Mawar Merah Matahari by Luna Torashyngu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

kabut dan kuair jika Yakuza mengadakan aksi balasan. Jika hal itu sampai terjadi, bakal ada banjir darah di Jepang, dan itu bisa berpengaruh pada situasi poliik



Twiter : @luna_torashyngu



Mawar Merah



Matahari LUNA TORASHYNGU



U n d an g-u n d an g Re p u blik In d o n e s ia N o m o r 19 Tah u n 2 0 0 2 Te n tan g H ak Cip ta Lin gku p H ak Cip ta Pasal 2: 1. Hak Cipta m erupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pem egang Hak Cipta untuk m engum um kan atau m em perbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pem batasan m enurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Ke te n tu an Pid an a: Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja m elanggar dan tanpa hak m elakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara m asing-m asing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp1.0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.0 0 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a m iliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja m enyiarkan, m em am erkan, m engedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai mana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp50 0 .0 0 0 .0 0 0 ,0 0 (lim a ratus juta rupiah).



Penerbit PT Gram edia Pustaka Utam a J akarta



MAW AR MERAH : MATAH ARI Oleh Luna Torashyngu GM 312 0 1 14 0 0 75 © Penerbit PT Gram edia Pustaka Utam a Gedung Gram edia Blok 1, Lt.5 J l. Palm erah Barat 29– 37, J akarta 10 270 Cover oleh Lutor Diterbitkan pertam a kali oleh Penerbit PT Gram edia Pustaka Utam a anggota IKAPI, J akarta, J uni 20 11 Cetakan kedua: Agustus 20 11 Cetakan ketiga: Novem ber 20 14 www.gram ediapustakautam a.com Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang m engutip atau m em perbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. 384 hlm ., 20 cm . ISBN: 978 – 60 2 – 0 3 – 10 75 – 6



Dicetak oleh Percetakan PT Gram edia, J akarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan



Ce r it a Se b e lu m n y a : Enam bulan setelah Rachel atau Elsa m enghilang dalam peristiwa m eledaknya kapal pesiar Stella, Riva m encoba menata kembali hidupnya yang berantakan. Dia berusaha melupakan trauma setelah berhadapan dengan pembunuh bayaran dan ham pir kehilangan nyawanya. Riva kem bali m elanjutkan kuliahnya yang sem pat tertunda dan m enekuni kariernya sebagai atlet karate. Tapi Riva belum bisa hidup norm al. Ada pihak lain yang menginginkan kematiannya. Bermula dari kecelakaan yang m erenggut nyawa kedua orangtuanya, lalu ada yang m encoba m em bunuh Riva dengan berbagai cara. Riva diselam atkan oleh seorang gadis m isterius yang mengaku teman Rachel dan biasa dipanggil dengan nama Lotus. Sejak saat itu, Riva harus meninggalkan kehidupan



norm alnya. Dia harus berpindah-pindah tem pat untuk m enghindari orang-orang yang ingin m em bunuhnya. Di sisi lain, kabar m eninggalnya Rachel rupanya belum membuat pihak-pihak yang punya urusan dengannya puas. CIA berusaha m enggali keterangan soal Rachel dan m encari tubuhnya yang belum ditem ukan. Berbagai cara mereka lakukan, termasuk menahan Mama Rachel, Widya yang baru sium an dari kom a selam a lebih dari sepuluh tahun. Tapi usaha mereka tidak membuahkan hasil karena Widya pun tidak tahu di m ana keberadaan anaknya. Anak J onathan Keisp, yaitu Henry Keisp, juga tidak percaya Rachel meninggal. Dengan mengerahkan mantan pem bunuh bayaran SPIKE yang m asih tersisa, dia berusaha m encari tahu keberadaan Rachel. Kabar m engenai keberadaan seorang gadis yang m irip Rachel di Tim ur Tengah rupanya menarik perhatian Henry Keisp dan juga CIA. Mereka berlom ba untuk m endapatkan gadis yang berada di tangan gerilyawan di Libya. Tapi akhirnya gadis tersebut berhasil diselam atkan oleh Shunji Nakayam a, guru sekaligus orang yang m em besarkan Rachel. Gadis itu ternyata m enderita am nesia. Dia tidak ingat sem uanya, bahkan nam anya sendiri. Dengan segala cara, Shunji berusaha m engem balikan ingatan gadis tersebut. Dengan bantuan Lotus, Riva akhirnya bisa mengetahui siapa pihak yang ingin m em bunuhnya. Dia diburu oleh orang-orang sebuah kelom pok pem bunuh bayaran yang telah berusia ratusan tahun dari J epang, Kelom pok Oni. Tapi Riva tidak tahu kenapa dia diburu dan kedua orangtuanya dibunuh. Riva m erasa dia tidak punya urusan dengan kelom pok pem bunuh m ana pun.



Saka, seorang polisi muda, yang juga sepupu Riva, mencoba m encari tahu keberadaan Riva dan kenapa Riva m enghilang. Dengan m enyelidiki bukti dari rum ah Riva, m em bawa Saka pada asal-usul keluarga Riva yang ternyata berasal dari J epang. Saka pun bertem u dengan Prof. Masaro, ahli sejarah J epang yang m em bawanya pada fakta tentang Kelom pok Oni dan hubungannya dengan Riva. Widya akhirnya berhasil m elarikan diri dari sekapan CIA. Tapi di perjalanan, dia dihadang oleh kelompok lain yang juga m enginginkan dirinya. Kelom pok itulah yang m em buat Widya kem bali pada CIA dan m em utuskan untuk bekerja sama dengan agen rahasia Amerika Serikat tersebut untuk m enem ukan anaknya. Pelarian Riva dan Lotus akhirnya sampai ke Singapura. Untuk melindungi Riva, Lotus menitipkan gadis itu pada pemimpin Yakuza yang dikenalnya. Yakuza adalah musuh besar kelom pok Oni, oleh karena itu Lotus yakin kelom pok Oni tidak akan berani m engganggu Riva bila berada dalam perlindungan Yakuza. Tapi ternyata keyakinan Lotus keliru. Kelom pok Oni tetap m em buru Riva. Mereka bahkan berani m endatangi tempat Riva mendapat perlindungan. Lotus yang kembali untuk m enolong Riva harus berhadapan dengan Geisha; salah seorang pem bunuh Oni yang punya ilm u beladiri yang sangat tinggi. Berdua dengan Riva, Geisha akhirnya dapat dikalahkan oleh Lotus. Tapi karena menderita luka yang sangat parah, Lotus akhirnya m eninggal, sedang Riva yang juga terluka parah, ditolong oleh pem uda bernam a Kenji yang tidak lain adalah kakak angkat Rachel.



Usaha Shunji untuk menyembuhkan gadis yang terkena am nesia itu akhirnya berhasil Perlahan-lahan gadis itu berhasil m engingat siapa dirinya, serta m asa lalunya. Hingga akhirnya si gadis telah sadar sepenuhnya dan m en gin gat n am an ya den gan jelas: Rachel Sarasvati Watson.



8



Satu



N a g o y a , Je p a n g



LONCENG tanda jam pelajaran telah berakhir berbunyi. Ratusan siswa SMA Kawam ai berham buran keluar dari kelasnya m asing-m asing. Seorang gadis rem aja berjalan pelan m enuju gerbang sekolah. Wajahnya yang cantik m enunduk, hingga tertutup ram butnya yang panjang terurai. ”Azuka!” Panggilan itu membuat si gadis menoleh. Seorang gadis lain beram but dikepang dua dan seorang pem uda berbadan tinggi besar dan berjaket kulit m engham pirinya. ”Hai, Rue...,” sapa Azuka. ”Hai…” Gadis yang dipanggil Rue itu m em balas.



9



”Kau pulang naik apa?” tanya Rue. ”Seperti biasa, naik bus,” jawab Azuka. ”Sebaiknya kau pulang bersam a kakakku saja. Biar dia m engantarm u dengan m otor,” kata Rue sam bil m elirik pem uda di sebelahnya yang ternyata kakaknya. ”Kau sendiri?” tanya Azuka. ”Aku bisa pulang naik bus atau taksi.” Azuka m enatap Rue dan kakaknya. ”Terim a kasih, tapi aku tidak m au m erepotkan. Aku naik bus saja,” kata gadis itu kem udian. ”Azuka…” Rue m enarik tangan Azuka, agak m enjauh dari kakaknya. ”Orang yang kau bilang selalu m enguntitm u… dia m asih ada?” tanya Rue dengan suara lirih ”Entahlah. Aku tidak melihatnya saat berangkat sekolah pagi tadi. Mudah-m udahan dia sudah pergi,” jawab Azuka. ”Yuchi adalah juara karate di kampusnya. Dia bisa melindungim u dari penggem ar gelapm u itu,” ujar Rue m em prom osikan kakaknya. ”Terim a kasih. Tapi sungguh, aku tidak apa-apa. Aku naik bus saja.” ”Sungguh?” ”Iya. Lagi pula kalau ada apa-apa, aku bisa lari ke kantor polisi terdekat atau tempat yang aman. Aku kan juara lari di kelas.” *** 10



Azuka berlari dengan cepat menyusuri trotoar. Napasnya terlihat m em buru. Keringat m engalir deras m em basahi tubuhnya. Sam bil berlari sesekali gadis itu m enoleh ke belakang, seolah ada yang m engikuti langkahnya. Dia sudah tidak ada! batin Azuka. Azuka m em perlam bat larinya. Dia lalu berjalan cepat m elewati sebuah jalan kecil di pinggir sungai. Walau hari m asih sore, keadaan di sekeliling gadis itu sangat sepi. Ham pir tidak terlihat orang lain selain dirinya. Azuka sebenarnya agak takut m elewati jalan ini, tapi inilah jalan terdekat dari sekolah ke tem pat tinggalnya, panti asuhan yang m enjadi rum ahnya sejak berusia tujuh tahun dan kedua orangtuanya tewas dibunuh. Saat gadis itu m erasa lega karena orang yang m enguntitnya sudah tidak terlihat lagi, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di atasnya. Azuka m enghentikan langkahnya, dan sejurus kem udian dia m enjerit. Seorang berpakaian ala ninja serbaputih m enyerang Azuka dengan m enggunakan pedang shinobigatana 1. Gadis itu terkejut, bukan saja karena diserang tiba-tiba, tapi karena ninja berpakaian putih itu sama dengan orang yang membunuh kedua orangtuanya sembilan tahun yang lalu. Di sekolah, Azuka m engam bil latihan karate sebagai kegiatan ekstrakurikulernya. Dia berhasil m enghindari serangan pertam a si ninja. Tapi karena ilm u karatenya m asih rendah, Azuka tidak m elihat serangan berikutnya. 1 Pedang yang dibawa oleh seorang ninja. ukurannya lebih pendek dari katana tapi lebih panjang dari Wakizashi (pedang medium), dan berbentuk lurus, tidak melengkung. Shinobigatana juga biasa disebut Ninja-to



11



Si n in ja bersalto un tuk m em balikkan badan , serta langsung m elancarkan sabetan ke arah kepala gadis itu. SREET!! Ram but Azuka terpotong di bagian bawah telinga kirinya saat dia berusaha menghindari sabetan pedang. Tidak hanya berhasil m em otong ram butnya, sabetan pedang si ninja juga membuat luka sayatan sepanjang kurang-lebih lim a senti di bawah telinga kiri gadis berusia 16 tahun itu. Azuka terjengkang ke belakang. ”Tolong!” Tidak ada yang m endengar teriakan Azuka. Sem entara sang ninja siap m elakukan serangan yang m ungkin m erupakan serangan terakhirnya. Saat beberapa senti lagi m ata pedang yang tajam akan menembus jantung Azuka, tiba-tiba sebuah bayangan lain berkelebat dan m enendang si ninja hingga terjungkal ke belakang. Ada yang m enolong Azuka. Kenji berdiri di depan Azuka. Tatapan m atanya m enatap tajam ke arah si ninja yang mencoba bangkit. Saat si ninja kem bali m enyerang, dia cepat berkelit dan m elepaskan pukulan m em atikan ke arah bagian dada lawannya. Tepat m engenai sasaran. Kenji segera m elom pat sam bil m elakukan salto. Saat berada tepat di atas kepala si ninja, dia memegang kepala itu dengan kedua tangannya dan memutarnya. Terdengar suara tulang patah dan si ninja itu pun roboh ke tanah. Azuka memekik keras melihat kejadian itu. Pekikannya sem akin keras saat Kenji datang m engham pirinya. 12



”J angan berteriak!” kata Kenji. Tapi ucapannya tidak didengar oleh gadis rem aja itu. Sadar bahwa ucapannya tidak digubris, Kenji bergerak cepat. Tangan kanannya m enotok pangkal leher Azuka hingga gadis itu terkulai lem as. Kenji m enggotong tubuh Azuka dan tanpa m em buang waktu segera m eninggalkan tem pat itu. Lim a t a h u n k e m u d ia n Mata tua Shunji terbuka. Sam bil duduk bersila di ruang tengah di antara kerem angan cahaya lilin, dia m enatap tajam ke arah pintu depan yang tertutup rapat. ”Kau datang juga,” kata Shunji seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tapi ternyata, pria tua itu berbicara pada seseorang yang tidak terlihat, yang bersem bunyi dalam kegelapan. Sem enit kem udian, sesosok tubuh m uncul dari balik kegelapan, berdiri di depan Shunji. ”Aku ingin salinan buku itu,” kata sosok yang m asih tertutup dalam kegelapan. Walau begitu, Shunji bisa mengenali orang itu. ”Sudah kubilang, kau tidak berhak m em pelajari isi buku itu. Ini untuk kebaikanm u. Kenapa kau tidak m engerti juga?” sahut Shunji. ”Aku telah bergabung dengan kelom pok Oni.” Shunji m enghela napas. ”Bergabung saja tidak cukup untuk m em pelajari isi buku ini. Tingkat berapa kau sekarang?” ”Tingkat dua.” 13



”Anggota tingkat dua hanya bisa m em pelajari sam pai level em pat.” ”Aku tidak peduli... aku m em butuhkan buku itu sekarang.” ”Kau terlalu memaksa, dan itu akan merugikan dirimu kelak.” ”Aku tidak peduli. Serahkan buku itu sekarang, atau... ”Atau apa? Kau akan m enyerangku?” ”J angan salahkan aku...” D a e r a h Ba n t e n , d u a b u la n k e m u d ia n Siang itu, lima pria yang berasal dari Desa Cileunyan terlihat mengendap-endap menyusuri hutan. Mereka menuju sungai. Kelim a pria itu berusia sekitar 20 hingga 30 tahun, dan berbadan tegap. Tiga orang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam , sedang dua orang lainnya hanya bertelanjang dada. Mereka sem ua m em bawa golok, baik dengan diselipkan di pinggang, di belakang punggung, atau dibawa dengan tangan. Sesam painya di tepi sungai yang landai, kelim a orang itu bersem bunyi di balik pohon atau sem ak ilalang yang tinggi. Mereka sepertinya sedang m enunggu sesuatu. Tidak lama kemudian salah seorang dari mereka memberi isyarat bahwa yang ditunggu telah datang. Kelim a pria itu m em usatkan pandangan m ereka ke satu arah. Dari arah lain m uncul seorang gadis berusia sekitar 20 tahun, beram but panjang yang digelun g dan han ya mengenakan kain yang menutupi sebatas dada. Gadis itu kelihatannya ingin m encuci di sungai, terlihat dari bakul 14



yang dibawanya yang berisi pakaian-pakaian kotor miliknya. Salah seorang yang kelihatannya merupakan pemimpin kelima orang itu memberi isyarat. Maka serentak kelimanya keluar dari persem bunyian m asing-m asing dan bergerak ke arah si gadis. ”Apa-apaan ini?” tanya si gadis setengah m em bentak saat m elihat kelim a pria itu m engham piri dirinya. Bukannya m enjawab, salah satu dari kelim a pria itu langsung menyerang si gadis. Dia mencoba mendorong si gadis agar terjatuh di sungai. Tapi ternyata si gadis lebih sigap. Dia m enghindari serangan si pria dengan m enepis tangannya. Tapi pria berikutnya m encoba m em eluknya dari belakang. Si gadis m engelak sam bil m elepaskan tendangan ke arah pria tersebut. Ternyata gadis itu bukan gadis sem barangan. Dia m enguasai silat, ilm u beladiri tradisional Indonesia. Walau hanya seorang diri dan m engenakan kain, gerakannya sangat lincah. Dia bisa menghadapi lima orang yang juga m enguasai ilm u silat, bahkan m engalahkan m ereka. Hanya dalam waktu kurang dari lim a m enit, gadis itu telah menguasai keadaan. Kelima pria yang menyerangnya telah tersungkur di tanah. Dia bahkan berhasil m erebut golok salah satu dari kelim a orang itu. ”Cukup!” Seorang kakek keluar dari balik pohon. Dialah yang berseru tadi. Pria tua itu juga m em akai pakaian dan ikat kepala hitam dengan ram but dan kum is yang sudah m em utih sem uanya. Mendengar suara kakek itu, kelim a pria yang tadi 15



m enyerang si gadis segera bangkit dan m em beri horm at dengan m enunduk. Sedang si gadis hanya diam terpaku di tempatnya sambil tetap memegang golok yang tadi direbutnya. ”Abah…,” ujar si gadis. Kelihatannya dia m engenal kakek tersebut. ”Bagus… bagus…,” puji si kakek. ”Ternyata dalam waktu singkat kau bisa menguasai semua jurus yang aku ajarkan padam u, Elsa….,” lanjutnya dengan suara berwibawa.



16



Dua



TIDAK



ada yang ingin m enjadi m alaikat pencabut nyawa. Tapi jika tidak ada pilihan lain, m au tidak m au kita harus m enjalaninya. Mungkin ini takdir kita. Tapi, apa sebetulnya takdir itu? Apakah takdir kita bisa ditentukan oleh orang lain? *** M e t r o p o lit a n Po lice H o s p it a l, To k y o -Je p a n g Detektif Polisi Aoshi Shigawa m em asuki kam ar jenazah, diikuti rekannya, Detektif Polisi Tatsuya Harada dan Dokter Eichii Sam ada, dokter m uda yang bertugas di rumah sakit ini. Mereka bertiga langsung menuju sebuah rak penyim panan jenazah. 17



Dokter Sam ada m enarik keluar rak bernom or 32, lalu m em buka kain yang m enutupi apa yang ada di bawahnya. ”Kam i sudah pastikan m elalui tes DNA, ini m em ang positif Takeshi Tanaka,” kata Dokter Sam ada. Detektif Shigawa m em egang dan sedikit m engorekngorek tulang-tulang manusia yang sudah tidak utuh lagi di atas rak itu. ”Melihat sisa-sisa tulangnya, diperkirakan korban tewas sekitar lim a atau enam bulan yang lalu. Kita beruntung masih ada yang tersisa hingga bisa diidentiikasi. Tapi, karena banyak tulang yang hancur, kam i tidak bisa m em astikan penyebab kem atiannya,” lanjut dokter itu. Dokter Samada mengambil salah satu potongan tulang berukuran pendek. ”Ada bekas retakan tulang akibat terbentur benda tumpul di dada. Tapi kami tidak berani memastikan bahwa itu penyebab kem atian korban...” ”Apa pun penyebab kem atiannya, kam i yakin Takeshi Tanaka adalah korban pem bunuhan...,” ujar Detektif Shigawa, ”...dan jika pihak Yakuza m endengar hal ini, kepolisian bisa repot...” ”Apa ini?” Detektif Tatsuya Harada menunjukkan potongan tulang yang dipegangnya. ”Ada tiga lubang sebesar jarum . Anda tahu lubang ini, Dok?” tanya Detektif Harada. Detektif Sh igawa iku t m elih at tiga lu ban g yan g ditunjukkan oleh rekannya. Tiga lubang itu m em bentuk sebuah segitiga terbalik. 18



”Mungkin korban pernah m engikuti pengobatan akupunktur. Kam i tidak yakin lubang-lubang itu jadi penyebab kem atian korban. Kam i juga tidak m enem ukan tanda-tanda adanya sisa racun di tubuh korban. J adi kemungkinan korban diracun menggunakan jarum sangat tidak m ungkin,” Dokter Sam ada m enjelaskan. ”Pengobatan akupunktur m ana yang jarum nya sam pai m enem bus tulang?” tanya Detektif Harada lagi. ”Menurutmu apa?” tanya Detektif Shigawa pada rekannya yang usianya jauh lebih m uda. ”Hari no shi...,” jawab Detektif Harada. ”J arum kem atian?” ”Dua tahun yang lalu saya pernah m enangani kasus pem bunuhan seorang pengusaha di Osaka. Ada tiga lubang seperti ini juga pada pergelangan tangannya. Lubang bekas jarum ini tidak hanya m enutup jalan darah korbannya, tapi juga sekaligus m em beri tanda dan peringatan. Kam i m enyebutnya Hari no shi Oni atau J arum Kematian Oni...,” Detektif Harada menjelaskan. ”J arum Kem atian Oni? Maksudm u kelom pok Oni?” tanya Detektif Shigawa. ”Kam i duga begitu...” ”Kalau benar Takeshi Tanaka dibunuh kelom pok Oni, kau tahu artinya, kan?” tanya Detektif Shigawa lagi. Detektif Harada m engangguk m engiyakan. ”Akan terjadi Perang Tokugawa jilid kedua. J epang akan banjir darah seperti tiga abad yang lalu,” kata Detektif Harada. 19



Pe n jara Fe d e ral d e n gan ke am an an m aks im u m d i Co lo rad o , Am e rika Se rikat Suara derit besi m engalihkan perhatian Sven J orgensen yang sedang m enyisir ram butnya. Pintu sel terbuka, dua sipir penjara berdiri di sana. ”Sudah saatnya!” kata salah seorang sipir yang berbadan besar dan bercam bang lebat. Sven tidak m erespons ucapan sipir tersebut. Pria berdarah Swedia berusia 36 tahun itu hanya m em bungkuk, dan m engam bil tas ransel lusuh yang diletakkan di sam ping tem pat tidurnya. Sven J orgensen, salah satu pem bunuh bayaran bekas anggota SPIKE. J ulukan pria bertubuh tinggi kekar itu adalah The Icem an atau sang manusia es. J ulukan ini diberikan bukan hanya mengacu pada isik Sven yang tinggi kekar, berkulit dan beram but putih dengan bola m ata berwarna biru bening—membuat dirinya bagaikan sebuah gunung es yang kokoh di tengah sam udra—tapi juga diberikan sesuai dengan karakter Sven saat m em bunuh korban-korbannya. Dingin dan tidak m engenal am pun. The Iceman ditangkap di J erman oleh agen-agen CIA dan dibawa ke AS untuk diadili. Walau begitu pengadilan AS tidak bisa m em buktikan keterlibatannya dalam berbagai pembunuhan di negara tersebut sehingga Sven hanya dijatuhi hukuman delapan bulan penjara karena pelanggaran keim igrasian dan pem akaian paspor palsu. Dan hari ini m asa hukum annya telah berakhir. Salah satu pem bunuh bayaran terbaik SPIKE itu akan segera menghirup udara bebas, dan akan kembali menjadi malai20



kat pencabut nyawa, walau dia tahu bahwa SPIKE telah hancur. Setelah m engurus adm inistrasi pem bebasannya, Sven pun melangkah, melewati pintu demi pintu menuju dunia luar. Saat m elewati pintu gerbang penjara, The Icem an berhenti sejenak. Dia mengamati keadaan di sekelilingnya. Penjara federal tem patnya berada selam a ini terletak di tengah dataran yang tandus. Sejauh m ata m em andang hanya terlihat tanah dan bebatuan, dengan perbukitan sebagai latar belakang. Menurut sipir penjara, Sven harus berjalan kaki menyusuri jalan raya sekitar lima kilometer ke kota kecil terdekat, di sana terdapat terminal bus. J ika beruntung dia bisa menumpang mobil atau bus antarkota yang kebetulan lewat. Berjalan sejauh lima kilometer di bawah matahari yang bersinar terik tentu sangat m elelahkan, bahkan bagi seorang yang punya isik terlatih seperti Sven. Tapi mung­ kin dia tidak perlu m elakukan itu, karena sebuah m obil sedan berwarna biru telah m enunggunya di luar penjara. ”Siapa kau?” tanya Sven pada si pengem udi sebelum dia m asuk ke m obil. ”Nanti kau akan tahu. Aku hanya ditugasi untuk m enjemputmu,” jawab si pengemudi yang ternyata adalah seorang gadis. Sven belum pernah bertemu, apalagi mengenal gadis di dalam mobil. Tapi dia tidak punya pilihan lain. Daripada jalan kaki di tengah panas terik, lebih baik duduk di dalam m obil sport ber-AC bersam a seorang gadis cantik. Sven bukannya langsung percaya pada gadis yang baru 21



ditem uinya, tapi dia yakin pasti bisa m engatasi m asalah apa pun yang menimpa dirinya. Dia juga ingin tahu siapa yang m enyuruh si gadis untuk m enjem putnya. The Icem an m em buka pintu m obil dan duduk di samping si pengem udi. *** ”Kau tidak akan m em beritahu ke m ana tujuan kita?” tanya Sven setelah mereka menempuh setengah jam perjalanan dan m elaju di jalan perbukitan yang m enanjak dan berkelok-kelok. Si gadis pengem udi tidak m enjawab pertanyaan Sven. Dia tetap m engem udikan m obilnya dengan kecepatan tinggi. Sven pun tidak m engulangi pertanyaannya. Sekitar sepuluh m enit kem udian... ”Kita ham pir sam pai...,” ucap si gadis tiba-tiba, m em buat Sven heran. Mereka masih berada di jalan perbukitan yang kini m enurun tajam . Hanya ada jurang di sisi kiri dan tebing terjal di sisi kanan. Sama sekali tidak kelihatan satu bangunan pun, dan Sven yakin keadaan tetap dem ikian hingga m ereka berdua sam pai di kaki bukit. ”Sam pai ke...” Belum sem pat Sven m enyelesaikan ucapannya, tangan kanan si gadis bergerak cepat. J ari telunjuk dan tengahnya m enotok bahu kiri Sven, m em buat tubuh pria itu tiba-tiba m enjadi kaku dan tidak dapat bergerak. Bola m ata biru Sven hanya dapat m elirik ke arah gadis itu penuh am arah. Mobil m elaju dengan kecepatan tinggi di jalan yang 22



menurun dan berkelok-kelok. Saat melewati sebuah jalan yang lurus dan m enurun, si gadis m enginjak pedal gas lebih dalam, hingga mobil berjalan semakin kencang dan hampir tidak terkendali. Speedom eter 2 digital pada dasbor m obil m enunjukkan angka 10 5 m il/ jam dan m asih terus naik. Kurang dari 200 meter jalan menikung tajam ke kanan. Arah mobil tidak akan bisa dibelokkan dengan kecepatan setinggi ini. Tam p akn ya gad is p en gem u d i itu m em an g tid ak bermaksud membelokkan mobilnya. Saat tiba di tikungan, dia tetap m enginjak pedal gas. Akibatnya m obil tetap berjalan lurus hingga menabrak pagar pembatas tebing di sisi jalan, dan terjun bebas ke jurang yang dalam. Si gadis m enoleh ke arah Sven yang terlihat ketakutan. Keringat m engucur deras di wajahnya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. ”Hej då—Selam at tinggal,” kata si gadis dalam bahasa Swedia. Lalu dia m em buka pintu m obil dan keluar dari m obil yang m eluncur cepat ke bawah. Begitu keluar, si gadis cepat m em buka parasut dari tas tipis yang tergantung di punggungnya. Angin gunung yang kencang m em buat parasut terangkat naik, hingga si gadis dapat kem bali m encapai bibir tebing. Kakinya m endarat di sisi jalan, diiringi bunyi ledakan keras dan gum palan asap dari dasar jurang. Gadis itu m engam bil HP dari saku jaket kulit yang dikenakannya, dan m enekan sebuah nom or. 2



Alat penunjuk kecepatan



23



”Misi telah dilaksanakan,” ujarnya singkat. Lalu dia setengah berlari ke seberang jalan. Sekitar 50 m eter berjalan, gadis itu tiba di sebuah ceruk di tebing, yang tertutup rim bunan sem ak-sem ak. Gadis itu lalu m enyingkirkan sem ak-sem ak, yang m enutupi sebuah sepeda m otor sport berwarna biru yang terparkir di sana. Sepeda m otor itu dituntun ke pinggir jalan, lalu setelah memakai helm yang juga telah tersedia di situ, Matahari—sang pembunuh bayaran—naik ke motor, dan m otor pun m elaju dengan kecepatan tinggi.



