Manajemen Infeksi Nosokomial [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: AZHARATUL JANNAH



NIM



: 70200112022



PEMINATAN



: MANAJEMEN RUMAH SAKIT



MATA KULIAH: MANAJEMEN INFEKSI NOSOKOMIAN



STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI NOSOKOMIAL



Rumah sakit merupakan institusi kesehatan yang menyediakan pelayanan kuratif, rehabilitatif, dan preventif kepada semua orang. Rumah sakit harus memiliki akomodasi yang adekuat dan berkualifikasi baik serta tenaga medis/non-medis yang berpengalaman untuk menyediakan pelayanan dengan kualitas baik. Rumah sakit bertujuan untuk menyembuhkan orang sakit, tetapi rumah sakit juga dapat menjadi sumber infeksi. Saat ini infeksi yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan merupakan penyebab utama kematian di beberapa bagian dunia (WHO, 2005). Health-care Associated Infection (HAIs) merupakan infeksi yang didapat pasien selama menjalani prosedur perawatan dan tindakan medis di pelayanan kesehatan setelah ≥ 48 jam dan setelah ≤ 30 hari setelah keluar dari fasilitas pelayanan kesehatan (WHO, 2011). HAIs dapat memperpanjang hari rawat pasien selama 4–5 hari dan bahkan bisa menjadi penyebab kematian pasien (IFIC, 2011). Sebuah survei prevalensi dilakukan di bawah naungan WHO di 55 rumah sakit dari 14 negara yang mewakili empat wilayah WHO (Asia Tenggara, Eropa, Mediterania Timur dan Pasifik Barat) mengungkapkan bahwa rata-rata 8,7% pasien rumah sakit menderita infeksi nosokomial (WHO, 2005). Di negara maju (Amerika dan Eropa), sekitar 5–10% dari pasien yang menjalani perawatan karena penyakit akut terkena infeksi yang tidak muncul atau inkubasi pada saat masuk rumah sakit, angka tersebut bisa menjadi dua kali lipat di negara berkembang seperti Indonesia (WHO, 2005). Di Brasil dan Indonesia >50% dari neonatus yang dirawat di unit neonatal menderita HAIs, dengan tingkat kematian antara 12% hingga 52%. Data National Healthcare Safety Network (NHSN) selama tahun 2006–2008 menunjukkan bahwa terjadi 16.147 kasus SSI di antara 849.659 prosedur operatif, yang berarti insiden rate dari infeksi daerah operasi sebesar 1,9% (CDC, 2013). Selain itu, di USA terjadi 300.000 kasus SSI tiap tahun dan angka tersebut merupakan 17% dari seluruh kejadian



HAI. 75% pasien di pelayanan kesehatan yang meninggal telah didiagnosis mengalamiinfeksi daerah operasi. Di Indonesia, laporan penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama menjalani perawatan. (http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-jbe9f73ae884cfull.pdf.html) Kejadian infeksi nosokomial pada jenis/ tipe rumah sakit di Indonesia sangat beragam. Pada Tahun 2004 Depkes RI melakukan Penelitian diperoleh data proporsi kejadian infeksi nosokomial dari jumlah pasien 1.527 orang yang beresiko 160.417 (55,1%) terjadi di rumah sakit pemerintah, sedangkan dari jumlah pasien 991 orang yang beresiko 130.047 (35,7%) terjadi di rumah sakit swasta dan dari jumlah pasien 254 pasien yang beresiko 1.672 (9,1) terjadi di rumah sakit ABRI (Depkes RI, 2004). Pencegahan infeksi nosokomial yang dikemukakan oleh WHO (2002) menyatakan bahwa infeksi nosokomial membutuhkan keterpaduan, pemantauan, dan program dari semua tenaga kesehatan profesional yang meliputi: dokter, perawat, terapis, apoteker, dan lainlain.Pencegahan infeksi nosokomial yang menjadi kunci utama yaitu: (1) membatasi transmisi organisme antara pasien dalam melakukan perawatan pasien secara langsung melalui cuci tangan, menggunakan sarung tangan, teknik aseptik yang tepat, strategi isolasi, sterilisasi dan teknik desinfektan; (2) mengendalikan lingkungan yang berisiko untuk infeksi; (3) melindungi pasien dengan penggunaan profilaksis antimikroba yang tepat, nutrisi, dan vaksinasi; (4) membatasi risiko terjadinya infeksi endogenous dengan meminimalkan prosedur invasif , dan mempromosikan penggunaan antimikroba yang optimal; (5) surveilans infeksi, mengidentifikassi dan mengendalikan wabah; (6) pencegahan infeksi pada tenaga kesehatan; (7) meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan secara terus menerus dengan memberikan pendidikan.( http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27606/4/Chapter%20II.pdf) Strategi yang digunakan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah peningkatan kemampuan petugas kesehatan dengan metode Standar Precautions / Kewaspadaan Standar yang diterapkan pada semua orang (pasien, petugas atau pengunjung) yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan tanpa menghiraukan mereka terinfeksi atau tidak serta kewaspadaan berdasarkan penularan yang diperuntukkan bagi pasien rawat inap dengan menunjukkan gejala, terinfeksi dengan kuman yang bersifat pathogen.



Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi melibatkan semua unsur, mulai dari unsur pimpinan sampai kepada staf. Peran pimpinan yang diharapkan adalah menyiapkan sistem, sarana dan prasarana penunjang lainnya, sedangkan peran staf adalah sebagai pelaksana langsung dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai prosedur yang telah ditetapkan. (http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=415). Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu, agen infeksi (patogenitas, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor risiko pada pejamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari : a. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh. b. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi c. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan



yaitu



“Standard



Precautions”



(Kewaspadaan



standar)



dan



“Transmission-based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan). d. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis” / PEP) terhadap petugas kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C dan HIV. Kewaspadaan yang terpenting, dirancang untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien dalam rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik terdiagnosis infeksi, diduga terinfeksi atau kolonisasi.Diciptakan untuk mencegah transmisi silang sebelum diagnosis ditegakkan atau hasil pemeriksaan laboratorium belum ada.



Strategi utama untuk PPI, menyatukan Universal Precautions dan Body Substance Isolation Adalah kewaspadaan dalam pencegahan dan pengendalian infeksi Rutin dan harus diterapkan terhadap Semua Pasien di Semua Fasilitas Kesehatan. Kewaspadaan standar dirancang untuk mengurangi risiko terinfeksi penyakit menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Kewaspadaan Standar untuk pelayanan semua pasien. meliputi 1) Kebersihan tangan/Hand hygiene 2) Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face shield(pelindung wajah), gaun, 3) Peralatan perawatan pasien, 4) Pengendalian lingkungan, 5) Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen, 6) Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan, 7) Penempatan pasien,8) Hygiene respirasi/Etika batuk, 9) Praktek menyuntik yang aman dan 10) Praktek untuk lumbal punksi. 1. Kebersihan Tangan



 Hindari menyentuh permukaan disekitar pasien agar tangan terhindar kontaminasi patogen dari dan ke permukaan  Bila tangan tampak kotor, mengandung bahan berprotein, cairan tubuh, cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dengan air mengalir.  Bila tangan tidak tampak kotor, dekontaminasi dengan alkohol handrub  Sebelum kontak langsung dengan pasien



2. Alat Pelindung Diri (APD) :



Sarung Kaca



tangan,Masker, mata



pelindung,



Pelindung wajah, Gaun



 Pakai bila mungkin terkontaminasi darah, cairan tubuh,



sekresi,



ekskresi



dan



bahan



terkontaminasi, mukus membran dan kulit yang tidak



utuh,



kulit



utuh



yang



potensial



terkontaminasi  Pakai sesuai ukuran tangan dan jenis tindakan  Pakai sarung tangan sekali pakai saat merawat pasien  Lepaskan sarung tangan segera setelah selesai, sebelum menyentuh benda dan permukaan yang tidak terkontaminasi ,atau sebelum beralih ke pasien lain  Pakai sesuai ukuran tangan dan jenis tindakan  Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan



 Pakailah untuk melindungi konjungtiva, mukus membran



mata,



hidung,



mulut



selama



melaksanakan prosedur dan aktifitas perawatan pasien yang berisiko terjadi cipratan/semprotan dari darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi  Jangan memakai gaun pakai ulang walaupun untuk pasien yang sama  Bukan indikasi pemakaian rutin masuk ke ruang risiko tinggi seperti ICU, NICU 3. Peralatan perawatan pasien



 Buat aturan dan prosedur untuk menampung, transportasi,



peralatan



yang



mungkin



terkontaminasi darah atau cairan tubuh.  Lepaskan bahan organik dari peralatan kritikal, semi kritikal dengan bahan pembersih sesuai dengan sebelum di DTT atau sterilisasi.  Peralatan nonkritikal terkontaminasi didisinfeksi setelah



dipakai.



