Makalah Kel 5 Mutu Pelayanan Keperawatan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MANAJEMEN KEPERAWATAN “MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN”



Fasilitator: Prof. Dr. Kusnanto, S.Kp.,M.Kes Disusun Oleh: Kelompok 5 A1-2017 Santi Oktavia



131711133021



Merytania Pramudita



131711133022



Fiadela Natalia



131711133023



Gt Ihda Wardatul Ilmiah



131711133028



Rizky Nur Rochmawati



131711133029



Novianti Lailiah



131711133032



Achmad Yuskir Rizal Rosuli 131711133103



PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA



2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Mutu Pelayanan Keperawatan” ini tepat waktu. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya. Atas dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1.



Prof. Dr. Kusnanto, S.Kp., M.Kes selaku fasilitator mata kuliah Keperawatan Manajemen di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang memberikan bimbingan dan saran.



2. Teman-teman anggota kelompok 5 kelas A1-2017 Program Studi S1 Kperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari rekan-rekan sangat kami butuhkan demi penyempurnaan makalah ini. Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca. Surabaya, 7 Maret 2021



Penyusun



i



1



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.............................................................................................................................3 BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................4 1.1



Latar Belakang.............................................................................................................4



1.2



Rumusan Masalah.......................................................................................................5



1.3



Tujuan..........................................................................................................................5



1.3.1



Tujuan Umum......................................................................................................5



1.3.2



Tujuan Khusus.....................................................................................................5



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................7 2.1



Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan........................................................................7



2.1.1



Definisi.................................................................................................................7



2.1.2



Pengukuran Mutu Pelayanan................................................................................7



2.1.3



Konsep Mutu Berasarkan SERVQUAL (Service Quality)..................................8



2.1.4



Upaya Peningkatan Mutu...................................................................................14



2.2



Indikator Penilaian Mutu Asuhan Keperawatan........................................................15



2.3



Audit Internal Pelayanan Keperawatan dan Audit Personalia..................................18



2.3.1



Audit Internal Pelayanan Keperawatan..............................................................18



2.3.2



Audit Personalia.................................................................................................19



2.4



Indikator Utama Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit...............................................21



2.4.1



Keselamatan Pasien............................................................................................21



2.4.2



Kepuasan dan Kenyamanan Pasien....................................................................34



2.4.3



Kecemasan dan Pengetahuan Pasien..................................................................39



BAB 3 PENUTUP..................................................................................................................46 3.1



Kesimpulan................................................................................................................46



3.2



Saran..........................................................................................................................46



DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................47



ii



1



BAB 1



PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Mutu pelayanan keperawatan sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan menjadi



salah satu faktor penentu citra institusi pelayanan kesehatan di mata masyarakat. Hal ini terjadi karena keperawatan merupakan kelompok profesi dengan jumlah terbanyak, paling depan dan terdekat dengan penderitaan, kesakitan, serta kesengsaraan yang dialami pasien dan keluarganya. Mutu pelayanan keperawatan memiliki beberapa outcome yang menjadi indikator dalam menentukan mutu pelayanan keperawatan. Indikator tersebut meliputi aspek pelayanan, tingkat efisiensi, kepuasan pasien, cakupan pelayanan, dan keselamatan pasien. Oleh karena itu rendahnya indikator dari mutu pelayanan keperawatan dapat menurunkan kualitas mutu pelayanan kesehatan (Nursalam, 2014). Salah satu indikator dari mutu pelayanan keperawatan itu adalah apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu memuaskan pasien atau tidak. Kepuasan merupakan perbadingan antara kualitas jasa pelayanan yang didapat dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan (Tjiptono, 2004 dalam Nursalam, 2014). Pasien sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan menuntut pelayanan keperawatan yang sesuai dengan haknya, yakni pelayanan keperawatan yang bermutu dan paripurna. Pasien merupakan individu yang memerlukan pelayanan secara optimal khususnya oleh perawat. Perawat hendaknya memberikan pelayanan meliputi aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual pasien. Adapun indikator kepuasan pelayanan keperawatan bagi pasien, yaitu pendekatan dan sikap perawat, emosi pasien saat kunjungan pertama, kualitas informasi, proses kontrak masa tunggu dan sarana publik yang tersedia, sehingga baik buruknya pelayanan keperawatan dapat dilihat dari pelayanan keperawatan yang diberikan petugas rumah sakit itu sendiri terhadap respon masyarakat (Nursalam, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ema (2015) tentang pelayanan rawat inap, hasil penelitian menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien yaitu sebesar 49% dari total responden menyatakan bahwa mutu pelayanan rawat inap kelas 3 kurang baik. (Fitriyanah, Noer’aini and Utomo, 2015) Penelitian yang juga dilakukan oleh Andhika (2020) menunjukkan bahwa sebesar 56,7%



1



responden menyatakan pelayanan keperawatan kurang baik dan 86,8% merasa tidak puas akan pelayanan keperawatan di Ruang IGD RSU Dr. Slamet Garut (Perceka, 2020). Berkaitan dengan data diatas penting kiranya dilakukan analisa lebih dalam tentang pengendalian mutu pelayanan keperawatan, agar dapat dirancang rencana strategis yang komprehensif sehingga mampu meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dimasa yang akan datang dan untuk menyusun rencana strategis tersebut dibutuhkan berbagai metode yang dapat mengambil keputusan akan apa yang dilakukan untuk menyelesiakan semua permasalahan yang ada saat ini dengan menajemen keperawatan (Jayanti and Haryati, 2020). Oleh karena fungsi manajemen yang dapat memberikan proses dalam peningkatan mutu pelayanan keperawatan. Manajemen pelayanan keperawatan merupakan suatu proses perubahan atau tranformasi dari sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan pelayanan keperawatan melalui pelaksanaan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, ketenagaan, pengarahan, evaluasi dan pengendalian mutu (Suryaningsih, 2012). Kegiatan menilai mutu pada tingkat rumah sakit akan diawali dengan penetapan kriteria pengendalian, mengidentifikasi informasi yang relevan dengan kriteria, menetapkan cara mengumpulkan informasi/data. Kemudian melakukan pengumpulan dan menganalisis informasi/data, membandingkan informasi dengan kriteria yang telah ditetapkan, menetapkan keputusan tentang kualitas, serta memperbaiki situasi sesuai hasil yang diperoleh, lalu menetapkan kembali cara mengumpulkan informasi (Marquis dan Huston, 2000). Ada enam indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, yaitu: 1. keselamatan pasien (patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial, angka kejadian pasien jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan; 2. pengelolaan nyeri dan kenyamanan; 3. tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan; 4. perawatan diri; 5. kecemasan pasien; 6. perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) pasien (Nursalam, 2014). 1.2



Rumusan Masalah Bagaimana mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit?



1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mendapatkan gambaran secara nyata dan mengembangkan pola pikir ilmiah dalam meningkatan mutu pelayanan keperawatan. 1.3.2



Tujuan Khusus 1. Mengidentifkasi konsep mutu pelayanan keperawatan 2. Mengidentifikasi indikator penilaian mutu asuhan keperawatan 2



3. Mengidentifikasi proses audit internal dan audit personalia dalam pelayanan keperawatan 4. Mengidentifikasi indikator utama kualitas pelayanan di rumah sakit (keselamatan pasien, peningkatan kepuasan pasien, kecemasan dan pengetahuan pasien).



3



2



BAB 2



TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Konsep Mutu Pelayanan Keperawatan



2.1.1



Definisi Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan



efektif sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien, memanfaatkan teknologi tepat guna dan hasil penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal. 2.1.2



Pengukuran Mutu Pelayanan Menurut Donabedian, mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga



variabel, yaitu input, proses, dan output/outcome: a) Input Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi b) Proses Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien



dan



masyarakat).



