Materi Kelompok 1 Teori Kepribadian Erik H Erikson [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TEORI KEPRIBADIAN ERIK H. ERIKSON



TUGAS Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Teori Kepribadian



Dosen Pengampu: Dr. Anwar Sutoyo, M.Pd., Dr. Awalya, M.Pd., Kons. Oleh: A Mursal Iftitah Indriyani Isti Khoirunisa Julia Surya Ullma Shany Rusfa



0106519045 0106519049 0106519002 0106519022 0106519004



PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020



DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 A. Latar Belakang......................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 2 C. Tujuan Masalah....................................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 3 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Sketsa Biografi Erikson .......................................................................................... 3 Anatomi Takdir........................................................................................................ 4 Tiga Fondasi Teori Erikson..................................................................................... 5 Delapan tahap perkembangan kepribadian.............................................................. 6 Tujuan Psikoterapi................................................................................................... 15 Perbedaan Teori Erikson dan Freud........................................................................ 17



BAB III PENUTUP........................................................................................................... 21 1. Kritik Terhadap Teori Erikson................................................................................ 21 2. Implikasi dalam Bimbingan Konseling................................................................... 22 Daftar Pustaka



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar teori Erikson dimulai dari aspek ketidak-sadaran dan pra-sadar yang terlihat pada individu dalam berkomunikasi melalui bahasa dan dalam tingkah laku. Karena Erikson mengarahkan perhatiannya terhadap kelompok dan kebudayaan yang mengelilinginya, ia menerapkan Psikoanalisa pada pengetahuan-pengetahuan social. Dalam



mengemukakan



membandingkan



dengan



konsepnya



mengenai



perkembangan,



perkembangan-perkembangan



Erikson



evolusi-filogenetik.



Perkembangan manusia merupakan pengulangan perkembangan evolusi-filogenetik yang memiliki dasar-dasar biologis, misalnya pada masa bayi mulut adalah alat satusatunya untuk memasukan segala sesuatu dari luar, pada tingkat-tingkat pertama. Erikson menekankan kemampuan kreatif dan penyesuaian pada setiap individu dan menghargai kekhususan kemampuan yang dimiliki secara perorangan untuk mengatur kehidupannya. Erikson melihat semua manusia ketika dilahirkan mempunyai potensi untuk menjadi baik atau menjadi buruk. Perhatiannya terhadap sifat-sifat perorangan ini yang terlihat pada setiap masa perkembangan menjadi dasar konsepnya mengenai : prinsip-epigenesis. Dalam perkembangan anak, Erikson juga menekankan pentingnya tahun-tahun pertama kehidupan anak sebagai tahun pembentukan dasar-dasar kepribadiannya dikemudian hari. Kehidupan emosi dan kualitas hubungan-hubungan perorangan menjadi landasan yang penting untuk memberi bentuk terhadap perkembangan kepribadian selanjutnya. Perkembangan ego lebih penting daripada fungsi-fungsi lain, dan dalam perkembangan ego ini pengaruh-pengaruh lingkungan social besar sekali. Pada waktu anak memasuki tahapan perkembangan baru ia dihadapkan dengan tantangan yang timbul dari lingkungannya, agar ego-nya mampu menyesuaikan diri. Dengan demikian pada setiap meningkat ke tahapan perkembangan baru, ia menghadapi krisis emosi. Ego menurut Erikson, mungkin sudah mulai dengan melayani Id, namun didalam prosesnya melayani ia mengembangkan fungs-fungsinya sendiri. Konsep ini menekankan pengaruh-pengaruh ego bagi pertumbuhan dan penyesuaian diri yang seha, selain juga menjadi sumber kesadaran diri dan identitatas pribadi. Erikson menekankan banyak istilah ego didalam teorinya, bahkan seluruh teori erikson dapat 1



dilihat sebagai deskripsi bagaimana ego meraih atau kehilangan kekuatannya sebagai penyedia fungsi yang utama bagi pengalaman pengalaman perkembangan kepribadian. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perkembangan teori kepribadian Erik H. Erikson ? 2. Bagaimana perbandingan antara teori Erikson dan toeri Freud ? 3. Bagaimana kritik terhadap teori Erikson dan implikasinya ? C. Tujuan masalah 1. Menjelaskan perkembangan teori Kepribadian Erik H. Erikson. 2. Menjelaskan perbandingan antara teori Erikson dan teori Freud. 3. Menjelaskan kritik terhadap teori Erikson dan implikasinya.



2



BAB II PEMBAHASAN



1. Sketsa Biografis Erik H. Erikson Erikson lahir di Jerman, tanggal 15 Juni 1902. Ibunya merupakan keturunan keluarga Yahudi terkemuka di Kopenhagen, Denmark. Namun tidak dapat mempertahankan pernikahannya dengan suami pertamanya, kelahiran Erikson merupakan hasil hubungan gelap ibunya sebelum menikah dengan suami pertamanya, kemudian ibunya menikah kembali dengan Dr. Homburger Theodort seorang dokter kandungan yang membantu melahirkan Erikson pada saat itu, dengan syarat bahwa Theodor adalah ayah biologis Erik, rahasia ini tetap terjaga selama masa kanak – kanak Erik. Pada tahun 1939 Erik merubah nama belakangnya menjadi Erikson dengan tidak menghilangkan nama ‘Homburger’ melainkan ia reduksi menjadi nama tengah yang sering di singkat H yang sampai akhir hayatnya tetap ia pergunakan dalam setiap karya karyanya. Disekolah ia memang dianggap sebagai orang Yahudi, namun di sinagog ayah tirinya ia dianggap sebagai `Goy` (Sebutan untuk orang yang bukan yahudi). Tidaklah mengherankan jika dikemudian hari konsep `krisis identitas` menjadi minat teoritis yang paling utama digeluti oleh Erikson. Tahun 1927 menjadi titik awal perubahan hidup Erikson karena di tahun itu ia ditawari oleh Anna Freud untuk dilatih menjadi analis anak pada umur 25 tahun, teori psikoanalitik dari Anna Freud ini jelas mempengaruhi Erikson yang menuntunya untuk mengembangkan konsep teori yang ia miliki. Erikson membuat sejumlah kontibusi bagi psikologi. Salah satunya adalah pengaplikasian teorinya tentang perkembangan manusia bagi studi tentang tokoh besar sejarah. Upaya-upaya ini disebutnya Psikohistori, dan Erikson sendiri sudah menganalisis para tokoh sejarah seperti Adolf Hitler, Maxim Gorky, Martin Luther dan Mahatma Gandhi. Dibanyak tulisan Erikson menegaskan bahwa hubungan yang kuat memang ada antara teorinya dan teori freud, namun siapapun akan merasa jika ungkapan ini hanyalah rasa hormatnya kepada Freud. Teori Erikson jauh lebih optimis tentang kapasitas manusia bagi pertumbuhan positif.



