Makalah Hepatitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HEPATITIS B DAN C MAKALAH ILMU PENYAKIT MULUT



Penyusun: Daniela Ayu Larasati 160112130018 Edi Gunawan 16012130050 Utari Tresna Ulima Dewi Hutagaol



FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2014



Definisi dan Epidemiologi Hepatitis merupakan sebuah kondisi peradangan pada hati yang ditandai dengan adanya sel-sel inflamatori pada jaringan hati. Hepatitis merupakan permasalahan kesehatan global, karena sekitar 500.000.000 orang terinfeksi virus hepatitis B atau C secara kronis. Sekitar 1.000.000 (2.7% dari angka kematian) orang meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan virus hepatitis, sebagian besar karena penyakit liver, termasuk kanker liver. Selain itu, sekitar 57% kasus sirosis liver dan 78% kasus kanker liver primer disebabkan infeksi HBV atau HCV. (WHO, 2012) Jutaan orang hidup dengan virus hepatitis dan jutaan lainnya berisiko tinggi. Kebanyakan orang yang terinfeksi HBV atau HCV bertahun-tahun sebelumnya, tidak menyadari infeksi kronis yang terjadi. Mereka memiliki risiko tinggi mengalami penyakit liver kronis dan tanpa disadari dapat menularkan infeksi ke orang lain. (WHO, 2012) Beberapa populasi memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap infeksi virus hepatitis dibandingkan dengan populasi lain. Infeksi hepatitis B dan C terlihat lebih sering terjadi pada pasien yang menjadi penerima organ, darah, dan jaringan; pada para pekerja medis dan pasien yang sedang menerima perawatan medis; serta pada kelompok yang rentan. (WHO, 2012)



KarakteristikVirus Hepatitis B dan C HBV adalah virus DNA yang berasal dari famili Hepadnaviridae. Virus ini merupakan partikel kompleks berukuran 42 nm dengan selubung ganda. Permukaan luar atau envelop dari virus ini mengandung antigen permukaan hepatitis B (HbsAg). Bagian tersebut menyelubungi nukleokapsid (inti) yang berukuran 27 nm dan berbentuk ikosahedral, yang mengandung antigen inti hepatitis B (Hbc Ag). Di dalam inti, terdapat DNA sirkular doublestranded dan sebuah polimerase DNA. (Setia, 2013)



Gambar 1 Virus Hepatitis B (Sumber: www.shuttertock.com)



Virus hepatitis C merupakan virus RNA yang berasal dari famili Flaviviridae. Kelompok-kelompok virus yang berbeda secara genetik telah berkembang dengan 9 macam genotip dari hepatitis C dan 40 subkelompok yang berbeda. Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah, paparan perkutan melalui alat-alat yang terkontaminasi, dan paparan terhadap darah. Orang yang memiliki risiko terbesar yaitu penderita hemofilia, pasien yang sedang menjalani dialisis, dan pemakai obat-obatan terlarang secara parenteral. Rute transmisi lain yaitu melalui kontak seksual serta rute perinatal dan idiopatik. Karakteristik utama dari HBV dan HCV terdapat dalam Tabel 1. (Setia, 2013)



Gambar 2 Virus Hepatitis C



Tabel 1: Karakteristik virus hepatitis B dan C Sifat Genom Nomenklatur Jalur transmisi



Virus Hepatitis B DNA Hepadnaviridae Parenteral,



Antigen dalam darah Antibodi dalam darah



perinatal, cairan oral oral HbsAg, HbeAg HCV Anti-HBs, Anti-Hbe, Anti- Anti-HCV



Profil



HBc Ringan, parah, akut atau Hepatitis kronis.



Kurang



Virus Hepatitis C RNA Flaviviridae seksual, Parenteral, seksual, cairan



dari



C



seringkali



5% menjadi kondisi kronis pada



infeksi pada orang dewasa 70-80%



orang



yang



menjadi infeksi kronis



dengan



10%



terinfeksi,



mengalami penyakit liver Imunisasi pasif Imunisasi aktif



yang parah Hepatitis B imun globulin Tidak tersedia Recombivax, Engerix dan Tidak tersedia Twinrix



DNA – De-oxyribonukleic acid; RNA – Ribonucleic acid; HCV – Hepatitis C virus; HbsAg – Hepatitis B surface antigen; HbeAg – Hepatitis B e antigen; HBV – Hepatitis B virus. Patofisiologi 1. Hepatitis B



HBV tidak patogenik terhadap sel, tetapi respons imun terhadap virus ini yang bersifat hepatotoksik. Kerusakan hepatosit menyebabkan peningkatan kadar ALT yang terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi HBV bergantung pada integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronik terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis terhadap infeksi virus. Virus hepatitis B dapat menimbulkan hepatitis akut maupun kronis (berlangsung secara mendadak dan cepat memburuk). Selain itu Virus hepatitis B dan hepatitis C mempunyai resiko penderita terkena kanker hati.



Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah, partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. HBV merangsang respon imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun non spesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi HBV lebih lanjut diperlukan respon imun spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presentating Cell (APC) dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida HBV-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida HBV yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang dihasilkanoleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivitas sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel HBV bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan demikian antiHBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik HBV bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik



ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs yang tidak bisa dideteksi dengan metode pemeriksaan biasa karena anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.



Gambar 3 Diagram patofisiologi Hepatitis B



Gambar 4 Immunopatogenesis Hepatitis B Kronik



Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi HBV dapat diakhiri (akut), sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi HBV yang menetap (kronik). Proses eliminasi HBV oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu. Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk HBV, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan HBV yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom HBV dalam genom sel hati. Faktor pejamuantara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk HBV dalam persistensi HBv adalah mekanisme persistensi infeksi HBV pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HbsAg



dan



HbeAg



positif.



Diduga



persistensi



tersebut



disebabkan



adanya



imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi HBV, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi HBV dapat disebabkan karena mutasi pada daerah pre-core dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi.



Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik Ada 4 fase pada perjalanan penyakit hepatitis B kronik, yaitu fase imunotolerans, fase imunklirens (imunoaktif), inactive carrier state, dan fase reaktivasi. 



Fase Imunutolerans Pada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap HBV sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi



tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu HBV ada dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat tinggi, HBeAg positif, anti-HBe negatif, titer DNA HBV tinggi dan konsentrasi ALT (alanin aminotransferase) yang relatif normal. Pada fase imunotolerans praktis tidak ada respon imun terhadap partikel virus hepatitis B sehingga tidak ada sitolisis sel-sel hati yang terinfeksi dan tidak ada gejala. 



Fase imunoklirens Pada fase imunoklirens didapatkan kadar transaminase yang meningkat dan pada fase ini tubuh memulai memberikn respon imun terhadap hepatitis B dan hal ini akan mengubah HBeAg yang positif menjadi negatif dan anti HBe menjadi positif. Pada fase ini terjadi gejala klinik dan kenaikan transaminase dengan berbagai tingkat mulai dari yang asimptomatik sampai dengan gejala klinik yang parah yang dapat terjadi berulang kali. Pada fase ini dapat terjadi eksaserbasi akut yang disebut dengan flare. Bila flare ini terjadi berulang kali maka sirosis hati akan cepat terjadi.







Fase inactive carrier state Setelah fase imunklirens ini berlangsung, penderita masuk ke dalam fase inactive carrier state di mana praktis tidak ada gejala klinik, trasaminase biasanya normal, HBeAgnegatif dan anti HBe positif. Tetapi pada sebagian pasien, walaupun HBeAg negatif dan anti HBe positif, tetapi replikasi virus hepatitis B belum berhenti. Pasienpasien ini mengidap infeksi hepatitis B dengan mutant pre core, virus yang telah mengalami mutasi ini tidak mampu membuat HBeAg tetapi anti HBe tetap dibentuk oleh host karena pada tingkat sel T respon imunologik terhadap HBcAg dan HBeAg sama. Pada pasien dengan VHB tipe liar, serokonversi HBeAg menjadi anti HBe merupakan pertanda baik dan kemungkinan untuk terjadi sirosis dan hepatoma kecil. Pada pasienpasien dengan infeksi VHB mutant pre core karena masih adanya aktivitas penyakit dan



jumlah partikel virus masih tinggi, maka lebih sering terjadi sirosis dan hepatoma. Berikut adalah skema perjalanan hepatitis B kronik menurut Schalm.







Fase Reaktivasi Sekitar 20-30 % pasien hepatitis B kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan



2. Hepatitis C Hepatitis C merupakan penyakit infeksi melalui darah yang terdiri dari virus RNA yang tergolong ke dalam famili Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Secara teori, mekanisme terjadinya infeksi ini adalah adanya peptida struktural dan nonstruktural



