Manusia Sebagai Makhluk Biologis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BIOLOGIS DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Dadan Rusmana [email protected] Kaum materialis menganggap kehidupan sebagai produk evolusi-alamiah-material yang sepenuhnya materialistik. Di pihak lain, banyak agamawan yang cenderung berpandangan bahwa penciptaan terjadi secara seketika dan sekali jadi. Sementara al-Qur’an memandang penciptaan sebagai sauatu proses yang terus menerus dan bahwa Allah tidak pernah berhenti mencipta (Murtadha Muthahari) A. Penelusuran Linguistik Al-Qur’an menggunakan tiga kata utama yang menunjuk pada konsep manusia, yakni 1) menggunakan kata basyar; 2) menggunakan kata yang berakar pada huruf alif, nun, dan sin, yakni insân, nâs, dan unas; dan 3) menggunakan frase/kolokasi (idhâfah) banî Âdam dan dzurriyyât Âdam. Dari semua kata yang ada tersebut, kata insân dan basyar menempati posisi dominan dalam al-Qur’an. Oleh karena itu, penjelasan mengenai tema ”manusia sebagai makhluk biologis” di atas akan banyak mengaitkannya dengan kedua kata kunci (key-terms) tersebut, yakni kata insân dan basyar. Secara umum, berdasarkan hasil penelitian Aisyah Bintu Syati, pengunaan kata nâs, ins, insân, dan basyar dalam al-Qur’an mempunyai makna spesifik tertentu, sekalipun semuanya sama-sama mengacu pada objek yang sama, yaitu manusia. Menurutnya, kata yang dipergunakan oleh al-Qur’an untuk menunjuk pada manusia sebagai makhluk biologi adalah basyar. 1. Al-Nâs, al-Ins, dan al-Insân Kata al-nâs yang disebut dalam al-Qur’an pada 24 tempat, dengan tegas menunjukkan nama jenis makhluk hidup bagi keturunan Adam atau menunjuk pada keseluruhan makhluk hidup secara mutlak. Sedangkan kata ins dan insân, sebagai dua kata yang musytarak (mempunyai sisi kesamaan), memiliki makna ”jinak” yang berantonim dengan makna ”liar”. Kata al-ins selalu disebut bersamaan dengan kata jin (sebagai antonimnya). Beberapa ayat menggunakan kata al-ins, seperti dalam QS al-An’âm ayat 112, 127, dan 130, dipergunakan untuk menunjukkan arti ”tidak liar” atau ”tidak biadab”, dalam artian tidak bersifat metafisik (bebas, karena tidak mengenal ruang dan waktu), melainkan manusia sebagai al-ins terkerangkakan oleh ruang dan waktu. Sedangkan kata al-insân, pada satu sisi memiliki makna yang sama dengan al-ins yakni untuk menunjuk manusia sebagai makhluk yang ”tidak liar”, yakni terbatasi oleh ruang dan waktu. Secara spesifik makna al-insân, menurut Aisyah Bint Syathi, merujuk pada tingginya derajat manusia yang membuatnya layak menjadi khalifah di atas bumi dan mampu memikul akibat-akibat taklif (tugas keagamaan), serta memikul amanat. Hal ini dapat dilakukan manusia karena manusia memiliki keistimewaan ilmu, pandai berbicara, mempunyai qalb, dan kemampuannya untuk berfikir. Kemampuan inilah yang menempatkannya lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk Allah lainnya.



2



2. Basyar Kata basyar, sebagaimana disebutkan dalam Mu'jam Maqāyīsu al-Lughah terdiri dari huruf ba, syiin dan ra' yang menunjukan makna dasar ”penampakan yang berisi kebaikan dan keindahan.” Dalam Mu'jam al-Wasit kata basyara-busyran (fariha; gembira), basyira (bi al- khabar; kabar gembira). Basyura-basyāratu (hasuna wa jamula; kebaikan dan keindahan). Dari akar kata yang sama lahirlah kata basyarah yaitu kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas dan berbeda dengan kulit makhluk hidup lainnya (terutama tumbuhan dan binatang). Abdullah Abbas Nadwi mengemukakan dalam kamus Vocabulary of the Holy Qur'an) kata basyar jika digabungkan dengan dhamîr seperti basyarū (they gave good tidings; mereka memberi kabar gembira), yang aslinya basyara-tabsyīran (to give good news; untuk memberikan kabar baik/gembira), basyartum, basyaruna, yubasyaru, tubasyaru, tubasyirūna, nubasyiru (you give, we gave , he gives, you give dan we give good tidings; kamu, kita, dia laki-laki, kamu dan kita memberi kabar gembira). Dari kata-kata tersebut lahit juga kata basyarun (human being; manusia). Busyrun-busyran (bearing good news; membawa kabar baik/gembira).1 Menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamus Al-Munawwir, Kamus ArabIndonesia memberi padanan kata basyar dengan ”manusia, kabar gembira, menguliti.” Kata-kata basyar mempunyai makna makna dan bentuk yang berbeda-beda. Basyarabusyran (mengupas, menguliti, memotong tipis sampai kelihatan kulitnya), basyāral amra (mengurus, mengendalikan), basyāral mar'ata (mengauli), istabsyara (optimis), istabsyara bih (merasa senang, bersuka hati dengan), al-Bisyru (kegembiraan, kesenangan), al-Basyaru (manusia), Abul basyari (Nabi Adam a.s), al-basyariyu (bersifat manusia), al-Basyariyatu (kemanusiaan), at-Tabāsyīru- al-busyra (kabar gembira).2 Pendapat John Penrice, B. A. kata basyara (to peel of the bark; menguliti kulit kayu), busyurun wa busyrun (a bringer of good tidings; membawa kabar gembira/baik), basyarun (a man, men, human being, masculine and feminime, sing and plur; laki-laki, manusia, laki-laki dan perempuan, mufrad dan jamak), busyra (good news; kabar baik/gembira), basyīrun (bearer of good tidings; memberi kabar gembira), mubasysyirun (one who announces joy full new; seseorang yang mengumummkan atau memberitakan), bāsyirun (to goin unto- a wife; menggauli istri), absyara (to receive pleasure from good new- with ‫ ب‬of thing; menerima kesenangan dari berita/kabar gembira), istabsyara (to rejoice, especially in good new- with ‫ ; ب‬menggembirakan, sepesial dalam kabar yang baik).3 Kata basyar bisa diartikan manusia atau penciptaan manusia baik itu satu orang atau banyak. Pendapat Ibnu Saidah basyar adalah manusia satu dan banyak, laki-laki dan perempuan sama saja. Namun jika menunjukan pada dua orang basyaraini (dalam Al-Quran), maka jamaknya adalah absyāru. Basyaratu sesuatu yang diatas kulit kepala, wajah, dan jasad dari manusia, yaitu yang diatasnya rambut, dikatakan basyaratu itu adalah daging (kulit). Pendapat Ibnu Bazarji al-basyaru jamaknya basyarah jadi