3



2. Anatomi dan Takdir Perspektif Erikson yang paling dekat dengan teori Freudian tradisional terletak di bukunya Childhood and Society (1985). Pada bab ini dia menyimpulkan risetnya terhadap anak laki laki dan perempuan. Erikson mengamati, pemandangan yang ditampilkan anak perempuan biasanya meliputi suatu ruangan bundar yang kadang memiliki pintu masuk dan mencakup didalamnya elemen seperti manusia dan hewan. Pemandangan yang di lihat anak perempuan ini cenderung statis dan penuh damai, meskipun seringkali tampilannya diinterupsi oleh hal yang berbahaya. Disisi lain, pemandangan yang dibuat anak laki laki gedung tinggi disekitar beberapa benda, dan mengandung banyak objek seperti menara tinggi atau meriam-meriam dll. Pemandangan yang dibuat anak laki laki ini lebih dinamis dan meliputi banyak fantasi seperti kehancuran dan runtuhnya benda benda yang mereka ciptakan itu. Erikson menyimpulkan pemandangan yang diciptakan anak anak adalah sebuah tampilan yang menentukan kejelasan perbedaan gender atas alat genitalnya. Kecenderungan ini bisa sangat membuat terkejut dan rasa tidak nyaman pabila terjadi penyimpangan. Namun harus ditekankan bahwa Erikson tidak pernah mengatakan jika biologi merupakan satu-satunya factor yang menentukan bagaimana seseorang memahami dan bertindak di dunia. Factor- factor social juga penting. Namun pandangan Erikson terhadap perbedaan pria dan wanita menuai beberapa kritikan. Salah satunya dari Paula Caplan (1979) ia mengkritik pandangan Erikson bahwa tipe alat kelamin yang dimiliki seseorang mempengaruhi caranya berinteraksi dengan dunia. Caplan mengulangi riset Erikson terkait konstruksi mainan, namun ia menggunakan anak anak usia pra-sekolah, alasannya adalah karna klaim Erikson yang menyatakan perbedaan gender dalam kepribadian termanifestasi diseluruh rentang hidup manusia. Caplan menginterpretasikan hasil-hasil risetnya ini dengan membuktikan tidak ada karakteristik kepribadian yang ditentukan berdasarkan jenis kelamin. Sebaliknya, Caplan menyatakan bahwa perbedaan kepribadian antara pria dan wanita berkaitan dengan pengalaman sosialnya. Dalam hal ini Caplan menyimpulkan Anatomi bukan merupakan takdir. Erikson menanggapi kritik dari Caplan lewat Esainya “Once More the Inner Space” yang garis besarnya adalah : 1. Kebenaran terkait Psikoanalitik memanglah sukar untuk dipahami 2. Biologi merupakan salah satu penentu kepribadian, penentu lain yang tak kalah kuat adalah budaya/social. Satu hal penting yang diutarakan 4



Erikson tentang perbedaan kepribadian pria dan wanita adalah pria tidak lebih baik daripada perempuan begitupun sebaliknya, namun karakteristik perempuan dan pria inilah yang saling melengkapi. 3. Tiga Fondasi Teori Erikson 3.1 Prinsip Epigenetik Erikson melihat hidup manusia terdiri atas delapan tahap, menurutnya urutan ini sudah ditentukan secara genetik dan tidak bisa diubah. Ini disebutnya Prinsip Epigenetik yang dideskripsikan sebagai berikut : dalam memahami pertumbuhan manusia harus diingat jika prinsip epigenetic yang mengaturnya sudah beroperasi sejak di dalam Rahim, prinsip ini menegaskan bahwa apapun yang bertumbuh memiliki suatu rancangan dasar untuk mengerjakan suatu fungsi secara lengkap. Erikson menyatakan, kekuatan yang diperoleh di setiap tahap perkembangan dites oleh keniscayaannya untuk melampaui tahap tersebut dengan suatu cara, sehingga individu dapat meraih kesempatan ditahap berikutnya mengembangkan kekuatan yang awalnya rapuh ditahap sebelumnya. Menurut prinsip epigenetic, karakteristik kepribadian yang jadi mengemuka disuatu tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus bertahan setelah tahapan itu dilalui. 3.2 Krisis Setiap tahap perkembangan ini dicirikan oleh sebuah krisis. Krisis yang mencirikan setiap tahap perkembangan akan memunculkan satu resolusi positif namun jika gagal diselesaikan akan memunculkan resolusi negative. Resolusi positif berkontribusi bagi penguatan ego untuk memperbesar kemampuan manusia beradaptasi. Resolusi negative akan bersifat sebaliknya, yang akan melemahkan ego dan menghambat manusia beradaptasi. Berdasarkan prinsip epigenetic, setiap krisis selalu eksis dalam tiga fase sebagai berikut : 1) Fase belum berkembang (Immature) yaitu krisis tidak menjadi focus perkembangan kepribadian, 2) Fase kritis yaitu ketika disebabkan karena berbagai alasan seperti biologis, psikologis dan social, yang menjadi titik focus perkembangan kepribadian dan 3) Fase Resolusi, ketika resolusi atas krisis memeengaruhi perkembangan kepribadian ditahap selanjutnya.



5



3.3 Ritualisasi dan Ritualisme Bagi Erikson, penting sekali mengakui perkembangan kepribadian manusia yang muncul dalam sebuah seting budaya. Erikson menekankan kesesuaian antara individu dan budayanya. Menurutnya pengalaman internal dan eksternal manusia mestinya sama, minimal beberapa tarafnya, jika seorang individu berkembang dan berfungsi normal di budayanya masing-masing. Menurut Erikson (1977), ritualisasi adalah pola-pola perilaku yang muncul berulang yang mencerminkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku yang yang diatur dan diberi sanksi oleh masyarakat dan budaya tertentu. Dalam arti lain ritualisasi adalah pola perilaku sehari-hari yang disetujui secara kultural yang menjadikan seseorang diterima dalam suatu budaya. Erikson mendefinisikan Ritualisme adalah ritualisasi yang tidak tepat atau keliru, dan mereka adalah penyebab-penyebab dibanyak patologi dan social. 4. Delapan tahap perkembangan kepribadian Dalam teori kepribadian yang di deskripsikan oleh Erikson yaitu semua manusia dapat melewati setiap tahap perkembangan kepribadian tentang apa yang terjadi pada ego. Pada lima tahap pertama perkembangan kepribadian yang diusulkan oleh Erikson mirip dengan tahap-tahap psikoseksual perkembangan yang diusulkan oleh Freud. Sedangkan tiga tahap terakhir adalah ide Erikson sendiri, dan mempresetasikan salah satu kontribusi utamanya bagi psikologi. 4.1 Rasa Percaya VS Rasa Tidak Percaya Tahap ini dimulai dari lahir sampai tahun pertama dan berorientasi erat dengan tahap oral perkembangan psioseksual Freud. Jika pengasuhan terhadap bayi dapat memuaskan kebutuhan merekadengan menggunakan cara yang konsssisten dan penuh cinta, bayipun akan mengembangkan perasaan kepercayaan dasar. Namun jika orangtua menolak dan memuaskan kebutuhan mereka dengan cara yang tudak konsisten, yang muncul adalah ketidakpercayaan dasar. Jika pengasuhan dipenuhi rasa saying dan dibiarkan secara konsisten, bayi belajar bahwa mereka tidak perlu



