MAKALAH GENETIKA (Aplikasi Ilmu Genetika Di Bidang Forensik) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH GENETIKA APLIKASI ILMU GENETIKA DI BIDANG FORENSIK Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Genetika Dosen Pengampu : Dr. Yani Suryani, S.Pd., M.Si.



oleh : Nisrina Khairun Nisa



NIM (1177020062)



JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG 2018



KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Kuasa, yang telah memberikan anugerah, kesempatan dan pemikiran kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah berjudul “Aplikasi Ilmu Genetika di Bidang Forensik” ini tepat pada waktunya. Sholawat serta



salam semoga tetap tercurahlimpahkan



kepada Nabi Muhammad saw. Dalam penyusunan makalah ini, saya banyak mendapat tantangan dan hambatan, akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Oleh karenanya, saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Semoga amal baik semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt. Saya menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, sehingga saya senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik demi penyempurnaan makalah berikutnya. Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Akhir kata, saya ucapkan terimakasih teriring do’a jazaakumullahu khairan katsiiran.



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................ iii ISI .................................................................................................................. 1 I.



Pendahuluan.................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 3 1.3 Tujuan .................................................................................... 3



II.



Pembahasan .................................................................................... 4 2.1 Genetika ................................................................................. 4 2.2 Forensik.................................................................................. 5 2.3 Penerapan Ilmu Genetika di Bidang Forensik ....................... 7 2.4 Metode Analisis DNA dalam Bidang Forensik ..................... 13 2.5 Cabang-cabang Genetika Forensik ........................................ 23



III. Penutup ........................................................................................... 29 3.1 Simpulan ................................................................................ 29 3.2 Saran ...................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 31



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan, ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat, bagaimana sifat keturunan itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasivariasi yang mungkin timbul di dalamnya atau yang menyertainya. Pewarisan sifat tersebut dapat terjadi melalui proses seksual. Genetika berusaha membawakan material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik), bagaimana informasi tersebut di ekspresikan ekspresi genetik dan bagaimana informasi tersebut dipindahkan dari individu satu ke individu lain. Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi, biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat, salah satunya pada bidang forensik. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini membawa kesejahteraan bagi umat manusia di segala bidang kehidupan tetapi juga menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Salah satu akibat yang tidak diharapkan



tersebut



adalah



meningkatnya



kuantitas



maupun



kualitas



mengenai cara atau teknik pelaksanaan tindak pidana, khusunya yang berkaitan dengan upaya pelaku tindak pidana dalam usaha meniadakan sarana bukti, sehingga tidak jarang dijumpai kesulitan bagi para petugas hukum untuk mengetahui identitas korban.



1



Dalam proses penyidikan suatu tindak pidana, mengetahui identitas korban merupakan hal yang sangat penting. Dengan mengetahui identitas korban merupakan sebagai langkah awal penyidikan sehingga dapat dilakukan langkahlangkah selanjutnya. Apabila identitas korban tidak dapat diketahui, maka sebenarnya penyidikan menjadi tidak mungkin dilakukan. Selanjutnya apabila penyidikan tidak sampai menemukan identitasnya identitas korban, maka dapat dihindari adanya kekeliruan dalam proses peradilan yang dapat berakibat fatal. Selain itu mengetaui identitas korban untuk berbagai kehidupan sosial misalnya asuransi, pembagian dan penentuan ahli waris, akte kelahiran, pernikahan dansebagainya keterangan identitas mempunyai arti penting pula, yaitu untuk mengetahui bahwa keterangan itu benar-benar keterangan yang dimaksud untuk memperoleh yang menjadi haknya maupun untuk memenuhi kewajibannya. Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molekuler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisis DNA) telah membuktikan, bahwa setiap invidu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik jari sudah tidak bisa diperoleh. Analisa serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk, uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan tersebut), uji cairan tubuh lainnya (seperti : air liur, semen vagina atau sperma, rambut, potongan kulit) untuk menetukan sumbernya, uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang. Berangkat dari pemaparan di atas mengenai keterkaitan ilmu genetika dan forensik, maka pada makalah ini akan dibahas mengenai aplikasi ilmu genetika dalam bidang forensik yang meliputi: pengertian, penerapan, dan metode identifikasi.



2



1.2



1.3



Rumusan Masalah 1.



Apa yang dimaksud dengan genetika?



2.



Apa yang dimaksud dengan forensik?



3.



Bagaimana penerapan ilmu genetika di bidang forensik?



4.



Bagaimana metode analisis DNA dalam bidang forensik?



5.



Apa saja cabang-cabang genetika forensik?



Tujuan 1.



Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan genetika.



2.



Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan forensik.



3.



Untuk mengetahui penerapan ilmu genetika di bidang forensik.



4.



Untuk mengetahui metode analisis DNA dalam bidang forensik.



5.



Untuk mengetahui cabang-cabang genetika forensik.



3



BAB II PEMBAHASAN



2.1



Genetika Genetika (kata serapan dari bahasa Belanda: genetica, adaptasi dari bahasa Inggris: genetics, dibentuk dari kata bahasa Yunani: genno yang berarti "melahirkan") adalah cabang biologi yang mempelajari pewarisan sifat pada organisme maupun suborganisme (seperti virus dan prion). Secara singkat dapat juga dikatakan bahwa genetika adalah ilmu tentang gen dan segala aspeknya (Wikipedia, 2017). Genetika merupakan salah satu bidang ilmu yang sejak dahulu kala sudah menarik perhatian semua manusia. Tanpa menyadari dan tanpa mengenal hukumhukumnya, manusia ratusan tahun



yang lalu sebenarnya



sudah lama



mempraktikan ilmu ini terhadap hewan dan tumbuhan di lingkunganya demi kepentingannya. Jauh sebelum mendel merumuskan hukum-hukumnya, para orang tua pun sudah tidak merestui perkawinan antar sanak sodara yang dekat hubungan keluarganya. Begitupun sebelum memungut atau bahasa baiknya sebelum memilih menantunya, orang tua menyelidiki dulu apakah si calon memilki nenek moyang yang cacat mental dan fisik atau tidak. Hal itu di lakukan berdasarkan atas pengalaman dan pengamatan dari generasi ke generasi sesudahnya secara turun temurun. Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan, ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat, bagaimana sifat keturunan itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasivariasi yang mungkin timbul di dalamnya atau yang menyertainya. Pewarisan sifat tersebut dapat terjadi melalui proses seksual. Hal yang di tekankan dalam ilmu genetika antara lain material pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik), bagaimana informasi itu diekspresikan (ekspresi genetik) dan bagaimana



4



informasi itu dipindahkan dari satu individu ke individu yang lain (pewarisan genetik). Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi, biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat.



