Makalah Geografi Regional Pulau Papua [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH GEOGRAFI REGIONAL PULAU PAPUA Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Geografi Regional



Dosen Pengampu: Dr. Muhsinatun Siasah Masruri, M.Pd



Disusun Oleh: Alfin Nuramalia Yuniandita NIM.18727251001



JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2018



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah kami yang berjudul “Geografi Regional Pulau Papua”. Penyusunan makalah ini bertujuan sebagai penunjang mata kuliah Geografi Regional yang nantinya dapat digunakan mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Dalam menyusun makalah ini kami telah berusaha dengan sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang kami miliki. Namun sebagai manusia biasa, tentunya kami tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik pengetikan maupun penyusunan kalimat. Tetapi walaupun demikian kami telah berusaha sebaik mungkin menyelesaikan makalah ini meskipun hasilnya jauh dari kata sempurna. Kami menyadari tanpa kerja sama dari dosen pembimbing, para kerabat dan media elektronik kami tidak bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi masukan kepada kami. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun dan para pembaca pada umumnya. Penyusun mengharapkan saran dan kritikannya dari berbagai pihak yang bersifat membangun.



Yogyakarta, 28 Februari 2019



Penyusun



ii



DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii BAB I



PENDAHULUAN A. Latar Belakang.................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2 C. Tujuan Penulisan ................................................................................ 2



BAB II



PEMBAHASAN A. Sejarah Pulau Papua ........................................................................... 3 B. Deskripsi Wilayah Papua ................................................................... 10 C. Persebaran Flora dan Fauna di Papua ................................................. 31 D. Potensi Wilayah Papua ....................................................................... 37 E. Permasalahan-Permasalahan yang Berkembang di Wilayah Papua ... 41



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 51 B. Saran ................................................................................................... 51 DAFTAR PUSTAKA



iii



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Papua merupakan salah satu pulau terbesar yang termasuk kedalam kepulauan Indonesia Bagian Timur. Papua merupakan pulau yang sangat strategis baik secara geografi maupun perannya yang penting secara ekologis. Selain itu Papua merupakan tanah yang unik, baik dari segi karakteristik biologi maupun biogeografi. Kawasan ini mempunyai kekhasan flora dan fauna yang tidak bisa dibandingkan dengan wilayah lain. Tanah Papua memiliki lebih dari 15-20 ribu jenis tumbuhan berpembuluh dan 2000 jenis anggrek. Kawasan ini juga memiliki 125 jenis mamalia, 329 reptilia dan ampibia, 602 jenis burung, 25 jenis ikan air tawar dan 1200 jenis ikan laut serta diperkirakan 150.000 jenis serangga. Conservation International (CI) percaya bahwa sumber daya alam yang dimiliki Papua adalah aset alam utama yang menjadi andalan untuk wilayah ini mencapai enam pilar pembangunan ekonomi hijau yang diusung oleh ketahanan pangan, keanekaragaman hayati, air bersih, perubahan iklim, kesehatan, serta ketahanan budaya. Oleh karena itu pemahaman masyarakat mengenai ekologi Papua sangat penting untuk memberikan kemudahan dalam memahami alam Papua yang sangat kompleks. Pemahaman tersebut diharapakan akan mendukung pola pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan, selain memelihara keberadaan sumber daya alam yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menyusun makalah yang berjudul “Geografi Regional Pulau Papua” dengan tujuan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat pada umumnya mengenai kondisi alam Papua baik aspek fisik maupun non fisik. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat dijadikan rujukan dan memberikan pemahaman terkait upaya pembangunan alam papua yang lestari dan berkelanjutan.



1



B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sejarah pembentukan Pulau Papua ? 2. Bagaimana deskripsi mengenai Pulau Papua ditinjau berdasarkan aspek fisik dan non fisik ? 3. Bagaimana



potensi



yang



dimiliki



wilayah



Papua



serta



proses



pengembangannya ? 4. Apa saja permasalahan-permasalah yang terjadi di wilayah Papua ?



C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui bagaimana sejarah pembentukan Pulau Papua ? 2. Mengetahui bagaimana deskripsi mengenai Pulau Papua ditinjau berdasarkan aspek fisik dan non fisik ? 3. Mengetahui potensi apa saja yang dimiliki wilayah Papua serta proses pengembangannya ? 4. Mengetahui permasalahan-permasalah yang terjadi di wilayah Papua ?



2



BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Pulau Papua 1. Proses Pembentukan Pulau Papua Pulau Papua secara keseluruhan merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Pulau Papua memiliki luas ± 418.707,7 km2 atau merupakan ± 21% dari luas wilayah Indonesia. Papua merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang sangat rumit terutama ditinjau berdasarkan aspek geologinya. Dalam proses geologi yang paling sederhana , Pada mulanya pulau Papua merupakan dasar lautan Pasifik yang paling dalam, pulau Papua bisa digambarkan sebagai pulau yang bergunung-gunung, yang secara tektonik merupakan



pecahan dari lempeng Australia bagian utara. Secara geografis



pulau ini memang terpisah dari Australia, namun sebenarnya L.Arafura yang memisahkannya tidak terlalu dalam (kurang dari 15 m) dan tidak ada selama 20.000 tahun yang lalu. Dengan kata lain, keberadaan pulau ini merupakan hasil dari masa interglasial yang lebih hangat. Dalam perspektif gerakan tektonis global, Papua terbentuk dari tumbukan tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan lempeng pasifik yang lebih besar lagi yang bergerak ke arah barat. Diantara dua lempeng besar ini terdapat serangkaian lempeng yang lebih kecil yang terletak di antara kawasan Filipina dan Kepulauan Solomon. Lempeng-lempeng ini semuanya dibatasi oleh zona subduksi dengan berbagai pecahan busur pulau yang terdorong karena gerakana bagian utara lempeng Australia selama periode Kreta (sekitar 145 juta tahun lalau). Akibat benturan-benturan ini setengah dari bagian utara papua sekarang mengandung komposit busur pulau-pulau yang tertimbun diatas lempeng Australia selama kira-kira 75 tahun terakhir. Selain itu pulau Papua merupakan pulau yang terbentuk dari endapan (sedimentation) dengan masa yang panjang pada tepi utara kraton Australia



3



yang



pasif dimulai



pada Zaman Karbon sampai Tersier Akhir.



Lingkungan pengendapan berfluktuasi dari lingkungan air tawar, laut dangkal, sampai



laut



dalam



dan



mengendapkan



batuan



klastik



kuarsa,



termasuk lapisan batuan klastik karbonat, dan berbagai batuan karbonat yang ditutupi oleh Kelompok



Batu gamping



New Guinea berumur Miocen.



Ketebalan urutan sedimentasi ini mencapai lebih dari 12.000 meter.



Gambar 1. Tektonik Papua dan PNG Menurut



Hamilton,



dkk



dalam



Kartikasari,



Sri



Nursni



(2012)



mengemukakan apabila dijabarkan berdasarkan periode-periodenya, maka aktivitas tektonik penting yang menjadi cikal bakal pembentukan Papua saat ini terjadi melalui beberapa tahap, yaitu: 1.



Akhir periode Kreta dan Kala Oligosen, yang meliputi busur pulau yang membentang ke barat ke arah Dangkalan Sunda. Pada periode ini terjadi pergerakan tektonik besar pertama di Papua, yang merupakan akibat



dari



tumbukan



Lempeng



Australia



dengan



busur



kepulauan berumur Eosen pada Lempeng Pasifik. Hal ini menyebabkan deformasi dan metamorfosa fasies sekis hijau berbutir halus dan turbidit



4



karbonat pada sisi benua sehingga membentuk Jalur “Metamorf Rouffae yang dikenal sebagai “Metamorf Dorewo". Akibat lebih lanjut dari aktivitas tektonik ini adalah terjadinya sekresi (penciutan) Lempeng Pasifik ke atas jalur malihan dan membentuk Jalur Ofiolit Papua.



Gambar 2. Keadaan Papua pada Periode Oligosen



2.



Kala Miosen ke Pliosen, meliputi busur yang membentang lebih ke arah timur dan mungkin utara. Periode ini diawali pada pertengahan Miosen yang diakibatkan oleh adanya tumbukan Kraton Australia dengan Lempeng Pasifik. Hal ini mengakibatkan deformasi dan pengangkatan kuat dari batuan sedimen Karbon-Miosen(CT) dan membentuk Jalur Aktif.



5



Gambar 3. Keadaan Papua pada Periode Miosen



Gambar 4. Periode Pembentukan Pulau Papua



6



Tabel 1. Ringkasan Skala Waktu Geologis



Pulau Papua yang terbetuk dari hasil benturan Lempeng Benua Australia (Australia Plate) yang bergerak ke Utara dengan Lempeng Pasifik (Pacific Crustal Plate) yang bergerak ke arah Barat, menimbulkan keuntungan dan



7



kerugian dari proses tumbukan lempeng tersebut. Keuntungannya adalah dengan terjadinya penerobosan batuan beku dengan komposisi sedang ke dalam batuan sedimen di atasnya, memungkinkan terbentuknya mineralisasi logam yang berasosiasi dengan perak dan emas. Konsentrasi mineral - mineral logam diperkirakan terdapat pada Lajur Pegunungan Tengah Papua. Posisi tektonik Papua yang berada di Lingkar Pasifik, yang berupa cincin gunung api memberikan potensi endapan mineral yang besar seperti emas dan tembaga, telah diketahui sepanjang jalur tersebut dari Amerika Selatan, Philipina, Papua New Guinea sampai ke Selandia Baru. Potensi ini sangat menguntungkan bagi Provinsi Papua seperti yang saat ini tengah diekspolitasi oleh PT. Freeport Indonesia (PFI). Proses



konvergen



antar



lempeng



juga



mengakibatkan



terbentuknya pegunungan di Papua. Pegunungan tersebut adalah Pegunungan Jayawijaya yang memiliki Puncak Jaya sebagai



puncak tertinggi di Asia



Tenggara dan Australia dengan ketinggian 4.884 mdpl. Pada pegunungan ini ditemukan fosil hewan laut yang sekaligus merupakan bukti bahwa Papua dahulu merupakan dasar lautan yang mengalami pengangkatan. Puncak Wijaya mempunyai salju yang diyakini sebagai salju abadi. 2.



