Makalah Hukum Acara Perdata [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA “ Pembuktian Perkara Perdata ”



DISUSUN OLEH : NURUL YUDA



1910112158



YULIA FIKRI AISYA



1910113005



MIFTAHUL KHAIRIL MIRZA



1910113014



DOSEN PENGAMPU : SYAHRIAL RAZAK., S.H, M.H.



ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS 2020



KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa pula kepada nabi besar kita yakninya nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita pergi dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh berkah dan rahmat seperti yang kita rasakan pada saat ini.Terimakasih juga kami sampaikan kepada dosen pengampu kami bapak Misnar Syam., SH, MH. yang telah membimbing saya dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini. Karya tulis ilmiah ini dibuat dalam rangka penuntasan tugas Hukum Perusahaan yang berjudul “ Pembuktian Perkara Perdata ” yang bertujuan untuk memberikan pemahaman terhadap penulis dan pembaca agar mengerti. Tiada kesempurnaan di muka bumi ini. Oleh karena itu, saya dengan senang hati akan menerima segala saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini



Pekanbaru, 27 Oktober 2020



Penyusun



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… i DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………... ii BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………... 1 1.1



Latar Belakang ……………………………………………………………... 1



1.2



Rumusan Masalah …………………………………………………………. 4



1.3



Tujuan ……………………………………………………………………… 4



BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………………... 4 2.1



Pengertian CSR ………………………….………………………....……… 4



2.2



Tujuan dibentuknya CSR ………………….....…………….…………….. 7



2.3



Kewajiban CSR terhadap lingkungan sosial sekitar ……………………. 8



BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………. 11 3.1



Kesimpulan ……………………………………………………………….. 11



3.2



Saran ………………………………………………………………………. 15



DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………….. 16



ii



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat



penting dan sangat komplek dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan yang



bersifat



absolut (ultimate



absoluth),tetapi



kebenaran



bersifat kebenaran relatif atau



bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable),namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap menghadapi kesulitan.[1] Dalam



hukum, acara



membuktikan



mempunyai



artiyuridis,



yaitu



memberidasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan guna memberikepastian



tentang



kebenaran



peristiwa



yang



diajukan. [2] Menurut



Suyling membuktikan tidak hanya memberikan kepastian pada hakim tapi juga berarti membuktikan terjadinya suatuperistiwa, yang tidak tergantungpada tindakan para pihak (seperti pada persangkaan) dan tidak tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada pengakuan dan sumpah).[3]



_____________________________________ [1]



M. YahyaHarahap, 2005,Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan,Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika,hal. 498. [2]



SudiknoMertokusumo, 1998,Hukum Acara Perdata Indonesia,Yogyakarta : Liberty, hal. 109



[3]



Wiersma, Bewijzen in Het Burgerlujke Geding,Themis 1996 alf 5/6 hal. 462, dalam Sudikno Mertokusumo, Beberapa Azaz Pembuktian Perdata dalam Praktik (Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM),Liberty, Yogyakarta, 1980,hal. 12



Jadi pada dasarnya membuktikan adalah suatu kebenaran yang



peristiwa



disediakan



secara



oleh



pasti



hukum,



proses



dalam persidangan,



untuk



dengan



menetapkan sarana-sarana



hakim mempertimbangkan atau memberialasan-



alasan logis mengapa suatu peristiwa dinyatakan sebagai benar. Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.



Untuk



itu,



hakim



harus



mengetahui



kebenaran peristiwa



yang



bersangkutan secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian bermaksud untuk memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan



hubungan hukum



antara



kedua pihak



dan menetapkan



putusan



berdasarkan hasil pembuktian.[4] Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan menurut acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam pasa 164 HIR [5] dan Pasal 1866 KUH Perdata [6] yaitu:(a) Bukti tulisan/Bukti dengan surat, (b) Bukti saksi, (c) Persangkaan, (d) Pengakuan, (e) Sumpah.



__________________________________ [4]



Tata Wijayanta, et. al,2009,Laporan Penelitian Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal, Yogyakaerta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hal. 1. [5]



Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB(HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor : Politeia, 1992), Pasal 164



[6]



Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), Pasal 1866.