6



khawatir terhadap orangtua yang penuh kasih dan bisa diandalkan, dan kerenanya tidak begitu terganggu saat orangtua hilang dari pandangannya. Krisis rasa percaya vs rsa tidak percaya merupakan terselesaikan secara positif ketika anak lebih banyak mengembangkan rasa percaya daripada tidak. Perbandingan dua jenis solusi ini yang penting, bukannya mutlak absennya rasa tidak percaya. Menurut Erikson, ras tidak percaya tetap dialami anak yang pengasuhan orantuannya penuh cinta dan konsisten, bukan karena negatifnya pengasuhan itu, melainkan anak mulai belajar, bahwa jika dia mempercayai setiap orang dan segala sesuatu sama besarnya seperti ia percaya orangtua mereka, kesulitan kadang muncul. Sejumlah kecil ras tidak percaya sehat adanya, dan justru kondusif bagi upaya ank menjaga kelangsungan hidupnya. Namun, anak yang dominan dengan rasa percaya yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan tidak mudah dikalahkan rasa kecewa dan putus asa. Erikson menyatakan bahwa ketika yang mencirikan suatu tahap dapat terselesaikan secara positif, sebuah kebajikan akan muncul. Kebajikan akan menambahkan kekuatan egonya. Ditahap ini, ketika anak memiliki rasa percaya lebih besar daripada rasa tidak percaya, kebajikan berupa harapan yang akan muncul. Simpati vs idolisme. Ritualisasi utama di tahap ini adalah rasa simpati. Rasa simpati di sini muncul dari berbagai cara ibu memepertahikan kebutuhan bayi sesuai dengan yang diajarkan budayanya.meski sifatnya pribadi, namun interaksi ibu dan bayi juga mencerminkan praktik-praktik pengasuhan anak ditetapkan secara budaya. Sebagai akibat dari interaksi ibu dan bayi akan mengembangkan perasaan positif terhadap ibu, dan perasaan ini akan menyebabkan bayi dapat merespon secara sosial. Kehangatan ibu merupakan suatu perhatian kepada anak yang bisa diprediksi oleh anak, anak menciptakan dalam dirinya sebuah keinginan untuk mencari interaksi-interaksi dengan orang lain. Jika pengahargaan dan sayang normal bayi pada ibu menjadi berlebihan, ritualisme idolisme yang akan muncul. Idolisme muncul ketika penghargaan normal dan apresiasi mendalam tergadap seseorang menjadi kekaguman dan idealisasi yang berlebihan. 4.2 Kanak-kanak Awal: Otonomi VS Rasa Malu dan Ragu Tahap ini muncul sejak tahun pertama hidup manusia, kueang lebih sampai tahun ketiga dan berkorelasi erat dengan tahap anal perkembangan psikoseksual Freud. Tahao ini, anak dengan cepat belajar banyak keterampilan. Belajar berjalan, 7



memanjat, menarik, mendongeng dan bicara. Secara umum, belajar bagaimana menahan dan melepas sesuatu. Bukan hanya mengaplikasikan ke onjek-objek fisik, namun menahan dan melepas juga berkaitan dengan fases dan urine juga. Dengan kata lain, anak bisa memutuskan ‘dari dirinya’ untuk melakukan sesuatu atau tidak. Orangtua mengemban tugas yang tidak mudah untuk mengendalikan perilaku anak kea rah yang bisa di terima secara sosial tanpa melukai perasaan anak mengontrol dirinya atau otonominya. Dengan kata lain, orangtua harus cukup toleran, namun masih cukup tegas untuk memastikan perilaku yang disetujui secara sosial. Jika orangtua terlalu protektif atau tidak adil di dalam pengginaan hukuman, maka anak akan menjadi ragu-ragu pada dirinya dan mengalami perasaan malu. “Pada tahap ini menjadi sangat menentukan bagi perbandingan cinta dan benci, kerjasama dan kesediaannya, kebebasan mengekspresikan diri dan pensupresiannya. Dari rasa boleh mengendalikan diri tanpa harus kehilangan penghargaan diri, datanglah rasa kehendak baik dan kebanggaan yang akan bertahan lama dari hilangnya rasa boleh mengendalikan diri selain harus takluk pada kendali dari luar, datanglah rasa ragu, dan rasa malu yang memberatkan “ (Erikson, 1985,hlm 254 (Olson, 2013: 292) Jika anak lebih mengembangkan otonomi daripada rasa malu dan ragu, kebajikan berupa kehendak yang akan muncul. Resolusi yang positif bagi krisis yang mencirikan di tahap ini tidak berarti anak tidak lagi mengalami rasa malu dan ragu. Sebaliknya ego anak manjadi cukup kuat untuk menghadapi secara tepat pengalamanpengalaman malu dan ragu yang tidak terelakan datangnya itu. Perhatikan kalau kebajikan-kebajikan yang muncul sebgai hasil dari resolusi posistif krisis-krisis ini bukan lain adalah fungsi-fungsi ego. Individu yang tidak memiliki harapan atau kehendak juga bisa tetap hidup, namun mereka mampu memenuhi kebutuhankebutuhan biologisnya (id), tetapi tidak sefleksibel, optimis atau seberharga mereka yang umumnya memiliki harapan dan kehendak. Bijaksana Vs legalisme. Otonomi paling baik terlayani pada saat kehendak digunakan secara bebas. Namun, karena setiap budaya membatasi sejumlah perilaku dan mengizinkan perilaku lain, anak harus belajar memilah antara yang benar dan keliru, yang dapat diterima dan yang tidak. Erikson menyebut ritualisasi ini bijaksana, karena melaluinya anak belajar hukum, aturan praktik mulia, dan regulasi-regulasi yang mencirikan budaya si anak. Sebelum tahapan ini, merupakan tanggungjawab orangtua sepenuhnya untuk memandu perilaku anak dengan benar. Namun, sejak 8



sekarang ketika aturan dan regulasi sebuah budaya diinternaslisasikan, anak mulai menilai perilakunya sendiri selain itu perilaku orang lain. Anak harus belajar untuk menilai. Ketika superego berkembang nantinya, superego diguanakan anak untuk melakukan evaluasi moral. penyimpanan dari ritualisasi kebijaksanaan adalah rutualisme legalisme, didefinisikan oleh Erikson sebagai “ kemenengan yang tertulis sebagai kata dan hukum. Terekspresikan di dalam sikap yang sangat meninggikan kebenaran dan rasa bersalah secara berlebihan, atau di dalam moralitas sebuah penekanan untuk mengungkap dan mengisolasi orang melalukan kejahatan tak peduli sebuah nilai itu memang tepat untuk mereka atau tidak”. Bagi anak atau orang dewasa yang legalistik, penghukuman dan mempermalukan para pelanggar lebih penting daripada substansi hokum yang dilanggar. 4.3 Usia Prasekolah: Inisiatif VS Rasa Bersalah Tahap ini muncul dari sekitar tahun keempat sampai tahun kelima, dan berkorelasi dengan tahap falik perkembangan psikoseksual Freud. Di tahap ini anak semakin besar kemampuannya di dalam aktivitas motoric, dapat menggunakan bahasa lebih baik dan mulai menggunakan imajinasi secara lebih jelas. Keterampilanketerampilan ini memampukan anak untuk menginisiatifkan ide-ide, tindakantindakan dan fantasi-fantasi, dan untuk merencanakan kejadian-kejadian di masa depan. Menurut Erikson, anak di tahap ini “siap untuk mengembangkan sebuah keingintahuan yang tidak kenal lelah tentang perbedaan ukuran pada umumnya, dan perbedaan jenis kelamin pada khususnya, dalam belajar semakin aktif dan detail: membawa anak menjauh dri keterbatasan dirinya menuju kemungkinan di masa depan” (1959, hlm 76). Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar bahwa mereka adalah manusia. Sekarang mengeksplorasi jenis manusia yang bagaimana mereka dapat menjadi nantinya. Di tahap ini batas-batas dites untuk dipelajari apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak. Jika orangtua menguatkan perilaku dan fantasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rasa inisiatif yang sehat. Namun, jika orangtua mengolok, mengejek, tidak memperdulikan atau memarahi perilaku dan imajinasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rendahnya rasa kemandirian. Bukannya bersemangat mengambil inisiatif, mereka cenderung mengalami rasa bersalah ketika 9



