Makalah Spinal Cord Injury (Kelompok 2, A2, A15) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH E-LEARNING Mata Kuliah Keperawatan Neurobehaviour I “Spinal Cord Injury”



Dosen Pembimbing : Praba Diyan Rachmawati, S.Kep.Ns.M.Kep



Kelompok 2: 1. Umi Nafiatul Hasanah 2. Damai Widyandari 3. Nensi Nur Asipah 4. Fifa Nasrul Ummah 5. Bunga Novia Hardiana 6. Elly Ardianti 7. May linda Fitriana 8. Niswatus Sa’ngadah 9. Oktiana Duwi Firani 10. Ririn Arianta 11. Alip Nur Apriliani 12. Lilik Choiriyah 13. Ika Septiana Arum Permata Devy 14. Ni Komang Ayu Santika 15. Prisdamayanti Ayuningsih 16. Heny Oktora Safitri



(131511133053) (131511133054) (131511133055) (131511133056) (131511133057) (131511133058) (131511133059) (131511133060) (131511133061) (131511133062) (131511133063) (131511133064) (131511133065) (131511133066) (131511133067) (131511133068)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2016 DAFTAR ISI Cover....................................................................................................................i



Daftar Isi..............................................................................................................ii Kata Pengantar...................................................................................................iii BAB I Pendahuluan 1.1.....................................................................................Latar



belakang



..........................................................................................................1 1.2................................................................................Rumusan masalah ..........................................................................................................2 1.3..................................................................................................Tujuan ..........................................................................................................2 BAB II Kajian Pustaka 2.1 Definisi Spinal Cord Injury..............................................................3 2.2 Etiologi Spinal Cord Injury..............................................................4 2.3 Manifestasi klinis Spinal Cord Injury...............................................6 2.4 Penatalaksanaan etiologi Spinal Cord Injury..................................14 2.5 Web Of Causation Spinal Cord Injury............................................20 BAB IV Asuhan Keperawatan 3.1...............Asuhan keperawatan pada klien dengan Spinal Cord Injury ........................................................................................................21 3.1.1 Pengkajian.............................................................................21 3.1.2 Diagnosa keperawatan...........................................................24 3.1.3 Intervensi keperawatan..........................................................25 3.1.4 Implementasi keperawatan....................................................27 3.1.5 Evaluasi keperawatan............................................................30 BAB IV Penutup 4.1 Kesimpulan....................................................................................32 Daftar Pustaka...................................................................................................33



Kata Pengantar



Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami haturkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah E-Learning Keperawatan Neurobehaviour I. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Keperawatan Neurobehaviour I tentang spinal cord injury. Materi yang dibahas dalam makalah ini sangat penting dalam ilmu keperawatan karena spinal cord injury spinalis adalah cedera pada tulang belakang yang dapat menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologik. Kami membuat makalah ini bertujuan untuk memberi inovasi pembelajaran tentang spinal cord injury. Kami membuat makalah ini dengan semaksimal mungkin dan telah mendapatkan materi dari berbagai sumber sehingga dapat memperlancar pembuatannya. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada



Ibu Praba Diyan Rachmawati,



S.Kep.Ns.M.Kep selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Keperawatan Neurobihaviour I, serta teman-teman yang telah berkonstribusi dalam penyusunan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan lapang dada kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini sehingga dapat menjadi referensi bagi pembaca khususnya dalam mata kuliah Keperawatan Neurobehaviour I. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk orang lain dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca. Surabaya, 19 Oktober 2016



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Pada era yang telah maju dan berkembang saat ini sangat mudah dan banyak terjadi kecelakaan kerja atau bahkan kecelakaan lalu-lintas yang dapat menciderai tulang belakang manusia. Cidera pada tulang belakang sering disertai dengan lesi atau cidera pada medulla spinalis (spinal cord injury). Lesi pada spinal cord dapat menyebabkan gangguan neurologis berupa parese atau plegi, tergantung dari tingkat lesi, yang dapat menyebabkan seorang kehilangan kemampuan untuk transfer dan ambulasi karena kelemahan atau bahkan kelumpuhan tungkai atau kaki dan tangannya sekaligus (George dkk, 2011). Data tahun 2007, jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia mencapai 37 ribu jiwa meninggal dan lebih dari 2,5 juta mengalami cedera, seperti SCI dan bahkan cacat permanen. Sedangkan di Amerika Serikat, dari data pusat penelitian The National Spinal Cord Injury, (2001) menyebutkan, terdapat 10.000 kasus baru setiap tahun. Penyebabnya hampir serupa seperti di Indonesia yaitu kecelakaan kendaraan bermotor. SCI merupakan cedera yang terjadi pada myelopathy atau kerusakan sistem serat mielin, yang menyebabkan sinyal dari dan pada otak tidak berfungsi. Juga bisa menyebabkan kerusakan pada bagian penting dari saraf, yang berakibat kehilangan beberapa ruas dari interneuron dan motorneuron. Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan mendapat perawatan medis setelah trauma. Rehabilitasi sangat diperlukan segera setelah trauma tertangani, rehabilitasi oleh fisioterap bekerja bersama pasien untuk mencapai fungsi mobilitas yang maksimal dan mandiri melalui latihanlatihan pada lingkungan yang berbeda.. Peningkatan kemampuan fungsional terus berlanjut hingga 6 bulan, bila dalam jangka waktu tersebut tidak ada perubahan maka kecacatan akan bersifat permanent. Kecacatan yang permanen membutuhkan program latihan yang lama dan intensif, rehabilitasi dapat memaksimalkan kemampuan fungsional dan membantu seseorang beradaptasi, mandiri dan mempunyai kehidupan yang produktif dengan kecacatannya. Perawatan lanjutan sangat diperlukan termasuk ahli nutrisi dan konseling psikologi.



2 1 2 3 4



Rumusan Masalah Apa definisi dari spinal cord injury ? Bagaimana gejala dan penyebab dari spinal cord injury ? Bagaimana mekanisme penyakit spinal cord injury ? Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang menderita spinal cord injury ?



