Makalah Genetik Ayam Petelur [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..............................................................................1 1.2 Rumusan Masalah.........................................................................1 1.3 Maksud dan Tujuan.......................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiologi Produksi Telur................................................................3 2.2 Produksi Telur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.........4 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Ayam Petelur................................................................................6 3.2 Peningkatan Mutu Genetik...........................................................8 3.3 Upaya peningkatan mutu genetik ayam petelur............................8 3.4 Parameter Keberhasilan Pemuliaan...........................................13 BAB III PENUTUP Kesimpulan.......................................................................................15 DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Ayam petelur atau ayam layer merupakan ayam ras yang dipelihara khusus untuk dimanfaatkan telurnya. Ayam ini merupakan hasil rekayasa genetik (persilangan atau hasil pemuliaan) yang telah didomestikan. Kondisi ini dilakukan berdasarkan karakter-karakter (sifat-sifat dominan) dari ayamayam yang sudah ada. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan dengan memperbaiki mutu genetik, pakan, dan manajemen pemeliharaannya. Dalam makalah ini, difokuskan kepada perbaikan dan peningkatan mutu genetik ternak. Peningkatan



mutu genetik sangat penting karena berhubungan dengan



karakter-karakter yang diturunkan induk kepada keturunannya. Perbaikanperbaikan dan peningkatan genetik terus diupayakan agar mencapai performa yang optimal sehingga dapat dihasilkan produksi telur yang maksimal. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan ayam petelur? 2. Apa yang dimaksud dengan peningkatan mutu genetik? 3. Bagaimana cara meningkatkan mutu genetik ayam petelur? 4. Apa saja parameter keberhasilan peningkatan mutu genetik ayam petelur? 1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian dari ayam petelur 2. Untuk mengetahui pengertian dari peningkatan mutu genetik 3. Untuk mengetahui cara meningkatkan mutu genetik ayam petelur



1



4. Untuk mengetahui parameter keberhasilan peningkatan mutu genetik ayam petelur



2



II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Fisiologi Produksi Telur Ayam betina mempunyai alat repruduksi yang terdiri dari oviduct dan ovary. Oviduct ayam terdapat dari dua buah, tapi hanya sebelah kiri yang berkembang, sedangkan yang kanan rudimenter (Ruhyat, 2005). Ovary ayam mengandung 1000 sampai 3000 folikel dengan ukuran yang sangat bervariasi, dari ukuran mikroskopik sampai sebesar satu kuning telur dimana dari jumlah itu ada sekitar 5 atau 6 kuning telur yang lebih besar (Rasyaf, 1995). Kuning telur (yolk) diliputi oleh suatu membrane folikuler yang menempelkannya pada ovary. Kuning telur yang lebih kecil mulai tumbuh dengan cepat sekitar 10 hari sebelum dilepaskan ke infundibulum kemudian diterima oleh infundibulum meskipun kadang-kadang ia (yolk) jatuh ke rongga badan kemudian di absorbsi kembali. Setelah yolk masuk ke infundibulum lalu menuju ke magnum bagian protein dan mukofolisakarida. Terakhir atau penutup cangkang dikenal sebagai cuticle, material organik yang berperan untuk melindungi dari bakteri yang berbahaya. Waktu yang dibutuhkan untuk proses bertelur kira-kira lebih dari sehari semalam, periode tersebut melalui infundibulum selama 0,25 jam, magnum 3 jam, isthmus 1,25 jam, uterus 20 jam dan yang terakhir ke vagina selama 0,25 jam (Rasyaf, 1991).



