Makalah Gagal Nafas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal nafas adalah masalah yang relatif sering terjadi, yang biasanya, meskipun tidak selalu merupakan tahap akhir dari penyakit kronik pada sistem pernafasan. Keadaan ini semakin sering ditemukan sebagai komplikasi dari trauma akut, septikemia atau syok. Gagal nafas, seperti halnya kegagalan pada sistem organ lainnya, dapat dikenali berdasarkan gambaran klinis atau hasil pemeriksaan laboratorium. Tetapi harus diingat bahwa pada gagal nafas, hubungan antara gambaran klinis dengan kelainan dari hasil pemeriksaan laboratorium pada kisaran normal adalah tidak langsung. Gagal nafas terjadi apabila paru tidak lagi dapat memenuhi fungsi primernya dalam pertukaran gas, yaitu oksigenasi darah arteria dan pembuangan karbondioksida. Ada beberapa tingkatan dari gagal nafas, dan dapat terjadi secara akut (mungkin remiten) atau secara kronik. Insufisiensi pernafasan kronik atau gagal nafas kronik menyatakan gangguan fungsional jangka panjang yang menetap selama beberapa hari atau bulan, dan mencerminkan adanya proses patologik yang mengarah pada kegagalan dan proses kompensasi untuk menstabilkan keadaan. Gas-gas darah dapat sedikit abnormal atau dalam batas normal pada saat istirahat, tetapi gas-gas darah dapat jauh dari batas-batas normal bila dalam keadaan kebutuhan meningkat seperti saat berlatih. Peningkatan kerja pernafasan (dan dengan demikian mengurangi cadangan pernafasan) dan pengurangan aktivitas fisik adalah dua mekanisme utama untuk mengatasi insufisiensi pernafasan kronik. Maka dari itu, kelompok kami tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai gangguan sistem respirasi: gagal nafas.



B. Rumusan Masalah 1.



Apa yang dimaksud dengan gagal nafas?



2.



Bagaimana pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas?



3.



Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem respirasi? 1



4.



Bagaimana patofisiologi dari gagal nafas?



5.



Bagaimana mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea?



6.



Bagaimana prognosis penyakit gagal nafas?



7.



Apa saja manifestasi klinis dari gagal nafas?



8.



Apa saja tanda dan gejala khusus dari gagal nafas?



9.



Bagaimana diagnosis dari gagal nafas?



10. Bagaimana interpretasi hasil tes dari gagal nafas? 11. Bagaimana penanganan gagal nafas? 12. Bagaimana penatalaksanaan gagal nafas? 13. Bagaimana pengkajian dari pasien dengan gagal nafas? 14. Bagaimana pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal nafas? 15. Apa saja diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal nafas? 16. Apa saja intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal nafas?



C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian dari gagal nafas. 2. Untuk mengetahui pathogenesis dan etiologi dari gagal nafas. 3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi sistem respirasi. 4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gagal nafas. 5. Untuk mengetahui mekanisme hipoksemia dan hiperkapnea. 6. Untuk mengetahui prognosis penyakit gagal nafas. 7. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari gagal nafas. 8. Untuk mengetahui tanda dan gejala khusus dari gagal nafas. 9. Untuk mengetahui diagnosis dari gagal nafas. 10. Untuk mengetahui interpretasi hasil tes dari gagal nafas. 11. Untuk mengetahui penanganan gagal nafas. 12. Untuk mengetahui penatalaksanaan gagal nafas. 13. Untuk mengetahui pengkajian dari pasien dengan gagal nafas. 14. Untuk mengetahui pemeriksaan fungsi respirasi dari pasien dengan gagal nafas.



2



15. Untuk mengetahui diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal nafas. 16. Untuk mengetahui intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan gagal nafas.



3



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Gagal Nafas Gagal nafas akut secara numerik didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50-60 mm Hg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mm Hg atau lebih besar dalam keadaan istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan. Alasan pemakaian definisi numerik berdasarkan gas-gas darah arteri (ABG) ini karena batas antara insufisiensi pernafasan kronik dan gagal nafas tidak jelas dan tidak bisa berdasarkan observasi klinis. Sebaliknya, harus diingat bahwa definisi berdasarkan ABG ini tidak bersifat absolut; makna dari angka-angka ini bergantung pada riwayat penyakit dahulu. Orang yang sebelumnya dalam keadaan sehat dan kemudian mengalami kelainan gas-gas seperti diatas setelah mengalami kecelakaan hampir tenggelam dapat diperkirakan akan jatuh ke dalam keadaan koma, sedangkan pasien dengan COPD pada keadaan gas darah yang sama, dapat melakukan kegiatan fisik dalam batas tertentu. Gagal pernafasan merupakan kegagalan fungsi system pernafasan dalam mempertahankan oksigenasi arteri dan pengeluaran CO2 yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksemia arteri, hiperkapnia atau keduanya. Gagal pernapasan dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yang langsung atau tidak langsung mempengaruhi fungsi pernafasan. Seperti telah diketahui fungsi utama paru-paru adalah pertukaran gas yang terjadi melewati membrane alveoli kapiler. Gagal pernafasan merupakan akibat dari gangguan pertukaran O2 dan CO2 dalam alveoli dan darah kapiler paru. PO2 arteri menjadi lebih rendah dari nilai normal dan PCO2 arteri di atas nilai normal.



B. Pathogenesis dan Etiologi Gagal Nafas Acute Respiratory Failure (ARF) adalah keadaan dimana tubuh gagal mempertahankan pertukaran gas yang adekuat. Ada 2 macam ARS: tipe 1 dan tipe 2. ARF tipe 1, pasien memiliki tingkat oksigen rendah (hipoksia) dan level karbondioksida yang normal. Pada tipe 2 kembali terjadi hipoksia, tetapi level 4



karbondioksida tinggi (hiperkarbia). Hipoksia menyebabkan sedikitnya darah beroksigen yang melintas ke sisi kiri jantung (sunting). Kondisi ini merupakan penyebab utama kegagalan organ dan kematian pada area perawatan kritis. ARF dapat disebabkan oleh kondisi paru dan kondisi non paru. Kondisi paru yang menyebabkan ARF meliputi: Pneumonia, tumor paru, edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik, penyakit paru obstruktif kronis, dan obstruksi saluran pernafasan. Kondisi non paru yang menyebabkan ARF meliputi: Pneumothoraks, efusi pleuara, gangguan neuromuskular (myastenia gravis, poliomyelitis), masalah perifer dan masalah spinal (tetanus, trauma), dan masalah-masalah sistem saraf pusat (trauma kepala dan overdosis obat) Keberhasilan pengobatan gagal napas akut tidak hanya bergantung pada deteksi keadaan ini sejak dini, tetapi juga dari pemahaman akan mekanisme penyebabnya. Deteksi dini mungkin sulit jika awitan timbul perlahan-lahan karena tanda dan gejala klinis tidak khas. Meskipun hipoksia jaringan tidak dapat dinilai secara langsung, tetapi pemeriksaan ABG (salah satu langkah dari proses panjang untuk menentukan oksigenasi jaringan) dapat membantu menarik kesimpulan mengenai oksigenasi jaringan yang tidak memadai dan mekanisme yang terganggu. Pengetahuan tentang mekanisme yang terganggu ini akan memberikan pengertian mengenai patofisiologi penyakit paru pada seorang psien, yang pada akhirnya akan menuntun kepada pengobatan yang tepat. Langkah pertama yang penting untuk mengenali bakal terjadinya gagal napas adalah kewaspadaan terhadap keadaan dan situasi yang dapat menimbulkan gagal napas. Ada beberapa hal memuat beberapa gangguan paru yang sering menyebabkan gagal napas, diklasifikasikan dalam golongan ekstrinsik dan intrinsic. Kebanyakan dari gangguan ini telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Kelainan paru ektrinsik (pada paru yang normal atau hamper normal) dapat menyebabkan gagal napas ventilasi, atau hiperkapnia, melalui (1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau (2) gangguan pada respons ventilasi. Narkotik dalam dosis berlebih merupakan salah satu sebab tersering penekanan pusat pernapasan sehingga mengakibatkan kegagalan



5



ventilasi. Gangguan pada respons ventilasi terjadi jika ada penyakit atau cidera pada jalur saraf atau otot-otot pernapasan atau disfungsi mekanis pada pompa toraks akibat cedera, nyeri, atau deformitas. Beberapa penyebab yang mungkin dari menurunnya respons ventilasi dimasukkan pada gangguan neuromaskular, pleura, dan dinding dada. Meskipun gangguan diluar paru, atau ekstrinsik, merupakan sebab penting gagal napas, namun, gangguan paru intrinsic lebih penting. Obstruksi saluran napas kronik mengakibatkan kegagalan ventilasi dengan COPD yang merupakan penyebab tersering. Gangguan restriktif difus pada parenkim paru dan pembuluh darah umumnya mengakibatkan gagal napas hipoksemia yang ringan; namun, kelainan paru intrinsik akut seperti edema paru massif, atelectasis, pneumonia dengan konsolidasi yang luas, dan sindrom gawat napas akut (dewasa) (ARDS) dapat mengakibatkan hipoksemia yang berat. Cukup banyak pasien dirawat di perawatan intensif pernapasan akibat ARDS dengan tingkat mortalitasnya yang tinggi. Dalam bab ini ARDS dibahas secara terpisah dari penyebab lain gagal napas. Akhirnya, penting untuk mengetahui sejumlah factor pencetus yang mengakibatkan gagal napas akut pada pasien dengan oenyakit paru kronik (kotak 41-2). Sekresi yang tertahan, infeksi, dan bronkospasme merupakan factor pencetus yang paling sering pada pasien dengan COPD yang menyebabkan keadaan akut pada gagal napas kronik. Faktor-faktor introgenik yang tidak benar atau pemberian oksigen fraksi inspirasi (FIO2) yang tinggi. Kor pulmonale, emboli paru terutama pada pasien dengan polisitemia), dan pneumothoraks akibab bleb emfisematosa merupakan penyebab yan tidak begitu sering dari gagal napas. Beberapa factor pencetus tidak dapat dihilangkan, tetapi kebanyakan dapat, kenyataan ini memberikan implikasi yang penting dalam penyuluhan kepada pasien dan penanganan penyakit paru kronik. .



