Makalah MEMBANGUN ARGUMEN TENTANG KARAKTERISTIK INSAN KAMIL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MEMBANGUN ARGUMEN TENTANG KARAKTERISTIK INSAN KAMIL



Dosen: Heri Setiawan



Di Susun Oleh : Dendra Yusuf Pramudia (161011250359) Farhan Aydilla (161021250054) Merry Rosita Dewi (161011250416) Nur Rohmansah (161011250374) Tiara Citra Resmi (161011250396)



PROGRAM STUDI AKUTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PAMULANG 2017



KATA PENGANTAR



Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena bimbingan dan penyertaanNya, sehingga saya dapat merampung makalah ini guna memenuhi tugas yang diberikan Dosen pengajar pada Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi.



Makalah ini masih belum sempurna disebabkan karena terbatasnya kemampuan pengetahuan baik teori maupun praktek. Dengan demikian kelompok ini mengahrapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan panulisan makalah ini.



Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharakan kelompok ini guna tercapainya sebuah makalah yang baik.



Kiranya yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan pula agar karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.



Tangerang, 29 Maret 2017 Tim Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1 1.2 Pembahasan ................................................................................................................. 1 1.3 Tujuan . ........................................................................................................................ 1



BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Insan Kamil ............................................................................................... 2 2.2 Menelusuri Konsep Membentuk Insan Kamil (Manusia Sempurna) ......................... 4 2.3 Alasan Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil ........................................................................................................................... 6 2.4 Menggali sumber teologis, historis, dan filosofis tentang iman, islam, dan ihsan sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil .......................................... 6 2.5 Membangun



argumen



tentang



karakteristik



insan



kamil



dan



metode



pencapaiannya. ............................................................................................................. 10 2.6 Mendeskripsikan tentang esensi dan urgensi iman, islam, dan ihsan dalam membentuk insan kamil. .............................................................................................. 12



BAB III PENUTUP 1.1 Kesimpulan ……. ................................................................................................. 14 1.2 Saran ..................................................................................................................... 14



DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 15



ii



BAB I PENDAHULUAN



A.



Latar belakang Dalam dunia ini, kita sebagai kaum theisme (beragama) atau makhluk yang meyakini adanya Tuhan, kita tahu bahwa kita berada di dunia ini karena penciptaan Tuhan (Al-Kholiq). Kita bernaung dalam agama islam dan kita memiliki Tuhan yang kita sebut Allah. Allah menciptakan kita, manusia pastinya mempunyai tujuan. Tujuan kita diciptakan bukan hanya untuk menempati bumi dan menikmati yang ada di dalamnya saja, tapi juga kareana kita memiliki peran penting dalam wujud penciptaan-Nya, yaitu peran sebagai hamba/sang penyembah (QS. Al-Dzariyat:56) dan sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30), seperti yang tertera dalam kitab suci Al-Qur’an. Dari tujuan Allah tersebut, kita bisa mengetahui bahwa manusia yang menjadi hamba dan khalifah byang baik akan membentuk manusia yang sempurna (Insan kamil) yang menjadi cerminan atau manifestasi Tuhan yang utuh. Kemudian manusia dari penyebutan insan kamil yang mulanya berasal dari khalifah dan hambah, tidak luput dari hubungannya terhadap sesama dan Tuhan-Nya. Untuk itu makalah ini kami buat untuk membangun argumen tentang karakteristik ihsan kamil.



B.



Rumusan masalah 1.



Pengertian Insan Kamil



2.



Menelusuri Konsep Membentuk Insan Kamil (Manusia Sempurna)



3.



Menanyakan Alasan Mengapa Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil



4.



Menggali sumber teologis, historis, dan filosofis tentang iman, islam, dan ihsan sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil



5.



Membangun



argumen



tentang



karakteristik



insan



kamil



dan



metode



pencapaiannya 6.



Mendeskripsikan tentang esensi dan urgensi iman, islam, dan ihsan dalam membentuk insan kamil



C.



Tujuan 1.



Untuk mengetahui definisi Insan kamil.



2.



