17 0 307 KB
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN GANGGUAN NUTRISI DAN METABOLIK: DM, OBESITAS, KKP
Dosen Pengampu: Dr. Arbianingsih, S. Kep., Ns., M. Kes Disusun Oleh: Annisa Dilla Ita Taqiyah 70300119040 Nadya Wulandari 70300119054 Hijriyah Febriela 70300119047 Abdul Rahman 70300119064 (TIDAK AKTIV)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN ALAUDDIN MAKASSAR TAHUN 2021
KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kepada kami kesehatan dan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan Nutrisi Dan Metabolik: Obesitas, KKP, DM” Makalah ini kami susun dengan sebaik-baiknya dan secara maksimal serta dengan bantuan berbagai pihak sehingga kami dapat memperlancar pembuatan makalah kami ini. Terlepas dari semua itu kami sadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun dari segi tatanan bahasa. Kami menerima dengan tangan terbuka segala kritikan dan saran yang sifatnya membangun, agar kedepannya pembuatan makalah kami menjadi lebih baik. Akhir kata kami ucapkan terima kasih dan semoga makalah kami ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Gowa, 05 Mei 2021
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1 A. Latar Belakang ..………………………………………………………………….1 B. Tujuan Penulisan …………………… ………………………………………….2 C. Asuhan Keperawatan (DM, Obesitas, KKP) ………………… ………………2 BAB II PEMBAHASAN........................................................................................21 A. Diabetes Melitus (DM) …………………………………………………………. 21 B. Obesitas ………………………………………………………………………..... 28 C. KKP ………………………………………………………………………………. 43 BAB III PENUTUP..............................................................................................51 A.
Kesimpulan..............................................................................................51
B.
Saran.......................................................................................................53
WOC Obesitas ……………………………………………………………….………. 55 WOC DM ……………………………………………………………………………... 58 WOC KKP …………………………………………………………………… ……... 60 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..60 LAMPIRAN …………………………………………………………………………... 64
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energy (energy intake) dengan energy yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama. Obesitas ditemukan pada orang dewasa, remaja dan anak-anak. Lebih dari 1,4 miliar orang dewasa yang overwight dan lebih dari 500 juta orang dewasa di dunia mengalami obesitas (WHO, 2008). Selain itu, overwight dan obesitas memiliki resiko mengalami diabetes (44 %), penyakit jantung iskemik (23 %), dan kanker (7%-41%). Di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (riskesdas), menunjukkan peningkatan prevalensi obesitas pada penduduk berusia > 18 tahun dari 11,7% (2010) menjadi 15, 4% (2013). Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan disparitas prevalensi obesitas dari nilai prevalensi nasional pada beberapa provinsi di Indonesia. Peningkatan obesitas akan berdampak pada terjadinya peningkatan pembiayaan kesehatan. Diperkirakan 30 tahun mendatang biaya pengobatan balita obesitas setiap tahun di Indonesia yang menderita penyakit diabetes mellitus (DM) tanpa komplikasi sekitar 2,9 triliun rupiah dan DM dengan komplikasi sekitar 66,9 triliun rupiah (PT. askes, 2011). Melihat besarnya masalah obesitas yang mengancam kesehatan masyarakat bila tidak segera ditanggulangi maka obesitas merupakan factor resiko terjadinya berbagai penyakit metabolic dan degenerative seperti penyakit kardiovaskuler, DM, kanker, osteoarthritis, dll.
(Kementrian
Kesehatan RI, 2017) Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, memperlihatkan secara nasional prevalensi gemuk pada anak usia 5-12 tahun masih tinggi, yakni, 18,8 persen, terdiri atas gemuk 10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Sedangkan prevalensi gemuk pada remaja usia 13-15 tahun sebesar 10,8 persen, terdiri atas 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Bila dibandingkan dengan kondisi Prevalensi Obesitas di Sulawesi Selatan tahun 2016 yaitu sebesar 10,10% maka capaian ini walaupun masih dibawah angka batas yang ditargetkan (18,6%) namun perlu diwaspadai karena obesitas dan berat berlebih menyebabkan
munculnya berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung bahkan berakhir dengan gagal ginjal. (Dinkes SulSel, 2018) B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pentingnya penerapan asuhan keperawatan Terkhusus orang-orang yang menderita penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP. 2. Tujuan Khusus a. Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP beserta penatalaksanaannya. b. Sebagai
sarana
untuk
menambah
pengetahuan
tentang
asuhan
keperawatan c. Mencari data-data secara umum tentang tindakan pengkajian pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP d. Mencari data-data secara umum tentang perumuskan dan penegakan diagnosa keperawatan pengkajian pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP e. Mencari data-data secara umum tentang tindakan intervensi keperawatan pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP f.
Mencari data-data secara umum tentang pelaksanaan implementasi keperawatan pada pasien dengan penyakit Diabetes mellitus, obesitas dan KKP
C. Asuhan Keperawatan
Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus (DM) A. Pengkajian Menurut (Sujono Riyadi, 2012) hal yang berhubungan dengan kasus
diabetes melitus antara lain : Biodata, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan yang lalu, riwayat kesehatan keluarga, riwayat psikososial, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 1. Biodata Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Umur memberikan petunjuk tipe Diabetes Mellitus, Tipe 1 menyerang usia kurang
dari 30 tahun dan diabetes melitus tipe 2 menyerang usia lebih dari 40 tahun. Aktivitas yang kurang dapat mendasari terjadinya diabetes melitus tipe 2. 2. Keluhan Utama Adalah alasan yang menyebabkan klien mencari pertolongan. Biasanya pasien mengeluh sering lapar (polifagi) disertai dengan kencing (poliuri) dan banyak minum (polidipsi), sudah makan tapi mengeluh lemas, nafsu makan menurun ( mungkin disertai mual dan muntah), berat badan yang terus menurun secara signifikan dibawah BB ideal, keluhan pusing, tremor ( jika GDA turun dibawah batas normal) ataupun komplikasi diabetes mellitus tipe 2 yang lalu secara Hipertensi, KP, Nefropati, dan Neuropati. 3. Riwayat penyakit Sekarang Adalah riwayat yang menyebabkan klien MRS saat ini. Biasanya penderita diabetes mellitus datang berobat karena ada keluhan mual dan tiga gejala khas diabetes mellitus tipe 2 (polifagi, poliuri, polidipsi, kelemahan, mati rasa, kesemutan, sakit kepala, pandangan mata kabur, perubahan mood, suasana hati, luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh. 4. Riwayat kesehatan yang lalu Merupakan keadaan gambaran keadaan kesehatan klien di masa lalu yang mendasari diabetes mellitus tipe 2. Pada klien didapatkan riwayat terjadinya infeksi, virus, keganasan pada penkreas, obesitas (terutama DM tipe 2), dan obat-obatan yang dapat mengurangi produksi insulin, diabetes mellitus akibat heredias, polifagi, poliuri, nuktoria, polidipsi, luka yang tidak sembuh-sembuh. 5. Riwayat kesehatan keluarga Diabetes mellitus merupakan penyakit
herediter sehingga perlu
ditanyakan apakah ada anggota yang menderita diabetes mellitus. 6. Riwayat psikososial Klien yang dirinya terkena diabetes mellitus biasanya mengalami denial dan akan takut mengkonsumsi makanan dan minuman sembarangan atau malah enggan mengatur makanannya karena sudah merasa bosan
dengan penyakitnya yang bersifat kronis. Klien juga bisa mengalami putus asa, serta cemas karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetes mellitus yang dideritanya. 7. Pemeriksaan fisik (Sujono Riyadi, 2012) a. Keadaan Umum Adalah keadaan umum klien secara sekilas. Biasanya klien nampak lemas karena sel-sel tubuh tidak optimal menyerap glukosa, pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 pada masa tua (> 30 tahun), obesitas disertai komplikasi
mikro/makro vaskuler. Namun status obesitas
tersebut bisa jadi berubah karena klien sering mengalami polifagi atau merasa lapar dalam frekuensi yang sering sehingga terjadi masalah pada perubahan nutrisi klien yang beresiko mengalami penurunan. b. Pemeriksaan Kepala dan Rambut Meliputi bentuk kepala,keadaan kulit kepala, keadaan dari penyebaran rambut, bau rambut, ekspresi muka, bentuk muka, kulit muka, dan keadaan muka. Penderita diabetes mellitus yang sudah menahun dan tidak terawat secara baik biasanya rambutnya lebih tipis, rambutnya mudah rontok. c. Pemeriksaan mata/penglihatan Diabetes mellitus tipe 2 menyebabkan kebutaan pada orang berusia antara 20-65 tahun, penderita diabetes mellitus juga dapat mengalami pembentukan katarak. Katarak mungkin disebabkan oleh adanya
hiperglikemi
yang
berkepanjangan
yang
menyebabkan
pembengkakan lensa. d. Pemeriksaan Integrumen dan Ekstermitas Perubahan-perubahan makrovaskuler, perubahan mikrovaskuler dan neuropati semuanya menyebabkan perubahan pada ekstermitas bahwa perubahan yang penting yakni adanya anesthesia. Keadaan ini berperan dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren.
