Makalah Gizi Buruk [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Puji syukur tak lupa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatnya kami dapat menulis makalah mengenai ‘’Gizi Buruk’’ ini dapat terselesaikan. Makalah ini disusun mengingat semakin meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri yang meningkatkan kadar kerusakan lingkungan. Selain itu makalah ini disusun sebagai bahan referensi khususnya bagi siswa maupun masyarakat umum mengenai amdal demi tercapainya stabilitas lingkungan. Akhirnya apabila terdapat kata kata yang kurang berkenan, baik dari segi isi maupun penulisan. Jadi, besar harapan kami sudilah pembaca memberikan kritik dan saran saran yang konstruktif sehingga dapat menjadi masuka demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.



i



DAFTAR ISI



KATAPENGANTAR..............................................................................................i BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah.................................................................1 b. Rumusan Masalah...........................................................................2 c. Tujuan Penelitian.............................................................................2 d. Manfaat Penelitian...........................................................................2



BAB II METODE PENELITIAN a. Jenis Penelitian..................................................................................3 b. Lokasi dan Waktu Penelitian..........................................................8 c. Teknik Penelitian..............................................................................8 d. Analisis Data....................................................................................10



BAB III GIZI BURUK a. Defenisi Gizi Buruk.........................................................................20 b. Permasalahan Gizi Buruk..............................................................21 c. Pengertian dan Penyebab Penyakit Gizi Buruk...........................24 d. Penanggulangan Gizi Buruk..........................................................29 e. Pencegahan Gizi Buruk..................................................................32



BAB IV PENUTUP a. Kesimpulan..................................................................................... 34 ii



b. Saran................................................................................................34



DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................36



iii



BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Masalah gizi muncul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga (kemampuan memperoleh makanan untuk semua anggotannya), masalah kesehatan, kemiskinan, pemerataan, dan kesempatan kerja. Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru. Sekarang ini masalah gizi mengalami perkembangan yang sangat pesat, Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak, meskipun sering luput dari perhatian. Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yaitu kualitas hidangan yang mengandung semua kebutuhan tubuh. Akibat dari kesehatan gizi yang tidak baik, maka timbul penyakit gizi, umumnya pada anak balita diderita penyakit gizi buruk Hubungan antara kecukupan gizi dan penyakit infeksi yaitu sebab akibat yang timbal balik sangat erat. Berbagai penyakit gangguan gizi dan gizi buruk akibatnya tidak baiknya mutu/jumlah makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh masing – masing orang. Masalah gizi semula dianggap sebagai masalah kesehatan yang hanya dapat ditanggulangi dengan pengobatan medis/kedokteran. Gizi seseorang dapat dipengaruhi terhadap prestasi kerja dan produktivitas. Pengaruh gizi terhadap perkembangan mental anak.   Hal ini sehubungan dengan terhambatnya pertumbuhan sel otak yang terjadi pada anak yang menderita gangguan gizi pada usia sangat muda bahkan dalam kandungan. Berbagai factor yang secara tidak langsung mendorong terjadinya gangguan gizi terutama pada balita. Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan, prasangka buruk terhadap bahan makanan tertentu, adanya kebiasaan/pantangan yang merugikan, kesukaan berlebihan terhadap jenis makanan tertentu, keterbatasan penghasilan keluarga, dan jarak kelahiran yang rapat Kemiskinan masih merupakan bencana bagi jutaan manusia. Sekelompok kecil penduduk dunia berpikir “hendak makan dimana”



1



sementara kelompok lain masih berkutat memeras keringat untuk memperoleh sesuap nasi. Dibandingkan orang dewasa, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak boleh dibilang sangat kecil. Namun, jika diukur berdasarkan % berat badan, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak – anak ternyata melampaui orang dewasa nyaris dua kali lipat. Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas permukaan tubuh/menghitung secara langsung konsumsi energi itu ( yang hilang atau terpakai ). Asupan energi dapat diperkirakan dengan jalan menghitung besaran energi yang dikeluarkan. Jumlah keluaran energi dapat ditentukan secara sederhana berdasarkan berat badan Kekurangan berat badan yang berlangsung pada anak yang sedang tumbuh merupakan masalah serius. b. Rumusan masalah 1. Apa itu gizi buruk? 2. Mengapa bisa terjadi gizi buruk? 3. Apa riwayat alamiah dari gizi buruk? 4. Bagaimana cara menanggulangi gizi buruk? 5. Bagaimana cara mencegah gizi buruk? c. Tujuan penelitian Agar siswa siswi dapat mengerti, mengatasi, maupun mencegah terjadinya gizi buruk dimasyarakat. d. Manfaat penelitian 1.   Dapat mengetahui bagaimana gizi buruk sebenarnya 2.    Dapat mengetahui penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari gizi buruk 3.    Dapat mengetahui peranan pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi buruk di Indonesia.



2



BAB II METODE PENELITIAN a. Jenis penelitian 



Pengertian penelitian kuantitatif Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap



bagian-bagian dan fenomena serta hubungan hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model model matematis, teori teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental anatara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu – ilmu alam maupun ilmu ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme. Pendekatan ini juga digunakan sebagai cara untuk meneliti berbagai aspek dari pendidikan.. Istilah penelitian kuantitatif sering dipergunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk membedakannya dengan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah definisi, pengukuran data kuantitatif dan statistik objektif melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel orang-orang atau penduduk yang diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survei untuk menentukan frekuensi dan persentase tanggapan mereka. Sebagai contoh: 240 orang, 79% dari populasi sampel, mengatakan bahwa mereka lebih percaya pada diri mereka pribadi masa depan mereka dari setahun yang lalu hingga hari ini. Menurut ketentuan ukuran sampel statistik yang berlaku, maka 79% dari penemuan dapat diproyeksikan ke seluruh populasi dari sampel yang telah dipilih. pengambilan data ini adalah disebut sebagai survei kuantitatif atau penelitian kuantitatif.



3



Ukuran sampel untuk survei oleh statistik dihitung dengan menggunakan rumusan untuk menentukan seberapa besar ukuran sampel yang diperlukan dari suatu populasi untuk mencapai hasil dengan tingkat akurasi yang dapat diterima. pada umumnya, para peneliti mencari ukuran sampel yang akan menghasilkan temuan dengan minimal 95% tingkat keyakinan (yang berarti bahwa jika Anda survei diulang 100 kali, 95 kali dari seratus, Anda akan mendapatkan respon yang sama) dan plus / minus 5 persentase poin margin dari kesalahan. Banyak survei sampel dirancang untuk menghasilkan margin yang lebih kecil dari kesalahan. Beberapa survei dengan melalui pertanyaan tertulis dan tes, kriteria yang sesuai untuk memilih metode dan teknologi untuk mengumpulkan informasi dari berbagai macam responden survei, survei dan administrasi statistik analisis dan pelaporan semua layanan yang diberikan oleh pengantar komunikasi. Namun, oleh karena sifat teknisnya metode pilihan pada survei atau penelitian oleh karena sifat teknis, maka topik yang lain tidak tercakup dalam cakupan ini. 



