Makalah Rinitis Alergi Lengkap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FARMAKOTERAPI LANJUTAN RINITIS ALERGI



OLEH KELOMPOK 4 : 1. NIMBAR ARASTI



(O1A1 14 030)



2. YUGO ADE ANUGRAH T.P. (O1A1 14 108) 3. BRIGITA ANUGRAH



(O1A1 14 128)



4. SARMITA



(O1A1 14 164)



5. ZUHRI RESTU AMALIA



(O1A1 14 140)



6. SINAR AYU FARIDA



(O1A1 14 162)



7. YUNITA BUNGALANGAN



(O1A1 14 136)



8. ANDI SRI INDAH SARI



(O1A1 14 165)



JURUSAN FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017



1



KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusundapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita semua Nabi Muhammad SAW. Makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan bagi pembaca yang arif tentang penyakit Rinitis Alergi. Tidak lupa penyusunmengucapkan terima kasih kepada berbagai pihakyang telah membantu dalam menyusun makalah ini. Penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penyusun harapkan untukmakalah selanjutnya.Semoga Allah SWT selalu melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya untuk kita semua. Akhir kata semoga tulisan ini bermanfaat bagi kami sebagai penyusun dan bagi pembaca. Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh



Kendari,



Februari 2017



Penyusun



2



DAFTAR ISI



HALAMAN SAMPUL............................................................................................ KATA PENGANTAR........................................................................................................ DAFTAR ISI..................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. A. Latar Belakang.......................................................................................................... B. Rumusan Masalah..................................................................................................... C. Tujuan........................................................................................................................ D. Manfaat..................................................................................................................... BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... A. Perkembangan Penyakit Rinitis Alergi...................................................................... B. Definisi Rinhitis Alergi.............................................................................................. C. Tanda Dan Gejala Penyakit Rinitis Alergi................................................................. D. Patofisiologis............................................................................................................. E. Diagnosis................................................................................................................... F. Tata Laksana Terapi.................................................................................................... G. Monitoring Dan Komunikasi, Informasi Dan Edukasi.............................................. H. Studi Kasus Rinitis Alergi......................................................................................... BAB III PENUTUP........................................................................................................... A. Kesimpulan............................................................................................................... B. Saran.......................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................



3



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi, terganggu oleh manifestasi alergi primer, rinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rinitis alergi, baik langsung maupun tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan alergi. Rinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membrane hidung yang ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala seperti bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung, reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, secret hidung cair, bersin-bersin, dan gatal pada hidung dan mata. Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama decade terakhir. Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak. Sebagai konsekuensinya, rhinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-ekonomi, rhinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Diagnosis rhinitis alergi melibatkan anamnesa dan



4



pemeriksaan klinis yang cermat, local dan sistemik khususnya saluran nafas bawah.



B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan penyakit Rinitis Alergi di Indonesia? 2. Apakah yang dimaksud dengan Rinitis Alergi? 3. Bagaimana tanda dan gejala penyakit Rinitis Alergi? 4. Bagaimana patofisiologis penyakit Rinitis Alergi? 5. Bagaimana diagnosis penyakit Rinitis Alergi? 6. Bagaimana tata laksana terapi untuk penyakit Rinitis Alergi? 7. Bagaimana monitoring dan komunikasi, informasi dan edukasi untuk penyakit Rinitis Alergi? 8. Bagaimana studi kasus Rinitis Alergi? C. TUJUAN Tujuan pada makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui perkembangan penyakit Rinitis Alergi di 2. 3. 4. 5. 6.