e. Pemeriksaan Saraf Diabetes mellitus dapat mempengaruhi syaraf-syaraf perifer, jenis diabetes mellitus neuropati yang paling lazim adalah polineuropati perifersimetris. Hal ini terlihat pertama kali dengan hilangnya sensasi pada ujung-ujung ekstermitas bawah. Kemudian hilangnya kemampuan motoric dan ekstermitas dan mati rasa. f.
Pemeriksaan Pendengaran Karena urat syaraf bagian pendengaran penderita diabetes
mellitus mudah rusak, telinga sering mendenging. Bila keadaan ini tidak segera diobati dan diabetes mellitus tidak terawat dengan baik, pendengaran akan merosot bahkan dapat menjadi tuli sebelah ataupun tuli keduanya. g. Sistem Pernapasan Klien diabetes mellitus rentan terhadap penyakit infeksi termasuk infeksi saluran pernapasan disebabkan penurunan kekebalan tubuh sampai terserang TBC paru. h. Sistem Kardiovaskuler Kadar glukosa darah yang tinggi dapat menimbulkan aterosklerosis, yang akan menyebabkan deprivasi O2 di jaringan yang akan berlanjut menjadi Hipertensi, infark miokard, dan stroke juga klien bisa terserang penyakit jantung koroner karena adanya daya pompa jantung menurun dan rendahnya kadar HDL. i.
Sistem Pencernaan Adanya rasa lapar yang sering (polifagi) disebabkan karena
glukosa yang diperleh dari karbohidrat tidak dapat dimetabolisme seluruhnya
menjadi
energi,
sehingga
menimbulkan
kelemahan.
Penurunan kemampuan mengosongkan isi yang dikarenakan adanya neuropati syaraf-syaraf otonom system gastrointestinal. j.
Sistem Perkemihan dan Reproduksi. Kencing yang sering (poliuri) dan dalam jumlah yang banyak
terutama
malam
hari
sangat
mengganggu
penderita
sehingga
mendorong periksa. Kerusakan syaraf-syaraf pada ginjal tidak mampu melakukan absorbsi zat-zat yang terlarut dalam air seni sehingga terjadi proteinuria. Kondisi seperti ini akan mudah terjadi infeksi salurah kemih. Didapatkan
keluhan
kesulitan
ereksi,
impoten
yang
disebabkan
neuropati. k. Sistem Muskuloskeletal Awalnya mungkin hanya nampak kondisi leah pada penderita sampai terjadinya kejang pada otot kaki disebabkan dehidrasi dan kehilangan elektrolit, pada tulang terjadi osteomielitis. Jika terjadi gangren, biasanya sering progresif dan memerlukan amputasi. l.
Pemeriksaan diagnostik
1) Glukosa darah : meningkat 200-100 mg/dl atau lebih 2) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat 3) Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 300 mOsm/l
4) Elektrolit: a. Natrium: mungkin normal, meningkat atau menurun b. Kalium:
normal
atau
peningkatan
semu
(perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun
c. Fosfor: lebih sering menurun d. Gas darah arteri: biasanya menunjukkan pH rendah dan metabolik)
penurunan pad HCO3 (asidosis dengan
kompensasi
alkalosis
respiratorik
e. Trombosit darah: hematokrit mungkin meningkat (dehidrasi),
leukositosis,
hemokonsentrasi,
merupakan respons terhadap stress atau infeksi.
f.
Pemeriksaan fungsi tiroid: peningkatan aktivitas hormone tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
g. Urin: gula positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat. m. Kultur dan sensitivitas kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernapasan, dan infeksi pada luka. B. Diagnosa Keperawatan (Wilkinson, 2013) 1) Kerusakan Integritas Kulit berhubungan dengan faktor mekanik (daya gesek, tekanan, imobilitas fisik) 2) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik. 3) Ansietas (klien, keluarga) yang berhubungan dengan diabetes, potensial
komplikasi, injeksi insulin dan efek negatif pada gaya
hidup. 4) Resiko tinggi terhadap koping inefektif (klien, keluarga) yang berhubungan dengan penyakit kronis, program perawatan diri yang rumit, dan masa depan tak tentu. 5) Perubahan nutrisi: lebih dari kebutuhan yang berhubungan dengan masukkan yang melebihi aktivitas, kurang pengetahuan, atau koping inefektif. 6) Resiko tinggi terhadap cidera yang berhubungan dengan sensasi raba, penurunan ketajaman penglihatan dan episode hipoglikemia. 7) Resiko tinggi terhadap perubahan pola seksualitas (pria) yang berhubungan dengan masalah ereksi sekunder neuropati perifer atau konflik psikologis. 8) Resiko tinggi terhadap disfungsi tinggi (wanita) yang berhubungan dengan masalah genitourinaria yang sering, stresor diabetes terhadap fisik dan psikologis. 9) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan resiko komplikasi diabetes (retinopati, gagal ginjal, nefropati, neuropati, dan penyakit vaskular). B. Intervensi Keperawatan Intervensi NIC (Wilkinson, 2013) 1) Kaji fungsi alat-alat, seperti alat penurun tekanan, meliputi kasur udara statis, terapi low-air loss, terapi udara yang dicairkan, dan
kasur air 2) Inspeksi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-tanda dehidrasi atau eviserasi pada area insisi Perawatan luka: inspensi luka setiap mengganti balutan 3) Kaji luka terhadap karakteristik berikut: (1) lokasi, luas dan kedalaman luka. (2) Karakter eksudat, termasuk kekentalan, warna, dan bau. (3) Ada atau tidaknya granulasi atau epitelisasi (4) Ada atau tidaknya jaringan nekrotik. Deskripsikan warna, bau, dan banyaknya (5) Ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi luka setempat (misalnya, nyeri saat palpasi, edema, pruritus, indurasi, hangat, bau busuk, eskar, dan eksudat) (6) Ada atau tidaknya perluasan luka ke jaringan dibawah kulit dan pembentukan saluran sinus 4) Berikan pendidikan kesehatan untuk pasien / keluarga 5) Ajarkan perawatan luka insisi pembedahan, termasuk tanda dan gejala infeksi,
cara mempertahankan luka insisi tetap kering saat
mandi, dan mengurangi penekanan pada insisi tersebut Kolaboratif: 6) Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori dan vitamin 7) Konsultasikan pada dokter tentang implementasi pemberian makanan dan nutrisi enteral atau parenteral untuk meningkatkan potensi penyembuhan luka C. Implementasi Keperawatan Implementasi yang bisa dilakukan pada klien yang mengalami diabetes mellitus dengan komplikasi gangren adalah:
a. Mengkaji ulang lokasi, luas dan kedalaman, b. Mengkaji
adanya
karakteristik
eksudat,
termasuk
kekentalan, warna, dan bau., c. Mengkaji ada atau tidaknya granulasi atau epitalisasi, d. Perawatan luka dengan menginspeksi luka pada setiap mengganti balutan, e. Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin f.
Ubah dan atur posisi pasien sesering mungkin
g. Pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan kelembaban yang berlebihan h. Bersihkan luka menggunakan teknik steril dan bersihkan dengan cairan normal salin i.
