Makalah Pengantar Kebijakan Kesehatan Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hikmat dan rahmatNya sehinggapenulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengantar Kebijakan Kesehatan dengan baik. Disampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.



Makassar, Desember 2016 Penyusun



1



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................................ i DAFTAR ISI...................................................................................................... ii BAB I.............................................................................................................. 1 PENDAHULUAN............................................................................................... 1 A. Latar Belakang........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah................................................................................... 2 C. Tujuan..................................................................................................... 2 D. Manfaat.................................................................................................. 2 BAB II............................................................................................................. 3 PENGANTAR KEBIJAKAN KESEHATAN..............................................................3 A..................................................................Nilai dan Kedudukan Kesehatan 3 1.



Nilai Kesehatan.................................................................................. 3



2.



Kedudukan Kesehatan.......................................................................4



B. Kebijakan Publik...................................................................................... 9 C. Kebijakan Kesehatan............................................................................. 13 BAB III.......................................................................................................... 32 PENUTUP...................................................................................................... 32 A. Kesimpulan........................................................................................... 32 B. Saran.................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 33



2



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku. Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation). Kebijakan publik, hadir dengan tujuan tertentu, yaitu mengatur kehidupan bersama untuk mencapai tujuan (misi dan visi) bersama yang telah disepakati, salah satu bidang yang sangat bergantung kepada kebijakan publik yaitu kesehatan. Pengertian sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah keadaan yang menunjukkan sehat fisik, mental, dan sosial bukan hanya terbebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Indikator sehat ini telah dilengkapi oleh badan kesehatan dunia itu dengan dimasukkannya komponen sehat spritual. Mengacu pada definisi tersebut seorang yang sehat adalah berfungsinya komponen fisik, mental, dan sosial, serta pemahaman dan penerapan nilai-nilai agama yang agung secara optimal dan harmonis. Kesehatan merupakan anugerah yang sangat berharga dan tidak dapat diukur dengan apapun. Oleh sebab itu tindakan yang paling tepat adalah mencegah timbulnya ancaman terhadap kesehatan baik yang berasal dari diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Jika kita ingin memberi nilai secara matematis maka tubuh kita sesungguhnya memiliki nilai yang sangat berharga Dr. Harold J.M. dalam Journal of Hospital Practice pernah menghitung harga tubuh kita berdasarkan analisis unsur kimia yang membangunnya. Awalnya beliau hanya menghargainya 98 sen AS. Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi analisis dengan ditemukannya suatu hormon



1



pada wanita yang disebut dengan FSH dan Prolaktin, maka manusia yang beratnya 60 kg dinilai dengan harga 6.000.000. dolar AS ( ENAM JUTA DOLAR). Harga tersebut di atas akan terus meningkat seiring dengan kemajuan teknologi yang dapat menemukan unsur-unsur penting lainnya. Dengan demikian tubuh kita adalah benda yang sangat berharga yang harus senantiasa dijaga keutuhannya dengan baik. Tubuh yang sangat mahal itu nilainya dapat naik dan turun tergantung pada pola dan gaya hidup kita. Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang, pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini, memahami Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat. Namun dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang dihadapi tentunya harus memiliki manajemen yang baik terkhusus kebijakan kesehatan. Dimana Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal, menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan pembangunan kesehatan. Mengingat pentingnya kebijakan kesehatan maka perlu untuk mengetahui kebijakan kesehatan itu sendiri.. B. Rumusan Masalah Bagaimanakah nilai dan kedudukan serta kaitan antara kebijakan publik dan kebijakan kesehatan? C. Tujuan 1. Untuk Mengetahui Nilai dan Kedudukan Kesehatan 2. Untuk Mengetahui uraian Kebijakan Publik dan Kebijakan Kesehatan D. Manfaat 1. Untuk Menambah Pemahaman Mengenai Kebijakan Kesehatan



2



BAB II PENGANTAR KEBIJAKAN KESEHATAN



A. Nilai dan Kedudukan Kesehatan 1. Nilai Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 menyebutkan bahwa pengertian keadaan sehat adalah sebagai “suatu keadaan fisik, mental, dan sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan”. Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan ataupun tidak terdapat tandatanda suatu penyakit dan kelainan (Callahan 1973, White, Anderson et al. 1977, Huber, Knottnerus et al. 2011). Kesehatan bersifat menyeluruh dan mengandung empat aspek. Perwujudan dari masingmasing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain sebagai berikut: a. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit. Semua



organ



tubuh



berfungsi



normal



atau



tidak



mengalami



gangguan(Shephard 1997, Haskell, Blair et al. 2009). b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional, dan spiritual. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran. Emosional



sehat



tercermin



dari



kemampuan



seseorang



untuk



mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan sebagainya. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang menjalankan



ibadah



dan



semua



aturanaturan



dianutnya(Organization 2001, Prince, Patel et al. 2007). 3



agama



yang



c. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku, agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, serta saling toleran dan menghargai(Starfield 1998, Marmot 2005, Vatcharavongvan, Hepworth et al. 2014, Mak, Mo et al. 2015). d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif, dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial. Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut (pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu, bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut. Dalam pengertian yang paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan lingkungan internal (psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan fisik, social, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya(Smith 1999, Contoyannis and Jones 2004, i Casasnovas, Rivera et al. 2005, Melchiorre, Chiatti et al. 2013, Kesternich, Siflinger et al. 2014). 2. Kedudukan Kesehatan Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh Pemerintah sebagai penyelenggara suatu negara, sebagai hak dasar kesehatan atau keadaan sehat perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasioal (Donnelly 2013, Renteln 2013, Morsink 2016). Hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan: Setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas 4



keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya, lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya. (Assembly 1948) Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama (Puybaret 2008). Jaminan hak atas kesehatan juga terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa negara peserta konvenan tersebut mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental. Perlindungan terhadap hak-hak Ibu dan anak juga mendapat perhatian terutama dalam Konvensi Hak Anak. Instrumen internasional lain tentang hak atas kesehatan juga terdapat pada Pasal 12 dan 14 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan ayat 1 Deklarasi Universal tentang Pemberantasan Kelaparan dan kekurangan Gizi(Assembly 1966, Saul, Kinley et al. 2014). Deklarasi Alma Ata tahun 1978 merupakan bentuk kesepakatan bersama antara 140 negara (termasuk Indonesia), adalah merupakan hasil Konferensi Internasional Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care) di kota Alma Ata, negara Kazahstan (sebelumnya merupakan bagian dari Uni Soviet). Konferensi Internasional “Primary Health Care” ini disponsori oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi PBB untuk Anak (Unicef). Isi pokok dari deklarasi ini, bahwa Pelayanan Kesehatan Primer (Dasar) adalah merupakan strategi utama untuk pencapaian kesehatan untuk semua (health for all), sebagai bentuk perwujudan hak azasi manusia. Deklarasi Alma Ata ini selanjutnya terkenal dengan: Kesehatan semua untuk tahun 2000 atau “Health for all by the year 2000”. Bentuk opersional dalam mencapai kesehatan untuk semua (kesuma) tahun 2000 di Indonesia adalah “PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa). Meskipun sebenarnya di Indonesia “cikal bakal” atau “embrio” PKMD sudah berkembang sejak tahun 1970 an, di Solo dan Banjarnegara yang diprakarsai oleh Yakkum, dalam bentuk dana sehat, pos obat desa, arisan rumah sehat, dan sebagainya. Deklarasi Alma Ata juga menyebutkan bahwa untuk mencapai kesehatan untuk semua tahun 2000 adalah 5