yang bertanggungjawab dalam replikasi virus RNA khususnya peptida NS5. Terdapat enam genotipe (nomor 1 sampai 6) dan lebih dari 90 subtipe (genotipe 1a, 1b, 2a, 3b, dll) terkait dengan hepatitis C. Antibodi HCV (anti-HCV) di dalam darah mengindikasikan adanya infeksi dengan HCV. Jika infeksi terjadi selama lebih dari 6 bulan dan replikasi virus terkonfirmasi oleh level RNA HCV, maka orang tersebut terdiagnosis hepatitis C kronis. Penyakit kronis timbul akibat system imun tubuh tidak efektif terhadap HCV. Limfosit T sitotoksik tidak efektif dalam membasmi HCV, sehingga bisa merusak sel hati. Oleh karena itu, sistem imun seseorang sangat berpengaruh dalam mengeliminasi HCV. Pengguna narkoba suntikan (IDU) yang memakai jarum suntik dan alat suntik lain secara bergantian berisiko paling tinggi terkena infeksi HCV. Antara 50 dan 90 persen IDU dengan HIV juga terinfeksi HCV. Hal ini karena kedua virus menular dengan mudah melalui hubungan darah-ke-darah. HCV dapat menyebar dari darah orang yang terinfeksi yang masuk ke darah orang lain melalui cara yang berikut:  Memakai alat suntik (jarum suntik, semprit, dapur, kapas, air) secara bergantian;  Kecelakaan tertusuk jarum;  Luka terbuka atau selaput mukosa (misalnya di dalam mulut, vagina, atau dubur); dan  Produk darah atau transfusi darah yang tidak diskrining. Berbeda dengan HIV, umumnya dianggap bahwa HCV tidak dapat menular melalui air mani atau cairan vagina kecuali mengandung darah. Ini berarti risiko terinfeksi HCV melalui hubungan seks adalah rendah. Namun masih dapat terjadi, terutama bila berada infeksi menular seksual seperti herpes atau hubungan seks dilakukan dengan cara yang meningkatkan risiko luka pada selaput mukosa atau hubungan darah-ke-darah, misalnya akibat kekerasan. Diusulkan orang dengan HCV



melakukan seks lebih aman dengan penggunaan kondom untuk melindungi pasangannya. Perempuan dengan HCV mempunyai risiko di bawah 6 persen menularkan virusnya pada bayinya waktu hamil atau saat melahirkan, walaupun risiko ini meningkat bila viral load HCV-nya tinggi. Kemungkinan HCV tidak dapat menular melalui menyusui. Bila kita belum dites HCV, atau tidak mengetahui apakah kita pernah dites, kita sebaiknya membicarakannya dengan dokter. Tes HCV sangat disarankan untuk siapa pun yang HIV-positif.



Manifestasi Oral pada Infeksi Hepatitis B dan C Manifestasi pada kavitas oral yaitu lichen planus, sindrom Sjogrens, dan sialadenitis, serta beberapa bentuk kanker rongga mulut juga dapat terlihat. Selain itu, pasien sirosis dapat mengalami trombositopenia karena hiperslenism atau perawatan dengan interferon. Pada pasien dengan penyakit liver, kelainan hemostasis yang dihasilkan dapat bermanifestasi dalam rongga mulut berupa petechiae atau perdarahan gingiva yang berlebihan karena trauma minor. Hal ini terlebih jika tidak disertai dengan inflamasi. Maka dari itu, perhatian khusus harus diberikan saat dilakukan tindakan pembedahan apa pun, oral atau yang lainnya; perdarahan hebat dapat terjadi karena defisiensi faktor pembekuan darah. Korelasi terjadi antara meningkatnya prevalensi diabetes pada pasien dengan penyakit liver kronis dengan keparahan penyakit liver atau dengan perawatan dengan interferon. HCV dapat berperan sebagai faktor diabetagonik independen. Korelasi ini memiliki dampak yang penting bagi dokter gigi karena diabetes berhubungan dengan perubahan signifikan pada rongga mulut seperti meningkatnya frekuensi penyakit periodontal, stomatitis, kandidiasis, cheilitis, oral leukoplakia, dan karies gigi. Semua tipe hepatitis memperlihatkan manifestasi oral yang sama. Ciri-ciri utama dari pasien ikterik adalah deposisi dari saluran empedu pada mukosa oral. Pewarnaan ini paling



sering terlihat pada palatum posterior dan dasar mulut sepanjang frenulum lingualis. Penyakit hati yang parah juga memperlihatkan perdarahan intraoral, petechiae, atau ecchymoses. Tidak dibutuhkan pengobatan spesifik pada jaringan oral karena jaringan akan kembali normal setelah pemulihan penyakit.



