Manifesto Perjuangan Rakyat PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MANIFESTO PERJUANGAN



RAKYAT Membedah Demokrasi di Kaki Oligarki



#ReformasiDikorupsi #NegaraMasihSakit #LawanPenindasanOligarki



Persatuan Perjuangan Rakyat



November 2019 Page 1 of 25



Manifesto Perjuangan Rakyat



MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT : Membedah Demokrasi di Kaki Oligarki



TIM PENGKAJI & KONTRIBUTOR Muhammad Abdurrokhim A. Anindya Shabrina Iqbal Felisiano, S.H, LL.M Lusi Aprilia Taufiqurrochim, S.H Henry Wicaksana, S.T Rizky Pratama L. P., A.Md Muhammad Rizal Syahputra



PENYUNTING NASKAH Lusi Aprilia Berryl Ilham Mohammad Alfarizqy



PERUMUS NASKAH Muhammad Abdurrokhim A.



TATA LETAK & DESAIN GRAFIS Muhammad Abdurrokhim A.



PUBLIKASI Surabaya, 10 November 2019 (Edisi Pertama) Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat



“ Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed ” – Mahatma Gandhi –



PENGANTAR : APA DAN MENGAPA Sejak era kolonial, political capture dan regulatory capture1 selalu menjadi jalur yang mempertemukan segelintir borjuis untuk berurusan dengan pejabat publik, yang kemudian mendorong transaksi kepentingan antara perusahaan, birokrat dan politisi sehingga konglomerasi terlahir. Sehingga hari ini Indonesia tengah dihadapkan dengan demokrasi semu yang dikuasai oleh oligarki sebagai hasil democratic regression. 2 Melalui gerakan rakyat yang hingga detik ini masih terus menyuarakan perlawanan, seharusnya kelompok akar rumput dapat menyadari bahwa kemenangan kecil dari konsesi dan reforma hukum yang kompromis tidaklah cukup tanpa implementasi yang efektif, berkelanjutan, serta tentunya berpihak pada rakyat. Hal lain yang sangat disayangkan adalah ketika kalangan akademisi, sebagai the man of ideas, justru tidak melibatkan diri dalam perdebatan demokrasi yang berarti memisahkan diri dari gerakan rakyat. Secara tidak langsung, ketidakpedulian tersebut menjadi upaya memarjinalkan diri sendiri sekaligus mereduksi peran sosial institusinya. Sehingga kondisi itu memperlebar jarak antara kaum intelektual dan masyarakat. Alih-alih fokus kepada disiplin ilmu sektoral, adanya pemeringkatan QS (Quacquarelli Symonds) menstimulasi perguruan tinggi berlomba-lomba menambah jumlah dokumen terindeks dan sitiran di Scopus yang bahkan diperparah oleh pemeringkatan SINTA (Science and Technology Index) buatan Kemenristekdikti yang sangat eksklusif secara individu. Ekosistem obsesif inilah yang menurunkan gerakan akademik Indonesia sehingga tidak progresif dan tidak dinamis. Ironisnya, gaya eksklusivitas ini terwaris turun temurun melalui proses publish-or-perish yang kemudian melanggengkan paradigma berpikir feodal. Kalaupun karya kecil ini dianggap jauh dari kebiasaan tulisan berpembawaan kuantitatif, hal ini sematamata tidak bermaksud menafikan kecerdasan dan kearifan para pakar dan guru besar. Namun pengungkungan diri kaum intelektual nampak seperti peran pendeta-pendeta Eropa di abad pertengahan yang puas dengan hanya memberi nasihat tertutup, yang serba rahasia kepada petinggi negara atau bahkan sekadar menjelma sebagai speech writer bagi para pejabat. Padahal rakyat membutuhkan pemikiran yang mampu menciptakan kesadaran dalam kehidupan berbangsa sebagai kesatuan masyarakat madani. Sebab hari ini, proses pembangunan di Indonesia sejatinya sudah memasuki tahapan yang tidak sekadar meningkatkan nilai tambah ekonomi, namun harus berorientasi pada peningkatan nilai tambah manusia yang hidup di tengah ekonomi tersebut. Lebih daripada itu, seluruh lapisan masyarakat harus dihargai martabatnya selaku manusia. Karya kecil ini merupakan hasil kerjasama dari banyak pihak, baik individu, organisasi, pun lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pada khalayak luas, publikasinya menjadi penting demi menjaga nyala api perlawanan sekaligus sebagai pengingat bahwasanya demokrasi hari ini terus tergelincir ke dalam pusaran oligarki, hingga bertransformasi menjadi: dari rakyat, oleh oligarki, dan untuk oligarki. Kemiskinan dan keawaman politik masyarakat adalah kunci suksesnya hegemoni oligarki, sehingga mereka akan terus memonopoli kekayaan melalui demokrasi semu. Kendati demikian, oligarki tidak dapat tumbuh dan berkembang apabila masyarakat sipil memiliki kesadaran penuh atas bahaya oligarki. Semoga melalui Manifesto Perjuangan Rakyat, kabar buruk yang menimpa Indonesia dapat tersampaikan agar memantik kebangkitan gerakan rakyat tanpa kelas yang kemudian membongkar permufakatan jahat yang selama ini ditutupi oleh penguasa. Terakhir, sebagaimana para moralis di Indonesia yang terus mengumandangkan adanya bahaya laten Komunisme, maka dengan ini perlu juga kita serukan: “Awas Bahaya Laten, Orde Baru yang Baru!”



Tim Penyusun



1



kondisi di mana oligarki politik (termasuk eksekutif dan legislatif) mengubah kebijakan serta regulasi agar menguntungkan mereka, dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Dikemukakan Nicholas Galasso dalam Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality, 18 Oxfam Briefing Paper, Oxfam International, Januari 2014, hlm. 11 2



penurunan kualitas demokrasi secara bertahap melalui demokrasi itu sendiri. Dikemukakan Edward Aspinall dalam Indonesia: The Dangers of Democratic Regression, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 129, Atlantis Press, 2017, hlm. 1-2



iii



DAFTAR ISI PENGANTAR : APA DAN MENGAPA



iii



DAFTAR ISI



iv



MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT



1



A.



3



INDONESIA HARI INI 1.



Reformasi Benar-Benar Dikorupsi i.



Pembunuhan Berencana terhadap KPK



3



ii.



Serentak Kompak Menginjak KPK



4



iii.



Nasib KPK dan Agenda Reformasi



5



2.



Persoalan HAM Masa Lalu, Kini dan Nanti



8



i.



Mati Satu, Mati Seribu



ii.



Papua dan Penjajahan oleh Negara



12



iii.



Ironi Kekerasan Seksual



20



3.



8



Dosa Korporasi Yang Dilindungi



24



i.



Hutan Dibakar, Bukan Terbakar!



24



ii.



Kita Dilarang Menghambat Investasi!



28



iii.



Reforma Agraria di Kaki Monopoli



32



iv.



Lahirnya Komoditas Dagang Baru : Pendidikan



38



4.



B.



3



Demokrasi dalam Pusaran Oligarki



43



i.



Pembungkaman Publik



43



ii.



Ketika Aparat Menjadi Alat



47



iii.



Fenomena Pers Boneka dan Pembungkaman Digital



49



NEGARA MASIH SAKIT 1.



Partisipasi Masyarakat Sipil September 2019



53



i.



Mosi Tidak Percaya



53



ii.



#AnakSTM dan Perspektif Lain



55



2.



C.



53



Retorika Oligarki dan Rekayasa Elit Politik



59



i.



Yang Penting Mereka Dapat Kursi!



59



ii.



Retorika Politik Oligarki



61



RAKYAT BERSATU MELAWAN OLIGARKI



65



1.



Rakyat Menggugat! Situasi Darurat!



65



2.



Resolusi, Reformasi, atau Revolusi?



67



i.



Ilusi Reformasi



67



ii.



Hanya Kita yang Tersisa dan yang Bisa



69



DAFTAR PUSTAKA



70



LAMPIRAN



76



iv



DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Mayjend Soeharto memimpin Komando Mandala dalam operasi TRIKORA ...................................... 14 Gambar 2. Penandatanganan Kesepakatan Kontrak Karya I PT Freeport Indonesia pada 7 April 1967 .............. 14 Gambar 3. Open Pit-Underground Grasberg Mine ............................................................................................... 15 Gambar 4. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, 2007-2018 .................................................. 20 Gambar 5. E-kliping Ironi Kekerasan Seksual di Indonesia ................................................................................... 22 Gambar 6. Visualisasi Citra Satelit menggunakan GEOS Forward Processing (GEOS-FP) oleh NASA ................... 24 Gambar 7. Tangkapan visual penyebaran kabut asap menggunakan Operational Land Imager (OLI) ................. 25 Gambar 8. Persentase Jumlah Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan........................................................ 25 Gambar 9. Daftar 25 Konglomerasi Penguasa Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia ........................................ 27 Gambar 10. Luas Lahan Sawit Menurut Provinsi (2018) ...................................................................................... 29 Gambar 11. Korelasi antara EPI Scores vs GDP per Capita ................................................................................... 31 Gambar 12. Hanya 29% Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang Membayar Pajak ................. 35 Gambar 13. Tren #AnakSTM vs Topik Lain ........................................................................................................... 56



v



MANIFESTO PERJUANGAN RAKYAT Setelah 21 tahun, 5 bulan, 6 hari terhitung sejak kekuasaan Soeharto tumbang, reformasi belum juga memberi solusi yang nyata atas penderitaan rakyat, buruh, tani, dan kelompok rentan. Bahkan hari ini, kita menjadi saksi atas penindasan yang telah, sedang, dan terus dilancarkan oleh negara demi melanggengkan kekuasaan oligarki, dengan memperalat hukum untuk membungkam suara demokrasi, diiringi dengan berbagai persoalan yang tak kunjung tuntas. Dengan digulirkannya banyak kebijakan yang terbukti tidak berpihak kepada rakyat sehingga mencederai agenda reformasi dan cita-cita UUD 1945, maka pada hari ini gerakangerakan rakyat yang berasal dari berbagai organisasi, serikat, federasi, telah bermufakat untuk bersatu sebagai Persatuan Perjuangan Rakyat demi melawan penindasan. Sehingga atas nama demokrasi, dengan ini kami menyatakan: 1. Mendesak Presiden untuk menerbitkan Perppu KPK dan mencabut mandat pimpinan KPK terpilih yang bermasalah. 2. Menolak RKUHP, RUU Pemasyarakatan, PSDN, Pertanahan, Ketenagakerjaan, Keamanan dan Ketahanan Siber, Sumber Daya Air, Minerba, Budidaya Pertanian, Perkelapasawitan, dan segala Rancangan Undang-undang yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, baik sebagian maupun keseluruhan. 3. Mendesak pemerintah untuk mencabut segala Undang-undang yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat melalui Perppu atau jalur konstitusional lainnya. 4. Mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perampasan Aset. 5. Menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kerusakan ekologis di seluruh Indonesia, mempidanakan korporasi pembakar hutan dan perusak lingkungan, serta cabut izinnya. 6. Menolak keterlibatan TNI & POLRI di segala bentuk jabatan sipil. 7. Menuntut pemerintah menarik mundur seluruh militer, menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM, menjamin hak demokrasi serta membuka akses jurnalis internasional di tanah Papua. 8. Menolak kenaikan iuran BPJS. 9. Menuntut pemerintah untuk melindungi aktivis pegiat HAM, lingkungan, anti-korupsi serta menjamin hak-hak demokrasi rakyat. 10. Menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan. Seluruh butir tuntutan tersebut adalah bukti perlawanan sekaligus kesaksian rakyat yang melihat, mendengar dan merasakan sakitnya penderitaan negara di bawah kaki oligarki. Dengan demikian jelas bahwasanya reformasi telah berada di titik nadir, sebab dikorupsi oleh para reformis gadungan yang justru mengkhianati cita-cita bangsa. Maka pada hari ini, kami menyatakan persatuan dan kesatuan kami untuk terus berjuang tanpa henti dan tanpa letih dalam melawan segala bentuk penindasan sebagai bentuk sumpah setia kami kepada rakyat.



Surabaya, 28 Oktober 2019



Atas nama rakyat yang tertindas



2



A. INDONESIA HARI INI 1. Reformasi Benar-Benar Dikorupsi i.



Pembunuhan Berencana terhadap KPK



Pasca reformasi 1998, harus diakui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Sampai akhir tahun 2018, berdasarkan data rekapitulasi yang tersedia di portal Anti Corruption Clearing House (ACCH), KPK berhasil melakukan penanganan tindak pidana korupsi dengan rincian: penyelidikan 1.135 perkara, penyidikan 887 perkara, penuntutan 719 perkara, inkracht 578 perkara, dan eksekusi 610 perkara.3 Termasuk menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah. Namun dibalik kinerja dan capaian tersebut, masih banyak pihak yang menginginkan KPK dilemahkan, bahkan dimutilasi. Pelemahan KPK yang sekarang terjadi menunjukkan bahwa perlawanan balik para koruptor melalui kaki tangannya di pemerintahan tidak dapat dibendung lagi. Ironisnya, upaya pelemahan KPK telah berulang kali terjadi. Terhitung sejak tahun 2010, upaya pelemahan KPK melalui mekanisme/proses legislasi dengan cara melakukan Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (RUU KPK), termasuk juga pada tahuntahun setelahnya. Pada pertengahan 2019, proses legislasi Revisi UU KPK merupakan yang paling aktif sejak 10 tahun terakhir meskipun mendapat banyak penolakan publik. Pola pelemahan yang sama terhadap KPK juga terus berulang, terutama jika KPK sedang menangani perkara tindak pidana korupsi yang menarik perhatian publik dan berpotensi mengganggu kepentingan kelompok tertentu. Revisi yang sepatutnya bertujuan untuk memperbaiki kekurangan, tidak demikian halnya dengan Revisi Undang-Undang KPK di tahun 2019. Dari berbagai hasil kajian oleh publik secara objektif terhadap RUU KPK, ditemukan banyak kelemahan, baik dari sisi substansi maupun proses perundangannya. Dari substansi dan politik hukum yang tersirat, bukan penguatan KPK yang menjadi alasannya, justru mengarah pada pelemahan KPK. Terbukti, dari disisipkannya 26 pasal yang memiliki permasalahan fundamental sehingga mengundang sorotan publik.4 pasal-pasal ini terkesan dipaksakan masuk untuk membatasi ruang gerak KPK dalam melaksanakan kewenangannya. Bentuk pelemahan melalui Revisi Undang-undang ini sulit dideteksi.5 Mengingat prosesnya yang cenderung dilakukan secara tertutup, minim partisipasi publik, bahkan sampai sekarang Naskah Akademik Undang-Undang tersebut belum dapat diakses secara bebas. Pada saat yang sama, kemunculan RUU KPK dianggap oleh sebagian kalangan sebagai pembunuhan berencana terhadap KPK. Pasalnya, DPR di akhir masa jabatannya tiba-tiba mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan Badan Legislasi perihal revisi undang-undang pada lame duck session (masa peralihan periode), atau masa rawan penyelewengan demokrasi. Rapat ini berjalan mulus tanpa hambatan, tanpa interupsi dalam waktu singkat, cukup 20 menit setelah sidang dibuka pada Kamis (5/9/2019). Upaya sistematis pelemahan terhadap KPK semakin nyata setelah Presiden Joko Widodo menyetujui pembahasan RUU KPK bersama DPR RI dengan segera mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri PANRB Syafruddin di rapat pembahasan pada Rabu (11/9/2019). Pada Selasa (17/9/2019), rapat paripurna resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang KPK menjadi Undang-undang yang merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan KPK.



3



Anti-Corruption Clearing House, Rekapitulasi Tindak Pidana Korupsi, KPK, 31 Desember 2018 Dipna Videlia, 26 Masalah Revisi UU KPK, (Tirto : 26 September 2019) 5 Indriyanto Seno Adji, dkk, Eksaminasi Publik : Public Review terhadap RUU KPK, (Jakarta : ICW, 2016), hlm. 10 4



3



ii.



Serentak Kompak Menginjak KPK Salah satu masalah yang paling banyak mendapat sorotan publik adalah diusulkannya dewan pengawas KPK sebagai konsep penguatan independensi KPK menurut DPR. Dalam perubahan terbaru pada Pasal 1 angka 3 ditegaskan prinsip independensi dan prinsip untuk menjaga lembaga dari intervensi pihak manapun. Bahkan kekuasan negara yang terdiri eksekutif, yudikatif dan legislatif juga disebutkan dalam penjelasan pasal tersebut. Namun setelah dikaji lebih lanjut, adanya dewan pengawas yang diberi kewenangan memberi/tidak memberi izin kepada penyidik KPK untuk melakukan upaya penyidikan lebih lanjut seperti penyadapan, penggeledahan dan penyitaan justru mempengaruhi independensi KPK dalam melakukan tindakan pemberantasan korupsi.6 Selain permasalahan efektivitas penyidikan perkara korupsi dan menimbulkan kebingungan bagi penyidik, dewan pengawas yang bukan merupakan aparat penegak hukum diberikan akses begitu luas mengontrol aparat penegak hukum merupakan anomali dalam hukum acara pidana di Indonesia. Izin upaya paksa yang selama ini didapatkan dari Ketua Pengadilan Negeri dan merupakan mekanisme pengawasan horizontal justru diubah, sehingga berpotensi membingungkan ketika menentukan kompetensi relatif dalam konteks upaya pra peradilan terhadap upaya paksa yang dilakukan. Permasalahan yang sama dapat dilihat dari beralihnya KPK menjadi rumpun kekuasaan eksekutif berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 perubahan kedua UU KPK, dan berubahnya status kepegawaian pegawai KPK menjadi anggota korps profesi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 1 angka 6 UU tersebut. Dengan beralihnya rumpun kerja KPK serta status kepegawaian pegawai KPK, kontrol eksekutif dalam penegakan hukum begitu nyata. Hal ini cenderung menimbulkan konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebagai sebuah lembaga yang bersifat independen dimana meletakkan ASN sebagai salah satu subjek dalam UU Tipikor.7 Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa KPK seharusnya hadir sebagai solusi dari kondisi korupsi yang menggerogoti berbagai lembaga Negara, termasuk lembaga penegak hukum konvensional. Oleh karena itu, independensi KPK perlu diperhatikan dalam konteks menjaga objektivitas penanganan perkara yang melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh, baik dari unsur eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. 8 Hubungan struktural KPK dengan lembaga atau instansi lain cenderung menjadikan KPK sebagai lembaga yang dependen dan rawan dimanfaatkan untuk menggebuk lawan-lawan politik penguasa. Sampai hari ini, tidak sedikit elemen yang mengendus dugaan persekongkolan oknum dari unsur trias politica, partai pendukung pemerintah dan kubu oposisi di balik mulusnya pengesahan Revisi kedua UU KPK. Selain karena RUU KPK tidak tercantum dalam Program Legislasi Nasional 2019, terikatnya seluruh calon pimpinan KPK dengan komitmen persetujuan terhadap revisi UU KPK yang dijadikan sebagai syarat untuk terpilih turut menguatkan dugaan tersebut. Selain dengan rekam jejak yang bermasalah, terpilihnya perwira kepolisian menjadi Ketua KPK dikhawatirkan menggerus independensi KPK. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama ini hubungan KPK dan kepolisian kerap diwarnai konflik, terlebih kepolisian kerap menyerang KPK ketika penyidik KPK dihadapkan dengan kasus korupsi yang menggerogoti lingkungan pejabat kepolisian. 9 Belum tuntas kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan dan pemilihan calon



6



Arif Setiawan, Keberadaan Penyelidik dan Penyidik Independen di KPK, Tulisan untuk Public Review Revisi UU KPK, Jakarta, Mei 2016 7 Ismail Aris, Kritik Atas Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No. 40/PUU-XV/2017, IAIN Bone, Vol. 5, hlm. 100 8 Ibid., hlm. 109 9 Indriyanto Seno Adji, op. cit. hlm. 77



4



pimpinan yang sarat persoalan, pengesahan revisi Undang-undang KPK menambah daftar panjang upaya pelemahan lembaga antikorupsi yang dilakukan secara terencana. Gelombang aksi massa yang terjadi hampir di setiap wilayah Indonesia yang terjadi sepanjang September 2019 tidak menggetarkan keputusan unsur eksekutif maupun legislatif dalam mengesahkan Perubahan kedua UU KPK. Presiden yang seharusnya menerbitkan Perppu KPK untuk mengurangi laju pengeroyokan KPK tidak melakukan langkah apapun dan membiarkan KPK terus dilemahkan. oleh karena diamnya instansi eksekutif ini, muncul isu pemakzulan yang digemborkan buzzer politik.10 DPR yang seharusnya menjadi representasi rakyat Indonesia sebagaimana nama instansi tersebut, cenderung hanya mewakili suara dan kepentingannya sendiri, alih-alih memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Instansi penegak hukum, yang seharusnya saling memperkuat satu dengan yang lainnya, justru cenderung diam dalam pelemahan KPK. Masihkah mereka layak disebut sebagai trias politika, atau justru lebih layak disebut trias koruptika, saat mereka justru cenderung saling bahu membahu memutilasi KPK?



iii.



Nasib KPK dan Agenda Reformasi Meski perjalanan Revisi Undang-undang KPK mendapat berbagai penolakan masif dan tokoh-tokoh nasional, sampai pada naskah ini disusun pada hari ini nyatanya Presiden Joko Widodo tak kunjung menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap upaya pelemahan KPK sebagaimana janji politik kampanyenya. Desakan dan tuntutan publik kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK sebagai jalan yang efektif, justru mendapat penolakan keras dari mayoritas partai politik pendukung pemerintah dengan berbagai dalih.11 Presiden memiliki wewenang konstitusional prerogatif untuk menerbitkan Perppu atas dasar kondisi ‘kegentingan yang memaksa'. Perppu itu jelas punya landasan konstitusional, wewenang yang diberikan UUD 1945 kepada Presiden (Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 jo. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011). Bahkan pemaknaan ikhwal kegentingan yang memaksa, telah diatur oleh MK, melalui putusannya No. 138/PUUVII/2009. Bukan tidak mungkin apabila sikap tersebut cukup menjadi pertimbangan politik Presiden dalam mengambil keputusan terkait tindak lanjut terhadap UU KPK. Sementara itu berdasarkan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Dengan belum terdengarnya kepastian dari Presiden perihal Perppu KPK hingga hari ini, maka UU KPK akan otomatis sah secara konstitusi menjadi undang-undang tepat pada 17 Oktober 2019 walaupun tidak disahkan oleh Presiden. Adapun ancaman pemakzulan dalam sistem presidensial hanya diakibatkan penerbitan Perppu cenderung mengada-ada, mengingat kedudukan Presiden tak akan jatuh selain karena pelanggaran berat dan pidana yang berat, yang diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang sebelumnya telah melalui proses persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sebagai negarawan, sikap yang jelas dan tegas berpihak kepada rakyat harus ditunjukkan dengan komitmen nyata memenuhi janji politik sebagaimana dalam nawacita yang sebelumnya telah disampaikan. Penting bagi Presiden segera melaksanakan tindakan tegas untuk menyelamatkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.



10 11



Dylan Aprialdo, Fenomena Buzzer Politik, (Kompas : 9 Oktober 2019) Andri Saubani, Partai Pengusung Jokowi Tegaskan Dukungan RUU KPK, (Republika : 16 September 2019)



5



“Karena keputusan (Perpu KPK) itu seperti simalakama, nggak dimakan bawa mati, dimakan ikut mati, kan begitu, cirinya memang begitu. Jadi memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak.” (Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, pada 4 Oktober 2019)



Sebagaimana catatan sejarah pada Reformasi 1998, rakyat memandatkan sejumlah agenda kepada para Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada masa itu. Mandat-mandat tersebut diakomodasi dan dituangkan dalam TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (TAP MPR XI/1998). Namun disahkannya UU KPK pada tahun 17 September 2019 telah menjadi tanda pelumpuhan lembaga anti korupsi dan dapat dipastikan pula bahwa agenda pemberantasan korupsi telah lemah secara paripurna. Maka hari ini, kami sedang menyaksikan bahwa negara telah melangkah mundur dari cita-cita reformasi 1998 yang seharusnya memberantas habis korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, pelemahan terhadap KPK melalui Rencana Revisi UU KPK bagaimanapun harus dibatalkan karena semangat para pembuatnya jauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Pembiaran bahkan adanya dukungan pemerintah sehingga kelahiran Undangundang KPK yang penuh substansi pelemahan yang justru semakin gencar, adalah bentuk pengkhianatan kepada agenda Reformasi. Janji-janji antikorupsi yang disampaikan oleh Partai Politik selama kampanye pada Pemilihan Umum seharusnya diwujudkan dengan membatalkan rencana pembahasan Revisi UU KPK. Dengan diabaikannya suara rakyat oleh penguasa yang telah bermufakat sehingga Undang-undang “Pelemahan” KPK justru segera lahir di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang kedua, maka atas nama rakyat Indonesia dengan ini kami serukan tuntutan dan desakan agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK yang mengaktifkan kembali Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dan memperkuat agenda pemberantasan korupsi dari berbagai aspek. Sungguh, inilah sebenar-benarnya suara rakyat.



