Makalah Ji'alah, Sedekah Dan Hadiah [PDF]

  • Author / Uploaded
  • jogja
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FIQIH MU'AMALAH JI'ALAH, SEDEKAH, DAN HADIAH DOSEN PEMBIMBING : Dr. Ma'sum Anshori, MA



DI SUSUN OLEH KELOMPOK 7 : FEBY SYAHIRA MELA OKTAVIONA SRI HARI JAILANI ISMAIL



PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) BENGKALIS 2021 M/1442H



KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya kepada kita semua dan umur yang panjang yang kemungkinan



sudah



kita



gunakan



untuk



menuju



jalan



yang



sudah



diperintahkannya dan meninggal yang dilarangnya. Shalawat serta serta salam tidak lupa kita hadiahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW karena telah membawa kita bersama dari alam kebodohan hingga alam yang cerdik pandai yang kita rasakan sekarang ini. Alhamdulillah dengan itu semua penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Penulis menyadari makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.



Bengkalis, 30 Maret 2021



Penulis,



i



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...........................................................................................i DAFTAR ISI.........................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah............................................................................1 B. Rumusan Masalah.....................................................................................1 BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2 A. Ji’alah........................................................................................................2 B. Hadiah .......................................................................................................6 C. Sedekah......................................................................................................9 BAB III PENUTUP...............................................................................................13 A. Kesimpulan................................................................................................13 B. Saran..........................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14



ii



BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai rahmat



bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat, pemberian hadiah, ji’alah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam, demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT. Shodaqoh bisa berupa uang, makanan, pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun. Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian hadiah, ji’alah dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam. B.



Rumusan Masalah



Agar pembahasan memahami tentang Ji’alah, Hadiah dan Sodaqah ini lebih sistematis, maka yang menjadi fokus/rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah sebagai berikut: 1.



Apa pengertian dan dasar hukum ji’alah, hadiah dan sodaqah?



2.



Macam-macam dan hikmah ji’alah?



3.



Hal-hal yang berkaitan dengan ji’alah, hadiah dan sodaqah?



1



BAB II PEMBAHASAN A. JI’ALAH 1. Pengertian Dan Dasar Hukum Ji’alah Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan ju’alah berarti upah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh. Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan hanya terbatas pada barang yang hilangnamun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang. Kata jialah dapat dibaca jaalah. Pada zaman rasulullah jialah telah dipraktikkan. Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kala kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing. Menurut Mazhab Hanafi ji’aah tidak diperbolehkan karena di dalam ji’alah ada gharar atau tidak diketahuinya pekerjaan yang akan dilakukan dan waktu pekerjaannya. Hanya saja berdasarkan isthsan ji’alah dibolehkan, misalkan menjanjikan upah untuk mengembalikan budak yang melarikan diri. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membolehkan ji’alah berdasarkan QS Yusuf [12: 72]



             “Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya”. Masyarakat membutuhkan ji’alah sebb terkadang pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) tidak jelas bentuk dan waktu pelaksanaannya, seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang dan sebagainya. Untuk



2



pekerjaaan



ini



tidak



sah



dilakukan



akad



ijarah



padahal



seseorang



membutuhkannya agar kedua barang yang hilang bisa kembali. Sementara itu, ia dapat menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya sacara sukarela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, adanya kebutuhan masyarakat dalam keadaan seperti itu mendrong agar akad ji’alah dibolehkan sekalipun bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas. Dari pengertian ini, dalam ji’alah terdapat unsur-unsur: a. Pekerjaan



khusus,



misalnya



mencari



barang



yang



hilang,



atau



menyembuhkan penyakit. Biasanya pekerjaan yang akan dilakukan merupakan pekerjaan yang sulit bagi orang-orang yang membuat pengumuman. Hal inilah yang membedakan antara ji’alah (sayembara) dengan musaqah (perlombaan) atau dengan undian. b. Upah terhadap orang yang berhasil melakukan pekerjaan. Apakah hadiah itu berbentuk materiil atau imateriil, seperti diangkat menjadi saudara. Para ulama sepakat tentang kebolehan ji’alah, karena memang diperlukan untuk mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan waktu dan sebagainya sehingga yang boleh dilakukan dengan memberinya ja’alah seperti akad sewa dan bagi hasil. 2. Rukun Dan Syarat Ji’alah Ji’alah merupakan akad antara dua orang atau lebih agar orang yang menerima ji’alah melakukan pekerjaan khusus seperti menyembuhkan orang yang sakit atau menemukan barang yang hilang. Ji’alah dibolehkan karena dibutuhkan. Ji’alah menjadi sah kalau terpenuhi rukun dan syaratnya sebagai berikut: a. Ja’il (pihak yang berjanji akan memberikan imbalan), harus ahliyah atau cakap bertindak hukum, yakni baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan ju’alah. Sementara itu, orang yang melakukan



