9 0 149 KB
Revisi Makalah Kelompok VIII
Kegiatan Pemberian Kredit Bank Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah : Hukum Perbankan Dosen : Itsla Yunisva Aviva, M.E.Sy
Disusun Oleh Dani Wahyudi NIM. 140 2120 343 Khairunnisa NIM. 140 2120 331 Mustika Najmi NIM. 140 2120 313 Reza Ifanda Akmal NIM. 140 2120 380 Syifa Fuadi NIM. 152 4120 471
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM JURUSAN EKONOMI ISLAM PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH ( ESY ) TAHUN 2016 M / 1437 H
KATA PENGANTAR
حييم ن الرر ح بح ي سم اللهح الررحم ح Assalamu’alaikum wr. wb Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, serta kepada keluarga, sahabat, kerabat beliau sekalian. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana telah memberikan kami semua kekuatan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Hukum Perbankan yang berjudul “Kegiatan Pemberian Kredit Bank” dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada: 1 Ibu Itsla Yunisva Aviva M.E.Sy, dosen mata kuliah Hukum Perbankan IAIN Palangka Raya. 2 Kedua orang tua. 3 Teman teman sekalian Yang mana telah memberikan dukungan, bantuan, dan dorongan semangat agar makalah ini dapat diselesaikan. Tak ada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dari pembaca sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya. Wassalamu’alaikum wr. wb
Palangka Raya,
2
Mei 2016
Penyusun
3
DAFTAR ISI COVER KATA PENGANTAR................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................ 1 B. Rumusan Masalah........................................................... 1 C. Tujuan Penulisan.............................................................. 2 D. Batasan Masalah............................................................. 2 E. Metode Penulisan............................................................ 2 BAB II PEMBAHASAN A Pengertian dan unsur-unsur kredit bank dan pembiayaan............................................ 3 B Pengertian, kegunaan dan fungsi jaminan kredit dalam pemberian kredit bank..................................................................... 5 C Pembatasan dan larangan dalam pemberian kredit bank............................................. 10 D Bentuk dan sifat hubungan antara bank dan nasabah peminjam dana............................................................................... BAB III PENUTUP
14
Kesimpulan .............................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kegiatan sehari-hari kita sudah mengenal kata kredit, mulai dari kredit barang pecah belah, kredit berbentuk uang, maupun kredit dalam skala lebih luas yang diberikan oleh perusahaan leasing atau perbankan. Kita juga mengenal setiap terjadi transaksi kredit selalu berkaitan dengan angsuran atau cicilan dengan disertai jangka waktu dan jumlah cicilan yang harus dibayar. Para pengambil kredit juga sudah paham bahwa cicilan kreditur sudah mengandung pokok pinjaman dan bunga yang harus dibayar. Istilah ini digunakan kepada para pengambil kredit dengan istilah debitur dan pihak pemberi kredit (bank) disebut kreditur. Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak pernah lepas dari masalah kredit. Bahkan kegiatan bank sebagai lembaga keuangan, pemberian kredit merupakan kegiatan utamanya. menentukan
Besarnya
jumlah
keuntungan
kredit
bank.
Jika
yang bank
disalurkan tidak
akan
mampu
menyalurkan kredit sementara dana yang terhimpun dari simpanan banyak, maka akan menyebabkan bank tersebut rugi. Oleh karena itu, pengelola kredit harus dilakukan dengan sebaikbaiknya mulai dari perencanaan jumlah kredit, penentuan suku bunga, prosedur pemberian kredit, analisis pemberian kredit sampai kepada pengendalian kredit macet. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengertian dan unsur-unsur kredit bank dan pembiayaan? 2. Bagaimana pengertian, kegunaan dan fungsi jaminan kredit dalam pemberian kredit bank? 5
3. Bagaimana pembatasan dan larangan dalam pemberian kredit bank? 4. Bagaimana bentuk dan sifat hubungan antara bank dan nasabah peminjam dana? C. Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan pengertian dan unsur-unsur kredit bank dan pembiayaan. 2. Menjelaskan pengertian, kegunaan dan fungsi jaminan kredit dalam pemberian kredit bank. 3. Menjelaskan pembatasan dan larangan dalam pemberian kredit bank. 4. Menjelaskan bentuk dan sifat hubungan antara bank dan nasabah peminjam dana. D. Batasan Masalah Mengingat begitu luasnya materi maupun hal-hal yang berhubungan dengan rumusan masalah diatas, maka penulis membatasi pembahasan ini sesuai yang terdapat dalam rumusan masalah. Mengenai hal lain yang tidak memiliki hubungan dengan hal-hal yang tercantum pada rumusan masalah diatas tidak penulis uraikan pada makalah ini. E. Metode Penulisan Adapun
metode
yang
penulis
pergunakan
dalam
penulisan makalah ini yaitu dengan telaah keperpustakaan dengan menggunakan buku perpustakaan sebagai bahan referensi dimana penulis mencari literatur yang berkaitan dengan makalah yang penulis buat, yang kemudian penulis simpulkan dalam bentuk makalah.