Indonesia. Untuk mengetahui pengertian Rinitis Alergi. Untuk mengetahui tanda dan gejala penyakit Rinitis Alergi. Untuk mengetahui patofisiologis penyakit Rinitis Alergi. Untuk mengetahui diagnosis penyakit Rinitis Alergi. Untuk mengetahui tata laksana terapi untuk penyakit Rinitis



Alergi. 7. Untuk mengetahui monitoring dan komunikasi, informasi dan edukasi untuk penyakit Rinitis Alergi. 8. Untuk mengetahui studi kasus Rinitis Alergi. D. MANFAAT Manfaat pada makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Mahasiswa dapat meningkatkan pemahaman tentang penyakit Rinitis Alergi baik pengertian, tanda dan gejala, patofisiologis, diagnosis, tata laksana terapi maupun monitoring dan KIE. 2. Mahasiswa dapat mengkaji studi kasus tentang penyakit Rinitis Alergi. BAB II PEMBAHASAN



5



A. Perkembangan Penyakit Rinitis Alergi Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%. Valovirta dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien rinitis alergi menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar 3-5% dari total populasi. Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5% (Huriati dan Al Hafis, 2015). Prevalensi Kasus Rhinitis Alergi Di Sulawesi Tenggara (RS. Bahteramas) 



Rawat Jalan



Tabel 1. Kasus Rinitis Alergi Rawat Jalan Tahun 2014



6



Tabel 2. Kasus Rinitis Alergi Rawat Jalan Tahun 2015 dan 2016







Rawat Inap



Tabel 3. Kasus Rinitis Alergi Rawat Inap Tahun 2014



Tabel 3. Kasus Rinitis Alergi Rawat Inap Tahun 2015



7



Tabel 3. Kasus Rinitis Alergi Rawat Inap Tahun 2016



B. Definisi Rinitis Alergi Rinitis alergi didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung yang ditandai oleh bersin, rinorea, dan obstruksi (sumbatan) pengeluaran cairan hidung, dapat terkait dengan gatal konjungtivadan faring, lakrimasi serta sinusitis (ISO Farmakoterapi, 2011). Menurut WHO ARIA (AllergicRhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.



Gambar 1. Alergen penyebab Rintis Alergi



8



1. ANATOMI HIDUNG 1.1 Anatomi Hidung Luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.



Gambar 2. Anatomi Hidung Luar



1.2 Anatomi Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang



9



memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.



Gambar 3. Anatomi Hidung Dalam



a. Septum Nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.



1) Kavum Nasi Kavum nasi terdiri dari :  Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 



Atap hidung



10



Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 



Dinding Lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina







perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian



superior dan palatum. 2) Meatus superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.(2) 3) Meatus media Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus 11



etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum. 4) Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril. 5) Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut 12



terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet. 6) Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.



Gambar 5. Kompleks Ostiomeatal



1.3 Vaskularisasi Rongga Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. 13



Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahandari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.Plexus Kiesselbachmerupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior. Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.



Gambar 6. Vaskularisasi Rongga Hidung



1.4 Persarafan Rongga Hidung Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya mendapatpersarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervusnasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatisberasal dari ganglion cervical superior.Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi.Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiapsel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendirmeliputinya untuk melembabkan rongga hidung.



14



Gambar 7. Persarafan Rongga Hidung



C. TANDA DAN GEJALA Gejala rinitis alergi berupa bersin (5-10 kali berturut-turut), rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa lelah. Rinitis alergi menjadi masalah kesehatan global yang menyerang 5-50% penduduk. Anak dan dewasa muda dengan rinitis alergi mengalami gangguan aktifitas fisik, maupun sosial dan terjadi perasaan mental tidak sehat (Harsono, 2007). D. PATOFISIOLOGI Pemaparan polen dan alergen lain pada mukosa hidung orang yang tersensitisasi menyebabkan pelepasan IgE yang merangsang sel mast, yang berikutnya melepaskan mediator-mediator yang menyebabkan hiperemia mukosa, bengkak dan mengeluarkan cairan. Inflamasi permukaan mukosa hidung mempermudah penetrasi alergen ke jaringan lebih dalam yang merupakan tempat kontak dengan sel mas perivenular. Sumbatan ostia sinus dapat mengakibatkan sinusitis sekunder dengan atau tanpa infeksi bakteri (ISO Farmakoterapi, 2011). Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4



15



jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.



Gambar 8. Proses reaksi alergi



Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) 16



terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).



Gambar 9. Reaksi Alergi



Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat 17



peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi. Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan. Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi: 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.