Latar Belakang Intergrasi Papua ke Dalam NKRI Papua yang awalnya mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Proses integrasi atau bergabungnya Papua ke dalam NKRI tidak terlepas dari keterlibatan bangsa-bangsa Eropa dalam kegiatan perdagangannya ke Indonesia. Mengingat kontak awal dengan Papua dilakukan



8



oleh para pedagang Islam dari barat yang mencari rempah-rempah dan produk perdagangan eksotik lainnya. Kemungkinan kontak pertama antara pedagang dan penduduk pesisir Papua pertama terjadi lebih dari seribu tahun yang lalu. Namun kontak perdangan awalnya berlangsung secara lokal, yaitu antara orang Papua dan orang Maluku. Perdagangan utama diprediksi belum berlangsung sampai 1000 tahun yang lalu.bangsa Eropa pertama yang berlayarke pesisir Papua pada tahun 1500-an adalah bangsa Portugis, kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa penjelajah lainnya (Spanyol, Belanda dan Inggris). Para penjelajah ini mencari jalur perdagangan dan juga produk untuk diperdagangkan. Era penjelajahan ini berlangsung dari tahun 1500-an hingga awal 1800-an. Era ini diikuti oleh perdagangan secara teratur (tripang, kulit burung cendrawasih, tempurung kura-kura, kulit massoi, dll), yang kemudian diikuti oleh kolonisasi (dipicu oleh perdagangan), kemudian kegiatan misionaris. Penjelajah alam mula-mula dilakukan oleh Alferd Russel Wallace yang mengunjungi daerah kepala burung dan Kepulauan Raja Ampat pada tahun 1840-an dan Odoardi Beccari dan Luigi d’Albertis yang mengunjungi pegunungan Arfak pada tahun 1870-an. Belanda mengklaim bahwa sebelah barat perbatasan yang sekarang dari garis lintang 141 BT pada tahun 1826, tetapi perbatasan ini belum dirumuskan dengan negara penjajah Inggris Raya hingga tahun 1895 (di Selatan) dan dengan Jerman pada tahun 1910 (di Utara). Belanda berusaha mendirikan pos-pos pemerintahan, mengeksplorasi daerah pedalaman (1900-1930) dan menaklukkan puncak-puncak gunung yang penuh tantangan di Papua. Perang Dunia II mengakhiri era penjelajahan ini. Kemudian isu-isu kemerdekaan mendominsai Indonesia dan akhirnya membawa Papua bergabung dengan Republik Indonesia yang masih muda pada tahun 1962. Indonesia giat membangun Papua melalui program transmigrasi penduduk miskin tanpa lahan dari Indonesia bagian barat yang didukung oleh pemerintah



9



dan militer (termasuk berbagai konflik, ketegangan, dan pertumpahan darah anatar masyarakat asli Papua dan pendatang) dan melalui eksploitasi sumber daya alam (pertambangan, perikanan, pengusahaan hutan). Eksploitasi ini diperkirakan akan berkembang pesat dalam beberapa decade mendatang.



B. Deskripsi Pulau Papua 1. Kondisi Fisik Pulau Papua a. Fisiografis Pulau Papua



Gambar 5. Peta Pulau Papua



Berdasarkan letak astronomisnya Pulau Papua terletak antara berada diantara garis meridian 0°19’–10°45 LS dan antara garis bujur 130°45’– 141°48’ BT yang membentang dari Barat ke Timur dengan silang 11° atau 1.200 km. Secara geografis Papua merupakan sebuah provinsi yang terletak diujung timur Indonesia. Batas-batas wilayah Pulau Papua, sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Fasifik, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Papua Barat, dan sebelah Timur berbatasan dengan Papua New Guinea.



10



Secara fisik, Pulau Papua merupakan Provinsi terluas di Indonesia, dengan luas daratan ± 418.707,7 km2 atau merupakan ± 21% dari total tanah seluruh Indonesia yaitu 421.981 km², membujur dari barat ke timur (Sorong-Jayapura) sepanjang 1,200 km (744 mile) dan dari utara ke selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 736 km (456 mile). Selain tanah yang luas, Papua juga memiliki banyak pulau yang berjejer disepanjang pesisirnya. Jika dilihat berdasarkan wilayah administratif, Pulau Papua terdiri dari 2 (dua) provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pada bagian utara, Provinsi Papua berbatasan dengan Samudera Pasifik. Di sebelah selatan, wilayahnya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Laut Arafuru, Teluk Carpentaria, dan Australia. Pada bagian barat, provinsi ini bersisian langsung dengan Papua Barat dan wilayah laut Kepulauan Maluku. Sedangkan di sebelah timur, Provinsi Papua berbatasan dengan negara tetangga, yakni Papua Nugini.



Gambar 6. Pembagian Administrasi Pulau Papua



Provinsi Papua Barat merupakan suatu wilayah provinsi yang terletak antara 0º - 4º LS dan antara 124º BU - 132º BT dulunya merupakan bagian dari provinsi Papua, secara geografi Papua Barat terletak pada area “leher dan kepala burung” di Pulau Papua. Pada bagian timur, provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Papua. Di sebelah selatan berbatasan langsung



11



dengan Laut Banda. Pada bagian barat, wilayahnya berbatasan dengan Laut Seram. Sedangkan pada sebelah utara Provinsi Papua Barat berbatasan dengan Samudera Pasifik. Luas wilayah provinsi Papua Barat mencapai 99.671,63 km2. Provinsi Papua merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia, dengan ibukota Jayapura. Secara astronomis, Papua terletak pada 129BT - 141BT dan 1LU - 9LS. Dari sisi geografis, Papua di sebelah utara dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan di sebelah selatan dibatasi Laut Arafuru. Di bagian barat, Papua berbatasan dengan Provinsi Papua Barat, sedangkan di bagian timur berbatasan dengan Negara Papua New Guinea. Luas wilayah Papua mencapai 316 ribu km2 dan tercatat sebagai provinsi terluas di Indonesia. Hingga saat ini, Papua terbagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kotamadya. Kabupaten Merauke merupakan kabupaten terluas yang mencapai hampir 15 persen dari total luas Papua, sebaliknya Kabupaten Supiori merupakan kabupaten terkecil dengan luas hanya 634 km2. Wilayah Papua terletak pada ketinggian antara 0 – 3.000 meter di atas permukaan laut. Pembagian wilayah administratif di Pulau Papua lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Pembagian Wilayah Administratif Pulau Papua No. 1.



Provinsi



Luas (Km2)



Papua Barat



99.671,63



12



Nama Kabupaten / Kota Kabupaten 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Fakfak Kaimana Raja Ampat Sorong Sorong Selatan Tambraw Maybrat Teluk Wondama



Kota Sorong



9. Pegunungan Arfak 10. Manokwari 11. Manokwari Selatan 12. Teluk Bintuni 1. Asmat 2. Biak Numfor 3. Kepulauan Yapen 4. Waropen 5. Sarmi 6. Keerom 7. Jayapura 8. Pegunungan Bintang 9. Kab.Boven Digoel 10. Yahukimo 11. Mappi 12. Jayawijaya 13. Lanny Jaya 14. Puncak 15. Puncak Jaya 16. Tolikara 17. Paniai 18. Nabire 19. Mimika 20. Mamberamo Raya 21. Mamberamo Tengah 22. Nduga 23. Deiyai 24. Dogiyai 25. Intan Jaya 26. Supiori 27. Yalimo Merauke Sumber: Rencana Induk Pengembangan Infastruktur PUPR 2.



Papua



319.036,05



Jayapura



b. Iklim Iklim di Papua luar biasa terutama karena awannya (daerah ini mungkin merupakan salah satu tempat yang memiliki awan terbanyak di dunia).



13



Lokasinya yang membentang dari katulistiwa hingga 12 derajat Lintang Selatan menyebabkan iklim tropisnya didominasi secara musiman oleh angin Musim Barat laut dan Angin Pasat Tenggara. Di sebagian besar wilayah Papua, pengaruh angin Musim Barat laut berlangsung dari November hingga Maret yang menyebabkan hujan dan cuaca yang berubahubah. Angin Pasat Tenggara cenderung menghasilkan cuaca sejuk dan kering yang berlangsung mulai April hingga September. Papua juga memiliki berbagai iklim mikro. Papua memiliki iklim tropis basah yang tidak umum baik dalam konteks Indonesia maupun global. Daerah pegunungannya yang luas terlalu basah dan berawan sehingga tidak mendukung kehidupan tanaman. Kelembaban ini melindungi Papua dari kekeringan dan memertahankan keseimbangan panas. Jajaran gunung yang terbentuk selama Periode Tersier menentukan parameter iklim dan biota Papua sudah beradaptasi dengan kisaran panas yang luas tetapi keragaman lokalnya rendah. Bahkan pergerakan es yang menurunkan garis batas salju tidak banyak mempengaruhi surplus kelembaban secara umum, kecuali di bagian selatan. Dampak pemanasan global mungkin juga akan terbatas, karena curah hujannya mungkin akan meningkat dan variasinya mungkin juga meningkat karena pengaruh El Ninõ dan La Nina yang lebih sering dan lebih parah. Pembekuan yang parah dari El Ninõ di masa depan akan memusnahkan jenis hidupan yang sensitif terhadap pembekuan di bagian atas hutan pegunungan dan membatasi kegiatan pertanian (Kartikasari, Sri Nurani.2012) c. Curah Hujan 1.



Provinsi Papua Provinsi Papua merupakan salah satu daerah terbasah di dunia. Selama tahun 2017, rata-rata curah hujan di Papua bervariasi. Curah hujan terendah tercatat 127 mm3 di Stasiun Wamena dan yang tertinggi tercatat 403,5 mm3 di Stasiun Tanah Merah.



14



Tabel 3. Statistik Geografi dan Iklim Provinsi Papua Tahun 2017



Sumber : Statistik Daerah Provinsi Papua 2018



Gambar 7. Rata-rata curah hujan Menurut Stasiun Pengamatan di Provinsi Papua (mm2) tahun 2017



15



Pemantauan cuaca di Papua dilakukan di 12 stasiun pengamatan. Stasiun tersebut mengukur curah hujan, rata-rata kelembaban udara, rata-rata tekanan udara, rata-rata penyinaran matahari, kecepatan angin dan rata-rata suhu udara. Kelembaban udara di Papua relatif tinggi. Pada tahun 2017, ratarata kelembaban udara berkisar antara 81% yang tercatat di Stasiun Sentani, sampai dengan 87,1% yang tercatat di Stasiun Timika. Sementara rata-rata tekanan udara bervariasi antara 1.007,80 mb sampai 1.012,6 mb. Adapun rata-rata penyinaran matahari dalam isaran 41,1% tercatat di Stasiun Timika hingga 61,% tercatat di Stasiun Timika. Suhu udara suat tempat ditentukan oleh penyinaran matahari, tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan laut dan sifat permukaan bumi, suhu udara rata-rata di Provinsi Papua pada tahun 2017 berkisar 18,50C – 28,70C. Suhu udara minimum tercatat 18,50C di Stasiun Enaratolli, sedangkan suhu udara maksimum tercatat 28,70C di Stasiun Serui. 2.



Provinsi Papua Barat Variasi curah hujan di Provinsi Papua Barat bervariasi. Selama tahun 2015 curah hujan terendah tercatat pada bulan November yaitu 32,40 mm3 dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember 537,60 mm3. Pemantauan cuaca di Provinsi Papua dicatat berdasarkan bulan selama tahun 2015. Stasiun pengamatan yang tersebar di beberapa daerah Provinsi Papua Barat mengukur curah hujan, rata-rata kelembaban udara, rata-rata tekanan udara, rata-rata penyinaran matahari, kecepatan angin dan rata-rata suhu udara. Kelembaban udara di Papua Barat relatif tinggi. Pada tahun 2015, kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Juni dan Desember yaitu



16



85 RH, sedangkan kelembapan udara terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu 78 RH. Suhu udara suat tempat ditentukan oleh penyinaran matahari, tinggi rendahnya tempat tersebut dari permukaan laut dan sifat permukaan bumi. Suhu udara di Provinsi Papua Barat pada tahun 2015 berkisar 22,900C – 32,600C. Suhu udara minimum tercatat 22,900C pada bulan Agustus, sedangkan suhu udara maksimum tercatat 32,600C pada bulan Mei dan Oktober. Tabel 4. Rata-Rata Suhu dan Kelembapan Udara Provinsi Papua Barat Tahun 2015



Sumber: BMKG Manokwari



17



Tabel 5. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Provinsi Papua Barat Tahun 2015



Sumber: BMKG Manokwari



d. Topografi Keadaan topografi Papua bervariasi mulai dari dataran rendah berawa sampai dataran tinggi yang dipadati dengan hutan hujan tropis, padang rumput dan lembah dengan alang-alangnya. Dibagian tengah berjejer rangkaian pegunungan tinggi sepanjang 650 km. Salah satu bagian dari pegunungan tersebut adalah pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena disana terdapat 3 puncak tertinggi yang walaupun terletak didekat kathulistiwa namun selalu diselimuti oleh salju abadi yaitu puncak Jayawijaya dengan ketinggian 5,030 m (15.090 ft); puncak Trikora 5.160 m (15.480 ft) dan puncak Yamin 5.100 m (15.300 ft). Secara garis besar, topografi di Papua terdiri dari:



18



1.