2.2



Forensik Kata “forensik” berarti “berhubungan dengan ruang sidang”. Forensik merupakan aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran maupun ilmu-ilmu lain yang terkait dalam suatu penyelidikan untuk memperoleh data-data dalam mengungkap kasus kriminal baik itu data post mortem berdasar pemeriksaan mayat maupun data dari pemeriksaan kasus hidup seperti perkosaan, pelecehan seksual dan/ atau kekerasan dalam rumah tangga. Ilmu forensik merupakan terapan berbagai ranah keilmuan (multi disiplin) yang penting untuk menentukan identitas korban maupun pelaku, tanda, sebab dan cara kematian, serta perkiraan waktu kematian. Produk yang dihasilkan merupakan bukti autentik dalam suatu proses peradilan hukum demi menegakkan kebenaran. Produk tersebut dapat berupa laporan tertulis atau dalam bentuk pengakuan lisan para ahli yang akan diberikan di pengadilan pada tindak kriminal. Kasus non kriminal, aplikasi forensik sangat diperlukan terutama untuk mengungkap identitas korban musibah masal seperti bencana alam, jatuhnya pesawat, tenggelamnya kapal, kecelakaan kereta dan kebakaran (Pertiwi & Yulianti, 2011). Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk membantu proses peradilan terutama dalam bidang pembuktian. Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas yaitu dengan



5



mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah terjadi (Owen, 2000). Forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang memberikan bantuan kepada penyidik untuk mendapatkan salah satu alat bukti baik untuk perkara pidana maupun perkara perdata. Alat bukti tersebut dapat berupa pemeriksaan terhadap korban maupun benda yang hasilnya berupa sebuah visum et repertum, atau yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebut sebagai Keterangan Ahli. Ilmu kedokteran forensik sudah berkembang sejak zaman Romawi, orang bijak atau raja sering menerima berbagai pengaduan masyakarat akan berbagai masalah, termasuk masalah kriminalitas yang memerlukan penetapan siapa yang salah dan siapa yang benar (Guyton & Hall, 2007). Seiring dengan meningkatnya kasus kriminalitas dengan motif dan modus yang beragam, diperlukan ilmu yang dapat mengakomodasi kepentingan penegakan hukum. Ilmu kedokteran forensik atau disebut juga ilmu kedokteran kehakiman menjadi semakin penting untuk pembuktian dalam proses peradilan. Untuk memperoleh keadilan, pembuktian siapa yang benar dan siapa yang salah dalam kasus kriminalistas, pembuktian dilakukan secara ilmiah. Dalam mengungkap kejahatan yang berkenaan dengan tubuh manusia, diperlukan peran Kedokteran Forensik. Pembunuhan dengan kualitas tinggi seperti penggunaan racun, terror dengan bahan biologis, kimia nuklir, pembunuhan dengan perencanaan, sangat diperlukan keahlian dan pengetahuan Kedokteran Forensik (Guyton & Hall, 2007). Kedokteran forensik



bersama dengan kepolisian bermitra dalam



mengungkapkan kasus perkara pidana yang menyangkut tubuh manusia. Penegakan keadilan yang berlandaskan profesionalisme, ilmiah, dan kebenaran dirasa perlu oleh masyakarat, baik korban, pelaku, dan pihakpihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana. Studi dalam kedokteran forensik memberikan fakta yang kuat dalam menganalisis suatu tindak pidana dan sekaligus



6



memberikan bukti yang nyata akan adanya suatu tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh manusia melalui visum et repertum (Guyton & Hall, 2007). Orang sering menyebut ilmu pengetahuan forensik sebagai ilmu pengetahuan dewa, hal ini karena dengan ilmu forensik kita menjadi tahu segala sesuatu yang tak diketahui atau mengetahui sesuatu yang tadinya tidak kita ketahui. Dalam dunia



penegakan hukum di zaman yang modern ini ilmu



pengetahuan forensik merupakan hal yang vital bagi kelangsungan penegakan hukum di dunia, karena tanpa ilmu pengetahuan forensik akan banyak kasus kejahatan yang tak akan terungkap.



2.3



Penerapan Ilmu Genetika di Bidang Forensik Perkembangan disiplin ilmu forensik sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Biologi molekuler forensik berkembang secara pesat menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri dan mempengaruhi sistem penegakan hukum dan peradilan karena penerapannya yang sangat berguna. Perkembangan ini juga diikuti oleh isu-isu sosioetikolegal terhadap pemanfaatan luas biologi molekuler forensik (Rapley & Whitehouse, 2007). Sejak setengah abad yang lalu terjadi perkembangan pesat biologi molekuler yang membuat para ilmuwan mampu memeriksa sekuen Deoxyribose Nucleic Acid (DNA). Polimorfisme DNA dapat dideteksi menggunakan southernblot, yang kemudian berlanjut dengan dimulainya analisis terhadap lokus polimorfisme tersebut (Goodwin et al., 2007). Biologi molekuler forensik dikenal juga sebagai genetika forensik. Perkembangan yang sangat menggembirakan dalam sejarah genetika forensik adalah dengan ditemukannya proses amplifikasi regio spesifik DNA dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Proses PCR pertama kali dikemukakan oleh Mullis (1983), seorang ahli kimia yang bekerja di Cetus Corporation, Amerika Serikat. Perkembangan PCR diikuti perkembangan semua aspek dalam bidang biologi molekuler. Berdasarkan temuan PCR yang signifikan ini, Mullis mendapat penghargaan Nobel untuk bidang kimia pada tahun 1993.