3



pekerjaan jika ia ditentukan maka ia harus orang yang cakap melakkan pekerjaan tersebut dan mendengar jiala boleh melakukannya. b. Ju’lah (upah), Upah dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai harta dan dalam jumlah yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram seperti minuman keras maka jialah tersebut batal. Kedua, bayaran itu harus diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya, misalnya “siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka dia mendapat pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah. Ketiga, upah yang bleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksaan ju’alah). c. ‘Amal (pekerjaan), Pekerjaan dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut syara’. Ji’alah tidak diperolehkan terhadap pekerjaan dalam bentuk mengeluarkan jin dari diri seseorang atau membebaskan dari sihir. Karena keluar atau bebas dari sihir tdak dapat diketahui secara jelas. Oleh karena itu, ji’alah tidak boleh terhadap sesuatu yang diharamkan. Kedua, Mazhab Maliki mensyaratkan, ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waku tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam satu hari. Ketiga, Mazhab Malikyiah menyatakan baha pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak. Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang wajib bagi pekerja, jika ia wajib secara syar’i maka dia tidak berhak mendapat



upah,



misalnya



seseorang



mengatakan



“siapa



yang



mengembalikan hartaku yang hilang maka ia mendapat begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang merampasnya maka orang tersebut tidak berhak mendapat upah yang telah disebutkan, sebab sesuatu yang wajib dilakukan secara syar’i tidak ada upah baginya. d. Shighat (ucapan), Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji’alah sedangkan dari pihak pekerja tidak disyratkan ada ucapan kabul darinya dan ji’alah



4



tidak batal seandainya dia menjawab, misalnya ia berkata: saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar. Kemudian, pemberi ja’alah berkata ya maka itu sudah dianggap cukup. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapa kabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk melakukan pekerjaan kepada setiap orang yang mampu, dan tidak dibatasi waktunya. 3. Sifat Akad Ji’alah Ji’alah merupakan suatu akad yang dibolehkan dan bersifat ghairu lazim (tidak mengikat). Artinya kedua orang yang berakad boleh membatalkan akad ini sebelum pekerjaan dimulai. Orang yang menerima ji’alah boleh membatalkan akas sebelum atau ketika pekerjaan sedang berlangsung. Dengan pembatalan ini semua haknya mendapat upah menjadi hilang. Namun, orang yang mnji’alahkan (pelaksanaan sayembara) tidak punya hak untuk membatalkna ji’alah bila orang ang menerima ji’alah telah melakukan pekerjaan. Kalau masih dibatalkan maka orang yang menerima ji’alah masih tetap mempunyai hak mendapatkan upah dari apa yang dikerjakan. Orang yang membuat ji’alah harus menepati janjinya berupa memberikan upah kepada orang yang berhasil melakukan pekerjaan tersebut. 4. Berakhirnya Akad Ji’alah Ulama mahzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang akad ji’alah sebagai perbuatan yang sifatnya sukarela. Menurut mereka baik pihk pertama (jail) maupun pihak kedua (yang melaksanakan pekerjaan) dapat membatalakan akad. Namun mereka berbeda pendapat tentang kapan bolehnya melakukan pembatalan akad tersebut. Mazhab Maliki berpendapat bahwa ji’alah hanya dapat dibatlakan oleh pihak pertma sebelum pihak kedua melaksanakan pekerjaan. Semntara itu, mazhab Syafi”i dan Hanbali berpendapat, pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu selama pekerjaan itu belum selesai. Apabila salah satu pihak membatalkan ji’alah sebelum pekerjaan dilaksankan,



5



maka keadaan ini tidakmemunculkan keadaan hukum. Artinya, pihak kedua tidak berhak terhadap upah yang dijanjikan karena pekerjaan yang belum dilaksanakan. Apabila pihak pertama membatalkan ji’alah ketika pekerjaan sedang berlangsung menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, pihak pertama wajib membayar upah kepada pihak kedua, sesuai dengan volume dan masa kerja yang telah dilaksanakannya B.



HADIAH



1. Pengertian Hadiah Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk



mmnuliakan



atau



memberikan



penghargaan.