melakukan perilaku jenis itu dan karenanya, cenderung menjalani hidup dalam batasbatas sempit yang ditetapkan orang lain. Jika anak mengembangkan lebih banyak inisiatif di tahap ini daripada rasa bersalah, kebajikan tujuan yang akan muncul. Erikson mendefinisikan tujuan sebagai “keberanian untuk merancang dan mengejar tujuan-tujuan bernilai yang tidak akan bisa terhambat oleh dikalahkannya fantasifantasi infantil, oleh rasa bersalah, dan rasa takut yag teramat sangat akan penghukuman” (1964, hlm 122). Anak yang secara positif menyelesaikan krisis-krisis di tiga tahap pertama akan memiliki kebajikan berupa harapan, kehendak dan tujuan. Autentisitas vs impersonalisasi. Anak di tahap ini biasanya terlibat juga di dalam bermain peran, meniru perilaku, mengenakan kostum, bahkan berpura-pura menjadi hewan tertentu. Permainan seperti ini menyediakan bagi mereka sebuah realitas perantara di mana mereka dapat mengeksplorasi hubungan antara dunia di dalam dan dunia luar mereka. Peran positif dan negative sama-sama dimainkan untuk menegaskan ulang batas-batas suatu perilaku. Lewat proses mencoba-coba berbagai peran dan mengkonfirmasi ulang apa yang memungkinkan dan apa yang tidak, anak menemukan campuran peran yang paling tepat atau cocok baginya. Erikson menyebutnya aktivitas ini sebagai ritualisasi autentisitas. Kelebihan ritualisasi autentisitas akan mengahasilkan ritalisme imperonalisasi, yang muncul ketika anak bingung antara diri mereka sebenarnya dan peran yang mereka mainkan. Alih-alih peran menjadi bagian dari diri sejatinya, atau menambah informasi tentang peran itu, anak malah menjadi peran yang dimainkannya. Yang hilang dari kasus ini adalah sebuah campuran karakteristik kepribadian yang sudah dikembangkan di tahap-tahap sebelumnya untuk menjadi sebuah pribadi yang autentik dan unik. 4.4 Usia Sekolah: Kegigihan VS Inferioritas Tahap ini berlangsung sejak usia 6 tahun hingga 11 tahun, berkorelasi dengan tahap latensi perkembangan psikoseksual Freud. Umumnya sebagian besar anak sibuk bersekolah di usia-usia ini dan di tahap ini anak belajar banyak keterampilan yang dibutuhkan bagi kelangsungan ekonomi, keterampilan-keterampilan teknologis yang akan memampukan mereka menjadi anggota yang produktif dalam budaya. Sekolah adalah tempat anak dilatih bagi pekerjaan dimasa depan dan penyesuain dengan budayanya. Karena kelangsungan hidupa menyarakatkan kemampuan untuk 10



bekerjasama dengan oranglain, keterampilan sosial termasuk di anatara pelajaran yang penting diajarkan di sekolah. Namun, pelajaran yang paling penting dipelajari anak pada tahap ini adalah “ kesenangan menyelasaikan tugas lewat perhatian yang terusmenerus dan memelihara kerajinan” (Erikson, 1985, hlm. 259). Dari pelajaran ini datanglah rasa kegigihan, yang menyiapkan anak untuk mencari dengan penuh kepercayaan dri tempat yang produktif di dalam masyarakat di antara individuindividu lainnya. Jika



anak



tidak



mengembangkan



rasa



kegigihan,



mereka



akan



mengembangkan perasaan inferioritas, menyebabkan mereka hilang keyakinan akan kemampuan diri mereka untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang memberikan sebuah kontribusi. Anak yang seperti ini cenderung mengembangkan sebuah ‘idenditas negatif’. Bahaya lain yang muncul di tahap ini adalah anak di kemudian hari terlalu nilai dari posisi tempat bekerja mereka. Untuk orang seperti ini, kerja disamakan dengan hidup, dan karenannya dibutakan dari banyak aspek penting lain eksistensi manusia. Menurut Erikson keterampilan yang dibutuhkan bagi pekerjaan di masa depan memang harus diperkuat di tahap ini namun bukan dengan mengabaikan atribut-atribut lain yang penting dari manusia. Jika rasa kegigihan anak lebih besar daripada rasa inferioritasnya, mereka kan meninggalkan tahap ini dengan kebajikan berupa kompetensi. “ kompetensi adalah latihan bebas ketahanan dan kecerdasan dalam menyelesaikan tugas-tugas, tidak terhalang oleh inferiotitas infantile” (Erikson 1964, hlm. 124). Kompetensi dating dari atensi penuh kasih dan dukungan yang menguatkan. Perasaan inferioritas sebaliknya, dating dari olok-olok atau kurangnya perhatian dari individu yang dianggap paling penting oleh anak. Formalitas vs Formalisme. Tahao ini anak belajar untu menjadi anggota yang produktif di komunitasnya, mereka harus memiliki keterampilan nyata (bukan khayali) dan pengetahuan. Erikson menyebut ritualisasi di tahap ini adalah formalitas, melibatkan pembelajaran cara-cara yang tepat untuj mengerjakan tugas-tugas. Apapun yang dilakukan anak, baik di sekolah, rumah di tempat kerja, atau dilapangan olahraga, anak harus belajar melakukannya ‘dengan benar’. Kelebihan ritualisasi formalitas menghasilkan ritualisme formalism. Formalism tampak dalam bentuk kepedulian yang berlebihan atas tekni-teknik pengerjaan tugas, dan kebutaan akan tujuan dan makna tugas itu sendiri.



