Makalah Imunisasi DPT [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PROGRAM IMUNISASI DPT (DIFTERI PERTUSIS TETANUS) Dibuat sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit



Disusun Oleh: Dian Kurniasari



25010111130111



Awanda Shafa



25010111130112



Zulinar Firdaus



25010111130113



Mellytia Ayu K



25010111130114



Laksmi Prihastiwi



25010111130115



Sudiyanti



25010111130117



KELAS B



FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 i



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat penyertaan dan bimbingan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas pada mata kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit dengan judul makalah “Makalah Program Imunisasi DPT (Difteri Pertusis Tetanus)”. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Dasar Pemberantasan Penyakit.Penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan makalah ini.



Semarang,



Juni 2013



PENULIS



ii



DAFTAR ISI Halaman Judul ............................................................................................ i Kata Pengantar ........................................................................................... ii Daftar Isi ..................................................................................................... iii Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang ............................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1 Bab II Pembahasan A. Etiologi Penyakit DPT .................................................................. 2 B. Masa Inkubasi dan Penularan Penyakit DPT ................................. 6 C. Gejala dan Tanda Penyakit DPT serta Cara Diagnosis .................. 7 D. Tranmisi Penyakit DPT .................................................................. 17 E. Riwayat Alamiah Penyakit DPT .................................................... 8 F. Pengobatan Penyakit DPT .............................................................. 17 G. Perkembangan Penyakit DPT di Indonesia .................................... 21 H. Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit DPT .......................... 22 I. Pencegahan Penyakit DPT .............................................................. 25 J. Gambaran Epidemiologi Umum Penyakit DPT .............................. 29 K. Gambaran Epidemiologi Penyakit DPT di Indonesia .................... 32 L. Tujuan P3M DPT ........................................................................... 33 M. Strategi P3M DPT ......................................................................... 34 N. Ukuran Epidemiologi yang Dipakai ............................................. 34 Bab III Penutup A. Kesimpulan .................................................................................... 41 B. Saran ............................................................................................... 41 Daftar Pustaka ............................................................................................ 42



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Hingga kini imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan penyebaran berbagai penyakit infeksi, khususnya penyakit yang banyak menjangkiti anak-anak. Menurut para pakar imunisasi dunia, sedikitnya sebanyak 10 juta jiwa dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui kegiatan imunisasi. Bahkan hingga tahun 2015 sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskin dapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi yang umumnya menjangkiti mereka (www.depkes.go.id, 2006). Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi bakteri yang menyerang tenggorokan dan dapat menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking. Pada tahun 2005 Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa lebih dari 10 juta balita meninggal tiap tahun, dengan perkiraan 2,5 juta meninggal (25%) akibat penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin yang kini ada maupun yang terbaru. Oleh karena itu sangat jelas bahwa imunisasi sangat penting untuk mengurangi seluruh kematian anak. Keberhasilan program imunisasi untuk mencapai target yang diharapkan akan sangat tergantung dari hasil cakupan program tersebut dan pada akhir Pelita IV ditentukan bahwa cakupan imunisasi harus mencapai 65% dan pada tahun 1990 secara nasional Indonesia dapat mencapai status Universal Child Immunization (UCI) yaitu DPT minimal 90%. Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, pembahasan mengenai DPT sangat penting untuk dilakukan. B. Rumusan masalah 1. Apa itu penyakit DPT,etiologi,dan patofisiologis dari DPT? 2. Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan dari penyakit DPT? 3. Bagaimana perkembangan penyakit dan gambaran epidemiologi? 4. Apa saja tujuan dan strategi P3M untuk penyakit DPT?



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Etiologi DPT 1. Difteri Di sebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bakteri gram positif yang bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat di lakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dan lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengadung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama dengan kuman Diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentsi glikogen, kanji, glukosa, maltosa, dan sukrosa. Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti : medium Loeffler, medium tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh tumbuh dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari warna abu-abu coklat. Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk dapat dibedakan menjadi 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu : a. Gravis Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit. b. Mitis Koloninya



kecil,



halus,



warna



hitam,



konveks,



dan



dapat



menimbulkan hemolisis eritrosit. c. Intermediate Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.



2



Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis. Karakteristik jenis gravis ialah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen, sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis bakteri ini bisa memproduksi eksotoksin, akan tetapi virulensinya berbeda. Sebagian besar jenis yang tidak virulen adalah termasuk grup mitis, kadang-kadang ada bentuk grafis atau intermediate yang tidak virulen terhadap manusia. Strain toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah dilakukan subkultur yang berulang-ulang di laboratorium atau karena pengaruh pemberian



bakteriofag.



Ciri



khas



C.diphteriae



adalah



kemampuannya



memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphteriae yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toxigene. Untuk membedakan jenis virulen dan nonvirulen dapat diketahui dengan pemeriksaan produksi toksin, yaitu dengan cara: 1. Elek precipitin test, telah mulai dilakukan sejak tahun 1949, dan masih dipakai sampai saat sekarang, walaupun sudah dimodifikasi. 2. Polymerase chain pig inoculation test (PCR) 3. Rapid enzyme immunoassay (EIA), pemeriksaan ini hanya membutuhkan waktu 3 jam, lebih singkat dibandingkan dengan Elek precipitin test yang membutuhkan waktu 24 jam. 2. Pertusis Pertusis atau batuk rejan, atau yang lebih dikenal dengan batuk seratus hari, disebabkan oleh kuman Bordetella Pertusis atau Hemophilus pertusis, dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrcintesttimalis, dan traktus genitou rincrius penderita pertusis atau batuk rejan bersama-sama Bordetella pertusis atau tanpa adanya Berdetella pertusis. Bordetell pertusis adalah satusatunya penyebab pertusis yang ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain : a. Berbentuk batang (coccobacilus). b. Tidak dapat bergerak.



3



c. Bersifat gram negatif. d. Ukuran panjang 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um. e.



Tidak berspora, mempunyai kapsul.



f. Mati pada suhu 55ºC selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º10ºC). g. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar metakromatik. h. Tidak sensitif terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten terhdap penicillin. i. Menghasilkan 2 macam toksin, antara lain : 1) Toksin tidak tahan panas (Heat Labile Toxin). 2) Endotoksin (lipopolisakarida). j. Melekat ke epitel pernafasan melalui hemaglutinasi filamentosa dan adhesin yang dinamakan pertaktin. k. Menghasilkan beberapa antigen , antara lain : 1) Toksin Pertusis (PT). 2) Filamentous hemagglutinin (FHA). 3) Pertactine 69-kDa OMP 4) Aglutinogen fimbriae 5) Adenylcyclase 6) Endotoksin (pertusis lipopolysaccharide) 7) Tracheal cytotoxin l. Dapat dibiakkan ke media pembenihan yang disebut berdet gengou (potato-blood-glycerol) yang diberi penisilin G 0,5 mikrogram/ml untuk menghambat pertumbuhan organisme lain. Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis : a. Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor, Islet activating protein (IAP). b.



Adenilat siklase luarsel.



c. Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxinHA). d. Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).