Rasulullah



SAW



menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Hadiah adalah memberikan sesuatu tanpa ada imbalannya dan dibawa ke tempat orang yang akan di beri, karena hendak memuliakanya. Hadiah merupakan suatu penghargaan dari pemberi kepada si penerima atas prestasi atau yang dikehendakinya. Rasulullah SAW bersabda : Artinya: "Hendaklah kalian saling memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling menyayangi " ( HR. Abu Ya'la ) 2. Hukum Hadiah Hukum hadiah adalah boleh ( mubah ). Nabi sendiripun juga sering menerima dan memberi hadiah kepada sesama muslim, sebagaimana sabdanya: Artinya: "Rasulullah SAW menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya". (HR. AI Bazzar). Hadiah telah di syariatkan penerimaanya dan telah ditetapkan pahala bagi pemberinya.Dalil yang melandasi hal itu adalah sebuah hadist dari Abu Hurairah, bahwa nabi telah bersabda : “sekiranya aku diundang makan sepotong kaki binatang, pasti akan aku penuhi undangan tersebut.begitu juga jika sepotong lengan atau kaki dihadiahka kepadaku, pasti aku akan menerimanya.” (HR.AlBukhari)



6



Dan diriwayatkan imam Ath-Thabrani dari Hadist Ummu Hakim Al-Khuza’iyah, dia berkata : wahai rasulullah apakah engkau tidak menyukai penolakan terhadap kelembutan ?" beliau menjawab :”betapa buruknya yang demikian itu, sekiranya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang,pasti aku akan menerimanya”. Hadiah diperbolehkan dengan kesepakatan umat, apabila tidak terdapat disana larangan syar’I terkadang di sunattkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahmi, kasih sayang dan rasa cinta.terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab membalas budi dan kebaikan orang lain dengan hal yang semisalnya.dan terkadang juga menjadi haram dan perantara menuju perkara yang haram dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok menyogok dan yang sehukum dengannya. a)



Hukum menerima hadiah



Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang diberikan bingkisan hadiah, apakah wajib menerimanya ataukah disunatkan saja, dan pendapat yang kuat bahwasannya orang yang diberikan hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang syar’I yang mengharuskan menolaknya.maka wajib menerimanya di karenakan dalil-dalil berikut ini : Rasulullah SAW bersabda : “penuhilah undangan, jangan menolak hadiah, da jangan menganiaya kaum muslimin”. Di dalam ash-shahih (al-bukhari dan muslim). Dari Umar ra beliau berkata : rasulullah SAW memberiku sebuah bingkisan, lalu aku katakan “berikan ia kepada orang yang lebih fakir dariku” maka beliau menjawab, “ambillah, apabila datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak tamak dan tidak pula memintanya, maka ambillah dan simpan untuk dirimu, jikalau engkau menghendakinya, maka makanlah.dan bila engkau tidak menginginkannya, bershadaqahlah dengannya.” Salim bin abdillah berkata :”oleh karena itu abdullah tidak pernah meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidak pula menolak bingkisan yang di berikan kepadanya sedikitpun”.(shahih At Targhib 836)



7



Dan didalam sebuah riwayat, Umar ra berkata “ketahuilah demi dzat yang jiwaku ditangan-nya!saya tidak akan meminta kepada orang lain sedikitpun dan tidaklah aku diberikan suatu pemberian yang tidak aku minta melainkan aku mengambilnya,” (shahih At Targhib 836) Rasulullah SAW tidaklah menolak hadiah kecuali dikarenakan oleh sebab yang syar’I.oleh karena adanya dalil-dalil ini maka wajib menerima hadiah apabila tidak dijumpai larangan syar’i. Demikian pula diantara dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadist Abu Hurairrah ra, beliau berkata bahwa rasulullah SAW pernah bersabda :”barang siapa yang Allah datangkan kepadanya sesuatu dari harta ini, tana dia memintanya, maka hendaklah menerimanya, karena sesungguhnya itu adalah rezeki yang allah kirimkan kepadanya.” (Shahih At-Targhib 839). b)



Hukum menolak hadiah



Setelah jelas bagi kita wajib menerima hadiah, maka tidak boleh menolaknya kecuali dikarenakan unsur syar’i dan nabi saw melarang kita untuk menolak hadiah dengan sabda beliau: “ jangan kalian menolak hadiah”. (telah lewat takhrijnya). 3. Syarat-syarat hadiah a.



Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.



b.



Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.



c.



Penerima shadaqah atau hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.



d.



Barang yang dishadaqahkan atau dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.



8



4. Rukun Hadiah a.



Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan yang berhak mentasyarrufkannya



b.



Orang yang diberi, syaratnya orang yang berhak memiliki .



c.



Ijab dan qabul



d.



Barang yang diberikan, syaratnya barangnya dapat dijual



5. Hikmah Hadiah a.



Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang



b.



Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.



Sabda Nabi Muhammad SAW : “Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan kedengkian” (HR. Abu Ya’la). “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami). C.



