Makalah Kepuasan Kerja [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA KEPUASAN KERJA (TUGAS KELOMPOK 03SMJEC 625)



DisusunOleh: 1. Aden Purnawan



2015053255



2. Anggiat Marubah 2015051752 3. Hotmansius Purba 2015051234 4. Rahmawati Ulan



2015053487



FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI EKONOMI MANAJEMEN UNIVERSITAS PAMULANG 2016



KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami selaku penulis dapat menyelesaikan makalah tentang ”KEPUASAN KERJA” ,laporan ini disusun sebagai salah satu tugas mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia 1. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Yth: 1. Heri Murtiyoko S,Pd,MM selaku dosen pembimbing mata kuliah MSDM 2. Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasan ataupun penulisannya. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen mata kuliah ini guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa depan yang akan datang,



Tangerang, 07 Desember 2016



Penyusun



ii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL........................................................................................



i



KATA PENGANTAR .....................................................................................



ii



DAFTAR ISI ....................................................................................................



iii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH .....................................................



1



B. TUJUAN ..............................................................................................



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Kepuasan Kerja ......................................................................



2



2.2 Pendekatan Teoritis dari Kepuasan Kerja ...........................................



4



2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja ...........................



5



2.4 Penilaian Tingkat Kepuasan Kerja .......................................................



9



2.4.1 Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja ...........................................



11



2.4.2 Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja .....................



11



2.5 Cara Menghindari Ketidakpuasan Kerja .............................................



22



BAB III PENUTUP C. KESIMPULAN ....................................................................................



23



D. SARAN ...............................................................................................



24



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................



25



iii



BAB I PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG Kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting, karena terbukti besar menfaatnya baik bagi kepentingan individu, industri dan masyarakat. Bagi individu, penelitian tentang sebab-sebab dan sumber-sumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan hidup mereka. Bagi industry, penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya masyarakat tentu akan menikmasti hasil kapasitas maksimum dari industry serta naiknya nilai manusia di dalam konteks pekerjaan.



B. TUJUAN PENULISAN



1. Untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi sumber kepuasan kerja serta kondisi-kondisi yang memengaruhinya. 2. Untuk mengetahui dampak dari kepuasan kerja terhadap sikap dan tingkah laku orang terutama tingkah laku kerja. 3. Untuk mendapatkan rumusan atau definisi yang lebih tepat dan bersifat komprehensif mengenai kepuasan kerja itu sendiri.



1



BAB II PEMBAHASAN



2.1 DEFINISI KEPUASAN KERJA Terdapat bermacam-macam pengertian atau batasan tentang kepuasan kerja. Pertama, pengertian yang memandang kepuasan kerja sebagai suatu reaksi emosional yang kompleks. Reaksi emosional ini merupakan akibat dari dorongan, keinginan, tuntutan dan harapan karyawan terhadap pekerjaan yang dihubungkan dengan realitas-realitas yang dirasakan karyawan, sehingga menimbulkan suatu bentuk reaksi emosional yang berwujud perasaan senang, puas ataupun tidak puas. Kedua, pengertian yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap karyawan terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan situasi kerja, kerja sama antar karyawan, imbalan yang diterima dalam kerja, dan hal-hal yang menyangkut factor fisik dan psikologis. Sikap terhadap pekerjaan ini merupakan hasil dari sejumlah sikap khusus individu terhadap factor-faktor dalam pekerjaan, penyesuaian diri individu, dan hubungan social individu di luar pekerjaan sehingga menimbulkan sikap umum individu terhadap pekerjaan yang di hadapinya. Handoko (1192), mengemukakan kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini tampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang di hadapi di lingkungan kerjanya Steve M. Jex (2002:131) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “tingkat afeksi positif seorang pekerja terhadap pekerjaan dan situasi pekerjaan.” Bagi Jex, kepuasan kerja melulu berkaitan dengan sikap pekerja atas pekerjaannya. Sikap tersebut berlangsung dalam aspek kognitif dan perilaku. Aspek kognitif kepuasan kerja adalah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan dan situasi pekerjaan: Bahwa pekerja yakin bahwa pekerjaannya menarik, merangsang,



2



membosankan atau menuntut. Aspek perilaku pekerjaan adalah kecenderungan perilaku pekerja atas pekerjaannya yang ditunjukkan lewat pekerjaan yang dilakukan, terus bertahan di posisinya, atau bekerja secara teratur dan disiplin. Kepuasan kerja biasanya didefinisikan sebagai tingkat pengaruh positif karyawan terhadap pekerjaannya atau situasi pekerjaan (Locke, 1976: Spector, 1977). Pengaruh positip pada definisi ini dapat ditambahkan komponen kognitif dan perilaku, hal ini sesuai dengan cara psikologis social mendefinisikan sikap (Zanna & Rempel, 1988). Kepuasan kerja nyatanya adalah sikap karyawan terhadap pekerjaannya. Aspek kognitif dari kepuasan kerja merupakan keyakinan karyawan tentang pekerjaannya, yaitu keyakinan bahwa pekerjaannya menarik, tidak menarik, banyak tuntutan dsb. Aspek kognitif ini tidak bebas dari aspek afektif yaitu sangat terkait dengan perasaan dari pengaruh positif. Komponen perilaku