Menjadikan diri sebagai Insan Kamil



1



BAB II PEMBAHASAN 2.1



Pengertian Insan Kamil Insan kamil adalah konsep manusia paripurna. Manusia yang berhasil mencapai puncak prestasi tertinggi dilihat dari beberapa dimensi. Manusia sempurna atau sering disebut dengan insan kamil berasal dari dua kata, yaitu insan dan kamil. Keduanya berasal dari bahasa arab yang berarti aitu: insan yang berarti manusia dan kamil yang berarti sempurna.1 Manusia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah makhluk yang berakal budi.2 Manusia menurut ahli filsafat ahli kuno: makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa.3 Manusia dalam Al-Quran disebutkan dengan beberapa penyebutan, seperti an-nas, al insan, dan albasyar. An-nas adalah bentuk tunggal dari insan, sedangkan insan berasal dari tiga akar kata yaitu: anasa (melihat, mengetahui dan meminta izin), nasia (lupa) dan al-uns (jinak). Sedangkan al-basyar berati manusia yang digunakan dalam segi fisiknya. Dalam pembahasan ini kita menggunakan kata insan untuk penyebutan manusia. Menurut Jami Saliba dalam Almu’jam Alfalsafi bahwa kata insan menunjukkan pada segi sifatnya bukan fisiknya.sedangkan dalam bahasa Arab, kata insan cenderung pada sifat terpujiseperti kasih sayang, mulia dan sebagainya. Filosof kalasik menggunakan kata insan yang berarti manusiasecara totalitas yang secara langsung mengarah pada hakikat manusia.4 Jadi, kata insan dalam menunjukkan sifat manusia memiliki penafsiran dan makna. Namun dari semua definisi tersebut semuanya menjukkan definisi manusia dalam hal yang positif .dari segi sifatnya. Manusia seutuhnya itu sama halnya dengan manusia yang sempurna.



Kesempurnaan



Muthahhari dalam



itu



bukunya



sendiri



memiliki



MANUSIA



tingkatan.



SEUTUHNYA



Menurut menjelaskan



Murtadha bahwa



kesempurnaan itu mempunyai beberapa tingkatan yaitu Tamam dan Kamil. Menurut Bahasa Arab kata Kamil dari asal kata ‫ يكمل‬- ‫ كمل‬yang artinya sempurna, utuh, lengkap, penuh, tuntas, keseluruhan. ‫يتمم‬ ِّ – ‫( ت َّمم‬Menyempurnakan) artinya sempurna apabila sesuatu yang dibutuhkan telah ada atau lengkap. Contohnya apabila kita hendak membuat rumah dan sudah ada



1 Mahmud yunus, 2010, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, PT Mahmud Yunus Wa Zdurriyyah, hal 51dan 387 2 KBBI Yupi Digital 3 Udi Mufrodi Mawardi, Gambaran Komperhensif Tentang Manusia 4 Abuddin Nata, 2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, hal 257



2



pintu, jendela, genteng, halaman dan lain-lainnya telah tersedia berarti itu sudah dinyatakan tamam. Adapun kata kamal atau kamil digunakan untuk sesuatu yang utuh dan sudah rampung dalam tingkat atau derajat yang lebih tinggi secara kualitas. Tingkatan ini sudah melewati tingkatan tamam. Perbedaan antara keduanya adalah: tamam ialah besifat secara horizontal, sedangkan kamil yaitu bersifat vertikal. Maksud horizontal di sini aialah hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan di sini bukan hanya sekedar hubungan biasa akan tetapi hubungan di sini sampai manusia yang tamam itu ikut merasakan penderitaan orang lain. Sebagai contoh yaitu, pada zaman Ali bin Abi Thalib. Suatu hari Imam Ali melihat seorang wanita tua di salah satu lorong kota Madinah sedang mengangkat kantung berisi air. Tanpa pikir panjang Ali langsung menolongnya dan membawa air ke rumah wanita tua itu. Sesampainya di rumah wanita itu, Ali bertanya padanya. Mengapa kamu mengangkat air sendiri? Di mana suami anda? Wanita itu menjawab “suamiku telah gugur ketika membela Amirul Mukminin Ali dalam suatu peperangan, sekarang tinggal aku dan anak-anak yang telah menjadi yatim”. Setelah mendengar jawaban wanita itu sekujur tubuh Ali seakan terbakar. Merasa bersalah selama ini tidak peduli dengan wanita ini. Diriwayatkan, malamnya ketika sampai di rumah, beliau tidak dapat memejamkan mata semalam suntuk. Pagi-paginya beliau langsung mengumpulkan gandum, daging, kurma, dan uang. Lalu berjalan ke rumah janda itu. Tidak sampai di situ. Beliau langsung membakar daging kemudian menyuapi anak-anak janda tersebut. Inilah hubungan antara manusia dengan manusia yang benar-benar merasakan penderitaan orang lain. Bahkan Ali tidak bisa tidur karena memikirkan kesusahan janda tersebut. Sedangakan hubungan yang bersifat vertikal yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Jadi, manusia tamam adalah manusia yang sempurna secara horizontal adalah manusia Tamam yang meningkatkan kualitas kesempurnaannya secara vertikal.5 Horizontal disini dapat diartikan dia berhubungan dengan sesama manusia dengan sempurna. Sedangkan manusia Kamil. Vertikal disini dapat diartikan hubungan manusia dengan Tuhan secara sempurna.