Balut luka kembali
D. Evaluasi Keperawatan Kriteria evaluasi yang diharapkan pada klien yang menderita diabetes mellitus komplikasi gangren adalah: a. Menunjukkan Integritas Jaringan : kulit dan Membran Mukosa, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan): Suhu, elastisitas, hidrasi dan sensasi b. Perfusi jaringan c. keutuhan kulit d. Menunjukkan penyembuhan luka: primer, yang dibuktikan oleh indikator berikut (sebutkan 1-5: tidak ada, sedikit, sedang, banyak, atau sangat banyak)
1
Asuhan Keperawatan Obesitas
A. Pengkajian a. Identitas pasien Identitas klien nama, umur, jenis, kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat dan nomor daftar b. Riwayat kesehatan Kesehatan sekarang : Kaji pasien saat ini Kesehatan masa lalu : kaji apakah ada keluarga dari pasien yang pernah menderita obesitas Kesehatan keluarga : kaji apakah ada di antara keluarga yang mengalami penyakit serupa atau item c. Pemeriksaan fisik Kardiovaskuler.dll : untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung Aspirasi : untuk mengetahui ada tidaknya gangguan kesulitan nafas Patologi : untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan. Genital : ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang Musculoskeletal : kaji ada tidaknya kesulitan dalam pergerakan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak Kekebalan tubuh : Ada tidaknya pembesaran pada getah bening d. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan metabolik/ endokrin dapat tak normal, misal : hipoteriodisme, hipopituitarisme, sindrom cushing ( peningktan kadar insulin) e. Pola fungsi kesehatan Aktivitas istirahat : kelemahan dan cenderung mengantuk, ketidak mampuan atau kurang keinginan untuk beraktifitas Sirkulasi : pola hidup mempengaruhi pilihan makan, dengan makan akan dapat menghilangkan perasaan tidak senang Makanan / cairan : Mencerna makanan berlebihan
1
Kenyamanan : pasien obesitas akan merasakan ketidak nyamanan berupa nyeri dalam menopang berat badan atau tulang belakang Pernafasan : pasien obesitas biasanya mengalami dipsnea Seksualitas
:
pasien
obesitas
biasanya
mengalami
pangguan
menstruasi dan amoneuris.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul 1. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan masuk makanan yang lebih 2. Gangguan pencitraan diri yang berhubungan dengan biofisika atau psikososial pandangan seseorang terhadap diri 3. Hambatan interaksi sosial yang berhubungan dengan ungkapan atau tampak tidak nyaman dalam situasi sosial 4. Pola nafas tak efektif yang berhubungan dengan penurunan perluasan paru, nyeri,, ansietas, kelemahan dan obstruksi trakeobronkial, dll. C. Perencanaan
Diagnosa 1
Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan pemasukan makanan yang lebih. a. Tujuan : Kebutuhan nutrisi kembali normal b. Kreteria Hasil : Perubahan pola makan dan interaksi individu dalam program latihan Menunjukkan perubahan berat badan c. Intervensi 1. Kaji penyebab kegemukan dan buat rencana makan pasien 2. Timbang berat badan secara periodik 3. Tentukan tingkat aktivitas dan rencana program latihan diet 4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori dan nutrisi perubahan berat badan
1
5. Kolaborasi dengan dokter dalam memberikan obat penekan nafsu makan ( mis. Dietilpropinion) d. Rasional 1. Mengidentifikasi\ mempengaruhi penentuan intervensi 2. Memberikan informasi tentang program keefektifan 3. Mendorong pasien untuk menyusun tujuan lebih nyata dan sesuai dengan rencana 4. Kalori dan nutrisi terpenuhi secara normal 5. Penurunan berat badan
Diagnosa 2
Gangguan pencitraan diri bd biofisika atau psikososial pandangan pasien terhadap diri a. Tujuan Menyatakan gambar diri lebih nyata b. Kriyetia hasil Menunjukkan beberapa penerimaan diri dari pandangan idealisme Mengakui individu yang mempunyai tanggung jawab sendiri c. Intervensi 1. Beri privasi kepada pasien selama perawatan 2. Diskusi dengan pasien tentang pandangan menjadi gemuk dan apa artinya bagi pasien tersebut 3. Waspada mitis pasien/orang terdekat 4. Tingkatkan komunikasi terbuka dengan pasien untuk menghindari kritik 5. Waspadai makan berlebih 6. Kolaborasi dengan kelompok terapi d. Rasional 1. Individu biasanya sensitif terhadap diri sendiri 2. Pasien mengungkapkan beban psikologisnya 3. Keyakinan tentang seperti apa tubuh yang ideal atau motifasi dapat menjadi upaya penurunan berat badan
1
Diagnosa 3
Hambatan intervensi sosial bd ungkapan atau mendapat anak tidak nyaman dalam situasi sosial. a. Tujuan Mengungkapkan kesadaran adanya perasaan yang menyebabkan interaksi sosial yang buruk b. Kriteria hasil Menunjukan peningkatan perubahan positif dalam perilaku sosial dan interpersonal c. Intervensi 1. Kaji perilaku hubungan keluarga dan perilaku sosial 2. Kaji pengunaan keterampilan koping pasien 3. Rujuk untuk terapi keluarga atau individu sesuai dengan tanda d. Rasional 1. Keluarga dapat membantu mengubah perilaku sosial pasien 2. Mekanisme koping yang baik dapat melindungi pasien dari perasaan kesepian 3. Pasien mendapat keuntungan dari interaksi orng tersekat untuk memberi dukungan.
Diagnosa 4
Pola nafas tak efektif yang berhubungan dengan penurunan perubahan perluasan paru, nyeri, ansietas, kelemahan dan obesitas trakeobronkial. Dll a. Tujuan Mengembalikan pola nafas normal b. Kreteria hasil Mempertahankan ventilasi yang adekuat Tidak mengalami sianosis atau tanda hiposia lain c. Intervensi 1. Awasi auskultasi bunyi nafas 2. Tinggikan kepala tempat tidur 30 derajat 3. Bantu ajarkan tehnik nafas dalam 4. Ubah posisi secara periodik
1
5. Berikan alat bantu pernafasan, jika perlu d.
Rasional 1. Pernapasan mengorok/ pengaruh anastesi menurunkan ventilasi, potensial atalektasi, hipoksia. 2. Mendorong pengembangan diafragma sehingga peluasan paru optimal, pasien lebih nyaman. 3. Ekspansi paru maksimal, pelayanan jalan nafas resiko atelektas adalah minimal. 4. Meemaksimalkan sediaan O2 untuk perubahan dan penurunan kerja nafas. (Ayu, R., & Sartika, 2014)
Asuhan Keperawatan Kurang Kalori Protein (KKP)
A. Pengkajian 1. Identitas. a. Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan & kontak dengan klien tentang : nama perawat, nama klien, panggilan perawat, panggilan klien, tujuan waktu, tempat, pertemuan, dantopik yang akan dibicarakan. b. Usia dan nomor Rekam Medik. c. Mahasiswa menuliskan sumber data yang di dapat. 2. Alasan Masuk a. Tanyakan kepada klien / keluarga yang datang : b. Apa yang menyebabkan klien / keluarga datang ke rumah sakit ini? 3. Focus pengkajian marasmus menurut Mi Ja Kim adalah : a. Data Subjektif 1) Rasio berat badan a) Kehilangan BB dengan asupan makan yang adekuat. b) BB 20% atau lebih dibawah BB ideal untuk tinggi badan & bentuk tubuh yang normal. 2) Tinggi aktivitas Berkurangnya aktivitas tampak pada kebanyakan kasus marasmus. Anak tampak lesu dan tidak bergairah & pada anak yang lebih tua terjadi penurunan produktivitas kerja. 3) Masukan atau intake nutrisi a) Melaporkan asupan makan yang tidak adekuat kurang dari jumlah harian yang dianjurkan.