merupakan perilaku karyawan atau lebih sering



kecenderungan perilaku terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan kerja karyawan juga menjadi nyata oleh fakta bahwa ia mencoba untuk mengikuti pekerjaan secara teratur, bekerja keras, dan berniat tetap menjadi anggota organisasi utk waktu yang lama. Dibanding komponen kognitif dan afektif dari kepuasan kerja, komponen perilaku sedikit informative, karna sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku, seperti seseorang tidak suka dengan pekerjaannya tetapi tetap sebagai karyawan karna alasan financial. Barbara A. Fritzsche and Tiffany J. Parrish (2005:180) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai “... variabel afektif yang merupakan hasil dari pengalaman kerja seseorang.” Fritsche and Parrish juga mengutip Locke (1976) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah “ ...keadaan emosional yang positif dan menyenangkan yang dihasilkan dari penghargaan atas pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Singkatnya, kepuasan kerja dapat menceritakan sejauh mana seseorang menyukai pekerjaannya.



3



2.2 PENDEKATAN TEORITIS DARI KEPUASAN KERJA Porsi substansi dari penelitian yang dilakukan pada kepuasan kerja selama bertahun-tahun telah dikhususkan untuk menjelaskan apa sebenarnya yang menentukan tingkat kepuasan kerja karyawan. Memahami perkembangan dari kepuasan kerja adalah teori penting pada psikologi organisasi. Juga kepentingan praktis organisasi karena mereka berusaha untuk mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawan dan akhirnya, hasil penting lainnya. Terdapat 3 pendekatan umum utk menjelaskan perkembangan kepuasan kerja: 1) Pendekatan Karakteristik Pekerjaan 2) Pendekatan Proses Informasi Sosial 3) Pendekatan Disposisional. Menurut pendekatan karakteristik pekerjaan, kepuasan kerja ditentukan terutama oleh sifat pekerjaan karyawan atau oleh karakteristik organisasi di mana mereka bekerja.Kepuasan kerja sangat ditentukan oleh perbandingan : apa yang pekerjaan berikan untuk mereka dan apa yang mereka berikan untuk pekerjaan. Setiap aspek seperti gaji, kondisi kerja, pengawasan memberi kontribusi utk penilaian kepuasan kerja (Hulin 1991). Locke, 1976 mengusulkan yang dikenal sebagai range of affect theory, premis dasar dari range of affect theory adalah bahwa aspek



pekerjaan yang berbeda dipertimbangkan ketika karyawan



membuat penilaian tentang kepuasan kerja. Pendekatan karakteristik pekerjaan yang sangat mendarahdaging terhadap kepuasan kerja dalam psikologi organisasi ( Campion&Thayer, 1985; Griffin, 1991; Hackman & Oldham, 1980). Teori Proses informasi sosial (Salancik & Pfeffer, 1977, 1978) mengusulkan dua mekanisme utama dimana karyawan mengembangkan rasa puas atau tidak. Mekanisme pertama menyatakan karyawan melihat perilaku mereka secara retrospektif dan membentuk sikap seperti kepuasan kerja untuk memahaminya, teori ini didasari pada Bem’s, 1972 dengan Self-Perception Theory.Mekanisme lain yang paling dekat dengan Teori Proses informasi social adalah bahwa karyawan mengembangkan sikap seperti kepuasan kerja 4



melaluipengolahan informasi dari lingkungan social, teori ini didasari pada Festinger’s, 1954 dengan Social Comparison Theory, yang menyatakan bahwa bahwa orang sering melihat ke orang lain untuk menafsirkan dan memahami lingkungan. Pendekatan yang paling baru untuk kepuasan kerja didasari pada disposisi internal. Premis dasar dari pendekatan dispositional terhadap kepuasan kerja adalah bahwa beberapa karyawan mempunyai kecenderungan menjadi puas atau tidak denganpekerjaannya, terlepas dari sifat pekerjaan atau organisasi dimana mereka bekerja. Penelitian dari pendekatan ini diantaranya yang dilakukan oleh Weitz, 1952 tentang kecenderungan afektif individu berinteraksi dengan kepuasan kerja



yang



berdampak



omset.



Staw



and



Ross,



1985



menyelidiki



kestabilankepuasan kerja diantara sampel pekerja pria, penelitian ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja pada suatu waktu, dan kepuasan kerja 7 tahun kemudian. Ketiga pendekatan di atas secara bersama-sama menentukan kepuasan kerja atau dengan kata lain kepuasan kerja adalah fungsi bersama dari karakteristik pekerjaan, proses informasi social dan pengaruh disposisional.



2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUASAN KERJA Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Faktorfaktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kepada karyawan bergantung pada karyawan masing-masing. Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum (dalam As’ad, 2001) sebagai berikut: (1) Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan; (2) Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik, dan hubungan kemasyarakatan;



5



(3) Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja, kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang menyangkut pribadi maupun tugas. (As’ad, 2004: 114). Menurut pendapat



dari Gilmer (1966) tentang faktor-faktor yang



mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut: (1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja; (2) Keamanan kerja. Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja; (3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya; (4) Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja karyawan; (5) Pengawasan (Supervise), Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over; (6) Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau mengurangi kepuasan; (7) Kondisi kerja, termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan tempat parkir;



6



(8) Aspek sosial dalam pekerjaan,



merupakan salah satu sikap yang sulit



digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja; (9) Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja; (10) Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.