Zona utara (kepala burung), kondisinya mulai dari dataran rendah, dataran tinggi sampai pegunungan dengan beberapa puncak yang cukup tinggi (dataran rendah Mamberamo, pegunungan Arfak). Batuan yang tersusun berupa batuan produk vulkanisme, batuan ubahan, dan batuan intrusif asam sampai intermedier. Morfologi ini berangsur berubah ke arah baratdaya berupa dataran rendah aluvial, rawa dan plateau batugamping.



2.



Zona tengah / central high land (leher burung) merupakan rangkaian pegunungan dengan puncak yang diliputi salju dan dataran yang cukup luas (Puncak Jaya, Lembah Jayawijaya)



3.



Zona selatan (badan burung), pada umumnya terdiri dari dataran rendah yang sangat luas (dari teluk Beraur sampai Digul fly depression). Topografinya sangat bervariasi mulai dari yang sangat tinggi (Puncak Jaya 5.500 m, Puncak Trikora 5.160 m, dan Puncak Yamin 5.100) sampai dengan daerah rawa (lembah sungai Digul di selatan dan lembah sungai Mamberami di sebelah utara).



e. Tanah Tanah adalah media pertemuan antara biosfer, atmosfer (udara), hidrosfer (air) dan litosfer (batuan) yang saling memengaruhi. Sebagai media yang komplek, tanah memiliki sifat--sifat biologi, kimia dan fisika. Tanah mendukung pertumbuhan tanaman melalui penyediaan berbagai unsur hara, air dan sebagai penyangga yang kokoh. Tanah juga merupakan ekosistem yang sangat beragam. Keberadaan biota tanah, seperti jamur, bakteri, avertebrata (misalnya, binatang beruas-ruas seperti kelabang, lipan dan cacing) yang hidup di bawah permukaan tanah memiliki biomassa yang lebih tinggi daripada organisme tanah yang berada di atas permukaan. Sebagian besar tanah di Papua merupakan mosaik berbagai tipe tanah yang mencerminkan sejarah erosi dan tingkat kemiringan lereng, yang sering mendorong terjadinya suksesi tanah baru.



19



Ada lima faktor utama yang memengaruhi pembentukan tanah: iklim, vegetasi, topografi, bahan induk dan waktu. Perbedaan kombinasi kelima faktor ini menghasilkan tipe tanah yang beragam di tempat-tempat yang relatif berdekatan. Umumnya tanah terbentuk melalui proses pelapukan batuan bahan induk. Laju pelapukan ini berlangsung paling cepat di kawasan tropis yang lembab dan dapat membentuk tanah dengan ketebalan mencapai 10 m. Namun, banyak sifat tanah yang juga dipengaruhi oleh keberadaan materi seperti aluvial (endapan berupa pasir, lumpur yang terhanyut dan diendapkan di sungai), timbunan debu yang terbawa angin, bahan organik (tanah gambut) dan hasil letusan gunung berapi. Karena itu bahan induk pembentuk tanah bisa berasal dari berbagai sumber. Tanah selalu berubah dan sering tidak mencapai titik keseimbangan atau kematangan. Karena itu profil tanah (urutan pelapisan atau perkembangan horison) memerlihatkan perbedaan antara tanah muda dan tanah tua. Proses pembentukan tanah juga sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, misalnya, melalui pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, penggalian batuan atau erosi tanah. Memahami persebaran tanah dan sifat-sifatnya sangat penting untuk pengelolaan produksi pertanian dan kegunaan tanah lainnya. Di Papua, masyarakat umumnya memberi nama tersendiri untuk tanah yang mereka olah dan mereka mengetahui sifat-sifat tanahnya. Publikasi tentang tanah di Papua Nugini merujuk kepada taksonomi tanah yang umum digunakan yaitu sistem tata nama berdasarkan The United States Department of Agriculture (USDA). Jenis tanah yang paling umum di Papua adalah tanah muda entisol, yang mencakup hampir 25% tanah di seluruh pulau ini. Fakta ini mencerminkan tingginya aktivitas geologi dan erosi di sini. Entisol umum dijumpai di dataran tinggi, seperti Lembah Baliem dan di kaki perbukitan, di mana endapan aluvial berlangsung. Entisol juga ditemukan pada batuan pasir (batu sedimen yang mengandung pasir, umumnya kuarsa, diikat oleh silika,



20



kalsium karbonat, oksida besi maupun liat), seperti yang terdapat di G. Trikora bagian utara. Di Papua, inceptisol terdapat di daerah pegunungan dan sering memiliki lapisan organik yang cukup tebal dan tanah liat pada lapisan bawah atau tanah humus dangkal pada batu kapur Mollisol yang terbentuk pada batu kapur dan tersebar di daerah batu kapur di jajaran pegunungan tengah, Weyland dan Arfak, juga terdapat di Biak dan Kep. Numfor. Di daerah ini sering terjadi erosi, dengan tingkat kehilangan tanah dapat mencapai 1 meter atau lebih. Erosi ini dapat dilihat pada lereng batu kapur karena batuan muncul di lapisan yang sebelumnya tertutup tanah sebelum ada pembukaan tanah. Proses ini menunjukkan erosi yang mungkin telah berlangsung selama ribuan tahun sebelumnya. Alfisol umum terdapat di lereng bagian utara jajaran pegunungan tengah. Ultisol (tanah yang tingkat telah melapuk berat) mencakup 25% luas lahan di Papua dan lebih dominan di kabupaten Merauke (50% dari dataran rendahnya adalah jenis tanah ini). Ultisol juga terdapat pada batuan beku, seperti di Peg. Cyclops. Histosol paling umum ditemukan di Taritatu (Idenberg) - lembah Mamberano di sekitar Teluk McCluer dan dataran rendah di selatan. Proporsi histosol di daerah-daerah ini mencapai sepertiga luas lahannya. Histosol juga terdapat di daerah pegunungan di atas ketinggian 3.000 m (Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012:95-96) Menurut Ballard dalam Kartikasari, Sri Nurani (2012) mengemukakan bahwa di Papua kecuali di daerah Merauke, tingkat kelembaban tanah umumnya positif sehingga tidak membatasi pertumbuhan tanaman. Bahkan di lokasi yang paling kering tingkat kelembabannya tidak lebih rendah dari 75 mm (50% dari kemampuan tanah menyimpan air). Di dataran tinggi dengan tingkat tutupan awan yang lebih tinggi, proses evaporasi rendah dan tanah masih tetap dalam kondisi jenuh air hampir sepanjang tahun. Tingkat keseimbangan air yang positif ini memperlambat proses pembusukan (dan akumulasi bahan organik) dan mungkin proses pencucian unsur hara.



21



Kondisi ini juga memengaruhi terjadinya tanah longsor, terbentuknya terowongan dan saluran pada lokasi-lokasi yang curam dan tipe-tipe tanah yang rentan erosi. Kekeringan juga terjadi di dataran tinggi maupun dataran rendah karena kemarau panjang, seperti yang terjadi selama periode El Nino tahun 1997-1998. Tabel 6. Persebaran Ordo Tanah Utama di Papua



2. Kondisi Nonfisik Wilayah Papua a. Kondisi Demografi Pada tahun 2010, jumlah penduduk yang bermukim di Pulau Papua berjumlah tidak lebih dari 3% total jumlah penduduk Indonesia. Jumlah tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan 57,48% penduduk Indonesia yang bermukim di Pulau Jawa. Meskipun demikian, fenomena kepadatan penduduk perkotaan lebih tinggi dibanding perdesaan juga terjadi di Pulau Papua. Berikut ini merupakan tabel jumlah dan kepadatan penduduk di Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2015.



22



Tabel 7. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Provinsi Papua Tahun 2013 Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Jiwa) (Jiwa/km²) 1 Merauke 209.980 4,43 2 Jayawijaya 203.085 87,12 3 Jayapura 118.789 8,25 4 Nabire 137.283 30,17 5 Kepulauan Yapen 88.187 17,86 6 Biak Numfor 135.080 10,38 7 Paniai 161.324 7,80 8 Puncak Jaya 112.010 45,78 9 Mimika 196.401 85,38 10 Boven Digoel 60.403 2,45 11 Mappi 88.006 3,80 12 Asmat 85.000 3,44 13 Yahukimo 175.086 11,63 14 Pegunungan Bintang 69.304 4,73 15 Tolikara 125.326 20,38 16 Sarmi 35.508 2,54 17 Keerom 51.772 5,74 18 Waropen 26.905 5,00 19 Supiori 16.976 26,77 20 Mamberamo Raya 19.776 0,71 21 Nduga 85.894 14,75 22 Lanny Jaya 161.077 46,83 23 Membramo Tengah 42.687 12,61 24 Yalimo 54.911 15,01 25 Puncak 99.926 17,78 26 Dogiyai 89.327 19,75 27 Intan Jaya 43.405 18,66 28 Deiya 66.516 7,12 29 Kota Jayapura 272.544 286,77 Provinsi Papua 3.032.488 9,58 Sumber: BPS Provinsi Papua 2014 No.



Kabupaten/Kota



23



Tabel 8. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Provinsi Papua Barat Tahun 2013 Jumlah Penduduk (Jiwa) 1 Fakfak 73.468 2 Kaimana 54.165 3 Teluk Wondama 29.791 4 Teluk Bintuni 59.196 5 Manokwari 158.326 6 Sorong Selatan 43.036 7 Sorong 80.695 8 Raja Ampat 45.923 9 Tambrauw 13.615 10 Maybrat 37.529 11 Manokwari Selatan 21.907 12 Pegunungan Arfak 28.271 Provinsi Papua Barat 871.510 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2015 No.