6



C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi 1. Konsep Dasar a. Pengertian Respirasi Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat



hingga penggunaan



energi di dalam tubuh. Manusia bernafas menghirup oksigen dalam udara bebas dan membuang karbondioksida ke lingkungan.



Respirasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: 1) Respirasi luar yang merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan udara. 2) Respirasi dalam yang merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran darah ke sel-sel tubuh. Dalam mengambil nafas ke dalam tubuh dan membuang nafas ke udara dilakukan dengan dua cara pernafasan, yaitu: 1) Respirasi/Pernafasan Dada a) Otot antar tulang rusuk luar berkontraksi atau mengerut. b) Tulang rusuk terangkat ke atas. c) Rongga dada membesar yang mengakibatkan tekanan udara dalam dada kecil sehingga udara masuk ke dalam badan.



7



2) Respirasi/ Pernapasan Perut a) Otot diafragma pada perut mengalami kontraksi b) Diafragma datar. c) Volume rongga dada menjadi besar yang mengakibatkan tekanan udara pada dada mengecil sehingga udara masuk ke paru-paru. Normalnya manusia butuh kurang lebih 300 liter oksigen perhari. Dalam keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O2 yang diperlukan pun menjadi berlipat-lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15 kalilipat. Ketika oksigen tembus selaput alveolus, hemoglobin akan mengikat oksiegen yang banyaknya akan disesuaikan dengan besar kecil tekanan udara. Pada pembuluh darah arteri, tekanan oksigen dapat mencapat 100 mmHg dengan 19 cc oksigen. Sedangkan pada pembuluh darah vena tekanannya hanya 40 milimeter air raksa dengan 12 cc oksigen. Oksigen yang kita hasilkan dalam tubuh kurang lebih sebanyak 200 cc di mana setiap liter darah mampu melarutkan 4,3 cc karbondioksida / CO2. CO2 yang dihasilkan akan keluar dari jaringan menuju paru-paru dengan bantuan darah. Proses Kimiawi Respirasi Pada Tubuh Manusia: 1) Pembuangan CO2 dari paru-paru : H + HCO3  H2CO3  H2+ CO2. 2) Pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb + O2  HbO2. 3) Pemisahan oksigen dari hemoglobin ke cairan sel : HbO2  Hb + O2. 4) Pengangkutan karbondioksida di dalam tubuh : CO2 + H2O  H2 + CO2. Alat-alat



pernafasan



berfungsi



memasukkan



udara



yang



mengandung oksigen dan mengeluarkan udara yang mengandung karbondioksida dan uap air.



8



Tujuan proses pernafasan yaitu untuk memperoleh energi. Pada peristiwa bernafas terjadi pelepasan energi. Sistem pernafasan pada manusia terdiri atas: 1) Hidung 2) Faring 3) Trakea 4) Bronkus 5) Bronkiolus 6) Paru-paru



b. Alat-alat pernafasan pada manusia 1) Rongga Hidung (Cavum Nasalis) Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat saluran pernafasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae. Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput lendsir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga hidung.



9



2) Faring (Tenggorokan)



Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Farig merupakan percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernafasan (nasofarings) pada bagian depan dan saluran pencernaan (orofaring) pada bagian belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke daluran pernafasan karena saluran pernafasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan, bernafas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagai jalan makanan dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung (resonansi) untuk suara percakapan.



3) Batang Tenggorokan (Trakea) Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ±10 cm, terletak sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan



10



pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-benda asing yang masuk ke saluran pernafasan.



Batang tenggorokan (trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam rongga dada, batang tenggorokan bercabang menjadi dua cabaang tenggorokan (bronkus). Di dalam paru-paru, cabang tenggorokan bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut gelembung pari-paru (alveolus).



4) Pangkal Tenggorokan (Laring) Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang rawan. Laring berada di antara orofaring dan trakea, di depan lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis. Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring. Laring diselaputi oleh membran mukosa yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-getaran suara pada lasing. Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara dan juga sebagai tempat keluar masuknya udara. Pangkal tenggorokan dususun oleh beberapa tulang rawan yang membentuk jakun. Pangkal tenggorokan dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok (epiglotis). Pada waktu menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan pada waktu bernafas



11



katup membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat selaput suara yang akan bergetar bila ada udara dari paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.



5) Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus) Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus kanan dan bronkus kiri. Struktur lapiran mukosa bronkus sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkasri lumen dengan sempurna. Bronkus bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus.



Batang tenggorokan bercanag menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus bercanag lagi menjadi bronkiolus. Bronkus



12



sebalah kanan (bronkus primer) bercanag menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam darah. Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru.



6) Paru-Paru (Pulmo)



Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang yterdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam ( pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elatis, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan, tetapi rongga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya mempunyai epitelium bebentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,



13



kemudian menjadi duktus alveolaris. Pada dinding duktus alveolaris mengandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus.



a) Kapasitas Paru-Paru Udara yang keluar masuk paru-paru pada waktu melakukan pernafasan biasa disebut udara pernafasan (udara tidal). Volume udara pernafasan pada orang dewasa lebih kurang 500 ml. Volume udara tidal orang dewasa pada pernafasan biasa kirakira 500 ml. Ketika menarik nafas dalam-dalam maka volume udara yang dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara ini dinamakan udara komplementer. Ketika kita menarik nafas sekuat-kuatnya, volume udara yang dapat dihembuskan juga sekita 1500 ml. Udara ini dinamakan udara suplementer. Meskipun telah mengeluarkan nafas sekuat-kuatnya, tetapi masih ada sisa udara dalam paru-paru yang volumenya kira-kira 1500 ml. Udara sisa ini dinamakan udara residu. Jadi, kapasitas paru-paru total = kapasitas vital + volume residu = 4500 ml/wanita dan 5500 ml/pria.



b) Pertukaran Gas dalam Alveolus Oksigen yang diperlukan untuk oksidasi diambil dari udara yang kita hirup pada waktu kita bernafas. Pada waktu bernafas udara masuk melalui saluran pernafasan dan akhirnya masuk ke dalam alveolus. Oksigen yang terdapat dalam alveolus berdifusi



14



menembus dinding sel alveolus. Akhirnya masuk ke dalam pembuluh darah dan diikat oleh hemoglobin yang terdapat dalam darah menjadi oksihemoglobin. Selanjutnya diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Oksigennya dilepaskan ke dalam sel-sel tubuh sehingga oksihemoglobin kembali menjadi hemoglobin. Karbondioksida yang dihasilkan dari pernafasan diangkut oleh darah melalui pembuluh darah yang akhirnya sampai pada alveolus. Dari alveolus karbondioksida dikeluarkan melalui saluran pernafasan pada waktu kita mengeluarkan nafas. Dengan demikian dalam alveolus terjadi pertukaran gas yaitu oksigen masuk dan karbondioksida keluar.



c. Proses dan Fisiologi Pernafasan Proses pernafasan meliputi dua proses, yaitu menarik nafas atau inspirasi serta mengeluarkan nafas atau ekspirasi. Sewaktu menarik nafas, otot diafragma berkontraksi, dari posisi melengkung ke atas menjadi lurus. Bersamaan dengan itu, otot-otot tulang rusuk pun berkontraksi. Akibat dari berkontraksinya kedua jenis otot tersebut adalah mengembangnya rongga dada sehingga tekanan dalam rongga dada berkurang dan udara masuk. Saat mengeluarkan nafas, otot diafragma dan otot-otot tulang rusuk melemas. Akibatnya, rongga dada mengecil dan tekanan udara di dalam paru-paru naik sehingga udara keluar. Jadi, udara mengalir dari tempat yang bertekanan besar ke tempat yang bertekanan lebih kecil. Jenis pernafasan berdasarkan organ yang terlibat dalam peristiwa inspirasi dan ekspirasi, orang sering menyebut pernafasan dada dan pernafasan perut. Sebenarnya pernafasan dada dan pernafasan perut terjadi secara bersamaan. (1) pernafasan dada terjadi karena kontraksi otot antar tulang rusuk, sehingga tulang rusuk terangkat dan volume rongga dada membesar serta tekanan udara menurun (inhalasi). Relaksasi otot antar tulang rusuk, costa menurun, volume kecil, tekanan



15



membesar



(ekshalasi).



(2)



pernafasan



perut



terjadi



karena



kontraksi/relaksasi otot diafragma (datar dan melengkung), volume rongga dada membesar, paru-paru mengembang tekanan mengecil (inhalasi). Melengkung volume rongga dada mengecil, paru-paru mengecil, tekanan besar/ekshalasi. Ventilasi Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara dari paru-paru yang tergantung pada perbedaan tekanan antara mulut dan alveoli. Pada inspirasi, dada mengembang, diafragma turun, dan volume paru bertambah. Ekspirasi merupakan gerakan pasif. Tekanan intrapleura negatif dan selama pernafasan normal berkias antara 5 dan 9 cm H2O. Pada posisi berdiri, tekanan pleura menurun dari basis paru ke apeks paru, akibat pengaruh berat paru dan gravitasi. Karena adanya perbedaan tekanan ini, alveoli dipuncak paru lebih mengembang dari pada di dasar paru. Pada volume paru yang rendah, tekanan pleura pada dasar paru melebihitekanan saluran nafas perifer, saluran nafas perifer menutup sedangkan udara alveoli pada puncak paru tetap mengalir. Selama pernafasan tidal, ventilasi didasar paru melebihi ventilasi didasar paru melebihi ventilasi dipuncak paru.



Perfusi Kapiler paru membentuk jaringan yang rapat di dinding alveoli. Hubungan erat antara alveoli dan dinding. Kapiler menyebabkan ketepat gunaan pertukaran gas. Pembuluh darah paru merupakan system dengan tekanan rendah-volume besar. Terdapat kira-kira 6 miliyard kapiler dalam paru manusia, dan hanya 25% dari kapiler iniy yang di pefusi pada waktu istirahat. Sirkulasi paru mempunyai kapasitas menampung kenaikan 2-3 kali curah janung dengan seikit perubahan tekanan arteri pulmonalis. Pada waktu kerja fisis, untung menampung peningkatan curah jantung, terjadi dilatasi pembuluh darah dan kapiler yang tidak diperfusi menjadi diperfusi. Hal ini menunjukkan besarnya kapasitas cadangan 16



pembuluh darah paru. Pada waktu terdapat peningkatan aliran darah paru,



resistensi



vascular



paru



menurun.