1Abdullah Abbas Nadwi, Vocabulary of the Holy Qur'an. IQRA International Education Foundation, Jeddah 1983. 2 Ahmad Wrson Munawwir, al-Munawwir(Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, 1984. hal: 92-93. 3 John Penrice, B.A., Dictionary and Glossary of the Koran (‫) ا ن   اان‬, Curzon Press, London and Dublin, 1873.



3



maknanya sudah jelas yaitu kulit. Manusia diidentikan dengan kulit dan disebut basyar karena kulit manusia berbeda dengan kulit binatang lainnya.4 Dalam al-Qur’an, penggunaan kata basyar sendiri dan derivasinya dapat dipetakan sebagai berikut: a) Kata basyar dalam bentuk mufrad disebutkan 36 kali, baik dalam bentuk harakat nashab, rafa’, dan majrur. Kata tersebut terdapat dalam surah: kata basyar bentuk mufrad dalam harakat nashab; Hud: 27, Yusuf: 31, al-Hijr: 28, al-Isra’: 93 dan 94, Maryam: 17, al-Mu’minun: 34, al-Furqan: 54, Sad: 71, dan Al-Qamar: 24. Sedangkan kata basyar yang berbentuk mufrad dalam tataran harakat marfu' terdapat dalam surah: Ali 'Imran: 47, al-Ma'idah: 18, Ibrahim: 10-11, an-Nahl: 103, al-Kahfi: 110, Maryam: 20, al-Anbiya': 3, al-Mu'minun: 24 dan 33, asySyuura': 154 dan 186, ar-Rum: 20, Yasiin: 15, Fussilat: 5, dan at-Thalaq:6. Dan yang berharakat majrur dalam bentuk mufrad terdapat dalam surah: Ali 'Imran: 79, al-An'am: 91, al-Hijr: 33, Maryam: 26, al-Anbiya': 34, asy-Syuura': 51, dan alMuddassir: 25, 29, 31, dan 36. b) Sementara itu, kata basyar dalam bentuk mutsana (‫ )ﺑﺸـﺮﻳﻦ‬dalam al-Quran hanya disebutkan satu kali yaitu terdapat dalam surah al-Mu'minun: 47. c) Kata basyar dalam bentuk jamak mudzakar salim (rafa, nasab dan jar) dan jamak muanas salim, di antaranya: a) Kata basyar dalam bentuk jamak yang menunjukkan jamak mudzakar salim bentuk nasab dan jar (‫ )ﻣﺒﺸﺮﻳﻦ‬dengan ciri ‫ي‬ dan ‫ ن‬terdapat dalam surah Al-Baqarah: 213, An-Nisaa: 165, dan Al-Kahfi: 56. b) Kata basyar dalam bentuk jamak yang menunjukkan jamak mudzakar salim bentuk rafa' (‫ )ﻳﺸﺘﺒﺸـﺮﻭﻥ‬dengan ciri ‫ و‬dan ‫ ن‬terdapat dalam surah Al-Imran: 170171, at-Taubah: 124, Al-Hijr: 54, Ar-Rum: 48, Az-Zumar: 45. c) Kata basyar dalam bentuk jamak yang menunjukkan jamak muanas salim bentuk (‫)ﻣﺒﺸـﺮﺍﺕ‬ dengan ciri alif (‫ )ا‬dan ta' (‫ )ت‬terdapat dalam surah Ar-Rum: 46. d) Kata basyar dalam bentuk jamak yang di-idhafat-kan dengan kata ganti orang ke-tiga (‫ ﻓﺒﺸﺮﻫﻢ‬,‫ )ﻳﺒﺸﺮﻫﻢ‬terdapat dalam surah At-Taubah ayat 21 berbentuk ‫ﻳﺒﺸـﺮﻫﻢ‬ Ali-Imrân: 21, al-Taubah: 34, al-Insyiqaaq: ayat 24 berbentuk ‫ﻓﺒﺸﺮﻫﻢ‬ Kata basyar yang paling dominan dipakai dalam al-Quran adalah bentuk albasyaru yang merujuk pada makhluk hidup yang dinamai ”manusia” dan terkadang dimaknasi sebagai orang dewasa. Pemaknaan ini sangat tergantung pada konteks kalimat dan budaya dari penggunaan kata tersebut, baik secara sintagmatik maupun paradigmatik. Kata basyar dalam bentuk al-busyra/basyir (kabar gembira) kata ini juga tergantung redaksi dan makna yang dikandung oleh ayat. Misalnya, adakalanya referent yang dituju oleh kata basyir adalah Muhammad, al-Quran, atau putra Ya'qub.5 Menurut Aisyah Bint Syathi, kata basyar dalam al-Qur’an mengacu pada makna ”anak keturunan Adam, makhluk fisik yang suka makan dan berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan. Dari 35 ayat al-Qur’an yang menggunakan basyar, 25 di antaranya adalah menyangkut sisi kemanusiaan pada rasul dan nabi dengan dilengkapi teks yang menunjukkan kata perumpamaan ka (seperti). Kata bansyar yang menunjukkan kesamaan sisi kemanusiaan rasul dengan kesamaan kemanusiaan orang kafir disebut 4 Al-Imāmu 'alāmatu Jamālu ad-Dīn Abi al-Fadli M.M. Lisanul Arabi(‫) ن اب‬, jilid 4. Daarul Kitab Al-'Alamiyah. Mesir. 5Siti Chamamah Suratno, Ensiklopedi Al-Quran (Dunia Islam Modern), PT. Dana Bhakyi Primayasa. Yogyakarta, 2002-2003. Jilid A-B-C.