melalui Pelayanan Kesehatan Dasar, yang sekurang-kurangnya mencakup 8 pelayanan dasar, yakni: a. Pendidikan kesehatan (health education) b. Peningkatan penyediaan makanan dan gizi (promotions of food supplies and proper nutrition) c. Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi dasar (adequate supply of safe water and basic sanitation) d. Pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana (maternal and child care, including family planning) e. Imunisasi (immunization against the major infectious diseases) f. Pencegahan dan pemberantasan penyakit endemik (prevention and control of locally endemic diseases) g. Pengobatan penyakit-penyakit umum (appropriate treatment of common diseases and injuries) h. Penyediaan obat esensial (provision essential drugs) Dari 8 pelayanan kesehatan dasar tersebut diatas, pendidikan kesehatan (sekarang promosi kesehatan) ditempatkan pada urutan pertama. Ini berarti bahwa sejak konfrensi Alma Ata tahun 1978, para delegasi 140 negara tersebut telah mengakui betapa pentingnya peran promosi kesehatan dalam mencapai kesehatan untuk semua. Oleh sebab itu dalam Konferensi Internasional Promosi Kesehatan yang pertama di Ottawa, yang menghasilkan Piagam Ottawa (Ottawa Charter) ini, Deklarasi Alma Ata dijadikan dasar pijakannya. Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan Piagam Ottawa yang menyebutkan: “The first International Conference on Health Promotion, meeting in Ottawa this 21st day of November 1986, hereby present this charter for action to achieve Health for All by the year 2000 and beyond”. Dalam pernyataan ini tersirat bahwa para delegasi atau peserta dari semua negara, melalui piagam atau “charter” tersebut bersepakat untuk melanjutkan pencapaian “Sehat untuk semua” tahun 2000 dan sesudahnya, seperti yang telah dideklarasikan dalam piagam Alma Ata. Hal tersebut adalah merupakan bentuk komitment semua negara untuk melanjutkan terwujudnya kesehatan untuk semua (health for all) melalui promosi kesehatan. Lebih jelas lagi dalam pendahuluan Piagam Ottawa juga disebutkan: “……It built on the progress made through the Declaration on Primary Health Care at Alma Ata, the World Organization’s target for Health for All the World 6



Organization’s target for Health for All document, and the recent debate the World Assembly on intersectoral action for health”. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah promosi kesehatan pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21 yang dimulai dengan Konfrensi Internasional Promosi Kesehatan yang pertama di Ottawa, Canada ini tidak terlepas dari Deklarasai Alma Ata(1978, Organization and Organization 1978, Navarro 1984, Organization 1986, Smith 1999, Baum 2007, Lawn, Rohde et al. 2008, Roden and Jarvis 2012, Lee 2015, Fry and Zask 2016). Jelas bahwa kesehatan adalah hal penting yang berhak diperoleh setiap individu serta menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin agar setiap warga negaranya mau dan mampu untuk hidup sehat dan memanfaatkan pelayanan kesehatan. Selain itu, kesehatan merupakan salah satu bagian dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index yang merupakan indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan pembangunan kesehatan, tak kurang dari 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hadir dalam pencanangan “Deklarasi Tujuan Pembangunan Millenium” (Millenium Development Goals 2015) di New York, 2000. Pertemuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia melalui pembangunan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Isu-isu luas tercakup dalam deklarasi MDGs, di dalamnya termaktub pula butirbutir tujuan pembangunan pada bidang kesehatan seperti penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi sebagai bagian dari perlindungan kelompok rentan, selain terkait dengan strategi penurunan angka kemiskinan (Poverty Reduction Strategy). Penting dan kritisnya bidang kesehatan ini antara lain ternyatakan dengan fakta-fakta bahwa: a. Kebijakan kesehatan tumbuh dengan cepat, dan termasuk dalam wilayah yang sering menjadi bahan perdebatan. b. Selama lebih dari 20 tahun terakhir, pembahasan kebijakan kesehatan berkembang pesat dalam berbagai literatur akademik, demikian pula dengan area lain terkait kesehatan dan pengobatan dalam konteks ilmu sosial. Kebijakan kesehatan bahkan tidak hanya dibahas oleh kalangan akademisi maupun profesional kesehatan dan medis, tapi juga oleh para politisi, kelompok masyarakat, serta media dan umum. Pelayanan kesehatan semakin berkembang sejalan dengan pertumbuhan atau 7



perkembangan kehidupan sosial yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian. Situasi tersebut bahkan dimanfaatkan sebagai bahasan penting dalam perdebatan politik (the basis of important policy debates). c. Pada negara-negara industri, biaya pelayanan kesehatan sudah meningkat sekitar 10 persen dari aktivitas ekonomi keseluruhan. Negara-negara nonindustri lainnya juga memperlihatkan gambaran serupa. d. Aspek penting pembiayaan kesehatan yang mengokohkan posisi strategis sektor kesehatan telah sejak lama diketahui. Bahkan di tahun 1990 saja, pengeluaran untuk kesehatan secara global diestimasikan telah mencapai sekitar 1.700 triliun dolar, atau sekitar 8 persen dari keseluruhan pendapatan. Pada negara-negara industri, biaya kesehatan sudah meningkat hingga lebih besar dari 10 persen GDP (Gross Domestic Product), dengan kata lain, perhitungan biaya untuk pelayanan kesehatan sekitar 10 persen dari keseluruhan aktivitas ekonomi. Pengeluaran untuk kesehatan terus meningkat, seiring dengan peningkatan usia harapan hidup dan bertambahnya populasi orang tua/usia lanjut. Kemajuan teknologi medis memberikan lebih banyak alternatif diagnostik dan klinik sehingga semakin banyak cara untuk menghabiskan uang dalam sektor pelayanan kesehatan serta untuk perusahaan obat dan peralatan medis. e. Sektor kesehatan sudah menjadi bagian dari industri yang memberikan lapangan pekerjaan luas. Ungkapan bahwa kesehatan adalah area yang padat karya menunjukkan bahwa banyak orang yang bekerja dalam sektor kesehatan. Contohnya di Amerika Serikat, pada tahun 1910 terdapat profesi dokter, farmasi, perawat, dan dokter gigi; dan 1,3 persen dari seluruh orang yang bekerja, berada dalam ruang lingkup kerja di sektor kesehatan. Saat ini, terdapat sekitar 700 kategori pekerjaan dalam sektor pelayanan kesehatan, dan lebih dari 5 persen dari pekerja berada dalam sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan sektor kesehatan sebagai industri individual terbesar yang memberi pekerjaan di sana (Amerika Serikat) juga negara-negara Eropa sehingga organisasi pelayanan kesehatan atau industri kesehatan disebut-sebut sebagai industri 8



individual terbesar yang memberi pekerjaan (the largest single industrial employer) (Barker 1996). Pada lingkup nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin, Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, Jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal juga terdapat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (RI 1999, Indonesia 2009). B. Kebijakan Publik Defenisi kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai deng bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho 2003). Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatar tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang berwenang dalarn rangka penyelenggaraan tuga: pemerintahan negara dan pembangunan bangsa. Batasan tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975), dalam Winarno (2007), yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments choose to do or not to do) ”. Seorang ahli lainnya, Crimson (2009) , menyatakan kebijakan merupakan sebuah konsep, bukan fenomena spesifik maupun konkret, sehingga pendefinisiannya akan menghadapi banyak kendala atau dengan kata lain tidak mudah. Selanjutnya Crimson juga membenarkan bahwa kebijakan akan jauh lebih bermanfaat apabila dilihat sebagai petunjuk untuk bertindak atau serangkaian keputusan atau keputusan yang saling berhubungan satu sama lain. Definisi lainnya kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi 9



kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Dye 1992). Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat



oleh



badan



atau



pejabat



pemerintah



(Dunn



2015).



