Makalah Kelompok 1 Qowaid Fiqhiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH QOWAID FIQHIYAH Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid Di susun guna memenuhi tugas Matakuliah: Qowaid Fiqhiyah Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ade Dedi Rohayana, M. Ag.



Disusun Oleh: 1. Nur Aisah (1518030) 2. Riayana (1520001) 3. Dewi Sekar Arum (1520002) 4. Wahyu Sri Supeni (1520004) 5. Afaf Fayadah (1520010) 6. Muhammad Zidni Mufid (1520011)



Kelas/Semester : A/III FAKULTAS HUKUM TATA NEGARA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2021



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Swt, karena dengan rahmat, karunia, taufik, dan hidayah serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid”. Kami juga berterima kasih kepada Pak Prof. Dr. Ade Dedi Rohayana, M. Ag. selaku Dosen mata kuliah Qowaid Fiqhiyah yang telah membimbing dan mengajarkan serta memberikan tugas ini pada kami. Kami menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih dan memohon maaf jika dalam penyusunan makalah kami ini banyak kekeliruan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk evaluasi. Semoga makalah yang sederhana ini dapat menambah pengetahuan kita dan mampu memberikan manfaat akademis dan sosial bagi semua pihak.



Pekalongan, 2 November 2021



Penyusun



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penulisan BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid B. Qoidah Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid C. Penerapan Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid BAB III PENUTUP A. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Para Pakar ushul fiqih pada zaman dahulu telah merumuskan kaidah-kaidah dalam menghadapi praktik fiqih yang diambil dari teks nash al-Quran dan Sunnah, dengan adanya rumusan dengan konsep pemikiran yang berbeda-beda maka tak heran kaidah yang ditimbulkan akan berbeda-beda, tergantung kondisi tempat dan waktu, Ibn Qayyim Al Jauziyah menyebutkan dalam kitabnya ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘an Rabb ‘Alamin bahwa; “Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat keadaan, niat, dan adat kebisaaan”.1 Hal ini lah yang menjadi pertimbang dalam pemikiran para Pakar dalam merumusakan kaidah fiqih yang bersifat dinamis. Kaidah fiqih sangatlah dinamis dalam teorinya banyak kaidah fiqih yang dirumuskan secara terperinci sehingga terbentuklah pemetaan dimana yang bersifat kaidah Ashal, dan mana yang berisfat furu’iyyah. Beberapa Peneliti menjelaskan sejarah Qoidah fiqih dengan membagi periodesasinya menjadi tiga periode;2 1) Fase pertumbuhan dan pembentukan / tawr al-nusyu wa altakwin (Abad 1-3 H); 2) Zaman perkembangan dan Kodifikasi / tawr alnamu`wa al tadwin (Abad ke 4 H); 3) Zaman kematangan dan penyempurnaan / tawr al-rusukh wa al tansiq (Abad xi H-kini).



1 Ibn Qayyim Al Jauzyah, ‘Ilamul Muwaqqi’in ‘An Rabb ‘Alamin (Beirut: Dar Al Kutub ‘Ilmiah. 1991), Juz II, hlm 38 2 Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm 43



Namun, menurut Penulis dalam kenyataannya kaidah fiqih yang terdapat sekarang ini terkadang masih banyak yang bersifat “baku” dan perlu kajian yang lebih lanjut dalam mencari rumusannya sebab terkadang ia kurang relevan dalam Implikasi sekarang ini. Seperti kaidah; “Meninggalkan kemafsadatan harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan” Kaidah Jalbul Mashlih wa Darul Mafasid ini, menurut kami harus diadakan kajian lebih mendalam, karena kaidah ini akan membatasi suatu hukum, seakanakan ketika dalam suatu kasus terdapat kemafsadatan dan kemaslahatan, maka lebih baik ditinggalkan daripada mengambil kemaslahatan tersebut. Dan yang membuat Penulis ingin mengkaji kaidah fiqih ini adalah sebatas mana implikasi dan dampak dari penerapan kaidah ini dalam fiqih madzhab. Karena dalam era modern ini dengan kecanggihan teknologi mungkin dalam kasus diatas mungkin akan bisa kita ambil maslahatnya lalu kita minimalisir kemafsadatannya. B. Rumusan Masalah 1. Pengertian Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid 2. Qoidah Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid 3. Penerapan Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid C. Tujuan Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui apa pengertian Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid, Qoidah Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid, dan penerapan Jalbul Mashlih Wa Daf'ul Mafasid yang perlu dipelajari sebagai seorang akademisi dari perguruan tinggi Islam.