18



2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi: 1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu. 2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas. E. DIAGNOSIS Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. 2. Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan 19



nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test perkutan. 4. Rinoskopi anterior atau Endoskopi nasal Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan cermin dapat memberikan informasi penting mengenai kondisi fisiologis pasien. Sementara endoskopi nasal dibutuhkan untuk mengidentifikasi gejalagejala lain dari rinitis seperti polip hidung dan abnormalitas anatomik lainnya. Kedua metode diagnosa di atas sering digunakan untuk penegakan diagnosis pasien yang diduga menderita rinitis alergi persisten. 5. Skin test



20



Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergenspesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh. 6. Nasal challenge test Test ini dilakukan ketika pasien diduga menderita rinitis alergi tipe occupational. Test ini juga akan mengidentifikasi sensitivitas pasien terhadap faktor pemicu tertentu secara spesifik. F. PENATALAKSANAAN TERAPI RINITIS ALERGI



Gambar 10. Tatalaksana Terapi Rinitis Alergi



a. Tujuan terapi 1) Meningkatkan kualitas tidur 2) Meningkatkan performa pasien di tempat kerja atau sekolah 21



3) Menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu aktivitas 4) Menghilangkan atau meminimalkan efek samping terapi



b. Guidelines Terapi ARIA (Allergic Rhinitis and lts Impact on Asthma) (2000) ditentukan berdasarkan frekuensi terjadinya gejala dan HRQL pasien.



Terapi kombinasi AH dan ICS disebutkan dalam guidelines ARIA sebagai terapi untuk RA sedang- berat persisten. Secara teori, terapi kombinasi dapat dibenarkan dari mekanisme kerja yang berbeda dari obat- obat yang digunakan, dengan efek yang lebih cepat dari AH, yang bekerja terhadap fase segera ( bersin, gatal, rinore cair), dan efek ICS yang lebih berperan pada fase lambat, yang banyak didominasi oleh peradangan dan hidung tersumbat. Pada praktek rutin, terapi bertahap lebih dianjurkan, dengan mempertimbangkan hasil clinical trial, pilihan pasien, dan kondisi toleransi yang sebenarnya. AH dianggap sebagai terapi RA lini pertama,



22



sedangkan ICS lebih cocok digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan gejala yang tidak terkontrol. Menurut koreksi guidelines ARIA terbaru, ICS sangat direkomendasikan sebagai terapi untuk RA ( bukti penelitian kuat yang terpublikasi) dan sebagai tambahan pada terapi AH baik pada RA musiman maupun sepanjang tahun. Walaupun ICS dan AH menguntungkan untuk mengurangi semua gejala RA, namun AH lebih sering dipilih sebagai monoterapi oleh dokter untuk mengobati segala jenis rhinitis ( kecuali pada rhinitis yang parah, dimana persentasenya sama dengan jenis sedang pada penyakit tersebut). c. Strategi terapi (farmakologi dan non-farmakologi) 1) Terapi non-farmakologi Salah satu terapi alergi adalah pencegahan dengan cara: a) Sedapat mungkin hindari alergen b) Pada saat membersihkan rumah (termaksud menyapu lantai), gunakan masker atau saputangan untuk menutup hidung. c) Sedapat mungkin gunakan alat pendingin ruangan (AC) di mobil atau di rumah. Alat ini dapat menyaring udara dari debu (salah satu faktor memicu timbulnya rhinitis) d) Jangan memasukan hewan peliharaan ke dalam rumah. Mandikan hewan tersebut setiap hari agar tubuhnya senantiasa bersih. e) Bila memungkinkan, ganti kain gorden dengan tirai. Cuci sprei, selimut, dan sarung bantal secara berkala dengan air hangat. f) Upaya mengatasi gejala alergi pada hidung dapat membantu meredakan gejala alergi pada mata. g) Jalani pengobatan sedini mungkin dan minum obat-obat secara rutin. (MIMS, 2016) 2) Terapi farmakologi Tujuan terapi farmakologi untuk rinitis alergi adalah mencegah dan mengurangi atau meminimalkan gejala. Obat-obat yang digunakan antara lain adalah: antihistamin, dekongestan nasal, kortikosteroid nasal, antikolinergik dan golongan kromolin.