5 Murtadha muthahhari, 2012. MANUSIA SEUTUHNYA. Sadra press, Jakarta.



3



2.2 Menelusuri Konsep Membentuk Insan Kamil (Manusia Sempurna) Nabi Muhammad Saw disebut sebagai teladan insan kamil atau istilah populernya di dalam Q.S. al- Ahdzab [33]:21:







































         “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. Perwujudan insan kamil dibahas secara khusus di dalam kitab-kitab tasawuf, namun konsep insan kamil ini juga dapat diartikulasikan dalam kehidupan kontemporer. Allah SWT tidak membiarkan kita untuk menginterpretasikan tata nilai tersebut semaunya, berstandar seenaknya, tapi juga memberikan kepada kita, Rasulullah SAW yang menjadi uswah hasanah. Rasulullah SAW merupakan insan kamil, yang tidak ada satupun sisi-sisi kemanusiaan yang tidak disentuhnya selama hidupnya. Ia adalah ciptaan terbaik yang kepadanya kita merujuk akan akhlaq yang mulia. Allah SWT berfirman:



     “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlaq yang mulia.” (QS. Al-Qolam[68]: 4)



























 







 































            



 







 4



 



















   “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itu Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridaanNya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al Maidah [5]: 15-16) Firman Allah itu menjelaskan tentang nur atau cahaya yang menjadi sosok diri Muhammad sebagai seorang Rasulullah Rahmatan Lil’alamin. Muhammad yang dijuluki Allah sebagai cahaya adalah nama yang menjadi figur sentral ajaran Islam. Jika manusia adalah sebaik-baik penciptaan maka Muhammad adalah sebaik-baik manusia. Tak ada manusia yang mampu menandingi penciptaan wujud Muhammad secara lahiriah, juga sifat, dan perbuatannya. Sebagai manusia, Muhammad wafat lebih dari empat belas abad yang lalu. Namun memahami Muhammad, tidak cukup hanya pada sebatas wujud secara fisik. Bagaimana kehidupan sebagai pribadinya adalah rujukan kita. Cara makan dan minumnya adalah standar akhlaq kita. Tidur dan berjalannya adalah juga standard kita. Tangisnya, senyumnya, berfikir dan merenungnya, bicaranya dan diamnya adalah juga merupakan tangis, senyum, berfikir dan merenungnya, bicara dan diamnya kita. Kehidupannya sebagai kepala rumah tangga, anggota masyarakat, kepala negara, da’i, jenderal perang adalah rujukan kehidupan kita. Demikianlah, Rasulullah SAW memang telah menjadi ukuran resmi yang Allah SWT turunkan bagi kita, dan sampai kapanpun ini tidak akan pernah berubah. Menurut Ibn Araby, ada dua tingkatan menusia dalam mengimani Tuhan. Pertama, tingkat insan kamil. Mereka mengimani Tuhan dengan cara penyaksian. Artinya, mereka “ menyaksikan” Tuhan; mereka menyembah Tuhan yang disaksikannya. Kedua, manusia beragama pada umumnya. Mereka mengimami Tuhan dengan cara mendefinisikan. Artinya, mereka tidak menyaksikan Tuhan. Tetapi mereka mendefinisikan Tuhan. Mereka mendefinisikan Tuhan berdasarkan sifat- sifat dan nama-nama Tuhan. (Asma’ul Husna) Abdulkarim Al – Jilli membagi insan kamil atas tiga tingkatan. a) Tingkat Pemula (al-bidayah). Pada tingkat ini insan kamil mulai dapat merealisasikan asma dan sifat-sifat ilahi pada dirinya. 5



b) Tingkat menengah (at-tawasuth). Pada tingkat ini insan kamil sebagai orbit kehalusan sifat kemanusiaan yang terkait dengan realitas kasih Tuhan (al- haqaiq arramaniyyah). Pengetahuan yang dimiliki oleh insan kamil pada tingkat ini telah meningkat dari pengetahuan biasa, karena sebagian dari hal – hal yang gaib telah dibukakan Tuhan kepadanya. c) Tingkat terakhir ( al – khitam ). Pada tinhgkat ini insan kamil telah dapat merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Iapun telah dapat mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir 2.3



Alasan Iman, Islam, dan Ihsan Menjadi Persyaratan dalam Membentuk Insan Kamil Hampir seluruh manusia percaya akan adanya Tuhan ataupun Malaikat. Hanya saja mungkin di antara beberapa agama ada yang berbeda menamai Tuhan dan malaikat. Orang Indonesia menyebutnya Tuhan, orang Arab menyebutnya Rabb, orang Inggris menyebutnya God, orang Jawa dan orang Sunda menyebutnya Pangeran atau Gusti Allah, orang Hindu Bali menyebutnya Sang Hyang Widi Wasa (Yang Maha Esa), dan orang Yunani Kuno menyebutnya Hermeus. Untuk menyebut malaikat pun berbeda-beda. Orang Islam, Kristen, dan Yahudi menyebutnya malaikat (Angel). Akan tetapi, orang Hindu, Buddha, dan Konghucu menyebutnya Dewa-Dewi. Makna iman bukanlah sekedar “percaya” apabila ada yang menafsirkan iman berarti “percaya” berarti semua manusia di dunia ini beriman, karena semua manusia percaya akan adanya Tuhan; semua manusia percaya akan adanya malaikat, dan seterusnya. Jadi, tidak ada seorang manusia pun yang kafir. Membatasi hal tersebut argumen tentang beriman harus lengkap. Mencangkup Nabi Muhammad SAW adalah Rasulullah. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan Islam. Oleh karena itu, orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mukmin yang lain, dan orang yang mukmin itu juga lebih istimewa dibandingkan muslim yang lain.