7



PCR meningkatkan sensitifitas analisis DNA ketingkat profil DNA bisa didapatkan dari sejumlah kecil sel. PCR juga ikut mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi profil, dan bisa digunakan pada DNA yang telah terdegradasi, serta memungkinkan untuk menganalisis beberapa polimorfisme pada genom (Goodwin et al., 2007). Seiring dengan pesatnya perkembangan bidang ilmu biologi molekuler (imunologi dan genetik) belakangan ini, pemanfaatan bidang ilmu ini dalam proses peradilan meningkat dengan sangat pesat. Sejak awal perkembangannya pemanfaatan serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik lebih banyak untuk keperluan identifikasi personal baik pelaku atau korban. Sistem penggolongan darah (sistem ABO) pertama kali dikembangkan untuk keperluan penyidikan (asal dan sumber bercak darah pada tempat kejadian). Belakangan dengan pesatnya perkembangan ilmu genetika (analisis DNA) telah membuktikan, bahwa setiap invidu memiliki kekhasan sidik DNA, sehingga kedepan sidik DNA dapat digunakan untuk menggantikan peran sidik jari, pada kasus dimana sidik jari sudah tidak bisa diperoleh. Dilain hal, analisa DNA sangat diperlukan pada penyidikan kasus pembunuhan mutilasi, penelusuran paternitas. Analisa serologi/biologi molekuler dalam bidang forensik bertujuan untuk, uji darah untuk menentukan sumbernya (darah manusia atau hewan, atau warna dari getah tumbuhan, darah pelaku atau korban, atau orang yang tidak terlibat dalam tindak kejahatan tersebut), uji cairan tubuh lainnya (seperti : air liur, semen vagina atau sperma, rambut, potongan kulit) untuk menetukan sumbernya, uji imonologi atau DNA individu untuk mencari identitas seseorang. Selama 20 tahun terakhir perkembangan dan penerapan genetika telah merevolusi ilmu forensik. Pada tahun 1984, analisis daerah polimorfik DNA menghasilkan apa disebut 'sidik jari DNA. Tahun berikutnya, atas permintaan United Kingdom Home Office, pembuatan profil DNA berhasil diterapkan pada kasus nyata, ketika digunakan untuk menyelesaikan perselisihan imigrasi. Setelah itu, pada tahun 1986, DNA Bukti digunakan untuk pertama kalinya dalam kasus pidana dan mengidentifikasi Colin Pitchfork sebagai pembunuh dua gadis sekolah di Leicestershire, Inggris. Dia divonis pada bulan



8



Januari 1988. Penggunaan genetika dengan cepat diadopsi oleh komunitas forensik dan memiliki sebuah peran penting di seluruh dunia dalam penyelidikan tindak kriminal. Baik lingkup dan skala DNA analisis dalam ilmu forensik akan terus berkembang di masa yang akan datang. Pekerjaan ahli genetika forensik akan sangat bervariasi tergantung pada laboratorium dan negara tempat mereka bekerja, dan bisa melibatkan analisis materi yang dipulihkan adegan kejahatan, uji coba ayah dan identifikasi jenazah manusia. Dalam beberapa kasus, bahkan dapat digunakan untuk analisis DNA dari tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Laboratorium forensik akan menerima materi yang telah ditemukan dari scene kejahatan, dan contoh referensi dari kedua tersangka dan korban. Peran forensik Genetika dalam proses investigasi adalah membandingkan sampel yang ditemukan dari kejahatan adegan dengan tersangka, menghasilkan sebuah laporan yang bisa dipresentasikan di pengadilan atau intelijen yang mungkin menginformasikan penyelidikan (Gambar 1). Di beberapa organisasi satu orang akan bertanggung jawab untuk mengumpulkan bukti, analisis genetik dan biologi sampel, dan akhirnya mempresentasikan hasilnya ke pengadilan hukum Namun, tren di banyak organisasi besar adalah untuk individu.



9



Gambar 1. Pengenalan Genetika Forensik



Peran ahli forensik genetika adalah untuk memastikan apakah sampel dari TKP sama dengan tersangka. Sampel referensi yang diberikan dari tersangka dan juga korban tindak kejahatan. Bertanggung jawab hanya untuk tugas yang sangat spesifik dalam prosesnya, seperti ekstraksi DNA dari bahan bukti atau analisis dan interpretasi profil DNA yang telah dihasilkan oleh ilmuwan lain.



2.3.1



Sejarah Singkat Genetika Forensik Pada tahun 1900 Karl Landsteiner menggambarkan sistem pengelompokan darah ABO dan mengamati hal itu individu dapat ditempatkan dalam kelompok yang berbeda berdasarkan jenis darahnya. Ini langkah pertama dalam pengembangan haemogenetika forensik. Pada tahun 1915 Lattes Leone diterbitkan sebuah buku yang menjelaskan penggunaan pengetikan ABO untuk menyelesaikan kasus ayah dan pada tahun 1931 teknik pengetesan ABO penyerapan-inhibisi yang menjadi standar di laboratorium forensik telah dikembangkan. Berikut ini banyak penanda kelompok darahdan penanda protein serum serum yang larut ditandai dan dapat dianalisis dikombinasi untuk menghasilkan profil yang sangat diskriminatif. Teknik serologisnya adalahalat yang ampuh namun 10



terbatas pada banyak kasus forensik dengan jumlah biologis bahan yang dibutuhkan untuk memberikan hasil yang sangat diskriminatif. Protein juga rentan terhadap degradasi pada paparan terhadap lingkungan. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, perkembangan biologi molekuler, termasuk pembatasan enzim, Sanger sequencing dan Southern blotting, memungkinkan para ilmuwan untuk memeriksa urutan DNA. Pada



tahun



1978,



polimorfisme



DNA



dapat



dideteksi



dengan



menggunakan Southern Blotting dan pada tahun 1980 analisis polimorfik pertamalokus dilaporkan. Baru pada bulan September 1984 Alec Jeffreys menyadari aplikasi forensik potensi bilangan bulat mengulangi tandem (VNTR) lokus yang pernah dia pelajari. Teknik yang dikembangkan oleh Jeffreys. Proses yang terlibat dalam menghasilkan profil DNA setelah melakukan kejahatan. Beberapa jenis bahan, khususnya darah dan air mani, sering ditandai sebelum DNA diekstrak. Ekstaksi DNA dan dipotong dengan enzim restriksi, sebelum melakukan gel agarose elektroforesis, Southern blotting dan probe hybridization untuk mendeteksi polimorfiklokus. Hasil akhirnya adalah rangkaian pita hitam pada film sinar-X. VNTR Analisis adalah alat yang ampuh namun mengalami beberapa keterbatasan: relatif besar jumlah DNA yang dibutuhkan, tidak akan bekerja dengan DNA terdegradasi, perbandingan antara laboratorium sulit, dan analisisnya memakan waktu lama. Perkembangan kritis dalam sejarah genetika forensik datang dengan munculnya proses yang dapat memperkuat daerah spesifik dari DNA-polymerase chain reaction (PCR). Proses PCR dikonseptualisasikan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis, seorang ahli kimia. Analisis VNTR menggunakan lokus probe tunggal: tangga dijalankan bersama sampel yang diuji yang memungkinkan ukuran fragmen DNA yang akan di estimasi. Sebuah sampel kontrol K562 dianalisis bersama dengan sampel yang diuji. Bekerja untuk Cetus Corporation di Amerika Serika. Suatu pengembangan efek mendalam pada