Kebijakan



publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh “otoritas” dalam sistem politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan, clan keamanan (militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik) (Suharto, 2005). Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan Quinn dalam Dye (1975), dalam Winarno (2007) antara lain: 1. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politis, dan fmansial untuk melakukannya 2. Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan konkret yang berkembang di masyarakat.oleh karena itu, pada umumnya kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial. 3. Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan trtentu demi kepentingan orang banyak. 4. Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pengertian kebijakan publik di atas juga selaras dengan batasan yang dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012); yaitu: “A series of decisions or activities resulting from structured and recurrent interactions between 10



different actors, both public and private, who are involved in various diyferent ways in the emergence, identification, and resolution of problem defined politically as a public issues (serangkaian tindakan atau keputusan sebagai akibat dari interaksi terstruktut clan berulang di antara berbagai aktor, pihak publik/ pemerintah, swasta, privat yang terlibat berbagai cara merespons, mengidentiflkasi dan memecahkan masalah yang secara politik didelinisikan sebagai masalah publik). Kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi dan sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich menyangkut dimensi yang luas karena tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilaukan oleh pemerintah , tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu (Friedrich 1940). Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis. Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah: 1. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal. 2. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata rantai berkesinambungan. 3. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah. 4. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir mungkin menjadi mungkin. 5. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan. Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh berbagai pakar maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah sebuah kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pejabat negara atau pejabat pemerintahan) dalam kaitannya dengan mengatasi problem yang ada di tengah-



11



tengah masyarakat yang tentunya dengan menggunakan tahapan, matode dan caracara tertentu (Parker, Udell et al. 1996). Anderson (Anderson 1984) mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan Anderson ada elemen-elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik antara lain mencakup: 1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang bermaksud akan dilakukan. 4. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). 5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif). Menurut Dunn (Dunn and Holzner 1988) beberapa karakteristik masalah pokok dari masalah kebijakan, adalah : 1. Interdepensi (saling ketergantungan) Interdepensi yaitu kebijakan suatu bidang seringkali mempengaruhi masalah kebijakan lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem masalah ini membutuhkan pendekatan holistik, satu masalah dengan yang lain tidak dapat di pisahkan dan diukur sendirian. 2. Subjektif Subjektif yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah diindentifikasi, diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh: Populasi udara secara objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan penafsiran yang beragam (Gangguan kesehatan, lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis, bukan problem itu sendiri. 3. Artifisial Artifisial yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga dapat menimbulkan masalah kebijakan. 4. Dinamis Dinamis yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru, yang membutuhkan pemecahan masalah lanjutan. 5. Tidak terduga Tidak terduga yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan sistem masalah kebijakan. 12



Hal-hal penting yang mengartikan kebijakan publik dirangkum menjadi ketetapan oleh pengambil kebijakan dengan tujuan menyelesaikan permasalahan bersama/masyarakat (collective problem) yang menjadi perhatian publik (public concern) karena besarnya kepentingan masyarakat yang belum terpenuhi (public needs, degree of unmeet need) , namun untuk menyelesaikannya membutuhkan tindakan bersama (collective action) yang bukan sekadar keputusan tunggal dan reaktif (Ayuningtyas 2014) . C. Kebijakan Kesehatan Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian kebijakan kesehatan yaitu konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang optimal pada seluruh rakyatnya (Murray and Lopez 1996). Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan



pembangunan



kesehatan



dengan



memperhatikan



kerangka



desentralisasi dan otonomi daerah (Hunter 2003). Kebijakan kesehatan membahas tentang penggarisan kebijaksanaan pengambilan keputusan, kepemimpinan, public relation, penggerakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan program – program kesehatan. Bentuk-bentuk kebijakan Kesehatan : 1. Regulatory Policies Merupakan kebijakan yang memebatasi tindakan atau perilaku seseorang. contoh : UU PK(Praktek Kedokteran) No 29 Tahun 2004, kebijakan KTR (kawasan tanpa rokok) 2. Distributive Policy Merupakan kebijakan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungankeuntungan bagi setiap individu. Contoh : Kebijakan subsidi BBM, Obat generik. 3. Redistributive policies Merupakan kebijakna-kebijakan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk pemindahan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan-pemilikan atau hak-hak di antara kelas-kelas dan kelompok penduduk. Misalnya : Antara



13



golongan penduduk ekonomi mampu dan tidak mampu (dibuatlah kebijakan Kartu Indonesia Sehat, keluarga harapan). Melihat berbagai pengertian mengenai kebijakan publik di atas, definisi tersebut pun dapat diaplikasikan untuk memahami pengertian kebijakan kesehatan. Kebijakan publik bertransformasi menjadi kebijakan kesehatan ketika pedoman yang dntetapkan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun begitu, tidak mudah sebenarnya untuk mendefinisikan kebijakan kesehatan. Setidaknya itulah yang dikemukakan oleh Walt (1994). ketika dalam sebuah pertemuan ia menanyakan definisi kebijakan kesehatan kepada enam orang pakar kesehatan, perencana kesehatan ataupun dokter. Seorang perencana dari Bank Dunia (World Bank) dengan latar belakang ekonomi mengartikan kebijakan kesehatan sebagai pengalokasian sumber daya yang terbatas di bidang kesehatan (allocation of scarce resources). Sementara yang lainnya lebih melihat pada proses dan kekuasaan, termasuk di dalamnya siapa memengaruhi siapa pada pembuatan kebijakan kesehatan dan bagaimana kebijakan itu akhirnya terjadi”. Health policy is about the process and the power. It is concerned with who influences whom in the making of policy and how that happens. Perencana kesehatan Uganda lebih fokus pada Upaya memengaruhi determinan kesehatan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat. Adapun seorang dokter dari Inggris lebih melihatnya sebagai kebijakan formal pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Pandangan menarik dikemukakan oleh praktisi bidang kesehatan yang memaknai kebijakan kesehatan sebagai politik kesehatan, mengacu pada kata politica dalam bahasa Brazil yang berarti sama untuk kebijakan atau politik (policy or politic). Walt (1994) mencoba merangkum pengertian-pengertian di atas dalam pemaknaan yang lebih luas. Kebijakan kesehatan melingkupi berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis dan pelayanan kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu maupun organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan representasi masyarakat lainnya



yang



membawa



dampak



pada



kesehatan,



Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions, organization services, and funding arrangements of the health care system. It goes beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public, private, and voluntary organizations that have an impact on health (Walt 1994).