2.4



Menggali sumber teologis, historis, dan filosofis tentang iman, islam, dan ihsan sebagai pilar agama islam dalam membentuk insan kamil



2.4.1



Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Tentang Iman, Islam, dan Ihsan sebagai Pilar Agama Islam



َ‫َا‬ َ : ‫ل‬ َْ ُْ ‫َا‬ ‫َم‬ ‫ْن‬ ‫بي‬ ‫ًا ق‬ ‫يض‬ ‫ه أ‬ ‫َن‬ ‫ِيَ هللاُ ع‬ ‫َض‬ ‫َ ر‬ ‫َر‬ ‫ُم‬ ‫ْ ع‬ ‫َن‬ ‫ع‬ ََ ََّ‫َس‬ ََّ ُ‫ُ ج‬ َ َْ ‫لم‬ ‫ِ و‬ ‫ْه‬ ‫لي‬ ‫لى هللاُ ع‬ ‫ِ هللاِ ص‬ ‫ْل‬ ‫َسُو‬ ‫د ر‬ ‫ِن‬ ‫ْسٌ ع‬ ‫ُلو‬ ‫ْن‬ ‫نح‬ 6



‫ََ‬ ‫ََ‬ ‫يُ‬ ‫د َ‬ ‫َ َ‬ ‫ِْ‬ ‫ض‬ ‫بي‬ ‫ٌ شَد‬ ‫ُل‬ ‫َج‬ ‫َا ر‬ ‫ْن‬ ‫لي‬ ‫َ ع‬ ‫لع‬ ‫ْ ط‬ ‫ِذ‬ ‫ٍ إ‬ ‫ْم‬ ‫يو‬ ‫َات‬ ‫ذ‬ ‫َاِ‬ ‫ََ‬ ‫يُ‬ ‫ِْ‬ ‫ِ‪ ,‬الَ ُ‬ ‫ِ‬ ‫ْه‬ ‫لي‬ ‫َى ع‬ ‫ير‬ ‫ْر‬ ‫ِ الشَّع‬ ‫َاد‬ ‫د سَو‬ ‫َابِ شَد‬ ‫ِي‬ ‫الث‬ ‫ََ‬ ‫ََ‬ ‫ٌَ‬ ‫لسَ‬ ‫َالَ َ‬ ‫ُُ‬ ‫َّى ج‬ ‫َت‬ ‫د‪ ,‬ح‬ ‫َح‬ ‫َّا أ‬ ‫ِن‬ ‫ه م‬ ‫ِف‬ ‫ْر‬ ‫يع‬ ‫ِ و‬ ‫َر‬ ‫ُ السَّف‬ ‫ثر‬ ‫أ‬ ‫ََ‬ ‫َسََّ‬ ‫ََّ‬ ‫ََ‬ ‫د‬ ‫َسْن‬ ‫لم‪ ,‬فأ‬ ‫ِ و‬ ‫ْه‬ ‫لي‬ ‫لى هللاُ ع‬ ‫ِيِ ص‬ ‫َّب‬ ‫َِلى الن‬ ‫إ‬ ‫ََ‬ ‫لى‬ ‫ِ ع‬ ‫ْه‬ ‫َّي‬ ‫َف‬ ‫َ ك‬ ‫َع‬ ‫َض‬ ‫َو‬ ‫ِ‪ ,‬و‬ ‫ْه‬ ‫َي‬ ‫َت‬ ‫ْب‬ ‫ُك‬ ‫َِلى ر‬ ‫ِ إ‬ ‫ْه‬ ‫َي‬ ‫َت‬ ‫ْب‬ ‫ُك‬ ‫ر‬ ‫َخَ‬ ‫َاَ‬ ‫َُّ‬ ‫ل ‪َ :‬‬ ‫ِذْ‬ ‫يا ُ‬ ‫ِيْ ع‬ ‫ْن‬ ‫ِر‬ ‫ْب‬ ‫َخ‬ ‫د أ‬ ‫َم‬ ‫مح‬ ‫َ ق‬ ‫ِ‪ ,‬و‬ ‫يه‬ ‫ف‬ ‫َنِ‬ ‫ََ‬ ‫َسََّ‬ ‫ََّ‬ ‫َاَ‬ ‫ُْ‬ ‫لم ‪:‬‬ ‫ِ و‬ ‫ْه‬ ‫لي‬ ‫لى هللاُ ع‬ ‫ل هللاِ ص‬ ‫َسُو‬ ‫ل ر‬ ‫َق‬ ‫ِ‪ ,‬ف‬ ‫ِسْالَم‬ ‫اإل‬ ‫ََّ‬ ‫َْ‬ ‫َْ‬ ‫ن َ‬ ‫هَ‬ ‫ِ َلَ‬ ‫تشَْ‬ ‫ن‬ ‫َ أ‬ ‫ِالَّ هللاُ و‬ ‫ه إ‬ ‫ن الَإ‬ ‫د أ‬ ‫ُ أ‬ ‫ِسْالَم‬ ‫َإل‬ ‫ا‬ ‫َّالََ‬ ‫َُ‬ ‫َُ‬ ‫ُْ‬ ‫ًَّ‬ ‫ُ‬ ‫ْت‬ ‫تؤ‬ ‫ة‪ ,‬و‬ ‫ُ الص‬ ‫ْم‬ ‫ِي‬ ‫تق‬ ‫ل هللاِ‪ ,‬و‬ ‫َسُو‬ ‫دا ر‬ ‫َم‬ ‫مح‬ ‫ِيَ‬ ‫َّ ْ‬ ‫ََ‬ ‫َ إ‬ ‫ْت‬ ‫َي‬ ‫الب‬ ‫ُج‬ ‫تح‬ ‫و‬ ‫ِنِ‬ ‫ََ‬ ‫َا‬ ‫ْن‬ ‫َجِب‬ ‫َع‬ ‫ُ‪ .‬ف‬ ‫ْت‬ ‫دق‬ ‫‪ :‬ص‬ ‫ِيْ ع‬ ‫ْن‬ ‫ِر‬ ‫ْب‬ ‫َخ‬ ‫َأ‬ ‫‪ :‬ف‬ ‫َنِ‬ ‫ََ‬ ‫ِ‪,‬‬ ‫ِه‬ ‫َت‬ ‫ِك‬ ‫مالَئ‬ ‫ِاهللِ‪ ,‬و‬ ‫ب‬