1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Setelah perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu memahami asuhan keperawatan dengan masalah spinal cord injury. 1.3.2



Tujuan Khusus Tujuan khusus dari makalah ini adalah setelah perkulihan mahasiswa diharapkan mampu untuk: a) Mengetahui definisi dari spinal cord injury. b) Mengetahui gejala dan penyebab dari spinal cord injury. c) Mengetahui mekanisme penyakit spinal cord injury. d) Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang menderita spinal cord injury.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Spinal Cord Injury Spinal Cord Injury atau cedera medulla spinalis adalah cedera pada tulang belakang yang dapat menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologik. Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis sampai terjadinya inkontinensia, dan sangat bergantung pada lokasi medula spinalis yang mengalami cedera. Chairuddin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua cedera tulang belakang harus dianggap suatu cedera yang hebat sehingga sejak awal pertolongan pertama dan transportasi ke rumah sakit, penderita harus diperlakukan dengan hati-hati. Cedera pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang, yaitu ligamen dan diskus; tulang belakang dan sum-sum tulang belakang (Muttaqin, 2010). Diskus merupakan jaringan penghubung berupa tulang rawan yang menghubungkan antara tulang-tulang belakang. Dengan kata lain diskus merupakan cakram (tulang rawan) yang berada di celah-celah tulang belakang atau punggung. Dampak yang terjadi jika trauma pada tulang belakang terjadi pada diskus adalah adanya hernia diskus lumbalis. Hernia diskus lumbalis merupakan keadaan rusaknya bagian luar dari cakram diskus (tulang rawan) yang berfungsi sebagai penghubung tulang belakang. Spinal cord injury merupakan suatu kondisi medis yang kompleks, dimana terjadi trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord dehingga dapat mengakibatkan menurun atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensorik pada penderitanya. Spinal cord injury memiliki risiko mortalitas yang cukup tinggi. Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus spinal cord injury, sangat bergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma dan juga kesepatan mendapat perawatan medis setelah trauma (WHO, 2013). Cedera medulla spinalis menyebabkan paraplegia dan tetraplegia spastik dapat terjadi secara tiba-tiba atau akut yang disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat trauma atau lesi vaskuler. Kelainan berdasarkan gejala dan tanda klinis untuk kasus-kasus trauma medulla spinalis sering digunakan American Spinal Injury Association (ASIA) scale, berdasarkan tipe dan lokasi lesi atau trauma (Medula Unila, 2013)



Cedera medulla spinalis merupakan masalah kesehatan utama dengan perkiraan 10.000 kecelakaan baru yang terjadi setiap tahun. Setengah dari angka cedera ini merupakan akibat kecelakaan kendaraan bermotor, terjadi akibat terjatuh, berolahraga dan kecelakaan industrial serta luka akibat tembakan peluru. Dua pertiga dari jumlah korban berusia 30 tahun atau kurang. Vertebra yang seringkali terkena dalam cedera medulla spinalis adalah servikal ke-5, ke-6 dan ke-7, torakal ke-12 dan lubar ke-1. Kerusakan pada medulla spinalis berkisar dari konkusi transien (sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla (baik dalam bentuk tunggal atau dalam bentuk kombinasi) hingga transeksi komplet medulla (paralisis dibawah tingkat cedera). 2.2 Etiologi Spinal Cord Injury Penyebab terjadinya spinal cord injury yaitu cedera akibat kendaraan bermotor, tindak kekerasan, jatuh, dan cedera olahraga (Smeltzer, 2008). Menurut data statistik dari The National Spinal Cord Injury Statistical Center Brimingham, Alabama (2008), akibat kecelakaan kendaraan bermotor 42%, kekerasan 15,3%, olahraga 7,4% dan penyebab lainnya 8,1%. Gangguan lain yang dapat menyebabkan spinal cord injury seperti spondiliosis servikal dengan myelopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar. Spinal cord injury mempunyai penyebab lain yaitu karena non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan mendapati sebuah penyakit, infeksi atau tumor kemudian mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Spinal cord injury juga dapat disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra seperti arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan ganguan vascular. Spinal Cord Injury disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang dimana trauma tersebut melampaui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf di dalamnya. Spinal cord injury terjadi akibat patah tulang belakang yang terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Di daerah torakal tidak banyak terjadi cedera karena terlindung dengan struktur toraks.



Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma, tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema. Etiologi cedera medula spinal dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1. Trauma, misalnya kecelakaan lalu lntas, terjatuh, kegiatan olahraga, luka tusuk atau luka tembak. 2. Non-trauma, seperti spondilitis servikal dengan myelopati, myelitis, osteoporosis, tumor. Menurut Arif Muttaqin (2005) penyebab dari spinal cord injury sebagai berikut. 1.



Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)



2. Olahraga 3. Menyelam pada air yang dangkal Menyebabkan cedera leher dan paraplegia (hilangnya kemampuan menggerakkan tubuh bagian bawah). Cedera leher dapat disebabkan karena hiperekstensi,tertubruk terumbu karang. 4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan 5. Trauma karena tali pengaman (fraktur chance) 6. Kejatuhan benda keras 7. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang 8. Luka tembak atau luka tikam 9. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis slompai, yang seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar mielitis akibat proses inflamasi infeksi maupun non infeksi. Osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur



kompresi pada vertebra, singmelia, tumor infiltrasi maupun kompresi, dan penyakit vascular. 10. Keganasan yang menyebabkan fraktur patologik 11. Infeksi 12. Osteoporosis Osteoporosis adalah kondisi saat kualitas kepadatan tulang menurun. Kondisi ini membuat tulang menjadi keropos dan rentan retak. Besar kemungkinan pada usia lanjut mengalami osteoporosis sehingga juga rentan untuk cedera medulla spinalis. 13. Mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol saat mengendarai mobil atau sepeda motor. Obat-obatan terutama yang berpengaruh pada tingkat kesadaran. Misalnya: morfin, narkotika, ctm atau chlorpheniramini (ganja, kokain, dan lain-lain). Faktor-faktor yang mempengaruhi spinal cord injury adalah usia, jenis kelamin (salah satu penyebabnya yaitu osteoporosis, perempuan lebih besar kemungkinan terkena osteoporosis karena menopause berdasarkan aktivitas hormon estrogen), dan status nutrisi (berhubungan dengan osteoporosis). Menurut penyebabnya, spinal cord injury atau spinal cord injury dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Spinal cord injury cederatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan. Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord Injury Medicine, spinal cord injury cederatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 2. Spinal cord injury non cederatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor yang mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis. Faktor penyebab dari spinal cord injury mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik & metabolik serta gangguan kongenital & perkembangan. 2.3 Manifestasi Klinis Etiologi Spinal Cord Injury



