Manaqib Habaib [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Al Habib Husein bin Hadi Al Hamid. Waliyullah Yang Berumur Panjang by ‫ أبو بكر الحامد‬on Tuesday, February 15, 2011 at 5:56am Habib Husein termasuk seorang Waliyullah yang berumur panjang dan jauh dari penyakit-penyakit. Selian itu, ia sampai akhir hayatnya tidak pernah absen shalat Subuh berjamaah



Di Desa Brani Kulon, Kraksan, Probolinggo (Jawa Timur), ada seorang Habib yang berumur panjang, ia wafat dalam usia 124 tahun. Ketika ditanya, kenapa ia tidak punya penyakit? ”Di hati saya, tidak mempunyai sedikit pun rasa iri dan dengki terhadap pemberian orang lain,” demikian kata Habib Husein bin Hadi bin Salim Al-Hamid. Selain itu, kunci dari Habib Husein berumur panjang adalah tidak lain karena ia secara istiqamah shalat Subuh berjemaah di Masjid dan gemar melakukan jalan kaki sekitar satu jam. Habib Husein berjalan kaki tiap sambil berdakwah, setiap tempat yang beliau lalui selalu ia mendatangkan rahmah. Ia berjalan kaki dari rumahnya yang ada di Brani keliling kampung atau ke pasar. Dengan berjalan kaki tiap pagi, seluruh peredaran darah dalam tubuh jadi lancar. Udara segar yang dihirup membuat kesegaran tubuh tetap prima, itulah salah satu keistimewaan waktu dari shalat Subuh. Habib Husein sendiri lahir di Hadramaut, Yaman Selatan pada tahun 1862 M dari pasangan Habib Hadi bin Salim Al-Hamid dan Ummu Hani. Dari kecil, Habib Husein dididik langsung oleh kedua orang tuanya itu. Patut diketahui, Habib Hadi bin Salim AlHamid, ayahanda Habib Husein, dikenal sebagai salah seorang wali yang kesohor di Hadramaut. Habib Husein dibesarkan sampai umur 86 tahun di Hadramaut. Bagi orang sekarang, usia 86 tahun itu sudah memasuki usia senja, kakek-kakek di mana orang sudah mulai kehilangan kekuatan dan gairahnya. Namun bagi Habib Husein, usia seperti itu tergolong muda. Kekuatannya tak jauh berbeda dengan usia pemuda saat ini. Itulah salah satu kekuatan Habib Husein. Di usia 86 tahun atau tepatnya 1929 M, ia masih senang mengembara ke berbagai negeri. Termasuk ke Hujarat dengan menggunakan kapal laut bersama saudagar-saudagar Arab yang berdagang melanglang buana ke berbagai negeri. Sejak itu ia Habib Husein meninggalkan Yaman dan tidak pernah kembali lagi ke sana. Sekitar 2 tahun, Habib Husein tinggal di Gujarat. Selama di Gujarat, ia berguru pada ulama setempat dan berdagang. Setelah itu, ia kembali mengembara ke Indonesia dengan



menggunakan kapal saudagar yang menuju Batavia. Tak berapa lama kemudian, ia mengembara lagi ke berbagai daerah dan akhirnya ia sampai ke kota Pekalongan. Di kota ini, Habib Husein kemudian berguru pada seorang wali besar, yakni Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alattas hingga beberapa tahun lamanya. Kepada auliya’ yang sangat terkenal di Kota Pekalongan itu, Habib Husein selain berguru ilmu lahir, ia juga mendalami ilmu batin. Sebagai tanda bahwa Habib Husein telah mencapai maqam kewalian yang mumpuni, ia kemudian dihadiahi sebuah sorban (kain putih) dan kopiah putih dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas. Atas pesan Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alattas (Pekalongan), Habib Husein kemudian mengasah ilmu kepada Habib Muhammad bin Muhammad Al- Muhdhor, yang tidak lain adalah guru dari Habib Ahmad bin Abdullah bin Tholib Alatas. Selama menjadi murid Habib Muhammad, Habib Husein senantiasa menadapat perintah untuk berdakwah ke berbagai daerah. Salah satu tugasnya yang terakhir dari gurunya itu, Habib Husein diperintahkan untuk menyebarkan dakwah ke Brani Kulon, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Ia masuk ke desa yang terpencil itu sekitar tahun 1939. Saat itu kondisi desa Brani masih berupa hutan belantara dan sarang penyamun. Tampaknya, Habib Husein memang sengaja ditugasi untuk membrantas para penyamun untuk kembali ke jalan Allah SWT. Setelah Habib Husein tinggal di Brani Kulon, ia langsung membuka dakwah dan dakwahnya itu diterima secara luas ke seluruh pelosok Kab Probolinggo. Tak mudah seperti dibayangkan, Habib Husein tidak langsung menempati rumah mewah di Brani. Ia harus membabat alas terlebih dahulu, bahkan ia hidup menumpang pada salah satu penduduk setempat. Kendati hanya hidup menumpang, ia tetap gigih berdakwah dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Kendati tempat tinggalnya menumpang, tetapi penyebaran Islam tak pernah berhenti hingga kemudian ia berhasil mendirikan pesantren kecil. Di desa itu pula ia mengakhiri masa lajangnya. Dalam sebuah perjalanan bersama para habaib dari berziarah ke Makam Habib Husein bin Abdullah Alaydrus (Kramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara). Habib Husein di dalam kereta api pernah dipaksa untuk menyediakan tempat duduknya oleh seorang pemuda kumal dan hanya memakai kaos oblong. Melihat seorang pemuda yang berdiri di depannya, Habib Husein kemudian berdiri sembari menyerahkan tempat duduknya kepada pemuda asing itu. Setelah berdialog beberapa saat dan Habib Husein memberi bekal uang yang tersisa pada pemuda tersebut. Tak berapa lama, tiba-tiba pemuda asing itu menghilang begitu saja. Ketika teman-teman Habib Husein mendapatinya sendirian, dan menanyakan tentang keberadaan pemuda asing tadi, Habib Husein berkata,”Dia itu sebenarnya adalah Nabiyallah Khiddir Alaihi Salam.” Amaliah Habib Husein tidak saja menyeimbangkan ibadah dengan Allah SWT (hablumminnallah), ia juga menjalin hubungan yang erat dengan Umat



(hablumminannas). Sering Habib Husein berjalan-jalan ke pasar dan melihat pedagang yang barang dagangannya tidak habis terjual atau malah tidak terjual sama sekali. Habib Husein tak segan-segan memborong barang dagangan dari pedagang yang ada di pasar agar si pedagang itu tidak menderita kerugian, atau minimal sang pedagang mendapat keuntungan. Tak pelak dengan keseimbangan amaliah itu, dakwahnya diterima dengan baik oleh masyarakat luas. Tak hanya itu, dalam soal keilmuan, para santri PP Aswaja Brani Kulon sangat mempercayai kalau Habib Husein itu adalah titisan dari Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Ikhwalnya ia mendapat julukan Titisan Syeikh Abdul Qadir Jaelani, adalah ketika Habib Ahmad, salah seorang sahabatnya pernah bermunajat kepada Allah agar bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Dalam mimpinya, ia dipertemukan dengan Syeikh Abdul Qadir Jaelani yang bersorban putih, dan ketika didekati ternyata wajah itu adalah wajah Habib Husein bin Hadi Al-Hamid. Sebagaimana banyak diketahui, Habib Husein kerap dikunjungi oleh para Habaib pada jamannya seperti salah seorang habib yang dikenal sebagai salah satu pejuang RI yakni Habib Soleh Tanggul (Jember). Habib Husein juga mempunyai kedekatan khusus dengan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih (Darul Hadits, Malang) dan lain-lain. Bahkan anak cucu keturunan dari Habib Husein banyak yang masuk pesantren Darul Hadits, seperti Habib Muhammad Shodiq (anak), Habib Abdul Qadir (cucu), Habib Salim (cucu). Sekarang pesantren peninggalan Habib Husein di asuh oleh Abdul Qadir bin Muh Shadiq bin Husein Al-Hamid. Habib Husein wafat hari Jum’at Legi, 11 Safar 1406 H/25 Januari 1986. Jenazahnya kemudian di makamkan di sebelah utara Masjid Al Mubarok, komplek Pondok Pesantren Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Desa Brani Kulon, Kecamatan Maron, Probolinggo, Jawa Timur. disarikan dari Manakib Habib Husein yang disusun oleh Habib Abdul Qadir bin Muhammad Shodiq bin Husein bin Al-Hamid.



AL HAFIDZ AL HABIB ABDULLOH BIN ABDUL QODIR BILFAQIH( MALANG JAWA TIMUR) Posted on 2 November 2007 by sachrony| 6 Komentar



Sewaktu saya sekolah di Madrasah Aliyah Assalamiyyah serang banten, Saya pernah mendengar Tentang Seorang ulama ahli hadist dan waliyulloh dari Malang Jawa timur dan kebetulan guru saya Almarhum Ustadz Bahrudin adalah Alummni dari pon-pes Darul hadist al faqihiiyah dan digembleng langsung oleh Samahat al Hafidz Habib Abdulloh Bin al habr habib Abdul qodir bil faqih.



Beliau RA sosok ulama yang karismatik, penuh disiplin dan tegas dalam hukum serta norma agama.beliau di lahirkan tepat tgl 12 robiul awal 1355 H.Dengan semangat belajar yang



menggelora dan bimbingan sang ayah,beliau mampu mengusai 40 fax ilmu agama. mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi semangat belajar tidak pernah pudar.Beliau RA benar-benar sebagai pigur penuntut ilmu yang tak mengenal lelah dan penuh dedikasi.Dikisahkan oleh keluarga beliau RA dan para santri ayandanya, bahwa dimasa mudanya beliau RA sering menderita sakit sampai mengeluarkan darah karena tekunnya duduk menelaah kitab-kitab yang beliu pelajari Habib ‘Abdullah bin ‘Abdul Qadir bin Ahmad BIlFaqih adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad BIlFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah.Setelah kemangkatan ayanndanya Habib Abdul qodir bi faqih sebagai putra tunggal beliau RA otomatis menggantikan posisi ayahandanya melanjutkan perjuangan dalam bidang pengajaran dan pendidikan di pesantren maupunbidang da’wah islamiyyah. Begitupun dengan majlis ta’lim yang pernah di selenggarakan oleh ayahandanya, beliauRA meneruskan kegiatan tersebut, majlis ta’lim yang di maksud adalah majlis yang bersifat khusus ( thoriqot) yang di selenggarakan minggu pertama dan minggu ketiga di pesantren darul hadist.Di samping itu jugabeliau RA da’wah hingga ke plosok daerah di indonesia dan di berbagai negara. Setiap akhir ceramahnya beliau RA selalu mengajak para jamaah untuk mengingat Alloh Swt dan Rosululloh SAW sambil meneteskan airmata, mengingat lumuran dosa meresapi bahwa hidup ini hanyalah bersifat sementara dan pada saatnya nanti kita akan mati serta di mintai pertanggung jawabannya oleh Sang Pencipta. Kepada santri-santri dan putra putri nya Beliau RA Memberikan perhatian yang besar, setiap malam sebelum sholat tahajut beliau RA selalu keliling P0ndok pesantren untuk melihat santrisantrinya yang tertidur jika ada kain yang tersingkap beliau lantas menuntupinya, dan jika beliau mengajar dan tidak tampak putranya di majlis maka beliu menyuruh santri memanggil putraputranya tersebut untuk ikut serta ta’lim di majlis Ayahandanya tersebut. Beliau RA selalu mengontrol putra-putri,santri serta murid thoriqohnya dengan jalan zhohir maupun batin karena beliu adalah termasuk orang MUKASYIF yakni orang yang dapat melihat hal-hal yang ghoib dengan tahadutsan bin ni’mah beliu RA Pernah mengatakan bahwa Alloh SWT memberikan karunia KASYAF Kepadaku sejak aku masih muda. Kecintaan beliu kepada Baginda Rosululloh SAW sangat dalam , pada saat beliau menyebut baginda Rosululloh SAW selalu diiringi dengan mengucurkan air mata, hal ini merupakan bukti kecintaan yang dalam dan tulus dari Beliau RA. Begitu pula pada acara majlis ta’lim beliau RA mengajak para jama’ah untuk bertawashul dan bersolawat kepada baginda Rosululoh SAW dengan mengucurkan air mata, tentu saja ini bukan maksud untuk dibuat-buat ( seperti banyak yang dituduhkan sebagian kelompok) bahwa perbutan tersebut menyerupai agama lain atau aliran sesat, padahal itu emua adalah merupakan bukti cinta yang mendalam kepada Rosululloh Saw karena kesucian dan keseriusan cinta maka akan bercucurlah air mata.