Aksi Penolakan Mahasiswa terhadap RUU KPK di Gerbang DPR/MPR RI (19/9/2019) Dok. Tirto.id



6



DULU



KINI DAN NANTI 7



2. Persoalan HAM Masa Lalu, Kini dan Nanti i. Mati Satu, Mati Seribu Waktu 21 tahun bisa bermakna 21 detik bagi orang yang menunggu kepastian, namun waktu 21 tahun bisa terasa seperti 21 abad lamanya bagi orang yang menunggu ketidakpastian. Rentan waktu ketidakpastian tersebut berlaku bagi korban pejuang Hak Asasi Manusia (HAM). Sejak 18 Januari 2007, keluarga korban dan aktivis peduli HAM telah lebih dari 600 kali melakukan Aksi Kamisan dalam rangka menyuarakan tuntutan keadilan di depan Istana Negara yang diiringi aksi-aksi lain yang tersebar di berbagai daerah. Kegagalan penyelesaian HAM sudah menjadi rahasia umum yang telah kita ketahui bersama. Salah satunya adalah peristiwa 1965-1966 yang sejak 12 tahun sejak terbentuknya tim Ad-Hoc, Kejaksaaan Agung berulang kali mengembalikan berkas perkara ke Komnas HAM hingga terakhir pada tanggal 26 Desember 2018. Dalam peristiwa Semanggi I terdapat 17 korban Pelanggaran HAM, diantaranya adalah Bernandinus Realino Norma Irawan, Tedy Mardany, Sigit Prasetyo, Engkus Kusnaedi, Heru Sudibyo, Wawan, Muzammil Joko Purwanto, Uga Usmana, Lukman Firdaus, Agus Setiana, Doni Efendy, Rinanto, Budiono, Sidik, Sulwan Lestaluhu, Sulaeman Lestaluhu, Wahidin Nurleta dan Budi Marasabesy. Penemuan dari ahli forensik yang menduga bahwa terdapat 5 korban meninggal karena ditembak dengan peluru tajam standar ABRI. Begitupun dengan peristiwa Semanggi II yang memakan korban tewasnya Yap Yun Hap saat melakukan Demonstrasi penolakan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) serta berbagai bentuk aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang menimpa massa aksi lainya pada peristiwa ini. Kurang lebih 18 tahun lalu berkas dari Komnas HAM sudah rampung, namun Kejaksaan Agung justru mengembalikannya. Hal yang sama terjadi saat peristiwa Wasior di Papua Barat dan Wamena dengan perincian empat warga tewas, 39 orang terluka akibat penyiksaan dan lima orang dihilangkan paksa serta satu orang mengalami kekerasan seksual yang kemudian tak berujung penyelesaian yang berkeadilan.12 Kurang lebih 15 tahun lalu berkas sudah rampung namun kejaksaan Agung mengembalikannya ke Komnas HAM, lagi. Sama halnya dengan kemandekan penyelesaian pelanggaran HAM dalam Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Pembantaian Umat di Talangsari dan Penghilangan Nyawa di udara terhadap Seorang Aktivis HAM Munir Said Thalib. Sampai saat ini rentetan pelanggaran HAM tak menemukan titik terang. Padahal urusan hak dan martabat seorang warga negara merupakan hal yang menjadi prioritas dalam cita-cita konstitusi. Sudah lebih dari 70 tahun kita sepakati bersama bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara atas kekuasaan yang sewenang-wenang (machstaat). Konsekuensinya, segala sesuatu mulai dari perbuatan dan tindakan warga maupun pemerintah wajib mematuhi regulasi yang berlaku. 13 Setidaknya prinsip dalam negara hukum mensyaratkan adanya Perlindungan HAM, Pemenuhan Keadilan bagi seluruh warga Indonesia, Check and Balances antara lembaga-lembaga sebagai pemisahan dan pembagian kekuasaan berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) dan adanya peradilan administrasi yang bebas dari perselisihan.14



12



Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Jurnal Komnas HAM Vol.12, (Jakarta, Komnas HAM, 2016), hlm. 40-42 Jeffry Alexander, Memaknai Law Through State dalam Bingkai Rechstaat, Hasanuddin Law Review Vol. 1, (Makassar : Universitas Hasanuddin, 2015), hlm. 83 14 Imer B. Flores, Law, Liberty and The Rule of Law (in a Constitutional Democracy), Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper No. 12-161, 2013, hlm. 78 13



8



Filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588–1679) menjelaskan bagaimana negara melahap habis hak-hak warganya bagaikan Leviathan, seekor monster laut menakutkan dalam Mitologi Timur Tengah. Binatang tersebut merupakan simbol suatu sistem negara yang mengharuskan negara untuk berkuasa mutlak. Hal tersebut terjadi karena adanya suatu kesadaran yang menghasilkan perjanjian dari masyarakat (social contract) untuk membentuk negara yang tak lain bertujuan untuk menciptakan social order dari perilaku manusia yang menyerupai binatang buas semata. Atas hasil perjanjian tersebut maka warga menyerahkan semua hak mereka kepada negara, akan tetapi negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya, termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyatnya. Sehingga analogi negara leviathan tersebut sungguh terjadi dalam potret Indonesia saat ini bahwa negara abai terhadap pertanggungjawabannya atas penyelesaian pelanggaran HAM. Padahal persoalan HAM merupakan hal yang paling prinsipil dalam negara hukum. Selama satu periode rezim nawacita (era Jokowi-JK) berkuasa, penuntasan pelanggaran HAM berat haruslah menjadi program prioritas sesuai yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019. Namun, rezim ini justru melakukan tindakan hipokrit dengan merangkul tiga purnawirawan Jenderal yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat diantaranya adalah Wiranto sebagai Menko Polhukam yang patut dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan Timor Leste; Hendropriyono dalam kasus Talangsari dan Pembunuhan Munir Said Thalib; serta Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam kasus pembunuhan pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay.15 Pemerintah selama satu periode justru terkesan cuci tangan atas penyelesaian kasus HAM berat masa lalu karena wacana rekonsiliasi tanpa jalan yudisial terus digemborkan kepada korban pelanggaran HAM oleh Wiranto. Tentu saja hal ini sangat tidak adil apabila kasus tersebut diselesaikan di non pengadilan. Di sisi lain ada masalah pelemahan Komnas HAM secara sistematis melalui berbagai hal. Salah satunya melalui pemilihan komisioner, baik dari pansel maupun DPR. Mulanya penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) sebagai lembaga ekstra yudisial. Ruh UU KKR bersumber pada TAP MPR Nomor V tahun 2000 dan mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. yang menjadi perdebatan dalam UU KKR pada saat itu terdapat di pasal 1 angka (9), pasal 27 dan pasal 44 yang pada pokoknya menjelaskan tentang pemberian ruang amnesty atau pengampunan bagi pelaku pelanggaran HAM berat. Dasar tersebut tentu akan berpotensi untuk merenggut hak korban, tidak ada jaminan persamaan di depan hukum (equality before the law) serta jaminan untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Atas dasar tersebut, pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi pada 7 Desember 2006 dengan Jimly Asshiddqie sebagai ketua Majelis Hakimnya telah memberikan putusan yang melampaui permohonan penguji. Putusan Nomor 006/PUU-IV/2006 menegaskan UU KKR bertentangan dengan UUD 1945. Dampak yang paling serius dari putusan tersebut membuat mata rantai impunitas menjadi makin kuat dan sistemik. Dalam perspektif korban, putusan tersebut kian membatasi pilihan korban dan secara momentum menjadi hilang. Yang paling menyakitkan bagi korban adalah fase terus menerus menunggu atas upaya pertanggungjawaban negara yang kian abai.



15



Komnas HAM, Kronik Seperempat Abad 1993-2018, (Jakarta: Komnas HAM, 2019)



9



Harapan penyelesaian kasus pelanggaran HAM selama rezim nawacita selama satu periode telah sirna, namun setelah kontestasi Pemilihan Umum selesai, Joko Widodo kembali terpilih menjadi presiden dalam masa jabatan 2019-2024. Setelah terpilih kembali, Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Juli 2019 memberikan “Pidato Visi Indonesia” dengan muatan developmentalisme yang pernah dianut oleh rezim Orde Baru dan sama sekali tidak menyinggung masalah Hukum, HAM dan pemberantasan Korupsi maupun keadilan sosioekologis. Tibalah hari ini, saat rezim demi rezim silih berganti namun penyelesaian kejahatan HAM tak kunjung membawa solusi dan bahkan praktik pelanggaran HAM selalu terwariskan ke tiap generasi. Sebab komitmen penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam momentum saat ini sangat jauh dari harapan, dari kasus demi kasus yang mangkrak karena tidak pernah diselesaikan justru berkembang biak dan menghantui korban selama rezim Jokowi berkuasa. Hal tersebut dapat dilihat saat tidak adanya kabar dari kepolisian dan tim gabungan pencari fakta selama 12 bulan terkait penyidik KPK Novel Baswedan yang disiram oleh dua orang tidak dikenal dengan air keras di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada tanggal 11 April 2017. Selain itu terjadi juga indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa kerusuhan 21-23 Mei 2019 ketika massa sedang menggelar aksi pengawalan hasil Pemilu di Gedung Badan Pengawas Pemilihan Umum dengan catatan 8 korban meninggal dunia dan 737 orang cedera. Pada tanggal 10 Oktober 2019 pihak Ombudsman telah memberikan hasil rapid assessment kepada pihak kepolisian yang mana ditemukan praktik maladministrasi oleh kepolisian dalam menangani aksi unjuk rasa pada 21 Mei - 23 Mei 2019, namun pihak kepolisian malah menolaknya.16 Pelanggaran HAM masa kini juga terjadi kepada warga Papua selama dua tahun terakhir ada sekitar 33 peristiwa serupa di berbagai daerah. Salah satunya adalah ketika gejolak momentum aksi anti-rasisme dibatasi dengan upaya pemblokiran internet di Papua dan tragedi kemanusiaan di kerusuhan Wamena yang menyebabkan 31 korban jiwa serta 845 demonstran massa aksi #ReformasiDikorupsi ditangkap, 535 orang dibebaskan, 9 Jurnalis menjadi korban kekerasan Polisi. Dalam peristiwa tersebut telah memakan korban jiwa, diantaranya adalah Maulana Suryadi seorang juru Parkir Tanah Abang meninggal dalam keadaan lebam dan darah mengucur dari hidung dan telinga 17; Immawan Randy meninggal karena tertembak saat demo reformasi dikorupsi di Kendari 18; Yusuf Kardawi meninggal terkena benturan benda tumpul di kepala saat mengikuti aksi 19. Dapat disimpulkan bahwa pengungkapan Pelanggaran HAM tidak ada satupun yang berujung penyelesaian. Tuntutan penyelesaian kasus pelanggaran HAM akan terus jadi tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang masa kerjanya masih mempunyai waktu lima tahun. Agar isu HAM tak jadi gimmick saat momentum-momentum kampanye semata, namun juga dapat mengimplementasikannya dengan baik, mungkin Pak Jokowi kembali mengingat bahwa di tengah Pilpres 2014 ia mengagumi puisi Wiji Thukul, penyair sekaligus aktivis yang sejak 1998 sampai sekarang masih hilang. Seharusnya tidak hanya kagum, namun juga resah hingga kemudian terpantik untuk memunculkan kesadaran pemerintah dalam membangun tindakan konkret dalam penyelesaian kasus HAM. Sehingga dalam kesempatan ini rakyat menuntut agar pemerintah kedepan harus memastikan tegaknya ukum Indonesia yang menjadikan konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai pedoman utama dalam menjalankan mandat pemerintahan.



16



Ombudsman, Polisi Tolak Temuan Maladministrasi Demo 21-23 Mei, (Ombudsman: 10 Oktober 2019) Tim Merdeka, Sebelum Maulana Meninggal: Ditangkap dan Ditumpuk di Dalam Truk Polisi, (Merdeka: 4 Oktober 2019) 18 Tempo.co, Mahasiswa Kendari Tewas, Dokter Pastikan Akibat Tembakan di Dada, (Tempo.co: 26 September 2019) 19 Regi Yanuar, Investigasi KontraS: Selain Randi, Yusuf Juga Tewas Tertembak, (Law Justice : 14 Oktober 2019) 17



10



Foto : Maria Catarina Sumarsih adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I, yang tak henti mengikuti Aksi Kamisan selama 12 tahun Dok. ANTARA FOTO / Muhammad Adimaja



11 Foto : Raja Ampat, Papua Barat Dok. Victoria Vodar



ii.



Papua dan Penjajahan oleh Negara Akhir-akhir ini Papua kembali menjadi sorotan publik. Rentetan peristiwa sejak intimidasi dan penyerangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 berujung panjang hingga demonstrasi di berbagai kota di Papua dengan yang paling baru yakni kerusuhan Wamena. Masalah ini menyeret beberapa orang menjadi buronan, kriminalisasi para aktivis pendukung Papua, dan yang paling mengerikan: pembunuhan rakyat Papua. Sebelum kita beranjak lebih jauh, pada BAB ini kami memohon secara khusus kepada pembaca untuk menanggalkan dulu semua sentimen terkait “makar”, “separatis” dan “anti NKRI” terhadap tulisan ini. Kami mengajak pembaca untuk membuka pandangan kita bersama terkait fakta sejarah yang ada agar tulisan ini kemudian bisa menjadi bahan diskusi bersama, menjadi acuan untuk mendalami referensi lainnya, hingga menjadi acuan dalam penyikapan kita sebagai kaum intelektual. Persoalan Papua melibatkan sejarah yang panjang dan menyangkut hal yang rumit. Dimulai dari referendum palsu, masuknya investasi asing (baca: Freeport), kesenjangan ekonomi, pembungkaman demokrasi, hingga pembunuhan terhadap orang asli Papua. Banyaknya permasalahan yang menimpa Papua menuntut kita untuk tidak seenaknya mengambil kesimpulan bahwa akar dari masalah di Papua hanya sebatas pada kurangnya nasionalisme rakyat Papua terhadap Indonesia. Ada serangkaian sejarah yang panjang, dari era kerajaan, masuknya kolonial Belanda, pasca kemerdekaan hingga orde baru berkuasa. Pada abad ke-16, Papua dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Kesultanan Tidore. Kesultanan ini menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah timur Indonesia saat itu. Akan tetapi, Kesultanan Tidore tidak menguasai seluruh wilayah di pulau Papua, melainkan hanya di Raja Ampat, Semenanjung Onim dan sekitarnya. 20 Pada saat Belanda memasuki wilayah Tidore, sempat terjadi perlawanan dari Kesultanan Tidore terhadap upaya kolonialisasi Belanda. Singkatnya pada tahun 1790-an, beberapa negara mencoba mengklaim wilayah ini sebagai wilayah koloni mereka seperti Jerman, Inggris, dan Belanda. Walaupun pada akhirnya belum ada negara yang betul-betul mendominasi wilayah Papua seperti Belanda mampu menguasai Jawa.21 Pada tahun 1828, Belanda mengklaim bahwa Papua adalah bagian dari jajahan kerajaan mereka. Kekuasaan Belanda hanya terletak di beberapa titik di Papua, khususnya Jayapura yang pada waktu itu disebut sebagai Hollandia oleh Belanda. Pada tahun 1895, setelah Belanda bersengketa dengan Inggris, keduanya sepakat membagi wilayah Papua menjadi dua bagian yakni Papua Barat dikuasai Belanda, sementara Papua Timur (di kemudian hari dikenal sebagai Papua Nugini) dikuasai Inggris. 22 Dari Papua, sedikit kita beranjak ke kondisi perlawanan terhadap Belanda di Indonesia. Pada tahun 1900-an, pergerakan nasional di Hindia Belanda mulai bangkit. Berbagai macam organisasi rakyat mulai bermunculan, seperti Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Indische Partij, PNI dan seterusnya. Semangat kemerdekaan dan perlawanan terhadap kolonial mulai bangkit. Muncul aktivis-aktivis kemerdekaan, wartawan-wartawan independen, hingga serikat-serikat buruh dan perkumpulan pemuda di berbagai tempat. Kesadaran nasional mulai memuncak ketika sumpah pemuda diucapkan. Pada tahun 1928, pemuda dari berbagai daerah berkumpul untuk menyatakan sikap bersama diantaranya bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yakni Indonesia. Sejarah menunjukkan di era kebangkitan nasional hingga tercetusnya Sumpah Pemuda, rakyat Papua sendiri belum terlibat dalam pergerakan nasional. Bahkan tidak ada rakyat Papua yang ikut serta dalam peristiwa Sumpah Pemuda.23 Artinya kesadaran bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia belum terbentuk di kalangan pejuang kemerdekaan Indonesia. Di era ini



20



Haga, Nederlandsch Nieuw Guinea en de Papoesche Eilanden, (Batavia: W. Bruining & Co, 1883), hlm. 54 Ibid, hlm. 45 22 Robert C. Bone, Jr. The Dynamic of the Western New Guinea (Irian Barat) Problem, (Cornell University, 1958), hlm. 19 23 Freddy Numberi, Quo Vadis Papua, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2013) 21



12



terdapat satu daerah di Papua yang cukup ‘familiar’ bagi para pejuang kemerdekaan, yakni Boven Digul. Boven Digul adalah daerah di Papua yang dijadikan tempat pembuangan para tahanan politik Indonesia. Namun, kendati menjadi tempat pengasingan para tokoh pergerakan, belum ada komunikasi politik antara pejuang kemerdekaan Indonesia dengan rakyat Papua terkait keterlibatan mereka dalam melawan Belanda dan mendirikan negara Indonesia. Sebelum Proklamasi dikumandangkan, beberapa perwakilan dari Indonesia membentuk BPUPKI (Badan Persiapan Usaha Penyelenggaraan Kemerdekaan Indonesia) yang mana salah satu pembahasannya adalah mengenai Papua, namun tidak ada satupun perwakilan rakyat Papua yang terlibat di dalamnya.24 Pasca kemerdekaan Indonesia, dibentuklah KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang bertugas untuk membantu Presiden, dan berisi perwakilan pemuda dari tiap daerah. Dalam KNIP ini sendiri, lagi-lagi tidak pernah ada wakil dari Papua yang didelegasikan. Di era ini, Latuharhary ditunjuk untuk menjadi Gubernur Maluku, yang wilayah jangkauannya hingga Papua. Akan tetapi pemerintahan Indonesia tak pernah berdiri di Papua. Tekanan politik Belanda melalui agresi-agresi militer terus mewarnai jalannya Republik Indonesia yang baru seumur jagung itu. Pada 1946, diadakanlah konferensi Malino sebagai upaya Belanda untuk mendirikan negara-negara federasi. Di balik upaya pembentukan negara federasi ini, Belanda memiliki kepentingan besar untuk kembali berkuasa atas Indonesia sebagai hasil kesepakatan Perang Dunia II.25 Dalam konferensi Malino inilah Frans Kaiseipo sebagai tokoh Papua mulai dilibatkan. Menurut Pieter Drooglever, dalam pertemuan Malino itu, “nada utama pernyataannya adalah menginginkan kerjasama Belanda dan Indonesia dalam pembangunan ketatanegaraan dan pendidikan” di Papua, yang waktu itu juga ia usulkan namanya untuk diganti dengan ‘Irian’. Pertemuan ini kemudian tidak menghasilkan apa-apa dan pertemuan-pertemuan selanjutnya terkait perundingan Belanda dan Indonesia, sama sekali tidak melibatkan rakyat Papua. Pada tahun 1949, dimana Konferensi Meja Bundar berlangsung, Papua ditetapkan sebagai wilayah Belanda. Perundingan lebih lanjut mengenai Papua akan diadakan lagi di tahun selanjutnya. Di tahun 1962, barulah muncul inisiatif menyatukan Papua dengan Indonesia. Inisiatif ini muncul dari Soekarno. Soekarno kemudian menyerukan operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) yang bertujuan : Gagalkan pendirian negara boneka Papua, kibarkan merah putih di Papua, dan bersiap untuk mobilisasi umum. Operasi tersebut, kendati memiliki semangat antikolonial, namun gagal mendapat dukungan dari rakyat Papua. Walaupun sempat dibantu Kaiseipo dalam pendaratan pasukan, namun banyak prajurit Indonesia yang justru tewas karena diserang penduduk lokal Papua. Tokoh-tokoh penting dalam TNI seperti Soeharto dan Benny Moerdani juga diterjunkan dalam serangan ini dan sampai akhir operasi, TNI tak mampu membangun satu kompi tentara dari rakyat Papua. Artinya, aktivitas politik pemerintah Indonesia masih sangat minim dan bahkan belum mampu menarik hati rakyat Papua untuk bergabung dengan Indonesia. Operasi ini akhirnya berhenti setelah terjadi gencatan senjata yang merupakan hasil intervensi dari Amerika Serikat. 26



24



Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sidang 11 Juni 1945 Widhi Setyo Putro, Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949, (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia), hlm. 34 26 Ide Anak Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965, (Den Haag: Mouton & Co, 1973), hlm. 38-39 25



13



Pada tahun yang sama, diadakanlah New York Agreement (NYA) yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Forum ini diinisiasi oleh Amerika pada tanggal 15 Agustus 1962. Perundingan tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan. Pertama, Belanda harus menyerahkan Papua Barat kepada Indonesia selambatGambar 1. Mayjend Soeharto memimpin Komando Mandala lambatnya pada 1 Mei 1963. Kedua, dalam operasi TRIKORA selama proses pengalihan tersebut, wilayah Papua dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan seluruh pasukan Belanda harus ditarik dari wilayah Papua. Sedangkan pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi dan otoritas UNTEA. Salah satu syarat yang disepakati dalam New York Agreement adalah dilaksanakannya hak menentukan nasib sendiri dan harus dipenuhi sebelum tahun 1969. Namun sekali lagi, kesepakatan NYA sama sekali tidak melibatkan Rakyat Papua. Belum tuntas masalah Papua, Indonesia mengalami gejolak politik pada tahun 1965 dan terjadi transisi kekuasaan, dari Soekarno menuju Soeharto. Pada tahun 1960, seorang geolog Freeport dari Amerika Serikat yakni Forbes Wilson mendatangi Papua lalu menemukan tumpukan bijih tembaga yang terhampar luas di Gunung Grasberg. Rencana besar Freeport akhirnya berhasil dimuluskan oleh Soeharto lewat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing27. Undang-undang ini menjadi payung Gambar 2. Penandatanganan Kesepakatan Kontrak Karya I hukum sekaligus gerbang utama PT Freeport Indonesia pada 7 April 1967, diwakili oleh maraknya investasi asing yang masuk Menteri Pertambangan RI, Ir. Slamet Bratananta (kedua dari kanan), dan pihak Freeport yang diwakili Presiden ke Indonesia atas penguasaan tanah Freeport Sulphur, Robert Hills, serta Presiden Freeport di Papua dengan menandatangani Indonesia Forbes K Wilson (berurutan dari kiri). Kontrak Karya pada tanggal 7 April (Sumber: The Netherlands National News Agency) 1967. Padahal apabila mengacu pada New York Agreement, pada saat itu wilayah Papua masih berada di bawah otoritas UNTEA, sebab belum diadakannya pemungutan suara untuk menentukan nasib bagi rakyat Papua. Bahkan, rezim Soeharto sama sekali tidak meminta izin rakyat Papua untuk menentukan apakah Freeport bisa masuk ke Papua atau tidak.28 Pada tahun 1969, pemerintah Indonesia merencanakan untuk menggelar Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), seperti yang diamanatkan oleh perjanjian sebelumnya. Namun, ada hal yang tidak beres dalam proses Pepera 1969 ini. Sejak tahun 1964, Soeharto menunjuk Ali Murtopo untuk “mengamankan” suara rakyat Papua melalui Opsus (Operasi Khusus) untuk Irian Barat. Ali Murtopo menggunakan pendekatan persuasif kepada rakyat Papua, dengan mengirimkan berbagai macam hadiah hingga makanan kepada suku-suku yang ada di Papua. Pada tahun 1967, Jusuf Wanandi, seorang asisten Ali Murtopo mengunjungi Papua untuk 27



hasil wawancara Mohammad Sadli (mantan Menteri Pertambangan) oleh Thee Kian Wie, Pelaku Berkisah, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005) 28 Aderito Jesus de Soares, Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer, (Jakarta: ELSAM, 2003), hlm. 26



14



menyelidiki pandangan rakyat Papua terkait Pepera. Dari hasil investigasinya ditemukan bahwa jika Pepera diadakan pada tahun 1968, maka mayoritas rakyat Papua akan memilih untuk merdeka. Oleh karenanya Soeharto menggunakan upaya-upaya intimidasi bahkan kekerasan terhadap rakyat Papua agar mau memilih bergabung dengan Indonesia dan memutuskan bahwa Pepera diadakan pada 1969.29 Pepera pun dimulai pada 2 Agustus 1969. Sistem penentuan pendapat yang dilakukan bukanlah menggunakan prinsip one man one vote seperti yang direkomendasikan PBB, namun berdasarkan prinsip musyawarah dan perwakilan dengan sampel 1.025 orang hasil seleksi militer Indonesia yang dapat menentukan pendapatnya. Jumlah tersebut kurang dari 1% penduduk Papua yang saat itu berjumlah sekitar 800.000 jiwa. Prinsip musyawarah ini dilakukan Indonesia dengan dasar bahwa orang Papua masih dianggap terbelakang, dan tidak siap menjalankan pengambilan suara. Pada akhirnya, Pepera selesai dan menghasilkan suatu keputusan yakni Papua ‘sepakat’ bergabung dengan Indonesia.



Gambar 3. Open Pit-Underground Grasberg Mine berdiameter ±4,2 km



Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 3. Open Pit-Underground ±4,2 km Tambang Emas Terbesar Pertama dan Tembaga TerbesarGrasberg Kedua di Mine Duniaberdiameter ada di Papua Tambang Emas Terbesar Pertama dan Tembaga Terbesar Kedua di Dunia ada di Papua Koordinat Lokasi : 4°3′10″S 137°6′57″E Koordinat Lokasi : 4°3′10″S 137°6′57″E (Dok. Freeport-McMoRan (Dok. Freeport-McMoRanCopper Copper&&Gold, Gold,2016) 2016)



Papua di bawah rezim Soeharto mengalami penderitaan yang luar biasa dengan meresmikan Freeport pada tahun 1973. Perusahaan ini menjadi malapetaka bagi rakyat Papua. Gunung Grasberg merupakan gunung suci menurut suku Amungme. Bahkan puncak Grasberg diibaratkan sebagai kepala ibu dan sangat dihormati serta mempunyai relasi spiritual terhadap suku-suku di sana. Dengan mengesampingkan hal tersebut, Freeport terus mengeruk hingga mengukir lubang raksasa sedalam lebih dari 1 kilometer. Selain itu, Danau Wanagon, danau suci suku Amungme juga ikut hancur karena dijadikan tempat pembuangan limbah beracun. Pada tahun 1977, kemarahan suku-suku di Papua memuncak. Berbagai macam bentuk sabotase dan perusakan fasilitas-fasilitas Freeport dilakukan rakyat Papua sebagai bentuk kemarahan. Perlawanan ini kemudian direspon oleh Soeharto dengan cara-cara



29



Brad Simpson, Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice", Document Release Marks 35th Anniversary of Controversial Vote and Annexation, (Washington D.C: The National Security Archive, 2004)



15



militeristik. Dari observasi di lapangan,30 fakta menunjukkan bahwa telah terjadi penghancuran rumah dan kebun-kebun rakyat Papua, bahkan di Tembagapura, terdapat sekitar 900 orang yang meninggal akibat kekerasan aparat. Tak tanggung-tanggung, Soeharto juga menerapkan status papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sejak tahun 1978 hingga 1998. Rezim Soeharto bahkan memindahkan rakyat suku Amungme, yang biasa hidup di dataran tinggi, ke daerah dataran rendah yang tidak layak untuk menjadi tempat tinggal. Alhasil, 20% anak-anak dari suku Amungme meninggal akibat malaria. Ironisnya, salah satu genosida paling kejam pada masa itu tercatat sebagai sejarah yang tak pernah dibuka kepada publik. Pada tahun 1977-1978 sekitar 4.146 warga Papua menjadi korban operasi militer.31 Bahkan dalam sebuah penelitian dituliskan banyak praktek kekejaman yang tidak manusiawi dilakukan oleh militer Indonesia. Contohnya suami istri dipaksa untuk berhubungan seksual di hadapan para prajurit, jika mereka menolak maka mereka diancam untuk dibunuh. Salah satu saksi mata pada operasi militer pada saat itu juga mengatakan bahwa ia menyaksikan lansia dipaksa untuk memakan kotoran dan meminum air kencing para prajurit. Selain itu, perempuan Papua juga menjadi korban paling rentan dalam operasi militer. Setidaknya ada tiga periode kekerasan yang mereka alami, operasi militer 1977-1978, operasi militer tahun 2005 dan peristiwa pengejaran OPM tahun 2007. 32 Perempuan di Wamena juga menceritakan kasus-kasus eksploitasi seksual berkaitan dengan kehadiran militer di sana. Di salah satu desa di Wamena, sekelompok ibu-ibu janda yang suaminya terbunuh pada masa konflik 1977-1978, terpaksa hidup bersama dalam kondisi yang sangat terisolir. Enam dari mereka memiliki jari yang tidak lengkap karena diamputasi untuk menandai kesedihan mereka pada saat anggota keluarga meninggal. Mereka harus bekerja di kebun dan menganyam noken tanpa jari. Korban Perempuan Papua dalam kekerasan yang dilakukan oleh negara sulit mendapatkan pengakuan apalagi pemulihan. Kasus-kasus mereka diabaikan dan pelakunya mendapat impunitas. Terbukti, hingga hari ini, akses di lapangan hanya dapat mengungkap sedikit kasus, misalnya yang telah disebutkan di atas. 33 Apakah masyarakat Indonesia mengetahui seluruh kebengisan itu? Tidak, karena sejarah konflik Papua Barat-Indonesia telah digunakan oleh Pemerintah Indonesia, justru, untuk menjustifikasi tindakan-tindakan tidak manusiawi yang telah terjadi 34. Narasi sejarah yang dikonstruksi oleh Pemerintah Indonesia itu dibuat dengan sangat hati-hati, mempertimbangkan diksi yang diterima oleh masyarakat Indonesia secara umum (misalnya, ‘kembalinya [orang-orang Papua] ke pangkuan ibu pertiwi’). Secara berbeda, para pengamat menggunakan kata ‘inkorporasi’ atau ‘kolonialisasi’. 35 Selama era Soeharto, narasi sejarah buatan pemerintah tidak ditantang karena orang-orang Papua tidak memiliki dokumentasi historis yang cukup dan sifat pemerintahan Soeharto yang menindas gerakan-gerakan yang mengguncang status quo. Meski gerakan pembebasan Papua mulai diterima oleh pemerintah pada era Presiden Habibie (1998-1999) dan Abdurrahman Wahid (1999-2001), rakyat Papua menerima kekerasan kembali pada era Pemerintahan Megawati (2001-2004) saat narasi sejarah yang mereka perjuangkan diartikulasikan ke publik.