3



2.2 Produksi Telur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Produksi telur tidak selalu mengalami kenaikan atau penurunan. Produksi telur yang dicapai merupakan akibat dari 2 faktor (1) laju produksi telur, dan (2) lama produksi telur sebelum molting (Ensminger, 1991). Kemampuan produksi telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Lingkungan yang berpengaruh terhadap performan ayam petelur adalah suhu dan kelembapan udara relative (Oluyeni dan Roberts, 1979). Selanjutnya Neshein, dkk(1979), menjelaskan bahwa kemampuan produksi dari tiap tipe strain berbeda-beda yang disebabkan oleh perbedaan mutu genetic yang dimilikinya. Secara genetis ayam mempunyai kemampuan maksimal dalam berproduksi. Dalam kondisi lingkungan yang baik dan sesuai produksi telur dapat mencapai kemampuan maksimalnya.Pengaruh lingkungan seperti temperatur, kelembaban, pergerakan udara, pemberian pakan, dan pengaturan kandang juga merupakan faktor yang berperan dalam produksi telur. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi telur yaitu: (1) Umur, merupakan hal yang mempengaruhi tingkat produktifitas telur ayam, pada awal produksi, produksi telur meningkat sampai mencapai puncaknya. Setelah itu, produksi telur terus menurun sampai akhir siklus bertelur. (2) Penyakit, sangat mempengaruhi mortalitas dan morbiditas. Mortalitas mempengaruhi jumlah ayam yang dapat bertelur dan morbiditas mengurangi kemampuan bertelur dari ayam yang terkena penyakit. (3) Pencahayaan, produksi telur bergantung pada ritme circadian yang diakibatkan siklus gelap terang dalam 24 jam (Faithful and Gowe, 1993).



4



Faktor-faktor yang ikut menentukan produksi telur : a. Kematangan seksual (Heritabilitas 30%) b. Ukuran telur (Heritabilitas 50%) c. Laju produksi telur (Heritabilitas 10%) d. Daya tetas (Heritabilitas 12%) e. Pengeraman anak ayam (brooding)(Ensminger, 1991)



5



III PEMBAHASAN 3.1 Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab dengan sebutan



6



ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni). Ayam semacam ini masih bisa dijumpai di tahun 1950-an yang dipelihara oleh beberapa orang penggemar ayam. Hingga akhir periode 1980-an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya. Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya. Antipati orang terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula. Disinilah masyarakat mulai sadar bahwa ayam ras mempunyai klasifikasi sebagai petelur handal dan pedaging yang enak. Mulai terjadi pula persaingan tajam antara telur dan daging ayam ras dengan telur dan daging ayam kampung. Sementara itu telur ayam ras cokelat mulai diatas angin, sedangkan telur ayam kampung mulai terpuruk pada penggunaan resep makanan tradisional saja. Persaingan inilah menandakan maraknya peternakan ayam petelur. Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul. Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik



7



dibandingkan ayam ras. Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika. 3.2 Peningkatan Mutu Genetik Peningkatan mutu genetik merupakan upaya untuk memperbanyak kualitas genetik dalam bubidaya ternak. Permasalahan yang dihadapi dalam bidang peternakan di Indonesia antara lain adalah masih rendahnya produktifitas dan mutu genetik ternak. Keadaan ini terjadi karena sebagian besar peternakan di Indonesia masih merupakan peternakan konvensional, dimana mutu bibit, penggunaan teknologi dan keterampilan peternak relatif masih rendah. Pemerintah telah berupaya dalam penyediaan bibit seperti peningkatan populasi dan manfaat unggas lokal yang telah direalisasikan dalam program INTAB (Intensifikasi ayam buras), VBC (village breeding centre) dan RRMC (rural rearing multipication centre). 3.3



Upaya peningkatan mutu genetik ayam petelur 1)



Seleksi Seleksi



adalah



istilah



dalam



pemilihan



ternak



yang



menggambarkan proses pemilihan secara sistematis ternak-ternak dari suatu populasi untuk dijadikan induk pada generasi berikutnya. a) Metode Seleksi (1)



Seleksi Individual (Mass Selection) Untuk ternak bibit yang didasarkan pada catatan produktifitas masing-masing ternak. Seleksi ini sering dilakukan jika Fenotip ternak yang bersangkutan bisa



8



diukur baik pada jantan atau betina dan nilai heritabilitas atau keragaman genetik tinggi. (2)



Seleksi Kekerabatan (Family Selection) Seleksi atas dasar performans kerabat-kerabatnya. Seleksi keluarga biasa dilakukan apabila nilai heritabilitas rendah, ternak betina banyak menghasilkan keturunan, dan ternak diberi perlakuan khusus sehingga tidak bisa dipakai sebagai ternak pengganti.