SADAQAH



1. Pengertian Sadakah Secara bahasa kata sedekah berasal dari bahasa arab yang secara bahasa berarti tindakan yang benar. Pada awal pertumbuhan islam, sedekah diartikan sebagai pemberiaan yang disunahkan. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,



dan diberikan



kepada



orang yang sangat



membutuhkan



tanpa



mengharapkan pengganti pemberian tersebut. 2. Hukum sedekah Secara ijma, ulama menetapkan bahwa hukum sedekah ialah sunnah. Islam mensyariatkan



sedekah



karena



didalamnya



9



terdapat



unsur



memberikan



pertolongan kepada pihak yang membutuhkan. Didalam al-qur’an banyak ayat yang menganjurkan agar kita bersedekah seperti. surah al-baqoroh : 261



                           artinya : perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Surah al-baqoroh :280



                 artinya : dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan juga sesuai dengan sabda Rasul di bawah ini. “Sesungguhnya sedekah memadamkan amarah Tuhan dan menolak kematian yang buruk.” (HR. At-Tirmidzi, dan Ia mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan). 3. Syarat Sadaqah a. Orang yang memberikan shadaqah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya. b. Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar. c. Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah. d. Barang yang dishadaqahkan harus bermanfaat bagi penerimanya 4. Rukun Sadaqah 10



Rukun shadaqah dan syaratnya masing-masing adalah sebagai berikut : a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk mentasharrufkan ( memperedarkannya ) b. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak syah memberi kepada.anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu. 5. Adab menerima shodqoh Ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan ketika menerima shodaqoh, yaitu: a. Harus memahami bahwa allah yang mewajibkan hadiah dan zakat kepadanya, untuk mencukupi kebutuhan pokoknya, dan hasratnya harus trhimpun dalam satu hasrat yaitu mencari ridho allah. b. Mengucapkan terima kasih kepada orang yang member sedekah serta mendoakannya. 6. Perkara yang membatalkan sedekah Ada beberpa perkara yang menghilangkan pahala sedekah: a. Al-mann (membangkit-bangkitkan) artinya menyebut-nyebut dihadapan orang. b. Al-adza (menyakiti) arinya sedekah itu dapat menyakiti perasaan orang lain yang menerimanya baik dengan ucapan atau perbuatan. Merela tidak mendapat pahala di dunia dari usaha-usaha mereka dan tidak pula mendapat pahala di akhirat c. Riya (memamerkan) artinya memperlihatkan sedekah kepada orang lain karena ingin dipuji. Bersedekah jika ada orang tetapi jika dalam keadaan sepi tidak mau bersedekah, 7. Bentuk-bentuk shadaqah Dalam islam sedekah memiliki arti luas bukan hanya berbentuk mtri tetapi mencakup semua kebaikan fisik maupun non fisik. Macam-acam sedekah, yaitu: a.



Memberikan Sesutu dalam benuk materi kepada orang lain



b.



Berbuat baik dan menahan diri dari kejahatan



11



c.



Berlaku adil dalam mendamaikan orang yang bersngketa



d.



Memberikan senyumn kepada orang lain



e.



Membimbing orang buta, tuli, dan bisu serta menunjuki orang yang meminta petunjuk tentang sesuatu seperti alamat rumah.



f.



Menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari perbuatan kemungkaran



g.



Melangkahkan kaki kejalan allah



h.



dll



8. Hikmah Shadaqah a.



Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah



b.



Dapat menghindarkan dari berbagai bencana



c.



Akan dicintai Allah SWT.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan



12



Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui seluk beluk tentang Ji’alah, Hadiah dan Sadaqah. Setelah di jelaskan segala macam tentang yang berhubungan dengan Ji’alah, Hadiah dan Sadaqah maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Menurut bahasa, Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan atau menjadikan, sedangkan ju’alah berarti upah. Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh. Hadiah adalah pemberian sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk



mmnuliakan



atau



memberikan



penghargaan.



Rasulullah



SAW



menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah. Karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antara sesama. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf shad, dal, dan qaf, serta dari unsur ash-shidq yang berarti benar atau jujur. Sedekah menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT. Secara etimologi, sedekah ialah kata benda yang dipakai untuk suatu hal yang diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian sedekah adalah pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan pengganti pemberian tersebut. B. Saran Setelah mempelajari materi perkuliahan, semoga mahasiswa mampu memahami mengenai ji’alah, sedekah dan hadiah Mengingat permasalahan hukum ini sangat ketat, kami menyadari pentingnya informasi dalam segala hal.



DAFTAR PUSTAKA



13



Helmi Karim, 1997, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, edisi 1,Cet. 2. Sayyid Sabiq,



1987, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Bandung: PT. Al-



Ma’arif,Cet. XX. Abu Bakr Jabir Al-jazairi, Ensiklopedi Muslim Jati waringin: 2009 H. Satria Effendi M. Zein, MA, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta: Kencana, Cet. I. Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri Pedoman Hidup Muslim Jakarta 2008. Hafifuddin, 2005, Panduan praktis tentang zakat, infak dan sedekah, depok : gemainsani. Al-imam asy-syaikh ahmad bin Abdurrahman, 1999, Mahnajul qashidin, Jakarta:pustaka al-kautsar.



14