Jika dalam keadaan sadar, pasien biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Pasien sering mengatakan takut kalau leher atau punggungnya patah. Cedera saraf spinal dapat menyebabkan gambaran paraplegia ataupun quadriplegia. Paraplegia adalah gangguan fungsi sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal, dan sakrum. Sedangkan quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik dan motorik di segmen servikal medulla spinalis (Kirshblum & Benevento, 2009). Quadriplegia melibatkan empat anggota tubuh yang terkena kelainan (kelemahan pada keempat ekstremitas). Orang yang mengalami quadriplegia juga mempunyai hambatan kemampuan berfikir (kognitif). Quadriplegia hampir mirip dengan paraplegia tetapi pada paraplegia tidak memengaruhi fungsi kerja lengan atau tangan. Quadriplegia menyebabkan organ gerak pada tubuh hilang, baik itu motorik maupun sensorik. Akibat dari cedera kepala bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera. Tingkat neurologik yang berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik bagian bawah yang normal. Tingkat neurologik bagian bawah mengalami paralisis sensorik dan motorik otak, kehilangan control kandung kemih dan usus besar (biasanya terjadi retensi urin dan distensi kandung kemih, penurunan keringat dan tonus vasomotor, serta penurunan tekanan darah diawali dengan retensi vaskuler perifer. Proses pengeluaran keringat diatur oleh hipotalamus (otak). Hipotalamus dapat menghasilkan enzim bradikinin yang bekerja mempengaruhi kegiatan kelenjar keringat. Jika hipotalamus mendapat rangsangan, rangsangan tersebut diteruskan oleh saraf simpatetik ke kelenjar keringat. Selanjutnya kelenjar keringat akan menyerap air garam dan sedikit urea dari kapiler darah dan kemudian mengirimnya ke permukaan kulit dalam bentuk keringat. Rangsangan area preoptik di bagian anterior hipotalamus baik secara listrik maupun panas yang berlebihan akan menyebabkan berkeringat. Impuls dari area yang menyebabkan berkeringat ini dihantarkan melalui jaras saraf otonom ke medulla spinalis dan kemudian melalui jaras saraf simpatis mengalir ke kulit di seluruh tubuh. Dari sini dapat disimpulkan apabila terjadi spinal cord injury maka proses pengeluaran keringat akan terganggu dan terjadi penurunan keringat, Pusat vasomotor terletak pada substansi retikular pada medulla dan bagian terendah ketiga pada pons. Pusat ini mengirimkan impuls parasimpatis melalui nervus vagus ke



jantung dan mengirimkan impuls simpatis melaui spinal cord dan saraf simpatis perifer yang selanjutnya akan menuju ke pembuluh darah arteri, arteriola, dan vena. Dalam kondisi normal, area vasokonstriktor pada pusat vasomotor mengirimkan sinyal pada seluruh serat syaraf simpatis ke seluruh tubuh, menyebabkan seluruh sinyal tersebar secara kontinu pada syaraf simpatis dengan kecepatan 1,5-2 impuls per detik. Impuls inilah yang mengatur status kontraksi pada pembuluh darah, yang dikenal sebagai tonus vasomotor (vasomotor tone). Intinya, Karena proses pengiriman impuls yang mengatur status kontraksi pada pembuluh darah (Tonus Vasomotor) melalui spinal cord dan apabila spinal cord mengalami cidera maka proses tersebut juga akan terganggu hingga berdampak pada penurunan. Manifestasi klinis sesuai radiks yang mengalami gangguan bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.3 Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan Level



Fungsi



Refleks



Cedera



Motorik



Tendon



Spinal C1-C4



Fungsi Sensorik



Fungsi



Fungsi Usus dan



Pernapasan



Kandung Kemih



Profunda



Volunter



Kuadriplegia:



Semuanya



Hilangnya semua



Hilangnya



Tidak ada kendali



Hilangnya



hilang



fungsi sensorik



fungsi



usus atau



semua fungsi



pada leher ke



pernapasan



kandung kemih



motorik dari



bawah (C4



volunter



leher ke bawah



mempersarafi



(interkostal)



klavikula)



dan involunter (frenik); dukungan ventilasi dan trakeostomi dibutuhkan



C5



Kuadriplegia:



C5, C6



Hilangnya sensasi



Saraf frenik



Tidak ada kontrol



Hilangnya



di bawah



utuh, tetapi



usus atau



semua fungsi



klavikula dan



otot



di bawah bahu



sebagaan besar



interkostal



atas



bagian lengan,



tidak utuh



kandung kemih



tangan, dada, abdomen dan ekstrimitas bawah.



C6



Kuadriplegia:



C5, C6



Hilangnya semua



Saraf frenik



Tidak ada kontrol



Hilangnya



brakioradi



aspek pada lesi



utuh, tetapi



usus atau



semua fungsi



alis



C5 tetapi sensasi



otot



kandung kemih



di bawah bahu



lengan dan ibu



interkostal



dan lengan



jari lebih terasa



tidak utuh



atas; penurunan kontrol siku, lengan bawah, dan tangan C7



Kuadriplegia:



C7, C8



Hilangnya sensasi



Saraf frenik



Tidak ada fungsi



hilangnya



trisep



di bawah



utuh, tetapi



usus atau



kontrol



klavikula dan



otot



kandung kemih



motorik pada



bagian lengan



interkostal



bagian lengan



serta tangan



tidak utuh



Kuadriplegia:



Hilangnya sensasi



Saraf frenik



Tidak ada fungsi



hilangnya



di bawah dada



utuh, tetapi



usus atau



kontrol



dan bagain tangan



otot



kandung kemih



dan tangan C8



motorik pada



interkostal



lengan dan



tidak utuh



tangan T1-T6



Paraplegia:



Hilangnya sensasi



Saraf frenik



Defekasi atau



hilangnya



di bawah area



berfungsi



berkemih tidak



setiap sensasi



dada tengah



mandiri.



berfungsi



di bawah area



beberapa



dada, termasuk



gangguan



otot di batang



otot



tubuh



interkostal



T6-



Paraplegia:



Hilangnya setiap



Fungsi



Kontrol defekasi



T12



kehilangan



sensasi di bawah



pernapasan



atau berkemih



kontrol



pinggang



tidak



tidak berfungsi



motorik di



terganggu



bawah pinggang L1-L3



Paraplegia:



L2-L4



Hilangnya sensasi



Fungsi



Kontrol defekasi



hilangnya



(sentakan



abdomen baah



pernapasan



atau berkemih



sebagian besar



lutut)



dan tungkai



tidak



tidak ada



kontrol tungkai



terganggu



dan pelvis L3-S5



Paraplegia:



S1-S2



Saraf sensori



Fungsi



Kontrol defekasi



inkomplet



(sentakan



lumbal



pernapasan



atau berkemih



pergelanga



menginervasi



tidak



mungkin



n kaki)



tungkai atas dan



terganggu



terganggu



Kontrol motorik segmental L4-



bawah



Segmen S2-S4



S1: abduksi



L5: aspek medial



mengendalikan



dan rotasi



kaki



kontinensia urin



S1: aspek lateral



Segmen S3-S5



kaki



mengendalikan



internal pinggul, dorsifleksi pergelangan



S2: aspek



kaki dan



posterior



inversi kaki



betis/paha



kontinensia feses (otot perianal)