24



Tiga



M ATAHARI



kota Bandung bersinar m alu-m alu saat Widya Rahm awati dan Astuti Ratnaningsih tiba di Pemakam an Umum Cikutra. Berdua, kakak-beradik itu menelusuri deretan makam yang terletak di sepanjang lereng bukit. Sesam painya di sebuah m akam yang terlihat m asih baru, Widya berlutut, sem entara Astuti m enaburkan bunga dari kantong plastik yang dibawanya. Lalu dia juga berlutut di sam ping Widya dan m em berikan kantong plastik berisi bunga itu pada kakaknya. Kurang-lebih setengah jam kedua wanita itu berdoa dan m em bersihkan m akam , lalu Widya berdiri. Saat itu se orang pria setengah baya berpakaian lusuh dan m em akai topi yang sedari tadi m engawasi m ereka dari kejauhan datang menghampiri. Pria yang ternyata merupakan penjaga m akam yang biasa disebut kuncen itu lalu



25



berbicara pada Widya, sementara Astuti masih membersihkan m akam dan m enaburkan sisa bunga yang ada di kantong plastik. ”Tadi pagi ada yang datang ke m akam Ibu, dan dia ninggalin ini di nisan Ibu. Mungkin ketinggalan,” kata Widya setelah Astuti berdiri dan kuncen m akam berlalu. Widya m enunjukkan sebuah syal hasil rajutan tangan berwarna biru m uda yang diberikan oleh kuncen tadi. Astuti memegang syal dan mengamatinya. Seketika itu juga pupil m atanya m em besar. ”Mbak Widya tanya siapa orang itu?” ”Iya, tapi Pak Hanai nggak tau namanya. Ngakunya sih salah seorang keluarga kita.” ”Perem puan? Muda? Tinggi? Mbak tanya cri-cirinya?” Mendengar pertanyaan Astuti yang bertubi-tubi seperti rentetan peluru senapan m esin, m em buat Widya m em andang adiknya dengan tatapan heran. ”Kam u kenal siapa dia?” tanya Widya. ”Mbak...” Astuti m em bentangkan syal tepat di depan wajah Astuti. ”Ini syal bikinan Rachel! Dia tadi ke sini!” *** Rumah besar di kawasan Bandung Utara itu terlihat sepi. Sam a sekali tidak terlihat aktivitas apa pun dari luar pagar, walau sebetulnya di dalam lingkungan pagar setinggi tiga m eter itu ada dua penjaga berpakaian prem an yang m ondar-m andir di sekitar gerbang. Dan jika m enelusuri lebih jauh, ada dua orang lainnya 26



yang berjaga-jaga dengan berkeliling di sekitar rum ah. Pendeknya, ada penjagaan ketat di rum ah tersebut, hingga tidak sem barang orang bisa m asuk. Mem ang selain para penjaga yang m engawasi dengan diam -diam , tidak terlihat aktivitas lain di tem pat itu. Padahal selain para penjaga, terdapat penghuni lain di dalam rum ah. Tapi m ereka sem ua tidak terlihat. Hanya di teras belakang, terlihat seorang pemuda yang duduk di kursi roda, sedang mencoret-coret sesuatu di kertas yang berada di atas pahanya. Aktivitas Arga terhenti saat telinganya m endengar sesuatu. Seperti suara gaduh, tapi pelan. Dia lalu m em utar kursi rodanya, hingga sekarang menghadap ke dalam rum ah. Arga m erasa dia tidak sendiri lagi di rum ahnya. ”Bi?” panggilnya dengan suara tertahan. Arga lalu m em ajukan kursi rodanya hingga ham pir m asuk ke rum ah. ”Mang Dipa?” Sesaat kem udian dari arah depan m uncul sesosok tubuh. Bukan Bi Tari, wanita setengah baya yang merupakan pem bantu di rum ah ini, atau Mang Dipa, tukang kebun yang m em ang diberi kepercayaan untuk m enjaga dan merawat seluruh lora yang ada di lingkungan rumah. Yang m uncul justru orang yang saat ini tidak disangka dan sebetulnya tidak diharapkan oleh Arga. Walau wajah orang itu sebagian tidak terlihat karena cahaya yang m inim di dalam rum ah, tapi Arga bisa m engenali siapa yang datang. ”Sudah kuduga, tentu kau bisa dengan m udah m asuk ke sini,” ujar Arga. 27



”Sori, Kak... tapi cuma ini satu-satunya cara untuk bisa ketem u Kak Arga. Kak Arga nggak pernah m enjawab teleponku, atau m engizinkan aku ketem u Kakak,” sahut Rachel. ”Kau bunuh sem ua penjaga?” Rachel tersenyum m endengar pertanyaan Arga. ”J angan kuatir. Aku udah berjanji pada seseorang untuk nggak sem barangan ngebunuh orang tanpa alasan lagi. Mereka cum a aku lum puhkan,” jawab Rachel. *** ”Rachel bisa m erajut?” ”Ya... belajar dari alm arhum Ibu. Aku belum pernah cerita ke Mbak, ya?” Widya m enggeleng. ”Rachel sangat berbakat m erajut. Sekali belajar dia langsung bisa. Ibu sangat suka padanya. Ibu sempat sedih saat tahu apa yang terjadi pada anak itu. Sam pai m eninggal, Ibu masih menyimpan kesedihan itu... kesedihan yang sam a seperti waktu nggak bisa bertem u dengan Mbak bertahun-tahun,” Astuti m enjelaskan sam bil tetap m enyetir m obil. ”Kalau Rachel ada di Bandung... kenapa dia nggak ngehubungin aku? Kenapa dia nggak berusaha m encari m am anya?” tanya Widya. ”Mungkin dia nggak tau kalo Mbak juga ada di Bandung. Atau dia bahkan nggak tau keberadaan Mbak. Mungkin Rachel juga sedang m encari Mbak,” jawab Astuti. 28



”Tapi dia tahu alam at dan nom or telepon kam u, kan? Kenapa dia nggak coba m enghubungi kam u?” Kali ini Astuti hanya diam . Dia tidak bisa m enjawab pertanyaan itu. Ya, kalau m em ang Rachel ada di Indonesia dan m encari keberadaan m am any a, kenapa dia tidak m enghubungi aku? batin Astuti. Dialah satu-satunya keluarga yang dikenal Rachel, selain neneknya yang telah m eninggal. Wajah Widya terlihat lebih cerah. Walau m asih m enyim pan pertanyaan soal keberadaan anaknya sekarang, hati wanita itu lega, karena irasatnya selama ini terbukti. Rachel m asih hidup! *** ”Sekarang, apa tujuanm u ke sini?” Sejen ak Rach el m em perh atikan Arga, dari ujun g ram but hingga ujung kaki. Pem uda yang pernah m engisi relung hatinya itu kemungkinan akan menghabiskan sisa hidupnya dengan duduk di kursi roda. Penganiayaan yang diterim a Arga di J erm an m em buat kedua tulang kakinya hancur dan tidak m ungkin bisa disem buhkan lagi. Arga tidak akan bisa berjalan kem bali, kecuali ada keajaiban atau teknologi baru untuk m em buat tulang kaki pengganti. Tidak hanya itu. Tangan kanannya juga m enjadi agak kaku dan susah digerakkan. Tangan kanan itu sudah tidak bisa berfungsi secara norm al lagi. Penganiayaan tersebut juga meninggalkan bekas berupa parutan luka di pipi kanan, dan di beberapa bagian tubuh Arga. 29



Sebetulnya, dokter yang merawat Arga telah mengusulkan am putasi dan penggunaan kaki palsu untuk m enggantikan kaki Arga. Tapi pemuda itu menolak. Arga tidak ingin kakinya diamputasi hanya untuk menggunakan kaki palsu. Dia ingin bagian tubuhnya tetap terlihat utuh walau sebagian sudah tidak berfungsi lagi. Peristiwa itu juga telah m engubah jalan hidup Arga, dan yang terutam a, m enghancurkan cita-cita pem uda itu. Musnah sudah im piannya untuk m eneruskan sekolah di luar negeri. Bahkan untuk sekadar m elanjutkan sekolah atau bekerja di dekat tem pat tinggalnya juga dia sudah tidak bisa. Arga sekarang merasa dirinya sama sekali tidak berguna, dan perasaan seperti itu sedikit demi sedikit mengubah sifat dan perilakunya. Dulu Rachel mengenal Arga sebagai seorang tenang, tapi supel dalam pergaulan dan punya teman banyak yang selalu berada di sekelilingnya. Sekarang, Arga yang ada di hadapannya adalah Arga yang punya sifat tertutup, dan tidak mau bergaul dengan orang lain. Arga tidak mau bertemu dengan orang lain, kecuali keluarganya. Bahkan tem an-tem an kuliahnya pun tidak bisa menemui dia pasca penganiayaan itu. Trauma akibat peristiwa tersebut memang masih sangat m em bekas dalam ingatan pem uda itu, bahkan m ungkin tidak akan bisa dilupakan seum ur hidup. Apalagi ditambah dengan menghilangnya Riva, kekasihnya yang sampai sekarang belum diketahui nasibnya. Sem ua itu tentu m erupakan penderitaan yang sangat berat bagi Arga. Rachel benar-benar trenyuh m elihat keadaan Arga sekarang. Trenyuh m elihat penderitaannya. 30



*** Pertanyaan Arga m em buat perhatian Rachel teralih. Dia m enghela napas sebentar. ”Aku ingin melihat keadaan Kak Arga...,” jawab Rachel lirih. ”Kau sudah lihat, beginilah aku. Sekarang pergilah. Atau kau ingin bertanya lebih detail tentang apa yang kuderita? Tentang bagian tubuhku m ana saja yang luka?” Ucapan sinis, yang tak pernah Rachel bayangkan akan keluar dari mulut Arga, pemuda yang dulu selalu bersikap optim is dan tidak pernah berkata sinis tentang apa pun. Kau benar-benar telah berubah! batin Rachel. ”Aku em ang pengin bertanya pada Kak Arga tentang apa yang m enim pa Kakak. Aku ingin tahu, orang-orang yang m elakukan ini pada Kakak, di m ana, dan kenapa m ereka sam pe nyiksa Kakak. Pokoknya aku ingin tahu sejelas-jelasnya dari m ulut Kak Arga sendiri,” tukas Rachel akhirnya. ”Untuk apa? Kau ingin balas dendam untukku? Kau ingin bunuh sem ua orang yang m enyiksaku?” ”Aku ingin m elakukan itu, tapi aku juga punya tugas lain.” Rachel m endekat ke arah Arga. ”Siapa yang m enyuruhm u m endekat? Apa kau udah m inta izin saat m asuk ke rum ah ini?” Rachel menghentikan langkahnya, tapi jaraknya dengan Arga sudah dekat. Sekarang Arga bisa m elihat wajah Rachel dengan jelas. Wajah itu masih secantik yang dulu, dengan rambut panjang yang terikat pita. Wajah itu juga 31



menampakkan sinar kedewasaan dan menyimpan banyak kenangan pahit serta penderitaan. Wajah yang dulu sangat Arga cintai, tapi sekarang ingin dilupakannya. ”Kak Arga pengin Riva cepat ditem ukan, kan? Orang yang menculik dan menganiaya Kakak adalah bagian dari m ereka yang m em bunuh kedua orangtua Riva dan m enyebabkan dia m enghilang.” Arga tertegun m endengar ucapan Rachel. Selam a ini dia menduga, apa yang menimpanya berhubungan dengan Rachel. J uga terbunuhnya orangtua Riva dan menghilangnya gadis itu. Dan ucapan Rachel tadi m em buktikan sem uanya. ”Kau... kau penyebab sem ua ini, kan?” tanya Arga. Dia sudah m endengar rum or tentang siapa Rachel sebelum nya, apalagi setelah peristiwa di kam pus m ereka dulu. ”Kalo kau nggak bertem an dengan Riva, atau kalo kau nggak pernah kuliah di Pratista. Kalo aja aku nggak pernah mengenal kamu, semua ini nggak bakal terjadi. Riva akan m enam atkan kuliahnya dan bekerja. Kedua orangtuanya pasti m asih hidup. Dan aku akan m eneruskan sekolahku di J erm an,” lanjut Arga. ”Kakak salah...,” sergah Rachel. ”Kalopun aku nggak ada dan nggak pernah m engenal Kak Arga dan Riva, semua ini pasti tetap akan terjadi, bahkan mungkin lebih buruk. Riva m ungkin udah tewas dari dulu.” ”Hei, jangan m engarang cerita ya! Dulu Riva hanya seorang gadis biasa. Seorang mahasiswi. Siapa yang akan m em bunuhnya?” ”Ada yang m enginginkan kem atiannya.” 32



Rachel makin mendekat ke arah Arga, hingga Arga bisa m encium wangi parfum gadis itu di balik kardigan berwarna biru yang dikenakannya. ”Tentu aja sem ua ini akan terjadi, karena sebetulnya dari dulu m ereka m engincar Riva...,” kata Rachel lirih, tapi cukup m em buat Arga terenyak. *** ”Mbak akan m enghubungi orang Secret Service itu?” tanya Astuti. ”Siapa? Neil Price?” Astuti m engangguk. ”Untuk apa?” Widya balik bertanya. ”Bukannya Mbak Widya janji akan m enghubungi dia kalo Mbak bertem u dengan Rachel?” ”Dan m elihat Rachel diburu seperti buronan, lalu ditangkap untuk kem udian m engakhiri hidupnya di dalam kam ar gas?” Widya m em otong ucapan Astuti. ”Bukan n ya m ereka telah m elepaskan Rachel dari tuntutan pem bunuhan?” tanya Astuti. ”Tuntutan pem bunuhan dan penculikan Presiden AS, iya. Tapi kam u juga harus ingat, Rachel juga m asuk daftar buronan FBI, CIA, dan agen rahasia negara lain untuk berbagai m acam kasus pem bunuhan. Siapa yang bisa m enjam in kalo SS nggak akan bekerja sam a dengan agen -agen tersebut atas nam a kepen tin gan n asion al m ereka? Sepuluh tahun sebagai istri senator, aku cukup t a h u t e n t a n g d u n ia p olit ik, t e r u t a m a m e n ge n a i kebusukan-kebusukan di dalam nya. Dan apa yang ku33



alami baru-baru ini mengajarku tentang satu hal; J angan m udah percaya dengan om ongan seorang agen pem erintah, apalagi jika om ongan itu terdengar sangat m anis di telinga kita. Sem akin m anis om ongan dan janji-janji seorang agen, sem akin besar kebohongan m ereka.” Astuti hanya m anggut-m anggut m endengar ucapan panjang-lebar Widya. ”Rachel m em ang bersalah, telah m em bunuh banyak orang. Aku nggak akan m enutup-nutupi hal ini, dan aku nggak akan m elindunginya jika dia m em ang bersalah. Tapi aku nggak m ungkin m engantarkan anakku, darah dagingku sendiri ke kam ar gas. J ika m ereka ingin m enangkap Rachel, m ereka harus m elakukannya sendiri,” tandas Widya.



34



Empat



Dua tahun sebelumnya



”S UNJI...” ”Lam a tidak berjum pa, Rachel kecilku. Atau sekarang Shunji harus m em anggilm u Maw ar Merah?” ”Aku lebih senang tetap m enjadi Rachel kecilm u.” Rachel duduk di depan Shunji. Pria tua itu m enatap gadis m uda y ang telah diraw atny a sejak kecil itu. ”Shunji ke m ana saja? Shunji m enghilang begitu lam a. Aku sem pat kuatir ada apa-apa dengan diri Shunji,” ujar Rachel. ”Apa kaupikir ada y ang bisa m elukai Shunji?” ”Tentu tidak, tapi...” ”Shunji pergi m encari Kenji.” ”Apa Shunji berhasil m enem ukan Kenji?” 35



Shunji tidak m enjaw ab pertany aan itu, m alah terus m enatap Rachel. ”Seharusny a kau tidak m engikuti jejak Shunji dan Kenji. Maafkan Shunji...” Shunji m engalihkan pem bicaraan. Kem udian dia berm aksud m em bungkuk, tapi Rachel segera m encegahny a. ”Shunji tidak perlu m inta m aaf. Aku m elakukanny a atas kem auanku sendiri,” tukas Rachel. ”Tapi Shunji telah m engubah dirim u.” ”Tidak ada y ang berubah. Aku tetap Rachel y ang sam a dengan Rachel y ang pertam a kali m enginjakkan kaki ke rum ah Shunji dulu. Bahkan sam a dengan Rachel saat m asih tinggal bersam a Mam a dan Papa. Apa y ang kulakukan selam a ini m ungkin satu-satuny a cara, agar aku bisa m enem ukan siapa pem bunuh Papa dan y ang telah m em buat Mam a m enderita selam a ini.” ”Shunji ingin kau m elakukan sesuatu untuk Shunji.” ”Melakukan apa, Shunji? Aku pasti akan m elakukan apa pun untuk Shunji.” ”Tapi ini sangat berat, dan m ungkin bakal m elibatkan kehidupan pribadi dan m asa lalum u. Jadi kalau kau tidak m au m elakukanny a, Shunji bisa m engerti...” ”Mem ang apa y ang harus kulakukan? Shunji telah berjasa besar dalam kehidupanku. Aku tidak m ungkin m enolak apa pun y ang Shunji inginkan. Kalau aku bisa, aku pasti akan m em bantu Shunji.” Shunji m enghela napas, lalu m em inum teh hijau y ang ada di hadapanny a. ”Shunji ingin...” pria itu berhenti sejenak, 36



”Shunji ingin kau pergi ke ke suatu tem pat. Ke Indonesia.” Rachel tertegun m endengar ucapan Shunji. ”Indonesia?” gum am ny a. ”Iy a. Negara asal m am am u. Apa kau sudah pernah ke sana?” tany a Shunji. Rachel m enggeleng. Belum lam a m enjadi pem bunuh bay aran, tapi dia telah m engunjungi berbagai negara di belahan dunia. Tapi Indonesia sam pai saat ini belum m asuk ke daftar kunjunganku, baik untuk urusan pekerjaan ataupun urusan pribadi. ”Ka u m a sih bisa ber ba ha sa In d on esia ?” t a n y a Shunji. ”Aku m asih ingat sedikit,” jaw ab Rachel. Dulu m am any a m em ang sering m engajari dia bahasa Indonesia. Bahkan papany a y ang bisa sedikit-sedikit juga kadangkadang ikut m engajariny a. Tak jarang m ereka bertiga m enggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari di rum ah selain bahasa Inggris. ”Bagus. Sebaikny a kau m ulai perlancar lagi dari sekarang, sebab m ungkin kau akan lam a di sana. Bahkan m ungkin negara itu akan jadi tem pat tinggalm u y ang baru.” Lam a di Indonesia? Tem pat tinggal baru? Rachel tidak m engerti. Selam a ini dia hidup berpindah-pindah dari satu tem pat ke tem pat lain, tidak pernah m enetap di satu tem pat dalam w aktu lam a untuk m enghindari pencarian oleh aparat keam anan setem pat. Dan sekarang Shunji m em intany a untuk m enetap lam a di satu tem pat dengan segala risikony a? Dan di Indonesia? 37



”Aku tidak m engerti... Mem ang apa y ang harus aku lakukan di Indonesia?” tany a Rachel. ”Aku m inta kau m elindungi seseorang. Dia sangat berarti, bukan hany a bagi Shunji, tapi bagi m asa depan bany ak orang,” jaw ab Shunji. Os a k a , Je p a n g Toru Watanabe bangkit dari tem pat duduknya di sebuah tempat karaoke di pusat kota Osaka. Salah satu pemimpin Yakuza berusia 47 tahun itu rupanya ingin ke toilet. Hampir dua jam duduk mendendangkan lagu-lagu dengan diiringi m inum an keras dan dua gadis seksi pem andu lagu m em buat dia tidak bisa m enahan keinginan untuk buang air kecil lebih lam a lagi. Dengan diiringi oleh enam anak buahnya, Watanabe m enuju toilet yang terletak di belakang. Sesam painya di depan toilet pria, dia tidak langsung m asuk. Em pat anak buahnya masuk lebih dahulu, dan mengusir semua orang yang ada di dalam toilet. Setelah toilet dalam keadaan kosong, barulah Watanabe m asuk, sem entara keenam anak buahnya berjaga di luar pintu. Seusai buang air kecil, Watanabe menuju wastafel yang juga berada di dalam toilet untuk m erapikan dirinya. Tanpa disadari oleh pem im pin Yakuza itu, salah satu langit-langit tepat di atas dirinya perlahan-lahan terbuka. Dari langit-langit yang terbuka, turun sesosok tubuh berpakaian ninja serbahitam m enggun akan tali den gan kepala di bawah. Dengan m em egang shinobigatana, dia m eluncur pelan, tepat di belakang Watanabe yang tidak 38



m enyadari m aut yang m engancam dirinya. Dan ketika Watanabe menyadari kehadiran orang lain di dalam toilet selain dirinya, sem ua sudah terlam bat. Saat Watanabe menoleh, si ninja cepat mengayunkan shinobigatana-nya ke arah leher Watanabe. Sekali ayun, leher Watanabe robek, dan darah m engucur deras keluar. Watanabe pun roboh ke lantai tanpa sempat bersuara. Selesai melakukan aksinya, si ninja kembali naik, lalu menutup langit-langit seperti sem ula. To k y o , d u a ja m k e m u d ia n Kenikm atan Masahi Ueda yang sedang berendam di dalam jacuzzi-nya terganggu, saat salah seorang anak buahnya m em buka pintu. ”Maaf... ada telepon penting, dari Ketua Ashira,” kata si anak buah setelah terlebih dahulu m em bungkuk. Seorang anggota Yakuza tidak akan berani mengganggu pemimpinnya yang sedang bersantai, kecuali ada hal yang benar-benar penting dan tidak dapat ditunda. Karena itu, Ueda yang saat ini m erupakan salah satu pem im pin regional Yakuza atau yang biasa disebut Sateigashira tidak m arah atas sikap anak buahnya yang m engganggu acara berendam nya. Apalagi yang m eneleponnya adalah Oy abun 3, atau sesam a Sateigashira dari region lain. Mana berani dia m engabaikan telepon tersebut. Setelah menerima HP yang dibawa anak buahnya, pria berusia 45 tahun yang m erupakan salah satu orang 3



Pemimpin Besar Yakuza



39



terdekat sang Oyabun m em erintahkan anak buahnya untuk keluar, sehingga dia sendirian sekarang. Sem enit kem udian, raut wajah sang Sateigashira berubah setelah m endengar kabar lewat telepon. *** Acara persem ayam an jenazah di rum ah besar itu terlihat ram ai. Ratusan pelayat m em adati rum ah tem pat tinggal sang Oyabun yang kemarin meninggal dunia. Sang Oyabun yang berusia 76 tahun itu ditem ukan tewas di tem pat tidurnya pagi kem arin. Walau visum dokter m engatakan bahwa sang Oyabun m eninggal karena serangan jantung, tapi hal itu tidak bisa m enghilangkan rum or m iring yang beredar di kalangan anggota Yakuza lain, bahwa sang Oyabun dibunuh. Rangkaian kasus pem bunuhan para pem im pin dan tokoh penting Yakuza dalam waktu dekat ini sem akin m enguatkan rum or tersebut. Apalagi, selain kematian sang Oyabun, kemarin juga terjadi pembunuhan t e r h a d a p s e o r a n g S a t eig a s h ir a d a n d u a o r a n g W akagashira 4 yang berbeda. Kejadian itu m elengkapi kem atian enam pem im pin Yakuza karena dibunuh. Dan wa la u p u n s a n g Oya b u n m en d a p a t ka n p en ja ga a n ekstraketat, itu tidak m enjam in si pem bunuh tidak bisa m endekatinya. Apalagi jika benar salah satu perkiraan bahwa pem bunuhnya berasal dari kelom pok Oni. Pem bunuh profesional yang dari kelom pok Oni pasti punya seribu satu cara untuk m elakukan aksinya. 4



Pemimpin Kelompok, berada di bawah Sateigashira



40



Seorang pria berusia 50 tahunan duduk di sebelah Masahi Ueda yang duduk di baris kelima dari depan altar persem ayam an. ”Aku heran kenapa kau belum m engam bil tindakan soal ini,” ujar pria tersebut lirih. Mendengar ucapan yang ditujukan padanya, Ueda m enoleh pada pria di sam pingnya. ”Apa kau akan m enunggu sam pai giliranm u tiba?” lanjut pria itu. ”Aku? Kenapa harus aku?” ”Karena hanya kau yang pantas m enjadi Oy abun berikutnya” ”Tapi masih banyak Sateigashira yang lebih senior dan berpengalaman daripada aku. Mereka lebih pantas untuk m enjadi Oy abun.” ”Kau dekat dengan sang Oyabun sem asa hidupnya. Beliau sangat percaya padamu. Selain itu kau juga sangat tenang dan penuh perhitungan, serta selalu bersikap netral. Tidak ada alasan untuk memilih yang lain sebagai Oy abun.” ”Para Senpa 5 tidak akan setuju.” ”J angan kuatir. Asal kau bersedia, para anggota, terutam a para Sateigashira dan W akagashira yang berusia m uda pasti akan m endukungm u. Sudah saatnya kita bertindak sebelum kita semua dibunuh. Kematian sang Oyabun harus kita balas, atau kita akan sem akin direndahkan.” ”Tapi sang Oy abun m eninggal karena serangan jantung.” 5



Anggota Senior



41



”Apa kau percaya?” Ueda hanya diam . ”Oni punya banyak cara untuk m enghabisi korbannya.” ”Kau yakin sem ua ini ulah Oni?” ”Siapa lagi? Hanya m ereka yang bisa m elakukan ini. Mereka ingin m engajak kita berperang.” ”Tapi kita tidak boleh bertindak gegabah. Terlalu banyak yang dipertaruhkan.” ”Sam pai kapan kau akan bersikap seperti ini?” ”Sam pai aku benar-benar yakin, siapa pelaku sem ua kejadian ini.” Pria di sebelah Ueda m enarik napas panjang. ”Dengarkan aku. Pertam a-tam a kau harus m engam bil alih pim pinan di sini. Rentetan kejadian ini m em buat para anggota resah dan terpecah belah. Hanya kau yang bisa m enyatukan m ereka kem bali. Setelah itu baru kita am bil tindakan selanjutnya m enghadapi Oni.” ”Tapi bagaim ana jika para Senpa tidak setuju?” ”J angan kuatir, kam i yang akan urus ini. Kau hanya tinggal bilang bersedia atau tidak. J ika sebagian besar anggota m endukungm u, para Senpa tidak akan bisa berbuat apa-apa.” Seorang anggota lain duduk di sebelah Ueda, hingga pem bicaraan terputus. ”Bagaim ana?” desak si pria dengan suara tetap lirih. ”Kita bicarakan ini nanti, setelah pem akam an,” sahut Ueda pendek. *** 42



Di luar rumah, beberapa mobil polisi terparkir di pinggir jalan. Salah satunya adalah m obil yang ditum pangi Detektif Shigawa dan Harada. ”Sekarang pertum pahan darah tidak akan bisa dihindari,” ujar Shigawa.