Setiap



tindakan



medis/keperawatan



harus



selalu



mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan meminimalkan risiko terulangnya keluhan atau ketidakpuasan pada pasien lainnya. Program keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan mutu pelayanan. Interaksi profesional yang lain adalah pengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. Interaksi profesional selalu memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu berbuat hal hal yang baik (beneficence), tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence), menghormati manusia (respect for persons), dan berlaku adil (justice). c) Output Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen 4



2.1.3



Konsep Mutu Berdasarkan SERVQUAL (Service Quality) Tinjauan mengenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa besar



kesenjangan (gap) antara persepsi pelanggan atas kenyataan pelayanan yang diterima, dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan yang harus diterima. Kelima



kesenjangan (gap) tersebut disajikan dalam skema grand theory Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1985) dan diuraikan berikut ini: Gambar 2.1. The Integrated Gaps Model of Service Quality (Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1985) Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu sebagai berikut. a) Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi manajemen. Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum mampu secara tepat mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspektasi) para pengguna jasa pelayanan kesehatan. b) Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan akan terjadi jika pemahaman manajemen RS (Puskesmas) tentang harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang spesifik.



5



c) Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya. Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun dengan baik, tetapi muncul kesenjangan karena staf pelaksana pelayanan di garis depan (front line staff) seperti perawat, bidan dan dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan khusus tentang teknik penyampaian jasa pelayanan tersebut. Akibatnya, jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan kepada pasien tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan d) Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal. Harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan yang sudah mulai terbentuk melalui pemasaran tidak dapat terpenuhi karena pelayanan teknis medis dan kelengkapan mutu pelayanan berbeda dengan ekspektasi mereka. e) Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi jika konsumen mengukur kinerja institusi pelayanan kesehatan dengan cara yang berbeda, termasuk persepsi pengguna yang berbeda terhadap kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diharapkan



Menurut Parasuraman (2001: 162) bahwa konsep kualitas layanan yang diharapkan dan dirasakan ditentukan oleh kualitas layanan. Konsep kualitas layanan adalah suatu pengertian yang kompleks tentang mutu, tentang memuaskan atau tidak memuaskan. Lebih jelasnya dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini: Gambar 2.2. Penilaian Pelanggan terhadap Kualitas layanan (Parasuraman, 2001) Konsep kualitas layanan dari harapan yang diharapkan seperti dikemukakan di atas, ditentukan oleh empat faktor, yang saling terkait dalam memberikan suatu persepsi yang jelas 6



dari harapan pelanggan dalam mendapatkan pelayanan. Keempat faktor tersebut antara lain sebagai berikut a) Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication) Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran. alat promosi yang paling ampuh adalah dengan sistem WOM (Word of Mouth) (Trarintya, 2011). WOM dapat diartikan sebagai aktivitas komunikasi dalam pemasaran yang mengindikasikan seberapa mungkin pelanggan akan bercerita kepada orang lain tentang pengalamannya dalam proses pembelian atau mengonsumsi suatu produk atau jasa. Pengalaman pelanggan tersebut dapat berupa pengalaman positif atau pengalaman negatif. Sebenarnya hubungan dari mulut ke mulut berbentuk U, apabila seseorang puas maka ia akan menyebarkan berita positif dari mulut ke mulut, tapi apabila mengeluh tidak puas maka ia akan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut. b) Kebutuhan pribadi (personal need) Harapan pelanggan bervariasi tergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang memengaruhi kebutuhan pribadinya. c) Pengalaman masa lalu (past experience) Pengalaman pelanggan merasakan suatu pelayanan jasa tertentu di masa lalu yang memengaruhi tingkat harapannya untuk memperoleh pelayanan jasa yang sama di masa kini dan yang akan datang. d) Komunikasi eksternal (company’s external communication) Komunikasi eksternal yang digunakan oleh organisasi jasa sebagai pemberi pelayanan melalui berbagai bentuk upaya promosi juga memegang peranan dalam pembentukan harapan pelanggan. Berdasarkan pengertian di atas. Berdasarkan pengertian di atas terdapat tiga tingkat konsep kualitas layanan yaitu: a) Bermutu (quality surprise), bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi pelayanan yang diharapkan pelanggan. b) Memuaskan (satisfactory quality), bila kenyataan pelayanan yang diterima sama dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan. c) Tidak bermutu (unacceptable quality), bila ternyata kenyataan pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan pelanggan.



7



Parasuraman (2001:26) mengemukakan konsep kualitas layanan yang berkaitan dengan kepuasan ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” (responsiveness, assurance, tangible, empathy dan reliability). Konsep kualitas layanan RATER intinya adalah membentuk sikap dan perilaku dari pengembang pelayanan untuk memberikan bentuk pelayanan yang kuat dan mendasar, agar mendapat penilaian sesuai dengan kualitas layanan yang diterima. Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai bentuk-bentuk aplikasi kualitas layanan dengan menerapkan konsep “RATER” yang dikemukakan oleh Parasuraman (2001:32) sebagai berikut: 1) Daya tanggap (Responsiveness) Pada prinsipnya, inti dari bentuk pelayanan yang diterapkan dalam suatu instansi atau aktivitas pelayanan kerja yaitu memberikan pelayanan sesuai dengan tingkat ketanggapan atas permasalahan pelayanan yang diberikan. Kurangnya ketanggapan tersebut dari orang yang menerima pelayanan, karena bentuk pelayanan tersebut baru dihadapi pertama kali, sehingga memerlukan banyak informasi mengenai syarat dan prosedur pelayanan yang cepat, mudah dan lancar, sehingga pihak pegawai atau pemberi pelayanan seyogyanya menuntun orang yang dilayani sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang mendetail, singkat dan jelas yang tidak menimbulkan berbagai pertanyaan atau hal-hal yang menimbulkan keluh kesah dari orang yang mendapat pelayanan. Apabila hal ini dilakukan dengan baik, berarti pegawai tersebut memiliki kemampuan daya tanggap terhadap pelayanan yang diberikan yang menjadi penyebab terjadinya pelayanan yang optimal sesuai dengan tingkat kecepatan, kemudahan dan kelancaran dari suatu pelayanan yang ditangani oleh pegawai (Parasuraman, 2001). Kualitas layanan daya tanggap adalah suatu bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan, agar orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi pelayanan yang diterima, sehingga diperlukan adanya unsur kualitas layanan daya tanggap sebagai berikut. 



Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang dihadapinya. Penjelasan bijaksana tersebut mengantar individu yang mendapat pelayanan mampu mengerti dan menyetujui segala bentuk pelayanan yang diterima.







Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu bentuk penjelasan yang substantif dengan persoalan pelayanan yang dihadapi, yang bersifat jelas, transparan, singkat dan dapat dipertanggungjawabkan. 8







Memberikan pembinaan atas bentuk-bentuk pelayanan yang dianggap masih kurang atau belum sesuai dengan syarat-syarat atau prosedur pelayanan yang ditunjukkan.







Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk menyiapkan, melaksanakan dan mengikuti berbagai ketentuan pelayanan yang harus dipenuhi.







Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan yang dianggap bertentangan, berlawanan atau tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku



2) Jaminan (Assurance) Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu kepada kepuasan pelayanan yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen organisasi yang menunjukkan pemberian pelayanan yang baik, dan perilaku dari pegawai dalam memberikan pelayanan, sehingga dampak yang ditimbulkan dari segala aktivitas pelayanan tersebut diyakini oleh orang-orang yang menerima pelayanan, akan dilayani dengan baik sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat diyakini sesuai dengan kepastian pelayanan. Suatu organisasi kerja sangat memerlukan adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi tersebut mampu memberikan kualitas layanan yang dapat dijamin sesuai dengan: 



Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu setiap pegawai akan memberikan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar dan berkualitas, dan hal tersebut menjadi bentuk konkret yang memuaskan orang yang mendapat pelayanan







Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan bentukbentuk integritas kerja, etos kerja dan budaya kerja yang sesuai dengan aplikasi dari visi, misi suatu organisasi dalam memberikan pelayanan







Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan perilaku yang ditunjukkan, agar orang yang mendapat pelayanan yakin sesuai dengan perilaku yang dilihatnya.