Beliau RA adalah seorang ulama besar dan waliyulloh suatu ketika beliau didatangi oleh Nabi Khidir AS sebagaimana yang beliau tuturkan , nabi Khidir memberi salam “SELAMAT SEJAHTERA WAHAI WALI QUTUB….PUTRA DARI WALI QUTUB…..DAN BAPAK DARI WALI QUTUB....” dan ini juga adalah merupakan suatu isyaroh bahwa suatu hari kelak anak-anak beliau yang masih hidup dan sekarang menjadi pengasuh Pon-pes Darul Hadist Al faqihiyyah yaitu Habib Muhammad bil Faqih, habib Abdul qodir bil faqih dan Habib Abdurrohman Bil faqih akan menjadi wali-wali qutub. Sifat dan karekter mereka dalam berda’wah dan mengisi majlis ta’lim sama seperti Ayahandanya tegas dan disiplin, ini yang saya rasakan waktu saya belajar di pesantren Darul Hadist al faqihiyyah tahun 1998 kalau anak-anak beliau memberikan ceramah atau mengajar di kelas semua santri akan tertunduk seakan-akan sedang berhadapan dengan Ayanhanda Beliau Al hafid Habib Abdulloh Bil Faqih. Putra beliau RA (sebelah kiri) Habib Muhammad Bil faqih



Isyarah akan berpulangnya Al hafidz Al alamah Al habib Abdulloh Bil faqih sebagaimana penuturan putra beliau, Bahwa Ayahandanya Ra bermimpi di emban oleh Baginda Rosululloh SAW dan ayah akan pergi duhulu bersama ibumu (almarhumah).Dan di tuturkan juga oleh seseorang yang dianggap saudara sendiri sekaligus putra guru Beliau yakni Al habibul Jalil Dzil Majdil Atsil seggaf bin Al imam Abi Bakar bin Muhammad Assegaf bahwa tiga hari sebelum wafat beliau RA sempat menghubunginya dan berpesan agar hadir pada hari Ahad tanggal 30 november 1991 ( hari pemakaman Beliau RA) dan sempat pula beliua RA menitipkan putraputrinya. pukul 11.00 beliau Al hafidz memanggil putranya Habib Muhammad bil Faqih dan putrinya sambil berkata” Do’akan ayahmu panjang umur….” kurang lebih pukul 13.15 tiba-tiba beliua berucap ” ya Alloh……menghadaplah beliau RA keharibaan Alloh Swt, inilah bukti kuasa dan kehendak Alloh SWT. Berpulanglah Maha Guru Kami tepat tanggal 30 november 1991, ribuan orang ikut mengiringi …belaiu Ra dimaqomkan di samping maqom Ayahandanya Al habr Al a’lamah Habib Abdul Qodir Bil faqih di TPU kasin malang. Ya Alloh Beri kami keberkahan dari Beliau karena rasa cinta hamba kepada beliau Ra. amiiin maqom Beliau RA



HABIB MUHAMMAD BIN AHMAD AL-MUHDOR (Bondowoso) Thursday, 20 January 2011 11:06 Perawakannya tampan dan gagah, orang yang melihatnya pasti mengetahui kalau beliau memiliki charisma yang sangat besar.Dari wajahnya terpancar cahaya yang begitu hebat. Beliau adalah menantu dari seorang tokoh auliya di masanya, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus AlHabsyi (Surabaya). Hubungan antara keduanya begitu erat. Satu sama lain saling menghormati dan lebih memandang kelebihan ada pada yang lain. Menantu dan mertua sama-sama auliya. Habib Muhammad Al-Muhdhor lahir di desa Quwaireh, Du’an Al-Ayman, Hadramaut, pada tahun 1280 H atau sekitar tahun 18633 M. Ayahnya, Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor, seorang ulama rujukan para ahli ilmu di zamannya. Beliau lahir di Ar-Rasyid AdDu’aniyah 1217 H dan wafat pada tahun 1304 H bertepatan dengan tahun 1886 M.



Lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Itulah yang terjadi pada kalangan Alawiyin di Hadramaut masa itu hingga saat ini. Sebagaimana lazimnya pendidikan para Alawiyin di Hadramaut, Habib Muhammad mendapat bimbingan agama langsung dari ayahnya. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an dan belajar berbagai kitab keilmuan pada ayahnya. Beliau juga belajar kepada kakaknya, Al-Habib bin Ahmad Al-Muhdhor. Jika kita perhatikan kita dapat mengetahui, bahwa pendidikan para ulama bain alawi di Hadramaut menghasilkan sanad keilmuan dari seorang wali bin wali dan seterusnya, hingga bersambung kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Setelah belajar kepada ayah dan kakaknya, Habib Muhammad kemudian belajar mendapatkan ijazah dari para ulama dan auliya’ di saat itu. Salah sarunya adalah Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Dan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas inilah yang merupakan guru pembentuk karakter dan kepribadian Habib Muhammad Al-Muhdhor. Ketika itu, Haibi Muhammad selalu mengikuti majelis Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, dan beliau pula yang meyertai kemana pun sang guru ini pergi. Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469 di ceritakan bahwa, Habib Muhammad Al-Muhdor mengisahkan salah satu peristiwa dalam kehidupannya ketika menuntut ilmu pada waktu itu. “Saya membaca kitab Al-Muhadzab kepada Al-Imam Al-Walid Al-Habib Ahmad bin Hasan AlAttas. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk menyelesaikan, beliau meminta saya untuk menemaninya dalam perjalanan pulang ke Huraidhah, desa di mana beliau tinggal. Maka saya pun menuruti perintah beliau. Dalam perjalanan itulah saya membaca kitab tersebut bersama beliau, sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan pembacaan kitab itu pada hari keberangkatan kami dari Gaidun. KEtika itu kami berjalan mengendarai dua kuda berdampingan”. Selanjutnya, ketika ayah beliau wafat. Bersama Habib Hamid kakaknya, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke berbagai negeri untuk merayu ke Jalan Allah dan Rasulnya. Berdua mereka melakukan perjalanan ke Singapura dan Indonesia. Dimana pun tempat beliau singgah, mereka selalu di sambut oleh para penduduk negri dengan suka cita dan penuh penghormatan. Setelah itu, berdua mereka kembali ke kampong halaman di Hadramaut. Selang beberapa waktu, Habib Hamid kakaknya, melakukan perjalanan ke tanah suci, untuk melaksanakan ibasah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah. Sekembalinya kakak beliau dari tanah suci, pada tahun 1308 H, Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke kotaHeydrabad di India. Beliau dating untuk memenuhi undangan Sultan ‘Awad bin Umar AL-Qu’aythi. Di India, beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya, ribuan manusia segala lapisan dan golongan berbondongbondong datang untuk menemui beliau. Dari India, beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Indonesia, dan beliau memilih Bondowosao. Disanalah beliau menetap dan berdakwah. Beberapa waktu kemudian, Habib Muhammad Al-Muhdhor beremu dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Dari pertemuan itulah yang mendorong beliau untuk berguru kepada Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Idrus AL-Habsyi. Karena eratnya hubungan keduanya, akhirnya Habib Muhammad Al-Muhdhor menikah dengan putrid Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.



Dalam berdakwah, beliau menggunakan cara yang santun dan bijak. Beliau berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka. “Kallimu an-naas ‘ala qadri uquulihim”. Dalam beramar ma’ruf nahi munkar beliau menggunakan cara yang santun dan halus. Hingga semua lapisan masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya. Semua kalangan, baik dari kalanganAlawiyin, orang-orang Pribumi, bahkan para pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau. Habib Muhammad sangat senang menerima tamu yang datang ke rumah beliau. Dengan wajah berseri-seri beliau menyambut para tetamunya di depan pintu dan menghormatinya bak raja yang datang. Beliau sendiri yang menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu. Beliau yang sangat peduli dengan keadaan kaum muslimin, terlebih-lebih pada para Saadah Alawiyin. Karena kepeduliannya yang begitu besar terhadap para Alawiyin, hingga beliau seakan-akan sebagai bapak dari para Alawiyin yang ada pada masa itu. Selain ulama, beliau juga ahli di bidang sastra, banyak tulisan dan karya syair-syair beliau. Beliau merupakan sosol ulama yang sering melakukan kontak hubungan dengan para ulama di negeri lain guna memeahkan berbagai masalah tentang dakwah Islam. Diantara para ulama itu adalah : Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan AL-Habib Muhammad bin Agil bin Yahya dari Hadramaut. Setelah beberapa hari menjalani perawatan di Surabaya akibat sakit yang di deritanya, pada malam selasa 21 Syawal 1344 H, bertepatan dengan 4 Mei 1926 M, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor wafat. Beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dengan kewafatannya, para pecinta beliau seakan-akan menjadi yatim dan kehilangan sosok ayah. Pada keesokan harinya, dengan diiringi seruan tahlil dan uraian mata, ribuan kaum muslimin mengantarkan jenazah beliau ke pemakaman. Jasad beliau di makamkan dalam qubah di pemakaman Al-Habib Hasan Al_habsyi. Makam beliau bersanding dengan makam Al-Imam AlHabib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang merupakan mertua, guru sekaligus sahabat beliau. BEliau meninggalkan lima anak laik-laki yang menjadi khalifah penerus dakwahnya, mereka dalah : Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Alwi bin Muhammad AlMuhdhor, Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Husein bin Muhammad AlMuhdhor dan Al-Habib Muhdhor bin Muhammad Al-Muhdhor, yang mereka kesemuanya menjadi ulama, beliau juga meninggalkan 3 anak perempuan. Sumber: www.nurulmusthofa.org



Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas Pekalongan Posted by admin on Januari - 1 - 2010 with 12 Comments Bagi warga Pekalongan, ketokohan ulama yang satu ini, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas tidak diragukan lagi. Bukan hanya karena ilmu agama beliau yang cukup mumpuni, tetapi juga



diiringi dengan perilaku dan kerendahan hati beliau yang sangat terpuji dalam menyebarkan agama Islam, serta tegas dan kukuh memerangi kemungkaran. Tidak mengherankan, meski beliau telah wafat 80 tahun yang lalu, namun semerbak ilmu yang diamalkan tidak pernah hilang, tetapi justru terus berkembang hingga kini. Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas dilahirkan di kota Hajren, Hadramaut, Yaman, pada tahun 1255 Hijriah atau 1836 Masehi. Setelah menguasai Al-Quran dan mendalami dasar-dasar ilmu agama, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para pakar dan ulama terkenal lainnya. Kecerdasan, ketekunan dan keinginan beliau untuk terus belajar layakya tidak akan berhenti. Beliaupun melangkah menimba ilmu yang lebih banyak lagi di Makkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu dari berbagai ulama di dua kota suci itu, namun guru yang paling utama dan paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi beliau adalah As-Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Yang terakhir ini adalah seorang pakar ulama di Makkah yang memiliki banyak murid dan santri, baik dari Makkah sendiri maupun negara-negara Islam lainnya, termasuk para tokoh ulama dan kyai dari Indonesia, seperti Hadratul Fadlil Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari Jombang, pendiri NU dan kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid, KH Murtadha, tokoh ulama Betawi akhir abad 19. Di antara murid atau orang yang seangkatan Ahmad Zaini Dahlan di Makkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukim (mukimin) Indonesia di Makkah mengarang kitab-kitab kuning, seperti Tafsir Munir yang bukan saja dijadikan acuan di Indonesia tapi juga di hampir semua dunia Islam. Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan, terutama latihan kerohaniaan secara mendalam, Habib Ahmad oleh guru besarnya ditugaskan untuk berdakwah dan mengajar di Makkah. Di kota kelahiran Nabi ini, beliau dicintai dan dihormati segala lapisan masyarakat karena berusaha meneladani kehidupan Rasulullah. Setelah tujuh tahun mengajar di Makkah, Habib Ahmad kemudian kembali ke Hadramaut. Setelah tinggal beberapa lama di kota kelahirannya, beliau merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia. Pada masa itu, sedang banyak-banyaknya para imigran dari Hadramaut ke Indonesia, di samping untuk berdagang, juga untuk menyebarkan agama Islam. Setibanya di Indonesia, beliau kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu yang dinilai beliau masih membutuhkan dukungan penyiaran Islam, maka tergeraklah hati beliau untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kaki di kota ini, beliau melaksanakan tugas sebagai Imam di masjid Wakaf yang terletak di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya). Kemudian beliau membangun dan memperluas masjid tersebut. Di samping menjadi imam, di masjid ini Habib Ahmad juga mengajar membaca Al-Quran dan kitab-kitab Islam, serta memakmurkan masjid dengan bacaan maulid Diba’, Barzanji, wirid dan hizib di waktu-waktu tertentu. Beliau juga dikenal sebagai seorang hafidz (penghafal Al-Quran). Melihat suasana pendidikan agama pada waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah yang letaknya berseberangan dengan masjid



Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah pada waktu itu, hingga menghasilkan banyak ulama. Madrasah yang didirikan lebih dari satu abad ini, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern yang kemudian berkembang pesat di kotakota lain. Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, beliau selalu tampil dengan rendah hati (tawadlu’), suka bergaul dan marah bila dikultuskan. Kendati demikian, menurut cicit beliau, Habib Abdullah Bagir, “Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum Allah atau melihat orang yang meremehkan soal agama, seperti menegakkan amar ma’ruf nahi munkar”. Menurut Habib Bagir, kakeknya ibarat khalifah Umar bin Khattab yang tegas menentang setiap melihat kemungkaran, tidak peduli yang melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi. Sebagai contoh, para wanita tidak akan berani lalu lalang di depan kediaman beliau tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Pernah seorang istri residen Pekalongan dimarahi karena berpapasan dengan beliau tanpa menggunakan tutup kepala. Cerita-cerita yang berhubungan dengan tindakan Habib Ahmad ini sudah begitu tersebar luas di tengah masyarakat Pekalongan. Bahkan, setiap ada perayaan yang menggunakan bunyi-bunyian seperti drumband, mulai dari perempatan selatan sampai perempatan utara Jl. KH. Agus Salim tidak dibunyikan karena akan melewati rumah beliau. Beliau juga sangat keras terhadap perjudian dan tidak ada yang berani melakukannya di kota ini saat beliau masih hidup. Keberanian beliau dalam menindak yang mungkar itu rupanya diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. “Saya kagum dengan Ahmad bin Thalib Al-Attas yang dapat menjalankan syari’at Islam di negeri asing, negeri jajahan lagi”, kata Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, seorang ulama dari Hadramaut. Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid Wakaf Jl. Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal paha akibat jatuh hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu, beliau mengalihkan kegiatannya di kediamannya termasuk shalat berjamaah dan pengajian. Sakit tersebut berlanjut hingga beliau wafat pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di pemakaman Sapuro, Kota Pekalongan. Namun, peringatan haul beliau diselenggarakan pada setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nisfu Sya’ban, yang setiap tahun dihadiri ribuan orang termasuk dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan seluruh santri di Nusantara. Ketika beliau wafat, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan dan sekitarnya mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir. “Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti ketika wafatnya Habib Ahmad”, tutur Habib Alwi Al-Attas, 70, salah seorang kerabat beliau.