4



dalam al-Qur’an di 13 tempat, baik melalui kutipan langsung maupun melalui pernyataan orang-orang kafir yang mendustakan kenabian dan kerasulan, bahwa para nabi dan rasul, secara fisik, mempunyai kesamaan fisikal dan biologis sebagaimana manusia lainnya. “uθôf¨Ζ9$# (#ρ•Ž|€r&uρ 3 öΝßγç/θè=è% ZπuŠÏδŸω ∩⊄∪ tβθç7yèù=tƒ öΝèδuρ çνθãèyϑtGó™$# āωÎ) B^y‰øt’Χ ΝÎγÎn/§‘ ÏiΒ 9ò2ÏŒ ÏiΒ ΝÎγŠÏ?ù'tƒ $tΒ ãΝn=÷ètƒ ’În1u‘ tΑ$s%



∩⊂∪ šχρçŽÅÇö7è? óΟçFΡr&uρ tósÅb¡9$# šχθè?ù'tFsùr& ( öΝà6è=÷VÏiΒ Öt±o0 āωÎ) !#x‹≈yδ ö≅yδ (#θçΗs>sß tÏ%©!$#



֍Ïã$x© uθèδ ö≅t/ çµ1uŽtIøù$# È≅t/ ¥Ο≈n=ômr& ß]≈tóôÊr& (#þθä9$s% ö≅t/ ∩⊆∪ ÞΟŠÎ=yèø9$# ßì‹Ïϑ¡¡9$# uθèδuρ ( ÇÚö‘F{$#uρ Ï!$yϑ¡¡9$# ’Îû tΑöθs)ø9$# ∩∉∪ šχθãΖÏΒ÷σムöΝßγsùr& ( !$yγ≈oΨõ3n=÷δr& >πtƒös% ÏiΒ Νßγn=ö6s% ôMuΖtΒ#u !$tΒ $tΒuρ



∩∈∪ tβθä9¨ρF{$# Ÿ≅Å™ö‘é& !$yϑŸ2 7πtƒ$t↔Î/ $uΖÏ?ù'uŠù=sù



∩∠∪ šχθßϑn=÷ès? Ÿω óΟçFΖä. βÎ) ̍ò2Ïe%!$# Ÿ≅÷δr& (#þθè=t↔ó¡sù ( öΝÍκöŽs9Î) ûÇrθœΡ Zω%y`Í‘ āωÎ) šn=ö6s% $uΖù=y™ö‘r& !$tΒuρ ∩∇∪ tÏ$Î#≈yz (#θçΡ%x. $tΒuρ tΠ$yè©Ü9$# tβθè=à2ù'tƒ āω #Y‰|¡y_ öΝßγ≈oΨù=yèy_



(2). tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (3). (lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu, Padahal kamu menyaksikannya?" (4) berkatalah Muhammad (kepada mereka): "Tuhanku mengetahui semua Perkataan di langit dan di bumi dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (5). bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (6) tidak ada (penduduk) suatu negeripun yang beriman yang Kami telah membinasakannya sebeIum mereka; Maka Apakah mereka akan beriman? (7). Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (8). dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal (QS al-Anbiyâ [21]:2-8)



B. Penciptaan dan Proses Reproduksi Manusia Jika kata insân disepakati mengacu pada konsep manusia, maka dapat dikatakan bahwa al-Qur’an telah sejak awal menyinggung persoalan manusia, yakni melalui surat al-’alaq ayat 1 sampai ayat 5. Ayat-ayat ini merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw, melalui rûh al-amîn (sering diidentikkan dengan malak/malâikah Jibril). Kita dapat mencermati kemultidimensian dari korpus wahyu pertama sebagaimana di bawah ini zΟ‾=tæ “Ï%©!$#



∩⊂∪ ãΠtø.F{$# y7š/u‘uρ ù&tø%$#



∩⊄∪ @,n=tã ôÏΒ z≈|¡ΣM}$# t,n=y{



∩⊇∪ t,n=y{ “Ï%©!$# y7În/u‘ ÉΟó™$$Î/ ù&tø%$#



∩∈∪ ÷Λs>÷ètƒ óΟs9 $tΒ z≈|¡ΣM}$# zΟ‾=tæ ∩⊆∪ ÉΟn=s)ø9$$Î/ 1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; 2). Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq; 3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; 4). yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam; 5) Dia mengajar kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.