3) Bukti Fisik (Tangible) Berarti dalam memberikan pelayanan, setiap orang yang menginginkan pelayanan dapat merasakan pentingnya bukti fisik yang ditunjukkan oleh pengembang pelayanan, sehingga pelayanan yang diberikan memberikan kepuasan. Bentuk 9



pelayanan bukti fisik biasanya berupa sarana dan prasarana pelayanan yang tersedia, teknologi pelayanan yang digunakan, performance pemberi pelayanan yang sesuai dengan karakteristik pelayanan yang diberikan dalam menunjukkan prestasi kerja yang dapat diberikan dalam bentuk pelayanan fisik yang dapat dilihat. Bentuk-bentuk pelayanan fisik yang ditunjukkan sebagai kualitas layanan dalam rangka meningkatkan prestasi kerja, merupakan salah satu pertimbangan dalam manajemen organisasi. Identifikasi kualitas layanan fisik (tangible) dapat tercermin dari aplikasi lingkungan kerja berikut: 



Kemampuan menunjukkan prestasi kerja pelayanan dalam menggunakan alat dan perlengkapan kerja secara efisien dan efektif.







Kemampuan menunjukkan penguasaan teknologi dalam berbagai akses data dan inventarisasi otomasi kerja sesuai dengan dinamika dan perkembangan dunia kerja yang dihadapinya.







Kemampuan menunjukkan integritas diri sesuai dengan penampilan yang menunjukkan kecakapan, kewibawaan dan dedikasi kerja.



4) Empati (Empathy) Empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan, simpatik, pengertian dan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelayanan untuk mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai dengan tingkat pengertian dan pemahaman dari masing-masing pihak tersebut. Bentuk kualitas layanan dari empati orang-orang pemberi pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus diwujudkan dalam lima hal berikut: 



Mampu memberikan perhatian terhadap berbagai bentuk pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa menjadi orang yang penting.







Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan.







Mampu menunjukan rasa simpatik atas pelayanan yang diberikan, sehingga yang dilayani merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan.







Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang diungkapkan, sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi bentukbentuk pelayanan yang dirasakan.



10







Mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan pelayanan atas berbagai hal yang dilakukan, sehingga yang dilayani menjadi tertolong menghadapi berbagai bentuk kesulitan pelayanan.



5) Keandalan (Reliability) Inti pelayanan keandalan adalah setiap pegawai memiliki kemampuan yang andal, mengetahui mengenai seluk belum prosedur kerja, mekanisme kerja, memperbaiki berbagai kekurangan atau penyimpangan yang tidak sesuai dengan prosedur kerja dan mampu menunjukkan, mengarahkan dan memberikan arahan yang benar kepada setiap bentuk pelayanan yang belum dimengerti oleh masyarakat, sehingga memberi dampak positif atas pelayanan tersebut yaitu pegawai memahami, menguasai, andal, mandiri dan profesional atas uraian kerja yang ditekuninya (Parasuraman, Zeithamal, Berry, 1985 dan (Parasuraman, 2001). Keandalan dari seorang pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari berikut: 



Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat pengetahuan terhadap uraian kerjanya.







Keandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan tingkat keterampilan kerja yang dimilikinya dalam menjalankan aktivitas pelayanan yang efisien dan efektif.







Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman kerja yang dimilikinya, sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan berkualitas sesuai pengalamannya.







Keandalan dalam mengaplikasikan penguasaan teknologi untuk memperoleh pelayanan yang akurat dan memuaskan sesuai hasil output penggunaan teknologi yang ditunjukkan.



2.1.4



Upaya Peningkatan Mutu 1) Mengembangkan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. 2) ISO 9001:2000 yaitu suatu standar internasional untuk sistem manajemen kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian proses pelayanan terhadap kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan oleh pelanggan dan rumah sakit. 3) Memperbarui keilmuan untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir. 11



4) Good corporate governance yang mengatur aspek institusional dan aspek bisnis dalam penyelenggaraan sarana pelayanan kesehatan dengan memperhatikan transparansi dan akuntabilitas sehingga tercapai manajemen yang efisien dan efektif. 5) Clinical governance merupakan bagian dari corporate governance, yaitu sebuah kerangka kerja organisasi pelayanan kesehatan yang bertanggung jawab atas peningkatan mutu secara berkesinambungan. Tujuannya adalah tetap menjaga standar pelayanan yang tinggi dengan menciptakan lingkungan yang kondusif. Clinical governance menjelaskan hal hal penting yang harus dilakukan seorang dokter dalam menangani konsumennya (pasien dan keluarga). 6) Membangun aliansi strategis dengan rumah sakit lain baik di dalam atau luar negeri. Kerja sama lintas sektor dan lintas fungsi harus menjadi bagian dari budaya rumah sakit seperti halnya kerja sama tim yang baik. Budaya dikotomi pemerintah



dengan



swasta



harus



diubah



menjadi



falsafah



“bauran



pemerintahswasta (public-private mix) yang saling mengisi dan konstruktif. 7) Melakukan evaluasi terhadap strategi pembiayaan, sehingga tarif pelayanan bisa bersaing secara global, misalnya outsourcing investasi, contracting out untuk fungsi tertentu seperti cleaning service, gizi, laundry, perparkiran. 8) Orientasi pelayanan. Sering terjadi benturan nilai, di satu pihak masih kuatnya nilai masyarakat secara umum bahwa rumah sakit adalah institusi yang mengutamakan fungsi sosial. Sementara itu di pihak lain, etos para pemodal/ investor dalam dan luar negeri yang menganggap rumah sakit adalah industri dan bisnis jasa, sehingga orientasi mencari laba merupakan sesuatu yang absah. 9) Orientasi bisnis dapat besar dampak positifnya bila potensial negatif dapat dikendalikan. Misalnya, tindakan medis yang berlebihan dan sebenarnya tidak bermanfaat bagi pasien menciptakan peluang terjadinya manipulasi pasien demi keuntungan finansial bagi pemberi layanan kesehatan. Perlu mekanisme pembinaan etis yang mengimbangi dua sistem nilai yang dapat bertentangan, yaitu antara fungsi sosial dan fungsi bisnis.



2.2



Indikator Penilaian Mutu Asuhan Keperawatan Mutu asuhan pelayanan dalam rumah sakit pada umumnya memiliki tiga aspek



penilaian diantaranya evaluasi, dokumen, instrumen dan audit (EDIA). Mutu asuhan



12



kesehatan di dalam RS selalu memiliki keterkaitan dengan struktur, proses dan outcome dari sistem pelayanan rumah sakit (Nursalam, 2014). 1. Aspek struktur (input) Struktur adalah seluruh input dalam sistem pelayanan rumah sakit yang meliputi M1 (tenaga), M2 (sarana prasarana), M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5 (pemasaran) dan lain-lain. 2. Proses Proses merupakan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang mengadakan interaksi secara profesional dengan pasien. Interaksi ini diukur dalam penilaian mengenai penyakit pasien, penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit dan prosedur pengobatan. 3. Outcome Outcome adalah hasil akhir kegiatan yang dilakukan oleh dokter, perawat dan tenaga profesi lain terhadap pasien. 1) Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi: • Angka infeksi nosokomial: 1–2% • Angka kematian kasar: 3–4% • Kematian pascabedah: 1–2% • Kematian ibu melahirkan: 1–2% • Kematian bayi baru lahir: 20/1.000 • NDR (Net Death Rate): 2,5% • ADR (Anesthesia Death Rate) maksimal 1/5.000 • PODR (Post-Operation Death Rate): 1% • POIR (Post-Operative Infection Rate): 1% 2) Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi Rumah Sakit: • Biaya per unit untuk rawat jalan • Jumlah penderita yang mengalami dekubitus • Jumlah penderita yang jatuh dari tempat tidur • BOR: 70–85% • BTO (Bed Turn Over): 5–45 hari atau 40–50 kali per satu tempat tidur/ tahun • TOI (Turn Over Interval): 1–3 hari TT yang kosong • LOS (Length of Stay): 7–10 hari (komplikasi, infeksi nosokomial, gawat darurat; tingkat kontaminasi dalam darah, tingkat kesalahan,dan kepuasan pasien) 13