Karena itulah, setiap haul beliau dihadiri oleh ulama terkemuka, termasuk almarhum KH. Abdullah Syafi’i dan kini dilanjutkan oleh putranya KH. Abdul Rasyid AS, serta KH. Abdurrahman Nawi dari Jakarta, dan para tokoh ulama lainnya. Bak pepatah gajah mati meninggalkan gading, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas tak pernah surut didoakan oleh ribuan para peziarah, karena amal perbuatan yang dilakukan selama beliau hidup sangat mulia.



HABIB ABDUL QODIR BIN AHMAD BIL FAQIH MALANG JAWA TIMUR Posted on 24 Agustus 2007 by sachrony| 10 Komentar



Yang mulia maha guru Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut, pada hari Selasa 15 Safar tahun 1316 H/1896 M. Saat bersamaan menjelang kelahirannya, salah seorang ulama besar, Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf, bermimpi bertemu Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir Jailani. Dalam mimpi itu Syekh Abdul Qadir Jailani menitipkan kitab suci Al-Quranul Karim kepada Habib Syaikhan bin Hasyim Assegaf agar diberikan kepada Habib Ahmad bin Muhammad Bilfagih. Pagi harinya Habib Syaikhan menceritakan mimpinya kepada Habib Ahmad. Habib Ahmad mendengarkan cerita dari Habib Syaikhan, kemudian berkata, ”Alhamdulillah, tadi malam aku dianugerahi Allah SWT seorang putra. Dan itulah isyarat takwil mimpimu bertemu Syekh Abdul Qadir Jailani yang menitipkan Al-Quranul Karim agar disampaikan kepadaku. Oleh karena itu, putraku ini kuberi nama Abdul Qadir, dengan harapan, Allah SWT memberikan nama maqam dan kewalian-Nya sebagaimana Syekh Abdul Qadir Jailani.” Demikianlah, kemudian Habib Ahmad memberi nama Abdul Qadir karena mengharap berkah (tafa’ul) agar ilmu dan maqam Abdul Qadir seperti Syekh Abdul Qadir Jaelani. Sejak kecil, ia sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu. Sebagai murid, ia dikenal sangat cerdas dan tangkas dalam menerima pelajaran. Pada masa mudanya, ia dikenal sebagai orang yang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu dan menaruh penghormatan yang tinggi kepada guru-gurunya. Tidaklah dinamakan mengagungkan ilmu bila tidak memuliakan ahli ilmu, demikian filosofi yang terpatri dalam kalbu Habib Abdul Qadir. Pernah suatu ketika di saat menuntut ilmu pada seorang mahaguru, ia ditegur dan diperingatkan, padahal Habib Abdul Qadir waktu itu pada pihak yang benar. Setelah memahami dan mengerti bahwa sang murid berada di pihak yang benar, sang guru minta maaf. Namun, Habib Abdul Qadir berkata, ”Meskipun saya benar, andaikan Paduka memukul muka hamba dengan tangan Paduka, tak ada rasa tidak menerima sedikit pun dalam diri hamba ini.” Itulah salah satu contoh keteladanan yang tinggi bagaimana seorang murid harus bersopan-santun pada gurunya. Guru-guru Habib Abdul Qadir, antara lain, Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiry, Habib Alwy bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, Habib Muhammad bin



Ahmad Al-Muhdor, Syekh Segaf bin Hasan Alaydrus, Syekh Imam Muhammad bin Abdul Qadir Al-Kattany, Syekh Umar bin Harridan Al-Magroby, Habib Ali bin Zain Al-Hadi, Habib Ahmad bin Hasan Alatas, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsy, Syekh Abubakar bin Ahmad Al-Khatib, Syekh Abdurrahman Bahurmuz. HABIB ABDUL QODIR BIN AHMAD BIL FAQIH(TENGAH)



Dalam usia yang masih anak-anak, ia telah hafal Al-Quran. Tahun 1331 H/1912 M, ia telah mendapat ijazah dan berhak memberikan fatwa agama, antara lain di bidang hukum, dakwah, pendidikan, dan sosial. Ini merupakan anugerah Allah SWT yang telah diberikan kepada hamba pilihan-Nya. Maka tidak berlebihan bila salah seorang gurunya, Habib Alwi bin Abdullah bin Syihab, menyatakan, ”Ilmu fiqih Marga Bilfagih setara dengan ilmu fiqih Imam Adzro’iy, sedangkan dalam bidang tasawuf serta kesusastraan bagai lautan tak bertepi.” Sebelum meninggalkan kota Tarim untuk berdakwah, di tanah kelahirannya ia sempat mendirikan organisasi pendidikan sosial Jami’yyatul Ukhuwwah wal Mu’awanah dan Jami’yyah An-Nasr Wal Fudho’il tahun 1919 M. Sebelum berhijrah ke Indonesia, Habib Abdul Qadir menyempatkan diri beribadah haji dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan dan singgah di beberapa kota dan negara, seperti Aden, Pakistan, India, Malaysia, dan Singapura. Di setiap kota yang disinggahi, ia selalu membina umat, baik secara umum maupun khusus, dalam lembaga pendidikan dan majelis taklim. Tiba di Indonesia tepatnya di kota Surabaya tahun 1919 M/1338 H dan langsung diangkat sebagai direktur Madrasah Al-Khairiyah. Selanjutnya, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Madrasah Ar-Rabithah di kota Solo tahun 1351 H/1931 M. Selepas bermukim dan menunaikan ibadah haji di Makkah, sekembalinya ke Indonesia tanggal 12 Februari 1945 ia mendirikan Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah dan Perguruan Islam Tinggi di kota Malang. Ia pernah diangkat sebagai dosen mata kuliah tafsir pada IAIN Malang pada 1330 H/1960 M. Keistimewaan Habib Abdul Qadir adalah, ia ahli ilmu alat, nahwu, sharaf, manthiq, ilmu kalam, serta ma’any, bayan, dan badi (tiga yang terakhir merupakan bagian ilmu sastra). Dalam bidang hadits, penguasaannya adalah bidang riwayat maupun dirayah, dan hafal ribuan hadits. Di samping itu, ia banyak mendapat hadits Al-Musalsal, yakni riwayat hadits yang tersambung langsung kepada Rasulullah SAW. Ini diperolehnya melalui saling tukar isnad (saling menukar periwayatan hadits) dengan Sayid Alwy bin Abas Al-Maliky saat berkunjung ke Makkah.



Sebagai seorang ulama yang menaruh perhatian besar dalam dunia pendidikan, ia juga giat mendirikan taklim di beberapa daerah, seperti Lembaga Pendidikan Guru Agama di Sawangan, Bogor, dan Madrasah Darussalam Tegal, Jawa Tengah. Banyak santrinya yang di kemudian hari juga meneruskan jejaknya sebagai muballigh dan ulama, seperti Habib Ahmad Al-Habsy (Ponpes Ar-Riyadh Palembang), Habib Muhammad Ba’abud (Ponpes Darul Nasyi’in Malang), Habib Syekh bin Ali Al Jufri (Ponpes Al-Khairat Jakarta Timur), K.H. Alawy Muhammad (Ponpes At-Taroqy Sampang, Madura). Perlu disebutkan, Prof. Dr. Quraisy Shihab dan Prof. Dr. Alwi Shihab pun alumnus pesantren ini. Habib Abdul Qadir wafat pada 21 Jumadil Akhir 1382 H/19 November 1962 dalam usia 62 tahun. Kala saat-saat terakhirnya, ia berkata kepada putra tunggalnya, Habib Abdullah, ”… Lihatlah, wahai anakku. Ini kakekmu, Muhammad SAW, datang. Dan ini ibumu, Sayyidatunal Fatimah, datang….” Ribuan umat berdatangan untuk meyampaikan penghormatan terakhir kepada sang permata ilmu yang mumpuni itu. Setelah disemayamkan di Masjid Jami’ Malang, ia dimakamkan di kompleks makam Kasin, Malang, Jawa Timur.



Manakib Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas Ditulis Oleh Administrator Friday, 03 October 2008



Beliau adalah seorang diantara sejumlah waliyullah asal Hadramaut, beliau seorang ulama besar yang memiliki karamah luar biasa, beliau di lahirkan di Huraidhah, Hadramaut pada hari Selasa pada tanggal 19 Ramadhan 1257 H/1837 M. Karamahnya yang sangat terkenal beliau mampu melihat secara batiniah, sementara pengelihatan lahiriahnya tidak dapat melihat sejak masih dalam penyusuan ibundanya, beliau terserang penyakit mata yang sangat ganas sehingga buta. Kemampuan itu beliau miliki sejak masih kecil hingga berusia lanjut, suatu hari beliau memenuhi undangan salah seorang santrinya di Mesir, ketika sedang duduk bersama tuan rumah, tiba-tiba beliau meminta salah seorang hadirin membuka salah satu jendela karena semua jendela tertutup.”Angin di luar sangat kencang,” kata orang itu, akan tetapi AlHabib Ahmad mendesak agar jendela di buka. Ternyata di bawah jendela itu anak sang tuan rumah tengah berjuang melawan maut, tercebur ke dalam kolam persis di bawah jendela. Tentu saja seluruh hadirin terutama tuan rumah panik, kontan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas berseru agar orang-orang segera menyelamatkannya, dan alhamdulillah akhirnya anak itu selamat. Itulah salah satu karamah beliau, mampu melihat sesuatu yang terjadi dengan mata bathin yang justru tidak terlihat oleh orang biasa. Ketika masih dalam penyusuan ibundanya beliau menderita sakit mata yang sangat ganas hingga buta, ibundanya sangat sedih, lalu membawa anaknya kepada Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas salah seorang ulama besar di zamannya. Sang ibu meletakkan bayi mungil itu di depannya, lalu menangis,” apa yang dapat kami perbuat dengan anak buta ini ? ” jerit ibunya. Al-Habib Sholeh pun segera menggendong bayi itu lalu memandanginya dengan tajam, setelah berdoa tak lama kemudian ia pun berkata, ” anak ini akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya, ia akan mencapai maqam kakeknya Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.” Mendengar kata-kata menyejukan itu sang ibu terhibur, maka sejak itu Al-Habib Ahmad yang masih bayi mendapat perhatian khusus dari AlHabib Sholeh. Manakala melihat si kecil berjalan menghampirinya AlHabib Sholeh pun berkata dengan lembut, “ selamat datang pewaris sirr (hikmah kebijaksanaan) Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-‘Atthas.” (AlHabib Umar bin Abdurrahman Al-Atthas kakeknya adalah ulama besar dan waliyullah penyusun Ratib Al-Atthas yang sangat termasyhur). Lalu AlHabib Sholeh mengangkat anak kecil itu untuk diboncengkan di kuda tunggangannya.