Wahyu pertama di atas menyebut kata insân sebanyak dua kali, namun keduaduanya tidak secara langsung berbicara mengenai konsep manusia secara utuh, sebagaimana buku sains, namun tidak juga harus ditempatkan sebagai konsep yang parsial. Tetapi hal itu disajikan dalam konteks realasional-komprehensif-universal,



5



sesuai dengan karakteristik keuniversalan al-Qur’an itu sendiri. Sekalipun dalam ayatayat ini dgunakan kata insân, namun secara sintagmatik karena dikaitkan dengan kata ’alaq, maka ayat-ayat ini dapat diposisikan sebagai rujukan dari konsep manusia sebagai makhluk biologis. Ayat kedua, khusunya, bertujuan untuk mengingatkan manusia akan asal-usul manusia itu sendiri; secara fisik, semua manusia itu sama, yakni berasal dari ’alaq yang kemudian melalui proses biologis dengan tahapantahapan tertentu sampailah manusia sebagaimana makhluk hidup di dunia ini. Pertama, kata insân yang terdapat pada penggalan pertama (ayat 1 dan 2), terutama ayat kedua dihubungkan dengan kata ’alaq. Kata ’alaq di sini dapat dimaknai sebagai 1) bahan dasar (asal usul) manusia atau 2) pula dapat dimaknai sebagai karakteristik (sifat) manusia, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian tulisan selanjutnya. Namun, keduanya dapat dihubungkan dengan konsep manusia sebagai makhluk biologis. Namun, pembacaan terhadap kata insân ini tidak dapat hanya dipenggal untuk keperluan itu, karena penggunaannya dikaitkan pula dengan konteks yang lebih luas, yakni 1) perintah membaca atas nama atau demi nama Tuhan 2) Salah satu sifat Allah adalah yang menciptakan (khalaq) insân dari ’alaq. Secara simplistis, kata insân di sini dapat didudukkan sebagai objek kedua dari keharusan Nabi Muhammad saw. (dan manusia secara keseluruhan) untuk melakukan qirâah atau istiqrâ (dalam konsep yang sebenarnya), setelah memikirkan objek pertama yakni rabb. Namun, keterbatasan kemampuan manusia untuk memikirkan objek pertama secara langsung, maka memikirkan objek kedua (sebagai sesuatu yang konkret), yakni asal-usul atau sifat manusia, dapat mengantarkan atau berujung pada pengenalan terhadap rabb. Kedua, pada penggalan bagian kedua (yakni ayat ke-3 hingga ke-5), kata insân dihubungkan dengan keharusan manusia untuk meneruskan kewajibannya untuk membaca. Membaca di sini dihubungkan dengan konteks ke-Maha-Pemurah-an Tuhan, yakni karena telah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahui manusia melalui kalam (berarti ada proses yang harus dilalui dalam pembelajaran). Penggalan ayat-ayat ini secara jelas menyebutkan proses ta’lim (pembelajaran), sumber pembelajaran atau pengetahuan (Allah), subjek-objek pembelajaran (manusia), media pembelajaran (kalam), dan lain-lain. Jika hal-hal ini disepakati, maka bagian kedua ini pun tetap dapat dikaitkan dengan tema yang sedang kita bahas. Ayat 2 surat al-’Alaq menyebutkan bahwa insân (manusia) diciptakan (khalaqa) oleh Allah dari ’alaq. Ayat ini menegaskan bahwa insân (manusia) ”ada” karena diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam paparan di bawah ini akan diuraikan mengenai kedua kata tersebut. 1. Makna Khalaqa Kata yang digunakan untuk menunjukkan aktivitas menciptakan di sini adalah khalaqa. Dalam al-Qur’an, kata ini dipergunakan sebagai salah satu kata yang bermakna ”penciptaan”. Karena selain kata khalaqa, terdapat beberapa kata lain yang bersinonim dan bermakna ”penciptaan”, yakni ja’ala, shana’a, bada’a, fathara, ’amar, dan nasy’. Tiap kata tersebut bersinonim secara relatif, tidak tergantikan oleh yang lainnya, serta mempunyai konteks makna tersendiri. Tulisan ini tidak berpretensi untuk memperdalam semua kata tersebut, namun akan difokuskan untuk mendeskripsikan penggunaan kata khalaqa saja.