11



4.5 Remaja: Identitas VS Kebingungan Peran Tahap ini muncul antara usia 12 samapi 20 tahun, berkorelasi dengan tahap genital perkembangan psikoseksual Freud. Tahap ini mempresentasikan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar siapa diri mereka dan apa yang dapat mereka lakukan, yaitu berbagai peran yang tersedia bagi mereka. Di tahap ini anak harus berhati-hati mempertimbangkan semua informasi yang sduah dikumpulkan tentang diri dan masyarakat dan akhirnya mengikatkan diri mereka pada sejumlah komitmen strategi untuk menjalani hidup. Setelah mengerjakan hal itu, akan memperoleh sebuah identitas dan kemudian menjadi orang dewasa. Meraih sebuah identitas pribasi menandai tujuan yang memuaskan dari tahap perkembangan. Tahao ini sendiri dilihat sebagai waktu mencari sebuah identitas namun bukan seprti ynag sudah dimilikinya. Erikson menyebut interval antara remaja sampai dewasa ini moratorium psikososial. Erikson menggunakan istilah identitas (kadang sisebutnya identitas ego), dengan berbagai cara. Namun tidak membuat apologi apapun saat menggunakan istilah identitas dengan berbagai cara. Karena identitas adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, ia menganggap memang harus didekati dari banyak sudut. Jika seorang dewasa muda tidak meninggalkan tahao ini dengan sebuah identitas, mereka akan meninggalkan dengan sebuah kebingungan peran, bahkan mungkin dengan sebuah identitas negatif. Bagi Erikson konsep tentang kebingungan peran dan identitas negatif ini menjelaskan sebagian besar kegelisahan, permusuhan dan kekerasan yang diekspresikan di banyak tempat. Jika anak muda muncul dari tahap ini dengan identitas positif lebih daripada kebingungan peran atau identitas negatif, mereka juga akan muncul dengan kebajikan yang disebut kesetiaan. Erikson mendefinisikan kesetiaan sebagai “kemampuan untuk mempertahankan loyalitas dengan janji yang bebas diberikannya tak peduli kontradiksi tak terelakan dari system-sistem nilai tertentu” 91964, hlm. 125). Ideology vs Totalisme. Ritualisasi yang terdapat di tahap ini adalah ideology. Remaja mencari ideology yang dapat mensintesiskan semua perkembangan ego ditahap perkembangan sebelumnya. Ideology membangkitkan sebuah rancangan permainan bagi hidup, ia memberikan makna hidup. Sebuah identitas tidak dapat muncul smapai semua fungsi ego sebelumnya terintegrasikan, dan komitmen terhadap sebuah ideology memampukan integritas yang sperti itu. Ideologi yang dipilih bersifat religious, politis atau filosofis. Ritualiasi yang berlebihan atas ideology akan 12



menghasilkan ritualisme totalisme. Totalisme melibatkan sebuah komitmen yang mutlak terhadap ideology-ideologi yang terlalu simplistic. Menurut Erikson, ketika para remaja terlalu mengidentifikasi diri dengan kelompom atau individu tersebut, karena sepertinya mereka bisa menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan hidup yang paling mereka rasakan sulit. Pemikiran simplistic yang terlibat dalam totalisme, bisa membuat hidup lebih mudah bagi para remaja yang bermasalah, jika ini dilakukan untuk sementara waktu, tidak akan membahayakan. Namun totalisme bertahan lama maka identitas yang semestinya diperoleh akan menimbulkan masalah. Menurut prinsip epigenetic, semua krisis muncul ditahap perkemangan. Contohnya krisis identitas eksis pada anak muda seperti orang dewasa, namun yang membedakan adalah tingkat kematangannya mencari resolusi. Karena biologis, psikologis dan sosial, hanya di masa remaja krisis identitas muncul di titik kritisnya. 4.6 Dewasa Muda: Keintiman VS Isolasi Tahap ini berlanssung sekitar usia 20 samoai 24 tahun, dan sejak tahap psikososial inilah tidak ada korelasi konsep Erikson dengan perkembangan psikoseksual Freud. Menurut Erikson yang normal bagi dewasa muda terdiri atas, sebagian besar, mencintai dan bekerja secara efektif. Individu yang tidak mengembangkan sebuah kapsitas bagi kerja produktif dan keintiman yang ditarik ke dalam dirinya, menghindari kontak-kontak dekat, dan mengembangkan sebuah perasaan isolasi. Jika individu mengembangkan sebuah kapasitas yang lebih besar bagi keintiman daripada isolasi di tahap ini, mereka akan muncul dengan kebajikan cinta. Erikson mendefiniskan cinta sebagai “kesetiaan timbal balik yang selamanya dapat melakukan antagonism-antagonisme yang inheren di dalam fungsi yang terpilah” (1964, hlm. 129). Afiliasi vs Elitisme. Sekali saja sebuah identitas sudah diraih dan ideology sudah dipilih yang memampukan pemanifestasian produktif identitas, individu baru dapat berafiliasi secara produktif dengan sesame manusia di dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta. Ritualisasi yang mencirikan tahap kalau begitu adalah afiliasi, yaitu beragam cara yang diatur budaya terkait saknksi-sanksi perawatan dan produksi di antara orang-orang dewasa. Kelebihan ritualisasi afiliasi ini menghasilkan ritualisme yang 13



disebut elitism. Individu yang mengalami perasaan isolasi lebih daripada keintiman cenderung dikitari oleh kelompok-kelompok kecil individu uang sepemikiran lebih daripada membentukhubungan emosi yang mendalam dengan beragam individu yang sehta. Hidup mereka cenderung dicirikan oleh kebanggaan diri, symbol-simbol status dan keanggotaan di kelompok eksklusif. Karena hubungan ini sebenarnya tidak sungguh-sungguh ntim, individu sebenarnya melanjutkan perasaan terisolasi diri mereka di dalam budayanya. 4.7 Dewasa: Generativitas VS Stagnasi Tahap ini muncul sekitar usia 25-64 tahun, disebut juga sebagai tahap dewasa madya. Idividu beruntung mengembangkan sebuah identitas yang positif dan menjalani hidup yang produktif dan bahagia, akan berusaha melanjutkan situasisituasi yang menyebabkan hidup ke generasi berikutnya. Dapat dilakukan melalui berinteraksi dengan anak secara langsung (meski tidak harus anaknya sendiir), atau dengan memproduksi atau menciptakan pengalaman-pengalaman yang akan mengembangkan



hidup



orang-orang



di



generasi



selanjutnya.



Perbandingan



generativitas lebih besar daripada stagnasi, individu akan meninggalkan tahap ini dengan kebajikan yang disebut perhatian. Generasionalisme vs otoritasme. Ritualisasi yang mencirikan tahap ini adalah generasionalisme yang melibatkan banyak cara di mana orang dewasa yang kebih tua mentransmisikan nilai budaya ke genrasi berikutnya. Orangtua, guru, dokter dan pemimpin spiritual secara khusus berpengaruh bagi penyebaran nilai budaya kepada anak. Kelebihan ritualisasi generasionalisme menghasilkan ritualisme otoritasme. Otoritasme muncul ketika tokoh-tokoh otoritas disebuah budaya menggunakan kuasa mereka bukan untuk memberikan perhatian dan instruksi bagi anak muda, melainkan demi tujuan egois mereka sendiri. 4.8 Usia Senja: Integritas Ego VS Rasa Putus Asa Tahap ini muncul dari sekitar usia 65 tahun hingga meninggal, disebut tahao dewasa akhir. Erikson mendefinisikan intergritas ego, solusi psitif bagi krisis ditahap ini, sebagai berikut: - Hanya pada individu yang lewat berbagai cara memberi perhatiaan kepada banyak hal dan manusia, dan yang sudah mengadaptasikan dirinya pada kemenangan dan kekecewaan yang selalu menggelayuti manusia, penggagas atau pembangkit 14