Tekanan



hidrostatik



intravascular dipengaruhi gaya berat sebab itu pada posisi berdiri tekanan arteri paru lebih besar pada dasar paru dari pada puncak paru, dan perfusi paru lebih besarpada dasar paru dari pada puncak paru. Dinding kapiler paru amat tipis dan luwes (compliant) juga amat peka terhadap tekanan alveoli. Distribusi aliran darah di paru-paru: PA>Pa>PV = tekanan alveoli melebihi tekanan arteri pulmonalis, melebihi tekanan vena. Aliran darah pada zona 1 sedikit/tidak ada (zona 1) Pa>PA>PV = tekanan arteri pulmonalis tekanan alveoli, melebihi tekanan vena, mengakibatkan kenaikn perfusi. Sebab itu pembuluh darah terbuka dan perfusi naik seimbang dengan kenaikan tekanan hidrostatik. (Zona 2) Pa>PV>PA = tekanan arteri paru melebihi tekanan vena, melebihi tekanan alveoli.ini mengakibatkan alveoli.ini mengakibatkan perfusi paing besar di dasar paru. (Zona 3) Pada orang normal diposisi berdiri zone 1 tidak terjadi sebab tekanan arteri pulmonalis cukup untuk perfusi ke puncak paru, hanya perfusi dipuncak paru lebih kecil dari pada di dasar paru. Pada keadaan dimana tekanan hidrostatik menurun sebab renjatan atau perdarahan, tekanan arteri lebih kecil dari tekanan alveoli atau terdapat kenaikan tekanan alveoli seperti pada pernafasan dengan tekanan positif (positive pressure



breathing), PEEP



dan



perlambatan



ekspirasi



dapat



terjadikeadaan seperti zone 1



Ventilasi yang sia-sia Pada keadaan alveoli diventilasi tetapi tidak diperfusi, alveoli berlaku sebagai ruang rugi dimana udara masuk dan keluar tanpa berpartisipasi dalam pertukaran gas, sehingga ruang rugi anatomis (salaruan pernafasan yang tidak ikut dalam pertukaran gas) sekarang



17



diperluas dengan ruang rugi alveoli. Ruang rugi alveoli adalahvolume gas yang di inspirasi, yang memasuki alveoli tetapi tidak ikut dalam pertukaran gas sebab ketidak seimbanganVa/Q local. Pada keadaa ini V/Q adalah tidak terhingga.perluasan ruang rugialveoli menyebabkan aliran udara segar yang mencapai alveoli menurun, PO2 alveoli akan menurun PCO2



arteri. Keadaan ini sering dikompensasi dengan



hiverpentilasi walaupun hipoksemia seringg menetap. Contoh adalah emboli paru, emfisema dan vaskulitis.



Perfusi yang sia-sia Kalau alveoli tidak di ventilasi secara total tapi tetap diperfusi, darah mengalir ke unit tanpa mengalami pertukaran gas. Darah masih tetapdarah vena dan perfusi tersebut tidak ada gunananya dan sering disebut shunt intrapulmoner. Pada keadaan normal ventilaisi paru seluruhnya kira-kira 6 liter/menit dan curah jantung 6 liter/menit dan V/Q adalah 1. Pada perfusi yang sia-sia, V/Q adalah O, sebab ventilasi O dibagi jumblah tertentu sama dengan O. Darah vena akan bercampur dengan darah arteri, merupakan kadar O2 dan menaikkan kadar CO2 dan proses ini disebut campuran darah vena (venous admixtures). Kalau cukup banyak alveoli yang terkena, maka transfer O2 dan CO2 terganggu,terjadiperubahan komposisi gas dalam darah arteri. Kalau terjadi kompensasi hiperventilasi terhadap hiperkapnia, kadar CO2 yang normal dalam darah arteri biasanya dipertahankan. Kenaikan kadar O2 dalam alveiloi yang terventilasi baik tidak dapat menkompensasi untuk yang tidak terventilasi. Pada shunti intrapulmoner yang bermakna, biasanya didapatkan PO2 arteri yang rendah dengan P CO2 yang normal/rendah. Contoh adalah pada aktelektasis, pneumonia aspirasi, pneumonia bakteri, edema paru, tenggelam dan sumbatan mucus.



18



Difusi Difusi adalah proses dimana gas dihantar melewati membrane alveoli-kapiler, plasma membran sel darah merah dan di ikat oleh hemoglobin dalam sel darah merah. Proses difusi meliputi 2 komponen yaitu kapasitas difusi membrane dan komponen sel darah merah serta hemoglobin. Proses ini mempunyai 2 tahap yaitu tahan gas dan tahap cairan. Daya larut gas dalam cairan merupakan factor penting. Karbon dioksida lebih larut dari pada O2 dan berdifusi 20 kali lebih cepat dari O2. Sebelumnya molekul O2 terikat dengan hemoglobin, ia harus melewati surfaktan yang melapisi alveoli, eoitel alveoli, membrane basalis, endotel kapiler, plasma dalam kepiler, memban sel darah merah.kecepatan difusi gas tekanan gas dialveoli dan darah kapiler paru. Setelah mencapai plasma darah kapiler, O2 harus masukke dalam sel darah merah dan terikat dengan hemoglobin. Waktu yang dibutuhkan untuk 1 ikatan O2 dengan hemoglobin di tentukan dengan volume darah dalam jaringan kapiler paru dan jumblah O2 yang diambil oleh 1 cc darah/mm Hg tekanan. Pada keadaan normal, jarak dekat untuk difusi adalah O2 u, sebab cairan edema, ataupun cairan fibrosis. Luas difusi tergantung pada jumblah alveoli yang berfungsi dan kehilangan luas difusi terjadi pada emifesema,fibrothoraks dan reaksi paru. Anemia akan menurunkan kapasitas difusi sebab jumblah sel darah merah yang akan mengikat gas yang berdifusi berkurang.



Pengaturan ventilasi Pengaturan ventilasi untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 dalam batas normal adalah rumit. Gerakan pernafasan yang berjalan dengan sendirirnya dan tidak disadari, terganung terutama pada pusat pernafasan di medula oblongata dan dapat di ubah oleh aktivitas pontin dan korteks, reseptor kimia diaorta, dan badan karotis serta melalui vagus terhadap dinding dada dan paru-paru. Permeabelitas sekat darah otak dan membrane sel berbeda untuk tiap zat. Karbon dioksida berdifusi dari darah ke sel medulla jauh lebih cepat dari ke yang lain.



19



Hal ini pentig dalam proses terjadinya hiperventilasi. Korbon dioksida akan bereaksi dengan H2O Melepaskan ion H. perubahan ion H dalam cairan serebrospinal dan cairan medulla akan mengubah ion H dalam sel, menyebabkan kenaikan volume tidal dan kemudian kecepatan pernafasan. Kalau kesamaan cairan serebrospinal berlangsung lama, seperti pada asedosis respirasi



sebab penyakit obstruksi menahun,



terjadi kompensasi dimana bikarbonat cairan serebrospinal naik dan pH akan naik lagi. Sebab itu kenaikan CO2 pada penyakit paru obstruksi menahun mempunyai reaksi hiperventilasi yang kurang terhadap kenaikan CO2 padapenyakit paru obstruksi menahun mempunyai reaksi hiperventilasi yang kurang terhadap kenaikan CO2 dan tergantung dari rangsangan hipoksia. Pemberian oksigen dalam jumblah yang banyak untuk memperbaiki hipoksemia



untuk menghilangkan rangsangan



pernafasan, menyebabkan hipoventilasi sekunder, sehingga PCO2 kemudian akan naik lagi. Faktor yang mempengaruhi ventilasi Ventilasi ditentukan oleh variabel-variabel dalam persamaan F=P/R Dengan F adalah bulk flow udara, P adalah perbedaan tekanan antara atmosfir dan alveoli, dan R adalah resistensi atau tahanan dari saluran nafas. Tekanan Tekanan alveolus bervariasi pada setiap inspirasi dan mendorong aliiran udara. Pada awitan inspirasi, rongga thoraks mengembang. Pada saat rongga thoraks mengembang, dada juga mengembang. Menurut prinsip Boyle, jika volume udara yang mengisi ruang meningkat, tekanan di dalam ruang tersebut menurun. Oleh karena itu, paru mengembang, tekanan di dalam alveoli menurun dibawah tekanan atmosfir, dan udara dari atmosfir menyerbu masuk ke paru (dari tekanan diri ke rendah) pada akhirnya inspirasi,rongga thoraks relaksasi,menyebabkan tekanan



20



didalam alveolus, yang terisi udara inspirasi,memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada atmosfir. Udara kemudian mengalir keluar paru sesuai penurunan gradien tekanan. Resistensi Bronkus Resistensi jalan nafas biasanya rendah. Resistensi dappat meningkat pada keadaan otot polos brokus berkontraksi. Konstiksi bronkus menyebabkan penurunan aliran udara ke dalam paru. Resistensi berbanding terbalik dengan jari-jari (radius) pembuluh bronkus pangkat empat. Sebagai contoh, jika jari-jari pembuluh bronkus menurun setengahnya, tahanan terhadap aliran udara di bronkus meningkat 16 kali. Dengan demikian, jika jalan nafas mengalami konstriksi, walaupun ringan, resistensi terhadap aliran udara di bronkus meningkat secara bermakna. Resistensi bronkus ditentukan system saraf parasimpatik dan simpatik yang mempersarafi otot polos bronkus dan mediator kimia sekitarnya (local) Saraf parasimpatik sampai ke otot polos bronkus melalui jalur saraf vagus dan menyebabkan konstriksi atau penyempitan jalan parasimpatik melepas neurotransmitter asetilkolin (Ach). ACh berkerja dengan bersikap reseptor kolinergik yang ada di otot polos. Persarafan simpatis otot polos bronkus terjadi melalui serabut saraf dari ganglion servikalis dan thorakslis bagian atas dan menyebabkan relaksasi atau dilatasi bronkus. Hal ini menurunkan resistensi dan meningkatkan aliran udara. Saraf simfatis melepas neurotransmitter norefinefrin yang berikatan dengan reseptor adrenergic B2 di otot polos bronkus. Saraf pengendali pernafasan Ventilasi dikendalikan pusat pernafasan dibatang otak bagian bawah di area medulla dan pons. Di medulla, terdapat neuron inspirasi dan ekspirasi yang melepaskan muatan pada waktu yang berbeda dalam suatu 21



