Masalah Sosial Pembangunan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia dilahirkan sebagai makhluk individu, selain itu manusia disebut juga makhluk sosial, dimana manusia tidak akan lepas dari pengaruh lingkungannya. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lain atau disebut juga interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nnilai sosial yang berlaku dan diterapkan dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik. Didalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi atau bertukar pikiran. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekamto, interaksi sosial merupakan kunci rotasi semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Dalam berinteraksi di kehidupan bermasyarakat, setiap individu diwajibkan untuk memiliki kesadaran akan kewajibannya sebagai anggota kelompok masyarakat. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masingmasing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang di harapkan. Selain itu jika proses sosial tidak berjalan dengan baik maka akan timbul masalah sosial. Masalah sosial dipandang oleh sejumlah orang dalam masyarakat sebagai suatu kondisi yang tidak diharapkan.



1



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat ditentukan rumusan masalah untuk makalah ini adalah : 1. Apa yang di maksud dengan Phatologi Sosial? 2. Bagaimana disorganisasi Sosial dapat terjadi? 3. Dan apa yang dimaksud dengan penyimpangan Sosial? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah di urai kan di atas, maka dapat di ketahui bahwa tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang Phatologi Sosial 2. Untuk mengetahui tentang Disorganisasi Sosial 3. Untuk mengetahui tentang Penyimpangan Sosial



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pathologi Sosial Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi, patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit. Sedangkan kata sosial adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau manusia yang berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau manusia dalam arti fisik. Maka pengertian dari patologi social adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya manusia dalam hidup masyarakat. Adapun Istilah / konsep lain untuk patologi social adalah, Masalah social, disorganisasi sosial / social disorganization / disintegrasi social, sosial maladjustment, Sociopathic, Abnormal, Sociatri. Perspektif ini boleh dikatakan yang relatif paling awal digunakan untuk memahami masalah sosial. Hal ini disebabkan karena landasan pemikirannya merupakan landasan pemikiran yang juga digunakan oleh tokoh-tokoh pendahulu sosiologi khususnya Auguste Comte. Menurut Comte sosiologi adalah studi tentang statistika sosial (struktural) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membhas struktur masyarakat, Comte menerima premis bahwa masyarakat adalah laksana organisme hidup (Poloma, 1987:23). Motivasi penggunaan premis ini semakin ditunjang kenyataan bahwa pada awalnya ilmuwan sosial termasuk ilmuwan sosiologi sangat terkesan dengan kemajuan yang dialami oleh metoda dalam bidang ilmu alam dan teknik. Berdasarkan hal tersebut tidak mengherankan apabila kemudian teori-teori dibangun berdasarkan analogi antara human society dan human body. Keduanya sering disebut dengan vast organisme.



3



Salah seorang penerus yang banyak membahas perihal analogi ini adalah Herbert Spencer, seorang ahli Sosiologi Inggris yang mencoba menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang khusus antara sistem biologis dan sistem sosial. Pembahasan spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat diringkas dalam butir berikut ini: 1) Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan 2) Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial (social body) maupun tubuh organisme hidup (living body) itu mengalami pertambahan pula. Semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagianbagiannya, seperti halny dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar 3) Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula. 4) Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga perubahan di dalam sistem secara keseluruhan 5) Bagian-bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah Walaupun demikian, lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan analogi tersebut harus cukup hati-hati, karena sebetulnya masyarakat tidak sepenuhnya mirip dengan organisme hidup. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang snagat penting. Di dalam sistem organisme, bagians-bagian tersebut saling terkait dalam suatu hubungan yang intim, sedang dalam sistem sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu jelas terlihat, dengan bagian-bagian yang kadang-kadang sangat terpisah.



