Makalah Kesehatan Masyarakat Wilayah Pesisir Dan Kepulauan Kelompok 2 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Makalah Kesehatan Masyarakat Wilayah Pesisir dan Kepulauan “Karakteristik Penduduk di Wilayah Pesisir dan Kepulauan”



Oleh: Kelompok 2 -



David Angara Lakat



19111101100



-



Desy Merlian Sumerah



19111101101



-



Femy Claudia Desiree Patalo



19111101103



-



Geraldy Wollah



19111101104



-



Mikhael Setiawan



19111101111



-



Sitty Thusy Gonibala



19111101116



-



Titania Aurelia K. Lasambu



19111101117



-



Marsyella A. Simbala



19111101118



-



Arlin Debora Tongkotou



19111101120



Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi



Manado BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir atau wilayah pantai dan lautan adalah suatu kawasan yang sangat strategis baik ditinjau dari segi ekologi, sosial budaya,dan ekonomi. Hal tersebut dapat dipahami karena sekitar 140 juta penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir dan sekitar 16 juta tenaga kerja terserap oleh industri di pesisir dengan memberikan kontribusi sebesar 20,06% terhadap devisa Negara. Disamping itu wilayah pesisir Indonesia dengan garis pantai sepanjang 95.181 km memiliki habitat/ekosistem yang produktif serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi yaitu ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem estuaria dan ekosistem padang lamun. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi, maka wilayah pantai juga telah mengalami tekanan yang cukup berat, dan secara signifikan telah terjadi eskalasi degradasi kawasan pesisir yang cukup memprihatinkan. Kecendrungan meningkatnya degradasi lingkungan pesisir antara lain ditandai dengan meningkatnya kerusakan habitat (mangrove, terumbu karang, dan padang lamun), perubahan garis pantai yang diakibatkan oleh abrasi dan erosi serta pencemaran lingkungan. Meningkatnya secara nyata degradasi wilayah pesisir tersebut, baik dari segi cakupan wilayah maupun intensitas serta sebaran dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia secara langsung maupun tidak langsung telah mengancam keberlanjutan fungsi-fungsi wilayah pesisir dalam menopang Pembangunan yang berkelanjutan. Selain memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang beragam dan bernilai strategis, wilayah pesisir juga sangat rentan terhadap ancaman bencana alam dan dampak dari perubahan iklim. 1.2 Rumusan Masalah 1. Menjelaskan karakteristik masyarakat pesisir dan kepulauan 2. Menjelaskan sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan 3. Menjelaskan budaya masyarakat pesisir dan kepulauan 4. Menjelaskan structural sosial masyarakat pesisir dan kepulauan (Nelayan)



1.3 Tujuan 1. Mengetahui karakteristik masyarakat pesisir dan kepulauan 2. Mengetahui sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan 3. Mengetahui budaya masyarakat pesisir dan kepulauan 4. Mengetahui structural sosial masyarakat pesisir dan kepulauan (Nelayan)



BAB II PEMBAHASAN 1.1. Karakteristik Masyarakat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masyarakat dalam KBBI berarti sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. MacQueen et al. (2001) menyimpulkan terdapat lima elemen dalam suatu masyarakat yakni: a) Lokasi sebagai entitas geografis; b) Kepentingan bersama; c) Tindakan kolektif berdasar koherensi identitas; d) ikatan sosial atau kohesi sosial; dan e) memiliki keragaman. Berdasarkan karakteristiknya, masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terbagi menjadi tiga yaitu masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1.1.1



Masyarakat hukum adat (MHA) adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan definisi tersebut maka terdapat empat syarat utama masyarakat disebut sebagai MHA, yaitu -



Ikatan pada asal usul leluhur; MHA memiliki sejarah asal muasal masyarakat dan wilayah tempat mereka tinggal yang diyakini secara turun temurun. Sejarah tersebut umumnya tertuang pada nama MHA, serta menggambarkan kekerabatan antara satu MHA dengan MHA lainnya.