4



Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bordetella Pertusis seperti Bordete. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama karena manusia merupaka satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa disebut a mild pertussis-like illness dapat disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica (jarang pada manusia karena merupakan patogen yang lazim pada binatangkucing dan binatang pengerat, kecuali pada manusia dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada infeksi Adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, Parainfluenza virus atau Influenza virus, Enterovirus dan Mycoplasma. 3. Tetanus Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Kuman ini banyak terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi, kuda, dan lainlain sehingga luka yang tercemar dengan kotoran hewan sangat berbahaya bila kemasukan kuman tetanus. Tusukan pada paku yang berkarat sering juga membawa Clostridium tetani ke dalam luka lalu berkembang biak. Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama tetanus neonatorum. Bayi yang baru lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat pemotongnya kurang bersih dapat juga kemasukan tetanus. Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin : tetanospasmi dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 650C akan hancur dalam lima menit. Di daerah pertanian, jumlah yang signifikan pada manusia dewasa mungkin mengandung organisme ini. Spora juga dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi. Spora ini akan menjadi bentuk



5



aktif kembali ketika masuk ke dalam luka dan kemudian berproliferasi jika potensial reduksi jaringan rendah. Spora ini sulit diwarnai dengan pewarnaan gram, dan dapat bertahan hidup bertahun – tahun jika tidak terkena sinar matahari. Bentuk vegetatif ini akan mudah mati dengan pemanasan 120 oC selama 15 – 20 menit tapi dapat betahan hidup terhadap antiseptik fenol, kresol. Fungsi tetanolisin belum diketahui secara pasti, namun diketahui dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang sehat pada luka terinfeksi, menurunkan potensial reduksi dan meningkatkan pertumbuhan organisme anaerob. Tetanolisin ini diketahui dapat merusak membran sel lebih dari satu mekanisme. Tetanospasmin (toksin spasmogenik) ini merupakan neurotoksin potensial yang menyebabkan penyakit. Tetanospasmin merupakan suatu toksin yang poten yang dikenal berdasarkan beratnya. Toksin ini disintesis sebagai suatu rantai tunggal asam amino polipeptida 151-kD 1315 yang dikodekan pada plsmid 75 kb. Tetanospasmin ini mempengaruhi pembentukan dan pengeluaran neurotransmiter glisin dan GABA pada terminal inhibisi daerah presinaps sehingga pelepasan neurotransmiter inhibisi dihambat dan menyebabkan relaksasi otot terhambat. Batas dosis terkecil tetanospasmin yang dapat menyebabkan kematian pada manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk manusiadengan berat badan 75 kg. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin) yang mula-mula menyebabkan kejang otot dan syaraf perifer setempat. Timbulnya tetanus ini terutama oleh Clostridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. B. MASA INKUBASI DAN PENULARAN DPT 1. Difteri Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui:



6



a. Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan oleh penderita ketika batuk atau bersin. b. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue/ sapu tangan atau gelas bekas minum penderita atau menyentuh luka penderita. c. Barang rumah tangga, penularan dapat terjadi melalui berbagai barang rumah tangga yang dipakai bersamaan seperti handuk atau mainan. 2. Pertusis Masa inkubasi pertusis 6 - 20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7 - 10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorax mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag. 3. Tetanus Masa inkubasi berkisar dari 2 hari sampai sebulan, dengan sebagian besar (rata-rata) kasus terjadi dalam 14 hari. Pada neonatus, masa inkubasi biasanya 5-14 hari. Secara umum, periode inkubasi pendek berhubungan dengan terkontaminasi luka, penyakit lebih parah, dan prognosis yang buruk. Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Semakin pendek masa inkubasi, semakin tinggi peluang kematian, biasanya kurang dari 72 jam. Dalam gejala tetanus neonatorum, biasanya muncul 4-14 hari setelah kelahiran, rata-rata sekitar 7 hari. C. Gejala dan Tanda Penyakit serta Diagnosis 1. Difteri a. Gejala Gejala penyakit ini mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi. Tanda pertama dari difteri adalah sakit tenggorokan, demam dan gejala yang menyerupai pilek biasa. Bakteri akan berkembang biak dalam tubuh dan



7



melepaskan toksin (racun) yang dapat menyebar ke seluruh tubuh dan membuat penderita menjadi sangat lemah dan sakit.Gejala-gejala lain yang muncul, antara lain: 1) Menelan sakit, batuk keras dan suara menjadi parau 2) Mual dan muntah-muntah 3) Demam, menggigil dan sakit kepala 4) Denyut jantung meningkat 5) Terbentuk selaput/membran yang tebal, berbintik, berwarna hijau kecoklatan atau keabu-abuan di kerongkongan sehingga sukar sekali untuk menelan dan terasa sakit. 6) Bila difteri bertambah parah, tenggorokan menjadi bengkak sehingga menyebabkan penderita menjadi sesak nafas, bahkan yang lebih membahayakan lagi, dapat pula menutup sama sekali jalan pernafasan. 7) Kelenjar akan membesar dan nyeri di sekitar leher. 8) Kadang-kadang telinga menjadi terasa sakit akibat peradangan 9) Penyakit difteri dapat pula menyebabkan radang pembungkus jantung sehingga penderita dapat meninggal secara mendadak. Gejala-gejala ini disebabkan oleh racun yang dihasilkan oleh kuman difteri. Jika tidak diobati, racun yang dihasilkan oleh kuman ini dapat menyebabkan reaksi peradangan pada jaringan saluran napas bagian atas sehingga sel-sel jaringan dapat mati. Sel-sel jaringan yang mati bersama dengan sel-sel radang membentuk suatu membran atau lapisan yang dapat menggangu masuknya udara pernapasan. Membran atau lapisan ini berwarna abu-abu kecoklatan, dan biasanya dapat terlihat. Gejalanya anak menjadi sulit bernapas. Jika lapisan terus terbentuk dan menutup saluran napas yang lebih bawah akan menyebabkan anak tidak dapat bernapas. Akibatnya sangat fatal karena dapat menimbulkan kematian jika tidak ditangani dengan segera. Racun yang sama juga dapat menimbulkan komplikasi pada jantung dan susunan saraf, biasanya terjadi setelah 2-4 minggu terinfeksi dengan kuman difteri. Kematian juga sering terjadi karena jantung menjadi rusak.