43



Lima



Kenji m engham piri Shunji y ang



sedang m em baca di



ruang tengah. ”Adikm u sudah tidur?” tany a Shunji tanpa m engalihkan perhatian dari apa y ang sedang dibacany a. ”Sudah, Otosan...” ”Lalu kenapa kau sendiri belum tidur?” ”Aku... aku tidak bisa tidur.” Shunji m enghentikan bacaanny a dan m enoleh ke arah Kenji y ang berdiri di sebelah kananny a. ”Ada apa?” tany a Shunji. Kenji tidak m enjaw ab pertanyaan ayahnya, m elainkan langsung duduk di depan Shunji. ”Kapan Otosan akan m engajari aku?” dia m alah balik bertany a, m em buat Shunji m engerny itkan keningny a. ”Mengajari?” 44



”Apa y ang Otosan lakukan tadi siang, Otosan tidak pernah m engajarkanny a padaku.” Mendengar ucapan anakny a, Shunji tereny ak. Seperti sebuah rekam an video y ang diputar ulang, pikiran pria itu tertuju pada kejadian siang tadi, saat diriny a dalam perjalanan pulang dari desa. Di jalan, sekelom pok orang berpakaian ninja m eny erangny a. Shunji bisa saja m enghadapi para peny erangny a satu per satu baik dengan m enggunakan tangan kosong atau bersenjata, kalau saja saat itu dia sedang sendiri. Karena tidak ingin m em bahay akan ny aw a kedua anakny a, dan tidak m udah untuk m em bereskan para peny erangny a, Shunji pun m elakukan apa y ang tidak pernah dilihat oleh Kenji dan Rachel sebelum ny a. Dalam w aktu singkat dia berhasil m em bereskan para peny erangny a, juga m em berikan kesan y ang berbeda untuk kedua anakny a. Bagi Rachel, apa y ang dilihatny a tidak lebih dari suatu pertunjukan y ang m engagum kan dari orangtua sekaligus guruny a itu. Tapi tidak bagi Kenji. Apa y ang dilihat anak lakilaki berusia lim a belas tahun itu m erupakan suatu hal y ang harus dipelajariny a. Shunji m enatap Kenji dalam -dalam , seolah hendak m encari sesuatu dalam m ata y ang bening itu. ”Kau tidak bisa m em pelajari apa y ang kaulihat siang tadi,” tandas Shunji. ”Kenapa? Aku sudah lim a belas tahun. Aku telah m enguasai sem ua y ang Otosan ajarkan. Kenapa aku tidak bisa m em pelajari y ang ini?” ”Karena...” Shunji m enarik napasny a dalam -dalam , ”...Otosan tidak berhak. Apa y ang kaulihat siang tadi, 45



bukanlah m ilik Otosan. Otosan tidak bisa m engajarkan apa y ang tidak Otosan m iliki. Otosan harap kau bisa m engerti.” ”Aku tidak m engerti... lalu, siapa y ang bisa m engajari aku? Otosan tahu?” Shunji kem bali m enatap dalam -dalam m ata anakny a. ”Otosan harap kau tidak perlu m em pelajariny a, sam pai kapan pun...,” tegasny a. Jaw aban y ang tentu saja m em buat Kenji kecew a. Dia hany a m enatap ay ahny a y ang sedang m em asukkan bacaanny a ke sebuah kotak baja kecil berukuran sekitar 20 X 10 senti. Kotak besi itu lalu dikunci oleh Shunji, dan kunciny a diselipkan di balik bajuny a. *** ”Berapa lam a Mbak Widya akan tetap di sini?” Pertanyaan Astuti itu m em buat Widya yang sedang m em baca m enghentikan aktivitas dan m enoleh ke arah adiknya. ”Sebelumnya Mbak jangan salah sangka dulu. Bukannya aku nggak senang nem enin Mbak Widya, tapi aku nggak bisa pergi terlalu lam a. Kasihan Mas Bram dan anakanak. Belum lagi pekerjaanku di kantor. Aku nggak bisa bolos terlalu lam a walau bosku ngasih izin. Nggak enak sam a yang lain,” Astuti m enjelaskan. ”J adi kam u akan balik ke J akarta?” tanya Widya. ”Besok pagi. Makanya aku tanya Mbak. Mbak Widya m asih m au tetap di sini atau besok ikut dengan aku ke 46



J akarta? Soalnya aku ingat Mbak pernah bilang bakal balik lagi ke Washington untuk nyelesaiin urusan di sana yang belum selesai.” Widya tercenung m endengar ucapan Astuti. Sejenak wanita itu berpikir. ”Lagi pula udah nggak ada yang kita kerjakan di sini. Semua urusan kita di Bandung udah beres. Urusan rumah ini juga udah kita serahkan ke Mas Anang dan Mbak Wasti...” ”...Mbak lagi nunggu Rachel. Siapa tau dia ke sini,” potong Widya. Astuti m enghela napas m endengar jawaban kakaknya yang m em ang sudah diduganya. Sudah dua hari sejak Widya tahu bahwa Rachel ada di Bandung, dan kakaknya itu terus m enunggu kedatangan anak perem puan satusatunya di rum ah m ilik orangtua m ereka. Bahkan Widya sama sekali tidak pernah keluar rumah. Takut kalau-kalau Rachel datang dan dirinya tidak ada di rumah. Apalagi Bi Popon m em ang pernah bercerita bahwa Rachel m em ang pernah datang ke rumah itu dua hari sebelum ke makam, dan hanya berselisih sehari dengan kedatangan Widya dan Astuti dari J akarta. Astuti duduk di sebelah Widya. ”Aku sudah pesan ke Bi Popon supaya m em berikan nom or HP-ku atau HP Mbak kalo Rachel datang lagi ke sini. Rachel pasti juga ingin bertem u dengan Mbak, jadi dia pasti akan coba menghubungi Mbak. Dia cuma nggak tau aja kalo Mbak Widya juga ada di Bandung.” ”Tapi siapa tau nanti Bi Popon lupa, atau nom or itu hilang...,” sergah Widya. 47



”Nggak m ungkin hilang. Nom or HP-ku dan Mbak Widya aku tulis dan aku gantung di atas telepon rum ah. Aku juga m asukin ke dalam HP Bi Popon, dan selalu ngingetin dia. Bi Popon juga ngerti kok... ”...Bukannya aku nggak tau perasaan Mbak Widya. Tapi menurut pendapatku, daripada Mbak cuma di sini, duduk m enunggu, sem entara m asih banyak urusan lain yang lebih penting. Aku sangat yakin Rachel pasti akan m encari dan mencoba menghubungi Mbak Widya, karena aku tahu dia juga sangat rindu ingin bertemu dengan mamanya. Aku sangat yakin soal itu...” Widya tetap diam , setelah beberapa lam a baru dia bicara. ”Beri Mbak waktu satu-dua hari ini. Mbak m asih berharap Rachel akan datang lagi ke sini. Kalo kam u m au pulang duluan, pulang aja. Mbak bisa ngerti kok. Kam u nggak usah kuatir soal Mbak. Kan ada Bi Popon di sini. Kalo ada apa-apa juga ada Mas Anang dan Mbak Wasti yang tinggal di Bandung,” kata Widya. ”Mbak yakin Rachel m asih ada di Bandung, dan dia pasti akan datang ke sini lagi. Bukannya selam a ini keyakinan Mbak selalu benar?” lanjutnya. *** Tapi kali ini keyakinan Widya salah, karena Rachel ternyata telah berada ribuan kilometer dari Bandung, tepatnya di Hong Kong. Siang ini hujan deras m em basahi kawasan Kowloon, Hong Kong. Rachel yang m engenakan jas hujan panjang 48



dan topi lebar berjalan m enelusuri jalan yang becek di sebuah kawasan apartem en kum uh di salah satu sudut Kowloon. Di depan sebuah gedung yang terlihat kum uh dan tampaknya sudah lama tidak ditinggali, gadis itu berhenti sejenak di depan pintu. Tangannya bergerak ke arah sebuah kotak panel yang terletak di sam ping pintu, yang dulunya merupakan tempat daftar para penghuni gedung bekas apartem en itu. Dia m enekan salah satu tom bol pada kotak panel. Ternyata tom bol itu m asih berfungsi. Dia menekan tombol yang sama tiga kali pendek, dua kali panjang, dan tiga kali pendek lagi. Tidak lama kemudian pintu gedung terbuka otom atis. Rachel kem udian m asuk ke gedung. Sesampainya di dalam gedung yang tampak berantakan, Rachel membuka jas hujan dan topi lebarnya yang basah. Rambutnya yang tergelung dan ditutupi topi tergerai saat dia m em buka topinya. Rachel lalu m eletakkan topi dan jas hujannya pada gantungan baju yang terdapat pada bekas lobi apartem en, kem udian m engikat ram butnya yang panjang ke belakang. Walaupun telah m em akai jas hujan, tapi ada beberapa butir air yang membasahi sweter abu-abu tua yang dikenakannya. Sweter itu m erupakan hasil rajutannya sendiri. Celana panjang hitam dan sepatu ketsnya juga basah. Karena hujan, udara di Hong Kong m em ang m enjadi dingin. Bahkan Rachel sam pai sedikit m enggigil m enahan hawa dingin yang m ulai m enyergapnya, karena pem anas pada gedung ini sudah lam a m ati. Bahkan penerangan pun berasal dari cahaya luar yang masuk melalui celah-celah jendela yang terbuka, sehingga tem pat itu terasa gelap dan m enyeram kan. 49



HP yang disim pan di saku celana Rachel bergetar. Rachel m engam bil HP-nya. ”W elcom e, Double M, sudah cukup berdandannya?” tanya suara di HP dalam bahasa Inggris. ”Kam u di m an a?” balas Rach el. Dia m elih at ke sekeliling lobi tempatnya berada. Walaupun tidak terlihat, tapi dia yakin ada kam era tersem bunyi di ruangan ini yang m engam ati segala gerak-geriknya. Suara di seberang tertawa terkekeh-kekeh. ”Naiklah lift ke lantai lima. Aku sudah mengaktifkannya untukmu. Atau kau masih butuh lebih banyak olahraga?” kata suara di seberang HP. Selesai berbicara, pintu lift di sebelah kanan Rachel terbuka. Sejenak Rachel mengamati keadaan lift yang tam pak tidak terawat itu, kem udian m elangkah ke dalam nya. Sesam painya di lantai lim a, Rachel m encari kam ar nom or 50 7, sesuai dengan yang diperintahkan m elalui HP-nya. Papan penunjuk nom or kam ar 50 7 yang berada di sam ping pintu m asih utuh, walaupun terlihat kusam . Dia m em utar gagang pintu yang tidak terkunci. Baru saja m elewati pintu, sepucuk pistol m enem pel pada bagian belakang leher gadis itu. ”Maju selangkah lagi, dan isi kepalam u akan berham buran di sini.”



50



Enam



M ASAHI UEDA terdiam



di ruang kerjanya. Ada yang m engganggu pikirannya, hingga m em buat pria itu segan melakukan aktivitas hari ini. Dia bahkan telah membatalkan semua janji hari ini dan berpesan pada sekretarisnya untuk m enahan sem ua telepon yang m asuk. Ued a m asih m er en u n gi p er t em u an an t ar a p ar a Sateigashira, Saiko Kom on 6 , dan para anggota senior yakuza lainnya tadi m alam . Pertem uan yang rencananya m em bahas m asalah pergantian Oy abun ham pir saja berubah m enjadi ajang perpecahan antara sesam a anggota. Ini berkaitan dengan masalah siapa yang menjadi Oyabun selanjutnya. Mayoritas anggota dan Sateigashira, terutam a yang m asih berusia di bawah enam puluh tahun 6



Penasihat senior



51



m enginginkan Ueda sebagai Oy abun baru. Alasannya, Ueda dikenal sangat tegas dan selam a ini pintar m enjalankan organisasi yang dipimpinnya. Ueda juga dikenal netral dan tidak m em ihak salah satu klan. Dia juga m erupakan orang kepercayaan sang Oyabun sem asa hidupnya. Tapi anggota senior yang rata-rata berusia di atas enam puluh tahun menolak Ueda, dengan alasan usianya yang masih muda dan dianggap belum banyak pengalam an. Perdebatan menemui jalan buntu bahkan hampir menjadi perselisihan antaranggota. J umlah mayoritas anggota yang mendukung Ueda bukan berarti bisa mengalahkan p ar a ket u a sen ior yan g p u n ya lebih ban yak pengaruh. Ueda tidak ingin dirinya m enjadi sum ber perpecahan antarklan. Di sisi lain, dia ingin mencari pembunuh para ketua Yakuza, term asuk sang Oyabun yang dianggapnya ayahnya sendiri. Dan Ueda tidak bisa m elakukan hal itu tanpa dukungan dari seluruh anggota. Untuk itu dia harus punya kekuatan yang akan didapatnya jika dia m enjadi Oy abun. Dering telepon m em buyarkan lam unan Ueda ”Aku sudah bilang supaya m enahan sem ua telepon yang m asuk!” dam prat Ueda. Tapi yang terdengar di seberang telepon bukan suara ketakutan sekretarisnya, melainkan suara seorang pria beraksen Eropa. ”Kon’nichiw a, Ueda-san... Apakah anda ingin tahu siapa pem bunuh pem im pin Anda?” *** 52



”Zig?” Sesosok bayangan m uncul di belakang Rachel sam bil tetap m enodongkan pistol. ”Untuk seorang pem bunuh yang terlatih, tindakanm u sangat ceroboh. Kau tidak m em eriksa dulu keadaan sekelilingm u sebelum kau m asuk.” ”Oya?” Rachel tersenyum kecil. ”Tak mungkin musuhku m enodong dengan pistol kosong,” lanjutnya. Zig terenyak m endengar ucapan Rachel. ”Bagaim ana kau tahu pistol ini kosong?” ”Aku bisa m erasakan berat pistol yang m enem pel di leherku. Lagi pula seorang pem bunuh yang terlatih tidak akan m enem pelkan pistolnya hingga m enyentuh kulit korbannya.” Zig m enurunkan pistol. ”Ternyata aku harus lebih banyak belajar darimu,” kata Zig pelan. Perlahan Rachel berbalik. Di antara keremangan kamar itu, dia sedikit terkejut m elihat Zig. ”Kenapa?” ”Tidak... Sudah lam a tidak bertem u, kau sedikit berubah. Kau cat ram butm u?” Zig yang berada di hadapannya sekarang adalah sosok berambut pirang gimbal ala Bob Marley, dengan pakaian seperti layaknya remaja masa kini, lengkap dengan celana m odel baggy -nya. Berbeda dengan terakhir kali Rachel m elihatnya. ”Kenapa? Tidak boleh m engikuti m ode? Mode seperti ini sedang tren di sini.” 53



Rachel hanya geleng-geleng m elihat kelakuan Zig yang seperti ABG (Anak Baru Gede). Padahal usia Zig sekarang 35 tahun. Tapi tubuhnya yang sedikit lebih pendek dan wajahnya yang agak kekanak-kanakan m em buat banyak orang m engira usianya baru 25 tahun atau bahkan kurang. Zig asli berasal dari Asia Tim ur. Ibunya berasal dari Taiwan yang m enikah dengan orang J epang. ”Oke, langsung ke bisnis,” kata Zig. Kem udian dia keluar dari kam ar. ”Ikut aku.” ”Lho? Di sini bukan...” ”Tem pat kerjaku? Tentu saja bukan. Ini hanya tipuan bagi orang lain yang m encoba m enyusup kem ari.” Dengan penuh tanda tanya, Rachel m engikuti langkah Zig. Mereka berdua kembali memasuki lift. Zig memasukkan beberapa kom binasi tom bol, dan lift pun bergerak. Rachel m erasakan lift bergerak ke bawah. ”Ke lantai m ana kita?” ”Kalau kuberitahu berarti aku harus m em bunuhm u,” jawab Zig dengan m im ik geli. ”J angan tiru kata-kataku...” Beberapa saat kemudian lift berhenti. Rachel mengikuti Zig keluar. Dia m elihat ke sekelilingnya. Di sini tam pak berbeda dengan lantai yang lain. Tidak ada bekas-bekas kam ar apartem en. Yang ada hanyalah deretan pipa dan beberapa bentangan kabel. ”Ini basem ent?” Zig tidak menjawab. Dia tetap melangkah. Rachel mempercepat langkahnya m enjajari Zig. Mereka tiba di depan sebuah pintu besi. Ada sebuah 54



kotak panel di dekat pintu. Zig menaruh ibu jarinya pada salah satu bagian kotak panel yang bening. Bagian itu m enyala, dan tak lam a kem udian pintu terbuka. ”Sidik jari...,” gum am Rachel. ”Bukan, sidik jari sudah kuno. Ini adalah analisis DNA. Lebih sulit dipalsukan. Sengaja kubuat m irip identitas sidik jari untuk m engecoh.” SELAMAT DATANG DI ZIG’S WORLD, TEMPAT SANG PANGERAN YANG TERKENAL GAGAH DAN TAMPAN Rachel mengernyitkan dahi mendengar suara yang bergem a di seluruh ruangan ketika m ereka m asuk. Dia m em andang Zig. ”Hanya untuk m otivasi,” jawab Zig terkekeh. Ruangan itu berbeda dengan ruangan lain di bekas apartemen ini. Walaupun masih mempunyai satu kesamaan—yaitu sam a-sam a berantakan—tapi ruangan ini tam pak lebih bersih. Benda-benda yang berhubungan dengan elektronik tam pak m endom inasi ruangan berukuran 6 X 6 m eter itu. Selain tidak kurang dari lim a buah PC, terdapat juga dua buah laptop, dan peralatan elektronik lainnya yang sebagian baru kali ini dilihat oleh Rachel. Di salah satu sudut ruangan terdapat pintu. Dan ruangan ini lebih hangat, karena Zig m em asang penghangat ruangan. Saat masih menjadi pembunuh bayaran SPIKE, Rachel pernah beberapa kali bertem u dengan Zig. Tapi sem ua pertem uan itu selalu dilakukan di luar atau tem pat lain. 55



Inilah untuk pertama kalinya dia mengunjungi kediaman orang yang m em bantu beberapa aksinya itu. ”J adi di sini kegiatanm u sehari-hari?” tanya Rachel. ”Ya Memang agak membosankan. Karena itu aku butuh refreshing. Anggap saja rumah sendiri,” ujar Zig. Dia menuju salah satu PC. ”Di m ana kau tidur?” ”Kenapa kau tanya itu?” ”Hanya ingin tahu.” Zig m enunjuk pintu yang terdapat di sudut ruangan. ”Di situ tem pat tidur dan kam ar m andi. J uga ada dapur m ini. Mau lihat?” ”Thanks. Lain kali saja.” ”Baiklah. Kau lihat benda seperti lem ari itu?” Zig m enunjuk ke arah sebuah benda berbentuk lem ari setinggi orang dewasa, dengan berbagai m acam lam pu indikator di bagian luarnya. ”Itulah inti dari Zig’s World. Mainfram e yang m engendalikan seluruh sistem komputer di sini, juga backup sistem kom unikasi SPIKE. Ada satu lagi m ainfram e seperti ini di tem pat lain, yang m erupakan sistem utam anya,” Zig m enjelaskan ”Di m ana?” ”Tentu saja di m arkas SPIKE.” ”Bukannya m arkas SPIKE sudah hancur?” ”Kapal Stella m aksudm u?” Rachel m engangguk, m em buat Zig tersenyum sinis. ”Kalau diibaratkan sebuah kantor, Stella hanyalah bagian adm inistrasi. J onathan Keisp tidak bodoh untuk m eletakkan server utam a dalam kapal. Bagaim ana jika 56



terjadi sesuatu dengan Stella, m isalnya tenggelam ? Dia pasti m eletakkan m ainfram e-nya di darat, dalam sebuah bangunan yang aman serta dijaga ketat, di markas SPIKE yang sebenarnya. Sayangnya, letak pastinya di m ana aku tidak tahu. Kau tahu?” Rachel kembali menggeleng. Selama ini dia dan mungkin para pem bunuh bayaran SPIKE berkom unikasi dengan pem im pinnya m elalui sistem jaringan kom unikasi yang dibangun SPIKE sendiri. Belum pernah sekali pun dia datang ke apa yang disebut m arkas. Satu-satunya markas SPIKE yang diketahui Rachel adalah kapal Stella. Dan kapal itu sekarang telah hancur di lautan. ”Tidak heran. Yang aku tahu, hanya segelintir pem bunuh bayaran SPIKE yang tahu di m ana m arkas utam a SPIKE.” ”Mungkin di rum ah J onathan?” tebak Rachel. ”Atau di salah satu dari puluhan gedung dan properti m iliknya yang tersebar di seluruh dunia. Kita tidak tahu itu.” ”Bukannya kau yang m em buat m ainfram e SPIKE? Kenapa kau tidak tahu tem patnya?” Di luar dugaan Rachel, Zig m enggeleng. ”Bukan aku yang m em buatnya. Aku baru bergabung saat sistem kom unikasi SPIKE sudah ada. Aku tinggal m enjaga dan m enyem purnakannya saja, dan itu bisa dilakukan secara rem ote, dari jarak jauh. Tidak perlu aku datang ke tem pat m ainfram e utam a. Kecuali jika terjadi sesuatu yang bisa merusak m ainfram e utama secara isik, dan itu belum pernah terjadi selam a ini.” 57



”Lalu di m ana pem buat sistem kom unikasi SPIKE itu sekarang?” tanya Rachel lagi. ”Dia m enghilang begitu saja setelah pekerjaannya selesai. Kabarnya dia dibunuh oleh SPIKE supaya tidak m em bocorkan lokasi m arkas m ereka.” ”Tapi sekarang SPIKE sudah tidak ada. J onathan Keisp sudah tewas.” ”Kau yakin? Tapi kom unikasi m elalui SPIKECOM masih aktif, juga jalur lintas data mereka. Sistem mereka belum dimatikan, dan penyebabnya hanya satu; ada orang lain yang mengendalikan SPIKE, menggantikan J onathan Keisp.” Rachel tertegun m endengar keterangan Zig. *** Suara di seberang telepon m em buat Masahi Ueda tidak bisa m em utus hubungan. ”Perkenalkan, nama saya Henry Keisp. Ueda-san mungkin tidak m engenal saya, tapi Anda m ungkin m engenal ayah saya. Saya anak J onathan Keisp,” Henry m em perkenalkan diri. Mendengar nam a J onathan Keisp, Ueda teringat, dia pernah bekerja sam a dengan raja m edia itu dalam beberapa proyek. Tapi kali ini Henry Keisp m eneleponnya bukan untuk m em bicarakan soal proyek atau pekerjaan, m elainkan soal lain yang sam a sekali tidak berhubungan dengan bisnis Ueda. ”Saya tahu Anda sedang m encari siapa yang bertanggung jawab atas pem bunuhan yang terjadi pada 58



organisasi Anda, term asuk pem im pin besar Anda. Dan Anda m engira pem bunuhnya berasal dari kelom pok Oni. Bukan begitu?” ”Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan...” Ueda pura-pura tidak m engerti. ”Anda pasti m engerti. Saya katakan juga bahwa Anda akan kesulitan m enem ukan anggota Oni sekarang ini. Tidak seperti zam an Tokugawa dulu, sekarang justru anggota Oni yang dengan mudah bisa menemukan target m ereka dalam organisasi Anda. Anda butuh bantuan untuk m em buru para pem bunuh Oni, dan saya dapat m em bantu Anda.” Mendengar ucapan Henry, Ueda m engernyitkan kening. ”Siapa sebenarnya Anda?” tanya Ueda.



59



Tujuh



”SEBENARNYA, siapa pemilik gedung ini?” tanya Rachel sam bil m engam ati Zig yang sedang m engerjakan se suatu di depan layar m onitornya. ”Siapa lagi kalau bukan SPIKE? J onathan Keisp m em beli gedung ini saat hendak dirobohkan dan m em beriku tem pat tinggal baru di sini,” Zig m enjelaskan. ”Dan kau betah di tem pat seperti ini sendirian?” ”Aku punya pekerjaan di sini, dan SPIKE selalu m em beri apa yang aku butuhkan. Lagi pula aku bukan tawanan di sini. Kalau bosan, aku bisa keluar untuk jalanjalan kapan pun aku mau. SPIKE juga beberapa kali memberiku tugas luar, jadi bisa sekalian untuk refreshing.” Zig bangkit dari tem pat duduknya dan m enuju m eja tem pat m esin cetaknya berada. Kelihatannya dia sedang m encetak sesuatu. 60



”Sekarang aku perlu fotomu, dengan berbagai penampilan yang berbeda,” katanya. Setelah m enunggu berapa lam a... ”Selesai...,” kata Zig. ”Ini, lim a paspor dari lim a negara dengan nam a yang berbeda. Fotomu juga sudah aku edit hingga semua tidak sama. Ingat, kau harus menyesuaikan penampilanmu dengan yang ada di foto itu.” Rachel membuka paspor-paspor yang diterimanya dari Zig. Dia m em perhatikan foto dirinya. Zig telah m engedit fotonya hingga tidak mirip satu sama lain. Ada yang mem akai kacam ata tebal, beram but keriting, berm ata biru, bahkan ada yang m em akai kawat gigi. ”Kalau boleh aku tahu, kenapa kau membutuhkan hingga lima paspor? Biasanya kau hanya memesan satu paspor saja. Apa kau punya rencana untuk bepergian ke beberapa negara dan cari m asalah di negara yang kaukunjungi? Apalagi dengan pesananm u...,” tanya Zig. ”Bisa dibilang begitu... sekarang, mana pesananku yang lain?” ”Sebelum nya, aku ingin kepastian soal janjim u. Kau akan membayar semuanya, kan? J ika tidak, tolong kembalikan nanti dengan utuh. Asal kau tahu, sejak SPIKE kauhancurkan, tidak ada lagi yang membiayai semua ini. Aku terpaksa harus mencari uang sendiri agar bisa bertahan di sini.” ”Oya? Apa yang kau lakukan? Menerima servis komputer?” 61



”Lucu... apa kau tidak pernah dengar soal hacker?” Zig bangkit dari duduknya dan m em beri isyarat pada Rachel untuk mengikutinya menuju sebuah pintu yang berada di salah satu sisi ruangan. Ternyata itu adalah ruangan kecil berukuran sekitar 1 X 1 m eter. Zig m asuk dan jari-jari tangannya mengetuk-ngetuk dinding yang berada di dekat pintu. Tidak lam a kem udian, dinding yang berada di seberang pintu m em buka. ”Sidik DNA lagi?” tanya Rachel ”Pan el sen tuh tersem bun yi. Kau tidak akan bisa m enem ukannya kalau tidak m engetuk-ngetukkan jarim u di tem pat yang tepat. Salah satu penem uan terbesarku. Sayang belum sem pat aku patenkan.” Rachel hanya geleng-geleng mendengar ucapan Zig. Dia sama sekali tidak bisa menebak terbuat dari apakah otak pria itu hingga bisa m em punyai pikiran yang aneh dan sam a sekali tidak terbayangkan oleh orang lain. Ruangan lain yang berada di balik ruangan sem pit tersebut cukup luas. Mem anjang sekitar lim a m eter dengan lebar sekitar tiga m eter. Di dalam ruangan yang suhunya sedingin lem ari es terdapat berbagai m acam peralatan dan gadget dengan berbagai fungsi dan ukuran. Itu adalah perlengkapan yang biasa dipakai seorang pem bun uh SPIKE un tuk m en un jan g aksin ya. Dulu gadget-gadget tersebut biasa dijual atau dipinjam kan oleh Zig pada pem bunuh SPIKE yang m em erlukannya. Sebagian besar dari gadget yang ada bukanlah buatan Zig, melainkan didapatnya dari berbagai kenalannya yang m em punyai akses untuk m endapatkan gadget yang m erupakan barang yang sangat terbatas dan hanya dim iliki 62



oleh kalangan tertentu. Biasanya oleh instansi intelijen suatu negara atau lem baga penelitian yang sangat rahasia. ”Tidak biasanya kau m em ilih sendiri apa yang akan kaubawa. Biasanya aku yang m em ilihkan untukm u berdasarkan apa yang akan kaulakukan,” ujar Zig. ”Aku akan melakukan banyak hal. Dan sekarang belum sem pat kupikirkan apa yang akan kulakukan.” ”Kalau saja aku tidak m engenalm u dan Shunji sejak lam a, kau tidak akan kuperbolehkan ke sini. Kau orang pertam a yang m engacak-acak tem pat ini selain aku.” ”Aku m erasa tersanjung.” Rachel melihat-lihat gadget yang dipajang seperti layaknya etalase toko. Sebagian gadget tersebut sudah pernah dipakainya. Dia m em ilih beberapa yang kira-kira akan berguna nanti. ”Ini yang terbaru.” Zig menunjukkan kacamata berkaca bening yang mirip kacam ata baca. ”Penem uan terbaru dari MI-6 7. Sebuah poly graph 8 portable. Alat ini akan mendeteksi tingkat kejujuran seseorang berdasarkan nada ucapan, dan perubahan panas tubuhnya saat berbicara. Keakuratannya tergantung seberapa dekat kau berhadapan dengan lawan bicaram u. J ika kau berhadapan cukup dekat, alat ini bisa m endeteksi perubahan pupil m ata seseorang saat berbicara, sehingga hasilnya lebih akurat. Baterainya bisa bertahan 7



Dinas intelijen Inggris.