11



semua aspek biologi molekuler termasuk genetika forensik, dan pengakuan tentang pentingnya pengembangan PCR, Kary Mullis dianugerahi Hadiah Nobel Kimia pada tahun 1993. PCR meningkatkan sensitivitas analisis DNA ke titik di manaprofil DNA dapat dihasilkan dari hanya beberapa sel, mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan profil, bisa digunakan dengan DNA yang rusak dan memungkinkan hampir semua polimorfisme dalam genom untuk dianalisis. Aplikasi pertama dari PCR dalam kasus forensik melibatkan analisis polimorfisme nukleotida tunggal dalam lokus DQA. Ini segera diikuti oleh analisis mengulangi tandem pendek (STR) yang saat ini merupakan penanda genetik yang paling umum digunakan dalam ilmu forensik. Pesatnya perkembangan teknologi untuk menganalisis DNA termasuk kemajuan dalam ekstraksi DNA dan metodologi kuantifikasi, pengembangan komersial mengetik kotak dan peralatan berdasarkan PCR untuk mendeteksi polimorfisme DNA. Selain kemajuan teknis, bagian penting lain dari pengembangan profiling DNA yang berdampak pada seluruh bidang ilmu forensik adalah kontrol kualitas. Diterimanya bukti DNA serius ditantang di Amerika Serikat pada tahun 1987 'People v Castro’; kasus ini dan kasus-kasus berikutnya telah mengakibatkan peningkatan tingkat standarisasi dan kontrol kualitas dalam genetika forensik dan daerah lain ilmu forensik. Akibatnya, akreditasi baik laboratorium dan individu merupakan isu yang semakin penting dalam ilmu forensik. Kombinasi kemajuan teknis, tingkat tinggi standardisasi dan kontrol kualitas telah menyebabkan analisis DNA forensik diakui sebagai alat forensik kuat dan dapat diandalkan di seluruh dunia.



2.3.2



Berbagai Peranan Analisis DNA dalam Kasus-Kasus Forensik Sejak ditemukannya penerapan teknologi DNA dalam bidang kedokteran forensik, pemakaian analisis DNA untuk penyelesaian kasuskasus forensik juga semakin meningkat. Penerimaan bukti DNA dalam



12



persidangan di berbagai belahan dunia semakin memperkokoh peranan analisis DNA dalam sistem peradilan (Idries, 2009). Peranan tes DNA dalam proses penegakan hukum menurut Idries (2009) dapat dilihat dari pemanfaatan teknologi tes DNA tersebut untuk : 1. Identifikasi Personal Identifikasi personal dilakukan pada kasus penemuan korban tidak dikenal, seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan, bencana massal, kecelakaan pesawat terbang, dan lain sebagainya.



2. Pelacakan hubungan genetik (disputed parentage atau kasus ragu orangtua) Pelacakan hubungan anak-orang tua dilakukan pada kasus dugaan perselingkuhan, kasus ragu ayah, kasus ragu ibu, kasus bayi tertukar, kasus imigrasi,dan lain sebagainya.



3. Pelacakan sumber bahan biologis Pelacakan sumber bahan biologis adalah pemeriksaan barang bukti renik (trace evidence) dalam rangka pencarian pelaku delik susila (pemeriksaan bercak mani, usapan vagina, kerokan kuku), pencarian korban (bercak darah pada pakaian tersangka, di TKP, serta analisis sel pada bullet cytology), serta analisis potongan tubuh pada kasus mutilasi.



2.4



Metode Analisis DNA dalam Bidang Forensik 2.4.1



DNA dan Informasi Genetis Dalam jurnalnya yang berjudul “Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik”, Kartika Ratna Pertiwi menjelaskan bahwa dahulu kala, para peneliti menyatakan bahwa materi genetik berada di dalam struktur yang disebut kromosom dalam inti sel (nukleus). Pada tahun 1927, Griffith dan Avery mengungkapkan bahwa bakteri memiliki suatu senyawa



mengekspresikan



sifat-sifat



13



yang



berbeda



tetapi



belum



mengetahui dengan jelas penyebabnya. Penelitian lebih lanjut oleh Avery, MacLeod, dan McCarthy pada tahun 1944 menunjukkan bahwa perbedaan ekspresi sifat tersebut karena struktur seperti tangga, terdiri dari dua pita yang berlawanan arah, yang akhirnya dikenal dengan DNA. Penemuan struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun 1953 merupakan temuan penting dalam perkembangan genetika di dunia. Model struktur DNA hasil analisis Watson dan Crick mampu menjelaskan bagaimana DNA membawa informasi genetis sebagai cetak biru (blueprint) yang dapat dicopy dan diperbanyak saat sel membelah sehingga sel-sel baru juga mengandung informasi genetis yang sama. Inilah mengapa sifat dan ciri fisik seseorang berasal dari pewarisan orang tua dan nantinya akan diturunkan ke anak cucunya. Terjadinya pewarisan sifat dari kedua orang tua, ayah dan ibu ke anak turunannya adalah akibat terjadinya peleburan kromosom dari sel sperma dan sel telur. Masing-masing sel kelamin memiliki 22 autosom dan satu gonosom yaitu X atau Y. Peleburan dua set sel kelamin sekaligus menyatukan kromosom pada sel sperma dan sel telur. Sel telur yang telah dibuahi, bakal calon anak atau zigot, mengandung dua set gen dalam kromosom dengan demikian untuk setiap pasangan kromosom yang bersesuaian, kita mewarisi satu kromosom dari ayah dan satu kromosom dari ibu. Ini menjelaskan mengapa ada sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ayah dan di sisi lain ada sifat dan karakter tubuh kita yang mirip ibu (Griffiths et al., 1996). Sepanjang pita DNA berisi struktur yang terdiri dari gula pentosa (deoksiribosa), gugus fosfat dan basa nitrogen, bersusun membentuk rantai panjang dan berpasangan secara teratur seperti terlihat pada gambar 2.



14



Gambar 2. DNA (Sumber: Gipeng, 2016)



Semua kandungan DNA yang ada pada sel dinamakan genom. Genom manusia terdiri dari genom inti sel (nukleus) dan genom mitokondria. Genom mitokondria (ekstranuklear), mengandung lebih banyak kromosom, sehingga jika pada kromosom inti, masing-masing hanya terdiri dari 2 copy, maka kromosom mitokondria tersusun dari ribuan copy. Penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada gen di dalam mitokondria biasanya diwariskan dari ibu ke anak karena mitokondria seorang manusia adalah hasil pewarisan dari ibu. Hal ini disebabkan mitokondria lebih banyak ditemukan di dalam sel telur daripada sperma. Setelah fertilisasi mitokondria dari spermatozoa juga akan mati sehingga hanya meninggalkan mitokondria dari sel telur (Griffiths et al., 1996).



