Makalah Pancasila Sebagai Etika Politik [PDF]

  • Author / Uploaded
  • bagas
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK PANCASILA (A-1) Gede Bagas Aritama 1404505029



Teknologi Informasi Fakultas Teknik Universitas Udayana 2014



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



LATAR BELAKANG MASALAH Pancasila sebagai dasar Negara, pedoman dan tolak ukur kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Tidak lain dengan kehidupan berpolitik, etika politik Indonesia tertanam dalam jiwa Pancasila. Kesadaran etik yang merupakan kesadaran relasional akan tumbuh subur bagi warga masyarakat Indonesia. Ketika nilai – nilai pancasila itu diyakini kebenarannya, kesadaran etik juga akan lebih berkembang ketika nilai dan moral pancasila itu dapat di breakdown ke dalam norma – norma yang diberlakukan di Indonesia. Pancasila juga sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran dari norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainya. Dalam filsafat pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran - pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai, oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma - norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek prasis melainkan suatu nilai yang bersifat mendasar. Nilai - nilai pancasila kemudian dijabarkan dalam suatu norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma tersebut meliputi norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Kemudian yang kedua adalah norma hukum yaitu suatu sistem perundang - undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di Indonesia, pancasila juga merupakan suatu cita - cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari - hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara dan berasal dari bangsa indonesia sendiri sebagai asal mula (kausa materialis). Pancasila bukanlah merupakan pedoman yang berlangsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber hukum baik meliputi norma moral maupun norma hukum, yang pada giliranya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.



1.2.



RUMUSAN MASALAH 1.2.1. Bagaimana pengertian nilai, norma dan moral? 1.2.2. Apa itu hierarkhi nilai? 1.2.3. Bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral? 1.2.4. Bagaimana pengertian etika, politik dan etika politik? 1.2.5. Apa definisi dimensi politisi manusia? 1.2.6. Nilai – nilai apa yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik?



1.3. TUJUAN PENULISAN 1.3.1. Untuk mengetahui bagaimana pengertian nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik. 1.3.2. Untuk mengetahui apa itu hirerarkhi nilai. 1.3.3. Dapat mengerti bagaimana hubungan antara nilai, norma dan moral dalam konteks pancasila sebagai etika politik. 1.3.4. Untuk mengetahui bagaimana pengertian etika, politik dan etika politik. 1.3.5. Untuk memahami apa definisi politisi manusia. 1.3.6. Dapat memahami nilai-nilai apa yang terkandung dalam pancasila sebagai sumber etika politik.



BAB II PEMBAHASAN 2.1.



PENGERTIAN NILAI, NORMA DAN MORAL 2.2.1. Pengertian Nilai Nilai atau “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan - persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat nilai. Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan, dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Di dalam Dictionary Of Sosciology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi, nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Menilai berarti menimbang - nimbang dan membandingkan sesuatu dengan yang lainnya untuk kemudian mengambil sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan itulah yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan maka objek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Artinya, suatu objek baru dikatakan bernilai tertentu apabila ada objek serupa sebagai pembandingnya. Objek di sini dapat berupa sesuatu yang bersifat fisik atau psikis, seperti benda, sikap atau tindakan seseorang. 2.2.2.



Pengertian Norma



Nilai pada dasarnya bersifat subjektif, sehingga nilai tidak mudah dijadikan panutan prilaku bagi seseorang atau masyarakat. Agar nilai (Sistem nilai) dapat diangkat kepermukaan, maka perlu ada wujud nilai yang lebih kongkret. Kongretisasi dari nilai inilah yang disebut sebagai (menghasilkan) norma. Dapat terjadi bahwa norma tidak hanya mengandung satu nilai saja, tetapi dapat lebih dari satu nilai. Sekalipun demikian tidak ada norma yang tidak mengandung nilai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, norma adalah penjabaran dari nilai sebagai penuntun perilaku seseorang atau masyarakat.



Pengertian lain dari norma adalah petunjuk tingkah laku (perilaku) yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. 2.2.3.