(3)



Uji Zuriat (Uji Keturunan/Progeny Test) Uji zuriat adalah suatu uji terhadap seekor atau sekelompok ternak berdasarkperforman atau penampilan dari anak-anaknya. Uji ini lazimnya dilakukan untuk evaluasi pejantan (Okariyadi, 2010).



Dugaan Kemajuan seleksi dapat diduga dengan rumus sebagai berikut : R = Sxh2 R = Dugaan kemajuan seleksi per generasi S = Seleksi diferensial h2 = Heritabilitas (Rahmat, 2010).



b) Kriteria Seleksi pada Ayam Petelur Tujuan utama pemuliaan ayam petelur adalah produksi telur, kriteria seleksi yang dipertimbangkan dalam suatu program pemuliaan untuk ayam petelur adalah : (1) Jumlah Telur, Hen-Day Production dan Hen-Housed Production (2) Umur pertama bertelur



9



(3) Berat telur (4) Efisiensi pakan (5)Kualitas Telur, misalnya kekuatan/ketebalan kerabang, kualitas albumin, (6)blood spots, dan warna kulit (7)Persistensi produksi (8)Daya tahan terhadap penyakit (9)Adaptasi terhadap lingkungan yang spesifik (10)Daya tetas dan mortalitas (bibit) (Okariyadi, 2010). Beberapa strain Ayam Petelur yang diproduksi di indonesia dilansir dari Zainal (2003) diantaranya yaitu, Strain Isa Brown & Shover Starcross, oleh PT Cargill Indonesia, AA-26 oleh PT Charoen Pokphand Indonesia, Bromo oleh PT Angkie, Cobb oleh PT Galur Palasari, Hyline oleh PT Hybrida Indonesia, Barbock oleh CV Missouri dan lain-lain. 2)



Sistem Perkawinan Sistem perkawinan yang paling banyak digunakan dalam penerapan pemuliaan ternak adalah perkawinan silang. ada 2 macam teknik utama persilangan, yaitu: a) Persilangan antar individu yang berkerabat (Inbreeding) Biak dalam (Inbreeding) adalah perkawinan antara individu yang mempunyai hubungan kekerabatan. Suatu individu dikatakan tidak berkerabat lagi apabila tidak mempunyai tetua bersama setelah generasi ke lima atau ke enam. Dengan demikian, perkawinan dikatakan berkerabat atau Inbreeding apabila individu-individu tersebut mempunyai tetua



10



bersama sekitar 4 generasi diatasnya. Secara umum, Inbreeding akan menurunkan performans seperti : daya tahan tubuh, resistensi penyakit, efisiensi reproduksi, dan daya hidup. Selain itu, Inbreeding juga akan meningkatkan abnormalitas dan kematian untuk sifat yang dalam keadaan homozigot bersifat letal. b) Persilangan antar individu yang tidak berkerabat (Out Crossing) a. Biak Silang (Cross Breeding) Cross breeding adalah persilangan antar ternak yang tidak sebangsa Jenis persilangan ini memegang peranan penting dalam pemuliaan ternak, dengan kegunaan-kegunaan saling substitusi sifat yang diinginkan dan memanfaatkan keunggulan ternak dalam keadaan hetrozigot (Hybrid Vigor). b. Biak Silang luar (Out Breeding) Out crossing adalah persilangan antara ternak dalam yang satu bangsa tetapi tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Tujuan utama out crossing adalah untuk menjaga kemurnian bangsa ternak tertentu tanpa silang dalam. c. Biak Tingkat (Grading Up) Grading up adalah persilangan balik yang terus menerus yang diarahkan terhadap suatu bangsa ternak tertentu. Tujuan Grading Up adalah untuk memperbaiki ternak yang produktivitasnya dianggap rendah, sedangkan kerugiannya adalah dapat menyebabkan kepunahan (Sudaryani dan Santosa, 2003).