-



Hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam; MHA bergantung pada sumber daya alam di wilayah yang merupakan kewenangannya (wilayah kelola adat). Untuk MHA di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil maka hubungan yang kuat terlihat pada pola pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan



dengan kearifan lokal sebagai wujud kedaulatan terhadap wilayah kelola adat dan demi kesejahteraan bersama. -



Pranata pemerintahan adat; MHA memiliki struktur lembaga adat dengan tugas dan fungsi yang jelas, yang mengatur seluruh aspek tatanan hidup masyarakatnya baik di bidang sosial, ekonomi, dan budaya.



-



Tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; MHA menerapkan seperangkat norma (kearifan lokal) atau aturan untuk mengatur tatanan hidup, bersumber pada nilai budaya, diwariskan secara turun temurun, ditaati dan dihormati untuk keadilan dan ketertiban masyarakat, serta mempunyai akibat hukum atau sanksi. Hal ini menunjukkan bahwa MHA sudah pasti menerapkan kearifan lokal dalam segala aspek tatanan hidup, dan masyarakat yang menerapkan kearifan lokal pada aspek tertentu saja belum tentu merupakan MHA. Dalam penerapannya, ditegaskan bahwa tatanan hukum MHA tidak boleh menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan.



1.1.2



Masyarakat lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu. Berbeda dari MHA, masyarakat lokal tidak memiliki pranata pemerintahan adat secara turun -temurun diterapkan berdasarkan nilai-nilai adat dan asal-usulnya. Kata “lokal” sendiri menegaskan bahwa batasan spasial atau lokasi geografis merupakan entitas utama masyarakat ini. Berdasarkan definisi tersebut, maka ciri-ciri masyarakat lokal adalah: -



Tatanan kehidupan sehari-hari berdasarkan nilai-nilai yang berlaku umum; Masyarakat lokal menerapkan nilai-nilai yang berlaku umum, atau yang umumnya disepakati bersama kebenarannya, dalam struktur dan pola-pola pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Termasuk di sini adalah struktur pemerintahan, mata pencaharian, relasi sosial, pola



stratifikasi, adat istiadat, pembagian tugas dan tanggung jawab yang dijalankan setiap hari dalam waktu yang relatif lama. -



Tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya pesisir dan pulau kecil; Masyarakat lokal tidak hanya memenuhi kebutuhannya dari beragam sumber daya pesisir dan pulau kecil baik di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya, atau wisata, tetapi secara umum memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya dalam bidang pertanian, peternakan, bahkan tidak sedikit yang berprofesi sebagai pegawai pemerintahan maupun swasta.



1.1.3



Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional. Berdasarkan definisi tersebut, maka ciri-ciri masyarakat tradisional adalah: -



Masyarakat perikanan tradisional; Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang tinggal dekat, hidup bersama dan menggantungkan kehidupannya pada sumber daya perikanan secara turun temurun sesuai budaya dan kearifan lokal, serta dengan menggunakan metode dan sarana prasarana yang sederhana.



-



Melakukan kegiatan perikanan di dearah tertentu sesuai kaidah hukum laut internasional; Dalam hal ini, kaidah hukum internasional yang dimaksud ialah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) terkait kodifikasi ketentuan hukum laut, misalnya tentang kebebasan laut lepas dan hak lintas damai di laut teritorial, serta asas negara kepulauan dan zona ekonomi eksklusif. Salah satu contoh daerah atau wilayah tertentu yang dimaksud ialah MoU Box 1974 berdasarkan UNCLOS dan Memorandum of Understanding antara Indonesia dan Australia pada tahun 1974, yang memberikan jaminan hukum untuk hak penangkapan ikan tradisional oleh nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia. Artinya, nelayan-nelayan tradisional Pulau Rote atau pulau lain yang melakukan kegiatan



perikanan di wilayah MoU Box disebut sebagai masyarakat tradisional. 1.2



Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan.



Sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dan nelayan buruh. Mereka adalah penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional. Walaupun demikian, posisi sosial mereka tetap marginal dalam proses transaksi ekonomi yang timpang dan eksploitatif sehingga sebagai pihak produsen, nelayan tidak memperoleh bagian pendapatan yang besar. Pihak yang paling beruntung adalah para pedagang ikan berskala besar atau pedagang perantara. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menjadi penguasa ekonomi di desa-desa nelayan. Kondisi demikian terus berlangsung menimpa nelayan tanpa harus mengetahui bagaimana mengakhirinya. Hal ini telah melahirkan sejumlah masalah sosial ekonomi yang krusial pada masyarakat nelayan. Namun demikian, belenggu structural dalam aktivitas perdagangan tersebut bukan merupakan satu-satunya factor yang menimbulkan persoalan sosial di kalangan nelayan, faktorfaktor lain yang sinergi, seperti semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir dan laut, serta keterbatasan kualitas dan kapasitas teknologi penangkapan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, ketimpangan akses terhadap sumberdaya perikanan, serta lemahnya proteksi kebijakan dan dukungan fasilitas pembangunan untuk masyarakat nelayan masih menjadi faktor yang menimbulkan persoalan. Kondisi kesejahteraan sosial yang memburuk di kalangan nelayan sangat dirasakan di desa-desa pesisir yang perairannya mengalami overfishing (tangkap lebih) sehingga hasil tangkap atau pendapatan yang di peroleh nelayan bersifat fluktuatif, tidak pasti, dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Dalam situasi demikian, rumah tangga nelayan akan senantiasa berhadapan dengan tiga persoalan yang sangat krusial dalam kehidupan mereka, yaitu (1) pergulatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (2) tersendat-sendatnya pemenuhan kebutuhan pendidikan anakanaknya, dan (3) terbatasnya akses mereka terhadap jaminan kesehatan. Ketiga akses diatas merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dalam rumah tangga nelayan, yang sering tidak terpenuhi secara optimal. Dengan realitas kehidupan yang demikian, sangat sulit merumuskan dan membangun kualitas sumberdaya masyarakat nelayan, agar mereka



memiliki kemampuan optimal dalam mengelola potensi sumber daya pesisir laut yang ada. Ketiadaan atau kekurangan kemampuan kreatif masyarakat nelayan untuk mengatasi sosial ekonomi didaerahnya akan mendorong mereka masuk perangkat keterbelakangan yang berkepanjangan sehingga dapat mengganggu pencapaian tujuan kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan. Untuk itu, perlu dipikirkan solusi strategi alternative untuk mengatasi persoalan kehidupan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Dalam hal ini, program jaminan sosial (sosial security) yang dirancang secara formal merupakan salah satu strategi yang patut dipertimbangkan untuk mengatasi kemelut sosial ekonomi yang menimpa kehidupan dari masyarakat nelayan. Sekalipun negara atau pemerintah telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk membangun sektor perikanan tangkap dan pemberdayaan ekonomi produktif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan, namun hasil yang dicapai masih belum maksimal. Kalau kita perhatikan, selama ini spirit kebijakan nasional dalam pembangunan perikanan sejak awal 1970-an dan masih terus di berlakukan hingga saat ini yang mengutamakan meningkatan produksi, mengakibatkan kelangkaan sumberdaya perikanan, kerusakan ekosistem pesisir laut, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Kebijakan demikian tidak disertai atau di kawal dengan kebijakan pembanding tentang bagaimana masyarakat nelayan harus menjaga keberlanjutan sumberdaya kelautan. Sebenarnya, kebijakan ini member keuntungan ekonomi bagi paranelayan bermodal besar yang secara kuantitatif berjumlah sedikit, namun pda akhirnya semua nelayan dari berbagai kategori usaha mengahadapi persoalan yang sama. Demikian juga kebijakan pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan yang selama ini diterapkan. Kalau dianalogikan dengan orang memancing, kebijakan tersebut hanya memberi ikan kepada nelayan, tetapi tidak memberikan jaminan keberlanjutan bagaiaman seandainya alat pemancing itu rusak. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lemahnya dukungan kebijakan lembagalembaga perbankan resmi untuk penyaluran kredit dengan bunga rendah kepada masyarakat nelayan secara berkesinambungan dan konsisten.Pada dasarnya, dukungan ini sangat dibutuhkan nelayan untuk menjaga kelanjutan usaha perikanannya. Gejala fluktual diatas mencerminkan belum adanya payung kebijakan pemberdayaan yang bersifat nasional dan menjadi referensi para penentu keputusan setingkat menteri sehingga hal