4



Bagaimanapun juga analogi human society dengan human body atau sistem sosial dengan sistem organisme biologis ini juga akan terbawa dalam rangka menjelaskan berbagai gejala dan fenomena sosial termasuk di dalamnya untuk menjelaskan masalah sosial. Berdasarkan analogi ini, masalah sosial terjdi apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil dalam mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Dalam kondisi seperti ini individu atau institusi sosial dikatakan dalam keadaan sakit. Sejalan dengan analogi tersebut, Emile Durkheim melihat masyarakat



modern



sebagai



keseluruhan



organisme



yang



memiliki



seperangkat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng. Bilamana kebutuhan tertentu tadi tidak dipenuhi maka akan berkembang keadaan yang bersifat pathologis. Sudah barang tentu pola pikir dalam perspektif ini selain akan mempengaruhi cara-cara memahami masalahnya juga akan berpengaruh dalam hal cara cara-cara dan pendekatan guna memecahkan masalah. Dalam hal ini perspektif Pathologi Sosial menggunakan “medical model” dalam pengertian memecahkan masalah sosial beserta segala implikasinya sama hal nya dnegan mengobati masyarakat yang sakit. Pada mulanya Social Pathologist cenderung membuat diagnosis bahwa individu merupakan sumber masalah dalam masyarakat. Masalah sosial timbul karena individu gagal dalam proses sosialisasi atau individu karena beberapa cacat yang dimilikinya dalam bersikap dan berperilaku tidak berpedoman pada nilai-nilai sosial dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Atas dasar anggapan seperti itu, pemecahan masalah direkomendasikan melalui suatu upaya yang berupa penanganan maupun pencegahan agar tidak terjadi proses pewarisan cacatindividual tersebut dari generasi ke generasi. Di samping itu, secara represif dapat dilakukan usaha dengan jalan memisahkan atau mengisolir individu yang menyebabkan masalah tersebut dari berbagai hubugan sosial



5



atau bahkan memasukkannya ke dalam penjara. Hal ini dilakukan atas pertimbangan agar “penyakitnya” tidak menular kepada individu lain. Usaha penyembuhan dengan cara yang lebih maju adalah melalui proses resosialisasi, dalam pengertian membuat individu yang menjadi sumber masalah sosial tersebut agar siap dan mampu untuk berperilaku dan berperan sesuai aturan dan nilai-niai sosial secara lebih baik. atau dengan perkataan lain penyembuhan dilakukan dengan memfokuskan pada perubahan aspek moral dan kondisi individu, melalui proses pendidikan. Cara penyembuhan seperti ini jelas menggunakan asumsi bahwa siste dengan aturan-aturannya dianggap yang paling benar, apabila ada maslaah bukan karena kesalahan sistem tetapi kesalahan individu. Melalui perkembangan lebih lanjut, ada pandangan baru dalam perspektif ini. Pandangan ini ingin mendiagnosa masalah dengan melihat cacat yang ada dalam masyarakat dan institusi sosialnya. Dengan perkataan lain diagnosa didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat yang immoral (immoral societies) akan menghasilkan individu yang immoral (immoral individu) dan keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya masalah sosial. Masalah sosial berkembang dalam usaha mempertahankan social order, yang apabiila tidak terpecahkan akan menjurus pada kondisi yang dapat disebut sebagai dehumanize society. Dengan melalui diagnosa semacam ini maka treatment cendrung diarahkans pada orientasi yang apresiatif (appresiative orientation). Diagnosa didasarkankan pada beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Mengapa



beberapa



peraturan



lebih



banyak



dilanggar



dibandingkan peraturan lain 2) Mengapa orang-orang tertentu lebih banyak melanggar peraturan dibandingkan orang-orang lain. 3) Apa dan bagaimana tentang lingkungan sosial yang bayak menumbuhkan individu yang pathalogis Disamping beberapa sudut pandang yang sudah diuraikan tersebut, sementara Social pathologist juga ada yang mendiagnosa masalah sosial dari kegagalan masyarakat dalam menyesuaikan berbagai tuntutan yang selalu



6



berkembang, serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian dari masyakarakat. Dilihat dari kacamata ini, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu mewujudkan social adjustment, sedangkan masyarakat dikatakan sakit apabila terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjusment. B. Perspektif Disorganisasi Sosial Dalam perspektif disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai



(1) jawaban terhadap keadaan yang terjadi pada tingkat



masyarakat luas; (2) jawaban terhadap perubahan dalam lapangan sosiologi secara khusus. Setelah perang dunia pertama (1942), terjadi arus migrasi dan urbanisasi dari Eropa ke Amerika dan menimbulkan masalah seperti kemiskinan, kejahatan, gangguan mental, kecanduan alcohol dan sejenisnya. Pertemuan antara migran dan warga setempat berbaur dengan kebudayaan yang ada menimbulkan masalah, terutama bagi yang kurang berhasil menyesuaikan diri. Dan dari mereka itulah tampaknya yang menjadi sumber masalah. Demikian juga proses industrialisasi yang terus berkembang, namun selain menyisakan dampak lingkungan, juga kapasitas tenaga kerja yang tidak tertampung sehingga berakibat banyaknya pengangguran. Jadi setidaknya ada 3 faktor utama yang menyebabkan disorganisasi sosial, berupa perubahan sosial dan kultural pada tahap ini di Amerika Serikat, yaitu Migrasi, Urbanisasi dan Industrialisasi. Masalah yang berkembang tidak hanya sebatas kejahatan namun masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini terus menimbulkan tantangan baru bagi para sosiolog yang kemudian



melahirkan



perspektif



Disorganisasi



Sosial,



sebagimana



disampaikan Samuel Huntington (1997) yang menghitung munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Munculnya perspektif Disorganisasi Sosial dinilai oleh Rubington dan Weinberg (1995) sebagai suatu refleksi yang mengokohkan bahwa sosiologi telah merupakan suatu disiplin ilmu yang mandiri. Perspektif disorganisasi



7



sosial sangat populer karena keberhasilan para sosiolog untuk menunjukkan adanya hubungan antara masalah sosial dan disorganisasi sosial. Tokohtokohnya antara lain Charles H. Cooley, W.I Thomas dan Florian Znaniecki dan William Ogburn. Ada perbedaan antara perspektif patologi sosial dan perspekti disorganisasi Sosial, yaitu bahwa pada perspektif disorganisasi Sosial lebih kompleks dan lebih sistematik, karena hasil kemajuan sosiologi yang semakin berkembang. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa perspektif patologi sosial berangkat dari anggapan bahwa masalah itu disebabkan oleh kegagalan, baik pada individu maupun masyarakat, sedangkan perspektif disorganisasi sosial mulai dengan penelitian mendalam atas peranan dari aturan atau kebiasaan yang merupakan tatanan baru suatu kehidupan. Beberapa karya ilmiah penganut disorganisasi sosial diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Sosial change and sosial disorganization oleh Robert E. Park, mengemukakan gagasannya bahwa dasar bagi suatu organisasi sosial adalah tradisi dan kebiasaan. Keluarga, tetangga, masyarakat yang stabil merupakan lembaga yang mampu menjalankan pengendalian sosial. Namun masyarakat modern yang komplek seperti urbanisasi, migrasi, industrialisasi yang berlangsung cepat karena teknologi (komunikasi dan transportasi) berdampak pada disorgansasi sosial di masyarakat. 2. The ecology of urban disorganization oleh Robert E.L.Farist dan H.Warren Dunham yang mengungkapkan bahwa ternyata lebih banyak permasalahan yang berhubungan dengan struktur ekologis disbanding dengan masalah urbanisasi dan disorganisasi sosial. 3. Family disorganization oleh W.I Thomas dan Florian Znaniecky yang mengemukakan bahwa inti permasalahan disorganisasi keluarga adalah adanya sikap we (kekitaan) dan sikap I (keakuan) dalam struktur masyarakat.