23



Obat-obat yang digunakan 1. Terapi Lini Pertama Rhinitis Alergi a. Antihistamin Alergi rhinitis, seperti semua reaksi alergi, dapat menyajikan dua tahap. Tahap pertama, dikenal sebagai fase langsung, terjadi dalam beberapa menit setelah stimulus antigenik, dan tahap kedua, dikenal sebagai akhir, atau inflamasi. Fase ini, terjadi dalam waktu empat sampai delapan jam setelah stimulus. Fase tersebut terjadi karena adanya mediator kimia,. Histamin adalah mediator utama melalui degranulasi mastocytes dan basofil. Histamin adalah mediator utama yang bertanggung jawab untuk munculnya gejala karakteristik rhinitis alergi, seperti bersin berurutan, rhinorrhea dan hidung pruritus / obstruksi. Ini pertama kali diidentifikasi di laboratorium oleh Windaus dan Vogt pada tahun 1907, dan sejak itu, penelitian telah dimulai dalam mencari obat untuk mencegah dampaknya. Reseptor histamin dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok (H1, H2, H3 dan H4), yang berbeda satu sama lain, transduksi sinyal dan fungsi, yang terakhir kurang penting. Semua reseptor histamin memiliki G-protein dan pasangan reseptor. Reseptor G-protein pada posisi H1, dikodekan oleh kromosom 3, bertanggung jawab untuk berbagai gejala penyakit alergi, seperti rhinorrhea, bronkokonstriksi dan kontraksi otot gastrointestinal. Antihistamin telah disintesis dan diperkenalkan dalam pengobatan rhinitis alergi selama lebih dari 50 tahun, yang disebut generasi pertama, yang pokok efek samping adalah mengantuk. Tersedia di pasar, dan di antara mereka yang disediakan oleh Sistem Kesehatan Bersatu yang hydroxyzine, berasal dari Piperazine, dan dextrochloropheniramine, berasal dari alkylamines. Dari tahun 1970 dan seterusnya, penelitian telah menyebabkan penemuan dari antihistamin baru dengan efek



24



samping yang lebih sedikit, seperti loratadine, cetirizine, levocabastine, azelastine, epinastine, ebastine dan fexofenadine. Generasi baru antihistamin oral seperti Cetirizine, fexofenadine, loratidine dan azelastine topikal sebagian besar bebas dari efek penenang antikolinergik dari antihistamin klasik dan memiliki durasi yang lebih lama. Baik oral maupun topikal antihistamin yang baru lebih direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pengobatan ringan sampai sedang rhinitis alergi (Ibiapina, dkk, 2008). Cetirizine mempunyai keunggulan dibandingkan antihistamin lain



karena



mempunyai



efek



antiinflamasi,



terutama



melalui



penghambatan proses kemotaksis sel inflamasi. Hasil studi ETCA juga menunjukkan cetirizine mempunyai efektivitas yang tinggi dengan efek samping yang minimal (Helmy M., dan Zakiudin M., 2007). b. Kortisteroid Intranasal Kortikosteroid intranasal merupakan obat antiinflamasi pilihan menerus dari rhinitis alergi sejak awal 1990-an. Efek samping sistemik tidak terdeteksi bila digunakan dalam dosis yang dianjurkan. Selain itu, penggunaan dosis harian pagi telah meminimalkan dampak potensial pada hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis. Pengaruh kortikosteroid intranasal untuk mengurangi peradangan pada mukosa hidung, yang menyebabkan peningkatan obstruksi hidung, pruritus dan bersin, serta dari rhinorrhea. Perlu dicatat bahwa kemudahan penggunaan obat dan kepatuhan memiliki efek yang besar untuk pengobatan. Kortikosteroid intranasal merupakan terapi lini pertama untuk AR sedang-berat. Tersedia steroid intranasal sekali sehari adalah triamcinolone acetonide, budesonide, fluticasone dan mometason. Obat tersebut mempengaruhi mekanisme inflamasi dari proses awal alergi dan fase akhir alergi dan efektif dalam mengendalikan gejala 25