pola kecepatan dan irama yang telah di tentukan. Neuron respirasi menjalankan ventilasi dengan menstemulasi neuron motoric yang mempersarafi otot-otot utama pernafasan. (diafragma) dan otot aksesorius (otot interkosta). Kemoreseptor Pusat Kemoreseptor



pusat



diotak



berespons



terhadap



perubahan



konsentrasi ion hidrogen dalam cairan serebro spinal. Peningkatan konsentrasi ion hidrogen meningkatkan pelepasan muatan kemoreseptor, sementara penurunan konsentrasi ion hidrogen menurunkan pelepasan muatan kemoreseptor. Informasi dari kemoreseptor pusat diteruskan ke pusat pernafasan di otak, yang memberi respons dengan meningkatkan dan menurunkan pola nafas. Konsentrasi ion hidrogen biasanya mencerminkan konsentrasi karbon dioksida, oleh sebab itu, jika kadar karbon dioksida meningkat, keadaan ion hidrogen meningkat, dan kecepatan



pelepasan



neuroninspirasi



meningkat,



menyebabkan



peningkatan frekuensi pernafasan. Hal ini merupakan salah satu contoh umpan balik negative, karena dengan peningkatan frekuensi nafas, kelebihan karbon dioksida dan ion hidrogen juga meningkatkan. Sebalaiknya, jika karbon dioksida rendah dan kadar ion hidrogen rendah, kecepatan pelepasan neuron inspirasi kembali ke kondisi dasar, dan respirasi melambat. Kemoreseptor perifer Kemoreseptor perifer berada didalam arteri karotis dan aorta, dan memantau konsenterasi oksigen didalam darah arteri. Reseptor-reseptor ini, disebut badan karotisatau aorta, yang mengirimkan sinyal-sinyalnya ke pusat pernafasan di medulla dan pons terutama untuk meningkatkan frekuensi ventilasi jika kadar oksigen menurun. Kemoreseptor perifer kurang sensitive dibandingkan kemoreseptor pusat. Kemoreseptor perifer juga berespon dengan peningkatan laju pelepasan terhadap peningkatan ion hidrogen yang larut di dalam darah. Hal ini penting



22



karena dalam kondisi tertentu ion hidrogen bebas meningkatkan perubahan konsentrasi karbon diokisa. Neuron motoric yang mengendalikan fungsi respirasi Neuron motoric utama yang mengendalikan pernafasan adalah saraf frenkius.apabila diaktifkan oleh neuron inspirasi pusat, saraf frenikus menyebabkan dada mengembang dan udara mulai mengalir dari atmosfir ke dalam paru. Masuknya aliran udara dalam paru di sebut inspirasi. Seiring dengan berlanjutnya inspirasi, pelepasan muatan neuron ekspirasi meningkat, sehingga aktivitas neuron motoric terhenti dan terjadi relaksasi diafragma. Dada kembali mengempis dan udara mengalir keluar paru. Aliran udara keluar dari paru disebut ekspirasi.



d. Mekanisme Pernafasan Manusia Pernafasan pada manusia dapat digolongkan menjadi 2, yaitu: 1) Pernafasan Dada Pada pernafasan dada otot yang berperan penting adalah otot antar tulang rusuk. Otot tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otot tulang rusuk luaryang berperan dalam mengangkat tulangtulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang tulang rusuk ke posisi semula. Bila otot antar tulang rusuk luar berkontraksi, makan tulang rusuk akan terangkat sehingga volume dada bertambah besar. Bertambah besarnya akan menyebabkan tekanan dalam rongga dada lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar. Karena tekana udara kecil pada rongga dada menyebabkan aliran udara mengalir dari luar tubuh dan masuk ke dalam tubuh, proses ini disebut proses inspirasi. Sedangkan pada proses ekspirasi terjadi apabila kontraksi dari otot dalam, tulang rusuk kembali ke posisi semula dan menyebabkan tekanan udara di dalam tubuh meningkat. Sehingga udara dalam paru-paru tertekan di rongga dada, dan aliran udara terdorong ke luar tubuh, proses ini diesbut ekspirasi.



23



2) Pernafasan perut Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan mendatar. Hal itu menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga tekanan udara semakin



kecil.



Penurunan



tekanan



udara



menyebabkan



mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke paru-paru (inspirasi). Pernafasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam keadaan tertidur sekalipun karena sistem pernafasan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom. Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernafasan dapat dibedakaban menjadi 2 jenis, yaitu pernafasan luar dan pernafasan dalam. Pernafasan luar adalah pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus dengan darah dalam kapiler, sedangkan pernafasan dalam adalah pernafasan yang terjadi antara darah dalam kapiler dengan sel-sel tubuh. Masuk keluarnya uadar dalam paru-paru dipengaruhi oleh perbedaan tekana udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika tekana di luar rongga dada lebih besar makan udara akan masuk. Sebaliknya, apabila tekanan dalam rongga dada lebih besar makan udara akan keluar.



24



Sehubungan dengan organ yang terkibat dalam pemasukan udara (inspirasi) dan pengeluran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernafasan dibedakan atas dua macam, yaitu pernafasan dada dan pernafasan perut. Pernafasan dada dan perut terjadi secara bersamaan.



e. Volume dan kapasitas paru Dalam pernafasan di paru-paru melalui suatu mekanisme pergerakan dinding thoraks yang dipengaruhi oleh siklus perubahan tekanan udara di dalam paru pada saat ekspirasi dan inspirasi. Setiap adanya perubahan pola nafas maka diparu-paru akan terjadi perubahan volume udara dan kapasitas paru. Di bawah ini merupakan gambaran perubahan volume dan kapasitas paru: 1) Tidal Volume (VT) adalah volume udara dalam pernafasan biasa (normal). Volume rata-rata dalam pernafasan normal adalah 500 cc, dan hanya 350 cc yang sampai di paru-paru dan mengalami difusi, sedangkan 150 cc mengisi saluran nafas dari hidung sampai bronkus terminalis yang disebut ruang rugi fisiologik. Pada beberapa penderita ganguan saluran nafas dengan pola nafas yang dangkal akan menurunkan tidal volume-volume udara efektif yang sampai di alveoli. 2) Inspiratori Reserve Volume (IRV) adalah volume cadangan inspirasi atau volume udara ektra yang bisa diisap secara maksimal setelah



25



fase inspirasi biasa, volume IRV untuk laki-laki + 3,3 liter, sedangkan wanita +1,9 liter. 3) Ekspiratori Reserve Volume (ERV) adalah volume cadangan ekspirasi atau volume udara ekstra yang bisa dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal, setelah akhir ekspirasi biasa. Volume ERV untuk laki-laki +1 liter, dan wanita + 0,7 liter. 4) Residual Volume (RV) adalah jumlah volume udara yang masih tersisa di paru, setelah ekspirasi maksimal dan setelah inspirasi maksimal, residual rata-rata adalah 1200 cc. 5) Kapasitas Vital / Vital Capacity (VC) adalah kapasitas paru dalam menampung volume udara setelah inspirasi maksimal dan volume cadangan ekspirasi maksimal (VT+IRV+ERV) +4600 cc. 6) Kapasitas paru total adalah kapasitas paru menampung udara dengan inspirasi dan ekspirasi maksimal serta volume residu yang tertinggal di paru (VC+RV) + 5800cc). 7) Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang masih tertinggal di paru ekspirasi biasa (RV+ERV) + 2300 cc. 8) Kapasitas inspirasi adalah volume udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi biasa (VT+IRV) + 3500cc.



f. Skema Udara Pernafasan Udara



cadangan



inspirasi 1500 Udara



pernafasan



biasa 500 Kapasitas Total



Udara



cadangan



ekspirasi 1500 Udara sisa (residu 1000



26



Kapasitas Vital



1) Dengan demikian, udara yang digunakan dalam proses pernafasan memiliki volume antara 500 cc hingga sekitar 3500 cc. 2) Dari 500 cc udara inspirasi/ekspirasi biasa, hanya sekitar 350 cc udara yang mencapai alveolus, sedangkan sisanya mengisi saluran pernafasan. 3) Volume udara pernafasan dapat diukur dengan suatu alat yang disebut spirometer. 4) Besarnya volume udara pernafasan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran alat pernafasan, kemampuan dan kebiasaan bernafas, serta kondisi kesehatan.



g. Gas-gas dalam udara Gas



Udara luar



Udara di



Udara yang



sebelum



alveoli (%)



keluar dari



masuk paru-



paru-paru



paru (%)



(%)



Nitrogen (N2)



79,01



80,7



79,6



Oksigen (O2)



20,95



13,8



16,4



Karbondioksida



0,04



5,5



4,0



(CO2)



Pertukaran udara berlangsung di dalam alveolus dan pembuluh darah yang mengelilinginya. Gas oksigen dan karbondioksida akan berdifusi melalui sel-sel yang menyusun dinding alveolus dan kapiler darah. Udara alveolus mengandung zat oksegen yang lebih tinggi dan karbondioksida lebih rendah dari pada gas di dalam darah pembuluh kapiler. Oleh karena itu molekul cenderung berpindah dari konsentrasi yang lebih tinggi ke rendah, maka oksigen berdifusi dari alveolus ke dalam darah, dan karbondioksida akan berdifusi dari pembuluh darah ke alveolus. Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 cara yaitu: (1) karbondioksida larut dalam plasma dan membentuk asam karbonat dengan enzim anhydrase. (2) karbondioksida terikat pada



27



hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (3) karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO2) melalui proses berantai pertukaran klorida.



h. Pertukaran O2 dan CO2 dalam Pernafasan Jumlah oksigenyang diambil melalui udara pernafasan tergantung pada kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh, serta jumlah maupun jenis bahan makanan yang dimakan. Pekerja-pekerja berat termasuk atilt lebih banyak mebutuhkan oksigen dibanding pekerja ringan. Demikian juga seseorang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan sendirinya membutuhkan okseigen lebih banyak. Selanjutnya, seseorang yang memiliki kebiasaan memakan lebih banyak daging akan membutuhkan lebih banyak oksigen daripada seorang vegetarian. Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan sekitar 300 ccoksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan terebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang atau karena sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang. Oksigen yang dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh. Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun oleh senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan globin yang berupa protein.