Ciri ciri penelitian kuantitatif



Dikutip dari Sugiyono (2008) Karakteristik dari metode penelitian kuantitatif yaitu: 1. Desain 



Spesifik, Jelas, Rinci







Ditentukan secara mantap sejak awal







Menjadi pegangan langkah-demi langkah



2. Tujuan 



Menunjukan hubungan antar variabel







Menguji teori



4







Mencari generalisasi yang memiliki nilai prediktif



3. Teknik Pengumpulan Data 



Kuesioner







Observasi/Pengamatan







Wawancara Terstruktus



4. Instrumen Penelitian 



Test, Angket, Wawancara Terstruktur







Instrumen yang telah terstandar



5. Data 



Kuantitatif







Hasil pengukuran variabel yang telah dioperasionalkan



6. Sampel 



Besar







Representatif







Sedapmungkin Random







Ditentukan sejak awal



7. Analisis 



Deduktif







Menggunakan statistik untuk menguji hipotesis



Sementara dikutip dari Blog Theresia herry menyampaikan bahwa ada 6 ciri-ciri dari penelitian kuantitatif yaitu:



5



1. Sampling dilakukan dengan cara asas random.  2. Instrumen sudah dipersiapkan sebelumnya dan tinggal pakai saat di lapangan. Lebih lanjut instrumen juga harus valid dan reable sebelum mulai digunakan untuk mengambil data.  3. Jenis data yang diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa angka atau diangkakan. 4. Teknik pengumpulan data memungkinkan untuk memperoleh data dalam jumlah yang banyak namun dalam waktu yang singkat. 5. Teknik yang dominan digunakan untuk analisis data adalah teknik analisis. 6. Sifat dasar penelitian dedukti dan sifat penyimpulan generalisasi. 



Langkah langkah penelitian kuantitatif



Langkah-langkah penelitian kuantitatif adalah; 1)    Tahap Konseptual (Merumuskan dan membatasi masalah, meninjau kepustakaan



yang



relevan,mendefinisikan



kerangka



teoritis,



merumuskan



hipotesis).Tahap ini termasuk merenungkan, berpikir, membaca, membuat konsep, revisi konsep, teoritisasi,



bertukar pendapat, konsul dengan pembimbing, dan



penelusuran pustaka. Mengeksploitasi, perumusan, dan penentuan masalah yang akan diteliti. Penelitian kuantitatif dimulai dengan kegiatan menjajaki permasalahan yang akan menjadi pusat perhatian peneliti dan kemudian peneliti mendefinisikan serta menformulasikan masalah penelitian tersebut dengan jelas sehingga mudah dimengerti. 2)    Fase Perancangan dan Perencanaan (memilih rancangan penelitian, mengidentifikasi populasi yang diteliti, mengkhususkan metode untuk mengukur variabel penelitian, merancang rencana sampling, mengakhiri dan meninjau rencana penelitian, melaksanakan pilot penelitian dan membuat revisi). Mendesain model penelitian dan paramater penelitian. Setelah masalah penelitian diformulasikan



6



maka peneliti mendesain rancangan penelitian, baik desain model maupun penentuan parameter penelitian, yang akan menuntun pelaksanaan penelitian mulai awal sampai akhir penelitian. 3)    Mendesain instrumen pengumulan data penelitian. Agar dapat melakukan pengumpulan data penelitian yag sesuai dengan tujuan penelitian, maka desain instrumen pengumpulan data menjadi alat perekam data yang sangat penting di lapangan. 4)    Fase Empirik (pengumpulan data, penyiapan data untuk analisis) Mengumpulkan data penelitian dari lapangan. 5)    Fase Analitik (analisis data, penafsiran hasil) Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian. Data yang dikumpulkan dari lapangan diolah dan dianalisis untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan, yang diantaranya kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis penelitian. 6)    Fase Diseminasi Mendesain laporan hasil penelitian. Pada tahap akhir, agar hasil penelitian dapat dibaca, dimengerti dan diketahui oleh masyarakat luas, maka hasil penelitian tersebut disusun dalam bentuk laporan hasil penelitian.



7



b. Tanggal dan waktu penelitian Penelitian ini kami lakukan pada tanggal 31 januari 2019 – 20 februari 2019 dan kami melakukan penelitian di jl. Purwo Delitua.



c. Teknik penelitian kuantitatif 1.    Interview (Wawancara) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/ kecil. Sutrisno Hadi (1986) mengemukakan bahwa anggapan yang perlu dipegang oleh peneliti dalam menggunakan teknik interview dan juga kuesioner adalah sebagai berikut:



8



1. Bahwa subjek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri. 2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. 3. Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si peneliti. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka maupun lewat telepon. 2.    Kuesioner Kuesioner merupakan alat teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Iskandar, 2008: 77). Uma sekaran (1992) dalam Sugiyono mengungkapkan beberapa prinsip penulisan angket yaitu sebagai berikut: 1)        Prinsip penulisan angket 1. Isi dan tujuan pertanyaan, yang dimaksud disini adalah isi pertanyaan tersebut merupakan bentuk pengukuran atau bukan. Kalau berbentuk pengukuran, maka dalam membuat pertanyaan harus teliti, setiap pertanyaan harus ada skala pengukuran dan jumlah itemnya mencukupi untuk mengukur variabel yang diteliti. 2. Bahasa yang digunakan, bahasa yang digunakan dalam penulisan angket harus disesuaikan dengan kemampuan berbahasa responden.