L5-S1: eversi



Saraf sensori



kaki



sakral



L4-S2: fleksi lutut S1-S2: fleksi



menginervasi tungkai bawah, kaki dan perineum



plantar S1-S2: (sentakan pergelangan kaki) S2-S5: kontrol usus/kandung kemih Menurut Brunner dan Suddarth (2001) manifestasi klinis dari spinal cord injury yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena. Paraplegia Paralisis sensorik motorik total Kehilangan kontrol kandung kemih. Penurunan fungsi pernapasan Terjadi retensi urine, dan distensi kandung kemih Kehilangan kesadaran Gejala bervariasi tergantung pada lokasi cedera. Cedera tulang belakang menyebabkan



kelemahan dan hilangnya rasa pada lokasi cidera dan di bawahnya. Seberapa berat gejala yang ditimbulkan tergantung pada apakah seluruh corda spinalis cidera berat, (complete) atau hanya terluka sebagian (incomplete). Berikut adalah gejala yang timbul sesuai dengan lokasi cidera: (Bhimji, 2014): a) Cervical (Neck) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada daerah leher, gejala dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah tubuh. Cedera pada tulang belakang bagian leher (cervical) akan mempengaruhi lengan, kaki, dan bagian tengah dada karena saraf-saraf



cervical bertanggung jawab untuk mempersarafi otot-otot pada bagian tubuh tersebut. C1-C4 akan mempersarafi bagian leher, klavikula; C5 akan mempersarafi bagian lengan, tangan, dada, abdomen, dan ekstremitas bawah; C6 akan mempersarafi bagian lengan dan tangan; C7 akan mempersarafi bagian lengan dan tangan; C8 akan mempersarafi bagian dada bagian bawah dan tangan. Jika terdapat cedera pada bagian cervical maka akan mempengaruhi tugasnya untuk mengantarkan impuls ke otak. Hal ini akan menyebabkan terjadi gangguan pada fungsi motorik maupun sensorik pada bagian tubuh yang dipersarafinya tersebut. Gejala-gejala dapat terjadi pada satu atau kedua sisi tubuh. Gejala juga dapat mencakup kesulitan bernapas dari kelumpuhan otot-otot pernapasan, jika cedera yang terjadi setinggi/diatas leher. b) Thoracic (Chest Level) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level dada, gejala dapat mempengaruhi kaki. Cedera yang terjadi pada cervical atau high thoracic spinal cord juga dapat mengakibatkan



masalah



tekanan



darah,



berkeringat



abnormal,



dan



kesulitan



mempertahankan suhu tubuh normal. Cedera yang terjadi pada cervical atau high thoracic spinal cord (di atas T6) dapat mengakibatkan masalah tekanan darah karena cedera pada bagian tersebut dapat menyebabkan hilangnya aliran adrenergik/ saraf simpatis pada jantung dan vaskular perifer. Saraf simpatis mempunyai peran dalam mempercepat heart rate, meningkatkan konduksi atrioventrikular dan kontraktilitas, serta vasokonstriksi vaskuler perfer. Jika terdapat gangguan pada saraf simpatis ini, maka dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan juga bradikardi. c) Lumbar Sacral (Lower Back) Injuries Ketika cedera tulang belakang terjadi pada level punggung bawah, gejala dapat mempengaruhi satu atau kedua kaki, serta otot-otot yang mengontrol usus dan kandung kemih. Cedera medulla spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah (kaki) akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 2001). Apabila trauma terjadi dibawah segmen servikal dan medula spinalis maka akan mengalami kerusakan sehingga berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang disarafi dengan manifestasi



kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen, paralisis sfingter pada uretra dan rektum, serta kelumpuhan pada otot-otot pada kedua anggota gerak bawah (kaki). Kelumpuhan otot kandung kemih karena cedera saraf sacral disebut juga kandung kemih neurogenik. Keadaan yang terjadi jika mengalami kelumpuhan otot kandung kemih maka akan terjadi inkontensia dan ketidakmampuan untuk melakukan pengosongan kandung kemih yang dapat menghambat aktivitas sehari-hari. Rasa nyeri pun akan timbul serta resiko infeksi karena penumpukan urin di kandung kemih. Jika hal tersebut tidak segera ditangani dengan penatalaksanaan yang tepat maka akan menyebabkan retensi urin residu, refluks urin ke ginjal, batu ginjal, serta gagal ginjal. Kemungkinan untuk sembuh kembali tergantung dari beratnya cedera saraf sacral. Jika cederanya ringan maka otot-otot tersebut perlahan-lahan akan kembali berfungsi, meskipun dalam rentang waktu yang cukup lama.



Tetapi, jika cederanya berat



dikahwatirkan kelumpuhan otot tersebut tidak bisa kembali normal. Cedera pada lumbar vertebra pertama dan di bawahnya tidak menyebabkan cedera tulang belakang dan dapat menyebabkan sindrom cauda equina yang trejadi cedera pada akar saraf di daerah ini. Sindrom cauda equina adalah pemadatan atau penyempitan yang simultan dari radik saraf lumbo sakral multipel dibawah konus medullaris, sehingga menghasilkan gangguan neuromuskular dan gejala-gejala urogenital. Cedera pada lumbar vertebrata akan menyebabkan penekanan saraf cauda equine sehingga menyebabkan terjadinya sindrom cauda equine. Jenis cedera tulang belakang yang seperti ini merupakan keadaan darurat medis dan membutuhkan operasi segera. Tanda dan gejala umum dari spinal cord injury sebagai berikut (Bhimji, 2014). 1. Peningkatan tonus otot (spastisitas 2. Kehilangan kontrol bowel dan bladder (konstipasi, inkontinensia, dan bladder spasms) 3. Kekebasan (numbness) Pada dasarnya kebas terjadi karena gangguan/kerusakan pada saraf yang terlibat, jadi kalau kebas pada cedera lumbar vertebra maka terjadi gangguan pada saraf tersebut. Untuk faktor yang bisa menyebabkan cedera lumbar vertebra sendiri adalah bisa terjadi karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tindak kekerasan, dan olahraga. Mekanismenya adalah adanya saraf yang cedera/terjepit kemudian terjadi hambatan pada



hantaran pesan oleh saraf ke otak. Sensasi normal hilang saat adanya hambatan tersebut sehingga terjadi kebas. 4. Perubahan sensori 5. Nyeri 6. Kelemahan dan kelumpuhan (paralisis) 2.4 Penatalaksanaan Etiologi Spinal Cord Injury Tujuan penatalaksanaan pada pasien dengan spinal cord injury adalah mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Hal penting yang harus dilakukan yaitu resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskular. Di dalam penatalaksanaan spinal cord injury ada dua hal yang sangat penting yaitu: 1. Instabilitas dari Kolumna Vertebralis (spinal instability) Instabilitas kolumna vertebralis (spinal instability) adalah hilangnya hubungan normal antara struktur-struktur anatomi dari kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat (catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat menyebabkan dislokasi dari komponen-komponen anatomi yang pada akhirnya menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan. 2. Kerusakan jaringan saraf baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and potential neurologic injury). Prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal antara lain : a.Imobilisasi Tindakan imobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat. Pertama ialah imobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher tidak terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) dan tempat/alas yang keras. Pasien diangkat dan dibawa dengan cara “4 men lift” atau menggunakan Robinson’s orthopaedic stretcher.