28



Secara sederhana, pengikatan oksigen oleh hemoglobin dapat diperlihatkan menurut persamaan reaksi bolak-balik berikut ini: Hb4 + O2 4 Hb O2 oksihemoglobin) berwarna jernih Reaksi yang dipengarihi oleh kadar O2, kadar CO2, tekanan O2 (PO2), perbedaan kadar O2 dalam jaringa, kadar O2 di udara. Proses difusi oksigen ke dalam arteri demikian juga difusi CO2 dari arteri dipengaruhi oleh tekanan O2 dalam udara inspirasi. Tekanan seluruh udara lingkungan sekitar 1 atmosfir atau 760 mmHg, sedangkan tekanan O2 di lingkungan sekitar 160 mmHg. Tekanan oksigen di lingkunagn lebih tinggi dari pada tekanan oksigen dalam alveolus paru-paru dan arteri yang hanya 104 mmHg. Oleh karena itu oksigen dapat masuk ke paru-paru secara difusi. Dari paru-paru, O2 akan mengalir lewat vena pulmonalis yang tekanan O2 nya 104 mm; menuju ke jantung. Dari jantung O2 mengalir lewat arteri sistemik yang tekanan O2 nya 104 mmHg menuju ke jaringan tubuh yang tekanan O2 nya 0-40 mmHg. Di jaringan, O2 akan dipergunakan. Dari jaringan CO2 akan mengalir lewat vena sistemik ke jantung. Tekanan CO2 di jaringan di atas 45 mmHg, lebih tinggi dibandingkan vena sistemik yang hanya 45 mmHg. Dari jantung, CO2 mengalir lewat arteri pulmonalis yang tekanan O2 nya sama yaitu 45 mmHg. Dari arteri pulmonalis CO2 masuk ke paru-paru lalu dilepsakan ke udara bebas. Beberapa minimal darah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada jaringan? Setiap 100 mm3 darah dengan



29



tekanan oksigen 100 mmHg dapat mengangkut 19 cc oksigen. Bila tekanan oksigen hanya 40 mmHg makan hanya ada sekitar 12 cc oksigen yang bertahan dalam darah vena. Dengan demikian kemampuan hemoglobin untuk mengikat oksigen adalah 7 cc per 100 mm3 darah. Pengangkutan sekitar 200 mm3 CO2 keluar tubuh umumnya berlangsung menurut reaksi kimia berikut: 1) O2 +H2O Þ (karbonat anhidrase) H2CO3 Tiap liter darah hanya dapat melarutkan 4,3 cc CO2 sehingga mempengaruhi pH darah menjadi 4,5 karena terbentuknya asam karbonat. Pengangkutan CO2 oleh darah dapat dilaksanakan melalui 3 cara yakni sebagai berikut. Karbondioksida larut dalam plasma, dan membentuk asam karbonat dengan enzim anhidrase (7% dari seluruh C). 2) Karbondioksida terikat pada hemoglobin dalam bentuk karbomino hemoglobin (23% dari seluruh CO2). 3) Karbondioksida terikat dalam gugus ion bikarbonat (HCO3) melalui proses berantai pertukaran klorida (70% dari seluruh CO2). Reaksinya adalah sebagai berikut. CO2 + H2O Þ H2CO3 Þ H+ + HCO-3 Gangguan terhadap pengangkutan CO2 dapat mengakibatkan munculnya gejala asidosis karena turunnya kadar basa dalam darah. Hal tersebut dapat dosebabkan karena keadaan Pneumonia. Sebaliknya apabila terjadi akumulasi garam basa dalam darah maka muncul geaja alkalosis.



i. Energi dan Pernafasan Energi yang dihasilkan oleh proses pernafasan akan digunakan untuk membentuk molekul berenergi, yaitu ATP (Adenosin Tri Phospate). Selanjutnya, molekul ATP akan disimpan dalam sel dan merupakan sumber energi utama untuk aktivitas tubuh. ATP berasal dari perombakan senyawa organik seperti karbohidrat, protein, dan lemak.



30



Gula (glukosa) dari pemecahan karbohidrat dalam tubuh diubah terlebih dahulu menjadi senyawa fosfat yang dikatalisis oleh bantuan enzim glukokinase. Selanjutnya senyawa fosfat diubah menjadi asam piruvat dan akhirnya dibebaskan dalam bentuk H2O dan CO2 sebagai hasil samping oksidasi tersebut. Proses respirasi sel dari bahan glukosa secara garis besar, meliputi tiga tahapan, yaitu proses glikosis, siklus Krebs, dan tranfer elektron. Pada pekerja berat atau para atlit yang beraktivitas tinggi, pembentukan energi dapat dilakukan secara anaerobic. Hal ini disebabakan bila tubuh kekurangan suplai oksigen makan akan terjadi proses perombakan asam piruvat menjadi asam laktat yang akan membentuk 2 mol ATP.



j. Frekuensi Pernafasan Jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernafas disebut sebagai frekuensi pernafasan. Pada umumnya, frekuensi pernafasan manusia setiap menitnya sebanyak 15-18 kali. Cepat atau lambatnya frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) Usia. Semakin bertambahnya usia seseorang makan akan semakin rendah frekuensi parnafasannya. Hal ini berhubungan dengan energi yang dibutuhkan. 2) Jenis Kelamin. Pada umumnya pria memiliki frekuensi pernafasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Kebutuhan akan oksigen serta produksi karbondioksida pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita. 3) Suhu tubuh. Semakin tinggi suhu tubuh seseorang makan akan semakin cepat frekuensi pernafasannya, hal ini berhubungan dengan peningkatan proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh. 4) Posisi atau kedudukan tubuh. Frekuensi pernafasan ketika sedang duduk akan berbeda dibandingkan dengan ketika sedang



31



berjongkok atau berdiri. Hal ini berhubungan erat dengan energi yang dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai tumpuan berat tubuh. 5) Aktivitas. Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi seperti olahragawan akan membutuhkan lebih banyak energi daripada orang yang diam atau santai, oleh karena itu, frekuensi pernafasan orang tersebut juga lebih tinggi. Gerakan dan frekuensi pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdapat di otak. Selain itu, frekuensi pernafasan distimulus oleh konsentrasi karbondioksida (CO2) dalam darah.



D. Patofisiologi Proses pernafasan dibagi menjadi empat proses yaitu ventilasi difusi, aliran darah dan kontrol pernafasan, yang masing-masing berfungsi mempertahankan nilai normal PO2 dan PCO2 dalam darah arteri. Kelainan salah satu proses yang cukup berat menybabkan gagal pernafasan.



Dua klasifikasi utama pada gagal nafas berdasarkan patofisiologi ABG: 1. Gagal nafas hipoksemia, atau normokapnea, (hipoksemia dengan PaCO2 normal atau rendah). 2. Kegagalan hiperkapnea, atau ventilatorik (hipoksemia dan hiperkapnea). Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering menunjukkan PO2, yang rendah di dalam darah arteri (PaO2), dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2, pada kapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O2, darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian (delivery) O2, ke jaringan atau efek dari penurunan penyampaian O2, ke jaringan. Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan penyampaian O2, karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida, di mana Po2, arterial dapat normal atau meningkat.



32



Mekanisme hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia mempunyai kegunaan dalam identifikasi tipe penyakit paru dan respons terapi. Mekanisme ini dibaqi dalam dua golongan utama: 1). berkurangnya PO2, alveolar, dan 2). meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arter akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsia oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO2, darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah PO2, arteri Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalu sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2, = PAO2, Maka PO2, alveolam (PAO2) menentukan batas atas PO2, arteri. Semua nilai PO2 berada diantara PVO2, dan PAO2.



E. Mekanisme Hipoksemia dan Hiperkapnia Pada definisinya, hipoksemia terjadi pada gagal napas. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan adanya hipoksemia dan normocapnia atau hipokapnia, sedangkan kegagalan ventilasi ditandai dengan adanya hipoksemia dan hiperkapnia. Perbedaan dalam pengobatan pada dua keadaan ini akan semakin jelas dalam pembahasan berikut. Ada beberapa mekanisme pathogenesis yang mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia. Namun, hanya tiga mekanisme terakhir dalam daftar ini, (hipoventilasi alveolar, rasio ventilasi/perfusi [V/Q] rendah, dan pirau) merupakan penyebab penting hipoksemia. Penyebab primer hiperkapnia adalah hipoventilasi alveolar, tetapi ketidakseimbangan V/Q umumnya sedikit memengaruhi PaCO2. Perlu diketahui



bahwa hipoventilasi



alveolar



mengakibatkan hiperkapnia dan hipoksemia, sedangkan ketidakseimbangan V/Q umumnya hanya menyebabkan hipoksemia. Pengaruh PaCO2 pada paru related mudah : PaCO2 berhubungan langsung dengan produksi CO2 dan hamper berbandinng terbalik dengan ventilasi alveolar:



33



𝑷𝒂𝑪𝑶𝟐 𝛼



𝑉𝐶𝑂2 (𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐶𝑂2 ) 𝑉𝐴 (𝑣𝑒𝑛𝑡𝑖𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑎𝑙𝑣𝑒𝑜𝑙𝑎𝑟)