11



c) Cara Breeding Unggas Komersil 1) Breeding Primer Pembibitan yang mengembangkan dan menyeleksi strain ayam yang dapat memenuhi kebutuhan breeder sekunder (GP) sesuai preferensi konsumen (daging dan telur). Strain ayam yang dikembangkan biasanya galur murni (pure lines), yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh GGP (Great Grand Parent) breeding farm. Hasil dari GPP akan dikembangkan lebih lanjut oleh GP breeding farm. Galur ayam petelur terdapat 2, yaitu Galur Petelur Putih dan Galur petelur cokelat. Galur Petelur Putih (White-Egg Lines), galur ayam dengan kerabang telur Putih. Galur Petelur Coklat (Brown-Egg Lines), galur ayam dengan dengan kerabang telur coklat 2) Breeding Sekunder (Multiplier) Pembibitan sekunder biasanya beroperasi pada level GP (Grand Parent) dan/atau PS (Parent Stock) dan mengembangkan ayam bibit untuk memenuhI kebutuhan PS dan/atau FS (Final Stock). Hasil dari PS, yaitu FS yang akan dikembangkan lebih lanjut oleh peternak ayam komersial. Pada ayam petelur dikembangkan Breeding layer, yaitu Ayam Petelur dengan kerabang telur coklat, dan Ayam Petelur dengan kerabang telur putih. 3) Final Stocks (FS) Ayam Komersial yang dihasilkan oleh PS (Rahmat, 2010). Final stock adalah ayam yang dipelihara khusus dengan tujuan untuk menghasilkan telur melalui berbagai persilangan dan seleksi (Sudaryanti dan Santosa, 2003).



12



3.4



Parameter Keberhasilan Pemuliaan Heritabilitas merupakan parameter paling penting dalam pemuliaan ternak. Semakin tinggi nilai heritabilitas suatu sifat yang diseleksi, maka semakin tinggi peningkatan sifat yang diperoleh setelah seleksi. Tingginya nilai heritabiltas suatu sifat menunjukkan tingginya korelasi ragam fenotipik dan ragam genetik. Pada kondisi ini seleksi fenotipik individu sangat efektif, sedangkan jika nilai heritabilitas rendah, maka sebaiknya seleksi dilakukan berdasarkan kelompok(Rahmat, 2010). Sebagaimana diketahui bahwa fenotipe pada seekor ternak ditentukan oleh faktor genetik dan non genetik. Faktor genetik merupakan faktor yang mendapatkan perhatian pemulia ternak, karena faktor genetik tersebut diwariskan dari generasi tetua kepada anaknya. Selanjutnya perlu diketahui sampai sejauh mana fenotipe seekor ternak dapat digunakan sebagai indikator dalam menduga mutu genetik ternak. Untuk itulah kemudian dikembangkan suatu konsep berupa koefesien yang dikenal dengan heritabilitas Sejak dulu selalu timbul pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat yang menguntungkan dari individu superior ditransmisikan pada anak-anaknya. Pendugaan nilai heritabilitas dapat membantu kita dalam menjawab pertanyaan penting tersebut. Modul ini menjelaskan defenisi heritabilitas, metode pendugaan heritabilitas dan pengaruh heritabilitas terhadap perubahan performans ternak (Rahmat, 2010). Heritabilitas merupakan salah satu pertimbangan paling penting dalam melakukan evaluasi ternak, metode seleksi dan sistem perkawinan. Secara lebih spesifik heritabilitas merupakan bagian dari keragaman total



13



pada sifat-sifat yang disebabkan oleh perbedaan genetik diantara ternakternak yang diamati. Heritabilitas merupakan perbandingan antara ragam genetik terhadap ragam fenotipik. Ragam fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan (Rahmat, 2010).



14



BAB IV PENUTUP



KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA



Okariyadi, I.D.K. 2010. Ilmu Pemuliaan Ternak. Universitas Udayana. Denpasar. Rahmat, D. 2010. Model Pola Pemuliaan Ternak Berkelanjutan. Universitas Padjajaran. Sumedang. Sudaryani, T. dan Santosa. 2003. Pembibitan Ayam Ras. Penebar Swadaya. Jakarta. Zainal Abidin. 2003. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta



15



Muhammad Rasyaf, Dr.,Ir. Beternak Ayam Pedaging. Penerbit Penebar Swadaya (anggota IKAPI) Jakarta Cahyono, Bambang, Ir.1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Penerbit Pustaka Nusatama Yogyakarta.



16