• Normal Tissue Removal Rate: 10%. 3) Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan jumlah keluhan dari pasien/keluarganya, surat pembaca di koran, surat kaleng, surat masuk di kotak saran, dan lainnya. 4) Indikator cakupan pelayanan sebuah Rumah Sakit terdiri atas: • Jumlah dan persentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien • Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan jumlah kunjungan SMF spesialis • Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas dibandingkan dengan standar (indikator) nasional. Jika bukan angka standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan hasil pencatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama, setelah dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing SMF dan staf lainnya yang terkait. 5) Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien: • Pasien terjatuh dari tempat tidur/kamar mandi • Pasien diberi obat salah • Tidak ada obat/alat emergensi • Tidak ada oksigen • Tidak ada suction (penyedot lendir) • Tidak tersedia alat pemadam kebakaran • Pemakaian obat • Pemakaian air, listrik, gas, dan lain-lain. Indikator keselamatan pasien yang digunakan dan dilaksanakan oleh Singapore General Hospital (SGH) pada tahun 2006 antara lain: 1) Pasien jatuh disebabkan kelalaian perawat, kondisi kesadaran pasien, beban kerja perawat, model tempat tidur, tingkat perlukaan, dan keluhan keluarga 2) Pasien melarikan diri atau pulang paksa, disebabkan kurangnya kepuasan pasien, tingkat ekonomi pasien, respons perawat terhadap pasien, dan peraturan rumah sakit 3) Clinical Incident di antaranya jumlah pasien flebitis, jumlah pasien ulkus dekubitus, jumlah pasien pneumonia, jumlah pasien tromboli, dan jumlah pasien edema paru karena pemberian cairan yang berlebih 14



4) Sharp Injury, meliputi bekas tusukan infus yang berkali-kali, kurangnya keterampilan perawat, dan komplain pasien 5) Medication Incident, meliputi lima tidak tepat (jenis obat, dosis, pasien, cara, waktu).



2.3 Audit Internal Pelayanan Keperawatan dan Audit Personalia 2.3.1 Audit Internal Pelayanan Keperawatan Audit internal adalah suatu kegiatan penjagaan mutu (menilai kesesuaian antara fakta dengan kriterianya) dan konsultasi oleh tim independen serta objektif yang dirancang untuk memberikan nilai tambah sekaligus memajukan kegiatan organisasi dalam mencapai tujuannya. Auditor internal membantu manajemen dalam hal (Nursalam, 2014:312): 1) Memonitor aktivitas yang tidak dapat dilakukan manajemen, ketika tim audit setiap tahun mengajukan jadwal audit ke manajemen eksekutif (contoh audit asuhan keperawatan, audit infeksi nosokomial); 2) Mengidentifikasi dan meminimalkan risiko; 3) Memvalidasi laporan untuk manajemen senior dengan melakukan tinjauan terhadap laporan untuk meyakinkan akurasi, ketepatan waktu dan maknanya, sehingga keputusan manajemen yang didasarkan pada laporan tersebut lebih valid; 4) Meninjau kegiatan yang sudah berlalu dan sedang berjalan; 5) Kegiatan audit program berupa penilaian kebijakan atau program pada saat masih dalam rancangan, pada saat diimplementasikan, dan hasil aktual yang dicapai oleh kebijakan atau program tersebut; 6) Membantu manajer karena masalah dapat timbul bila manajer tidak cermat mengendalikan aktivitasnya, auditor internal pada umumnya dapat menemukan masalah tersebut dan memberikan rekomendasi perbaikannya. 1. Objektivitas Audit Internal Audit internal harus memliki kriteria tertentu, yaitu (Nursalam, 2014:313): 1) Harus objektif dalam melaksanakan audit dan ini merupakan sikap mental independen yang harus dijaga dalam menjalankan audit; 2) Memiliki kejujuran atas hasil produknya dan tidak melakukan kompromi atas kualitas audit; 3) Menjaga agar tidak terjadi penugasan audit kepada auditor yang secara nyata atau potensial memiliki konflik kepentingan dengan penugasan auditnya; 4) Tidak dibebani tanggung jawab operasional. 15



2. Pelaksanaan Audit di Keperawatan Pelaksanaan audit di keperawatan menurut Nursalam, (2014): 1) Dilakukan oleh tim mutu pelayanan keperawatan yang bertugas menentukan masalah keperawatan yang perlu diperbaiki. 2)



Menentukan kriteria untuk memperbaiki masalah serta menilai pelaksanaan perbaikan yang telah ditetapkan.



3) Merupakan bagian integral dari tim mutu rumah sakit dan bisa merupakan salah satu komponen dari komite keperawatan. 4) Menyampaikan hasil laporan secara periodik pada komite keperawatan untuk seterusnya disampaikan pada pimpinan rumah sakit sebagai bahan pertimbangan kebijakan lebih lanjut. 5) Diperlukan kerja sama dengan berbagai departemen yang ada di rumah sakit untuk dapatmengidentifikasi masalah, menentukan kriteria dan merencanakan perbaikan, seperti departemen farmasi, infeksi nosokomial, rekam medis, pelayanan medis, bagian pemasaran, dan lain-lain 2.3.2



Audit Personalia Audit personalia adalah pemeriksaan dan penilaian data-data personalia. Audit



personalia mengevaluasi kegiatan-kegiatan personalia yang dilakukan dalam suatu organisasi, baik bagian per bagian maupun organisasi secara keseluruhan. Hasil pemeriksaan dan penilaian menunjukkan atau mencerminkan hal-hal berikut (Nursalam, 2014:314): 1) Mengidentifikasi sumbangan departemen personalia kepada organisasi. 2) Meningkatkan kesan profesional terhadap departemen personalia. 3) Mendorong tanggung jawab dan profesionalisme lebih besar di antara karyawan departemen personalia. 4) Menstimulasi keseragaman kebijakan dan praktik personalia. 5) Memperjelas tugas dan tanggung jawab departemen personalia. 6) Menemukan masalah personalia secara kritis. 7) Mengurangi biaya sumber daya manusia melalui prosedur personalia yang lebih efektif. 8) Menyelesaikan keluhan lama dengan aturan legal. 9) Meningkatkan kesediaan untuk menerima perubahan yang diperlukan dalam departemen personalia. 10) Memberikan tinjauan terhadap sistem informasi departemen.



16



1. Pendekatan Teknis Audit Personalia Ada lima pendekatan riset personalia yang dapat diterapkan untuk melakukan audit personalia dalam suatu organisasi (Nursalam, 2014:314). 1) Pendekatan komperatif Dilaksanakan dengan cara membandingkan organisasi/perusahaan lain, baik per bagian atau secara menyeluruh, untuk menemukan bidang pelaksanaan kerja yang tidak baik. 2) Pendekatan wewenang dari luar Bergantung pada penemuan-penemuan oleh para ahli atau konsultan dari luar organisasi/perusahaan, yang digunakan sebagai standar penilaian dalam audit personalia. 3) Pendekatan statistik Dengan memperhatikan dan/atau menggunakan data yang ada, standar disusun secara statistik dengan berbagai program dan kegiatan yang dievaluasi. 4) Pendekatan kepatuhan Dilaksanakan dengan cara mengambil sampel elemen-elemen. Selanjutnya, sistem informasi personalia diperiksa terhadap pelanggaran hukum/peraturan yang terjadi dengan maksud mengetahui kebenaran terjadinya pelanggaran tersebut 5) Pendekatan MbO (Management by Objective) Dilaksanakan dengan membandingkan hasil kegiatan personalia dengan tujuan yang telah ditetapkan. Bidang pelaksanaan kerja yang jelek dapat dideteksi dan dilaporkan. 2. Laporan Audit Laporan audit umumnya disusun sebagai berikut (Nursalam, 2014:315). 1) Judul 2) Daftar isi 3) Ringkasan dan kesimpulan, terutama berguna untuk pimpinan eksekutif puncak 4) Masalah pokok (tujuan audit, analisis, evaluasi, dan sebagainya) 5) Kesimpulan dan saran 6) Tubuh (berisi: data, fakta, pandangan, serta alasan yang merupakan dasar kesimpulan dan saran) 7) Sumber data 17



8) Lampiran yang dianggap penting Laporan tersebut harus jelas menerangkan ruang lingkup dan tujuan audit. Laporan juga harus lengkap tetapi cukup ringkas serta tidak memihak dengan disertai kesimpulan serta saran yang objektif. Data-data yang mendukung laporan harus kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Laporan audit yang baik dan objektif sangat bermanfaat untuk dapat dipakai sebagai pedoman pengambilan kebijakan tertentu.