30



Al Araf, Anton Aliabbas, dkk, Securitization in Papua, (Jakarta: IMPARSIAL, 2011), hlm. 126 Op. cit., jumlah seluruh korban yang tercatat 32 Ibid,. hlm. 5 33 Disarikan dari Joint Report Komnas Perempuan, ICTJ, dan Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua, 2009 34 Nino Viartasiwi, The Politics of History in West Papua - Indonesia Conflict, 2018, Asian Journal of Political Science 35 Misalnya, Peter King, West Papua & Indonesia since Suharto: Independence, Autonomy or Chaos?, University of New South Wales Press, Sydney, 2004 31



16



Sejak awal dekade pertama pasca-reformasi, pemerintah telah memberlakukan otonomi khusus (otsus) pada Papua. Penting untuk dicatat, penetapan otsus memiliki implikasi yang serius bagi dinamika perjuangan rakyat Papua. Elit-elit lokal Papua, di satu sisi, memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan pribadi, dalam hal kekayaan maupun jejaring politik. Di sisi lain, sebagaimana yang diargumenkan oleh Suryawan 36, mereka menjadi perpanjangan tangan Pemerintah Indonesia di Papua untuk melancarkan pembangunan dan memecah serta menghambat gerakan rakyat Papua yang kritis melalui stigmatisasi separatis. Stigma separatis bekerja dengan sangat baik dalam menjauhkan masyarakat umum dari suara-suara kritis rakyat Papua, serta melegitimasi kekerasan yang terjadi pada mereka. Bagaimana pun juga, cara-cara otoritarian semacam ini juga terjadi dalam wujud yang lain, misalnya dalam hal distribusi informasi. Ross Tapsell menunjukkan bagaimana pemerintah sedang memberlakukan apa yang disebutnya sebagai subnational authoritarianism (daerah yang mana pemerintah cenderung bersikap otoriter) dengan cara memotong otonomi jurnalis.37 Dia menjelaskan bahwa bukan jurnalis melainkan kekuatan-kekuatan keamanan dan pemerintahan lokal yang memproduksi konten berita arus utama di Papua. Metode pengelolaan kuasa yang otoriter ini menjadi fitur konstitutif dalam menghadapi orang-orang Papua yang kritis. Salah satu yang sempat mengundang sorotan publik belakangan ini, pada Agustus 2019 terjadi perlawanan oleh rakyat Papua atas tindakan rasisme dan anti demokrasi yang dilakukan oleh aparat dan ormas reaksioner terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya.38 Perlawanan rakyat Papua tersebut berupa gelombang pasang aksi demonstrasi di hampir seluruh wilayah Papua. Bahkan eskalasi dari gelombang demonstrasi tersebut mengakibatkan dibakarnya Gedung DPRD Papua Barat di kota Manokwari. Tindakan pemerintah atas semua tuntutan yang diajukan oleh rakyat Papua justru memperkeruh suasana, yaitu dengan pencabutan akses informasi (internet dan telepon), dan pengiriman pasukan militer dan kepolisian dalam jumlah yang sangat banyak, setidaknya ada 6.000 pasukan gabungan yang dikerahkan pada 1 September 2019. 39 Pendekatan militeristik yang digunakan oleh pemerintahan Joko Widodo menambah daftar panjang korban jiwa di Papua. Akan tetapi karena akses jurnalisme dibatasi dan internet dimatikan, tidak ada yang tahu berapa persisnya total korban jiwa akibat kerusuhan di Papua sejak 19 Agustus 2019. Setidaknya, dalam satu peristiwa kerusuhan di Kota Wamena saja, Kompas pada 26 September 2019 mencatat terdapat 31 korban tewas. 40



“terserah kita mau umumkan jumlah korban di Papua atau tidak” (Wiranto, Menkopolhukam, pada 30 Agustus 2019)



36



I Ngurah Suryawan, Komin Tipu Komin: Elit Lokal dalam Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua, 2011, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 15 (2), hlm. 140-153 37 Ross Tapsell, The media and subnational authoritarianism in Papua, 2015, South East Asia Research 23(2), 319-334 38 Ikhwan Hastanto, Rasialisme Pada Mahasiswa Papua di Surabaya Berujung Demo Besar, (Vice.com: 19 Agustus 2019) 39 M. Yasir, 6.000 Tentara dan Polisi Terjun ke Papua, Kapolri: Kalau Kurang Tambah Lagi, (Suara.com: 1 September 2019) 40 John Roy Purba, Daftar Nama 31 Korban Tewas Kerusuhan Wamena, (Kompas : 26 September 2019)



17



Ironisnya, pemerintah justru mengkambinghitamkan beberapa aktivis hak asasi manusia dan menjadikan seorang pengacara HAM, Veronica Koman, yang selama ini aktif menjadi perwakilan sekaligus kuasa hukum rakyat Papua di pertemuan-pertemuan internasional, sebagai tersangka.41 Hal ini menunjukkan bahwa selain Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan di Papua dengan jalur damai, mereka juga menggunakan taktik yang mirip dengan kolonial Belanda, yaitu memisahkan perjuangan rakyat Papua dengan mengkriminalisasi non-Papua yang bersolidaritas. Pemerintah justru aktor yang paling dominan dalam memicu terjadinya konflik horizontal, termasuk dalam hal ini menyokong ormas-ormas ultranasionalis di Papua ketika konflik sedang memanas.42 Dalam jangka waktu 57 tahun, Indonesia justru memperparah penderitaan rakyat Papua dalam bingkai wacana ultranasionalis. Jargon-jargon seperti NKRI Harga Mati justru membuat masyarakat awam tersesat pikirannya dan semakin banyak rakyat Papua menjadi korban, terlebih lagi ketika media arus utama hanya dikuasai oleh narasi milik pemerintah yang justru menjadi justifikasi atas pendekatan negara yang militeristik. HRW (Human Rights Watch) mencatat 500.000 orang Papua yang bisa teridentifikasi mati di tangan militer setelah peristiwa Trikora terjadi hingga tahun 2015.43 Penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia sejak awal terbukti tidak demokratis dan tidak humanis, terlebih jika kita melihat eksploitasi sumber daya alam yang begitu masif hingga militerisme yang tak kunjung berhenti. Legalitas Pepera di bawah naungan hukum internasional pun seharusnya ditinjau ulang karena penyelenggaraannya tidak menggunakan prinsip one man one vote serta dilakukan di bawah tekanan militer. Sehingga pemberian hak menentukan nasib sendiri seharusnya diberikan sebagai jalan keluar paling demokratis bagi rakyat Papua. Sebagai sesama bangsa yang punya sejarah penderitaan di bawah kuasa kolonial, maka secara sadar hendaknya kita tidak melakukan pembiaran atas eksploitasi dan kolonialisme kronis yang ada, apalagi justru menjadi pelaku kolonialisme terhadap bangsa lain hanya demi mementingkan agenda ekonomi global.



34 John



Roy Purba, Daftar Nama 31 Korban Tewas Kerusuhan Wamena, (Kompas : 26 September 2019) dilansir dari berbagai media pada pemberitaan 6 September 2019 41 36 dilansir dari berbagai media padaPancasila pemberitaan September Juli Hantoro, Bamsoet: Pemuda Akan 6Buas Jika Ada2019 yang Ganggu Jokowi, (Tempo.co : 27 Oktober 2019) 42 37 Juli Hantoro, Bamsoet: Pemuda Pancasila Akan Buas Jika yang Ganggu Jokowi, (Tempo.co : 27 Oktober 2019) Benedict Anderson, Mencari Demokrasi, (Jakarta: InstitutAda Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 219. 43 Benedict Anderson, Mencari Demokrasi, (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 219. 35



18 Batalyon Komando 465 Paskhas Brajamusti diberangkatkan dalam rangka pengamanan Bandara di daerah Provinsi Papua pada Sabtu (17/11/2018) Dok. Pusat Penerangan TNI



19



iii.



Ironi Kekerasan Seksual



Dalam kejahatan kekerasan seksual, Komnas Perempuan mencatat bahwa kekerasan seksual merupakan salah bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi. Dalam rentang waktu 2001 sampai dengan 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan juga meningkat setiap tahunnya, bahkan kasus pada tahun 2012 meningkat 181% dari tahun sebelumnya. Dari tahun 2013-2015 kasus kekerasan seksual berjumlah rata-rata 298.224 per tahun. Ditemukan pula sejumlah 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017. Hingga pada tahun 2019, Komnas Perempuan mencatat angka tersebut mengalami tren kenaikan yang linier sebesar 14% yakni sejumlah 406.178 kasus.44



Gambar 4. Jumlah Kasus Kekerasan Seksual terhadap Perempuan, 2007-2018 Sumber : Komnas Perempuan



Di antara banyaknya kasus pelecehan seksual di Indonesia, terdapat beberapa kasus yang mendapatkan sorotan publik. Salah satunya Baiq Nuril, seorang mantan pegawai tata usaha di sekolah yang dilecehkan oleh atasannya lalu dipidana baik penjara pun denda atas putusan hakim karena kalah telak dalam persidangan mulai dari Pengadilan hingga Mahkamah Agung. Walau telah mendapatkan amnesti dari Presiden, hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya kriminalisasi lagi terhadap korban kekerasan seksual. Pada tahun 2018, terdapat kasus Agni, salah satu mahasiswa UGM mendapatkan kekerasan seksual yakni pemerkosaan saat melaksanakan kegiatan akademik. Kasus tersebut tidak diproses melalui jalur litigasi atau lewat pengadilan melainkan diselesaikan lewat non-litigasi yaitu perdamaian yang difasilitasi oleh pihak Universitas dengan dalih menjaga nama baik kampus. Dua hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa ketimpangan hukum di Indonesia bukanlah sebuah fiksi, melainkan betul-betul nyata, ada di depan mata kita saat ini. Hal ini tentunya disebabkan oleh ketiadaan perlindungan hukum secara khusus bagi korban kekerasan seksual. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) hanya mengatur kekerasan seksual sepanjang korban menetap dalam lingkup rumah tangga atau korban berada dalam lingkup rumah tangga pelaku. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kekerasan seksual diartikan saat terjadi persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mana hanya dapat dibuktikan dengan adanya penetrasi antara alat kelamin laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan luka secara fisik saja, baik yang ringan, berat atau mati. Sedangkan untuk kekerasan seksual berupa



44



Komnas Perempuan, Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2019), hlm. 8



20



pelecehan, celaan atau kekerasan secara verbal yang tentu tidak mengakibatkan luka fisik melainkan trauma psikologis tersebut tidak diatur.45 Hal tersebut semakin dipersulit dengan adanya aturan di KUHAP (Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana) untuk mensyaratkan minimal dua alat bukti adanya kekerasan seksual agar kasus tersebut dapat diproses.46 Belum lagi dengan pernyataan serta pertanyaan yang dilontarkan aparat “penegak hukum” cenderung diskriminatif seperti menyalahkan dan merendahkan korban. Hingga kemudian abai terhadap hak-hak korban pun kondisi psikologis korban yang trauma selepas adanya kekerasan seksual. KUHP sebagai produk peninggalan kolonial sudah seharusnya dipertimbangkan relevansinya. Salah satu poin yang perlu dipertimbangkan adalah pasal 285 KUHP47 di mana pemerkosaan dianggap sebagai kejahatan bukan karena itu tindak kejahatan kemanusiaan terhadap perempuan, melainkan perempuan adalah properti milik lelaki setelah menikah. Tabel 1. Indonesia adalah negara paling berbahaya kedua bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik Sumber : Value Champion, Singapura, Maret 2019



Dalam kekerasan seksual terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban yang kemudian dilanggengkan oleh budaya, stereotipe, ataupun kebijakan negara yang tidak berpihak kepada korban.48 Walau tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga akan menjadi korban kekerasaan seksual, namun dalam hal ini perempuan merupakan korban yang paling rentan terhadap kasus kekerasan seksual. Seringkali dalam tataran konstruksi



45



Tanti Senja, Analisis Komparatif Konsep Tindak Pidana Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam KUHP, RUU KUHP, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, (Lampung: FH Universitas Bandar Lampung, 2018), hlm. 79 46 Kardian Ruru, Alat Bukti Yang Sah dalam Pemeriksaan Perkara Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga di Pengadilan, Lex Crimen Vol. IV, 2015, hlm. 17-18 47 Pasal 285 KUHP berbunyi demikian, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” 48 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka), hlm. 16



21



sosial masyarakat, perempuan sebagai subjek kekerasan seksual tidak didengar, diabaikan hingga dituduh sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual atau direviktimisasi. Citra seksualitas perempuan selama ini dibangun atas pemahaman yang sangat patriarkal. Seksualitas perempuan didefinisikan sebagai alat patriarki untuk menggambarkan perempuan dan bukan tentang perempuan itu sendiri. Perempuan bahkan teralienasi dari seksualitasnya sendiri49. Kecenderungan ini membawa suatu pemahaman yang akhirnya menjerumuskan pendefinisian seksualitas perempuan sebatas kepentingan laki-laki. Hukum merupakan tatanan kaum laki-laki yang meminggirkan kaum perempuan untuk membangun, mengkonstruksikan dan memperkokoh hubungan sosio-yuridis yang patriarkis. Hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang penindasan terhadap perempuan.50 Oleh karena itu, Komnas Perempuan Nasional pada tahun 2017 merumuskan regulasi baru sebagai jawaban dan sebuah upaya alternatif bagi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam kekerasan seksual yakni Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai pembaharuan dari sistem hukum khususnya tentang tindak pidana kekerasan seksual. Dalam RUU PKS, Komnas Perempuan menguraikan 9 (sembilan) unsur tindak pidana kekerasan seksual yakni : 1. Pelecehan Seksual 2. Eksploitasi Seksual 3. Pemaksaan Penggunaan Kontrasepsi 4. Pemaksaan Melakukan Aborsi 5. Perkosaan 6. Pemaksaan Perkawinan 7. Pemaksaan Pelacuran 8. Perbudakan Seksual 9. Penyiksaan Seksual Ketua Panitia Kerja RUU PKS memastikan bahwa RUU PKS tidak akan disahkan pada DPR periode ini sebab DPR menggelar rapat paripurna pada 30 September 2019. Ditundanya pengesahan RUU PKS dengan dalih tidak ada waktu padahal sudah dua tahun sejak naskah akademik tersebut diterbitkan adalah bagian daripada pelanggengan budaya patriarki dalam hukum Indonesia yang nantinya sangat dimungkinkan menghasilkan Baiq Nuril dan Agni-Agni baru di kemudian hari. Negara justru memprioritaskan RKUHP untuk segera disahkan yang beberapa pasal di dalamnya justru berpotensi untuk mengkriminalisasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa negara secara tidak langsung menganggap perlindungan perempuan atau korban korban kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang krusial. Lantas apakah belum cukup sosok seperti Baiq Nuril dan Agni juga para penyintas lain sebagai korban dari adanya kekerasan seksual? Maka apakah masih perlu banyak korban lagi dan lagi untuk meyakinkan mereka?



Gambar 5. E-kliping Ironi Kekerasan Seksual di Indonesia, kumpulan dari berbagai sumber



49



Andi Nur Faizah, Kisah Perempuan Teralienasi dari Seksualitas, Motherhood dan Intelektualitasnya, (Jakarta: Jurnal Perempuan, Oktober 2016), hlm. 3 50 Estu Fanani, peliputan oleh Kompas dalam diskusi bertajuk Politik, Keragaman dan Keadilan Gender di Indonesia, (Kompas: 21 Agustus 2016)



22



DIBAKAR BUKAN TERBAKAR Dosa Korporasi yang Dilindungi



23



3. Dosa Korporasi Yang Dilindungi i. Hutan Dibakar, Bukan Terbakar! Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama beberapa dekade telah jadi suatu rutinitas krisis lingkungan tahunan. Merunut sejarah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dari catatan Badan Restorasi Gambut (BRG), pada tahun 1967, kota Palembang pekat diselimuti asap. Sekitar tahun 1970-an, giliran wilayah udara Kalimantan Selatan memutih oleh kabut asap dari kebakaran hutan. Pasca pelepasan lahan gambut untuk satu juta hektare lahan pertanian di Kalimantan Tengah tahun 1996, kebakaran hutan hebat terjadi saat kemarau panjang pada tahun 1997. Diperkirakan sekitar 2,57 gigaton karbon terlepas ke atmosfer kala itu. Jumlah karbon akibat kebakaran hutan yang mencemari udara itu setara dengan karbon dioksida yang dihasilkan oleh 2.488 pembangkit listrik berbahan bakar batu bara selama setahun. 51 Terhitung sejak pertengahan Juli 2019 dari hasil pemantauan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru, sudah ada 38 titik panas di wilayah hutan Provinsi Riau. Sementara itu tim peneliti dari Harvard University dan Columbia University memperkirakan akan ada 91.600 kematian dini ada di Indonesia, 2.200 kasus kematian di Singapura, dan 6.500 kasus kematian di Malaysia akibat dampak jangka panjang kebakaran hutan dilihat dari observasi Gambar SEQ Gambar \* ARABIC 6. Visualisasi Citra Gambar 6. Visualisasi Citra Satelit menggunakan Satelit menggunakan permodelan GEOS Forward penyebaran asap secara sporadis yang (GEOS-FP) oleh(GEOS-FP) NASA permodelanProcessing GEOS Forward Processing oleh diamati melalui pencitraan satelit. NASAyang yangdiambil diambilpada padaSelasa Selasa(17/09/2019) (17/09/2019) Tim ilmuwan di bidang kesehatan masyarakat dan atmospheric modelling ini meneliti jumlah kematian orang dewasa karena menghirup partikel padat pada asap dengan ukuran 2,5 Particulate Matter (PM2,5). Jurnal terbaru yang ditulis tim gabungan peneliti dari universitas yang sama dengan judul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits from Peatland Restoration,” yang terbit Juli 2019 menyebutkan, jika pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak berjalan maksimal, angka kematian dini yang ditimbulkan dapat mencapai angka 36 ribu jiwa per tahun di seluruh wilayah terdampak selama periode 2020 hingga 2030. Dari angka itu, 92 persen kasus kematian dini diperkirakan akan terjadi di wilayah Indonesia. Sementara itu dari laporan tahunan WALHI, Tinjauan Lingkungan Hidup Tahun 2019, terlihat setelah kebakaran hutan dan lahan besar-besaran pada 2015, jumlah titik api yang terpantau di lahan gambut turun tajam hingga tahun 2017. Namun pada tahun 2018, jumlah titik api justru menunjukkan peningkatan tajam hampir 10 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Hingga September 2019, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meluas di Kalimantan dan Sumatera. Laporan bencana asap pun bermunculan dari Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat sepanjang Agustus-September 2019.52



51 52



Mark E Harrison, The Global Impact of Indonesian Forest Fires, Biologist, Vol. 56 No. 3, Agustus 2009 Laporan LAPAN, Titik Panas 2019 Sudah Lampaui Tahun 2018, (LAPAN: 12 September 2019)



24



Berdasarkan data milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Senin, 16 September 2019, titik panas (hotspot) ditemukan di Provinsi Riau sebanyak 58 titik, Jambi 62 titik, Sumatera Selatan 115 titik, Kalimantan Barat 384 titik, Kalimantan Tengah 513 titik dan Kalimantan Selatan 178 titik. Jumlah titik panas itu menurun dibandingkan data BNPB per 15 September 2019. Pada 17 September 2019, jumlah titik panas di Provinsi Riau terlapor sebanyak 59 titik, Jambi 222 titik, Sumatera Selatan 366 titik, Kalimantan Barat 527 titik, Kalimantan Tengah 954 titik dan Gambar Gambar SEQ Gambar ARABIC 7. kabut Tangkapan visualsatelit 7. Tangkapan visual\*penyebaran asap oleh penyebaran kabut asapOperational oleh satelit NASA menggunakan di Kalimantan Selatan sebanyak NASA menggunakan Land Imager (OLI) Operational Land Imager (OLI) pada Minggu (15/09/2019) pada Minggu (15/09/2019) 119 titik. Sementara berdasarkan data KLHK luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama 2019 telah mencapai 328.722 hektare (ha) dengan Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 ha, Kalimantan Barat 25.900 ha, Kalimantan Selatan 19.490 ha, Sumatera Selatan 11.826 ha, Jambi 11.022 ha dan Riau 49.266 ha. Setelah ditinjau bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI menggunakan helikopter di Riau pada Minggu (15/9/2019), Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengungkap keheranannya karena ia tidak melihat lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya sebagian kecil itu pun hanya di bagian tepi pinggir lahan. "Ini menunjukkan adanya kesengajaan praktik 'land clearing' dengan cara mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau sebagai momen” (Jenderal Tito Karnavian, Kapolri, pada Siaran Pers BNPB 15 September 2019)



Gambar 8. Persentase Jumlah Titik Panas Berdasarkan Penggunaan Lahan Sumber : Global Forest Watch, 2019



25



Hingga 16 September 2019, polisi sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi yang menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng. Sedangkan KLHK mengklaim sampai pertengahan September 2019 sudah menyegel 42 perusahaan yang diduga menjadi otak dibalik pembakaran hutan dan lahan. Penyegelan itu dalam rangka proses hukum. Lahan perusahaan-perusahaan itu berlokasi di Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Di antara 42 perusahaan itu ada yang dimiliki pemodal asal Singapura dan Malaysia.53 Perdebatan mengenai apakah kebakaran di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor manusia atau kejadian alam layak menjadi topik yang tidak bisa ditampik. Kerusakan lingkungan akibat ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan kegiatan manusia jelas turut andil atas terjadinya kebakaran lahan, namun faktanya kebakaran alami di Indonesia merupakan kejadian langka dan kebakaran skala besar seperti yang terjadi di tahun 1997-1998 tidak terjadi selama tahun-tahun tanpa ENSO.54 Di sisi lain, menjadi semakin jelas bahwa masalah kabut asap yang terjadi hampir di setiap tahun adalah akibat pembakaran yang disengaja untuk kepentingan pembukaan lahan, sekalipun luasnya jauh lebih kecil dari dampak ENSO. Faktor manusia yang mencakup kegiatan perkebunan milik korporasi, penduduk dan lembaga pemerintah juga turut andil lebih dominan daripada ENSO atas terjadinya kebakaran hutan bencana kabut asap. Sayangnya, usaha pencarian pihak yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan kabut asap selalu stagnan secara berulang dan teratur sebagaimana masalah kabut asap yang mengganggu kegiatan sosial dan ekonomi di Indonesia. Bencana rutin tahunan di Indonesia ini tentu selalu mendapat perhatian besar dari masyarakat dunia bukan hanya karena kabut asap yang ditimbulkannya, tetapi juga karena kabut asap dianggap bertanggung jawab atas kerugian ekonomi dan ekologi hutan. Sementara itu upaya pengusutan kasus kebakaran hutan dan deforestasi semakin disulitkan dengan banyaknya kelemahan kebijakan regulatori seperti generalisasi masalah kebakaran yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001. Dari berbagai laporan, banyak pelaku industri perkebunan kelapa sawit dan karet nyatanya sengaja mengalokasikan lahan hutan untuk dijadikan sebagai tata guna lahan alternatif di tengah kesempatan lemahnya kebijakan yang salah fokus tersebut. 55 Seharusnya tujuan utama hadirnya kebijakan pelindung ekologi adalah mencegah deforestasi yang mengarah pada peninjauan proses alokasi tata guna lahan. Aturan yang ada tidak melarang adanya penggunaan api dalam perkebunan yang mana menyebabkan banyak kebakaran atau titik api. Pemerintah hanya akan menindak apabila terjadi kebakaran yang menjalar atau menghasilkan pencemaran berupa kabut asap. Celah aturan ini membuat penanganan kebakaran tidak berjalan mulus karena penggunaan api dalam alih fungsi lahan akan tetap dipertahankan sebelum dilarang secara total. Namun merevisi perundang-undangan saja tentu tidak cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah lain yang diakibatkan oleh kebakaran hutan. Proses peradilan yang seharusnya ditegakkan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kebakaran hutan sulit dipantau dan dipatroli. Indikasi ini terlihat dari kebakaran yang berulang kali terjadi memang diberi kesan sebagai fenomena yang berada di area terpencil dan sulit dijangkau, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Contohnya, bencana asap selama Juli-Oktober setiap tahunnya memiliki lebih dari 70 persen titik api (hot spots) teridentifikasi yang berada di sekitar lahan perkebunan sawit dan hutan tanam di mana seharusnya terdapat akses jalan untuk menjangkau area tersebut.56Sehingga inspeksi; pengumpulan bukti dan eksekusi oleh pemerintah untuk mengusut pihak yang memanfaatkan metode pembakaran dapat dilakukan dengan tegas. 53



Fadiyah Alaidrus, KLHK Segel 42 Perusahaan Diduga Pelaku Pembakaran Hutan, (Tirto.id: 14 September 2019) Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, (Jakarta: CIFOR), 2003 hlm. 21 55 Ibid,. hlm. 17-19 56 Ibid,. hlm. 20 54



26



Oleh karena itu, setelah hukum direvisi seharusnya pemerintah dapat tegas melawan perusahaan perusak ekologi melalui upaya perlindungan hukum preventif dan represif semaksimal mungkin. Sehingga apabila sanksi berupa pencabutan izin usaha dan sanksi pidana berupa denda atau kurungan penjara diimplementasikan, maka perusahaan lain akan menangkap pesan jera yang kuat untuk meredam aktivitas perusakan ekologi, termasuk pembakaran hutan. Yang amat disayangkan, pesan jera sebagaimana yang diharapkan tersebut justru berlawanan dengan realita yang dilakukan pemerintah. Salah satu poin dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015, Kementerian Kominfo memang ditugaskan sebagai koordinator yang merancang dan menyusun narasi tunggal bagi pemerintah terkait isu yang berkembang di masyarakat (Government Public Relation). Namun dalam praktiknya, peran tersebut justru disalahgunakan (bahkan menggunakan Inpres sebagai payung hukum) dengan memanfaatkan Kemkominfo sebagai corong bagi kepentingan industri. Belakangan ini terlihat misalnya dalam gerakan #SawitBaik, produk kampanye dari hasil konsolidasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) dengan Kemenko Perekonomian dan Kemkominfo. Gerakan ini tentu menjadi ironi tersendiri sebab akun Twitter @SawitBaik mendengungkan tagar #SawitBaik di tengah momen kebakaran hutan pada pertengahan 2019. Kampanye tersebut bahkan sempat mengadakan giveaway bagi pengguna Twitter yang mengunggah cuitan bertagar #SawitBaik. Parahnya, Kemkominfo sebagai pemegang puncak kendali informasi digital justru bergerak lebih jauh dengan membantah dan mendiskreditkan narasi kritis terhadap praktik industri sawit sebagai hoaks.57 Sehingga kampanye #SawitBaik dapat menjadi ilustrasi penyalahgunaan Kemkominfo sebagai advokat bagi kepentingan industri. Alih-alih hadir sebagai penengah antar kepentingan, Kementerian ini justru berpotensi mengambil peran sebagai advokat industri bagi sektor-sektor yang “dekat” dengan pemerintah. Industri sawit hanya salah satunya, Kemkominfo pun hanya salah satunya. Adapun data dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) yang menunjukkan bahwa kepemilikan perkebunan sawit didominasi oleh korporasi besar58 sebagaimana tercantum dalam tabel di samping. Menariknya, apabila dianalisis secara holistik maka kita akan menemukan ada banyak nama di kursi penting pemerintahan dan partai wakil rakyat yang nyatanya punya pertalian erat dengan banyak korporasi sawit besar tersebut. Yang menjadi pertanyaan, akankah negara berani menindak oligarkinya sendiri?



Gambar 9. Daftar 25 Konglomerasi Penguasa Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia



57



Kemkominfo. “[HOAKS] Minyak Sawit Merusak Hutan”. 27 Agustus 2019. https://www.kominfo.go.id/content/detail/20914/hoaks-minyak-sawit-merusak-hutan/0/laporan_isu_hoaks 58 TuK Indonesia, Kuasa Taipan Kelapa Sawit Indonesia, (Jakarta: TuK Indonesia, 2013), hlm. 18



27



ii.



Kita Dilarang Menghambat Investasi!