Bukti tulisan/bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hal ini sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa bukti tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk kepentingan pembuktian di kemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis besar, bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam, yaitu akta dan tulisan atau surat-surat lain. Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan akta dibawah tangan. [7] Akta autentik atau akta resmi yang berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di tempat dimana akta itu dibuat. Akta dibawah, yaitu tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian itu.[8] Dalam konteks perkara perdata, jika alat bukti tulisan kurang cukup, pembuktian



selanjutnya



adalah



dengan



menggunakan



saksi



yang



dapat



membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang. Ada saksi yangdihadirkan ke pengadilan yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa, namun ada juga saksi yang dihadirkan yang dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum pada saat peristiwaitu dilakukan di masa lampau. Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi di depan pengadilan, dalam pengertian ada kewajiban hukum untuk memberikan kesaksian dimuka hakim.[9]



____________________________ [7]



Ashoruddin, H. 2004,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta : Pustaka Belajar, Hal. 70-71 [8]



Eddy O.S Hiariej, 2012,Teori Dan Hukum Pembuktian, Jakarta : Erlangga, Hal. 81-83



[9]



Ibid. hal. 85-86



Menurut undang-undang yang dikenal dengan istilah presumtio juris dan presumptiofactie. Presumtio juris, persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah



persangkaan



dihubungkan peristiwa yang



dengan



tertentu.



tidak



yang berdasarkan



suatu ketentuan



perbuatan-perbuatanperbuatan



Sedangkan, Presumptio



berdasarkan



undang-undang



khusus



undang-undang,



tertentu



atau peristiwa-



factie ialah



persangkaan-persangkaan



diserahkan



kepada pertimbangan dan



kebijaksanaan hakim. Akan tetapi, persangkaan tersebut harus memperhatikan halhal yang penting dengan suatu ketelitian dan ada hubungan antara satu dengan yanglain. Persangkaan-persangkaan berdasarkanfakta hanya dibolehkan jika undangundang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi.[10] Pengakuan yang dikemukakan oleh salah satu pihak, ada yang dilakukan di depan persidangan ataupun di luar sidang pengadilan. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap pihak yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu. Pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak



dapat



dengan



dipakai



saksi-saksi.



sebagai Akan



alat



tetapi,



bukti, kekuatan



kecuali



jika



diizinkan pembuktian



pembuktian



suatu pengakuan lisan



di luar persidangan dikembalikan kepada pertimbangan dan kebijaksanaan hakim. Sedangkan alat bukti sumpah, secara garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu sumpah promisoir dan sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah yang diucapkan oleh seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan atau ketika akan bersaksi dipengadilan. Sementara itu, sumpah confirmatoir adalah sumpah sebagai alat bukti.[11]



____________________________ [10]



Ibid.



[11]



Eddy O.S Hiariej.Op.Cit., hal. 90



Proses pembuktian sebagai salah satu proses acara dalam hukum perdataformil menjadi salah satu proses yang paling penting. Suatu perkara di pengadilan tidak dapat putus oleh hakim tanpa didahului dengan pembuktian. Pembuktian dalam arti yuridis sendiri tidak dimaksudkan untuk mencari kebenaran yang mutlak. Hal ini disebabkan karena alat-alat bukti, baik berupa pengakuan, kesaksian atau surat-surat yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa kemungkinan tidak benar palsu atau dipalsukan. Padahal hakim dalam memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya harus memberikan keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.[12] Tidak jarang dalam kasus perdata yang menekankan pada pencarian kebenaran formil yakni melalui alat bukti surat justru menemui kesulitan. Dalam pencarian kebenaran formil melalui pembuktian di sidang perkara perdata, ada kalanya hakim menemui kesulitan-kesulitan dalam hal alat-alat bukti yang satu bertentangan dengan alat-alat bukti lain yang diajukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dalam sengketa tanah misalnya, seringkali ditemukan perbedaan mengenai fakta atau dalil yang diajukan oleh baik penggugat ataupun tergugat. Tidak jarang menegai luas, batas, dan keadaan tanah yang dikemukakan masing-masingpihak bertentangan satu sama lain. Hal ini bertambah pelik karena apa yang menjadi obyek sengketa tidak dapat dihadirkan di muka persidangan. Dalam dal ini maka untuk menjatuhkan putusan yang adil maka sudah seharusnya apabila hakim melakukan pemeriksaan setempat guna memperoleh fakta-fakta yang sebenarnya.