Penatalaksanaan jika sudah dalam penanganan medis setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma toraks, maka pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi karena akan menambah instabilitas tulang belakang. b. Stabilisasi Medis Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia. a) Periksa tanda-tanda vital b) Pasang nasogastric tube c) Pasang kateter urin Terjadinya spinal cord injury ini akan menyebabkan buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara spontan dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. Sehingga segera pasien harus dilakukan pemasangan kateter. d) Segera normalkan tanda-tanda vital dengan mempertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi urin, dan bila perlu monitor AGD (analisa gas darah), serta periksa apa ada neurogenic shock. c. Spinal Alignment Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi. d. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal



Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan 'open reduction' dan stabilisasi dengan approach anterior atau posterior. e.Rehabilitasi Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program ini adalah 'bladder training', 'bowel training', latihan otot pernafasan, pencapaian optimal fungsifungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita parapresis/paraplegia. Penatalaksanaan spinal cord injury antara lain : 1) Farmakoterapi Berikan steroid dosis tinggi (metilprednisolon) untuk melawan edema medulla. Metilprednisolon diberikan dengan dosis 30 mg/kg bolus selama 15 menit, lalu 45 menit setelah pemberian bolus pertama, lanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam. Selain itu berikan analgesik untuk mengurangi rasa nyeri, obat untuk relaksasi otot. Kemoterapi juga dapat dilakukan jika terdapat lesi neoplastic pada medulla spinalis. Mekanisme kerja metilprednisolon terletak pada peroksidasi lipid di membran sel dan sel organel. Lipid yang teroksidasi akan merubah struktur dan fungsi membran sel. Sedangkan fungsi lainnya adalah mencegah terjadinya perluasan iskemia yang progresif sesudah trauma serta mencegah akumulasi kalsium intraseluler, mencegah kerusakan struktur neurofilamen, menghambat proses hidrolisa lemak membran yang membentuk tromboksan A2 dan prostaglandin F2. Metilprednisolon adalah salah satu golongan glukokortikoid yang banyak diteliti dan dikembangkan terutama pada trauma medula spinalis. Sedangkan kontraindikasi dari metilprednisolon adalah pasien yang mengalami infeksi jamur sistemik, alergi atau sensitif terhadap bahan kandungan obat metilprednisolon, metilprednisolon tidak boleh diberikan dalam jangka waktu lama kepada pasien ulkus duodenum dan peptikum, osteoporosis berat, penderita dengan riwayat penyakit jiwa, dan herpes. Efek samping yang ditimbulkan dari obat metilprednisolon adalah: a Gangguan cairan dan elektrolit b Kelemahan otot c Osteonekrosis aseptik d Osteoporosis e Ulkus peptikum dengan perlubangan f Perdarahan, peregangan perut, gangguan penyembuhan luka, g Peningkatan tekanan dalam mata h Keadaan Cushingoid



i Pertumbuhan terhambat, haid tidak teratur j Katarak subkapsular posterior 2) Tindakan respiratori a. Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 pada arterial yang tinggi. b. Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindrai fleksi atau ekstensi leher bila diperlukan intubasi endotrakeal. c. Pertimbangkan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus). 3) Reduksi dan traksi skeletal a. Cedera medulla spinalis membutuhkan imobilisasi, reduksi dislokasi, dan stabilisasi kolumna vertebra, sebagai pencegahan dari kerusakan yang semakin parah dari medulla spinalis. Penatalaksanaan pasien trauma medulla spinalis harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang) (1) Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling”. Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization, memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan kepala (2) Transportasi pasien dilakukan dalam posisi netral (3) Pasien juga harus tirah baring dengan posisi netral di permukaan yang datar. b. Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal dengan skull tongs. Gantung pemberat dengan bebas sehingga tidak mengganggu traksi. Jika perlu pasangkan kolar servikal yang keras (hard collar neck) untuk untuk menghindari cedera lebih lanjut dan untuk stabilisasi tulang servikal. c. Beri dukungan hemodinamik pada klien dan lakukan perawatan luka dengan teknik yang steril jika terdapat suatu luka. 4) Intervensi bedah (laminektomi) Tujuan pembedahan untuk pasien spinal cord injury adalah dekompresi medulla spinalis dan stabilisasi kolumna vertebra. Indikasi dilakukan pembedahan laminektomi yaitu: a. Deformitas tidak dapat dikurangi dengan traksi b. Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal c. Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal d. Status neurologis mengalami penyimpangan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla. Prosedur pembedahan laminektomi salah satunya yaitu dengan memberikan spinal anastesi. Spinal anastesi memiliki beberapa kontra indikasi (Latief, 2001), antara lain:



a) Penolakan pasien b) Penyakit darah yang disertai dengan gangguan perdarahan, penggunaan antikoagulan sebelum operasi (resiko tinggi perdarahan) c) Lesi inflamasi pada kulit di lokasi tusukan yang diusulkan d) Kondisi serius pasien (shock, kehilangan darah akut, kardiovaskular, gagal pernafasan, sepsis, dan lain-lain.) e) Alergi terhadap anestesi lokal f) Penyakit menular dari sistem saraf (meningitis, arachnoiditis, ensefalitis, mielitis) g) Intrakranial hipertensi h) Eksaserbasi infeksi virus herpes i) Aritmia jantung parah dan blokade j) Pasien ketidakstabilan emosional, gangguan mental (orang-orang yang tidak mampu berbaring tenang sementara ahli bedah melakukan operasi akan mengganggu proses operasi) 2.5.