Sumber daya alam milik negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sampai saat ini sangat sulit untuk diwujudkan. Dalam kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, negara seolah-olah lupa akan tanggung jawabnya terhadap hak-hak warga negara. Dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang memudahkan akses modal dan pasar terhadap eksploitasi sumber daya alam dan manusia di Indonesia adalah bukti konkret atas kelalaian tersebut. Pada tahun 2001 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang ditengarai latar belakang terbentuknya undang-undang ini adalah sebagai akomodasi atas tekanan dan kepentingan kapitalisme global dalam rangka mengeksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi.59 Kemudian pada 2003 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang memungkinkan pengusaha mendapatkan tenaga kerja murah. Selanjutnya secara berturut-turut keluar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UndangUndang Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Keseluruhan legislasi tersebut seakan-akan memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia mengalokasikan hutan, laut, sungai dan tanah untuk diberikan dan dieksploitasi kepada para investor. Sebagai akibatnya, makin banyak sumber daya alam yang telah diserahkan Negara kepada pebisnis/korporasi. Sebagai contoh di sektor perkebunan kelapa sawit saja, Pemerintah Indonesia telah menghabiskan lahan hampir 14,2 juta hektare. Adapun keseluruhan luasan kebun yang ada di Indonesia saat ini berada dalam penguasaan 2.000 (dua ribu) perusahaan dan dikontrol oleh sekitar 25-30 holding company.60 Kelapa sawit disebut sebagai komoditas raksasa sekaligus primadona karena secara perspektif manufaktur karakteristiknya dapat menghasilkan banyak turunan produk. Namun hilangnya hutan (deforestasi) dan bencana kabut asap akibat pembukaan lahan perkebunannya justru menjadi ironi tersendiri. Hilangnya habitat satwa liar seperti orang utan dan gajah juga menjadi sorotan bagi para aktivis lingkungan. Ironi ini tentu menjadi sisi kelam tata kelola lingkungan di Indonesia karena faktanya perkebunan sawit masih menjadi penyumbang devisa non migas terbesar di Indonesia dengan US$ 20,54 miliar atau sekitar Rp 280 triliun. Indonesia pun masih menjadi eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2017 jumlah yang diekspor menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 31,5 juta ton dengan nilai total mencapai US$ 22,9 miliar. Sentralisasi isu ini menafikan perspektif ekologis sekaligus keadilan agraria yang digeser dengan urgensi devisa dari sektor tersebut sebagai prioritas hingga kemudian terlegitimasi secara apik demi keberpihakannya pada korporasi. Jika diamati secara kasar, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo memang cenderung berada pada posisi mendukung industri ini. Ia dan jajaran menterinya misalnya, menjadi garda terdepan untuk berdiplomasi terhadap larangan impor minyak kelapa sawit yang diterapkan oleh negara-negara Eropa. Program-program yang mendorong sektor ini juga terus ditingkatkan misalnya peremajaan perkebunan sawit hingga inovasi produk-produk turunannya. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan bawahan-bawahan sang presiden. Pada pembukaan Konferensi dan Pameran International Gas Indonesia (IndoGAS) 2019 misalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menggarisbawahi persoalan industri sawit ini sebagai tantangan terhadap komoditas sumber energi fosil. Jonan



59



Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, hal 18 60 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2019



28



menyebutkan bahwa tantangan yang harus dihadapi para pelaku bisnis di sektor minyak dan gas adalah kompetisi melawan sektor energi nabati, secara khusus ia menyebut minyak kelapa sawit. Jonan menceritakan perjalanannya ke Italia ketika ia dihadapkan pada mesin yang bisa memproses minyak kelapa sawit menjadi sumber energi listrik. Artinya, sangat dimungkinkan adanya pergeseran di sektor sumber energi dan industri kelapa sawit akan menjadi salah satu pihak yang memanen keuntungan dari kebijakan tersebut. Namun sang petahana berpotensi akan kehilangan dukungan oligarki jika kepentingan para pengusaha di sektor ini diintervensi.



Gambar 10. Luas Lahan Sawit Menurut Provinsi (2018) Sumber : Kementerian Pertanian – Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019



Sebagai entitas bisnis, industri sawit memang punya pertalian dengan kebijakankebijakan politik. Misalnya tender lahan sawit yang disebut-sebut punya potensi penyalahgunaan dan melahirkan praktik KKN. Pada tahun 2015 lalu, The Guardian menyoroti praktik KKN di bisnis sawit Indonesia dan menyebut ada hubungan yang sangat dekat antara pengambil kebijakan politik dengan para pengusaha sawit.61 Hal ini juga disinggung oleh Patrick Anderson dalam penelitiannya yang menyebut sektor bisnis kertas dan sawit sebagai dua entitas yang memiliki potensi korupsi besar-besaran. Dua sektor ini pula yang justru menjadi sumber pemasukan untuk partai-partai politik di Indonesia, termasuk dana kampanye para kandidat yang bertarung saat Pemilu.62 Hal ini tentu menunjukkan pertautan kepentingan yang sangat besar antara bisnis dan politik di sektor sawit. Bias politik dalam bisnis sawit memang tidak dapat dihindari. Tengok saja nama-nama taipan pengusaha sawit yang rata-rata adalah pengusaha besar. Pada banyak kasus, konglomerasi sawit merangkap banyak konglomerasi di berbagai bidang termasuk industri pertambangan. Ketercakupan oligarki dalam setiap bidang di negeri ini membuat rakyat terus menemui permasalahan di daerahnya. Hal ini menambah kabar buruk bagi masa depan rakyat dan lingkungan di Indonesia di tengah denyut dan brutalitas penghisapan kekayaan yang makin masif. Ia juga menambahkan hasil investigasinya yang menyimpulkan bahwasanya lebih dari 500 anggota DPR terpilih di periode ini, atau sekitar 45% terafiliasi sejumlah bisnis termasuk sektor ekstraktivisme, tambang dan migas. Belum lagi pandangan perihal nasib ke negara di bawah injakan kaki oligarki akan semakin suram mengingat rencana berbahaya yang sempat diperbincangkan sebagai Omnibus Law, yakni, penyesuaian 74 peraturan perundang-undangan guna mendorong investasi. Dan kini para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju sebagian besar diisi orang-orang lama yang jelas-jelas pembuat banyak masalah, kemenangan sempurna bagi para kaum oligarki.



61



Joanna Blythman, Palm Oil Companies Exploit Indonesia's People - and Its Corrupt Political Machine, (The Guardian: 11 Juni 2015) 62 Kementerian PPN/BAPPENAS, Laporan Hasil Tinjauan Peran Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kementerian PPN/BAPPENAS, 2016), hlm. 157



29



Dengan kondisi politik Indonesia yang lekat dengan fenomena “perkawinan” pebisnis dan oligarki politik, akan selalu ada pertautan kepentingan dengan dipeliharanya industriindustri perusak ekologi ini sebagai “investasi” dan masyarakat akan selalu dilarang menghambat investasi. Selain konglomerasi lokal dengan pengusaha perusak lingkungan, kentalnya aroma oligarki politik dengan kepentingan bisnis diperkuat oleh narasi andalan Presiden Joko Widodo menyoal investasi asing yang kembali menjadi pusat perhatian bangsa Indonesia. Salah satu penyebab yang paling menonjol adalah keluhan Presiden Joko Widodo atas banyaknya izin yang harus diurus dan betapa lamanya proses pengurusan izin untuk investasi asing di Indonesia dibandingkan dengan di banyak negara. “Kalau perlu, investasi tak usah pakai izin” (Presiden Joko Widodo, pada Musrenbangnas, 9/5/2019)



Sejak Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal diluncurkan, kecenderungan investasi asing terus meningkat mendominasi dan meningkat secara reaktif, meskipun terdapat penurunan yang cukup signifikan di tahun 2009 serta penurunan dangkal di tahun 2016. Di tahun 2007, total investasi di Indonesia hanya Rp100 triliun, dan di tahun 2018 dilaporkan jumlahnya meningkat menjadi Rp 721,3 triliun. Proporsi investasi asing sendiri di tahun 2007 adalah 72%, yang kemudian meningkat tajam menjadi 89% di tahun berikutnya, namun stabil di proporsi 70-73% antara tahun 2009-2013. Di tahun kepresidenan Joko Widodo, proporsi investasi asing itu turun menjadi 69%, kemudian 69% lagi, 64%, 62%, dan terakhir 54%.63 Maka apabila kemudian Presiden Joko Widodo masih mengeluhkan soal realisasi investasi yang terhambat oleh perizinan, hal ini mengindikasikan bahwasanya pemerintah secara subjektif masih menginginkan tingkat investasi yang lebih tinggi lagi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia. 64 Tetapi pernyataan ‘tak perlu izin’ dari Presiden Joko Widodo tentu sangat mengkhawatirkan. Lantaran kita telah menyaksikan bahwa dampak investasi nyatanya tak selalu positif. Apabila kita hanya membatasi diri untuk melihat investasi sebagai isu ekonomi di atas kertas belaka, jumlah investasi yang semakin besar memang bisa dianggap berbanding lurus dengan kemajuan ekonomi. Namun ketika perspektif diperluas secara makro, maka hasilnya belum tentu demikian. Perspektif terbaik untuk melihat investasi seharusnya adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan, yang menggabungkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara komprehensif. Karenanya, dalam menimbang apa yang perlu dilakukan atas perizinan investasi, perspektif inilah yang seharusnya dipergunakan oleh pemerintah. Pembangunan ekonomi yang menimbang banyak hal ini tentu bertentangan dengan kalangan pengusaha yang menganggap kepentingan selain bisnis tidaklah penting. Bahkan kewajiban lingkungan dan sosial seperti AMDAL yang merupakan hal esensial sempat mendapat isu akan dihilangkan karena dianggap menghambat investasi. 65 Akan tetapi, terdapat fakta menarik di mana negara-negara yang mendapatkan peringkat tinggi dalam kemudahan berbisnis adalah negara-negara yang pengelolaan lingkungannya dianggap cukup ketat, sebagaimana yang tergambarkan dalam peringkat Environmental Performance Index. Jadi jangan bermimpi bahwa dengan melonggarkan regulasi lingkungan maka kemudahan bisnis kita akan membaik.



63



Laporan World Bank Group, Economy Profile of Indonesia : Doing Business 2020 Indicators Eddy Cahyono Sugiarto (Asdep Humas Kemensetneg), Investasi dan Indonesia Maju, (Setneg.go.id: 2 Agustus 2019) 65 Agus Triyono, AMDAL dan Izin Lokasi Hambat Investasi Daerah, (Kontan.co.id: 25 Oktober 2017) 64



30



Gambar 11. Korelasi antara EPI Scores vs GDP per Capita Sumber : World Economic Forum pada 2018 Apabila pemerintah memanfaatkan paradigma pembangunan berkelanjutan untuk menepis investasi, maka seharusnya pemerintah bisa menentukan apa saja investasi yang harus kita hindari dan apa yang perlu kita perbanyak. Jenis-jenis industri yang membahayakan bagi lingkungan, menggerogoti kesejahteraan masyarakat, termasuk kesehatan individu, sudah selayaknya ditinggalkan. Sementara industri yang meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus kita galakkan. Sehingga daftar negatif investasi seharusnya dibuat berdasarkan mudarat yang muncul terhadap pembangunan berkelanjutan, sementara segala kemudahan investasi dan dukungan bagi operasi harus diberikan kepada yang membawa manfaat keberlanjutan. Hal ini sudah tercermin secara regulatori dalam UUD 1945, lantaran secara eksplisit menyebutkan keberlanjutan sebagai azas ekonomi Indonesia pada Pasal 33 Ayat 4. Sementara itu Peraturan OJK tentang Keuangan Berkelanjutan sebagai penjabarannya, juga menyatakan bahwa prinsip pertama dari keuangan berkelanjutan adalah investasi yang bertanggung jawab.66 Jadi sesungguhnya tak ada celah untuk investasi yang merugikan pembangunan yang berorientasi berkelanjutan, sebagaimana dipaparkan dalam SDGs (Sustainable Development Goals), karena ambisi investasi yang demikian jelas melanggar konstitusi. Sampai pada hari ini, perizinan bagi bisnis di Indonesia memang perlu terus diperbaiki, namun tentu saja bukan dengan jalan menghilangkan aspek ekologis. Karena bahkan negara-negara yang peringkat kemudahan bisnisnya paling tinggi sekalipun tetap memiliki sejumlah izin yang harus dipenuhi oleh perusahaan yang hendak berbisnis. 67 Selain instrumen untuk menentukan jenis investasi agar bukan sekadar orientasi ekspor dan substitusi impor belaka, dibutuhkan instrumen yang jelas untuk menentukan mana saja izin yang harus dihilangkan, harus disederhanakan, dipertahankan, atau bahkan seharusnya diperkuat. Dapat disimpulkan bahwa instrumen atau tolak ukur terbaik untuk pembangunan adalah paradigma pembangunan berkelanjutan sebagaimana tercantum dalam SDGs, sayangnya instrumen ini hampir tidak pernah menjadi rujukan pembangunan Indonesia. Sudah jelas bahwasanya adu tinggi angka pertumbuhan ekonomi justru dapat menjadi bencana bagi bangsa apabila dikejar dengan mengorbankan kepentingan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, masyarakatlah yang harus terus mengawal, mengingatkan pemerintah dan melantangkan suara bahwa pembangunan keberlanjutanlah yang terbaik untuk Indonesia. Apabila upaya tersebut dianggap menghambat investasi, pastikan kita masih dan akan selalu hadir di barisan terdepan untuk menghadang langsung oligarki! 66



Pasal 2 ayat (1) pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan 67 Zachary A. Wendling, 2018 Environmental Performance Index, Yale Center for Environmental Law and Policy, 2018



31



iii.



Reforma Agraria di Kaki Monopoli



Kebijakan reforma agraria bukan hal baru dalam catatan sejarah Indonesia. Selepas kemerdekaan, para pemimpin politik mengusahakan pergantian sistem agraria warisan kolonial dengan sistem yang bertujuan melindungi kepentingan nasional. Pemerintah menginisiasi reforma agraria dalam skala terbatas, diantaranya penerbitan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Undang-undang ini mengharuskan para tuan tanah menjual tanah-tanah partikelir kepada penduduk atau pemerintah Indonesia dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan reforma agraria dalam skala lebih luas terjadi ketika pemerintah meluncurkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960. Pada masa itu, Soekarno menempatkan reforma agraria dalam konteks transisi agraria dan transformasi masyarakat menuju Sosialisme Indonesia. 68 Setelah jatuhnya Orde Lama tumbang, nilai reforma agraria lenyap dari agenda kebijakan. Kendati sudah diperkenalkan kembali melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PAPSDA), reforma agraria tetap tenggelam dan hanya menjadi kosakata belaka. Reforma agraria dalam transisi agraria merupakan peralihan relasi produksi yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan pengerahan tenaga kerja di pedesaan dan atau pada sektor pertanian yang menjadi tumpuan dari perubahan satu corak produksi ke corak lainnya. Sedangkan reforma agraria versi Jokowi-JK cenderung memihak pasar untuk mempertahankan struktur agraria yang kapitalistik guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Indikasinya, pemerintahan Jokowi-JK tidak melakukan terminasi monopoli penguasaan tanah sebagai strategi reforma agraria. Alih-alih melalui strategi reforma agraria redistributif (redistributive land reform) progresif hingga melucuti kekuatan politik para pemilik/pengontrol lahan berskala besar yang sebagian di antaranya adalah kelas kapitalis transnasional. Kebijakan ini akan mengambil-alih lahan para pemilik usaha pertanian skala besar dan membagi-bagikannya ke para petani tak bertanah, buruh-buruh tani, atau pemilik lahan sempit. Pemerintah pun bisa membentuk badan-badan usaha besar dan modern untuk mengolah lahan-lahan yang diambil tersebut dengan mempekerjakan sebanyak-banyaknya petani-petani miskin sebagai pekerja yang terorganisir di bawah serikat-serikat pekerja. Sayangnya, Pemerintah justru hanya menggunakan kosakata “redistribusi lahan” untuk menghindari konfrontasi dengan modal transnasional atau kelas kapitalis raksasa. Padahal usaha-usaha tersebut jelas memonopoli lahan dalam skala luas di sektor pertanian. Contohnya terdapat pada perkebunan sawit raksasa yang kerap memicu sengketa-sengketa lahan dengan para petani kecil tradisional dan turut serta dalam eksploitasi buruh tani dan kaum miskin yang mengalir dari desa-desa di sekitar area perkebunan.69 Hal ini dapat dibuktikan secara historis saat krisis di akhir tahun 1990-an, pemerintah mengamini rekomendasi IMF untuk meliberalkan investasi di sektor ekstraktivisme agraria ini sebagai jalan keluar krisis ekonomi. Hasilnya, perkebunan kelapa sawit skala besar dan industri pemrosesan CPO (Crude Palm Oil) atau kilang minyak kelapa sawit melesat besar dengan cepat. Hingga 2018, dari 14,2 juta hektare perkebunan sawit terdapat 1,7 juta hektare lahan yang masih dikuasai enam grup raksasa. Tetapi sifat monopoli raksasa-raksasa perusahaan ini hanya bisa dilihat dari penguasaannya atas ekspor CPO. Merujuk ke data resmi ekspor yang dikeluarkan Departemen Perdagangan dan diolah KPK, disebutkan bahwa terdapat 16 grup usaha menguasai 81% ekspor minyak sawit Indonesia dalam periode Juli 2015 s/d Maret 2016.70



68



Ernst Utrecht, Land Reform in Indonesia, (Jakarta: Journal of Contemporary Asia , 1969) hlm. 71-88 Dimas Djarot, Selama 2018, Konflik Agraria Paling Banyak di Sektor Perkebunan Sawit, (Katadata.co.id: 3 Januari 2019) 70 KPK, Sumber Daya Alam Indonesia di Bawah Cengkeraman Mafia, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2016) 69



32



Hal yang menjadi ironi adalah keuntungan besar yang diperoleh industri sawit raksasa dari eksploitasi dan penggunaan lahan. Sebaliknya, yang menjadi sasaran redistribusi adalah tanah-tanah terlantar, yakni tanah-tanah yang tidak produktif. Misalnya, tanah-tanah HGU yang sudah berakhir atau sama sekali tidak diolah oleh pemegangnya yang kemudian dikelola oleh petani. Tetapi karena tidak memiliki modal dan teknologi maju, kegiatan pengolahan tanah menjadi tidak maksimal dan tetap rendah secara kuantitas produksi. Redistribusi akhirnya menyasar pelepasan kawasan hutan untuk kaum tani yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan. Tentu saja, tidak ada yang salah dari redistribusi tanpa resiko konflik semacam ini sejauh memberi akses efektif secara legal bagi para petani untuk menguasai tanah sebagai alat produksi. Namun pemerintahan Jokowi-JK lantas lebih memusatkan perhatian pada salah satu bentuk kecil dari reforma agraria yakni legalisasi aset yakni serangkaian proses penataan administrasi pertanahan menyangkut ajudikasi, pendaftaran hak atas tanah hingga penerbitan sertifikat. Taktik ini sama sekali tidak baru, karena program semacam ini tidak jauh berbeda dengan program-program serupa dalam masa Orde Baru seperti Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) dan sertifikasi lahan-lahan transmigrasi.71 Dengan mengklaim bahwa dari total 126 juta sertifikat baru sekitar 56 juta yang sudah diserahkan kepada pemilik, pemerintah kemudian mempercepat pemberian sertifikat hak milik. Pelaksanaannya memang mudah, karena hanya memastikan hak atas tanah bagi para pemilik yang sudah ada. Tetapi secara konseptual, strategi ini merupakan prasyarat integrasi kepemilikan tanah yang belum terkomersialisasi ke dalam institusi pasar. Ini penting di tengah kompetisi memperoleh tanah untuk tujuan ekonomi modern. Di bawah tekanan pasar bebas, salah satu jalan mempermudah investasi masuk adalah sertifikasi sehingga mempermudah integrasinya ke dalam pasar bebas. Salah satu upaya untuk mendongkraknya adalah pemberian insentif atas tanah yang disertifikasi. Dengan jaminan kepastian hak milik atas tanah sebagai prasyarat untuk pengembangan ekonomi, akses terhadap kredit perbankan akan lebih terbuka bagi pemilik tanah bersertifikat. Warga dapat “menyekolahkan” sertifikatnya ke bank. Tetapi hal ini tidak berlangsung spontan dan otomatis, sebab akses terhadap kredit juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan perbankan yang secara umum ditentukan oleh berbagai keharusan pasar. Pada akhirnya, sertifikasi tanah tidak menyelesaikan akar permasalahan ekonomi rakyat kecil pemilik tanah. Benar adanya bahwa sertifikasi memang akan memberi kepastian hak kepemilikan. Metode ini pun memang dapat menekan sengketa-sengketa tanah. Tetapi, sistem tenurial atas tanah yang berbasis kepemilikan pribadi (private ownership) mensyaratkan hak eksklusif untuk melakukan transaksi jual-beli atau sewa-menyewa. Ketika sertifikasi tetap tidak dapat mencegah transaksi tersebut, maka juga tidak dapat dipastikan apakah tanah tersebut akan menjadi tanah yang produktif atau hanya sekedar tanah yang jelas kepemilikannya namun tetap saja ‘terlantar’ dalam artian tidak produktif. Transaksi jual beli tanah ini dapat terjadi melalui dua mekanisme, paksaan pasar bebas atau paksaan secara langsung. Pertama, di pedesaan, tanpa kebijakan subsidi terutama pemberian kredit murah kepada para petani miskin, sertifikasi hanya memfasilitasi percepatan transaksi tanah. Kendati pemerintah membangun infrastruktur (irigasi dan jalan) untuk menopang pertanian, petanipetani miskin tidak menerima manfaat secara langsung. Lahan-lahan pertanian tetap tidak produktif, karena ketidakmampuan membeli input-input produksi yang mahal kecuali mereka mengalihkan kepemilikannya/penguasaannya kepada para petani kaya. Bahkan tanpa hal tersebut sekalipun, tenaga kerja petani-petani miskin akan dieksploitasi di atas lahan milik mereka sendiri. Institusi-institusi keuangan informal seperti tengkulak atau petani kaya mengeruk surplus dari para petani miskin melalui perangkap kredit. Maka jelas, sertifikasi tidak akan bisa melindungi para petani miskin dari penghisapan lintah darat.



71



Anita Yossihara, Program Sertifikasi untuk Cegah Konflik Lahan, (Kompas.id: 26 Januari 2019)



33



Kedua, seperti yang terjadi di banyak negara berkembang di mana ekspansi modal ke ruang non-pasar (non-market space) merentankan keamanan penguasaan tanah, termasuk tanah bersertifikat. Proses komodifikasi ruang kerap memicu transaksi tanah melalui perampasan dengan kekerasan, termasuk terhadap pemegang hak milik. Hal ini sering terjadi terutama di pedesaan yang mana penetrasi modal keruk (industri ekstraktif) menyingkirkan para petani dari lahan-lahan pertanian tradisional. Yang terpenting, pemerintah selalu memainkan peran sentral dalam proses perampasan melalui regulasi sementara di saat bersamaan mencitrakan reforma agraria versi oligarki sudah baik. Inilah yang justru sering memicu perlawanan kaum petani baik secara spontan maupun terorganisir. Kendati demikian, dengan menggunakan teror bersenjata terutama di masa Orde Baru, negara akan senantiasa mudah menggulung perlawanan sipil sehingga para petani miskin akan dan tetap selalu kalah dalam proses penyingkiran. Soal serupa juga terjadi di perkotaan. Ekspansi modal di sektor perdagangan dan pelayanan berskala besar dan modern mensyaratkan ketersediaan lahan. Ini memicu perjuangan keras bagi warga kota untuk mempertahankan sektor-sektor ekonomi informal dan formal berskala kecil serta pemukiman-pemukiman mereka. Penggusuran-penggusuran paksa di perkotaan menjadi marak. Peristiwa yang menimpa para pemilik lahan di kota Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah (19/3/2018) hanyalah salah satu contoh buruk dari sekian banyak kasus sengketa di tanah air.72 Sebuah ironi di tengah kesibukan Presiden saat membagibagikan sertifikat lahan di mana-mana. Sampai hari ini Reforma Agraria versi pemerintah jelas bukan sebuah usaha mengakhiri konsentrasi penguasaan tanah apalagi kondisi historis yang melahirkannya. Pemerintah pada akhirnya tetap melakukan pembiaran konsentrasi penguasaan tanah di tangan segelintir kelas kapitalis yang bersimbiosis bersama oligarki yang ada.73 Kondisi objektif dimana ketergantungan terhadap akumulasi modal sebagai sumber extractive rent pun masih menghambat pemerintah sendiri untuk menempuh reforma agraria yang radikal. Dalam waktu yang sama, pemerintah terlihat hanya sedang membenahi administrasi penguasaan tanah yang mendukung kepemilikan pribadi. Oligarki yang ada juga melupakan persoalan kerja dalam reforma agraria yang menjelaskan hubungan kelas dalam pengolahan tanah. Namun argumentasi dari sisi oposisi Joko Widodo yang gencar mengkritik soal monopoli juga tetap harus ditolak, sebab mereka pula bagian dari oligarki mutualisme terselubung tersebut. Alasannya, karena mereka tetap menyandarkan argumentasinya pada populisme kanan dengan kesadaran ekonomi rasial yang sangat kental. Akhirnya, kebijakan nasional tentang reforma agraria untuk mengakhiri monopoli penguasaan tanah hanya dapat dilakukan oleh tatanan pemerintah yang memiliki agenda kebijakan anti-imperialisme, yang jelas sama sekali tidak hadir sampai hari ini. Pemerintah sendiri tidak membantah fakta adanya monopoli. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya misalnya, menyampaikan bahwa dari pemberian lahan dan akses atas 42 juta hektar hutan hingga 2017, sekitar 95 persen dialokasikan untuk swasta, 4 persen untuk masyarakat, dan sisanya untuk kepentingan publik. Tetapi pemerintahan Jokowi-JK saat itu justru mengklaim monopoli sebagai warisan masa lalu. Siti Nurbaya menyuguhkan data monopoli sebagai buah dari kebijakan periode sebelumnya, terutama selama periode SBY. Fakta ini secara parsial ada benarnya, namun tetap tidak menggambarkan akar penyebabnya. Agar objektif dalam membedahnya, fenomena monopoli terutama oleh TNCs (trans national companies) harus dilihat sebagai sesuatu yang tertanam dalam perkembangan historis kapitalisme di Indonesia. Pada tahun 1965-1966, kontra-revolusi terhadap mobilisasi anti-imperialisme Soekarno telah tersubordinasi sedemikian rupa sehingga membuka jalan 72



Kodrat Setiawan, Kronologi Kericuhan Eksekusi Lahan di Banggai, (Tempo.co: 24 Maret 2018) Nurhasan Ismail, Arah Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Masyarakat, (Yogyakarta: Jurnal Rechtsvinding Vol.1 No.1, April 2012), hlm. 39 73



34



reintegrasi Indonesia ke dalam hirarki akumulasi dunia.74 Maka dengan konteks tersebut, percakapan soal monopoli penguasaan tanah tentu sangat terkait dengan perkembangan “ekstraktivisme” (extractivism). Yaitu pembangunan ekonomi kapitalis yang bersandar pada eksplorasi dan eksploitasi SDA seperti minyak bumi, bahan bakar hayati, mineral, dan produkproduk bahan makanan hasil pertanian. Dalam hal ekstraktivisme, sentral dari monopoli dalam kerangka akumulasi global adalah peran dari “modal keruk” (extractive capital) yang bersifat padat modal, digerakkan oleh TNCs, dan didukung oleh negara imperial, tentu saja negeri asal TNCs. Oleh karena itu desakan untuk menempuh kebijakan agresif yang lebih membatasi pasar harus terus dilancarkan. Pertama, misalnya memberlakukan kebijakan-kebijakan progresif di sektor industri minerba agar : 1. negara memperoleh extractive rent lebih besar, pemerintah mesti berani menaikkan royalti dan sewa tanah dan memberlakukan pajak progresif terhadap pendapatan dari aktivitas produksi dan servis, pendapatan dari dividen dan pendapatan dari bunga; 2. karena kebijakan tersebut dapat memicu praktik-praktik transfer pricing oleh TNCs (trans national companies) melalui anak usahanya sebagai strategi repatriasi profit, maka pemerintah mesti mengatur kebijakannya dengan ketat. Dan yang terpenting diantaranya adalah pembatasan repatriasi profit dengan mensyaratkan keharusan reinvestasi profit di dalam negeri.