Harold E. Burt mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (As’ad, 1995:112) (1) Faktor hubungan antar karyawan, antara lain : a. Hubungan antara manager dengan karyawan b. Faktor fisis dan kondisi kerja c. Hubungan sosial diantara karyawan d. Sugesti dari teman sekerja e. Emosi dan situasi kerja (2) Faktor Individu, yaitu yang berhubungan dengan : a. Sikap orang terhadap pekerjaannya b. Umur orang sewaktu bekerja c. Jenis kelamin



7



(3) Faktor luar (external), yang berhubungan dengan : a. Keadaan keluarga karyawan b. Rekreasi c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya) Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown(1950), bahwa ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu : (1) Kedudukan (posisi) Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja padapekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada yang pekerjaannya lebih rendah. Sesungguhnya hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan dalam tingkat pekerjaannyalah yang mempengaruhi kepuasan kerja. (2) Golongan Seseorang yang memiliki golongan yang lebih tinggi umumnya memiliki gaji, wewenang, dan kedudukan yang lebih dibandingkan yang lain, sehingga menimbulkan perilaku dan perasaan yang puas terhadap pekerjaannya. (3) Umur Dinyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan kepuasan kerja, dimana umur antara 25-34 tahun dan umur 40–45 tahun adalah merupakan umuryang bisa menimbulkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan. (4) Jaminan finansial dan jaminan sosial Jaminan finansial dan jaminan sosial umumnya berpengaruh terhadap kepuasan kerja. (5) Mutu Pengawasan Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan dengan bawahan, sehingga karyawan akan merasa bahwadirinya merupakan bagian yang penting dari organisasi kerja (Moh. As’ad,1995:113). 8



Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978), mengemukakan bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah: (1) Prestasi (2) Penghargaan (3) Kenaikan Jabatan (4) Pujian



Adapun faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan kerja adalah: (1) Kebijakan perusahaan (2) Supervisor (3) Kondisi Kerja (4) Gaji



2.4 PENILAIAN TINGKAT KEPUASAN KERJA



Pengukuran kepuasan kerja sangat bervariasi, baik dalam segi analisa statistiknya maupun pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja bisa melalui tanya jawab secara perorangan, dengan angket maupun dengan pertemuan suatu kelompok kerja. Kalau menggunakan tanya jawab sebagai alatnya maka karyawan diminta untuk merumuskan tentang perasaannya terhadap aspek-aspek pekerjaan. Cara lain dengan mengamati sikap dan tingkah laku orang tersebut (Moh. As’ad, 1995:116). Penilaian kepuasan kerja seorang karyawan terhadap seberapa puas atau tidak puasnya dia dengan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang terbedakan dan terpisahkan satu sama lain. Ada dua pendekatan yang paling banyak digunakan yaitu: (Stephen P. Robbins, 2003:101-102).



9



(1) Angka nilai global tunggal Metode ini meminta individu untuk menjawab satu pertanyaan, misalnya “Bila semua hal dipertimbangkan, seberapa puaskan anda dengan pekerjaan anda?”kemudian responden menjawab dengan melingkari suatu bilangan jawaban 1sampai 5 yang berpadanan dengan jawaban dari “ sangat dipuaskan” sampai “sangat tidak dipuaskan. (2) Skor penjumlahan yang tersusun atas aspek kerja. Metode ini lebih canggih yaitu dengan mengenali unsur – unsur utama dalamsuatu pekerjaan dan menanyakan perasaan karyawan mengenai tiap unsurtersebut, misalnya tentang sifat dasar pekerjaan, penyelia, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja.



Spector (Yuwono,2005:69) mendefinisikan kepuasan sebagai cluster perasaan evaliatif tentang pekerjaan. Ia mendefinisikan indikator dari kepuasan kerja dari sembilan aspek, yaitu: a. Upah, jumlah dan rasa keadilannya; b. Promosi, peluang dan rasa keadilan untuk mendapatkan promosi; c. Supervisi, keadilan dan kompetensi penugasan menejerial oleh penyelia; d. Benefit, asuransi, liburan, dan bentuk fasilitas yang lain; e. Contingen rewards, rasa hormat, diakui, dan diberikan apresiasi; f. Operating procedures, kebijakan prosedur, dan aturan; g. Go-workers, rekan kerja yang menyenangkan dan kompeten; h. Nature of work, tugas itu dapat dinikmati atau tidak; i. Communication, berbagai informasi di dalam organsisasi, baik verbal maupun nonverbal.



10



2.4.1 Tujuan Pengukuran Kepuasan Kerja Tujuan pengukuran kepuasan kerja bagi para karyawan adalah : 1) Mengidentifikasi kepuasan karyawan secara keseluruhan, termasuk kaitannya dengan tingkat urutan prioritasnya (urutan faktor atau atribut tolak ukur kepuasan yang dianggap penting bagi karyawan). Prioritas yang dimaksud dapat berbeda antara para karyawan dari berbagai bidang dalam organisasi yang sama dan antara organisasi yang satu dengan yang lainnya. 2) Mengetahui



persepsi



setiap



karyawan



terhadap



organisasi



atau



perusahaan.Sampai seberapa dekat persepsi tersebut sesuai dengan harapan mereka danbagaimana perbandingannya dengan karyawan lain. 3) Mengetahui atribut–atribut mana yang termasuk dalam kategori kritis (critical perfoment attributes) yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan karyawan. Atribut yang bersifat kritis tersebut merupakan Prioritas untuk diadakannya peningkatan kepuasan karyawan. 4) Apabila memungkinkan, perusahaan atau instansi dapat membandingkannya dengan indeks milik perusahaan atau instansi saingan atau yang lainnya (Kuswadi, 2004:55-56).