AR. Efek samping sistem penghantaran terkait seperti freon yang diberikan dalam bentuk aerosol dapat menyebabkan perdarahan, pengeringan dan pengerasan kulit dari mukosa hidung. Anak-anak harus mendapatkan dosis terendah dari intranasal kortikosteroid. Efek samping sistemik dari kortikosteroid tidak banyak masalah sistem penghantaran hanya lokal. Namun, beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara posterior katarak subkapsular, glaukoma dan kortikosteroid intranasal (Ibiapina, dkk, 2008). Kortikosteroid intranasal memiliki keunggulan yang nyata dalam pengobatan RA. Obat ini lebih unggul dibandingkan dengan antihistamin.



Pemberian



kortikosteroid



secara



topikal



dapat



mengurangi dosis yang dibutuhkan dan mengurangi efek samping. Efek samping ini biasanya ringan dan akan hilang dengan sendirinya. Kortikosteroid intranasal sangat efektif dalam menghilangkan gejala RA seperti bersin, rasa gatal, hidung berair, dan hidung tersumbat. Efek terapi mulai kelihatan pada hari kedua sampai ketiga pengobatan dengan puncaknya pada minggu kedua sampai ketiga. Oleh karena gejala RA didahului oleh proses alergi dan hipereaktivitas, terapi KSIN sebaiknya diberikan sebelum gejala timbul. Akan tetapi jika diberikan segera setelah timbulnya reaksi terhadap alergi, obat tersebut dapat juga mencegah berlanjutnya inflamasi dan mencegah timbulnya gejala. Biasanya pada permulaan terapi sering dikombinasikan dengan antihistamin (Simbolon dkk, 2006). 2. Terapi Lain Untuk Pengobatan Rhinitis Alergi a. Decongestan Dekongestan mengurangi hidung tersumbat dengan mengaktifkan reseptor α-adrenergik pada pembuluh hidung yang mengebabakan vasokonstriksi, menciutkan mukosa hidung yang membengkak dan



26



memperbaiki pernapasan. Kombinasi pseudoefedrin dan antihistamin telah ditemukan secara signifikan lebih efektif dalam mengurangi jumlah gejala hidung dari agen alergi (Bhanwra, 2011). b. Disodium kromoglikat Disodium kromoglikat, yang menstabilkan mastocytes, dapat digunakan dalam pengobatan rhinitis alergi dan mempunyai efek samping minimal. Namun, keberhasilan adalah sederhana. Dalam sebuah studi yang mengevaluasi efektivitas obat ini, mengamati bahwa kromoglikat lega rhinorrhea dan hidung pruritus jika dibandingkan dengan plasebo, meskipun perbedaan antara kelompok yang menerima obat dan kelompok yang menerima plasebo secara statistik tidak signifikan. Namun, bersin dan sumbatan hidung secara signifikan lega setelah pemberian kromoglikat. Obat ini bekerja dengan menghambat degranulasi dari sel mast dan mencegah pelepasan histamin dan mediator lain dari respon alergi. Itu harus diberikan 4 kali sehari dan digunakan untuk profilaksis. Salah satu keterbatasan penggunaan dinatrium kromoglikat adalah perlunya untuk mengatur dosis empat kali sehari, yang akhirnya akan mengarah ke kurang kepatuhan dalam jangka panjang. Sangat menarik bahwa penggunaan dinatrium kromoglikat bisa menjadi pilihan dalam kasus ringan (Ibiapina, dkk, 2008). c. Leukotriene reactor antagonists Leukotrien merupakan mediator penting dari reaksi alergi hidung yang terlibat di kedua fase, awal dan akhir fase respon alergi. Penelitian telah menunjukkan bahwa montelukast adalah efektif, seefektif antihistaminic dan menggunakan kedua fexofenadine dan montelukast menunjukkan kontrol secara signifikan lebih baik dari hidung 27