6
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan Unsur-unsur Kredit dan Pembiayaan Dalam bahasa sehari-hari kata kredit sering diartikan memperoleh barang dengan membayar cicilan atau angsuran di kemudian
hari
atau
memperoleh
pinjaman
uang
yang
pembayarannya dilakukan di kemudian hari dengan cicilan atau angsuran sesuai dengan perjanjian.1 Istilah “kredit” berasal dari bahasa Latin creditus (lihat pula credo dan creditum, yang kesemuanya berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris faith dan to trust). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditor dalam hubungan perkreditan dengan debitor mempunyai kepercayaan, bahwa debitor dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan.2 Secara yuridis Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menggunakan dua istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Kedua istilah itu, yaitu pertama kata “kredit”, istilah yang digunakan pada bank konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya dan kedua kata “pembiayaan” berdasarkan prinsip syari’ah, istilah yang digunakan pada bank syari’ah. Pengertian kredit disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
1 Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi Keempat, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, h. 72. 2 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 236.
7
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu3: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan
itu,
berdasarkan
persetujuan
atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sementara itu pengertian pembiayaan disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yaitu: Pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.4 Kemudian pengertian pembiayaan tersebut
lebih
diperjelas lagi dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/20007 yang menyatakan sebagai berikut:
Pembiayaan
adalah
penyediaan
dana
atau
tagihan/piutang yang dapat dipersamakan dengan itu dalam: 1. Transaksi investasi yang didasarkan antara lain atas akad mudharabah dan atau musyarakah. 2. Transaksi sewa yang didasarkan antara lain atas akad ijarah atau akad ijarah muntahiyah bi tamlik. 3. Transaksi jual beli yang didasarkan antara lain atas akad murabahah, salam dan istishna. 4. Transaksi pinjaman yang didasarkan atas akad qardh.
3 Djoni S Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h. 264. 4 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, h. 92.
8
5. Transaksi multijasa yang didasarkan antara lain atas akad ijarah atau kafalah.5 Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: 1. Kepercayaan Yaitu suatu keyakinan pemberian kredit yang diberikan akan benar-benar diterima kembali dimasa tertentu. 2. Kesepakatan Kesepakatan ini dituangkan dalam suat perjanjian dimana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajibannya masing-masing. 3. Jangka waktu Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. 4. Resiko Adanya suatu menyebabkan
tenggang suatu
waktu
resiko
pengembalian
tidak
akan
tertagihnya/macet
pemberian kredit. Semakin panjang waktu suatu kredit semakin besar resikonya. 5. Balas jasa Merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau jasa. Balas jasa dalam bentuk bunga dan administrasi kredit merupakan keuntungan bank. Sedangkan bagi bank yang berdasarkan prinsip syari’ah balas jasanya ditentukan dengan bagi hasil.6 B. Pengertian, kegunaan dan fungsi jaminan kredit (Bank) dalam pemberian kredit bank 1. Pengertian
jaminan
kredit
(Bank)
dan
perbedaan
dengan agunan (Bank)
5 Djoni S Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, h. 265. 6 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 94-95.