8



Serangan berbahaya pada periode inkubasi 1 sampai dengan 5 hari, jarang ditemui lebih lama. Dapat menyebabkan infeksi nasopharynx yang menyebabkan kesulitan bernapas dan kematian. Penyebab utamanya adalah radang pada membran saluran pernapasan bagian atas, biasanya pharynx tetapi kadangkadang posterior



nasal



passages, larynx dan trakea,



ditambah



kerusakan



menyeluruh ke seluruh organ termasuk myocardium, sistem saraf, ginjal yang disebabkan eksotosin (Plotkins) organisme. Ketika difteri menyerang tenggorokan dan tonsil, gejala awalnya adalah radang tenggorokan, kehilangan nafsu makan dan demam. Dalam waktu 2-3 hari, lapisan putih atau aba-abu ditemukan di tenggorokan atau tonsil. Lapisan ini menempel pada langit-langit dari tenggorokan dan dapat berdarah. Jika terdapat pendarahan, lapisan berubah menjai aba-abu kehijauan atau hitam. Penderita difteri biasanya tidak demam panas tapi dapat sakit leher dan sesak napas. b. Diagnosis Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat di percaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Adanya membran di tenggorok tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran, tetapi membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa dibawahnya. Bila diangkat terjadi pendarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula. Diagnosa banding Pada difteri nasal perdarahan yang timbul harus dibedakan dengan perdarahan akibat luka dalam hidung,korpus alienium atau sifilis kongenital. a. Tonsilitis folikularis atau lakunaris Terutama bila membran masih berupa bintik-bintik putih. Anak harus dianggap sebagai penderita difteri bila panas tidak terlalu tinggi tetapi anak tampak lemah dan terdapat membran putih kelabu dan mudah berdarah bila diangkat. Tonsilitis lakunaris biasanya disertai panas yang tinggi sedangkan anak



9



tampak tidak terlampau lemah, faring dan tonsil tampak hiperimis dengan membran putih kekuningan, rapuh dan lembek, tidak mudah berdarah dan hanya terdapat pada tonsil saja. b. Angina plaut vincent Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau dan tidak mudah berdarah. Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fisiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif). c. Infeksi tenggorok oleh mononukleosus infeksiosa Terdapat kelainan ulkus membranosa yang btidak mudah berdarah dan disertai pembengkakan kelenjar umum. Khas pada penyakit ini terdapat peningkatan monosit dalam darah tepi. d. Blood dyscrasia (misal agranulositosis dan leukemia) Mungkin pula ditemukan ulkus membranusa pada faring dan tonsil. Difteri laring harus dibedakan dengan laringitis akuta, laringotrakeitis, laringitis membranosa (dengan membran rapuh yang tidak berdarah) atau benda asing pada laring, yang semuanya akan memberikan gejala stridor inspirasi dan sesak. 2. Pertusis a. Gejala Penyakit ini cukup parah bila diderita anak balita, bahkan dapat berakibat kematian pada anak usia kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak tiba-tiba batuk keras secara terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan, keluar air mata dan kadang-kadang sampai muntah. Karena batuk yang sangat keras, mungkin akan disertai dengan keluarnya sedikit darah. Batuk akan berhenti setelah ada suara melengking pada waktu menarik nafas, kemudian akan tampak letih dengan wajah yang lesu. Batuk semacam ini terutama terjadi pada malam hari. Bila penyakit ini diderita oleh seorang bayi, terutama yang baru berumur beberapa bulan, akan merupakan keadaan yang sangat berat dan dapat berakhir dengan kematian akibat suatu komplikasi. Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :



10



1. Stadium kataralis lamanya 1 – 2 minggu Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan terjadi serangan dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan anoreksia. Stadium ini menyerupai influenza. 2. Stadium spasmodik lamanya 2 – 4 minggu Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat, pembuluh darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya hingga penderita tampak gelisah. Gejala – gejala masa inkubasi 5 – 10 hari. Pada awalnya anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena flu biasa dengan hidung mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan. Batuk inilah yang kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan semakin panjang dan seringkali berakhir dengan suara seperti orang menarik nafas (melengking). Anak akan berubah menjadi biru karena tidak mendapatkan oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-muntah dan kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari. Selama masa penyembuhan, batuk akan berkurang secara bertahap. 3. Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu makan pun timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium spasmodik mulai menghilang. Infaksi semacam “Common Cold” dapat menimbulkan serangan batuk lagi. b. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisis tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila



11



penderita datang pada stadium spasmodik, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold. Tes Diagnostik a. Pemeriksaan sputum b. Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis c. ELISA Elisa dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgMFHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis. d. Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut selama stadium 1 (catarrhal) dan stadium 2 (paroxysmal). e. Didapatkan antibodi (IgG terhadap toksin pertusis) f. Diagnosis pasti dengan ditemukannya organisme Bordetella pertussis pada apus nasofaring posterior (bahan media Bordet-Gengou). g. Polymerase chain reaction ( PCR ) assay memiliki keuntungan sensitivitasnya lebih tinggi daripada kultur pertusis konvensional. h. Foto toraks Infiltrat



perihiler



interstitial edema)



(perihilar dengan



bervariasi, mild peribronchial



infiltrates), edema



berbagai cuffing,



tingkat atau



(atau mild



atelektasis



empiema.



yang



Konsolidasi



(consolidation) merupakan indikasi adanya infeksi bakteri sekunder atau pertussis



pneumonia



(jarang).



Adakalanya



pneumothorax,



pneumomediastinum, atau udara di jaringan yang lunak dapat terlihat. Radiography tidak



diindikasikan



pada



pasien



dengan



tanda-tanda



vital (vital signs) yang normal. Vital signs ini meliputi: tekanan darah, nadi, heart rate, respiration rate, dan suhu tubuh.



12



3. Tetanus a. Gejala Gejala tetanus yang khas adalah kejang, dan kaku secara menyeluruh, otot dinding perut yang teraba keras dan tegang seperti papan, mulut kaku dan sukar dibuka. Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga tahap, yaitu: 1) Tahap awal Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus masih berlangsung. 2) Tahap kedua Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus). Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus), karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut. Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan tertarik ke belakang. (Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka. Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan dari langit-langit mulut menjadi terbatas. 3) Tahap ketiga Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula



13



karena adanya rangsangan dari luar. Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi yang lebih sering. Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni: 1) Localited tetanus ( Tetanus Lokal) Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. 2) Cephalic Tetanus Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), Luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung. 3) Generalized Tetanus (Tetanus umum) Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diamdiam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40’ C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak



14



stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis. 4) Neonatal Tetanus Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus. b. Diagnosis Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan : 1) Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi. 2) Gejala klinis. 3) Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi. Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien sewaktu istirahat, berupa : 1) Gejala klinik 2) Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus sardonicus ( sardonic smile ). 3) Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan. 4) Kultur: C. tetani (+). 5) Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pasca pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai spesifik, leukosit dapat normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium tetani. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadangkadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan



15



elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik. Diagnosa Banding 1. Meningitis Bakterial Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal fungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun. 2. Poliomielitis Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan leukositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat. 3. Rabies Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat kronik. 4. Keracunan strichnine Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum. 5. Tetani Timbul karenahipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus. 6. Retropharingeal abses Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada. 7. Tonsilitis berat Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada. 8. Efek samping fenotiasin Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelaianan berupa sindrom ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis, dan kekakuan otot. 9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis leher dan spondilitis leher.



16



D. Transmisi DPT 1. Difteri Penularan penyakit difteri terjadi melalui tetes udara yang dikeluarkan penderita ketika batuk atau bersin. Penularan juga dapat terjadi melalui tissue atau sapu tangan atau gelas bekas minum penderita atau menyentuh luka penderita. a. Bersin : Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut. b. Kontaminasi barang pribadi : Penularan difteri bisa berasal dari barangbarang pribadi seperti gelas yang belum dicuci. c. Barang rumah tangga : Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan. Selain itu, kita dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun. 2. Pertusis Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yg terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yg tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yang kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut. Masa penularan terjadi sejak permulaan penyakit sampai 3 minggu berikutnya. Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam



waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan



tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak.