6



Dalam al-Qur’an, kata khalq dengan berbagai perubahan bentuk (tashrif) nya digunakan sebanyak 261 kali yang tersebar dalam 75 surat.6 Beberapa bentukan dari kata khalq tersebut adalah ikhtilâq7, khalâq8, khuluq9, dan mukhallaqat; dan semuanya terkait dengan makna penciptaan dan kreasi. Dari keempat bentukan kata khalq di atas, bentuk mukhallaqat (ism) merupakan bentuk yang terkait dengan penciptaan insân (manusia). Kata mukhallaqat ini misalnya tertuang dalam surat al-Hajj (22) ayat 5. dalam surat ini, kata mukhallaqat di sebut dua kali dan bermakna ciptaan yang sempurna. Ibn Abbas memaknai mukhallaqat sebagai khalq tamâm (ciptaan yang sempurna)10; al-Zamakhsyari melengkapiya dengan menambahkan bahwa mukhallaqat bermaknia ”ciptaan yang sempurna dan terhindar dari kekurangan dan cacat”. Lebih lanjut, al-Zamakhsyari menyebutkan bahwa Allah menciptakan janin dalam rahim perempuan dengan berproses (berkembang atau menyurut), di antaranya ada yang sempurna ciptaannya dan terbebas dari cacat, sementara yang lainnya ada yang tidak sempurna ciptaaanya.11 Khalq dalam bentuk mukhallaqat mempunyai makna dasar yaitu al-taqdîr alMustaqîm12 (ukuran atau ketentuan yang tetap, tepat, dan proporsional). Hal ini berarti penciptaan dengan menggunakan kata khalaqa menurut asalnya mengharuskan adanya substansi sebagai bahannya, termasuk dalam penciptaan manusia. Dengan menelisik objek pemakaian kata ini secara cermat, maka dapat dikatakan bahwa 1) Apabila objeknya adalah alam semesta, maka al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang penciptaannya apakah ia diciptakan dari tiada atau dari materi yang sudah ada; (lihat misalnya QS al-An’am [6]:73, al-A’râf [7]:73 dan 54). 2) Apabila objeknya adalah penciptaan manusia, jin, dan hewan (atau selain alam semesta), maka kata khalaqa bermakna penciptaan sesuatu dari materi yang sudah ada (îjâd al-syai’ min al-syai’). Misalnya, a) penciptaan manusia berasal dari thin (misalnya QS al-Mukminûn [23] ayat 12), nuthfah (misalnya QS al-Nahl [16] ayat 4), atau shalshal (misalnya QS al-Rahmân [55] ayat 14; b) penciptaan jin/iblis berasal dari nâr (misalnya QS al-Rahmân [55] ayat 15 dan QS Shâd [38] ayat 76) atau nâr al-samûm (misalnya QS al-Hijr [15] ayat 27); c) penciptaan jenis hewan dari mâ (air) (misalnya dalam QS al-Nûr [24] ayat 45. 6



Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, halaman 241-244 7 Ikhtilâq (Mashdar bab sulâsiy mazid dua huruf), seperti terdapat dalam surat Shad (38) ayat 7. Ibn Manzhur7 dan al-Razy memaknai kata ikhtilâq di sini dengan takharrus atau kidzb (dusta). 8 Khalâq (al-sifat al-musyabahat), seperti terdapat dalam surat al-Baqarah (2) ayat 102 dan 200. Menurut Ibn Manzhur kata khalâq bermakna al-hazhzh wa al-nashib min al-khair wa al-shalâh atau keuntungan. 9 Khuluq (ism), seperti terdapat dalam al-syu’arâ (26) ayat 137 dan al-Qalam (68):4. Kata khuluq di sini merupakan bentuk mufrad (tunggal) dari akhlâq yang bermakna al-sajjiyyat (akhlak atau budi pekerti). Kedua ayat di atas bermakna pujian kepada Nabi Muhammad saw. yang memiliki akhlak yang mulia. Masing-masing juga muncul sebagai penolakan terhadap penegasian orang-orang kepada akhlak Nabi yang disebut oleh mereka sebagai gila (majnûn, asâthir al-awwalin, atau kâhin). 10Abiy Thâhir ibn Ya’kub al-Fairûzâbâdiy, Tanwir al-Miqbâs min Tafsîr ibn Abbas, Dâr al-Fikr, Beirut, t.t., halaman 277 11Abiy al-Qâsim Jâr Allah Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyari al-Khawarizmiy, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq al-Tanzil wa ‘Uyûn Aqâwil fiy Wujûh al-Ta’wîl, 12Al-Raghib al-Ashfahâniy, Mu’jam al-Mufradât li Alfâdz al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1972, halaman 158. Lihat juga Al-Raghib al-Ashfahâniy, Al-Mufradât fiy al-Gharîb al-Qur’ân, Dâr al-Ma’ârif, Beirut, t.t., halaman 157.



7



Kata khalq juga dipergunakan untuk penciptaan yang menunjukkan aksesntuasi pada kemahakuasaan dan kehebatan ciptaan Allah. Dengan kesempurnaan kudrat dan iradat-Nya, Allah menciptakan apa saja yang sudah diundangkannya sesuai dengan proporsi atau ukuran yang sudah ditetapkan-Nya, walaupun proses dan sebabsebabnya tidak atau belum terjangkau oleh nalar manusiawi. Dapat saja penciptaan tersebut dianggap tidak lazim oleh manusia seperti dalam kasus kelahiran Nabi Isa a.s. sebagaimana terdapat dalam QS Ali Imrân (3) ayat 47. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata khalaqa untuk mengekspresikan kelahiran Nabi isa yang lahir dari seorang ibu tanpa ayah, yang prosesnya menyimpang atau berbeda dari proses kebiasaan yang lazim di kalangan manusia. Sementara dalam QS Ali Imrân (3) ayat 40, al-Qur’an menggunakan kata ja’ala untuk mengekspresikan kelahiran Yahya a.s. dari sepasang suami istri, yang proses kelahirannya sebagaimana lazimnya proses kelahiran manusia biasa. Atas dasar inilah, dalam al-Qur’an, Allah diberikan sifat atau nama dengan alKhâliq atau al-Khallâq; kedua nama ini hanya diatributkan kepada Allah dan tidak diberikan pada makhluk. Kata al-Khâliq (ism al-fâil) terdapat dalam tujuh tempat (misalnya QS al-An’âm [6] ayat 102 dan QS al-Ra’d [13] ayat 16), sementara al-Khallâq (al-mubâlaghat) hanya muncul dalam dua tempat (al-Hijr [15] ayat 86 dan Yâsîn [36] ayat 81). Al-Khâliq dipergunakan untuk ”mempertegas tentang kemahapenciptaan Allah, sedangkan al-Khallâq dipergunakan untuk penekanan, penegasan, dan pengadaan sifat dari objek yang sejati. Sekalipun demikian, terdapat eksseptional penggunaaan khalaqa ini, yakni ditemukan redaksi yang sama antara kata khalaqa dan ja’ala, seperti khalaqa minhâ zaujahâ (dalam QS al-Nisâ [4] ayat 1 dan ja’ala minhâ zaujahâ (dalam QS al-A’râf [7] ayat 189 dan al-Zumar [39] ayat 6). Penggunaan kedua kata (khalaqa dan ja’ala) di sini merujuk pada pemaknaan yang sama13, yakni dimaksudkan menggambarkan kemahakuasaan dan kehebatan Allah dalam penciptaan pasangan Adam (atau dikenal dengan nama Hawa). Dalam hal ini, penciptaan Hawa begitu unik, tidak sebagaimana dikenal manusia. Penciptaan Hawa berasal dari materi yang sudah ada sebelumnya seperti diisyaratkan nafs wâhidat (nafs wâhidat dapat dimaknai dari materi yang satu atau materi yang sama. Pada sisi yang lain, penggunaan kata khalaqa juga menunjukkan bahwa penciptaan yang mempergunakan kata khalaqa adalah penciptaan yang bersifat gradual (tadrij). Pandangan ini dapat diamati terutama pada proses penciptaan alam yang mempunyai tahapan atau periodesasi dan setiap tahapan tersebut menuju ke arah kesempurnaan, yang akhirnya terjadilah alam semesta. Demikian juga dengan penciptaan manusia yang berasal dari pencampuran atau penghimpunan antara spermatozoa laki-laki dan ovum perempuan kemudian berkembang menjadi embrio, janin, dan terjadinya manusia. 2. Proses Penciptaan Manusia a. Pola Narasi al-Qur’an tentang Penciptaan Manusia Al-Qur’an menguraikan penciptaan manusia dengan dua pola. Pertama, ketika membicarakan penciptaan manusia pertama, al-Qur’an menggunakan pengganti nama (dhamîr) tunggal (mufrad), yang merujuk pada sang Pencipta (khâlik). Misalnya 13