demikian memberikan rasa aman bagi lembaga perbankan untuk bekerja sama dengan nelayan dalam transaksi bantuan kredit. Disamping itu, tidak adanya pihak-pihak yang membantu secara total dan bersungguh-sungguh dalam membangun masyarakat nelayan, mendorong masyarakat nelayan mengembangkan strategi kemandirian berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimiliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi Kemandirian ini membangkitkan sikap-sikap otonom di kalangan nelayan merupakan modal sosial yang sangat berharga sebagai basis kelangsungan hidup mereka. Manifestasi dari sikap-sikap otonom nelayan terwujud dalam konstruksi pranata sosial, seperti perkumpulan simpan pinjam, arisan, dan jaringan sosial berfungsi untuk menggalang kemampuan sumberdaya ekonomi kolektif dalam relasi timbal balik sehingga eksistensi masyarakat nelayan tetap terjamin. Jaringan patron-klien merupakan wadah dan sarana yang menyediakan sumber daya jaminan sosial secara tradisional untuk menjaga kelangsungan hidup nelayan. Kekuatan hubungan patronklien ini dapat dilihat pada pola-pola relasi sosial antara (1) nelayan pemilik dengan nelayan buruh, (2) nelayan pemilik dengan penyedia modal usaha, (pedagang ikan/pedagang perantara, (3) nelayan (nelayan pemilik dan nelayan buruh) dengan pemilik toko yang menyediakan kebutuhan hidup dan kebutuhan melaut. Jika hasil tangkapan nelayan diberikan dalam bentuk ikan, biasanyahubungan patron-klien antara nelayan buruh dan pedagang ikan juga intensif. 1.2.1



Strategi Perekonomian Keluarga Nelayan



Strategi nelayan dalam menghadapi kemiskinana dapat dilakukan melalui , (1) Peranan Anggota KeluargaNelayan (istri dan anak). Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh anggota rumahtangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, (2) Diversifikasi Pekerjaan, dalam menghadapi ketidakpastian penghasilan, keluarga nelayan dapat melakukan kombinasi pekerjaan, (3) Jaringan Sosial, melalui jaringan sosial, individu-individu rumah tangga akan lebih efektif dan efisien untuk mencapai atau memperoleh akses terhadap sumberdaya yang tersedia di lingkungannya. Jaringan sosial memberikan rasa aman bagi rumahtangga nelayan miskin dalam menghadapi setiap kesulitan hidup sehingga dapat mengarungi kehidupan dengan baik. Jaringan sosial secara alamiah bisa ditemukan dalam segala bentuk masyarakat dan



manifestasi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Tindakan sosial-budaya yang bersifat kreatif ini mencerminkan bahwa tekanan-tekanan atau kesulitan kesulitan ekonomi yang dihadapi nelayan tidak di respon dengan sikap yang pasrah. Secara umum, bagi rumah tangga nelayan yang pendapatan setiap harinya bergantung sepenuhnya pada penghasilan melaut, jaringan sosial berfungsi sangat strategis dalam menjaga kelangsungan kehidupan mereka, (4) Migrasi, hal ini dilakukan ketika di daerah nelayan tertentu tidak sedang musim ikan dan nelayan pergi untuk bergabung dengan unit penangkapan ikan yangada di daerah tujuan yang sedang musim ikan. Maksud migrasi adalah untuk memperoleh penghasilan yang tinggi dan agar kebutuhan hidup keluarga terjamin. Dalam waktuwaktu tertentu, penghasilan yang telah diperoleh, mereka bawa pulang kampung untuk diserahkan kepada keluarganya. Perhatian terhadap kawasan pesisir tidak hanya didasari oleh pertimbangan pemikiran bahwa kawasan itu tidak hanya menyimpan potensi sumber daya alam yang cukup besar, tetapi juga potensi sosial masyarakat yang akan mengelola sumberdaya alam tersebut secara berkelanjutan. Potensi masyarakat ini sangat penting karena sebagian besar penduduk yang bermukim di pesisir dan hidup dari pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tergolong miskin. Kebijakankebijakan pembangunan di bidang perikanan (revolusi biru) selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut antara lain: -



Penataan Ruang, yang meliputi dua aspek penataan ruang sejalan dengan perundangan di atas, yaitu berkaitan dengan pengaturan fungsifungsi pesisir pantai serta penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi tata ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan rencana tata ruang.