Peralatan



semikritikal



didisinfeksin atau disterilisasi. Peralatan kritikal harus didisinfeksi kemudian disterilkan  Peralatan makan pasien dibersihkan dengan air panas dan detergen  Dll 4. Pengendalian lingkungan



Pastikan bahwa rumah sakit membuat dan melaksanakan prosedur rutin untuk pembersihan, disinfeksi permukaan lingkungan, tempat tidur, peralatan disamping tempat tidur dan pinggirannya, permukaan yang sering tersentuh dan pastikan kegiatan ini dimonitor.



5. Pemrosesan



Peralatan Buang terlebih dahulu kotoran (misal: feses), ke



Pasien dan Penatalaksanaan toilet Linen



dan



letakkan



linen



dalam



kantong



linen.Hindari menyortir linen di ruang rawat pasien. Jangan memanipulasi linen terkontaminasi untuk hindari kontaminasi terhadap udara, permukaan dan



orang. Cuci dan keringkan linen sesuai SPO. Dengan air panas 70C, minimal 25 menit. Bila dipakai suhu < 70C pilih zat kimia yang sesuai. Pastikan kantong tidak bocor dan lepas ikatan selama transportasi. Kantong tidak perlu double. Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD 6. Kesehatan



karyawan



Perlindungan



/ Jangan



recap



Petugas memanipulasi



jarum



telah



dipakai,



jarum dengan tangan, menekuk



jarum, mematahkan,



Kesehatan



yang



melepas jarum dari spuit.



Buang jarum, spuit, pisau scalpel, dan peralatan tajam habis pakai kedalam wadah tahan tusukan sebelum dibuang ke insenerator 7. Penempatan pasien



Tempatkan pasien yang potensial mengkontaminasi lingkungan atau yang tidak dapat diharapkan menjaga



kebersihan



atau



kontrol



lingkungan



kedalam ruang rawat yang terpisah. Bila



ruang



isolasi



tidak



memungkinkan,



konsultasikan dengan petugas PPI. 8. Hygiene



batuk



respirasi/



Etika



 Edukasi petugas akan pentingnya pengendalian sekresi respirasi untuk mencegah transmisi pathogen dalam droplet dan fomite terutama selama musim / KLB virus respiratorik di masyarakat  Pasien, petugas, pengunjung dengan gejala infeksi saluran napas harus: 1) Menutup mulut dan hidung saat batuk atau bersin, 2) Pakai tisu, saputangan, masker kain/medis bila tersedia, buang ke tempat sampah dan 3) Lakukan cuci tangan



9. Praktek



menyuntik



yang Pakai jarum yang steril, sekali pakai, pada tiap suntikan



aman



untuk



mencegah



kontaminasi



pada



peralatan injeksi dan terapi. Bila memungkinkan sekali pakai vial walaupun multidose. Jarum atau spuit yang dipakai ulang untuk mengambil obat dalam vial multidose dapat menimbulkan kontaminasi mikroba yang dapat menyebar saat obat dipakai untuk pasien lain. 10. Praktek



untuk



punksi



lumbal Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam area spinal/epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi spinal dan epidural, myelogram untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring



(Perdalin. Pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya) https://www.k4health.org/sites/default/files/IPC%20Technical%20Guideline %202008%20small.pdf) Pengendalian infeksi nosokomial bertujuan untuk menekan dan memindahkan perkembangan infeksi pada penderita yang sedang dirawat di rumah sakit ataupun mengurangi angka infeksi yang terjadi di rumah sakit. Sebagian infeksi nosokomial ini dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia secara relatif murah (Linda Tietjen, 2004) yaitu: 1. Menaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan. 2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikuti dengan sterilisasi atau desinfektan tingkat tinggi. 3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area berisiko tinggi lainnya di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi.