________________________________ [12]



Eman Suparman, “Alat Bukti Pengakuan Dalam Hukum Perdata.” http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/2f%20Makalah-Alat-Bukti-Kump.pdf, 14 Mei 2010, diunduh 31 Oktober 2020.



Dalam pemeriksaan



setempat,



hakim



berkedudukan



sebagai



pelaksana



pemeriksaan, walaupun pada dasarnya hakim dapat mengangkat seorang atau dua orang



komisaris



dari



majelis



yang



mana



mereka



memiliki



tugas



melihat



keadaanyang sebenarnya di lapangan. Akan tetapi hakim akan lebih yakin tentunya jika hakim dapat melihat sendiri keadaan yang sebenarnya terjadi, sebab fungsi dari pemeriksaan setempat tersebut merupakan alat bukti yang bebas. Artinya kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada hakim.[13] Semua yang akan dijadikan alat bukti tidak seluruhnya dapat dihadirkan di muka persidangan, seperti halnya dalam kasus sengketa tanah



yang



menjadi obyeknya



tanah. Akan tetapi sulit kalau akan membawa objek dari luar pengadilan ke pengadilan, dengan demikian maka akan dilakukan pemeriksaan setempat (descente). Semua putusan hakim harus disertai alasan-alasan atau pertimbangan mengapa hakim sampai pada putusannya itu. Alasan atau konsideran itu merupakan pertanggung jawaban hakim kepada masyarakat atas putusannya itu.



_____________________________ [13]



Mashudy Hermawan,2007,Dasar-dasar Hukum Pembuktian. Surabaya : UMSurabaya,hal. 149.



1.2



Rumusan Masalah



A. Apa pengertian dan dasar hukum dari Pembuktian ? B. Apa saja hal-hal yang perlu dan tidak perlu dibuktikan ? C. Apa itu beban pembuktian perkara perdata ? D. Apa saja alat-alat bukti dalam pembuktian perkara perdata ? E. Bagaimana penjelasan penggunaan alat-alat bukti pembuktian perkara perdata ? F. Bagaimana kekuatan alat bukti dan teori pembuktian perkara perdata ?



1.3



Tujuan



A. Untuk mengetahui pengertian dari CSR. B. Untuk mengetahui tujuan dibentuknya CSR. C. Untuk mengetahui bagaimana kewajiban CSR terhadap lingkungan sosial sekitar.



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Pengertian dan dasar hukum Pembuktian Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa



di muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ). Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak.



Adanya



hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka gugatannya tersebut akan dikabulkan.[14] Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan : “ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.” Tidak



semua



dalil



yang



menjadi



dasar



gugatan



harus



dibuktikan



kebenarannya, sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara



tersebut



yang



akan



menentukan



siapa



diantara



pihak-pihak



yang



berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang membebankan kepada para



pihak



untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya.[15] ____________________________________ [14]



Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 53 [15]



Ibid., hlm. 53



Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata diatur dalam: - Pasal 162 –177 HIR - Pasal 282 –314 RBg - Pasal 1885 –1945 BW - Pasal 74 –76, 87 –88 UU No 7 Thn 1989 jo UU No. 50 Thn 2009. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Psl 10 ayat (1) UU No. 48 Thn 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman),oleh karenanya hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Psl 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Bukti berarti “segala yang dipergunakan untuk meyakinkanpihak lain”; Membuktikan berarti “usaha untuk meyakinkan hakim dengan alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-undang tentang dalil atau sangkalan yang diajukan” Pengertian pembuktian diungkapkan oleh beberapa ahli hukum, antara lain: a. Menurut Sudikno



Mertokusumo,



pembuktian



mengandung



arti



logis,



konvensional dan yuridis. Dalam arti logis, adalah memberikan kepastian yang mutlak. Dalam arti konvensional berarti kepastian hanya saja bukan kepastian mutlak. Sedangkan dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. b. Menurut Subekti, hukum pembuktian adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.



Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan



putusan.