Dengan demikian jika ventilasi alveolar (VA) berkurang searuh, PaCO2 akan menjadi dua kali lipat untuk mempertahankan produksi CO2 tetap konstan. Sebaliknya, jika VA meningkat menjadi dua kali lipat, seperti halnya pada hiperventilasi, PaCO2 akan menurun menjadi setengahnya. Kegagalan ventilasi dengan hiperkapnia selalu melibatkan mekanisme hipoventilasi alveolar. Hipoventilasi murni, meskipun relative jarang, dikaitkan dengan keadaan ekstrapulmonal yang termuat dalam kontak 41-1, saat paru relative normal (kecuali pada kifoskoliosis). Hipoventilasi alveolar terjadi pada keadaan-keadaan ini karena ventilasi semenit menurun, misalnya pada penekanan pusat pernapasan karena penggunaan narkotik yang overdosis, atau jika ada peningkatan kerja pernapasan yang tidak proporsional atau metabolisme tubuh total (meningkatkan produksi CO2) pada VA tertentu, seperti pada obesitas atau deformitas dada. Hipoksemia yang berkaitan dengan hipoventilasi murni umumnya ringan (PaO2=50 sampai 80 mmHg) dan langsung disebabkan oleh peningkatan PCO2 alveolar (PaCO2). Kejadian ini dapat dijelaskan dengan mengingat bahwa tekanan parsial alveolar atau gas-gas darah pada seluruh arteri harus ditambahkan pada tekanan total (atmosfir). Dengan demikian bila PaCO2 meningkat, PaO2 harus menurun, dan sebaliknya pada tekanan atmosfer total yang konstan. Hubungan antara peningkatanya tegangan karbon dioksida (PCO2) dan menurunnya tegangan oksigen (PO2) yang terjadi pada keadaan hipoventilasi dapat diprediksikan dengan persamaan gas alveolar bila diketahui komposisi FIO2 dan rasio pertukaran pernapasan (R atau RQ), seperti di bawah ini: 𝑃𝐴𝑂2 = 𝐹𝐼𝑂2 (𝑃𝐵 − 𝑃𝐻2 𝑂) −



𝑃𝑎𝐶𝑂2 𝑅



PaO2 adalah tekanan parsial O2 dalam alveolus FIO2 adalah fraksi O2 yang diinspirasi (0,21 ketika bernapas) PB adalah tekanan barometric (760 mmHg pada permukaan laut), PH2O adalah tekanan parsial uap air dalam trakea (47



34



mmHg pada suhu tubuh normal), dan PaCO2 adalah tekanan parsial CO2 dalam darah arteri dan mengambil bagian yang sama dalam alveolus. R atau RQ ditentukan oleh metabolism tubuh dan sama dengan volume produksi CO2 dibagi dengan volume O2 yang dikonsumsi (VCO2/VO2). Nilai R adalah 0,7 jika lemak murni terbakar, 1,0 jika karbohidrat terbakar, dan kira-kira 0,8 pada makanan campuran. Ketika seorang yang sehat bernapasan dalam udara ruangan dengan PaCO2 normal sebesar 40 mmHg dan nilai R yang diambil = 0,8: 𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −



40 0,8



𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 100 𝑚𝑚𝐻𝑔 Jika seorang hipoventilasi bernapas dalam udara ruangan dan PaCO2 normal meningkat dari 40 mmHg menjadi 70 mmHg, PAO2 dan PaO2 seharusnya turun dari 100 mmHg ke sekitar 62 mmHg: 𝑃𝐴𝑂2 = 0,21 (760 − 47) −



70 0,8



𝑃𝐴𝑂2 = 𝑃𝐴𝑂2 = 62,23 𝑚𝑚𝐻𝑔 (CATATAN : untuk setiap kenaikan PaCO2 10mmHg di atas normal, PaCO2 akan turun 12,5 mmHg). Pemeriksaan persamaan alveolar gas membuat hipoksemia yang berkembang dari hipoventilasi murni dapat dikoreksi secara mudah dengan pemberian O2 dan peningkatan FIO2. Persamaan juga memperlihatkan bahwa jika menurunan PaO2 lebih besar dari yang diharapkan, maka harus dilakukan mekanisme



lain



yang



mengakibatkan



hipoksemia



(pirau



atau



ketidakseimbangan V/Q). Meskipun derajat hipoksemia yang berkembang dari hipoventilasi murni pada contoh tersebut tidak berat (karena kejenuhan O2 sekitar 90% pada PaO2 62 mmHg), namun derajat PaCO2 ini akan menekan pusat pernapasan dan mengakibatkan asidosis yang serius. Ketidakseimbangan, atau ketidakpadanan V/Q, dalam batas-batas tertentu merupakan mekanisme paling penting yang menyebabkan hipoksemia pada



35



orang-orang dengan obstruksi saluran napas kronik dan memegang peranan penting pada gangguan paru instrinsik lainnya. Ketidakseimbangan atau ketidakpadanan V/Q menyatakan adanya ketidakseimbangan ventilasi regional dan aliran darah pada unit-unit pertukaran gas paru seperti yang telah dibahas dalam Bab 35. Beberapa unit pulmonal mempunyai rasio V/Q yang tinggi (yaitu unit ventilasi sia-sia atau unit mirip ruang mati), sedangkan yang lain memeliki rasio V/Q yang rendah (perfusi sia-sia, pirau fisiologi, campuran vena). Jika sebagian alveoli menerima ventilasi yang terlalu sedikit dibandingkan dengan perfusinya (V/Q rendah), maka terjadi penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 darah yang meninggalkan alveoli. Akibatnya, darah dipirau lewat alveoli tanpa pertukaran gas darah yang memadai (efek campuran vena). Sebaliknya, alveoli yang terlalu sedikit menerima perfusi dibandingkan ventilasinya (V/Q tinggi) mengakibatkan PaO2 yang tinggi dan PaCO2 rendah dalam darah yang mengalir dari alveoli. Perlu diingat bahwa paru yang sehat juga mengalami beberapa ketidakseimbangan V/Q akibat efek gravitasi, tetapi perbedaan ini tidak cukup bermakna untuk mengakibatkan kelainan gas darah. Rasio V/Q yang rendah dapat menyebabkan hipoksemia yang bermakna pada penyakit paru tetapi umumnya hanya sedikit memengaruhi PaCO2. Perbedaan ini ditimbulkan oleh hubungan antara tekanan-tekanan parsial dan kandunngan dari kedua gas ini. Prinsip – prinsip pentinng yang perlu diingat dalam pembahasan sampai sejauh ini adalah (1) factor-faktor yang menentukan oksigenasi dan ventilasi berbeda dan harus dianalisi secara terpisah, (2) seluruh paru secara keseluruhan, tanpa memandang ketidakseimbangan local distribusi ventilasi dan perfusi, (3) PaO2, sebaliknya, tidak hanya bergantung hiperkapnia harus dipandang sebagai cermin dari maslah yang tidak hanya berhubungan dengan oksigenasi tetapi juga dengan ventilasi. Mekanismme pentinng ketiga yang mennyebabkan hipoksemia adalah pirau darah vena-ke-arteri, atau kanan-ke-kiri, yang tidak melalui unit-unit pertukaran gas paru. Pirau kanan-ke-kiri anatomikk sejati dapat terjadi pada penyakit jantung kongenital, yaitu ketika terdapat lubang antara sisi kanan dan kiri jantung, atau yang lebih jarang, adanya fistula normal juga terdapat pirau 36



sejati dalam jumlah yang kecil, yaitu sebesar kira-kira 2,5% dari aliran darah paru. Selain kelainan vascular anatomic yang jarang dan pirau normal dalam jumlah kecil ini, pirau juga dapat terjadi jika ruang alveolar tidak berfungsi, seperti pada edema paru atau pneumonia. Pirau jenis ini dapat dianggap sebagai jenis ketidakpadanan V/Q yang berat karena ventilasi dari unit-unit yang terkena adalah nol sedangkan perfusinya terus berlangsung. Jika cukup banyyak unit-unit pertukaran gas terlibat dalam pirau ini, dapat timbul hipoksemia yang berat. Namun PaCO2 umumnya normal atau rendah karena orang tersebut biasanya mampu meningkatkan ventilasi pada sisa paru normal untuk membuang CO2 secara memadai. Jika terjadi hiperventilasi secara keseluruhan akibat hipoksemia yang ekstrim, dapat timbul hipoksemia yang berat. Namun PaCO2 umumnya normal atau rendah karena orang tersebut biasanya mampu meningkatkan ventilasi pada sisa paru normal untuk membuang CO2 secara memadai. Jika terjadi hiperventilasi secara keseluruhan akibat hipoksemia yang ekstrim, dapat timbul hipokapnia dan alkalosis respiratori. Gagal napas hipoksemia yang terutama disebabkan oleh pirau sulit diatasi karena hipoksemia tidak segera diatasi dengan terapi O2. Jenis lain dari ketidakseimbangan V/Q yang ekstrem dapat dicontohkan dengan unit paru yang memounyai ventilasi tetapi tidak mengalami perfusi (ruang mati). Contoh klasik pennyakit ruang mati alveolaris adalah embolus paru akut. Penyebab lain yang sering adalah perfusi paru yang menurun secara akut , atau hipertensi paru akut yang disertai peningkatan resistensi paru akut yang disertai peningkatan resistensi vasluler paru. Kerusakan dinding septum alveolaris pada emfisema sehingga sejumlah alveoli diganti oleh rongga udara yang besar, mengakibatkan berkurangnya daerah permukaan untuk pertukaran gas. Ruang mati anatomis dapat sangat bertambah pada pola pernapasan yang cepat dan dangkal. Hipoksemia yang disebabkan oleh ketinggiann lokasi umumnya dapat diabaikan dalam pengobatan gagal napas karena merupakan hal yang tetap bagi penduduk setempat. Pada permukaan laut, tekanan barometer (PB) adalah 760 mmHg. Dengan bertambahnya ketinggian, PB total dan PO2 dari udara inspirasi menurun meskipun presentasi O2 dalam udara tetap konstan pada 20,93%. 37



Contohnya, di Boston yaitu setinggi permukaan laut, PB sebesar 760 mmHg dengan PO2 inspirasi sebesar 159 mmHg, sementara di Denver PB sebesar 632,3 mmHg dan PO2 inspirasi sebesar 1332,3 mmHg. Kebanyakan para ahli kini tidak lagi menganggap gangguan dalam difusi merupakan factor yang bermakna dalam menimbulkan hipoksemia, meskipun gangguan itu dapat sedikit berperan jika terdapat penebalan membrane kapileralveolar, seperti pada fibrosis paru dan sarcoidosis. Dalam keadaan istiraha, lama kontak yang normal dari udara alveolus dengan darah pulmonal adalah 0,75 detik, dan keseimbangan tercapai dalam waktu 0,25 detik. Jadi dengan demikian tersedia cukup waktu untuk terjadi proses difusi. Bila selama berlatih lama difusi agak berkurang, maka keterbatasan difusi ini mungkin akan ikut menyokong terjadinya hipoksemia. Ringkasnya, jika terdapat gagal napas hipoksemia, mekanisme utama yang terlibt adalah rasio V/Q yang rendah atau pirau, secara sendiri-sendiri ataupun Bersama-sama.