Dalam suatu rumah sakit juga terdapat prosedur pencegahan infeksi yang telah ditetapkan. Tugas perawat dalam pengendalian infeksi nosokomial (Depkes RI, 2003) yaitu: 1. Kepala Bidang Keperawatan Kepala bidang keperawatan di suatu rumah sakit harus berperan sebagai: a. Anggota dalam program pencegahan dan pemberantasan infeksi nosokomial b.



khususnya yang berkaitan dengan aspek keperawatan. Bertanggung jawab mengembangkan program orientasi mengenai pencegahan



c.



dan pemberantasan infeksi nosokomial pada perawat /staf yang baru. Membantu program orientasi dan pendidikan serta latihan bagi tim kesehatan lain



d.



yang terlibat dalam asuhan pasien secara berkala. Mengevaluasi prosedur dan cara pelaksanaan yang telah ditetapkan agar program



dapat dilakukan secara efektif. 2. Kepala Ruangan Kepala ruangan beperan sebagai berikut: a. Memberi penilaian terhadap perawat bawahan dalam melaksanakan prosedur pencegahan infeksi nosokomial yang sudah di tetapkan. b. Melaporkan setiap indikasi adanya infeksi nosokomial kepada pihak yang berwenang untuk tindak lanjut masalah infeksi. c. Memberikan arahan dan bimbingan teknis pelayanan perawatan serta menekankan bahwa pentingnya peranan perawat dalam menentukanprogram pencegahan dan pemberantasan infeksi nosokomial. 3. Pelaksana Perawat a. Melaksanakan semua prosedur pencegahan infeksi yang telah ditetapkan. b. Melakukan tindakan perawatan secara benar. c. Waspada terhadap tanda / gejala infeksi yang di curigai dan melaporkan kepada kepala ruangan. d. Bekerjasama dengan ICN (Infection Control Nurse) dalam rencana berkala tentang informasi spesifik yang secara langsung berkaitan dengan ruangan tersebut untuk di diskusikan. 4. Infection Control Nurse(ICN) a. Penemuan kasus surveilans termasuk pencatatan, pelaporan, analisis, dan b. c. d. e.



interpretasi data. Menyelidiki Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah. Melakukan pengawasan, pencegahan dan pemberantasan infeksi. Merencanakan pendidikan. Memberikan rekomendasi program pemberantasan (http://library.upnvj.ac.id/pdf/s1keperawatan08/204312028/bab2.pdf)



Dalam Kepmenkes no. 129 tahun 2008 ditetapkan suatu standar minimal pelayanan rumah sakit, termasuk didalamnya pelaporan kasus infeksi nosokomial untuk melihat sejauh mana rumah sakit melakukan pengendalian terhadap infeksi ini. Data infeksi nosokomial dari



surveilans infeksi nosokomial di setiap rumah sakit dapat digunakan sebagai acuan pencegahan infeksi guna meningkatkan pelayanan medis bagi pasien (Kepmenkes, 2008). Rumah sakit merupakan health care system yang di dalamnya terdapat



sistem



surveilans sebagai upaya pengendalian dan pencegahan yang di dalamnya Rumah sakit mempunyai peran strategis dalam upaya mempercepat peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia, karena rumah sakit merupakan fasilitas yang padat karya dan padat teknologi. Peran strategis rumah sakit sangat diperlukan untuk menghadapi transisi epidemiologi yang terjadi saat ini. Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data dan diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan. Hasil ini penting untuk perencanaan, penerapan, evaluasi, praktek-praktek pengendalian infeksi. Secara singkat surveilans adalah memantau dengan berhati-hati dan memberikan tanggapan yang relevan. Suatu kegiatan surveilans harus mempunyai tujuan yang jelas dan ditinjau secara berkala untuk menyesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan yang mungkin telah berubah. Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi antara lain meliputi: 1. 2.



Adanya infeksi yang baru Perubahan kelompok populasi pasien, misalnya adanya penerapan cara intervensi



3. 4.



yang baru Adanya perubahan pola kuman penyakit Adanya perubahan pola resistensi kuman terhadap antibiotika



Kegiatan surveilans dilaksanakan untuk mencapai tujuan utama dari program pengendalian infeksi nosokomial yaitu mengurangi risiko terjadinya endemic dan epidemic dari infeksi nosokomial pada pasien.. Kegiatan surveilans merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting, selain kegiatan pencegahan infeksi, penanggulangan infeksi nosokomial, maupun pendidikan dan latihan. Pada pengumpulan dan analisis data surveilans harus dilakukan dan terkait dengan suatu upaya pencegahan. Oleh karena itu sebelum melakukan perencanaan atau program surveilans sangatlah penting untuk menentukan dan merinci tujuan dari dilaksanakannya kegiatan surveilans. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam surveilans infeksi nosokomial, antara lain :



1. 2. 3. 4. 