tersumbat,



menunjukkan



bahwa



reseptor



leukotrien



kombinasi



antagonist- antihistamin lebih efektif daripada antihistamin saja dalam pengendalian gejala rhinitis alergi tetapi kurang unggul disbanding intranasal kortikosteroid dalam menangani rhinitis alergi seasonal (Bhanwra, 2011). d. Imunoterapi Imunoterapi subkutan (SCIT) diindikasikan untuk pengobatan AR, pada pasien yang terus memiliki gejala sedang-parah. Tetapi obat ini hanya efektif jika allergen spesifiknya diketahui. Obat injeksi ini mengandung zat-zat allergen dianggap dapat memicu timbulnya gejala alergi. Imunoterapi diindikasikan bagi pasien yang tidak mempan terhadap farmakoterapi yang diberikan, sulit melakukan penghindaran allergen dan tersedia dalam ekstrak allergen yang sesuai. Imunoterapi di kontraindikasikan bagi pasien yang menderita asma yang tidak stabil, penyakit paru atau kardiovaskuler yang berat, penyakit autoimunitas dan kanker serta ibu hamil, karena beresiko menyebabkan anafilaksis sistemik pada janin (Bhanwra, 2011). e. Anti-IgE antibodies Produksi IgE adalah mekanisme utama reaksi hipersensitivitas pada pasien dengan rhinitis alergi. Berinteraksi dengan reseptor afinitas rendah dan tinggi. Penggunaan monoklonal anti-IgE antibodi belum disetujui untuk pengobatan rhinitis alergi, meskipun uji klinis telah mengungkapkan kemanjurannya (Bhanwra, 2011).



G. MONITORING DAN KIE



28



1. Monitoring Penyakit Rinitis Alergi Monitoring terhadap gejala yang menyertai rhinitis alergi, jika gejalanya terkontrol tetapi efek samping tidak dapat diterima maka dosis dapat disesuaikan atau diganti dengan obat lain yang masih satu golongan terapi.Jika gejala tidak terkontrol amati kepatuhan pasien terhadap terapi.Dilakukan monitoring terhadap penggunaan obat selama 3-5 hari. Monitoring gejala dan ESO. 2. KIE Pasien Dengan Penyakit Rinitis Alergi Memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien, memberikan pengertian kepada pasien untuk menghindari alergen (debu, bulu binatang, serbuk bunga) agar rhinitis alergi tidak terjadi.Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan (Ibiapina, dkk, 2008). H. STUDI KASUS RHINITIS ALERGI Seorang pasien bernama ike kusmita dewi mengalami rhinore sejak 1 bulan yang lalu, bersifat encer dan berwarna putih. Obstruksi nasi saat dingin dan di sertai bersin-bersin dan tidak memiliki riwayat alergi. Berdasarkan pemeriksaan fisik mukosa konka hipertrofi, konka kongesti, konka hiperemis positif dan deviasi septum negatif. Di diagnosis rhinitis alergi. Diberikan efedrin hcl, crofed 2x1, cetrizine 1x1, dan metyl petnisolone 3x 4.



BAB III PENUTUP 29



A. KESIMPULAN 1. Perkembangan Rhinitis di Indonesia cenderung meningkat dengan cepat. Hal ini dapat di lihat berdasarkan data prevalensi rinitis alergi di Indonesia yang berasal dari beberapa sentra pendidikan spesialis THTKL, prevalensi rinitis alergi di sekitar Jakarta pada usia dibawah 14 tahun adalah 10,2%. Pada unit rawat jalan Alergi Imunologi THT RS dr Wahidin Sudirohusodo Makassar selama 2 tahun (2004 –2006) didapatkan 64,4% pasien rinitis alergi dari 236 pasien yang menjalani tes cukit kulit. Di Kota Semarang, dengan menggunakan kuesioner ISAAC fase III tahun 2002 pada siswa SMP usia 12 – 15 tahun, diperoleh prevalensi rinitis alergi sebesar 18,6%. 2. Rhinitis Alergi adalah inflamasi pada hidung yang ditandai dengan rinorea dan obstruksi (sumbatan) pengeluaran cairan hidung; dapat terkait dengan gatal konjuktiva dan faring, lakrimasi serta sinusitis. 3. Tanda dan gejala rhinitis alergi yaitu gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin, obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang) selama lebih dari satu hari. 4. Patofisiologi Rhinitis alergi yaitu pemaparan polen dan allergen lain pada mukosa hidung orang yang tersensitisasi menyebabkan pelepasan IgE yang merangsang sel mast, yang berikutnya melepaskan mediatormediator yang menyebabkan hyperemia mukosa, bengkak dan mengeluarkan cairan. Inflamasi permukaan mukosa hidung mempermudah penetrasi allergen kejaringan lebih dalam yang merupakan tempat kontak dengan sel mas perivenular. Sumbatan ostia sinus dapat mengakibatkan sinusitis sekunder dengan atau tanpa infeksi bakteri. 5. Diagnosis Rhinitis Alergi yaitu a. Pemeriksaan fisik : mukosa nasal mungkin berair atau merah (eritema), mungkin ada polip; konjungtiva mungkin inflamasi atau edema; manifestasi kondisi alergi lain (seperti asma, eksim) dapat terjadi b. Tes kulit (Skin test) terhadap Ag yang terhisap atau termakan