14



Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijaakan publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan kesehatan sebagai bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karekteristik unik yang ada pada sektor kesehatan sebagai berikut : 1. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya, setiap individu tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang layak apa pun kondisi dan status finansialnya. 2. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi “masyarakattenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki posisi tawar yang baik, bahkan hampir tanpa daya tawar ataupun daya pilih. 3. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi rakyat. Siapa pun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi, seseorang tidak akan pernah tahu kapan ia akan sakit dan berapa biaya yang akan ia keluarkan. Di sinilah pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan, terutama bagi masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan dengan mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi sosial dan kesehatan Gunnar Myrdal (Myrdal 1970); “People become sick because they are poor, and become poorer because they are sick, and become sicker because they are poorer” (orang menjadi sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin). 4. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh, jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk Aides aigepty, maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian masyarakat tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah menerapkan perilaku hidup bersih. 15



Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib membuat kebijakan mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negara dan pemerintah sebagai pelaksana di bidang kesehatan, yaitu sebagai pengarah (stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan regulasi, ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regulasi (pemain). Fungsi stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama: 1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem kesehatan. 2. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien). 3. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan. Karena begitu strategis dan pentingya sektor kesehatan, WHO menetapkan delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan kesehatan, yaitu: 1. Pendekatan holistik, kesehatan sebaiknya didefmisikan sebagai sesuatu yang dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial, dan sprititual. Artinya, pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak dapat semata-mata mengandalkan upaya kuratif, tetapi harus lebih mempertimbangkan upaya preventif, promotif, dan rehabilitatif. 2. Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan eflsiensi dan efektivitas kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat dibangun collective action (aksi bersama masyarakat) yang akan menjadi kekuatan pendorong dalam pengimplementasian kebijakan dan penyelesaian masalah. 3. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan harus diarahkan untuk mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi kepada masyarakat. 4. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Ini berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa memandang status ekonomi maupun status sosialnya karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan Peran negara yang paling minimal dalam melindungi warga negaranya. 5. Eflsiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif dengan mengoptimalkan biaya dan teknologi. 6. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi seluruh warga negara. Di samping itu, dalam menghadapi 16



persaingan pasar bebas dan menekan pengaruh globalisasi dalam sektor kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional. 7. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil, dan daerah perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Pemberdayaan ini dilakukan dengan mengoptimalkan social capital. 8. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan di wilayah sendiri. Pengembangan teknologi dan riset bertujuan untuk membantu memberdayakan masyarakat dan otoritas nasional dalam mencapai standar kesehatan yang ditetapkan di masingmasing negara. Sebuah evaluasi telah dilakukan terhadap kualitas formulasi kebijakan publik di dinas kesehatan (District Health) Inggris, untuk mengetahui apakah masih terdapat kesenjangan atau kekurangan yang harus diperbaiki pada prosesnya. Riset dilakukan dengan cara Process Documentary Research (PDR) atau proses dukumen riset dilengkapi dengan teknis analisis/telaah dokumen, serta wawancara mendalam yang dilakukan hingga 26 kali dan berlangsung hampir sepanjang tahun 2004 terhadap para penentu kebijakan kunci di level pusat, unit farmasi dan kesehatan jiwa, termasuk pula stakeholder dan pegawai lain dari departemen kesehatan, konsultan, serta akademisi dan ahli kebijakan kesehatan, serta politisi. Wawancara mendalam bertujuan menggali informasi tentang proses penetapan kebijakan dari sisi aktor atau pelaku, ekspektasi mereka serta interaksi yang terjadi antara stakeholder. Digali pula, pandangan dan preferensi mereka tentang proses terbaik dalam formulasi kebijakan. Studi tersebut kemudian berakhir dengan kesimpulan bahwa telah terjadi praktik formulasi kebijakan terbaik, karena alasan sebagai berikut. 1. Pro aktif: proses pengembangan kebijakan berlangsung dengan memastikan telah dilakukannya penilaian risiko (risk assessment), tidak sekadar reaktif terhadap berbagai kritik yang dimuat di media massa. 2. Inklusif: selama ini, organisasi yang mewakili kepentingan pasien sedikit sekali berperan dan dilibatkan untuk memengaruhi proses penetapan kebijakanpasien, namun kini



telah dlrasakan peran Penting mereka ehingga lebih banyak



melibatkan. Proses Pelibatan organisasi yang mewakili pasien dllakukan dengan proses hearing dan menyebarluaskan rancangan kebijakan selama 12 pekan



17



untuk mendapat masukan dan respons dari masyarakat luas (Allsop, Jones et al. 2004, Baggott 2004). 3. Bekerja sama, cross cutting work. Proses penetapan kebijakan dilakukan dengan melibatkan dan membangun kerja sama lintas sektor. 4. Berpandangan luas dan ke depan (Forward and outward looking): pembuat kebijakan telah menggunakan pendekatan rencana skenario (scenario planning) dan peramalan (forecasting) yang menunjukkan kemampuan forward looking, adapun untuk mendapatkan gambaran out looking, mereka mengundang dan meminta pandangan dari ahli statistik, ekonom, dan ahli lainnya. 5. Berbasis bukti (Evidence based): proses formulasi kebijakan dilakukan dengan menghargai setiap data, mencari data dan menganalisisnya. Para pembuat kebijakan secara berkala melakukan asesmen atau penilaian terhadap laporan yang masuk sebagai upaya untuk menguatkan kebijakan berbasis bukti. Perhatian terhadap pemanfaatan hasil riset dan data untuk penguatan kebijakan publik bukan hal yang asing lagi, namun belum sangat menguat, meski sekarang telah lebih besar porsinya (Oliver 2006). Oleh karena itu, serangkaian proses ini dapat disebut sebagai best practice dalam pengembangan kebijakan. Selain juga dilakukan proyek perintis (piloting) untuk mendapatkan gambaran kesesuaian implementasi. 6. Ketetapan/ketentuan (Provision) untuk implementasi dan evaluasi: menyusun rencana implementasi, untuk memastikan kesiapan dan meningkatkan tingkat kepatuhan pelaksanaan dan menyiapkan rencana evaluasi berdasarkan indikator untuk menetapkan apakah implementasi kebijakan bisa berlangsung dengan baik atau tidak. 7. Akuntabel dan demokratis. Seluruh proses formulasi kebijakan berjalan secara transparan dan merepresentasikan aspirasi seluruh pemangku kepentingan. 1. Sistem dan Komponen Kebijakan Sistem adalah serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bergantung dan diatur dalam aturan tertentu untuk menghasilkan satu kesatuan. Contohnya, sistem kesehatan yang di dalamnya terdapat bagian yang saling berhubungan seperti tenaga kesehatan, infrastruktur kesehatan, pembiayaan, dan sebagainya. Untuk membuat sebuah kebijakan, adalah penting terlebih dahulu memahami apa dan siapa saja yang terlibat dalam sistem serta siapa saja yang dipengaruhi maupun memengaruhi sistem tersebut. Menurut Dunn (1988), sistem kebijakan9 (policy system) mencakup hubungan timbal balik dari tiga unsur, yaitu kebijakan 18



publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Hubungan timbal balik antara ketiga komponen sistem kebijakan tersebut digambarkan dalam gambar berikut ini(Dunn and Holzner 1988, Dunn 2015). Aktor Kebijakan



Kebijakan Publik



Lingkungan Kebijakan



Gambar 2.1.Hubungan Komponen dalam Sistem Kebijakan Sumber: Diadopsi dan diadaptasi dari; William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, dialihbahasakan oleh Samodra Wibawa dan tim (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 110.



Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebagai sebuah sistem, kebijakan merupakan suatu rangkaian dari beberapa komponen yang saling terkait, dan bukan komponen yang berdiri sendiri. Segitiga sistem kebijakan menjelaskan adanya aktor kebijakan yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan publik. Kesemuanya juga tidak luput dari pengaruh lingkungan kebijakan. Ketiga komponen tersebut selanjutnya dikenal sebagai sistem kebijakan, yaitu tatanan kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan kebijakan publik yang mengakomodasi aspek teknis, sosiopolitik maupun interaksi antara unsur kebijakan. Contoh yang menunjukkan interaksi antara ketiga komponen dalam sistem kebijakan publik tersebut misalnya dapat dilihat dari kebijakanjaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yaitu sebuah kebijakan pembiayaan kesehatan yang ditujukan bagi masyarakat tidak mampu. Kebijakan ini dipicu oleh lingkungan sosial dengan terus meningkatnya jumlah masyarakat miskin sehingga jumlah pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan gratis pun meningkat. Sementara itu, lingkungan politik yang berkembang turut memengaruhi kebijakan ini. Tingginya desakan masyarakat bersama-sama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan 19



kepada masyarakat menengah ke bawah tersebut sehingga lahirlah kebijakan Jamkesmas. Selain itu, desakan dari aktor lainnya, yaitu presiden, yang meminta menteri kesehatan untuk segera menyelesaikan permasalahan angka kematian ibu memicu terbentuknya kebijakan penjaminan persalinan (Jampersal) kelas III di seluruh rumah sakit pemerintah dengan skema pembiayaan melalui Jamkesmas. Penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan komponen kebijakan publik dikemukakan pula oleh William Dunn (2015) sebagai berikut. a. Isi Kebijakan (Policy Content) Terdiri dari sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik (termasuk keputusan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh lembaga dan pejabat pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespons berbagai masalah publik (public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai dari pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, ksejahteraan, dan lain-lain. Secara umum isi kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut. 1) Pernyataan tujuan: mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan 2) Ruang lingkup: menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan. 3) Durasi waktu yang efektif: mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan. 4) Bagian pertanggungjawaban:



mengindikasikan



siapa



individu



atauorganisasi mana yang bertanggungjawab dalam melaksanakan kebijakan. 5) Pernyataan kebijakan: mengindikasikan aturan-aturan khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan tersebut. 6) Latar belakang: mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadang-kadang disebut sebagai faktorfaktor motivasional. 7) Definisi: menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan. b. Aktor atau Pemangku Kepentingan Kebijakan (Policy Stakeholder) Pemangku kepentingan kebijakan atau aktor kebijakan adalah individu atau kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat 20



memengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut. Pemangku kepentingan kebijakan tersebut bisa terdiri dari sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintahan, dan semacamnya. c. Lingkungan Kebijakan (Policy Environment) Lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan latar khusus di mana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh pemangku kepentingan kebijakan serta kebijakan publik itu sendiri. Istilah lingkungan dalam segitiga sistem kebijakan yang dijelaskan di atas, dalam terminologi yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) disebut sebagaj konteks. Konteks ini memiliki peran yang hampir sama dengan lingkungan kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh Dunn, yakni faktor yang memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh unsur lain dalam sistem kebijakan, perhatikan gambar berikut (Walt 1994, Walt and Gilson 1994).



Gambar 2.2. Segitiga Kebijakan (Triangle ofHealth Policy) (Walt dan Gilson, 1994) Segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah representasi dari kesatuan kompleksitas hubungan antar unsur-unsur kebijakan (konteql proses, konteks, dan aktor) yang dalam interaksinya saling member; Pengaruh. Salah satu unsur dari segitiga kebijakan, yaitu aktor-athr kebijakan (baik sebagai individu maupun kelompok), misalnya, dipengauruhi oleh konteks di mana mereka bekerja atau menjalankan perannya. Konteks merupakan “rekayasa” atau hasil interaksi dinamis dari banyak faktor seperti ideologi atau kebijakan yang berubah-ubah, sejarah, dan nilai-nnai budaya. Proses pengembangan kebijakanbagaimana sebuah isu strategiS atau masalah publik diangkat dan menjadi penetapan agenda (agenda setting) dalam formulasi kebijakan, bagaimana peran, posisi, dan pengaruh aktoraktor kebijakan serta nilai, ekspektasi atau kepentingan aktor-aktor tersebut menjelaskan tentang konteks dalam segitiga kebijakan publik. Oleh karena itu, 21



segitiga kebijakan bermanfaat untuk dapat secara sistematis menganalisis dan mengetahui tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan. Pemahaman tentang segitiga kebijakan seperti sebuah peta yang menunjukkan “jalan besar tetapi tetap menunjukkan kontur, sungai-sungai, hutan, arah jalan, dan tempat tinggal para penghuni di dalamnya” dari sebuah “rimba pengembangan kebijakan publik” (Walt dan Gilson, 1994). 2. Hierarki Kebijakan Kesehatan Setiap kebijakan memiliki otoritas atau kewenangannya sendiri. Sejauh mana kewenangan suatu kebijakan dapat diterapkan tergantung dari posisi kebijakan tersebut dalam sebuah hierarki kebijakan. Setiap kebijakan harus memiliki konsistensi dan koherensi dengan kebijakan pada tingkat kewenangan yang lebih luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturar kebijakan yang dapat menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi. a. Berdasarkan Sistem Politik Menurut konsep Trias Politica, hierarki dalam kebijakan meliputi: 1) Kebijakan publik tertinggi yang dibuat oleh legislatif sebagai representat dari publik, contoh pembuatan UUD. 2) Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif dengan eksekutif. Contohnya adalah peraturan daerah di tingk provinsi. 3) Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, yaitu kebijakan yang dibuat untuk melaksanakan kebijakan publik yang bersifat umum yang dibuat legislatif (UUD) dan yang melalui kerja sama dengan eksekutif (UU). Indonesia memiliki hierarki dasar hukum yang harus ditaati dan menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan publik di Indonesia, mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundangundangan Republik Indonesia. Tabel Produk Perundangan Produk Undang-Undang



Uraian Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pengganti Undang- Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang Undang memaksa Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang 22



Peraturan Presiden Peraturan Daerah



sebagaimana mestinya Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden Peraturan perundang-undangan yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah



b. Berdasarkan Wilayah Geografls Otoritas Pembuat Kebijakan Kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan Wilayah kerja tertentu. Wilayah kerja tersebut biasanya terkait dengan Wilayah geografls otoritas pembuat kebijakan. Contohnya kebijakan nasional yang berarti berlaku untuk seluruh penduduk dan sistem pemerintahan di bawah pemerintahan pusat negara, kebijakan provinsi yang berarti harus diimplementasikan pada seluruh pemerintahan di provinsi terkait, kota/kabupaten serta level pemerintahan yang lebih rendah berikutnya. c. Berdasarkan Isi, Waktu, dan Prioritas Penetapan Kabijakan Salah satu dasar dalam menentukan hierarki kebijakan dapat dibedakan melalui isi dari kebijakan tersebut: Tabel Kebijakan Berdasarkan Isi Kebijakan Kebijakan Utama kebijakan Turunan