8



Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak hanya berbeda dengan perspektif pathologi sosial, karena juga menggunakan analogi masyarakat atau sistem sosial sebagai human organism. Perbedaannya, perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit, melainkan lebih melihatnya sebagai struktur dan fungsi yang organized dan disorganized atau integrated dan disintegrated. Apa yang biasa disebut sister adalah suatu struktur yang mengandung seperangkat aturan norma dan tradisi sebagai pedoman untuk melakukan tindak dan aktivitas. Di dalam struktur tersebut terkandung unsur value, status, position dna institution. Menurut perspektif ini, masyarakat menjadi organized disamping karena keserasian, hubugan antar bagian juga di dukung oleh seperangkat pengharapan/tujuan dan seperangkat aturan. C. Perilaku Menyimpang (Deviasi) Perspektif perilaku menyimpang merupakan salah satu pendekatan dalam memahami masalah sosial. Merton dan Nisbet (1961, dalam Tangdilintin 2000) menyatakan bahwa perilaku menyimpang melihat masalah sosial sebagai suatu akibat dari suatu tidakan yang menyimpang dari perangkat nilai berhubungan status sosial seseorang. Jadi suatu perilaku akan dikatakan menyimpang atau tidak, sangat tergantung pada status orang yang melakukannya. Perilaku menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi terkait dengan aturan kebiasaan yang secara sosial telah diterima dan secara moral bersifat mengikat penyandang status tertentu. Brian J. Heraud (1970) membedakan penyimpangan dalam beberapa jenis, seperti penyimpangan statis yaitu penyimpangan pada kebiasaan umum dalam kehidupan sehari-hari. Penyimpangan medis atau patologis, yaitu penyimpangan sebab dan akibat sosial atau individual. Karenanya penyimpangan ini harus dikaji secara selektif untuk Beberapa konsep teoritis tentang perilaku menyimpang diantaranya adalah teori anomi yang dikembangkan oleh Emile Durkein yang mengemukakan 3 jenis bunuh diri yaitu bunuh diri egoistic bunuh diri altruistic dan bunuh diri anomi



9



Perkembangan dinamika ilmu sosial melahirkan pemikiran-pemikiran khususnya sosiolog dan ilmu-ilmu sosial yang mengembangkan teori anomi dan asosiasi. Teori anomi berkembang di dalam suatu masyarakat atau kelompok pada saat cita-cita untuk mencapai sesuatu yang menjadi dambaan umum, mempengaruhi pemikiran sebagian besar orang dalam kelompok masyarakat itu, namun dilain pihak aturan-aturan yang ada tidak berkembang sehingga gagal mengatur cara-cara pencapaian cita-cita tersebut. Maka terjadilah anomia tau ketiadaan norma. Edwin H. Sutherland mengembangkan teori asosiasi diferensial, yaitu adanya penyimpangan dipelajari di dalam interaksi dengan orang lain, terutama di dalam kelompok primer yang bersifat intim seperti keluarga dan kelompok sebaya. Teori assosiasi diferensiasi didasari aksioma Durkein, bahwa perilaku menyimpang merupakan bagian alami dari kehidupan sosial, seperti halnya teori anomi yang dikembangkan Merton. Masalah sosial menurut perilaku menyimpang disebabkan adanya sosialisasi yang tidak tepat karena kurangnya kesempatan untuk belajar secara konvensional. Dalam



kehidupan



masyarakat



muncul



dan



berkembang suatu



karakteristik, nilai dan norma yang diyakini dan dianut oleh masyarakat tersbut yang mengatur dan membatasi perilaku individu. Namun tidak jarang dalam kehidupan masyarakat tersbut terjadilah penyimpangan dan perbedaan dalam berperilaku. Kartini Kartono (2007:11) mengartikan deviasi atau penyimpangan merupakan tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan/populasi. Dalam Kamus Besar Indonesia, perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat. Perilaku menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial hakikatnya merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatutan, baik dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya sebagai bagian



10



daripada makhluk sosial. Sejalan dengan pendapat diatas Hendropuspito (1989) mengartikan deviasi ialah Suatu tindakan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok diluar, melawan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa deviasi atau perilaku menyimpang adalah perilaku yang dilakukan individu yang bertentangan/menyimpang dari ciri karakteristik masyarakat kebanyakan dan norma/nilai yang berkembang dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh deviasi/perilaku