17



3. Tetanus Tetanus tidak ditularkan dari orang ke orang. Luka, baik besar ataupun kecil,



menjadi



jalan



masuknya



bakteri



menyebab



tetanus (Clostridium



tetani), sekaligus menjadi tempat berkembang dan menghasilkan racun. Tetanus dapat mengikuti operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka menghancurkan, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan kehamilan. Pengguna heroin, terutama mereka yang menggunakan jarum suntik secara subkutan dengan kina-potong heroin, berisiko tinggi terkena tetanus. Kina digunakan untuk mencairkan heroin dan benar-benar dapat mendukung pertumbuhan bakteri Clostridium tetani. Selama 1998-2000, cedera akut atau luka seperti tusukan, laserasi, dan lecet menyumbang 73% dari kasus dilaporkan tetanus pada rakyat AS yang bekerja di bidang yang mempunyai risiko untuk tertusuk, luka, dan lecet. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Spora tetanus masuk ke dalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah, debu jalanan, tinja hewan atau manusia. Spora dapat juga masuk melalui luka bakar atau luka lain yg sepele atau tidak dihiraukan, juga dapat melalui injeksi dari jarum suntik yang tercemar yang dilakukan oleh penyuntik liar. Tetanus kadang kala sebagai kejadian ikutan pasca pembedahan termasuk setelah sirkumsisi. Adanya jaringan nekrotik atau benda asing dalam tubuh manusia mempermudah pertumbuhan bakteri anaerobik. E. Riwayat Alamiah Penyakit Difteri DPT 1. Difteri a. Tahap Prepatogenesis Kuman Corynebacterium diphtheriae, suatu bakteri gram positif yang berbentuk polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora adalah penyebab difteri. Gejala utama dari penyakit difteri yaitu adanya bentukan pseudomembran yang merupakan hasil kerja dari kuman ini. Pseudomembran sendiri merupakan lapisan tipis berwarna putih keabu abuan yang timbul terutama di daerah mukosa hidung, mulut sampai tenggorokan. Disamping menghasilkan pseudomembran, kuman ini juga menghasilkan sebuah racun yang disebut eksotoxin yang sangat berbahaya karena menyerang otot jantung, ginjal dan jaringan syaraf. Timbulnya



18



lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya. b. Tahap Patogenesis 1) Tahap Inkubasi Tahap inkubasi merupakan tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh manusia yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. c. Tahap Dini Gejala penyakit difteri ini adalah : 1) Panas lebih dari 38 °C 2) Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil 3) Sakit waktu menelan 4) Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher d. Tahap Lanjut Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan selaputlendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan kepita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau bendamaupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masukdalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan



19



menyebarmelalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan



dan



tungkai,



sehingga



terjadi



kelemahan



pada



lengan



dan



tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit. e. Tahap Pasca pathogenesis/Tahap Akhir Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat. Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi. Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika ( penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, tetrasiklin ). 2. Pertusis a. Tahap Prepatogenesis Pertusis (batuk rejan, whooping cough) adalah infeksi bakteri pada saluran pernafasan yang sangat menular dan menyebabkan batuk yang biasanya diakhiri dengan suara pernafasan dalam bernada tinggi (melengking). Pertusis adalah penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella



pertussis,



bakteri



gram-negatif



berbentuk



kokobasilus.



Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik



20



dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas. Sampai saat ini manusia dikenal sebagai satu-satunya tuan rumah dan penularannya melalui udara secara kontak langsung dari droplet penderita selama batuk. Pertusis menular melalui droplet batuk dari pasien yang terkena penyakit ini dan kemudian terhirup oleh orang sehat yang tidak mempunyai kekebalan tubuh, antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yg mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (sampai pada stadium catarrhal) sesudah stadium catarrhal antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit ini, antibiotik juga diberikan pada orang yang kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat tersebut. b. Tahap Patogenesis Tahap inkubasi Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan: 1) Tahap kataral Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi) ciri-cirinya menyerupai flu ringan: a) Bersin-bersin b) Mata berair c) Nafsu makan berkurang d) Lesi e) Batuk (pada awalnya hanya timbul di malarn hari kemudian terjadi sepanjang hari). 2) Tahap paroksismal Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala awal)



5-15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam



21



dengan pada tinggi. Setelah beberapa kali batuk kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi. 3) Tahap konvalesen Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. c. Tahap Dini Biasanya pertusis mulai seperti pilek dengan ingus, kecapaian dan adakalanya demam ringan. Kemudian timbulnya batuk, biasanya bertubi-buti, diikuti dengan rejan. Adakalanya orang muntah setelah batuk. Pertusis parah sekali bagi anak kecil, yang membiru atau berhenti bernapas sewaktu batuk dan mungkin harus dibawa ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mengalami penyakit yang lebih ringan dengan batuk yang berkelanjutan selama berminggu-minggu, tanpa memperhatikan perawatan. d. Tahap Lanjut Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme pathogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan local dan akhirnya



timbul



penyakit



sistemik.



Filamentous



Hemaglutinin



(FHA),



Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/ Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke seluruh



22



permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough.Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyaiu 2 subunit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi. Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk lifosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah. Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukosa pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus ). Penumpukan mucus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis. 3. Tetanus a. Masa inkubasi dan klinis Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa minggu ). Berat ringannya penyakit juga tergantung pada lamanya



23



masa inkubasi, makin pendek masa inkubasi biasanya prognosa makin jelek. Karakteristik/gejalan klinis tetanus: 1) Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari. 2) Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya. 3) Setelah 2 minggu kejang mulai hilang. 4) Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher. 5) Timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot masetter. 6) Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus , nuchal rigidity). 7) Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat. 8) Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai. 9) Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. 10) Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Tetanus tidak bisa segera terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat.Pernafasan juga dapat terhenti karena kejang otot, sehingga beresiko menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan penderita tidak dapat menelan. Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :



24



1) Tetanus Lokal (Localited Tetanus) Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin. Hanya sekitar 1% dari kasus yang fatal. 2) Cephalic Tetanus Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media (infeksi telinga) kronik , seperti dilaporkan di India, luka pada daerah muka dan kepala. Terisolasi atau dikombinasikan disfungsi dari salah satu saraf kranial dapat terjadi, tetapi keterlibatan dari saraf kranial ketujuh adalah yang paling umum. 3) Tetanus Umum (Generalized Tetanus) Bentuk ini yang paling banyak dikenal (80%). Trismus atau kejang mulut merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi bisa mencapai 2-40C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia,



penderita



biasanya



meninggal.