Kabupaten/Kota



Kepadatan Penduduk (Jiwa/km²) 6,66 3,33 7,52 2,84 49,69 6,53 12,33 5,72 1,18 6,87 7,79 10,19 8,74



Pada Tabel 7di atas dapat dilihat bahwa kepadatan penduduk Provinsi Papua Barat menunjukan bahwa di wilayah perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk di wilayah perdesaan. Hal itu terjadi terutama di ibukota provinsi, yakni Kabupaten Manokwari yang juga memiliki jumlah penduduk tertinggi, yakni 158.326 jiwa dari total 871.510 proyeksi penduduk Provinsi Papua Barat pada tahun 2015. Kondisi Provinsi Papua juga tidak berbeda dengan apa yang terjadi di Provinsi Papua Barat. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Jayapura yang juga merupakan ibukota provinsi dengan kepadatan 286,77 jiwa/km2. Kota Jayapura juga sekaligus merupakan wilayah dengan jumlah penduduk tertinggi di provinsi ini. Berbanding terbalik dengan tingginya angka kepadatan penduduk di Kota Jayapura, di bagian Provinsi Papua lainnya terdapat Kabupaten Mamberamo Raya yang angka kepadatan



24



penduduknya hanya berkisar pada angka 0,71 jiwa/km2. Kondisi tersebut diakibatkan oleh kondisi alam kabupaten ini yang berupa pegunungan dan merupakan tempat bermukim dari beberapa suku pedalaman Papua. Dalam bidang kependudukan, permasalahan tidak berhenti pada tingginya kepadatan penduduk suatu wilayah. Kesejahteraan penduduk menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Jumlah penduduk suatu wilayah hanya menjadi salah satu variabel penentu tingkat kesejahteraan. Terdapat variabel lain yang menjadi indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan penduduk, khususnya kualitas hidup manusia yang merupakan aktor dalam pembangunan. b. Sosial Budaya Beberapa pakar berpendapat bahwa budaya Papua tidak inovatif ketika berhubungan dengan eksplorasi alam. Hal ini mungkin karena kepercayaan tradisional bahwa alam memunyai kekuatan spiritual atas kehidupan dan nasib manusia, yang harus disegani dan dihormati. Namun, pandangan ini tidak berlaku secara menyeluruh karena sebagian budaya Papua (misalnya, mereka yang tinggal di Teluk Cenderawasih) memunyai sejarah eksplorasi lingkungan dan ekspedisi di dalam dan di luar Papua. Kecenderungan terhadap eksplorasi mendorong munculnya keahlian pembuatan perahu dan pelayaran di kalangan masyarakat ini. Meskipun banyak budaya Papua yang tampak relatif pasif terhadap eksplorasi alam dalam skala yang besar, mereka sangat menghargai upaya-upaya perorangan dan orang-orang yang bekerja keras dan inovatif. Nilai budaya yang menghargaai upaya-upaya perorangan mendorong banyak orang Papua untuk bekerja keras, yang pada gilirannya menguntungkan kelompok secara keseluruhan. Nilai-nilai ini juga membangun kemandirian dan rasa percaya diri pada sebagian orang, serta membangun rasa tanggung jawab pada sebagian orang lainnya. Menurut De Brujin dalam Kartikasari Sri Nurani, dkk (2012:637) mengemukakan bahwa berdasarkan analisis antropologis terhadap budaya



25



Papua menunjukkan bahwa di Papua ada dua sikap terhadap hubungan antar manusia yang sangat berbeda. Pertama, sebagian budaya sangat berorientasi vertikal. Budaya dengan sistem kepemimpinan kerajaan (misalnya, masyarakat di Semenanjung Onin, wilayah Kowiai, Kepulauan Raja Ampat) menunjukkan orientasi yang sangat kuat pada nilai budaya ini. Demikian juga budaya di wilayah timur laut Papua yang menganut sistem kepemimpinan ondoafi (misalnya, Tabla, Skow, Nimboran, Sentani dan masyarakat di Teluk Yos Sudarso). Dalam kebudayaan ini, pemimpin dipandang sebagai turunan nenek moyang gaib yang memegang peranan khusus sebagai penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib. Karena para pemimpin ini diyakini memiliki kekuatan magis, mereka sangat dihormati dan menjadi tempat anggota masyarakat untuk meminta nasihat. Cara pandang ke dua mengenai hubungan antar manusia memiliki orientasi yang lebih bersifat horizontal. Dalam budaya ini hubungan anggota masyarakat dalam suatu marga sangat kuat dan kepentingan kelompok ditempatkan di atas kepentingan pribadi. Solidaritas antara anggota marga sangat tinggi, atas dasar pandangan bahwa “satu bagian adalah keseluruhan”. Nilai-nilai budaya yang diwujudkan dalam norma-norma sosial, etika, aturan dan hukum berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Namun, perbedaan budaya ini dapat dikelompokkan berdasarkan pandangan budaya tersebut terhadap lima konsep dasar berikut. 1) Konsep Tentang Makna Hidup Semua budaya memiliki konsep tentang makna hidup, tujuan akhir keberadaan manusia dan bagaimana manusia menjalankan kehidupan. Agama biasanya memberikan pedoman tentang makna hidup. 2) Persepsi Terhadap Kerja Budaya sangat beragam dalam memandang makna kerja. Ada yang memandang kerja sangat penting dan menjadi salah satu yang memberi makna hidup, ada yang menjadikannya sebagai cara mendapat



26



kehormatan, ada pula yang menganggapnya sebagai cara melayani sesama. 3) Konsep Tentang Hubungan Manusia dengan Alam Ada budaya yang memandang alam semata-mata sebagai sumber bagi



kepentingan



manusia,



ada



yang



memandang



perlunya



keseimbangan antara kepentingan manusia dengan alam, ada pula yang memandang alam sebagai suatu kekuatan dan manusia harus tunduk kepadanya. 4) Persepsi Tentang Waktu Berbagai budaya memunyai persepsi yang berbeda mengenai waktu, khususnya menyangkut perencanaan masa depan. Ada yang mengutamakan masa kini, ada pula yang lebih berorientasi pada masa depan dan memandang perencanaan masa depan itu penting. 5) Persepsi Terhadap Sesama Manusia Ada budaya yang sangat menghargai hubungan dalam masyarakat yang bersifat vertikal. Budaya ini sangat menghormati para pemimpin dan tokoh masyarakat. Ada pula budaya yang lebih bersifat horizontal dan mengutamakan hubungan antar pribadi. Ada budaya yang menekankan kemandirian, sementara budaya lain menekankan saling ketergantungan dan kerjasama. c. Sosial Ekonomi Lingkungan hidup di Papua dapat dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu: daerah rawa, daerah pesisir dataran rendah, daerah perbukitan dan lembah-lembah kecil dan daerah dataran tinggi (Mansoben dan Walker dalam Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012:634). Masing-masing zona ini menopang sistem mata pencaharian yang berbeda. Di daerah rawa masyarakat terutama bergantung pada sagu sebagai bahan makanan utama dan ikan (misalnya, masyarakat Asmat, Mimika dan Waropen). Untuk masyarakat yang tinggal di daerah pesisir dan pinggiran sungai (misalnya,



27



masyarakat Biak, Wandammen, Moi, Simuri, Maya, Kepulauan Raja Ampat), perikanan, budidaya sagu dan pertanian merupakan kegiatan ekonomi pokok, sementara berburu merupakan strategi alternatif. Masyarakat di perbukitan dan lembah lembah kecil utamanya bergantung pada pertanian dan sagu, berburu dan memelihara ternak (misalnya, masyarakat Muyu, Genyem dan Arso). Kelompok masyarakat di dataran tinggi, mereka bertani dan memelihara babi sebagai sumber mata pencaharian utamanya (misalnya, masyarakat Dani dan Me). d. Bahasa Berdasarkan aspek geologi pulau Nugini memang termasuk muda, tetapi masyarakatnya ternyata termasuk keturunan purba (yang terbukti telah menghuni pulau ini paling sedikit selama 40.000 tahun). Di seluruh pulau ini terdapat lebih dari 1.200 kelompok bahasa, membuat pulau ini sebagai daratan yang mendukung bahasa terbanyak di dunia. Papua memiliki sekitar 250 bahasa dan ada 800 bahasa di PNG. Belum ada penjelasan pasti kenap jumlah bahasa di bagian barat jauh lebih sedikit, tetapi keragaman fisiografi dan biogeografi mungkin menjelaskan perbedaan ini. Fakta ini dapat digunakan sebagai indikasi lamanya manusia telah menghuni Nugini. Bahasa-bahasa daerah Papua dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu bahasa Austronesia dan nonAustronesia (sering disebut bahasa Papua). Kelompok bahasa ibu Austronesia terdiri dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh masyarakat pesisir (misalnya, Biak, Wandammen, Waropen, Maya) sedangkan kelompok bahasa nonAustronesia (atau Papua) digunakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah terpencil di bagian tengah pulau ini, dari wilayah barat Kepala Burung ke ujung bagian timur Nugini (misalnya, Meybrat, Dani, Ekari, Asmat, Muyu dan Sentani). Kelompok bahasa Papua sendiri dibagi menjadi sepuluh filum, yang terbagi lagi ke dalam beberapa suku bahasa. Satu filum bisa terdiri dari beberapa suku bahasa, yang masing-masing memunyai beberapa bahasa



28



lokal atau dialek. Keragaman bahasa di Papua ini telah mendorong penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sehingga sebagian besar orang Papua bisa berkomunikasi dalam satu bahasa. e. Agama dan Kepercayaan Agama-agama utama seperti Islam dan Kristen masuk ke Papua pada waktu yang berbeda-beda. Menurut data sensus tahun 1980, 12% orang Papua beragama Islam, 23% Katolik dan 65% Kristen. Sebelum Agama Islam dan Kristen masuk ke Papua, setiap suku asli telah memunyai sistem kepercayaan tradisional yang beragam di antara berbagai kelompok, tetapi sebagian besar kelompok memercayai satu Tuhan yang memegang kekuasaan tertinggi atas penguasa--penguasa lainnya. Penelitian etnografi mengenai sistem kepercayaan tradisional di Papua menunjukkan bahwa Tuhan yang Maha Kuasa atau Yang Tertinggi dianggap sebagai pencipta dan memiliki kekuasaan mutlak atas hidup manusia. Selain itu, sebagian besar pengikut sistem kepercayaan tradisional ini percaya bahwa kekuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan dan guntur; atau kekuatan Tuhan itu mendiami benda-benda alam di dekat pemukiman manusia, seperti pohon yang besar, jeram, aliran sungai, dasar laut, atau teluk-teluk tertentu. Masyarakat Papua juga percaya bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal itu diberi kuasa oleh Tuhan Pencipta untuk mengendalikan manusia yang masih hidup. Karena itu, manusia yang masih hidup harus memelihara hubungan yang baik dengan nenek moyang mereka agar mereka terlindung dari kemungkinan bencana ketika anggota keluarga yang telah meninggal marah. f. Struktur Sosial Menurut Pouwer dalam Kartikasari, Sri Nurani, dkk (2012:632) mengemukakan bahwa orang Papua dapat dibagi paling sedikit menjadi empat kelompok berdasarkan sistem kekerabatannya, yaitu:



29



1) Kelompok pertama menggunakan sistem kekerabatan yang mirip dengan suku Iroquois, penduduk asli Amerika (tipe Iroquois). 2) Kelompok ke dua menggunakan sistem kekerabatan yang mirip dengan yang digunakan oleh penduduk asli di Hawai’i (tipe Hawai’i). 3) Kelompok ke tiga menggunakan tipe kekerabatan Omaha. 4) Kelompok ke empat meliputi orang-orang yang menggunakan tipe kekerabatan Iroquois-Hawai’i. Kelompok ke empat ini antara lain orang-orang Bintuni, Tor dan Pantai Barat dari wilayah Sarmi. Masyarakat Papua dapat juga dikelompokkan menurut dua sistem pewarisan yang mereka kenal, yaitu sistem pewarisan patrilineal, di mana pewarisan diberikan dari ayah kepada anak laki-laki atau anggota keluarga laki-laki lainnya dan sistem matrilineal, di mana pewarisan diturunkan melalui pihak perempuan. Sistem pertama digunakan oleh suku Meybrat, Me, Dani, Biak, Waropen, Wandammen, Sentani, Marind- Anim dan Nimboran. Sebagian besar orang Papua menggunakan kombinasi kedua sistem pewarisan ini, bisa melalui garis keturunan ayah atau garis keturunan ibu. g. Sistem Politik Sistem politik juga sangat beragam di Papua, yang menurut Mansoben dalam Kartikasari, Sri Nurani, dkk (2012:633) dapat dibedakan menjadi empat sistem. Keempat sistem ini adalah: sistem orang besar (orang kuat), sistem kerajaan, sistem ondoafi dan sistem campuran. Pada sistem politik orang besar posisi kepemimpinan berbasis pada prestasi individu. Sumber kekuasaan pada sistem ini diperoleh dari kemampuan pribadi orang besar tersebut. Suku-suku Dani, Asmat, Me, Meybrat dan Muyu menganut sistem politik ini. Dalam sistem kerajaan ciri utamanya adalah posisi kepemimpinan dan status politik, diperolehnya berdasarkan keturunan atau warisan. Kekuasaan