2.4 Indikator Utama Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit 2.4.1 Keselamatan Pasien 1. Definisi Keselamatan Pasien Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. 2. Standar Keselamatan Pasien Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang perlu ditangani segera di rumah sakit di Indonesia maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang merupakan acuan bagi rumah sakit di Indonesia untuk melaksanakan kegiatannya. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang disusun ini mengacu pada ”Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health Organizations, Illinois, USA, tahun 2002, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi perumahsakitan di Indonesia. Standar keselamatan pasien tersebut terdiri dari tujuh standar yaitu: 1) Hak pasien Standarnya adalah pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah sebagai berikut: a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan. 18



b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan. c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan tau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD. 2) Mendidik pasien dan keluarga Standarnya adalah Rumah Sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan keperawatan. Kriterianya adalah keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di Rumah Sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan keperawatan. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat: a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur. b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab. c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti. d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan. e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS. f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa. g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati. 3) Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai berikut: a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk,



pemeriksaan,



diagnosis,



perencanaan



pelayanan,



tindakan



pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit. b. Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar. c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.



19



d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif. 4) Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien Standarnya adalah Rumah Sakit harus mendisain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif KTD (Kecelakaan Tidak Diharapkan), dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien dengan kriteria sebagai berikut: a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”. b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja. c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif. d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis. 5) Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, standarnya adalah: a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program melalui penerapan “7 Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”. b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko keselamatan pasien dan program mengurangi KTD. c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien. d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta tingkatkan keselamatan pasien. e. Pimpinan



mengukur



dan



mengkaji



efektifitas



kontribusinya



dalam



meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, dengan kriteria sebagai berikut: 



Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.



20







Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis-jenis Kejadian yang memerlukan perhatian, mulai dari “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) sampai dengan “Kejadian Tidak Diharapkan” (Adverse event).







Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.







Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.







Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah (RCA) “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan.







Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden. Misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”.







Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.







Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.







Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.



6) Mendidik staf tentang keselamatan pasien, standarnya adalah: a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas. 21



b. RS menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut: 



Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien.







Mengintegrasikan



topik



keselamatan



pasien



dalam



setiap



kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden. 



Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani pasien.



7) Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien, standarnya adalah: a. RS merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal. b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat, dengan kriteria sebagai berikut: 



Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.







Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.



3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keselamatan dan Keamanan Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman bahaya atau kecelakaan. Kecelakaan merupakan kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak diharapkan yang dapat menimbulkan kerugian, sedangkan keamanan adalah keadaan aman dan tenteram. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan keselamatan dan keamanan, yaitu; 1. Usia Pada anak-anak tidak terkontrol dan tidak mengetahui akibat dari apa yang dilakukan. Pada orang tua atau lansia akan mudah sekali terjatuh atau kerapuhan tulang. 2. Tingkat kesadaran 22



Pada pasien koma, menurunnya respon terhadap rangsang, paralisis, disorientasi, dan kurang tidur. 3. Emosi Emosi seperti kecemasan, depresi, dan marah akan mudah sekali terjadi dan berpengaruh terhadap masalah keselamatan dan keamanan. 4. Status mobilisasi Keterbatasan aktivitas, paralisis, kelemahan otot, dan kesadaran menurun memudahkan terjadinya resiko injuri atau gangguan integritas kulit. 5. Gangguan persepsi sensori Kerusakan sensori akan memengaruhi adaptasi terhadap rangsangan yang berbahaya seperti gangguan penciuman dan penglihatan. 6. Informasi / komunikasi Gangguan komunikasi seperti afasia atau tidak dapat membaca menimbulkan kecelakaan. 7. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional Antibiotik dapat menimbulkan resisten dan syok anafilaktik. 8. Keadaan imunitas Gangguan immunitas akan menimbulkan daya tahan tubuh yang kurang sehingga mudah terserang penyakit. 9. Ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi sel darah putih Sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap suatu penyakit. 10. Status nutrisi Keadaan nutrisi yang kurang dapat menimbulkan kelemahan dan mudah terserang penyakit, demikian sebaliknya, kelebihan nutrisi beresiko terhadap penyakit tertentu. 11. Tingkat pengetahuan sebelumnya. Kesadaran akan terjadinya gangguan keselamatan dan keamanan dapat diprediksi 4. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana 23



kegiatan keselamatan pasien. TKPRS yang dimaksud bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit. Keanggotaan TKPRS terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit. TKPRS melaksanakan tugas: a. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut; b. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit; c. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan



(monitoring)



dan



penilaian



(evaluasi)



tentang



terapan



(implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit; d. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit; e. Melakukan



pencatatan,



pelaporan



insiden,



analisa



insiden



serta



mengembangkan solusi untuk pembelajaran; f. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit; dan g. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit. 5. Sasaran Keselamatan Pasien Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut: a. Ketepatan identifikasi pasien; b. Peningkatan komunikasi yang efektif; c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; d. Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan f. Pengurangan risiko pasien jatuh. Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari World Health Organization (WHO) dalam Sutanto (2014) Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKP-RS, PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI). Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam 24



keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusisolusi yang menyeluruh. Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya halhal sebagai berikut: Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki untuk meningkatkan ketelitian identifikasi pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran I Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan yaitu: pertama, untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut. Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/ atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi. Elemen Penilaian Sasaran I 25



1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. 2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah. 3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis. 4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/ prosedur. 5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi. Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antar para pemberi layanan. Maksud dan Tujuan Sasaran II Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/ atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (memasukkan ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan



tidak



melakukan



pembacaan



kembali



(read



back)



bila



tidak



memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU. Elemen Penilaian Sasaran II 1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah. 2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara lengkap oleh penerima perintah.



26



3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang menyampaikan hasil pemeriksaan. 4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan



verifikasi



keakuratan



komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten. Sasaran III : Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert) Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert). Maksud dan Tujuan Sasaran III Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang hatihati. Elemen Penilaian Sasaran III



27



1) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat. 2) Implementasi kebijakan dan prosedur. 3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan. 4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). Sasaran IV : Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat-lokasi, tepatprosedur, dan tepat- pasien. Maksud dan Tujuan Sasaran IV Salah-lokasi, salah-prosedur, salah-pasien pada operasi, adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk: 28



a. memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; b. memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang; dan c. melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/ atau implant- implant yang dibutuhkan. Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan checklist. Elemen Penilaian Sasaran IV 1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan. 2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional. 3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan pembedahan. 4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi. Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Maksud dan Tujuan Sasaran V Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan 29



berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/ atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran V 1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety). 2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif. 3) Kebijakan dan/ atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera karena jatuh. Maksud dan Tujuan Sasaran VI Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit. Elemen Penilaian Sasaran VI 1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau pengobatan, dan lain-lain. 2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. 3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan. 4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.