9



3. Tipe dan bentuk pertanyaan, tipe pertanyaan dalam angket dapat berupa terbuka atau tertutup, (dalam wawancara bisa terstruktur dan tidak terstruktur),  dan bentuknya dapat menggunakan kalimat positif dan negatif. 4. Pertanyaan tidak mendua 5. Tidak menanyakan yang sudah lupa 6. Pertanyaan tidak menggiring, artinya usahakan pertanyaan tidak menggiring pada jawaban yang baik saja atau yang jelek saja. 7. Panjang pertanyaan, pertanyaan dalam angket sebaiknya tidak terlalu panjang, sehingga akan membuat jenuh responden dalam mengisi. 8. Urutan pertanyaan, urutan pertanyaan dalam angket, dimulai dari yang umum menuju ke hal yang spesifik, atau dari yang mudah menuju hal yang sulit 3.    Observasi Dalam menggunakan observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya



dengan



format



atau



blangko



pengamatan



sebagai



instrumen



pertimbangan kemudian format yang disusun berisi item-item tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan. Dari peneliti berpengalaman diperoleh suatu petunjuk bahwa mencatat data observasi bukanlah sekedar mencatat, tetapi juga mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penilaian kepada skala bertingkat. Misalanya memperhatikan reaksi penonton televisi, bukan hanya mencatat rekasi tersebut, tetapi juga menilai reaksi tersebut apakah sangat kurang, atau tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki (Arikunto, 2006: 229). d. Analisis Data Di Indonesia jumlah kasus gizi buruk pada tahun 2012 sebanyak 42.702 kasus kurang lebih mengalami penurunan sebesar 14%, namun dalam beberapa tahun terakhir penurunannya sangat landai (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Berdasarkan PSG (Pemantauan Status Gizi) tahun 2012 untuk Provinsi Sumatera Utara, angka gizi buruk pada balita berdasarkan BB/U (Berat Badan Dibandingkan Dengan Umur) sebesar



10



2,35% (Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2013). Di Kabupaten Deli Serdang prevalensi gizi buruk dalam tiga tahun terakhir cukup tinggi dan mengalami kestabilan yakni 100 balita pada tahun 2011, 157 pada tahun 2012 dan 140 balita pada tahun 2013. Kabupaten Deli Serdang termasuk dalam lima Kabupaten yang memiliki jumlah kasus gizi buruk tertinggi di Provinsi Sumatera Utara (Dinkes Kabupaten Deli Serdang, 2012; Dinkes Sumut, 2013; Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2013). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2013 dari 140 jumlah gizi buruk pada balita di Kabupaten Deli Serdang, dan Kecamatan Patumbak merupakan daerah dengan kasus gizi buruk terbanyak yakni sebesar 31 balita. (Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang, 2013). Puskesmas Kec.Patumbak dan Puskesmas Amplas adalah dua Puskesmas yang merupakan tempat pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama di Kecamatan Patumbak. Gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Kec.Patumbak pada tahun 2013 terjadi peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni dari 15 kasus menjadi 20 kasus gizi buruk. (Dinkes Kabupaten Deli Serdang, 2012; Dinas Kesehatan Kabupaten Sampang Deli Serdang, 2013; PuskesmasKec.Patumbak, 2014). Faktor yang mempengaruhi terjadinya gizi buruk diantaranya adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Anwar, 2005). Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Isnansyah (2006) melalui uji korelasi, menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi balita. Sumber lain mengatakan bahwa rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan gizi pada anak balita (Kosim, 2008). Pemberian ASI dan kelengkapan imunisasi juga memiliki hubungan yang bermakna dengan gizi buruk karena ASI dan imunisasi memberikan zat kekebalan kepada balita sehingga balita tersebut menjadi tidak rentan terhadap penyakit. Balita yang sehat tidak akan kehilangan nafsu makan sehingga status gizi tetap baik (Mexitalia, 2011). Penyakit



11



infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit infeksi, sehingga penyakit infeksi dengan keadaan gizi merupakan suatu hubungan timbal balik (Notoatmodjo, 2003). Gizi buruk merupakan kelainan gizi yang dapat berakibat fatal pada kesehatan balita. Kejadian gizi buruk ini apabila tidak diatasi akan menyebabkan dampak yang buruk bagi balita. Gizi buruk akan menimbulkan dampak hambatan bagi pertumbuhan anak. Program yang sedang dijalankan untuk menangani gizi buruk di Kabupaten Deli Serdang antara lain: Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan pada balita gizi buruk, operasi timbang untuk pemantauan status gizi, melakukan surveilans gizi, tiga tindakan pendampingan gizi buruk dan peningkatan pertemuan tingkat sektor. Di Puskesmas Kec.Patumbak dan Amplas sendiri dalam menangani kasus gizi buruk di wilayah kerjanya menggunakan beberapa program pilihan yang telah dijalankan dalam beberapa tahun ini, program-program tersebut yakni Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan pada balita gizi buruk, penyuluhan keluarga sadar gizi dan pelaksanaan pos gizi (Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang 2013; Puskesmas Kec.Patumbak, 2014). Kejadian peningkatan yang terjadi dari tahun 2012 ke tahun 2013 yang cukup signifikan serta kasus gizi buruk pada bulan Mei tahun 2014 saja sudah mencapai 21 kasus gizi buruk, sehingga peneliti tertarik untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kasus gizi buruk pada balita di Kecamatan Patumbak berdasarkan teori Transcultural Care. Penelitian ini diharapkan dapat membantu Puskesmas terkait untuk menentukan program yang tepat dalam mengatsi kasus gizi buruk. Menurut (Friedman, 1998) ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan dan menjaga kesehatan anak, sehingga dalam penelitian ini peneliti menjadikan ibu dari balita yang mengalami gizi buruk menjadi responden. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi buruk pada balita dalam penelitian ini akan dibatasi yaitu meliputi tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu tentang gizi buruk, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, berat badan lahir, riwayat penyakit infeksi, ASI eksklusif dan status imunisasi.



12



Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kec.Patumbak dan Amplas terdapat Kecamatan Patumbak. Distribusi responden dijabarkan berdasarkan pendidikan responden, pekerjaan responden, pendapatan keluarga, status gizi balita setelah penanganan, BBLR, riwayat penyakit infeksi, status ASI eksklusif, status imunisasi ,pengetahuan responden tentang gizi dan status gizi setelah penanganan. Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik umum responden Variabel penelitian



Kategori



n



%



Tingkat pendidikan ibu



Rendah



11



64,8



Sedang



3



17,6



Tinggi



3



17,6



17



100



Bekerja



7



41,2



Tidak bekerja



10



58,8



17



100



Kurang



6



35,3



Cukup



7



41,2



Baik



4



23,5



17



100



≤ Rp 1.000.000/bulan



15



88,2



> Rp 1.000.000/bulan



2



11,8



17



100



2500 gram



2



11,8



2500 gram



15



88,2



Total



17



100



Riwayat penyakit infeksi dalam 3 Tidak terkena



4



23,5



bulan terakhir



13



76,5



17



100



Total Pekerjaan ibu



Total Pengetahuan ibu tentang gizi



Total Pendapatan keluarga



Total Riwayat BBL



Terkena penyakit infeksi



Total



13



Status ASI eksklusif



Tidak diberikan



7



41,2



Diberikan ASI eksklusif



10



58,8



17



100



Sesuai jadwal



4



23,5



Tidak sesuai jadwal



13



76,5



17



100



6



35,3



11



64,7



17



100



Total Status imunisasi



Total Status



gizi



setelah



penanganan Masih gizi buruk



(BB/U)