Proses



pembuktian



dalam



proses



persidangan



dapat



dikatakan sebagai sentral dari proses pemeriksaan di pengadilan. Pembuktian menjadi sentral karena dalil-dalil para pihak diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan



hukum



yang



akan



diterapkan (rechtoepasing)



maupun



ditemukan



(rechtvinding)dalam suatu perkara tertentu.[16] Maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan pembuktian yang



dilakukan



oleh



pihak



berperkaara



adalah



suatu



cara



untuk memberikan dasar kepada hakim



tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang didalilkan.



2.2



Hal-hal yang perlu dibuktikan dan tidak perlu dibuktikan



Hal yang perlu dibuktikan BerdasarkanPasal 163 HIR dan 283 RDG disebutkan “barangsiapa mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang itu harus membuktikan adanya hak atau kejadian itu. Dari pasal tersebut, telah jelas bahwa yang perlu dibuktikan adalah hak atau peristiwa yang didalilkan oleh pihak-pihak yang berperkara. Namun tidak semua hak atau peristiwa dibuktikan, hanya hak atau peristiwa yang dibantah oleh pihak lawan. Yang harus dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara perdata bukanlah hukumnya, melainkan peristiwanya atau hubungan hukumnya. Hukum Perdata mengatur hubungan hukum keperdataan tidak perlu diajukan atau dibuktikan oleh pihak-pihak yang berperkara, karena hakim dianggap telah mengetahui hukum yang akan titerapkan,  baik hukum yamg tertulis maupun hukum yang tidak tertulis yang hidup ditengah masyarakat.



____________________________ [16]



Riawan Tjandra W., dan H. Chandera., 2001, Pengantar Praktis Penanganan Perkara Perdata, Universitas Atma Jaya Yogjakarta, hlm.62.



Dalam perkara perdata hakim harus melakukan pengkajian terhadap peristiwaperistiwa yang disampaikan pihak-pihak berperkara, kemudian memisahkan mana peristiwa yang penting (relevant) dan mana yang tidak (irrelevant). Peristiwa yang penting itulah yang harus di buktikan, sedangkan peristiwa yang tidak penting tidak perlu dibuktikan.



Hal yang tidak perlu dibuktikan a. Gugatan yang diakui pihak lawan Dalam tahap



jawab-menjawab,akan



terlihat



apakah



jawaban



tersebut



menyangkal atau mengakui gugatan tersebut. Gugatan yang sudah diakui pihak lawan



tidak



perlu



dibuktikan



lagi



karena



pengakuan



itu



sudah



berarti



membenarkan dalil gugatan dan pengakuan itu sendiri sudah merupakan salah satu alat bukti menurut undang-undang. b. Penglihatan hakim di muka persidangan Sesuatu yang sudah dilihat oleh hakim tidak perlu dibuktikan lagi karena sesuai dengan tujuan pembuktian adalah memberikan keyakinan kepada hakim tentang hal-hal yang didalilkan oleh pihak yang



berperkara. Hal-halyang sudah



dilihatoleg hakim sudah meyakinkan hakim akan kebenaran tersebut. c. Yang telah diketahui oleh umum Fakta-fakta umum tidak perlu lagi dibuktikan karena secar umum dianggap sudah diketahui oleh orang banyak, seperti: siang hari lebih terang dari malam hari atau sepertikota Bogor letaknya di Pulau Jawa. d. Segala sesuatu yang diketahui oleh hakim karena pengetahuannya sendiri. Misalnya dalam dunia perdagangan sudah lazim bahwa perantara mendapat komisi.[17]



__________________________________ [17]



H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009



2.3



Beban Pembuktian Hakim dalam memimpin persidangan harus bersikap adil (fair) dan tidak