30



6. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien Menurut Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 menyatakan bahwa sistem pelaporan insiden dilakukan di internal rumah sakit kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC dilakukan setelah analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS. Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonim (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden ditujukan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming). Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 2x24 jam sesuai format laporan yang ada. TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan. TKPRS melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan secara nasional (Permenkes 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).



2.4.2



Kepuasan dan Kenyamanan Pasien 1. Pengukuran dan Analisis Kepuasan Survei kepuasan harus mempertimbangkan aspek apa saja yang dinilai pasien. Ada beberapa aspek yang harus diukur, antara lain atribut harapan pasien dan jasa layanan kesehatan seperti: kompetensi klinis, empati, kesediaan menjawab keluhan, responsive, keselamatan, perawatan (caring), komunikasi dan lain-lain. 2.



Teknik Pengukuran Beberapa teknik pengukuran ialah teknik rating, pengukuran kesenjangan dan indeks kepuasan. 1) Teknik rating (rating scale) Teknik ini menggunakan directly reported satisfaction, simple rating, semantic difference technique (metode berpasangan). 2) Teknik pengukuran langsung (directly reported satisfaction) 31



Teknik pengukuran langsung menanyakan pasien atau tentang kepuasan pasien terhadap atribut. Teknik ini mengukur secara objektif dan subjektif. Objektif bila stimulus jelas, langsung bisa diamati dan dapat diukur. Sebaliknya, subjektif bila rangsangan stimulus sifatnya intangible dan sulit ditentukan, sehingga lebih dikenal sebagai pengukuran persepsi asumsi dasar. Teknik ini ialah hasil telaah tentang selisih manfaat dengan pengorbanan atau risiko yang diantisipasi. Hasil di sini memberikan informasi tentang mutu layanan. Instrumen ini (directly reported satisfaction) meminta individu menilai 1) derajat kesukaan, 2) persetujuan, 3) penilaian, 4) tingkat kepuasan yang dapat dinyatakan dalam teknik skala. Skala penilaian bisa ganjil atau genap (rating scale). Dalam penetapan banyaknya skala genap bisa 1 sampai 4, 6, 8 atau 10. Analisis hasil dengan skala dapat ditentukan atas nilai rerata dan simpangan bakunya. Dominan bila kurang dari nilai rerata (bila skala positif, bila skala negatif diambil lebih dari nilai reratanya). Teknik ini banyak dipakai pada teori kepuasan yang menggunakan stimulo value judgement reaction. Prosedur metode untuk skala directly reported satisfaction melalui Langkah awal pertama, yaitu tentukan skala standar. Skala ini bisa berdasarkan nilai skala tengah dari pengukuran dan bisa ditentukan oleh peneliti berdasarkan tujuannya. Langkah kedua adalah menghitung nilai rerata. Nilai rerata komposit adalah penjumlahan nilai skala dari individu yang diamati dibagi jumlah individu. 3) Metode berpasangan Metode berpasangan menyediakan beberapa objek yang harus dinilai, kemudian individu tersebut disuruh memilih pasangannya. Metode berpasangan sering dipakai karena lebih mudah menentukan pilihan antar kedua objek pada satu waktu yang bersamaan. Misal: tingkat tanggap (response) perawat terhadap keluhan pasien. Aplikasi Model Woodruff dan Gardial, 2002 Performance Perception Cara petugas menyampaikan pelayanan kepada pasien dalam hal:



32



Disconfirmation Perception Perbandingan persepsi pasien terhadap rumah sakit lain atau harapan pasien



Satisfaction Feeling (Evaluation Overall)-A 1. Tidak Langsung Satisfaction Feeling yang berasal dari disconfirmation perception dapat berupa tidak puas, bila nilai harapan lebih besar dari performance perception puas bila harapan sama dengan performance perception: dan sangat puas bila nilai harapan lebih besar nilai performance perception. 2. Langsung Denga napa yang pernah anda terima selama pelayanan…, puaskah anda akan pelayanan petugas… (sebutkan nama produk/jasa yang diterima).



Satisfaction Feeling (Emotional Feeling)-B Menunjukkan pelayanan apa saja yang sudah diterima



Satisfaction Outcome (Word of Mouth)-A Menunjukkan apakah pasien akan merekomendasikan rumah sakit tersebut kepada orang lain



Satisfaction Outcome (Intention)-B



33



Menunjukkan apakah pasien akan menggunakan rumah sakit yang sama jika kemudian hari membutuhkan



Nursalam (2003:105) menyebutkan kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya. Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya (Kotler, 2004:42) Kepuasan pasien berhubungan dengan mutu pelayanan rumah sakit. Dengan mengetahui tingkat kepuasan pasien, manajemen rumah sakit dapat melakukan peningkatan mutu pelayanan. Persentase pasien yang menyatakan puas terhadap pelayanan berdasarkan hasil survei dengan instrument yang baku (Indikator kinerja Rumah Sakit, Depkes RI Tahun 2005:31) Menurut Rangkuti (2003), ada enam faktor menyebabkan timbulnya rasa tidak puas pelanggan terhadap suatu produk yaitu: 1. Tidak sesuai harapan dan kenyataa; 2. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan; 3. Perilaku personel kurang memuaskan; 4. Suasana dan kondisi fisik lingkungan yang tidak menunjang; 5. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai; 6. Promosi/iklan tidak sesuai kenyataan. Ada beberapa cara mengukur kepuasan pelanggan: 1. Sistem keluhan dan saran 2. Survei kepuasan pelanggan 3. Pembeli bayangan 4. Analisis kehilangan pelanggan. Menurut Leonard L. Barry dan Pasuraman “Marketing servis competin through quality” (New York Freepress, 1991: 16 ) yang dikutip Parasuraman 34



dan Zeithaml (2001) mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa layanan, antara lain: 1. Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan materi komunikasi yang menarik, dan lain-lain, 2. Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan perhatian secara pribadi kepada konsumen; 3. Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan da pengusaha untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat serta mendengar dan mengatasi keluhan dari konsumen; 4. Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat dan kosisten; 5. Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan



dan



kepercayaan



terhadap



janji



yang



teah



dikemukakankepada konsumen. Berikut merupakan tabel yang menjelaskan instrumen kepuasan pasien berdasarkan lima karakteristik (RATER): No. Karakteristik 1. RELIABILITY (KENDALA) a. Perawat mampu menangani masalah perawatan anda dengan tepat dan professional. Perawat memberikan informasi tentang fasilitas yang tersedia, cara penggunaannya dan tata tertib yang berlaku di RS. c. Perawat memberitahu dengan jelas tentang hal-hal yang harus dipatuhi dalam perawatan anda. d. Perawat memberitahu dengan jelas tentang hal-hal yang dilarang dalam perawatan anda. e. ketepatan waktu perawat tiba diruangan ketika anda membutuhkan. 2. ASSURANCE (JAMINAN) a. Perawat memberi perhatian terhadap keluan yang anda rasakan. b. Perawat dapat menjawab pertanyaan tentang tindakan perawatan yang diberikan kepada anda. c. Perawat jujur dalam memberikan informasi tentag keaaaan anda. d. perawat selalu memberi salam dan senyum ketika bertemu dengan anda. e. Perawat teliti dan terampil dalam melaksanakan tindakan keperawatan kepada anda. 35



1



2



3 4



3.



TANGIBLES (KENYATAAN) a. Perawat memberi informasi tentang administrasi yang berlaku bagi pasien rawat inap di RS. b. Perawat selalu menjaga kebersihan dan kerapihan ruangan yang anda tempati. c. Perawat selalu menjaga kebersihan dan kesiapan alat-alat Kesehatan yang digunakan. d. Perawat menjaga kebersihan dan kelengkapan fasilitas kamar mandi dan toilet. e. Perawat selalu menjaga kerapian dan penampilannya.



4.