Menunjukkan perbaikan



Total



Tabel 5.1 menunjukkan dari 17 ibu yang mempunyai balita gizi buruk didapatkan hasil lebih dari setengah jumlah responden memiliki tingkat pendidikan rendah, lebih dari setengah jumlah responden yang tidak bekerja, sebagian kecil responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai gizi, sebagian besar responden memiliki pendapatan keluarga dibawah UMK, sebagian besar balita yang lahir dengan kondisi normal, sebagian besar balita terkena penyakit infeksi dalam 3 bulan terakhir, lebih dari setengah jumlah balita diberikan ASI eksklusif, sebagian besar balita memiliki status imunisasi yang sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, lebih dari setengah jumlah balita mulai membaik atau tidak dalam kondis gizi buruk lagi. Tabel 5.2 Distribusi frekuensi tingkat pendidikan responden berdasarkan status gizi balita. Tingkat pendidika n



Masih



Ada



gizi



perbaikan Total



buruk



gizi



n



%



n



16,



1



7



0



33,



1



Rendah



1



Sedang



2



%



n



%



90,9



11



64,8



9,1



3



17,6



14



3 Tinggi



3



50



Total



6



100



0



0



1



100



1



3



17,6



17



100



Tabel 5.2 menunjukkan dari 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil setengah jumlah responden memiliki tingkat pendidikan tinggi. Tabel 5.3 Distribusi frekuensi pekerjaan responden berdasarkan status gizi balita . Masih



Ada



Pekerjaan



gizi



perbaik



responden



buruk



an gizi



n



n



Bekerja Tidak bekerja Total



2 4 6



% 33,



5



3 66,



100



%



n



%



45,



7



41,2



10



58,8



17



100



5 54,



6



7



Total



5



1



10



1



0



Tabel 5.3 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil lebih dari setengah jumlah responden yang tidak bekerja. Tabel 5.4 Distribusi frekuensi pengetahuan tentang gizi responden berdasarkan status gizi balita Pengetahu an tentang gizi Kurang



Masih



Ada



gizi



perbaika



buruk



n gizi



n %



n



%



n



%



1 16,



5



45,



6



35,



Total



15



7



5



33,



Cukup



2



Baik



3 50



Total



6 100



3



5 1 1 1



45, 5



3 7



9



4



100



17



41, 2 23, 5 100



Tabel 5.4 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil setengah jumlah responden memiliki pengetahuan baik tentang gizi. Tabel 5.5 Distribusi frekuensi pendapatan keluarga responden berdasarkan status gizi balita.



Masih



Ada



Pendapatan



gizi



perbaikan Total



keluarga



buruk



gizi



n



%



n



83,



1



3



0







Rp



1.000.000/bulan >



Rp



1.000.000/bulan Total



5 1 6



16, 7



1



10



1



0



1



% 90,9 9,1 100



n



%



1



88,



5



2



2



11, 8



1



100



7



Tabel 5.5 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan sebagian besar responden memiliki pendapatan di bawah UMK. Tabel 5.6 Distribusi frekuensi riwayat BBL balita berdasarkan status gizi balita setelah penanganan.



16



Masih Riwayat



berat gizi



badan lahir



Kurang dari 2500 gr Lebih dari / sama dengan 2500 gr Total



Ada perbaik



Total



buruk



an gizi



n %



n



%



1



9,1



83,



1



90,



1



88,



3



0



9



5



2



10



1



10



1



10



0



1



0



7



0



1 5 6



16, 7



n



%



2



11, 8



Tabel 5.6 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil sebagian besar lahir dengan kondisi normal. Tabel 5.7 Distribusi frekuensi riwayat penyakit infeksi balita berdasarkan status gizi balita setelah penanganan di Kecamatan Sampang bulan Juli 2014. Riwayat



penyakit Masih



infeksi dalam 3 bulan terakhir



Tidak terkena penyakit infeksi Terkena infeksi Total



penyakit



Ada



gizi



perbaik



buruk



an gizi



n %



n



2 4 6



33, 3 66, 7



2 9



% 18, 2



Total



n 4



% 23, 5



81,



1



76,



8



3



5



10



1



10



1



10



0



1



0



7



0



Tabel 5.7 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil lebih dari setengah jumlah balita terkena penyakit infeksi dalam 3 bulan terakhir.



17



Tabel 5.8 Distribusi frekuensi riwayat status ASI eksklusif balita berdasarkan status gizi balita setelah penanganan. Masih ASI gizi



Status eksklusif



Tidak



Ada



diberikan



ASI eksklusif Diberikan



ASI



eksklusif Total



perbaika



buruk



n gizi



n %



n



2 4 6



33, 3 66, 7



5 6



10



1



0



1



%



Total n



45,



% 41,



7



5



2



54,



1



58,



5



0



8



1



10



7



0



100



Tabel 5.8 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil lebih dari setengah jumlah balita yang diberikan ASI eksklusif. Tabel 5.9 Distribusi frekuensi status imunisasi balita berdasarkan status gizi balita setelah penanganan.



Status imunisasi



Tidak sesuai dengan jadwal Sesuai jadwal Total



dengan



Masih



Ada



gizi



perbaik



buruk



an gizi



n %



n



1 5



16, 7 83, 3



6 100



3



Total



%



n



%



27,



4



23,



3



5



62,



1



76,



7



3



5



1



10



1



10



1



0



7



0



8



18



Tabel 5.9 menunjukkan 6 balita yang masih gizi buruk didapatkan hasil sebagian besar balita memiliki status imunisasi yang sesuai dengan jadwal.