Uraian kebijakan dasar yang belum diturunkan. yang telah diturunkan dari sebuah kebijakan utama. Misalnya, kebijakan penanggulangan angka kematian ibu dapat diturunkan menjadi kebijakan peningkatan gizi ibu hamil Tabel Kebijakan Berdasarkan Isi Waktu



Kebijakan Jangka Panjang



Uraian Berdurasi lebih dari lima tahun misalnya dua puluh lima tahun, biasanya dibuat di tingkat nasional, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bidang kesehatan. Jangka Berdurasi antara lima hingga sepuluh tahun, bisa dibuat Menengah di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, misalnya Renstra (Rencana Strategis). Jangka Pendek Kebijakan jangka pendek memiliki durasi sekitar satu tahun. Biasanya berupa program yang menjadi implementasi dari kebijakan pada hierarki lebih tinggi 23



Adapun kebijakan kesehatan ditentukan prioritasnya berdasarkan ketersediaan dan alokasi anggaran serta sumber daya lainnya. Pada umumnya, sebuah kebijakan ditetapkan sebagai prioritas antara lain dengan memepertimbangkan kemungkinan dampak besar yang dapat terjadi. Dengan demikian kebijakan dapat terdiri dari kebijakan prioritas utama dan kebijakan bukan prioritas. Berdasarkan isi, waktu dan prioritas, sebuah kebijakan dapat terus berlangsung atau menghilang dan tergantikan oleh kebijakan lainnya, misalnya kebijakan revitalisasi posyandu yang diterapkan pada masa sebelum otonomi daerah ditiadakan pada periode setelahya mengakibatkan tingginya kasus gizi buruk, AKI, AKB. Aplikasi pemahaman dan konsep kebijakan publik, kebijakan kesehatan dan penetapan hierarkinya berdasarkan sistem politik, wilayah geografis serta isi, waktu dan prioritas dapat dilihat dari contoh implementasi kebijakan kesehatan di beberapa negara dan di Indonesia.



3. Kebijakan Kesehatan di Beberapa Negara Inggris adalah salah satu negara anggota Uni Eropa yang mempunya model layanan kesehatan yang dikagumi dunia. Inggris tetap dapa' memelihara akses layanan kesehatan bebas biaya dan pada saat yang same mengembangkan ekonomi terbuka. Konclisi tersebut bertentangan dengan pendapat umum bahwa dengan ekonomi terbuka membuat layanan kesehatan menjadi tidak bisa disediakan. Layanan kesehatan Inggris, yang dinamai National Health Service (NHS), ditetapkan dengan National Health Act (1948). Semua jenis layanan kesehatan adalah cuma-cuma, dokter dan tenaga medis lainnya pun dibiayai oleh negara. Di setiap dukuh (country) atau di setiap kotapraja (municipalities) pasti ada layanan oleh tenaga medis umum (atau yang disebut general practitioners) dan dengan fasilitas umum (primary care). Di Indonesia dapat dianalogikan dengan Puskesmas tapi dalam jumlah yang lebih banyak dan tidak harus berupa klinik (Tim Peneliti 2008). Namun demikian, sejak awal pendirian NHS, cukup sulit untuk menjaga keseimbangan pembiayaan kesehatan di Inggris. Selain karena “penyakit juga berkembang”, tingkat konsumsi masyarakat pasti akan terus naik dengan 24



adanya layanan yang tersedia. Salah satu arsitek penting Kesejahteraan Negara Inggris, Aneurin Bevan, berujar bahwa konsumsi kesehatan adalah faktor yang membuat keseimbangan keuangan negara goyah. Jadi, yang dilakukan Inggris adalah mengembangkan model asuransi dan pemajuan ekonomi (karena biaya kesehatan adalah hasil dari revenue negara). Pengembangan ini sampai sekarang cukup berhasil. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, masalah kesehatan dan kependudukan serta tingkat konsumsi atas layanan kesehatan, maka persentase anggaran kesehatan atas GDP (Gross Domestic Product) Inggris mengalami peningkatan sejak NHS mulai ditetapkan dan berjalan. Selain dari Inggris, kita juga dapat belajar dari Kuba. Di Kuba, kebijakan kesehatan adalah sesuatu yang dianggap sangat penting sehingga pemerintahnya memastikan bahwa rakyat mendapatkan hak yang sama lalam pelayanan kesehatan. Hasilnya, angka kematian penduduknya berhasil urun dari 60 ke 14 per 1.000 dalam kurun waktu antara tahun 1954-1980) (Barker 1996). Tabel Perbandingan Model layanan Kesehatan di beberapa negara Kriteria Makro Efisiensi



General Taxation (Inggris) Global, anggaran dengan tunai terbatas Kontrol biaya kuat



Mikro Efisiensi



Biaya administrasi kecil Insentif kerja bergantung pada bentuk perpajakan



Tingkat Kesetaraan (Equity)



Mencakup seluruh warga tanpa kecuali Pembayaran terkait pajak



Pilihan



Tidak ada pilihan terkait



Social Insurance (Germany) Sistem bergantung pada permintaan kontrol yang lemah Anggaran global, kontrol biaya kuat Transparansi meningkatkan kesadaran pengguna Asuransi berlapis & dana org sakit meningkatkan biaya administrasi Pajak bagi naker Cakupan hampir universal Pembayaran terkait kemampuan membayar < atau > progresif dari sistem pembayaran pajak Pilihan sedikit 25



Private Insurance (USA) Bergantung pada permintaan Tidak ada anggaran global



Asuransi berlapis pembiayaan tinggi Asuransi berdasarkan naker menjadi tanggugan naker Ada jurang dalam hal cakupan Pungutan tergantung besarnya risiko



Banyak pilihan



(Choice) Transparansi



kontribusi Kaitan pajak pembayaran dan pengeluaran yankes



Pajak yang dipatok terkait belanja yankes



Kaitan erat antara pembayaran dengan tunjangan/ manfaat individu



Sumber : Robinson, et al. (1994) Dengan Adaptasi.



4. Kebijakan Kesehatan di Indonesia a. Reformasi Kesehatan dan Perubahan Struktur Kementerian Kesehatan Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia, 3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care. Dalam upaya pelayanan kesehatan pada tahun 2011, diutamakan pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dengan menekankan upaya promotif dan preventif. Tidak mungkin melakukan pelayanan kesehatan menunggu orang sampai jatuh sakit, karena hal itu akan menghabiskan biaya yang besar. Selain itu, juga menekankan pencegahan penyakit tidak menular yang disebabkan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat, tanpa meninggalkan pengendalian penyakit menular yang masih belum hilang. Peningkatan pelayanan kesehatan primer dan rujukan di rumah sakit daerah maupun pusat juga menjadi upaya penting lainnya. Untuk pemerataan kebutuhan tenaga kesehatan di seluruh daerah dilakukan pendataan sumber daya manusia kesehatan secara elektronik, sehingga dapat diketahui seberapa besar kebutuhan baik jumlah maupun jenisnya, dengan harapan tujuan pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan dapat dilakukan secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan SDM jangka pendek dilaksanakan program sister hospitals, yaitu program kerja sama antara rumah sakit yang lemah dengan rumah sakit yang lebih maju, sehingga terjadi proses pembelajaran tenaga kesehatan, sedangkan dalam jangka menengah, dilakukan program dokter plus yaitu dokter umum diberi keterampilan tambahan spesialis. Program dokter plus ini diutamakan di wilayah Indonesia Timur. Program jangka panjang dengan memberikan 26



beasiswa dokter dari daerah untuk mengikuti pendidikan spesialis. Sebelumnya, pendidikan dokter spesialis hanya diadakan di fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri. Nantinya, fakultas kedokteran swasta yang mempunyai kualifrkasi baik akan diperjuangkan dapat melakukan program studi spesialis. Dalam memantapkan posisi obat generik akan diupayakan peningkatan pengawasan agar mutu tetap terjaga, harga terjangkau, dan distribusi merata,