2.4.2 Dampak Dari Kepuasan dan Ketidakpuasan Kerja 1) Terhadap Produktivitas Kerja Lawler dan Porter (2004:113) berpendapat produktivitas yang tinggi menyebabkan peningkatan dari kepuasan kerja jika tenaga kerja mempresepsikan bahwa ganjaran intrinsik (misalnya rasa telah mencapai sesuatu) dan ganjaran extrinsik (misalnya gaji) yang diterima kedua -duanya adil dan wajar dibuktikan dengan unjuk kerja yang unggul. 2) Terhadap Ketidakhadiran dan Turn Over Porter dan Steers (Asad, 2004:115) mengatakan bahwa ketidakhadiran dan keputusan berhenti bekerja merupakan jawaban yang secara kualitatif berbeda.



11



Ketidakhadiran lebih bersifat spontan yang sifatnya tidak mencerminkan ketidakpuasan kerja,sedangkan berhenti bekerja atau keluar dari pekerjaan berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Menurut Robbinsc(1996:205), ketidakpuasan kerja dapat diungkap dalam berbagai macam dengan cara. Misalnya, selain meninggalkan pekerjaan, karyawan mengeluh, membangkang, mencuri barang milik perusahaan, dan menghindari



sebagian



tanggung



jawab



pekerjaan.



Selanjutnya



Robbin



menjelaskan empat cara mengungkapkan ketidakpuasan kearyawan, yaitu: a. Keluar (exit), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan meninggakan pekerjaan, termasuk mencari pekerjaan lain; b. Menyuarakan (voice), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan melalui usaha aktif dan konstruktif untuk memperbaiki kondisi, termasuk memberikan saran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasannya; c. Mengabaikan (neglect), yaitu kepuasan kerja yang diungkapkan melalui sikap membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, misalnya sering absen atau datang terlambat, upaya berkurang, dan kesalahn yang dibuat semakin banyak; d. Kesetiaan (loyalty), yaitu ketidakpuasan kerja yang diungkapkan dengan mengganggu secara pasif sampai kondisinya menjadi lebih baik, termasuk membela perusahaan terhadap kritik dari luar serta percayabahwa organisasi dan manajemen akan melakukan hal yang tepat untuk memperbaiki kondisi. 3) Terhadap Kesehatan Ada beberapa bukti tentang adanya hubungan antara kepuasan kerja dengan kesehatan fisik dan mental. Kajian yang dilakukan oleh Kornhauser tentang kesehatan mental dan kepuasan kerja adalah untuk semua tingkatan jabatan, persepsi dari tenaga kerja bahwa pekerjaan mereka menuntut penggunaan efektif dari kemampuan mereka berkaitan dengan skor kesehatan mental yang tinggi. Skor – skor ini juga berkaitan dengan tingkat dari kepuasan kerja dan tingkat dari jabatan. Meskipun jelas adanya hubungan kepuasan kerja dengan kesehatan, namun hubungan kausalnya masih tidak jelas. Tingkat dari kepuasan



12



kerja dan kesehatan mungkin saling mengukuhkan sehingga peningkatan dari yang satu dapat meningkatkan yang lain dan sebaliknya penurunan yang satu mempunyai akibat yang negatif juga pada yang lain (Ashar Sunyoto M,2001:368). Banyak peneliti dan manajer yang tertarik dengan kepuasan kerja, terutama karena hubungannya dengan variabel-variabel lain yang berhubungan. Antara lain ada empat macam variabel yang memiliki hubungan teoritikal dan praktikal dengan kepuasan kerja, yaitu variabel sikap, Variabel ketidakhadiran, Variabel pergantian karyawan, dan Variabel performa kerja. (Jex, 2002) a. Variabel sikap. Sejauh ini kepuasan kerja diketahui berhubungan sangat kuat berkorelasi dengan variabel sikap lain. Variabel-variabel ini merefleksikan tingkat kesukaan dan ketidaksukaan karyawan. Beberapa contoh variabelvariabel sikap yang sering dipergunakan dalam penelitian organisasional antara lain adalah keikutsertaan dalam pekerjaan, komitmen organisasional, frustasi, tekanan pekerjaan, dan kecemasan. Diketahui pula bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan banyaknya ukuran yang menunjukkan dampak positif, seperti keikutsertaan dalam pekerjaan maupun mood kerja yang positif. Namun beberapa studi juga menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang negatif dengan variabel-variabel seperti frustasi, kecemasan, dan tekanan kerja.



b. Variabel Ketidakhadiran. Dari sudut pandang teoritikal, ketidakhadiran mewakili sebuah cara umum seorang karyawan melakukan penarikan diri dari pekerjaan mereka. Sementari dari sudut pandang praktikal, ketidakhadiran adalah sebuah masalah yang sangat merugikan untuk banyak organisasi. Ketika karyawan tidak hadir, pekerjaan mungkin tidak akan selesai atau akan dikerjakan oleh karyawan yang pengalamannya lebih sedikit.Hacket dan Guion (1985) menjelaskan ada beberapa alasan mengapa hubungan antara kepuasan kerja dan ketidakhadiran lemah. Alasan pertama adalah karena pengukuran dari ketidakhadiran itu sendiri sedikit kompleks. Alasan lainnya adalah karena kepuasan kerja mewakili sikap karyawan secara general,