Diagnosis 1. Hepatitis B Penghitungan serum enzim berguna untuk diagnosis hepatitis seperti aspartate transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT) meningkat . Alkaline phosphate, alpha-fetoprotein, dan serum bilirubin juga meningkat. (Scully, 2010) Mikroskop elektron dari serum pasien yang terinfeksi HBV menunjukkan tiga jenis partikel yaitu partikel Dane, yang dapat menunjukan virus hepatitis B yang utuh, dan inti bagian dalam yang berisi DNA, dan inti antigen (HBcAg), dan selubung terluar permukaan terluar (HBsAg), bentuk bola yang lebih kecil dan bentuk tubular menunjukan HbsAg berlebih. (Scully, 2010) Diagnosis dan prognosis bergantung pada penanda serum (serological marker). HbsAg merupakan protein non-infeksius yang ditemukan sementara pada hepatitis B akut, dan berada dalam serum pada cariier (pembawa), dan pada yang tidak terinfeksi. HbsAg berkembang dalam 20-100 hari setelah paparan, terdektesi dalam serum selama 1-120 hari, kemudian menghilang. HbsAg dalam serum menjadi negatif 6 minggu setelah onset jaundice klinis. Terdapatnya HbsAg lebih dari 13 minggu menunjukkan perkembangan tahap carrier. Hepatitis B surface antibody (anti-HBs) terbentuk setelah infeksi atau vaksinasi dan ketika HbsAg sudah tidak ada, hal tersebut menunjukan imunitas. (Scully, 2010). Anti-HBs terdektesi setelah HbsAg tidak lagi ditemukan. Hal tersebut disebut “window”, terjadi antara 24 hingga 28 minggu infeksi. Selama masa



“window”, pasien sudah dalam keadaan terinfeksi, infeksi tidak dinyatakan oleh HbsAg atau level anti-HBs. Sehingga, penentuan anti-HBc dan anti-Hbe harus dilakukan, untuk mengetahui infeksi virus hepatitis B (Bricker et al, 1994). HbcAg ditemukan dari biopsi hati pada hepatitis B akut. Inti antibodi hepatitis B merupakan penanda yang sensitif dari replikasi virus yang mengindikasikan infeksi sedang atau baru saja terjadi (Scully, 2010). Antibodi yang pertama kali merespon infeksi hepatitis B adalah anti-HBc IgM dan anti-HBc IgG, berkembang pada satu bulan pertama infeksi. Keduanya akan meningkat secara bersamaan, tetapi anti-HBc IgM menurun setelah 3 hingga 4 bulan, anti-HBc IgG tetap ada selama bertahun-tahun (Bricker et al, 1994).



Anti-HBc berhubungan dengan anti-HBs mengindikasikan



penyembuhan dan imunitas terhadap hepatitis, jika tidak ditemukan anti-HBs, anti-HBc menunjukan tahap carrier atau hepatitis kronis. (Scully, 2010).. Hepatitis B e antigen dan antibodi anti-Hbe, merupakan penanda untuk menentukan kemungkinan penyebaran HBV dari orang yang terinfeksi virus hepatitis B kronis: adanya HbcAg menunjukan aktivitas virus dan kemampuan untuk menginfeksi orang lain, sedangkan anti-Hbe menunjukan tahap inaktif dari virus dan resiko transmisi atau penularan menurun. HbcAg mengindikasikan infektivitas yang tinggi dan hanya ditemukan di dalam serum jika positif terdapat HbsAg. Jika terdapat HbcAg lebih dari 4 minggu dari onset gejala, kemungkinan pasien dalam keadan infeksius dan berkembang menjadi penyakit liver kronis. Tidak adanya HbeAg biasanya menunjukan infektivitas rendah. Bagaimanapun, pada beberapa orang yang terinfeksi HBV, material genetik virus mungkin saja telah mengalami perubahan struktur, disebut dengan mutasi pre-core, yang mana menghasilkan ketidakmampuan HBV memproduksi HbeAg, meskipun secara aktif mereproduksi. Hal tersebut berarti, meskipun tidak terdeteksi HbeAg dalam darah, HBV masih aktif pada orang tersebut dan dapat menularkannya pada orang lain. (Scully, 2010)



Anti-Hbe biasanya mengindikasikan penyembuhan total dan hilangnya infektivitas, disertai hilangya HbeAg. Asimptomatik HbsAg carrier sering dimiliki anti-Hbe, dan biasanya pada resiko infektif yang lebih rendah dibandingkan dengan HbeAg dan polimerase DNA (supercarrier). Penanda spesifik dari reproduksi HBV adalah adanya DNA HBV dalam darah, polymerase chain reaction (PCR)merupakan pengujian yang paling sensitif. (Scully, 2010) Tabel 3. Hepatitis B serum marker dihubungkan dengan tingkatan penyakit Penanda (marker) Infeksi akutfase awal Infeksi akutfase pertengahan Infeksi akut– fase terakhir Penyembuhan dan imunitas Vaksin berhasil



HbsAg



Anti-HBs



Anti-HBc IgM +



HbeAg



Anti-Hbe



-



Anti-HBc (total) +



+



+



HBV DNA +



+ +



-



+



+



-



+



-



-



-



+



+



-



+



-



-



+



+



-



-



-



-



-



+



-



-



-



-



-



Infeksi kronis dengan reproduksi aktif Infeksi kronis dalam fase inaktif Penyembuhan, false positif atau infeksi kronis



+



-



+



-



+ atau -



-



+



+



-



+



-



-



+



-



-



-



+



-



-



+ atau -



-



2. Diagnosis Hepatitis C Diagnosis untuk hepatitis C adalah dengan deteksi HCV RNA dan anti-HCV antibodi dalam darah, tetapi anti-HCV IgG biasanya tidak terdeteksi sampai 1-3 bulan setelah infeksi akut.