9
Disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor
10
Tahun
1998,
bahwa:
Dalam
memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 antara lain dinyatakan: Mengingat
bahwa
agunan
sebagai
salah
satu
unsur
pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah diperoleh keyakinan, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Kemudian ketentuan dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 berlaku juga bagi bank pengkreditan rakyat.7 Dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang
Nomor
10
Tahun
1998
dihubungkan
dengan
Penjelasannya, diketahui bahwa makna kata “jaminan” tidak sama dengan makna kata “agunan”, karena agunan hanyalah salah satu unsur dalam pemberian kredit. Dalam hal ini Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan
menggunakan
Undang-undang istilah
“jaminan
Nomor
10
Tahun
1998
pemberian
kredit
atau
7 Djoni S Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, h. 278-279.
10
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”, yang dimaknai atau berwujud “keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan”. Padahal selama ini yang dimaksud dengan “jaminan (pemberian) kredit atau pembiayaan dengan prinsip syariah adalah agunan”, yang dalam hal ini umumnya “berwujud benda tertentu” yang bernilai ekonomis guna dipakai
sebagai
berdasarkan
pelunasan
prinsip
kredit
syariah
jika
atau
pembiayaan
nasabah
debiturnya
wanprestasi. Demikian pula dari Penjelasan atas Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 telah membedakan antara pengertian “agunan” dan “jaminan”. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tidak dikenal istilah “agunan”, yang ada istilah “jaminan”. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor
10
Tahun
1998
memberikan
pengertian yang berbeda antara “jaminan” dan “agunan”. Arti “jaminan” menurut Undang-undang 14 Tahun 1967 diberi istilah
“agunan”
sedangkan
“jaminan”
dalam
perspektif
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan
Undang-undang
Nomor
10
Tahun
1998
diartikan sebagai “keyakinan atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Ini berarti, bahwa “jaminan (pemberian) kredit” yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) bukanlah jaminan kredit yang selama ini dikenal dengan sebutan collateral. Istilah collateral oleh Undang-
11
Undang Nomor 7 Tahun 1992 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998) diartikan dengan “agunan”.8 Dapat disimpulkan, jaminan adalah suatu keyakinan kreditur
atas
kemampuan
debitur
untuk
melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, sedangkan agunan adalah barang atau benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.9 Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan
kembali.
Keyakinan
tersebut
diperoleh
dari
hasil
penelitian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan
keyakinan
tentang
nasabahnya,
biasanya
kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabahnya yang benar-benar menguntungkan dilakukan dengan analisis 5 C dan 7 P. Adapun penjelasan untuk analisis dengan 5 C kredit adalah sebagai berikut: Character Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang
yang akan diberikan kredit benar-benar dapat dipercaya. Capacity Untuk melihat kemampuan nasabah dalam
mengembalikan kredit yang disalurkan. Capital Untuk melihat keefektifan penggunaan modal, yang dapat dilihat
dari
pengukuran
laporan seperti
keuangan dari
segi
dengan
melakukan
likuiditas,
solvabilitas,
rentabilitas dan ukuran lainnya. 8 Ibid., h. 280-281. 9 Amin, Prinsip-prinsip Dasar Agunan, http://hukumperbankan.blogspot.co.id/2008/12/prinsip-prinsip-dasaragunan-atau.html diunduh Senin 16 Mei 2016 Pukul 20:32 WIB.
12
Colleteral Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Condition Menilai kondisi ekonomi sekarang dan kemungkinan untuk di masa yang akan datang, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
Sedangkan penilaian dengan analisis 7 P kredit adalah sebagai berikut:
Personality Menilai nasabah dari segi kepribadiannya. Party Mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu, sehingga nasabah dapat digolongkan ke golongan tertentu
dan akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari bank. Perpose Mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit. Prospect Menilai usaha nasabah di masa yang akan datang. Payment Merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari
sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Profitability Menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam
mencari laba. Protection Menjaga agar
usaha
dan
jaminan
mendapatkan
perlindungan.10 2. Kegunaan dan fungsi jaminan kredit (Bank) dalam pemberian kredit (Bank) Adapun kegunaan jaminan kredit tersebut, yaitu: a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank mendapat
pelunasan
dari
agunan
apabila
melakukan cidera janji. 10 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, h. 104-107.