‫َاَ‬ ‫َاَ‬ ‫ََ‬ ‫ََ‬ ‫ن‪,‬‬ ‫مض‬ ‫َ ر‬ ‫ْم‬ ‫ُو‬ ‫تص‬ ‫ة‪ ,‬و‬ ‫َّك‬ ‫الز‬ ‫َاَ‬ ‫ل‬ ‫ْالً‪ .‬ق‬ ‫ِي‬ ‫ِ سَب‬ ‫ْه‬ ‫َِلي‬ ‫َ إ‬ ‫ْت‬ ‫َع‬ ‫َط‬ ‫اسْت‬ ‫َُ‬ ‫َاَ‬ ‫ه َ‬ ‫ُُ‬ ‫َُ‬ ‫لُ‬ ‫َلُ‬ ‫ل‬ ‫ه‪ .‬ق‬ ‫ِق‬ ‫َد‬ ‫يص‬ ‫ه و‬ ‫يسْئ‬ ‫َْ‬ ‫َاَ‬ ‫ِْ‬ ‫ن‬ ‫ل ‪ :‬أ‬ ‫َانِ‪ ,‬ق‬ ‫يم‬ ‫اإل‬ ‫َ ْ‬ ‫َ‬ ‫َ ُ‬ ‫ِن‬ ‫ْم‬ ‫تؤ‬ ‫ِ‪ ,‬و‬ ‫ِ اآلخِر‬ ‫ْم‬ ‫َو‬ ‫الي‬ ‫ِ‪ ,‬و‬ ‫ِه‬ ‫ُسُل‬ ‫َر‬ ‫ِ‪ ,‬و‬ ‫ِه‬ ‫ُب‬ ‫ُت‬ ‫َك‬ ‫و‬ ‫ب ْ‬ ‫َاَ‬ ‫َاَ‬ ‫ََ‬ ‫َْ‬ ‫ل ‪:‬‬ ‫َ‪ .‬ق‬ ‫ْت‬ ‫دق‬ ‫ل ‪ :‬ص‬ ‫ِ‪ .‬ق‬ ‫ِه‬ ‫َ شَر‬ ‫ِ و‬ ‫ِه‬ ‫ْر‬ ‫َي‬ ‫ِ خ‬ ‫در‬ ‫ِالق‬ ‫َْ‬ ‫ن َ‬ ‫َاَ‬ ‫َُ‬ ‫د هللاَ‬ ‫ْب‬ ‫تع‬ ‫ل ‪ :‬أ‬ ‫ْسَانِ‪ ,‬ق‬ ‫ِح‬ ‫َنِ اإل‬ ‫ِيْ ع‬ ‫ْن‬ ‫ِر‬ ‫ْب‬ ‫َخ‬ ‫َأ‬ ‫ف‬ ‫إَّ‬ ‫ََّ‬ ‫إْ‬ ‫ْ َ‬ ‫ْ َ‬ ‫نكَ َ‬ ‫ه َ‬ ‫نُ‬ ‫َاُ‬ ‫َاُ‬ ‫َ‪.‬‬ ‫َاك‬ ‫ير‬ ‫ه ف‬ ‫تر‬ ‫ُن‬ ‫تك‬ ‫ن َلم‬ ‫ه ف‬ ‫تر‬ ‫َأ‬ ‫ك‬ ‫َِ‬ ‫َِ‬ ‫َاَ‬ ‫َاَ‬ ‫ل ‪َ :‬‬ ‫ما‬ ‫ِ ق‬ ‫َة‬ ‫َنِ السَّاع‬ ‫ِيْ ع‬ ‫ْن‬ ‫ِر‬ ‫ْب‬ ‫َخ‬ ‫َأ‬ ‫ل ‪ :‬ف‬ ‫ق‬ ‫َْ‬ ‫ْ‬ ‫َاَ‬ ‫ُْ‬ ‫َْ‬ ‫ل ‪:‬‬ ‫ِ‪ .‬ق‬ ‫ِل‬ ‫َ السَّائ‬ ‫ِن‬ ‫َ م‬ ‫لم‬ ‫َع‬ ‫ِأ‬ ‫ها ب‬ ‫َن‬ ‫ل ع‬ ‫ُو‬ ‫َسْؤ‬ ‫الم‬ ‫َْ‬ ‫ن َ‬ ‫َاَ‬ ‫َِ‬ ‫َِ‬ ‫ََ‬ ‫د‬ ‫تل‬ ‫ل ‪ :‬أ‬ ‫ها‪ ,‬ق‬ ‫َات‬ ‫مار‬ ‫ْ أ‬ ‫َن‬ ‫ِيْ ع‬ ‫ْن‬ ‫ِر‬ ‫ْب‬ ‫َخ‬ ‫َأ‬ ‫ف‬ ‫مُ‬ ‫ْ‬ ‫ْ‬ ‫َاَ‬ ‫َاَ‬ ‫َْ‬ ‫ن َ‬ ‫ََ‬ ‫األََ‬ ‫ََّ‬ ‫ة‬ ‫ُر‬ ‫الع‬ ‫ة‬ ‫ُف‬ ‫الح‬ ‫َى‬ ‫تر‬ ‫َأ‬ ‫ها‪ ,‬و‬ ‫بت‬ ‫ة ر‬ ‫الَ‬ ‫َ َ‬ ‫ْ‬ ‫َْ‬ ‫َ‬ ‫الشَّاِ‬ ‫َاَ‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ‫َُلو‬ ‫َاو‬ ‫َط‬ ‫يت‬ ‫ء‬ ‫ء‬ ‫ِع‬ ‫ر‬ ‫ة‬ ‫الع‬ ‫ِيْ‬ ‫ًّا‪ُ ,‬‬ ‫ََ‬ ‫ََ‬ ‫ْ‬ ‫َْ‬ ‫ُ َ‬ ‫َّ‬ ‫ثم‬ ‫ِي‬ ‫مل‬ ‫ْت‬ ‫ِث‬ ‫لب‬ ‫َ‪ ,‬ف‬ ‫لق‬ ‫نط‬ ‫َانِ‪ ,‬ثم ا‬ ‫ْي‬ ‫ُن‬ ‫الب‬ ‫‪7‬‬