Gambar 12. Hanya 29% Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang Membayar Pajak Sumber : Komisi Pemberantasan Korupsi, 1 Maret 2018



Kedua, negara harus melakukan nasionalisasi dan industri-industri multikomoditas skala besar yang monopolistik dan yang tinggi potensi profitnya. Untuk itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya mengambil peran lebih dalam terhadap industri-industri tersebut. Ini sekaligus menjawab mitos yang disebarluaskan pundit neoliberal bahwa BUMN selalu tidak kompeten dalam kegiatan produktif. Kebijakan divestasi terhadap perusahaan-perusahaan tambang raksasa harus dipertahankan berlangsung dengan konsisten dengan mensyaratkan keterlibatan BUMN75. Sebagai contoh, divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) merupakan sebuah langkah maju, kendati belum sempurna dan ideal. Setelah renegosiasi keras antara Freeport dan pemerintah bertahun-tahun sejak pemerintahan SBY (12/06/2018), melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (induk usaha pertambangan milik negara), tercapai kesepakatan (nonbinding agreement) antara pemerintah dan FCX tentang nasionalisasi mayoritas saham di PTFI. Transaksi ini berhasil membuat pemerintah Indonesia menguasai 51% saham PTFI dan FCX menguasai sisa saham kendati tetap menjadi pemegang kendali operasi dan tata kelola PTFI 74



L. Stoddard, Pasang Naik Kulit Berwarna, Terj. M. Mulyadi Djoyomartono, (Jakarta : tp ; tt), hlm. 306. Mercy Maria, Divestasi Sebuah Langkah Progresif dalam Kontrak Karya di Indonesia, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5 No. 1, 2015, hlm. 26-28 75



35



hingga 2041. Namun nyatanya ini baru salah satu contoh kemajuan yang belum dapat menyaingi kemunduran kita di sektor lain. Ketiga, diperlukan sebuah strategi reforma agraria berbasis industrialisasi pedesaan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dalam rangka mengakhiri ketimpangan penguasaan tanah sekaligus menciptakan lapangan kerja yang luas secara simultan. Dalam konteks ini, industrialisasi yang dimaksud berarti proletarianisasi sektor pertanian. Kelebihan penduduk relatif di pedesaan yang berintikan jutaan petani gurem dapat dikonversi menjadi buruh upahan modern. Perluasan peran melalui serikat-serikat pekerja independen di tempattempat kerja dalam proses pengambilan keputusan produksi dapat melindungi mereka dari eksploitasi vulgar agar negara tidak lagi sibuk melindungi dosa-dosa korporasi.



68



Mercy Maria, Divestasi Sebuah Langkah Progresif dalam Kontrak Karya di Indonesia, Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5 No. 1, 2015, hlm. 26-28



36 Upaya pembersihan lahan bandara di Kulonprogo pada Kamis (19 /07/2018) Dok. Hening Wasisto/Tribun Jogja



LAHIRNYA KOMODITAS DAGANG BARU Pendidikan



37 Dok. Antara Foto (Maulana Surya)



iv.



Lahirnya Komoditas Dagang Baru : Pendidikan



Komodifikasi atau pergeseran orientasi pendidikan tidak bisa dilepaskan dari proses transisi kekuasaan, dari era Soeharto hingga menjelang reformasi. Hal tersebut memiliki korelasi satu sama lain yang saling mempengaruhi hingga membuat semacam transformasi orientasi. Salah satu yang dapat kita kritisi ialah dinamika regulasi pendidikan tinggi yang senantiasa bergerak menuju liberalisasi (yang cenderung mengarah pada privatisasikepentingan investasi). Sehingga implementasi dari pendidikan tinggi saat ini tidak hanya sebagai wahana belajar, namun sebagai gaya hidup (kebanggaan semu warisan hegemoni kultural Orba), hingga menjadi alat untuk memanipulasi keadilan dengan memihak pada mereka yang melakukan investasi swasta (CSR, dan lain sebagainya). Alih-alih melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, dengan melihat bahwa riset yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kurang memberi dampak yang impactful dan minim daya dukung kepada masyarakat, nyatanya capaian tersebut tidak jarang hanya sebatas program pengabdian pragmatis pesanan birokrat dan korporasi. Berawal dari General Agreement on Tariffs and Trade/GATT 1948, kapital global membuat skema-skema panjang untuk memuluskan langkahnya. Indonesia menjadi anggota GATT pada tahun 1950 yang merupakan periode awal demokrasi semu. Saat itu Indonesia dipimpin oleh Natsir sebagai perdana menteri, sebelum memasuki periode-periode kacau. Tahun 1994 ketika Indonesia meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization, yang kemudian dikonversi menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).76 Sekaligus menjadi legalitas Indonesia menjadi anggota WTO di tahun 1995, secara tidak langsung pemerintah harus tunduk dan menerima program WTO, General Agreement on Trade in Services (GATS). Sehingga secara implisit Indonesia telah sepakat dengan skema yang ditetapkan oleh Capital Finance Global, merujuk pada organisasi yang berkepentingan yaitu IMF dan WTO. Fenomena tersebut jelas okupasi halus yang merupakan hasil dari permufakatan birokrasi dengan kapital besar yang bertujuan memuluskan agenda demi agenda ekonomi (investasi) melalui regulasi-regulasi terkait yang tentu saja disesuaikan dengan kepentingan kapital.77 Semua benang merah yang terangkai hingga menjadi rumit seperti sekarang ini bukanlah tanpa sebab. Hal ini didasari adanya gerak mekanik regulasi secara bertahap yang menjadi dasar dari kebijakan pemerintah. Produk dari citra pemimpin yang berkuasa, Soekarno dengan semangat gotong royong pendidikannya, Soeharto dengan semangat pembangunan dan otoriterismenya. Begitu juga era reformasi, yang diklaim sebagai era demokrasi, era keterbukaan, juga akan menghasilkan citra yang berbeda. Sebuah citra yang realitanya cenderung bias dan mengikuti alur pasar bebas.78 Pasca lengsernya Soeharto, terbit Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum pada bulan Juni 1999 yang menandai “Reformasi Pendidikan Tinggi” di Indonesia telah dimulai. UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair, ramai-ramai merubah jubah mereka. Kampus negeri elite tersebut merupakan institusi atau lembaga Negara, yang dipersiapkan untuk mandiri yang bertransformasi dari Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Yang kemudian setelah era transisi usai, tampuk kekuasaan beralih kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tanpa menunjukkan perbaikan terhadap regulasi di era Soeharto. Di era tersebut malah terlahir paket regulasi baru seperti Peraturan Pemerintah Nomor 152, 153, 154 dan 155 yang melegitimasi secara legal jika UI, IPB, UGM dan ITB sebagai kampus mandiri yang 76



Anggiat P. Simamora, Liberalisasi Pendidikan dalam Kerangka GATS, USU Law Journal, Vol. II, No.1, 2014, hlm. 67-68 Christopher Ziguras, International Trade in Education Services: Governing the Liberalization and Regulation of Private Enterprise, Counterpoints, Vol. 280, 2005, hlm. 93-112 78 H. S. Kartadjoemena, GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga lnternasional di Bidang Perdagangan, Jakarta: UI Press, 1996, hlm. 5 77



38



bertransformasi menjadi wujud BHMN. Gus Dur sejatinya memimpin 5 tahun, namun karena konflik elite, kepresidenan beliau harus rela dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sehingga pada 2001 Megawati dari Moncong Putih menggantikan Gus Dur sebagai presiden untuk masa bakti 2001 sampai 2004. Secara emosional Megawati selalu mengusung jargon kerakyatan “wong cilik”, membawa-bawa sosok Soekarno sebagai simbol populisme dan bentuk pencitraan politik. Sayangnya implementasi yang dihasilkan sangat jauh dari harapan dan tidak berbeda jauh dengan yang sebelumnya, sebut saja era kekuasaan Golkar. Parahnya, kebijakan mereka justru menjadi corong pendidikan yang semakin tidak berpihak pada rakyat miskin. Dalam konteks pendidikan tinggi, pemerintahan era Megawati menelurkan peraturan baru dalam bentuk Keputusan Dirjen Dikti Kemendiknas Nomor 28 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Program Non Reguler. Pada tahun berikutnya, terbit Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai payung hukum peraturan pendidikan di bawahnya. Jika kita teliti pasal 53 angka 1, jelas menunjukkan bahwa makna dari Badan Hukum Pendidikan yang sangat sarat kepentingan pemodal. Dengan demikian, tentunya UU Sisdiknas telah menjadi gerbang liberalisasi sektor pendidikan tinggi yang hasilnya sedang kita “nikmati” hari ini. Ratifikasi GATT yang bertransformasi menjadi GATS (General Agreement on Trade and Service) disepakati pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun 2005 di Hongkong, delegasi Indonesia menyetujui GATS sebagai sebuah program kerja bersama. Sehingga saat itu pula kebijakan pendidikan semakin mengarah pada konsep pasar bebas. Menurut Prof. Sofian Effendi (2005) dari UGM, mengatakan jika inti dari GATS ada 2 yaitu, sektor primer dan sekunder. Sektor primer mencakup industri ekstraktif dalam hal ini tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan layanan umum. Sektor tersier mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Maka tidak mengherankan jika ada 12 sektor jasa yang akan diliberalisasikan, seperti jasa komunikasi, jasa lingkungan, jasa keuangan (perbankan, asuransi, dll), jasa wisata dan perjalanan, jasa kesehatan sosial, jasa budaya, jasa olahraga, jasa distribusi, jasa bisnis (jasa profesional dan jasa komputer), jasa transportasi, jasa konstruksi, dan tentu saja jasa pendidikan.79 Pasca diratifikasinya GATS, pemerintah pun bereaksi dengan mulai menyusun payung hukum baru untuk pendidikan tinggi. Pada tahun 2009, Rancangan UU-BHP dikeluarkan pihak pemerintah. Sebagai tindak lanjut atas perjanjian tersebut, hal ini juga ada implikasinya dengan penurunan anggaran di tahun 2009/2010. Munculnya UU-BHP bukan sebuah kebetulan, namun merupakan rancangan yang ada kaitannya dengan PP 61/1999 dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Celakanya pada tahun 2009 UU-BHP digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah era SBY spontan tidak terima, mereka langsung bergerak cepat dengan menyusun peraturan baru. Langkah selanjutnya mereka melakukan beberapa perubahan, dengan memperbaiki beberapa hal yang sangat redaksional dengan tujuan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun secara substansi, inti dari revisi tersebut tetap mempunyai makna yang tidak berbeda dengan sebelumnya. Kita sekarang mengenalnya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, sekaligus melahirkan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal).



79



WTO melalui United Nations Central Product Classification (CPC), GATS, World Trade Organization, Doc. Sectoral Classification List MTN.GNS/W/120



39



Apabila kita membahas tentang UKT, maka kita tidak bisa berpaling dari terbitnya Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru yang mulai berlaku untuk tahun akademik 2013/2014. Edaran tersebut pun dipertegas dalam Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, terkait Biaya Kuliah Tunggal (BKT). Meskipun dalam konteks yang direncanakan, UKT diciptakan dalam rangka subsidi silang, si kaya mengasihi si miskin, namun fakta di lapangan tidak begitu. Dikarenakan keuangan perguruan tinggi tidak lagi dibantu oleh pemerintah, maka secara reaktif sebagaimana mekanisme pasar, institusi penyedia “produk pendidikan” tentunya mengambil uang dari kelas menengah saja demi meningkatkan efisiensi ekonomi dan sumber dana. Sehingga apabila kita jeli menganalisis, UKT merupakan bentuk baru diskriminasi yang sekaligus semakin memperlebar jarak kesenjangan sosial. Bukan hanya UKT yang menjadi masalah, persoalan kurikulum juga semakin ketat dengan ikut diterbitkannya Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan yang pasal 1 secara eksplisit telah meneguhkan cengkraman pendidikan sebagai produk jasa, karena pembakuan ini mutlak membentuk sistem yang semakin kaku. Misalnya masa studi dikerucutkan dari 8 tahun menjadi 4-5 tahun untuk S1 dalam rangka menggenjot pasokan tenaga kerja. Dengan ini maka pemerintah memberi sinyal bahwasanya mereka lupa pendidikan bukanlah persoalan kuantitatif, namun sesungguhnya kualitatif. Pada era Jokowi dengan nawacitanya, perubahan positif dan konstruktif yang dinanti tidak serta merta terjadi, justru hanya melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh era SBY. Ironisnya, kebijakan-kebijakan susulan yang semakin tidak bersahabat, seperti Permen Nomor 22 Tahun 2015, tentang pembiayaan uang kuliah tunggal yang mengerucutkan persoalan UKT sebagai solusi pembiayaan. Dalam Permen tersebut mengatur terkait teknis pembiayaan UKT, mulai dari kelas, kuota, hingga besaran maksimal program beasiswa bidikmisi. Aturan ini diperbarui lagi oleh Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2016 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal. Persoalan ini semakin kompleks dengan pembakuan perguruan tinggi melalui Permenristekdikti Nomor 32 Tahun 2015 sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan, namun bukannya mutu yang didapat, justru pendidikan tereduksi sebagai komoditas yang dilombakan pemasarannya oleh perguruan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan penerapan mutu pendidikan yang tidak berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, namun merujuk pada persoalan teknis sebagaimana standarisasi yang ada dalam sistem perusahaan. Bahkan apabila kita membedah benang merah riset-riset perguruan tinggi, kita akan menemukan banyak sekali produk-produk riset yang sarat dengan kepentingan pasar dan pencitraan. Sebab dalam standarisasinya, para birokrat dan rektorat sepakat mengartikannya sebagai salah satu parameter yang dimanifestasikan berupa angka-angka peringkat nominasi. Hal tersebut secara langsung berimplikasi terhadap daya jual dan mengubah kampus menjadi sekadar merk-merk dagang dalam rangka menggaet calon konsumennya (baca: mahasiswa baru). “Konsekuensi tak terduga” (unintended consequences) dari persaingan pasar ini dirangkum oleh Adam Smith melalui diktumnya bahwa “dalam kompetisi, ambisi individual kita akan memberikan kebaikan bersama”. Sederhananya, jika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar, maka kita akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas, sebagai konsekuensi logis dari “rasionalitas pasar” untuk meregulasi dirinya sendiri. Inilah yang menjadi akar dari ideologi neoliberalisme hari ini.80 Namun hal ini kemudian membawa kita ke bencana berikutnya: sebab pasar bebas mensyaratkan ketiadaan campur tangan pemerintah demi tercapainya “kompetisi yang adil”.



80



Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations, New York: Modern Library, 1937



40



Sehingga adanya pemberian subsidi di kampus negeri hanya akan dianggap mengacaukan persaingan pasar itu sendiri. Bahkan subsidi sangat mungkin akan, atau bahkan telah dianggap sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. Oleh karena itu, kacamata negara dan pemangku kepentingan tentu secara alami berubah dengan menganggap alokasi proporsi anggaran yang besar untuk membiayai pendidikan adalah cara yang tidak produktif, dan menganggap akan lebih baik jika anggaran ini digunakan untuk membangun “sektorsektor produktif” untuk memutar roda ekonomi secara langsung. Karenanya, pengetatan biaya sosial dengan mengebiri berbagai jaminan sosial, merupakan salah satu tesis penting untuk mendorong “pertumbuhan ekonomi” dalam kerangka neoliberalisme. Sehingga hari ini, kita turut menyaksikan dan mengalami realita bahwa misi dasar lembaga pendidikan telah kehilangan ruhnya. Sistem pendidikan hari ini mengalami transformasi yang begitu cepat, yang hanya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam tatanan masyarakat Indonesia. Tidak sedikit contoh kasus81 yang terjadi ketika para akademisi dan mahasiswa pada perjalanan studinya mengabdikan diri menjadi kaki tangan korporasi, menyukseskan program CSR berbalut riset yang haus dana imbalan, yang tak jarang riset-riset tersebut justru berperan aktif dalam perampasan lahan dan hak masyarakat, hanya demi berlomba-lomba menjadi tim ahli suatu korporasi. Beberapa kajian AMDAL oleh korporasi besar, kebanyakan dihasilkan dari otak-otak cemerlang intelektual oportunis yang didukung oleh watak kapitalistik institusi pendidikan. Korporasi menggunakan jasa dari beberapa universitas negeri untuk melegitimasi perihal pembenaran dalam merampas ruang hidup. Ada pula contoh Kerja Praktik/Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang selama ini kita pandang dalam rangka melatih ilmu terapan, ternyata memiliki relasi yang cukup rumit, yakni menghubungkan kuasa pendidikan dengan kuasa penguasaan suatu sumber daya. Hasilnya adalah para akademisi dan mahasiswa menjadi lebih nyaman berpihak pada pemodal, tentu dengan dalih netralitas ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan sejatinya tidak netral, sebab setiap yang dihasilkan pada akhirnya harus menjawab pertanyaan: ini untuk kepentingan apa dan siapa? Di tengah keterbukaan arus informasi sekarang ini, kita bisa dengan mudah mencari tahu bagaimana watak destruktif ilmu pengetahuan menjadi gerbang bagi perampasan ruang hidup. Dengan demikian, menjadi sah bahwasanya peran utama pendidikan telah tereduksi habis-habisan menjadi sekadar sistem reproduksi tenaga kerja yang efisien dan patuh pada pemilik modal. Sebab ideologi dalam masyarakat kapitalis merupakan alat untuk kontrol sosial yang dicapai melalui sekolah, dimana transmisi kapitalisme diwajarkan di institusi pendidikan. Tidak heran jika institusi pendidikan pada era kekinian mengajarkan murid untuk bersaing dengan sesama murid lainnya jika mereka ingin menjadi “lebih baik”. Institusi pendidikan akhirnya kehilangan hakikat perannya dengan menjadi tempat melatih calon pekerja di masa depan agar tunduk pada otoritas. Di sini pendidikan menampakkan wujudnya sebagai aparatur negara ideologis, yang mengekalkan hegemoni kapital atas rakyat pekerja (relasi kuasa ideologi). Dengan berjalannya sekian dekade perombakan dan transformasi wujud sistem pendidikan di Indonesia, nampak pula bahwa kelahiran aturan dan kebijakan yang ada hingga hari ini merupakan suatu hasil dari rangkaian proses yang panjang dan berkorelasi satu sama lainnya. Proses ini tentu saja memiliki tendensi keberpihakan kepada pemangku kekuasaan yang ada di setiap periodenya. Maka hari ini, perlu dicatat bahwasanya pendidikan hanyalah salah satu tumbal dari semua ini. Sehingga lengkap sudah mata rantai kronologi singkat atas komersialisasi pendidikan kita hari ini, sebagai komoditas bisnis baru.



81



Terlampau banyak untuk dilampirkan, tim pengkaji menemukan sangat banyak dokumen laporan kerja praktek, KKN, skripsi, tesis, maupun kerjasama penelitian oleh akademisi dari berbagai institusi pendidikan, yang difasilitasi oleh perusahaan-perusahaan penyebab kerusakan ekologis yang memanfaatkan riset sebagai dalih pembenaran terhadap pencemaran lingkungan dan perampasan hak masyarakat. Yang hingga kini pencemaran tersebut masih terus dilakukan



41



DEMOKRASI DALAM PUSARAN



OLIGARGKI 42 Foto : Feldesman Tucker



4. Demokrasi dalam Pusaran Oligarki i. Pembungkaman Publik Secara hukum, konstitusi Indonesia menjadikan partisipasi publik menjadi salah satu hak asasi. Dalam UUD 1945 terdapat beberapa pasal yang mencerminkan hal tersebut yakni Pasal 28C ayat (2)82 mengenai hak seseorang dalam berpartisipasi secara kolektif demi memperjuangkan haknya untuk membangun kepentingan publik dan Pasal 28F mengenai hak berpartisipasi melalui penyebaran informasi untuk kepentingan pubik. Setelah itu pada Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dibahas mengenai perlindungan bagi setiap orang dalam menjalankan hak asasinya atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Sehingga, Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 tentang hak partisipasi publik secara kolektif dan Pasal 28F tentang hak untuk partisipasi publik melalui penyebaran dan menerima informasi, seharusnya mendapatkan perlindungan dari Pasal 28G ayat (1) tersebut. Ruang lingkup yang masih terbatas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta mekanisme di dalamnya yang masih belum jelas menyebabkan bertambahnya bentuk tindakan pembungkaman partisipasi masyarakat Instrumen hukum ini disebut dengan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Namun dikarenakan sistem hukum Indonesia yang lebih condong ke civil law, maka pembahasan dalam tulisan ini akan lebih condong pada bagaimana peraturan atau sistem Anti-SLAPP seharusnya dibentuk Konsep SLAPP di Indonesia hanya dikenal pada Undang-Undang dengan perlindungan dari SLAPP hanya mencakup dari gugatan perdata dan tuntutan pidana ihwal perlindungan lingkungan semata. Padahal dalam memberantas SLAPP diperlukan integrasi beberapa proses yang bisa dilakukan, entah itu dari kebijakan pemerintah, legislatif, maupun kelembagaan yudikatif dalam proses peradilan. Kebijakan untuk menghindari terjadinya SLAPP tersebut biasanya disebut dengan Anti-SLAPP. Apabila membahas perihal SLAPP secara global, khususnya di Indonesia pun bukan merupakan omong kosong yang sempit. Hal ini disebabkan karena regulasi yang ada memberikan celah untuk melakukan tafsiran karet, terutama kasus criminal-SLAPP yang beberapa kali tercatat menjerat banyak pegiat HAM dan pegiat anti-korupsi. Pasal 66 UU PPLH83 merupakan satu-satunya pasal dalam undang-undang yang melindungi masyarakat dari SLAPP. Pengaturan yang minim mengenai proses Anti-SLAPP tersebut juga menyebabkan kesulitan bagi penegak hukum untuk menggunakan pasal ini. Terutama dalam hukum pidana dimana terdakwa harus melewati proses penyelidikan, penyidikan dan berbagai proses lain seperti penahanan, penangkapan, dan penyitaan sebelum melakukan pembelaan di pengadilan bahwa dia terkena SLAPP. Kasus lingkungan yang satu tahun lalu cukup hangat adalah kasus Budi Pego, seorang aktivis lingkungan yang melakukan unjuk rasa penolakan tambang emas di Banyuwangi. Dalam unjuk rasa yang dilakukan bersama warga Banyuwangi, Budi Pego membentangkan spanduk dengan gambar yang menyerupai palu arit. Padahal menurut warga, spanduk tersebut bukanlah properti yang digunakan untuk aksi. Bahkan saat persidangan barang bukti berupa spanduk tidak bisa dihadirkan. Namun yang terjadi justru Budi Pego pada akhirnya divonis 10 bulan penjara atas tuduhan penyebaran Marxisme-Leninisme. Selain itu terdapat kasus seperti Haris Azhar, koordinator Komisi Orang Hilang yang pada pertengahan 2016 lalu membeberkan pengakuan terpidana mati Freddy Budiman dalam sebuah unggahan. Haris Azhar menceritakan tentang bagaimana pihak dari Mabes Polri, Tentara Nasional Indonesia, dan Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan sang



82



Pasal 28 C ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya” 83 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 berbunyi “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”



43



terpidana mati dalam hal pengedaran narkoba terkait penitipan harga. Pada kasus tersebut, Haris Azhar dilaporkan oleh pihak Tentara Nasional Indonesia dan Badan Narkotika Nasional dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik dan fitnah. Hal tersebut tentunya merupakan bentuk daripada SLAPP, yang tujuan utamanya adalah untuk membungkam kegiatan whistleblower seperti yang dilakukan oleh Haris Azhar. Hal yang sama dialami Beathor, Robertus Robet dan banyak kasus kriminalisasi serupa yang tidak dapat dilihat hanya sebagai kasus personal semata. Perlu diingat bahwa tujuan dari SLAPP sendiri merupakan pembungkaman dari partisipasi publik, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi metode kriminalisasi yang sengaja dirancang agar publik tidak berani untuk turut berpartisipasi dalam ruang-ruang publik sebagai bentuk usaha memperjuangkan haknya. Indonesia seharusnya memperbaiki dan meningkatkan sistem Anti-SLAPP yang dimilikinya untuk menjamin hak rakyat Indonesia seperti yang terdapat dalam UUD 1945. Perbaikan dan peningkatan dari sistem Anti-SLAPP sendiri dapat diimplementasikan secara khusus lewat undang-undang. Minnesota Statute 2018 Chapter 554 dapat menjadi salah satu rujukan bagaimana perbaikan dan peningkatan sistem Anti-SLAPP di Indonesia. Hal yang menarik dalam Minnesota Statute 2018 Chapter 554 adalah definisi dari bentuk Partisipasi publik yang dilindungi dan ruang lingkup, prosedur, dan ganti rugi. 84 Bahkan menurut George W. Pring dan Penelope Canan, peraturan tersebut merupakan The Best Law Yet.85 Peraturan tersebut telah diubah beberapa kali; dari awalnya pada tahun 1994, kemudian diubah pertama kali pada tahun 2015; dan terakhir pada tahun 2018. Dalam sistem tersebut telah diatur bagaimana proses penanganan perkara SLAPP seperti cara pembuktian, beban pembuktian dan bantuan dari lembaga pemerintah terkait dengan kasus SLAPP. Walau sistem tersebut hanya terbatas pada perkara perdata, sementara kasus-kasus yang menjadi catatan sebelumnya adalah penggunaan criminal lawsuit, namun tetap saja terdapat beberapa hal yang masih bisa kita ambil dari sistem tersebut. Sayangnya prosedur implementasi sistem anti-SLAPP di Indonesia masih belum jelas. Bahkan pengaturan lebih lanjut dibahas oleh Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 (SK-KMA 36/2013) yang hanya berlaku pada internal Mahkamah Agung dan tidak mengikat penegak hukum lain. Sistem Anti-SLAPP yang sedemikian rupa akan memicu permasalahan terutama dalam ranah pidana yang melibatkan institusi penegak hukum lain. Indonesia seharusnya bisa mengimplementasikan sistem tersebut dalam undang-undang agar tidak terjadi kekosongan hukum serta sebagai upaya untuk menghindari kebingungan dan tidak tercapainya tujuan sistem anti-SLAPP. Nantinya, dalam undang-undang anti-SLAPP tersebut diatur adanya pemberian ganti rugi dari SLAPP sebagai proteksi demi menjamin keadilan dari suatu perbuatan SLAPP.



84



Dalam Minnesota Statute 2018 bagian 554.01 subdivisi 6 disebutkan mengenai jenis-jenis partisipasi publik. Partisipasi publik tersebut terdiri dari, 1. Mencari bantuan, atau melaporkan tindakan pelanggaran hukum kepada penegak hukum; 2. Berbicara kepada pihak yang mengatur tata ruang tentang pengembangan perumahan; 3. Melakukan lobbying dengan pejabat terkait dengan perubahan pada suatu aturan; 4. Melakukan aksi damai terhadap suatu perbuatan pemerintah; dan 5. Melakukan komplain kepada pemerintah terkait dengan hak-hak dasar rakyat. 85 George W. Pring dan Penelope Canan, SLAPPs : Getting Sued for Speaking Out, (Philadelpia: Temple University Press, 1966), hlm. 200



44



Permasalahan yang kemudian timbul adalah perbedaan nilai yang dianut oleh Minnesota, dalam hal ini Amerika dan Indonesia. Dalam konstitusi Amerika terutama dalam amandemen pertama, kebebasan berpendapat merupakan suatu hal yang sangat dijunjung tinggi. Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia yang menganggap kebebasan adalah suatu hal masih bisa dibatasi. Oleh karena itu perlindungan terhadap partisipasi publik ini perlu penyesuaian agar tidak melanggar nilai sosio-kultural di Indonesia Hal ini tentunya memperhatikan Pasal 28J UUD 1945 yakni berdasarkan pada penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, tuntutan adil yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Pertanyaan yang akhirnya muncul adalah : Kapan negara akan melindungi suara-suara demokrasi dari pegiat lingkungan, HAM dan anti-korupsi secara menyeluruh?