Untuk mendukung monitoring penggunaan obat generik akan



digulirkan E-logistic. Selain itu, juga diselenggarakan E-Prescription untuk mengawasi penulrsan resep obat genenk oleh dokter d1 pelayanan kesehatan Pemerintah‘ Untuk memantapkan program jaminan kesehatan dasar, diupayakan sistem pembiayaan menjadi satu sistem nasional, dengan menerapkan paket benefit dasar, perhitungan biaya dan besaran premi yang sama, baik yang dibayar PT Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dan PT Jamsostek, sehingga tidak ada perbedaan pelayanan kesehatan. Untuk mendukung program tersebut, telah ditetapkan UU tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) beserta kelengkapan dasar hukum dan pedomannya. Tahun 2011 diberlakukan program Jaminan Persalinan Uampersal) yang merupakan pelayanan paket kesehatan berupa kontrol terhadap ibu hamil (antenatal), persalinan, kontrol setelah melahiran (postnatal), dan pelayanan keluarga berencana. Paket ini berlaku untuk persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan, mulai dari Polindes, Puskesmas, dan rumah sakit pemerintah di kelas tiga tanpa ada pembatasan, sedangkan pada tahun 2012, diutamakan persalinan untuk kehamilan pertama dan kedua saja. Untuk mewujudkan keberpihakan kepada Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dalam pelayanan kesehatan, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan kementerian terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementerian Pekerjaan Umum, Tentara Nasional Indonesia, dan lembaga terkait lainnya (www.depkes.go.id)(Oktarina and Sugiharto 2011). b. Pencapaian Target MDGs dalam Pengendalian Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Revolusi KIA: Upaya yang sungguh-sungguh untuk percepatan penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara 27



yang luar biasa (Pergub NTT No. 42 Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 4). Kematian Ibu di NTT, Surkesnas 2004 dan SDKI 2007, per 100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKB di NTT: 554 -306: 248, sementara di tingkat nasional adalah sebesar: 307 228 = 79. Itu berarti NTT telah berhasil menurunkan AKI cukup besar, walaupun secara mutlak masih lebih tinggi dari AKI Nasional. Kematian bayi di NTT berdasarkan Surkesnas 2004 dan SDKI 2007 adalah sebesar 57 per 1.000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian bayi di NTT dari angka 62 per 1.000 kelahiran hidup hingga 57 per 1.000 kelahiran hidup. Artinya, penurunannya mencapai 5 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Sementara itu, pada tingkat nasional adalah sebesar 18 per 1.000 kelahiran hidup , yaitu dari 52 per 1.000 kelahiran hidup hingga 34 per 1.000 kelahiran hidup. Definisi operasional Revolusi KIA adalah semua ibu melahirkan difasilitas kesehatan yang memadai. Untuk menyukseskan revolusi KIA dibutuhkan ketersediaan RS atau fasilitas kesehatan yang memadai dan siap 24 jam; memiliki elemen SDM yang memadai dilihat dari jumlah, jenis, kualitas, dan kompetensi; memiliki peralatan, perbekalan kesehatan, bangunan, budgeting dan finance, dan sistem manajemen yang memadai. Revolusi Kesehatan lbu dan Anak (KIA) memiliki motto: “1) Persalinan di fasilitas KIA, 2) Datang satu, pulang dua; lebih juga boleh, tidak boleh satu apalagi nol, dan 3) lbu dan bayi sehat”. Tabel Kriteria Fasilltas Kesehatan yang Memadai untuk Puskesmas di NTT dalam Rangka Pelaksanaan Revolusi KIA dari Aspek SDM Jenis Jumlah Kompetensi Bidan 5 Sudah dilatih APN (termasuk BBLR, Pl, Asphixia), PPGDON, PONED Perawat 5 Sudah dilatih PONED, BBLR, PI, PGD/BCLS, Asphixia Tenaga kesehatan MasingSesuai kompetensi lainnya masing 1 Sumber: Seran, 2011 (Strategi Revolusi KIA sebagai Upaya Penurunan AKl dan AKB Melalui Program Sister Hospital Provinsi NIT. Dalam seminar: Percepatan MDG4 dan MDGS dengan Memperkuat Tindakan Preventif dan Kuratif secara Sinergis.)



Indikator Keberhasilan dalam Revolusi KIA dibagi menjadi dua bagian, pertama adalah indikator keberhasilan antara dan indikator keberhasilan akhir. Indikator keberhasilan antara: Jumlah fasilitas kesehatan yang



28



memadai, Pembuatan peraturan-peraturan yang memayungi, Jumlah ibu hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Indikator keberhasilan akhir: Penurunan kematian bayi dan ibu melahirkan sesuai dengan target yang ditetapkan, diharapkan dapat mencapai minimal sama dengan nasional atau lebih rendah dari nasional. c. Tenaga Kesehatan/Warga Negara Asing. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 317/ Menkes/ Per/ III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing di Indonesia, memuat beberapa ketentuan tentang implementas kebijakan yang membolehkan masuknya tenaga kerja warga negara asin di Indonesia. Peraturan mekanisme perizinan dan pengawasannya suda disiapkan. Hal ini perlu dicermati karena tanpa pengawasan yang memadai akan membahayakan keselamatan dan kesehatan bangsa Indonesia (Angkasawati and Laksmiarti 2014). Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan war negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah Indonesia. Pendayagunaan



TK-WNA



dipertimbangkan



sepanjang



terdapat



hubungan bilateral antara negara Republik Indonesia dengan negara asal TKWNA yang bersangkutan, dibuktikan dengan adanya hubungan diplomatik dengan Indonesia. TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki sertifikat kompetensi yang diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 3, 4, dan 5 disebutkan bahwa TK-WNA hanya dapat bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna TKWNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka kerja sosial; menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;



melaksanakan tugas



dan



pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam IMTA. Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi: (a) pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan, (b) pemberi pelayanan. 29



Dalam Pasal 11-12 disebutkan pula bahwa TK-WNA Pemberi Pelayanan hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan, harus memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun. Pasal 23 menyebutkan bahwa TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai konsekuensinya, dalam Pasal 24, diatur bahwa TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Mekanisme pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 26 menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan ini. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota



sesuai



dengan



kewenangan



masing-masing



dapat



mengambil tindakan administratif. Dalam Pasal 27, tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa (a) teguran lisan, (b) teguran tertulis, atau (c) pencabutan izin, antara lain: izin fasilitas pelayanan kesehatan, IMTA, dam/atau STR.



