderita alergI. Dua studi internasional besar mengenai alergi, International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan European Community Respiratory Health Survey (ECRHS), telah mempelajari prevalensi asma dan rhinitis alergi di seluruh dunia melalui standar kuisioner. ECRHS dan ISAAC telah menunjukkan variasi yang cukup besar dalam prevalensi asma dan alergi rhinoconjunctivitis di seluruh negara terutama di wilayah asia pasifik.



4. PATOFISIOLOGI Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target. Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (performed mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly fored mediator). Menurut asalnya mediator ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer), dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder) Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan system nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.



Page 5



Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemotactic factor (NCF). Histamin memiliki peranan penting pada fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak napas, dan kulit gatal. 22,23 Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot polos. Histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular menyebabkan respons whealflare (triple respons dari Lewis) dan jika terjadi secara sistemik dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan angioderma. Pada traktus gastrointestinal, histamin menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi secara sistemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare dan hipermotilitas. Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrein, prostagladin, dan tromboksan. Leukotrein dapat menyebabkan kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas, dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot polos bronkus. Kalikrein menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah dan tekanan darah. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi dan memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi newly synthetized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF) menyebabkan bronkokonstriksi dan menaikkan permeabilitas pembuluh darah, mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin. Bradikinin menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama, dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus dalam traktus respiratorius dan lambung. Serotonin dalam trombosit yang dilepaskan waktu agregasi trombosit melalui mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus yang pengaruhnya sebentar.



5. FACTOR RESIKO Bukti tentang adanya pengaruh genetik didapatkan pada studi tentang perkembangan alergi makanan di dalam anggota keluarga. Bila tingkat pertama keluarga mempunyai alergi kacang tanah, risiko alergi kacang tanah meningkat tujuh kali lipat. Studi lain menyatakan adanya riwayat atopi orang tua mempunyai kemungkinan 25% dari anaknya dapat timbul alergi



Page 6



makanan sebelum usia 7 tahun. Kemudian studi pada kembar monozigot mendapatkan kemungkinan 64% alergi makanan dibandingkan pada kembar dizigot yang sebesar 6,8%. 



Faktor Lingkungan



Alergi makanan umumnya timbul pada tahun pertama kehidupan dan faktor yang lebih berpotensi adalah stimulus imun, diet ibu dan bayi, serta adanya komorbid eksema. Seperti faktor risiko pada jenis alergi lain, stimulus imun yang berpengaruh pada awal masa kehidupan disebutkan dalam the hygiene hypotesis. Hipotesis ini berdasarkan adanya interaksi antara stimulus imun pada awal masa kehidupan dengan innate immune system atau sistem imun non spesifik, termasuk di dalamnya toll-like receptor yang menginduksi fenotipe toleran melalui sel Tregulatory. Salah satu studi mendapatkan penurunan risiko alergi makanan yang diasosiasikan dengan kepemilikan peliharaan anjing sebagai paparan endotoksin yang tinggi. Hal ini sesuai dengan adanya polymorphism CD14 sebagai co-receptor endotoksin yang merupakan salah satu gen kandidat untuk alergi makanan Faktor diet pada ibu dan bayi masih belum merupakan hal yang jelas sebagai faktor risiko terjadinya alergi makanan. The American Academy of Pediatrics (AAP) menyatakan bukti yang ada kurang mendukung paparan alergen melalui diet selama kehamilan dan laktasi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit alergi. Dua studi cohort mendapatkan hasil bahwa pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif mungkin tidak mempunyai efek jangka panjang terhadap perkembangan alergi. Sebaliknya studi lain mengatakan pemberian laktasi eksklusif selama 4 bulan atau lebih diasosiasikan dengan penurunan penyakit alergi seperti asma dan eksema. Keuntungan ini ditingkatkan bila selama laktasi ibu menghindari diet yang umumnya sebagai penyebab alergi seperti telur, ikan, kacang dan kedelai Alergi makanan lebih umum ditemukan pada anak-anak dengan dermatitis atopi. Eksema pada 6 bulan pertama kehidupan meningkatkan risiko terjadinya alergi makanan dibandingkan eksema pada 6 bulan yang kedua Beberapa studi menemukan faktor risiko lain yang mungkin berasosiasi dengan alergi makanan. Ada yang menyebutkan pemberian vitamin A dan vitamin D mungkin berasosiasi dengan peningkatan risiko alergi makanan. Selain itu asap rokok dan antasida telah diasosiasikan



Page 7



dengan sensitisasi alergen makanan. Walaupun demikian, peran faktorfaktor tersebut perlu untuk dikonfirmasi dengan penelitian lanjutan dalam skala yang lebih besar 



Etnis



Alergi makanan terlihat lebih sering pada populasi kulit hitam non-Hispanik dibandingkan dengan populasi kulit putih. Prevalensi alergi terhadap udang pada kulit hitam non-Hispanik adalah 2,3%, sementara pada kulit putih 0,3%. Penemuan ini bisa terjadi karena pengenalan dan diagnosis yang terlambat pada etnik yang minoritas. Pada sebuah penelitian, alergi makanan ditemukan meningkat secara signifkan pada populasi Hispanik. Alergi makanan juga meningkat pada jenis kelamin laki-laki, ras Asia dan kulit hitam.