13
untuk debitur
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurangkurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil. c. Memberikan dorangan kepada debitur untuk memenuhi janjinya.11 Fungsi jaminan kredit untuk mengamankan pelunasan kredit baru akan muncul pada saat kredit dinyatakan sebagai kredit macet. Selama kredit telah dilunasi oleh debitur, tidak akan terjadi pencairan jaminan kreditnya. Dalam hal ini jaminan
kredit
akan
dikembalikan
kepada
debitur
yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukum dan perjanjian kredit. Selain itu, pengikat jaminan kredit yang berupa harta milik debitur yang dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur bersangkutan takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini akan mendorong debitur berupaya untuk melunasi kreditnya kepada bank agar hartanya yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak hilang, karena harus dicairkan oleh bank. Sesuai
dengan
ketetntuan
peraturan
intern
masing-
masing bank, umumnya nilai jaminan yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan. Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan secara hati-hati, sehingga dapat segera melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali 11 Djoni S Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, h. 286.
14
hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapa pun juga pasti tidak ingin kehilangan harta (aset)-nya, karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai tertentu atau disayangi. Dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit berfungsi untuk menjamin pelunasan utang debitur wanprestasi atau pailit. Jaminan kredit akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak perbankan bahwa kreditnya akan tetap kembali walaupun
dengan
cara
mengeksekusi
jaminan
kredit
perbankannya. C. Pembatasan dan Larangan dalam Pemberian Kredit Bank Dalam pemberian kredit, suatu bank pada hakikatnya harus menganut asas “mengambil resiko sekecil mungkin”. Resiko yang dimaksud adalah resiko terhadap kemungkinan kredit itu tidak dapat dibayar kembali oleh debiturnya. Untuk itu perlu adanya ketentuan tentang penentuan batas maksimum pemberian kredit yang harus dipatuhi oleh setiap bank. Untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar
resiko
dengan
mengatur
penyaluran
kredit, pemberian jaminan atau fasilitas lain, sehingga tidak terpusat
pada
peminjaman
atau
kelompok
peminjaman
tertentu.12 Di Indonesia, semula pembatasan hanya disisipkan dalam ketentuan
perhitungan
capital
adequacy,
yaitu
dengan
memberikan risk margin yang lebih besar pada kredit-kredit besar, namun kemudian ketentuan batas maksimum pemberian kredit ini untuk pertama kali ditegaskan dalam paket deregulasi Oktober 1988, yang selanjutnya dikukuhkan dalam undangundang. Batas maksimum pemberian kredit merupakan sarana pengawasan
penyaluran
kredit
12 Ibid., h. 290-291.
15
bank.
Batas
maksimum
pemberian
kredit
(BMPK)
adalah
presentase
maksimum
penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal bank, yang diberikan kepada peminjam atau sekelompok peminjam tertentu. Bank
Indonesia
menetapkan
BMPK
(BI)
untuk
diberikan
wewenang
masing-masing
untuk
peminjam
atau
sekelompok peminjam, termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998, maka ketentuan BMPK dapat dibedakan atas 2 jenis, yaitu13: 1. Jenis BMPK 30% (tiga puluh persen) Bank Indonesia dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 30% dari modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 30% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada
peminjam,
sekelompok
peminjam
yang
terkait,
termasuk perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. 2. Jenis BMPK 10% (sepuluh persen) Bank Indonesia dapat menetapkan BMPK yang lebih rendah dari 10% dari modal bank, tetapi tidak boleh melebihi 10% dari modal bank yang bersangkutan. BMPK ini ditujukan kepada dewan
pemegang komisaris,
saham anggota
yang
bersangkutan,
direksi,
keluarga
anggota
dari
pihak
pemegang saham yang bersangkutan, pejabat bank lainnya, perusahaan-perusahaan kepentingan
dari
yang
pihak-pihak
di
dalamnya
pemegang
terdapat
saham
yang
bersangkutan, anggota dewan komisaris, anggota direksi, 13 Ibid., h. 293-294.