1
b) Melaporkan / terlihat kurang makan. 4) Diet Melaporkan perubahan dalam hal merasakan makanan. 5) Pengetahuan tentang nutrisi Memperlihatkan / terobservasi kurangnya pengetahuan dalam perilaku peningkatan kesehatan. b. Data Objektif 1) Data umum a) Perubahan rambut Warnanya lebih muda (coklat, kemerah-merahan dan lurus, panjang, halus, mudah lepas biladitarik). b) Warna kulit lebih muda Seluruh tubuh / lebih sering pada muka, mungkin menampakan warna lebih muda daripadawarna kulit anak sehat. c) Tinja encer Disebabkan gangguan penyerapan makan, terutama gula. d) Adanya ruam “bercak bersepih” Noda warna gelap pada kulit, bila terkelupas meninggalkan warna kulit yang sangat muda / bahkan ulkus di bawahnya. e) Gangguan perkembangan & pertunbuhan f)
Hilangnya lemak di otot & bawah kulit karena makanan kurang mengandung kalori dan protein.
g) Adanya perut yang membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas. h) Adanya anemia yang berat Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi, asam folat dan berbagai vitamin. i)
Mulut dan gigi Adanya tanda luka di sudut-sudut mulut.
j)
Kaji adanya anoreksia, mual.
1
B. Diagnosa keperawatan 1. Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang. 2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi. 3. Resiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun. 4. Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan malnutrisi. 5. Kurang
pengetahuan
mengenai
kondisi,
diit,
perawatan,
dan
pengobatanberhubungan dengan kurangnya informasi C. Intervensi diagnosa : Ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang. NOC : status nutrisi : intake nutrisi dan cairan. Kriteria hasil : a. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan. b. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi. c. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi. d. Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti. Skala Nilai : 1: tidak pernah menunjukkan 2: jarang menunjukkan 3: kadang-kadang menunjukkan 4: sering menunjukkan 5: selalu menunjukkan NIC : Nutrition Monitoring Intervensi : 1. BB pasien dalam batas normal. 2. Monitor adanya penurunan berat badan. 3. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi. 4. Monitor turgor kulit. 5. Monitor kekeringan,rambut kusam dan mudah patah. 6. Monitor pertumbuhan dan perkembangan. 7. Monitor kalori dan intake nutrisi.
1
Diagnosa: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi. NOC : Tissue Integrity : skin and mucous membranes. Kriteria hasil : a. Integritas kulit yang baik bias dipertahankan. b. Tidak ada luka / lesi pada kulit. c. Perfusi jaringan baik. d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang. e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan alami. Skala Nilai : 1: tidak pernah menunjukkan 2: jarang menunjukkan 3: kadang menunjukkan 4: sering menunjukkan 5: selalu menunjukkan NIC : Tissue integrity;skin and mucous. Intervensi : 1. Monitor kulit akan adanya kemerahan. 2. Oeskan lotion pada derah yang tertekan. 3. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali. 4. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
Diagnosa: Resiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun. NOC : Risk Control Kriteria hasil : a. Kenali faktor resiko infeksi
1
b. Mengubah gaya hidup untuk mengurangi resiko. c. Monitor perubahan status kesehatan. d. Mendorong gaya hidup status kesehatan (dari status kesehatan yang buruk ke status kesehatan yang baik). e. Menunjukan perilaku hidup sehat. Skala Nilai : 1: tidak pernah dilakukan 2: jarang dilakukan 3: kadang dilakukan 4: sering dilakukan 5: selalu dilakukan NIC : Infection Protection Intervensi : 1. Monitor tanda dan gejala infeksi. 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi 3. Batasi pengunjung. 4. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan dan panas. 5. Ajarkan cara menghindari infeksi 6. Instruksikan pasien untuk minum obat antibiotic sesuai resep.
Diagnosa: Keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan malnutrisi. NOC : Neglect Recorvery Kriteria hasil : a. Nutrisi adekuat. b. Mendapatkan diet yang dianjurkan. c. Pertumbuhan & perkembangan dalam batas normal. d. Kemampuan kognitif dalam batas yang sesuai. e. Mendapat perawatan yang sesuai. Skala Nilai : 1 : tidak pernah menunjukkan 2 : jarang menunjukkan
1
3 : kadang menunjukkan 4 : sering menunjukkan 5 : selalu menunjukkan NIC : Management behavior Intervensi : a. Gunakan suara yang lembut dan pelan dalam berbicara dengan pasien b. Tingkatkan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuan. c. Diskusikan dengan keluarga untuk membuat dasar kognitif prainjury. d. Buat rutinitas untuk pasien. e. Hindari untuk menyudutkan pasien. f.
Hindari untuk membantah pasien.
Diagnosa: Kurang pengetahuan mengenai kondisi, diri, perawatan, dan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi. NOC : Knowledge : disease process Kriteria hasil : a. pemahaman
tentang
penyakit,
kondisi,
prognosis,
dan
program
pengobatan. b. Mampu malaksanakan prosedur yang dijelaskan. c. Mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya. Skala Nilai : 1 : tidak pernah dilakukan 2 : jarang dilakukan 3 : kadang dilakukan 4 : sering dilakukan 5 : selalu dilakukan NIC : Teaching ;Disease Process
1
Intervensi : 1. Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang proses penyakit. 2. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit. 3. Gambarkan proses penyakitnya. 4. sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara tepat. 5. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan. (Imania, 2017)
1
BAB II PEMBAHASAN A. DIABETES MELITUS 1. DEFINISI DIABETES MELITUS Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah(hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit atau gangguan metabolik dengan karakteristik hipeglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi urin, kerja insulin, atau kedua-duanya. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak efisien menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah, adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya pada pembuluh
darah jantung
(penyakit
jantung
koroner), mata (dapat terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal). Diabetes Mellitus (kencing manis) adalah suatu penyakit dengan peningkatan glukosa darah diatas normal. Dimana kadar diatur tingkatannya oleh hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas (Shadine, 2010) 2. ETIOLOGI Menurut (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Diabetes Melitus
dapat
diklasifikasikan kedalam 2 kategori klinis yaitu: a. Diabetes Melitus tergantung insulin (DM TIPE 1) 1. Genetik Umunya penderita diabetes tidak mewarisi diabetes type 1 namun
mewarisi
sebuah
predisposisis
atau
sebuah
kecendurungan genetik kearah terjadinya diabetes type 1. Kecendurungan genetik ini ditentukan pada individu
yang
memiliki type antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA ialah kumpulan gen yang bertanggung jawab
1
atas antigen tranplantasi & proses imunnya. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) 2. Imunologi Pada diabetes type 1 terdapat fakta adanya sebuah respon autoimum. Ini adalah respon abdomal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh secara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) 3. Lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) b. Diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM TIPE II) Menurut (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor-faktor resiko : a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 thn) b) Obesitas c) Riwayat keluarga
3. MANIFESTASI KLINIS Menurut (PERKENI, 2015) , penyakit diabetes melitus ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari penderita. Tanda awal yang dapat diketahui bahwa seseorang menderita DM atau kencing manis yaitu dilihat langsung dari efek peningkatan kadar gula darah, dimana peningkatan kadar gula dalam darah mencapai nilai 160-180 mg/dL dan air seni (urine) penderita kencing manis yang mengandung gula (glucose),sehingga urine sering dilebung atau dikerubuti semut. Menurut PERKENI gejala dan tanda tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu: 1) Gejala akut penyakit DM
1
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap, bahkan mungkin tidak menunjukan gejala apapun sampai saat tertentu. Pemulaan gejala yang ditunjukan meliputi: a) Lapar yang berlebihan atau makan banyak(poliphagi) Pada diabetes,karena insulin bermasalah pemaasukan gula kedalam sel sel tubuh kurang sehingga energi yang dibentuk pun kurang itun sebabnya orang menjadi lemas. Oleh karena itu, tubuh
berusaha
meningkatkan
asupan
makanan
dengan
menimbulkan rasa lapar sehingga timbulah perasaan selalu ingin makan b) Sering merasa haus(polidipsi) Dengan banyaknya urin keluar, tubuh akan kekurangan air atau dehidrasi.untu mengatasi hal tersebut timbulah rasa haus sehingga orang ingin selalu minum dan ingin minum manis, minuman manis akan sangat merugikan karena membuat kadar gula semakin tinggi. c) Jumlah urin yang dikeluarkan banyak(poliuri) Jika kadar gula melebihi nilai normal , maka gula darah akan keluar bersama urin,untu menjaga agar urin yang keluar, yang mengandung gula,tak terlalu pekat, tubuh akan menarik air sebanyak mungkin ke dalam urin sehingga volume urin yang keluar banyak dan kencing pun sering.Jika tidak diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015) 2) Gejala kronik penyekit DM Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM (PERKENI, 2015) adalah:
a) Kesemutan b) Kulit terasa panas atau seperti tertusuk tusuk jarum c)
Rasa tebal dikulit
d) Kram e) Mudah mengantuk
1
f)
Mata kabur
g) Biasanya sering ganti kaca mata h) Gatal disekitar kemaluan terutama pada wanita
k)
i)
Gigi mudah goyah dan mudah lepas
j)
Kemampuan seksual menurun
Dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg
4. PATOFISIOLOGI Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dihati meskipun tetap berada dalam darah menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika kosentrasi glukosa daram darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine(glikosuria). Ketika glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit
yang
berlebihan,
keadaan
ini
dinamakan
diuresis
ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi). (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis(pemecahan glikosa yang tersimpan) dan glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan subtansi lain). Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk smping
1
pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang menganggu keseimbangan
asam
basa
tubuh
apabila
jumlahnya
berlebih.