BAB III GIZI BURUK A. Definisi Gizi Buruk Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat – zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ – organ serta menghasilkan energi. Akibat kekurangan gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk memenuhi kebutuhan apabila keadaan ini berlangsung lama maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini orang bisa dikatakan malnutrisi, tanda – tanda klinis gizi buruk dapat menjadi indicator yang sangat penting untuk mengetahui seseorang menderita gizi buruk. Kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak factor. Data komposisi zat gizi bahan makanan yang berhubungan dengan berbagai proses pengolahan belum cukup tersedia, pemeriksaan zat gizi spesifik bertujuan untuk menilai status gizi. Gangguan gizi buruk menggambarkan suatu keadaan pathologis yang terjadi akibat ketidaksesuaian/tidak terpenuhinya antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi dalam jangka waktu yang relatif lama. Hubungan antara makanan dan kesehatan tubuh sudah diketahui sejak berabad – abad yang lampau.. Penyakit – penyakit yang timbul akibat makanan kurang baik seperti makanan yang



19



tidak cukup gizinya atau kadar zat gizinya tak seimbang disebut penyakit gangguan gizi yang pertama kali dikenal adalah penyakit sariawan. Kesehatan yang baik tidak terjadi karena ada perubahan yang berupa kekurangan zat makanan tertentu atau berlebih. Kekurangan umumnya mencakup protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Sedangkan kelebihan umumnya mencakup konsumsi lemak, protein, dan gula. Untuk mencapai kondisi anak perlu/cukup gizi harus memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan serta melakukan kegiatan yang baik seperti olah raga, dan lain – lain. Konsumsi yang kurang baik kualitas dan kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang/defisiensi. Keadaan kesehatan gizi masyarakat tergantung pada tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Penyakit gizi di Indonesia terutama tergolong ke dalam kelompok penyakit defisiensi yang sering dihubungkan dengan infeksi yang bisa berhubungan dengan gangguan gizi. Defisiensi gizi merupakan awal dari gangguan system imun yang menghambat reaksi imunologis. Gangguan gizi dan infeksi sering saling bekerja sama akan memberikan prognosis yang lebih buruk. Ada berbagai zat gizi yang sangat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia. Masalah kesehatan gizi dapa timbul dalam bentuk penyakit dengan tingkat yang tinggi. B. Permasalahan Gizi Buruk Fenomena gizi buruk biasanya melibatkan kurangnya asupan kalori baik dari karbohidrat atau protein (protein-energy malnutrition–PEM). Kurangnya pasokan energi sangat mempengaruhi kerja masing-masing organ tubuh. Keadaan gizi buruk ini secara klinis dibagi menjadi 3 tipe: Kwashiorkor, Marasmus, dan Kwashiorkor-Marasmus. Ketiga kondisi patologis ini umumnya terjadi pada anak-anak di negara berkembang yang berada dalam rentang usia tidak lagi menyusui. Perbedaan antara marasmus dan kwashiorkor tidak dapat didefinisikan secara jelas menurut perbedaan kurangnya asupan makanan tertentu, namun dapat teramati dari gejala yang ditunjukkan penderita.



20



1. KWASHIORKOR Kwashiorkor sering juga diistilahkan sebagai busung lapar atau HO. Penampilan anak-anak penderita HO umumnya sangat khas, terutama bagian perut yang menonjol. Berat badannya jauh di bawah berat normal. Edema stadium berat maupun ringan biasanya menyertai penderita ini. Beberapa ciri lain yang menyertai di antaranya: a. Perubahan mental menyolok. Banyak menangis, pada stadium lanjut anak terlihat sangat pasif. b. Penderita nampak lemah dan ingin selalu terbaring. c. Anemia. d. Diare dengan feses cair yang banyak mengandung asam laktat karena berkurangnya produksi laktase dan enzim penting lainnya. e. Kelainan kulit yang khas, dimulai dengan titik merah menyerupai petechia ( perdarahan kecil yang timbul sebagai titik berwarna merah keunguan, pada kulit maupun selaput lendir, Red. ), yang lambat laun kemudian menghitam. Setelah mengelupas, terlihat kemerahan dengan batas menghitam. Kelainan ini biasanya dijumpai di kulit sekitar punggung, pantat, dan sebagainya. f.



Pembesaran hati. Bahkan saat rebahan, pembesaran ini dapat diraba dari luar tubuh, terasa licin dan kenyal.



Tanda-tanda kwashiorkor meliputi : a) Edema di seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki b) Wajah membulat dan sembab c) Pandangan mata sayu d) Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis e) Rambut berwarna kepirangan, kusam, dan mudah dicabut f) Otot-otot mengecil, teramati terutama saat berdiri dan duduk g) Bercak merah coklat pada kulit, yang dapat berubah hitam dan mengelupas h) Menolak segala jenis makanan (anoreksia) i) Sering disertai anemia, diare, dan infeksi.



21



2. MARASMUS Kasus marasmik atau malnutrisi berat karena kurang karbohidrat disertai tangan dan kaki bengkak, perut buncit, rambut rontok dan patah, gangguan kulit. Pada umumnya penderita tampak lemah sering digendong, rewel dan banyak menangis. Pada stadium lanjut anak tampak apatis atau kesadaran yang menurun Marasmik adalah bentuk malnutrisi primer karena kekurangan karbohidrat. Gejala yang timbul diantaranya muka berkerut terlihat tua, tidak terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah berwarna kemerahan dan terjadi pembesaran hati, sangat kurus karena kehilangan sebagian lemak dan otot . Anak-anak penderita marasmus secara fisik mudah dikenali. Penderita marasmus berat akan menunjukkan perubahan mental, bahkan hilang kesadaran. Dalam stadium yang lebih ringan, anak umumnya jadi lebih cengeng dan gampang menangis karena selalu merasa lapar. Ketidakseimbangan elektrolit juga terdeteksi dalam keadaan marasmus. Upaya rehidrasi ( pemberian cairan elektrolit ) atau transfusi darah pada periode ini dapat mengakibatkan aritmia ( tidak teraturnya denyut jantung ) bahkan terhentinya denyut jantung. Karena itu, monitoring klinik harus dilakukan seksama. Ada pun ciri-ciri lainnya adalah: a. Berat badannya kurang dari 60% berat anak normal seusianya. b. Kulit terlihat kering, dingin dan mengendur. c. Beberapa di antaranya memiliki rambut yang mudah rontok. d. Tulang-tulang terlihat jelas menonjol. e. Sering menderita diare atau konstipasi. f. Tekanan darah cenderung rendah dibanding anak normal, dengan kadar hemoglobin yang juga lebih rendah dari semestinya. g. Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit h. Wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, perut cekung, dan kulit keriput 3. MARASMIK-KWASHIORKOR



22



Penyakit ini merupakan gabungan dari marasmus dan kwashirkor dengan gabungan gejala yang menyertai : a. Berat badan penderita hanya berkisar di angka 60% dari berat normal. Gejala khas kedua penyakit tersebut nampak jelas, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit dan sebagainya. b. Tubuh mengandung lebih banyak cairan, karena berkurangnya lemak dan otot. c. Kalium dalam tubuh menurun drastis sehingga menyebabkan gangguan metabolic seperti gangguan pada ginjal dan pankreas. d. Mineral lain dalam tubuh pun mengalami gangguan, seperti meningkatnya kadar natrium dan fosfor inorganik serta menurunnya kadar magnesium. Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala masing-masing penyakit tersebut. C. Pengertian dan Faktor Penyebab Penyakit Gizi Buruk  Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita. Faktor – faktor penyebab penyakit gizi buruk : a. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu : 1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. 2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. b. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada tiga faktor penyebab gizi buruk pada balita, yaitu : 1) Keluarga miskin. 2) Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak.