ُْ ََ َ‫َا‬ ْ‫ت‬ َ ْ‫ِي‬ َ : ‫ل‬ : ُ ‫لت‬ ‫ِل؟ ق‬ ‫منِ السَّائ‬ ‫در‬ ‫ أ‬,ُ ‫َر‬ ‫ُم‬ ‫يا ع‬ ‫ق‬ َْ َّ‫إ‬ َ‫َا‬ ُ ِْ ُ‫ن‬ ُ‫ُْل‬ ‫يل‬ ‫ْر‬ ‫ه جِب‬ ‫ ف‬: ‫ل‬ ‫ ق‬.ُ ‫لم‬ ‫َع‬ ‫ه أ‬ ‫َسُو‬ ‫َ ر‬ ‫هللاُ و‬ َِ ََ ِْ ٌ ُ ‫ه‬ ُ‫َا‬ ُ ْ ‫ِم‬ ‫مسْل‬ ‫َو‬ ‫ ر‬.ْ ‫ُم‬ ‫َك‬ ‫ين‬ ‫ْ د‬ ‫ُم‬ ‫ُك‬ ‫ِم‬ ‫َل‬ ‫يع‬ ‫ُم‬ ‫تاك‬ ‫أ‬ Umar bin Khaththab Radhiyallahu’anhu berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tandatanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitabkitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia



bertanya



lagi:



“Beritahukan



kepadaku



tentang



ihsan”.



Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”



8



Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim]. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Umar Bin Khatab r.a kaum muslimin menetapkan adanya tiga unsur penting dalam agama islam yakni, iman, islam, dam ihsan sebagai kesatuan yang utuh. Akidah merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar islam dan akhlak merupakan cabang ilmu agama untuk memahami pilar ihsan.