8



Alat pendeteksi kebohongan



63



hingga enam bulan dengan pem akaian terus-m enerus. J uga telah ada teknologi night vision untuk m elihat dalam kegelapan dan lensanya dapat menjadi hitam. Tekan tom bol kecil di gagang sebelah kiri sekali untuk m enghitam kan lensa, dua kali untuk m engaktifkan night vision, dan tahan selam a tiga detik untuk m engaktifkan poly graph.” Rachel mengambil kacamata hitam dari tangan Zig dan m em eriksanya. ”Harganya tujuh ribu dolar Am erika. Produksi barang ini terbatas.” Rachel m em akai kacam ata itu m enutupi bola m atanya yang berwarna cokelat kebiruan, lalu dia m enghadap ke arah Zig. ”Katakan, apa benar harga kacamata ini tujuh ribu dolar?” tanya Rachel. ”Hei! J angan gunakan barang itu terhadapku!” Rachel tertawa dan m elepaskan kacam atanya kem bali. ”Aku am bil yang ini.” Selain kacamata, Zig juga menunjukkan gadget-gadget terbaru lainnya seperti jam tangan yang bisa m engeluarkan gelom bang elektrom agnetik yang sangat kuat. ”Dapat m elum puhkan sem ua peralatan elektronik dalam radius seratus meter selama tiga menit, dan juga ada radar pendeteksi gerakan. Baterainya akan terisi kem bali secara otom atis oleh gerakan tanganm u.” Zig menyodorkan sebuah benda berbentuk bujursangkar sebesar kotak korek api yang terbuat dari logam . ”Ini antigelombang elektromagnetik. Sebelum kau meng64



aktifkan gelombang elektromagnetik di jam, aktifkan dulu alat ini sehingga alat eletronik yang kaubawa tidak terpengaruh dan tetap bekerja norm al,” lanjutnya. Ada juga sebuah bolpoin yang dapat m engeluarkan laser, dan digunakan untuk memotong semua benda, term asuk benda yang keras seperti titanium , juga berbagai m acam gadget berteknologi tinggi lainnya. ”Kau m em bawa banyak barang, dan itu tidak m urah,” kata Zig. ”J angan kuatir... uangku masih cukup untuk membayar sem ua ini.” *** Ko be , Je p an g Setelah turun dari taksi, Saka langsung m em asuki halam an sebuah apartem en yang terkesan kum uh. Angin dingin kota Kobe yang bertiup kencang m em buat pria itu m erapatkan jaket parasut yang dipakainya. Saka lalu m enyusuri tangga apartem en berlantai tiga itu, sam bil sesekali m elirik secarik kertas kecil yang dibawanya. Sesam painya di depan sebuah kam ar di lantai dua, Saka berhenti. Dia m elihat nom or kam ar yang tertera di sam ping pintu dan m encocokkannya dengan kertas alam at yang dibawanya. 20 7, Ini dia! batin Saka. Saka m enekan tom bol bel. Ditunggu beberapa saat, tidak ada yang terjadi. Dia m enekan bel lagi, tetap tidak ada respons. 65



”Katzum i-san!!” panggil Saka. Tetap tidak terjadi apa-apa. Saka mengambil HP dari saku celananya, dan menekan sebuah nom or. Tidak aktif! Setelah beberapa kali m enekan bel dan tidak ada respons, Saka menyimpulkan bahwa penghuni kamar 20 7 ini tidak ada di tem pat. HP-nya juga tidak aktif. Aneh, padahal m ereka sudah janji akan bertem u di tem pat ini, dan Saka baru setengah jam yang lalu m enelepon ke HP orang tersebut. Mungkin dia sedang keluar sebentar! batin Saka. Dia m em utuskan untuk m enunggu. *** Suara alarm yang tidak begitu keras m engalihkan perhatian Zig dan Rachel. Zig segera berlari kembali menuju ke ruangannya diikuti Rachel. ”Kau punya janji bertem u dengan orang lain?” tanya Rachel sam bil m elihat ke layar m onitor yang terhubung dengan kamera pengintai. Di dalam layar terlihat tiga pria dan seorang wanita turun dari dalam mobil, dan langsung m endobrak pintu depan gedung. Zig m enggeleng m endengar pertanyaan Rachel. ”Tidak.” Rachel segera kem bali ke ruangan gadget, dan keluar dengan m enggendong sebuah tas ransel. ”Mereka tidak akan bisa ke basem ent,” kata Zig. 66



”Tapi aku tidak suka bersem bunyi seperti tikus,” tegas Rachel. Zig menuju ke salah satu meja kerjanya dan membuka laci m eja itu.



”Kau suka ilm Starw ars?” tanya Zig tiba-tiba, m em buat Rachel terheran-heran. ”Kenapa kau tanya itu?” ”Karena aku punya sesuatu untukmu...,” jawab Zig, lalu dia melemparkan sebuah benda berbentuk tabung dengan diameter sekitar tiga senti dan panjang sekitar dua puluh senti yang terbuat dari logam dan berwarna hitam . ”Geser sw itch di bagian bawah,” perintah Zig. Rachel m elakukan apa yang dikatakan Zig. Saat dia m enggeser sw itch di bagian bawah tabung terdengar suara berdesing, dan tiba-tiba bagian atas tabung yang membentuk kerucut tumpul memancarkan sinar laser berwarna biru yang keluar dari dalam tabung. Sinar laser itu m em ancar m em anjang kurang-lebih satu m eter. ”May the force be w ith y ou...,” Zig m enirukan salah satu dialog dari ilm Starw ars.



”Ini... pedang laser. Kukira hanya ada di ilm...” Rachel tidak percaya m enatap benda yang dipegangnya.



”Mem ang, sayangku... Selam a ini pedang laser hanya jadi impian bagi para pecinta ilm iksi ilmiah seperti Starw ars, sampai sebulan yang lalu, saat sebuah perusahaan pem buat senjata untuk m iliter Prancis berhasil m ewujudkan impian masa kanak-kanak kita. Sebuah pedang laser yang ham pir m irip dengan yang selam a ini ada di ilm, bahkan jauh lebih baik.” 67



”Kau mendapatkan ini dari militer Prancis? Bagaimana caranya?” ”Sam a seperti barang-barang lainnya. Aku punya jalur khusus untuk itu. Pedang ini adalah prototipe serta kemungkinan tidak akan diproduksi massal. Biaya produksinya terlalu besar, dan m ungkin tidak berguna di zam an ini, dibandingkan dengan m em produksi senjata api. J adi m ungkin ini adalah pedang laser satu-satunya yang pernah dibuat.” Rachel m engam ati pedang laser yang dipegangnya. Sinar yang memancar dari laser berwarna biru itu seakanakan m em bius dirinya. ”Sinar laser yang yang memancar dapat dikontrol panjangnya sesuai kebutuhan dengan m em utar cincin di pegangannya. Cobalah.” Rachel m em utar cincin yang m elingkari bagian atas pegangan pedang ke kiri. Seketika itu juga pedang laser m em endek, hingga akhirnya panjangnya sekitar tiga puluh senti. Gadis itu kem bali m em utar cincin ke arah kanan, dan panjang laser kem bali seperti sem ula. ”Lasernya sangat tajam , bisa m em otong apa saja, bahkan berlian dan titanium sekalipun. Sayang, baterai plasm a sebagai sum ber tenaganya hanya bisa bertahan selam a satu jam . Setelah itu kau harus m engisinya kem bali dengan sum ber listrik selam a tiga jam atau tenaga m atahari selam a lim a jam . J adi pergunakanlah dengan tepat dan hanya bila kau benar-benar m em butuhkannya.” Mendengar ucapan Zig, Rachel m em utar kem bali gagang pedang bagian bawah. Sinar laser pun m enghilang. 68



”Berapa harganya?” tanya Rachel. ”Yang ini gratis... Kupinjam kan padam u. Tadinya aku berniat untuk terus m enyim pannya karena ini salah satu koleksi terbaikku. Kupinjamkan padamu, karena mungkin kau akan m em butuhkannya. Setelah urusanm u selesai, tolong kem balikan padaku secara utuh. Dan untuk keamanan, ada identiikasi sidik jari di pegangannya. Jadi cukup dengan meletakkan sidik jari kita, pedang ini akan aktif. Sekarang aku akan set hingga benda ini hanya akan aktif oleh sidik jarim u,” sahut Zig.



69



Delapan



E MPAT orang yang m enerobos m asuk gedung tem pat tinggal Zig terdiri atas seorang pria berkulit putih dan beram but pirang, seorang pria berkulit hitam dan berkepala botak, seorang pria Asia beram but panjang, dan seorang wanita kulit putih beram but m erah. Mereka sem ua m em egang senjata serbu jenis Uzi, kecuali si pria berkulit putih yang m em egang pistol sem iotom atis. Sesam painya di dalam , keem pat orang itu langsung menyebar, memeriksa ruangan demi ruangan yang ada di lantai dasar. Sem entara itu Rachel m asih berada di basem ent bersama Zig sambil mengamati para penyusup melalui layar m onitor. Siapa m ereka? tanya Rachel dalam hati. ”Apa kau punya m asalah dengan seseorang?” tanya Rachel. 70



”Aku belum pernah m elihat m ereka...,” jawab Zig. ”Kau yakin?” ”Aku belum pikun. Aku bahkan m asih ingat wajah sopir taksi yang kunaiki sem inggu yang lalu,” kata Zig m ulai kesal. ”Mereka bukan m antan pem bunuh SPIKE. Aku tidak m engenal satu pun di antaranya,” kata Rachel. ”Untuk apa mantan pembunuh SPIKE membunuhku?” tanya Zig. ”Mungkin saja untuk m em bungkam m ulutm u. J angan lupa, kau termasuk salah satu orang penting dalam organisasi. Kau punya akses tanpa batas ke database m ereka. J ika kau buka mulut, tidak ada lagi rahasia dalam organisasi, term asuk kerahasiaan para pem bunuh bayarannya. Alasan itu saja sudah cukup untuk membuat mereka mengejarm u...” ”J adi mereka adalah mantan pembunuh SPIKE?” tanya Zig. Wajahnya mulai terlihat ketakutan. Bekerja pada sebuah organisasi pem bunuh bayaran dan bergaul dengan para pembunuh tidak membuat Zig memiliki naluri membunuh juga. Mem bunuh seekor tikus saja dia tidak berani. ”Kan sudah kubilang mereka bukan mantan pembunuh SPIKE,” tegas Rachel. ”J adi siapa m ereka?” ”Kenapa tidak kautanyakan sendiri?” *** ”Tasuke te—tolong...” 71



Teriakan minta tolong terdengar lirih dari dalam kamar 20 7, m em buat Saka yang sedang berdiri di luar pintu m engernyitkan kening. ”Katzum a-san!” panggil Saka lagi. ”Tasuke te...” J elas suara itu berasal dari dalam kam ar 20 7. Seseorang dalam bahaya dan butuh pertolongan. Saka tidak mau menunggu lebih lama lagi. Nalurinya sebagai seorang polisi m em beri isyarat bahwa dia harus cepat-cepat m elakukan sesuatu. Saka m em utar gagang pintu kam ar. Terkunci. ”Katzum a-san!” Tidak ada jawaban. Tidak ada jalan lain, Saka m em utuskan untuk m endobrak pintu kam ar apartem en. BRAAKK!! Begitu pintu kamar terbuka, Saka langsung menyelusuri seluruh kamar. Di salah satu sudut ruangan, dia menemukan sesosok tubuh tertelungkup di lantai. ”Katzum a-san?” Ketika Saka m em balikkan tubuh itu, dia hanya m endapati sesosok tubuh pria tua yang sudah tidak bernyawa. Matanya terbuka lebar, juga m ulutnya. Saka tahu dia terlam bat! *** ”Ada yang turun!” 72



Melalui layar m onitor, Rachel m elihat salah satu pria yang berkulit hitam turun m elalui tangga ke basem ent. ”J angan keluar dulu. Aku tidak m au terjadi sesuatu di sini,” pinta Zig. ”Tapi dia bisa m enem ukan tem pat ini...” ”Zig’s World tidak mudah ditemukan. Mungkin saja dia tidak sam pai kem ari. Keadaan basem ent yang gelap, panas, dan pengap m ungkin akan m engubah pikirannya dan m em buatnya naik lagi. Apalagi dia tidak m em bawa senter.” Tapi harapan Zig kelihatannya tidak terkabul karena pria berkulit hitam itu tetap berjalan m enyusuri basem ent. Beberapa m eter lagi, dia akan m enem ukan pintu Zig’s World. ”Cukup... akan kuhadapi dia sekarang...” Rachel menuju pintu. ”Tapi berjanjilah, jangan buat kerusakan di tem pat ini.” ”Kuusahakan...” Saat Rachel m em buka pintu, jaraknya dengan pria berkulit hitam itu tidak lebih dari lima meter. Hanya saja karena keadaan basem ent yang gelap dan posisi Zig’s World yang tertutup sebuah ceruk, dia tidak m enyadari kehadiran Rachel. Insting Rachel yang terlatih sendiri bisa merasakan kehadiran musuhnya dari deru napas dan bau badannya. Dan dia tahu m usuhnya sem akin m endekat. Em pat m eter, tiga m eter, dua m eter... ”Trevor... kau di m ana?” 73



”Aku m asih di basem ent...” ”Cepat naik ke lantai dua... Ada m asalah di sana!” Suara dari alat kom unikasi yang terpasang di telinga pria berkulit hitam bernama Trevor membuat dia berbalik arah, dan dengan langkah cepat m eninggalkan basem ent. Rachel juga berbalik, kem bali ke Zig’s World. *** ”Zig... ada apa?” ”Entahlah... ada perkelahian diselingi baku tem bak di lantai dua,” jawab Zig sam bil tetap m enatap layar m onitor. ”Perkelahian? Baku tem bak? Mereka m elawan siapa?” ”Aku tidak tahu... ada orang lain, entah siapa. Aku tidak bisa m elihat wajahnya dengan jelas karena gerakannya sangat cepat. Tapi kurasa dia seorang wanita.” W anita? Rachel m elihat layar m onitor. Tidak m ungkin! *** Saat Rachel sampai di lantai dua, tidak ada lagi perkelahian atau baku tem bak. Yang tersisa hanyalah lubang-lubang peluru pada dinding, ceceran darah, dan em pat sosok tubuh tak bernyawa yang tergeletak di beberapa bagian ruangan. ”Sem ua tewas?” tanya Zig yang datang belakangan. 74



Rachel tidak menjawab pertanyaan Zig. Dia memeriksa keem pat jenazah orang-orang yang m em asuki gedung tadi. Semuanya tewas dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang tertem bak di kepalanya, leher patah, terbentur tem bok, dan tulang dada rem uk. Siapa pun pelakunya, dia seorang yang punya kemampuan tinggi dan berdarah dingin. Oni aliran Koushin 9 ! batin Rachel begitu melihat tanda ditinggalkan pada tubuh keem pat jenazah tersebut. Tapi tidak m ungkin dia y ang m elakukan ini! batin Rachel. ”Kenapa banyak bunga m atahari?” tanya Zig. Rachel baru sadar, di atas tiap jenazah terdapat ceceran bunga m atahari. ”Dia... Matahari...,” jawab Rachel lirih. ”Matahari?” ”Kau belum pernah dengar?” tanya Rachel sam bil m enoleh pada Zig. Zig m enggeleng. ”Sebaiknya kau m ulai berpikir untuk m encari tem pat tinggal baru dari sekarang,” tandas Rachel. *** Di kediamannya, sang pemimpin duduk dengan raut wajah tegang dan diapit oleh dua orang penjaganya. Di hadapan sang pem im pin berdiri anak buahnya yang baru saja 9 Aliran baru dalam Kelompok Oni yang memperbolehkan anggotanya melakukan pembunuhan dengan cara apa saja, tidak hanya menggunakan cara dan senjata tradisional. Kebalikannya adalah aliran Nagai (Lihat: Mawar Merah-Metamorfosis).



75



m enyam paikan sebuah berita yang tidak m enggem birakan. ”Mereka gagal,” kata pria beram but serbaputih sam bil m enunduk. Wajah sang pemimpin menengadah. Matanya menatap tajam anak buahnya itu. ”Sudah kubilang jangan rem ehkan soal ini,” katanya. ”Gadis yang berjulukan Matahari itu, kita tidak memperhitungkan dia.” ”Sudah terlalu banyak korban, aku tidak bisa membiarkan korban dari kita jatuh lebih banyak. Panggil The Twins sekarang,” lanjut sang pem im pin. ”Tapi, m elibatkan The Twins sekarang...” ”J angan m em bantah lagi! Apa kau ingin m enunggu sampai orang-orang kita habis, atau sampai kelompok ini hancur?” Si rambut putih tidak berbicara apa-apa lagi. Dia hanya m enunduk dalam -dalam . ”Katakan pada The Twins untuk membereskan masalah ini secepatnya! Dan tetap lanjutkan pencarian gadis itu!” ”Baik...” Setelah anak buahnya yang berambut putih pergi, tanpa diketahui oleh kedua penjaganya, seulas senyum tipis tersungging di bibir sang pem im pin. Akhirny a, sem ua akan segera selesai! batinnya. *** Setelah ham pir lim a jam berada dalam ruang interogasi 76



Kepolisian Kobe, Saka akhirnya m endapat berita yang m enyenangkan. Seorang detektif polisi berbadan kurus bernam a Koji Mitsubara m asuk sam bil m enggenggam secarik kertas. ”Anda boleh pergi,” katanya. ”Kam i telah m endapat faks balasan dari Interpol yang mengklariikasi pernyataan Anda.” Akhirny a! batin Saka. Sudah berjam -jam dia diinterogasi, sejak polisi m enahannya terkait kasus terbunuhnya seorang pria setengah baya bernam a Akira Katzum a di apartem ennya. Sepanjang interogasi itu Saka beberapa kali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Sekarang, akhirnya dia bisa keluar juga. Itu juga setelah Saka m engirim pesan ke Interpol, tepatnya pada Irwan. ”Tidak hanya itu. Rekan Anda di Interpol juga m engirim pesan agar Anda segera m enem uinya di Hong Kong. Karena itu kam i akan segera m engem balikan paspor Anda, dan jika Anda m au, kam i akan m engantar Anda ke airport,” tam bah Mitsubara. ”Tidak usah, terim a kasih,” jawab Saka. ”Sebelum Anda pergi, boleh saya m enanyakan sesuatu pada Anda? Ini bukan interogasi. J ika Anda tidak bersedia m enjawab, saya tidak akan m em aksa.” Saka mengangguk mengiyakan. Detektif Mitsubara pun duduk di kursi yang ada, berhadapan dalam satu m eja dengan Saka. ”Katakan, apakah urusan Anda dengan Akira Katzum a m engenai kelom pok Oni?” Saka tertegun m endengar pertanyaan Mitsubara. Tadi 77



selam a diinterogasi selam a ham pir lim a jam , tidak ada satu pun pertanyaan yang berhubungan dengan kelompok Oni yang ditanyakan padanya. Dan sekarang, pertanyaan itu baru ada. Saka tidak langsung m enjawab pertanyaan Mitsubara. ”Baik, kalau Anda tidak mau menjawab pertanyaan itu. Anda bisa pergi sekarang. Barang-barang milik Anda term asuk paspor bisa Anda am bil di bagian adm inistrasi di dekat lobi,” kata Mitsubara. ”Kenapa Anda tertarik dengan kelompok Oni?” tiba-tiba Saka balik bertanya. ”Kam i bukan n ya ter tar ik. Akir a Katzu m a adalah m antan anggota Oni. Dan kam i yakin, dia dibunuh juga ada kaitannya dengan kelom pok tersebut. Dan m enilik perilaku almarhum yang sangat tertutup dan hampir tidak m em iliki tem an sem asa hidupnya, kam i bisa m enarik kesim pulan bahwa rencana pertem uan Anda dengannya pasti menyangkut kelompok itu. Selain itu, akhir-akhir ini terjadi beberapa kasus pem bunuhan yang m elibatkan orang-orang Oni. J adi m au tidak m au, nam a kelom pok Oni jadi populer belakangan ini di seluruh kepolisian J epang. ”Apa kasus yang sedang Anda kerjakan ini berhubungan dengan kelom pok Oni?” tanya Mitsubara lagi. Saka m enggeleng. ”Maaf, tapi tujuan saya m enem ui Katzum a m erupakan urusan internal Interpol, dan saya tidak berhak memberitahu pihak lain, term asuk kepolisian lokal.” ”Apa berhubungan dengan kelom pok Oni?” Saka tidak m enjawab pertanyaan tersebut, m em buat 78



Mitsubara m enyerah. Detektif itu akhirnya m engangkat tangan. ”Baiklah Pradipta-san, Anda bisa pergi sekarang. Selam at jalan...”



79



Sembilan



”M AMA...!” Rachel terbangun dari tidurnya. Tubuhnya berkeringat, padahal suhu kam ar hotel tem patnya m enginap sangat din gin karen a pen garuh AC. Napas gadis itu juga terengah-engah seperti habis berlari puluhan kilom eter. Rachel baru saja berm im pi tentang m am anya. Mim pi yang m em buatnya teringat lagi, dan m enum buhkan perasaan ingin bertem u m am anya yang sangat besar. Dia m enoleh pada jam dinding yang tergantung di kam ar. Masih jam dua pagi! batin Rachel. Sam bil m inum air putih dingin, Rachel kem bali m em ikir kan m am anya. Setelah sadar kem bali dari am nesia, dia sebenarnya mencoba mencari tahu keberadaan mamanya itu. Tapi dengan berbagai pertim bangan dan karena ada pekerjaan yang harus dilakukannya terlebih dahulu, 80



gadis itu m em utuskan untuk m enunda m encari dan bertem u m am anya, walau sebenarnya dia sudah bisa m enebak keberadaan wanita yang paling dicintainya itu. Maain Rachel, Ma... Rachel pasti akan menemui Mam a setelah sem ua ini selesai! batin Rachel. *** Masahi Ueda berlutut di atas tatam i10 yang berada di tengah sebuah ruangan. Dia berpakaian serbaputih, dengan ikat kepala berwarna putih pula. Di hadapan pria itu terhampar lipatan kain berwarna putih dengan sebuah pisau di atasnya. Selain Ueda, di dalam ruangan tersebut juga berkumpul para Sateigashira, Saiko Kom on, dan para anggota senior Yakuza lainnya. Mereka duduk berlutut di sisi ruangan, m engelilingi Ueda. ”Kau yakin akan m elakukan ini?” tanya salah seorang Saiko Kom on yang berusia sekitar delapan puluh tahun, dan dianggap sebagai salah seorang anggota Yakuza paling senior. ”Ya!” jawab Ueda tegas sam bil m engangguk. Matanya tetap m enatap tajam ke depan. ”Kalau begitu, lakukanlah!” Ueda membungkuk memberi hormat, lalu melipat telapak tangan kirinya dan hanya menyisakan jari kelingkingnya yang kem udian diletakkan di atas kain putih. Keringat m ulai m engucur di wajahnya. 10



Penutup lantai di rumah-rumah tradisional Jepang, biasanya digunakan untuk alas duduk.



81



”Saya bersum pah akan m elaksanakan tanggung jawab saya dalam organisasi dengan sebaik-baiknya. Selain itu saya bersum pah akan m encari pihak yang bertanggung jawab atas kematian Oyabun Hamamoto dan memberikan hukum an yang setim pal atas perbuatannya. J ika saya gagal melaksanakan tugas ini, biarlah saya akan bernasib sam a seperti jari ini!” Seusai berkata dem ikian, Ueda m engam bil gulungan kain kecil di depannya, dan m enggigitnya. Lalu tangan kanannya m engam bil pisau dan m eletakkan m ata pisau yang tajam di atas jari kelingkingnya. Dengan penuh tenaga, Ueda m enekan pisau ke bawah. AARRGH! Ueda menggigit keras kain yang menyumpal mulutnya, m enahan sakit yang m endera dirinya. Darah m engucur dari jari kelingkingnya yang putus ditebas m ata pisau yang tajam . Setelah menguasai dirinya kembali, Ueda memutup darah yang m engucur dari pangkal jari kelingkingnya dengan kain putih. Setelah itu, dengan menggunakan tangan kanannya dia m em bungkus potongan jari kelingkingnya. Potongan jari kelingking itu kem udian diletakkannya di tengah-tengah kain dan disorongkan agak ke depan, seolah-olah dia m enyodorkannya. Dua anak buah Ueda kem udian m aju ke arah bosnya, dan m em bantu Ueda m erawat luka, terutam a m enghentikan darah yang terus mengalir dari pangkal jari kelingking kiri. Wajah Ueda terlihat memucat dengan keringat mem 82



banjiri sekujur tubuhnya, berbanding terbalik dengan wajah puas yang terlihat pada para anggota senior Yakuza. ”J angan sia-siakan waktum u...” Anggota paling senior itu m engingatkan Ueda. *** ”Kam u punya pacar?” Pertanyaan Riva m em buat Kenji yang sedang m enikmati makanannya tertegun. Dia menatap Riva dengan pandangan heran. ”J angan salah sangka... aku cum a tanya. Abis kam u jarang ngom ong sih.” Kenji nggak menanggapi ucapan Riva. Dia kembali melanjutkan m akannya. ”Tapi orang kayak kamu... mana mungkin punya cewek. Ngom ong juga jarang.” Riva seakan berbicara pada dirinya sendiri. ”Habiskan m akananm u... lalu kem bali berlatih,” perintah Kenji ”Sebenarnya, untuk apa kau m elatihku? Seakan-akan aku harus cepat m enguasai sem ua yang kauajarkan.” ”Ini untuk keselam atanm u juga. Aku tidak m ungkin terus-menerus melindungimu. Untuk bisa lepas dari kejaran kelompok Oni, tidak cukup dengan kekuatan. Kita juga harus cerdik.” ”Kenapa tidak bisa?” Kenji m enatap heran m endengar ucapan Riva. ”Maksudm u?” ”Eh... nggak... nggak apa-apa...,” sergah Riva seakan83



akan dia baru m enyadari ucapannya. Wajahnya terlihat sedikit m em erah. Untung Kenji tidak m em perhatikan perubahan wajah Riva. ”Kenji? Apa kam u punya rencana?” tanya Riva. ”Rencana?” ”Untuk m enghadapi kelom pok Oni. Tentu aja selain ngajarin aku beladiri dan m enggunakan berbagai m acam senjata.” Kenji berpikir sejenak, lalu m engangguk pelan. ”So?” tanya Riva lagi. ”Kita sedang berada dalam rencana itu. Tapi belum saatnya. Karena itu bersabarlah, kita akan m enuju ke sana. Kalau berhasil, kau akan lepas dari kejaran kelom pok Oni untuk selam anya.” ”Tapi bagaim ana kalo rencana kam u itu nggak berhasil?” ”Pasti berhasil. Aku sudah m erencanakan ini sejak lam a...” *** H o n gko n g, d i s o re h ari Irwan sedang duduk di pinggir sungai sam bil m enikm ati secangkir kopi hangat ketika Saka sam pai di tem pat itu. Saka langsung duduk di kursi yang ada di depan temannya, dan langsung m em esan secangkir m ochaccino hangat. ”Sudah aku bilang, hindari m asalah. Untung saja aku sedang ada di kantor ketika faks dari kepolisian J epang 84



datang. Kalau orang lain yang nggak tahu apa-apa yang menerima faks itu, bisa kacau. Aku tidak bisa mengeluarkan kau dari sana secepat ini,” kata Irwan tanpa basabasi. ”Kalau begitu terim a kasih,” balas Saka. ”Ingat, kau bukan polisi lagi. J adi jangan bertindak seolah-olah kau m asih punya lencana kepolisian,” Irwan m engingatkan. ”J angan kuatir, aku selalu ingat itu. Aku juga nggak cari m asalah kok. Aku cum a janji bertem u dengan Katzum a, dan tau-tau nem uin dia udah jadi m ayat. J adi boleh dibilang aku cum a berada di tem pat dan waktu yang salah,” tandas Saka. Dem i m encari Riva yang m enghilang secara m isterius, Saka m em ang m engundurkan diri dari kepolisian. Tidak bekerja penuh waktu m em buat Saka bisa lebih leluasa mencari sepupu yang sangat dekat dengannya itu. Dengan m enggunakan sebagian uang peninggalan orangtua Riva dan atas persetujuan para anggota keluarga Riva lainnya, Saka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari informasi mengenai keberadaan Riva, juga kelompok Oni. Saka tahu ini bukan tugas yang m udah, tapi dia tidak m enyerah sam pai m endapat kepastian m engenai nasib sepupunya itu. Pelayan datang m em bawakan m ochaccino pesanan Saka, m enghentikan pem bicaraan m ereka berdua. ”Aku heran, kenapa kau tidak m au bergabung kem bali dengan Interpol? Bukannya dengan begitu kau jadi lebih leluasa bertin dak? Padahal Chief sudah setuju kau bergabung kem bali sebagai staf khusus, m engingat pres85



tasimu saat bergabung dulu. J adi kau tidak perlu melalui rekom endasi dari Polri,” ujar Irwan. ”Terim a kasih, tapi aku m erasa udah cukup berada dalam kepolisian. Aku lebih senang begini, bisa bertindak kapan aja aku m au, tanpa harus koordinasi dulu dengan pihak lain. Aku bisa bertindak lebih luwes dan bebas...,” sahut Saka, ”...lagi pula Riva adalah sepupuku, dan m encari dia adalah janji pribadiku di hadapan m akam oom dan tanteku. Aku tidak ingin menggunakan institusi kepolisian untuk kepentingan pribadiku. Aku ingin m encari Riva dengan usahaku sendiri, atau paling tidak m engetahui nasibnya sekarang.” ”Menurutm u, apakah kem atian Katzum a berhubungan dengan kelom pok Oni? Atau itu kejahatan biasa?” ”Tentu saja berhubungan. Katzuma dibunuh karena ada yang nggak ingin dia m em buka m ulutnya pada orang lain. Dan itu berarti, ada yang m engetahui rencana pertem uanku dengan dia. Ada yang m enyadap teleponku,” jawab Saka. J awabannya berbeda 180 derajat dengan jawaban yang dia berikan di Kepolisian J epang. ”Dan kau akan kem bali ke J epang?” ”Yup... aku akan terus m encari sam pai berhasil m enem ukan Riva. Aku yakin dia m asih hidup,” jawab Saka yakin. ”Dan untuk itu, aku tetap memerlukan bantuanmu. Kau m asih m au m em bantuku, kan?” Mendengar itu, Irwan hanya m engangkat bahu. ”Asal kau nggak m em buat kekacauan yang bisa m engancam karierku di kepolisian...,” jawab Irwan, m em buat Saka tertawa. ”Nggak bakal deh... aku janji.” 86



Sepuluh



Rio D e Jan e iro , Brazil



DENTUMAN musik berirama house m usic menggema di seluruh penjuru sebuah kelab m alam di salah satu sudut kota. Kelab m alam yang cukup luas ini penuh sesak pengunjung dari berbagai usia dan kalangan yang ingin m encari hiburan dan m elepas ketegangan otot serta pikiran setelah seharian m enjalani aktivitas rutin. Pria Beram but Putih berjalan di antara para pengunjung yang sedang m eliuk-liukkan tubuh m engikuti dentuman musik dan kilatan lampu yang berkelip-kerlip. Tanpa m e m edulikan keadaan sekelilingnya dia terus saja berjalan. Bahkan kacam ata hitam yang dipakainya pun tidak dilepas nya.