Al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf…, halaman 4.



8



∩∠⊇∪ &ÏÛ ÏiΒ #ZŽ|³o0 , 7 Î=≈yz ’ÎoΤÎ) Ïπs3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 y7•/u‘ tΑ$s% øŒÎ) (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah" (QS Shâd (38) ayat 71)



∩∠∈∪ t,Î!$yèø9$# zÏΒ |MΖä. ÷Πr& |N÷Žy9õ3tGó™r& ( £“y‰u‹Î/ àMø)n=yz $yϑÏ9 y‰àfó¡n@ βr& y7yèuΖtΒ $tΒ ß§ŠÎ=ö/Î*‾≈tƒ tΑ$s% Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" (QS Shâd (38) ayat 75).



Sedangkan ketika membicarakan tentang penciptaan atau reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta (Allah) ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak (plural). Misalnya ∩⊆∪ 5ΟƒÈθø)s? Ç|¡ômr& þ’Îû z≈|¡ΣM}$# $uΖø)n=y{ ô‰s)s9



Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (al-Thîn (95) ayat 4).



Hal ini meunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Allah bersama selain-Nya, terutama ibu dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut gen, fisik, dan psikis anak. Sedangkan dalam penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan lain termasuk ibu dan bapak. b. Bahan dasar Manusia Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa secara umum segala makhluk hidup (biologis) tercipta dari air (QS al-Anbiyâ [21] ayat 30; QS al-An’âm [6] ayat 99; dan QS al-Nûr [24] ayat 45). zÏΒ $oΨù=yèy_uρ ( $yϑßγ≈oΨø)tFx;sù $Z)ø?u‘ $tFtΡ%Ÿ2 uÚö‘F{$#uρ ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# ¨βr& (#ÿρãx;x. tÏ%©!$# ttƒ óΟs9uρr& ∩⊂⊃∪ tβθãΖÏΒ÷σムŸξsùr& ( @cyr >óx« ¨≅ä. Ï!$yϑø9$# Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?



(QS al-Anbiyâ [21] ayat 30) Al-Juba’i, sebagaimana dikutip al-Râzî, menyebutkan bahwa penciptaan manusia sebagai makhluk biologis berbeda dengan penciptaan makhluk lainnya. Manusia diciptakan di surga yang terletak di langit ketujuh, di luar planet bumi.14 Dengan demikian, kulla sya’in di dalam ayat di atas, tidak termasuk Adam dan hawa. Namun demikian pendapat al-Juba’î tersebut dibantah oleh Abu al-Qâsin al-Balkhi dan Abu Muslim al-Isfahânî; karena menurut mereka, dengan berbagai analisis pendukung, kata al-jannah dalam konteks penciptaan manusia pertama (Adam) masih berada di planet bumi.



14



Al-Râzî, Tafsir al-Râzi, jilid I, halaman 452.