Aktivis penolak tambang emas di Banyuwangi, Heri Budiawan alias Budi Pego, divonis 10 bulan penjara karena dianggap menyebarkan komunisme. 45 Dok. Tempo (Ika Ningtyas)



KETIKA APARAT MENJADI



ALAT



46



ii. Ketika Aparat Menjadi Alat Pada tanggal 24, 25, dan 30 September 2019 Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis data pengaduan terkait kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan Aparat Kepolisian dalam rangkaian aksi #ReformasiDikorupsi. Hasilnya, KontraS mencatat terdapat 390 penangkapan, diantaranya dari: 201 mahasiswa, 50 pelajar, dan 13 karyawan; serta terdapat 6 aduan kekerasan, diantaranya dari: 3 pedagang, 2 pegawai lepas, dan 1 pengemudi ojek daring. Kasus penangkapan dan kekerasan terjadi di tiga titik, diantaranya: 62 kasus di Gedung MPR/DPR, 19 kasus di Palmerah, dan 13 kasus di Senayan. Sementara, di daerah luar Jakarta hampir seluruhnya terjadi di sekitar wilayah kantor DPRD. KontraS juga menyampaikan bahwa Kasus kekerasan dengan penggunaan gas air mata dan penganiayaan masing-masing sejumlah 61 dan 60 kasus. Sedangkan kasus penangkapan dengan pelemparan batu oleh aparat dan penembakan dengan peluru karet masing-masing 4 kasus, penembakan dengan peluru tajam dan pengeroyokan masing-masing 1 kasus.86 Angka-angka tersebut belum termasuk dengan jumlah korban kekerasan pada aksiaksi serupa di berbagai daerah lain yang juga dilakukan oleh Aparat dalam pekan yang sama. Ada pula kasus-kasus kekerasan oleh aparat di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini semakin mempanjang daftar bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan diskriminasi yang masih mewarnai tubuh institusi kepolisian selama ini. Ketika aparat kepolisian menggunakan cara-cara kekerasan, alasan pembenaran yang digunakan selalu sama, yaitu menjaga ketertiban umum. Menurut Herbert Packer, bentuk-bentuk penyiksaan dalam proses penyidikan untuk memperoleh sebuah pengakuan merupakan bagian dari Crime Control Model yang sangat bertentangan dengan Due Process Model.87 Dalam prakteknya, Crime Control Model lebih mengutamakan profesionalisme aparat penegak hukum untuk melacak, mencari dan menemukan pelaku tindak pidana yang memungkinkan pelanggaran pada peraturan yang bersifat formal. Seringkali dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan dengan tujuan mendapatkan barang bukti atau mengumpulkan orang agar dapat dituduh sebagai provokator khususnya saat demonstrasi. Aparat yang seharusnya profesional memaksakan cara-cara ilegal untuk keefektifan dan keefisienan agar dapat menghindari hambatan dari proses pidana tersebutHal ini membuat Crime Control Model sering dipertentangkan dengan nilai kemanusiaan yang mengabaikan Hak Asasi Manusia.88 Selain saat “pengamanan” aksi demonstrasi, penerapan Crime Control Model pada kasus-kasus lain sangat jauh berbeda dengan apa yang dimaksud dengan Due Process Model. Alih-alih mengedepankan Presumption of Innocent dan hak para tersangka/terdakwa. Polisi justru sepertinya sangat senang ketika melakukan penyiksaan kepada para terduga untuk mempermudah mereka mendapatkan keterangan atau bahkan melakukan rekayasa kasus tertentu demi citra institusi kepolisian. Terhitung sepanjang tahun 2016 sampai hari ini, Kepolisian Republik Indonesia selalu meningkatkan jumlah keanggotaannya secara periodik. Upaya ini seharusnya diperuntukkan dalam rangka meningkatkan pelayanan dan menciptakan rasa aman kepada masyarakat. Namun peningkatan jumlah keanggotaan kepolisian tersebut, ternyata masih juga menyisakan berbagai permasalahan yang muncul. Praktik kepolisian di bidang penegakan hukum justru mengundang banyak gugatan publik ditambah tidak sedikit kasus-kasus dalam tubuh kepolisian yang sarat dengan penyelewengan kekuasaan (Abuse Of Power) akibat praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelewengan selain dalam bentuk KKN juga paling sering



86



Mohammad Bernie, Ada 390 Aduan Kekerasan Oleh Aparat Dalam Aksi Reformasi Dikorupsi, (Tirto.id: 4 Oktober 2019) Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-University Press, 1968), hlm. 153. 88 Ibid., hlm. 160 87



47



dalam bentuk kekerasan89. Tentu ini menjadi rahasia umum ketika kekerasan dan pelanggaran hukum yang dilakukan aparat kepolisian diliput hampir semua media yang ada di negeri ini. Fenomena ini memancing penolakan aparat yang selalu bungkam, defensif dan licin sambil melakukan upaya-upaya pemulihan nama baik Kepolisian melalui berbagai cara seperti praktek rekayasa sosial maupun pencitraan paksa lewat media jurnalistik.90 Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kapolri), disebutkan bahwa Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Istilah kepolisian dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi dan lembaga polisi. Pengertian tentang fungsi polisi diatur dalam Pasal 2 yakni salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya dalam penjelasan UU tersebut dilampirkan dengan jelas bahwa fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan hak asasi manusia, hukum dan keadilan. Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa substansi tugas pokok Kepolisian senantiasa berada dalam format keamanan dalam negeri. Selain memuat tujuan Kepolisian, UU Kapolrijuga memuat arahan dan rambu-rambu bagi penyelenggaraan fungsi Kepolisian yaitu "dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia". Hal ini menegaskan bahwa hak asasi manusia (HAM) memang bukan merupakan tujuan Kepolisian tetapi merupakan sesuatu yang harus senantiasa mewarnai dan harus diperhatikan dalam setiap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan melihat sepak terjang aparat kepolisian saat ini, perlu dilakukan terobosan baru dalam upaya hukum untuk meminta pertanggungjawaban atas kegagalan tersebut. Polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum berdasarkan undang-undang, namun juga dibebani tanggung jawab untuk menjalankan kewenangannya secara benar. Profesionalitas aparat kepolisian yang kemudian dipertanyakan dari kasus-kasus tersebut. Dalil di pihak kepolisian yang menyatakan bahwa mereka hanya melaksanakan undangundang kiranya perlu mendapat perhatian serius Hal ini dikarenakan seolah aparat sekedar menciptakan kepastian hukum dengan mengabaikan keadilan. 91 Seluruh jajaran aparat seharusnya dituntut menjunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku dalam melaksanakan tugasnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Alasan yang melatarbelakangi kesangsian terhadap aparat sebagaimana pembahasan di atas diantaranya92 : Polri selama ini sulit diawasi dan dikontrol oleh masyarakat. Secara institusional bukan saja sulit dikontrol, akan tetapi seakan menjauh dari masyarakat sekitarnya. Dengan melihat fakta-fakta di lapangan secara objektif, nyatanya upaya-upaya persuasif yang dilakukan aparat masih sangat hipokrit. Kedua, faktor budaya dan perilaku aparat secara umum yang tidak dapat dipungkiri cenderung masih sangat militeristik ketimbang sipil. Ketiga, reformasi Polri hingga hari ini nyatanya belum mampu mengarahkan jati diri Polri sebagai polisi sipil. Keempat, Komisi Kepolisian Nasional seharusnya berperan secara optimal dalam melakukan penataan Polri sebagai polisi sipil. Independensi keanggotaan KPN merupakan faktor yang sangat penting agar dalam memberikan masukan. Komisi ini



89



Nurmin K. Martam, Urgensi Keberadaan Komisi Pengawasan Kepolisian Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara, Jurnal Legalitas Vol 2, No 3, 2009, hlm. 53 90 Devina Halim, LBH Jakarta: Tayangan Televisi soal Polisi Hanya untuk Pencitraan, (Kompas: 5 Agustus 2019) 91 Nurmin K. Martam, Op. cit., hlm. 61 92 Ibid.,



48



tidak boleh terpengaruh sama sekali oleh kepentingan-kepentingan tertentu apalagi yang bersifat politis. Namun pada kenyataanya, sepanjang September 2019 justru nyawa kian berjatuhan serta korban kekerasan oleh aparat semakin menjadi saat masyarakat menyuarakan aspirasi yang sesungguhnya dilindungi oleh konstitusi. Ditambah lagi independensi aparat kepolisian semakin dipertanyakan ketika aparat turut tunduk kepada penguasa oligarki yang memperalat aparat menjadi senjata untuk melindungi kekuasaan para oligarki, bukan suara dan aspirasi yang merupakan sebenar-benarnya kepentingan rakyat.



iii. Fenomena Pers Boneka dan Pembungkaman Digital Sejak akses pemberitaan telah diberikan seluas-luasnya kepada masyarakat yang menjadi tuntutan saat penjatuhan rezim Orde Baru, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan. Kini, berbagai macam media telah berdiri dan akses terhadap jurnalis telah diberikan kepada masyarakat. Media arus utama sebagai corong utama masyarakat dalam memperoleh sajian berita menguasai sebagian besar platform media. Mulai dari media cetak dan media online memiliki peran besar dalam pemberitaan nasional. Di era digital saat ini, internet dapat diakses oleh hampir seluruh elemen masyarakat tetapi televisi masih menjadi akses utama masyarakat dalam memperoleh pemberitaan.93 Media arus utamayang merupakan segelintir media penguasa platform televisi mendapat legitimasi kepercayaan oleh masyarakat sebagai media yang dapat dipercaya. Fenomena yang saat ini terjadiadalah media arus utama bukan hanya bergerak melalui platform televisi, mereka juga menguasai platform-platform lain seperti media cetak dan media online yang berada pada satu meja redaksi. Hal tersebut menjadi alasan utama mengapa pemberitaan yang telah diterbitkan oleh media tersebut tidak jauh berbeda. Pembahasan ini mengarah pada peran penting media arus utama dalam membentuk konstruksi berpikir masyarakat tentang fenomena yang sedang terjadi. Maka sudah seharusnya apabila media arus utama mengabarkan fakta secara objektif dan berimbang, tidak menutup sebagian fakta yang ada, serta tidak melakukan framing. Framing terbentuk saat media menekankanpada isu yang diinginkan, dan mengurangi fakta yang tidak diinginkan. Secara tidak langsung, pemikiran masyarakat akan mengarah pada berita yang disampaikan media tersebut. Media seharusnya tidak memiliki kepentingan (independen) dalam setiap berita yang mereka terbitkan. Sebab apabila media terlibat dalam konflik kepentingan, hal ini akan berpengaruh drastis terhadap framing berita. Hal tersebut dilakukan agar berita yang diterbitkan berimbang dan dapat mengabarkan fakta secara objektif. 94 Namun fenomena yang kini terjadi justru media arus utama memiliki banyak kepentingan lain dibalik berita yang disajikan. Keterlibatan media dalam politik praktis terlihat dengan pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik atau pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung, bahkan terdapat beberapa pemilik media yang kini menjadi ketua partai politik. Maka dengan ini krisis independensi telah sah karena kitatidak lagi menjadi kiblat yang suci di media arus utama. Fenomena dunia pers boneka ini semakin diperburuk dengan adanya pembungkaman publik secara luas di era digitalisasi saat ini. Pembungkaman publik dalam realitanya tercerminkan melalui ketentuan pasal suatu perundang-undangan, salah satu contoh yang paling fenomenal adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE sendiri hadir sebagai hukum maya (cyber law) pertama yang dimiliki Indonesia, sehingga dapat dikatakan memiliki muatan dan cakupan luas dalam rangka mengatur cyberspace. Semangat



93



Menurut data Badan Pusat Statistik, pada 2015, sebesar 91,47 persen penduduk berusia diatas 10 tahun masih menggunakan televisi sebagai akses utama untuk mendapatkan informasi 94 Axel Bruns, Gatewatching, Not Gatekeeping: Collaborative News, Media International Australia, 2003, hlm. 22-24



49



pembentukan dari UU ITE sendiri pada awalnya ialah untuk menjamin perlindungan masyarakat dan mengakomodasi kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umum guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Namun, di beberapa sisi undang-undang ini masih terdapat pengaturan-pengaturan yang kurang jelas dan dianggap karet oleh banyak kalangan. Pengaturan yang kurang lugas ialah mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yang dimuat dalam Pasal 27 Ayat (3). Dalam lembar penjelasan Pasal 27 Ayat (3), dijelaskan bahwa maksud dari penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk kembali pada Pasal 310 KUHP.95 Penjelasan ini justru membuat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyalahi kaidah asas Lex Specialis Derogate Lex Generalis, dimana seharusnya UU ITE ini tidak lagi merujuk pada KUHP namun sudah memuat penjelasan lebih rinci mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Jika dalam penjelasannya masih merujuk pada KUHP, maka seharusnya pasal ini tidak dimuat dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), sejak ditetapkannya UU ITE pada 2008, telah terjadi setidaknya 16 kasus pemidanaan terhadap jurnalis dan media menggunakan UU ITE, terutama pada Pasal 27 ayat 3. Tahun lalu terdapat 8 kasus pemidanaan terhadap tiga jurnalis dan lima media. Jika tidak segera dihentikan, tren ini amat rentan digunakan untuk membungkam kebebasan pers. Ketika pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik makin mudah mengkriminalisasi jurnalis menggunakan UU ITE, pada saat itu pula publik akan dirugikan. Ketika media diancam dengan menggunakan UU ITE karena berita-berita kritisnya, pada saat yang sama sebenarnya publik juga terancam untuk mendapatkan informasi aktual versi media. Dapat dipahami bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan media yang independen. Media berlaku tak hanya sebagai anjing penjaga (watchdog), tetapi juga menjadi bagian dari wakil publik untuk melakukan pengawasan tersebut. Meskipun fungsi itu makin hari makin utopis seiring dengan kuatnya kepentingan bisnis, tetapi peran ideal tersebut tetap diperlukan dan relevan. Dari perspektif tersebut, maka pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE juga berarti membungkam publik untuk bersuara kritis terhadap praktik-praktik pelanggaran tata kelola pemerintahan atau pejabat publik. Dalam beberapa contoh kasus, pihak yang keberatan adalah tokoh-tokoh publik. Di Kendari, pihak pelapor adalah caleg yang menurut standar jurnalisme memang masuk dalam kriteria layak diberitakan sebagai calon pejabat yang bermasalah. Apalagi jika isu yang diberitakan memang relevan untuk publik yang dalam hal ini berupa dugaan tindak pidana yang menyangkut pejabat negara. Di sisi lain, pembungkaman terhadap media dengan menggunakan UU ITE adalah fakta adanya ancaman terhadap ruang untuk berdiskusi secara terbuka. Dengan menggunakan Hak Jawab sesuai yang diamanatkan UU Pers, pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah karya jurnalistik bisa memberikan penjelasan secara terbuka kepada publik. Sehingga akan ada sebuah diskursus, antara fakta yang dibalas dengan fakta, dan ada dialektika.



95(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal yang maksudnya



terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.



50



Indonesia tidak memiliki rapor bagus dalam penyelenggaraan mekanisme Pers ini. Misalnya pada kasus media kolaboratif IndonesiaLeaks yang justru digugat oleh Kapolri Tito Karnavian pada Oktober tahun lalu. Bukannya membantah dengan fakta versi mereka sendiri sebagai jawaban atau koreksi terhadap laporan IndonesiaLeaks terkait perusakan barang bukti di Komisi Pemberantasan Korupsi, Tito Karnavian justru menggugatnya lewat UU ITE. 96 Seperti halnya ketakutan yang menyebar (chilling effect) pada publik akibat maraknya kriminalisasi menggunakan UU ITE, bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi pada jurnalis dan media daring. Bahkan, jurnalis dan media daring akan menghindari isu-isu sensitif seperti pengungkapan kejahatan lingkungan, korupsi, atau kekerasan seksual hingga memperburuk berita-berita banal. Tidak hanya karena berita-berita kritis itu rentan menjerat para jurnalis dan media, tetapi berita-berita dangkal dan sensasional memang lebih menjual. Jika tidak segera dihentikan, kian maraknya penggunaan UU ITE terkait hasil kerja jurnalistik dapat menjadi mesin penggali kuburan kebebasan media yang baru dinikmati kembali pasca Orde Baru. Pada titik inilah UU Pers perlu dipahami kembali. Menurut UU Pers setidaknya ada dua tahap yang harus dilakukan oleh yang berkeberatan terhadap pemberitaan sebelum menggugat ke pengadilan. Pertama, dengan menggunakan Hak Jawab yang menyatakan bahwa jika seseorang merasa keberatan terhadap sebuah pemberitaan yang dianggap merugikan, orang itu bisa menggunakan Hak Jawab, yakni dengan meminta media memuat fakta dan opini yang belum ditampilkan dalam berita yang dipermasalahkan. Kedua, jika Hak Jawab dianggap tidak cukup, maka ada mekanisme pelaporan ke Dewan Pers yang bertugas menangani masalah-masalah terkait pers. Penilaian Dewan Pers yang menjadi tolok ukur penentuan pelanggaran kode etik. Jika tetap tidak terima, maka dapat digugat secara perdata. Sebagai pengingat, UU Pers bersifat Lex Specialis, artinya berlaku khusus bagi kasus-kasus terkait karya jurnalistik. Sehingga jika suatu karya jurnalistik terbukti salah, maka dapat dikoreksi melalui karya jurnalistik lainnya dan bukan menjadikannya sebagai objek kejahatan atau tindakan yang dapat dikriminalisasi. Namun pada akhirnya UU ITE telah menjadi semacam jalan pintas bagi pihak yang keberatan terhadap karya jurnalistik agar tidak menempuh tahapan cukup panjang. Karena dapat menggugatnya atau mengkriminalisasi tanpa harus menggunakan Hak Jawab ataupun mengajukan keberatan ke Dewan Pers. Sebab apapun bentuknya, karya jurnalistik tetaplah karya jurnalistik yang telah diatur dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih khusus yaitu UU Pers. Dengan demikian maka tugas media sebagai ruang untuk mempertemukan berbagai “fakta” dan pandangan akan tetap ajek.



96



Juli Hantoro, Indonesialeaks Digugat ke PN Jaksel, AJI: Harusnya Pakai UU Pers, (Tempo.co: 25 Oktober 2018)



51



NEGARA MASIH



SAKIT



52



B. NEGARA MASIH SAKIT 1. Partisipasi Masyarakat Sipil September 2019 i. Mosi Tidak Percaya September 2019 menjadi bulan yang menggemparkan di negeri ini. Dimulai dari pertengahan bulan hingga saat ini, gelombang aksi besar-besaran terus terjadi di Indonesia. Benang kusut dimulai ketika adanya usaha pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan adanya usulan revisi UU KPK dan terpilihnya Firli Bahuri menjadi ketua KPK. Aroma ‘perselingkuhan’ antara DPR RI dengan Pemerintahan Jokowi semakin kuat ketika Presiden RI menyepakati usulan revisi UU KPK. Aroma ini juga kuat tercium pada pengesahan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan yang dilakukan secepat kilat dan terkesan tertutup pada akhir masa jabatan DPR-RI periode 2014-2019. Setelah lebih dari satu dekade pasca reformasi, akhirnya mahasiswa kembali bergerak dengan massa yang besar. Mereka menggelar aksi pertamanya pada 19 September 2019 di depan gedung DPR RI. Aksi ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya. Diantaranya Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia. Aksi tersebut menuntut pembatalan revisi UU KPK dan penundaan RKUHP. 97 Gelombang aksi tidak terhenti di Jakarta, justru terus bermunculan aksi susulan di beberapa titik sekaligus di Indonesia. Salah satu yang paling ramai dan mendapat perhatian hangat adalah aksi #GejayanMemanggil pada 23 September 2019, pergerakan dari para mahasiswa serta masyarakat Yogyakarta yang menamai diri sebagai Aliansi Rakyat Bergerak melakukan aksi damai. Disusul oleh gerakan #SurabayaMenggugat pada 26 September 2019 Gelombang-gelombang massa besar tersebut menyambung rantai aksi secara spontan dari Aceh, Sumatera Utara, Jambi, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan daerah lain yang secara kompak menyatakan Mosi Tidak percaya kepada DPR dan elite politik serta menyatakan sejumlah tuntutan yang kurang lebih serupa dengan tuntutan massa di Jakarta. Tagar #ReformasiDikorupsi menggema di berbagai daring sebagai ikon gerakan rakyat meskipun hingga hari ini belum diketahui jumlah angka pasti massa pesertanya. Namun apabila massa saat Reformasi 1998 tercatat sekitar 9.000 orang, maka dapat dipastikan bahwa estimasi jumlah massa pada demonstrasi September 2019 lebih besar dibanding peserta aksi Reformasi di tahun 1998. 98 Dengan diserukannya Mosi Tidak Percaya yang direpresentasikan oleh berbagai gelombang massa dengan tuntutan serupa, gerakan ini telah menjelaskan secara langsung bahwa persatuan dan kesatuan rakyat yang semula terfragmentasi telah bersatu dan bermufakat untuk melawan oligarki yang ada. Lahirnya kembali gerakan massa ini mengindikasikan bahwa kekuatan sipil masih ada dan memiliki potensi sebagai pembawa perubahan luar biasa, yang lebih besar daripada Reformasi 1998 apabila terkonsolidasi dengan baik dan kokoh.



97 98



Endah Lismartini, Reformasi dalam Bahaya, Mahasiswa Bergerak Serentak, (Vivanews.com: 24 September 2019) Gustidha Budiartie, Massa September 2019 & Mei 1998, Lebih Banyak Mana?, (CNBC Indonesia: 24 September 2019)



53



#AnakSTM DAN PERSPEKTIF LAIN



54



ii. #AnakSTM dan Perspektif Lain Sejarah baru mencatat, pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) se-Jabodetabek serentak turun ke jalan-jalan dengan seragam sekolah. Mereka ramai-ramai mengepung kantor DPR/MPR RI dan menyuarakan perlawanan terhadap UU KPK dan revisi UU KUHP yang baru saja disahkan oleh pemerintah dan DPR RI. Belum habis mahasiswa bergerak, massa lain turut bergerak. Siapa sangka, massa pelajar STM atau kini disebut SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) justru turut menentang DPR. Bagi pelajar STM, paham atau tidaknya isu adalah perkara belakang sebab slogan massa yang dibangun salah satunya adalah “yang penting maju dulu, yang penting tempur dulu”. Pada tanggal 25 September lalu, pelajar STM yang kerap tawuran jika bertemu lawan sekolahnya, bersama-sama bersatu dan mengklaim tujuan yang sama: mencari keadilan. "Bisa lo bayangin, Bang (ke arah wartawan), STM 'kan musuh berat sama STM lainnya lagi. Bisa bersatu, gitu. Gimana, kan? Hebat banget. Gua aja salut, hebat banget. Pada nyanyi 'Indonesia Raya', 'Tanah Airku’." Salah seorang siswa usai mengantarkan kawannya yang terluka di bagian kepala ke RS Pelni, Jakarta Harus diakui bahwa banyak dari kalangan pelajar STM yang tidak mengetahui tuntutan mahasiswa saat demonstrasi di DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu. Sebagian pelajar hanya turut meramaikan, sebagian berkata menolak RUU meski tidak mengetahui artinya, sebagian lagi 'ingin membalas tindakan aparat'. Tuntutan mereka memang melenceng, bahkan mungkin salah persepsi soal RUU KPK, RUU KUHP, hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Akan tetapi, mereka mengaku hanya ingin menunjukkan rasa empati ke mahasiswa.99 “Kita mau lanjutin perjuangan kakak-kakak” Perwakilan Anak STM, 24 September 2019 Sebelum beraksi, anak-anak STM se-Jabodetabek itu saling berbalas pesan yang disebarkan melalui status dan pesan di aplikasi WhatsApp. Dari media tersebut, STM satu dengan yang lain berkomunikasi dan saling berjejaring walau pernah saling bermusuhan. Sebelum bergerak menuju DPR, Pelajar STM berkumpul terlebih dahulu dan memblokade Jalan Gatot Subroto seraya mencoret-coret dinding dengan sumpah serapah di kolong flyover untuk DPR. Dari sejumlah video yang beredar di media sosial, pelajar STM datang menggunakan truk lalu berjalan kaki dengan massa yang lebih banyak. Spanduk dan poster lucu yang mereka bawa diisi dengan tulisan nyeleneh namun tetap mengkritik DPR. Di lain lokasi, pelajar lain memasuki Tol Dalam Kota. Massa aksi ini melakukan long march ke DPR sembari membawa Bendera Merah Putih hingga mengakibatkan Tol Dalam Kota arah Slipi ditutup. Setibanya di Gedung DPR, mereka langsung menyanyikan 'Indonesia Raya', 'Bagimu Negeri', dan berteriakteriak menyuarakan aksinya. Namun demo tak berlangsung lama, 200 anak “diamankan” aparat demi menghalau kericuhan. Di hari yang sama, kelompok anak STM dengan jumlah yang lebih besar terus mendatangi DPR. Di lokasi berbeda, para siswa mulai berkumpul di daerah Stasiun Palmerah. Gesekan dengan aparat pun kembali terjadi. Polisi yang menembakkan gas air mata berkalikali yang justru disambut dengan riang dan perasaan tertantang oleh anak-anak STM. Terlapor pada pukul 17.10 WIB, gesekan antara massa STM dengan aparat menyebar ke banyak titik sehingga polisi pun menembakkan gas air mata bertubi-tubi ke arah massa untuk memecah kerumunan. Belum selesai diserang oleh aparat, massa bergerak ke arah flyover Slipi dan 99



Kronologi dalam tulisan ini disarikan dari laporan Marcia Audita, Solidaritas Anak STM: Demo Rusuh hingga Empati ke Mahasiswa, (Kumparan.com: 26 September 2019)



55



memenuhi Tol Dalam Kota. Akibatnya, Tol Dalam Kota di kawasan Slipi menjadi lumpuh di kedua arahnya. Akibat bentrok ini pula, seluruh perjalanan KRL dari dan menuju Tanah Abang sempat dihentikan lantaran perlintasan rel berhasil dikuasai anak STM. Gas air mata terus ditembakkan oleh aparat di Slipi, Palmerah dan Pejompongan. Hingga pukul 23.30 WIB (24/9/2019), massa berhasil dipukul mundur. Wilayah Slipi dan Palmerah berangsur kondusif, lalu lintas kembali dibuka. Aksi kerusuhan para siswa STM ini dinilai sebagai bentuk kepekaan bahwa negara memang sedang tidak baik-baik saja. Kericuhan itu dianggap sebagai bentuk pemberontakan dan amarah masyarakat sipil atas penerbitan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang yang tak melibatkan masyarakat serta penuh kontroversi. Carut marutnya RUU yang sangat mengundang perhatian publik jelas sudah dirasakan di kalangan pendidikan multi-level. Artinya, tidak hanya kalangan mahasiswa atau pelajar saja yang resah terganggu dengan adanya RUU yang kontroversial ini. Akan tetapi, aksi rusuh para pelajar STM tersebut memicu pro dan kontra dari publik, khususnya di media sosial. Banyak yang menilai aksi ini patut diapresiasi, banyak pula yang menganggap kerusuhan pelajar dan vandalisme tak perlu terjadi.



Gambar 13. Tren #AnakSTM vs Topik Lain Sumber : DroneEmprit



Rabu (25/9/2019) pasca aksi, jagat media daring Twitter diramaikan dengan kata kunci 'Anak STM'. Pengamatan dan analisa tren media sosial oleh Drone Emprit menunjukkan volume percakapan tagar #AnakSTM terlihat paling tinggi dibandingkan tagar-tagar aksi lain yang volumenya sudah menurun, termasuk tagar lain yang dianggap tagar susupan politikus. 100 Perihal kepahaman anak-anak STM tentang kajian dan tuntutan aksi memang menjadi perdebatan beberapa pihak. Di satu sisi, fenomena ini menandakan bahwa generasi muda berarti memiliki kepedulian yang tinggi untuk bangsa karena secara tidak langsung juga turut terdampak. Di sisi lain, sebagian pihak menganggap pelajar STM masih dinilai belum pantas untuk turut turun ke jalan sambil menuduh gerakan tersebut ditunggangi. Isu penunggangan ini mengindikasikan adanya narasi pengerdilan spontanitas pelajar STM ketika turun ke jalan. Upaya-upaya pengerdilan ini semakin nampak saat beberapa anggota Kepolisian yang mencoba memprovokasi, menodai dan mendiskreditkan gerakan pelajar STM dengan menyamar menjadi anggota grup daring Whatsapp pelajar STM yang kemudian mengunggah tangkapan layar percakapan di grup buatan tersebut. Di balik segala pro-kontra yang terjadi, sejarah unik di tahun ini justru menunjukkan bahwa bukan kepantasan pelajar STM-lah persoalan substansialnya, melainkan adanya kesadaran bersama dari para pelajar untuk turut bergabung dalam perjuangan. Sebab meskipun tata perundang-undangan yang kontroversial itu dianggap cukup rumit untuk dapat



100



Rakhmad Hidayatulloh, Analis Drone Emprit: Pembuat #TurunkanJokowi Bukan dari Kelompok Mahasiswa, (Detik.com: 24 September 2019)



56



dicerna oleh kalangan awam, nyatanya banyak sumber ringkas dan padat informasi yang bisa masyarakat dapatkan dari pemberitaan televisi maupun informasi media online. Melalui perangkat media yang dikonsumsi, informasi yang rumit mengenai kondisi negeri ini pun dapat dengan mudah dicerna. Kondisi di mana Undang-Undang KPK, KUHP dan yang lain bermasalah ini membuat opini pelajar mengarah pada kesimpulan berupa perlawanan. Hadirnya aksi pelajar ini menjadi tamparan keras kepada semua orang yang tidak tergerak hatinya untuk melawan. Dari pelajar kita bisa mengambil satu teladan penting bahwa melawan kekuasaan yang pongah tak butuh ilmu setinggi langit, melainkan hanya membutuhkan nurani yang tergerak ketika menyaksikan ketidakadilan. Sangat disayangkan ketika publik merendahkan pelajar STM ini karena dianggap menimbulkan rusuh tanpa menggunakan metode intelektual. Alih-alih mendasari pilihan untuk bergerak dan melakukan protes, sikap intelektual dan solidaritas menjadi hal sakral yang seolah harus selalu mendasari sikap masyarakat dalam berpikir kritis. Kita sebagai masyarakat malah abai dan lupa bahwa dalam banyak kasus konflik agraria terdapat jauh lebih banyak kekerasan yang digunakan aparat tanpa mau mendengar pembelaan publik, argumentasi warga, atau bahkan putusan sidang yang memenangkan rakyat. Pelajar STM dan yang lain tentu mempunyai keresahan tersendiri. Dari berbagai hasil studi sosial, kebanyakan tawuran yang terjadi di setiap minggu merupakan pelarian dari keresahan yang menumpuk. Di kehidupan sehari-hari, mereka dibuat resah oleh sistem pendidikan, budaya perundungan yang mengakar, kekerasan jalanan, keluarga dan lingkungan yang keras, kemiskinan, stigma negatif, dan lain sebagainya. Sehingga sangat dimungkinkan apabila medan jalanan menjadi ruang untuk memberontak dari akumulasi tekanan keresahan tersebut. Di momen adanya musuh bersama itulah, sesaat mereka dapat merasakan kebebasan berekspresi untuk meluapkan semua beban. Sepanjang gesekan antara aparat dan pelajar STM, aparat kepolisian tetap menang dengan segala modal fasilitas dan peralatan pengendali massa. Namun terdapat beberapa sorotan terhadap perlawanan balik pelajar STM yang melempari batu ke arah aparat sehingga mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat.101 Reaksi masyarakat justru senang melihat pelajar STM melakukan tindakan perlawanan kepada pihak kepolisian yang menunjukkan bahwa selama ini ada saluran aspirasi masyarakat yang terhambat dan akhirnya terwakili oleh kehadiran pelajar STM.102 Ironi besar yang terjadi di negeri ini adalah kekerasan yang terus menerus digunakan negara untuk bercakap dengan rakyat sementara rakyat yang selalu ditekan berusaha berbincang balik dengan bahasa kekerasan, lalu kemudian negara menuduhnya sebagai tindakan barbar dan tidak beradab. Atau jangan-jangan, kekerasan tidak lagi disebut sebagai kekerasan apabila dilakukan oleh negara? Kekerasan untuk melawan rakyatnya sendiri.