Ketoasidosis yang disebabkan dapat menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen mual, muntah, hiperventilasi ,mafas berbaun aseton
dan
bila
tidak
ditangani
akan
menimbulkan
penurunan
kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) DM
tipe
II
merupakan
suatu
kelainan
metabolik
dengan
karakteristik utama adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor genetik ini akan berinterksi
dengan
faktor
faktor
lingkungan
seperti
gaya
hidup,
obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan tingginya kadar asam lemak bebas (Smeltzer, S.C dan B, 2015). Mekanisme terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena resistensi insulin dan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada permukaan sel.sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra
sel.
Dengan
demikian
insulin
menjadi
tidak
efektif
untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.(Smeltzer, S.C dan B, 2015).Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel sel B tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM
1
tipe II, meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan menimbulkan
masalah
akut
lainya
seperti sindrom
Hiperglikemik
Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer, S.C dan B, 2015) Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun tahun) dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalannya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi. (Smeltzer, S.C dan B, 2015) 5. KOMPLIKASI Secara umum komplikasi diabetes melitus dibagi menjadi 2 yaitu: Komplikasi macrovaskular: adalah komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar,sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat atheroklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner,hipertensi dan stroke. Komplikasi macrovaskular yang umum berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner,penyakit pembuluh darah otak,dan penyakit pembuluh darah perifer. Komplikasi macrovaskular ini sering terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi,dislipidemia dan atau kegemukan. (Fowler, 2011) Komplikasi microvaskular: komplikasi microvaskular terutama terjadi pada penderita diabetes melitus tipe-1. Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah
yang
mendorong
microvaskular,antaralain
timbulnya
komplikasi-komplikasi
retinopati,nefropati,dan
neuropati.
(Fowler, 2011) 6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Menurut Aurora(2017) pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi 4 hal yaitu:
Postprandial dilakukan 2 jam setelah makan atau setelah minum. Angka diatas 130 mg/dl mengindikasikan diabetes
1
Hemoglobin glikosilat: Hb1C adalah sebuah pengukuran untuk menilai kadar gula darah selama 140 hari terakhir. Angka Hb1C yang melebihi 6,1% menunjukkan diabetes
Tes toleransi glukosa oral. Setelah berpuasa semalaman kemudian pasien diberi air dengan 75 gr gula,dan akan diuji selama periode 24 jam. Angka gula darah yang normal dua jam setelah meminum cairan tersebut harus 12
minggu).
Efek
1
samping phnetermine berupa mulut kering, insomnia, konstipasi, serta potensi penyalahgunaan obat. Phentermine dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan kardiovaskular, anxiety penyalahgunaan
disorder,
alkohol
dan
hipertiroidisme, obat-obatan,
riwayat
penggunaan
bersamaan dengan monoamine oxidase inhibitor, serta kehamilan dan menyusui. Namun, obat ini belum tersedia di Indonesia. c. Lorcaserin Lorcaserin adalah agonis reseptor serotonin selektif yang dapat menyebabkan rasa kenyang, hipofagia, hingga terjadi penurunan berat badan. Sebuah studi menunjukkan bahwa kombinasi lorcaserin dan diet hipokalori menghasilkan penurunan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan plasebo. Penghentian obat ini direkomendasikan jika penurunan berat badan 40 atau IMT > 35 yang disertai komorbiditas terkait berat badan, riwayat manajemen berat badan secara medis sebelumnya, tidak ada kontraindikasi psikologis, dan harapan hidup lebih dari 5 tahun. Khusus pada anak dan remaja juga diperhatikan tingkat maturitas tulang (≥ 13 tahun pada wanita dan ≥15 tahun pada pria). Di antara tindakan pembedahan yang sering dilakukan pada obesitas antara lain laparoscopic adjustable gastric banding(LAGB), Roux-enY gastric bypass (RYGB) dan sleeve gastrectomy (SG).
1
Follow-up pasca bedah setidaknya dilakukan minimal selama 2 tahun untuk memantau asupan nutrisi (termasuk protein dan vitamin) dan defisiensi mineral, komorbiditas, pengobatan, aktivitas fisik, dukungan psikologis, informasi tentang kelompok profesional atau dukungan sebaya.
C. KURANG KALORI PROTEIN (KKP) A. Pengertian Kekurangan kalori dan protein adalah karakteristik pada pasien dengan nafiu makan menurun sebagai efek sekunder dari imobilitas. Tubuh secara konstan mensintesis protein dan menguraikannya menjadi awam amino untuk membentuk protein lain. Ketika pasien tidak bergerak, tubuhnya sering mengeluarkan lebih banyak nitrogen (produk akhir dari pemecahan astm amino) daripada yang dicerna dalam protein, menyebabkan keseimbangan nitrogen yang negatil. Penurunan berat hadan, penurunan massa olot, dan kelemahun adalah akibat dari katabolisme jaringan (kerusakan jaringan). (Enie Novieastari, Kusman Ibrahim, 2019) Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yan g disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan seharihari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya tampak kurus. (Rahmawati, 2019) Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan seharihari sehingga tidak memenuhi an gka kecukupan gizi. (Rahmawati, 2019)
B. Etiologi Penyebab langsung KEP adalah defisiensi kalori maupun protein dengan berbagai gejala, sedangkan penyebab tidak langsung KEP
1
sangat banyak, sehingga penyakit ini sering disebut juga dengan kausa multifaktorial. satu penyebabnya adalah keterkaitan dengan waktu pemberian ASI dan makanan tambahan setelah disapih. (Lili Asranti Lestari, 2018) Selain itu, KEP merupakan penyakit lingkungan, karena ada beberapa faktor yang bersama-sama berinteraksi menjadi penyebab timbulnya penyakit ini, antara lain faktor diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan, dan lain-lain. Peran diet menurut konsep klasik terdiri dari dua konsep. Konsep pertama adalah diet yang mengandung cukup energi, tetapi kurang protein, schingga anak menjadi penderita kwasiorkor. Konsep kedua adalah diet kurang energi, walaupun zat gizi (esensial) seimbang. akan menyebabkan marasmus. Peran faktor sosial, seperti pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun-temurun, dapat memengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan berdasarkan tradisi yang sudah turun-temurun. Jika pantangan tersebut berdasarkan agama, akan sulit untuk diatasi. Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, dengan pendidikan gizi yang baik dan dilakukan dengan terus-menerus, akan dapat diatasi. (Lili Asranti Lestari, 2018) Salah satu penyebab marasmus adalah kehamilan berturut-turut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu, marasmus juga disebabkan oleh pemberian makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan yang terlalu encer yang jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi, terutama saluran pencernaan. Pada keadaan lingkungan yang kurang schat dapat terjadi infeksi yang berulang, schingga menyebabkan anak kehilangan cairan tubuh dan zatzat gizi. Akibatnya, anak menjadi kurus serta turun berat badannya. (Lili Asranti Lestari, 2018)
1
Kwasiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberi makan. Makanan yang diberikan pada umumnya adalah rendah protein. Kebiasaan makan yang kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu, seperti anak-anak dilarang makan ikan dan memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih tua, dapat menyebabkan terjadinya kwasiorkor. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga dapat mengakibatkan terjadinya kwasiorkor karena berhubungan dengan rendahnya tingkat pengetahuan ibu tentang gizi. (Lili Asranti Lestari, 2018) Penyebab langsung KEP adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik, tetapi sering menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya), daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam keadaan demikian, anak akan mudah diserang infeksi sehingga akan mengurangi nafsu makan, kemudian dapat menderita kurang gizi atau gizi buruk. (Lili Asranti Lestari, 2018) Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaikbaiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan meliputi tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor tersebut saling berhubungan. Selain itu, ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Semakin tinggi pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan, kemungkinan semakin baik tingkat ketahanan pangan
1
keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya. (Lili Asranti Lestari, 2018) C. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang ditemukan adalah anak tampak kurus. Gejala klinis berat atau gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwasiorkor, atau marasmik-kwasiorkor. Tanpa mengukur berat badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat gizi buruk tipe kwasiorkor. (Lili Asranti Lestari, 2018) 1.