13



sementara ketidakhadiran hanyalah salah satu bentuk spesifik dari perilaku karyawan. Alasan terakhir adalah karena ketidakhadiran merupakan perilaku yang memiliki rate dasar rendah, karena memprediksikan sebuah variabel dengan rate dasar yang rendah adalah sulit.



c. Variabel Pergantian Karyawan. Hubungan lain dari kepuasan kerja yang banyak menarik perhatian peneliti dan manajer adalah pergantian karyawan. Beberapa pergantian di dalam organsasi tidak dapat dielakkan, dan dalam beberapa kasus lainnya mungkin malah diinginkan oleh organisasi. Namun tingkat pergantian karyawan yang terlalu tinggi dapat merugikan organisasi, karena organisasi tersebut harus kembali memulai proses perekruitan, pemilihan, dan sosialisais karyawan baru. Tingkat pergantian karyawan yang tinggi juga memiliki dampak yang besar terhadap gambaran publik terhadap organisasi tersebut.



d. Variabel Performa Kerja. Hubungan keempat yang berkorelasi dengan kepuasan kerja adalah performa kerja.



Salah satu cara untuk membuat



karyawan lebih produktif adalah dengan membuat mereka lebih puas. Vroom’s Expectancy Theory (1964) menyatakan bahwa karyawan akan menaruh usaha yang lebih bila mereka percaya bahwa usaha tersebut akan menjadi performa dengan level tinggi, dan performa tersebut dapat menghasilkan hasil yang memuaskan. Sementara bila performa kerja dengan level yang tinggi dapat menghasilkan hasil yang memuaskan, karyawan akan menjadi lebih puas dengan pekerjaan mereka ketika performa kerja mereka baik dan mereka mendapatkan penghargaan atas itu. Ostroff (1992) menyebutkan bahwa meskipun karyawan yang sangat puas dengan pekerjaan mereka mungkin belum tentu dapat memiliki performa kerja yang lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang lebih tidak puas, namun organisasi yang memiliki karyawan yang lebih puas dengan pekerjaan mereka cenderung



14



memiliki performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang sangat tidak puas dengan pekerjaannya. Kepuasan Kerja : 1) Perspektif Antar-Budaya Pelajaran dari kepuasan pekerjaan sudah mendapat tempat di Amerika dan negara-negara Eropa Barat. Bekerja adalah suatu hal yang universal dan ini menjadi perkembangan positif atau negatif terhadap apa yang dirasakan dalam bekerja. Pada bagian ini, secara singkat dijelaskan perbedaan antar-budaya dalam tingkat kepuasan pekerjaan dan alasan-alasan potensial untuk perbedaanperbedaan tersebut. Beberapa para ahli menyimpulkan dari penelitiannya bahwa manejer Amerika Latin lebih merasa puas daripada manajer Eropa. Pada perbandingan karyawan Dominika dan Amerika yang bekerja di perusahaan yang sama, ditemukan bahwa rekan kerja Dominika lebih merasa puas dibandingkan rekan kerja Amerika. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa karyawan Jepang cenderung kurang puas daripada karyawan Amerika. Jika dilihat dari karakteristik perspektif pekerjaan, ada beberapa penjelasan untuk perbedaan kepuasan pekerjaan antar-budaya. Contohnya, ada bukti yang nyata pada perbedaan dalam nilai. Hasil dari penelitian Hofstede (1984) tentang perbedaan dalam nilai, termasuk individualisme, maskulinitas, jarak kekuasaan, dan menghindari ketidakpastian.



Besarnya individualisme menggambarkan kepedulian orang-



orang dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Maskulinitas menggambarkan tingkat yang fokus pada prestasi dan kinerja sebagai perlawanan kepada kesejahteraan dan kepuasan yang lain. Jarak kekuasaan menggambarkan tingkat dari hak untuk bertindak dan status yang berbeda dari yang lain dengan level yang lebih rendah. Menghindari ketidakpastian menggambarkan besarnya orang yang nyaman bekerja dalam lingkungan yang tidak tentu. Contohnya adalah Amerika dan negara-negara Eropa Barat cenderung untuk menempatkan nilai yang sangat tinggi pada individualisme, sementara Hispanik dan negara-negara oriental



15



cenderung menempatkan nilai yang tertinggi. Pada maskulinitas ditemukan bahwa negara Scandinavia cenderung menempatkan nilai yang tertinggi dibandingkan negara lain. Pada jarak kekuasaan cenderung memiliki nilai yang sangat tinggi di negara Hipatik tetapi berbanding terbalik di Australia dan Israel sedangkan pada menghindari ketidakpastian ditemukan sangat tinggi di negara Yunani dan Portugis sementara rendah di Singapura dan Denmark. Implikasi utama dari perbedaan antar-negara dalam preferensi nilai bahwa perbedaan antar-budaya dalam kepuasan pekerjaan mengarah pada perbedaan dalam apa yang diinginkan karyawan dalam pekerjaan mereka. Bagian ini menyatakan bahwa kepuasan pekerjaan menghasilkan isi pokok dari perbandingan antara apa yang orang rasakan pada pekerjaan mereka dan apa yang mereka inginkan.