Penatalaksanaan Pasien Hepatitis 1. Hepatitis B Hepatitis B akut akan hilang dengan sendirinya dalam sebagian besar gejala dan perawatannya biasanya termasuk diet karbohidrat tinggi dan mencegah terjadinya hepatotoksin (seperti alkohol). Terapi antivirus tidak diperlukan (Scully, 2010). Hanya kasus yang parah yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Umunya, fase ikterik sekitar 8 minggu, selama fase tersebut segala aktivitas sebaiknya dihentikan. Penyembuhan terjadi sebagai respon terhadap produksi antibodi (Bricker, et al, 1994). Infeksi kronis HBV, dapat dirawat dengan interferon-alpha 2b (intron A). Diberikan selama 4 hingga 6 bulan tetapi dapat menimbulkan efek samping. Lamivudine digunakan pada orang yang gagal merespon interferon dan biasanya dapat ditoleransi lebih baik, tetapi dibutuhkan waktu pengobatan selama 1 hingga 3 tahun, dan variasi mutasi virus YMDD ditemukan pada 50% pasien. adefovir dipivoxil juga tersedia. (Scully, 2010) Tidak adanya perawatan yang spesifik untuk pasien hepatitis, sehingga pencegahan dengan imunisasi aktif sebaiknya dilakukan. Terdapat dua jenis vaksin hepatitis B yang tersedia yaitu Engerix-B dan Recombivax-HB. Efektif diberikan dengan injeksi pada otot deltoid. Interval dosis yang direkomendasikan untuk Recombivax-HB yaitu 0, 1, dan 6 bulan, sedangkan untuk Engerix-B adalah 0, 1, 2, dan 6 bulan. Efek samping dari vaksin



tersebut adalah sakit pada area injeksi, demam, gejala menyerupai flu, dan arthralgia. (Scully, 2010 & Bricker et al, 1994) Ketika seseorang yang belum diimunisasi Hepatitis B kemudian terpapar oleh darah yang mengandung HbsAg, profilaksis dilakukan dengan injeksi intramuskular hepatitis B immunoglobulin (HBIG). Direkomendasikan pemberian dua dosis untuk melawan infeksi. Dosis pertama diberikan segera setelah paparan (dalam waktu 24 jam). Dosis kedua diberikan 1 bulan kemudian. HBIG memberikan imunisasi pasif sekitar 6 bulan pada 75% penerima. (Bricker et al, 1994)



2. Perawatan Hepatitis C Infeksi hepatitis C sembuh dengan sendirinya hingga 50% pada pasien. interferonalpha atau pegylated interferon, dengan atau tanpa ribavirin telah digunakan untuk mengobati hepatitis C, tetapi dapat menimbulkan efek samping. HCV kronis diobati dnegan kombinasi ribavirin ditambah interferon-alpha atau pegylated interferon. Vaksin untuk hepatitis C belum ditemukan. Sehingga pencegahan terhadap hepatitis C perlu dilakukan.



Perawatan Manifestasi Rongga Mulut Pasien Hepatitis Oral lichen planus dan gangguan kelenjar ludah merupakan manifestasi di rongga mulut yang muncul karena hepatitis. Perawatan yang diberikan pada orang dengan hepatitis disesuaikan dengan gejala yang timbul. Berikut perawatan yang diberikan untuk manifestasi di rongga mulut dari penyakit hepatitis: 1. Oral lichen planus Perawatan pasti untuk OLP belum diketahui, sehingga perawatannya berdasarkan gejala yang muncul. Kortikosteroid telah berhasil digunakan sebagai pengobatan untuk