-



Lingkungan, terutama dimensi persoalan lingkungan pesisir tidak bisa di lihat pada kondisi lokal namun menyangkut sistem yang luas, dalam hal keterkaitan ekosistem yang lebih luas. Dari sudut lingkungan wilayah pesisir Kabupaten Mimika sangat rentan terpengaruh terhadap arus perubahan kegiatan perkotaan dan masyarakatnya.



-



Permukiman, khususnya permukiman di wilayah pesisir pada beberapa distrik melalui suatu perencanaan sehingga menciptakan pola pemukiman yang sesuai dengan tata ruang untuk pemukiman wilayah pesisir.



-



Sarana dan prasarana, terutama sarana dan prasarana umum yang terbangun di kawasan pesisir yang masih belum seimbang.



-



Sumber air bersih, yaitu perlu adanya pemikiran-pemikiran pengembangan teknologi terapan untuk mengatasi kelangkaan air bersih dalam perencanaan pengembangan kawasan pesisir yang semakin lama akan semakin padat.



-



Pariwisata, yaitu kegiatan pariwisata harus dikelola dengan baik dan menempatkan masyarakat setempat sebagai bagian dari pelaku kegiatan.



1.3



Budaya Masyarakat Pesisir dan Kepulauan



Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial, Perspektif antropologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menmpilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan, khususnya di Provinsi Jawa Tengah, berikut ini akan dideskripsikan beberapa aspek antropologis yang dipandang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan, seperti sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan, dan kepemimpinan sosial. Sistem gender adalah sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labor by sex) dalam masyarakat nelayan yang didasarkan pada persepsi kebudayaan yang ada. Dengan kata lain, sistem gender merupakan kontruksi sosial dari masyarakat nelayan yang terbentuk sebagai hasil evolutif dari suatu proses dialektika antara manusia, lingkungan, dan kebudayaannya. Sebagai produk budaya, sistem gender diwariskan



secara sosial dari generasi ke generasi. Berdasarkan sistem gender masyarakat nelayan, pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan ”laut” merupakan ”ranah kaum laki-laki”, sedangkan wilayah ”darat” adalah ranah kerja ”kaum perempuan”. Pekerjaan-pekerjaan di laut, seperti melakukan kegiatan penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti mengurus tanggung jawab domestik, serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tangung jawab pekerjaan tersebut. Sebagian besar aktivitas perekonomian di kawasan pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah menempatkan kaum perempuan sebagai “penguasa aktivitas ekonomi pesisir”. Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya . Dengan demikian, kaum perempuan tidak berposisi sebagai ”suplemen” tetapi bersifat ”komplemen” dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Persepsi masyarakat nelayan terhadap perempuan yang bekerja di sektor publik terbagi menjadi tiga, yaitu: persepsi konservatif, moderat bersyarat, dan kontekstual dinamis. Jika persepsi ”konservatif” dan pandangan ”moderat bersyarat” dianut oleh sebagian kecil masyarakat nelayan, sebaliknya pandangan ”kontekstual-dinamis” dianut oleh sebagian besar warga masyarakat nelayan. Persepsi kontekstual-dinamis lebih rasional dalam menilai perempuan pesisir yang bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi-kondisi sosial ekonomi lokal. Persepsi ini memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk terlibat aktif dalam kegiatan publik dengan tidak mengorbankan tanggung jawab domestiknya. 1.4



Struktur Sosial Masyarakat Pesisir dan Kepulauan (nelayan)



Indonesia merupakan negara yang memiliki beribu pulau di seluruh Indonesia, dengan banyaknya pulau tidak terlepas dari pesisir pantai yang didiami oleh banyak kehidupan sosial budaya, masalah masyarakat pesisir nelayan yang mengalami keterikatan hubungan yang sangat erat Hubungan-hubungan ini tidak terlepas dari minimnya sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat desa Keramut Kecamatan Jemaja Kabupaten Anambas ketidak berdayaan masyarakat membuat ketergantungan mereka terhadap patron yang memiliki sumber daya yang lebih.