2.)



Komitmen Organisasi Selain perasaan tentang rasa puas/ketidakpuasan, pegawai mungkin juga



memiliki



perasaan



komitmen



ke



organisasinya.



Seperti



pada



kepuasan/ketidakpuasan, ada kecendurungan bahwa ikatan komitmen itu mengikat hingga di luar tempat kerja itu. Misalnya orang bisa menjadi sedemikan komitmen kepada institusi seperti gereja atau organisasi politik. a.



Definisi Komitmen Organisasi



Di dalam tingkatan yang paling umum, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkatan saat seorang pegawai telah berdedikasi kepada organisasinya dan kesanggupan untuk bekerja atas kepentingan organisasi tersebut, serta kecenderungan untuk tetap menjadi anggota organisasi tersebut. Meyer dan Allen (1991) kemudian mendefinisikan lebih jauh tentang komitmen organisasi dengan menyatakan bahwa mungkin terdapat beragam basisbasis komitmen (alasan kenapa mereka berkomitmen dengan organisasinya), yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif. Selain basis-basis yang berbeda, komitmen pegawai boleh jadi terfokus ke level-level yang berbeda dalam organisasi, dan bahkan dapat ditujukan ke luar organisasi. Banyak juga pegawai-pegawai dalam 16



organisasi yang memiliki rasa komitmen pada profesi yang mereka tekuni, misal seorang ahli fisika yang bekerja dalam organisasi kesehatan akan memiliki komitmen kepada kesehatan pula. Sekarang karena komitmen memiliki beragam basis dan focus, ini memberi kesan bahwa ada beberapa macam komitmen yang berbeda. Meyer dan Allen (1997) menyajikannya dalam bentuk matriks, yaitu sebuah cross product dari tiga basis komitmen dengan enam focus berbeda dari sebuah komitmen. b.



Membangun Komitmen Organisasi



Apa yang membentuk level komitmen suatu pegawai terhadap organisasinya? Karena kompleksitas dari susunan komitmen organisasi itu sendiri, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Kebanyakan peneliti mencoba menjawab pertanyaan ini dari ketiga basis komitmen tersebut, yaitu afektif, keberlanjutan, dan normatif. Komitmen yang berbasiskan afektif biasanya terbentuk atas perasaan akan organisasi/perusahaan tempat pegawai itu bekerja memperlakukannya dengan baik dan/atau memberikan banyak dukungan kepadanya. Komitmen yang berbasiskan keberlanjutan bahkan lebih sederhana, biasanya merupakan perluasan dari perasaan pegawai yang memandang organisasinya sekarang itu memiliki alternatif yang selalu berjalan.



c.



Pengukuran Komitmen Organisasi



Seperti kebanyakan variabel sikap subjektif, komitmen organisasi diukur dengan skala laporan diri. Secara historis, komitmen organisasi pertama untuk memperoleh penggunaan secara luas adalah Organizational Commitment Qestionnaire (OCQ). OCQ asli terutama tercermin pada apa yang Meyer dan Allen uraikan seperti komitmen afektif dan pada tingkat yang lebih rendah, yaitu komitmen normatif. OCQ asli juga berisi satu bagian yang mengukur keinginan pindah kerja seorang karyawan. Mathieu dan Zajac melaporkan bahwa mean



17



reliabilitas konsistensi internal untuk berbagai bentuk OCQ itu semua adalah 0.80. Keterbatasan utama dari OCQ adalah langkah-langkahnya terutama komponen afektif dari komitmen organisasi sehingga memberikan informasi yang sangat sedikit tentang kelanjutan dan komponen normatif. Ini adalah batasan penting karena berbagai bentuk berbedadari komitmen berhubungan dengan hasil yang berbeda. Baru-baru ini, Allen dan Meyer mengembangkan ukuran komitmen organisasi yang berisi tiga subskala yanng bersesuaian dengan komponen afektif, kelanjutan, dan normatif dari komitmen. Sebuah contoh dari komitmen afektif adalah: “Organisasi ini memiliki banyak makna bagi saya pribadi.” Sebuah contoh dari komitmen kelanjutan adalah: “Ini akan terlalu mahal bagi saya untuk meninggalkan organisasi saya dalam waktu dekat.” Sebuah contoh dari komitmen normatif adalah: “Saya akan merasa bersalah jika saya meninggalkan organisasi saya sekarang.” Meyer dan Allen melaporkan bahwa median reliabilitas konsistensi internal untuk skala komitmen afektif, kelanjutan, dan normatif adalah 0.85, 0.79, dan 0.73. Adapula bukti yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komitmen organisasi secara empiris dibedakan dari kontruksi terkait seperti kepuasan kerja, nilai dan komitmen kerja. Selain OCQ dan skala Allen dan Meyer, ada juga ukuran yang telah dikembangkan oleh T. Becker. Dalam studi ini, komitmen organisasi diukur dalam istilah basis ganda dan fokus ganda. Ada sedikit bukti empiris pada variabel pendekatan ini untuk mengukur komitmen. Namun di masa depan, ukuran ini dapat berguna untuk mengukur komitmen dengan cara ini jika hasil yang berbeda terkait dengan kombinasi yang berbeda dari komitmen basis dan fokus.