2.4.2



DNA dalam Barang Bukti Forensik Seorang penjahat tanpa disadari pasti akan meninggalkan sesuatu (jejak), sehingga ketika polisi dipanggil ke tempat kejadian serius, tempat



15



kejadian perkara (TKP) segera ditutup dengan pita kuning police line untuk mencegah pencemaran bukti-bukti penting. Ahli forensik harus bergegas ke tempat kejadian sebelum bukti penting yang mungkin membantu mengungkap kejadian hilang/dirusak. Barang bukti forensic yang ditemukan harus diambil sampelnya untuk diperiksa di laboratorium demi



mendapatkan data pelengkap dan pendukung. Salah satu



pemeriksaan yang penting dan hasilnya bisa didapat dengan cepat adalah tes sidik DNA. Tes sidik DNA dalam kasus Pita DNA terdiri dari gula pentose dan fosfat Nukleotida yang saling berpasangan forensik utamanya dilakukan untuk tujuan identifikasi korban walaupun sekarang tes sidik DNA juga bisa dilakukan untuk melacak pelaku kejahatan. Pelacakan identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan antara DNA korban dengan terduga keluarga korban. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes siik DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus kasus forensik, sperma, daging, tulang, kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) dapat dijadikan sampel tes sidik DNA (Lutfig & Richey, 2000).



2.4.3



Identifikasi Forensik dengan Tes Sidik DNA Pemeriksaan identifikasi forensik merupakan pemeriksaan yang pertama kali dilakukan, terutama pada kasus tindak kejahatan yang korbannya tidak dikenal walaupun identifikasi juga bisa dilakukan pada kasus non kriminal seperti kecelakaan, korban bencana alam dan perang, serta kasus paternitas (menentukan orang tua). Secara biologis, pemeriksaan identifikasi korban bisa dilakukan dengan odontologi (gigigeligi), anthropologi (ciri tubuh), golongan darah serta sidik DNA. Sidik DNA merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Seperti halnya sidik jari (fingerprint) yang telah lama digunakan oleh



16



detektif dan laboratorium kepolisian sejak tahun 1930 (Pertiwi & Yulianti, 2011). Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil mendemonstrasikan bahwa DNA memiliki bagian-bagian pengulangan (sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan polimorfisme, yang dapat digunakan sebagai sarana identifikasi spesifik (individual) dari seseorang. Perbedaan sidik DNA setiap orang atau individu layaknya sidik jari, sidik DNA ini juga bisa dibaca. Tidak seperti sidik jari pada ujung jari seseorang yang dapat diubah dengan operasi, sidik DNA tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Bahkan, sidik DNA mempunyai kesamaan pada setiap sel, jaringan dan organ pada setiap individu. Oleh karena itu sidik DNA menjadi suatu metode identifikasi yang sangat akurat (Lutfig & Richey, 2000). Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini untuk menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan sampel dari darah, tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus kriminal, biasanya melibatkan sampel dari barang bukti dan tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk melihat suatu daerah khusus pada DNA (marker). Para ilmuwan telah menemukan marker di dalam sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing akan mencari dan berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya pada sampel DNA. Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli forensik membandingkan profil DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada bukti. Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua sampel DNA mirip pada empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal dari individu yang sama. jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan



17



pemilik DNA yang ditemukan pada lokasi kriminalitas. Jika pola yang ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada sampel bukti (Marks et al., 1996). DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel. DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah seiring



dengan



perkawinan



keturunannya.



Kasus-kasus



kriminal,



penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Seperti jika ditemukan puntung rokok, maka yang diperiksa adalah DNA inti sel yang terdapat dalam epitel bibir karena ketika rokok dihisap dalam mulut, epitel dalam bibir ada yang tertinggal di puntung rokok. Epitel ini masih menggandung unsur DNA yang dapat dilacak. Misalnya dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali diambil sekuens genetikanya. Bentuk sidik DNA berupa garis-garis yang mirip



seperti



bar-code



di



kemasan



makanan



atau



minuman.



Membandingkan kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 100 sekuens rantai kode genetika, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya, biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi korban forensik atau kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak. Untuk kasus pemerkosaan diperiksa



spermanya



tetapi



yang



lebih



utama



adalah



kepala



spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya. Jika di TKP ditemukan satu helai rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel (Lutfig & Richey, 2000). Teknologi DNA memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi diskriminasinya dan sensitifitasnya maka tes sidik DNA menjadi pilihan dalam



penyelidikan



kasus-kasus



18



forensik



dibanding



teknologi



konvensional seperti serologi dan elektroforesis. Kedua tes ini hanya mampu menganalisis perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik DNA sebaliknya hanya membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots misalnya sudah mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi DNA sekecil 60 nanogram, sedangkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya memerlukan DNA sejumlah beberapa nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang bukti yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka metode yang cocok dan sensitif adalah PCR (Marks et al., 1996).



2.4.4



Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) RFLP adalah salah satu aplikasi analisis DNA asli pada penelitian forensik. Dengan perkembangan dan adanya teknik analisis DNA yang lebih baru dan lebih efisien, RFLP tidak lagi digunakan karena membutuhkan sampel DNA yang relatif banyak. Selain itu sampel yang bisanya diperoleh juga biasanya sudah terdegradasi oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau jamur, tidak dapat digunakan untuk RFLP. RFLP merupakan teknik sidik DNA berdasarkan deteksi fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Awalnya DNA diisolasi dari sampel yang kemudian dipotong dengan enzim khusus restriction endonuclease. Enzim ini memotong DNA pada pola sekuen tertentu yang disebut restriction endonuclease recognition site (sisi yang dikenali oleh enzim restriksi). Ada atau tidaknya sisi yang dikenali ini di dalam sampel DNA menghasilkan fragmen DNA dengan panjang yang bervariasi. Selanjutnya



potongan



fragmen tersebut



akan dipisahkan



dengan



elektroforesis pada gel agarose 0,5%. Fragmen DNA kemudian dipindahkan dan difiksasi pada pada membran nilon dan dihibridisasi spesifik dengan pelacak (probe) DNA berlabel radioaktif yang akan berikatan dengan sekuen DNA komplementernya pada sampel. Metode ini



19



akhirnya muncullah pita-pita yang unik untuk setiap individu (Marks et al., 1996). Keberhasilan metode ini sangat tergantung pada isolasi sejumlah DNA tanpa terdegradasi. Pada persidangan kasus kriminal, hal ini bisa menjadi suatu masalah jika jumlah DNA sangat sedikit dan kualitasnya rendah. Ini terlihat dari hasil pita-pita sidik DNA yang tidak tajam. Jumlah pita sidik DNA yang dapat dianalisis sangat penting karena jika jumlah pitanya berkurang akibat terdegradasi secara statistik menurunkan taraf kepercayaan. Semakin banyak pita yang cocok akan semakin meyakinkan. Oleh karena itu pada kasus ini dapat digunakan teknik sidik DNA dengan memperkuat (mengamplifikasi) daerah spesifik pada DNA yang disebut mikrosatelit dengan satuan pengulangan yang dinamakan Simple Tandem Repeat (STR). Analisis dengan PCR pada daerah STR tersebut dapat mengatasi masalah tersebut. Teknik ini dapat menghasilkan data dalam waktu singkat dan sangat cocok untuk otomatisasi (Hartati & Maksum, 2004).