Metode surveilans berdasarkan cara pelaksanaan. Metode surveilans berdasarkan waktu pelaksanaan. Metode surveilans berdasarkan tujuan. Metode surveilans berdasarkan prioritas. Metode surveilans berdasarkan cara pelaksanaan terbagi dua, yaitu: a. Survey Pasif Rumah sakit dengan sumber daya yang terbatas sering melakukan surveilans pasif. Tenaga medis yang melakukan perawatan pasien diminta untuk melaporkan kasus-kasus infeksi kepada Komite Pengendalian Infeksi atau administrator rumah sakit. Kemudian Komite ataupun administrator tinggal menjumlahkan saja. Metode ini sangat tidak akurat, walaupun dalam format pelaporan yang dibuat sudah diuraikan tentang definisi ataupun batasan-batasan yang dibutuhkan tetapi seringkali para tenaga medis terlalu sibuk dan tidak merasakan kepentingannya untuk turut berpartisipasi dalam pengendalian infeksi nosokomial, sehingga sering terjadi perbedaan persepsi ataupun tidak terlaporkan walaupun ditinjau dari aspek biaya metode ini b.



lebih murah. Survey Aktif Surveilans yang dilaksanakan secara aktif sangatlah dianjurkan walaupun mempunyai tingkat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan survey pasif, namun memberikan hasil akurasi data maupun interpretasi data yang lebih baik. Bila ditinjau dari aspek pembiayaan







metode ini cukup mahal. Metode surveilans berdasarkan waktu pelaksanaan tebagi tiga, yaitu: a. Secara Berkala Surveilans dilaksanakan secara berkala dan dapat dilaksanakan pada unit-unit yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda. Biasanya diambil angka kejadian pokok, misalnya jumlah pasien yang terkena infeksi nosokomial dalam kurun waktu tertentu dibandingkan terhadap jumlah pasien yang disurvei. Frekuensi survey disesuaikan dengan program pengendalian infeksi b.



nosokomial secara keseluruhan. Survey per bagian secara terus-menerus Cara ini mencakup semua metoda yang bertujuan untuk mendapatkan suatu angka kejadian. Yang dimaksud dengan angka kejadian adalah jumlah kasus baru infeksi nosokomial dalam kurun waktu tertentu atas populasi yang beresiko. Biasanya fokus ditujukan pada daerah dengan resiko infeksi



yang tinggi sehingga pencegahan dapat dilaksanakan untuk mengurangi kasus infeksi ini. Cara ini disebut juga sebagai “ surveilans bersasaran”. Pemilihan lokasi survey dapat ditentukan oleh jenis unit atau prioritas ataupun berdasarkan kekebalan bakteri terhadap antibiotika tertentu. Pendekatan ini lebih hemat karena semua sumber daya diarahkan pada sasaran tertentu yang diketahui mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi nosokomial. Dalam survey untuk menentukan angka kejadian terdapat bermacammacam metode untuk identifikasi kasus, antara lain: 1)



Pengamatan terhadap kasus-kasus prospektif Cara ini merupakan cara yang paling akurat, karena sangat fleksibel dan informative serta menggunakan data yang terbaru. Program pengendalian yang disusun berdasarkan hasil surveilans inipun sangat sesuai karena kejadiannya baru saja terjadi, tetapi sangat mahal. Petugas melakukan survey dengan cara mengamati semua kasus yang terjadi dalam populasi secara berkala, selama pasien masih dirawat di rumah sakit. Cara ini sering dijadikan standar terbaik, tetapi tenaga yang dikeluarkan cukup besar dan hampir semua unit tidak dapat menyediakan sumber daya manusia untuk hal ini.