18



d.



Variabel yang berhubungan Komitmen Organisasi



Seperti kepuasan kerja, para peneliti dan manajer tertarik dalam komitmen organisasi dikarenakan hubungannya dengan variabel lain, seperti variabel sikap, kehadiran, pindah kerja, dan performa kerja. (1) Variabel Sikap Mathieu dan Zajac menemukan bahwa mean korelasi tepat antara komitmen organisasi afektif dan kepuasan pekerjaan adalah 0.53. korelasi sikap konsistensi lainnya dari komitmen afektif ditemukan dalam meta-anallisis termasuk keterlibatan pekerjaan (0.36), komitmen pekerjaan (0.27), komitmen gabungan (0.24) dan stres (-0.29). Bandingkan dengan komitmen afektif, lebih sedikit pekerjaan secara empiris telah diperiksa hubungannya antara korelasi sikap dari kelanjutan maupun komitmen normatif. (2) Kehadiran Mathieu dn Zajac menemukan bahwa korelasi yang tepat antara komitmen afektif dan kehadiran adalah 0.12 dan korelasi dengan keterlambatan adalah -0.11. Korelasi antara kehadiran dan kepuasan kerja besarnya sama. Dari sisi kenseptual, tingkat tinggi komitmen afektif menunjukkan sebuah maksud untuk berkontribusi pada sebuah organisasi. Bandingkan dengan komitmen afektif, sedikit bukti mengenai hubungan antara kelanjutan atau komitmen normatif dan kehadiran. (3) Pindah Kerja Pegawai Dengan komitmen organisasi alami, dapat dianggap lebih banyak buktinya pada hubungan di antara ketiga bentuk komitmen dan pindah kerja, dibandingkan dengan hasilnya. Seperti yang diharapkan, riset yang telah ditunjukkan secara umum mempunyai hubungan negatif diantara ketiga komitmen dan pindah kerja. (4) Performa Kerja Pada umumnya, komitmen afektif telah ditunjukkan positif berhubungan dengan performa kerja, walaupun besarnya dari hubungan ini tidak kuat. Menentukan



19



mekanisme dibelakang hubungan ini adalah sulit karena studi ini telah menggunakan variasi luas dari ukuran kriteria performa. Satu keumuman diantara studi ini adalah bahwa hubungan antara komitmen afektif dan performa tak langsung oleh usaha pegawai.



e.



Aplikasi Praktis dari Penelitian Komitmen



Satu cara untuk melihat aplikasi penelitian komitmen berorganisasi adalah menguji bermacam cara dari organisasi mana yang dapat menyebabkan komitmen tingkat tinggi di antara pengurusnya. Meyer dan Allen (1997) menjelaskan bahwa adanya pengaruh antara kebijakan perekrutan anggota baru dengan komitmen pengurus setelah diterima. Telah lama direkomendasikan bahwa kebijakan perekrutan membutuhkan persyaratan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Gambaran pekerjaan dapat memberikan informasi kepada calon pengurus tentang bagaimana jenis pekerjaan yang akan dia kerjakan. Bila calon pengurus merasa cocok dan mampu mengerjakan maka akan timbul suatu komitmen ketika dia menjadi pengurus. Dengan cara ini dapat ditunjukkan bahwa adanya transparansi sehingga calon pengurus akan merasa diperlakukan secara adil dan jujur. Hal itu akan menambah komitmen pengurusnya. Ketika pengurus masuk organisasi, masa orientasi dan pengalaman masa magang dapat meningkatkan tingkat komitmen pengurusnya. Meyer dan Allen menegaskan bahwa pendekatan investiture dalam masa orientasi dapat meningkatkan perasaan komitmen berorganisasi daripada pendekatan divestiture. Ketika pendekatan investiture diterapkan, pengurus baru tidak diharuskan untuk meninggalkan kepribadiannya yang dulu, dengan begitu pengurus baru dapat menyadari bahwa menghormati hak-hak pengurus dalam suatu organisasi merupakan suatu hal yang penting. Dalam



pendekatan



divesture,



pendatang



baru



diharuskan



untuk



meninggalkan beberapa aspek dalam masing-masing individu. Bentuk sosialisasi ini dapat membuat pengurus baru mengganggap organisasi itu “elite” dan