Pengertian Moral



Istilah moral berasal dari kata latin “mores” yang berarti norma - norma baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, budi pekerti, akhlak ataupun kesusilaan manusia. Di dalam bidang filsafat, moral mempersoalkan kesusilaan mengenai ajaran - ajaran yang baik dan buruk. Manusia berkewajiban mempelajari dan mengamalkan ajaran - ajaran moral tersebut, agar di dalam pergaulan dengan sesama manusia dapat terjalin suatu hubungan yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral adalah (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Jadi bermoral berarti mempunyai pertimbangan baik buruk, berakhlak baik. Dapat disimpulkan bahwa moral merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Jadi, moral membicarakan tingkah laku manusia atau masyarakat yang dilakukan dengan sadar dipandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian. 2.2.



PENGERTIAN HIERARKHI NILAI Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu : 1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak. 2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum. 3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni. 4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.



Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.



Nilai – nilai ekonomis Nilai – nilai kejasmanian Nilai – nilai hiburan Nilai – nilai sosial Nilai – nilai watak Nilai – nilai estetis Nilai – nilai intelektual Nilai – nilai keagamaan Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu : 1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia. 2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan. 3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut : a. Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia. b. Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia. c. Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia. d. Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak. Dalam pelaksanaanya, nilai - nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan



anjuran atau larangan, tidak



dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai. Dari uraian mengenai macam – macam nilai diatas, dapat dikemukakan pula bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai



‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’. 2.3.



HUBUNGAN ANTARA NILAI, NORMA DAN MORAL Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma. Selanjutnya, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.



2.4.



PENGERTIAN ETIKA, POLITIK DAN ETIKA POLITIK 2.5.1. Pengertian Etika Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing - masing. Cabang - cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan pokok yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Etika termasuk kelompok filsafat praktis. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran - ajaran dan pandangan - pandangan moral. Etika



adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Etika berkaitan dengan masalah nilai karena etika pada pokoknya membicarakan masalah - masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat - sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas - kualitas ini dinamakan kebijakan yang diwakilkan dengan kejahatan yang berarti sifat - sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak bersusila. Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip - prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasardasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia. 2.5.2.



Pengertian Politik



Pengertian “politik” berasal dari kosa kata “politics” yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation). 2.5.3.



Pengertian Etika Politik



Setelah penjelasan kedua poin di atas, maka tibalah pada intisari penting, yaitu etika politik. Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika, yakni manusia. Oleh karena itu etika politik berkaitan erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian “moral” senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Dapat disimpulkan bahwa dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika



politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, maupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang yang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia. 2.5.



DEFINISI DIMENSI POLITISI MANUSIA 2.5.1. Manusia sebagai Makhluk Individu - Sosial Berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari - hari, manusia tidak dapat mungkin memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Dalam kapasitas moral kebebasan manusia akan menentukan apa yang harus dilakukannya dan apa yang tidak harus dilakukannya. Konsekuensinya ia harus mengambi sikap terhadap alam dan masyarakat sekelilingnya, ia dapat menyesuaikan diri dengan harapan orang lain akan tetapi terdapat suatu kemungkinan untuk melawan mereka. Manusia adalah bebas sejauh ia sendiri mampu mengembangkan pikirannya dalam hubungan dengan tujuan - tujuan dan sarana - sarana kehidupannya dan sejauh ia dapat mencoba untuk bertindak sesuai dengannya. Dengan kebebasannya manusia dapat melihat ruang gerak dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak, sehingga secara moral senantiasa berkaitan dengan orang lain. Oleh karena itu bagaimanapun juga ia harus memutuskan sendiri apa yang layak atau tidak layak dilakukannya secara moral. Ia dapat memperhitungkan tindakannya serta bertanggung jawab atas tindakan - tindakan tersebut. 2.5.2.