Sejak berusia lima tahun Al-Habib Ahmad sudah belajar mengaji kepada kakeknya yang lain Al-Habib Abdullah, setelah itu beliau belajar ilmu agama kepada Faraj bin Umar Sabbah, salah seorang murid Al-Habib Hadun bin Ali bin Hasan Al-‘Atthas dan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas yang juga termasyhur sebagai ulama. Seperti kebanyakan para ulama asal Timur Tengah, beliau juga memiliki daya ingat luar biasa, beliau mampu menghafal sesuatu dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke Huraidhah beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka. ”Aku selalu menghormati dan mengagungkan para ulama salaf yang datang ke kotaku, ” katanya. Semua makhluk memang memiliki mata yang mampu melihat, memandang, mengamati, tapi hanya hamba Allah yang dipersiapkan oleh Allah SWT untuk dekat dengan-Nya yang mendapat anugerah mata hati (bashirah). Cerita Al-Habib Umar bin Muhammad Al-‘Atthas mengenai karamah Al-Habib Ahmad sangat menarik, “ketika masih kecil, aku suka bermain dengan Al-Habib Ahmad dijalanan, usia kami sebaya, ketika itu aku sering mendengar orang-orang memperbincangkan kewalian dan mukasyafah (kata benda untuk kasyaf, kemampuan untuk melihat hal-hal yang tidak kasat mata) Al-Habib Ahmad. Namun aku belum pernah membuktikannya,” katanya. Suatu hari aku berusaha membuktikan cerita orang-orang itu. Jika ia seorang wali aku akan membenarkannya, tapi jika hanya kabar bohong aku akan membuatnya menderita. Kami menggali lubang lalu kami tutup dengan tikar, setelah tiba saat bermain aku mengajak Al-Habib Ahmad berlomba lari. Ia kami tempatkan di tengah tepat ke arah lubang itu, ajaib ketika sudah dekat dengan lubang itu ia melompat seperti seekor kijang. Awalnya kami kira kejadian itu hanya kebetulan, kami pun mengajaknya berlomba kembali, tetapi ketika sampai di depan lubang ia melompat kembali ketika itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa,” katanya lagi. Ketika berusia 17 tahun beliau menunaikan ibadah haji, kedatangannya di Makkah di sambut oleh Al-‘Allamah Mufti Haramain, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang menganjurkannya untuk menuntut ilmu Al-Qur’an kepada seorang ulama besar di Makkah, Syaikh Ali bin Ibrahim As-Samanudi, setelah hafal Al-Qur’an Al-Habib Ahmad mempelajari berbagai gaya qiraat Al-Qur’an. Ketika membuka talim di Masjidil Haram, Sayyid Zaini Dahlan memberi kesempatan kepada beliau untuk membacakan hafalan Al-Qur’an-nya. Mereka memang sangat akrab, sering bertadarus bersama. Mereka juga



sering berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Makkah dan Madinah. Pada 1279 H/sekitar 1859 M, ketika usianya 22 tahun beliau pulang dan mengajar serta berdakwah di Hadramaut.



Berkhalwat di Huraidhah Guru yang berjasa mendidik beliau antara lain, Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi Al-Muchdlar, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Idrus Al-Bar, Al-Habib Abdurrahman bin Ali bin Umar bin Segaf Assegaf dan Al-Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih. Sementara gurugurunya dari Makkah dan Madinah adalah Al-Habib Muhammad bin Muhammad Assegaf, Al-Habib Fadhl bin Alwi bin Muhammad bin Sahl Muala Dawilah dan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Sedangkan kitab yang beliau pelajari (lewat pendengaran) dengan bimbingan Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-‘Atthas, antara lain, Idhahu Asrari Ulumil Muqarrabin, Ar-Risalatul Qusyairiyyah, Asy-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh, dan Mukhtashar al-Adzkar karya Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq. Sejak berguru kepada Al-Habib Sholeh beliau tidak pernah meninggalkan majelis itu, hingga sang guru wafat pada 1279 H/sekitar 1859 M. Pada tahun 1308 H/kurang lebih 1888 M,ketika berusia 51 tahun beliau berkunjung ke Mesir, di temani oleh empat muridnya : Syaikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, Abdullah bin Sholeh bin Ali Nahdi, Ubaid Ba Flai’ dan Sayyid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi. Beliau disambut oleh ulama terkemuka Umar bin Muhammad Ba Junaid. Selama 20 hari di Mesir beliau sempat mengunjungi Syaikhul Islam Muhammad Al-Inbabiy dan bebeapa ulama termasyhur lainnya di kairo. Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke Makam Rasulullah SAW, beribadah umrah ke Makkah, lalu menuju Jeddah, Aden, Mukalla, kemudian pulang. Pada 1321 H/sekitar 1901 M, ketika berusia 64 tahun beliau berkunjung ke Tarim dan singgah di Seiwun untuk bertemu dengan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, penyusun maulid Simthud Durrar. Ketika itu Al-Habib Ali meminta agar Al-Habib Ahmad memberikan ijazah kepada hadirin. Pada usia 68 tahun sekali lagi beliau menunaikan ibadah haji, sekalian berziarah ke makam Rasulullah SAW. Pulang dari tanah suci beliau lebih banyak berkhalwat di Huraidhah, menghabiskan sisa usia untuk beribadah dan berdakwah. Beliau wafat pada hari senin malam 6 Rajab 1334



H/kurang lebih 1914 M dalam usia 77 tahun. Banyak murid beliau yang di kemudian hari berdakwah di Indonesia, seperti Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang,Jakarta), AlHabib Syekh bin Salim Al-‘Atthas (Sukabumi, Jawa Barat), Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf (Gresik, Jawa Timur), Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih Al-Alawy (Malang, Jawa Timur) dan lain-lain. Disarikan dari buku sekilas tentang Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-‘Atthas, karya Habib Novel Muhammad Alaydrus, putera Riyadi, Solo, 2003.



Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Mengasihi Fakir Miskin dan Anak Yatim



Dia peduli pada nasib fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ayah anak yatim dan fakir miskin.



Sebagian kaum muslimin di Jawa Timur, khususnya di Surabaya, tentu mengenal Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, yang mukim di Surabaya pada pertengahan abad ke-20 silam. Ia adalah seorang habib dan ulama besar. Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lebih dikenal sebagai ulama yang mencintai fakir miskin dan anak yatim. Itu sebabnya kaum muslimin menjulukinya sebagai “bapak kaum fakir miskin dan anak yatim.” Semasa hidupnya ia rajin berdakwah ke beberapa daerah. Dalam perjalanan dakwahnya, ia tak pernah menginap di hotel melainkan bermalam di rumah salah seorang habib. Hampir setiap hari banyak tamu yang bertandang ke rumahnya, sebagian dari mereka datang dari luar kota. Ia selalu menyambut mereka dengan senang hati dan ramah. Jika tamunya tidak mampu, ia selalu mempersilakannya menginap di rumahnya, bahkan memberinya ongkos pulang disertai beberapa hadiah untuk keluarganya. Ia juga memelihara sejumlah anak yatim yang ia perlakukan seperti halnya anak sendiri. Itu sebabnya mereka menganggap Habib Muhammad sebagai ayah kandung mereka sendiri. Tidak hanya memberi mereka tempat tidur, pakaian dan makanan, setelah dewasa pun mereka dinikahkan. Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi lahir di kota Khala’ Rasyid, Hadramaut, Yaman Selatan, pada 1265 H atau 1845 M. Sejak kecil ia diasuh oleh pamannya, Habib Shaleh bin Muhammad Al-Habsyi. Ayahandanya, Habib Idrus bin Muhammad Alhabsyi, berdakwah ke Indonesia dan wafat pada 1919 M di Jatiwangi, Majalengka. Sedangkan ibunya, Syaikhah Sulumah binti Salim bin Sa’ad bin Smeer. Seperti hanya para ulama yang lain, di masa mudanya Habib Muhammad juga rajin menuntut ilmu agama hingga sangat memahami dan menguasainya. Beberapa ilmu agama yang ia kuasai, antara lain, tafsir, hadits dan fiqih. Menurut Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi, seorang ulama terkemuka, “Sesungguhnya orang-orang Hadramaut pergi ke Indonesia untuk bekerja dan mencari harta, tetapi putra kami Muhammad bin Idrus AlHabsyi bekerja untuk dakwah Islamiyyah dalam rangka mencapai ashshidqiyyah al-kubra, maqam tertinggi di kalangan para waliyullah.”



Ketika menunaikan ibadah haji ke Makkah dan berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah, ia sekalian menuntut ilmu kepada beberapa ulama besar di Al-Haramain alias dua kota suci tersebut. Salah seorang di antara para ulama besar yang menjadi gurunya adalah Habib Husain bin Muhammad Al-Habsyi. Banyak kalangan mengenal Habib Muhammad sebagai ulama yang berakhlak mulia, dan sangat dermawan. Ia begitu ramah dan penuh kasih sayang, sehingga siapa pun yang sempat duduk di sampingnya merasa dirinyalah yang paling dicintai. Ia selalu tersenyum, tutur katanya lemah lembut. Itu semua tiada lain karena ia berusaha meneladani akhlaq mulia Rasulullah SAW. Tak heran jika masyarakat di sekitar rumahnya, bahkan juga hampir di seluruh Surabaya, sangat mencintai, hormat dan segan kepadanya. Ia juga dikenal sebagai juru damai. Setiap kali timbul perbedaan pendapat, konflik, pertikaian di antara dua orang atau dua fihak, ia selalu tampil mencari jalan keluar dan mendamaikannya. Sesulit dan sebesar apa pun ia selalu dapat menyelesaikannya. Sebagai dermawan, ia juga dikenal gemar membangun tampat ibadah. Ia, misalnya, banyak membantu pembangunan beberapa masjid di Purwakarta (Jawa Tengah) dan Jombang (Jawa Timur). Dialah pula yang pertama kali merintis penyelenggaraan haul para waliyullah dan shalihin. Untuk pertama kalinya, ia menggelar haul Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad di Tegal, Jawa Tengah. Ia juga merintis kebiasaan berziarah ke makam para awliya dan shalihin. Menjelang wafatnya, ia menyampaikan wasiat, ”Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak dan para pembantu rumah tanggamu. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang-kadang mendapat musibah dan gangguan disebabkan oleh orang-orang di bawah tanggungannya, yaitu isteri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”



Beliau wafat di Surabaya pada malam Rabu, 12 Rabi’ul Akhir 1337 H/1917 M. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Ampel Gubah, Kompleks Masjid Ampel, Surabaya. Dihantar oleh M.A.Uswah pada 8:37 AM Label: Taman Habaib Indonesia



Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf SANG PEMILIK DERAJAT YANG TINGGI Tempat Berlabuhnya Para Auliya



Alkisah tentang seorang Imam Al-Qutb yang tunggal dan merupakan qiblat para auliya' di zamannya, sebagai perantara tali temali bagi para pembesar yang disucikan Allah jiwanya, bagai tiang yang berdiri kokoh dan laksana batu karang yang tegarditerpa samudera, seorang yang telah terkumpul dalam dirinya antara Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, beliau adalah Al-habib Al-Imam Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam (Wadi-Al-ahqaf) Al-habib Umar bin Segaf Assegaf. Nasab yang mulia ini terus bersambung dari para pembesar ke kelompok pembesar lainnya, bagai untaian rantai emas hingga sampailah kepada tuan para pendahulu dan yang terakhir, kekasih yang agung junjungan Nabi Muhammad SAW. Habib Abubakar dilahirkan di kota Besuki, sebuah, kota keci di kabupaten Sitibondo Jawa Timur, pada tanggal 16 Dzulhijjah 1285 H. Dlm pertumbuhan hidupnya yang masih kanak-kanak, ayahanda beliau tercinta telah wafat dan meninggalkannya di kota Gresik. Sedang disaat-saat itu beliau masih membutuhkan dan haus akan kasih sayang seorang ayah. Namun demikian beliau pun tumbuh dewasa di pangkuan Inayah Ilahi dlm lingkungan keluarga yang bertaqwa yang telah menempanya dengan pendidikan yang sempurna, hingga nampaklah dalam diri beliau pertanda kebaikan dan kewalian. Konon diceritakan bahwa beliau mampu mengingat segala kejadian yang dialaminya ketika dalam usia tiga tahun dengan secara detail. Hal ini tak lain sebagai isyarat akan kekuatan Ruhaniahnya yang telah siap untuk menampung luapan anugerah dan futuh dari Rabbnya Yang Maha Mulia. Pada tahun 1293 H. segeralah beliau bersiap untuk melakukan perjalanan jauh menuju kota asal para leluhurnya, "Hadramaut". Kota yang bersinar dengan cahaya para auliya'. Perjalanan pertama ini adalah atas titah dari nenek beliau (Ibu dari ayahnya) seorang wanita salihah "Fatimah binti Abdullah Allan". Dengan ditemani seorang yang mulia, Assyaikh Muhammad Bazmul, beliaupun berangkat meninggalkan kota kelahiran dan keluarga tercintanya. Setelah menempuh jarak yang begitu jauh dan kepayahan yang tak terbayangkan maka sampailah beliau di kota "Siwuun". sedang pamannya tercinta "Al-allamah Al-habibAbdillah bin Umar" beserta kerabat yang lain telah menyambut kedatangannya di luar kota tersebut. Tempat tujuan pertamanya adalah kediaman seorang Allamah yang terpandang di masanya, Al-Arif billah "Al-habib syaikh bin Umar bin Seggaf". Sesampainya di sana Habib Syaikh langsung menyambut seraya memeluk dan menciuminya, tanpa terasa air mata pun bercucuran dari kedua matanya, sebagai ungkapan bahagia atas kedatangan dan atas apa yang dilihatnya dari tanda-tanda wilayah di wajah beliau yang bersinar itu. Demikianlah seorang penyair berkata: "hati para auliya' memiliki mata yang dapat memandang apa saja yang tak dapat dipandang oleh manusia lainnya". Dengan penuh kasih sayang, Habib Syaikh mencurahkan segala