30



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan 1. Kesehatan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan dan memeiliki kedudukan yang penting berkaitan dengan Hak Asasi Manusia 2. Kebijakan publik adalah suatu “arahan” untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu sehingga menggerakkan seluruh sektor atau perangkat pemerintahan dan menciptakan perubahan pada kehidupan yang terkena dampak dari kebijakan tersebut. Kebijakan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri yang mengakomodasi keunikan sektor kesehatan antara lain adalah: kompleksitasnya sebagai hak dasar, consumer ignorance, uncertainty, dan eksternalitas yang tinggi. Sistem kebijakan (policy system) merupakan interaksi dari tiga ha] antara lain kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan dapat dipahami melalui telaah terhadap ketiga unsur tersebut. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia, 3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care. Hierarki kebijakan kesehatan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang seperti sistem politik; wilayah geografis otoritas pembuat kebijakan; dan isi, waktu dan prioritas penetapan kebijakan. B. Saran Analisis terhadap kebijakan kesehatan diperlukan terus menerus untuk mendapatkan drajat kesehatan setinggi-tingginya.



31



DAFTAR PUSTAKA



(1978). Declaration of Alma-Ata. International Conference on Primary Health Care, Alma-Ata, USSR, 6–12 September 1978. Geneva. Allsop, J., et al. (2004). "Health consumer groups in the UK: a new social movement?" Sociology of health & illness 26(6): 737-756. Anderson, J. E. (1984). Public policy and politics in America, Harcourt Brace. Angkasawati, T. J. and T. Laksmiarti (2014). "Regulation of Legislation in Utilization of Foreign Health Workers (FHW) in Indonesia." Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 17(4 Okt): 337-344. Assembly, U. G. (1948). "Universal declaration of human rights." UN General Assembly. Assembly, U. G. (1966). "International covenant on economic, social and cultural rights." United Nations, treaty series 993(3). Ayuningtyas, D. (2014). "Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik." Jakarta: RajaGrafindo Persada. Baggott, R. (2004). Health and health care in Britain, Palgrave Macmillan. Barker, C. (1996). The health care policy process, Sage. Baum, F. (2007). "Health for All Now! Reviving the spirit of Alma Ata in the twentyfirst century: An Introduction to the Alma Ata Declaration." Social Medicine 2(1): 34-41. Callahan, D. (1973). "The WHO definition of'health'." Hastings Center Studies: 77-87. Contoyannis, P. and A. M. Jones (2004). "Socio-economic status, health and lifestyle." Journal of health economics 23(5): 965-995. Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice, Cornell University Press. Dunn, W. N. (2015). Public policy analysis, Routledge. Dunn, W. N. and B. Holzner (1988). "Knowledge in society: Anatomy of an emergent field." Knowledge in Society 1(1): 3-26. Dye, T. R. (1992). Understanding public policy [by] Thomas R. Dye. Easton, D. (1965). "A framework for policy analysis." AA Knopf, New York 110. 32



Friedrich, C. J. (1940). "Public policy and the nature of administrative responsibility." Public: 3-24. Fry, D. and A. Zask (2016). "Applying the Ottawa Charter to inform health promotion programme design." Health promotion international: daw022. Haskell, W. L., et al. (2009). "Physical activity: health outcomes and importance for public health policy." Preventive medicine 49(4): 280-282. Huber, M., et al. (2011). "How should we define health?" BMJ 343. Hunter, D. J. (2003). Public health policy, Polity Press Cambridge. i Casasnovas, G. L., et al. (2005). Health and economic growth: findings and policy implications, Mit Press. Indonesia, R. (2009). "Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan." Jakarta: Republik Indonesia. Kesternich, I., et al. (2014). "The effects of World War II on economic and health outcomes across Europe." Review of Economics and Statistics 96(1): 103118. Lawn, J. E., et al. (2008). "Alma-Ata 30 years on: revolutionary, relevant, and time to revitalise." The Lancet 372(9642): 917-927. Lee, M.-S. (2015). "The principles and values of health promotion: building upon the Ottawa charter and related WHO documents." Korean Journal of Health Education and Promotion 32(4): 1-11. Mak, W., et al. (2015). "Physical health needs, lifestyle choices, and quality of life among people with mental illness in the community." Hong Kong Med J 21(6 Supplement 6). Marmot, M. (2005). "Social determinants of health inequalities." The Lancet 365(9464): 1099-1104. Melchiorre, M. G., et al. (2013). "Social support, socio-economic status, health and abuse among older people in seven European countries." PloS one 8(1): e54856. Morsink, J. (2016). Universal Declaration of Human Rights and the Challenge of Religion, University of Missouri Press. Murray, C. J. and A. D. Lopez (1996). "Evidence-based health policy--lessons from the Global Burden of Disease Study." Science 274(5288): 740. Myrdal, G. (1970). "The Challenge Of The World Poverty."



33



Navarro, V. (1984). "A critique of the ideological and political positions of the Willy Brandt Report and the WHO Alma Ata Declaration." Social Science & Medicine 18(6): 467-474. Nugroho, R. (2003). "Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi." Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Oktarina, O. and M. Sugiharto (2011). "PEMENUHAN KEBUTUHAN TENAGA KESEHATAN PENUGASAN KHUSUS DAN TENAGA PTT DI DAERAH TERPENCIL PERBATASAN DAN KEPULAUAN (DTPK) TAHUN 2010." Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 14(3 Jul). Oliver, S. (2006). "Leadership in health care." Musculoskeletal care 4(1): 38. Organization, W. H. (1986). "Health and Welfare Canada, Canadian Public Health Association." Ottawa charter for health promotion: 425-430. Organization, W. H. (2001). The World Health Report 2001: Mental health: new understanding, new hope, World Health Organization. Organization, W. H. and W. H. Organization (1978). "Alma Ata Declaration." Geneva: World Health Organization. Parker, R. S., et al. (1996). "The new independent inventor: implications for corporate policy." Review of Business 17(3): 7. Prince, M., et al. (2007). "No health without mental health." The Lancet 370(9590): 859-877. Puybaret, E. (2008). Universal declaration of human rights, United Nations Publications. Renteln, A. D. (2013). International human rights: universalism versus relativism, Quid Pro Books. RI, D. H. d. H. (1999). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia." Roden, J. and L. Jarvis (2012). "Evaluation of the health promotion activities of paediatric nurses: Is the Ottawa Charter for Health Promotion a useful framework?" Contemporary nurse 41(2): 271-284. Saul, B., et al. (2014). The international covenant on economic, social and cultural rights: commentary, cases, and materials, OUP Oxford. Shephard, R. J. (1997). Aging, physical activity, and health, Human Kinetics Publishers.



34



Smith, J. P. (1999). "Healthy bodies and thick wallets: the dual relation between health and economic status." The journal of economic perspectives: a journal of the American Economic Association 13(2): 144. Starfield, B. (1998). Primary care: balancing health needs, services, and technology, Oxford University Press, USA. Tim Peneliti, P. (2008). Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, Jakarta: Universitas Paramadina. Vatcharavongvan, P., et al. (2014). "What are the health needs, familial and social problems of Thai migrants in a local community in Australia? A focus group study." Journal of Immigrant and Minority Health 16(1): 143-149. Walt, G. (1994). "Health policy: an introduction to process and power." Walt, G. and L. Gilson (1994). "Reforming the health sector in developing countries: the central role of policy analysis." Health policy and planning 9(4): 353-370. White, K. L., et al. (1977). "Health services: concepts and information for national planning and management. Experiences based on the WHO/International Collaborative Study of Medical Care Utilization." Publ. Hlth Papers(67).



35