101



Alvin Bahar, Ikut Demo Mahasiswa, Anak SMK dan SMA Dipuji Netizen, (Grid.id: 25 September 2019) Ukirsari Manggalani, Masyarakat Dukung Anak STM Represif ke Polisi, Ini Kata Psikolog, (Suara.com: 28 September 2019) 102



57



RETORIKA OLIGARKI DAN REKAYASA ELIT POLITIK



58



2. Retorika Oligarki dan Rekayasa Elit Politik i. Yang Penting Mereka Dapat Kursi! Dalam kasus yang hangat dibahas tahun ini, akar permasalahan dalam tiap perumusan kebijakan maupun undang-undang yang kontroversial terletak pada “demokrasi oligarki”. Jenis oligarki yang diidentifikasi adalah oligarki politik dan ekonomi yang kemudian dimanifestasikan dalam partai politik sekaligus kaum yang mendanai political costs untuk figur yang mencalonkan diri di bursa pemilu. Bentuk utama adanya oligarki politik di dalam parpol adalah hadirnya orang-orang kuat sebagai penentu keputusan (strong decision maker) yang direpresentasikan oleh pemilik modal dan sosial besar. Orang-orang ini mempunyai jaringan bisnis yang luas, kolega bisnis yang banyak, dan memegang peranan penting sebagai pengendali sekaligus pemilik media massa tertentu sampai pada kekuasaan tak langsung terhadap partai politik.103 Tidak sedikit keadaan yang mengindikasikan bahwa hari ini partai politik tidak lagi menjadi representasi ideologis rakyat. Hal ini diperkuat dengan banyaknya bukti dan penelitian sosial-politik ilmiah yang menyimpulkan bahwa partai politik di Indonesia tidak lagi dibentuk oleh elemen masyarakat seperti serikat pekerja atau komunitas sosial yang mewakili kelas tertentu, melainkan didominasi secara personal oleh para strong decision maker. Fenomena tersebut menimbulkan kesan yang sangat kental bahwa orang-orang dalam oligarki ini telah mempersonalisasi partai politik (personalized political parties) bagi kepentingan pribadi dan golongan (lingkaran oligarki politik dan ekonomi), bukan untuk kepentingan kolektif seluruh masyarakat. Apabila pendekatan Agency Theory dari Michael C. Jensen dan William H. Meckling digunakan dalam pengamatan ini, kehadiran oligarki politik membuat agency cost dari rakyat tidak bernilai. Secara istilah, partai politik dan segala elemen trias politica dalam negara berperan sebagai agen, sementara rakyat sipil sebagai prinsipal. Kondisi ideal terjadi saat rakyat yang berperan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi mendelegasikan aspirasi dan pengambilan keputusan kepada para agen, kemudian agen diberi wewenang mengatur negara namun harus tetap menguntungkan rakyat.104 Agency cost rakyat tersebut terimplikasi dalam posisi mereka sebagai konstituen yang memberi kekuatan elektoral kepada para agen (caleg dan capres) sehingga dipercaya untuk mengelola negara. Sayangnya, posisi parpol yang dinaungi lingkaran oligarki tidak menjadi representasi agen. Partai justru menjadi representasi the fake principal yang mencampuri urusan agen karena tidak ingin merasa dirugikan. Mereka juga mengklaim diri sebagai pihak yang mengeluarkan agency cost ketika mendukung secara politik dan ekonomi (pendanaan kampanye, media massa, dan sejenisnya) untuk figur yang diusung pada bursa pemilu. Jika kita tetap berpedoman pada Agency Theory untuk menilai secara singkat salah satu kasus misalnya revisi UU KPK, maka kita langsung dapat menarik kesimpulan dengan cepat bahwa revisi yang ada pada faktanya melemahkan ruang gerak komisi anti-rasuah tersebut. Sebab melalui pendekatan tersebut, KPK menjadi sebagai satu-satunya komisi yang dipercaya oleh the real principal (pemilik kekuasaan/rakyat) untuk mengawasi kinerja agen karena seringkali agen memiliki kepentingan yang bertolak belakang dengan prinsipal. Agen memiliki kepentingan menguntungkan diri dan golongan dengan melakukan suap, merekrut anggota secara nepotisme, mark-up anggaran, hingga melakukan korupsi. Sementara peran KPK hadir untuk mempersempit ruang gerak agen yang korup itu.



103



Kurt A. Raaflaub, Political Theory, Vol. 11, No. 4 (New York: Sage Publications, Inc., 1983), hlm. 517 Michael C. Jensen & William H. Meckling, Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure, Journal of Financial Economics, Vol 3, No. 4,Harvard University Press, October, 1976, hlm. 1. 104



59



Namun hal yang perlu diingat bahwa terdapat the fake principal (pemilik kekuasaan tandingan/lingkar oligarki) yang mempunyai kepentingan untuk mengintervensi para agen sebagai pengambil kebijakan. Agen tersebut tidak ingin terhambat ruang geraknya karena menganggap hal tersebut sebagai suatu kerugian. Agen yang ruang geraknya dibatasi tidak dapat melakukan lobi-lobi bisnis dan politik yang mendatangkan keuntungan bagi the fake principal. Akhirnya, ruang gerak KPK dibatasi dan menjadi bagian dari lembaga eksekutif agar dapat dikontrol. Sebagaimana kajian pada awal BAB sebelumnya, upaya penyidikan KPK terlihat jelas sedang dibatasi agar agen korup bisa leluasa melanggengkan tugas mereka bagi the fake principal maupun mengembalikan political costs agen yang korup itu. Pembentukan dewan pengawas semakin mempersempit ruang gerak KPK, apalagi jika dewan pengawas dipilih oleh Presiden atau DPR. Kaum oligark semakin leluasa bergerak sebagai the fake principal ketika turut mengintervensi pembuatan peraturan atau undang-undang untuk mempersempit ruang gerak the real principal. Jika memakai pendekatan Jonah D. Levy dalam The State After Statism, lingkar oligarki tersebut dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan atau undang-undang yang mengarah pada statisme negara. Negara menjadi representasi oligarki yang memegang kedaulatan tertinggi dengan mengatur seluruh kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Oligarki ini pula yang mengendalikan sumber daya ekonomi dan membatasi ruang gerak sosial dari masyarakat secara represif, bahkan sampai ke ranah privat. Statisme negara juga menjadi ciri-ciri munculnya otoritarianisme. Segala urusan publik diatur negara secara represif melalui pidana. Artinya, ruang gerak the real principal (masyarakat biasa, kelas bawah, dan kelas-kelas di luar pusaran oligarki) sangat dibatasi dan menjadi terancam jika melawan konstitusi, meskipun fenomena yang ada jelas sekali bersifat transaksional. Di awal periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, negara terlihat mencoba melakukan reformasi birokrasi untuk mengatasi kesenjangan dampak oligarki ekonomi. Kebijakan-kebijakan seperti redistribusi aset melalui reforma agraria, dana desa, tax amnesty, dan lain sebagainya dengan dijalankan dengan cukup baik meskipun masih jauh dari kondisi ideal. Sayangnya, rangkaian upaya yang ada ini tidak menyentuh satupun akar permasalahan untuk mengatasi oligarki politik dan ekonomi dalam skala yang lebih kompleks. Semua hal baik itu justru bertolak belakang ketika Presiden Joko Widodo meneken Undang-Undang Pemilu yang memuat Presidential & Parliament Threshold. Kedua hal itu sangat melanggengkan kekuatan oligarki karena membuat oligarki leluasa berkoalisi melalui basis dukungan modal kapital dan sosial yang besar. Selain itu, parpol ternama yang dinaungi lingkar oligarki akan mendapat keuntungan coattail effect dari capres usungannya serta mempermudah kader (caleg) mereka lolos ke kursi wakil rakyat. Dominasi oligarki pun semakin menguat di eksekutif maupun legislatif. Tentu saja, yang penting mereka dapat kursi!



60



ii. Retorika Politik Oligarki Bahasa dalam pengertian sempit adalah alat komunikasi atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Bahasa juga digunakan dengan berbagai tujuan. Dalam ranah politik diarahkan untuk mencapai tujuan politik, yakni memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Sehingga bahasa memiliki peran yang dominan dalam politik, sebab retorika dalam politik mengandalkan piranti kebahasaan, seperti aliterasi, pengulangan, paralelisme dan metafora. Retorika ini juga tak terlepas dari ungkapan-ungkapan yang ekspresif dan puitis untuk menjadi lebih menarik, selain menggunakan judul, memanfaatkan generalisasi, pola-pola kutipan, dan overleksikalisasi dalam melancarkan setiap propaganda politik kepada khalayak luas.105 Bahasa dan praktik kebahasaan tak lagi dimengerti dalam konteks perspektif konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk menjelaskan kenyataan sosial politik. Namun, semakin disadari bahwa bahasa, di dalam dirinya, tampil sebagai representasi ruang bagi penggelaran (deployment) berbagai macam kuasa. Oleh karena itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu ruang (space) yang menjadi bertemunya konflik-konflik berbagai kepentingan, kekuatan, kuasa, serta proses hegemoni dan hegemoni tandingan (counter hegemony) yang terjadi, sebab berpolitik pada hakikatnya adalah mengintegrasikan diri pada lingkaran perseteruan antar kelompok masyarakat yang berkepentingan demi perluasan kekuasaan. Tujuannya adalah agar kelompok tertentu yang terdominasi dapat keluar dan lepas dari kungkungan dan cengkeraman kelompok dominator. Kekuasaan sendiri sesungguhnya merujuk pada daya dan kekuatan, untuk mengendalikan maksud tertentu demi tujuan yang telah diformulasikan. 106 Sementara itu kehendak untuk lepas dari lingkaran kekuasaan kelompok masyarakat yang mendominasi justru sering berlanjut pada keinginan melibas kembali lingkaran kekuasaan yang semula mendominasinya. Maka yang kemudian terjadi adalah rantai perseteruan yang sering tidak ada ujung pangkalnya. Hal yang demikian juga serupa dalam konteks bahasa Indonesia, tentu bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh penjuru nusantara juga memiliki beragam daya dan kekuatan yang termanifestasi dalam besar kecilnya jumlah populasi penutur bahasa daerah tersebut. Apabila dikilasbalikkan dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ketika bahasa Melayu Riau diangkat menjadi bahasa persatuan, sesungguhnya ketika itu kontroversi dan geliat bahasa-bahasa daerah banyak terjadi, walaupun mereka tetap terbelenggu. Setiap bahasa daerah berjuang keras untuk melawan dominasi bahasa nasional, yakni bahasa Melayu Riau yang telah beralih status menjadi bahasa Indonesia. Ada indikasi perjuangan bahasabahasa daerah yang kuat dan hingga kini terus meletup-letup muncul dalam manifestasi kosakata bahasa daerah di dalam pemakaian bahasa Indonesia. 107 Sehingga dengan merunut perspektif sejarahnya saja, bahasa tidak akan pernah terlepas dari politik-kekuasaan. Maksudnya, selalu ada manifestasi-manifestasi khusus dari denyut kekuasaan dan politik itu di dalam sosok bahasa tertentu, seperti halnya bahasa Indonesia. Namun, yang banyak terjadi sekarang ini adalah bahwa cara elit-elit politik berwacana dengan bahasa Indonesia sering kali tidak tepat benar. Dengan kata lain, rekayasa bahasa politik-kekuasaan telah dilakukan oleh elit-elit politikus, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Dengan rekayasa bahasa tersebut, mereka telah membangun hegemoni terhadap pemakaian bahasa Indonesia. Sehingga bahasa Indonesia juga telah dieksploitasi sedemikian rupa demi tujuan politik dan kekuasaan. Manifestasi hegemoni pemakaian bahasa Indonesia tersebut tampak dominan sekali dalam fakta akronimisasi dan pemakaian bentuk eufemisme terhadap istilah-istilah politik yang 105



Mary Talbot, Karen Atkinson & David Atkinson, Language and Power in the Power Modern World, University Alabama Press, 2003, hlm. 5 106 Sukardi Weda, Politik dan Rekayasa Bahasa, Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar, April 2009, hlm. 1 107 Keith Foulcher, Sumpah Pemuda, Penerbit Komunitas Bambu, 2000, hlm. 8



61



berlebihan. Penggunaan kedua bidang linguistik tersebut sepertinya telah terlalu jauh berlebihan dan terbukti telah lepas dari kendali pada saat-saat sekarang ini. Bahkan, pemakaian akronim dan eufemisme itu telah jauh melampaui hakikat akronim dan eufemisme sendiri dalam persejarahan linguistik. Pesan-pesan politik banyak sekali yang terwujud dalam rupa-rupa bentuk akronim yang kadar kandungan propagandanya jauh lebih besar daripada kejujuran pesannya sendiri. Demikian halnya dengan para politisi di Indonesia menjelang pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden, telah mendesain berbagai macam atribut pemilu beserta program dan janji-janji manis yang akan dijual dalam pesta demokrasi 5 tahunan mendatang. Dengan demikian, maka bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam ranah politik kekuasaan, yang kadang-kadang diungkapkan oleh para elit politik tanpa mengindahkan kesantunan berbahasa. Ini yang sering kita sebut sebagai politik dan rekayasa bahasa, dan ideograf dengan maksud untuk mewujudkan target-target politik para calon anggota legislatif melalui retorika terdistorsi dengan sengaja dan terencana. Digunakannya bahasa yang terdistorsi ini antara lain agar kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa tetap dapat bertahan. Dalam berbagai kesempatan komunikasi penguasa selalu menggunakan bahasa yang terdistorsi dalam mengemukakan sesuatu ide, pikiran ataupun konsep terhadap khalayaknya. Termasuk ketika menjanjikan tuntutan masyarakat yang selalu omong kosong belaka, tentu dengan berbagai argumentasi defensif dan pembenaran yang licin. Ideograf juga sangat ampuh untuk meraih target-target politik para pencari kekuasaan. Hal ini telah terbukti dalam catatan sejarah perpolitikan dunia, seperti halnya ketika dalam kampanye perdana menteri Inggris, Tony Blair. Ia mengangkat pendidikan (education, education, education) sebagai isu sentral kampanyenya pada tahun 1996, dan mengantarnya menjadi perdana menteri Inggris. Demikian halnya terpilihnya SBY dan JK pada pemilu 2004 tidak terlepas dari ideograf yang mengemas visi kampanye mereka, sebagaimana tertuang dalam buku berjudul Membangun Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera. Ideograf-ideograf dalam visi, misi, dan program SBY dan JK, seperti pengentasan kemiskinan, lapangan pekerjaan, terciptanya rasa aman, terwujudnya anggaran pendidikan 20%, terwujudnya Indonesia yang adil dan demokratis, landasan pembangunan yang kokoh, pemenuhan hak dasar rakyat, dan lain-lain. Ideograf serupa juga selalu diulang penggunaannya sebagaimana dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019 oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf dengan istilah Indonesia Maju yang digadai-gadai sebagai janji penuntasan tugas periode sebelumnya untuk dapat terpilih kembali, sementara Adil Makmur oleh pasangan Prabowo-Sandiaga yang dilengkapi dengan sekian paket retorika atas agitasi ketidakadilan dan ketidakmakmuran yang ada di rezim Jokowi-JK sehingga berupaya menarik suara kalangan yang resah dan lelah atas kepemimpinannya sepanjang 2014-2019 sebagai aktualisasi kampanye mereka, meskipun pada akhirnya kemenangan kontestasi tersebut dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Ma'ruf yang sekaligus menarik masuk paket 2 orang pucuk pimpinan partai Gerindra ke dalam kabinetnya. Memang hampir tidak ada yang menyangka, pasca selesainya pemungutan suara terjadi pergeseran sikap yang signifikan terutama dilingkungan elit penguasa. Pergeseran sikap ini terlihat jelas khususnya di lingkungan partai-partai yang menjadi peserta pemilu, baik sebagai partai pendukung pemerintah maupun partai yang selama ini menjadi oposisi pemerintah yang sedang berkuasa. Seolah-olah lupa dengan suasana “terbelah” saat pemilu yang baru saja usai pelaksanaannya, elite politik itu berlomba-lomba merapat ke penguasa. Tanpa diduga-duga, partai Gerindra yang selama ini memposisikan diri sebagai rival utama selama kampanye, telah menempatkan kadernya menjadi bagian dari Pemerintah Jokowi. Tidak tanggung tanggung Ketua Umumnya sendiri Prabowo Subianto yang menjadi Menteri di Kabinet Jokowi yaitu sebagai Menteri Pertahanan dan Edhy Prabowo (Wakil Ketua Umum) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Maka jelas kartelisasi telah hadir di tubuh kabinet. 62



Dengan demikian, apakah praktek demokrasi kita telah diwarnai oleh politik kartel para elit politik saat ini? Lalu bagaimana dengan nasib demokrasi kita manakala politik kartel tersebut dimainkan? Bagaimana wajah perpolitikan kita lima tahun ke depan? Dan apa itu politik kartel? Konsep kartel pertama kali dikenal tahun 1995 dimana pada masa tersebut mulai bermunculan partai-partai baru yang bercorak lain yang kemudian disebut partai kartel. Partai sebelumnya lebih bertipe partai kader, partai massa dan partai lintas kelompok. Dua partai yang paling mencolok perbedaannya adalah partai massa dan partai kartel. Partai massa muncul untuk mewadahi kepentingan kelompok yang tak terakomodir dalam politik elektoral seperti kelas buruh. Partai massa berkembang dari sisi masyarakat dan partai ini menjadi lembaga penengah yang menjadi kanal kepentingan kelompok buruh. Sumber kehidupan partai ini berasal dari anggota baik secara finansial maupun dukungan kampanye. Namun ketika negara sudah mulai membuat regulasi yang membuat mereka mulai sejahtera, anggota partai ini mulai kehilangan militansinya.108 Saat partai massa mulai kehilangan anggota dan sumber pendanaan, mereka mulai mencari sumber pendanaan baru dari negara atau golongan yang lebih raksasa darinya. Hal ini terjadi di negara-negara Skandinavia dan menjalar ke Eropa Barat dimana negara memberikan subsidi pada partai politik. Akhirnya jarak partai dan masyarakat menjauh. Partai tak lagi menjadi milik dan bagian masyarakat namun menjadi bagian dari negara. Partai-partai massa akhirnya tampak bermetofora dan makin menguat ciri-ciri sebagai kartel politik pada dirinya. Tidak ada lagi perdebatan ideologi diantara partai-partai tersebut karena partai-partai makin akur akibat persamaan kepentingan untuk mendapatkan sumber pendanaan dan keuntungan golongannya. Di Indonesia menguatnya politik kartel terjadi pada pasca reformasi. Sebagaimana kita ketahui bersama, runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat. Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004 hingga 2019 ini, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Sejak reformasi bergulir, konstelasi politik Indonesia telah menunjukkan buktibukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima, hal ini berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif. 109



108



Richard S. Katz, Peter Mair, Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party, Vol. 1, Issue 1, 1995, hlm. 1 109 Ibid,. hlm. 5



63



Beberapa partai politik membentuk koalisi turah yang tidak lagi dibatasi oleh pandangan yang bersifat ideologis kepartaian tetapi hanya berorientasi pada kepentingan kekuasaan. Dinamika politik pasca pemilu diwarnai adanya pergeseran makna persaingan politik, dari persaingan politik yang bersifat ideologis pada saat pemilu bergerak ke arah kerjasama antar partai dalam rangka meraih sumber daya politik kekuasaan dan sumber daya ekonomi demi keuntungan pragmatis masing-masing partai politik. Adanya migrasi ideologis yang dilakukan secara kolektif oleh partai-partai politik, dimana mereka bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok dan secara kolektif meninggalkan program-program partai mereka, terjadi perubahan komitmen politik dari komitmen populis ke komitmen pro-pasar. Sistem kepartaian yang terkartelisasi ini juga terbentuk kembali dalam medan politik hingga Pemilu 2019. Meski masih tetap muncul adanya isu ideologis dalam pemilu legislatif, hingga tahap pertama Pilpres 2019, namun dalam tahapan selanjutnya ketika memasuki arena politik penyusunan kabinet, semua partai secara berkelompok pula memperjuangkan kepentingan politik, posisinya masing-masing untuk memperoleh jabatan dalam kabinet. Upaya kolektif partai-partai ini terus berhasil dan semakin menemukan bentuknya dalam sebuah ekosistem politik kartel dan terabaikannya program-program ideologis partai. Karena partai-partai politik secara meyakinkan dalam beberapa hal mengabaikan “ideologi kepartaian” yang telah digembor-gemborkan melalui sekian deret retorika yang menjadi landasan perjuangan, namun dalam tataran praktik politik partai-partai politik “mengkhianati” ideologi partainya oleh karena kepentingan yang bersifat politik dan ekonomi. Berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seluruh partai politik berkepentingan terlibat dalam proses politik dalam DPR maupun pemerintahan untuk memperoleh sumber daya ekonomi sebagai “amunisi” bagi mesin partai politik tersebut. Hal ini sekaligus dapat dikatakan menandai berakhirnya ideologi kepartaian menuju kerjasama. Berdasarkan gambaran sebagaimana dikemukakan diatas maka tersibak gambaran mengenai sosok demokrasi yang berlaku di Indonesia sekarang dan (mungkin) lima tahun kedepan yaitu demokrasi pluralis dalam mekanisme kartel, berstruktur oligarkis. Artinya, demokrasi yang telah mengalami pluralisasi “tubuh politik”. Hal ini yang membuat demokrasi dijalankan oleh kekuatan politik yang majemuk, yang karena kemajemukannya, tidak lagi memiliki ideologi. Dari pluralisme demokrasi inilah pragmatisme tergerak, sehingga politik hanya menjadi ajang kompetisi, dari elit untuk elit. Semua fenomena retoris kompleks ini terjadi karena dalam proses demokrasi yang terjadi, para elit menggunakan sistem kartel, yakni koordinasi antar-elit, untuk meminimalkan persaingan, demi kontrol keuntungan segelintir orang yang tergabung dalam ekosistem oligarki. Dalam situasi ini, mustahil ada oposisi yang benar-benar berseberangan dengan pemerintah. Yang ada hanya perhitungan untung-rugi, melalui pemakluman kesalahan elit lain. Dari sini, korupsi akan dijaga oleh koordinasi kartel, sehingga segenap agenda pemberantasan korupsi, akan menguap dalam “kepungan pragmatis” jaringan koalisi antar-partai. Pada ranah struktur politik, demokrasi pluralis-kartel ini dijaga oleh struktur politik oligarkis, baik yang ada dalam partai, negara, dan para oligark yang memiliki kekuasaan (modal) besar. Maka, sumber dan muara dari demokrasi pluralis ini adalah para bos besar yang memegang partai besar, yang bekerjasama dengan oligarki kecil pemegang partai kecil. Dengan demikian, sempurnalah kualitas demokrasi kita di bawah Timor Leste (peringkat ke42). Demokrasi Indonesia menempati peringkat ke-60 dengan skor 6,53 karena mekanisme demokrasi itu sendiri, telah dijadikan jalan bagi mulusnya kekuasaan oligarkis oleh segelintir orang yang memiliki uang, dalam jaringan kekuasaan korup dan saling menutupi kesalahan.



64



C. RAKYAT BERSATU MELAWAN OLIGARKI 1. Rakyat Menggugat! Situasi Darurat! Masa transisi politik merupakan masa paling yang krusial dalam menentukan terlindungi atau terancamnya hak-hak rakyat. Pengalaman sebelumnya, Indonesia pada masa injury time (detik-detik akhir) telah melahirkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014. Pola yang dilakukan Pemerintah dan DPR RI untuk bermufakat menelurkan UndangUndang baru pada masa transisi terjadi sejak Reformasi 1998. Sederet undang-undang yang diluncurkan ini kemudian menjadi pintu dari serangkaian perampasan tanah rakyat, penghancuran lingkungan hingga ketimpangan ekonomi. Berbagai UU di masa transisi tersebut telah memberi hadiah 13,9 juta hektare kepada korporasi dan elite oligarki. Jumlah "hadiah" itu nyaris setengah dari total jumlah izin yang diterbitkan sejak 1998 (30 juta hektare). Kini tiba masa transisi Pemerintahan periode 2014-2019 di mana salah satu tahun paling parah dalam proses legislasi negara ini. Proses legislasi yang dimaksud adalah lahirnya berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) dan disahkannya Undang-undang kontroversial dalam paket kebijakan secara bersamaan. Dilansir dari berbagai sumber, paket tersebut terdiri dari Rancangan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU KPK, UU Sumber Daya Air (SDA), RUU Pemasyarakatan, RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba) dan beberapa RUU lainnya. Akselerasi aneka revisi dan rancangan Undang-undang itu terlihat dipaksakan, sarat dengan motif kepentingan elit. Kepentingan para elite ini patut dipertanyakan karena aturan-aturan tersebut sangat berkaitan dengan kepentingan oligarki dan para pembajak reformasi. Sebagaimana yang kita ketahui, ada yang istimewa di tahun ini. Permufakatan transaksional antara DPR RI dan Pemerintah mendapatkan gelombang protes reaksioner besar-besaran dari kalangan mahasiswa, pelajar, petani, buruh, masyarakat adat dan berbagai elemen masyarakat sipil. Metode aksi-aksi ekstra parlementer boleh dikatakan mendapatkan kemenangan kecil dengan dengan batal disahkannya beberapa RUU yang tidak pro rakyat hingga 30 September 2019. Akan tetapi, UndangUndang KPK yang terbukti dengan jelas melemahkan KPK justru tetap diloloskan oleh negara. Desakan agar diterbitkannya Perppu KPK sebagaimana yang dituntut berbagai kalangan tetap tidak direspon positif oleh Presiden sampai pada hari naskah ini disusun. Hal yang sama juga terjadi pada UU Sumber Daya Air dan UU Sistem Budidaya Pertanian. Dilansir dari pernyataan resminya, DPR RI menyatakan bahwa pembahasan dan pengesahan berbagai RUU lain yang tertunda tersebut dilanjutkan (carryover) kepada DPR RI di periode berikutnya. Paradigma dari aturan-aturan pokok yang akan diubah dengan tergesa-gesa mengindikasikan kebijakan yang sangat otoriter dan menguntungkan oligarki. Sampai setelah DPR RI periode berikutnya dilantik dan periode kekuasaan Presiden Joko Widodo telah sah diperpanjang, Undang-Undang KPK sebagai salah satu biang masalah utama justru semakin didukung dengan penuh ketegasan oleh lingkar oligarki. Maka dari itu telah jelas bahwa suara kita tidak lagi didengar di tengah negara yang masih sakit. Hari ini reformasi berada di titik nadir sebab telah dikorupsi oleh reformis gadungan yang pro oligarki. Saatnya bersatu melawan permufakatan jahat! Situasi sudah darurat!