Web Of Causation Spinal Cord Injury



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Spinal Cord Injury 3.1.1 Pengkajian



Pengkajian



merupakan



langkah



pertama



dari



proses



keperawatan



dengan



mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada (Alimul, 2004). Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi, dan komunikasi data tentang klien (Potter, 2005). Pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. 1) Anamnesis Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara pasien/keluarga pasien dan dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang berwenang untuk memperoleh keteranganketerangan tentang keluhan dan penyakit yang diderita. Anamnesis meliputi: a



b



Identitas klien Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, agama, alamat, suku bangsa, tanggal MRS, tanggal pengkajian. Keluhan utama Keluhan utama adalah keluhan yang dirasa paling mengganggu klien berhubungan dengan spinal cord injury, misalnya nyeri atau . Keluhan utama ini juga dapat didukung oleh data subjektif dan data objektif. Data subjektif didapat dari keluhan yang disampaikan oleh klien dan yang digali melalui anamnesis yang sistematik. Sedangkan data objektif didapat setelah melakukan pemeriksaan fisik terhadapa klien



c



untuk mencari data-data yang objektif mengenai keadaan klien. Riwayat penyakit sekarang Riwayat penyakit sekarang merupakan kronologis dari penyakit yang diderita saat ini mulai awal hingga dilakukan pengkajian, seperti tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien (apakah karena kecelakaan lalu lintas, olahraga atau yang lain), dan bagaimana mekanisme terjadinya trauma pada pasien.



d



Riwayat penyakit keluarga Adakah keluarga yang menderita penyakit yang mungkin diturunkan kepada klien yang berhubungan denganspinal cord injury, tanyakan apakah ada riwayat penyakit degeneratif seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll. Kedua penyakit tersebut dapat menyerang tulang belakang, maka osteoporosis dan osteoathritis merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan cidera medula spinalis karena adanya fraktur kompresi pada vertebra. Oleh karena itu, pada riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada riwayat osteoporosis dan osteoathritis atau tidak.



e f



Riwayat alergi Apakah klien memiliki riwayat alergi yang nantinya dapat mempengaruhi pengobatan Data psikososial Data psikososial meliputi kebiasaan klien, lingkungan tempat tinggal, dan pekerjaan yang dapat menimbulkan trauma/cidera pada tulang belakang.



2) Pemeriksaan fisik a Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik merupakan merupakan pengumpulan data dengan cara melakukan pemeriksaan kondisi fisik dari pasien meliputi: 1. Inspeksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat atau memperhatikan keseluruhan tubuh pasien secara rinci dan sistematis, misalnya lihat apakah ada deformitas leher, memar pada leher, memar pada muka dan atau abrasi dangkal pada dahi. 2. Palpasi, yaitu pemeriksaan fisik dengan meraba bagian tubuh yang terlihat tidak normal. Palpasi dilakukan untuk membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan dan kiri dan dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus untuk 3.



mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya. Auskultasi, yaitu pemeriksaan fisik dengan mendengarkan bunyi-bunyi yang terjadi karena proses fisioogi atau patologis di dalam tubuh, biasanya menggunakan alat bantu stetoskop.



b



Pemeriksaan B1-B6 a) B1 (Breathing) Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf (klien mengalami kelumpuhan otot-otot pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur desending akibat trauma pada tulang belakang sehingga mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis. b) B2 (Blood) Didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien cedera tulang belakang sedang dan berat. Tekanan darah menurun, nadi bradikardi, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, serta bradikardi ekstremitas dingin atau pucat.



c) B3 (Brain) Pengkajian tingkat kesadaran, fungsi serebral, dan saraf kranial. Pengkajian fungsi serebral sendiri adalah untuk mengetahui status mental observasi penampilan, tingkah laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien. Untuk keadaan fungsi serebral dan saraf kranial klien dengan spinal cord injury tidak pasti tergantung cidera yang dialami klien. Namun, apabila klien sampai mengalami disfungsi saraf kranial maka cidera yang dialami dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi karena fungsi dari saraf kranial sendiri adalah mengatur segala fungsi organ-organ yang berada di daerah kepala mulai dari kesadaran, fungsi berkomunikasi, fungsi mengunyah, hingga fungsi menelan. d) B4 (Blader) Pengkajian keadaan kandung kemih. Kontrol refleks yang utama berasal dari segmen sakral. Pusat urinaris pada spinal cord injury adalah pada conus medullaris. Selama fase spinal shock, blader urinary menjadi flaccid. Semua tonus otot dan refleks pada blader hilang. Lesi di atas conus medullaris akan menimbulkan refleks neurogenic blader berupa adanya spastisitas, kesulitan menahan buang air kecil, hipertrofi otot destrusor, dan refluks urethral. Lesi pada conus medullaris menyebabkan tidak adanya refleks blader, akibat dari flaccid dan menurunnya tonus otot perineal dan sphincter urethra. e) B5 (Bowel) Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi yang berkurng. f) B6 (Bone) Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi c



saraf yang terkena trauma. Pemeriksaan Penunjang Menurut Batticaca (2008), pemeriksaan penunjang Spinal Cord Injury meliputi: 1. 2. 3. 4.



Sinar x spinal: Untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok) CT scan: Untuk menentukan tempat luka/jejas. MRI: Untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal. Foto rongent thorak: Untuk mengetahui keadaan paru. Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks dan dada, jika mengalami cidera maka mengakibatkan gangguan sistem pernapasan misalnya sesak dan masalah pernapasan lainnya.



5. AGD: Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi. AGD (Analisa Gas Darah) adalah salah satu tindakan pemeriksaan laboratorium yang ditujukan ketika dibutuhkan informasi yang beruhubungan dengan keseimbangan asam basa pada pasien. hal ini berhubungan untuk mengetahui keseimbangan asam basa tubuh yang dikontrol melalui tiga mekanisme yaitu sistem buffer, sistem 3.1.2



respiratori dan sistem renal (Wilson, 1999). Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan yang aktual dan potensial, atau proses kehidupan (NANDA International, 2015). Diagnosa keperawatan yang biasanya terjadi pada Cord Spinal Injury : 1. Domain 4: Aktivitas/ Istirahat, Kelas 4: Respon Kardiovaskuler/pulmonal Ketidakefektifan pola nafas b.d cedera medulla spinalis (00032). 2. Domain 11: Keamanan/ Perlindungan, Kelas 2 : Cidera Fisik Kerusakan integritas kulit b.d gangguan sensasi (akibat spinal cord injury ) (00046). 3. Domain 11: Keamanan/ Perlindungan, Kelas 2: Cidera Fisik Risiko dekubitus (00249). 4. Domain 4: Aktivitas/ Istirahat, Kelas 2: Aktivitas/ Olahraga Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular (00085).