6. DIAGNOSIS ALERGI Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis. Anamnesis, diperjelas oleh pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau alergen spesifik serum. Skin-prick testing (SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan ekstrak alergen. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang spesifik. Hal tersebut disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi seperti infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan mengukur IgE spesifik alergen dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi adalah skrining antibodi IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test (CAST). 7. alergi yang umum dijumpai 1. alergi kacang kemiri (hazelnut) Penelitian dengan desain acak tersamar ganda, dengan kontrol plasebo dilakukan di Spanyol.26 Dua puluh tiga subjek yang positif alergi terhadap kacang kemiri pada pemeriksaan double-blind placebo controlled food challenge (DBPCFC) diikutsertakan dalam penelitian. Sekitar 54,5% di antara subjek tersebut juga mengalami sindroma alergi oral (oral allergy syndrome) saat terpapar kacang kemiri. Subjek dialokasikan secara acak ke dalam kelompok imunoterapi atau kelompok plasebo (diberi larutan garam). Subjek penelitian diminta untuk



Page 8



mengulum ekstrak alergen di bawah lidah selama 3 menit kemudian meludahkannya. Fase ekskalasi dilakukan selama 4 hari di bangsal rawat inap rumah sakit. Hampir semua subjek mampu mencapai dosis maksimum alergen utama kacang kemiri yaitu Cor a1 sebesar 118,15 µg dan alergen Cor a8 sebesar 121,9 µg. Fase rumatan dilanjutkan di rumah masing-masing subjek penelitian selama 5 bulan. Setelah itu subjek menjalani pemeriksaan DBPCFC. Kelompok terapi aktif mengalami peningkatan dosis ambang reaksi secara bermakna dari 2,29 g menjadi 11,56 g, sedangkan kelompok plasebo hanya mengalami perubahan dari 3,49 g menjadi 4,14 g. Selama penelitian terjadi 3 reaksi sistemik (0,2%), semuanya pada fase ekskalasi dan dapat diatasi hanya dengan pemberian antihistamin. Gejala lokal berupa gatal di rongga mulut sering dijumpai, yaitu sebanyak 7,4%. Tidak didapatkan perubahan kadar IgE spesifik kacang kemiri dibandingkan data saat awal penelitian (baseline), namun pada kelompok terapi aktif didapatkan peningkatan kadar IgG4 spesifik kacang kemiri dan kadar IL-10 secara signifikan. Penelitian ini menunjukkan bahwa imunoterapi sublingual dapat secara efektif menimbulkan desensitisasi pada pasien alergi makanan dewasa, namun karena 54,5% subjek penelitian mengalami sindroma alergi oral, sulit untuk menerapkan hasil penelitian ini secara lebih luas pada pasien yang lain. 2. alergi susu sapi Penelitian pendahuluan di Perancis mengujicobakan imunoterapi sublingual pada 8 orang subjek alergi susu sapi yang terkonfirmasi melalui DBPCFC dan pemeriksaan kadar IgE spesifik susu sapi.28,29 Dosis dimulai dengan 0,1 mL dan ditingkatkan sebesar 0,1 mL setiap 15 hari hingga tercapai dosis 1 mL perhari. Ekstrak susu sapi diletakkan di bawah lidah selama 2 menit dan kemudian diludahkan. Setelah menjalani imunoterapi selama 6 bulan, sebanyak 7 subjek (87,5%) menjalani tes paparan ulang susu sapi, sedangkan 1 subjek mengundurkan diri karena gejala oral yang terus menetap. Dosis ambang reaksi alergi susu sapi meningkat secara signifikan dari 39 mL (dengan rentang 4–106 mL) sebelum imunoterapi naik menjadi 143 mL (dengan rentang 44 - ≥ 200 mL) setelah imunoterapi. Namun demikian, selama periode penelitian kadar IgE spesifik susu sapi tidak mengalami perubahan yang bermakna 3. alergi kacang tanah (peanut) Dalam suatu penelitian acak tersamar ganda, dengan kontrol plasebo pada subjek yang alergi kacang tanah, 18 subjek (rerata usia 5,2 tahun) dialokasikan secara acak ke dalam