Diagnosa



ditegakkan



hanya



berdasarkan gejala klinis. Udara dingin, kebisingan, lampu (cahaya) serta gerakan pasien dapat memicu kejang paroksismal. Kejang dapat terjadi sering dan berlangsung selama



25



beberapa menit. Kejang dapat terus berlanjut selama 3-4 minggu. Kadang-kadang, pasien dengan tetanus umum menampilkan manifestasi otonom yang menyulitkan perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa pasien. Overactivity sistem saraf simpatik lebih sering ditemui pada pasien usia lanjut atau pecandu narkotika dengan tetanus. Overaktivitas otonom dapat mengakibatkan fluktuasi yang luas pada tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi sampai hipotensi, serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung. 4) Neonatal tetanus (tetanus neonatorum) Neonatal tetanus (tetanus neonatorum) adalah bentuk tetanus umum, biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981 ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %). Neonatal tetanus



merupakan kejadian umum di beberapa negara



berkembang (diperkirakan lebih dari 257.000 kematian tahunan di seluruh dunia pada 2000-2003). Namun sangat jarang di Amerika Serikat. Neonatus muncul seminggu setelah kelahiran dengan demam, muntah dan kejang. Diferensial diagnosis termasuk sepsis dan meningitis. Penyebabnya biasanya kebersihan selama prosese persalinan yang kurang. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi ibu, yang diberikan selama kehamilan. a. Masa laten dan periode infeksi Tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus dicegah dengan vaksin penyakit yang menular, DTP (difteri, tetanus, and pertusis), tapi tidak menular. Luka, baik besar maupun kecil, adalah jalan bakteri Clostridium tetani masuk ke



26



dalam tubuh. Tetanus dapat disebabkan oleh luka bakar, luka tusuk yang dalam, otitis media, infeksi gigi, gigitan hewan, aborsi, dan persalinan yang tidak steril. Tetanus tidak mempunyai periode infeksius karena tetanus tidak menular dari orang ke orang. Tetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, tapi tidak menular. F. PENGOBATAN 1. Difteri Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. Diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. a. Pengobatan Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu. Pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier. b. Pengobatan Khusus 1) Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS) Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. 2) Antibiotik Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk



membunuh



bakteri



dan



menghentikan



produksi



toksin.



Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.



27



3) Kortikosteroid Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala. c. Pengobatan Penyulit Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 1) Pengobatan Kontak Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria. 2) Pengobatan Karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral / suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi / adenoidektomi. 2. Pertusis 1) Antibiotika a) Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda. b) Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. c) lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.



28



2) Imunoglobulin Belum ada penyesuaian paham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis. 3) Ekspektoransia dan mukolitik 4) Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. 5) Luminal sebagai sedative. 6) Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. 7) Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi 8) Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop. 3. Tetanus a. Antibiotika Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secara IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan b. Antitoksin Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berasal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1 fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan



29



dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar. c. Tetanus Toksoid Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. d. Antikonvulsan Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan sedasi / muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Bila dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun. Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan ( setelah kejang terkontrol ) adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan tiap 3 jam ). Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari ( dosis maintenance ). Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat, dan ini dipertahan selama 2-3 hari , dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap, yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap, hal ini dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti kejang lainnya harus dilakukan



30



G. PERKEMBANGAN DPT DI INDONESIA 1. Difteri Rendahnya kesadaran mengenai imunisasi dan takut akan efek samping vaksin membuat masyarakat Indonesia rentan tertular penyakit difteri. Keengganan mengikuti imunisasi tersebut menyebabkan bahaya transmisi difteri terus ada di Indonesia. Dulu, jarang sekali ditemui kasus difteri, sekarang sudah 22 provinsi di Indonesia yang menjadi wilayah endemis difteri. Banyak warga tidak ingin anaknya divaksinasi karena imunisasi difteri umumnya menyebabkan anak mengalami demam. Padahal demam adalah reaksi wajar tubuh terhadap vaksinasi tersebut. Contoh kecenderungan kasus Diphteri selalu naik di Jawa Timur dari tahun ke tahun. Tahun 2003 (5 kasus), tahun 2004 (15 kasus), tahun 2005 (33kasus), tahun 2006 (43 kasus), tahun 2007 (86 kasus), tahun 2008 (77 kasus 11 kematian), tahun 2009 ( 140 kasus /8 kematian), tahun 2010 (304 kasus/21 kematian) dan s/d 9 Oktober 2011 ( 333 kasus / 11kematian) Penyebaran kasus Diphteri cederung meluas dari tahun ke tahun di Jawa Timur. Tahun 2003 (3 Kab/Ko), tahun 2004 (9 kab/Ko), tahun 2005 (15 Kab/Ko), tahun 2006 (17 Kab/Ko), tahun 2007 (17 Kab/Ko), tahun 2008 ( 20 Kab/Ko), tahun 2009 ( 24 Kb/Ko), tahun 2010 (31Kab/Kota) dan sampai dengan 9 Oktober 2011 ( 34 Kab/Ko ) CFR Diphteri masih tinggi (7%), bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 50%.74% kasus Diphteri di Jatim terjadi pada kelompok umur Balita & anak KLB Diphteri yang terus meningkat dari tahun ke tahun di Jawa Timur membutuhkan penanganan yang baik, serius dan benar pada semua kejadian. Diharapkan dengan penanganan yang baik, serius dan benar maka KLB dapat ditanggulangi dan dicegah. Selain kesadaran masyarakat yang rendah, Indonesia juga mengalami kesulitan dalam hal fasilitas penyimpanan vaksin. Indonesia mengalami masalah gangguan cold chain atau rantai dingin, sebagian besar pendingin di Indonesia sudah berusia di atas 15 tahun, padahal rantai dingin penting untuk memelihara vaksin agar tetap pada suhu tertentu.



31



2. Pertusis Menurut survei yang dilakukan Depkes Medan, dikota Medan pertusis sering terjadi pada anak, sebanyak 56 balita yang terserang penyakit pertusis. Sedangkan di Kabupaten Deli Serdang, didapatkan kasus pertusis sekitar 250 kasus yang didata dari rumah sakit yang ada Kab. Deli Serdang, sebanyak 78 balita yang terserang penyakit pertusis. Yang diakibatkan oleh lambatnya orang tua dari anak untuk berobat kerumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan terdekat. Sebelum era imunisasi pertusis, sekitar 260.000 kasus pertusis yang tercatatsetiap tahunnya dengan angka kematian mencapai 9000 jiwa. Pertusis di Indonesia kasusnya menurun drastis dari 30.000 kasus pada 1990, menjadi 1.941 kasus pada 2011 setelah dilakukan program imunisasi. Data ini dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan mengacu pada program imunisasi. Jika imunisasi DPT sudah menjangkau semua balita, sepertinya tingkat keberhasilannya bisa mencapai 100% seperti di Amerika dan tak ada lagi pertusis di Indonesia. Sebelum era imunisasi, pertusis dikenal sebagai penyakit yang berat pada masa kanak-kanak dan dapat menginfeksi hingga 95% populasi. Penyakit ini jarang ditemui pada populasi dewasa. Sebuah studi terhadap lebih dari dua puluh ribu subjek menunjukkan bahwa kasus sekunder atau reinfeksi hanya terjadi pada 0,26% kasus. Oleh sebab itu, mulanya dipercaya bahwa infeksi pertusis dapat memberikan proteksi seumur hidup bagi penderitanya. Namun demikian, studi yang dilakukan sesudahnya menunjukkan bahwa 33% subjek studi yang memiliki riwayat infeksi pertusis mengalami infeksi ulang semasa hidupnya, baik asimtomatik maupun simtomatik. Tingginya angka tersebut membuktikan bahwa imunitas terhadap infeksi pertusis tidak bersifat protektif seumur hidup. 3. Tetanus Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah. Lihat saja data organisasi kesehatan dunia WHO yang menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju .



32



Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari penyakit tetanus masih tinggi. Tetanus adalah salah satu penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Tetanus yang menyerang bayi usia di bawah satu bulan, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum yang disebabkan oleh basil Clostridium Tetani. Penyakit ini menular dan menyebabkan resiko kematian sangat tinggi. Bisa dikatakan, seratus persen bayi yang lahir terkena tetanus akan mengalami kematian. Tetanus



neonatorum



menyebabkan



50%



kematian



perinatal



dan



menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 59 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok > 10 tahun, dan sisanya pada bayi < 12 bulan. Angka kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Kasus tetanus neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 1997 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan target Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup. Di Jawa Tengah, jumlah kasus tetanus neonatorum pada tahun 2008 sebanyak 10 kasus yang tersebar di 4 kabupaten atau kota yaitu Kabupaten Cilacap, Kabupaten Blora, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Brebes. Sedangkan 31 kabupaten atau kota lainnya tidak ada kasus. Kasus tertinggi adalah di Kabupaten Brebes sebanyak 7 kasus, sedang 3 kabupaten lain masing-masing 1 kasus. Dari sejumlah kasus, tetanus pada bayi baru lahir memiliki angka yang sangat signifikan. Pada umumnya kasus itu, penggunaan gunting yang kotor dan berkarat oleh para bidan atau dukun bayi saat memotong tali pusar bayi adalah penyebabnya. Bayangkan, 60 persen persalinan di Indonesia masih dilakukan oleh dukun bayi yang tidak terlatih. Di Indonsia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan pemberian



33



imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan.Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan. 4. Imunisasi DPT Imunisasi DPT (difteri-pertusis-tetanus) adalah salah satu imunisasi yang wajib diberikan kepada anak. Namun, pemberian imunisasi DPT seringkali merupakan kejadian yang menakutkan bagi orangtua, karena biasanya setelah vaksinasi anak akan mengalami demam. Dalam Lunch Symposium yang diselengggarakan pada 3 Juli 2002 di Bali, dipresentasikan suatu revolusi dalam perkembangan vaksin DPT. Revolusi ini dilakukan oleh GSK (GlaxoSmithKline) yang sudah sejak lama dikenal sebagai pelopor perkembangan vaksin di Indonesia, dengan memproduksi vaksin pertusis aseluler (DPaT) pertama di Indonesia, yaitu Infanrix. Dengan komponen pertusis aseluler, vaksin ini mengandung ekstrak protein dengan tingkat kemurnian tinggi dari tiga antigen pertusis B yang menciptakan respons imun yang kuat dan tingkat efikasi yang sama atau lebih tinggi daripada vaksin pertusis dari sel utuh. Awal pengembangan vaksin pertusis aseluler, menurut Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Ketua Immunization Committee of Indonesia Society of Pediatrician dan staf pengajar di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, terjadi karena vaksin DPT yang ada saat ini adalah vaksin DPwT. Vaksin ini mengandung satu sel pertusis yang utuh (whole) yang menyebabkan adanya reaktogenisitas yang tinggi. Reaktogenisitas inilah yang menimbulkan demam tinggi, bayi menangis lebih lama, kejang, dan reaksi lokal seperti pembengkakan pada lokasi suntikan. Vaksin pertusis aseluler memiliki keunggulan berupa reaktogenisitas yang lebih rendah dibandingkan vaksin konvensional. Efikasi vaksin pertusis aselular dibandingkan dengan vaksin pertusis yang ada saat ini telah diteliti oleh sejumlah peneliti. Penelitian di Italia yang mempelajari 15.000 bayi yang diberikan 3 komponen vaksin pertusis aselular



34



melaporkan bahwa efek proteksi vaksin pertusis aselular sebesar 88,7%. Selain itu, imunogenisitas vaksin pertusis aselular ekuivalen dengan vaksin DPwT, baik untuk vaksinasi primer maupun booster dengan reaksi samping yang lebih rendah, Salah satu revolusi lain adalah pengembangan vaksin kombinasi. Imunisasi wajib yang harus diterima oleh para balita jenisnya cukup banyak. Kadang hal ini juga menimbulkan kesulitan, terutama dalam pengaturan jadwal vaksinasi. Karena banyaknya vaksinasi yang tumpang tindih dan membuat bayi harus berulang kali disuntik, orangtua sering enggan untuk membawa bayinya datang tepat waktu. Dr. Hans L. Bock, M.D., mengungkapkan bahwa dengan meningkatnya jumlah vaksin anak-anak maka vaksin kombinasi mulai diterima sebagai salah satu upaya yang paling praktis dan cost-effective demi tercapainya tujuan imunisasi. Karena itu, pada 1992 WHO merekomendasikan pengembangan vaksin kombinasi DPT-HBV (hepatitis B). Pada 1998, dengan masuknya vaksinasi HiB dalam vaksinasi anjuran, memberi peluang bagi pengembangan vaksin kombinasi pentavalen, yaitu DPwT-HBV/HiB yang terbukti cukup aman dan efektif. Tetapi, dengan meningkatnya keprihatinan atas efek samping DPwT maka lagi-lagi vaksin pertusis aselular (DPaT) menjadi pilihan yang terbaik. Ditambah lagi, DPaT di beberapa negara sudah dapat dikombinasikan. Selain dengan HBV dan HiB, juga dengan vaksin polio injeksi. H. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DPT 1. Difteri Penyebab suatu penyakit merupakan unsur yang keberadaannya jika terus menerus terjadi kontak dengan manusia rentan dalam keadaan memungkinkan akan menimbulkan suatu penyakit. a. Faktor Host Menurut teori Achmadi, faktor host pada timbulnya suatu penyakit sangat luas. Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor lingkungan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang



diukur



sebagai



perilaku



pemajanan.



Faktor



host



yang



mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis



35



kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku. 1) Umur Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut sejarah difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak, populasi yang dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit difteri antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun. Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut data CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%) berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus difteri pada anak-anak menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja dan dewasa.



2) Status Imunisasi Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat berpengaruh pada timbulnya suatu penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh seseorang ada yang didapatkan secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan bersifat tahan lama. Imunitas alamiah pasif adalah imunitas yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk melalui plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang



36



bersifat aktif yaitu jika host telah mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma globulin dan berlangsung hanya 4-5 minggu. Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi. Pemberian imunisasi pada sebagian besar komunitas akan menurunkan penularan penyebab penyakit dan mengurangi peluang kelompok rentan untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang rentan terhadap penyakit tersebut. Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat mempengaruhi



timbulnya



penyakit



di



masyarakat,



dengan



terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur ratarata kejadian infeksi ke umur yang lebih tua. 3) Faktor status gizi dan sosial ekonomi Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi besar dalam penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan hunian dan rendahnya hygiene sanitasi. Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan penyakit infeksi. Pasa satu sisi penyakit infeksi menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi berkurang, sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi, hingga anak dalam malnutrisi marginal menjadi lebih buruk keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit. Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare.