EMPATHY (EMPATI) a. Perawat memberikan imformasi kepada anda tentang segala tindakan perawatan yang akan dilaksanakan. b. Perawat mudah ditemui dan dihubungi bila anda membutuhkan. c. Perawat sering menengok dan memeriksa keadaan anda seperti mengukur tensi, suhu, nadi, pernapasan dan cairan infus. d. Pelayanan yang diberikan perawat tidak memandang pangkat/status tapi berdasarkan kondisi anda. e. perawat perhatian dan memberi dukungan moril terhadap keadaan anda (menanyakan dan berbincang-bincang tentang keadaan anda). 5. RESPONSIVENESS (TANGGUNG JAWAB) a. Perawat bersedia menawarkan bantuan kepada Anda ketika mengalami kesulitan walau tanpa diminta. b. Perawat segera menangani Anda ketika sampai di ruangan rawat inap. c. Perawat menyediakan waktu khusus untuk membantu Anda berjalan, BAB, BAK, ganti posisi tidur, dan lain-lain. d. Perawat membantu Anda untuk memperoleh obat. e. Perawat membantu Anda untuk pelaksaan pelayanan foto dan laboratorium di RS ini. Keterangan: 1 = Sangat tidak puas 2 = Tidak Puas 3 = Puas 4 = Sangat Puas 2.4.3



Kecemasan dan Pengetahuan Pasien 1. Kecemasan Kecemasan merupakan suatu kondisi yang sangat umum terjadi karena lingkungan sosial yang terus berubah dan laju kehidupan modern semakin berkembang. Kecemasan dapat terjadi dalam banyak situasi, terkadang ringan dan menghilang dalam waktu singkat, tetapi terkadang juga dapat berlangsung lama



36



dan menjadi sangat parah sehingga dapat menyebabkan disfungsi tubuh dan mental. Dalam bidang medis, pasien lebih cenderung mengalami kecemasan akibat penyakit, yang terkadang dapat mempengaruhi hasil akhir pasien. Sebagai pemberi perawatan, perawat harus memiliki pemahaman yang jelas tentang kecemasan untuk menjaga tubuh dan pikiran seseorang agar selalu berada dalam kondisi terbaik. Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya dalam setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien. Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung. Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku pasien. Cemas adalah emosi tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan didahului oleh pengalaman baru. Takut mempunyai sumber yang jelas dan objeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respons emosi terhadap penilaian tersebut. Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti rasa tidak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, fobia tertentu. Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi. 1) Faktor Penyebab Kecemasan Kondisi kecemasan yang terjadi pada seseorang disebabkan oleh beberapa kondisi, berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kecemasan: a. Usia: Semakin meningkat usia seseorang semakin baik tingkat kematangan seseorang walau sebenarnya tidak mutlak. b. Jenis Kelamin: Gangguan lebih sering dialami perempuan daripada lakilaki.



Perempuan



memiliki



tingkat



kecemasan



yang



lebih



tinggi



dibandingkan laki-laki, dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosi yang dirasakan salah satunya adalah perasaan cemas. Perempuan cenderung melihat hidup atau peristiwa yang dialaminya secara seksama sedangkan laki-laki cenderung global atau secara umum saja. 37



c. Tahap Perkembangan: Setiap tahap dalam usia perkembangan sangat berpengaruh pada perkembangan jiwa termasuk didalamnya konsep diri yang akan mempengaruhi ide, pikiran, kepercayaan dan pandangan individu tentang dirinya dan dapat mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Individu dengan konsep diri yang negative lebih rentan terhadap kecemasan. d. Tipe Kepribadian: Orang yang berkepribadian A lebih mudah mengalami gangguan stress daripada orang yang memiliki kepribadian B. Orang-orang pada tipe A dianggap lebih memiliki kecenderungan untuk mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, sebab mereka menempatkan diri mereka sendiri pada suatu tekanan waktu dengan meniciptakan suatu batas waktu tertentu untuk kehidupan mereka. e. Pendidikan: Seorang dengan tingkat pendidikan yang rendah mudah mengalami



kecemasan,



karena



semakin



tinggi



pendidikan



akan



mempengaruhi kemampuan berfikir seseorang. f. Status Kesehatan: Seseorang yang sedang sakit dapat menurunkan kapasitas seseorang dalam menghadapi stress. g. Makna yang Dirasakan: Jika stressor dipersepdikan akan berakibat baik maka tingkat kecemasan yang akan dirasakan akan berat. Sebaliknya jika stressor dipersepsikan tidak mengancam dan individu mampu mengatasinya maka tingkat kecemasan yang dirasakan akan lebih ringan. h. Nilai-nilai Budaya dan Spiritual: Nilai-nilai budaya dan spiritual dapat mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku seseorang. i. Dukungan Sosial dan Lingkungan: Dukungan sosial dan lingkungan sekitar dapat memepengaruhi cara berpikirseseorang tentang diri sendiri dan orang lain. Hal ini disebabkan oleh pengalaman seseorang dengan keluarga, sahabat, rekan kerja dan lain-lain. Kecemasan akan timbul jika seseorang merasa tidak aman terhadap lingkungan. j. Mekanisme Koping: Ketika mengalami kecemasan, individu akan menggunakan



mekanisme



koping



untuk



mengatasinya



dan



ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif menyebabkan terjadinya perilaku patologis.



38



k. Pekerjaan: adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan keluarga. Bekerja bukanlah sumber kesenangan tetapi dengan bekerja bisa diperoleh pengetahuan. 2) Kecemasan Dalam Mutu Pelayanan Keperawatan Penilaian



Tingkat



Kecemasan



Zung



Self-Rating



Anxiety



Scale



(SAS/SRAS) adalah penilaian kecemasan pada pasien dewasa yang dirancang oleh William W. K. Zung, dikembangkan berdasarkan gejala kecemasan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-II). Terdapat 20 pertanyaan, di mana setiap pertanyaan dinilai 1–4 (1: tidak pernah, 2: kadangkadang, 3: sebagian waktu, 4: hampir setiap waktu). Terdapat 15 pertanyaan ke arah peningkatkan kecemasan dan 5 pertanyaan ke arah penurunan kecemasan (Zung



Self-Rating



Anxiety



Scale).



Rentang



penilaian



20–80,



dengan



pengelompokan antara lain: 1. skor 20–44: normal/tidak cemas; 2. skor 45–59: kecemasan ringan; 3. skor 60–74: kecemasan sedang; 4. skor 75–80: kecemasan berat. 2. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan ini diperoleh dari aktivitas pancaindra yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan indra perasa, sebagian basar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003: 121). Penelitian Rogers (1974) dalam buku pendidikan dan perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu: a. Awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek); b. Interest (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus; c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut baginya; d. Trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru; e. Adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berperilaku baru yang sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Namun, berdasarkan



penelitian



selanjutnya, 39



Rogers



menyimpulkan



bahwa



perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan di atas. Jika penerima perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yaitu dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, perilaku itu tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003: 121).



1) Perencanaan Pulang (Discharge Planning) Perencanaan pulang merupakan suatu proses yang dinamis dan sistematis dari penilaian, persiapan, serta koordinasi yang dilakukan untuk memberikan kemudahan pengawasan pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial sebelum dan sesudah pulang. Perencanaan pulang merupakan proses yang dinamis agar tim kesehatan mendapatkan kesempatan yang cukup untuk menyiapkan pasien melakukan perawatan mandiri di rumah. Perencanaan pulang didapatkan dari proses interaksi ketika perawat profesional, pasien dan keluarga berkolaborasi untuk memberikan dan mengatur kontinuitas keperawatan. Perencanaan pulang diperlukan oleh pasien dan harus berpusat pada masalah pasien, yaitu pencegahan, terapeutik, rehabilitatif, serta perawatan rutin yang sebenarnya. Perencanaan pulang akan menghasilkan sebuah hubungan yang terintegrasi yaitu antara perawatan yang diterima pada waktu di rumah sakit dengan perawatan yang diberikan setelah pasien pulang. Perawatan di rumah sakit akan bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Namun, sampai saat ini perencanaan pulang bagi pasien yang dirawat belum optimal karena peran perawat masih terbatas pada pelaksanaan kegiatan rutinitas saja, yaitu hanya berupa informasi tentang jadwal kontrol ulang (Nursalam, 2011). Tujuan dari perencanaan pulang adalah: a. Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial; b. Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga; c. Meningkatkan perawatan yang berkelanjutan pada pasien; d. Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain;