Page 9



kelompok imunoterapi sublingual kacang tanah (n=11) atau kelompok plasebo (n=7).30 Fase ekskalasi dimulai dengan dosis protein kacang tanah sebesar 0,25 µg atau plasebo dengan dosis yang setara, dan ditingkatkan setiap 2 minggu selama 6 bulan hingga tercapai dosis rumatan sebesar 2000 µg per hari. Fase rumatan dilakukan selama 6 bulan dan sesudahnya pasien menjalani tes paparan ulang. Dosis alergen diletakkan di bawah lidah selama 2 menit dan selanjutnya ditelan. Semua subjek pada kelompok terapi aktif dapat mencapai median dosis ambang reaksi alergi sebesar 1.710 mg, sedangkan kelompok plasebo hanya dapat menolerir dosis sebesar 85 mg. Reaksi alergi terjadi pada 11,5% kelompok terapi dan pada 8,6% kelompok plasebo. Reaksi alergi pada kelompok terapi aktif meliputi gejala orofaring (9,3%), gejala saluran pernapasan atas (1,4%), gejala abdominal (1,2%), dan gejala kulit (0,6%), semuanya tidak memerlukan terapi epinefrin. Sensitivitas terhadap kacang tanah pada tes tusuk kulit menurun secara bermakna pada kelompok imunoterapi dibandingkan kelompok plasebo. Pada kelompok imunoterapi juga didapatkan penurunan aktivitas basofil, peningkatan kadar IgG4 spesifik kacang tanah, dan penurunan kadar IL-5.



8. PENATAKLAKSANAAN Penatalaksanaan rinitis alergi yang disebabkan alergi makanan terdiri dari dua hal utama, yaitu menghindari makanan penyebab atau terapi diet (avoidance) dan terapi farmakologis. Pada terapi diet terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu adanya prosedur diagnostik yang menkonfirmasi keterlibatan makanan tersebut dengan keluhan penderita, dan adanya kemungkinan makanan atau kelompok makanan tersebut dapat dihindari sepenuhnya oleh penderita. Sedangkan pada terapi farmakologis, berdasarkan penelitian pada penderita rinitis dengan alergi makanan, oral disodium cromoglycate (DSCG) dengan dosis 100-200mg setiap 4 jam sehari dapat memberikan proteksi signifikan terhadap immediate nasal response(83%) dan late nasal response(79%). Penggunaan DSCG secara topikal dapat berguna dan sebagai tambahan dapat diberikan kortikosteroid topikal dan dekongestan topikal bila DSCG oral tidak dapat mengurangi simtom hidung. Terapi tambahan dapat diberikan untuk mengontrol secara optimal keluhan penderita. Obat-obat yang sering dipakai meliputi antihistamin, antikolinergik atau alfasimpatomimetik seperti penatalaksanaan rinitis alergi pada umumnya



Page 10



BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Alergi makanan adalah semua reaksi merugikan dari makanan yang melalui mekanisme imun. Prevalensi sesungguhnya dari alergi makanan belum dapat diketahui. Alergi makanan lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Faktor risiko pada alergi makanan meliputi faktor genetik dan faktor lingkungan. Hipersensitivitas terhadap makanan merupakan hasil dari toleransi yang berkurang atau menghilang dengan penyebab yang multifaktorial. Mekanisme alergi makanan yang dapat menyebabkan gejala pada penderita rinitis meliputi reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe III dan tipe IV.



B. SARAN Untuk para penderita penderita alergi makanan tertentu sebaiknya melakukan terapi diet atau menghindari makanan penyebab dan terapi farmakologis seperti terapi rinitis alergi pada umumnya agar reaksi alergi tidak bertambah parah.



Page 11



DAFTAR PUSTAKA Soegiarti gatot. 2019. Imunoterapi untuk Alergi Makanan: Mitos atau Realitas? Immunotherapy for Food Allergy: Myth or Reality?. Jurnal penyakit dalam Indonesia. Vol 6,No.1 Kam Alexander, Raveinal. Imunopatogenesis dan Implikasi Klinis Alergi Makanan pada Dewasa. jurnal.fk.unand. Yulianto Eri Chusairi, Dwi Reno Pawarti.2009. PERANAN ALERGI MAKANAN PADA RINITIS ALERGI. Jurnal THT-KL.Vol.2,No.3 hlm 142 – 152 http://eprints.undip.ac.id/46310/3/Julita_Ashrifah_R_22010111130077_Lap.KTI_Bab2.p df



Page 12



Page 13