87



Sesam painya di depan sebuah pintu yang terletak di belakang tem pat DJ , langkah si Ram but Putih dihadang oleh dua penjaga berbadan besar. ”Aku ingin bertemu dengan The Twins,” kata si Rambut Putih. ”Siapa kau?” tanya penjaga yang berkepala plontos. ”Ram but Putih.” Penjaga yang berkepala plontos m asuk ke ruangan di belakangnya. Lima menit kemudian, dia keluar dan memberi tanda agar si Ram but Putih m asuk. Melewati lorong yang tidak terlalu panjang, si Ram but Putih dibawa ke sebuah ruangan yang terang dengan dekorasi warna emas yang mendominasi. Lampunya tidak kerlap-kerlip seperti di luar. Di tengah ruangan ada sebuah meja kerja, dan seseorang duduk di kursi kerja yang m em belakangi pintu m asuk. Begitu si Ram but Putih m asuk, orang yang duduk di kursi kerja m em utar kursinya. ”Siapa kau?” tanya si Rambut Putih melihat orang yang duduk di kursi. ”Halo, Marcelo... lam a tidak bertem u.” Suara di belakang si Ram but Putih m em buatnya m enoleh. Seorang pria berkulit sawo matang bertubuh kurus dengan ram but panjang yang diikat ke belakang m uncul dari balik tirai yang berada di dekat pintu m asuk. ”Oke... kalo begitu, kita langsung saja bicara bisnis,” kata si pria kurus. Lalu dia m em beri tanda pada pria yang duduk di kursi kerja. Pria itu pun bangkit dari kursinya, dan m elangkah m eninggalkan ruangan sam bil m e88



nutup pintu, meninggalkan si Rambut Putih dan si Kurus berdua di dalam ruangan. *** Mu n ich , Je rm an Bar di pinggiran kota Munich itu terlihat ram ai, walau jarum jam telah menunjukkan pukul satu dini hari. Puluhan pengunjung terlihat memadati bar yang juga menyediakan m eja biliar itu. Em pat pria berusia tiga puluh tahunan terlihat berkerumun di sekitar salah satu meja biliar. Dua di antaranya m em ainkan perm ainan bola sodok tersebut, sedang lainnya terlihat hanya m enonton sam bil m enenggak bir dan tertawa-tawa. Di tengah-tengah suasana seperti itu, salah satu pria yang beram but pirang dan m engenakan kaus ketat m endapat panggilan telepon. Dia m engangkat HP-nya, dan berbicara di telepon. ”Sudah waktunya,” kata pria berambut pirang itu pada tem an-tem annya setelah selesai m enelepon. ”Sekarang?” tanya salah seorang tem annya yang berambut tipis dan sedang bermain biliar. Wajahnya kelihatan tidak senang. Pria beram but pirang itu m engangguk. ”Dia m enunggu di luar. Di belakang,” katanya, lalu memberi isyarat pada teman-temannya untuk mengikutinya. Keem pat pria yang rata-rata berbadan besar itu keluar 89



dari bar melalui pintu belakang. Keadaan di belakang bar yang m erupakan bagian dari sebuah gang terlihat sunyi, kontras dengan keadaan di bagian depan dan dalam yang ramai. Lampu penerangan gang yang remang-remang menerangi tikus-tikus got yang beberapa kali hilir-m udik di antara tem pat sam pah yang ada di situ. ”Di mana dia?” tanya pria berambut tipis yang kelihatan n ya belum rela keasyikan n ya berm ain biliar terganggu. ”Dia bilang m enunggu di sini,” jawab si ram but pirang. ”Di m ana?” ”Di sini!” Perhatian para pria itu teralih pada asal suara terakhir. Dari balik kegelapan m alam , m uncul sesosok tubuh langsing yang mengenakan jaket kulit dan celana panjang serbahitam. Sosok tubuh yang ternyata adalah Rachel itu m endekati keem pat pria yang m enunggunya. ”Kau yang akan memberi pekerjaan pada kami?” tanya si ram but pirang. ”Sebetulnya bukan m em beri pekerjaan pada kalian...,” jawab Rachel, ”...aku hanya ingin kalian m em beri inform asi yang aku butuhkan...” Mendengar ucapan gadis itu, pria beram but pirang tertawa sam bil m em andanginya dengan tatapan yang sedikit m erem ehkan. ”Kau? Informasi apa yang kaucari? Tentang tempat belanja pakaian di sekitar sini? Atau info m engenai salon yang bagus?” kata si pirang lalu tertawa bersam a lainnya. ”Apa kalian pernah m enculik dan m enganiaya seorang 90



pria yang berasal dari Indonesia? Kalian m em buatnya m enjadi ham pir lum puh,” sahut Rachel. Ucapan Rachel m em buat tawa keem pat pria tersebut m endadak berhenti. Mereka sekarang m enatap gadis itu dengan tajam . ”Siapa kau? Polisi?” tanya si pirang. Bukannya m enjawab pertanyaan itu, Rachel m alah balik bertanya. ”Siapa yang menyuruh kalian!?” tanya Rachel setengah m em bentak. Keem pat pria itu berpandangan. Kem udian si pirang m aju m endekat ke arah Rachel. ”Manis... ini bisa kita bicarakan sambil minum-minum, kom m en in...,” kata si pirang. Rachel merogoh saku jaket kulitnya dan mengeluarkan sebundel uang kertas Euro. Bundelan uang itu dilem parkan pada si pirang. ”Katakan siapa yang m em bayar kalian untuk m enculik dia, dan uang itu untuk kalian,” kata Rachel. Pria pirang itu menghitung bundelan uang dalam genggam annya. J um lah uang itu tidak kurang dari sepuluh ribu euro. Dia lalu m enyeringai pada Rachel. ”Yang menyewa kami membayar lebih banyak daripada ini...,” katanya, ”...tapi kam i tidak akan m inta kau m em bayar sebesar itu. Kau cukup m enem ani kam i m inum m inum di dalam , dan kalau kam i senang, m ungkin kam i bisa m em beritahu siapa yang m enyewa kam i.” Kata-kata si pirang diikuti derai tawa tem an-tem annya. ”J angan punya pikiran seperti itu,” jawab Rachel tenang. ”Ini pertanyaan terakhirku. Siapa yang m enyewa 91



kalian? Lebih baik kalian jawab dan uang itu jadi m ilik kalian, atau...” ”Atau apa?” tantang si ram but pirang. ”Kalian akan bernasib sam a dengan orang yang kalian culik itu...,” tandas Rachel, menatap si pirang dengan tatapan setajam m ata elang yang sedang m engintai m angsanya. *** Saka berdiri di depan pagar sebuah rum ah di pinggiran kota Kyoto. Di hadapannya terbentang pita kuning sebagai garis pem batas polisi. Di sebelah Saka berdiri Profesor Masaro Kawashima, yang selama ini membantunya m encari inform asi soal kelom pok Oni. ”Anda yakin rum ah ini dulunya m erupakan m arkas kelom pok Oni?” tanya Saka. ”Yakin sekali. Anda akan terkejut melihat isi rumah ini. Persis seperti yang pernah saya gam barkan m engenai m arkas Oni,” jawab Prof. Masaro. ”Lalu garis polisi ini?” ”Puluhan orang, diduga anggota Yakuza m enyerang rum ah ini tiga hari yang lalu. Seluruh penghuni rum ah yang berjum lah tujuh orang tewas dibantai.” ”Hanya tujuh?” Saka heran m endengar ucapan Prof. Masaro. ”Profesor... kalau benar rum ah ini m erupakan m arkas kelom pok Oni, tidak m ungkin hanya dihuni oleh tujuh orang. Apalagi Anda bilang mungkin saja masih ada puluhan atau bahkan ratusan anggota kelom pok ini. ” ”Saya tidak pernah mengatakan rumah ini adalah mar92



kas kelom pok Oni. Saya hanya m engatakan rum ah ini pernah dipakai sebagai m arkas. Dan berdasarkan apa yang saya temukan di dalam, rumah ini sudah lama tidak digunakan sebagai markas kelompok,” Prof. Masaro menjelaskan. ”Anda tahu dari m ana?” ”Nanti Anda akan tahu saat sudah di dalam,” kata Prof. Masaro, lalu melangkah memasuki rumah. Saka langsung mengekor di belakangnya. Memasuki rumah yang desainnya sebagian m asih m em pertahankan desain tradisional, Saka dibuat kagum . Halam an rum ah itu saja sudah sangat luas m enurut Saka. Ditam bah lagi dengan ukuran rum ah yang lum ayan besar. ”Saya dimintai bantuan oleh kepolisian setempat dalam m enginvestigasi kasus ini m enurut pandangan ahli sejarah, jadi saya bisa m asuk ke sana,” Prof. Masaro m enjelaskan. Mem ang, tadi Saka m elihat tiga petugas polisi yang m enjaga rum ah ini. Mereka m em perbolehkan Prof. Masaro bersam a Saka untuk m asuk tanpa banyak pertanyaan. Rum ah bertingkat dua itu m em iliki banyak ruangan, baik di lantai bawah maupun tingkat di atasnya. Tidak banyak yang bisa dilihat Saka, karena interior di dalam sama seperti rum ah-rum ah J epang pada um um nya. Tidak ada yang aneh. Lalu, apa yang menjadi tanda bahwa rumah ini pernah dipakai sebagai m arkas kelom pok Oni? Prof. Masaro mengajak Saka ke bagian belakang rumah. Ada sebuah ruangan tertutup di sana. Pintu masuk ruangan itu dipagari garis pem batas polisi. Seorang polisi duduk berjaga di depan pintu. 93



”Kenapa ada garis polisi lagi?” tanya Saka. Sebagai polisi, Saka tahu fungsi garis polisi, untuk m em batasi Tem pat Kejadian Perkara (TKP) dim asuki oleh m ereka yang tidak berhak. Tapi biasanya, jika ada suatu kasus dalam sebuah rumah, garis pembatas hanya ditempatkan di luar rum ah tersebut. Tidak ada garis pem batas lain untuk membatasi akses masuk ke sebuah ruangan dalam rum ah. ”Kita akan m em asuki TKP kedua,” jawab Prof. Masaro. ”TKP kedua?” Begitu melihat siapa yang datang, polisi yang duduk di depan pintu ruangan segera berdiri. Prof. Masaro berbicara sebentar dengan polisi itu, yang lalu menyingkirkan garis polisi yang m em bentang di depan pintu dan m em buka pintu ruangan. ”Arigatou...,” kata Prof. Masaro, lalu memasuki ruangan diikuti Saka. Ruangan itu berukuran cukup besar, bahkan m ungkin merupakan ruangan terbesar di rumah ini. Tapi dalamnya kosong. Hampir tidak ada benda apa pun kecuali sebuah m eja kecil yang terletak di salah satu pojok ruangan. Prof. Masaro m enuju ke tengah ruangan. Dia berjongkok, dan m enyibak dua buah tatam i11 berukuran besar yang terdapat di tengah ruangan. ”Bantu aku...” 11 Tikar yang berasal dari Jepang yang dibuat secara tradisional, Tatami dibuat dari jerami yang sudah ditenun, namun saat ini banyak tatami dibuat dari styrofoam. Tatami mempunyai bentuk dan ukuran yang beragam, dan sekelilingnya dijahit dengan kain brokat atau kain hijau yang polos.



94



Saka segera m em ban tu Prof. Masaro m en gan gkat tatam i yang cukup besar dan berat. Di balik kedua tatam i besar adalah lantai yang terbuat dari kayu. Dan ternyata, ada sebuah pintu rahasia di situ. Prof. Masaro m engam bil sarung tangan plastik dari saku bajunya. Dia m engenakan sarung tangan itu dan m em berikan sepasang lainnya pada Saka. ”Pakai ini. Kau tidak m au m erusak barang bukti di TKP, kan?” Sem entara Saka m em akai sarung tangan pem berian Prof. Masaro, profesor itu membuka pintu rahasia dengan m enggesernya. Sebuah jalan m asuk terbentang di hadapan m ereka. J alan m asuk itu cukup lebar, hingga dua orang bisa m asuk secara bersam aan. Prof. Masaro m engeluarkan sebuah senter kecil. ”Perhatikan langkahm u...,” katanya lalu berjalan m asuk. J alan m asuk ke bawah ternyata m elalui tangga yang cukup panjang. Saka m enghitung, tidak kurang dari tiga puluh anak tangga yang m ereka lewati. Hingga akhirnya m ereka berdua sam pai di depan sebuah pintu berukuran besar. Prof. Masaro m engam bil korek api dan m enyalakan dua obor yang tergantung di sisi kiri dan kanan pintu tersebut. Seketika itu juga keadaan di sekelilingnya menjadi terang. Barulah Saka dapat melihat detail pintu di hadapannya dengan jelas. Pintu m asuk itu terbuat dari kayu jati, dengan potongan besi melapisi pinggirnya. Lambang Oni kuno terpam pang di atas pintu itu. 95



”Pintu ini sekaligus m erupakan benteng pertahanan, jika ada yang m enyerbu m arkas Oni,” Prof. Masaro m enjelaskan. Saka juga m elihat, dinding di sekeliling pintu dan tempatnya berada sekarang tidak lagi terbuat dari kayu atau beton biasa seperti rum ah di atasnya, m elainkan terbuat dari batu gunung yang padat dan keras. Persis seperti dinding benteng atau kastil-kastil di Eropa. Prof. Masaro mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Walau besar dan terlihat berat, tapi ternyata pintu itu dapat dibuka dengan m udah oleh satu orang. ”Pintu ini m em iliki m ekanism e rel di baliknya, hingga m enjadi lebih ringan dan m udah dibuka. Tapi ada juga penguncinya, yang jika diaktifkan, pintu ini tidak dapat dibuka bahkan oleh seratus pria dewasa sekalipun,” jelas profesor itu. Pintu terbuka. Sinar dari obor di luar masuk menerangi ruangan di dalam nya. Prof. Masaro m endekati sebuah obor yang tergantung di dekat pintu dan menyalakannya. Cahaya obor m em buat ruangan jadi lebih terang, hingga Saka dapat m elihat isi ruangan tersebut. ”Selamat datang di Markas Oni... zaman dulu...,” tandas Prof. Masaro. *** Mencuci m obil. Mungkin itu pekerjaan yang paling dihindari oleh semua orang, termasuk Viona. Tapi pagi ini, dia terpaksa harus m encuci m obil kakaknya yang baru dipakainya tadi m alam . Itu m em ang sudah term asuk da96



lam perjanjian pem injam an m obil antara Viona dan kakaknya. J adilah, pagi ini Viona sudah siap dengan berbagai perkakas untuk m encuci m obil Mulai slang air, em ber, sikat, hingga sabun. ”Cuci yang bersih yaa...,” pesan kakaknya. Viona cum a m endengus kesal sam bil m em andang m obil kakaknya, Honda CRV warna perak. Mobil itu terlihat sangat kotor, karena tadi m alam hujan—itu berarti kerjaan Viona bertam bah. Sebetulnya bisa saja Viona m encucikan m obil itu ke tem pat pencucian m obil. Tapi tidak ada pencucian m obil yang dekat dari rum ahnya. Pencucian m obil terdekat berjarak sekitar dua kilom eter dari rumah, melewati jalanan protokol yang selalu m acet di pagi hari. Ditam bah kakaknya harus segera berangkat ke kantor, maka tidak akan keburu kalau Viona harus ke tem pat cuci m obil. Tidak m ungkin juga m enyuruh pem bantu, karena pem bantunya sedang sibuk m em bantu m am anya m enyiapkan sarapan di dapur. Satu jam kemudian, Viona akhirnya selesai mengerjakan tugasnya. Saat sedang m em bereskan peralatan kem bali sam bil m em belakangi pintu pagar, terdengar suara di belakangnya. ”Ini rum ah Viona, kan?” Viona m erasa m engenali suara itu. Gadis itu m enoleh, dan tidak percaya melihat siapa yang menegurnya. Tidak m ungkin! ”Halo... kok bengong?” ”Rivaaa!” seru Viona sam bil m engham bur m em eluk Riva. 97



Sebelas



Sh an gh ai, s ian g h ari



M



ATAHARI diam terpaku di tem patnya. Matanya m enatap tajam ke depan. Di dalam m obil sport berwarna m erah yang disewanya, gadis itu seperti sedang m enunggu sesuatu. Sudah ham pir dua jam dia berada di tem pat ini, dan yang ditunggunya belum juga kelihatan. Aku seharusny a tidak berada di tem pat ini! sungutnya dalam hati. Untunglah sebelum Matahari mati kebosanan, yang ditunggunya kelihatan juga. Ekor m atanya m enangkap bayangan seseorang keluar dari kantor polisi. Akhirny a! Matahari m enginjak pedal gas m obilnya. Perlahanlahan dia m engham piri orang yang ditunggunya. Tapi 98



baru beberapa m eter m obil yang dikem udikannya berjalan, sebuah m obil sport lain berwarna kuning m uncul dengan kecepatan tinggi dari arah belakang, m enyalip m obil sport Matahari. Mobil kuning itu lalu berhenti tepat di depan kantor polisi, dan sedetik kemudian Matahari melihat orang yang ditunggunya jatuh tersungkur di trotoar dengan dada berdarah. Shit! batin Matahari. Gadis itu m enekan pedal gas m obilnya dalam -dalam , berm aksud m engejar m obil sport berwarna kuning yang m elaju kencang setelah orang di dalam m obil itu m enembak korbannya. Matahari tidak punya pikiran sedikit pun untuk berhenti dan melihat kondisi korban penembakan. Ada y ang akan m engurus dia! pikir Matahari. Yang penting dia bisa mengejar mobil sport kuning dan mengetahui siapa yang telah m enem bak orang yang ditunggunya. Mobil sport kuning m asuk ke jalan tol dalam kota. Mungkin dia tahu dirinya diikuti. Matahari pun tidak m au kalah. Kejar-kejaran antara dua buah m obil yang bisa melaju hingga kecepatan 30 0 kilometer per jam pun terjadi. J alan tol yang tidak begitu ram ai m em udahkan m obil sport kuning untuk terus m enjaga jarak dari kejaran Matahari. Cepat atau lam bat, aku akan m endapatkan dia! *** ”J ari tangan lo?” 99



Menyadari Viona sedang m elihat kelingking kirinya yang sekarang sudah tidak ada lagi, Riva segera m enarik tangannya dari m eja dan m enyem bunyikannya di bawah m eja. ”Sakit?” tanya Viona lagi. ”Dulu. Sekarang udah nggak.” Viona hanya m anggut-m anggut. Bi Nirah, pem bantu keluarga Viona m asuk ke ruang tam u sam bil m em bawa tiga gelas sirup. ”Tem en lo? Nggak m asuk?” tan ya Vion a sam bil m enunjuk ke depan rum ah. ”Dia nggak m au.” ”Dia bukan orang Indonesia, ya?” Riva m enggeleng. ”Orang J epang.” ”Oooo...” *** Setelah kejar-kejaran selam a sekitar lim a belas m enit, tiba-tiba m obil kuning itu keluar dari jalan tol. Matahari m engikuti. Ternyata m ereka keluar di daerah industri di pinggir kota. Mobil sport kuning itu keluar dari jalan utam a dan m asuk ke sebuah kom pleks pabrik yang kelihatannya sudah tidak beroperasi lagi. Matahari mengikuti mobil di depannya. Saat memasuki kom pleks pabrik, tiba-tiba m obil kuning itu m enghilang. Di m ana dia? tanya Matahari dalam hati. Setelah berputar-putar di antara bangunan-bangunan pabrik, Matahari akhirnya m elihat m obil yang dicarinya berhenti di depan sebuah bangunan. Dia segera memarkir 10 0



m obilnya tepat di belakang m obil kuning itu, dan keluar. Matahari tahu, dia m ungkin m asuk jebakan. Tapi dia tetap saja keluar dari m obil, Lalu m asuk ke bangunan pabrik di dekatnya. Gadis itu melepas kacamata hitamnya. Sayatan bekas luka di bawah telinga kirinya terlihat dengan jelas. Seorang pria berkulit sawo m atang bertubuh kurus dengan ram but panjang yang diikat ke belakang berdiri di dalam pabrik, seolah-olah menunggu Matahari. Pria itu mengenakan kacamata hitam dan pakaian berwarna hijau dengan berbagai aksesori di tubuhnya. ”Rupanya kau Matahari itu,” kata The Twins dengan senyum m engejek. ”J adi kau The Twins? Kau dikirim siapa? Oni atau SPIKE?” tanya Matahari. ”Kau tahu SPIKE sudah tidak ada lagi...,” jawab pria berjulukan The Twins itu. ”Aku sedang m alas m engotori tanganku. Tapi khusus untukm u, aku buat pengecualian...” Seusai berkata demikian, dengan cepat The Twins m enendang sebuah balok kayu di dekatnya. Balok kayu seukuran laptop 14 inci yang tadinya tidak berbahaya dapat menjadi senjata yang mematikan di tangan orang seperti The Twins. Dengan kecepatan tinggi, balok itu m eluncur ke arah Matahari. Matahari bergerak dengan sigap. Saat balok kayu itu m endekati dirinya, dia cepat berputar sam bil m engayunkan tendangan kaki kanannya. Tendangan itu tepat m engenai balok kayu dan m em buatnya hancur berkeping10 1



kepin g. Serpihan -serpihan kayu tersebar ke seluruh penjuru term asuk ke arah The Twins, m em buat pria itu terpaksa melompat menghindari serpihan kayu yang bisa m em bahayakan dirinya. Aku tidak boleh berlam a-lam a di sini! batin Matahari. Lalu dia pun m aju m enerjang The Twins. *** Sebuah sedan berwarna perak berhenti agak jauh dari m obil Matahari. Ada dua orang berada dalam m obil tersebut, dan salah satunya adalah Marcelo, si Rambut Putih dan yang m em beri tugas pada The Twins. Marcelo m engam bil HP dan m enekan sebuah nom or. ”Mereka sudah mulai,” ujarnya singkat pada seseorang di ujung telepon. *** Pukulan Matahari berhasil dielakkan The Twins. Pria itu bersalto ke belakang. Kem udian dia m elanjutkan dengan loncatan m enyam ping sam bil m elepaskan tendangan. Tendangan itu m em buat Matahari m undur. Capoiera! batin Matahari. Capoeira adalah ilm u beladiri yang berasal dari Brazil. Seni beladiri ini lebih didominasi gerakan kaki untuk menyerang dan m eloncat untuk m enghindari serangan lawan. Gerakan Capoiera terlihat seperti tarian, tapi sebetulnya sangat efektif dan berbahaya. Matahari melompat, sambil melepaskan diri dari sapu10 2



an kaki lawannya. Dia lalu menendang di udara, tepat ke arah wajah The Twins. Yang diserang m enghindar, tapi Matahari lebih sigap. Begitu mendarat di tanah, dia cepat m elakukan tendangan m em utar. Terlam bat bagi The Twins untuk m enghindar. Bahu kanannya terkena tapak sepatu Matahari hingga m em buatnya terdorong ke belakang. ”Sam pai sekarang aku m asih heran, kenapa kau m enyebut dirimu The Twins? Padahal kau sama sekali tidak punya saudara kem bar,” ujar Matahari. Sam bil m enyeka kotoran dari tapak sepatu Matahari yang m enem pel di bajunya, The Twins m enyeringai. ”Kau akan tahu sebentar lagi...,” jawabnya singkat. *** ”J adi Anda ingin mengatakan bahwa kelompok Oni sudah lam a tidak berm arkas di sini?” tanya Saka. Sebagai jawaban, Prof. Masaro m engangguk. ”Mungkin Yakuza ingin m enyerang m arkas Oni, sehingga m ereka m engerahkan sam pai puluhan anggota. Tapi yang mereka dapati, tidak ada markas di rumah ini. Markas ini sudah tidak dipakai selam a puluhan tahun,” kata Prof. Massaro sam bil m enggores tum pukan debu yang sangat tebal pada sebuah patung kuno berbentuk m anusia berwajah m enyeram kan. Saka melihat sekelilingnya. Ucapan Prof. Masaro mungkin benar. Debu yang sangat tebal, sarang laba-laba di m ana-m ana, beberapa bagian bangunan yang lapuk dan adanya tikus di beberapa tem pat, itu m erupakan tanda 10 3



bahwa tem pat yang luasnya diperkirakan ham pir sam a dengan luas sebuah stadion sepak bola ini tidak pernah lagi dihuni atau didatangi m anusia. Mungkin bertahuntahun, atau bahkan puluhan tahun. ”Tapi Anda pernah bilang bahwa anggota Oni jumlahnya m asih banyak dan tersebar di berbagai tem pat. Karena itu m arkas m ereka pasti tidak hanya satu,” ujar Saka. ”Benar. Dulu, di setiap wilayah terdapat markas anggota Oni, agar lebih terkoordinasi. Tapi dengan sem akin sedikitnya anggota serta keharusan untuk terus bersem bunyi, m arkas m ereka pun sem akin berkurang. Belum tentu ada di setiap daerah. Tapi yang pasti, markas besar m ereka selalu ada. Mereka m enyebutnya Tera atau Kuil Agung. Dan Tera hanya ada satu, di tem pat pem im pin besar Oni tinggal.” Prof. Masaro lalu m elangkah m enem bus debu tebal, m enuju sisi lain ruangan yang m enyerupai singgasana. Ada sebuah kursi besar di tengah dan em pat kursi yang lebih kecil di sisi kiri dan kanannya. ”Di sini singgasana pem im pin besar Oni dan em pat ketua pelindung,” profesor itu m enjelaskan. Lalu dia beringsut ke sebelah kiri singgasana, di sana terdapat sebuah cekungan besar yang dihiasi berbagai m acam relief di sisinya. Cekungan besar itu berisi sisasisa seperti arang, yang tentu saja sudah berdebu. ”Seika...,” gum am Prof. Masaro. ”Apa, Prof?” ”Seika, atau Api Suci. Ini menandakan tempat ini dulu m em ang sebuah Kuil Agung. Hanya boleh ada satu api 10 4



suci, api yang tidak pernah padam , yaitu di Kuil Agung. J ika api ini telah padam , berarti kelom pok Oni sudah tidak ada lagi...,” kata Prof. Masaro. ”...atau m arkas m ereka telah pindah...,” tukas Saka. Prof. Masaro berpikir sejenak. ”Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tapi harus diingat, m em indahkan Kuil Agung bukan perkara m udah. Ini bukan seperti pindah rumah. Harus melalui tahapan dan ritual tertentu. Dan saya belum pernah m endengar ada ritual sem acam itu, paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir ini. ”Dan yang jadi pertanyaan, jika m ereka benar-benar memindahkan Tera, ke mana mereka memindahkannya?” lanjut Prof. Masaro.