produk-produk dan ide-ide pada individu secara betahap buah-buah dari ketujuh tahap sebelumnya terpetik saya tidak punya istilah lebih baik untuk ini selain integritas ego. (1985, hlm. 268). Menurut Erikson, individu yang dapat menengok kembali semua hal di masa lalu dengan cara yang konstruktif dan kaya, hidupnya bisa disebut bahagia dan tidak pernah takut pada kematian. Individu yang seperti ini memiliki perasaan yang disebut ‘lengkap/ utuh’ dan ‘penuh’. Individu yang menengok masa lalu dengan frutasi akan mengalami keputusasaan. Individu yang mengalami keputusasaan tidak siap untuk meninggal karena tidak mengalami rasa kepenuhan, yaitu perasaan dirinya belum meraih tujuan-tujuan utama di dalam hidupnya. Tahap perkembangan ini saling berkaitan secara melingkar dari tahap pertama hingga akhir. Jika seseorang individu memiliki integritas ego lebih besar daripada putus asa, hidupnya akan dicirikan oleh hikmat, didefinisikan oleh Erikson “kepedulian yang siap melepaskan hidup demi menyambut kematian” (1964, hlm. 133). Integralisme dan sapienisme. Semua krisis di setiap tahap bisa diselesaikan secara positif, manusia akan menyadari beberapa hanyalah alat untuk mengabadikan budaya. Artinya, ia telah meraih sebuah kekekalan sat tahu bahwa budaya yang sudah dibantunya disebarkan dan dilestarikan akan tetap lenggeng bahkan setelah meninggal nanti. Ritualisasi ini disebut integralisme, melibatkan penyatuan final semua ritualisasi sebelumnya. Integrasi terakhir ritualisasi ini menaruh hidup dan kematian ke dalam perspektif. Kelebihan ritualisasi intergralisme akan menghasilkan ritualisme sapientisme yang disebut Erikson “kepura-puraan tanpa kearifan seolah memiliki kearifan” (1977, hlm. 112). Para lansia yang mengalami keputusan lebih besar daripada integritas ego akan berperan sebagai seorang yang memiliki semua jawaban, menjadi mutlak benar, namun tidak mampu menempatkan hidupnya di dalam konteks evolusi budaya yang berkelanjutan. 5. Tujuan Psikoterapi Erikson menyatakan kalau praktik-praktik psikoterapinya berbeda dari praktik-praktik psikoanalisis tradisional karena zaman modern telah menciptakan berbagai jenis gangguan yang berbeda dari masa sebelumnya. Contohnya, Erikson menjelaskan bahwa "dewasa ini pasien banyak menderita persoalan apa yang mestinya diyakini dan seperti siapa semestinya -bahkan harus-menjadi, terganggu 15



karena terlalu banyak kebebasan, sedangkan pasien di masa psikoanalisis awal lebih banyak menderita penghambatan yang mencegahnya dari menjadi apa dan diwajibkan menjadi seperti siapa" (1985, hlm. 279).



Tahap



Usia (th)



Krisis



Kebajikan



Ritualisasi



Ritualisme



Harapan



Simpati



Idolisme



Kehendak



Bijaksana



Legalisme



Tujuan



Otentisitas



Impersonalisasi



Kompetensi



Formalitas



Formalisme



Kesetiaan



Ideologi



Totalisme



Cinta



Afiliasi



Elitisme



Kepercayaan dasae Bayi



Lahir – 1



vs ketidakpercayaan dasar Otonomi vs rasa



Kanakkanak



1–3



malu dan ragu



awal Inisiatif



Usia pra-



4–5



sekolah



vs



bersalah Kegigihan



Usia sekolah



6 – 11



Dewasa muda



12 – 20



25 – 64



vs



isolasi Generativitas



Dewasa



vs



identitas peran Keintiman



20 – 24



vs



inferiroritas Identitas



Remaja



rasa



vs



stagnasi



Perhatian



generasionali sme



Otoritasme



Integritas ego vs Usia senja



65 –wafat



putus asa



Hikmat



Integralisme



Sapientisme



Bagi Erikson, fokus utama di dalam proses terapeutik adalah ego pasien harus diperkuat hingga titik di mana ia dapat mengatasi persoalan hidup. "Kerja rehabilitasi ini dapat dibuat lebih efektif dan ekonomis jika investigasi klinis difokuskan pada rencana hidup pasien yang terserak-serak dan jika nasihat cenderung menguatkan pensintesisan ulang elemen-elemen di mana identitas ego pasien didasarkan" (1959, hlm. 43). Erikson yakin teknik tradisional melepaskan kandungan-kandunggan pikiran bawah sadar lebih membawa kerusakan daripada kebaikan. Eriksen menyatakan kalau 16



metode psikoanalitik "dapat membuat beberapa oran lebih sakit dari sebelumnya ... khususnya ketika, di dalam penelusuran yang bersemangat untuk 'membuat disadari' di dalam situasi psikoterapeutik kita mendorong pasien yang sudah berusaha menghindari hal-hal yang dire. presinya justru ke pinggir jurang bawah sadarnya" (1968, hlm. 164). Seperti Adler, Erikson meminta pasiennya duduk santai di seberangnya di kursi yang nyaman dan bukannya berbaring di sofa, karena posisi ini menciptakan sebuah situasi yang lebih setara bagi pasien. Secara singkat bisa dikatakan kalau individu yang sehat adalah egonya dicirikan oleh delapan kebajikan yang dihasilkan oleh solusi positif setiap krisis di delapan tahap perkembangan psikososial. Tujuan psikoterapi adalah menguatkan pertumbuhan apa pun kebajikan yang tidak muncul, bahkan meski itu harus kembali jauh ke tahap pertama untuk membantu klien mengembangkan kepercayaan dasar. Bagi Erikson, hasil dari setiap resolusi krisis dapat dibalik kapan pun. Contohnya, individu yang meninggal- kan tahap pertama perkembangan tanpa kepercayaan dasar akan dapat me- raihnya kembali, dan siapa pun yang pernah memilikinya dulu, bisa kehilangan jika berada di situasi yang sulit. Friedman (1999) menyimpulkan terapi Erikson sebagai berikut: 6. Perbandingan Erikson dan Freud Beberapa topik utama yang memperlihatkan perbedaan teori kepribadian Erikson dari Freud dapat dilihat di bawah ini: a. Perkembangan Freud mengonsentrasikan studi-studinya kepada tahap-tahap psikoseksual perkembangan kepribadian manusia yang terjadi sebelum usia 6 tahun karena diyakininya sebagai dasar terpenting bagi perkembangan kepribadian selanjunya, Erikson mempelajari perkembangan kepribadian yang muncul di sepanjang hidup. Pandangannya ini mirip Jung, namun Erikson lebih detail menjelaskan prosesnya, yang menggandeng di dalamnya pengaruh-pengaruh sosial dan budaya bagi perkembangan kepribadian manusia. b. Anatomi sebagai Takdir 17