23



3) Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare. c. Faktor lain yang menyebabkan gizi buruk, yaitu : 1) Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat. 2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak. 3) Pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai. Penyebab utama gizi kurang dan gizi buruk tidak satu. Ada banyak. Penyebab pertama adalah faktor alam. Secara umum tanah terkenal sebagai daerah tropis yang minim curah hujan. Kadang curah hujannya banyak tetapi dalam kurun waktu yang sangat singkat. Akibatnya, hujan itu bukan menjadi berkat tetapi mendatangkan bencana banjir. Tetapi, beberapa tahun belakangan ini tidak ada hujan menjadi kering kerontang Tanaman jagung yang merupakan penunjang ekonomi keluarga sekaligus sebagai makanan sehari-hari rakyat gagal dipanen. Akibatnya, banyak petani termasuk anak-anak, terutama yang tinggal di daerah pelosok, memakan apa saja demi mempertahankan hidup. Dikhawatirkan gizi yang kuang dan bahkan buruk akan memperburuk pertumbuhan fisik dan fungsi-fungsi otak. Kalau ini terjadi, masa depan anak-anak ini dipastikan akan sangat kelam dan buram. Penyebab kedua adalah faktor manusiawi yaitu berasal dari kultur sosial masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat petani bersifat 'one dimensional,' yakni masyarakat yang memang sangat tergantung pada satu mata pencaharian saja. Banyak orang menanam makanan 'secukup'nya saja, artinya hasil panen itu cukup untuk menghidupi satu keluarga sampai masa panen berikutnya. Belum ada pemikiran untuk membudidayakan hasil pertanian mereka demi meraup keuntungan atau demi meningkatkan pendapatan keluarga. Adanya budaya 'alternatif' yaitu memanfaatkan halaman rumah untuk menanam sayur-mayur demi menunjang kebutuhan sehari-hari. Penyebab ketiga masih berkisar soal manusiawi tetapi kali ini lebih berhubungan dengan persoalan struktural, yaitu kurangnya perhatian pemerintah. Pola relasi rakyat dan pemerintah masih vertikal bukan saja menghilangkan kontrol sosial rakyat terhadap para pejabat, tetapi juga membuka akses terhadap penindasan dan



24



ketidakadilan dan, yang paling berbahaya, menciptakan godaan untuk menyuburkan budaya korupsi. Tentu saja tidak semua aparat dan pejabat seperti itu. Terlepas dari itu semua nampaknya masyarakat membutuhkan pendampingan agar mereka memahami hak-hak



individu



dan



hak-hak



sosial



mereka



sebagai



warganegara.



MALNUTRISI PRIMER Penyebab gizi buruk di daerah pedesaan atau daerah miskin lainnya sering disebut malnutrisi primer, yang disebabkan karena masalah ekonomi dan rendahnya pengetahuan. Gejala klinis malnutrisi primer sangat bervariasi tergantung derajat dan lamanya kekurangan energi dan protein, umur penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak usia 9 bulan hingga 5 tahun. Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun, pertumbuhan tulang ( maturasi ) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi menurun. Gejala dan tanda klinis yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut. Pada penderita malnutrisi primer dapat mempengaruhi metabolisme di otak sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan saraf. berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak. Mortalitas atau kejadian kematian dapat terjadi pada penderita malnutri primer yang berat. MALNUTRISI SEKUNDER Malnutrisi sekunder adalah gangguan pencapaian kenaikkan berat badan yang bukan disebabkan penyimpangan pemberian asupan gizi pada anak karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh yang mengakibatkan gagal tumbuh. Gangguan sejak lahir yang terjadi pada sistem saluran cerna, metabolisme, kromosom atau kelainan bawaan jantung, ginjal dan lain-lain. Kasus gizi buruk di kota besar biasanya didominasi oleh malnutrisi sekunder. Malnutrisi sekunder ini gangguan peningkatan berat badan yang disebabkan karena karena adanya gangguan di sistem tubuh anak.



25



pada malnutrisi sekunder tampak anak sangat lincah, tidak bisa diam atau sangat aktif bergerak. Tampilan berbeda lainnya, penderita malnutrisi sekunder justru tampak lebih cerdas, tidak ada gangguan pertumbuhan rambut dan wajah atau kulit muka tampak segar. Kasus malnutrisi sekunder sering terjadi overdiagnosis (diagnosis yang diberikan terlalu berlebihan padahal belum tentu mengalami infeksi ) tuberkulosis (TB). Overdiagnosis tersebut terjadi karena tidak sesuai dengan panduan diagnosis yang ada. Secara medis penanganan kasus malnutrisi sekunder lebih kompleks dan rumit. Penanganannya harus melibatkan beberapa disiplin ilmu kedokteran anak seperti bidang gastroenterologi, endokrin, metabolik, alergi-imunologi, tumbuh kembang dan lainnya. Gizi buruk memang merupakan masalah klasik bangsa ini sejak dulu. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Karena, gizi buruk bukan saja disebabkan karena masalah ekonomi atau kurangnya pengetahuan dan pendidikan, a. Interaksi antara Host, Agent, dan Environment dalam Penyakit Gizi Buruk 1. Agent Agent adalah penyebab utama terjadinya suatu penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent adalah zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi, keluarga miskin, ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak, faktor penyakit bawaan pada anak, faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat, perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak, serta pengelolaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai. 2. Host Host adalah manusia yang kemungkinan terpapar atau beresiko terhadap suatu penyakit. Dalam gizi buruk manusia berperan sebagai host atau pejamu. Dalam hal