40



e. Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien; f. Melaksanakan rentang perawatan antarrumah sakit dan masyarakat. Perencanaan pulang bertujuan membantu pasien dan keluarga untuk dapat memahami permasalahan dan upaya pencegahan yang harus ditempuh sehingga dapat mengurangi risiko kambuh, serta menukar informasi antara pasien sebagai penerima pelayanan dengan perawat dari pasien masuk sampai keluar rumah sakit. Prinsip-prinsip dalam perencanaan pulang antara lain: a. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang sehingga nilai keinginan dan kebutuhan dari pasien perlu dikaji dan dievaluasi; b. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi lalu dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul pada saat pasien pulang nanti, sehingga kemungkinan masalah yang timbul di rumah dapat segera diantisipasi; c. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif karena merupakan pelayanan multidisiplin dan setiap tim harus saling bekerja sama. d. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan pengetahuan dari tenaga/sumber daya maupun fasilitas yang tersedia di masyarakat. e. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap system atau tatanan pelayanan kesehatan. Komponen perencanaan pulang terdiri atas: a. Perawatan di rumah meliputi pemberian pengajaran atau pendidikan kesehatan (health education) mengenai diet, mobilisasi, waktu kontrol dan tempat



kontro,



pemberian



pelajaran



disesuaikan



dengan



tingkat



pemahaman dan keluarga mengenai perawatan selama selama pasien di rumah nanti; b. Obat-obatan yang masih diminum dan jumlahnya, meliputi dosis, cara pemberian dan waktu yang tepat minum obat; c. Obat-obat yang dihentikan, karena meskipun ada obat-obat tersebut sudah tidak diminum lagi oleh pasien, obat-obat tersebut tetap dibawa pulang pasien; 41



d. Hasil pemeriksaan, termasuk hasil pemeriksaan luar sebelum MRS dan hasil pemeriksaan selama MRS, semua diberikan ke pasien saat pulang. e. Surat-surat seperti surat keterangan sakit, surat kontrol. Faktor-faktor yang perlu dikaji dalam perencanaan pulang adalah: a. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, terapi dan perawatan yang diperlukan; b. Kebutuhan psikologis dan hubungan interpersonal di dalam keluarga; c. Keinginan keluarga dan pasien menerima bantuan dan kemampuan mereka memberi asuhan; d. Bantuan yang diperlukan pasien; e. Pemenuhan kebutuhan aktivitas hidup sehari-hari seperti makan, minum, eliminasi, istirahat dan tidur, berpakaian, kebersihan diri, keamanan dari bahaya, komunikasi, keagamaan, rekreasi dan sekolah; f. Sumber dan sistem pendukung yang ada di masyarakat; g. Sumber finansial dan pekerjaan; h. Fasilitas yang ada di rumah dan harapan pasien setelah dirawat; i. Kebutuhan perawatan dan supervisi di rumah. Tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada pasien sebelum pasien diperbolehkan pulang adalah sebagai berikut. a. Pendidikan kesehatan: diharapkan bisa mengurangi angka kambuh atau komplikasi dan meningkatkan pengetahuan pasien serta keluarga tentang perawatan pascarawat. b. Program pulang bertahan: berujuan untuk melatih pasien untuk kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat. Program ini meliputi apa yang harus dilakukan pasien di rumah sakit dan apa yang harus dilakukan oleh keluarga. c. Rujukan: integritas pelayanan kesehatan harus mempunyai hubungan langsung antara perawat komunitas atau praktik mandiri perawat dengan rumah sakit sehingga dapat mengetahui perkembangan pasien di rumah. Pengetahuan tentang perawatan penyakitnya: Jumlah pasien yang kurang pengetahuan × 100% 42



Jumlah pasien yang dirawat pada periode tertentu Perencanaan pasien pulang (discharge planning): Jumlah pasien yang tidak dibuat pada periode tertentu × 100% Jml pasien yang dirawat pada periode tertentu



3



BAB 3 PENUTUP



3.1



Kesimpulan Penilaian mutu pelayanan keperawatan diharapkan dapat mengacu pada standar yang telah ditetapkan baik secara nasional yaitu SNARS 2012 edisi 1.1 atau sesuai dengan standar JCI. Peningkatan mutu pelayanan keperawatan dapat dimaksimalkan melalui peningkatan kualitas di tiap indikator pelayanan dan disertasi kerja sama dari berbagai pihak. Meningkatnya mutu pelayanan keperawatan maka akan dapat meningkatkan pula mutu pelayanan rumah sakit sehingga dapat meningkatkan angka kunjungan pasien ke rumah sakit tersebut. Manajer keperawatan dapat berkontribusi pada penyediaan layanan berkualitas dengan mengevaluasi kepuasan pasien dengan asuhan keperawatan untuk pengembangan dan peningkatan asuhan keperawatan berdasarkan harapan pasien. Evaluasi pelayanan dapat memperhatikan beberapa aspek seperti menentukan persyaratan pelatihan untuk perawat dan program pelatihan selama masa jabatan harus diatur untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam perencanaan perawatan.



3.2



Saran Seorang perawat harus menginformasikan pasien tentang setiap tindakan yang dilakukan dan memberikan penjelasan yang diperlukan tentang penyakit, diagnosis dan pengobatan untuk memastikan kepuasan pasien dan penyediaan asuhan keperawatan berkualitas tinggi. Selain itu, perawat hendaknya memberikan asuhan dalam rangka menghormati, menyayangi dan sopan santun kepada pasien dengan menekankan pada pentingnya komunikasi. Kepuasan pasien sebagai indikator utama dalam penilaian mutu pelayanan keperawatan sangatlah penting sehingga harus dilakukan dengan semaksimal mungkin dan melibatkan semua pihak.



43



4 DAFTAR PUSTAKA Fitriyanah, E., Noer’aini, I. and Utomo, T. P. (2015) ‘Perbedaan Tingkat Kepuasan Pasien BPJS dan Pasien Umum Tentang Mutu Pelayanan Keperawatan Unit Rawat Inap Kelas 3 RSUD DR.H Soewondo Kendal’, Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, p. 2015. Jayanti, L. D. and Haryati, R. T. (2020) ‘Pengembanga Sistem Informasi Manajemen Dengan Integrated Clinical Pathway Terhadap Mutu Pelayanan Keperawatan’, Malaysian Palm Oil Council (MPOC), 21(1), pp. 1–9. Available at: http://mpoc.org.my/malaysian-palmoil-industry/. Nursalam (2014) Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. 4th edn. Jakarta: Salemba Medika. Perceka, A. L. (2020) ‘Hubungan Mutu Pelayanan Keperawatan Dengan Kepuasan Pasien Di Ruangan IGD RSUD Dr. Slamet Garut’, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 6(2), pp. 270–277. Suryaningsih, D. (2012) ‘Model Supervisi Klinis Yang Dapat Meningkatkan Mutu Pelayanan Keperawatan’, Seminar Nasional dan Call for Paper |, pp. 203–211. Wahyudi, R. E., & Permanasari, V. Y. (2018). Analysis of the Quality of Nursing Services According to Hospital Accreditation 2012 Version, Reviewed from Baldrige Malcolm Criteria in Pasar Minggu Jakarta Selatan Hospital in 2017. KnE Life Sciences, 232-243. Freitas, J. S. , Silva, A. E. B. C. , Minamisava, R. , Bezerra, A. L. Q. , & Sousa, M. R. G. (2014). Quality of nursing care and satisfaction of patients attended at a teaching hospital. Revista Latino‐Americana De Enfermagem, 22(3), 454–460. 10.1590/01041169.3241.2437



44



45