menyimpang



adalah



perkawinan



dibawah



umur,



homoseksualitas, alkoholisme kronis, anak usia 7 tahun yang tidak bersekolah, dan lain sebagainya, Ciri-ciri tingkah laku yang menyimpang itu bisa dibedakan tegas, yaitu : 1. Aspek lahiriah, bisa diamati dengan jelas. Aspek ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu : a. Deviasi lahiriah yang verbal dalam bentuk : kata-kata makian, slang (logat, bahasa populer), kata-kata kotor yang tidak senonoh dan cabul, sumpah serapah, dialek-dialek dalam dunia politik dan dunia kriminal, ungkapan-ungkapan sandi, dan lain-lain. Misalnya,



penamaan



“babi”



untuk



pegawai



negeri



atau



pemerintahan “singa” untuk tentara “serigala”, untuk polisi “kelinci”, untuk orang-orang yang bisa dijadikan mangsa (dirampok atau dicopet, digarong), dan seterusnya. b. Deviasi lahiriah yang nonverbal : semua tingkah laku yang nonverbal yang nyata kelihatan. 2. Aspek-aspek simbolik yang tersembunyi. Mencakup sikap-sikap hidup, emosi-emosi, sentimen-sentimen, dan motivasi-motivasi yang mengembangkan tingkah laku menyimpang. Berupa mens rea (pikiran yang paling dalam dan tersembunyi), atau berupa iktikad kriminal di balik semua aksi-aksi kejahatan dan tingkah laku menyimpang.



11



Hendaknya selalu diingat, bahwa sebagian besar dari tingkah laku penyimpangan (ex: kejahatan, pelacuran, kecanduan narkoba, dan lainlain) itu tersamar dan tersembunyi sifatnya, tidak kentara atau bahkan tidak bisa diamati. Deviasi / penyimpangan tingkah laku itu sifatnya bisa tunggal, misalnya hanya kriminal saja dan tidak alkoholik atau mencandu bahanbahan narkotik. Namun juga bisa jamak sifatnya, misalnya seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal. Deviasi dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Individu-individu dengan tingkah laku bermasalah yang merugikan bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri. 2. Individu-individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi masalah bagi diri sendiri, tetapi tidak untuk orang lain. 3. Individu-individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi masalah bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Deviasi tingkah laku selalu berlangsung dalam satu konteks sosiokultural dan antarpersonal. Sehubungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku dapat dibagi menjadi : 1. Deviasi Individual Beberapa deviasi ditimbulkan oleh cirri-ciri yang unik dari individu yang berasal dari anomali-anomali, variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu yang sifatnya ada sejak lahir. Kelainan cirri juga disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Devisasi jenis ini sifatnya simptomatik yaitu disebabkan oleh konflik-konflik intra psikis yang kronis dan sangat dalam atau berasal dari konflik-konflik yang ditimbulkan oleh identifikasiidentifikassi yang kontroversal bertentangan satu sama lain. Individu yang termasuk deviasi individual misalnya : anak-anak luar biasa, fanatisi, idiot savant dan individu-individu psikotis.



12



2. Deviasi Situasional Deviasi jenis ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/sosial diluar individu atau oleh pengaruh situasi,dimana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari dirinya. Situasi dan kondisi sosial atau sosiokultural yang selalu berulang-ulang dan terus-menerus akan mengkondisionisasi dan memperkuat deviasi-deviasi sehingga kumulatif sifatnya. Deviasi sosial yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik cultural yaitu produk dari periode-periode dengan banyak konflik cultural. Konflik budaya atau cultural ini dapat diartikan sebagai: a. Konflik antara individu dengan masyarakat. b. Konflik antara nilai-nilai dan praktik-praktik dari atau lebih kelompok-kelompok sosial. c. Konflik-konflik introjeksi yang berlangsung dalam diri seorang yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentangan. Apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat, maka dapat menyebabkan deviasi situasional kumulatif. Berikut beberapa contoh deviasi situasional : a.



Kebudayaan korupsi.



b.



Pemberontakan anak remaja.



c.



Adolescent revolt.



d.



Deviasi-deviasi seksual disebabkan oleh penundaan saat perkawinan



jauh



sesudah



kematangan



biologis



serta



pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan banyak disimulasi oleh rangsangan-rangsangan dari film “biru”, buku-buku porno dan tingkah laku yang asusila. e.