Gangguan



difusi



mungkin



sedikit



berperan



dalam



menimbulkan hipoksemia, tetapi pandangan ini masih kontroversial. Insufisiensi atau gagal napas biasanya disebabkan oleh penyakit paru vascular atau restriktif. Meskipun kerja pernapasan meningkat pada keadaan-keadaan itu (mengakibatkan peningkatan produksi CO2 dan pemakaian O2 untuk kerja ventilasi), seseorang masih cukup kuat untuk meningkatkan ventilasi secara memadai untuk mempertahankan PaCO2 normal. Sedikit kenaikan pada PaCO2 akan merangsang peningkatan ventilasi. Jika PaO2 turun sampai 50 atau 60 mmHg, maka ini juga merangsang ventilasi. Akibatnya dapat timbul hiperventilasi, sehingga PaCO2 turun dibawah batas normal (alkalosis respiratorik atau hipokapnia). Hiperventilasi dalam udara ruangan umumnya tidak efektif untuk memperbaiki hipoksemia karena bentuk sigmoid dari kurva disosiasi oksihemoglobin. Terapi oksigen cukup efektif dalam memperbaiki hipoksemia yang disebabkan oleh ketidakseimbangan V/Q atau gangguan difusi, tetapi tidak efektif jika disebabkan oleh pirau. Kegagalan hiperkapnia atau ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi saja atau gabungan dengan salah satu atau semua mekanisme hipoksemia-



38



ketidakseimbangan V/Q, pirau, atau mungkin gangguan difusi. Kegagalan ventilasi murni terjadi pada gangguan ekstrapulmonal yang melibatkan kegagalan kendali saraf atau otot-otot pernapasan, contoh klasik gagal napas hiperkapnia adalah COPD dan melibatkan ketidakseimbangan V/Q dan hipoventilasi. Jika pada pasien ini, gagal napas dicetuskan oleh secret yang tertahan dan pneumonia, dapat terbentuk pirau yang cukup besar. Walaupun gangguan obstruktif saluran napas umumnya mengakibatkan gagal napas hiperkapnia, namun terdapat pengecualian pada penyakit saluran napas yang reversible, seperti pada asma. Serangan asma akut biasanya ditandai dengan hipoksemia dan hipokapnia karena pasien biasanya dapat melakukan hiperventilasi. Peningkatan PaCO2 meskipun sampai batas-batas normal pada serangan asma yang berkepanjangan dapat merupakan tanda bahwa fungsi paru telah menurun. Focus primer dari kegagalan ventilasi adalah tindakan untuk memperbaiki ventilasi, dan pada waktu yang bersamaan mencegah terjadinya hipoksia jaringan yang serius. Cara-cara untuk membedakan mekanisme penyebab hipoksemia dan hiperkapnia akan dibicarakan lebih lanjut.



F. Prognosis Tingkat mortalitas bervariasi tetapi umumnya pasien yang masuk ICU dengan diagnosis ini memiliki tingkat mortalitas yang hampir 50%. Masalah medis ini mengakibatkan lamanya opname lebih dari 1 minggu di ICU.



G. Manifestasi Klinis Manifestasi gagal napas akut mencerminkan gabungan dari gambaran klinis penyakit penyebab, factor-faktor pencetus, srerta manifestasi hipoksemia dan hiperkapnia. Dengan demikian gambaran klinisnya cukup bervariasi karena berbagai factor dapat menjadi pencetus. Ada atau tidaknya insufiensi pernapasan kronik yang mendahului, juga merupakan factor lain yang dapat memberikan perbedaan dalam gambaran klinisnya. Tanda dan gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50



39



mmHg. Jaringan yang sangat peka terhadap penurunan O2 paling banyak terpengaruh, termasuk otak, jantung, dan paru. Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah neurologic: sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam penilaian, bicara kacau, asteriksis, gangguan fungsi motoric, agitasi, dan gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan tidak sadar. Pada beberapa kasus, tanda dan gejala neurologic dari orang yang mengalami hipoksia disalahtafsirkan sebagai mabuk karena alcohol. Respon awal kardiovaskular terhadap hipoksemia adalah takikardia dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap, bardikarida, hipotensi, penurunan curah jantung, dan aritmia dapat terjadi. Hipoksemia menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah paru. Efek metabolic hipoksia jaringan adalah metabolism anaerobic yang mengakibatkan asidosis metabolic. Meskipun sianosis sering dianggap sebagai salah satu tanda hipoksia, tetapi tanda ini tidak dapat diandalkan. Gejala klasik dyspnea nungkin tidak ada, terutama bila ada penekanan pusat pernapasan seperti pada gagal napas akibat kelebihan dosis narkotik. Hiperkapnia yang terjadi dalam udara ruangan selalu disertai hipoksemia. Akibatnya tanda dari gejala gagal nafas mencerminkan efek-efek dari hiperkapnia dan hipoksemia. Efek utama dari PaCO2 yang meningkat adalah penekenan system saraf pusat (CNS). Itulah sebabnya mengapa hiperkapnia yang berat kadang-kadang disebut sebagai narcosis CO2. Hiperkapnia mengakibatkan vasodilatasi serebral peningkatan aliran darah serebral, dan peningkatan tekanan intracranial. Akibatnya timbul gejala yang khas, yaitu sakit kepala, yang bertambah berat sewaktu bangun tidur pada pagi hari (karena PaCO2 sedikit meningkat sewaktu tidur). Tanda dan gejala yang lain adalah edema papil, iritabilitas neuromuscular (asteriksis), suasana hati yang berubahubah, dan rasa mengantuk yang terus bertambah yang akhirnya akan menuju koma yang ringan. Meskipun peningkatan PaCO2 merupakan rangsangan yang paling kuat untuk bernapas, tetapi peningkatan PaCO2 juga menimbulkan efek yang menekan pernapasan jika kadarnya melebihi 70 mmHg. Selain itu, pasien dengan COPD dan hiperkapnia kronik akan menjadi tidak peka terhadap peningkatan PaCO2 dan menjadi bergantung pada dorongan hipoksia.



40



Hiperkapnia menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru, sehingga dapat memperberat hipertensi arteria pulmonalis. Jika retensi CO2 sangat berat, dapat terjadi penurunan kontraktilitas miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung, dan hipotensi. Hiperkapnia menyebabkan asidosis respiratorik, yang sering bercampur dengan asidosis metabolic jika terjadi hipoksia. Campuran ini dapat menagkibatkan penurunan pH darah yang serius. Respon kompensatorik ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi bikarbonat untuk mempertahankan pH darah agar tetap normal. Respons ini memerlukan waktu sekitar 3 hari, sehingga asiodis respiratorik akan jauh lebih berat jika awitannya cepat.



H. Tanda dan Gejala Khusus 1. Awal a. Perubahan neurologik: resah, gelisah, pusing, cemas. b. Tanda-tanda vital akan meningkat yang menyebabkan takipnea, takikardia, dan hipertensi. c. Oksimetri nadi akan turun dibawah normal. d. Sesak nafas dan dispnea saat istirahat (paling umum). e. Penggunaan otot aksesoris dan interkostal. f. Suara nafas abnormal: crackles, gurgles. g. Perubahan pada jumlah dahak (sputum), warna, dan perlu dilakukan suction. h. Disritmia jantung. i. Seluruh kulit pucat. 2. Akhir a.



Perubahan-perubahan neurologi: letargi, rasa kantuk berat, koma.



b.



Tanda-tanda vital turun yang menyebabkan bradipnea, bradikardi, dan hipotensi.



c.



Sianosis/warna kulit tubuh terlihat bercak (mottling) dan usaha pernafasan yang lemah.



d.



Henti jantung



41



I. Diagnosis Ada beberapa keadaaan yang timbul selama setiap orang dapat mengenali adanya gagal napas. Contohnya adalah henti jantung, obstruksi total saluran napas atas, misalnya, oleh sepotong daging, cedera kepala serius yang cukup untuk menghentikan mekanisme pernapasan, atau kesulitan bernapas pada orang yang slanotik. Namun demikian, pada banyak pasien, gagal napas dapat tidak jelas terlihat. Awitan gagal napas terjadi perlahan-lahan pada banyak pasien dengan insufisiensi pernapasan kronik. Tanda dan gejala mungkin tidak khas dan sangat tidak sesuai dengan beratnya gangguan pernapasan sampai keadaan menjadi sangat gawat. Sikap yang sangat waspada diperlukan untuk mengenali setiap kasus gagal napas. Dengan demikian, klinisi perlu untuk sangat mencurigai adanya gagal napas dan siap untuk melakukan analisa gasgas darah arteri (ABG) yang merupakan satu-satunya jalan untuk membuat diagnosis pasti. Pada umumnya PaCO2 yang mencapai 50 mmHg atau lebih atau PaO2 mencapai 50 sampai 60 mmHg atau kurang pada ketinggian permukaan laut diterima sebagai petunjuk adanya gagal napas.



J. Interpretasi Hasil Tes ABG diperiksa dengan teliti untuk menentukan ARF. Pada pasien dengan nilai ABG normal, ARF didiagnosis ketika PO2 kurang dari 60 mm Hg dan PCO2 lebih besar dari 45 mm Hg. Pada pasien dengan tahanan PCO2 kronis pH juga harus ikut diperiksa, dengan nilai kurang dari 7,35 yang mengindikasikan ARF. CO2 tidal akhir juga akan tinggi. Rontgen dada akan berubah dari bersih ke putih dan buram (infiltrat bebercak) jika ARF karena aspirasi, gagal jantung, atau cairan dalam rongga dada. Nilai hemoglobin dan hematokrit yang rendah dapat menyebakan hipoksemia jika tidak ada zat besi pada molekul hemoglobin untuk menatu dengan oksigen yang tersedia.