2)



Pengamatan terhadap kartu rekam medik Untuk dapat melakukan pengamatan terhadap kartu rekam medik perlu ditetapkan suatu kriteria tertentu (misalnya: meningkatnya suhu tubuh ), kemudian baru ditentukan pasien mana yang akan diamati lebih lanjut. Metode ini cukup akurat bagi rumah sakit yang memiliki perawatan yang lengkap, tetapi sangat tergantung pada kelengkapan pengisian kartu rekam medik dan akurasi data dalam pengisiannya. Metode ini tidak menggambarkan permasalahan yang terjadi sesuai



3)



dengan waktu kejadian karena sifatnya yang retrospektif. Pengamatan terhadap pasien yang mengonsumsi antibiotika Pada umumnya pasien dengan infeksi akan mendapatkan antibiotika, sehingga petugas survey hanya tinggal mengamati pasienpasien yang menggunakan antibiotika. Daftar pasien bisa didapatkan di bagian farmasi. Ketelitian metode ini telah dilaporkan mencapai lebih



4)



dari 90%. Pengamatan terhadap pasien yang mempunyai sampel bakteri



Banyak pasien infeksi yang memiliki sampel bakteri terisolasi di laboratorium sehingga petugas survey dapat meminta daftar pasien dari bagian laboratorium sebelum mengunjungi tempat perawatan. Tingkat akurasi metode ini sangat tergantung kepada intensitas pengambilan specimen dan kualitas laboratorium rumah sakit. Angka sensitivitas metode ini yang pernah dilaporkan sangat bervariasi dari 30% sampai c.



mencapai 70%. Survey yang dilaksanakan pada saat tertentu ( Point Surveilance ) Cara ini dilaksanakan dengan menghitung jumlah kasus lama dan kasus baru yang terjadi dalam jangka waktu yang spesifik atau pada suatu







saat tertentu. Metode surveilans berdasarkan tujuan (surveillance by objective) terbagi dua, yaitu : a. Surveilans Komprehensif Metode ini bertujuan untuk melakukan surveilans secara menyeluruh kejadian infeksi nosokomial pada semua pasien di suatu rumah sakit. Seorang perawat pengendali infeksi dapat menggunakan berbagai data termasuk data hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi untuk memperoleh informasi infeksi nosokomial selengkap mungkin. Kerugian metode ini adalah memerlukan waktu yang lama, sering data pemeriksaan penunjang medis kurang mendukung, dan kurang lengkap. Kendala waktu dapat diatasi dengan melakukan survey prevalensi (Surveilans Periodik Komprehensif). Pada infeksi nosokomial, terdapat dua yaitu pada titik waktu tertentu (point prevalence) atau periode tertentu (period prevalence). Kegunaan dari survey prevalensi adalah : 1) Menentukan kecenderungan (trend) dalam hal pergeseran bakteri 2)



penyebab infeksi dan perubahan pola penggunaan antibiotika. Menilai ketepatan system surveilans yang ada, dengan menetapkan



3) 4)



faktor efisiensi. Memperkirakan angka insidens secara cepat. Menilai tekhnik asuhan keperawatan yang berkaitan dengan pasien resiko tinggi dan meningkatkan kesadaran akan masalah infeksi nosokomial di rumah sakit yang belum dilaksanakan surveilans secara



b.



rutin. Surveilans Selektif Metode ini merupakan surveilans jenis infeksi tertentu atau surveilans yang dilakukan oleh masing-masing SMF/Unit kerja. Disamping tuntutan



sarana dan prasarana tidak sebanyak surveilans komprehensif, namun dengan penajaman penyusunan akan diperoleh hasi atau kesimpulan yang sangat bermanfaat dalam upaya menekan insidens infeksi nosokomial atau memotong mata rantai penyebaran infeksi nosokomial. Sebagai contoh : surveilans di bagian bedah, surveilans di bagian obsgyn, bagian penyakit dalam, bagian instalasi perawatan intensif, bagian 



laboratorium, dan lain-lain. Metode surveilans berdasarkan prioritas (Surveillance by Priority) Pendekatan berdasarkan prioritas ini dimaksudkan agar program surveilans memberi masukan sebesar-besarnya dengan sumber daya manusia dan dana yang terbatas, dengan jalan mengalokasikan sumber daya yang ada untuk kegiatan yang terarah untuk jenis infeksi tertentu saja. Yang dilakukan pada awal yaitu dengan disusunnya urutan jenis infeksi menurut besarnya masalah dan dikaitkan dengan beberapa parameter lain, seperti tambahan hari rawat dan tambahan biaya perawatan sebagai akibat terjadinya infeksi nosokomial. Maka indikator dari besarnya msalah di suatu rumah sakit adalah parameter besarnya biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk mengobati infeksi tersebut, karena biaya ini mencerminkan baik frekuensi maupun jumlah tambahan hari perawatan serta biaya tambahan lainnya.