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang ada tidak terlepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur kemafsadatan. Ada yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, ada pula yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, atau bahkan mengandung dua-duanya, walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi persentase apakah lebih besar unsur kemaslahatannya dari pada kemafsadatannya ataupun sebaliknya. Maslahat maksudnya hal yang membawa kepada tujuan yang sesuai dengan tujuan dan konsep syariat atau Maqasid As-Syari’ah yaitu Hifz ad-Din (Memelihara keberagamaan), Hifz an-Nafs (memelihara jiwa), Hifz ‘Aql (memelihara akal), Hifz Maal (memelihara harta), Hifz Nasl (memelihara keturunan). Sedangkan maksud dari Kemadharatan adalah sebaliknya. 2) Landasan Teori Ushul Fiqih menurut batasan yang diberikan oleh para ahlinya yaitu ilmu tentang kaidah istinbath hukum syariat dari dalil yang tafsili. 3 Keberhasilan penggalian hukum dari dalil tafsili (al-Quran dan as-Sunnah) akan sangat ditentukan oleh pengetahuan tentang maksud syara itu sendiri. a. Q.S: An-Najm (53): 3-4 “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut keinginanya. tiadak lain (al Quran itu) adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. Maksudnya adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali apabila mengandung sebuah kemaslahatan murni tanpa ada unsur mafsadat sedikitpun atau sebuah maslahat besar meskipun ada sedikit mafsadatnya. Demikian pula, Allah dan Rasul-Nya tidak akan melarang sesuatu 3 Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi tabaqat al-Ushuliyyin, (Mesir: muhammad Amin Ramji Wassyirkah, 1974), jild II, hlm 204



kecuali



apabila



mengandung



mafsadat



murni



tanpa



ada



kemaslahatan sedikitpun atau sebuah mafsadat besar meskipun sedikit berbalutkan kemaslahatan. b) Q.S: An-Nahl (16): 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” Pada



ayat



ini



Allah



memerintah



dan



melarang.



Perhatikanlah yang diperintahkan Allah, semuanya adalah sesuatu yang mengandung kemaslahatan, juga perhatikanlah yang dilarang oleh-Nya, semuanya mengandung mafsadat (kerusakan). Semua perintah serta larangan dalam al-Qur‘an dan sunnah pun demikian.



Tidak ada satu pun perintah



melainkan pasti



mengandung maslahat dan sebaliknya tidak ada satu pun larangan melainkan mengandung mafsadat. Jalbu al-Mashalih wa Daf‟u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam seharihari tidak jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari‟ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, ada pula yang menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari‟ahdan seluruh yang mafsadat dilarang. Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya qawaid al-Ahkam fi Musholih al-Anam mengatakan bahwa seluruh Syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan meraih maslahah. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada mashlahat ada pula yang menyebabkan mafsadah.



Baik maslahat maupun mafsadah ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk kepentingan ukhrowiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan duniawiyah sekaligus ukhrowiyah. Seluruh yang maslahat diperintahkan oleh syariat dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syariat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan kemudharatannya.4  Kemaslahatan dapat dibagi menjadi tiga bagian: 1. Kemaslahatan dari wajibat, setiap hal yang wajib pasti membawa kemaslahatan. Contohnya shalat fardu. 2. Kemaslahatan dari mandubat (tindakan yang sunah). Contohnya Sholat Sunah.Semua hal yang wajibat maupun yang mandubat adalah sesuatu yang membawa kemaslahatan, apabila kita melaksanakan perintah Allah, maka kita termasuk orang yang bertakwa. Adapun Allah memberikan jaminan kepada orang yang bertakwa, di antaranya:QS. Ath-Thalaq (65): 2, “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. 3. Kemaslahatan dari mubahat (tindakan yang jawaz), yang dimaksud mubah di sini adalah bukan sesuatu yang jika dikerjakan ataupun ditinggalkan tidak akan mendapat pahala ataupun berdosa. Tapi,