2.4.2 Menggali Sumber Teologis, Historis, dan Filosofis Konsep Insan Kamil Istilah Insan Kamil (manusia sempurna) pertama kali diperkenalkan oleh syekh Ibn Araby ( abad ke-14 ). Ia menyebutkan ada dua jenis manusia, yakni insan kamil dan monster setengah manusia. Jadi, kata Ibn Araby, jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia menjadi monster setengah manusia. Insan kamil adalah manusia yang telah menanggalkan kemonsteranya. Konsekuensinya, diluar kedua jenis manusia ini da manusia yang sedang berproses menanggalkan kemonsterannya dalam membentuk insan kamil. a. Konsep Manusia dalam Al-Quran. Secara umum, pembicaraan tentang konsep manusia selalu berkisar dalam dua dimensi, yakni dimensi jasmani dan rohani, atau dimensi lahir dan batin. Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya. Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan siasia. 9



Kata basyar dipakai dalam Alquran sangat terbatas, antara lain untuk menunjukkan manusia pada umumnya seperti yang tampak pada fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada makan dan minum dari apa yang ada di bumi. Dengan melihat konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam hubungannya dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan.



b. Unsur-unsur Manusia Pembentuk Insan Kamil secara ringkas, Al-Ghazali (dalam othman, 1987: 31-33) menyebut beberapa instrumen untuk mencari pengetahuan yang benar serta kapasitas untuk mencapainya. Pertama, panca indra. Panca indra memiliki keterbatasan dan tidak bisa mecapai pengetahuan yanng benar, setelah dinilai oleh akal. Kedua, akal. Dengan metode ini, dengan cara yang sama, seharusnya orangpun menuilai tingkat kebenaran akal. Orang seharusnya menggunakan cara yang sama dengan cara yang digunakan oleh akal ketika menulai kekeliruan panca indra. Ketiga, nur ilahi. Ketika Al- Ghazali sembuh dari sakitnya ia menuturkan, kesembuhannya dari sakit karena adanya nur ilahi yang menembus dirinya. Kemudian Al- Ghazali mengungkapkan pandangannya tentang nur ilahi sebagai berikut. Kapan saja Allah menghendaki untuk memimpin seseorang, maka jadilah demikian. Dialah yang melapangkan dada orang itu untuk berislam. ( QS: Al- An’am [6]:125)































     































 



















 







  10



“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.”



2.5 Membangun argumen tentang karakteristik insan kamil dan metode pencapaiannya 2.5.1



Karakteristik insan kamil Insan kamil bukanlah manusia pada umumnya. Menurut ibnu araby



meyebutkan adanya dua jenis manusia yaitu insan kamil dan monster bertubuh manusia. Maksudnya jika tidak menjadi insan kamil, maka manusia akan menjadi monster bertubuh manusia. Untuk itu kita perlu mengenali tempat unsur untuk mencapai derajat insan kamil, diantaranya : 1. Jasad 2. Hati nurani 3. Roh 4. Sirr (rasa) Untuk mencapai derajat insan kamil kita harus dapat menundukkan nafsu dan syahwat hingga mencapai tangga nafsu muthama’inah.



























 



 







  



   “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku” (QS Al Fajr [89]: 27-30). Ayat di atas dengan jelas menegaskan bahwa nafsu muthma’inah merupakan titik berangkat untuk kembali kepada tuhan. Akan tetapi, dengan modal nafsu muthama’inah pun masih di perintah lagi oleh allah untuk menaiki tangga nafsu diatasnya. Menurut imam ghazali ada 7 macam nafsu sebagai proses taraqqi (menaik) yaitu : 1.



Nafsu ammarah 11



2.



Nafsu lawwamah



3.



Nafsu mulhimah



4.



Nafsu muthma’inah



5.



Nafsu radhiyah



6.



Nafsu mardiyyah



7.



Nafsu kamilah



Sifat – sifat Insan Kamil terdiri dari : 1.



Keimanan



2.



Ketaqwaan



3.



Keadaban



4.



Keilmuan



5.



Kemahiran



6.



Ketertiban



7.



Kegigihan dalam kebaikan dan kebenaran



8.



Persaudaraan



9.



Persepakatan dalam hidup



10.



Perpaduan dalam umah Sifat – sifat inilah yang menjamin manusia menjadi sempurna dan mencapai



hasanah dalam dunia dan hasanah dalam akhirat.



2.5.2 1.



Metode Mencapai Insan Kamil Ilmu taubat dengan syarat-syaratnya menghindari dari yang menyebabkan nafsu dengan mengawalnya dengan mendisiplinkan pergaulan dan harta serta mengambilkan yang halal dan membelanjakan dalam perkara halal, kemudian disertai dengan berhemat.



2.



Berjaga-jaga supaya amalan tidak binasa oleh niat-niat yang merobohkannya seperti ria digantikan dengan ikhlas.



3.



Keadaan tergesa-gesa digantikan dengan sabar.



4.



Tidak cermat digantikan dengan sifat cermat menyelamatkan diri daripada kelesuan.



5.



Dengan mengamalkan sifat harap dan takut, maksudnya harap bahwa Allah akan menerima amalan dan menyelamatkan kita, takut kalau-kalau Allah tidak mengampuni kita dan menerima amalan kita. 12



6.