10 5



Dua Belas



THE



TWINS m erapatkan kedua tangannya di depan dada, sedang m atanya setengah terpejam . Dia seperti sedang berkonsentrasi. Apa-apaan dia!? tanya Matahari dalam hati. Walau kelihatannya dengan posisi demikian pertahanan The Twins m enjadi terbuka dan gam pang diserang, Matahari tidak m au gegabah. The Twins adalah pem bunuh yang berpengalam an, bahkan m erupakan salah satu pembunuh terbaik Oni. J adi dia pasti tahu apa yang dilakukannya. Matahari lebih suka m enunggu. Sejurus kem udian, The Twins m em buka kedua m atanya. Tatapannya tajam ke arah Matahari, dan Matahari melihat perubahan yang tidak dapat dipercayainya terjadi di depan m atanya. Perlahan-lahan tubuh The Twins bergetar, dan dari 10 6



tubuh itu, keluar bayangan yang mirip dengan sosok The Twin s. Bayan gan itu lam a-kelam aan m en jadi n yata, hingga akhirnya lebih menyerupai sosok tubuh kedua dari pem bunuh bayaran tersebut. Tidak m ungkin! batin Matahari. Sekarang ada dua sosok The Twins di depan Matahari, dan gadis itu yakin ini bukan sekadar ilusi m ata atau khayalannya saja. Kalau ilusi, sosok yang m uncul adalah sosok yang sama persis dengan aslinya, termasuk pakaian yang dikenakan. Tapi sosok tubuh yang muncul ini mempunyai penampilan yang beda dengan The Twins saat ini. Walau wajah dan tubuhnya sama dengan The Twins, tapi sosok tubuh ini m em akai pakaian serbahitam ketat, dan ram but panjangnya tergerai bebas. Penam pilannya jadi lebih siap untuk bertarung. ”Sekarang kau tahu, kenapa aku disebut The Twins,” kata The Twins. Lalu tanpa basa-basi lagi, tiba-tiba sosok The Twins yang berbaju hitam m aju m enerjang Matahari. Matahari tidak berkelit, melainkan menyambut serangan The Twins. Dan saat tangan kanannya menangkis pukulan lawannya, dia m erasa benturan yang sangat keras. Ini bukan bay angan! batin Matahari. Entah ilm u apa yang dipakai The Twins, tapi pria itu seolah-olah m em bagi dirinya m enjadi dua orang yang sama, tapi dengan penampilan yang berbeda. Dan mungkin keduanya sam a kuat. Satu lagi yang m em buat Matahari terkejut, ternyata The Twins berbaju hitam ini memiliki aliran beladiri yang berbeda dengan yang aslinya. Dari serangan-serangan 10 7



gencar yang dilakukannya, Matahari bisa m engam bil kesim pulan The Twins baju hitam ini m em iliki aliran karate, atau taekwondo. Yang jelas bukan Capoeira. Setelah berulang kali berkelit dan m enangkis pukulan dan tendangan dari The Twins baju hitam, Matahari merasa sekaranglah saatnya dia balas m enyerang. Setelah m enangkis pukulan tangan kanan lawannya, gadis itu melompat sambil menendang lurus ke depan. Tendangan itu m em buat serangan The Twins baju hitam berhenti sesaat. Tanpa memberi waktu lawannya untuk mengambil napas, Matahari melepaskan pukulan tangan kirinya, lalu disusul kom binasi pukulan dan tendangan secara beruntun, m em buat The Twins baju hitam sedikit terdesak. Aku m asih tetap lebih unggul, berapa pun kau m enggandakan tubuhm u! kata Matahari dalam hati. Matahari m engam bil sebatang besi sepanjang kuranglebih satu m eter yang ada di dekatnya. Dengan batang besi tersebut dia kem bali m enyerang The Twins baju hitam dengan serangan yang m em atikan. Sam pai akhirnya, sebuah sodokan batang besi yang dipegangnya tepat m engenai dada The Twins baju hitam , m em buatnya terjerem bap m enghantam boks kayu di belakangnya Tinggal tunggu waktu untuk m enghabisi dia! Tapi dugaan Matahari salah. Saking fokusnya dia menghadapi The Twins baju hitam , dia lupa saat ini ada dua sosok The Twins yang dihadapinya. Matahari sedikit m engabaikan The Twins asli yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya. Dengan diiringi satu loncatan salto, tendangan kaki 10 8



kanan The Twins tepat m engenai punggung Matahari, m em buatnya tersungkur. ”Ha... ha... ha... kau m elupakan aku, Manis?” kata The Twins sam bil tertawa terbahak-bahak. Matahari berusaha bangkit sam bil m enahan rasa sakit di punggungnya akibat tendangan The Twins. Walau hanya sekali menendang, tapi tendangan itu benar-benar telak hingga m engakibatkan efek rasa sakit yang luar biasa. Tapi gadis itu tidak bisa beristirahat lam a-lam a, karena saat itu sebuah serangan datang dari arah sam ping. Tendangan The Twins baju hitam mengincar tulang rusuknya. Matahari berhasil m enghindar, tapi tidak bisa m enghindari pukulan The Twins asli yang m enuju ke arah wajahnya, membuatnya kehilangan kesadaran sesaat. Kondisi itu dim anfaatkan dengan baik oleh lawannya. Sebuah tendangan kem bali bersarang di perut Matahari, hingga dia terdorong ke belakang. Sial! Kenapa jadi begini? ”Bagaimana, Manis? Sayang aku ditugaskan untuk membunuhmu. Kalau tidak, aku masih punya niat untuk mengampunimu. Aku kenal saudaramu, dan demi dia, aku mau m elepaskanm u kali ini. Tapi aku tidak bisa...,” ujar The Twins sam bil tetap tertawa terbahak-bahak. Aku y ang tidak akan m engam punim u! batin Matahari. Dia cepat bangkit dan kem bali m enyerang The Twins. Sasarannya The Twins yang asli. Tapi The Twins baju hitam menghadangnya sambil menahan pukulan Matahari dengan kaki kanannya. The Twins baju hitam lalu melakukan gerakan tendangan m em utar, m em buat gerakan 10 9



Matahari sedikit tertahan. Sem entara itu The Twins asli tiba-tiba m elakukan gerakan sliding, dan kakinya m enghantam kaki Matahari, hingga gadis itu kembali terjatuh. Sebuah pukulan kem bali harus diterim a wajahnya yang cantik. Matahari bukanlah pembunuh sembarangan. Ilmu beladirinya termasuk kategori tingkat tinggi. Tapi menghadapi dua lawan seperti The Twins yang m em iliki kem am puan dan kekuatan setara, gadis itu bagaikan seorang pem ula saja. Ham pir sem ua jurus yang dikeluarkannya dapat dilayani dengan m udah oleh lawannya. *** Walau sedikit kesal karena menganggap The Twins terlalu lama melaksanakan tugas yang dibebankan padanya, tapi tak urung Marcelo menikmati juga pertarungan yang tersaji di depan matanya. Dia tersenyum saat melihat jagoannya unggul, walau tidak m udah. Pria beram but putih itu yakin, pertarungan akan berakhir sebentar lagi, tentu saja untuk kem enangan jagoannya. Keasyikan Marcelo terusik suara HP. Dia m elihat nom or si penelepon, lalu m em buka lip HP. *** Keadaan Matahari sudah payah. Dia sudah tidak bisa lagi m elayani serangan-serangan The Twin s. Gerakan n ya semakin melemah, sementara gerakan The Twins semakin cepat. Matahari bukannya tidak ingin kabur, tapi tidak 110



punya kesem patan untuk itu. Setiap gerakannya selalu dihadang oleh salah satu dari The Twins. Hingga suatu ketika, Matahari sudah tidak m am pu menghindar saat sodokan dari The Twins baju hitam mengenai ulu hatinya. Dia langsung jatuh terduduk sam bil m enahan sakit. Ikatan pada ram butnya terlepas, hingga ram but hitam sebahunya tergerai bebas. ”Kau tahu, aku sebenarnya paling tidak tega untuk m elukai, apalagi m em bunuh orang...,” ujar The Twins, lalu m elirik kem barannya yang berdiri di sam pingnya. ”J adi biar saudara kem barku saja yang m ewakiliku. Salam untuk saudaram u di surga, kalau kau bertem u dengannya...” Seusai berkata dem ikian, The Twins segera beranjak dari hadapan Matahari, digantikan oleh The Twins baju hitam . Tanpa berkata sepatah kata pun, The Twins baju hitam m em egang ram but Matahari, m enariknya hingga Matahari m en jerit kesakitan . Dia siap m elan carkan pukulan terakhir yang m em atikan. ”Cukup!” Tanpa diketahui oleh m ereka yang bertarung, Marcelo telah berada di tem pat itu. Dialah yang m encegah The Twins baju hitam m elancarkan pukulan terakhirnya. ”Sang Pem im pin berubah pikiran. Biarkan dia hidup,” kata Marcelo dingin. ”Tapi...,” The Twins m encoba protes. ”Kau telah m elaksanakan tugas dengan baik. Bayaran untukm u akan segera ditransfer dan nam am u akan dicatat dalam buku em as,” tegas Marcelo. ”Tapi perintahku adalah m em bunuh dia...” 111



”Kau menyangsikan perintah sang Pemimpin? Kau ingin m enanyakan perintahnya langsung? Silakan...” Sam bil berkata demikian Marcelo mengambil HP dari saku celananya. The Twins hanya diam , tidak berkata apa-apa lagi. Hanya tubuhnya yang bergetar, lalu The Twins baju hitam m engham piri dirinya, dan seolah-olah m asuk ke tubuh pria itu. Mereka bersatu kem bali. ”Akan ada tugas baru untukmu. Pergilah ke Singapura. Nanti aku akan m enyusulm u,” lanjut Marcelo. ”Tugas apa?” ”Nanti kau akan tahu. Sekarang pergilah.” Walau m asih m em endam perasaan dongkol, tapi The Twins tidak membantah ucapan Marcelo. Dia segera pergi m eninggalkan tem pat itu, m enuju m obilnya. Marcelo lalu mendekati Matahari yang masih terduduk di tanah. ”Kali ini kau beruntung, sang Pem im pin m asih m engam punim u. Tapi lain kali, tidak ada am pun bagi pengkhianat seperti kalian,” kata Marcelo. Dia berjongkok di depan Matahari. ”Serahkan gadis itu, dan kam i akan m em biarkanm u hidup. Bahkan kau bisa bergabung m enjadi anggota kelom pok. Orang dengan kem am puan sepertim u sangat kam i butuhkan saat ini,” lanjutnya. Matahari m enatap Marcelo dengan pandangan jijik. ”J angan harap aku akan m enyerahkan gadis itu,” ujar Matahari lirih. Mendengar ucapan itu, Marcelo hanya tersenyum . 112



”Bermimpilah, tapi kau atau siapa pun tidak akan bisa melindunginya. Kalau boleh kuberi saran, jangan percaya pada siapa pun, bahkan orang yang paling dekat denganm u sekalipun,” tandas Marcelo. *** Riva baru saja selesai berdoa di depan m akam kedua orangtuanya yang berdam pingan, saat m enyadari bahwa Kenji telah berdiri di sam pingnya. ”Saatnya pergi,” ujar pria J epang itu. Sam bil tetap bersim puh, Riva m enoleh ke arah Kenji. ”Ada yang m engikuti kita?” tanyanya. ”Bukan. Kita harus m engejar pesawat.” ”Pesawat? Mem ang kita akan ke m ana?” ”Singapura.” ”Singapura? Untuk apa?” ”Nanti kau akan tahu.” *** Tiga jam kem udian, Riva dan Kenji m em asuki kam ar yang terletak di lantai 12 sebuah hotel berbintang lima di kawasan bisnis di Singapura. ”Mandilah dulu supaya badanm u segar,” kata Kenji. ”Kau bilang akan m enceritakan sesuatu…” ”Nanti, setelah kau m andi. Cepatlah, kutunggu di sini.” *** 113



Masahi Ueda baru saja tiba di ruang kerjanya seusai m enghadiri pertem uan sekaligus m akan siang dengan beberapa orang kolega bisnisnya, saat merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada orang lain di sini! batinnya. Sebagai pemimpin utama organisasi kejahatan terbesar di J epang, Masahi dituntut harus selalu waspada. Anggota Yakuza tidak saja m em punyai banyak kawan, tapi juga banyak m usuh yang selalu m engincarnya. Apalagi di pucuk pim pinan, kewaspadaan harus berlipat ganda. Masahi bisa saja m enuju pintu dan keluar dari ruang kerjanya, atau m em anggil pengawalnya yang berjaga di luar. Tapi entah kenapa dia tidak m elakukan kedua hal itu. Pria itu malah berjalan menuju koleksi pedang miliknya yang berada di salah satu sisi dinding ruang kerjanya. Saat akan m engam bil salah satu katana yang tergantung, naluri Masahi yang terlatih m enangkap gerakan di belakangnya. Dia segera m engam bil katana dan m enghunusnya sam bil m em balikkan badan. ”Tahan senjatam u! Aku ke sini hanya untuk bicara!”



114



Tiga Belas



Se b u la n y a n g la lu



A ZUKA baru saja m eny elesaikan



latihan beladiriny a, saat m eny adari bahw a Kenji sudah berada di belakang diriny a. ”Aku m inta kau m em bereskan beberapa orang,” kata Kenji. ”Aku sudah bilang m em bunuh satu orang pun aku tidak m au. Dan sekarang kau m inta aku m em bunuh beberapa orang? Kenapa tidak kaulakukan sendiri?” tany a Azuka sam bil m engelap keringat dengan handuk kecil y ang diam bilny a dari tas. ”Aku ada urusan lain. Dan kau tidak m ungkin m enolak tugas y ang aku berikan padam u kalau tahu 115



bahw a satu dari m ereka y ang akan kaubunuh itu adalah orang y ang m em bunuh kedua orangtuam u.” Mendengar ucapan Kenji, w ajah Azuka sontak berubah. ”Siapa?” tany any a. ”Lakukan dulu apa y ang kum inta, dan kau akan kuberitahu nanti saat tugasm u sudah selesai.” Azuka tercenung. Dia m em ikirkan ucapan Kenji. Mencari dan m em balas dendam pada pem bunuh orangtuany a m em ang m erupakan obsesi Azuka. Karena itu dia m au m engikuti Kenji, dan dilatih olehny a. W alau begitu, Azuka tidak pernah m au m engikuti jejak Kenji, y aitu m enjadi pem bunuh bay aran. Azuka bukan seorang pem bunuh, dan dia tidak bisa m em bunuh seseorang tanpa alasan y ang jelas. Tapi sekarang, Kenji m em erintahkan dia untuk m em bunuh beberapa orang y ang salah satuny a adalah pem bunuh kedua orangtuany a. W alau tahu dia m ungkin dim anfaatkan, tapi Azuka tahu Kenji tidak pernah berbohong padany a. ”Apa pem bunuh orangtuaku term asuk salah seorang y ang akan kubunuh?” Azuka m em astikan kebenaran ucapan Kenji. ”Kau m ungkin bisa m erasakanny a nanti. Dan jangan kuatir… Orang-orang y ang akan kaubunuh sem uany a adalah pem bunuh bay aran, jadi kau tidak usah m erasa bersalah saat m elakukanny a,” jaw ab Kenji. ”Kenapa kau ingin m ereka sem ua m ati?” ”Alasan pribadi… Aku bisa saja m em bunuh m ereka, 116



tapi lalu kau tidak akan bisa m em balas dendam atas kem atian kedua orangtuam u,” tukas Kenji. Azuka m enghela napas. ”Mana daftar orang y ang akan kubunuh?” ujarny a kem udian. *** Rachel berdiri di dekat meja kerja Masahi. Dia berpakaian serbaputih, m ulai dari sepatu kulit, celana, hingga blus yang dikenakannya. Ram but lurusnya diikat ke belakang. Rachel sam a sekali tidak m em egang senjata. Tangan kanannya hanya memegang sekuntum mawar merah yang sedang m ekar. Walau begitu, Masahi tidak mengendurkan kewaspadaan. Walau belum pernah bertemu dengan Rachel, tapi dia yakin orang yang berhasil m asuk tanpa terdeteksi ke ruang kerjanya yang dijaga ekstraketat selama 24 jam dengan berbagai m acam alat pengam anan canggih pastilah bukan orang sem barangan. Dan Masahi yakin gadis di hadapannya ini m em ang sengaja ingin m enam pakkan diri, hingga dia bisa m erasakan kehadiran gadis itu saat pertam a kali m asuk. Katana di tangan Masahi tetap terhunus. ”Sebagai pemimpin tertinggi Yakuza, ternyata kau cukup awas juga. Berbeda dengan pemimpin Yakuza lainnya. Tentu tidak akan m udah untuk m em bunuhm u,” puji Rachel. Kalimat terakhir Rachel membuat Masahi semakin meningkatkan kewaspadaannya. 117



”Tenang... seperti aku bilang tadi. Aku ke sini hanya untuk bicara denganm u. Kalau aku ingin m em bunuhm u, pasti sudah kulakukan dari tadi,” lanjut Rachel. ”Siapa kau?” Sebagai jawaban, Rachel m elem parkan bunga m awar yang dipegangnya ke hadapan Masahi. ”Kau...” Masahi m enatap Rachel. Kelihatannya dia m ulai m engenal siapa gadis yang berdiri di hadapannya. ”Kau yang m em bunuh Takaro?” tanya Masahi. ”Takaro? Oya... salah seorang anak buahm u itu... Gom enasai, tapi saat itu aku hanya melaksanakan tugas,” jawab Rachel. ”Tapi itu m enjadikanm u salah seorang target kam i. Anggota yang menangkapmu akan mendapat hadiah dari organisasi, hidup atau m ati.” ”Aku m erasa tersanjung karena ada hadiah untuk kepalaku. Tapi aku ke sini bukan untuk m em bicarakan soal ini. Ada hal yang lebih penting.” ”Hal penting? Menurut siapa?” ”Ini m enyangkut organisasi kalian, dan kelom pok Oni...,” tandas Rachel. *** Selesai m andi, Riva m elihat Kenji berdiri di balkon yang berada di luar kam arnya, ”Apa kau punya rencana lain? Kau kan nggak mungkin melindungiku selamanya...,” tanya Riva saat menghampiri Kenji. 118



”Ternyata kau pintar juga. Aku m em ang sedang m encari cara untuk m asuk ke Oni-Tera,” jawab Kenji. ”Oni-Tera? Apa itu” ”Markas Oni. Kam i m enyebutnya Oni-Tera, atau Kuil Agung Oni.” ”Untuk apa kau ke sana?” tanya Riva Kenji m enghela napas lalu m enatap Riva. ”Saatnya kau m engetahui sesuatu,” ujarnya kem udian. *** ”Kau meminta kami untuk berhenti menyerang kelompok Oni? Kenapa? Padahal m ereka terus m em bunuh anggota kam i. Bahkan m ereka juga m em bunuh Oyabun,” kata Masahi. Dia tidak lagi menghunus katana, walau pedang panjang itu m asih berada dalam genggam annya. ”Aku turut berdukacita atas kem atian oy abun kalian. Tapi percayalah, sem ua ini terjadi karena ada yang sedang m engadu dom ba kalian. Ada yang m enginginkan Yakuza dan Oni berbenturan untuk tujuan tertentu,” jawab Rachel. ”Bagaimana kami bisa percaya, sedang yang melakukan pem bunuhan-pem bunuhan itu jelas pem bunuh Oni?” ”Mereka sam a seperti anak buah Anda, sekadar m elaksanakan tugas tanpa boleh m em pertanyakan tugas tersebut.” ”Apa kau punya buktinya?” ”Saat ini aku m em ang tidak bisa m enunjukkan buktinya. Tapi percayalah, kalian sedang diadu dom ba. Sudah ratusan tahun kelom pok Yakuza dan Oni tidak bertikai, 119



dan sekarang ada yang m enyulut kem bali api pertikaian tersebut. Entah apa tujuannya, dia punya tujuan yang sangat besar, dan kurasa sangat mengerikan. Dan niatnya ham pir berhasil. Kalian sudah m ulai saling serang.” ”Atas dasar apa aku memercayai ucapanmu? Kau telah m em bunuh salah seorang anggota kam i. Kau m ungkin bisa m asuk ke tem pat ini secara diam -diam , tapi kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup tanpa seizinku.” Masahi m em pererat pegangan katananya. Rachel hanya tersenyum m endengar ucapan Masahi. ”Apa Anda kira aku bodoh, masuk ke sini tanpa mem perhitungkan jalan keluarnya? Aku juga bisa m em bunuh Anda saat ini juga. Katana yang anda pegang tidak akan dapat m elindungi Anda.” Masahi terkesiap m endengar ucapan Rachel. Tapi sebagai Oyabun, dia tidak boleh menunjukkan ketakutannya di depan orang lain, apalagi sam pai m enyerah. Rachel berjalan ke arah jendela. Dia sengaja m em belakangi Masahi untuk membuat suasana menjadi lebih nyaman bagi Masahi. Rachel yakin Masahi tidak akan m enyerangnya dari belakang. Dia bukan tipe pria seperti itu. ”Sekitar dua puluh tahun yang lalu... Nyawa Anda pernah diselamatkan oleh seorang pembunuh Oni. Aku harap Anda m asih m engingat kejadian itu,” ujar Rachel. Ucapan Rachel tentu saja m em buat Masahi terkejut. Ucapan gadis itu benar. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saat m asih m enjadi anggota m uda Yakuza, Masahi terlibat dalam perkelahian besar dengan geng setem pat gara-gara perebutan daerah kekuasaan. Tidak disangka, geng lokal itu m engadakan perlawanan saat didatangi 120



para anggota Yakuza. Mereka tidak takut berhadapan dengan nam a besar Yakuza yang boleh dibilang m enguasai perekonom ian di J epang. Dalam perkelahian m en ggun akan berbagai sen jata itu, Masahi tertusuk katana di dadanya. J um lah anggota geng yang lebih banyak m em buat para anggota Yakuza terdesak, dan m asin g-m asin g m ulai berlarian m en yelam atkan diri. Masahi yang terluka tertinggal oleh teman-temannya. Dalam keadaan terluka parah, Masahi mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. Saat itu dia ditolong oleh seorang pria tua yang kebetulan lewat di daerah tersebut. Awalnya Masahi tidak tahu siapa yang m enolongnya. Belakangan baru dia tahu setelah secara tidak sengaja m elihat tato pada bahu pria yang m enolongnya. Lam bang Oni. Selama ini tidak ada seorang pun yang mengetahui kejadian tersebut, kecuali dirinya dan si penolong. J adi dari m ana gadis yang berdiri di hadapannya ini bisa tahu? ”Shunji Nakayam a. Anda m engenal dia, kan?” Rachel m em balikkan badannya dan m enatap Masahi. ”Apa hubunganm u dengan Shunji?” Masahi balik bertanya. ”Dia guru sekaligus ayah angkatku. Dia yang merawatku sejak aku berum ur sepuluh tahun.” Masahi terdiam sebentar m endengar ucapan Rachel. ”Sejak dia m enolongku, aku tidak pernah bertem u dia lagi. Di mana dia sekarang? Bagaimana kabarnya?” tanya Masahi. Rachel nggak langsung m enjawab pertanyaan Masahi. Dia melihat ke luar jendela, seolah-olah ada yang ditahannya di dalam hati. 121



”Shunji... Shunji sudah m eninggal,” kata Rachel akhirnya dengan suara sedikit bergetar. ”Sudah m eninggal? Kapan? ”Sekitar dua bulan yang lalu. Dia dibunuh.” ”Dibunuh?” Rachel kem bali m enoleh ke arah Masahi. ”Benar. Dibunuh oleh orang yang m engadu dom ba Yakuza dan Oni. Shunji dianggap m enghalangi rencananya, jadi dia harus disingkirkan,” ujar Rachel. Masahi tertegun m endengarnya. ”Shunji telah m eninggal... padahal aku belum sem pat m em balas apa yang telah dia lakukan padaku dulu...,” ujar Masahi. Sikapnya sekarang sedikit m elunak. ”Kau bisa m elakukan sesuatu untuk m em balas budi Shunji... Perintahkan anak buahm u untuk m undur dan jangan m enyerang kelom pok Oni,” sahut Rachel. ”Tapi kami tidak bisa diam saja jika mereka menyerang kam i.” ”Yang menyerang kalian hanya melaksanakan perintah. Mereka tidak tahu apa-apa.” Tapi Masahi m asih belum m em ercayai ucapan Rachel sepenuhnya. ”Saat ini di dalam kelom pok Oni juga sedang tejadi perpecahan . Sebagian an ggota kelom pok m en en tan g perang dengan Yakuza. Dan m ereka yang m enentang itu jumlahnya makin lama makin bertambah. J ika kalian bersabar, tidak lama lagi pertikaian ini akan berakhir dengan sendirinya. Kelompok Oni akan kembali menghilang bagai hantu,” lanjut Rachel. 122