dibenarkan memihak kepada salah satu pihak (imparsial). Demikian pula ketika berlangsung agenda pembuktian di persidangan, hakim harus memberikan kesempatan yang seimbang kepada pihak-pihak untuk mengajukan alat buktinya masing-masing. Dalam sidang perkara perdata hakim bersifat pasif, menunggu dalil-dalil dan bukti yang diajukan oleh masing-masing pihak, tidak boleh memutus lebih dari apa yang dimintakan di dalam petitum. Peran hakim tidak seaktif di dalam persidangan pidana sebab ada perbedaan orientasi antara hukum perdata dengan hukum pidana. Persidangan perdata berorientasi menemukan kebenaran formil sedangkan di sidang pidana bertujuan menemukan kebenaran materil. Gugatan yang diajukan ke hadapan hakim memuat dalil-dalil tentang hak penggugat yang dilanggar atau tidak dipenuhi oleh orang lain. Sedangkan tergugat berkepentingan untuk membantahnya atau membuktikan hal kebalikannya. Kebenaran dari dalil-dalil penggugat dan tergugat bergantung erat kepada nilai alat bukti yang diajukan. Beban pembuktian bagi penggugat sangat tinggi, apa yang ia nyatakan dalam posita gugatan harus dibuktikan, jika tidak mampu membuktikannya maka dapat diperkirakan hakim akan menolak gugatan penggugat. Meskipun tergugat tidak mengajukan alat bukti akan tetapi penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya maka hakim dapat menolak gugatan penggugat, jadi beban pembuktian lebih berat bagi penggugat dibandingkan tergugat. Tergugat akan menelaah alur gugatan penggugat, jika berkepentingan mengajukan dalil bantahan maka dia dibenarkan mengajukan alat bukti (tegenbewijs). Jika ditimbang-timbang maka lebih berat beban pembuktian bagi penggugat dibandingkan tergugat, meskipun keduanya memiliki kesempatan yang sama atau adil (fair).



Dalam prakteknya, dapat dilihat di dalam beberapa yurisprudensi atau putusan mahkamah agung yang terbit dari hasil memeriksa dan mengadili perkara terdahulu. Yurisprudensi mana menjadi rujukan dan acuan bagi hakim-hakim di belakang hari. Seperti di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 540 K/Sip/1972, tanggal 11 September 1972 yang menyatakan: “ Oleh karena posita gugatan penggugat disangkal oleh pihak tergugat, maka menurut Pasal 163 HIR pihak penggugat harus dibebani kewajiban untuk membuktikan posita gugatannya tersebut. " Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 985 K/Sip/1971, tanggal 12 April 1972, menyatakan: “ Pihak yang mengajukan sesuatu dalil, ia harus dapat membuktikan dalilnya untuk menggugurkan dalil pihak lawan. “ Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 197 K/Sip/1956 juga menyatakan: “ Dalam hal seorang pembeli yang dalam gugatannya mendalilkan bahwa dia telah membeli sebuah barang, maka kepada pembeli ini harus dibebani membuktikan adanya kontraknya, pembayaran harga pembelian. Adapun kepada pihak lawannya (penjual) harus dibebani pembuktian bahwa ia sebagai penjual sudah menyerahkan barangbarang yang dibeli oleh lawannya itu. “ Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1121 K/Sip/1971, tanggal 15 April 1972 juga menyatakan: “ Salah satu pihak yang mendalilkan sesuatu, dan disangkal oleh pihak lawannya, maka yang mendalilkan itulah yang harus membuktik dan dalilnya tersebut. “



Nah, bagaimana jika penggugat tidak mampu membuktikan isi gugatannya? Maka dapat dipastikan gugatannya akan ditolak oleh majelis hakim seperti yang ditegaskan di dalam Yursiprudensi Mahkamah Agung No. 1574 K/Pdt/1983 menyatakan: “ Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatan berdasarkan alat bukti yang sah, sedangkan tergugat berhasil mempertahankan dalil bantahannya dengan demikian gugatan ditolak. “ Atas dasar pasal dan yurisprudensi yang sudah dijelaskan diatas maka jelas bahwa: -



Pembuktian lebih dibebankan kepada penggugat meskipun tergugat dapat berkesempatan untuk membuktikan sebaliknya.



-



Sepanjang penggugat tidak mampu membuktikan dalil-dalil gugatannya maka hakim akan menolak gugatannya.