9



Berdasarkan pada beberapa ayat di atas dapat diambil penjelasan bahwa penciptaan manusia berasal dari sesuatu atau materi yang sudah ada, bukan penciptaan dari nihil (ketiadaan) sama sekali. Pada umumnya para mufassir sependapat dengan pandangan ini. Mereka mendasarkan pendapatnya pada arti dasar atau asal kata khalq, yakni al-taqdîr (penetapan, ukuran).15 Namun demikian, bahan dasar penciptaan manusia diekspresikan dengan cara yang bervariatif. Jika ditelusuri secara cermat, maka tampaknya al-Qur’an menggunakan 12 istilah yang dapat dianggap sebagai substansi kejadian manusia, yaitu 1) al-Mâ’ (air), 2) al-’ard (tanah, bumi), 3) al-thurâb (tanah gemuk), 4) al-Thîn (tanah lempung), 5) thîn lâzib (tanah lempung yang pekat), 6) shalshâl ka al-fakhkhâr (tanah lempung seperti tembikar), 7) shalshâl min hamâin masnûn (tanah lempung dari lumpur yang dicetak), 8) sulâlat min althîn (sari pati dari lempung), 9) maniy yumnâ (mani/sperma yang ditumpahkan), 10) nuthfat amsâj (cairan mani yang bercampur), 11) mâin mahîn (cairan yang hina), dan 12) nafs wâhid (diri yang satu). Menurut al-Râzi, jenis-jenis tanah dan air penyusun substansi manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an tersebut tidaklah saling bertentangan antara satu jenis dengan jenis lainnya. Tetapi jenis-jenis tanah dan air tersebut disebutkan sesuai dengan proses penciptaan manusia. Semula manusia diciptakan dari thurâb (debu), kemudian berproses menjadi thîn (tanah), kemudian berproses menjadi seperti lumpur yang dicetak (hamâin masnûn), kemudian menjadi lempung seperti tembikar (shalshâl ka al-fakhkhâr). Sedangkan penyebutan jenis air, seperti manîy yumna (mani yang ditumpahkan), nuthfat amsâj (cairan mani yang bercampur), dan mâ mahîn (cairan yang hina) merujuk pada asal-usul reproduksi manusia sebagai anak cucu adam. Hasil penelitian sains telah membuktikan juga bahwa jasad manusia tersusun dari sel-sel yang terbentuk dari bagian-bagian yang disebut organel yang tersusun dari molekul-molekul senyawa unsur-unsur kimiawi yang terdapat di bumi. Oleh karena itu, Ahmad Baiquni menafsirkan sulâlat dalam surat al-Mukminûn (23) ayat 12 denan sari atau ekstrak yang berasal dari tanah.16 Dengan demikian, informasi al-Qur’an mengenai bahan dasar biologis manusia ini tidak saling bertentangan. c. Penciptaan Manusia Pertama Al-Qur’an tidak memerinci secara detail mengenai proses kejadian manusia pertama (Adam). Yang disampaikannya dalam konteks ini adalah a) bahan dasarnya adalah tanah, b) bahan tersebut telah disempurnakan, c) setelah proses penyempurnaan selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi (QS al-Hijr [115]:28-29; Shâd [38]: 71-72). Al-Qur’an tidak menyinggung secara detail kapan dan bagaimana proses penciptaannya dari awal hingga penyempurnaannya. Terdapat banyak pemikiran ulama yang berusaha mengelaborasi mengenai proses penciptaan ini. Di antaranya, terdapat beberapa pemikir muslim yang berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui fase dan tahapan evolusi tertentu, dan bahwa terdapat kronologi, fase, dan tahapan tertentu menyangkut penciptaan manusia, sebagaimana penciptaan alam. Mereka di antaranya adalah para filosof emansi, yakni al-Farabi (783-950 M), Ibn Sina, Ibn Miskawaih (w. 1030). Selain mereka adalah Ibn Khaldun (1332-1406 M) dan Ibn Bathuthah. Mereka dapat disebut sebagai para pemikir evolusionis-muslim yang lahir sebelum lahirnya teori 15Lihat



misalnya, al-Thabâthbâiy, Al-Mîzân fiy al-Tafsîr al-Qur’ân, jilid XII, Mu’assasat li alMathbu’ât, Beirut, 1983, halaman 15. 16 Ahmad Baiquni, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern,



10



Lamark dan Darwin (1804-1872). Namun tentu saja rumusan dari aksioma, proposisi, dan teori dari masing-masing pemikir muslim tersebut berbeda dengan rumusan dari Lamark dan Darwin. Dalam hal ini, Muhammad Abduh, yang lahir pada masa modenisasi awal dunia Islam, menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses penciptaan manusia dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah, maka tidak ada alasan dari kaum Muslim untuk menolaknya. Karena al-Quran hanya menjelaskan proses awal, pertengahan, dan akhir dari penciptaan manusia (dan tentunya alam), sedangkan apa yang terjadi pada masa transisi dari pertama ke pertengahan serta masa transisi dari pertengahan ke akhir tidak dijelaskan. d. Tahapan Penciptaan manusia ÏΒ ¢ΟèO 7πs)n=tæ ôÏΒ §ΝèO 7πx;õÜœΡ ÏΒ §ΝèO 5>#tè? ÏiΒ /ä3≈oΨø)n=yz $‾ΡÎ*sù Ï]÷èt7ø9$# zÏiΒ 5=÷ƒu‘ ’Îû óΟçFΖä. βÎ) â¨$¨Ζ9$# $y㕃r'‾≈tƒ ¢ΟèO Wξø;ÏÛ öΝä3ã_̍øƒéΥ §ΝèO ‘wΚ|¡•Β 9≅y_r& #’nπtƒös% ÏiΒ Νßγn=ö6s% ôMuΖtΒ#u !$tΒ $tΒuρ



∩∈∪ tβθä9¨ρF{$# Ÿ≅Å™ö‘é& !$yϑŸ2 7πtƒ$t↔Î/ $uΖÏ?ù'uŠù=sù



∩∠∪ šχθßϑn=÷ès? Ÿω óΟçFΖä. βÎ) ̍ò2Ïe%!$# Ÿ≅÷δr& (#þθè=t↔ó¡sù ( öΝÍκöŽs9Î) ûÇrθœΡ Zω%y`Í‘ āωÎ) šn=ö6s% $uΖù=y™ö‘r& !$tΒuρ ∩∇∪ tÏ$Î#≈yz (#θçΡ%x. $tΒuρ tΠ$yè©Ü9$# tβθè=à2ù'tƒ āω #Y‰|¡y_ öΝßγ≈oΨù=yèy_