3.1.3



Intervensi Keperawatan Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan. Pada langkah ini, perawat menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi klien. Tujuan dan hasil yang diharapkan menyediakan arahan jelas untuk pemilihan intervensi keperawatan dan menyediakan fokus untuk evaluasi efektivitas dari tindakan. Tujuan berpusat pada klien merupakan perilaku atau respons spesifik atau terukur yang menggambarkan tingkat kemungkinan tertinggi dari kesejahteraan dan kemandirian klien. Hasil yang diharapkan adalah perubahan spesifik dan terukur pada status klien yang diharapkan sebagai respons terhadap asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan yang baik mencakup tindakan, frekuensi, kuantitas, metode dan individu yang melaksanakannya. Intervensi keperawatan terkait klien dengan Cord Spinal Injury : 1) Dx



: Ketidakefektifan pola nafas b.d cedera medulla spinalis.



Tujuan : dalam waktu 2x24 jam pola nafas pasien efektif. Kriteria Hasil : RR dalam batas normal 16-20x/menit, tidak ada tanda sianosis, analisa gas darah normal (PH : 7,35-7,45, PaO2: 80-100 mmHg, PaCO2: 35-45 mmHg) , irama pernafasan reguler. Intervensi keperawatan : a Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi. b Identifikasi kebutuhan aktual/potensial pasien untuk memasukkan alat c



membuka jalan nafas. Resepkan atau rekomendasikan obat yang sesuai berdasarkan kewenangan



d e f



untuk meresepkan. Motivasi pasien untuk untuk bernafas pelan, dalam, berputar, dan batuk. Monitor kecepatan, irama, kedalaman,dan kesulitan bernafas. Monitor saturasi oksigen pada pasien yang tersedasi (seperti SaO2,SvO2, SpO2) sesuai dengan protokol yang ada.



2) Dx : Kerusakan integritas kulit b.d gangguan sensasi (akibat spinal cord injury) Tujuan : Kerusakan integritas kulit dapat teratasi. Kriteria Hasil : Tidak ada luka/lesi pada kulit, integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi). Intervensi keperawatan: a. Periksa kulit dan selaput lendir terkait dengan adanya kemerahan, kehangatan ekstrim, edema, atau drainase. b. Lakukan langkah-langkah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,(misalnya, melapisi kasur, menjadwalkan reposisi) c. Posisikan sesuai body alignment yang tepat. d. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat. e. Ajarkan anggota keluarga atau pemberi asuhan mengenai tanda-tanda kerusakan kulit dengan tepat. f. Monitor kulit dan selaput lendir terhadap area perubahan warna, memar, dan pecah. 3) Dx : Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular Tujuan : Mobilitas tidak terganggu Kriteria hasil: Klien dapat menopang berat badan, Klien berjalan dengan langkah yang efektif, keseimbangan (tubuh) saat berjalan tidak terganggu, gerakan terkoordinasi Intervensi keperawatan: a. Kaji komitmen pasien untuk belajar dan mengunakan postur (tubuh) yang benar.



b. Edukasi pasien tentang pentingnya postur (tubuh) yang benar untuk mencegah kelelahan, ketegangan atau injury. c. Instruksikan pasien untuk menggerakkan kaki terlebih dahulu kemudian badan ketika memulai berjalan dari posisi berdiri. d. Pertimbangkan kemampuan klien dalam berpartisipasi melalui aktivitas spesifik. e. Berkolaborasi dengan ahli terapis fisik, okupasi dan terapis rekreasional dalam perencanaan dan pemantauan program aktivitas jika memang diperlukan.



3.1.4 Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan. Dengan rencana keperawatan yang dibuat berdasarkan diagnosa yang tepat, interverensi diharapkan dapat mencapai tujuan dan hasil yang diinginkan untuk mendukung dan meningkatkan status kesehatan klien. Implementasi keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Cord Spinal Injury: No 1.



Diagnosa Keperawatan Hambatan



Intervensi



1. Kaji komitmen pasien 1. Mengkaji



mobilitas fisik b.d



untuk



gangguan



mengunakan



neuromuskular



Implementasi



belajar



dan postur



pasien



komitmen



untuk



belajar



dan mengunakan postur



(tubuh) yang benar. (tubuh) yang benar. 2. Edukasi pasien tentang 2. Melakukan edukasi ke pentingnya



postur



pasien



(tubuh)



benar



pentingnya



postur



(tubuh)



benar



yang



untuk



mencegah



kelelahan, ketegangan atau injury. 3. Instruksikan untuk kaki



untuk



tentang yang



mencegah



kelelahan, ketegangan pasien



atau injury. menggerakkan 3. Menginstruksikan



terlebih



dahulu



pasien



untuk



kemudian badan ketika



menggerakkan



memulai berjalan dari



terlebih



posisi berdiri. 4. Pertimbangkan



memulai berjalan dari klien



posisi berdiri. berpartisipasi 4. Mempertimbangkan



melalui



aktivitas



spesifik. 5. Berkolaborasi ahli okupasi



dahulu



kemudian badan ketika



kemampuan dalam



kaki



kemampuan dalam



dengan



terapis



klien



berpartisipasi



melalui



aktivitas



fisik,



spesifik. terapis 5. Melakukan kolaborasi



dan



rekreasional



dalam



perencanaan



dan



pemantauan



program



dengan fisik,



ahli



terapis



okupasi



terapis



dan



rekreasional



aktivitas jika memang



dalam perencanaan dan



diperlukan.



pemantauan



program



aktivitas jika memang 2.



Ketidakefektifan pola cedera spinalis



nafas



b.d



medulla



diperlukan. 1. Posisikan pasien untuk 1. Memposisikan memaksimalkan



pasien



untuk memaksimalkan



ventilasi. ventilasi. 2. Identifikasi kebutuhan 2. Mengidentifikasi aktual/potensial pasien



kebutuhan



untuk memasukkan alat



aktual/potensial pasien



membuka jalan nafas. 3. Resepkan atau



untuk memasukkan alat



rekomendasikan yang



membuka jalan nafas. obat 3. Berkolaborasi dalam



sesuai



berdasarkan kewenangan



untuk



meresepkan. 4. Motivasi pasien untuk untuk bernafas pelan,



meresepkan



atau



rekomendasikan



obat



yang



sesuai



berdasarkan kewenangan meresepkan.



untuk



dalam, berputar, dan 4. Memotivasi batuk. 5. Monitor irama,



pasien



untuk untuk bernafas kecepatan,



pelan, dalam, berputar,



kedalaman,dan



dan batuk. kesulitan bernafas. 5. Memonitor kecepatan, 6. Monitor saturasi irama, kedalaman,dan oksigen pada pasien kesulitan bernafas. yang tersedasi (seperti 6. Memonitor saturasi SaO2,SvO2,



SpO2)



oksigen



pada



pasien



sesuai dengan protokol



yang tersedasi (seperti



yang ada.