30



c. Apus nasal (Nasal smear) dapat merangsang pelepasan sejumlah besar eosinofil; terdapatnya neutrofil d. Total dan spesifik serum IgE mungkin meningkat 6. Tatalaksana Terapi Rhinitis Alergi dapat dilakukan dengan dua terapi yaitu terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan menghindari paparan allergen yang terdapat pada lingkungan sekitas dan terapi farmakologi dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan. 7. Monitoring penyakit rhinitis alergi dilakukan terhadap penggunaan obat selama 3-5 hari dan memonitoring gejala terhadap rhinitis alergi dan efek samping dari penggunaan obat. KIE penyakit rhinitis alergi yaitu memberikan informasi tentang obat kepada keluarga dan pasien, memberikan pengertian kepada pasien untuk menghindari alergen (debu, bulu binatang, serbuk bunga) agar rhinitis alergi tidak terjadi.Memberikan informasi, instruksi dan peringatan kepada pasien tentang efek terapi obat dan efek samping yg mungkin timbul selama pengobatan 8. Seorang pasien bernama ike kusmita dewi mengalami rhinore sejak 1 bulan yang lalu, bersifat encer dan berwarna putih. Obstruksi nasi saat dingin dan di sertai bersin-bersin dan tidak memiliki riwayat alergi. Berdasarkan pemeriksaan fisik mukosa konka hipertrofi, konka kongesti, konka hiperemis positif dan deviasi septum negatif. Di diagnosis rhinitis alergi. Diberikan efedrin hcl, crofed 2x1, cetrizine 1x1, dan metyl petnisolone 3x 4. B. SARAN Saran dari makalah ini yaitu diharapkan kepada mahasiswa agar dapat mengaplikasikan mata kuliah Kimia Medisinal dalam bidang Farmasi dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA



31



Bhanwara, S. 2011. Management of Allergic Rhinitis. International Journal of Pharma and Bio Sciences. Volume 2 (1). Bosquet J., dkk. 2008. World Health Organization Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA). Supp. 86: 8-160. Helmy, M., dan Zakiudin, M. 2007. Pemakaian Cetirizine dan Kortikosteroid pada penyakit Alergi Anak. Jurnal Kedokteran dan Farmasi. Volume 20 (2). Huriyati, E. Dan Al Hafiz. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang Disertai Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Ibiapina, C.d.C., Emanuel, S.C.S., Paulo, A.M.C. 2008. Allergir Rhinitis: Epidemiological Aspects, Diagnosis adn Treatment. J Bras Pneumol. Volume 34(4): 230-240. MIMS. 2016. MIMS Petunjuk Konsultasi Indonesia Edisi 15. Jakarta. PT. Medidata Indonesia. Pradipta, E.A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Penerbit Media Aesculapius. Simbolon, B.P., Sjabaroeddin, L., Lily, I. 2006. Penggunaan Kortikosteroid Intranasal Dalam Tata Laksana Rinitis Alergi pada Anak. Sari Pediatri. Volume 8 (1). Sukandar, E.Y., dkk. 2011. ISO Farmakoterapi. Jakarta. ISFI Penerbitan.



32