37



4) Faktor Perilaku Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan atau penyebaran penyakit difteri adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan bergantian. b. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada lingkungan fisik biologi, sosial dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya tersebut. 2. Pertusis Tidak ada batasan untuk penyakit ini, siapa saja berisiko terkena pertusis. Namun ada kriteria orang dengan resiko tinggi seperti: a. Orang yang tinggal serumah dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit akibat penularan yang cepat melalui droplet yang dihasilkan saat penderita batuk. b. Bayi premature, karena sistem imunnya masih sangat lemah sehingga sangat rentan terkena penyaki. Usia yang paling rentan terkena penyakit pertusis adalah anak dibawah usia 5 tahun, c. Pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru, otot atau neuromuscular berisiko tinggi menderita pertusis dan komplikasinya d. Oraang yang tidak menerima vaksin secara lengkap atau bahkan tidak pernah menerima vaksinasi pada saat kanak-kanak e. Paling banyak terdapat pada tempat yang padat penduduknya



38



3. Tetanus a. Tetanus beresiko terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dewasa muda dan orang tua yang tidak mendapatkan immunisasi atau dapat imunisasi yang didapat tidak adekuat. b. Pengguna obat-obat dengan infeksi. c. Terjadi banyak pencemaran lingkungan. d. Perempuan dapat terkena tetanus setiap saat, terutama beresiko waktu melahirkan jika mereka melahirkan di lingkungan rumah dengan alatalat yang tidak steril atau proses kelahiran dibantu oleh dukun melahirkan. e. Bayi-bayi beresiko untuk terkena tetanus kalau alat-alat yang tidak steril dipakai untuk memotong tali pusar atau kalau ramuan-ramuan atau abu dipakai untuk menutup luka potongan tali pusar, seperti kebanyakan praktek-praktek tradisi di beberapa tempat di Indonesia. f. Imunitas yang menurun. g. Luka akibat benda berkarat. h. Umur Angka mortalitas tertinggi ditemukan pada pasien di ujung kehidupan (awal atau akhir). Pada neonatus kasus fatal terjadi pada 66% kasus tetanus pada kelompok umur tersebut dan untuk pasien dengan umur 50 tahun ke atas sekitar 70%. Kontrasnya, untuk pasien umur 10-19 tahun, angka kasus yang fatal hanya 10% hingga 20%. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Reaksi setelah penyuntikan DPT bervariasi dari ringan sampai berat namun tidak seberat jika menderita penyakit tersebut. a. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) ringan (sering): Demam (1 dari 4 anak), merah dan bengkak di tempat suntikan (1 dari 4 anak), nyeri dan perih di tempat suntikan (1 dari 4 anak), rewel (1 dari 3 anak), tidak nafsu makan (1 dari 10 anak), muntah (1 dari 50 anak).Gejala dapat menghilang 1-7 hari. b. KIPI sedang (Jarang) : Kejang (1 dari 14.000 anak), menangis lebih dari 3 jam (1 dari 1000 anak), demam >40.5’C (1 dari 16.000 anak)



39



c.



KIPI berat (sangat jarang) : Reaksi alergi berat, Kerusakan otak yang permanen (1 dari sekian juta anak, sulit untuk dipertimbangkan sebagai efek samping dari vaksin karena kejadiannya yang sangat jarang).



Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Status Imunisasi Menurut Muamalah (2006) , faktor - faktor yang berhubungan dengan perilaku kesehatan, yaitu : a.



Faktor-faktor predisposisi ( Predisposing Factor ) meliputi pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar, tingkat pendidikan, sikap dan ibu bekerja.



b.



Faktor pemungkin ( Enabling Factor ) Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti puskesmas, posyandu, dan kelengkapan alat imunisasi.



c.



Faktor-Faktor Penguat ( Reinforcing Factor ) Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat ( toma ), tokoh agama ( toga ), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.



d.



Keaktifan petugas dalam memotivasi.



e.



Kedisiplinan petugas imunisasi



I. Pencegahan DPT 1. Difteri Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri,tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi. Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap. Keberadaan sumber penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih besar



40



daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor



yang



paling



dominan



dalam



mempengaruhi



terjadinya



difteri



(Kartono,2008). Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasiaktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.



41



Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest: 2-3minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir. Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus ) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1. 2. Pertusis Cara



terbaik



untuk



mengontrol



penyakit



ini



adalah



dengan



imunisasi.Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif. 1) Imunisasi pasif Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin, ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan. 2) Imunisasi aktif Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Terdapat 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontra indikasi bila terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis. Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara: 1) Isolasi Mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan



42



antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik. 2) Karantina Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia 10 tahun, dan sisanya pada bayi 85%). Penemuan kasus selama empat tahun terakhir dapat dilihat pada gambar berikut.



59



c. Incidence Rate (IR) Tabel. Penyakit Difteri per 100.000 anak usia < 15 tahun di berbagai Negara selama tahun 1990 - 2000 Negara



1990



1991



1992



1993



1994



1995



1996



1997



1998



1999



2000



Bangladesh



1.54



801



855



487



285



0.56



0.32



0.19



0.24



0.11



0.04



Brazil



1.25



495



276



252



245



0.34



0.36



0.06



0.44



0.40



0.10



China



0.13



231



146



124



119



0.03



-



0.01



0.01



0.005



0.006



India



2.74



12550



8115



7131



3040



0.65



0.76



0.40



0.41



0.53



0.92



Irak



0.13



261



389



239



132



1.55



5.24



3,23



1,97



1,51



0,36



Rusia



-



1869



3897



15229



39703



113,33



44,82



13,67



5,05



3,07



-



Thailand



58



53



40



28



40



0,11



0,31



0,22



0,235



0,31



0,08



Vietnam



509



511



497



167



166



0,62



0,53



0,57



0,49



0,31



0,43



Philiphina



921



1004



759



323



316



0,64



-



0,50



0,30



0,23



0,31



Indonesia



3,35



1342



129



82



64



0,91



0,85



6,63



0.02



0,174



0.035



Sumber : WHO , 2001 Global Summary. Di Indonesia jumlah kasus difteri per 100.000 ribu anak usia 25 tahun (AR 9,6%).Pada saat dilakukan penyelidikan lapangan diperoleh informasi bahwa kasus yang meninggal ada hubungannya dengan keluarga yang menderita sakit tenggorok kronis. 2. Pertusis a. Prevalensi Keberhasilan program imunisasi DPT telah menurunkan mortalitas akibat pertusis dengan cukup tajam, yaitu dari 52,6 (SKRT,1996) menjadi 1,4 per 1000 penduduk. Menurut SDKI 1997 prevalensi pertusis 9%. b. Insiden



61



Sumber : CDC, 2012 Grafik ini menggambarkan jumlah kasus pertusis tahun 1922-2012. Setelah pengenalan vaksin pertusis pada tahun 1940-an laporan menurun drastis menjadi kurang dari 10.000 pada tahun 1965. Selama laporan pertusis 1980 mulai meningkat secara bertahap, dan pada tahun 2010 lebih dari 27.000 kasus dilaporkan secara nasional. Sementara 2012 kasus melebihi 41.000, tinggi daripada tahun sebelumnya sejak 1955. 3. Tetanus a. Prevalensi Kasus tetanus Neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per 1000 kelahiran hidup; sedangkan target Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) yang ingin dicapai adalah 1 per 1000 kelahiran hidup. (Survey Penduduk Antar-Sensus (Supas, 2008). Beberapa upaya telah dilakukan antara lain dengan imunisasi TT diberikan sejak bayi, DPT 3x murid Sekolah Dasar, meningkatkan cakupan imunisasi TT pada Calon Penganten (Caten), Ibu Hamil (Bumil) dan Wanita Usia Subur (WUS), surveilans Tetanus Neonatorum dan persalinan bersih. b. Attack Rate (AR) Attack rate adalah andala angaka sinsiden yang terjadi dalam waktu yang singkat atau dengan kata lain jumlah mereka yang rentan dan terserang penyakit tertentu pada periode tertentu. Tanpa program imunisasi, attack rate pada kasus tetanus sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup.