SaO2,SvO2,



SpO2)



sesuai dengan protokol 3



dan



yang ada. 1. Memeriksa kulit dan



integritas kulit b.d



selaput lendir terkait



selaput lendir terkait



gangguan



dengan



dengan



Kerusakan



1. Periksa sensasi



kulit



adanya



adanya



( akibat spinal cord



kemerahan, kehangatan



kemerahan,



injury)



ekstrim, edema, atau



kehangatan



drainase. 2. Lakukan langkah mencegah



langkahuntuk kerusakan



ekstrim,



edema, atau drainase. 2. Melakukan pencegahan kerusakan



lebih



lebih lanjut,(misalnya,



lanjut,(misalnya,



melapisi



melapisi



kasur,



menjadwalkan reposisi) 3. Posisikan sesuai Body Alignment yang tepat. 4. Tempatkan matras atau kasur terapeutik dengan cara yang tepat. 5. Ajarkan anggota keluarga/ asuhan



pemberi mengenai



kasur,



menjadwalkan reposisi) 3. Memposisikan sesuai Body Alignment yang tepat. 4. Menempatkan matras atau kasur terapeutik dengan tepat.



cara



yang



tanda-tanda kerusakan



5. Mengajarkan anggota



kulit dengan tepat. 6. Monitor kulit dan



keluarga/ asuhan



selaput lendir terhadap area perubahan warna, memar, dan pecah.



pemberi mengenai



tanda-tanda kerusakan kulit dengan tepat. 6. Melakukan monitor kulit



dan



selaput



lendir terhadap area perubahan



warna,



memar, dan pecah. 3.1.5 Evaluasi Keperawatan Evaluasi merupakan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku klien yang 1



tampil. Evaluasi keperawatan: Kartu SOAP (data subjektif, data objektif, analisis/assessment, dan perencanaan/plan)



2



dapat dipakai untuk mendokumentasikan evaluasi dan pengkajian ulang. Kartu SOAPIER sesuai sebagai catatan yang ringkar mengenai penilaian diagnosis keperawatah dan penyelesaiannya. SOAPIER merupakan komponen utama dalam catatan perkembangan yang terdiri atas: a. S (Subjektif): data subjektif yang diambil dari keluhan klien, kecuali pada klien yang afasia. b. O (Objektif): data objektif yang diperoleh dari hasil observasi perawat, misalnya tanda-tanda akibat penyimpanan fungsi fisik, tindakan keperawatan, atau akibat pengobatan. c. A



(Analisis/assessment):



masalah



dan



diagnosis



keperawatan



klien



yang



dianalisis/dikaji dari data subjektif dan data objektif. Karena status klien selalu berubah



yang



mengakibatkan



informasi/data



perlu



pembaharuan,



proses



analisis/assessment bersifat diinamis. Oleh karena itu sering memerlukan pengkajian ulang untuk menentukan perubahan diagnosis, rencana, dan tindakan.



d. P (Perencanaan/planning): perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang (hasil modifikasi rencana keperawatan) dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan klien. Proses ini berdasarkan kriteria tujaun yang spesifik dan periode yang telah ditentukan. e. I (Intervensi): tindakan perawatan yang digunakan untuk memecahkan atau menghilangkan masalah klien. Karena status klien selalu berubah, intervensi harus dimodifikasi atau diubah sesuai rencana yang telah ditetapkan. f. E (Evaluasi): penilaian tindakan yang diberikan pada klien dan analisis respons klien terhadap intervensi yang berfokus pada kriteria evaluasi tidak tercapai, harus dicari alternatif intervensi yang memungkinkan kriteria tujuan tercapai. g. R (Revisi): tindakan revisi/modifikasi proses keperawatan terutama diagnosis dan tujuan jika ada indikasi perubahan intervensi atau pengobatan klien. Revisi proses asuhan keperawatan ini untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan.



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Spinal cord injury merupakan suatu kondisi medis yang kompleks, dimana terjadi trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal cord dehingga dapat mengakibatkan menurun atau menghilangnya fungsi motorik maupun sensorik pada penderitanya. Spinal cord injury memiliki risiko mortalitas yang cukup tinggi. Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus spinal cord injury, sangat bergantung pada lokasi serta derajat kerusakan akibat trauma dan juga kesepatan mendapat perawatan medis setelah trauma. Gejala yang ditimbulkan dari spinal cord injury yaitu Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena, paraplegia, paralisis sensorik motorik total, kehilangan kontrol kandung kemih, penurunan fungsi pernapasan. Penatalaksanaan pada pasien dengan spinal cord injury adalah mencegah cedera medulla spinalis lebih lanjut dan mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Hal penting yang harus dilakukan yaitu resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskular.



Daftar Pustaka Ariani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta: Salemba Medika. Asyiyah, Umi. 2009. Pengalaman Klien Cedera Medulla Spinalis yang Menjalani Intermittent Self Catheterization dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta. lib.ui.ac.id/file?file=digital/125521-TESIS0610%20Umi%20N09p...Literatur.pdf. Diakses pada Tanggal 19 Oktober 2016. Ayu Purbaningtyas, Yunita. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Cerebral Palsy Spastik Quadriplegi Tipe Ekstensi di Yayasan Sayab Ibu Yogyakarta. eprints.ums.ac.id/39655/1/HALAMAN%20DEPAN.pdf. Diakses pada Tanggal 19 Oktober 2016. B.Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan



Sistem



Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Bhimji, S. 2014. Spinal cord trauma. U.S. National Library of Medicine U.S. Department of Health and Human Services National Institutes of Health.



A.D.A.M., Inc.



Bilotta, Kimberly A. J. 2011. Kapita Selekta Penyakit dengan Implikasi



Keperawatan. Jakarta:



EGC. Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classificasion (NIC). 6th Edition. Singapore: Elsevier. Chaira. 2011. Analisa Gas Darah.



http://www.scribd.com/doc/75288842/Analisa Gas-Darah-



Agd. Dewanto, George., et al.2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Kedokteran EGC Hanafiah, Hafsah.2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Volume 40.No.2. Freidberg SR, Magge SN.2012. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Nettera Neurologi. 2nd edition. Elsevier, Saunders. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Medicine Medscape.



2013. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall.



Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga. http://dokumen.tips/documents/anatomi-dan-fisiologi-medulla-spinalis-



dan



oblongata.html. Gondowardaja, Yoanes dan Thomas Eko Purwata. 2014. “Trauma Medula Spinalis: Patobiologi dan Tata Laksana”. CDK-219 Journal. Vol. 41 No. 8. www.kalbemed.com/Portals/6/05_219CME_Trauma%20Medula%20Sp nalisPatobiologi%20dan%20Tatalaksana.pdf. Hanafiah, Hafas. 2007. Penatalaksanaan Trauma Spinal. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18784/1/mknjun2 40%20(7).pdf. Diakses pada tanggal 18 Oktober 2016



007-