30



politik yang diberikan kepada individu adalah atas dasar keanggotaan mereka dalam keluarga dan kelahiran. Sistem ini umum berlaku di kalangan suku-suku di wilayah barat daya Papua, termasuk Kep. Raja Ampat, Sem. Onin, Teluk Berau dan Kaimana. Sistem



ondoafi



mirip



dengan



sistem



kerajaan,



yaitu



posisi



kepemimpinan diwariskan dengan memanfaatkan birokrasi tradisional. Perbedaannya, sistem ondoafi berbeda dalam hal jarak kekuasaan secara geografis dan orientasi politiknya. Kekuasaan pemimpin suatu ondoafi terbatas pada sebuah desa saja (yo) dan unit sosialnya terdiri dari satu kelompok timur laut Papua di kalangan masyarakat Sentani, Genyem (Nimboran), Teluk Yos Sudarso, Tabla, Yaona, Yakari-Skou dan Arso-Waris. Sistem politik terakhir yang ada di Papua adalah sistem campuran, yaitu kepemimpinan diwariskan atau berdasarkan prestasi. Dengan kata lain, seseorang bisa menjadi pemimpin atas dasar kemampuan pribadinya atau karena keturunan. Sistem campuran ini umum berlaku di kalangan masyarakat yang hidup di sekitar Teluk Cenderawasih, seperti di kalangan masyarakat Biak, Wandammen, Waropen, Yawa dan Maya.



C. Persebaran Flora dan Fauna di Papua Papua mencakup sejumlah bentuk lahan utama yang dapat berperan sebagai subunit untuk menggambarkan pola persebaran biota saat ini atau yang biasa dikenal dengan istilah biogeografi Papua. Posisi strategis Papua telah mendukung perkembangan vegetasi heterogen yang terdiri dari unsur-unsur Laurasia dan Gondwana. Berbagai peristiwa biogeografi yang saling mempengaruhi banyak mendukung keanekaragaman botaninya. Papua merupakan pulau tropis terbesar dan tertinggi di dunia. Biotanya merupakan hasil diversifikasi evolusi di salah satu wilayah geologis yang paling kompleks di dunia. Papua diakui sebagai pusat utama keanekaragaman flora dan fauna. Flora di Papua diperkirakan berkisar



31



antara 11.000-20.00 jenis, sedangkan persebaran Fauna di Papua mecakup 3.764 vertebrata dan sekitar 200.000 avertebrata (Kartikasari, Sri Nurani. 2012). Di Papua terdapat flora alam yang pada saat ini sedang dalam pengembangan baik secara nasional maupun internasional yaitu sejenis anggrek yang termasuk di dalam Farmika Orctdacede yang langka di dunia.Anggrek alam Papua tumbuhnya terbesar dari pantai lautan rawa sampai ke pegunungan. Umumnya hidup sebagai epihite menembel pada pohon-pohon maupun di atas batu-batuan serta di atas tanah, humus di bawah hutan primer. Seperti halnya dengan flora, keadaan di Papua pun bermacam-macam dalam dunia hewan misalnya, jenis yang terdapat di Papua tidak sama dengan jenis hewan di daerah-daerah di Indonesia lainnya seperti Kangguru, kasuari, Mambruk dan lalin-lain. Demikian pula sebaliknya jenis hewan tertentu yang terdapat di Indonesia lainnya tidak terdapat di Papua seperti Gajah, Harimau, Orang Utan dan lain-lain.Fauna di Papua terdapat persamaan dengan fauna di Australia, misalnya Kangguru, Kus-kus dan lain-lain.Burung Cendrawasih merupakan burung yang cantik di dunia dan hanya terdapat di Papua. Selain burung Cendrawasih terdapat jenis burung lainnya seperti Mambruk, Kasuari, Kakauta dan lain-lain yang memberikan corak tersendiri untuk keindahan daerah ini.Hewan-hewan yang langka dan dilindungi adalah burung Kakatua Putih, Kakatua Hitam, Kasuari, Nuri, Mambruk dan lain-lain yang termasuk burung Cendrawasih Jenis fauna laut Papua juga banyak dan beraneka ragam, misalnya ikan Cakalang, ikan Hiu, Udang dan sejenis ikan lainnya. Pola persebaran flora dan fauna di Papua berkaitan erat dengan sejarah dinamika proses geologi Papua. Gerakan lempeng yang terjadi selama 25 juta tahun telah membentuk Papua yang sekarang dapat dibagi menjadi tiga belas subunit biogeografi atau pola persebaran flora dan fauna di wilayah Papua. Masing-masing unit diuraikan secara singkat sebagai berikut:



32



Gambar 8 . Daerah Kepala Burung Papua 1. Waigeo dan Batanta Waigeo dan Batanta merupakan dua kepulauan utama di Kepulauan Raja Ampat ditambah dengan kepulauan di sekitarnya, merupakan wilayah bergunung-gunung yang terjal dan tertutup oleh batuan kapur yang masih muda, masing-masing terpisah oleh selat-selat yang agak dangkal. Kofiau dapat digabungkan dengan unit ini untuk memudahkan, walaupun secara tektonik bukan bagian dari fragmen kerak bumi ini. Waigeo dan Batanta sama-sama memiliki dua spesies endemik Paradisaea, yaitu Cenderawasih merah (Paradisaea rubra) dan Cenderawasih botak (Cicinnurus respublica), Maleo waigeo (Aepypodius bruijnii) dikenal hanya dari perbukitan Waigeo, tetapi ada beberapa petunjuk bahwa spesies ini juga mendiami dataran tinggi Batanta. 2. Misool dan Salawati Kepulauan Salawati dan Misool terletak di dasar dangkal yang tampaknya menempel penuh ke tepi bagian barat Lempeng Australia. Misool termasuk rendah, tetapi terjal dan tertutup batuan kapur karst. Jalinan pulau kecil dengan batuan karst tinggi yang sempit paralel membentang ke arah timur dari pesisir timur Misool. Berdasarkan biotanya, unit ini kelihatannya yang terkait paling dekat dengan dataran rendah bagian selatan Kepala Burung (misalnya,



33



Cenderawasih belahrotan Cicinnurus magnificus terdapat juga di Kepala Burung tetapi tidak ada di Waigeo/Batanta). Selat Sagewin yang memisahkan Salawati dari pegunungan Batanta merupakan pemutusan biogeografi lokal yang penting yang terkait dengan sejarah tektoniknya (perluasan Patahan Sorong). Selat ini merupakan pembatas geografis utama untuk jenis Paradisaea (rubra vs. minor) dan Cicinnurus (respublica vs. magnificus). Analisis biogeografis yang seksama di seluruh selat ini akan menghasilkan daftar panjang tumbuhan dan binatang yang telah berevolusi di batas pola persebaran di kawasan ini. 4. Kepala Burung Selain dikenal sebagai Kepala Burung, Vogelkop atau Sem.Doberai, Kepala Burung merupakan formasi fisik terpenting ke dua di daerah Papua setelah pegunungan tengah. Kepala Burung merupakan subunit biologi Papua yang sangat istimewa, dengan beragam jenis burung endemik di sana, walaupun banyak di antaranya menyebar ke puncak-puncak tertinggi pegunungan di daerah Leher Burung di dekatnya. Dua sebaran geografis jenis telah terbentuk di kedua sisi Leher Burung: di Kepala Burung ke arah barat laut dan bentuk pegunungan tengah ke arah tenggara. Jenis endemik di Kepala Burung mencakup Astrapia arfak (Astrapia nigra) dan Bondol arfak (Lonchura vana). 5. Leher Burung Leher Burung adalah subunit fisiografis yang paling kompleks di Papua dan merupakan satu-satunya tempat di Papua yang merupakan teluk dalam yang sempit (Teluk Triton, Etna dan Arguni). Biota daerah ini berkaitan erat dengan Kepala Burung dan banyak dari jenis endemik regional mendiami pasangan subunit ini (Kepala Burung dan Leher Kepala Burung), misalnya, Mandargunung garis-putih (Rallicula leucospila) dan Namdur polos (Amblyornis inornatus). 6. Biak / Numfor Kepulauan laut ini merupakan unit paling istimewa di seluruh daerah. Banyak endemik burung pulau dianggap sebagai ras dari berbagai jenis yang lebih



34



tersebar luas oleh Mayr (1941), sehingga keunikan unit ini menjadi terselubung. Contoh jenis endemik adalah Nuri sayap-hitam (Eos cyanogenia), Gosong geelvink (Megapodius geelvinkianus) dan Nuri kate-geelvink (Micropsitta geelvinkiana). 7. Pulau Yapen Pulau ini adalah bagian dari Sabuk Mobile dan berkaitan dengan Patahan Sorong yang membelah Pegunungan Tamrau ke arah barat. Yapen kelihatannya telah terhanyut ke arah barat sampai ke Teluk Cenderawasih dari jajaran Pegunungan Van Rees. Yapen menunjukkan keterkaitan dengan dataran rendah bagian barat laut dan jajaran pesisir utara dan tidak memiliki jenis burung endemik. 8. Dataran Rendah Barat Daya Dataran rendah barat daya merupakan hasil subduksi tepi bagian utara Lempeng Australia di bawah Lempeng Pasifik. Jenis endemiknya ada dua: Nuriara salvadori (Psittaculirostris salvadorii) dan Cikukua mamberano (Philemon brassii). 9. Jajaran Pesisir Utara Jajaran pesisir utara adalah hasil dari tumbukan busur pulau dengan Nugini selama Kala Oligosen sampai Kala Pliosen. Kontak tertua dan pembentukan gunung terjadi di barat dan yang termuda di timur. Tiga jenis endemik berkaitan dengan unit ini, semuanya terbatas di Peg. Foja: (Namdur dahi-emas Melipotes yang belum dideskripsi dan Parotia berlepschi). 10. Jajaran Pegunungan Sudirman Jajaran pegunungan Sudirman tengah dibagi dalam dua unit, yang dipisahkan oleh Lembah Baliem dari barat laut tenggara dan membentuk pembatas fisik antara puncak-puncak tertinggi di bagian barat dengan yang ada di timur. Unit bagian barat mendukung gunung-gunung tertinggi di seluruh Pasifik tropis (Peg. Sudirman). Pegunungan Sudirman mendukung sejumlah jenis endemik yang terbatas, yaitu Puyuh Jayawijaya (Anurophasis monorthonyx), Robin salju (Petroica archboldi) dan Bondol dada-hitam (Lonchura teerinki). Saat ini masih