mengontrol tanda dan gejala. Kortikosteroid topikal atau sistemik diresepkan untuk pasien setelah diagnosa OLP ditegakkan. Medikasi kortikosteroid topikal yang banyak digunakan yaitu 0,05% fluocinonide (Lidex) dan 0,05% clobetasol (Temovate). Biasanya diresepkan dalam bentuk pasta atau gel. Steroid topikal dapat diaplikasikan diatas lesi dengan menggunakan kapas atau dengan kasa. Lesi erosif dari OLP pada gingiva (desquamative gingivitis) efektif diobati dengan menggunakan occlusive splints sebagai tempat (carrier) steroid topikal. Penelitian jangka panjang menunjukan tidak ada efek samping dari penggunaan steroid topikal, tetapi terapi occlusive dengan steroid potensi tinggi dapat terabsorpsi secara sistemik, sehingga harus diperhatikan dan jumlah yang digunakan minimal untuk menghindari hal tersebut. Candida tumbuh disertai sariawan, sehingga terapi antifungal topikal atau sistemik dapat diberikan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penggunaan obat kumur antibakteri seperti chlorhexidine sebelum aplikasi steroid membantu mencegah pertumbuhan jamur. Steroid sistemik diberikan biasanya tablet prednisone dengan dosis antara 40 dan 80 mg per hari selama 10 hari. Lama penggunaan dan dosis ditentukan berdasarkan status medis, tingkat keparahan penyakit, dan respon terhadap perawatan sebelumnya. Retinoid digunakan sebagai terapi tambahan dari kortikosteroid topikal untuk OLP. Beta all-trans retinoic acid diberikan dapat diberikan secara sistemik dan topikal, vitamin A acid, sistemik etretinate, dan sistemik dan topikal isotretinoin semuanya efektif, dan aplikasi topikal retinoid krim atau gel dapat menghilangkan retikular dan lesi seperti plak pada pasien. Retinoid topikal lebih disukai dibandingkan retinoid sistemik karena efek samping yang ditimbulkan seperti gangguan fungsi liver, cheilitis, dan teretogenisitas. Retinoid sistemik, temarotene dilaporkan sebagai terapi efektif untuk OLP dan tidak ada efek samping lainnya selain peningkatan enzim liver. Terapi topikal dan sistemik lainnya seperti dapsone, doxycycline, dan anti malaria membutuhkan penelitian lebih lanjut.



Aplikasi topikal dari cyclosporine membantu untuk mengatasi kasus OLP yang sulit. Tetapi biaya cyclosporine, hidrofobisitas, dan rasa yang tidak enak, serta belum terjawabnya pertanyaan mengenai kemampuan obat untuk meningkatkan reporduksi virus dan perubahan keganasan pada sel epitel membatasi penggunaanya. Bedah eksisi tidak dianjurkan untuk perawatan OLP kecuali pada kasus dengan displasia. 2. Xerostomia Perawatan untuk pasien dengan mulut kering dibagia dalam 4 kategori yaitu terapi preventif, stimulasi saliva topikal dan lokal, terapi simptomatik, dan stimulasi saliva sistemik. Perawatan efektif pada pasien dengan penyakit sistemik yang berhubungan dengan gangguan kelenjar ludah dapat mengatasi keluhan mengenai kelenjar saliva. a. Terapi preventif Penggunaan fluoride topikal pada pasien dengan hipofungsi kelenjar saliva dapat mengontrol karies gigi. banyak sediaan terapi fluoride yang berbeda-beda. Frekuensi pemberian disesuaikan dengan tingkat keparahan disfungsi kelenjar saliva. Penting bagi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut. Pasien memerlukan kunjungan ke dokter gigi secara rutin (biasanya 4 bulan sekali). Ketika fungsi saliva terganggu, demineralisasi akan meningkat, sehingga kehilangan struktur gigi cepat terjadi. Pasien dengan mulut kering memiliki resiko terjadinya kandidiasis mukosal. Tampak erythematous, kemerahan, dan pasien mengeluhkan sensasi terbakar pada lidah dan jaringan lunak lainnya. Terapi antifungal dapat diberikan. b. Terapi simptomatik Pasien perlu minum air yang cukup untuk menjaga kelembaban rongga mulut, hidrasi mukosa, dan membersihkan debris dalam mulut. Terdapat berbagai sediaan obat kumur dan gel. Pasien harus menghindari produk yang mengandung alkohol, gula, dan berperasa yang kuat yang dapat mengiritasi mukosa kering yang sensitif. Krim pelembab sangat penting. Produk yang banyak digunakan mengandung aloe vera atau vitamin E lebih dianjurkan. c. Stimulasi saliva topikal atau lokal