4 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 27.



sesuatu yang jika sudah diperbuat maka akan menimbulkan dua kemungkinan yaitu akan jadi baik atau bahkan buruk.5 Jika hal mubah yang kita perbuat sesuai dengan syariat Islam maka insyaallah akan mendapat pahala dan sebaliknya. Contohnya, Makan dan minum.  Kemafsadatan juga dibagi menjadi dua bagian: 1. Kemafsadatan dari makruhat (tindakan yang makruh), contohnya, memakan hal-hal yang menyebabkan bau tidak nyaman, berkumur ketika berpuasa. 2. Kemafsadatan dari muharromat (tindakan yang haram), contohnya adalah berzina.6 Sebagian besar kemashlahatan dunia dan mafsadatnya telah diketahui akal pengetahuan. Melaksanakan kemashlahatan murni dan menolak kemafsadatan murni merupakan perbuatan yang sangat terpuji bagi manusia. Demikian pula, dalam



mendahulukan



kemashlahatan



yang



lebih



unggul



dan



menolak



kemafsadatan yang lebih unggul atau menolak kemafsadatn yang lebih unggul terlebih dahulu, kemudian mengerjakan kemashlahatan tingkat biasa atau mengerjakan kemashlahatan yang lebih unggul, kemudian menolak kemafsadatan tingkat biasa, perihal tersebut sudah ada consensus atas kebaikannya oleh ahli Hukum. Dalam syariat terdapat perbedaan mana yang harus didahulukan antara menolak kemafsadatan atau mengerjakan kemadharatan, hal ini pada prinsipnya hanya berorientasi pada sulitnya mengetahui tingkat keunggulan masing-masing. Banyak manusia yang mengalami kebingungan, akhirnya mereka tidak mengerjakan kemashlahatn dan tidak memberantas kemafsadatan. Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu: 1. Jalbul Masholih, Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama, dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling maslahat. QS. Az-Zumar (39): 17-18, 5 Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia, terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), h. 7. 6 Ibid



ِ‫ َّزنَٔا‬ِٚQJٍَٚR َ‫َُج ْزخا‬QKَُ ‫ٕدغبَّطنا ُٕا‬Qَُُٕ ‫ؼ‬ َ ‫أ‬ٌَٚ ْ‫َُ ُذج‬Qَْٔ‫نِإ ُٕاثبََأَٔ ُْٔب‬QK َٗٗ ‫ُن ََُُّۚ ِ َّال َّل‬QKَٓ‫ََٰٖۚ ْش ُشجْ نا ُُٓى‬KًَٰٖۚQr ٰ ‫دبَ ِجػ ْ ِّش َش َجي‬ ََُُّ َٰ ُۖ َٰ ْ َُُٔ َُُٕٕ‫ َّزناَْاْل ِ ةبَجْ ن‬ِٚQJٍَٚR َ‫س‬ ُ ْ ‫أ‬Q‫ٔن‬ َ ٚ‫ِؼ‬ ًَِ ً‫َُ ْز َـ‬Qٌٌَُٕٕ َ‫ ْمنا‬KQ‫َّزي َ َْْٕٕل‬KَٛQَٛ ‫ؼج‬ ِ َُQٌٌَُٕٕ َ‫سْزَ أ‬QKًَُُّۚ~ ًُۚ‫َُأ‬Qُٔ‫ٔن‬KَٰQ‫ َّزنا َ ِكئ‬ِٚQJٍَٚR َ‫ َّال َّل ُ ْىُا َ َْذ‬Qَُ ْْۖ َٔ‫َُأ‬Qُٔ‫ٔن‬KَٰQ‫ى َ ِكئ‬ “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku,Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”. Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa ketika ada dua perkara yang baik, maka ambillah perkara yang paling baik di antara keduanya. Sebagai contoh, menghormati tamu adalah suatu yang maslahat, wiridan setelah sholat juga maslahat, lalu ketika kita sehabis sholat dan ada seorang tamu yang datang, maka temuilah tamu itu dan tinggalkanlah wiridan karena menghormati tamu adalah sesuatu yang membawa maslahat bagi kita pribadi juga bagi sang tamu sendiri. Sedangkan mashlahat dari wiridan adalah hanya untuk diri kita sendiri. 2) Mashlahah “dar‟ul mafasid” (mashlahah dharuraat) Apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan mafsadat berarti mengejar maslahat. QS. Al-Baqarah (02): 11, َ َ ٍُQR ُْ ‫س ْهصُي‬ ٌٌََََُُٕٕٔ‫مل اَ ِرإ‬ٛQJِٛ َ ‫ُن‬QKَٓ‫ي ُٔا ِذ ْسفُر َ َل ُْٓى‬ِٙQJ ٙ ‫س ْاْل‬ َ ْ‫ًًَّۚإ ُٕانبَل ِض‬Q~ِ‫س ًَب‬ ِ “Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan".