Dimensi Politis Kehidupan Manusia



Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik sebagai individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak - haknya,



dan masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, system-sistem nilai serta ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya. Daam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhuk sosial, dimensi politis manusia senantiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu pendekatan etika politik senantiasa berkaitan dengan sikap - sikap moral dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.



Sebuah



keputusan



bersifat



politis



manakala



diambil



dengan



memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagi anggota masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan ditentukan kembali oleh tindakan tindakannya. 2.6.



NILAI - NILAI TERKANDUNG DALAM PANCASILA SEBAGAI SUMBER ETIKA POLITIK Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber peraturan perundang - undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan nilai kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Negara Indonesia yang berdasarkan sila ke - 1 ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yaitu bukanlah negara yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada nilai religius. Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan nilai religius, melainkan berdasarkan nilai hukum serta demokrasi. Selain sila ke - 1, sila ke - 2 ‘Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai - nilai moralitas dalam kehidupan bernegara. Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, yaitu setiap manusia berhak mendapatkan hak, pandangan serta perlakuan yang sama tanpa membeda - bedakan manusia tersebut dari segi ras, suku, keturunan, status maupun agama. Sila ke - 3 ‘Persatuan Indonesia’ tidak dapat dipisahkan dengan keempat sila lainnya karena seluruh sila merupakan suatau kesatuan yang bersifat sistematis. Nilai



yang terkandung dalam sila ini adalah sebagai penjelmaan dari sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagi makhluk individu dan sosial. Konsekuensinya negara adalah beraneka ragam tetapi satu, mengikatkan diri dalam suatu persatuan yang dilukiskan dalam satu semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Perbedaan bukannya untuk digunjing menjadi suatu konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama. Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila ke – 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaaan negara. Dalam pelaksanaan dan penyelenggara negara segala kebijaksanaan, kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan daam hidup bersama sebagaimana terkandung dalam sila ke - 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum yang berlaku agar terciptanya perdamaian serta keadilan dalam hidup bersama.



BAB III PENUTUP 3.1.



KESIMPULAN Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian ‘moral’ senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagi makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa maupun negara bisa berkembang ke arah yang tidak baik dalam arti moral. Misalnya suatu negara yang dikuasai oleh penguasa atau rezim yang otoriter, yang memaksakan kehendak kepada manusia tanpa memperhitungkan dan mendasarkan kepada hak-hak dasar kemanusiaan. Dalam suatu masyarakat negara yang demikian ini maka seseorang baik secara moral kemanusiaan akan dipandang tidak baik menurut negara serta masyarakat otoriter, karena tidak dapat hidup sesuai dengan aturan yang buruk dalam suatu masyarakat negara. Oleh karena itu aktualisasi etika politik harus senantiasa mendasarkan kepada ukuran harkat dan martabat manusia sebagai manusia.



3.2.



SARAN Pancasila hendaknya disosialisasikan secara mendalam sehingga dalam kehidupan



bermasyarakat



dalam



berbagai



segi



terwujud



dengan



adanya



kesinambungan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan kepastian masyarakat untuk mengikuti dan mentaati peraturan yang ditetapkan, karena kekuatan politik suatu negara ditentukan oleh kondisi pemerintah yang absolut dengan adanya dukungan rakyat sebagai bagian terpenting dari terbentuknya suatu negara.



DAFTAR PUSTAKA Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila.Yogyakarta: Paradigma khairunnisa.zhet.blogspot.com.



2011.



Pancasila



Sebagai



Etika



Politik.



(dalam:



http://khairunnisa.zhet.blogspot.com/2011/06/Pancasila-Sebagai-EtikaPolitik.html) Akses: 28 November 2014 plityz.blogspot.com.



2010.



Pancasila



Sebagai



Etika



Politik.



(dalam:



http://plityz.blogspot.com/2010/Pancasila–Sebagai–Etika–Politik.html) Akses: 27 November 2014 scribd.com.



tt.



Pancasila



Sebagai



Etika



Politik.



(dalam:



http://scribd.com/doc/2433447/Pancasila-Sebagai-Etika-Poltik.html) Akses: 27 November 2014