2.4



Alat-alat bukti dalam pembuktian perkara perdata Alat bukti adalah



alat yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan,



dimana dengan alat-alat tersebut, dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna membuktikan adanya suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang menyebabkan hubungan hukum antara pihak – pihak, dan



untuk



keyakinan hakim atas



kebenaran adanya suatu peristiwa atau perbuatan hukum.[18] Dalam hukum acara perdata, telah diatur mengenai alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian perkara perdata.Alat-alat bukti merupakan sarana untuk membuktikan. Alat-alat bukti inidiatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBG dan Pasal 1866 BW antara lain: a.Surat b.Saksi ______________________________ [18]



M. Yahya Harahap, 2012, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm 552



c.Persangkaan-persangkaan d.Pengakuan e.Sumpah.[20] Alat bukti lain dalam hukum acara, adalah : -



Pemeriksaan setempat (Pasal 153 HIR/180 RBg)



-



Keterangan Ahli (Pasal 154 HIR/181 RBg).



-



Alat bukti yang tidak disebut oleh UU tetapi menurut Surat Ketua Mahkamah Agung RI kepada Menteri Kehakiman No. 37/TU/88/102/Pid, tanggal 14 Januari 1988, microfilm atau microfische dapat dijadikan alat bukti surat dengan catatan bila bisa dijamin otentikasinya dan dapat ditelusuri dari registrasi maupun berita acara. Hal tersebut berlaku terhadap perkara-perkara pidana atau perdata.[19] Alat bukti surat merupakan alat bukti yang utama dalam perkara perdata



karena pebuatan perdata sengaja dilakukan dan untuk menguatkan perbuatan tersebut, perlu adanya bukti yang jelas dan pasti, sehingga alat bukti yang paling mudah untuk membuktikan terjadinya perbuatan perdata adalah dalam bentuk tulisan. Berbeda dengan alat bukti dalam perkara pidana yang diutamakan adalah alat bukti saksi karena perbuatan pidana lebih menyembunyikan atau menyingkiri perbuatannya. Sehingga yang paling mudah untuk menemukan adanya perbuatan pidana adalah orang yang melihat, mendengar langsung kejadian atau perbuatan pidana tersebut.



_____________________________ [19]



H.MarjohanSyam,2010.PembandingSukarela.https://profgunarto.files.wordpress.com/2012/12/alat-



bukti-dalam-perdata-tugas.pdf diakses pada pukul 18.45 [20]



R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,



2002, hlm. 475.



2.5



Penjelasan Alat-alat bukti pembuktian a. Bukti Surat Di dalam HIR/RBGtidak dimuat tentang pengertian sesuatu dikatakan sebagai alat



bukti surat. Karena itu untuk menemukan pengertian alat bukti surat, dipakailah doktrin atau pendapat para ahli hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat adalah sesuatu yang memuat tanda yang dapat dibaca dan menyatakan suatu buah pikiran dimana buah pikiran tersebut bisa dipakai sebagai pembuktian. Bukti surat adalah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut : Pertama, Surat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dan lain-lain. Kedua, Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain. Ketiga, Akta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain misalnya saksi. Dalam praktik beracara di pengadilan bukti surat yang akan digunakan sebagai bukti di persidangan di foto copy lalu dibubuhi meterai yang cukup dan dilegalisasi di Kantor Pos kemudian didaftarkan di Kepaniteraan pengadilan untuk dilegalisasi dan baru dapat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim dan dicocokkan dengan aslinya jika sesuai dengan aslinya maka dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Apabila



ternyata tidak cocok dengan aslinya atau tidak ada aslinya maka tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali. Para pihak yang berperkara berhak untuk minta diperlihatkan bukti surat kepadanya. b. Bukti Saksi Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa. Dalam Pasal 145 ayat (1) HIR, orang yang tidak dapat diddengar sebagai saksi adalah: -



Keluarga sedarah dan semenda



-



Isteri atu suami, meskipun sudah ada perceraian



-



Anak-anak yang umurnya dibawah umur 15 tahun



-



Orang gila. Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai



berikut.-Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya. -



Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar,diketahui, dan dialami sendiri.



-



Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.



-



Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.



-



Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.



-



Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).



-



Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.



Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah sebagai berikut: -



Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.



-



Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.



-



Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia. c. Persangkaan Yang dimaksud dengan persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik



oleh undang-undang atau oleh hakim dari peristiwa yang terkenaln kearah peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan undang-undang adalah kesimpulan yang



ditarik



oleh undang-undang, sedangkan persangkaaanhakim adalah kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan peristiwa-peristiwa tertentu yang telah terungkap melalui bukti-bukti yang diajukan para pihak. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut. -



Persangkaan Undang-Undang Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.