42



K. Penanganan 1. Pengenalan dini dan perawatan penyebab yang mendasari 2. Intubasi sebelum pasien lelah bernafas 3. Ventilasi mekanis dengan PEEP dan FiO2 yang tinggi ditambahkan jika hipoksia berat. 4. Pemasukan pipa nasogastrik dengan dukungan nutrisi 5. Pasang kateter arteri pulmonalis jika cairan dan status jantung belum jelas 6. Transfusi sel darah merah jika pasien menderita anemia 7. Pengobatan: a. Biokarbonat untuk mengoreksi asidosis sesuai dengan nilai ABG b. Blokade neuromuskular untuk meminimalkan kebutuhan oksigen dan mempermudah pasien istirahat c. Analgesik jika pasien mendapatkan blokade neuromuskular untuk mencegah rasa sakit akibat imobilitas d. Diuretik seperti furosemid untuk menghilangkan cairan pada gagal jantung e. Bronkodilator atau steroid untuk mendilatasi saluran pernafasan dan mengurangi peradangan pada COPD akut. f. Pemblokir asam lambung untuk mencegah tukak lambung.



L. Penatalaksanaan Prioritas dan Prinsip Penanganan Gagal Nafas Hiperkapnea No 1



Prioritas Masalah



Penanganan



Secret yang tertahan (batuk tidak Hidras efektif)



yang



memadai,



ekspektoran, aerosol Batuk



yang



dibantu



dengan



kateter (penyedotan yang dalam) Penyedotan bronkoskopik Aspirasi endotrakeal



43



dengan



siang



2



Hipoksemia



Terapi oksigen yang bertahap dengan pemantauan gas darah yang sering



3



Hiperkapnea



Perangsang



respiratorik



(overdosis obat) Hindari sedasi Ventasi buatan melalui slang endotrakeal atau trakeostomi 4



Infeksi saluran nafas



antibiotik



5



Bronkospasme



Obat-obat (isoproterenol



bronkodilator dengan



terapi



inhalasi; aminofilin Intravena, oral, atau per rektal; obat-obat kartikosteroid) 6



Gagal Jantung



Diuretik Digoksin



(hati-hati



jika



diberikan)



Tabel di atas memuat daftar prioritas dan tujuan penanganan gagal napas Hiperkapnia. Pendekatan tertuhap Permasalahan sekresi paru yang tertahanan meliputi tindakan untuk mencairkan dan mengeluarkan secret itu. Pencairan paling baik dilakukan Hidrasi yang memadai untuk pasien. Obat-obatkan seperti kalium iodida yang diberikan per oral atau pemberian Air secara erosol juga dapat membatu mobilisasi seputum. Secret paling baik dikeluarkan dengan mengusahakan supaya pasien batuk dan membantu usaha pasien dengn perkusi, pibrasi, dan drainase postural. Jika pasien terlalu lemah untuk batuk, secret dapat keluar dengan aspirasi melalui selang endotrakeal atau bronkoskopi. Jika metode metode ini gagal mungkin diperlukan trakeostomi. Jika terdapat bronkospasme pada gagal ginjal napas, obat-obat bronkodilator atau kortikosteroid dapat digunakan. infeksi respiratorik, yang sering menjadi penyebab napas hipoksemia, ditangani antibiotik yang sesuai.



44



Akhirnya, pemeriksaan yang teliti dilakukan untuk mengatasi faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan gagal napas, seperti emboli paru atau gagal ventrikel kiri.



M. Pengkajian 1. Diagnosis (Anamnesis) a. Keluhan awal Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumothoraks atau infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif. b. Gejala yang menyertai 1) Nyeri dada yang disertai dengan sesak kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, infark miokard atau penyakit pleura 2) Batuk yang disertai dengan sesak, khususnya sputum purulen mungkin disebabkan oleh infeksi napas atau proses radang kronik (misalnya bronkitis atau radang mukosa saluran napas lainnya) 3) Demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi 4) Hemoptisis mengisyarakatkan adanya ruptur kapiler/vaskular, misalnya karena emboli paru, tumor atau radang saluran nafas. c. Terpajan keadaan lingkungan atau obat tertentu 1) Alergen seperti serbuk, jamur atau zat kimia mengakibatkan terjadinya bronkospasme dengan bentuk keluhan sesak. Anamnesis harus mencakup riwayat terpapar penyebab alergi. 2) Debu, asap, dan bahan kimia yang menimbulkan iritasi jalan napas berakibat terjadinya bronkospasme pada pasien yang sensitif. Menghindari penyebab alergi tersebut mencegah terjadinya penyakit ini. 3) Obat-obatan yang dimakan atau injeksi dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang menyebabkan sesak.



45



d. Riwayat gangguan yang sama Riwayat gangguan yang sama dapat menyingkat daftar penyebab penyakit, khususnya bila pasien tahu nama penyakitnya dan dapat menceritakan bentuk pengobatan terdahulu. Riwayat penyakit pada tabel berikut sebaiknya otomatis ditanyakan karena mungkin pasien tidak khusus menceritakan kecuali bila dokter menanyakannya.



2. Pemeriksaan Fisis Tanda vital. Tekanan darah, temperatur, frekuensi nadi dan frekuensi napas mementukan tingkat keparahan penyakit. Seorang pasien sesak dengan tanda-tanda vital normal biasanya hanya menderita penyakit kronik atau ringan, sementara pasien yang memperlihatkan adanya perubahan nyata pada tanda-tanda vital biasanya menderita gangguan akut yang memerlukan evaluasi dan pengobatan segera. a. Temperatur dibawah 35°C (95°F) atau di atas 41°C (105.8°F) atau tekanan darah sistolik dibawah 90 mm Hg menandakan keadaan gawat darurat. b. Pulsus paradoksus pada fase inspirasi terjadi peningkatan tekanan arterial lebih besar daripada 10 mm Hg-tanda ini bermanfaat dalam menentukan adanya kemungkinan udara terperangkap (air trapping) pada keadaan asma dan PPOK eksaserbasi akut. Ketika obstruksi saluran napas memburuk, variasi itu meningkat; dan ketika obstruksi membaik, pulsus paradoxus menurun. c. Frekuensi



napas



kurang



dari



5



kali/menit



mengisyaratkan



hipoventilasi dan kemungkinan besar respiratory arrest. Bila lebih dari 35 kali/menit menunjukkan gangguan yang parah, frekuensi yang lebih cepat dapat terlihat beberapa jam sebelum otot-otot napas menjadi lelah dan terjadi gagal napas.



46



3. Pemeriksaan Umum a. Tampilan umum Pasien dapat memberikan isyarat atas diagnosis tersebut. Seorang pasien yang mengantuk dengan napas yang lambat dan pendek bisa disebabkan; obat tertentu, retensi CO2 atau gangguan sistem saraf pusat (misalnya stroke, edema serebral, pendarahan subaraknoid). Seorang pasien yang gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa disebabkan hipoksemia berat karena primer penyakit paru/saluran napas, jantung atau bisa juga serangan cemas (anxiety attack), histerical attack. b. Kontraksi otot bantu napas Dapat mengungkapkan adanya tanda obstruksi saluran napas. Otot bantu pernapasan (accesory muscles) di leher dan otot-otot interkostal akan berkontraksi/digunakan pada keadaan adanya obstruksi saluran napas moderat hingga parah. Asimetri gerakan dinding dada atau deviasi trakeal dapat pula dideteksi selama pemeriksaan otot-otot napas. Pada tension pneumothorakx- suatu keadaan gawat darurat- sisi yang terkena akan membesar pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong ke sisi yang sebelahnya. c. Tekanan vena jugularis harus dicatat Peninggiannya menandakan adanya peningkatan tekanan atrium kanan. d. Palpasi 1) Tertinggalnya pengembangan suatu hemithoraks yang dirasakan dengan palpasi bagian lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan adanya gangguan pengembangan pada hemithoraks tersebut. Hal ini bisa akibat obstruksi salah satu bronkus utama, pneumothoraks atau efusi pleura. 2) Fremitus taktil. Menurunnya fremitus taktil yang diperoleh dengan memerintahkan pasien menyebutkan tujuh puluh tujuh (77) berulang-ulang terpalpasi pada area yang mengalami atelektasis seperti yang terjadi pada bronkus yang tersumbata atau area yang



47



ada efusi pleura. Meningkatnya fremitus disebabkan oleh konsolidasi parenkim pada suatu area yang mengalami inflamasi. e. Perkusi 1) Hipersonor akan ditemukan pada hiperinflasi paru seperti terjadi selama serangan asma akut, emfisema juga pada pneumothoraks. 2) Redup (dullness) pada perkusi menunjukkan konsolidasi paru atau efusi pleura. f. Auskultasi 1) Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru menunjukkan adanya obstruksi saluran napas. Keadaan ini dapat terdengar pada konsolidasi, efusi pleura atau pneumothoraks. 2) Ronki kasar dan nyaring (coarse rales and wheezing) sesuai dengan obstruksi parsial atau penyempitan saluran napas 3) Ronki basah halus (fine, moist rales) terdengar pada parenkim paru yang berisi cairan. Ronki bilateral (bilateral rales) disertai dengan irama gallop sesuai dengan gagal jantung kongestif. Ronki setempat sesuai dengan adanya konsolidasi paru di tempat itu. 4) Adanya egofoni (diucapkan huruf “i” seperti “e” datar menandakan konsolidasi. 5) Pada pasien dengan sesak dan rasa sakit di dadaharus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub, bila 2 komponen merupakan ciri pleuritis dan suara 3 komponen seperti perikarditis.



N. Pemeriksaan Fungsi Respirasi Pemeriksaan fungsi pernapasan tidak boleh diabaikan dalam perawatan pernapasan yang adekuat, tidak hanya untuk keperluan mendapatkan diagnosis yang tepat tetapi juga untuk penilaian respons terhadap pengobatan. Pemeriksaan ABG memberikan informasi yang berharga bukan hanya untuk menentukan berat dan jenis gagal napas tetapi juga untuk mengenali mekanisme yang terlibat.ssejumlah pemeriksaan fungsi ventilasi di samping tempat tidur juga sering dilakukan untuk menilai cadangan ventilasi dan



48



perlunya ventilasi mekanis. Status ventilasi dan status asam-basa juga dinilai dengan memeriksa PaCO2 bikarbonat (HCO3-) dan pH.



Pemeriksaan



Makna



Nilai Normal



Nilai Kritis



1. Pemeriksaan Fungsi Respirasi a. Frekuensi



a. Petunjuk umum a. 12-



pernafasan



(f)



per menit



distress



20x/menit



pernafasan dan



a. >35x/menit atau