perhatian kepadanya, termasuk pendidikannya yang maksimal telah membuahkan kebaikan dalam diri Habib Abubakar yang baru beranjak dewasa. Bagi Habib Bakar menuntut ilmu adalah segala-galanya dan melalui pamannya "Al-habib Umar" beliau mempelajari Ilmu fiqih dan tasawwuf. Ketika menempa pendidikan dari sang paman inilah, pada setiap malam beliau dibangunkan untuk shalat tahajjud bersamanya dalam usia yang masih belia. Hal ini sebagai upaya mentradisikan qiyamul-lail yang telah menjadi kebiasaan orangorang mulia di sisi Allah atas dasar keteladanan dari Baginda Rasulillah SAW. Hingga apa yang dipelajari beliau tidak hanya sebatas teori ilmiah namun telah dipraktekkan dalam amaliah kesehariannya. Rupanya dalam kamus beliau tak ada istilah kenyang dalam menuntut ilmu, selain dari pamannya ini, beliau juga berkeliling di seantero Hadramaut untuk belajar dan mengambil ijazah dari para ulama' dan pembesar yang tersebar di seluruh kota tersebut. Salah seorang dari sederetan para gurunya yang paling utama, adalah seorang arif billah yang namanya termasyhur di jagad raya ini, guru dari para guru di zamannya " Al-Imam Al-Qutub Al-habib Ali bin Muhammad Al-habsyi" r.a. sebagai Syaikhun-Nadzar. (Guru Pemerhati). Perhatian dari maha gurunya ini telah tertumpahkan pd murid kesayangannya jauh sebelum kedatangannya ke Hadramaut, ketika beliau masih berada di tanah Jawa. Hal ini terbukti dengan sebuah kisah yang sangat menarik antara Al-habib Ali dengan salah seorang muridnya yang lain. Pada suatu hari Habib Ali memanggil salah satu murid setianya. Beliau lalu berkata "Ingatlah ada tiga auliya' yang nama, haliah dan maqam mereka sama". Wali yang pertama telah berada di alam barzakh, yakni Al-habib Qutbul-Mala' Abubakar bin Abdullah alydrus, dan yang kedua engkau pernah melihatnya di masa kecilmu, yaitu Al-habib Abubakar bin Abdullah at-Attas, adapun yang ketiga akan engkau lihat dia di akhir usia kamu. Habib Ali pun tidak menjelaskan lebih lanjut siapakah wali ketiga yang dimaksud olehnya. Selang waktu beberapa tahun kemudian, tiba-tiba sang murid tersebut mengalami sebuah mimpi yang luar biasa. Dalam sebuah tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, kala itu dalam mimpinya Nabi SAW menuntun seorang anak yang masih kecil sembari berkata kepada orang tersebut, lihatlah aku bawa cucuku yang shaleh "Abubakar bin Muhammad Assegaf"! Mimpi ini terulang sebanyak lima kali dalam lima malam berturut-turut, padahal orang tersebut tak pernah kenal dengan Habib Abubakar sebelumnya. Kecuali setelah diperkenalkan oleh Nabi SAW. Pada saat ia kemudian bersua dengan Habib Abubakar Assegaf, iapun menjadi teringat ucapan gurunya tentang tiga auliya' yang nama, haliah dan maqamnya sama. Lalu ia ceritakan mimpi tersebut dan apa yang pernah dikatakan oleh Habib Ali Al-habsyi kepada beliau. Kiranya tak meleset apa yang diucapkan Habib Ali beberapa tahun silam bahwa ia akan melihat wali yang ketiga di akhir usianya,



karena setelah pertemuannya dengan Habib Abubakar ia pun meninggalkan dunia yang fana ini, berpulang ke Rahmatullah, Takdiragukan lagi perhatian yang khusus dari sang guru yang rnulia ini telah tercurahkan kepada murid kesayangannya, hingga suatu saat Al-habib Ali Al-habsyi menikahkan Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf dengan salah seorang wanita pilihan gurunya ini di kota Siwuun, bahkan Habib Ali sendirilah yang meminang dan menanggung seluruh biaya perkawinannya. Selain Habib Ali, masih ada lagi yang menjadi "Syaikhut-Tarbiah" (Guru pendidiknya) yakni pamannya tercinta Al-habib Abdillah bin Umar Assegaf. Adapun yang menjadi "Syaikhut-Tasliik" (Guru pembimbing beliau) Al-habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi. Sedang yang menjadi "Sya'ikul-Fath" (Guru pembuka) adalah Al-wali- Almukasyif Al-habib Abdulqadir bin Ahmad bin Qutban yang acap kali memberinya kabar gembira dengan mengatakan: "Engkau adalah pewaris haliah kakekmu Umar bin Segaf". Demikianlah beliau menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, mengambil ijazah serta ilbas dengan berpindah dari pangkuan para auliya' dan pembesar yang satu dan yang lainnya di seluruh Hadramaut, Siwuun, Tarim dan sekitarnya yang tak dapat kami sebutkan satu persatu nama mereka. Setelah semuanya dirasa cukup dan atas izin dari para gurunya, beliaupun mulai meninggal-kan kota para. auliya' itu untuk kembali ke tanah Jawa, tepatnya pada tahun 1302 H. Dengan ditemani Al-Arif billah Alhabib Alwi bin Segaf Assegaf (dimakamkan di Turbah Kebon-Agung Pasuruan) berangkatlah beliau ke Indonesia. Adapun tujuan pertamanya adalah kota kelahirannya Besuki -Jawa timur, setelah tiga tahun tinggal di sana, beliau lalu berhijrah ke kota Gresik pada tahun 1305 H dalam usia dua puluh tahun. Dan di kota inilah beliau bermukim. Mengingat usianya yang masih sangat muda, maka kegiatan menuntut Ilmu, Ijazah dan Ilbas masih terus dilakoninya tanpa kenal lelah. Beliaupun terus menerus berkunjung kepada para auliya' dan ulama'yang telah menyinari bumi pertiwi ini dengan kesalehannya. Sebagaimana Al-habib Abdullah bin Muhsin Al-attas, Alhabib Ahmad bin Abdullah Al-attas, Alhabib Ahmad bin Muhsin Alhaddar, Alhabib Abdullah bin Ali Alhaddad, Alhabib Abubakar bin Umar bin Yahya, Alhabib Muhammad bin Ahmad Almuhdar dan masih banyak lagi yang lainnya, Radhiallahu anhum ajmaiin. Pada tahun yang sama tepatnya pada hari Jum'at, telah terjadi sebuah peristiwa yang di luar jangkauan akal manusia dalam diri beliau. Yaitu di saat beliau tengah khusuk mendengarkan seorang khatib yang menyampaikan khutbahnya di atas mimbar, tiba-tiba beliau mendapat lintasan hati Rahmani dan sebuah izin Rabbaniy, ketika itu nuraninya berkata agar beliau segera mengasingkan diri dari manusia sekitarnya. Hatinya pun menjadi lapang untuk melakukan uzlah menjauhkan diri



dari kehidupan dunia. Seketika itu juga beliau beranjak meninggalkan Masjid Jami' langsung menuju rumah, dan sejak saat itu beliau tidak lagi menemui seorang pun dan tidak pula memberi kesempatan orang untuk menemuinya. Hal ini beliau lakukan tiada lagi hanya untuk mengabdikan diri dan beribadah kepada Rabbnya dengan segenap jiwa raganya, dan berlangsung sampai lima belas tahun lamanya. Hingga tibanya izin dari Allah agar beliau keluar dari khalwatnya untuk kembali berinteraksi dengan manusia di sekitarnya. Pada saat menjelang keluar dari khalwatnya, beliau disambut oleh gurunya Alhabib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, seraya berkata. "Aku telah memohon dan bertawajjuh pada Allah selama tiga hari tiga malam untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf". Habib Muhammad lalu menuntunnya keluar dan membawanya berziarah ke makam seorang wali yang tersohor dan menjadi mahkota bagi segala kemuliaan di zamannya, yakni Alhabib Alwiy bin Muhammad Hasyim r.a. Setelah ziarah, beliau berdua lalu berangkat menuju kota Surabaya ke kediaman Alhabib Abdullah bin Umar Assegaf. Di tengah- tengah orang-orang yang hadir pada saat itu, berkatalah Alhabib Muhammad bin Idrus sembari tangannya menunjuk ke arah Habib Abubakar "Ini adalah khasanah dari seluruh khasanah Bani Alawiy yang telah kami buka untuk memberi manfaat kepada orang khusus dan umum". Pasca kejadian tersebut, mulailah Alhabib Abubakar menetapkan jadwal Qira'ah (pembacaan kitab-kitab salaf) di rumahnya. Dalam waktu yg singkat beliau telah menjadi tumpuan bagi umat di zamannya, bagaikan Ka'bah yang tak pernah sepi dari peziarah yang datang mengunjunginya dari berbagai penjuru dunia. Siapa saja yang datang kepada beliau disertai dg HusnudDzan (berbaik-sangka) maka ia akan beruntung dengan tercapai segala maksudnya dalam waktu yang dekat. Di Majlis yang diadakannya itu beliau telah mengkhatamkan kitab "Ihya' Ulumuddin" sebanyak lebih dari empat puluh kali. Dan disetiap mengkhatamkannya, beliau selalu mengadakan jamuan besar-besaran untuk orang yang hadir di majlisnya. Alhabib Abubakar dikenal sebagai orang yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sirah dan jejak para salafnya, bahkan pada segala adat istiadatnya. Seluruh majlis beliau senantiasa dimakmurkan dengan kajiankajian ilmiah yang bersumber dari semua kitab karya para salafnya. Jika kita berbicara tentang Maqam dan kedudukan beliau, maka tak satupun dari para Auliya' pada masa beliau yang menyangsikannya. Beliau telah mencapai tingkatan "Asshiddiqiyyah-Alkubra" yang telah diisyaratkan sebagai "Sahibulwaqt" {panglima tertinggi para Auliya' di masanya). Keluhuran maqamnya telah diakui oleh seluruh yang hidup di zaman beliau. Telah berkata Alhabib Muhammad bin



Ahmad Almuhdar dalam sebuah suratnya kepada beliau (dengan mengutip beberapa ayat Alqur'an). "Demi fajar "Dan malam yang sepuluh" dan yang genap dan yang ganjil" (Sesungguhnya Saudaraku Abubakar bin Muhammad Assegaf adalah permata yang lembut yang beredar dan beterbangan menjelajah seluruh maqam para leluhurnya).. Berkata pula panutan kita, seorang yang telah diakui keunggulan dan keilmuannya Al-habib Alwiy bin Muhammad Alhaddad : "Sesungguhnya Alhabib Abubakar bin Muhammad Assegaf adalah "Alqutbul Ghauts" dan sesungguhnya ia adalah tempat tumpuan pandangan Allah". Pada kesempatan lain beliau berkata: "Aku tidak takut (segan) kepada satu pun makhluk Allah kecuali kepada habib Abubakar bin Muhammad Assegaf". Sebenarnya pada masa keemasan itu banyak sekali orang-orang yang patut disegani, namun kini mereka semua telah berpulang ke rahmat Allah SWT. Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan beliau yang tak dapat kami torehkan dalam tulisan ini. Berkata juga seorang sumber kebaikan di zamannya, dan kebanggaan pada masanya, seorang da'i yang selalu mengajak kejalan Allah dengan ucapan dan perbuatannya, Alhabib Ali bin Abdurrahman Alhabsyi (Kwitang-Jakarta). Ketika itu di kediaman Habib Abubakar (Gresik), pada saat beliau menjalin persaudaraan dengannya, seraya memberi isyarat kepada Habib Abubakar dan air matanya berlinang, berkata kepada para hadirin saat itu "Ini (habib Abubakar) adalah raja lebah (raja para auliya') ia saudaraku di jalan Allah, lihatlah kepadanya! Karena memandangnya adalah ibadah". Berkata seorang panutan orang-orang yang arif Alhabib Husain bin Muhammad Alhaddad, sesungguhnya Alhabib Abubakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah, dialah pemimpin para auliya' di masanya, ia telah mencapai "Maqam asSyuhud" hingga beliau mampu menerawang hakekat dari segala sesuatu. Beliau melanjutkan ungkapannya dengan mengutip sebuah ayat al-Qur'an "Sungguh patut jika dikatakan padanya; Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) (QS: Azzukruf59). Maksudnya beliau tidak lain hanyalah seorang hamba yang telah dilimpahi nikmat dan anugerah Allah SWT. Kiranya telah cukup sebagai bukti keluhuran maqam beliau yang telah mencapai kedudukan bersua dengan Nabi SAW dalam keadaan terjaga. Berkata yang mulia r.a. bahwa: "Arrasul SAW telah masuk menemuiku sedang aku dalam keadaan terjaga, beliau lalu memelukku dan akupun memeluknya".