-



Persangkaan Hakim Persangkaan hakim yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah



terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. d. Pengakuan Pengakuan ada dua, pengakuan di muka persidangan dan diluar persidangan. -



Pengakuan di depan sidang.Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidangmerupakan pembuktian yang sempurna.



Pengakuan di muka persidangan ada tiga: Pertama, pengakuan



yang



sesungguhnya,



artinya



tergugat



dalam



jawabannya mengaui secara sungguh-sungguh apa yang telah dialami penggugat. Kedua, pengakuan kualifikasi, tergugat tidak mengakui sepenuhnya, tetapi ada sebagian yang dibantah oleh penggugat. Ketiga, pengakuan klausula, apa yang didalilkan penggugat diakui tergugat, namun disertai keterangan tambahan.Pengakuan diluar



persidangan



harus



disertai dengan alat bukti lain untuk lebih meyakinkan hakim. -



Pengakuan di luar sidang.Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut. e. Sumpah Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada



Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar. Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak. Sumpah terdiri dari:



-



Sumpah promissoir, Sumpah promissoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.



-



Sumpah confirmatoir, Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar. Sumpah confirmatoir terdiri dari: a) Sumpah supletoir, Sumpah supletoir atau sumpah pelengkap atau sumpah penambah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian. Sumpah pelengkap harus ada bukti terlebih dahulu namun bukti belum lengkap sedangkan untuk mendapatkan bukti lain tidak mungkin. Sumpah pelengkap dibebankan kepada para pihak oleh hakim karena jabatannya. b) Sumpah decisoir, Sumpah decisoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya. Sumpah pemutus dimohonkan kepada majelis hakim oleh salah satu pihak agar pihak lawan mengangkat sumpah. Sumpah pemutus dikabulkan hakim apabila tidak ada alat bukti sama sekali. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain yang meminta apabila mengenai perkara timbal balik. Apabila salah satu pihak berani mengangkat sumpah maka pihak yang mengangkat sumpah perkaranya dimenangkan. c) Sumpah aestimatoir, Sumpah asstimatoir yaitu sumpah yang dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.



2.6



Kekuatan alat bukti dan teori pembuktian perkara perdata Pembuktian perkara perdata penting sekali sehingga



terhadap



alat-alat bukti,



akan



berkaitan



erat



dengan



penilaian



hakim



ketentuan pembuktian



berdasarkan alat-alat bukti yang ada dan/atau yang diajukan. Menurut Achmad Ali dan Wiwie Heryani, ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti dari alat-alat bukti, yaitu: -



Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap (volledig bewijskracht) Dalam hukum pembuktian perdata, akta notaris merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (pasal 1870 KUHPerdata). Kekuatan pembuktian ini melekat pada akta notaris sepanjang akta tersebut dibuat menurut ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2014. Konsekuensi hukum atas kekuatan pembuktian sempurna ini dalam suatu sengketa perdata adalah hakim wajib dan terikat menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna, harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan cukup terbukti, hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa. bilamana akta tersebut digunakan sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak penggugat telah berhasil membuktikan akta tersebut bahwa benar ada perjanjian jual beli, antara penggugat dan tergugat.[21] Kekuatan pembuktian sempurna yang dimiliki akta notaris tidak bersifat menentukan () atau memaksa () sehingga masih dapat disangkal dengan alat-alat bukti lawan () seperti bukti surat, keterangan saksi, namun beban pembuktian tersebut ada pada korban. Membuktikan ketidakhadirannya dihadapan notaris serta tidak pernah menandatangani minuta akta dengan menggunakan alat-alat bukti seperti surat, keterangan saksi belum tentu meyakinkan hakim.



_________________________ [22]



Ibid.



-



Kekuatan pembuktian yang lemah, yang tidak lengkap (onvolledig bewijskracht)



-



Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijskracht)



-



Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende bewijskracht)



-



Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau kracht



van



tegen bewijs).[22]



BAB III PENUTUP 3.1



Kesimpulan



3.2



Saran 15 DAFTAR PUSTAKA