2.4.5



Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR (Polimerase Chain Reaction) atau reaksi berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua target DNA.



20



Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens DNA



yang



diperoleh



menyebabkan



teknik



ini



semakin



luas



penggunaannya (Parrangan et al., 2014). Polymerase chain reaction (PCR) digunakan untuk membuat jutaan coppy DNA dari sampel biologis. Amplifikasi DNA dengan menggunakan PCR



menyebabkan



analisis



DNA



pada



sampel



biologis



hanya



membutuhkan sedikit sampel dan dapat diperoleh dari sampel yang halus seperti rambut. Kemampuan PCR untuk mengamplifikasi sejumlah kecil DNA memungkinkan untuk menganalisa sampel yang sudah terdegradasi sekalipun. Namun, tetap saja harus dicegah kontaminasi dengan materi biologis yang lain selama melakukan identifikasi, koleksi dan menyiapkan sampelnya (Marks et al., 1996). Tes DNA dilakukan dengan cara mengambil DNA dari kromosom sel tubuh (autosom) yang mengandung area STR (short tandem repeats), suatu area ini tidak memberi kode untuk melakukan sesuatu. STR inilah yang bersifat unik karena berbeda pada setiap orang. Perbedaannya terletak pada urutan pasang basa yang dihasilkan dan urutan pengulangan STR. Pola STR ini diwariskan dari orang tua.Aplikasi teknik ini misalnya pada tes DNA untuk paternalitas (pembuktian anak kandung) yaitu tes DNA untuk membuktikan apakah seorang anak benar-benar adalah anak kandung dari sepasang suami dan istri. Cara memeriksa tes DNA dilakukan dengan cara mengambil STR dari anak. Selanjutnya, di laboratorium akan dianalisa urutan untaian STR ini apakah urutannya sama dengan seseorang yang dijadikan pola dari seorang anak. Urutan tidak hanya satu-satunya karena pemeriksaan dilanjutkan dengan melihat nomor kromosom. Misalnya, hasil pemeriksaan seorang anak ditemukan bahwa pada kromosom nomor 3 memiliki urutan kode AGACT dengan pengulangan 2 kali. Bila ayah atau ibu yang mengaku orang tua kandungnya juga memiliki pengulangan sama pada nomor kromosom yang sama, maka dapat disimpulkan antara 2 orang itu memiliki hubungan keluarga. Seseorang dapat dikatakan memiliki hubungan darah jika



21



memiliki urutan dan pengulangan setidaknya pada 16 STR yang sama dengan kelurga kandungnya, maka kedua orang yang dicek memiliki ikatan saudara kandung atau hubungan darah yang dekat. Jumlah ini cukup kecil dibandingkan dengan keseluruhan ikatan spiral DNA dalam tubuh kita yang berjumlah miliaran. Sementara itu, Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set dari 13 daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS merupakan program software yang mengoperasikan database dari profil DNA local, daerah dan nasional dari tersangka, bukti tindak kriminalitas yang belum selesai kasusnya dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu mempunyai 13 loci yang sama pada profil DNAnya adalah sangat jarang (Hartati & Maksum, 2004).



2.4.6



Analisis Mitochondrial DNA Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menentukan DNA di sampel yang tidak dapat dianalisa dengan menggunakan RFLP atau STR. Jika DNA pada inti sel (nukleus) harus diekstrak dari sampel untuk dianalisis dengan menggunakan RFLP, PCR, dan STR; maka tes sidik DNA dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak DNA dari organela sel yang lain, yaitu mitokondria. Contohnya pada sampel biologis yang sudah berumur tua sehingga tidak memiliki materi nukleus, seperti rambut, tulang dan gigi, maka karena sampel tersebut tidak dapat dianalisa dengan STR dan RFLP, sampel tersebut dapat dianalisa dengan menggunakan mtDNA. Pada investigasi kasus yang sudah sangat lama tidak terselesaikan penggunaan mtDNA sangatlah dibutuhkan (Marks et al., 1996). Semua ibu memiliki DNA mitokondria yang sama dengan anak perempuannya karena mitokondria pada masing-masing embrio yang baru berasal dari sel telur ibunya. Sperma ayah hanya berkontribusi memberikan DNA inti sel (nukleus). Membandingkan profil mtDNA dari seseorang yang tidak teridentifikasi dengan profil seseorang yang kemungkinan adalah ibunya merupakan teknik yang penting dalam



22



investigasi orang hilang atau temuan kerangka yang sudah berusia puluhan tahun (Lutfig & Richey, 2000). DNA mitokondria sangat baik untuk digunakan sebagai alat untuk analisis DNA, karena mempunyai 3 sifat penting, yaitu DNA ini mempunyai copy number yang tinggi sekitar 1000-10.000 dan berada di dalam sel yang tidak mempunyai inti seperti sel darah merah atau eritrosit. DNA mitokondria dapat digunakan untuk analisa meskipun jumlah sampel yang ditemukan terbatas, mudah terdegradasi dan pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan analisa terhadap DNA inti. Kedua, DNA mitokondria manusia diturunkan secara maternal, sehingga setiap individu pada garis keturunan ibu yang sama memiliki tipe DNA mitokondria yang identik. Karakteristik DNA mitokondria ini dapat digunakan untuk penyelidikan kasus orang hilang atau menentukan identitas seseorang dengan membandingkan DNA mitokondria korban terhadap DNA mitokondria saudaranya yang segaris keturunan ibu. Ketiga, DNA mitokondria mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5-10 kali lebih cepat dari DNA inti. D-loop merupakan daerah yang mempunyai tingkat polimorfisme tertinggi dalam DNA mitokondria dimana terdapat dua daerah hipervariabel dengan tingkat variasi terbesar antara individu-individu yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Karena itu, dalam penentuan identitas seseorang atau studi forensik dapat dilakukan hanya dengan menggunakan daerah D-loop DNA mitokondria saja (Hartati & Maksum, 2004).



2.5



Cabang-cabang Genetika Forensik Dalam penerapan ilmu genetika di bidang forensik, ternyata yang digunakan tidak hanya terbatas pada genetika manusia saja (Human Forensic Genetics), melainkan ada beberapa yang tidak menggunakan genetika manusia (Non-Human Forensic Genetics), meskipun penggunaannya masih relatif sedikit bila dibandingkan dengan Human Forensic Genetics. Berikut adalah beberapa



23



cabang ilmu genetika forensik yang penyusun dapatkan dari berbagai jurnal penelitian.