Contohnya. Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kontraksi yang sangat parah, sampai akhirnya dokter memberikan pilihan kepada keluarga tersebut untuk memilih salah satu jiwa yang harus dikorbankan. Dalam kasus ini maka yang harus dikorbankan adalah sang anak. Karena ketika menyelamatkan seorang ibu kemungkinan sang ibu bisa hamil kembali. Tapi ketika yang diselamatkan sang anak, anak tersebut hanya akan dibesarkan oleh sang ayah seorang. 3. Dar‟ul mafaasid muqaddamun „ala jalbil masholih Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat. Contohnya, pada suasana panas, tidak berkumur dalam wudhu ketika berpuasa. Berkumur ketika berwudhu adalah suatu hal yang sunah, namun ketika melakukan kumur-kumur ketika berwudhu dikhawatirkan akan membatalkan puasa, maka lebih baik tinggalkanlah kumur-kumur tersebut.73 Tapi apabila mafsadatnya lebih besar maka yang harus dipilih adalah yang maslahatnya. Sebagai contoh QS. AlBaqarah (02): 219, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir”. Ayat di atas menjelaskan bahwa khamar memiliki mashlahat dan juga mafsadat. Tapi menurut ayat di atas, mafsadat dari khamar lebih banyak dari pada mashlahatnya. Maka dari itu tinggalkanlah khamar. Persyaratan kemaslahatan adalah : 1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid Al Syariah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli Dan dalil qoth’I baik wurud maupun dalalahnya.



7 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta: Maktabah as-Sa‟adiyyah Putra, t. th ), h. 46.



2.



Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan kemudharatan.



3.



Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan yang diluar batas dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.



4.



Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan kepada sebagian kecil masyarakat.



Seluruh ketentuan agama adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat.



Ketaatan



hamba



tidak



akan



menambah



apa-apa



kepada



kemahasempurnaan dan kemahakuasaan Allah dan sebaliknya kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kemahasempurnaan Allah SWT. Bagaimanapun semua hal yang membuat sesuatu menjadi sempit dan sulit harus dihilangkan, karena agama diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan kesulitan bagi manusia, melainkan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Kaidah pokok itu adalah : “Kesulitan itu mendatangkan kemudahan.” Dari kaidah ini diakui adanya dispensasi dalam hukum Islam. Keringanan dalam lingkup ibadah dan sebagainya dikenakan adanya apabila memenuhi 6 sebab : 1. Kondisi atau alasan dalam perjalanan (al-safar) 2. Dalam kondisi sakit (Al-maradh) 3. Karena terpaksa (al-ikrah) 4. Karena lupa (al-nisyam) 5. Karena ketidaktahuan atau belum mengerti (al-fahl) 6. alasan kekurangan yang bersifat alamiah (Al naqsah) 7. Karena kesulitan dan bencana global (al-asr wa umum al-balwa) Asal muasal dari kaidah di atas adalah dari nash Alquran, yakni firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 185 :



Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: ۤ ٰ ‫ت ِّمنَ ْال‬ ‫هُدى َوا ْلفُرْ قَا ِن ۚ فَ َم ْن‬ ٍ ‫س َو بَيِّ ٰن‬ َ ‫َش ْه ُر َر َم‬ ِ ‫ ِه ْالقُرْ ٰا نُ هُدًى لِّلنَّا‬Q‫ز َل فِ ْي‬Q ِ Q‫ضا نَ الَّ ِذيْ اُ ْن‬ ُ ‫َش ِه َد ِم ْن ُك ُم ال َّش ْه َر فَ ْليَـ‬ ً ‫ص ْمهُ ۗ  َو َم ْن َکانَ َم ِري‬ ُ ‫ ُد هّٰللا‬Q‫فَ ٍر فَعِ َّدةٌ ِّم ْن اَيَّا ٍم اُخَ َر ۗ ي ُِر ْي‬Q‫ا اَوْ ع َٰلى َس‬Q‫ْض‬ ٰ ‫ َر ۖ  َولِتُ ْک ِملُوا ْالعِ َّدةَ َولِتُ َکبِّرُوا هّٰللا َ ع َٰلى مَا‬QQ‫ ُد بِ ُک ُم ْالع ُْس‬QQْ‫ َر َواَل ي ُِري‬QQ‫بِ ُک ُم ْالي ُْس‬ ‫هَدٮ ُك ْم َولَ َعلَّ ُک ْم‬ َ‫تَ ْش ُكرُوْ ن‬ Syahru romadhoonallaziii ungzila fiihil-qur-aanu hudal lin-naasi wa bayyinaatim minal-hudaa wal-furqoon, fa mang syahida mingkumusy-syahro falyashum-h, wa mang kaana mariidhon au ‘alaa safaring fa ‘iddatum min ayyaamin ukhor, yuriidullohu bikumul-yusro wa laa yuriidu bikumul-‘usro wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirulloha ‘alaa maa hadaakum wa la’allakum tasykuruun “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 185) Dan surat Al hajj ayat 78 : Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: َّ ‫َو َجا ِه ُدوْ ا فِى هّٰللا ِ َح‬ ‫ج ۗ  ِملَّةَ اَبِ ْي ُك ْم‬ ٍ ‫ ِّد ْي ِن ِم ْن حَ َر‬Q‫ق ِجهَا ِد ٖه ۗ هُ َو اجْ تَ ٰبٮ ُك ْم َومَا َجعَ َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ال‬ ‫ ِه ْيدًا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكوْ نُوْ ا‬Q‫وْ ُل َش‬Q‫َّس‬ ُ ‫ َذا لِيَكُوْ نَ الر‬Q‫ ُل َوفِ ْي ٰه‬Q‫لِ ِم ْينَ  ۙ  ِم ْن قَ ْب‬Q‫ ٰ ّمٮ ُك ُم ْال ُم ْس‬Q‫اِب ْٰر ِه ْي َم ۗ هُ َو َس‬ ‫ ُموْ ا بِا هّٰلل ِ ۗ هُ َو مَوْ ٰلٮ ُك ْم ۚ فَنِ ْع َم‬Q‫َص‬ ِ ‫ وةَ َوا ْعت‬Q‫س ۖ فَا َ قِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰا تُوا ال َّز ٰك‬ ِ ‫ُشهَدَٓا َء َعلَى النَّا‬ ‫ص ْي ُر‬ ِ َّ‫ْال َموْ ٰلى َونِ ْع َم الن‬



Wa jaahiduu fillaahi haqqo jihaadih, huwajtabaakum wa maa ja’ala ‘alaikum fiddiini min haroj, millata abiikum ibroohiim, huwa sammaakumul-muslimiina ming qoblu wa fii haazaa liyakuunar-rosuulu syahiidan ‘alaikum wa takuunuu syuhadaaa-a ‘alan-naasi fa aqiimush-sholaata wa aatuz-zakaata wa’tashimuu billaah, huwa maulaakum, fa ni’mal-maulaa wa ni’man-nashiir “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah sholat dan tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah kepada Allah. Dialah pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al-Hajj 22: Ayat 78) Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama yang ringan dan mudah dalam suatu riwayat suatu ketika seorang akrab Badui kencing di dalam masjid disebabkan karena ketidak mengertian nya saat itu, sahabat melihat hal tersebut tendang memarahinya. Namun Rasulullah SAW justru melarang sahabat memarahinya dan justru memberikan pandangan yang sangat bijak. “ Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan.” Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan nya. Masihlah untuk mengetahui Allah, dzat adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui hukum-hukumnya. Masihlah mengetahui hukum-hukum Allah lebih utama daripada mengetahui ayat-ayatnya, wasilah yang berupa usaha salat berjamaah yang diwajibkan lebih utama daripada wasilah yang berupa usaha salat berjamaah yang disunnahkan. Jadi ada wasilah yang menuju kepada maksud