62



c. Case Fatality Rate (CFR) CFR adalah persentase angka kematian oleh sebab penyakit tertentu, untuk menentukan kegawatan/ keganasan penyakit tersebut. CFR (Case Fatality Rate) = Jumlah kasus tetanus neonatorum di Indonesia pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus dengan angka kematian (CFR) 56% (Profil Kesehatan Indonesia 2003, Depkes). Angka ini sedikit menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini diduga karena meningkatnya cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Namun secara keseluruhan CFR masih tetap tinggi. Penanganan kasus tetanus neonatorum memang tidak mudah, sehingga yang terpenting adalah usaha pencegahan yakni pertolongan persalinan yang higienis dan ditunjang dengan imunisasi TT pada ibu hamil. Jumlah kasus tetanus neonatorum di Kalimantan Tengah sebanyak 4 kasus.



4. Cakupan imunisasi Beberapa Daftar Cakupan Imunisasi di Berbagai Negara Negara



2007



2008



2009



2010



2011



2012



Honduras



95



94



93



98



98



98



Hungary



99



99



99



99



99



99



Italia



97



96



96



96



96



97



India



71



72



72



72



72



71



Indonesia



72



58



62



63



63



72



Iran



99



99



99



99



99



99



Irak



54



65



73



72



77



54



Sumber : WHO, 2012 Cakupan imunisasi DTP3 dari tahun 1980 sampai tahun 2009 (WHO)



63



Jumlah total kasus tetanus dan Imunisasi DTP3, 1980-2009 (WHO)



Laporan kasus tetanus neonatal dan imunisasi TT2+, 1980-2009 (WHO)



Grafik di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi cakupan imunisasi, baik imunisasi DTP3 maupun TT2, maka kasus tetanus akan semakin turun. 64



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah suatu infeksi sebabkan oleh Corynebacterium



diphtheria



yang



menyerang



tenggorokan



dan



dapat



menyebabkan komplikasi yang serius atau fatal. Pertusis (batuk rejan) adalah inteksi bakteri Bordetella Pertusis atau Hemophilus pertusis pada saluran udara yang ditandai dengan batuk hebat yang menetap serta bunyi pernafasan yang melengking.



Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh



neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Secara nasional Indonesia dapat mencapai status Universal Child Immunization (UCI) DPT minimal 90%. B. Saran 1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat. 2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri. 3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.



65



DAFTAR PUSTAKA



Alimul, Aziz. 2003. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika. Alimul, Aziz. 2008. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Salemba Medika. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Azhali. (2008). Program Imunisasi. (http://www.nakita.com) Azwar, S. 2008. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jakarta : Pustaka Pelajar. CDC.2013.Surveillance & Reportin.http://www.cdc.gov/pertussis/survreporting.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 CDC.DiphtheriaEpidemiology



and



Prevention



of



Vaccine-Preventable



Diseases.Edisi12.2011.http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.ht ml. Diakses pada tanggal 30 Mei 2013 Departemen Kesehatan Masyarakat, Biro Pengendalian Penyakit Menular. Tetanus.Jurnal



(Online).2006



:



Diambil



dari



http://www.mass.gov/Eeohhs2/docs/dph/disease_reporting/guide/tetanus.p df. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Departemen Kesehatan RI.2012. http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Depkes RI. 2005. Jadwal Pemberian Imunisasi. http://www.depkes.com. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Depkes RI. 2006. Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta. Dinkes Jatim. 2006. Cakupan Imunisasi. http://www.dinkesjatim.com. Diakses pada tanggal 2 Juni 2013 Fadlyana,Eddy. 2002.Tanuwidjaja,Suganda dkk. Imunogenitas dan Keamanan Vaksin



DPT



Setelah



Imunisasi



Dasar.



66



http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/4-3-5.pdf. diakses pada tanggal 4 Mei 2013 Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku



Ajar



Ilmu



Kesehatan



Telinga



Hidung



Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178. John C. Hariding. Clinical Signs are an Interaction of Host, Agent and the Environment.



Jurnal



(Online):



Diambil



dari



:http://www.banffpork.ca/proc/2005pdf/BO09-HardingJ.pdf . Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Kementrian Kesehatan RI.2012.Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. http://www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20MNTE.pdf. Diakses pada tanggal 29 Mei 2013 Kementrian Kesehatan. 2006. http://www.depkes.go.id/index.php?option=news& task=viewarticle&sid=1532 (70. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Kepmenkes RI.1993. Pedoman Pemantauan dan Penanggulangan KIPI. 2005; Galazka, A.M. 1993. Kiking



Ritarwan.



Tetanus.Jurnal



(Online).2004



:



Diambil



dari



:



http://library.usu.ac.id/download/fk/penysaraf-kiking2.pdf . Diakses pada tanggal 2 Juni 2013 Kiking Ritarwan.2004. Tetanus. http://library.usu.ac.id/download/fk/penysarafkiking2.pdf. Diakses pada tanggal 3 Juni 2013 Kunarti,Umi. 2004.TITER Imunoglobulin G (IgG) Difteri pada anak sekolah (Studi Kasus Di Kota Semarang). eprints.undip.ac.id 4 27 1 Umi



unarti.pdf.



Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Nichol KL, Mendelman PM, Mallon KP, Jackson LA, Gorse GJ, Belshe RB et al.Effectiveness of live, attenuated intranasal virus vaccine in healthy, working adults : arandomized controlled trial. JAMA 1999; 282:137144.State of the World's Vaccines and Immunization. Ch. 4 : Key vaccine under development.Geneva:WHO,1996; pp.101-112



67



Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Salemba Medika. Profil



Kesehatan



Pemerintah



Jawa



Timur.2011.



dinkes.jatimprov.go.id/...



/1111111111_1111111111_Profil_Kesehatan ... Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Profil



Kesehatan



Pemerintah



Kabupaten



Balangan.2009.



dinkes.



balangankab.go.id . Diakses pada tanggal 8 Juni 2013 Profil



Kesehatan



Provinsi



Sumatera



Selatan.2010.



http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_prov_kab/profil_kes _sumsel_2010.pdf. Diakses pada tanggal 30 Mei 2013 Richard F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus.Jurnal (Online).2003



:



Diambil



dari



:



http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf .



Diakses



pada tanggal 3 Juni 2013 Seema Quasim. Management of



Tetanus.Jurnal (Online). Diambil dari



:http://www.frca.co.uk/documents/tetanus.pdf. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Slaven, Ellen M., dkk. Infectious Diseases: Emergency Department Diagnosis and Management. 2007. Mc Graw Hill. USA Suparyanto. 2011. Imunisasi DPT. Jawa Timur. WHO.2012.Immunization.http://www.who.int/gho/immunization/en/index.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013 Widoyono.2005.Penyakit



Tropis



Epidemiologi



Penularan



dan



Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.



68