2.5.1



Human Forensic Genetics Forensik DNA profiling saat ini memungkinkan identifikasi orang sudah diketahui pihak penyidik. Kemajuan terbaru telah menghasilkan jenis baru penanda genetik dengan potensi untuk mengatasi beberapa keterbatasan penting dari metode DNA profiling saat ini. Selain itu, perkembangan lain yang memungkinkan jenis baru sepenuhnya dari informasi forensik yang relevan harus diekstrak dari sampel biologis. Ini termasuk pendekatan molekuler baru untuk menemukan individu yang sebelumnya tidak diketahui peneliti, dan metode molekuler baru untuk mendukung hubungan antara donor sampel forensik dan tindak pidana. Dalam genetika, genomik dan biologi molekuler cenderung untuk meningkatkan kerja kasus forensik manusia dalam waktu dekat (Kayser & Knijff, 2011). DNA profiling dengan set autosomal sangat polimorfik tandem pendek berulang (STR) penanda kini telah diterapkan di berbagai aspek berulang (STR) penanda kini telah diterapkan di berbagai aspek identifikasi manusia dalam penyelidikan forensik selama hampir 20 tahun, dan kecuali bahwa con dan rincian telah diringkas dalam artikel sebelumnya 1. Singkatnya, profil autosomal STR dihasilkan dari bahan biologis yang ditemukan di TKP dan dibandingkan dengan profil tersangka dikenal diidentifikasi oleh penyelidikan polisi atau termasuk di nasional database DNA forensik. STR profiling juga digunakan untuk identifikasi korban bencana (DVI), di mana pencocokan profil antara sisasisa manusia dan antemortem milik korban, atau kesamaan profil dengan kerabat genotipe, memberikan bukti identifikasi (Kayser & Knijff, 2011).



24



2.5.2



Botany Forensic Genetics Forensik botani masih kurang dimanfaatkan dalam kasus forensik, meskipun telah digunakan pada berbagai kesempatan. Bahan tanaman sering ditemui dalam penyelidikan kriminal tetapi sering diabaikan sebagai bukti potensial karena ketidakmampuan untuk secara cepat, akurat, dan biaya-efektif mengidentifikasi spesimen botani yang menjadi tanda jejak kriminal (Ward et al., 2009). Dalam jurnal penelitian Coyle et al. (2005), dinyatakan bahwa pengakuan, pengumpulan, dan preservasi bukti botani sangat penting untuk proses pengujian laboratorium berikutnya. Tanpa langkah pertama yang dilakukan dengan benar, penerimaan hukum bukti ke pengadilan dapat dipertanyakan. Seperti bentuk-bentuk lain dari bukti forensik, bahan tanaman mungkin diuji menggunakan mikroskop sederhana atau yang lebih canggih dalam tes DNA tanaman untuk meningkatkan informasi yang diperoleh dari penyelidikan. Sejalan dengan bentuk lain dari pengujian forensik, botani forensik pertama memerlukan identifikasi spesies tanaman dengan karakteristik morfologi,



mikroskop,



atau



biologi



molekular.



Setelah



spesies



diidentifikasi karakteristik kelasnya, maka dibuat individualisasi sampel. Efektivitas upaya sumber atribusi dari bahan tanaman akan tergantung pada bagaimana keunikan spesies ini di wilayah geografis dan sejarah genetik. Jika sebuah Tanaman ini sangat langka, sumber atribusi mungkin tidak sulit. Namun, banyak tanaman mungkin memerlukan DNA pengujian untuk mengkonfirmasi bahwa sampel pembuktian berasal dari tanaman sumber, jika dihasilkan dengan biji, atau populasi sumber jika dihasilkan oleh reproduksi klonal. Pada akhirnya, informasi dari gen database DNA tanaman erating dapat digunakan untuk koreksi akhir penanda khusus dengan varietas tanaman yang diketahui; untuk membangun hubungan forensik, untuk membuat aplikasi paten untuk varietas baru, dan untuk menilai derajat variasi genetik yang ditemukan dalam populasi tanaman. Dalam jurnal penelitian…. dibahas beberapa



25



kasus di mana bukti botani digunakan untuk menyelesaikan kasus dan menggambarkan dasar prinsip forensik pengakuan, koleksi, dan pelestarian tanaman sebagai bukti.



(Sumber: Coyle et al., 2005)



26



(Sumber: Coyle et al., 2005)



2.5.3



Palynology Forensic Genetics Lapangan botany forensic genetics meliputi berbagai sub-disiplin ilmu, salah satunya adalah Palinology Forensic Genetics. Palynology Forensic Genetics adalah aplikasi serbuk sari dan spora dalam memecahkan masalah hukum, baik perdata maupun pidana. Ini bukan sebuah ilmu baru, sebagai alat forensik, setidaknya ilmu ini telah digunakan sejak 1950-an, atau mungkin sebelum itu, namun tanpa dokumentasi dan publikasi. Palynology Forensic Genetics ini telah digunakan secara teratur sebagai bukti di pengadilan pidana Australia, Selandia Baru, dan Inggris. Tidak hanya serbuk sari segar yang digunakan, tetapi dalam sejumlah kasus, kehadiran fosil serbuk sari dalam hubungan dengan tindak pidana juga telah berguna dalam menentukan apa yang terjadi dan dimana itu terjadi (Milldenhall et al., 2006).



27



2.5.4



Wild Animal Forensic Genetics Ilmu satwa liar forensik adalah sub-disiplin ilmu forensik yang dapat membantu pihak berwenang dalam hal kejahatan satwa liar (Ewart et al., 2017). Ilmu ini telah menjadi sarana utama menegakkan undangundang seputar perdagangan ilegal satwa dilindungi dan terancam punah (Ogden & Linacre, 2015). Perburuan illegal dan pembalakan liar dapat menebangi spesies ikonik, namun saat ini tingkat keberhasilan dalam menegakkan perudangundangan mengenai hal itu masih rendah. Karenanya perkembangan forensic satwa liar ini diharapkan dapat diterapkan untuk system peradilan pidana (Ogden & Linacre, 2015).