Freud menekankan pentingnya perbedaan biologis antara pria dan wanita bagi perkembangan kepribadian. Erikson setuju kalau perbedaan anatomi ini menyediakan pola stimulasi internal, namun menekankan bahwa stimulasi tersebut berinteraksi juga dengan lingkungan sosial untuk menghasilkan karakteristik-karakteristik kepribadian. Istilah ‘kecemburuan terhadap penis' tidak pernah muncul di karya utama Erikson (1985), namun di tempat lain, Erikson (1968) berpendapat bahwa apa yang disebut kecemburuan terhadap penis, dan perilaku dan sikap yang dianggap berkaitan dengannya, diniscayakan oleh teori Freud dan metode-metode terapinya: "Selalu dicurigai bahwa suatu metode khusus mengusung kebenaran yang agak jarang, namun bisa menjadi benar di dalam situasi yang diciptakan oleh metode tersebut" (hlm. 275). Teori Erikson dan metode yang dibangkitkannya tidak mendukung konsep kecemburuan terhadap penis Freud ini. c. Psikologi Ego Di bawah pengaruh Anna Freud, Erikson menggeser fokusnya untuk menjauh dari id dan lebih menyoroti ego. Daripada melihat individu ditekan oleh masyarakat, Erikson memilih melihat masyarakat sebagai sumber kekuatan yang potensial bagi perkembangan kepribadian manusia. Seperti yang sudah kita lihat, Erikson yakin budaya harus menyediakan ritualisasi demi membantu penyelesaian positif bagi krisis yang terdapat di setiap perkembangan. Individu kalau begitu bisa dikatakan melayani budaya, dan sebaliknya, budaya melayani individu. d. Pikiran Bawah-Sadar Meskipun teori Erikson menekankan ego yang sadar, ia tidak mengabaikan mekanisme bawah sadar begitu saja. Faktanya, meski ego meraih kekuatannya dari pengalaman-pengalaman sosial tertentu, namun pengalaman-pengalaman itu sendiri utamanya bersifat bawah sadar. Akan tetapi pengguna istilah bawah sadar oleh Erikson berbeda dari Freud. e. Analisis Mimpi Meski Erikson meminimkan penggunaan analisis mimpi di dalam prakik terapeutiknya, ia setuju dengan pandangan Freud bahwa mimpi menyediakan informasi tentang bawah sadar dan kerja mimpi menciptakan simbol-simbol mimpi yang memiliki lebih dari satu makna. Selain itu, Erikson yakin asosiasi bebas adalah 18



cara yang efektif untuk mempelajari mimpi. Meski yang paling penting bagi Erikson adalah pengaruh ego bagi mimpi. Ego yang sehat tetap kuat bahkan saat tidur, dan mereka membuat kompromi- kompromi dengan impuls-impuls id yang menghasilkan mimpi tentang sukses dan prestasi sehingga pemimpi bangun dengan perasaan kompeten dan kepenuhan. Erikson juga yakin mimpi sering kali menganjurkan solusisolusi bagi masalah hidup yang tengah dialami pemimpi. Faktanya, selama menjalani terapi, pasien dapat bermimpi mimpi-mimpi yang tujuannya semata-mata untuk dianalisis oleh analis di mimpinya itu, "Sekali saja kita mulai mempelajari mimpimimpi kita sendiri . kita dapat bermimpi agar bisa dipelajari" (Erikson, 1977, hlm. 134). f. Psikoterapi Kita sudah melihat Erikson menganggap individu itu sehat jika ia berhasil melewati delapan tahap kehidupan dan karenanya mendapatkan kebajikan-kebajikan harapan, kehendak, tujuan, kompetensi, kesetiaan, cinta, perhatian dan hikmat. Jika manusia tidak bisa memperoleh kebajikan-kebajikan ini, ego-ego mereka akan lebih lemah daripada yang seharusnya, dan menjadi tugas terapis untuk membantu menyediakan situasi-situasi di mana kebajikan-kebajikan ini dapat berkembang. Inilah kontras mencolok dari keyakinan Freud bahwa terapi semata-mata untuk membantu pasien memahami memori-memori yang direpresi dengan menggunakan teknik-teknik seperti analisis mimpi dan asosiasi bebas. g. Agama Freud mengusung perspektif yang buram tentang agama, menyatakan bahwa ini hanyalah sebuah neurosis kolektif yang didasarkan kepada rasa taku dan hasrathasrat infantil. Erikson sangat tidak setuju. Baginya, agama dibu tuhkan banyak orang. Selama berabad-abad agama digunakan untuk mem bantu manusia memahami hidup dan cara mengatasi persoalan hidup, semata-mata agar hidup tidak terasa mengancam dan hati merasa dikuatkan. Tanpa "ya, idup jutaan orang akan penuh dengan ketidakpastian. Di titik ini Erikson sepakat dengan Jung dan Adler. Menurut Erikson, satu fungsi utama agama adalah menyediakan sebuak "gambar dunia bersama. Karena hanya dunia yang koheren saja yang dapat



19



menyediakan iman untuk dipancarkan dari ibu ke bayi-bayinya dengan suatu cara yang kondusif bagi kekuatan vital harapan" (Erikson, 1968, hlm. 106) Dengan kata lain, agar orang dewasa dapat menyisipkan harapan ke anakanaknya, mereka harus punya iman terhadap dunianya. Namun, Erikson tidak yakin hanya agama penyedia gambar dunia yang kondusif bagi rasa percaya, harapan dan iman. Banyak orang, katanya, mendapatkan imannya justru dari wilayah-wilayah sekuler seperti sains dan tindakan sosial (1985, hlm. 251). Kita bisa melihat, kalau begitu, meski Erikson menyebut dirinya Freudian namun teorinya sedikit saja memiliki kesamaan dengan Freud. Selain itu, konsepnya tentang hakikat manusia kontras total dari milik Freud. Mungkin, seperti yang sudah kita jelaskan, penegasan Erikson bahwa teorinya lebih dekat dengan teori Freud tak lebih dari apresiasi mendalam dia terhadap sudah menerimanya di kubu mereka, sebuah pengalaman Freudian yang menyelesaikan krisis identitasnya kala itu.



20



BAB III PENUTUP



1. Kritik Terhadap Teori Erikson Sekurangnya ada 5 kritikan yang dilontarkan pada teori kepribadian Erikson, berikut penjelasannya : a. Sulit untuk Dites secara Empiris. Kita sudah melihat bahwa Erikson tidak begitu berminat untuk mengetes sendiri teorinya secara empiris, dan tidak begitu peduli bahwa riset yang dilaporkannya (seperti risetnya tentang aktivitas-aktivitas bermain anak laki dan perempuan) tidak punya analisis kuantifikasi dan statistik yang benar. Namun, para peneliti lain telah sukses memverifikasi sejumlah konsep Erikson tentang tahap-tahap perkembangan atau khususnya terkait identitas. b. Pandangan yang Terlalu Optimis tentang Manusia. Meski mengklaim sebuah afiliasi yang dekat dengan teori Freud, Erikson melukiskan sebuah gambar yang jauh lebih manusiawi ketimbang Freud. Sedikit saja di teori Erikson yang mendeskripsikan perjuangan intens mengendalikan sifat hewani kita. Dengan menekankan dan meluaskan fungsi ego, Erikson berkonsentrasi kepada persoalan-persoalan tentang identitas, penyelesaian masalah, dan hubungan-hubungan antar-pribadi lebih daripada menjinakkan instinginsting seksualitas dan agresivitas. Bagi beberapa pengkritik, potret Erikson tentang manusia terlalu optimis, tidak realistik dan simplistik. c. Mendukung Status Quo. Pada esensinya Erikson mendefinisikan pribadi yang sehat sebagai individu yang mampu menyesuaikan diri dengan, menerima, dan meneruskan ke generasi selanjutnya elemen-elemen budayanya. Bagi banyak pengkritiknya, definisi ini terdengar seolah Erikson mendukung sebuah kompromi. Bahkan, Erikson menegaskan jika perkembangan ego terjadi setelah manusia terlibat di dalam ritualisasi budaya yang tersedia di banyak tahap perkembangan. Dengan kata lain, Erikson menegaskan kalau ego yang sehat mensyaratkan dukungan terhadap peran-peran yang mendapat sanksi budaya, dan penitikberatan ini dinilai banyak pihak sebagai penguatan atas peran-peran itu. Bagi mereka yang melihat ketidakadilan, nilainilai yang tidak manusiawi dan kebodohan-kebodohan di budayanya, tentulah sulit mengamini konsep bahwa kesehatan mental berarti penyesuaian diri dengan situasi yang abnormal ini.