16
keluarga pemegang saham yang bersangkutan dan pejabat bank lainnya. Disebutkan dalam Pasal 11 ayat (4A) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang memberikan
Nomor
kredit
atau
10
Tahun
1998,
pembiayaan
bahwa
dalam
berdasarkan
prinsip
syari’ah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Bank
dinyatakan
melakukan
pelanggaran
larangan
terhadap ketentuan BMPK apabila pada saatnya pemberian saldo kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan Bank Indonesia (BI). Pelanggaran terhadap ketentuan BMPK tersebut,
selain
dapat
dikenakan
sanksi,
juga
akan
diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Kemudian bank diwajibkan pula untuk menyampaikan laporan bulanan setiap bulan kepada Bank Indonesia mengenai penyediaan dana kepada peminjam dan sekelompok peminjam yang melampaui BMPK, seluruh penyediaan dana kepada pihakpihak yang terkait dengan bank. Apabila kewajiban ini dilanggar oleh bank, maka bank yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban membayar denda dan atau sanksi pidana. Ketentuan mengenai BMPK ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/13/PBI/2006. 1. Ketentuan BMPK bagi Bank Umum Ketentuan BMPK bagi Bank Umum diatur lebih lanjut:
17
a. BMPK kepada pihak terkait Seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank.14 b. BMPK kepada pihak tidak terkait BMPK ditetapkan paling tinggi 20% dari modal bank. Sedangkan penyediaan dana kepada satu kelompok peminjam
yang
bukan
merupakan
pihak
ditetapkan paling tinggi 25% dari modal bank. c. Penyediaan dana oleh bank dikategorikan pelampauan
BMPK
apabila
disebabkan
oleh
terkait sebagai hal-hal
dikarenakan penurunan modal bank, penurunan nilai tukar, perubahan nilai wajar, penggabungan usaha dan atau
perubahan
menyebabkan
struktur
perubahan
pihak
kepengurusan
yang
terkait
atau
dan
kelompok peminjam dan perubahan ketentuan. d. Terhadap pelampauan BMPK dan pelanggaran BMPK, bank diwajibkan menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Bank Indonesia. 2. Ketentuan BMPK bagi BPR Ketentuan BMPK bagi BPR diatur lebih lanjut: a. BMPK kepada pihak terkait BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 10% dari modal bank. b. BMPK kepada pihak tidak terkait BMPK ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 20% dari modal bank. c. Terhadap pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia, dan selain itu juga dikenakan sanksi dalam penilaian tingkat kesehatan. d. Terhadap pelanggaran BMPK, dapat dikenakan sanksi dalam penilaian tingkat kesehatan dan diancam dengan sanksi pidana. 14 Ibid., h. 294-296.
18
Selain pembatasan dalam BMPK, diatur pula pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia 23/3/UKU masing-masing tanggal 28 Februari 1991 telah mengatur pembatasan pemberian kredit untuk pemberian dan pemilikan saham oleh bank. Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau dilarang15: 1. Memberikan kredit untuk membiayai pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, kecuali untuk pembelian kredit investasi, untuk pembiayaan barang modal
(aktiva
tetap/bergerak)
yang
diperlukan
oleh
perusahaan yang melakukan kegiatan jual beli saham atau pembelian obligasi yang diperdagangkan di pasar modal. 2. Memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi dalam rangka pengawasan dan pembinaan oleh Bank Indonesia. Ketentuan tersebut disempurnakan lagi dengan Surat keputusan direksi bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang kredit pada perusahaan sekuritas dan kredit dengan agunan saham. Disebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembatasan dalam pemberian kredit bank untuk jual beli saham yaitu: a. Bank dilarang memberikan kredit dengan agunan pokok dan agunan tambahan berupa saham perusahaan lain. b. Bank dilarang memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan yang bukan perusahaan sekuritas untuk jual beli 15 Ibid., h. 297.
19
saham, kecuali pemberian kredit kepada koperasi dalam rangka pemberian saham bank yang bersangkutan.16 D. Bentuk dan Sifat Hubungan Antara Bank dan Nasabah Peminjam Dana Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada 2 unsur yang terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu bank hanya bisa melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya apabila masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya pada produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank dapat memobilisir dana dari masyarakat untuk ditempatkan pada banknya dan bank akan memberikan jasa-jasa perbankan. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur (bank sebagai
lembaga
penyedia
dana
bagi
para
debiturnya)
bentuknya dapat berupa kredit, seperti kredit modal kerja (untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya), kerja investasi (untuk keperluan perluasan usaha untuk keperluan rehabilitasi) atau kredit usaha kecil. Dari segi kacamata hukum, hubungan antara nasabah dengan bank terdiri dari 2 bentuk, yaitu: 1. Hubungan kontraktual Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dengan nasabah adalah hubungan kontraktual. Hal ini berlaku hampir pada semua nasabah, baik nasabah debitur, nasabah deposan ataupun nasabah non debitur non deposan. Terhadap nasabah debitur hubungan kontraktual tersebut berdasarkan atas suatu kontrak yang dibuat antara bank sebagai kreditur (pemberi dana) dengan pihak debitur (peminjam dana).