Para auliya' bersepakat, bahwa Maqam Ijtima' (bertemu) dengan Nabi SAW dalam waktu terjaga, adalah sebuah maqam yang melampaui seluruh maqam yang lain. Hal ini tidak lain adalah buah dari Ittiba' (keteladanan) beliau yang tinggi terhadap Nabinya SAW. Adapun kesempurnaan Istiqamah merupakan puncak segala karamah. Seorang yang dekat dengan beliau berujar bahwa aku sering kali mendengar beliau mengatakan: "Aku adalah Ahluddarak, barang siapa yang memohon pertolongan Allah melaluiku maka dengan izin Allah aku akan membantunya, barang siapa yang berada dalam kesulitan lalu memanggil-manggil namaku maka aku akan segera hadir di sisinya dengan izin Allah". Pada saat menjelang ajalnya, seringkali beliau berkata "Aku berbahagia untuk berjumpa dengan Allah" maka sebelum kemangkatannya ke rahmat Allah, beliau mencegah diri dari makan dan minum selama lima belas hari, namun hal itu tak mengurangi sedikitpun semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Setelah ajal kian dekat menghampirinya, diiringi kerinduan berjumpa dengan khaliqnya, Allah pun rindu bertemu dengannya, maka beliau pasrahkan ruhnya yang suci kepada Tuhannya dalam keadaan ridho dan diridhoi Beliau wafat pada hari Ahad malam Senin, hari ke tujuh belas di bulan Dzulhijjah 1376 H, dalam usia 91 tahun. Semoga saja sirah beliau yang kami angkat kali ini tidak hanya mengundang decak kagum bagi yang membacanya, namun juga dapat menumbuhkan semangat dalam diri kita guna meningkatkan ubudiah kita dengan senantiasa mendekatkan diri dalam kebaikan dan bersama orang- orang yang baik. Aaamiin.. [Abubakar Hasan Assegaf]



(*) : Diambil dari rubrik Sirah majalah bulanan Cahaya Nabawiy No.14 Th. 1 Dzulhijjah 1424 H / Pebruari 2004 M.



Habib Muhammad bin Husein Ba' abud Habib Muhammad, begitu ia biasa disapa, dikenal sebagai guru para Habib di daerah Malang dan sekitarnya. Karena beliaulah yang pertama kali membuka pesantren dari kalangan habaib pada tahun 1940. Bisa dipastikan, Pesantren Darun Nasyiien yang didirikannya di Lawang, Malang, adalah pesantren kaum habaib yang pertama di Indonesia. Kalaupun sudah banyak lembaga pendidikan para habib yang berdiri sebelumnya, biasanya hanya berbentuk madrasah, bukan pesantren. Sudah tak terhitung lagi banyaknya alumnus Darun Nasyiien yang menjadi ulama di seluruh Indonesia. Rata-rata mereka selalu mengibarkan bendera Ahlussunnah Wal



Jamaah ala Thariqah Alawiyin di tempat mereka berada. Nama Habib Muhammad bin Husein Ba’abud juga tak pernah hilang dari hati kaum muslimin kota Malang. Sampai sekarang. Masa Kecil di Surabaya Al-Ustadz Habib Muhammad bin Husein dilahirkan di daerah Ampel Masjid Surabaya. Tepatnya di sebuah rumah keluarga, sekitar 20 meter dari Masjid Ampel, pada malam Rabu 9 Dzulhijjah 1327 h. Menurut cerita ayahandanya (Habib Husein), saat akan melahirkan, ibunda beliau (Syarifah Ni’mah) mengalami kesukaran hingga membuatnya pingsan. Habib Husein bergegas mendatangi rumah Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Habib Abu Bakar memberikan air untuk diminumkan pada istrinya. Tak lama sesudah diminumkannya air tersebut, dengan kekuasaan Allah, Syarifah Ni’mah melahirkan dengan selamat. Habib Abu Bakar berpesan untuk dilaksanakan aqiqah dengan dua ekor kambing, diiringi pesan agar tidak usah mengundang seseorang pada waktu walimah, kecuali sanak keluarga Syarifah Ni’mah. Terlaksanalah walimah tersebut dengan dihadiri Habib Abu Bakar. Beliau pulalah yang memberi nama Muhammad, disertai pembacaan do’a-do’a dan Fatihah dari beliau. Pada saat berumur 7 tahun, Habib Muhammad berkhitan. Ayahandanya mengadakan walimah berskala besar dengan mengundang para kerabatnya. Setelah dikhitan, Habib Husein memasukkan putranya itu ke Madrasah al-Mu’allim Abdullah al-Maskati al-Kabir, sesuai dengan isyarat dari Habib Abu Bakar. Akan tetapi anaknya merasa tidak mendapat banyak dari madrasah tersebut. Tidak lama setelah belajar, Habib Husein memasukkannya ke Madrasah Al-Khoiriyah, juga di kawasan Ampel. Pelajaran di Madrasah AlKhoiriyah waktu itu juga tidak seperti yang diharapkan, disebabkan tidak adanya kemampuan yang cukup dari para pengajarnya. Habib Muhammad pun merasa kurang mendapat pelajaran. Tapi setelah berada di kelas empat, terbukalah mata hatinya, terutama setelah datangnya para tenaga pengajar dari Tarim-Hadramaut. Di antara para guru itu adalah Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih dan Habib Hasan bin Abdulloh al-Kaf. Juga terdapat guru-guru lain yang mempunyai kemampuan cukup, seperti Habib Abdurrohman bin Nahsan bin Syahab. Semangat Habib Muhammad dalam menimba ilmu semakin bertambah, terutama karena perhatian dari Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdlor. Habib Muhammad merasakan berkah dari pandangan dan do’a-do’a Habib Muhammad al-Muhdlor di dalam majelis rouhah (pengajian)-nya. Habib Muhammad sangatlah rajin menghadirinya dan telah membaca beberapa kitab di hadapan beliau, juga bernasyid Rosyafaat gubahan Habib Abdurrohman bin Abdulloh Bilfaqih bersama asSaiyid Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya. Habib Muhammad al-Muhdlor sangat menyayangi beliau dan seringkali mendo’akannya. Ketika itulah Habib Muhammad merasa telah mendapatkan futuh, manfaat dan juga barakah dari menuntut ilmu. Habib Muhammad semakin haus dengan ilmu pelajaran di Madrasah Al-Khoiriyah. Di tengah masa belajar itu beliau seringkali menggantikan para gurunya mengajar, bilamana mereka berudzur datang. Sampai akhirnya nasib baik itu datang padanya setelah menempuh pendidikan hampir enam tahun lamanya. Pada akhir tahun pendidikan, para pelajar yang lulus menerima ijazah kelulusan. Ijazah itu dibagikan langsung oleh Habib Muhammad al-Muhdlor. Ternyata Habib Muhammad menempati peringkat pertama, dari seluruh pelajar yang lulus waktu itu. Bersamaan dengan itu,



Habib Muhammad al-Muhdlor menghadiahkan sebuah jam kantong merk Sima kepadanya. Kebahagiaan semakin bertambah ketika Habib Muhammad al-Muhdlor mengusap-usap kepala dan dadanya sambil terus mendo’akannya. Dalam waktu bersamaan, Habib Agil bin Ahmad bin Agil (pengurus madrasah) memberitahukan bahwa Habib Muhammad pada tahun itu akan diangkat menjadi guru di Madrasah Al-Khoiriyah, tempatnya belajar selama ini. Disamping mengajar pagi dan sore di Madrasah Al-Khoiriyah, Habib Muhammad juga banyak memberikan ceramah agama di berbagai tempat. Ia juga rajin menerjemahkan ceramah-ceramah para mubaligh Islam yang datang dari luar negeri, seperti Syeikh Abdul Alim ash-Shiddiqi dari India, dsb. Pada tahun 1348 h, tepatnya Kamis sore 22 Robi’utsani, ayahanda beliau menikahkannya dengan Syarifah Aisyah binti Saiyid Husein bin Muhammad Bilfaqih. Bertindak sebagai wali nikah adalah saudara kandung istrinya, Saiyid Syeikh bin Husein Bilfaqih yang telah mewakilkan aqd kepada Qodli Arab di Surabaya masa itu, yaitu Habib Ahmad bin Hasan bin Smith. Walimatul ursy di rumah istrinya, Nyamplungan Gg IV Surabaya. Dalam pernikahan ini Allah SWT telah mengaruniainya enam putra dan delapan putri. Mereka adalah Syifa’, Muznah, Ali, Khodijah, Sidah, Hasyim, Fathimah, Abdulloh, Abdurrohman, Alwi, Maryam, Alwiyah, Nur dan Ibrohim. Pindah ke Malang Pada bulan Jumadil Akhir 1359 H, bertepatan dengan Juli 1940, Habib Muhammad beserta keluarganya pindah ke Lawang, Malang. Di kota kecamatan inilah beliau mendirikan madrasah dan pondok pesantren Darun Nasyiien, yang pembukaan resminya jatuh pada bulan Rojab 1359 H, bertepatan dengan 5 Agustus 1940. Pembukaan pondok pertama kali itupun mendapat perhatian yang luar biasa dari masyarakat dan ulama tanah Jawa. Bahkan sebagian sengaja datang dari luar Jawa. Beberapa bulan setelah tinggal di Lawang, ayahanda dari Surabaya (Habib Husein) turut pindah ke Lawang dan tinggal bersamanya. Ketika penjajah Jepang datang, Habib Muhammad sempat berpindah-pindah tinggal. Mulai dari Karangploso, Simping, hingga Bambangan, yang kesemuanya masih di sekitar Lawang. Kegiatan mengajarnya juga sempat berhenti sekitar 17 hari, karena Jepang pada waktu itu memerintahkan untuk menutup seluruh madrasah dan sekolah di seluruh daerah jajahannya. Ketika Belanda datang kembali untuk menjajah yang kedua kalinya, terpaksa madrasah ditutup lagi selama tiga bulan, mengingat keamanan yang dirasa membahayakan pada waktu itu. Barulah sejak 1 April 1951, Habib Muhammad sekeluarga kembali ke Jl. Pandowo sampai akhir hayatnya. Tepatnya di rumah nomor 20, yang di belakangnya terdapat pondok pesantren, beserta kamar-kamar santri, musholla Baitur Rohmah dan ruang-ruang kelas yang cukup baik. Saat itu yang dipercaya sebagai panitia pembangunan sekaligus arsitekturnya adalah putra sulung beliau, Habib Ali bin Muhammad Ba’abud. Habib Muhammad berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu pukul 10.20 tanggal 18 Dzulhijjah 1413 h, bertepatan dengan 9 Juni 1993. Jenazah almarhum diantar oleh banyak orang ke pemakaman Bambangan, Lawang. Lalu dimakamkan di samping makam ayahanda dan kakak beliau. Rohimahullohu rohmatal abror. Wa askannahul jannata darul qoror. Tajri min tahtihal anhar. Aamiin ya Allohu ya Ghofuru ya Ghoffar. Wasiat yang Ditinggalkan Habib Muhammad Ada beberapa wasiat yang ditinggalkan oleh Habib Muhammad yang



layak direnungkan oleh umat Islam dimanapun. Diantara wasiatnya itu adalah, 1. Hendaklah mereka menjalankan sunnah-sunnah atau prilaku pemimpin para utusan Allah, Saiyidina Muhammad SAW, dan hendaknya pula mengikuti sunnah dan perjalanan para Khalifah yang telah mendapatkan petunjuk (al-Khulafaur Rosyidin). Barangsiapa yang tidak mampu menjalankan kesemuanya itu, setidak-tidaknya janganlah keluar atau menyimpang dari jalan atau petunjuk para Salafus Sholih, yaitu para leluhur kita yang sholeh serta terbukti kewaliannya. Dan barangsiapa belum mendapat jua taufiq hidayat untuk itu semua, paling tidak hendaknya ia meneladani kepadaku, yaitu meneladani dalam hal ibadahku dan khalwatku, juga di dalam menjauhkan diri dari kebanyakan orang, bersama dengan perlakuanku yang baik terhadap anak kecil dan orang besar laki-laki dan perempuan, jauh maupun dekat, tanpa harus sering berkumpul atau banyak bergaul, dan tanpa harus saling tidak peduli ataupun saling benci-membenci. 2. Hendaknya pula sangat berhati-hati dalam bermusuhan dan berselisih dengan siapa saja, di dalam apa saja dan bagaimanapun juga. 3. Selalu memohon pada Allah kasih sayangnya atau diriku serta memohonkan ampun untukku dengan membacakan istighfar sesuai dengan kesanggupannya masing-masing pada setiap waktu, lebih-lebih lagi di dalam harihari Asyura, Rajab dan di bulan Ramadlan, Haji, terutama pada bulan dimana Allah SWT mentakdirkan akan wafatku. 4. Mempererat tali silaturahmi, karena sesungguhnya silaturahmi itu sangat memberi pengaruh terhadap keberkahan rizqi dan salah satu sebab dipanjangkannya umur seseorang. Silaturohmi itu menunjukkan keluhuran budi pekerti dan tanda seseorang mendapat kebajikan di hari kemudian. Maka hati-hatilah kalian daripada memutuskan tali persaudaraan , karena perbuatan itu sangatlah keji dan siksanya sangatlah pedih. Seseorang yang memutuskan silaturohmi itu adalah terkutuk, sesuai nash al-Quran dan menandakan orang yang lemah imannya, orang yang memutus silaturahmi tidak akan mencium bau sorga dan kesialannya menjalar pada tetangga-tetangganya. Maka sambunglah tali persaudaraan, karena sesungguhnya tali rohim itu tergantung pada salah satu tiangnya Arsy Allah SWT. 5. Agar banyak beristikharah dan musyawarah dalam segala hal, dan hendaknya selalu mengambil jalan yang hati-hati. Walaupun pada hakekatnya berhati-hati itu tidak dapat meloloskan seseorang dari ketentuan dan takdir Allah, akan tetapi menjalankan sebab tidaklah boleh ditinggalkan. Justru dengan sebab itulah wasiat atau pesan dan nasehat itu dibutuhkan dan dianjurkan, karena kesemuanya itu adalah satu daripada sebab dalam mengajak manusia kepada Allah serta mengajak mereka menuju kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Semoga Allah SWT mencurahkan kasih sayangnya atas mereka yang suka memberikan nasehat dan membalas mereka dengan kebaikan yang melimpah, dan semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq-Nya pada kita. []