Marasmus Kata "marasmus" berasal dari bahasa Yunani yang artinya 'kurus kering'. Marasmus merupakan defisiensi intake energi yang umumnya terjadi anak-anak sebelum 18 bulan karena terlambat diberi makanan tambahan. Hal ini terjadi karena penyapihan mendadak, formula pengganti ASI yang terlalu encer dan
tidak higienis,
atau sering
terkena
infeksi,
terutama
gastroentritis. Penyakit ini sering terjadi pada masyarakat kelas sosial ekonomi yang relatif rendah. Adapun gejala yang ditimbulkan adalah: a. Keterlambatan pertumbuhan yang parah b. Kurus sehingga hampir tidak ada lemak di bawah kulit c.
Otot-otot berkurang dan melemah
d. Rambut jarang dan tipis e. Kulit keriput dan tidak elastis f.
Wajah seperti orang tua
g. Cengeng dan rewel h.
Perut cekung
i.
Iga gambang
j.
Sering terjadi dehidrasi, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis, cacingan berat, dan penyakit kronis lainnya serta
k.
Sering disertai defisiensi vitamin A dan D.
2. Kwasiorkor Kata "kwarshiorkor" berasal dari bahasa Ghana yang artinya 'penyakit yang terjadi ketika bayi berikutnya lahir'. Istilah "kwarshiorkor" pertama diperkenalkan oleh Dr. Cecile
1
Williams pada 1933. Penyakit ini lebih banyak diderita pada anak berumur 2-3 tahun, tepatnya terjadi pada anak yang terlambat disapih. Hal ini menyebabkan komposisi makanan, terutama makanan yang mengandung protein, kurang dikonsumsi. (Lili Asranti Lestari, 2018) Adapun gejala yang ditimbulkan adalah: a.
Ocdema (pembengkakan), moonface, dan gangguan psikomotor
b. Anak menjadi apatis, tidak mau makan, dan suka merengek c. Kulit dan rambut mengalami depigmentas, kulit bersisik d. Hati membesar dan berlemak e. Sering mengalami anemia dan xeroftamia f.
Pandangan mata sayu
g. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata diperiksa pada posisi berdiri atau duduk h. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan terkelupas serta i.
Sering discrtai penyakit infeksi (umumnya akut), anemia, dan diare. Marasmus-kwarsiorkor
3. Marasmus-kwarsiorkor
Marasmus-kwarsiorkor
merupakan
gabungan dari marasmus dan kwasiorkor. Tanda-tandanya adalah gejala dari keduanya, dengan BB/U 60% baku median WHONCHS, disertai edema yang tidak mencolok. (Lili Asranti Lestari, 2018) D. Patofisiologis Adapun energi dan protein yang diperoleh dari makanan kurang, padahal
untuk
kelangsungan
hidup
jaringan,
tubuh
memerlukan energi yang didapat, dipengaruhi oleh makanan yang diberikan sehingga harus didapat dari tubuh sendiri, sehingga cada ngan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Kekurangan energi protein dalam makanan yang dikonsumsi akan menimbulkan kekurangan berbagai asam amino essensial yang
1
dibutuhkan untuk sintesis, oleh karena dalam diet terdapat cukup karbohidrat, maka produksi insulin akan meningkat dan sebagai asam amino di dalam serum yang jumlahnya sudah kurang tersebut akan disalurkan ke otot. Berkurangnya asam amino dalam serum merupakan penyebab kurangnya pembentukan alkomin oleh heper, sehingga kemudian timbul edema, perlemahan hati terjadi karena gangguan pembentukan lipo protein beta sehingga transport lemak dari hati ke hati dapat lemak juga terganggu dan akibatnya terjadi akumuasi lemak dalam heper. (Rahmawati, 2019) E. Komplikasi Komplikasi Malnutrisi Energi Protein Ada beberapa komplikasi yang dapat muncul akibat malnutrisi energi protein (kwashiorkor dan marasmus), yaitu: ●
Hipotermia (penurunan suhu tubuh)
●
Anemia dan hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
●
Ensefalopati (kerusakan jaringan otak)
●
Gangguan fungsi organ, seperti gagal ginjal dan penyakit jantung
●
Gagal tumbuh atau stunting pada anak
●
Gangguan belajar
●
Koma. (Dr. Amanda, 2020)
F. Pemeriksaan diagnotis Penilaian antropometri merupakan salah satu bagian pemeriksaan yang tidak terpisahkan dari rangkaian penilaian status gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan beberapa parameter seperti umur,berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak di bawah kulit. Penilaian
biokimiawi
merupakan
salahsatu
metoda
kuantitatif
untukmengevaluasi status nutrisi. Penilaiansecara biokimiawi meliputi pemeriksaanlaboratorium terhadap protein serum, lipidserum,mikronutrien serum, danpemeriksaan spesifik lain untukmengidentifikasi keadaan defisiensi zatnutrisi tertentu. (Irdina Rauza & Meizly Andina, 2017)
1
G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan malnutrisi energi protein adalah sebagai berikut: 1. Lakukan pengaturan makanan dengan berbagai tahap, seperti tahap penyesuaian yang dimulai dengan pemberian kalori sebesar 50 kalori/kgBB/hari dan cairan 200 ml/kgBB/ hari pada anak dengan kwasiorkor, serta 250 ml/kgBB/hari pada anak dengan marasmus. 2.
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (3-4 g/kgBB/hari dan 160-175 g/kgBB/ 2. hari) pada kekurangan energi dan protein yang berat, serta mineral dan vitamin.
3.
Pada bayi dengan berat badan kurang dari 7 kg, berikan susu yang mengandung rendah laktosa (LLM) dengan cara 1/3 LLM ditambah glukosa 10% tiap 100 ml susu ditambah g glukolin untuk mencegah hipoglikemia selama 1-3 hari kemudian pada hari berikutnya 2/3. Apabila berat badan lebih dari 7 kg, dapat diberikan makanan dimulai dengan makanan
4. Dehidrasi ringan: 1 jam pertama 25–50 ml/kgBB selanjutnya 125 ml/kgBB/hari. ●
Dehidrasi sedang: 1 jam pertama 50-100 ml/KGBB selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
●
Dehidrasi sedang: 1 jam pertama 50-100 ml/KGBB selanjutnya 125 ml/kgBB/hari.
●
Dehidrasi berat: dapat dilihat pada rincian berikut ini. -
Bayi Baru Lahir (Berat Badan 2-3 kg) Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 mi + 25 ml: 250 ml/kgBB/24 jam dengan pemberian cairan 4: 1 (4 glukosa 5% + 1 NaHCO, 1 4%) dengan cara pemberian: 4 jam pertama 25 ml/kgBB/jam, 20 jam berikutnya 150 mnl/KGBB/20 jam.
-
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (Berat Badan < 2 Kg)
1
Kebutuhan cairan: 250 ml/kgBB/24 jam, pemberian cairan adalah 4 glukosa 10% + 1 NaHCO, 1 14%, dengan pemberian 4 jam pertama 25 ml/kgBB/jam, 20 jam berikutnya 150 ml/kgBB/20 jam. -
Usia 1 Bulan-2 Tahun (Berat Badan 3-10 Kg) Cara pemberiannya adalah 1 jam pertama 40 ml/K8BB/jam
kemudian
dilanjutkan
7
jam
berikutnya 12 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 125 ml/kgBB. -
Usia 2-5 Tahun (Berat Badan 10-15 kg) Cara pemberiannya adalah 1 jam pertama 30 ml/kgBB/jam kemudian dilanjutkan 7 jam berikutnya 10 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 125 ml/KGBB.