16 Ibid., h. 298.
20
Hukum kontrak yang menjadi dasar hubungan bank dengan nasabah debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata tentang kontrak. Menurut Pasal 1388 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan Undang-undang bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan nasabah debitur, untuk nasabah deposan atau nasabah non debitur non deposan tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur untuk kontrak jenis ini dalam KUHPerdata. Karena itu, kontrak-kontrak untuk nasabah seperti itu hanya tunduk kepada ketentuan-ketentuan umum dari KUHPerdata mngenai kontak. 2. Hubungan non kontraktual Ada 6 jenis hubungan hukum antara bank dengan nasabah selain
dari
hubungan
kontraktual
sebagaimana
yang
disebutkan di atas yaitu: Hubungan fidusia Hubungan confidential Hubungan bailor-bailee Hubungan principal-agent Hubungan mortgagor-mortgagee Hubungan trustee-beneficiary17
17 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan dan Deposito, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995, h. 32.
21
BAB III PENUTUP Kesimpulan Kata
“kredit”,
istilah
yang
digunakan
pada
bank
konvensional dalam menjalankan kegiatan usahanya, dan kata “pembiayaan” digunakan
berdasarkan
pada
bank
prinsip
syariah.
syariah,
Adapun
istilah
yang
unsur-unsur
yang
terkandung dalam pemberian suatu fasilitas kredit adalah sebagai berikut: 1) Kepercayaan 2) Kesepakatan 3) Jangka waktu 4) Resiko 5) Balas jasa. Jaminan adalah kemampuan
debitur
suatu untuk
keyakinan
kreditur
melaksanakan
atas
kewajibannya,
sedangkan agunan adalah barang atau benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur. Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan maka bank harus merasa yakin bahwa kredit
yang
diberikan
benar-benar
akan
kembali.
Kriteria
penilaian yang harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabahnya
yang
benar-benar
menguntungkan
dilakukan
dengan analisis 5C adalah sebagai berikut: Character, Capacity, Capital, Colleteral, Condition. Dan dengan analisis 7 P kredit adalah sebagai berikut: Personality, Party, Perpose, Prospect, Payment, Profitability, Protection. Batas maksimum pemberian kredit merupakan sarana pengawasan penyaluran kredit bank. Ketentuan BMPK dapat dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu: 1) jenis BMPK 30% 2) Jenis BMPK 10%. Selain pembatasan dalam BMPK, diatur pula pembatasan dalam pemberian kredit berupa larangan dalam pemberian kredit. Disebutkan, bahwa bank tidak diperkenankan atau
dilarang:
1)
memberikan
kredit
untuk
membiayai
pembelian saham atau modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham, 2) memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan.
22
Hubungan antara bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang paling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Berdasarkan dua fungsi utama dari suatu bank, yaitu fungsi pengerahan dana dan penyaluran dana, maka terdapat dua hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu: hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana dan hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Bako, Ronny Sautma Hotma, Hubungan bank dan Nasabah Terhadap Produk tabungan dan Deposito, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995. Gozali, Djoni S & Usman, Rachmadi,
Hukum Perbankan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012. Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000. Kasmir, Manajemen Perbankan Edisi Rajawali Pers, 2000. Usman, Rachmadi, Aspek-aspek
Keempat,
Hukum
Jakarta:
Perbankan
di
Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. B. Internet Amin,
Prinsip-prinsip
Dasar
Agunan,
http://hukumperbankan.blogspot.co.id/2008/12/prinsipprinsip-dasar-agunan-atau.html
23
Pertanyaan
Umi Kulsum (kelompok 11) Apa perbedaan jaminan dan agunan? Zulfi Lisdayanti (kelompok 11) Kapan bank dinyatakan melanggar BMPK? Miftahul Jannah (kelompok 7) Apa saja sifat dan hubungan antara bank dan nasabah debitur? Ahmad Dea Satria (kelompok 12) Jelaskan kembali tentang BMPK!
1