Mengunyah dapat menstimulasi aliran saliva dengan efektif, begitu pula dengan rasa asam dan manis. Kombinasi mengunyah dan rasa, seperti permen karet dapat efektif unutk mengurangi gejala pada pasien. d. Stimulasi saliva simulasi Penggunaan secretogogues sistemik untuk stimulasi saliva telah diuji, dengan hasil yang beragam. Lebih dari 24 agen dapat menstimulasi saliva secara sistemik. 4 agen telah diteliti dengan uji coba klinis, yaitu bromhexine, anetholetrihione, pilocarpine hydrochloride (HCL), dan cevimeline HCL. Bromhexine merupakan agen mukolitik yang telah banyak digunakan di Eropa. Tetapi bagaimana mekanisme stimulasi saliva ini belum diketahui, dan masih menjadi kontroversi bagi pasien dengan Sjorgen syndrome karena menstimulasi fungsi lakrimal. Anetholetrithione merupakan agen mukolitik yang dapat meningkatkan saliva berdasarkan uji coba klinis. Mekanismenya dengan meningkatkan reseptor mucarinic. Pada pasien dengan hipofungsi kelenjar saliva ringan dapat meningkatkan aliran saliva. Pilocarpine HCL dapat meringankan xerostomia secara spesifik. Pilocarpine HCL merupakan obat parasympathomimetic, berfunsi sebagai mucarinic cholinergic agonist. Dapat meningkatkan saliva, menstimulasi fungsi kelenjar. Pilocarpine kontraindikasi pada pasein dengan penyakit paru-paru, asma, penyakit jantung, glaucoma, dan urethral reflux. Cevimeline HCL merupakan obar parasympathomimetic lainnya, yang efektif mengatasi mulut kering pada Sjorgen syndrome. Target spesifik dari pengobatan ini adalah reseptor muscarinic dan kelenjar lakrimal. Penggunaan Cevimeline HCL perlu diawasi pada pasien dengan riwayat galucoma atau penyakit jantung, penyakit pernafasan, dan gall bladder disease. 3. Sialadenitis Sialadenitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, sehingga pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik. Jika terdapat purulen, pemberian



antibiotik penisilin-resisten antistaphylococcal intravena dapat dilakukan. Peningkatan hidrasi dan kebersihan rongga mulut juga perlu dilakukan. Jika tidak tampak peningkatan perbaikan dalam waktu 24-48 jam, insisi dan drainase dapat dilakukan. Jika pembengkakan kelenjar saliva nonbakterial terjadi seperti pembengkakan karena virus atau pada Sjorgen syndrome, antibiotik tidak dapat diberikan secara rutin hingga infeksi bakteri ditentukan. Cairan yang keluar dari kelenjar saliva dapat dikultur untuk menetukan diagnosa dan sensitivitas antibiotik. 4. Sjorgen syndrome Penyebab Sjorgen syndrome dan mekanisme kerusakan kelenjar saliva belum dapat dimengerti. Terapi simptomatik termasuk saliva artifisial, obat kumur dan gel. Pasien dengan gangguan kelenjar saliva juga dapat menstimulasi aliran saliva dengan mengunyah permen karet bebas gula atau menghisap permen bebas gula. Kortikosteroid dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) tidak dapat meningkatkan aliran saliva pada pasien dengan SS. Medikasi cholinergic sistemik dapat menstimulasi fungsi kelenjar saliva seperti pilocarpine dan cevimeline. Terdapat beberapa obat yang penggunaanya perlu diperhatikan pada pasien dengan hepatitis. Pasien dengan hitung platelet normal dan waktu protrombin normal dapat menerima perawatan gigi dengan aman.



Tabel 4. Obat kontraindikasi penyakit liver dan alternatifnya Jenis Obat Obat kontraindikasi Alternatif Analgesik Aspirin Acetaminophen/ Codeine paracetamol Dextropropoxyphene Oxycodone Indometacin Mefenamic acid Meperidine NSAIDs Opioid Pentazocine Antimikroba Aminglycoside Amoxicillin Azithromycin Ampicillin Azole antifungal Cephalosporin



Corticosteroid Antidepresan



Muscle relaxant



Anastesi lokal Anastesi umum



Anxiolytic/sedative



Anti konvulsan



(miconazole, ketoconazole, itraconazole) Clarithromycin Co-amoxiclav Clindamycin Doxycycline Erythromycin estolate Flucloxacilin Metronidazole Minocycline Moxifloxacin Roxithromycin Talampicillin Tetracycline Prednisone Monoamine oxidase inhibitor Tricyclicsal Suxamethonium



Lidocaine Halothane Methohexitane Propofol Thiopental Barbiturate Diazepam Midazolam Phenothiazine Promethazine Carbamazepine Lamotrigine Phenytoin



Nystatin, fluconazole



Erythromycin stearate Imipenem Penicillin Nystatin Tetracycline



Prednisolone SSRIs



Atracurium, cisatracurium, pancuronium, vecuronium Articaine, prilocaine Desflurane Isoflurane Sevoflurane Lorazepam Oxazepam Pethidine