-
Usia 5-10 Tahun (Berat Badan 15-25 kg) Cara pemberiannya adalah 1 janm pertama 20 ml/KGBB/jam
kemudian
dilanjutkan
7
jam
berikutnya 10 ml/kgBB/menit dan 16 jam kemudian 105 ml/KGBB. ●
Melakukan
pemantauan
atau
observasi
terhadap jumlah cairan yang masuk dan keluar (mengukur status hidrasi), seperti turgor kulit, muntahan, membran mukosa, berat badan, mata, dan ubun-ubun besar. ●
Memantau
adanya
tanda
renjatan
hipovolemik, seperti denyut jantung atau nadi
cepat
tapi
kecil,
tekanan
darah
menurun, dan kesadaran menurun. ● ●
Pantau adanya tanda asidosis metabolik. Memberikan penjelasan kepada keluarga tentang kurangnya
hal-hal volume
yang cairan,
menyebabkan faktor
yang
1
menyebabkan terjadinya diare, dan lain-lain. (A. Aziz Alimul Hidayat, 2018)
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Obesitas pada anak adalah kondisi medis pada anak yang ditandai dengan barat badan di atas rata-rata dari Indeks Massa Tubuhnya (Body Mass Index) yang di atas normal. Indeks Massa Tubuh (IMT) dihitung dengan cara mengalikan berat badan anak kemudian dibagi dengan kuadrat dari besar tinggi anak. Jika seorang anak memiliki IMT di atas 30 kg/m2, maka anak tersebut menderita obesitas. Anak yang nafsu makannya lebih banyak ternyata tidak semua menjadi gemuk atau menjadi obesitas. System
metabolism
anak
berbeda-beda,
anak
yang
kecepatan
metabolismenya lambat akan lebih berisiko menjadi obesitas. Factor-faktor obesitas di antaranya adalah Faktor genetic, budaya makan, dan kurangnya aktivitas fisik. Penanggulangan obesitas pada anak lebih sulit dibandingkan
obesitas
dewasa,
karena
penyebab
obesitas
yang
multifaktorial dan anak yang masih dalam taraf tumbuh kembang. Penurunan berat badan bukanlah tujuan yang utama dalam penanganan obesitas anak. Perubahan pola makan dan perilaku hidup sehat lebih diutamakan untuk mendapatkan hasil yang menetap. Penanggulangan obesitas anak sebaiknya dilakukan secara terapadu antara dokter anak, dietisien, psikolog dan petugas kesehatan lain. Peran serta orang tua memegang peranan penting dalam penangan anak obesitas. Pencegahan sebaiknya dilakukan sebelum anak menjadi obesitas karena pencegahan lebih mudah daripada pengobatan. Pencegahan harus dimulai sejak dini dengan menerapkan pola hidup sehat dalam keluarga. 2. Diabetes (diabetes melitus) adalah suatu penyakit metabolik yang diakibatkan oleh meningkatnya kadar glukosa atau gula darah. Gula darah sangat vital bagi kesehatan karena merupakan sumber energi yang penting bagi sel-sel dan jaringan.diabetes tipe 1 terjadi karena beberapa factor yaitu genetik, imunologi, dan lingkungan, sedangkan pada diabetes tipe 2 terjadi karena factor usia, obesitas, dan riwayat keluarga. Ditinjau dari genetik, penyebab dan perjalanan penyakit, DM pada anak dan remaja
1
berbeda dengan DM pada orang dewasa. Diabetes mellitus pada anak dan remaja terutama merupakan akibat kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Gejala klinik diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsia, lemas, berat badan menurun, kesemutan, gatal, mata kabur, impotensia (pada pria), pruritus vulvae (pada wanita). Jika tidak dikelola dengan baik, diabetes dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi, seperti penyakit jantung koroner, stroke, obesitas, serta gangguan pada mata, ginjal, dan saraf.Selain itu, diabetes juga dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi kadar gula darah dalam tubuh. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan (hipoglikemia) atau peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia). Sangat penting juga untuk melakukan pencegahan diabetes jika Anda memiliki faktor risiko diabetes. Misalnya, jika Anda kelebihan berat badan atau mempunyai keluarga dengan riwayat diabetes. Untuk menghindari diabetes, menerapkan pola hidup sehat adalah kunci utama. Konsumsilah makanan sehat dan bergizi seimbang, berolahraga secara teratur, dan jaga berat badan tetap ideal. 3. Agen penyakit adalah substansi tertentu yang terjadi karena kehadiran atau ketidak hadirannya dapat menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit.Agen penyakit dapat berupa nutrisi atau gizi seperti protein. Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein kurang dalam waktu yang cukup lama. Kurang kalori protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanyadefisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi protein maupun energy. Ketidakseimbangan konsumsi protein akan mengakibatkan beragam penyakit. Misal saja penyakit kurang energi protein atau yang sering dikenal dengan penyakit KEP seperti kwashiorkor dan marasmus pada wanita hamil dan anak. Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori,
protein, atau keduanya
tidak tercukupi oleh diet. Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu
berusaha
untuk
mempertahankan
hidup
dengan
memenuhi
kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar. Kekurangan protein banyak
1
terdapat pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Setidaknya ada 4 faktor yang melatarbelakangi penyakit kurang kalori protein (KKP), yaitu: masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Penyakit kekurangan protein bisa ditanggulangi dengan mengkonsumsi protein secara cukup dan rutin.Hal itu bisa dilakukan dengan mengubah menu makanan setiap hari, konsumsi makanan yang mengandung protein yang banyak misalnya daging, telur, buah-buahan dan sayuran.minuman bergizi juga tidak boleh dilupakan misalnya susu sapi, madu, minyak zaitun dan lainnya. B. Saran 1. Jadikan kebiasaan yang sehat sebagai hal wajib bagi keluarga. Jika Anda melakukannya, kebiasaan itu akan menjadi pola hidup bagi anak-anak. Beli dan sajikan lebih banyak buah dan sayuran daripada makanan yang siap saji. Batasi minuman ringan, minuman yang manis-manis, dan camilan manis yang kaya lemak. Sebaliknya, berikan air atau susu rendah lemak dan camilan yang sehat. Memasaklah dengan metode rendah lemak, seperti memanggang dan mengukus, ketimbang menggoreng. Sajikan makanan dalam porsi yang lebih kecil. Jangan gunakan makanan sebagai upah atau suap. Jangan sampai anak tidak sarapan, karena dapat membuat mereka makan berlebihan setelah itu. Makanlah di meja makan. Makan di depan TV atau layar komputer membuat orang tidak menyadari seberapa banyak yang dikonsumsi dan apakah ia sudah kenyang. Anjurkan gerak badan, seperti bersepeda, main bola, dan lain-lain. Rencanakan kegiatan keluarga yang aktif di luar rumah, seperti berenang, atau bermain di taman. Suruhlah anak-anak melakukan pekerjaan fisik dan berilah contoh dalam pola makan yang sehat dan olahraga. 2. Tingkatkan penyuluhan-penyuluhan pada masyarakat, sehingga pengertian masyarakat tentang diabetes mellitus akan bertambah. Selain itu, kita juga harus mengerti serta menyadari tentang seluk beluk penyakit diabetes mellitus dan mengetahui tanda bahaya dari adanya komplikasi diabetes secara dini sangat perlu agar tindakan medis secara dini dapat dilaksanakan. 3. Masyarakat diharapkan untuk memperhatikan pola makan sehari-hari dengan mempertimbangkan asupan gizi khususnya protein agar kebutuhan tubuh akan nutrisi dapat terpenuhi sehingga bisa menghindari penyakit kurang kalori protein (kkp).