21



d. Moralisasi Berlebihan. Definisi Erikson tentang penyesuaian positif bagi krisis-krisis di berbagai tahap perkembangan bersesuaian dengan etika Kristiani dan institusi-institusi sosial yang ada di masa itu. Bahaya di ranah ini (seperti juga di semua teori kepribadian) adalah Erikson lebih banyak mendeskripsikan nilai-nilai yang dianutnya daripada mendeskripsikan realitas objektif. Roazen (1980) menyatakan: Mencampuradukkan “yang semestinya” dan “yang sebenarnya” dapat mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan. Ada bahaya konservatisme di sini melemparkan sebuah mantel moralitas kepada dunia yang sudah ada, dan mendorong segala sesuatu yang sudah “ada” dengan suatu yang mirip sanksi etik. Pesan Erikson mengomunikasikan terlalu banyak apa yang kita ingin dengar. Harapannya terlalu sering bergandengan dengan konservatisme sosial. Roazen (1976) mengomentari lebih jauh moralisasi yang dilakukan Erikson ini: Ketika kita merenungkan implikasi-implikasi dari psikologi ego Erikson, dengan sikap-sikapnya yang berbeda terhadap manfaat dari institusi-institusi sosial yang sudah ada, sebuah nuansa etik yang konsisten terus muncul; pernikahan, heteroseksualitas dan membesarkan anak menjadi bagian dari apa yang dianggapnya sebagai kehidupan yang baik. Kritik bahwa teori Erikson terlalu moralistik ini sangat dekat kaitannya dengan kritik bahwa teorinya mendukung statusquo. e. Gagal Mengakui Pengaruh-pengaruh yang Membentuk Teorinya. Satu kritikan menyoroti klaim Erikson bahwa teorinya “pasca-Freudian” padahal faktanya, sedikit saja kemiripan substansial antara teorinya dan teori Freud. Kritik ini juga menyatakan bahwa Erikson sengaja melabeli teorinya demikian untuk menghindari ’pengucilan’ dari lingkaran psikoanalitik. Dengan kata lain, tujuannya semata-mata bersifat politis dan pragmatis. Selain itu, meski Erikson banyak memuji kontribusi Freud bagi teorinya, namun jelas-jelas pemikirannya mirip dengan para teorisi lain seperti Adler dan Horney, yang sama-sama menekankan pentingnya variabel sosial sebelum Erikson menggulirkan teorinya itu. 2. Implikasi dalam BK Teori ini memiliki implikasi dalam bimbingan dan konseling bahwa teori ini dapat membantu



konselor



melakukan



pemahaman



kepribadian



melalui



tahapan



perkembangan psikososial Erikson. Hal ini sangat membantu dalam proses eksplorasi diri konseli saat proses pemberian bantuan. Pemahaman kepribadian dari aspek



22



psikoseksual dan psikososial. Factor lingkungan juga mempengaruhi pembentukan kepribadiaannya. Implikasi dari teori Psikososial Erik Erikson bagi Bimbingan dan Konseling adalah dengan adanya teori konseling yang dapat digunakan yaitu konseling ego. Konseling ego dipopulerkan oleh Erikson. Teori konseling ini dinamakan konseling ego karena konseling ego ini memiliki ciri khas yang lebih menekankan pada fungsi ego yang merupakan energi psikologikal individu, dibanding id dan superego sesuai dengan apa yang menjadi bahasan dalam teori psikososial Erik Erikson itu sendiri. Kegiatan konseling yang dilakukan pada umumnya bertujuan untuk memperkuat ego strength, yang berarti melatih kekuatan ego konseli. Ego berkembang atas kekuatannya sendiri, tidak tergangtung pada energi id. Fungsi ego disini berhubungan dengan lingkungan melalui cara-cara rasional dan sadar. Tujuan utama konseling ego ini ialah membantu konseli membangun identitas ego, memperluas dan memperkuat berfungsinya sistem ego pada diri konseli. (Prayitno, 1998:47-48) Prayitno (1998: 46-49) menuliskan sebuah kasus yang dapat ditangani dengan menerapkan konseling ego. Kasus: Apabila individu tertekan oleh keadaan yang menimpanya dan ego kehilangan kontrol, maka kontrol terhadap tingkah laku beralih dari kesadaran ke ketidaksadaran, kontrol beralih dari ego ke id. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh (1) individu kurang mampu merespon dengan cara yang layak; (2) pola tingkah yang dimiliki tidak lagi cocok dengan tuntutan lingkungan (situasi); (3) rusaknya fungsi ego. Maka, tehnik yang dapat digunakan untuk menangani kasus tersebut adalah: Teknik Konseling Ego: Teknik yang dipakai tidaklah kaku, melainkan luwes sesuai dengan hak konseli untuk menjadi dirinya sendiri. a) Pengawalan : membina hubungan antara konselor dan konseli b) Pengontrolan proses : 1) Memusatkan kegiatan pada pengembangan ego strength konseli. 2) Mengontrol keseimbangan antara ekspresi konseli yang bersifat kognitif maupun konatif (emosi) tetapi proses konseling tetap menekankan dimensi kognitif. 23



3) Mengontrol ambiguitas dalam konseling, untuk: o Mengontraskan perasaan konseli o Menampilkan keunikan pribadi konseli o Membangun transferensi melalui proyeksi c) Transferensi : dimaksudkan sebagai perasaan konseli yang timbul terhadap konselor d) Counter Transferensi : upaya konselor untuk mencegah perasaannya yang muncul terhadap konseli dan mempengaruhi proses konseling. e) Diagnosis dan interpretasi : konselor bertanggung jawab merumuskan dan mendiagnosis masalah, serta memberikan kesempatan kepada  konseli untuk memahami masalah-masalahnya itu. f) Pembentukan tingkah laku baru : 1.) konselor mengajarkan cara-cara baru 2.) konseli dilatih 3.) mempergunakan tugas rumah yang harus dikerjakan Semuanya itu untuk memperkuat ego yang dapat berfungsi lebih tepat. FUNGSI EGO Fungsi ego dalam diri individu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Impulse Economics (Fungsi dorongan ekonomis) Kemampuan ego untuk tidak hanya mengontrol dorongan-dorongan, tetapi menyalurkannya ke arah tingkah laku yang lebih dapat diterima dan berguna. b. Cognitive Function (Fungsi kognitif) Kemampuan ego untuk menganalisis dan berpikir logis mengatasi perasaan, ini merupakan kemampuan ego yang bebas dari pengaruh id. c. Controlling Function (Fungsi Pengawasan) Kemampuan ego untuk memusatkan usaha penyelesaian tugas tanpa diganggu oleh perasaan. (Prayitno, 1998: 46)



24



DAFTAR PUSTAKA Olson, M. H., & Hergenham, B. R. (2013). Pengantar Teori-Teori Kepribadian edisi kedelapan (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



Prayitno. 1998. Konseling Pancawaskita: Kerangka Konseling Eklektik. Padang : UNP Press.



25