dan adalah sila yang menuju kepada wasilah lain seperti menuntut ilmu adalah wasilah untuk mengetahui hukum-hukum Allah dan mengetahui hukum-hukum Allah adalah wasilah untuk taat kepada Allah, taat kepada Allah dan rasulnya untuk mencapai pahala dan keridhaan Allah SWT Amr Ma’ruf adalah Malaysia menuju yang Ma’ruf. Demikian pula wasilah yang menuju kepada Mafsadah juga berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadahannya Nahi munkar adalah wasilah menghindarkan kemungkaran. Masih lagi menuju kepada yang haram, ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Ibnu qayyim Al jauziyah dalam kitab I’Iam al-Mawaqi’in an al-Rabh al-Alamin, yang menyebutkan segala wasilah yang menuju ke maslahat disebutnya dengan “Fath al-Dzari’ah” maksudnya kepada yang ke maslahat dan segala wasilah yang menuju mafsaddah dan disebutnya “Sadd al-Dzari’ah” maksudnya menutup jalan kepada yang mafsaddah.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan



Jalbu al mashalih wadaf’u al mafasid maksudnya ialah bahwa semua perkara yang ada tidak terlepas dari dua unsur, yaitu unsur kemaslahatan dan unsur kemafsadatan. Ada yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, ada pula yang hanya mengandung unsur kemafasadatan saja, atau bahkan mengandung dua-duanya, walaupun nanti pada akhirnya akan terjadi persentase apakah lebih besar unsur kemaslahatannya dari pada kemafsadatannya ataupun sebaliknya. Jalbu al-Mashalih wa Daf‟u al-Mafasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan). karena pada dasarnya manusia dalam seharihari tidak jauh dengan hal yang maslahah dan mafsadat seperti yang dikatakan oleh Izzuddin bin Abdul as-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syari‟ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Ulama ushul membagi mashlahah pada tiga bagian yaitu: Jalbul Masholih, Apabila menghadapi maslahat pada waktu yang sama, dan harus dipilih salah satunya, maka pilihlah yang paling maslahat. Mashlahah “dar‟ul mafasid” (mashlahah dharuraat) Apabila menghadapi mafsadat pada waktu yang sama, maka cara memilih untuk meninggalkannya adalah dahulukan yang paling buruk akibatnya karena pada hakikatnya mengantisipasi hal-hal yang menimbulkan mafsadat berarti mengejar maslahat. Dar‟ul mafaasid muqaddamun „ala jalbil masholih Apabila terkumpul antara maslahat dan mafsadat dan antara maslahat dan mafsadatnya sama-sama kuat, maka menolak mafsadat lebih utama dari pada meraih maslahat. Wasilah atau cara jalan menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatan nya. Masihlah untuk mengetahui Allah, dzat adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui hukum-hukumnya. Demikian pula wasilah yang menuju kepada Mafsadah juga berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadahannya Nahi munkar adalah wasilah menghindarkan kemungkaran.



DAFTAR PUSTAKA



Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, Terj. Sukanan dan Khairudin, (Jakarta: Maktabah as-Sa‟adiyyah Putra, t. th ), h. 46 A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 27. Al-Maraghi, al-Fath al-Mubin fi tabaqat al-Ushuliyyin, (Mesir: muhammad Amin Ramji Wassyirkah, 1974), jild II, hlm 204 Ash-Shiddiqiey, Habibi. Falsafah Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1986 Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logis Wacana Ilmu.1999 Izzuddin Ibn Abd Salam, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Kemaslahatan Manusia, terj. Ahmad Ibnu Izar, (Bandung: Musa Media, 2011), Hlm 7 Usman, Muchlis. Filsafat Hukum Islam Malang: LBB YAN'S PRESS. 2006