20



merupakan suatu keistimewaan apabila menjadi pengurus tetap organisasi tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat menyebabkan ketidakpercayaan orang luar terhadap organisasi ini dan dapan menyebabkan perasaan rendah diri bagi para pengurus barunya. Suatu organisasi harus meyakinkan bahwa pengurus barunya mendapatkan pelatihan yang sesuai kebutuhann untuk dapat mengerjakan pekerjaan mereka nantinya. Pelatihan dapat terdiri dari pelatihan formal maupun informal. Pelatihan atau Training ini dapat menambah komitmen berorganisasi karena dalam pelatihan, pengurus baru dapat mengetahui bahwa suatu organisasi bertindak suportif dan mempunyai kepentingan untuk kesuksesannya. Jika pelatihan ini memfasilitasi pengurus baru agar dapat sukses, maka dapat menyebabkan pengurus baru merasa bangga bergabung dalam organisasi tersebut. Pelatihan ini juga berkontribusi untuk menambah komitmen yang berkelanjutan. Pengembangan kebijakan promosi internal merupakan area lain yang digunakan suatu organisasi untuk meningkatkan komitmen pengurusnya. Namun, apabila dalam prakteknya promosi internal ini berjalan secara tidak adil dan tidak transparan maka dapat menyebabkan kemerosotan komitmen pengurusnya. Banyak organisasi juga sering menggunakan penelitian komitmen di dalam area kompensasi dan keuntungan. Contohnya, terdapat beberapa persyaratan untuk pengurusnya agar dapat memperoleh dana pensiun, salah satunya terdapat syarat minimal usia. Persyaratan tersebut dapat membuat pengurus untuk tetap berada di organisasi tersebut, namun tidak menjamin para pengurus tersebut bekerja lebih giat. Selain dana pensiun, terdapat cara lain yang dapat dkaigunakan suatu organisasi dalam area kompensasi, yaitu menggunakan pembagian keuntungan atau sharing profit. Metode lain dalam kompensasi yang dapat meningkatkan komitmen berorganisasi adalah dengan menggunakan metode pembayaran berdasarkan keterampilan atau skill-based-pay.



21



2.5 CARA MENGHINDARI KETIDAKPUASAN KERJA Kepuasan kerja karyawan sangat diperngaruhi oleh berbagai faktor. Jika faktor pemuas tidak diperboleholeh karyawan maka akan unculketidakpuasan yang dapat memunculkanperilaku negatif karyawan. Untuk menghindari konsekuensi perilaku negatif dari ketidakpuasan karyawan, ada beberapa cara untuk menghindari ketidakpuasan kerja, yaitu sebagai berikut: a. Membuat pekerjaan menjadi menyenangkan Karyawan akan merasa puas apabila ia menikmati pekerjaannya. Walaupun beberapa pekerjaa membosankan, ia mampu membuat suatu pekerjaan menjadi menyenangkan. b. Pemberian gaji yang adil Karyawan akan merasa tidak puas jika sistem penggajian dianggap tidak adil. Jika karyawan merasa sistem penggajian mereka di perusahaan adil, mereka akan puas. c. Right person in the pight place Seorang karyawan ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan personalitasnya. Hal ini menimbulkan kepuasan kerja bagi karyawan tersebut karena dapat mengembangkan dan menggunakan kemampuan yang sesuai dengan personalitas dan pekerjaannya. d. Menghindari kebosanan dalam pengulangan pekerjaan Banyak karyawan yang ingin menemukan sedikit kepuasan dalam melaksanakan pekerjaan yang berulang-ulang dan membosankan. Dalam two-factor theory,karyawan akan merasa lebih puas apabila di perbolehkan melakukan tugasnya dengan caranya sendiri.



22



C. KESIMPULAN Kepuasan



kerja menjadi masalah yang menarik dan penting, karena



sangat besar manfaatnya baik untuk kepentingan individu, industri dan masyarakat. Kepentingan individu, penelitian tentang sebab-sebab, dan sumbersumber kepuasan kerja memungkinkan timbulnya usaha-usaha peningkatan kebahagiaan hidup mereka. Kepentingan industri, penelitian mengenai kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha peningkatan produksi dan pengurangan biaya melalui perbaikan sikap dan tingkah laku karyawannya. Selanjutnya kepentingan masyarakat tentu akan menikmati hasil kapasitas maksimum dari industri serta naikknya nilai manusia di dalam konteks pekerjaan. Ketidakpuasan dalam kerja akan dpat menimbulkan perilaku resif, atau sebaliknya akan menunjukkan sikap menarik diri dari kontak dengan lingkungan sosialnya. Misalnya, dengan mengambil sikap berhenti dari perusahaan, suka bolos, dan perilaku lain yang cenderung bersifat menghindari dari aktivitas oranisasi. Bentuk prilaku agresif misalnya melakukan sabotase, sengaja membuat kesalahan dalam kerja, menentang atasan atau sampai pada aktivitas pemogokan. Dari uraian di atas, bahwa kepuasan kerja karyawan adalah merupakan masalah penting yang diperhatikan dalam hubungannya dengan produktivitas kerja karyawan dan ketidakpuasan yang sering di kaitkan dengan tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi. Pekerja dengan tingkat ketidakpuasan yang tinggi mungkin melakukan sabotase dan agresi yang pasif.



23



D. SARAN Para manajer perusahaan seharusnya peduli akan tingkat kepuasan kerja dalam organisasi mereka. Kepuasan kerja



mencerminkan perasaan seseorang



terhadap pekerjaannya. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kepuasan psikologis dan akhirnya akan timbul sikap atau tingkah laku negatif dan pada gilirannya akan dapat menimbulkan frustasi, sebaliknya karyawan yang terpuaskan akan dapat bekerja dengan baik, penuh semangat , aktif dan dapat berprestasi lebih baik mendapatkan kepuasan keja.



24



dari karyawan yang tidak



E. DAFTAR PUSTAKA



Badriyah,Mila.2015. Manajemen Sumber Daya Manusia.Bandung:Pustaka Setia Murtiyoko,Heri.,Manajemen Sumber Daya Manusia.http://e-learning.unpam.ac.id/ mycourse/view/ manajemensumberdayamanusia. Diakses pada 01 Desember 20116 Sutrisno, Edi.2009.Manajemen Sumber Daya Manusia.Jakarta:Kencana



25