Mengamalkan sifat puji dan syukur dalam hidup terhadap Allah juga terhadap makhluk yang menjadi wasilah atau perantara sampainya nikmat Allah kepada kita. Puji dan syukur itu dapat berupa rasa gembira dan syukur terhadap nikmat Allah dan lidah mengucapkan kesyukuran, al-hamdulillah, serta dengan melakukan perbuatan – perbuatan yang dirhidoi Allah SWT.



2.6



Mendeskripsikan tentang esensi dan urgensi iman, islam, dan ihsan dalam membentuk insan kamil Insan kamil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh tuhan. Hal ini disebabkan, jika tidak menjadi insan kamil maka manusia itu hanyalah monster bertubuh manusia. Siapa dan bagaimana insan kamil itu ? Dalam perspektif islam manusia memiliki 4 unsur yaitu : jasad, hati, roh dan rasa. Yang berfungsi untuk menjalankan kehendak ilahi. Untuk mengkokohkan keimanan akan menjadi manusia yang insan kamil maka kaimanan kita harus mencapai tingkat yakin. Maka kita harus mengidentifikasi yang mengacu pada rukun iman. Sedangkan untuk dapat beribadah secara bersungguh-sungguh dan ikhlas, maka segala ibadah yang kita lakukan mengacu pada rukun islam. Kaum sufi memberikan tips untuk dapat menaiki tangga demi tangga, maka seseorang yang berkehendak mencapai martabat insan kamil diharuskan melakukan riyadhah (berlatih terus-menerus) untuk menapaki maqam demi maqam yang biasa ditempuh oleh bangsa sufi dalam perjalanannya menuju tuhan. Maqam-maqam yang dimaksud merupakan karakter-karakter inti yang memiliki 6 unsur : 1.



Taubat. Kembali taat kepada Allah s.w.t dan menyesal dengan bersungguh-sungguh



terhadap dosa yang telah dilakukan sama ada dosa besar mahupun dosa kecil serta memohon keampunan dari Allah. 2.



Wara’. Sikap hati-hati dari hal yang syubhat & meninggalkan yang haram. Lawan dari



wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tsb halal atau haram 3.



Zuhud. Lawan kata dari takabbur (sombong). Ia berasal dari lafadz Adl-Dla’ah yang



berarti kerelaan manusia terhadap kedudukan yang lebih rendah, atau rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman, ataumau menerima kebenaran apapun bentuknya dan dari siapa pun asalnya 13



4.



Faqir. Senantiasa merasa butuh kepada Allah



5.



Sabar Sabar adalah suatu sikap menahan emosi dan keinginan, serta bertahan dalam



situasi sulit dengan tidak mengeluh. 6.



Tawakkal. Tawakal (bahasa



Arab: ‫)تو ُكل‬



atau



tawakkul



berarti



mewakilkan



atau



menyerahkan. Dalam agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.



14



BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Untuk menapaki jalan insan kamil terlebih dahulu kita perlu mengingat kembali tentang 4 unsur manusia yaitu jasad atau raga, hati, roh dan rasa. Keempat unsur manusia ini harus di fungsikan untuk menjalankan kehendak allah. Hati nurani harus dijadikan rajanya dengan cara selalu mengingat tuhan. Jika sudah secara benar menjalankan 4 unsur tersebut, lalu mengkokohkan keimanan,



meningkatkan



peribadatan,



dan



membaguskan



perbuatan,



sekaligus



menghilangkan karakter-karakter yang buruk. 3.2 Saran Demikian makalah kelompok kami, meskipun jauh dari kesempurnaan minimal dapat mengimplementasikan tulisan ini, masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, maka kami juga butuh kritik dan saran agar menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa sebelumnya.



15



Daftar Pustaka Mahmud yunus, 2010, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, PT Mahmud Yunus Wa Zdurriyyah KBBI Yupi Digital Versi 1.01 Udi Mufrodi Mawardi, Gambaran Komperhensif Tentang Manusia Abuddin Nata, 2012, Akhlak Tasawuf, Jakarta, Rajawali Pers, Murtadha muthahhari, 2012. MANUSIA SEUTUHNYA. Sadra press, Jakarta. https://fixguy.wordpress.com/insan-kamil/ diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB https://www.slideshare.net/ALdiSetiawan8/agama-islam-56336362



diakses



pada



02/04/2017 pukul 20.38 WIB http://ajengindah.log.fisip.uns.ac.id/wp- diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB content/uploads/sites/261/2016/12/watermark_BAB-4.pdf diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB http://rizkiarahmayanti16.blogspot.co.id/2015/02/mengintegrasikan-iman-islam-danihsan.html diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB https://almanhaj.or.id/2971-syarah-hadits-jibril-tentang-islam-iman-dan-ihsan-1.html http://paguyubansekarwangi.blogspot.co.id/ diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB https://ms.wikipedia.org/wiki/Taubat_menurut_Islam diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB https://id.wikipedia.org/wiki/Tawakal diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB http://psikologi.ugm.ac.id/riset-psikologi-klinis.5.1024/sabar-sebuah-konseppsikologi.abs diakses pada 02/04/2017 pukul 20.38 WIB



16