65



RESOLUSI REFORMASI



REVOLUSI



? 66



2. Resolusi, Reformasi, atau Revolusi? i. Ilusi Reformasi Sudah banyak asa dan amarah dicurahkan oleh gelombang massa yang menginginkan perubahan setelah 32 tahun hidup di bawah tatanan militer dan demokrasi palsu. Soeharto berhasil ditumbangkan oleh kombinasi kekuatan moral solidaritas mahasiswa di jalanan dan manuver-manuver politik kelompok elite di parlemen dan gedung-gedung partai. Meski tercoreng oleh serangkaian konflik horizontal di kalangan rakyat biasa, namun tak salah menyebut bahwa gerakan reformasi 98 adalah sebuah usaha patungan yang luar biasa. Gerakan reformasi sudah menemukan akarnya setidaknya semenjak peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, gerilya Buku Putih mahasiswa ITB tahun 1978, dan penyampaian Petisi 50 di parlemen tahun 1980. Meski usaha-usaha tersebut belum mampu menggoyang pilar-pilar Orde Baru berupa dwifungsi ABRI, dominasi Golkar, dan tafsir tunggal Pancasila, namun sudah menjadi bukti bahwa angan-angan keamanan dan ketertiban masyarakat ala Soeharto tidaklah ideal. Rezim itu memerintah dengan selimut keangkuhan yang menyelimuti rakyatnya dengan kebijakan represif dan anti-kritik. Reformasi pada masa itu dapat tercipta karena orang-orangnya menginginkan pembaharuan di berbagai bidang baik politik, sosial, ekonomi, dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat tanpa takut dibalas todongan senjata oleh penguasa. Dengan kata lain, saat itu memang ada impian untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang madani. Tanpa terasa perjalanan reformasi kini sudah memasuki usianya yang ke-21 tahun. Apabila diibaratkan manusia, seharusnya reformasi sudah memasuki masa kedewasaannya. Namun dengan menyaksikan betapa kompleks permasalahan sosial-politik-ekonomi yang sudah dibahas sejak awal BAB pertama naskah ini disusun, maka tak salah apabila publik mempertanyakan apakah bahwasanya reformasi sudah berjalan di jalur yang tepat dan oleh orang-orang yang tepat atau belum, atau justru reformasi sudah di titik nadir termuramnya? Tanda muramnya reformasi mulai terlihat ketika trisula reformis: Megawati, Gus Dur, dan Amien Rais terlibat dalam pembagian kekuasaan. Terutama kala Amien Rais membuat Poros Tengah untuk menjegal Megawati dan kemudian menurunkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Jalan gelap ini ditambah lagi dengan dua kelompok mahasiswa paling mencolok, yakni kiri (sosialis-moderat) dan kanan (Islam-konservatif) yang sebelumnya bersatu menggulingkan Orde Baru, saling sibuk dengan kepentingan kelompoknya masing-masing. Tidak adanya gerak kompak untuk menyamakan visi misi reformasi itulah yang menyebabkan tokoh-tokoh reformis terlihat gagal membentuk tatanan reformasi yang ideal dan benar-benar mengeliminasi warisan Orde Baru. Pilar-pilar Orde Baru memang berhasil diruntuhkan, tetapi lantai kotor yang menjadi tempat pilar-pilar tersebut berdiri luput untuk dibersihkan. Dan celakanya, di atas lantai itulah pilar-pilar reformasi kini berdiri Itulah sebuah ilusi yang membuat semuanya gagal dan terbungkus dalam banyak sekali “seakan-akan”. Setidaknya terdapat lima faktor penyebab ilusi reformasi: pertama, gerakan masyarakat sipil yang mempelopori gerakan reformasi tidak disatukan oleh sebuah visi kolektif. Kebanyakan massa aksi yang terlibat dalam gerakan protes saat itu terdiri dari mereka yang kebetulan terbawa dalam suasana altruistik. Dari sekian banyak massa yang memenuhi tempat aksi, hanya sedikit yang memiliki visi dan ideologi. Massa bergerak tanpa dipandu oleh sebuah ideologi maupun visi politik yang jelas dan terukur serta hanya mengandalkan keprihatinan atas situasi saat itu. Kedua, gerakan reformasi cenderung didorong oleh faktor pragmatisme di kalangan elemen masyarakat sipil. Gerakan yang dipengaruhi oleh visi jangka pendek–yang terpenting Soeharto tumbang dulu– berimplikasi pada kevakuman misi bersama di antara sesama elemen pendukung gerakan reformasi. Ketiadaan visi jangka panjang itu terbukti setelah runtuhnya Orde Baru tidak diiringi dengan konsolidasi di kalangan organisasi masyarakat sipil untuk merebut kekuasaan politik. Tampak yang terjadi adalah kondisi tercerai-berainya elemen 67



masyarakat sipil pasca jatuhnya Soeharto. Disorganisasi kekuatan masyarakat sipil dalam fase transisi kekuasaan itu akhirnya memberi peluang kepada kekuatan elit politik lama untuk kembali menguasai arena politik. Ketiga, gerakan reformasi tidak disertai oleh pembentukan kelompok oposisi politik yang kokoh dan padu. Hal demikian turut diperparah oleh kepentingan oligarki saat itu yang ikut menunggangi gerakan reformasi. Hampir sebagian besar para analis mengabaikan faktor penting ini, yaitu lengsernya Soeharto tidak diikuti dengan konsolidasi kekuatan-kekuatan oposisi politik. Berbagai kekuatan yang ada tampaknya tidak siap mengisi kekosongan posisi politik tersebut. Ketidaksiapan tersebut sebagian disebabkan oleh keberhasilan Soeharto dalam mendisorganisasir kekuatan-kekuatan sipil. Di sisi lain, kontradiksi di antara berbagai aliansi kelompok kepentingan bisnis dan politik (oligarki) yang dibesarkan di bawah politik patronase Orde Baru semakin meruncing menjelang akhir kepemimpinan Soeharto. Sebagian besar di antara kelompok oligarki tersebut belakangan bergabung dengan kelompok masyarakat sipil dan turut serta dalam menghancurkan Orde Baru. Kekuatan oligarki tersebut kini kembali berhasil menguasai lembaga otoritas publik melalui institusi demokrasi (parlemen, partai politik, pemilu, pilkada) seiring dengan dibukanya kran demokratisasi dan desentralisasi. Keempat, penghancuran gerakan kekuatan sipil oleh kekuatan oligarki. Kelompok oligarki yang semula ikut bergandengan dengan kekuatan sipil meruntuhkan rezim otoritarianisme Orde Baru justru hari ini melakukan penghancuran terhadap kekuatan sipil. Hal itu dilakukan semata karena faktor ketakutan. Kekuatan sipil dilihatnya sebagai sebuah ancaman bagi perluasan atas kontrol terhadap lembaga publik dan sumberdaya material. Karenanya, sebelum menjadi nyata sesegera mungkin ia dihancurkan. Potensi ancaman di balik kekuatan sipil itu jelas sudah terbaca dari pengalaman sebelumnya yang berhasil mendorong Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya. Kelima, pembiaran atas dikuasainya kembali lembaga otoritas publik serta institusi demokrasi di tangan kekuatan elit politik lama. Pembiaran ini terjadi disebabkan oleh lemahnya gerakan masyarakat sipil sendiri dalam mengawal transisi demokrasi. Kekuatan sipil saat itu memang berhasil ketika mendorong Soeharto jatuh dari tampuk kekuasaannya, namun gagal dalam mengisi fase transisi kekuasaan. Dengan demikian, agenda reformasi ikut mengalami kegagalan. Bukti bahwa reformasi mengalami kegagalan dapat ditelusuri lewat enam tuntutan reformasi yang hingga kini masih menyisakan banyak pertanyaan terkait aktualisasinya. Tentu dibutuhkan parameter yang jelas untuk mengukur berhasil atau gagalnya reformasi. Namun jika salah satu yang dimaksud dari keberhasilan tersebut adalah proses tercapainya target, sasaran dan tujuan, maka perjalanan reformasi sejak 1998 hingga saat ini sudah terbukti gagal. Akhirnya, diperlukan tindakan nyata agar reformasi tidak sekedar tipuan ilusi. Penyatuan visi dan gerakan antara elemen organisasi masyarakat sipil adalah kebutuhan mutlak guna merebut dan merevitalisasi kembali cita-cita reformasi. Peran kekuatan sipil harus ditempatkan kembali pada tugas dan fungsinya yang hakiki: memberi penyadaran terhadap warga lewat edukasi politik, pengorganisasian, capacity building, pembasisan dan mobilisasi massa. Sebagai lokomotif perubahan, kekuatan sipil harus berani dan bersedia mengambil tugas yang penuh risiko jika memang itu harga yang harus dipersiapkan. Mengutuk status quo, berpihak pada kelompok lemah, serta berjuang membebaskan masyarakat dari keterpurukan, kebodohan dan ketertindasan adalah ciri dan tujuan utama dari gerakan kekuatan sipil yang sesungguhnya.



68



ii. Hanya Kita yang Tersisa dan yang Bisa Tahun ini, sudah dua puluh satu tahun berlalu sejak genderang pertama reformasi bergulir terhitung saat Soeharto tumbang. Keran demokratisasi telah dibuka dan dalam sekejap sejumlah proyek penataan ulang institusi dan mesin pemerintahan berlangsung. Proyek-proyek ini terdiri dari pengadaan sistem multipartai, perubahan sistem pemilu yang memungkinkan pemilihan langsung untuk presiden, kepala daerah dan anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah, penerapan “desentralisasi” serta pembentukan institusi-institusi baru yang diharapkan dapat menghindari sistem otoritarian. Namun reformasi institusional yang telah terjadi tak juga mengubah lingkungan sosial-politik-ekonomi menjadi lebih baik. Bahkan hari ini kita masih dihadapkan oleh sejumlah kasus KKN yang melibatkan kartel-kartel politik yang memperalat konstitusi, merekayasa hukum sebagai kendaraan untuk mengakumulasi dan melanggengkan kekuasaannya. KPK lumpuh total, suara-suara demokrasi dibungkam sehingga #ReformasiDikorupsi bukan hanya sekadar tagar, melainkan ekspresi bahwa telah sempurnanya permufakatan jahat oligarki secara paripurna. Padahal sejatinya, reformasi bertujuan untuk menjaga negara agar tidak terlalu kuat berhadapan dengan rakyat yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi. Sebab ketika negara terlalu kuat, kekuasaan cenderung menjadi despotik, otoriter, totaliter bahkan bisa jadi mengarah menuju fasisme. Pembeda situasi hari ini dari rezim Orde Baru terletak pada ketiadaan kekuasaan tunggal seperti Soeharto. Sistem patronase tidak lagi berpusat pada satu payung kuasa tunggal, melainkan berbentuk oligarki liar dimana kekuatan ekonomi (kroni bisnis) terfragmentasi sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik hasil dari proses demokratisasi yang direkayasa sedemikian rupa sebagaimana hasil kajian-kajian sebelumnya. Alih-alih sedang memilih orientasi ekonomi-politik yang developmentalis, Presiden Joko Widodo dan jajaran kabinet barunya justru sangat terlihat sedang mengakui bahwa ‘demokrasi’ yang penuh patronase dan manipulasi elite oligarkis sebagai aturan main yang ‘wajar.’ Dalam upaya mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, konstelasi perpolitikan negara tetap menjadi wadah yang tidak bisa kita tinggalkan begitu saja. Metode pendekatan deliberasi berupa dialog-dialog kompromis dengan pihak parlemen sejatinya adalah sebuah bentuk reformisme. Dan sebagaimana pengalaman yang telah kita pelajari bersama, reformisme nyatanya hanya akan berujung kepada kegagalan dan kekalahan di bawah kaki oligarki yang berkuasa. Opsi yang tersisa hari ini hanya ada satu, yaitu terus bergerak maju untuk memperluas kuasa rakyat demi membangun tatanan masyarakat baru yang setara, sejahtera, merdeka dan dikuasai sepenuhnya oleh rakyat. Memang betul bahwasanya opsi tersebut terkesan sebagai pertaruhan yang mungkin justru membawa kita berhadapan dan berurusan dengan institusi negara. Namun, bukankah seluruh sejarah gerakan rakyat di dunia sejatinya adalah sebuah pertaruhan yang gigih dan penuh tekad? Opsi ini akan memerlukan strategi di dua level paralel: di ranah mobilisasi rakyat dan di ranah intervensi politik. Sebab, tidak ada lagi alasan untuk menunda inisiasi gerakan ini saat oligarki telah bersatu di atas sana. Sebab, Power tend to corrupt! And absolute power corrupts absolutely! (John Dalberg-Acton). Tidak ada pilihan lain selain menyatukan dan mengonsolidasikan gerakan rakyat tanpa terbagi-bagi lagi menjadi golongan tertentu. Dan sebab, hanya kita yang tersisa dan tangan kita yang bisa!



69



DAFTAR PUSTAKA PERATURAN HUKUM Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Rancangan Revisi Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber Rancangan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Rancangan Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan Rancangan Revisi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Rancangan Revisi Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara Rancangan Revisi Undang-Undang Pertanahan Rancangan Revisi Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian Rancangan Revisi Undang-Undang Sumber Daya Air Minnesota Statute 2018



70



BUKU Abidin, Zaenal. Panduan Bantuan Hukum Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009 Agung, Ide Anak Agung Gde. Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945–1965. Mouton & Co, Den Haag, 1973 AHRC. The Neglected Genocide : Genosida Yang Diabaikan. Asian Human Rights Commission, Hongkong, 2013 Anderson, Benedict. Mencari Demokrasi. Institut Studi Arus Informasi, Jakarta, 1999 Anderson O’G, Benedict R. Language Equinox Publishing, Jakarta, 2006



and



Power:



Exploring



Political



Cultures



in



Indonesia.



Axel, Bruns. Gatewatching, Not Gatekeeping: Collaborative News, Media International Australia, Brisbane, 2003 Bayo, Longgina Novadona, dkk. Rezim Lokal di Indonesia : Memaknai Ulang Demokrasi Kita, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2018 Bertens, Kees. Etika. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005 Bryant R, Bailey S. Third World Political Ecology. Routlegde, London (UK), 1997 Budiman, Arief. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis Tentang Peran Wanita Di Dalam Masyarakat, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 1985 Buyung Nasution, Adnan dan Patra, M. Zen. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2006 Canan, Penelope and Pring, George. SLAPPs : Getting Sued for Speaking Out, Temple University Press, Philadelpia, 1966 Carter. The Politics of Environment : Ideas, Activism and Policies. Cambridge University Press, Cambridge (GB), 2007 Diani M, Porta DD. Social Movement : An Introduction. Blackwell Publishing, Oxford (UK), 2006 Febari, Rizki. Politik Pemberantasan Korupsi, Strategi ICAC Hongkong dan KPK Indonesia. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015 Ford, Michele. Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. Cornell University, New York, 2014 Foulcher, Keith. Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia. Penerbit Komunitas Bambu, Depok, 2000 Haga, Nedelandsch Nieuw Guinea en de Papoesche Eilanden, W. Bruining & Co, Batavia, 1883 Haris, Syamsudin. Menimbang Demokrasi Dua Dekade Reformasi. Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2019 Haris, Syamsudin, Nuryantii, Nurhasim, dkk. Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi. Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta, 2018 Kartadjoemena, H.S. GATT dan WTO; Sistem, Forum, dan Lembaga lnternasional di Bidang Perdagangan, UI Press, Jakarta, 1996 Keck M, Sikkink K. Transnational Advocacy Network in International and Regional Politics. UNESCO, New York (US), 1999 Kementerian PPN/BAPPENAS. Laporan Hasil Tinjauan Peran Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia. Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta, 2016 Komnas Perempuan. Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018. Komnas Perempuan, Jakarta, 2019



71



L. Packer, Herbert, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford-University Press, California, 1968 Levy, D. Jonah. The State After Statism : New State Activities in the Age of Liberalization. Harvard University Press, Cambridge (US), 2006 Martono, Nanang. Sekolah Publik vs Sekolah Privat: dalam Wacana Kekuasaan, Demokrasi,dan Liberalisasi Pendidikan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2017 Numberi, Freddy. Quo Vadis Papua. PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2013 Packer, Herbert. The Limits of The Criminal Sanction. Illinois State University, Normal (UK), 1968 Perpustakaan Nasional RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sidang 11 Juni 1945 Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi : Elemen Sistem Integritas Nasional. Hasil Kerjasama Transparency International Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007 Raaflaub, Kurt A. Political Theory : Democracy, Oligarchy, and the Concept of the "Free Citizen". Sage Publications, New York, 1983 Ratner, Steven R. and Jason S. Abrams. Accountability for Human Rights Atrocities in International Law. Oxford University Press, Oxford (UK), 2001. Robertson, Geoffrey. Kejahatan terhadap Kemanusiaan Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002 Setyo Putro, Widhi. Konvensi Inter-Indonesia Tahun 1949: Wujud Konsensus Nasional antara Republik Indonesia dengan Bijeenkomst voor Federaal Overleg. Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 1. Arsip Nasional Republik Indonesia, 2018 Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations. Modern Library, New York, 1937 Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2019 Stoddard, L. Pasang Naik Kulit Berwarna. Terj. M. Mulyadi Djoyomartono, tp, Jakarta, tt Talbot, Mary, Atkinson Karen & Atkinson, David. Language and Power in the Power Modern World, University Alabama Press, 2003 Tapsell, Ross. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Marjin Kiri, Jakarta, 2013 Triwiyanto, Teguh. Gelombang Liberalisme Pendidikan. Penerbit Buku Kompas. 2018 Winters, Jeffrey A. Oligarchy. Cambridge University Press, UK, 2011



72



JURNAL, PUBLIKASI ILMIAH, HASIL KAJIAN, DLL. Adji, Indriyanto Seno, dkk. “Pengujian Oleh Publik (Public Review) Terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Indonesia Corruption Watch, Jakarta, September 2016 Alexander, Jeffry. “Memaknai Law Through State dalam Bingkai Rechstaat”. Hasanuddin Law Review Vol. 1, Makassar : Universitas Hasanuddin, 2015 Amnesty International Indonesia. “Pembunuhan dan Impunitas di Papua”. Laporan Studi Tim Riset Amnesty International Indonesia, 2018 Aris, Ismail. “Kritik Atas Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No. 40/PUU-XV/2017”. IAIN Bone, Bone, 2019 Aspinall, Edward. “Indonesia: The Dangers of Democratic Regression”, Advances in Social Science, Education and Humanities Research, Vol. 129, Atlantis Press, 2017, Attamimi, Hamid. “Peranan Keputusan Presiden Republik Pemerintahan Negara”. Universitas Indonesia, Jakarta, 1990



Indonesia



dalam



Penyelenggaraan



Bachriadi, Dianto. “Reforma Agraria dan Transisi Agraria”. Agrarian Resources Center Indonesia. Juli 2019 Badan Pusat Statistik. “Statistik 70 Tahun Indonesia Merdeka”. Badan Pusat Statistik, Jakarta, September 2015 Dema Justicia FH UGM. “Kajian Perlindungan dari SLAPP untuk Melindungi Partisipasi Publik”. Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, April 2019 Departemen Keuangan RI. “Advetorial Nota Keuangan dan RAPBN 2018”. Departemen Keuangan RI, 2018 Duaji, Susno. “Praktik-Praktik Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Denpasar, 2003 Flores, Imer B. “Law, Liberty and The Rule of Law (in a Constitutional Democracy)”, Georgetown Public Law and Legal Theory Research Paper No. 12-161, 2013 Galasso, Nicholas. “Working for the Few: Political Capture and Economic Inequality”, 18 Oxfam Briefing Paper, Oxfam International, Oxford (UK), 2014 Irianto, Sulistyowati. “Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan”. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2006 Ismail, Aris. “Kritik Atas Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No. 40/PUU-XV/2017”, IAIN Bone, Vol. 5 Ismail, Nurhasan. “Arah Politik Hukum Pertanahan dan Perlindungan Kepemilikan Tanah Masyarakat”., Jurnal Rechtsvinding Vol.1 No.1, Yogyakarta, April 2012 Jensen, Michael. “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure”. Journal of Financial Economics, Harvard University Press, October, 1976 Katz, Richard S, Mair, Peter, “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party”, Vol. 1, Issue 1, 1995 Kementerian PPN/BAPPENAS, “Laporan Hasil Tinjauan Peran Partai Politik dalam Demokrasi di Indonesia”, Kementerian PPN/BAPPENAS, Jakarta, 2016 Komnas HAM. “Kronik Seperempat Abad 1993-2018, Komnas HAM, Jakarta, 2019 Komnas Perempuan. “Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM, 1963-2009”. Laporan Dokumentasi Kekerasan dan Pelanggaran HAM Perempuan Papua, Komnas Perempuan, Jayapura, 2010 Komnas Perempuan. “Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan”. Komnas Perempuan, Jakarta, 2018



73



LBH Jakarta. “Kepolisian Dalam Bayang-Bayang Penyiksaan”. Catatan Kasus Penyiksaan 2013-2016, Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Juli 2017 Lucas, Anton. “Land Disputes in Indonesia : Some Current Perspectives”. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 2012 Maria, Mercy. “Divestasi Sebuah Langkah Progresif dalam Kontrak Karya di Indonesia”. Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 5 No. 1, 2015 Martam, Nurmin K. “Urgensi Keberadaan Komisi Pengawasan Kepolisian Ditinjau Dari Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Legalitas Vol. 2, No. 3, 2009 Nurhayati, Nunik. “Quo Vadis Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Melalui Jalur Non Yudisial”. Jurnal Jurisprudence Vol.6, September 2016 PWG. “Sa Ada Disini : Suara Perempuan Papua Menghadapi Kekerasan yang Tak Kunjung Usai”. Papua Women’s Working Group, 2017 Raynaldo, Sembiring. “Menyoal Pengaturan Anti Eco-SLAPP Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009”. Jurnal Hukum Lingkungan Vol.3, Issue 3, 2017 Ruru, Kardian. “Alat Bukti Yang Sah dalam Pemeriksaan Perkara Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga di Pengadilan”, Lex Crimen Vol. IV, Manado, 2015 Setiawan, Arif dan Syarif Nurhidayat. “Keberadaan Penyelidik dan Penyidik Independen di Komisi Pemberantasan Korupsi”. Tulisan untuk Public Review Revisi UU KPK, Jakarta, Mei 2016 Simamora, Anggiat P. “Liberalisasi Pendidikan dalam Kerangka GATS”. USU Law Journal, Vol. II, No.1, 2014 Simpson, Brad, “Indonesia's 1969 Takeover of West Papua Not by "Free Choice”. Document Release Marks The National Security Archive, Washington D.C, 2004 Tacconi, Luca. “Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan”. CIFOR Occasional Paper No. 38(i), Jakarta, Februari 2003 Terence J, Byres. “Introduction : Contextualizing and Interrogating the GKI Case for Redistributive Land Reform”. Journal of Agrarian Change, 2004 TuK Indonesia. Kuasa Taipan Kelapa Sawit Indonesia. Transformasi untuk Keadilan Indonesia, Jakarta, 2013 Utrecht, Ernst. “Land Reform in Indonesia”. Journal of Contemporary Asia, Jakarta, 1969 WALHI. “Refleksi 2018 dan Harapan 2019 Menuju Keadilan Ekologis di Provinsi Riau”. Catatan Akhir Wahana Lingkungan Hidup 2018, Pekanbaru, Januari 2019 Wendling, Zachary A. “Environmental Performance Index”, Yale Center for Environmental Law and Policy, 2018 World Bank Group. “Economy Profile of Indonesia : Doing Business 2020 Indicators”. World Bank, 2019 Yuntho, Emerson. “Pengaturan Tentang Penyadapan dalam Revisi UU KPK”. Policy Brief Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2016 Ziguras, Christopher. “International Trade in Education Services: Governing the Liberalization and Regulation of Private Enterprise”, Counterpoints, Vol. 280, Peter Lang AG, 2005



74



INTERNET DAN ARTIKEL Balairungpress.com. “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan”. 5 November 2018. http://www.balairungpress.com/2018/11/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosaan/ CNBCIndonesia.com. “Kontroversi Revisi UU KPK”. 17 Oktober 2019. “https://www.cnbcindonesia.com/news/20191017144219-8-107832/kontroversi-revisi-uu-kpk” CNNIndonesia.com. “DPR-Pemerintah Sepakati Poin-Poin Revisi UU Pemasyarakatan”. 17 September 2019. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190917222443-20-431399/dpr-pemerintah-sepakatipoin-poin-revisi-uu-pemasyarakatan Detik.com. “Polemik RUU PKS dan Perlunya Nalar Kritis”. 6 Februari 2019. https://news.detik.com/kolom/d-4415917/polemik-ruu-pks-dan-perlunya-nalar-kritis Detik.com. “Analisis Drone Emprit : Pembuat #TurunkanJokowi Bukan dari Kelompok Mahasiswa”. 24 September 2019. https://news.detik.com/berita/d-4719639/analis-drone-empritpembuat-turunkan-jokowi-bukan-dari-kelompok-mahasiswa Historia.id. “Pepera : Bersama Indonesia atau Mati”. 4 Agustus 2018. https://historia.id/politik/articles/pepera-bersama-indonesia-atau-mati-vXj7Y Indoprogress.com. “Ekonomi Politik Monopoli Penguasaan Tanah”. 10 Agustus 2018. https://indoprogress.com/2018/08/ekonomi-politik-monopoli-penguasaan-tanah-kelas-kelas-petanidan-reforma-agraria-bagian-1/ Kompas.com. “Standar Ganda Jokowi Sikapi RKUHP dan RUU KPK”. 21 September 2019. https://nasional.kompas.com/read/2019/09/21/09082281/standar-ganda-jokowisikapi-rkuhp-dan-ruu-kpk Kompas.com. “Komposisi Kabinet Jokowi Jilid 2 Dinilai sebagai Wujud Pengaruh Oligarki Politik dan Ekonomi”. 25 September 2019. https://nasional.kompas.com/read/2019/10/25/18501951/ komposisi-kabinet-jokowi-jilid-2-dinilai-sebagai-wujud-pengaruh-oligarki Kumparan.com. “Karhutla Bisa Hambat Kemajuan Indonesia dalam Mengurangi Deforestasi”. 11 Oktober 2019. https://kumparan.com/wri-indonesia/karhutla-bisa-hambat-kemajuan-indonesiadalam-mengurangi-deforestasi-1s2Cp4C74Ap Mojok.co. “2 Misteri Kemaitan Maulana Suryadi Korban Tewas Demo Jakarta 25 September”. 4 Oktober 2019. https://mojok.co/prm/ulasan/pojokan/2-misteri-kematian-maulana-suryadi-korbantewas-demo-jakarta-25-september/ Tempo.co. “90 Persen Lahan Sengaja Dibakar”. 21 September 2019. https://majalah.tempo.co/read/158421/90-persen-lahan-sengaja-dibakar Tempo.co. “Pengesahan RKUHP dan 4 RUU Lainnya Dilanjutkan DPR Periode Baru”. 30 September 2019. https://nasional.tempo.co/read/1253979/pengesahan-rkuhp-dan-4-ruu-lainnya-dilanjutkan-dpr -periode-baru Tirto.id. “Revisi UU Pemasyarakatan Rampung, Napi Koruptor Mudah Bebas”. 18 September 2019. https://tirto.id/revisi-uu-pemasyarakatan-rampung-napi-koruptor-mudah-bebas-eihw Tirto.id. “Isi RUU KUHP dan Pasal Kontroversial Penyebab Demo Mahasiswa Meluas”. 25 September 2019, https://tirto.id/isi-ruu-kuhp-dan-pasal-kontroversial-penyebab-demo-mahasiswa-meluas-eiFu Tirto.id. “Ada 390 Aduan Kekerasan oleh Aparat dalam Aksi Reformasi Dikorupsi”. 4 Oktober 2019. https://tirto.id/ada-390-aduan-kekerasan-oleh-aparat-dalam-aksi-reformasi-dikorupsi-ejeu



75