2.5.5



Entomology Forensic Genetics Sebuah penyelidikan dengan genetika forensik serangga dapat meraih keuntungan dari berbagai metode genotip molekul dipraktikan secara luas. Yang paling umum digunakan adalah spesimen berbasis DNA identifikasi. Aplikasi lain termasuk pengidentifikasian isi usus serangga dan karakterisasi struktur genetik populasi spesies serangga forensik. Aplikasi yang tepat dari prosedur ini menuntut bahwa analis secara teknis ahli. Namun, kita juga harus menyadari daftar luas standar dan harapan bahwa banyak sistem hukum telah dikembangkan untuk analisis DNA forensik. Penentuan spesies adalah satu-satunya aplikasi genotipe secara rutin yang digunakan oleh ahli entomologi forensik saat ini. Akurasi identifikasi dari sebuah spesimen serangga sangat penting (Wells & Stevens, 2008)



28



BAB III PENUTUP



3.1



Simpulan Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta segala seluk beluknya secara ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan, ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pewarisan sifat, bagaimana sifat keturunan itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasivariasi yang mungkin timbul di dalamnya atau yang menyertainya. Genetika bisa sebagai ilmu pengetahuan murni, bisa pula sebagai ilmu pengetahuan terapan. Sebagai ilmu pengetahuan murni ia harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan dasar lain seperti kimia, fisika dan matematika juga ilmu pengetahuan dasar dalam bidang biologi sendiri seperti bioseluler, histologi, biokimia, fisiologi, anatomi, embriologi, taksonomi dan efolusi. Sebagai ilmu pengetahuan terapan ia menunjang banyak bidang kegiatan ilmiah dan pelayanan kebutuhan masyarakat. Salah satu contohnya yaitu pada bidang forensik. Ilmu pengetahuan forensik adalah sebuah ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk membantu proses peradilan terutama dalam bidang pembuktian. Fungsi ilmu forensik adalah membuat suatu perkara menjadi jelas yaitu dengan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan ataupun tindak pidana yang telah terjadi. Perkembangan disiplin ilmu forensik sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Biologi molekuler forensik berkembang secara pesat menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri dan mempengaruhi sistem penegakan hukum dan peradilan karena penerapannya yang sangat berguna. Perkembangan ini juga diikuti oleh isu-isu sosioetikolegal terhadap pemanfaatan luas biologi molekuler forensik. Metode analisis DNA dalam bidang forensik antara lain : 1.



Identifikasi Forensik dengan Tes Sidik DNA



2.



Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)



29



3.



Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR)



4.



Analisis Mitochondrial DNA Dalam penerapan ilmu genetika di bidang forensik, ternyata yang



digunakan tidak hanya terbatas pada genetika manusia saja (Human Forensic Genetics), melainkan ada beberapa yang tidak menggunakan genetika manusia (Non-Human Forensic Genetics), beberapa diantaranya yaitu Botany Forensic Genetics, Palynology Forensic Genetics, Wild Animal Forensic Genetics dan Entomology Forensic Genetics.



3.2



Saran Dalam proses pembuatan makalah ini saya selaku penyusun mendapatkan banyak pengetahuan baru yang sangat berharga mengenai penerapan ilmu genetika, khususnya pada bidang forensik. Untuk itu, saya menyarankan kepada pembaca



sekalian,



khususnya



mahasiswa



biologi



yang



tertarik



untuk



memperdalam ilmunya pada bidang genetika, untuk mempelajari berbagai aplikasi ilmu genetika, karena dengan mempelajari hal-hal tersebut kita bukan hanya mahir berteori namun juga bisa mengaplikasikan ilmu yang kita miliki di kehidupan sehari-hari untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di sekitar kita.



30



DAFTAR PUSTAKA



Coyle, H. M., Lee, C. L., Lin, W. Y., Lee, H. C., and Palmbach, T, M. 2005. Forensic Botany: Using Plant Evidence to Aid in Forensic Death Investigation. Croat Med J. Vol. 46 (4): 611 Ewart, K. M., Frankham, G. J., McEwing, R., Webster, L. M., Ciavaglia, S. A., Linacre, A. M. T., The, D. T., Ovouthan, K., and Johnson, R, N. 2017. An Internationally Standardized Species Identification Test for Use on Suspected Seized Rhinoceros Horn in The Illegal Wildlife Trade. Forensic Science International: Genetics. Vol. 32: 33. Gipeng. 2016. Apa Itu DNA?. [http://gipeng.blogspot.com/2016/04/apa-itudna.html]. [Diakses pukul 05.26 WIB, 01-10-2018]. Goodwin, W., Linacre, A., and Hadi, S. 2007. An Introduction to Forensic Genetics. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Griffiths, Miller, Suzuki, Leontin, and Gelbart. 1996. An Introduction To Genetic Analysis. USA: W. H. Freeman and Company. Guyton, A.C., dan Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11 ed. Jakarta: EGC. Hartati, Y. W., dan Maksum, I. P. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian. Tidak dipublikasi. Idries, A. M. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik Bagi Praktisi Hukum. Jakarta: Sagung Seto. Kayser, M., and Knijff, P. 2011. Improving Human Forensics Through Advances in Genetics, Genomics and Molecular Biology. Nature Reviews Genetics. Vol. 12: 179. 31



Luftig, M. A., and Richey, S. 2000. DNA and Forensic Science. New England Law Review .Vol. 35 (3): 609-613. Marks, D.B., Marks, A.D., and Smith, C.M. 1996. Basic Medical Biochemistry. Baltimore: Williams & Wilkins. Mildenhall, D. C., Wiltshire, P. E. J., and Bryant, V. M. 2006. Forensic Palynology: Why Do It and How It Works. Forensic Science International: Genetics. Ogden, R., and Linacre, A. 2015. Wildlife Forensic Science: A Riview of Genetic Geographic Origin Assignment. Forensic Science International: Genetics. Owen, D. 2000. Hidden Evidence. London: Quintet Publishing Limited. Parrangan, Y. F., Nelly, A., dan Firsty, S, A. 2014. Penggunaan Teknik PCR dalam Identifikasi Forensik. Makassar: Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin. Pertiwi, K. R.



Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. Staf



Pengajar pada Jurdik Biologi FMIPA UNY . Pertiwi, K. R., dan Yulianti, E. 2011. Pengembangan Modul Pengayaan OSN SMP Materi Forensik. Laporan Penelitian. FMIPA UNY. Rapley, R., and Whitehouse, D. 2007. Molecular Forensics. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Ward, J., Gilmore, S. R., Robertson, J., and Peakall, R. 2009. A Grass Molecular Identification System for Forensic Botany: A Critical Evaluation of the Strengths and Limitations. Journal of Forensic Science. Vol. 54 (6): 1254. Wells, J. D., and Stevens, J. R. 2008. Application of DNA-Based Methods in Forensic Entomology. Annu. Rev. Entomol. Vol. 53: 103-104. Wikipedia. 2017. Genetika. [https://id.wikipedia.org/wiki/Genetika]. [Diakses pukul 19.21 WIB, 30-09-2018]. 32