Peristiwa



homoseksual



yang



narapidana di penjara-penjara.



13



banyak



terjadi



dikalangan



3. Deviasi Sistematik Deviasi sistematik pada hakikatnya adalah satu subkultur atau satu sistem tingkah laku yang disertai organisasi sosial khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai, rasa kebanggaan, norma dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang dari norma umum, kemudian dirasionalisasi atau dibenarkan oleh semua anggota kelompok dengan pola yang menyimpang itu. Sehingga penyimpangan tingkah laku deviasi-deviasi itu berubah menjadi deviasi yang terorganisasi atau deviasi sitematik. Pada umumnya, kelompok-kelompok deviasi itu mempunyai peraturanperaturan yang sangat ketat, sangsi, dan hukum-hukum yang sangat berat yang diperlukan untuk bisa menegakkan konformitas dan kepatuhan anggota-anggotanya. Kelompok-kelompok deviasi itu pada umumnya memiliki pola organisasi yang unik, kode-kode etik, norma-norma, dan kebiasaankebiasaan yang aneh untuk menegakkan gengsi dan status sosialnya. Biasanya organisasi-organisasi demikian merupakan pecahan organisasi induknya, yang kemudian menyimpang dari pola aslinya, karena alasanalasan menolak kebekuan dalam organisasi induknya. Proses perpecahan atau pembelahan semacam ini tidak hanya berlangsung pada organisasi-organisasi saja, akan tetapi juga berlangsung disegenap lapisan masyarakat. Penyebab deviasi sistematik, yaitu : a.



Kesulitan untuk berkomunikasi.



b.



Tidak



adanya



urgensi



serta



kurangnya



motivasi



untuk



mengorganisasi diri. Selain macam deviasi diatas, terdapat macam deviasi yang lain berdasarkan sifatnya, yaitu : a. Deviasi Postif, adalah penyimpangan yang mempunyai dampak positif ter-hadap sistem sosial karena mengandung unsur-unsur inovatif,



kreatif,



dan



memperkaya



wawasan



seseorang.



Penyimpangan seperti ini biasanya diterima masyarakat karena



14



sesuai perkembangan zaman. Misalnya emansipasi wanita dalam kehidupan masyarakat yang memunculkan wanita karier. b. Deviasi Negatif, adalah penyimpangan yang bertindak ke arah nilai-nilai sosial yang dianggap rendah dan selalu mengakibatkan hal yang buruk. Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif antara lain sebagai berikut: 



Penyimpangan primer (primary deviation). Penyimpangan primer adalah penyimpangan yang dilakukan seseorang yang hanya bersifat temporer dan tidak berulang-ulang.







Penyimpangan sekunder (secondary deviation). Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang yang nyata dan seringkali terjadi, sehingga berakibat cukup parah serta menganggu orang lain. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk.



15



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengertian dari patologi social adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya manusia dalam hidup masyarakat. 2. Dalam perspektif disorganisasi sosial, ada 2 faktor yang mendorong, yaitu sebagai (1) jawaban terhadap keadaan yang terjadi pada tingkat masyarakat luas; (2) jawaban terhadap perubahan dalam lapangan sosiologi secara khusus. 3. suatu perilaku akan dikatakan menyimpang atau tidak, sangat tergantung



pada



status



orang



yang



melakukannya.



Perilaku



menyimpang bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi terkait dengan aturan kebiasaan yang secara sosial telah diterima dan secara moral bersifat mengikat penyandang status tertentu.



B. Saran Sebaiknya kita sebagai masyarakat,tidak melanggar norma yang berlaku dalam masyarakat, dan sebaiknya kita mampu mengendalikan diri,agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak baik. Mampu mencegah maslah-masalah yang akan timbul di masyarakat dan mampu menanggulangi apabila terjadi masalah-masalah sosial di masyarakat.



16



DAFTAR PUSTAKA Tangdilintin, Paulus. 2000. Masalah-masalah sosial (suatu pendekatan analisis sosiologis). Jakarta:.Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset. Soetomo. 2005. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: Pustaka Jaya



17