Penanganan Pasien Hepatitis di Praktik Dokter Gigi Dokter gigi mempunyai risiko yang sangat tinggi untuk tertular penyakit ketika melakukan perawatan pasien. Terbentuknya penyakit dapat terjadi dari sumber infeksi di praktek dokter gigi meliputi tangan, saliva, darah, sekresi hidung, baju, instrumen, dan perlengkapan praktek lainya. Kontaminasi dari rongga mulut dan luka terbuka dapat



disebarkan oleh udara, air, debu, aerosol, percikan atau droplet, sekresi saluran pernafasan, plak, kalkulus, bahan tumpatan gigi, dan debris. Hal ini menyebabkan tindakan dalam praktek dokter gigi menempatkan dokter gigi berisiko tinggi terutama terhadap penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh mikrorganisme patogen seperti bakteri dan virus. Tindakan asepsis dan langkah-langkah pencegahan di lingkungan kerja dapat membatasi penyebaran mikrorganisme patogen penyebab penyakit. Tujuanya adalah untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan gigi dari berbagai penyakit menular yang mungkin ditemukan di praktek. Dokter gigi biasanya tidak dapat mengetahui status kesehatan umum pasienya secara pasti, sehinga setiap pasien harus selalu diangap sebagai pembawa penyakit. Hal tersebut bertujuan agar dokter gigi selalu waspada untuk melindungi diri sendiri dan pasien dari nfeksi penyakit. Dengan melakukan prosedur kontrol infeksi dapat dicegah terjadinya penularan penyakit yang berbahaya, bahkan dapat mencegah terjadinya kematian. Prosedur pencegahan antara lain adalah evaluasi pasien, perlindungan diri, sterilsasi, disinfeksi, pembuangan sampah medis secara aman, dan tindakan asepsis.



Tindakan kontrol infeksi : 1. Status kesehatan pasien ditentukan dengan menggunakan riwayat medis (rekam medis). Elemen utama pada riwayat medis adalah yang membantu klinisi untuk mengidentifikasi pasien, menentukan keluhan utama, status kesehatan masa kini dan catatan riwayat penyakit kanak – kanak dan dewasa, adanya alergi, obat yang diminum, keadaan keluarga dan tinjauan ulang terhadap sistem organ utama. Rekam medis harus dapat memberikan informasi mengenai ada tidaknya penyakit dan dapat mengidentifikasi pasien yang mempunyai resiko pembawa organisme patogen dan yang rentan terhadap infeksi. 2. Perlindungan diri pribadi Melakukan imunisasi bagi operator kesehatan gigi dan mulut. Pemakaian barier praktis. Memakai sarung tangan, masker, kaca mata dan pakaian pelindung serta mencuci tangan sebelum tindakan dan sesudah tindakan,



3. Sterilisasi dan disinfeksi dari instrumen, bahan kedokteran gigi, disinfeksi permukaan kerja dan peralatan.



4. Pembuangan limbah medis dan non-medis Bahan disposibel : sarung tangan, masker, lap, penutup kertas dan penutup permukaan yang telah tercemar ditangani dengan hati – hati disimpan didalam kantong plastik yang kuat dan kedap untuk mengurangi kontak dengan manusia. Darah, cairan saliva dan cairan bekas lainnya dibuang kedalam saluran pembuangan khusus yang dihubungkan dengan sistem sanitasi. Benda – benda tajam (jarum, skalpel) harus ditempatkan dalam kondisi utuh kedalam tempat yang tidak mudah berlubang dan dibungkus dalam kantong plastik, demikian pula sampah medis menular dan jaringan tubuh manusia



DAFTAR PUSTAKA



Bricker, Steven L, et al.1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment Planning. Pennsylvania: Lea & Febiger Greenberg, Martin S. dan Michael Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment 10thEd. London: BC Decker Inc. Hipokrates. Jakarta. PAPDI.2006. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II”. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta. Irene Winata, Rima Melati Harjono. 1993. Immunisasi Hepatitis B (Immunisation Against Hepatitis B), Hak Cipta British Medical Association. Terjemahan Indonesia. Price, S.A, alih bahasa, Brahm U. Pendit et. al.2005. “Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses penyakit volume 1”. EGC. Jakarta. Sciubba, James J. et al. 2002. PDQ Oral Disease Diagnosis and Treatment. London: BC Decker Inc. Scully, Crispian. 2010. Medical Problems in Dentistry. London: Elsevier. Setia, Saniya. 2013. Hepatitis B and C infection: clinical implication in dental practice. European Journal of General Dentistry Vol 2 January-April 2013. Punjab. Steven L. Bricker, Robert. Langlais, Craig S. Miller. “Oral Diagnosis, Oral Medicine, And Treatment Planning”. Langlais. 1994. WHO. 2012. Prevention and Control of Viral Hepatitis Infection: Framework for Global Action. Geneva: World Health Organization.