(2). tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (3). (lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu, Padahal kamu menyaksikannya?" (4) berkatalah Muhammad (kepada mereka): "Tuhanku mengetahui semua Perkataan di langit dan di bumi dan Dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (5). bahkan mereka berkata (pula): "(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan Dia sendiri seorang penyair, Maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagai-mana Rasul-rasul yang telah lalu di-utus". (6) tidak ada (penduduk) suatu negeripun yang beriman yang Kami telah membinasakannya sebeIum mereka; Maka Apakah mereka akan beriman? (7). Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (8). dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal (QS al-Anbiyâ [21]:2-8)



Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Nabi atau Rasul, secara fisikal, memiliki struktur tubuh atau fisik yang sama dengan manusia secara umumnya. Untuk menunjukkan hal tersebut, al-Qur’an mengunakan kata basyar. Dalam ayat ini, disebutkan beberapa karakteristik dan aktivitas fisikal dari rasul (sebagaimana manusia lainnya), yakni 1) memiliki tubuh dengan berbagai fungsinya, 2) memakan makanan, dan 3) mereka tidak kekal. Dengan demikian, secara fisikal, tubuh nabi dan rasul mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan alamiah sesuai dengan mengikuti sunnatullah yang telah ditentukan. Secara fisik, manusia merupakan makhluk yang mempunyai struktur fisik (hampir) sama dengan binatang, tentu saja dengan disertai pandangan bahwa struktur fisik manusia telah diciptakan secara terukur, proporsional, sempurna, dan potensial. Dalam al-Qur’an, struktur fisik manusia tidaklah dideskripsikan secara sistematis, karena sekali lagi, murad Allah dari al-Qur’an tidak dimaksudkan untuk keperluan itu (atau untuk sains). Penjelasan mengenai kelengkapan fisik manusia dalam al-Qur’an



13



tersebar di berbagai tempat. Beberapa ayat dikutip untuk menunjukkan tentang struktur fisik, terutama dimunculkan dalam konteks potensi-fungsionalnya. ∩∠∇∪ tβρãä3ô±n@ $¨Β Wξ‹Î=s% 4 nοy‰Ï↔øùF{$#uρ t≈|Áö/F{$#uρ yìôϑ¡¡9$# â/ä3s9 r't±Σr& ü“Ï%©!$# uθèδuρ Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur (QS al-Mukminûn [23]: 78). $pκÍ5 tβρçŽÅÇö7ムāω ×ãôãr& öΝçλm;uρ $pκÍ5 šχθßγs)ø;tƒ āω Ò>θè=è% öΝçλm; ( ħΡM}$#uρ ÇdÅgø:$# š∅ÏiΒ #ZŽÏWŸ2 zΟ¨ΨyγyfÏ9 $tΡù&u‘sŒ ô‰s)s9uρ ∩⊇∠∪ šχθè=Ï;≈tóø9$# ãΝèδ y7Í×‾≈s9'ρé& 4 ‘≅|Êr& öΝèδ ö≅t/ ÉΟ≈yè÷ΡF{$%x. y7Í×‾≈s9'ρé& 4 !$pκÍ5 tβθãèuΚó¡o„ āω ×β#sŒ#u öΝçλm;uρ Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayatayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai (al-A’râf (7):



Dari ayat di atas, setidaknya kelangkapan fisik yang dimiliki oleh manusia adalah 1) udûn dengan fungsi al-sam’, 2) ’ain dengan fungsi al-bashar, dan 3) qalb dan atau alaf’idah dengan fungsi yafqahu. Dari ayat di atas, setidaknya, dapat diambil hubungan antara instrumen fisik manusia, terutama udûn dengan fungsi al-sam’, serta ’ain dengan fungsi al-bashar, dengan proses pengetahuan manusia. Fungsi isntrumen pendengaran (auditorial) lebih muncul dahulu dibanding dengan fungsi instrumen penglihatan (visual). Dengan kata lain, pengetahuan manusia dicapai lebih awal melalui pendengaran dibanding dari penglihatan. Hal ini dapat dijadikan salah satu dasar bagi pembelajaran bagi janin dalam kadungan atau masa pra-natal. Bahwa janin dalam rahim sudah dapat mendengar suara atau apa yang dibacakan oleh lingkungannya. Selain dilengkapi kelengkapan fisik dan fungsinya, al-Qur’an cukup banyak membicarakan mengenai struktur non fisik,sifat manusia, dan potensinya. Adapun kelengkapan non fisik yang dimaksud adalah 1) Rûh atau Hayah, 2) Nafs, 3) Qalb, 4) ’Aql. Ditemukan sejumlah ayat yang secara eksplisit maupun implisit menjelaskan mengenai potensi keunggulan dan potensi kelemahan manusia. Misalnya, Ditemukan cukup banyak ayat al-Qur’an yang memuji dan memuliakan manusia, seperti kesempurnaan penciptaan manusia (QS Thîn [95]:5), dan penegasan tentang kemuliaan manusia dibanding lainnya (QS al-Isrâ [17]:70). Di sisi lain, al-Qur’an juga menyitir sejumlah celaan Tuhan terhadap manusia, seperti celaan Allah bahwa manusia amat aniaya dan tidak pandai bersyukur (QS Ibrâhîm [14] ayat 34), sangat suka membantah (QS al-Kahf [118] ayat 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS al-Ma’ârij [70] ayat 19).