HABIB ALI ZAINAL ABIDIN AL-JUFRI JEDDAH Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang. Tetapi kelebihannya bukan hanya itu. Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagumkagum lagi dengan kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri. Namun jangan dikira kelebihannya hanya pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia memang memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan. Itulah sebagian gambaran Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat. Ia memang sosok yang istimewa. Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya. Bukan



hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal? Menimba Ilmu dari para Tokoh Besar Habib Ali Al-Jufri lahir di kota Jeddah, Arab Saudi, menjelang fajar, pada hari Jum’at 16 April 1971 (20 Shafar 1391 H). Ayahnya adalah Habib Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Alwi Al-Jufri, sedangkan ibundanya Syarifah Marumah binti Hasan bin Alwi binti Hasan bin Alwi bin Ali Al-Jufri. Di masa kecil, ia mulai menimba ilmu kepada bibi dari ibundanya, seorang alimah dan arifah billah, Hababah Shafiyah binti Alwi bin Hasan Al-Jufri. Wanita shalihah ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkannya ke jalur ilmu dan perjalanan menuju Allah. Setelah itu ia tak henti-hentinya menimba ilmu dari para tokoh besar. Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf adalah salah seorang guru utamanya. Kepadanya ia membaca dan mendengarkan pembacaan kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tajrid Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, dan kitab-kitab penting lainnya. Cukup lama Habib Ali belajar kepadanya, sejak usia 10 tahun hingga berusia 21 tahun. Ia juga berguru kepada Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, ulama terkemuka dan penulis karya-karya terkenal. Di antara kitab yang dibacanya kepadanya adalah Idhah Asrar `Ulum Al-Muqarrabin. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki juga salah seorang gurunya. Kepadanya ia mempelajari kitab-kitab musthalah hadits, ushul, dan sirah. Sedangkan kepada Habib Hamid bin Alwi bin Thahir Al-Haddad, ia membaca Al-Mukhtashar Al-Lathif dan Bidayah Al-Hidayah. Ia pun selama lebih dari empat tahun menimba ilmu kepada Habib Abu Bakar Al-`Adni bin Ali Al-Masyhur, dengan membaca dan mendengarkan kitab Sunan Ibnu Majah, Ar-Risalah AlJami`ah, Bidayah Al-Hidayah, Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah, Tafsir Al-Jalalain, Tanwir AlAghlas, Lathaif Al-Isyarat, Tafsir Ayat Al-Ahkam, dan Tafsir Al-Baghawi. Pada tahun 1412 H (1991 M) Habib Ali mengikuti kuliah di Fakultas Dirasat Islamiyyah Universitas Shan`a, Yaman, hingga tahun 1414 H (1993 M). Kemudian ia menetap di Tarim, Hadhramaut. Di sini ia belajar dan juga mendampingi Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz sejak tahun 1993 hingga 2003. Kepadanya, Habib Ali membaca dan menghadiri pembacaan kitab-kitab Shahih Al-Bukhari, Ihya’ Ulumiddin, Adab Suluk Al-Murid, Risalah Al-Mu`awanah, Minhaj Al-`Abidin, Al-`Iqd An-Nabawi, Ar-Risalah AlQusyairiyyah, Al-Hikam, dan sebagainya.



Selain kepada mereka, ia pun menimba ilmu kepada para tokoh ulama lainnya, seperti Syaikh Umar bin Husain Al-Khathib, Syaikh Sayyid Mutawalli Asy-Sya`rawi, Syaikh Ismail bin Shadiq Al-Adawi di Al-Jami` Al-Husaini dan di Al-Azhar Asy-Syarif, Mesir, juga Syaikh Muhammad Zakiyuddin Ibrahim. Di samping itu, Habib Ali juga mengambil ijazah dari 300-an orang syaikh dalam berbagai cabang ilmu. Dakwah yang Dialogis Berbekal berbagai ilmu yang diperolehnya, ditambah pengalaman berkat tempaan para gurunya, ia pun mulai menjalankan misi dakwahnya. Aktivitas dakwahnya dimulai pada tahun 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa di negeri Yaman. Ia kemudian berkelana dari satu negeri ke negeri lain. Perjalanannya ke mancanegara dimulai pada tahun 1414 H/1993 dan terus berlangsung hingga kini. Berbagai kawasan negara dikunjunginya. Misalnya negara-negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Yordania, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lebanon, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Jibouti. Negara-negara non-Arab di Asia, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh, Sri Lanka. Di Afrika, di antaranya ia mengunjungi Kenya dan Tanzania. Sedangkan di Eropa, dakwahnya telah merambah Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia Herzegovina, dan Turki. Ia pun setidaknya telah empat kali mengadakan perjalanan dakwah ke Amerika Serikat; pertama tahun 1998, kedua tahun 2001, ketiga tahun 2002, dan keempat tahun 2008. Di samping juga mengunjungi Kanada Perjalanan dakwahnya ke berbagai negeri membawa kesan tersendiri di hati para jama’ah yang mendengarkan penjelasan dan pesan-pesannya. Di Jerman, ia membuat jama’ah masjid sebanyak tiga lantai menangis tersedu-sedu mendengar taushiyahnya. Orang-orang yang tinggal di Barat, yang cenderung keras hatinya, ternyata bisa lunak di tangan Habib Ali. Di Amerika ada yang merasa bahwa memandang dan berkumpul bersama Habib Ali Al-Jufri selama satu malam cukup untuk memberinya tenaga dan semangat untuk beribadah selama tiga bulan. Di Inggris ia terlibat pelaksanaan Maulid Nabi di stadion Wembley. Di Denmark ia mengadakan jumpa pers dengan kalangan media massa. Di Darul Musthafa, Tarim, Hadhramaut setiap tahun, bulan Rajab-Sya`ban, ia menjadi pembicara rutin Daurah Internasional. Ia pun merangkul para dai muda di Timur Tengah, serta membimbing dan memberikan petunjuk kepada para pemuda yang berbakat. Ia suka duduk bersama para pemuda dan mengadakan dialog terbuka secara bebas.



Dalam berdakwah, ia aktif menjalin hubungan dengan berbagai kalangan masyarakat. Ia memasuki kalangan yang paling bawah, seperti suku-suku di Afrika, hingga kalangan paling atas, seperti keluarga keamiran Abu Dhabi. Ia berhubungan dengan kalangan awam hingga kalangan yang paling alim, seperti Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi (mufti de facto negeri Syria), Syaikh Ali Jum`ah (mufti Mesir), dan ulama-ulama besar lainnya. Banyak sekali bintang film, artis dan aktris, para seniman, di Mesir yang bertaubat di tangannya. Ini mengakibatkan pemerintah Mesir merasa khawatir, kalau hal ini berlangsung terus akan memberikan dampak buruk bagi industri perfilman Mesir, yang merupakan salah satu sumber penghasilan utama setelah pariwisata. Artis yang sebelumnya “terbuka” jadi berhijab, yang dulunya aktor jadi berdakwah. Kini ia pun secara rutin tampil di televisi. Penyampaian dakwahnya menyentuh akal dan hati. Cara dakwahnya yang sejuk dan simpatik, pandangan-pandangannya yang cerdas dan tajam, pembawaannya yang menarik hati, membuatnya semakin berpengaruh dari waktu ke waktu. Kemunculan Habib Ali di dunia dakwah membawa angin segar bagi kaum muslimin, terutama kalangan Sunni. Cara dakwahnya berbeda dengan dakwah kalangan yang cenderung keras, kasar, dan kering dari nilai-nilai ruhani, serta cenderung menyerang orang lain, dan banyak menekankan pada model konflik ketimbang harmoni dengan kalangan non-muslim. Bahkan mereka memandang masyarakat muslim sekarang sebagai reinkarnasi dari masyarakat Jahiliyah. Beberapa waktu lalu koran Denmark kembali menampilkan kartun Nabi. Berbeda dengan reaksi sebagian kalangan muslim yang penuh amarah dan tindak kekerasan di dalam menanggapinya, Habib Ali Jufri dengan kesejukan hatinya serta ketajaman pandangan, pikiran, akal, dan mata bathinnya telah melakukan serangkaian langkah yang bervisi jauh ke depan. Ia berharap, langkah-langkahnya akan berdampak positif bagi kaum muslimin, terutama yang tinggal di negara-negara Barat, serta akan menguntungkan dakwah Islam di masa kini dan akan datang. Bukannya melihat kasus ini sebagai ancaman dan bahaya terhadap Islam dan muslimin, Habib Ali justru secara cerdas melihat hal ini sebagai peluang dakwah yang besar untuk masuk ke negeri Eropa secara terbuka, untuk menjelaskan secara bebas tentang Rasulullah SAW dan berdialog dengan penduduk serta kalangan pers di sana tentang agama ini dan tentang fenomena muslimin. Singkatnya, ia justru melihat ini sebagai peluang dakwah yang besar. Tentu saja cara pandang Habib Ali juga disebabkan pemahamannya yang sangat dalam tentang karakter masyarakat Barat. Salah satu karakter terbesar mereka adalah mempunyai rasa ingin tahu yang besar, berpikir rasional, dan memiliki sikap siap mendengarkan. Karakter-karakter umum ini, ditambah sorotan perhatian kepada Rasulullah, merupakan peluang besar untuk memberikan penjelasan. Mereka ingin tahu tentang Nabi SAW, berarti mereka dalam kondisi siap mendengarkan. Mereka rasional, berarti siap untuk mendapatkan penjelasan yang logis.



Apabila kita bisa menjelaskan tentang Nabi SAW dan agama ini kepada mereka dengan cara yang menyentuh akal dan hati mereka, maka kita justru akan bisa mengubah mereka. Dari yang anti menjadi netral, yang netral menjadi pro, yang pro menjadi muslim, yang antipati menjadi simpati, yang keras menjadi lembut, yang marah menjadi dingin, yang acu menjadi penasaran. Sekaligus pula mencegah simpatisan menjadi oposan, pro menjadi anti dan seterusnya. Karena karakter masyarakat Barat yang terbuka, toleran, lebih bisa menerima keanekaragaman budaya, maka peluang dakwah terbuka bebas. Inilah ranah ideal untuk dakwah Islamiyah. Tentu saja ini bagi para da`i yang berfikiran terbuka, berakal lurus dan tajam, cerdas memahami situasi kondisi, dan memiliki dada yang cukup lapang dalam menerima tanggapan negatif, serta giat melakukan pendekatan yang konstruktif dan positif, serta memiliki akhlak yang mulia. Di sinilah Habib Ali Al-Jufri masuk dengan dakwahnya yang dialogis



Al Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri, Seri Pertama (Sejarah Ringkas Ribath Tarim dan Masa Kecilnya) Posted on 14 Maret 2010 by arroudloh