35



belum ada bukti yang mendukung adanya jenis endemik yang dapat dibandingkan di Weyland. 11. Pegunungann Jaya Wijaya / Star Daerah ini meliputi jajaran pegunungan tinggi yang mengesankan dan hanya sedikit lebih kecil daripada yang ada di bagian barat, tetapi lebih sedikit diteliti dan ciri-ciri biotanya kurang diketahui. Di daerah ini tidak ada jenis burung endemik. 12. Kepulauan Aru Kepulauan ini merupakan jembatan daratan yang berkaitan erat dengan dataran rendah dan Trans-Fly di bagian selatan Papua. Kepulauan ini juga merupakan satu-satunya tempat Mandar bakau (Eulabeornis castaneoventris) berkembang biak. Aru dan di Trans-Fly sama-sama memiliki Cekakak-pita kecil (Tanysiptera hydrocharis), sementara Aru dan dataran rendah bagian selatan sama-sama memiliki Walik wallacea (Ptilinopus wallacii). Di daerah ini tidak ada jenis burung endemik. 13. Dataran Rendah Bagian Barat Laut Dataran rendah barat daya merupakan bentuk baji pecahan Lempeng Australia yang semakin melebar dari barat ke timur. Daerah ini merupakan hutan basah dataran rendah terluas di Papua dan merupakan habitat alami jenis hampir endemik Cenderawasih besar (Paradisaea apoda). Tingkat endemismenya sangat rendah di daerah ini, terutama karena zona dataran rendah memiliki jenis yang tersebar luas. Selain itu hanya sedikit sekali penghalang alami yang membatasi daerah dataran rendah di barat daya dan daerah Fly-Purari di bagian timur. 14. Trans-Fly Secara geologis daerah ini berkaitan dengan dataran rendah bagian barat daya, tetapi menjadi istimewa karena berada di padang savana yang sangat musiman, yang terus berlanjut ke arah timur sampai PNG. Trans-Fly memiliki hubungan sangat penting di seluruh perbatasan dan juga Australia bagian utara, tetapi juga merupakan habitat alami bagi beberapa jenis hampir endemik seperti Cica-



36



koreng mahkota-polos (Megalurus albolimbatus) dan Bondol topi-putih (Lonchura nevermanni).



D. Potensi Wilayah Papua Wilayah Papua sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 memiliki potensi sumber daya alam sangat besar di sektor pertambangan, migas, dan pertanian. Potensi dan keunggulan wilayah di Pulau Papua dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut: 1.



Potensi komoditas sektor pertambangan dan penggalian yang paling dominan adalah minyak, gas, emas, perak, nikel dan tembaga. Pada tahun 2013, sector pertambangan dan penggalian sudah berkontribusi sebesar 33,56% untuk seluruh Wilayah Papua. Kontribusi sektor tersebut di Wilayah Papua terpusat di Provinsi Papua yang menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi sector pertambangan nasional. Dengan bertumpunya perekonomian Wilayah Papua pada sektor pertambangan dan penggalian menyebabkan fluktuasi pada sektor ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.



2.



Wilayah Papua memiliki potensi gas bumi sebesar 23,91 TSCF (Trillion Square Cubic Feet) atau sebesar 23,45% dari potensi cadangan gas bumi nasional. Sementara itu, cadangan minyak bumi di Wilayah Papua mencapai sekitar 66,73 MMSTB atau sebesar 0,91% dari cadangan minyak bumi nasional mencapai 7.039,57 MMSTB (Million Stock Tank Barrels / Cadangan Minyak Bumi). Cadangan gas bumi terdapat di sekitar Teluk Bintuni. Sementara itu, cadanagn migas terbesar terdapat di sekitar Sorong, Blok Pantai Barat Sarmi, dan Semai.



3.



Emas, perak dan tembaga merupakan hasil tambang yang sangat potensial untuk dikembangkan di Wilayah Papua karena memiliki lebih dari 45% cadangan tembaga nasional yang sebagian eksplorasi dan pengolahannya



37



terpusat di Timika (Kabupaten Mimika). Cadanagn bijih tembaga di Wilayah Papua diperkirakan sekitar 2,6 miliar ton. Sementara itu, cadangan logam tembaga hanya sekitar 25 jutaa ton. Bahan tambang dan galian yang menjanjikan potensi lainnya adalah bijih nikel, pasir besi, dan emas. Bijih nikel terdapat di daerah Tanah Merah, Jayapura. Sebagian besar dari sumber daya tersebut masih dalam indikasi dan belum di eksploitasi. Penambangan pasir besi, bijih tembaga, dan emas berlokasi di tempat yang sama dengan penambangan biji tembaga di Timika. 4.



Pengembangan MIFE (Merauke Integrated Food dan Energy Estate) dialokasikan seluas 1,2 juta ha yang terdiri dari 10 Klaster Sentra Produksi Pertanian (KSPP). Empat Klaster Sentra Produksi Pertanian yang dikembangkan yaitu: Greater Merauke, Kali Kumb, Yeinan, dan Bian di Kabupaten Merauke. Untuk jangka menengah (kurun waktu 2015 – 2019) diarahkan pada terbangunnya kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, serta perikanan darat di Klaster Okaba, Ilwayab, Tubang, dan Tabonji. Sedangkan untuk jangka panjang (kurun waktu 2020 – 2030) diarahkan pada terbangunnya kawasan sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan.



5.



Potensi unggulan pertanian tanaman pangan di wilayah Papua meliputi komoditi padi, palawija dan hortikultura. Tanaman palawija terdiri dari komoditi jagung, ubi kayu, ubi jalar, buah merah kacang tanah, kacang kedelai dan kacang hijau. Sedangkan hortikultura terdiri dari komoditi sayur-sayuran serta buahbuahan. Berdasarkan data BPS tahun 2013, produksi tanaman pangan di Wilayah Papua terdiri dari produksi jagung sebesar 9.107 ton dari luas panen 4.255 ha, produksi padi mencapai 199.362 ton dari luas panen 58.634 ha, produksi kedelai mencapai 5.219 ton dari luas panen sebesar 4.367 ha, produksi kacang tanah mencapai 2.693 ton dari luas panen sebesar 2.551 ha, produksi sagu sebesar 7.319 ton dari luas panen 7.608 ha, dan produksi



38



ubi jalar mencapai 455.742 ton dari luas panen sebesar 34.100 ha (2012), serta ubi kayu yang memiliki produksi mencapai 51.120 ton dari luas panen 4.253 ha. 6.



Tanaman perkebunan di wilayah Pulau Papua dengan produksi dan luas areal terbesar adalah kelapa sawit, kelapa, coklat, dan kopi. Penyebaran untuk produksi kelapa sawit, kelapa dan kopi terbesar terdapat di Provinsi Papua. Perkembangan perkebunan kelapa sawit cukup tinggi karena ekspansi perkebunan sawit banyak dikembangkan di wilayah Papua. Selain kelapa sawit, produksi perkebunan karet di Wilayah Papua secara keseluruhan cukup besar. Produksi karet di Wilayah Papua mengalami peningkatan selama periode 2009-2013. Pada tahun 2013, produksi karet di Wilayah Papua mencapai 2.308 ton dengan dominasi produksi dari Provinsi Papua sebesar 2.281 ton. Wilayah Papua juga sangat berpotensi untuk menjadi penghasil tebu yang besar karena memiliki lahan untuk produksi tebu terluas di luar Jawa yaitu sebesar 500.000 ha atau 47% dari total lahan tebu di luar Pulau Jawa.



7.



Sedangkan untuk peternakan besar di Wilayah Papua, jumlah populasi terbesar adalah babi, sapi potong, dan kambing. Sebaran populasi ternak babi terbesar di Provinsi Papua sebesar 577.407 ekor di tahun 2012. Secara umum, jumlah populasi untuk ternak, sebagian besar terdapat di Provinsi Papua dibandingkan di Provinsi Papua Barat.



8.



Potensi perikanan dan kelautan di Wilayah Pulau Papua sangat melimpah. Wilayah Papua memiliki teritorial perairan yang luas sekaligus memiliki potensi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan di Provinsi Papua sumber Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu sektor ini mempunyai peluang yang sangat luas untuk terus dipacu perkembangannya. Sebagian besar produksi perikanan terdiri dari perikanan tangkap laut yang berada di Provinsi Papua. Selain itu terdapat juga potensi perikanan budidaya laut,



39



tambak, kolam, karamba, jaring apung dan sawah (mina padi). Sementara itu, perikanan budidaya laut terbesar terdapat di Provinsi Papua Barat, sedangkan untuk perikanan budidaya kolam terbesar berada di Provinsi Papua. 9.



Selain pengembangan sektor primer, Wilayah Papua juga memiliki beberapa potensi untuk pengembangan sektor sekunder dan tersier. Di sektor sekunder, untuk meningkatkan nilai tambah sektor unggulan, wilayah Papua memiliki potensi untuk didirikan industri pengolahan sektor unggulan (industri hilir) terutama industri buah merah, kakao dan kelapa, industri pengolahan turunan hasil pertanian dan perikanan serta industri pertambangan, minyak dan gas. Sementara di sektor tersier, dapat dikembangkan sektor pariwisata terutama wisata alam, bahari dan budaya yang merupakan tujuan wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal yang salah satunya terdapat di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Berdasarkan potensi dan keunggulan wilayah yang sudah disebutkan di atas,



maka fokus utama pembangunan Wilayah Papua, sebagai berikut: 1.



Percepatan pengembangan industri berbasis komoditas lokal yang bernilai tambah di sektor/subsektor pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan.



2.



Percepatan pengembangan ekonomi kemaritiman melalui pengembangan industri perikanan dan parawisata bahari.



3.



Percepatan



pengembangan



pariwisata



budaya



dan



alam



melalui



pengembangan potensi sosial budaya dan keanekaragaman hayati. 4.



Percepatan pengembangan hilirisasi industri pertambangan, minyak, gas bumi, emas, perak, dan tembaga.



5.



Peningkatan kawasan konservasi dan daya dukung lingkungan untuk pembangunan rendah karbon.



6.



Penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dan masyarakat.



40



7.



Pengembangan kawasan ekonomi inklusif dan berkelanjutan berbasis wilayah kampung masyarakat adat, melalui percepatan peningkatan kualitas sumberdaya manusia Papua yang mandiri, produktif, dan berkepribadian.