Masahi berjalan menuju meja kerjanya, dan meletakkan katana yang dipegangnya di atas m eja. ”Apa kau salah satu anggota Oni?” tanya Masahi. ”Bukan masalah aku anggota Oni atau tidak. Tapi suka atau tidak suka, kem atian Shunji m em buat aku m enjadi terlibat dalam peristiwa di kelompok itu. Aku sedang mencari siapa pem bunuh Shunji.” Masahi m enghela napas. Dia m endekat m enuju kursi kerjanya, tapi tidak duduk, m elainkan hanya berdiri di sam pingnya. ”Andaikata apa yang kaukatakan benar, aku tidak bisa begitu saja memerintahkan anggota lainnya untuk menghentikan apa yang sudah terjadi.” ”Tapi Anda adalah Oy abun...” ”Mem ang. Tapi secara tiba-tiba m em inta anggota lainnya untuk m enghentikan m em buru anggota Oni? Aku harus punya alasan yang kuat untuk itu. J ika aku gunakan alasan yang sama, para anggota akan bertanya-tanya, dari m ana aku dapat inform asi ini. Dan m ereka tidak akan percaya kalau tahu aku mendapat informasi ini dari orang yang juga m enjadi daftar buruan kam i. Bahkan bisa-bisa aku harus m enghadapi berbagai m acam pertanyaan dari para Saiko Kom on.” ”Kalau begitu cepat cari alasan lain. Atau Anda lebih suka m elihat darah berceceran di m ana-m ana? Shunji pernah bilang Anda berbeda dengan anggota Yakuza lainnya. Tapi terus terang, sampai saat ini aku belum melihat perbedaan pada diri Anda.” Masahi m enatap Rachel dalam -dalam . ”J ika benar kata-katam u... m ungkin aku bisa m eng123



usahakan sesuatu. Aku mungkin tidak bisa menghentikan anggota lain untuk memburu anggota Oni, tapi aku mungkin bisa meminimalisasi pertumpahan darah yang terjadi. Tapi aku punya satu syarat,” kata pria itu akhirnya. ”Syarat apa?” ”Kam i ingin pem bunuh Oyabun. J ika kelom pok Oni menyerahkan pembunuh Oyabun, mungkin pertumpahan darah bisa sedikit dikurangi.” Rachel balas m enatap Masahi. ”Baik. Aku akan cari keterangan siapa yang membunuh oy abun kalian. J adi kita sudah sepakat?” ujar Rachel. ”Belum ...” ”Belum ?” ”Urusan dengan kelompok Oni mungkin sudah sepakat, tapi urusan dengan pem bunuh Takaro belum ...” Seusai berkata dem ikian, Masahi m enekan sebuah tombol rahasia yang ada di bawah meja kerjanya. Seketika itu juga sebuah tabung kaca turun dengan cepat dari langit-langit tepat di atasnya dan menutupi dirinya dan m eja kerjanya. Sekarang posisi Masahi berada di dalam tabung kaca dan Rachel berada di luar. Dan tidak hanya itu. Bersam aan dengan turunnya tabung kaca, pintu ruangan juga tertutup pintu baja yang keluar dari dinding sam ping. ”Sudah kubilang, kau tidak akan bisa keluar dari sini tanpa seizinku,” kata Masahi dari dalam tabung. Suaranya terdengar m elalui pengeras suara yang ada di ruangan itu. Rachel m endengar suara m endesis dan m elihat asap berwarna kuning keluar dari sudut-sudut ruangan. Dia 124



tidak tahu asap apa itu, tapi pasti bukan sesuatu yang bagus. Aku pernah m engalam i ini! batin Rachel. Anehnya, si Mawar Merah tetap tenang. Dia malah tersenyum pada Masahi. ”Ini cara lama untuk membunuh orang. Sekarang katakan, kenapa kalian tidak m enutup jendela dengan plat baja juga?” tanya Rachel sam bil m elihat ke arah kaca jendela. Mem ang, walau pintu m asuk telah ditutup oleh plat baja yang tebal dan rapat, semua jendela di ruangan tersebut m asih tetap seperti apa adanya. Hanya saja jendela-jendela tersebut tertutup rapat. ”Ini lantai tiga puluh lim a. Kau ingin m enyelam atkan diri lewat jendela. Silakan saja,” jawab Masahi sambil tertawa kecil. ”Kau kira dari m ana aku m asuk tadi? Lewat pintu depan dan bikin janji dengan sekretarism u?” balas Rachel. Mendengar ucapan Rachel, tawa Masahi m endadak lenyap. Dia m enoleh ke arah jendela. ”Aku tidak tahu bagaim an a caram u m asuk lewat jendela. Tapi kau tetap tidak bisa keluar. J endela ini tebalnya lim a senti dan telah tertutup rapat secara otom atis. Sebelum kau berhasil m em ecahkannya, asap beracun telah lebih dulu m em bunuhm u,” kata Masahi. ”Siapa bilang aku akan keluar lewat jendela,” balas Rachel, tetap bersikap tenang. Padahal asap telah memenuhi seperempat ruangan. Rachel terpaksa harus menutup sebagian jalan pernapasannya untuk m enghem at oksigen yang m asih tersisa di ruangan ini. ”Maksudm u?” 125



”Kalau Anda membunuhku, tidak akan ada perdamaian diantara Yakuza dan Oni. Hanya aku yang bisa melakukan itu. Anda juga tidak akan bisa m enem ukan pem bunuh Oy abun.” ”Kau m enggertak!” ”Silakan saja bunuh aku kalau tidak percaya,” ujar Rachel. Dia m ulai m enutup ham pir seluruh jalan pernapasannya karena asap sudah m ulai m em enuhi seluruh ruangan. Masahi memikirkan ucapan Rachel. Antara percaya dan tidak, tapi dia harus m em ilih. ”Kuharap kau berkata jujur!” tandas Masahi. Dia lalu m enekan tom bol lain di bawah m eja. Seketika itu juga asap kuning berhenti keluar, dan m alah perlahan-lahan tersedot ke dalam lubang-lubang ventilasi yang ada di ruangan. Tapi Rachel tetap m enahan napasnya. Masahi m elirik ke lam pu indikator yang ada di sisi dalam meja kerjanya. Lampu itu menunjukkan kadar gas dalam ruangan. Saat lam pu m enyala hijau tanda sam a sekali sudah tidak ada gas beracun dalam ruangan, baru Masahi berani membuka tabung kaca yang menyelubunginya. Saat itu juga pintu ruangan terbuka. Tidak kurang dari sepuluh anggota Yakuza yang telah mendapat sinyal peringatan sejak Masahi menekan tombol untuk mengeluarkan gas beracun m em asuki ruangan dengan senjata api siap untuk m enem bak. ”Tahan!” seru Masahi m em erintahkan anak buahnya untuk tidak m enem bak. 126



”Say onara, Masahi-san... senang berbincang-bincang dengan Anda,” ujar Rachel. Lalu dengan tenang, dia berjalan menuju pintu ruangan. Langkah Rachel sempat terhenti ketika salah seorang anak buah Masahi m enghalanginya tepat di depan pintu. ”Biarkan dia pergi,” kata Masahi. Mendengar perintah bosnya, anggota Yakuza yang m enghalangi langkah Rachel segera m enyingkir dari depan pintu. ”Arigatou...,” ujar Rachel lem but sam bil m engedipkan mata kanannya pada anggota Yakuza yang tadi menghalanginya yang kebetulan m asih m uda.



127



Empat Belas



”E IICHI NISSHO. Nam anya m ungkin tidak begitu dikenal seperti halnya Hanzo Hattori, yang dipercaya sebagai pendiri aliran Ninja. Bahkan dalam sejarah J epang, nama Eiichi Nissho seperti sengaja dihapus. Padahal, bersam a H an zo H attori, Eiichi Nissho diken al sebagai sam urai yang tangguh dan terkenal di m asanya,” Kenji m ulai bercerita. ”Saat Pem erintahan Tokugawa m engum pulkan para ronin 12 dan m em bentuk kelom pok untuk m elakukan pekerjaan kotor pem erintah, Eiichi dan Hanzo bergabung ke dalam nya. Hanzo Hattori lalu keluar dari kelom pok ter sebut karena tidak setuju dengan kebijakan Pem e-



12 Samurai yang tidak memiliki pekerjaan dan majikan untuk mengabdi (lihat Mawar Merah: Metamorfosis)



128



rintahan Tokugawa. Sepeninggal Hanzo, Eiichi Nissho lalu m un cul sebagai tokoh yang palin g disegan i di kelompok tersebut. Dia lalu menjadi pemimpin kelompok yang kem udian bernam a kelom pok Oni,” lanjut Kenji. ”J adi itu sejarah kelompok Oni? Baru tau...,” sahut Riva sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. ”Lalu buat apa kam u cerita?” ”Karena itu lebih baik kau diam dan dengarkan sampai aku selesai bercerita,” sahut Kenji agak dongkol m elihat sikap Riva yang tidak serius. Riva tidak bisa m em bantah ucapan Kenji. ”Sejarah m encatat, Pem erintah Tokugawa kem udian m engkhianati kelom pok Oni. Karena kuatir dengan perkem bangan kelom pok Oni yang m enjadi sem akin besar, pem erintah lalu berusaha m em bubarkan kelom pok itu. Para anggota kelompok Oni ditangkap dan dipenjara atau dibunuh. Eichii Nissho lalu m em bawa sisa-sisa anggota kelompoknya bersembunyi. Mereka mengadakan kegiatan kelompok di bawah tanah, dan menata kembali kelompok yang ham pir hancur. Untuk kelangsungan kehidupan kelompok Oni, para anggotanya menerima pesanan untuk membunuh siapa pun. Itulah asal mulanya kelompok Oni m enjadi kelom pok pem bunuh bayaran...” Kenji berhenti sebentar sambil melirik Riva. Tapi yang dilirik diam saja. Riva kelihatannya malas untuk menyela lagi ucapan Kenji. ”Selam a beratus-ratus tahun, kelom pok Oni bisa selam at dari kejaran Pem erintah Tokugawa. Pem im pin kelom pok pun terus berganti. Di awal pem bentukan kelom pok Oni, sesuai kesepakatan em pat ketua pelindung 129



dan penasihat kelompok, pemimpin tertinggi yang disebut Ketua Agung dijabat secara turun-tem urun oleh Eiichi Nissho dan keturunannya, sedang jabatan yang lain term asuk penasihat dan ketua pelindung diangkat langsung oleh ketua dan dapat dijabat oleh siapa pun anggota kelom pok. Dan struktur kelom pok ini bertahan hingga dua ratus tahun. ”Sekitar akhir abad ke-18, Ketua Agung generasi ketiga, Tomoru Nissho meninggal secara tiba-tiba. Karena kedua putra Tom oru m asih kecil, posisi pem im pin kelom pok Oni untuk sem entara dipegang penasihat Hatom i Suki hingga putra pertama Tomoru, Keita Nissho, cukup umur untuk menjadi Ketua Agung menggantikan ayahnya. Saat Keita dewasa, ternyata Hatom i punya m aksud lain. Dia ingin m enjadi Ketua Agung untuk selam anya, dan ingin jabatan itu terus dipegang keturunannya nanti. Dengan licik Hatom i m em bunuh seluruh keluaga Nissho dan keturunannya, dan memitnah dua ketua pelindung yang sebenarnya sangat setia pada kelom pok dan keluarga Nissho sebagai m ata-m ata pem erintah dan otak di balik pem bunuhan tersebut. Tapi Hatom i lupa pada putri bungsu Tomoru, yang saat kejadian tersebut sedang menjalani pengobatan di tempat lain, hingga luput dari usaha pem bunuhan. Karena kuatir akan keselam atan putri Tom oru yang berusia tujuh tahun itu, salah seorang Ketua Pelindung yang diitnah oleh Hatomi dan berhasil m eloloskan diri dari hukum an m ati m em bawanya keluar J epang. Sejak saat itu tidak ada yang tahu keberadaannya. Hatom i pun berusaha m enutupi jejak kejahatan yang dilakukan n ya den gan m em usn ah kan sem ua dokum en 130



penting yang berhubungan dengan klan Nissho. Dengan persetujuan para ketua pelindung, dia lalu menjadi Ketua Agung yang baru. Sejak saat itu posisi Ketua Agung turun-tem urun dipegang oleh klan Suki. J ejak sejarah klan Nissho pun seakan-akan terhapus dari sejarah kelompok Oni. Anggota kelompok yang masuk belakangan tidak ada yang tahu m engenai klan Nissho. Setelah era Tokugawa berakhir, anggota kelom pok Oni yang berhasil m enyusup ke dalam pem erintahan baru juga berusaha menghapus nama keluarga Nissho dari kehidupan masyarakat J epang, hingga tidak ada yang m em akai nam a keluarga itu lagi, hingga sekarang.” Kenji berhenti. Dia seolah-olah telah m enyelesaikan ceritanya. ”Lalu, nggak ada yang tahu nasib putri Tomoru sampai sekarang?” tanya Riva. ”Selama lebih dari dua abad, keberadaan anak Tomoru m em ang tidak diketahui, hingga sekitar tahun 1943, seorang anggota tentara J epang yang ditugaskan ke sebuah negara di Asia Tenggara bertem u dengan seorang pria keturunan J epang yang sudah secara turun-tem urun hidup di negara tersebut. Walau telah berganti nama dengan memakai nama setempat dan mulanya tidak mengakui bahwa dia mempunyai darah keturunan J epang, tapi akhirnya pria tersebut m engaku m asih ingat nam a keluarga aslinya...” ”...nama keluarganya Nissho, kan?” potong Riva, mem buat Kenji m enatap tajam ke arahnya. Riva kem bali diam . ”Selain bertem u dengan keturunan keluarga Nissho, 131



tentara J epang itu juga m enem ukan tulisan-tulisan kuno yang ditulis oleh Ketua Pelindung yang m enyelam atkan anak Tomoru. Tulisan-tulisan itu berisi catatan perjalanan dan m enceritakan apa yang terjadi pada kelom pok Oni. Berdasarkan tulisan itulah, apa yang sebenarnya terjadi dalam kelom pok tersebut bisa diketahui. Dokum en dokum en itu selam a ini disem bunyikan rapat-rapat dan ham pir tidak pernah dibuka, karena pria tersebut takut dirinya dituduh sebagai antek J epang yang saat itu m em ang sedang m enjajah negeri tem pat dia tinggal.” ”Tunggu. Kalau m em ang tulisan itu m enceritakan apa yang terjadi dalam kelom pok Oni, m ungkin berarti banyak bagi anggota kelom pok tersebut. Tapi bagi orang lain, itu nggak berarti apa-apa. Cum a sebuah cerita sejarah. Kecuali...” Riva tidak m elanjutkan ucapannya. ”Kecuali tentara J epang itu juga anggota kelompok Oni,” sam bung Kenji. ”Dia anggota kelom pok Oni?” tanya Riva. Kenji m engangguk. ”Bukan hanya anggota kelom pok biasa, tapi salah satu anggota kelom pok senior. Tentara J epang tersebut lalu m em utuskan m em bawa dokum en-dokum en tersebut kepada Ketua Agung. Dia berpikir, dengan adanya penemuan dokum en tersebut bisa m eluruskan sejarah kelom pok Oni dan m enyerahkan kepem im pinan kem bali pada keturunan keluarga Nissho. Dia sangat yakin, karena walau berasal dari keturunan Suki, Ketua Agung saat itu adalah orang yang bijaksana dan berwawasan luas.” Kenji berhenti sebentar sebelum m elanjutkan. ”Tapi sesuatu kem udian terjadi. Saat tentara J epang 132



tersebut telah menyerahkan penemuannya, ternyata Ketua Agung m eninggal karena sakit. Penggantinya ternyata tidak sebijak ayahnya, bahkan lebih mirip Hatomi. Bukannya menjemput anggota keluarga Nissho yang masih tersisa dan menyerahkan kembali kepemimpinan kelompok, Ketua Agung m alah m em erintahkan untuk m em bunuh klan Nissho yang tersisa, persis seperti yang dilakukan oleh leluhurnya ratusan tahun silam. Saat tentara J epang tersebut kem bali ke desa itu, dia m enem ui kenyataan bahwa hampir seluruh keluarga Nissho yang tersisa telah terbunuh. Menurut penduduk di sekitarnya, seluruh anggota keluarga yang tinggal di desa itu dan sebagian di desa lain dibun uh oleh oran g-oran g bertopen g dan m em akai katana. Ham pir seluruhnya, karena ternyata m asih ada seorang pem uda dari keturunan Nissho yang selam at. Pem uda itu selam at karena dia ikut dalam kelom pok perjuangan penduduk lokal yang sedang berperang m elawan m iliter J epang yang dianggap m enjajah m ereka. Para pem bunuh Oni tidak bisa m enem ukannya karena dia sering berpindah-pindah tem pat dan tinggal di hutan-hutan yang lebat. Berdasarkan inform asi penduduk setem pat, tentara J epang itu m em utuskan untuk m encari si pem uda dan m enyelam atkannya. Suatu hal yang berani m engingat situasi saat itu, ketika sedang terjadi peperangan antara penduduk lokal dan m iliter J epang yang dianggap m enjajah negeri m ereka.” ”Tapi akhirnya, pem uda itu ketem u, kan?” Kenji m enggeleng. ”Nggak?” ”Situasi saat itu tidak m em ungkinkan untuk m enem u133



kan pem uda tersebut. Apalagi kem udian J epang kalah perang dunia kedua, dan tentara tersebut harus kem bali ke negaranya. Tapi tidak disangka, berpuluh-puluh tahun kem udian , dia kem bali bertem u den gan keturun an keluarga Nissho yang lain, kali ini seorang wanita yang sudah berkeluarga dan mempunyai satu anak. Pertemuan tidak sengaja itu justru berlangsung di J epang, saat si wanita sedang berlibur bersam a keluarganya. ”Kali ini, tentara yang telah pensiun ini tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Dia merahasiakan pertemuannya, sam bil diam -diam m engawasi keturunan Nissho, bahkan sampai dia kembali ke negaranya. Mantan tentara in i beran ggapan , lebih baik m em biarkan keturun an Nissho hidup tenang dan m enjauhkan m ereka dari kelom pok Oni. Sem ua berjalan dengan baik, sam pai suatu ketika...” ”Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Riva penasaran. ”Dalam suatu acara perjam uan di kelom pok Oni, m antan tentara yang sekarang m enjadi salah satu ketua pelindung itu mabuk berat. Dalam keadaan mabuk, tanpa sadar dia telah m enceritakan pertem uannya dengan keturunan keluarga Nissho pada para ketua yang lain, walaupun dia tidak sam pai m enyebutkan secara lengkap iden titas dan tem pat tin ggal m ereka. Setelah sadar m antan tentara itu sangat m enyesal. Tapi dia tidak bisa m enarik kem bali ucapannya. Dia takut hal yang sam a akan kem bali terulang pada keturunan keluarga Nissho. Karena itu, dia menyuruh anak angkatnya untuk melindungi keluarga Nissho secara diam -diam . Kebetulan usia anak angkatnya sama dengan usia anak perempuan yang 134



m erupakan keturunan terakhir keluarga tersebut. Dan akhirnya apa yang dikuatirkan oleh m antan tentara itu terjadi juga. Kelom pok Oni akhirnya m engetahui tem pat tinggal keturunan keluarga Nissho, dan m ulai m em burunya.” Kenji berhenti lagi. Sepertinya dia telah selesai bercerita. ”Tapi... keturunan keluarga Nissho itu m asih hidup, kan?” tanya Riva. ”Wanita itu dan suam inya tewas dibunuh, tapi anak perem puannya m asih hidup sam pai sekarang...” Riva tercekat mendengar jawaban Kenji. Dia mulai mem ikirkan sesuatu. ”Kau... jangan bilang bahwa anak perem puan itu...” Kenji m enoleh dan m enatap tajam pada Riva. ”Kau adalah pewaris kepem im pinan di kelom pok Oni. Satu-satunya anggota keluarga Nissho yang m asih tersisa,” ujar Kenji. Walau telah bisa m enduga, tapi Riva m asih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia adalah pewaris pimpinan organisasi pembunuh bayaran J epang? Bahkan jadi ketua OSIS saja Riva belum pernah. Apalagi harus m emimpin kelompok yang anggotanya ratusan atau bahkan ribuan pem bunuh bayaran. Walau pernah kursus bahasa J epang, tapi Riva tidak begitu fasih berbahasa J epang karena hasil kursusnya tidak pernah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. ”J angan-jangan... pertem uanku dengan Elsa bukan kebetulan...,” gum am Riva. ”Kau tidak akan m engira seorang pem bunuh bayaran 135



yang jadi buronan di berbagai negara mau menyamar jadi seorang m ahasiswa, dan tidak ada sesuatu yang dikerjakannya, bukan? Ya, Rachel m em ang m enyam ar untuk m elindungim u dari jauh. Hanya saja, ternyata dia punya urusan sendiri yang m enyeret kehidupan pribadinya, hingga terpaksa m eninggalkan tugasnya.” ”J adi kelom pok Oni telah m engetahui siapa aku? Dan m ereka m enyuruh orang untuk m em bunuhku?” ”Tidak semua. Yang mengetahui keberadaanmu hanyalah para petinggi, dan yang tidak menginginkan kehadiranm u. Sebagian besar anggota kelom pok tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya m endapat tugas untuk m em bunuhm u, yang disebut sebagai orang yang membahayakan kepentingan kelompok. Mereka melaksanakan tugas tanpa boleh bertanya tentang tugas itu.” ”Bagaim ana dengan kau?” tanya Riva. ”Aku ingin m engem balikan kepem im pinan kelom pok pada pem iliknya yang sah,” kata Kenji sam bil tersenyum . ”Apa?” Riva tidak percaya dengan apa yang didengarnya. ”Tapi aku sam a sekali nggak tertarik untuk jadi pemimpin, apalagi pemimpin pembunuh bayaran. Aku cuma ingin kehidupanku yang dulu. Hidup sebagai m anusia normal. Dan kenapa kau tidak bilang ke aku soal rencanam u itu?” ”Kau tidak bisa menolak apa yang telah menjadi takdirm u,” tegas Kenji. ”Pokoknya aku nggak mau! Kalo kau mau, lakukan aja sendiri!” ”Kau tidak mau? Katakan pada mereka yang mengejar136



mu. Apa mereka peduli kau mau jadi pemimpin kelompok atau tidak? Mereka tetap berpikir kau merupakan ancaman yang harus dilenyapkan, tidak peduli dengan keinginanm u.” Riva terdiam m endengar ucapan Kenji. Tiba-tiba HP Kenji berbunyi. Kenji segera melihat siapa yang meneleponnya, lalu dia masuk ke kamar, meninggalkan Riva sendirian di balkon. Sem enit kem udian, pem uda itu kem bali. ”Aku harus pergi sebentar. Kau di sini saja.” ”Kau m au ke m ana?” ”Aku ada urusan. Kau kunci saja pintu kam ar dan jangan bukakan untuk siapa pun, kecuali aku.” Walau m asih bertanya-tanya siapa yang m enelepon Kenji tadi, Riva tidak m em bantah ucapan pem uda itu. Kenji m em ang sudah biasa m eninggalkan dia tiba-tiba, lalu m uncul lagi secara tidak terduga. J adi Riva sudah tidak heran lagi.



137



Lima Belas



P ROF.



MASARO m enyerahkan sebuah am plop besar pada Saka di sebuah kafe di tengah kota Kyoto. ”Gom en... aku baru bisa m em enuhi perm intaan Anda sekarang. Sangat susah m encari sejarah keluarga Nissho, mengingat nama keluarga tersebut sudah tidak ada dalam database pemerintah, atau dengan kata lain, sudah tidak ada orang yang m em akai nam a keluarga Nissho. Saya harus mencarinya di arsip lama yang ada di perpustakaan nasional,” kata Prof. Masaro. ”Terima kasih sebesar-besarnya atas usaha Anda, Prof. Saya sangat m enghargainya,” balas Saka sam bil m enunduk m em beri horm at. Saka lalu m em buka am plop yang diberikan Prof. Masaro dan m engeluarkan isinya. ”Saya sangat terkejut saat Anda mengatakan masih ada 138



keturunan Eiichi Nissho yang m asih hidup. Saya kira semua anggota klan Nissho telah tewas ratusan tahun yang lalu,” lanjut Prof. Massaro. ”Saya juga tidak menyangka, bahwa orang yang selama ini berada di dekat saya punya sejarah keluarga yang sangat istim ewa,” lanjut Saka, lalu m em baca berkas-berkas yang baru saja didapatnya. *** Kenji berdiri di lantai enam sebuah bangunan yang belum jadi, sekitar dua kilom eter dari hotel tem pat Riva m enginap. Dia tidak sendiri. Marcelo berdiri di hadapannya. ”Kuharap kalian tidak berbohong,” ucap Kenji pada Marcelo. Marcelo hanya tersenyum kecil. ”Kau m asih belum percaya? Bukannya tadi kau berbicara sendiri dengan sang Pemimpin? Itu tujuan utamamu bergabung dengan kelompok Oni, kan? Bahkan untuk tujuanm u itu kau rela m em bunuh ayahm u sendiri,” kata Marcelo. ”Dia hanya ayah angkat,” desis Kenji. Dia lalu m enatap Marcelo dengan tajam. ”Kalau kalian berbohong…,” ancamnya. ”Di m ana gadis itu sekarang?” potong Marcelo. Tapi Kenji hanya diam . Kelihatannya dia m asih berpikir, apa yang akan dilakukannya sekarang. ”Sesuai kesepakatan kita, kami tidak akan membunuhnya. Sang Pemimpin ingin bertemu langsung dengan dia. 139



Kam i bisa jam in dia tidak akan tergores sedikit pun,” kata Marcelo. ”Oya? Seperti yang kalian lakukan pada Matahari?” sindir Kenji. ”Matahari m enghalangi rencana kam i. Dan dia juga beruntung tidak kam i bunuh,” jawab Marcelo. ”Sem oga kalian tidak m enyesali keputusan kalian.” Marcelo m em buka kacam ata hitam nya. ”J adi bagaim ana? Apa kau berubah pikiran?” tanyanya. ”Aku bisa m em bunuhm u saat ini juga,” sahut kenji. ”Tapi kau tidak akan m elakukannya. Kau tidak akan mendapat keuntungan apa pun dengan membunuhku sekarang.” ”Kau m em ang percaya diri. Tapi suatu saat aku pasti akan m em bunuhm u.” ”Aku tahu. J adi bagaim ana?” Kenji tetap m enatap Marcelo lalu m enghela napas. ”Bagaim ana dengan Rachel?” ”Double M? J angan kuatir… kam i sudah m enyiapkan sebuah perm ainan yang m enarik untuknya di suatu tempat yang juga sangat m enarik,” jawab Marcelo. *** Riva yang baru saja akan pergi tidur tiba-tiba merasakan keadaan di sekelilingnya gelap gurita. Ada apa ini! batinnya. Kelihatannya aliran listrik di hotel tem pat Riva m enginap padam. Kontan gadis itu beranjak dari tempat tidur140



nya. Dalam kegelapan ruangan dia m eraba-raba m encari sesuatu untuk m em buat keadaan sekelilingnya m enjadi lebih terang. Dulu di rum ahnya, Riva tahu tem pat lilin atau senter disimpan, jadi kalau aliran listrik padam , dia bisa cepat m encari kedua benda itu. Lagi pula di rum ah Riva ada em ergency lam p atau lampu darurat berbaterai yang otom atis m enyala jika lam pu padam . Cukup untuk m em buat suasana dalam rum ah tidak terlalu gelap sebelum genset listrik dinyalakan. Tapi di hotel, jangankan tahu di mana letak senter atau lilin, Riva sendiri tidak tahu apakah hotel ini m enyediakan kedua benda tersebut di setiap kamar tamu-tamunya. Lagi pula hotel yang ditempati Riva ini adalah hotel berbintang yang seharusnya memiliki fasilitas genset sebagai antisipasi padam nya aliran listrik. Tapi sam pai sekitar lim a m enit listrik padam , belum ada tanda-tanda akan m enyala kem bali. J adi Riva hanya bisa berjalan dengan meraba-raba sambil membiasakan matanya melihat dalam kegelapan. Sem entara itu Kenji belum kem bali. Beberapa saat kem udian m ata Riva sudah m ulai terbiasa dengan keadaan gelap. Dia m ulai bisa m elihat bayangan benda-benda di sekelilingnya, walau masih sangat samar. Saat itulah Riva melihat sekonyong-konyong pintu kam arnya terbuka. Aneh! Padahal aku sudah m engunci pintuny a! batin Riva. ”Siapa itu? Kenji?” Saat itu sebuah bayangan hitam berkelebat di m asuk ke kam ar dan langsung m engham piri Riva. Merasa akan diserang, Riva m encoba lari. Tapi bayangan itu lebih 141



cepat. Dalam satu gerakan, bayangan hitam itu berhasil m em ukul tengkuk Riva hingga m em buat gadis itu tersungkur ke tanah. Riva jatuh pingsan.