Menurut Arif Satria (2002) menjelaskan bahwa masyarakat nelayan merupakan sekumpulan individu atau kelompok masyarakat yang mendiami suatu wilayah pesisir. Sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada sumber daya laut dan ekosistem sekitarnya, serta membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas Terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan terhadap sumber daya laut secara terus menerus. Masyarakat nelayan merupakan salah satu bagian masyarakat Indonesia yang hidup dengan mengelolah potensi sumber daya perikanan Sebagai suatu masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, masyarakat nelayan mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di wilayah daratan. Di beberapa kawasan pesisir yang relatif berkembang pesat, struktur masyarakatnya bersifat heterogen, memilik: etos kerja yang tinggi, solidaritas sosial yang kuat terbuka terhadap perubahan dan memiliki karakteristik interaksi sosial yang mendalam. Sekalipun demikian masalah kemiskinan masih mendera sebagian warga masyarakat pesisir, sehingga fakta sosial ini terkesan ironi ditengah-tengah mereka memiliki hasil kekayaan sumber daya pesisir dan lautan yang melimpah ruas. Kesulitan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan karena mereka didera keterbatasan dibidang kualitas sumber daya manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar dan modal. Kebijakan dan implementasi program-program pembangunan untuk masyarakat pesisir hingga saat ini masih belum optimal dalam memutus mata rantai kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka Hal ini disebabkan oleh porsi kebanyakan pembangunan bidang sosial ekonomi dan budaya pada masyarakat nelayan cukup kompleks. Sebagai sebuah entitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sistem budaya yang tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan, lembah atau dataran rendah maupun perkotaan. Masyarakat nelayan secara umum memiliki pola interaksi yang sangat mendalam, pola interaksi yang di maksud dapat dilihat dari hubungan kerja sama dalam melaksanakan aktifitas, melaksanakan kontak secara bersama baik antara nelayan dengan nelayan maupun dengan masyarakat lainnya, mereka memiliki tujuan yang jelas dalam melaksanakan usahanya serta dilakukan dengan sistem yang permanen, sesuai dengan kebudayaan pada masyarakat nelayan.



Kebudayaan masyarakat nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu individu dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio historis yang panjang dan kristalisasi interaksi yang intensif serta intens antara masyarakat dan Iingkungannya. Dalam melaksanakan proses interaksi sosial yang mendalam masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat nya. Ini dapat dilihat dari proses pemanfaatan sumberdaya perikanan baik melalu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, melaksanakan kegiatan pengolahan hasil perikanan, baik melalui proses pengasapan, maupun dalam bentuk pengelolaannya, melaksanakan hubungan kerjasama dengan kelembagaan yang ada di desa, serta melaksanakan hubungan kerjasama dengan pemerintah desa Pola interaksi bagi masyarakat nelayan sebagai mana dikemukakan di atas menjadi proses penentu dalam peningkatan taraf hidup. Dalam kehidupan nelayan juga dikenal istilah struktur sosial dan relasi-relasi atau hubunganhubungan kerja yang mempengaruhi kehidupan nelayan itu sendiri. Struktur merupakan suatu keberlanjutan susunan orang-orang dalam hubungan-hubungan yang dibatasi atau dikendalikan oleh institusi-institusi, yaitu norma-norma atau polapola tingkah laku yang dibangun masyarakat (Radcliif Brown, 1968). Sementara relasi sosial adalah hubungan kerja antar kelompok nelayan yang berkaitan dengan peralatan produksi dan alat-alat penangkapan ikan. Serta hubungan kerja antara pemilik modal, kapal dengan nelayan buruh Kehidupan nelayan di Kelurahan Pantoloan merupakan salah satu potert kehidupan nelayan yang masih terikat dengan budaya struktur sosial serta relasi-relasi sosial yang dianut secara turun temurun dan mempengaruhi kehidupan nelayan dalam aktivitasnya sehari-hari.