E. Permasalahan-Permasalahan yang Berkembang di Wilayah Papua Papua merupakau wilayah dengan keanekaragaman ekosistem yang dimilikinya, mulai dari terumbu karang, rawa-rawa air tawar pedalaman yang sangat luas dan hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, bahkan hingga puncak gunung bersalju. Papua sangat penting bagi keanekaragaman hayati global karena merupakan kawasan “Belantara dengan Keanekaragaman Hayati yang Tinggi” ke tiga terbesar di kawasan tropis setelah hutan Amazonia dan Kongo. Papua memiliki hampir 50% keanekaragaman hayati dunia, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia . Daerah yang dikategorikan sebagai “belantara” lebih dari 70% wilayahnya masih utuh. Tekanan dari perambahan manusia dan konversi skala besar lebih rendah daripada yang dialami pusat-pusat keanekaragaman hayati yaitu wilayah yang jumlah jenis endemiknya sangat tinggi, namun mengalami kerusakan dan kehilangan habitat yang cukup besar (Myers dkk dalam Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012). Namun perbedaan antara “hotspots” dan “belantara” akan kehilangan relevansinya akibat meningkatnya berbagai ancaman yang dihadapinya. Misalnya, karena hutan di Sumatra dan Kalimantan semakin habis para penebang hutan kemudian mengalihkan kegiatannya ke Papua. Adapun beberapa permasalahan yang mengancam keberadaan ekosistem sumber daya alam di Papua, antara lain: 1. Perubahan Iklim Global Dari semua ancaman yang sejauh ini telah diketahui, tak ada satupun yang skala, cakupan atau jangkauannya menyaingi krisis akibat perubahan iklim. Walaupun iklim merupakan fenomena alam yang sejak dahulu selalu berubah, ada bukti yang sangat kuat bahwa perubahan yang terjadi saat ini tidak alami. Secara global, tahun 1998 tercatat sebagai tahun yang terhangat, disusul oleh



41



tahun 2002 dan 2003 di tempat ke dua dan ke tiga. Salah satu akibat ketidakstabilan iklim ini adalah bahwa suhu tahun 2005 lebih tinggi dari suhu di tahun 2003 dan 2004, bahkan mungkin melebihi suhu tahun 1998 (Goddard Institute for Space Studies 2005). Jumlah CO2 di atmosfer tahun 2003 mencapai angka tertinggi sebesar 376 ppm (World Wildlife Fund dalam Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012). Banyak jenis flora dan fauna yang mungkin tidak dapat bertahan karena perubahan iklim. Perubahan iklim memerparah akibat yang timbul dari ancaman-ancaman lain. Perubahan iklim dapat langsung memengaruhi suatu jenis, misalnya melalui perubahan suhu dan curah hujan, tetapi sering efek tidak langsung dapat lebih penting. Dampak sekunder dapat meningkatkan tekanan kompetitor, predator, parasit, penyakit dan gangguan lain (seperti, kebakaran atau badai). Perubahan iklim sering memperparah ancaman utama lainnya, seperti hilangnya habitat dan hadirnya jenis asing dan berdampak jauh lebih buruk. Selain itu, dampak perubahan iklim tidak merata, bergantung pada letak geografis dan ketinggian. Kajian yang dilakukan oleh WWF tentang perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan habitat akibat pemanasan global lebih parah dampaknya di wilayah yang terletak di garis lintang yang lebih tinggi dan di wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tropis di dataran rendah. Di Asia Tenggara, di bagian dalam pulau besar cenderung lebih stabil daripada pulau-pulau kecil lebih rentan. Tingginya kekayaan jenis di wilayah tropis mengharuskan perhatian khusus. Hilangnya sebagian biota bisa berarti hilangnya puluhan ribu jenis, atau bahkan lebih (Malcolm dkk dalam Kartikasari, Sri Nurani. 2012). Karena perubahan iklim datang dari luar Papua, hutan tropisnya yang sangat luas menjadi cadangan karbon global yang sangat besar. Pelepasan karbon melalui hilangnya hutan yang luas akan memberikan andil besar pada perubahan iklim global. Pilihan yang bijak bagi Papua adalah menjaga



42



keutuhan hutannya untuk menjaga stabilitas iklim dan keanekaragaman hayati. Di Papua, berkurangnya salju di Puncak Jaya merupakan tanda perubahan iklim yang nyata (UNEP-WCMC 2001). 2. Penambangan dan Energi: Merusak Permukaan Tanah Penambangan terdiri dari lima tahap, mulai dari eksplorasi sampai selesai dan pascaoperasi. Setiap tahap melibatkan sejumlah kegiatan dan potensi dampaknya pada keanekaragaman hayati. Penambangan juga menyebabkan kehilangan habitat yang sangat luas di Papua. Selain kehilangan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan, pembangunan jalan, perkotaan, pelabuhan dan bahan pencemar yang terlarut di badan air, meningkatnya persaingan untuk mendapatkan lahan dan sumber daya alam oleh pendatang juga telah menyebabkan kerusakan (Asia-Pacific People’s Environment Network 2002a). Walaupun saat ini lahan di Papua yang tengah dieksploitasi hanya seluas 1,3 juta hektar (oleh satu perusahaan, PT Freeport Indonesia), total wilayah yang telah disetujui untuk penambangan skala kecil dan yang dijanjikan untuk investigasi, eksplorasi dan eksploitasi penambangan komersial mencapai 11 juta hektar. Berdasarkan pada study kasus pertambangan PT Freeport Indonesia dimana Sudah 44 tahun aktivitas pertambangan emas PT Freeport-McMoran Indonesia (Freeport) bercokol di tanah Papua. Namun selama itu pula kedaulatan negara ini terus diinjak-injak oleh perusahan asing tersebut. Pada Kontrak Karya (KK) pertama pertambangan antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang dilakukan tahun 1967 memang posisi tawar pemerintah RI masih kecil, yaitu hanya sekedar pemilik lahan. Dibandingkan PT Freeport yang memiliki tenaga kerja dan modal tentu posisi tawar pemerintah saat itu masih kecil. Indonesia sebagai bangsa yang besar, harusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial seperti pajak, deviden ataupun pembagian royalti dari sektor pertambangan akan tetapi juga harus fokus pada keuntungan ekonomi,



43



ungkap Ibu Hendri. Pemerintah harus mempunyai visi besar dalam mengelola SDA yang dimiliki. Dalam hal ini, pemerintah harus mempunyai koridor kebijakan yang jelas mengenai bagaimana pemanfaatan segala sumber daya alam yang dimiliki untuk kemajuan ekonomi bangsa Indonesia. Sebagai contohnya, pemerintah China tidak serta merta segera mengekspor kandungan batu bara yang dimiliki secara besar-besaram ke pasar dunia akan tetapi China menahan produk batu baranya dalam negeri untuk kepentingan dalam negeri sendiri tersebut untuk mendorong kemajuan ekonomi negeri tersebut, dalam hal ini sumber energi. 3. Pembalakan Hutan Skala Besar Departemen Kehutanan melaporkan sekitar 600.000 m3 kayu di Papua hilang setiap bulan di tahun 2003 akibat pembalakan ilegal. Kondisi sesungguhnya mungkin lebih parah, data dari EnvironmentalInvestigation Agency dan Telapak (2005) menunjukkan adanya ekspor ilegal hanya untuk jenis kayu merbau (jenis kayu besi dari Maluku: Intsia bijuga dan I.palembanica) dari Indonesia (hampir seluruhnya berasal dari Papua) sebanyak 300.000 m3 sebulannya. Papua juga memiliki keragaman jenis mangrove terbesar di dunia tetapi sekitar 55% mangrove yang ada di Indonesia telah musnah sejak tahun 1980an dan lebih dari 50% yang tersisa terdapat di Papua, seluas 450.000 ha di Teluk Bintuni. Ancaman bagi mangrove terus berlanjut oleh kegiatan ekstraksi kayu, produksi kayu kepingan di tingkat lokal, konversi hutan mangrove menjadi tambak udang, lahan pertanian, ladang-ladang garam, eksplorasi energi dan pencemaran. Pembangunan ekonomi di Bintuni juga meningkat dengan adanya pembukaan ladang gas alam baru di Teluk Bintuni dan adanya peningkatan penduduk secara cepat. 4. Perdagangan Tanaman Liar Seperti perdagangan fauna yang diuraikan di atas, flora dan juga merupakan ancaman umum bagi keanekaragaman hayati Papua. Di kota-kota



44



dan desa-desa di Papua berbagai jenis anggrek bertebaran di sepanjang jalan provinsi. Menurut pengamatan, sebagian besar perdagangan jenisdilakukan oleh tentara yang akan meninggalkan Papua setelah masa tugasnya berakhir. Penelitian selama tiga bulan mengenai hidupan liar ilegal oleh Conservation International dan BKSDA di Manokwari dan Jayapura menunjukkan adanya perdagangan binatang, tanaman dan produk lainnya dari Papua secara meluas dan dalam jumlah besar (Suryadi dkk dalam Kartikasari, Sri Nurani. 2012). 5. Demam Pemekaran Pembagian wilayah provinsi yang bersamaan dengan pembagian dan pemekaran kabupaten baru berasal dari rencana dan keputusan pemerintah pusat. Di bawah UU Otonomi Daerah (No. 22/1999) beberapa provinsi dan kabupaten baru telah terbentuk, karena keberhasilan pendekatan dari daerah yang berminat. Pembentukan unit administrasi baru di bawah undang-undang ini sering digerakkan oleh kelompok-kelompok indijenus untuk menciptakan pusat administrasi baru. Selain terbentuknya 4 kabupaten baru melalui UU No. 25/1999, ada 14 yurisdiksi lain yang lahir saat UU No. 26/2002 diumumkan. Ada beberapa kriteria untuk membentuk kabupaten baru. Salah satunya adalah adanya jumlah minimum penduduk di suatu wilayah. Namun, ada banyak taktik di seluruh Papua untuk memecah beberapa kabupaten walaupun penduduknya sedikit, khususnya di daerah yang kerapatan kayunya tinggi. Ada pula pemahaman bahwa status kabupaten akan mendatangkan dana dari pusat, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah daya tarik akan kekayaan sumber daya alamnya, terutama hutan. Memang suatu kabupaten baru mendapat pembiayaan awal dari dana pemerintah pusat, tetapi akhirnya harus membiayai biaya operasionalnya sendiri, karena dana dari pusat akan menurun. Untuk membiayai administrasi dan khususnya pembangunan infrastruktur, kabupaten baru biasanya tidak dapat mendapat dana dari manapun, atau mungkin tidak ada sumber yang lebih mudah, kecuali hutan mereka. Namun umumnya kabupaten baru ini tidak memiliki kemampuan untuk mengelola eksploitasi hutan yang



45



dilakukannya. Kejadian ini makin memperburuk kegiatan yang tidak berkelanjutan ini dan mendorong pembalakan ilegal dan tidak terkontrol, serta dapat menjadi potensi ancaman besar bagi keanekaragaman hayati. Kegagalan pemerintah untuk memperkenalkan rencana dan kegiatannya kepada masyarakat adat merupakan ancaman sosial lainnya yang telah mengakar di kalangan pemerintah hingga ke badan-badan lainnya. Berdasarkan hasil suatu pengumpulan suara, sekitar 83% masyarakat Papua tidak pernah mendengar



isu



Undang-undang



Otonomi



Khusus.



Bagaimanapun,



undangundang ini telah memperkuat peran hukum adat dan merupakan ekspresi kebanggaan atas hak-hak tradisional (adat) yang diterima secara luas. Masyarakat adat menuntut hak adat mereka atas hutan, tempat mereka hidup sejak jaman nenek moyang mereka. Ada pula keraguan dan kecurigaan terhadap para pendatang dan lembaga-lembaga lain, yang telah membangun Papua selama bertahuntahun tanpa berkonsultasi dan telah berbuat curang kepada masyarakat adat. Saat ini adalah saat yang paling tepat bagi pemerintah, LSM dan pihak-pihak lain yang wajib memperlakukan masyarakat adat sebagaai mitra yang sejajar dalam upaya menyelamatkan keanekaragaman hayati Papua. 6. Peperangan dan Konflik Antar Suku Perang suku atau lebih tepat disebut pertikaian antarsuku merupakan salah satu bentuk konflik yang lazim terjadi dalam kehidupan di Papua, setidaknya sampai tahun 1987. Pada sepuluh tahun belakangan ini, tampak ada gejala timbulnya pertikaian antarsuku dalam bentuk yang lebih kompleks, sebagai contoh sebagaimana kejadian di Timika yang banyak dimuat dalam berbagai berita media massa cetak maupun elektronik pada akhir tahun 2006. Gejala timbulnya pertikaian antar suku-suku di Papua kini bukan hanya akibat struktur sosial budaya setempat, melainkan bisa terjadi akibat mengakarnya faham kago (ratu adil) yang secara psikologis membentuk perilaku konflik ketimpangan pembangunan dan kehidupan sosial ekonomi.