26



ini yang rentan terkena penyakit gizi buruk adalah balita. Karena balita daya tahan tubuhnya masih rentan. 3. Environment Environment atau lingkungan meliputi lingkungan sosial, lingkungan biologi, dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial yang mempengaruhi host adalah ekonomi rendah sehingga host tidak mampu mengkonsumsi makanan yang bergizi. Lingkungan biologi yang mempengaruhi adalah sanitasi atau air bersih yang tidak memadai. Dan lingkungan fisik yang mempengaruhi adalah keadaan rumah yang kurang baik. Penyakit ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah keluarga miskin.  Keluarga miskin sangat erat hubunganya dengan ekonomi rendah, sehingga host dengan kondisi ekonomi rendah untuk memenuhi kebutuhan pangan hanya seadanya tidak memperhatikan zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan ditambah dengan sanitasi atau air bersih yang tidak memadahi dan keadaan rumah yang kurang baik. Hal ini menyebabkan host rentan terkena penyakit gizi buruk terutama balita, karena balita daya tahan tubuhnya masih rentan. b. Riwayat Alamiah Penyakit Gizi Buruk 1. Fase Rentan Terjadi karena tidak adanya kesimbanganan antara host, agent, dan environment. Misalnya host memakan makanan yang kurang zat gizinya sehingga zat gizi didalam tubuh host lama kelamaan berkurang. 2. Fase Presymtomatic Saat zat gizi dalam tubuh host berkurang maka akan terjadi perubahan faali dan metabolis. 3. Fase Klinik a. Kwashiorkor b. Marasmus



27



c. Marasmus-Kwashiorkor 4. Fase Terminal Penanggulangannya secara intensif dan hasilnya ada empat kemungkinan yaitu sembuh, cacat, sakit kronis dan kematian. Model Epidemiologi yang Digunakan Gizi buruk merupakan penyakit tidak menular. Host dapat mengalami  gizi buruk karena terpengaruh banyak faktor dan diantara banyak faktor tidak ada yang dominan, semuanya saling berkaitan baik memperkuat maupun melemahkan. Sehingga model epidemiologi yang digunakan penyakit gizi buruk adalah web causation atau jaring-jaring sebab akibat. c. Penanggulangan Gizi Buruk Banyaknya masalah gizi buruk yang terjadi di Indonesia membuat beberapa ahli membuat metode untuk mengurangi masalah tersebut. Berikut beberapa cara untuk menanggulangi masalah tersebut : 1. Asupan Gizi Banyaknya produk suplemen vitamin yang kini beredar secara bebas bisa berdampak baik sekaligus berdampak buruk. suatu produk suplemen harus menjalani uji klinis dulu sebelum dipasarkan. kita tidak terlena begitu saja dengan rayuan iklan yang terlalu bombastis. Tapi di sisi lain produk suplemen yang memang bisa dipercaya kebenarannya sangat berguna bagi kebanyakan orang yang tidak sempat mendapatkan gizi tersebut dari makanan sehari-hari. Lebih baik kalau berbagai kebutuhan gizi didapat dari makanan langsung, bukan asupan atau suplemen yang dijual bebas. Sebab tak seorang pun yang bisa menjamin keamanannya, Kecuali kalau asupan itu memang dianjurkan oleh dokter atau didapat dari dokter. Anak usia 0-2 tahun sebaiknya mendapatkan Air Susu Ibu (ASI). ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan dalam perkembangan otak



28



anak. Air susu ibu cocok sekali untuk memenuhi kebutuhan bayi dalam segala hal Banyak produk susu kaleng atau susu formula mengandung asam linoleat, DHA dan sebagainya. ASI juga mengandung zat anti efeksi. Untuk memulihkan kondisi Balita pada status normal, dibutuhkan asupan susu yang mudah diserap tubuh yakni Entrasol. Tiap Balita diharuskan mengkonsumsi 60 kotak susu, dimana dalam hitungan 90 hari berat badan anak kembali normal. Kriteria yang dicantumkan antara lain: biasa makan beraneka ragam makanan (makan 2-3 kali sehari dengan makanan pokok, sayur, dan lauk pauk), selalu memantau kesehatan anggota keluarga, biasanya menggunakan garam beryodium, dan khusus ibu hamil, didukung untuk memenuhi kebutuhan ASI bayi minimal sampai 4 bulan setelah kelahiran. Kriteria ini tentunya masih sulit dipenuhi oleh masyarakat Indonesia. Adapun ciri-ciri klinis yang biasa menyertainya antara lain: a. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, atau bahkan menurun. b. Ukuran lingkaran lengan atas menurun. c. Maturasi tulang terlambat. d. Rasio berat terhadap tinggi, normal atau cenderung menurun. e. Tebal lipat kulit normal atau semakin berkurang. 2. Langkah Pengobatan Pengobatan pada penderita MEP tentu saja harus disesuaikan dengan tingkatannya. Penderita kurang gizi stadium ringan, contohnya, diatasi dengan perbaikan gizi. Dalam sehari anak-anak ini harus mendapat masukan protein sekitar 2-3 gram atau setara dengan 100-150 Kkal. Langkah penanganan harus didasarkan pada penyebab serta kemungkinan pemecahnya. Sedangkan pengobatan MEP berat cenderung lebih kompleks karena masingmasing penyakit yang menyertai harus diobati satu per satu. Penderita pun sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk mendapat perhatian medis secara penuh. Sejalan dengan pengobatan penyakit penyerta maupun infeksinya, status gizi anak tersebut terus



29



diperbaiki hingga sembuh. Memulihkan keadaan gizinya dengan cara mengobati penyakit penyerta, peningkatan taraf gizi, dan mencegah gejala atau kekambuhan dari gizi buruk. d. Prevalensi Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan, berbagai upaya intervensi perbaikan gizi yang dilakukan pemerintah berhasil menurunkan jumlah kasus gizi kurang dan gizi buruk balita dalam beberapa tahun terakhir. "Capaiannya sudah signifikan, tapi memang belum bisa langsung membuatnya jadi tidak ada karena untuk itu memang butuh waktu lama," katanya. Ia menjelaskan, penanganan gizi buruk membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga perlu dukungan dana dari pemerintah pusat. Kasus gizi buruk dan gizi kurang pada balita yang pada 2004 sebanyak 5,1 juta telah turun menjadi 4,4 juta pada 2005 dan kembali turun menjadi 4,2 juta pada 2006. "Tahun 2007 angkanya juga turun lagi menjadi 4,1 juta. Mengalami penurunan bermakna dalam tiga tahun terakhir. Menurut Laporan Kasus Gizi Buruk Dinas Kesehatan Provinsi yang disampaikan ke Departemen Kesehatan pada 2005, jumlah kasus gizi buruk pada balita yang ditemukan dan ditangani sebanyak 76.178 kemudian turun menjadi 50.106 pada 2006 dan turun lagi menjadi 39.080 pada 2007. Jumlah temuan kegiatan surveilans itu lebih rendah dibandingkan dengan target penemuan kasus gizi buruk pada balita yang pada 2005 seharusnya sebanyak 180.000 kasus, 94.000 kasus pada 2006 dan 75.000 kasus pada 2007. Guna menurunkan jumlah kasus gizi buruk seperti yang telah ditargetkan, yakni menjadi 20 persen dari total balita pada 2009, pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan masalah gizi jangka pendek, menengah dan panjang. Targetnya tahun 2009 bisa turun menjadi 20 persen dari jumlah balita, upaya jangka pendeknya antara lain perawatan kasus sesuai prosedur di rumah sakit secara gratis, pemberian makanan bergizi tinggi bagi balita dari keluarga kurang mampu dan surveilans kasus secara periodik melalui Posyandu, serta pemberian makanan pendamping ASI gratis bagi bayi usia 6-24 bulan dari keluarga kurang mampu.