Al Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri adalah ulama pelopor yang telah mengabdikan dirinya di Ribath Tarim dan berhasil melahirkan ribuan alumnus yang saat ini menyebar di berbagai negeri Islam. Rubath Tarim adalah ma ’had yang telah mencetak banyak ulama besar. Hampir tidak ada negeri muslim yang tidak mendapatkannya manfaat dan cahaya ilmu Rubath Tarim dan kini cabangnya di mana-mana. Rubath Tarim terletak di jantung kota Tarim. Didirikan pada tahun 1304 H oleh para tokoh habaib dari keluarga Al-Haddad, Al-Junaid, Al-Siri. Di samping masyaikh dari keluarga Arfan. Sedangkan yang pertama kali mewakafkan sebagian besar tanahnya adalah Al-Habib Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, saudara Al-Habib Abdullah AsySyathiri dan ayah Al-Habib Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Rubath Tarim didirikan karena para santri yang datang dari tempat yang jauh ternyata sulit untuk mendapatkan tempat tinggal, maka para tokoh habaib saat itu sepakat untuk mendirikan Rubath Tarim sebagai tempat menimba ilmu pengetahuan Islam, bahasa arab dan sebagainya, disamping sebagai tempat tinggal para santri yang datang dari tempat yang jauh. Maka datanglah para penuntut ilmu dari dalam dan luar Tarim, dari dalam dan luar Hadramaut diantaranya dari Indonesia, Malaysia, negeri-negeri Afrika, Negara-negara Teluk dan lain-lain. Sejak didirikan pada tahun 1304 H (1886 M), Rubath Tarim dipimpin oleh Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur hingga tahun 1314 H (1896 M). Kemudian kepemimpinan berpindah kepada Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Di tempat inilah beliau menghabiskan usianya demi menyebarkan ilmu-ilmu keIslaman dan melayani kaum



muslimin. Sejak menjadi pengasuh Rubath Tarim beliau telah mewakafkan seluruh kehidupannya untuk berjihad, berdakwah, mengajar, dan menjelaskan berbagai persoalan agama. Perjalanan panjang Rubath Tarim memang tidak dapat di pisahkan dari kehidupan Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Beliau dilahirkan di kota ilmu , Tarim pada bulan Ramadhan 1290 H (1873 M), beliau tumbuh dengan baik dalam lingkungan yang penuh dengan didikan agama. Di masa kanak-kanak beliau belajar Al-Qur ’an kepada dua orang guru Syaikh Muhammad bin Sulaiman Bahami dan anaknya, Syaikh Abdurrahman Baharmi, kemudian beliau mengikuti pelajaran di Madrasah Al-Habib Abdullah bin Syaikh Al-Idrus pada saat itu yang mengajar di tempat tersebut adalah Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Kaff dan Al-Habib Syaikh bin Idrus Al-Idrus. Kepada merekalah beliau belajar kitab-kitab dasar dalam ilmu fiqih dan tasawwuf selain menghafal beberapa juz Al-Qur ’an. Ada beberapa faktor baik intenal maupun eksternal yang menyebabkan beliau memiliki banyak kelebihan, baik dalam ilmu maupun lainnya, sejak kecil hingga dewasanya, selain bakat dan potensinya dalam hal kecerdasan, kecenderungannya yang untuk menjadi ulama dan tokoh telah nampak sejak kanak-kanak, dukungan yang sepenuhnya dari orangtua juga menjadi faktor penting yang tak dapat diabaikan. Ayahnya senantiasa mencukupi kebutuhannya sejak kecil hingga lanjut usia. Mengenai hal tersebut Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar mengisahkan, suatu ketika seseorang memuji beliau baik ilmunya maupun amalnya di hadapan Al-Habib Abdullah sendiri dan ayahnya Al-Habib Umar Asy-Syathiri. Maka ayahnya yang alim itu juga berkata , ”Aku mencukupi kebutuhannya. Aku hanya makan gandum yang sederhana, sedangkan ia aku beri makan gandum yang bagus, ”. Al-Habib Ali Bungur dalam kitabnya mengatakan, barangkali maksud ayah Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri berbuat demikian adalah untuk meningkatkan akhlaknya atau karena ia khawatir anaknya terkena a ’in (pengaruh mata, yakni yang jahat) karena di usia muda itu telah nampak kepemimpinannya dalam masalah agama, dengan mengkonsumsi makanan yang lebih baik, diharapkan daya tahannya lebih kuat. Menziarahi Peninggalan Salaf Sejak kecil beliau senang menziarahi peninggalan-peninggalan salaf, ayahnya pernah berkata kepada Al-Habib Ali Bungur, ”ketika kami (ia dan anaknya) mengunjungi Huraidhah,wadi ‘ Amad dan Du’an untuk pertama kalinya, yang saya katakan kepada penduduknya adalah, “Tolong beri tahukan kami semua peninggalan salaf di sini. Karena, apabila kami telah pulang ke Tarim dan orang menyebut tentang suatu peninggalan yang ia (anaknya, Al- Habib Abdullah) belum kunjungi saya khawatir ia akan sangat menyesal, saya tahu ia sangat gemar pada sirah para salaf dan peninggalan mereka ”. Di waktu kecil itu pula, apabila terjadi suatu kejadian yang remeh pada diri Habib Abdullah tetapi tak di sukai ayahnya, sang ayah mengharuskannya membaca Al-Qur ’an hingga khatam sebelum memulai pelajaran selanjutnya, meski pun pemikiran dan kesiapannya untuk menerima pengetahuan masih terbatas.



Al Habib Abdullah Bin Umar Asy-Syatiri Seri Ke-2 (Mencari Ilmu Hingga Beliau Wafat) Posted on 14 Maret 2010 by arroudloh



Setelah ilmu-ilmu dasar dikuasainya beliau benar-benar memfokuskan kegiatannya untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak dan lebih luas. Beliau selalu mengikuti Mufti Hadramaut saat itu, Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, juga gurunya yang selalu menyebarkan dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Masyhur dan para ulama Tarim lainnya. Kepada mereka beliau belajar kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, nahwu, tasawuf dan lain-lain, juga gurunya yang selalu menyebarkan dakwah Al-Habib Alwi bin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Masyhur dan para ulama Tarim lainnya. Kepada mereka beliau belajar kitab-kitab tafsir, hadits, fiqih, nahwu, tasawuf dan lain sebagainya. Sebagaimana kebiasaan dan kecenderungan para ulama pada umumnya Al-Habib Abdullah AsySyathiri pun tak puas bila hanya belajar ke kotanya. Maka berangkatlah beliau ke Sewun, lalu tinggal di Rubath kota ini selama empat bulan. Di kota ini diantaranya beliau belajar kepada AlHabib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, penyusun kitab Maulid Simthud Durrar, selain menimba ilmu kepada sejumlah ulama Sewun lain dan orang-orang shalih, beliau juga mengambil ilmu dari Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas dan Al-Habib Idrus bin Umar AlHabsyi. Dengan perjalanannya ke Haramain tahun 1310 H (1892 M) jumlah gurunya semakin bertambah banyak. Setelah menunaikan haji dan menziarahi datuknya Rasulullah SAW , beliau sangat bersungguhsungguh dalam menuntut ilmu. Kesungguhannya sulit di cari bandingannya. Dalam sehari semalam beliau ber-talaqqi (belajar secara langsung dan pribadi dengan menghadap guru) dalam tiga belas pelajaran. Setiap sebelum menghadap masing-masing gurunya, beliau muthala ’ah (kaji) dulu setiap pelajaran itu sendiri. Guru-gurunya yang sangat berpengaruh di Makkah di antaranya Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Habsyi, Syaikh Muhammad bin Said Babsheil, Syaikh Umar bin Abu bakar Bajunaid dan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha, pengarang kitab I ’anah ath-Thalibin yang merupakan syarah kitab Fath Al-Mu ’in. Tetapi yang menjadi Syaikh fath (guru pembuka)-nya adalah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Al-Masyhur, gurunya ketika di Tarim. Tak terhitung lagi banyaknya kitab yang beliau pelajari pada gurunya ini dalam ilmu fiqih dan yang lainnya. Selama tiga tahun beberapa bulan beliau berada di Makkah. Pada tahun 1314 H (1896 M) beliau kembali ke negerinya, Tarim dengan membawa bekal ilmu dan tersinari cahaya Tanah Suci, kemudian beliaupun mengajar di Rubath Tarim sampai wafatnya Al-habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur tahun 1320 H (1902 M). Setelah Al-Habib Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur wafat beliau menjadi pengajar pengajian umum setelah wafatnya Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Masyhur pada 21 Rabiuts Tsani 1274 H (1932 M). Di Rubath Tarim beliau benar-benar memainkan perannya sebagai pengajar, pembimbing, dan penasehat terbaik dan itu berlangsung semenjak ayahnya masih hidup hingga sesudah ayahnya wafat pada bulan Dzulqa ’idah tahun 1350 H (1932 M). Selama kurang lebih 50 tahun pengabdiannya murid-muridnya tak terhitung lagi banyaknya, baik



dari Hadramaut maupun dari luar, peran dan jasanya tak terbatas di lingkungan Rubath Tarim saja, melainkan juga meluas keseluruh Tarim, bahkan ke kota-kota dan wilayah-wilayah lain di Hadramaut. Beliau menjadi marji ’ (rujukan) dalam berbagai persoalan, tidak terhitung lagi ishlah yang dilakukannya kepada pihak-pihak yang bertentangan. Seiring dengan kekokohannya yang semakin diakui beliau diserahi amanah untuk menangani pengawasan Rubath, pengurusan masalah santri dan pengarahan halaqah. Di tengah kesibukannya itu beliau menyempatkan diri memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Setiap malam Jum’at antara Magrib dan Isya beliau berdakwah kepada mereka di masjid jami ’ Tarim. Itu berlangsung sejak tahun 1341 H setelah wafatnya sang guru Al-Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur. Di masa Al-Habib Alwi masih hidup pun beliau sering menggantikannya apabila gurunya sedang tidak berada di tempat atau mempunyai halangan. Hubungan beliau dengan gurunya ini sangat erat banyak kisah menarik di antara mereka, antara lain ketika sang guru hendak menghembuskan nafas terakhir, sebagaimana yang di kisahkan dalam lawami’ An-Nur, halaman 18 : Sebagaimana diketahui para wali Allah ketika menjelang wafat biasanya menyerahkan urusan atau tugas yang diembannya kepada seseorang yang memenuhi syarat. Terkadang anaknya sendiri yang menerima kepercayaan itu mungkin pula muridnya bahkan terkadang gurunya yang masih hidup yang menerimanya. Pada sore hari menjelang malam wafatnya Al-Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, beliau sedang memberikan pelajaran sebagaimana biasanya di Rubath , ketika salah seorang murid membaca beliau terlihat mengantuk, maka murid yang membaca itu sebentar-bentar berhenti membaca, tetapi beliau malah membentaknya agar ia meneruskan membacanya, Karena murid itu berkali-kali diam maka beliaupun menyuruh murid yang lain untuk membaca. Hanya sebentar beliau mengantuk tiba-tiba beliau mengangkat kepalanya dan berteriak dengan keras, ”Semoga Allah merahmati Al-Habib Alwi Al-Masyhur. ” Kalimat demikian mengisyaratkan bahwa AlHabib Alwi akan atau telah wafat. Kemudian beliau meminta murid-murid untuk tidak membicarakan atau memberitahukan kepada orang lain sampai berita itu diumumkan sebagaimana kebiasaan di sana . Kemudian beliau keluar ruangan seraya menyuruh muridmuridnya melanjutkan pelajarannya. Beliau menuju rumah Al-Habib Alwi Al-Masyhur, pada saat itu habib dalam keadaan menjelang wafat, didampingi putranya, Habib Abu bakar. Setiap kali sadar dari pingsannya, ia bertanya, ”Apakah Abdullah Asy-Syathiri telah datang ? Apakah ia sudah sampai ?” kalimat itu yang terus diulanginya. Maka berkatalah putranya, ”Apakah ayah ingin kami mengirim orang untuk menjemputnya ?” Al-Habib Alwi menjawab, ’ Tidak.” Pada saat yangdinantikan itu tiba-tiba AlHabib Abdullah datang, maka Al-Habib Alwi pun bergembira dan berseri-seri wajahnya. Hubungan bathin segera tersambung diantara mereka. Mereka berpelukan, berjabat tangan dan seolah ada sesuatu yang dititipkan kepada Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri. Kemudian ruh AlHabib Alwi pun kembali kepada Tuhan-Nya. Tampaknya sebelum itu hanya menunggu kehadiran pemilik amanah yang akan ia serahi kepercayaan itu. Itulah salah satu kisahnya dangan gurunya itu. Ungkapan Duka para Penyair. Al-Habib Abdullah terus menyuarakan dakwahnya dan mengajar dengan istiqomah hingga Allah memanggilnya pada malam sabtu tanggal 29 jumadil Ula tahun 1361 H (13 juni 1942).



Jasadnya dikebumikan dipemakaman zanbal, Tarim. Tak terhitung banyaknya tokoh yang menghadiri pemakamannya, berbagai ratsa ’ (ungkapan duka) dibuat para penyair atas wafatnya sang habib. Semuanya termuat dalam salah satu kitab manaqibnya, Nafh ath-Thib al- ‘Athiri min Manaqib al-Imam al-Habib Abdullah asy-Syathiri, yang disusun dan dihimpun oleh muridnya, Al- ‘Alim Al-‘Allamah Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafidz, ayahanda Al-Habib Umar bin Hafidz. Sepeninggal Al-Habib Abdullah Asy-Syathiri Rubath Tarim diasuh oleh putra-putranya, pertamatama yang menggantikannya adalah putranya yang bernama Al-Habib Muhammad Al-Mahdi AlKabir yang mampu mengemban tugas itu dengan sangat baik. Ia menjadi pengasuh sekaligus menjadi guru besar di ma’had ini, setelah itu adiknya Al-Habib Abu bakar bin Abdullah asySyathiri, yang sebelumnya selalu membantu kakaknya mengajar. Kemudian kepemimpinan Rubath Tarim berada di tangan Al-Habib Hasan Asy-Syathiri dan kini yang memimpin putra AlHabib Abdullah yang lainnya, yaitu Al-Habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri yang sekarang menjadi salah seorang tokoh terkemuka di Tarim, Al-Habib Abdullah patut tersenyum bahagia karena para penerusnya terus bermunculan dari masa ke masa baik dari kalangan keluarga maupun yang lainnya. http://habaib.org