46



Konflik antar suku di Papua hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi setiap warga Negara di Indonesia. Mengingat di daerah-daerah lain di Indonesia juga sering terjadi konflik, maka semua elemen masyarakat harus bisa bekerja sama menyelesaikan konflok yang terjadi. Papua yang kaya akan sumber daya alam harus mempunyai sumber daya manusia yang baik agar kekayaan alam Papua tidak terus menerus diekspolitasi oleh pihak asing. Beberapa tahun belakangan media di Indonesia, baik lokal maupun nasional memberitakan mengenai konflik antarsuku yang terjadi di Papua. Timika sering diplesetkan Tiap Minggu Kacau. Bukan Timika jika tak ada kekacauan, bentrok ataupun kerusuhan. Masih segar dalam ingatan kita bahwa di Timika selalu terjadi konflik antarsuku.



Konflik antara PT Freeport



Indonesia (PT FI) dengan warga setempat juga turut mewarnai tragedi konflik di daerah itu. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi Tahun 1996. Kerusuhan yang telah menelan korban jiwa pada masyarakat sipil dan korban materil yang tak terhitung jumlahnya. Saat itu, pihak perusahaan menggunakan jasa aparat keamanan untuk menembaki, memperkosa, meneror dan mengancam warga Papua. Konflik di Timika pula yang akhirnya menghasilkan pemberian dana 1 persen dari pendapatan bersih PT FI pertahun untuk Masyarakat Amungme dan Kamoro. Walaupun kini dana 1 persen itu lebih banyak digunakan untuk kepentingan PT FI sendiri. Konflik berikutnya yang terjadi di Timika yakni antara masyarakat dengan pemerintah. Sebagai contoh kerusuhan menyikapi rencana pemerintah pusat untuk pemekaran Provinsi Papua Tengah dengan Ibu Kota di Timika. Konflik ini terjadi pada tahun 2004 yang menyebabkan 4 warga sipil tewas terkena panah. Konflik yang selalu terjadi di Timika juga antara masyarakat dan masyarakat. Contoh kasus misalnya konflik saling menyerang antara Suku Dani dan Suku Damal. Bahkan dalam catatan telah sepuluh kali terjadi di Timika. Seperti konflik antara Suku Dani dan Damal di Kwamki Lama dan juga konflik berlanjut di Banti dan Kimbeli di Tembagapura dekat PT FI



47



mengeksploitasi emas, tembaga dan mineral ikutan lainnya.



Konflik



selanjutnya adalah antara aparat keamanan dan warga sipil. Contoh kasus, antara warga sipil yang berasal dari Suku Key dan Pihak Kepolisian. Konflik ini juga telah melumpuhkan aktivitas Kota Timika. Dalam konflik ini satu warga sipil tewas tertembak. Konflik selanjutnya yang sering terjadi di Timika adalah antara aparat keamanan sendiri. Contoh kasus seperti Aparat TNI saling melakukan penyerangan terhadap Aparat Kepolisian. Aparat TNI menyerang Pos Polantas di Timika Indah. Dalam konflik ini sejumlah pihak mengalami kerugian. Contoh konflik-konflik tersebut selalu terjadi di Timika dan telah membuka peluang untuk timbul lagi konflik lama karena dalam proses penyelesaian tak pernah tuntas. Keadilan dalam penyelesaian kasus konflik bagai panggang jauh dari bara.



Contoh kasus penyelesaian perdamaian



misalnya ketika penyelesaian denda adat antara Suku Dani dan Damal. Denda adat terkumpul Rp 2 Miliar. Uang sebanyak itu diperoleh melalui bantuan perusahaan yang beroperasi di Timika dan pemerintah setempat.



Juga



diperoleh dari hasil usaha pihak-pihak yang bertikai. Dana sebanyak itu bukan untuk membayar musuh atau pihak lawan tetapi pihak untuk membayar keluarga korban dalam sukunya sendiri. Akhirnya dendam antara suku-suku yang bertikai masih terus berlanjut. Jika Aparat Polisi tak mengungkap siapa pelaku penembakan dan juga jika tak diberikan hukuman setimpal, maka dendam masih berlanjut. Jika dilihat secara seksama, maka konflik di Timika lebih intensif dibanding konflik yang terjadi kota-kota lainnya di Papua. Hal ini terjadi mungkin saja karena ada aktor yang ‘bermain’ di balik konflik antarsuku di Papua. Penyebab-penyebab terjadinya konflik di Papua harus segera diatasi. Dengan pertimbangan yang matang, penyebab konflik hars dianalisa secara mendalam. Beberapa penyebab adanya konflik antar suku di Papua antara lain:



48



a. Banyaknya warga pendatang baru yang berasal dari luar Papua. Timika sebagai daerah perusahaan merupakan magnet bagi para imigran yang datang dari luar Papua untuk mencari kehidupan yang lebih layak dengan mencari pekerjaan di Timika. Lantaran adanya perusahaan asing bertaraf internasional yang kini mampu menampung karyawan sebanyak 19.000 orang. Belum lagi banyaknya karyawan di sejumlah perusahaan swasta maupun pemerintahan di Timika yang didominasi warga pendatang. Kondisi ini menggambarkan bahwa jumlah Warga Luar Papua yang masuk ke Timika lebih dari angka 200an/hari. Hal ini pernah diakui oleh Kepala Distrik Mimika Baru, James Sumigar S.Sos kepada wartawan, setiap hari warga pendatang baru yang mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Distrik Mimika Baru sebanyak 200 orang (Papua Leading News Portal). Lantaran animo Warga Luar Papua yang datang ke Timika sangat tinggi, maka jangan heran jika konflik antara sesama warga Timika selalu terjadi. Selain itu Timika sebagai kota perusahaan dengan alasan pengamanan alat vital milik PT FI maka pemerintah pusat selalu mengirim pasukan dalam jumlah tertentu. Oleh karena itu, tak jarang terjadi konflik baik antara aparat keamanan dengan warga sipil maupun antara aparat keamanan sendiri. b. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan di Papua Faktor penyubur konflik lainnya misalnya sektor pendidikan dan kesehatan yang tak berjalan baik. Ibaratnya jika tingkat pendidikan baik maka masyarakat tak mudah terpengaruh oleh rayuan provokator sehingga tak mudah timbul konflik. Begitupun dengan kesehatan, jika warganya sehat dengan asupan gizi yang cukup maka tak ada alasan bagi masyarakat setempat untuk terlibat dalam konflik. Persoalan yang selalu menimbulkan terjadinya konflik juga lantaran penjualan minuman keras (miras) yang tak terkontrol. Sejumlah pengusaha beroperasi walaupun tak memiliki izin penjualan dari pihak pemerintah daerah setempat. Terdapat juga miras



49



oplosan yang berbahaya bagi tubuh manusia. Dalam banyak kasus, miras juga menjadi penyebab konflik yang berkepanjangan di Timika. Namun hal ini tak pernah disikapi pemerintah daerah setempat. c. Kalangan pemuda yang tidak menuruti ketua adat Pada kasus konflik antara suku Dani dan suku Damal, setelah ada korban meninggal kepala suku salah satu dari kedua suku tersebut telah memberikan tanda damai. Namun beberapa kalangan anak muda justru tidak mendengarkan perintah dari kepala suku. Akibatnya terjadi konflik lagi karena dendam yang harus dibalaskan. Dalam kondisi seperti ini, aparat keamanan diterjunkan untuk melerai konflik, namun sering kali justru aparat keamanan yang ditudu menjadi penyebab karena mungkin sudah geram dengan aksi dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. d. Balas dendam masih menjadi budaya di Papua Sejumlah kasus kekerasan terjadi di Papua, selain penembakan, perang antar suku juga kerap terjadi. Untuk menghindari terjadinya perang antarsuku, mungkin bisa saja menggunakan pendekatan pencegahan. Caranya adalah dengan menyampaikan imbauan ke masyarakat agar menyelesaikan masalah tidak dengan cara perang. e. Profokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab Peperangan antarsuku yang terjadi di Papua salah satunya juga disebabkan karena ulah provokasi baik dari anggota masyarakat suku ataupun orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagai contoh ketika warga dari suku Wamena menghancurkan pemukiman warga suku Yoka karena warga suku Wamena terprovokasi dengan nada dering / ring tone yang dibuat oleh seseorang dari suku Yoka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat suku di Papua sangat mudah terprovokasi dengan isu-isu yang ada dalam masyarakat. Apalagi budaya balas dendam masih menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Jika satu nyawa hilang, maka dibalas dengan satu nyawa juga.



50



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Papua merupakan sebuah provinsi yang terletak diujung timur Indonesia yang terbentuk karena adanya proses subduksi antara Lempeng Australia dengan Lempeng Pasifik, proses konvergen dan deformasi kedua lempeng ini dimulai sejak Eosen dan terus beralangsung hingga sekarang. Luas wilayah Pulau Papua 416,129 km2 atau 21,9% dari total tanah seluruh Indonesia. Papua yang didominasi oleh jajaran pegunungan tengah menghasilkan curah hujan yang tinggi dengan iklim tropis basah. Papua juga kaya akan berbagai budaya tradisional. Sebagian besar masyarakatnya tinggal di hutan dan mengelola sumber daya hutan mereka secara lestari. Karena itu, hutan rimba Papua dan ekosistem lautnya yang beranekaragam merupakan sistem alam yang telah dikelola manusia namun mengesankan keasliannya. Papua merupakan medan sumber ilmu pengetahuan alam dan budaya untuk didokumentasi, diteliti, dibagikan dan dilestarikan. Namun kekayaan alam yang menakjubkan ini menghadapi tekanan yang serius akibat kemerosotan kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam skala besar yang mengancam kepunahan kenakeragaman hayati di Wilayah Papua.



B. Saran Makalah ini diharapkan dapat dijadikan rujukan oleh para pembaca pada umumnya guna menambah wawasannya terkait kondisi geografi Wilayah Papua. Makalah ini diharapkan dapat menambah kewaspadaan kita terhadap berbagai ancaman yang tengah dan akah terus dihadapi bumi Papua. Oleh karena itu penting sekali bagi para pemimpin di Papua untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pengelolaan sumber daya untuk kesejahteraan penduduknya dalam jangka panjang.



51



DAFTAR PUSTAKA



Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. 2016. Provinsi Papua Barat dalam Angka Tahun 2016. Manokwari: BPS Provinsi Papua Barat. Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Provinsi Papua. 2018. Indikator Penting Provinsi Papua Edisi Desember 2018. Jayapura: BPS Provinsi Papua. Kartikasari, Sri Nurani, dkk. 2012. Ekologi Papua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International. Maghfiroh, Deny Riani. 2018. Statistik Daerah Provinsi Papua 2018. Jayapura: Badan Pusat Statistik Papua. Susilowati, dkk. 2017. Sinkronisasi Program dan Pembiayaan Pembangunan Jangka Pendek 2018-2020 Keterpaduan Pengembangan Kawasan dengan Infrastruktur PUPR Kepulauan Maluku dan Pulau Papua. Jakarta: BPIW, Kementerian PUPR, Infrastruktur PUPR.