1
WOC OBESITAS Masukan makanan
Aktifitas tubuh
Mekanisme neurohumoral
Hipotalamus
Mengatur keseimbangan energy
Pengatur lapar dan kenyang, regulasi Sekreksi hormone, laju pengeluaran energy
Sinyal eferen
Setelah mendapat sinyal eferen dari perifer (jar. adiposa, usus, jar. Otot)
Sinyal bersifat anabolic
Rasa lapar Pengeluaran energy
CCK sebagai stimulator rasa lapar
genetic
1
Asupan energi rendah tinggi
Asupan energi
Jar. Adiposa berkurang
jar. Adiposa
Merangsang orexigeniccenter leptin
kadar
Nafsu makan leptin
resistensi
Penumpukan lemak pada menerima sinyal
otak tidak
Sejumlah bagian tubuh
leptin
Berat badan lapar
abdomen
Kegemukan makan
menekan diafragma naik
Malu dan tidak percaya diri Penumpukan lemak pada
merasa
Nafsu
inspirasi inefektif
Sejumlah bagian tubuh MK: gangguan citra tubuh
lapang thorax tidak maksimal Berat
badan massa tubuh lebih berat obesitas
Sesak napas MK:
1
MK: pola napas tidak efektif Malas bergerak
Gaya hidup monoton aktifitas
tidak mampu beraktifitas lebih
MK: intoleransi
1
WOC DIABETES MILLITUS Genetic lingkungan
Imunologi
Mewarisi predisposisis tertentu
respon autoimun abnormal
Individu yang memiliki autoimun
virus/toksin
proses
Type antigen HLA
hematogen Reaksi autoimun Masuk ke kelenjar pancreas
Destruksi sel β
Defisiensi insulin
MK:
ketidakstabilan kadar
Glukosa darah Glukosa tidak sampai ke
hiperglikemia
glukosa tidak
1
Sel yang lapar (starvasi)
dapat difiltrasi
Pembatasan
oleh
glumerulus Pemecahan cadangan
diet
Makanan diotot dan lemak kekurangan
urin banyak
Intake yang tidak mengandung
glukosa
Berat badan menurun dalam
adekuat
glukosa
tubuh Cepat lelah dan letih
MK: defisit nutrisi
MK: keletihan
fleksibilitas darah menurun kekurangan
glikosuria
poliuria
adanya pembatasan
Sel
gerak dan aktivitas
Cairan
keterbatasan
polidipsi
pelepasan O2 menurun dehidrasi
MK: perfusi perifer tidak Efektif risiko hipovolemia
bermain dan sosialisasi dengan teman sebaya
MK: gangguan tumbuh kembang
MK:
1
WOC KKP Defisiensi kalori/protein kegagalan menyusui
ekonomi rendah,
Pendidikan kurang, tidak memulai Hygiene rendah makanan tambahan
KEP
Penurunan jumlah protein tubuh energy menurun
Terjadi perubahan biokimia dalam tubuh marasmus
Kwashiorkor
Gangguan absorpsi dan
produksi albumin oleh
transportasi zat-zat gizi ( hipoalbuminemia)
hepar rendah
pengambilan energi selain dari protein (otot)
asi,
1
penyusutan otot pembentukan
tekanan osmotic
plasma menurun
gangguan
lipoprotein (lemak) dari
hati penurunan berat badan cairan dari intravaskuler
penurunan
detoksifikasi MK: nutrisi kurang dari
ke intersisial
hati
Kebutuhan tubuh Edema
MK: resti infeksi MK: ganguan integritas
Mk: gangguan keseimbangan cairan
Cadangan protein otot terpakai secara terus Menerus untuk memperoleh asam amino
Perbandingan asam amino yang berbeda dengan protein jaringan
salah satu jenis asam amino rendah konsentrasinya
asam amino tidak berguna bagi sel
tubuh mengalami kehilangan energi secara terus menerus
otot-otot melemah dan menciut
kulit
1
MK: resiko gangguan tumbang
DAFTAR PUSTAKA A. Aziz Alimul Hidayat. (2018). Lengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba medika. Adriani, Merryana, Wijatmadi, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Kencana. Ayu, R., & Sartika, D. (2014). ASUHAN KEPERAWATAN OBESITAS PADA ANAK 5-15 TAHUN DI INDONESIA, 15(1), 37-43. Bustan, M. N. (2015). Manajemen Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dinkes SulSel. (2018). Rencana Kerja. Dr. Amanda. (2020). Malnutrisi Energi Protein. Enie Novieastari, Kusman Ibrahim, Sri R. (2019). Fundamentals of Nursing Vol 1- 9th Indonesian Edition. Hooi Ping Chee. Singapure. Fowler, M. (2011). Microvascular and Macrovascular Complications of Diabetes. Clinical Diabetes,29(3),pp.116-122. Hari, V. (2015). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Obesitas Pada Ana Usia 3 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Asemrowo Kota Surabaya. Skripsi Stikes Majapahit Mojokerto. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2014).
Diagnosis, Tata Laksana, dan
Pencegahan Obesitas pada Anak dan Remaja. Imania, A. intan. (2017). Asuhan keperawatan marasmus. Irdina Rauza & Meizly Andina. (2017). Hubungan Indeks Massa Tubuh Anak Kurang Gizi terhadap Total Protein dan Albumin. journal.umsu.ac.id. Vol 2(3), 133.
1
Kementrian Kesehatan RI. (2012). Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementrian Kesehatan RI. (2017). Panduan Pelaksanaan GENTAS. Kementrian Kesehatan RI. (2018). Dietik Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Kumar S, K. A. (2016). Review of Childhood Obesity: From Epidemiology, Etiology, and Comorbidities to Clinical Assessment and Treatment. Mayo Clinic Proceedings. 2016;92(2):1–15. Lili Asranti Lestari, S. H. (2018). Peran probiotik di bidang gizi dan kesehatan. Yogyakarta: Gadjha mada university press. PERKENI. (2015). Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe
2
di
Indonesia.
Jakarta :PERKERNI
Riset
Kesehatan
Dasar
(Riskesdas). 2017. Q,S Al-A’raf ayat 31 Rahmasari,
I.
(2019).
Efektifitas
Memordoca
Carantia(PARE)Terhadap
Penurunan Kadar Glukosa Darah. Infokes,Vol 9 No 1. ISSN:2086-2628. Departemen Keperawatan Medikal Bedah Prodi Sarjana Keperawatan STIKES Aisyah Surakarta. Rahmawati, U. A. (2019). HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING AIR SUSU IBU (MP ASI) DENGAN KEJADIAN KURANG ENERGI PROTEIN (KEP) PADA ANAK USIA 1224 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SENTOLO I KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2019.eprints.poltekkesjogja.ac.id. Shadine, M. (2010). Mengenal Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta : Penebit Keenbooks. Sherwood, L. (2012). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta: EGC. Simatupang, R. (2020). Pedoman Diet Penderita Diabetes Melitus. Banten: Yayasan Pendidikan dan Sosial Indonesia.
1
Smeltzer, S.C dan B, G. B. (2015). Baru Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC. Sujono Riyadi, S. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Endokrin Pada Pankreas. Yogyakarta: graha ilmu. Sumbono, A. (2016). Biokimia Pangan Dasar. Yogyakarta: Deepublish. Wilkinson, J. M. (2013). Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: BGC.
1
LAMPIRAN Bab I Pendahuluan (Annisa Dila Ita Taqiyah & Mardaniar K) a. Latar (Insidensi kasus bahasan secara global, nasional dan regional Sulsel) b. Tujuan penulisan c. Askep secara umum 3 kasus (DM, Obesitas, KKP) - pengkajian - diagnosa - rencana keperawatan
Bab II Pembahasan (DM) Hijriyah Febriela a. Definisi b. Etiologi c. Manifestasi klinis d. Patofisiologi e. Komplikasi f. Pemeriksaan diagnostik g. Penatalaksanaan
Pembahasan (obesitas) Nadya Wulandari
1
a. Definisi b. Etiologi c. Manifestasi klinis d. Patofisiologi e. Komplikasi f. Pemeriksaan diagnostik g. Penatalaksanaan
Pembahasan (kkp) Madinatul Munawar a. Definisi b. Etiologi c. Manifestasi klinis d. Patofisiologi e. Komplikasi f. Pemeriksaan diagnostik g. Penatalaksanaan
Bab Kesimpulan + saran (Membuat inti sari tujuan penulisan) + Web of Causation (WOC) (3 kasus) Ika Afriani
Susun/gabung makalah (sampul, kata pengantar, daftar isi, kesimpulan, dapus pake mendeley) Raden Sri Hasrianti
Woc dalam bentuk poster (3 kasus) + ppt (Indrawaty Agus & Abdul Rahman)