30



Jangka menengah memberdayakan masyarakat untuk memperbaiki pola asuh pemeliharaan bayi seperti promosi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan penimbangan berat badan bayi secara rutin untuk deteksi dini kasus, pemerintah juga berusaha meningkatkan akses pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu melalui pembentukan Pos Kesehatan Desa, penempatan bidan di desa, peningkatan kemampuan tenaga kesehatan, penguatan Puskesmas dan pembentukan tim kesehatan keliling di daerah terpencil. Setiap tahun juga telah meningkatkan alokasi anggaran untuk perbaikan gizi. Jika pada 2005 alokasi dana untuk perbaikan gizi hanya Rp175 miliar, maka 2006 ditingkatkan menjadi Rp582 miliar dan kembali ditingkatkan menjadi Rp600 miliar pada 2007. "Tahun 2008 ini besaran anggarannya masih dibahas, tapi dipastikan tidak akan lebih rendah dari Rp600 miliar," Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 pemerintah mengalokasikan 2,3 persen untuk biaya kesehatan. Dengan strategi dan langkah yang telah diterapkan, pemerintah optimistis bisa menurunkan kasus gizi buruk dan kurang pada balita sesuai target. D. Pencegahan gizi buruk Pencegahan primer : 1. Promosi kesehatan : a. Penyuluhan gizi masyarakat baik di Puskesmas maupun di luar Puskesmas tentang pentingnya vitamin A dan zat besi dan sumber makanan yang mengandung zat tersebut serta tentang pentingnya ASI eksklusif. 1) Pemantauan kadarzi (Keluarga Sadar Gizi) 2) Penyebarluasan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) 2. Proteksi Spesifik : a. Pemberian kapsul vitamin A untuk mencegah kekurangan vitamin A pada bayi, balita dan ibu nifas serta pemberian tablet Fe untuk mencegah



31



anemia pada ibu hamil. Tablet Fe diberikan secara rutin kepada bumil melalui bidan desa yang sudah ditunjuk sehingga tidak perlu lagi ke puskesmas. 1. Memberikan makanan tambahan yang mengandung kalori dan protein pada anak sekolah.



Pencegahan sekunder 1. Deteksi Dini : a. Pemantauan tumbuh kembang balita (penimbangan dan pelayanan terpadu) di Posyandu setiap bulan. b. Pemantauan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), kurang energi kalori (KEK), kurang energi protein (KEP) dan pemantauan status gizi (PSG). c. Pemantauan pola konsumsi pangan keluarga. d. Pemantauan bumil KEK dari saat hamil hingga melahirkan. e. Pemantauan garam beryodium dan distribusi kapsul yodium. f. Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) dan berat badan (BB) pada ibu hamil secara rutin. 2. Pengobatan Tepat : a. Pengobatan kasus gizi buruk, kunjungan rumah bila menemukan kasus. b. Memberikan bahan makanan kepada keluarga dengan anggota gizi kurang. Pencegahan tersier 1. Pemberian pendidikan di sekolah luar biasa kepada penderita dengan gizi kurang yang mengalami kecacatan seperti kebutaan, idiot atau retardasi mental.



32



33



BAB III PENUTUP a. Kesimpulan Ada 4 faktor yang melatarbelakangi Gizi buruk yaitu : masalah social, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan salah satu determinan social - ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan, dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan. Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak. Kurang kalori protein sesungguhnya berpeluang menyerap siapa saja, terutama bayi dan anak yang tengah tumbuh-kembang. Marasmus sering menjangkiti bayi yang baru berusia kurang dari 1 tahun, sementara kwashiorkor cenderung menyerang setelah mereka berusia 18 bulan. Penilaian status gizi masyarakat memerlukan kebijakan yang menjamin setiap anggota masyarakat mendapatkan makanan yang cukup jumlah dan mutunya. Gizi yang diperoleh seorang anak melalui konsumsi makanan setiap hari. Kecukupan zat gizi berpengaruh pada kesehatan dan kecerdasan anak.Kasus gizi buruk bukanlah jenis penyakit yang datang tiba-tiba begitu saja. Tetapi karena proses yang menahun terus bertumpuk dan menjadi kronik saat mencapai puncaknya. Masalah defisiensi gizi khususnya KKP menjadi perhatian karena berbagai penelitian menunjukan adanya efek jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak manusia b. Saran Ketidakseriusan pemerintah terlihat jelas ketika penanganan kasus gizi buruk terlambat seharusnya penanganan pelayanan kesehatan dilakukan disaat penderita gizi buruk belum mencapai tahap membahayakan. Setelah kasus gizi buruk merebak barulah pemerintah melakukan tindakan ( serius ). Keseriusan pemerintah tidak ada artinya apabila tidak didukung masyarakat itu sendiri. Sebab, perilaku masyarakat yang sudah



34



membudaya selama ini adalah, anak-anak yang menderita penyakit kurang mendapatkan perhatian orang tua. Anak-anak itu hanya diberi makan seadanya, tanpa peduli akan kadar gizi dalam makanan yang diberikan. Apalagi kalau persediaan pangan keluarga sudah menipis. Tanpa data dan informasi yang cermat dan lengkap sebaiknya jangan terlalu cepat menyimpulkan bahwa adanya gizi buruk identik dengan kemiskinan. Dan seharusnya para ibu mengupayakan sesuatu yang terbaik untuk anaknya yang nantinya anak tersebut dapat menolong sang ibu.



35



DAFTAR PUSTAKA



Lusa.2009.Gizi Buruk.24 Maret 2013.lusa.web.id Ali,



Arsad



Rahim.2009.Patogenesis



Penyakit



Defisiensi



Gizi.4



April



2013.arali2008.wordpress.com Munif.2012.Epidemiologi Gizi Buruk.4 April 2013. helpingpeopleideas.com Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Depkes RI 2005 https://www.academia.edu/16767389/MAKALAH_GIZI_BURUK file:///C:/Users/YOU/Downloads/Documents/BAB%20I.pdf file:///C:/Users/YOU/Downloads/Documents/Chapter%20II.pdf https://rachmatul4212.wordpress.com/2013/01/28/teknik-pengumpulan-datadalam-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif/ https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif



36