142



Enam Belas



Ban d u n g, s ian g h ari



W



IDYA baru saja keluar dari taksi yang berhenti di depan rumahnya, saat sebuah minibus datang menghampiri dan berhenti tepat di sam pingnya. Pintu sam ping m obil terbuka dan keluarlah dua pria berbadan besar. Salah seorang pria itu langsung membekap mulut Widya dengan kain yang sudah dibubuhi obat bius, sedang satunya lagi m enarik tangan wanita itu dan m em asukkannya dengan paksa ke dalam m obil. Kejadian itu berlangsung begitu cepat, hingga Widya tidak sempat berteriak minta tolong. Apalagi keadaan di sekitar rum ahnya sedang sepi karena gerim is yang m ulai m engguyur Kota Bandung. *** 143



Saat sadar, Widya mendapati dirinya berada di atas tem pat tidur dalam sebuah kam ar berukuran sedang. Di m ana aku? tanya Widya dalam hati. Sam bil m engingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya, Widya m elihat ke sekeliling kam ar. Tidak ada apa pun dalam kamar itu selain tempat tidur dan sebuah m eja kecil di sam pingnya. J endelanya pun tertutup tirai yang rapat. Sam bil m enahan sakit kepala akibat pengaruh obat bius yang belum sepenuhnya hilang, Widya m engham piri jendela dan m enyibak tirainya. Ternyata jendela itu dilapisi teralis besi, sehingga m ustahil bisa keluar dari situ. Tapi m elalui jendela itu Widya bisa melihat ke luar. Ternyata dia berada dalam sebuah rumah yang dikelilingi pagar tembok tinggi, sehingga pemandangan ke luar sangat terbatas. Widya m erapatkan kedua tangannya di depan dada. Kam ar tem patnya berada m em akai AC, sedang dia hanya mengenakan kaus dan celana panjang, hingga dia kedinginan. Rem ote AC tidak ada di dalam kam ar, hingga Widya tidak bisa m em atikan atau sekadar m enaikkan suhu AC. Untunglah penderitaan Widya tidak berkepanjangan. Pintu kam ar terbuka, dan m asuklah dua orang yang tadi m enculiknya. ”Siapa kalian? Kenapa kalian m enculikku?” Pertanyaan Widya tidak digubris kedua penculiknya. Mereka mendekati Widya dan bermaksud memegangnya. Tentu saja Widya m encoba berontak. ”Apa-apaan ini?” bentak Widya. Tapi kedua orang pria berbadan besar itu tetap berusaha m em egang tangannya. 144



”Hei! J angan kurang ajar ya! Tolong!” Sia-sia Widya berontak dan minta tolong, karena besar tubuhnya tidak seimbang dengan kedua penculiknya. Kedua tangannya pun dipegangi, m asing-m asing oleh seorang penculiknya. ”Kalian m au apa?” Widya m asih m encoba bertanya dengan ekspresi m arah, tapi lagi-lagi tidak digubris oleh kedua pria itu. Dengan agak kasar mereka menarik Widya keluar dari kam ar. Widya akhirnya m enyerah. Daripada badannya sakit karena ditarik dengan paksa, lebih baik dia m engikuti kem auan kedua penculiknya. Widya dibawa ke ruang tam u rum ah yang cukup besar, dan didudukkan pada sebuah sofa yang berada di situ. Setelah itu, tanpa mengucap sepatah kata pun, kedua orang pria itu m eninggalkan Widya sendirian di ruang tam u. ”Maaf atas perlakuan tadi. Seharusnya m ereka bisa bersikap lebih baik terhadap Anda.” Suara itu pernah didengar Widya sebelum nya. Sontak dia m enoleh ke arah suara itu berasal. ”Kau?” *** Astuti pusing tujuh keliling. Bukan karena pekerjaan di kantornya yang selalu datang silih berganti seolah takkan pernah habis, tapi karena sebuah SMS yang diterim anya saat m akan siang tadi. Widya Watson ada di tangan kami. Suruh Double M hubungi nomor ini jika ingin ibunya selamat, dan jangan hubungi polisi 145



Astuti jelas tahu Double M adalah Rachel keponakannya. Tapi m asalahnya, dia tidak tahu di m ana Rachel sekarang berada, dan bagaim ana harus m enghubungi gadis itu. Nom or HP yang pernah diberikan Rachel dulu sudah tidak aktif sejak gadis itu menghilang setahun yang lalu. Sampai saat ini Rachel juga tidak pernah menghubunginya. J adi bagaim ana dia harus m enghubungi gadis itu? Kalau dia tidak bisa m enem ukan Rachel, lalu bagaimana nasib Widya? Apa yang mungkin dilakukan si penculik terhadapnya? Astuti sempat terpikir untuk mengabaikan pesan ini atau melaporkannya ke polisi, tapi dia takut itu akan membuat situasinya bertambah buruk, dan membahayakan keselam atan kakaknya. HP Widya m em ang tidak bisa dihubungi sejak siang tadi, dan kata Bi Popon, kakaknya itu belum pulang sejak pergi dari pagi. Pusing m em ikirkan keselam atan kakaknya m em buat Astuti tidak berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Untung saja tidak ada tugasnya yang memasuki deadline hari ini, hingga dia tidak tam bah pusing. Astuti belum m enghubungi suam inya untuk m em beritahu m asalah ini karena ingin m encari jalan keluar sendiri dulu selain tidak ingin m engganggu pekerjaan suam inya. Saat sedang memikirkan apa yang harus dilakukannya, pintu ruang kerja Astuti terbuka. Salah seorang bawahannya m uncul dari balik pintu sam bil m em bawa berkasberkas yang harus ditandatangani Astuti. ”Oya, Bu... tadi ada yang ingin ketemu Ibu. Saya suruh tunggu di luar dulu...,” kata wanita bawahannya itu setelah Astuti m em bubuhkan tanda tangannya. 146



”Siapa?” ”Saya lupa nanya nam anya, Bu. Tapi orangnya m asih m uda dan cantik. Kayaknya dia pernah ke sini dulu...” ”Oya?” Astuti mengernyitkan kening. Muda, cantik, dan pernah ke kantor ini? Dia m em ang punya banyak rekanan kerja dari kalangan wanita karier yang sebagian m asih berusia muda dan cantik. Tapi biasanya mereka akan menelepon dulu kalau ingin bertem u. Apa ada hal yang m endadak yang m em buat salah seorang rekan kerjanya ingin bertem u dengannya? ”Saya suruh m asuk, Bu?” ”Iya... suruh m asuk.” Bawahan Astuti itu pun keluar. Tidak lam a kem udian, sebuah wajah wanita berkacamata dan berambut panjang sebahu m uncul dari balik pintu. ”Silakan...” kata Astuti sam bil m engam ati wajah di depannya. Dia seperti pernah bertemu atau setidaknya melihat wajah ini sebelum nya. Wanita itu m endekat hingga berada di depan m eja kerja Astuti, yang segera m engulurkan tangan m engajak bersalam an. ”Ada yang bisa saya bantu?” tanya Astuti Tiba-tiba wanita di depannya tertawa mendengar ucapan Astuti, m em buat Astuti heran. ”Bibi... ini aku! Masa lagi-lagi Bibi nggak ngenalin?”



147



Tujuh Belas



H UJ AN lebat m engiringi kedatangan



sebuah sedan di halam an sebuah bangunan yang tidak berpenghuni di kawasan Bandung Barat. Bangunan itu tadinya sebuah rum ah sakit yang ditutup 20 tahun yang lalu, sehingga kelihatan sunyi dan gelap, m enim bulkan kesan angker bagi siapa saja yang m elihatnya. Cerita tentang bekas rum ah sakit yang angker dan konon dihuni banyak m akhluk halus yang suka m engganggu m anusia ini m em ang sudah terkenal di seantero Bandung. Tapi bukan cerita itu yang m em buat Rachel menghentikan langkahnya di depan pintu depan bangunan yang dibangun pada zam an penjajahan Belanda itu. Dia tidak langsung m asuk karena ingin m engam ati keadaan di sekitarnya dulu. Sambil mengibaskan rambutnya yang basah terkena air hujan hujan, pandangan Rachel 148



berkeliling ke seluruh penjuru beranda rumah sakit yang gelap dan bocor di beberapa tem pat. Rachel m engam bil pistol sem iotom atis dari balik baju hitam nya, dan perlahan-lahan m ulai m em buka pintu depan. Pintu kayu yang m asih terlihat kokoh itu m enimbulkan bunyi berderit saat dibuka, menampakkan lobi rum ah sakit di di hadapan Rachel. Lobi tersebut terlihat sangat kotor dan berbau, seperti jamaknya bangunan yang tidak pernah dijamah orang selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, terdapat sebuah lilin yang m enyala di dalam sebuah botol bekas m inum an di salah satu sudut lobi. Cahaya petir sedikit m enerangi lobi. Sekilas terlihat tikus berkeliaran di ham pir setiap penjuru lobi. Rachel m asuk dengan langkah perlahan, pandangannya tetap awas, m enunggu setiap kem ungkinan yang bisa terjadi. Dia m enuju ke arah lilin tersebut. Ternyata lilin itu dipasang di depan sebuah koridor yang m enuju ke bagian dalam rum ah sakit. Saat Rachel berada di dekat lilin, pandangannya m enangkap cahaya lilin lain di ujung koridor. Rachel pun berjalan menuju ke arah lilin tersebut sam bil tetap m engangkat pistolnya. Saat tiba di lilin yang kedua, Rachel kem bali m elihat cahaya lilin yang lain lagi di sisi lain koridor. Dia pun m enuju ke arah lilin yang ketiga, dem ikian seterusnya. Lilin-lilin tersebut kelihatannya memang sengaja dipasang sebagai penunjuk jalan bagi Rachel ke suatu tem pat sekaligus m em berikan penerangan bagi jalan yang akan dilalui gadis itu. Akhirnya Rachel berada di lilin keenam, yang ditempat149



kan di pinggir sebuah tam an di dalam area rum ah sakit. Tam an yang dulu berfungsi sebagai tem pat refreshing dan bercengkram a bagi pasien serta pengunjung rum ah sakit itu kini m enjadi padang ilalang yang tidak terawat. Rumput dan ilalang tumbuh tinggi. Di sudut-sudut taman terdapat bangku-bangku tam an dari besi yang sudah berkarat dan beberapa di antaranya sudah hancur. Sebuah lilin terlihat berada di tengah taman, diletakkan di atas sebuah bekas bangku batu. Lilin tersebut bertutup botol yang dilubangi di beberapa bagian, hingga tetap m enyala walau berada di tengah guyuran hujan deras. Rachel melihat tidak ada lilin lain selain lilin yang berada di tengah tam an. Dia pun m enuju ke arah lilin tersebut, m enerobos guyuran hujan. ”Seharusnya kau tidak m em bawa senjata.” Sebuah suara terdengar dari kegelapan, saat Rachel telah berada di tengah tam an. Rachel m enoleh ke arah suara tersebut. Dari cahaya lilin yang sangat m inim di pinggir tam an tem pat tadi dia berada, terlihat sesosok tubuh pria tinggi besar. Wajah pria itu tidak terlihat dalam kegelapan, tapi dari sosok dan logat bicaranya, Rachel dapat memastikan pria tersebut berasal dari ras Kaukasia, atau golongan ras yang dim iliki oleh orang-orang Eropa dan warga kulit putih yang tinggal di benua Am erika. ”Di m ana Mam a?” tanya Rachel. Sebagai jawaban, pria itu tertawa. ”Buang dulu senjatam u kem ari,” perintahnya. ”Tidak, sebelum aku tahu kondisi Mam a.” Rachel m enodongkan pistolnya ke arah si pria. ”Kau tidak punya pilihan,” tandas si pria. Saat itu juga, 150



tubuh Rachel dihiasi oleh enam buah titik berwarna m erah yang berasal dari pem bidik laser pada senjata api dari enam arah yang berbeda. Dua titik membidik kening dan belakang kepala Rachel, dua membidik dadanya, satu membidik paha kanannya, dan satu titik membidik punggung gadis itu. ”See? Sudah kubilang kalau kau tidak punya pilihan.” Sam bil m enahan rasa dingin akibat kehujanan, Rachel m engarahkan pandangan ke seluruh penjuru. Ada enam penem bak yang m em bidik dirinya, dan sem uanya bersem bunyi dalam kegelapan di lantai dua bekas gedung rum ah sakit. Dalam situasi seperti ini dirinya harus berhati-hati. Melakukan gerakan yang m em buat m ereka curiga sedikit saja, habislah dia. ”Apa m aum u?” tanya Rachel. Diam sejenak. Si pria tidak langsung m enjawab pertanyaannya. ”Double M yang terkenal, yang m enjadi buruan berbagai agen intelijen, saat ini bagaikan seekor tikus yang terperangkap,” kata si pria sam bil tertawa terkekeh. ”Kau m enggunakan cara licik. Kalau sam pai terjadi sesuatu pada Mama, aku akan mengejarmu ke ujung dunia sekalipun...,” tukas Rachel. ”Lucu. J ustru aku yang selam a ini m engejarm u hingga ke ujung dunia. Cara ini juga sudah pernah aku lakukan, tapi baru sekarang berhasil.” Pria tersebut lalu m aju m endekati lilin di depannya. Kali ini Rachel bisa m elihat wajah sang pria yang m engenakan jaket kulit panjang berwarna hitam . Pria itu adalah Brad Greene. Mantan agen CIA yang 151



kem udian m enjadi buronan karena dianggap m enyalahgunakan tugas dan kewenangan sebagai agen CIA. Brad Greene sudah lam a m em buru Rachel untuk m enutupi jejakn ya dalam kasus pem bun uhan Presiden H arter setahun yang lalu. ”Gara-gara kau, karier dan rencanaku hancur. Sekarang kau harus m em bayar untuk itu,” ujar Brad. ”Aku tidak m en gen alm u, ken apa kau m en uduhku m enghancurkan karierm u?” tanya Rachel. ”Kau bisa tanya pada m am am u... di neraka...” Seusai berkata demikian, Brad menekan telinga kanannya, rupanya m em egang handsfree yang tergantung di sana, dan berkata, ”Tem bak!” Rachel yang m endengar ucapan Brad segera waspada. Dia harus cepat bertindak atau dirinya akan jadi sasaran em puk tim ah panas yang dilepaskan para penem bak. Rachel cepat m engibaskan tangan kirinya, m engirim tenaga dalam m engenai botol berisi lilin yang berada di sebelahnya. Seketika itu juga botol dari kaca itu pecah, dan lilin di dalam nya langsung padam . Suasana gelap langsung m enyelim uti sekeliling gadis itu. Suara tem bakan terdengar bertubi-tubi, sem ua terarah pada bidikan laser di tem pat Rachel tadi berdiri. Tapi keadaan yang gelap m enyebabkan si penem bak tidak dapat m elihat dengan jelas sasaran sebenarnya sehingga m ereka hanya dapat m enduga-duga. Brad Greene sendiri segera m encabut pistol dan ikut m enem bak ke arah Rachel. Selang beberapa lam a, dia m enghentikan tem bakannya. ”Sem ua... hentikan tem bakan!” perintah Brad. 152



Keadaan kem bali m enjadi tenang. Hanya terdengar bunyi hujan yang masih turun dengan deras. Brad merasa ada yang tidak beres dan m em utuskan untuk berm ain am an. Pria itu segera m em atikan lilin di sebelahnya. Kalaupun selam at dari tem bakan tadi, dia akan kesulitan bergerak dalam kegelapan, jadi keadaanny a seri! batin Brad. ”Semuanya cepat ke lobi!” perintah Brad lagi. Lalu dengan m enggunakan senter yang disem atkan di pistolnya, pria itu bergerak ke arah tangga. Saat Brad sampai di lobi, suasana terlihat sepi. Tidak ada seorang pun di sana. Hanya ada sebatang lilin yang memberikan cahaya seadanya di ruangan itu. ”Kalian dengar? Cepat ke lobi...” perintah Brad. Tapi tidak ada jawaban. Brad mengulangi perintahnya, hasilnya tetap sama. Cepat-cepat dia mengeluarkan sebuah Handy Talkie (HT) m ini dari saku jaketnya. HT m ini itu dihubungkan dengan handsfree untuk berkom unikasi dengan sem ua anak buahnya. Mati! batin Brad sam bil m em egang HT m ininya yang tidak menyala. Aneh karena beberapa menit yang lalu HT m ini ini m asih berfungsi dengan baik. Tidak m ungkin baterainya habis karena sebelum m elakukan operasi ini, Brad telah men-charge seluruh HT mini yang dimilikinya sam pai penuh sebelum dibagikan pada anak buahnya, dan baterai HT m ini ini bisa bertahan selam a dua belas jam . Tidak m ungkin juga rusak, karena HT m ini ini m erupakan barang m ilik CIA yang didapat Brad dari pasar gelap dan Brad tahu kualitasnya sangat bagus. 153



Tapi sekarang HT m ini itu rusak. Mati total, dan bahkan tidak dapat dinyalakan lagi. Aneh! pikir Brad. Tiba-tiba, seperti punya pem ikiran baru, Brad m elihat jam tangannya. Dan ternyata jam tangan digital itu juga m ati. Pria itu m erogoh saku celananya dan m engam bil HP. HP itu juga m ati total. Tidak m ungkin! batin Brad. Hanya satu hal yang dapat m enyebabkan sem ua perangkat elektronik yang dimilikinya jadi rusak. Gelombang elektrom agn etik yan g san gat kuat. Tapi dari m an a gelom bang elektrom agnetik tersebut? Apakah gadis itu yang menyalakannya? Kapan? Dan dengan cara apa? Apakah gadis itu punya alat untuk m em ancarkan gelom bang elektrom agnetik yang sangat kuat? Suara tembakan beruntun dari lantai atas membuyarkan pikiran Brad. Kemudian hening. Dan terdengar lagi suara tem bakan, kali ini dekat tangga. ”Cepat ke lobi!” kali ini Brad berteriak, berharap ada anak buahnya yang m endengar. Dia sendiri menuju tangga tempat tadi terdengar suara tem bakan. Saat mendekati tangga, terlihat cahaya senter yang berasal dari atas. Brad mendongak ke atas tangga sambil menyorotkan senter yang dibawanya. GUBRAK! Sebuah benda jatuh berguling dari atas tangga, hampir 154



saja m enim pa Brad, jika saja m antan agen CIA itu tidak cepat m enghindar. Ternyata salah seorang anak buahnya yang jatuh dari tangga. Dan sekarang anak buahnya itu tergeletak tidak bergerak. Darah mengucur dari kaki kanannya, bekas luka tem bak. Brad m em eriksa keadaan anak buahnya. Masih hidup. Tiba-tiba m antan agen CIA itu seperti m erasakan desiran angin di belakangnya. Cepat dia menoleh ke arah lobi. Tidak ada apa pun di lobi. Tapi Brad seperti merasakan ada sesuatu. ”Double M! Aku tahu kau ada di sini! Keluarlah, atau ibum u akan tewas!” seru Brad. Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara hujan di luar. ”Double M!” Saat itu Brad baru sadar ada titik merah di keningnya. Titik yang berasal dari pem bidik laser. ”Kau berani m em bunuhku? Kau sudah tidak peduli dengan keselam atan ibum u?” Sebuah bayangan muncul dari kegelapan. Rachel mendekati Brad Greene sam bil m enodongkan pistolnya ke arah pria tersebut. Gadis itu m em akai kacam ata hitam yang dilengkapi dengan night vision hingga bisa m elihat dengan jelas dalam kegelapan. ”Aku tidak tahu siapa kau. Tapi jelas kau m encari m asalah dengan orang yang salah,” kata Rachel. Walau ditodong tepat di keningnya, tapi Brad Greene bukanlah seorang anak kecil yang ketakutan saat diancam akan dipukul oleh anak yang lebih besar. Pengalam an 155



selam a puluhan tahun m enjadi agen CIA m em buatnya siap menghadapi situasi apa pun, termasuk ditodong senjata api di kepalanya. ”Tembak aku, dan kau tidak akan bertemu lagi dengan ibum u untuk selam anya,” ujar Brad m encoba bersikap tenang. ”Tidak m asalah... Aku sudah tahu di m ana Mam a sekarang. Salah seorang anak buahm u sudah buka m ulut.” Rachel sem akin m endekat, hingga sekarang dia hanya berjarak kurang dari satu m eter dari Brad. Pistolnya ham pir m enem pel di kening m antan agen CIA itu. ”Tunggu... Kau tidak akan m em bunuhku jika tahu apa yang bisa kuceritakan untukm u,” kata Brad. Dia m ulai panik. Tentu saja, sebab kartu As-nya, yaitu keberadaan ibu Rachel, telah diketahui gadis itu. ”Cerita apa? J angan m em bual!” ”Ini benar! Kau sedang mencari markas kelompok Oni, kan? Aku bisa m em beritahum u di m ana m arkasnya...” ”Bullshit! Apa itu kelom pok Oni?” ”J angan bohong. Aku tahu siapa kau, dan siapa kelom pok di belakangm u. Kau sedang m encari m arkas kelompok Oni untuk menyelamatkan temanmu, kan? Aku baru saja bertemu dengan ketua kelompok Oni di markas m ereka.” Rachel agak m engendurkan todongannya. Dia m undur berberapa langkah. ”Di m ana m arkas Oni?” tanyanya. ”Kaukira aku bodoh? Kau akan m enem bakku setelah kuberitahu, kan?” ”Kalau begitu aku akan m enem bakm u sekarang juga.” 156



”Tidak akan. Aku tahu kau sangat ingin mencari temanm u itu. Dan kelihatannya hanya aku yang bisa jadi petunjuk jalanm u saat ini.” Rachel terdiam sebentar m endengar ucapan Brad. Sejurus kem udian dia m enurunkan pistolnya. ”Apa m aum u?” tanya gadis itu. *** Lim a belas m enit kem udian, Widya dibawa oleh para penculiknya ke dalam sebuah m obil sport yang telah menunggu di depan rumah tempatnya ditahan. Dia duduk di jok belakang, tanpa diikat dan ditutup matanya. Mobil pun berjalan cepat m enem bus hujan yang m asih turun walau sudah tidak deras lagi. Widya mengamati sopir mobil di depannya. Suasana di dalam m obil gelap sehingga dia tidak bisa m engenali siapa sopir m obil yang m em akai topi bisbol itu, apalagi dari belakang. Tapi wanita itu berpikir, m ungkin sopir m obil itu adalah salah satu anak buah Brad. ”Kau tahu di m ana rum ahku?” tanya Widya. Sopir m obil itu m engangguk pelan. Sekitar setengah jam perjalanan, Widya telah sam pai di depan pintu rumahnya. Dia segera membuka pintu mobil, dan langsung membuka pagar rumah, tanpa memedulikan m obil dan sopirnya. Saat Widya telah m em buka pintu pagar dan akan m asuk... ”Mam a!” 157



Widya kontan menoleh ke belakang, dan melihat sopir m obil yang tadi m engantarnya telah berdiri di belakangnya. Di bawah guyuran hujan, terlihat jelas wajah si sopir yang ternyata seorang gadis. Topi yang dikenakannya telah dilepas hingga rambutnya yang panjang tergerai berm andikan air hujan. ”Mam a... Mam a m asih kenal aku, kan?” Suara itu... suara yang pernah didengar Widya dalam m im pinya saat dia m asih kom a. Suara yang dulu selalu m enem aninya dan m em berinya sem angat untuk terus bertahan hidup. Suara yang ingin didengarnya lagi setelah dia bangun dari tidur panjangnya. Suara itu... ”Ra... Rachel?”



158



Delapan Belas



”KAU m au pergi lagi?” Rachel yang baru saja menyelesaikan makan malamnya m engangguk. ”Rachel harus pergi, Ma. Rachel harus menemukan dan m enyelam atkan Riva,” ujar Rachel. Widya memandang Rachel dengan perasaan sendu. Dia baru bertem u kem bali dengan anaknya itu setelah lebih dari sepuluh tahun kom a, dan sekarang buah hatinya itu akan pergi, dan m ungkin tidak akan kem bali lagi. ”Tapi... itu sangat berbahaya. Kau bisa terluka, atau bahkan terbunuh,” kata Widya. Sebagai jawaban, Rachel bersim puh di depan Widya. ”Riva adalah sahabat Rachel. Dia udah banyak m em bantu Rachel, membantu Mama, juga keluarga kita. Riva juga udah kehilangan kedua orangtuanya. J adi Rachel 159



harus m em bantu dia, m enyelam atkan dia. Rachel harap Mam a bisa m engerti,” ujar Rachel. ”Mam a m engerti... tapi Mam a nggak m au kehilangan kam u lagi. Cum a kam u satu-satunya harta Mam a yang paling berharga di dunia ini.” ”Nggak akan, Ma. Rachel janji akan segera kem bali setelah m enyelam atkan Riva. Mam a harus percaya pada Rachel.” ”Tapi kau udah janji nggak akan m em bunuh lagi.” ”Mama jangan kuatir... Rachel udah lama berhenti jadi pem bunuh bayaran. Dan sekarang, Rachel hanya m em bunuh jika terpaksa dan nggak ada jalan lain. Rachel cum a ingin m enyelam atkan Riva. J ika itu bisa Rachel lakukan tanpa harus m em bunuh, akan Rachel lakukan. Rachel berjanji pada Mama, Rachel akan menghindarkan jatuhnya korban sebisa m ungkin.” Widya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya m enatap wajah Rachel sam bil m em belai ram but anaknya yang m asih sedikit basah. ”Rachel pergi sekarang,” kata Rachel sam bil berdiri kem bali. ”Bagaimana kalau orang yang menculik Mama kembali ke sini?” tanya Widya. ”Mam a nggak usah kuatir. Mereka nggak akan m engusik Mam a lagi.” ”Kau...” Widya m enatap anaknya. ”Kau bekerja sam a dengan m antan agen CIA itu?” ”Mam a...Rachel nggak bodoh. Rachel hanya m em anfaatkan dia. Dia bisa m em bantu Rachel m enem ukan Riva.” 160



”Apa im balannya? Tidak m ungkin dia m au m em bantu kam u tanpa m engharapkan im balan. Mam a kenal orang itu.” ”Mam a benar. Tapi im balan yang dia m inta tidak berarti bagi kita. Pokoknya Mam a tenang aja. Rachel kan udah janji bakal balik lagi ke sini kalo Riva udah berhasil diselam atkan. Rachel nggak akan bohong. Rachel pasti kem bali.” Widya m enghela napasnya m endengar ucapan Rachel. ”Baiklah... Mam a juga kenal Riva. Dia anak yang baik. Kau boleh pergi tapi hati-hati. Dan ingat pesan Mam a, jangan jadi pem bunuh, dan cepat kem bali bila sem ua urusan telah selesai.” Rachel tersenyum m endengar ucapan m am anya. ”Pasti, Ma... Rachel akan selalu ingat pesan Mam a.” ”Barang-barangm u?” ”Udah ada di m obil.” *** Saat mengantarkan Rachel ke pintu depan, Widya meraih tas tangannya dan m erogoh tasnya itu. ”Rachel...” ”Iya, Ma...” Saat Rachel berbalik, Widya m enem pelkan alat kejut listrik yang disimpannya dalam tas ke leher putrinya. Alat yang biasanya digunakan untuk m elindungi wanita dari hal-hal yang tidak diinginkan itu mengalirkan listrik bertegangan tinggi, m em buat Rachel terkejut. ”Ma...” 161



Sebelum Rachel sem pat berbuat sesuatu, Widya kem bali m enem pelkan alat kejut listrik ke leher anaknya. Kejutan kali ini m em buat Rachel langsung tersungkur lem as. Maafkan Mam a, Nak. Kam u boleh m arah dan bilang Mam a egois, tapi Mam a nggak m au kehilangan kam u lagi! batin Widya. ”Neng Rachel kenapa?” tanya Bi Popon yang dipanggil Widya. ”Nggak apa-apa, Bi. Cepat bantu saya m enggotong dia ke sofa,” perintah Widya. *** Atas perm intaan Widya, polisi datang dan m enangkap Rachel. Bagi Widya, dia lebih baik m elihat anaknya berada di dalam penjara daripada harus melihat anaknya berada di dalam peti jenazah, atau di rum ah sakit. Maafkan Mam a, Nak! Mam a say ang sam a kam u dan nggak m au kehilangan kam u! Sam pai tidur, pikiran Widya m asih terus terbayang wajah Rachel. Wajah yang baru saja dilihat dan disentuhnya secara langsung beberapa jam yang lalu setelah berpisah selam a lebih dari sepuluh tahun. Dan dem i m em pertahankan wajah yang sangat disayanginya itu, Widya rela berbuat apa saja, walau harus m enghadapi pilihan yang sulit. Suara HP yang diletakkan Widya berada di sebelah bantal tem pat tidurnya berbunyi. Ada SMS m asuk. 162



Siapa y ang kirim SMS m alam -m alam begini? tanya Widya dalam hati. Sekarang sudah ham pir jam satu dini hari. Widya m engam bil HP-nya dan m elihat si pengirim SMS. Nom or yang tidak dikenal! Walau Rachel kesal dng apa yg Mama lakukan pd Rachel tadi, tp Rachel nggak mrh ama Mama. Rachel ttp akn pergi malam ini utk nyelamatin Riva, stlh ini br Rachel akn kmbl ke sisi Mama. Doakan Rachel selalu... Rachel! Entah dengan cara apa, tapi dia berhasil kabur dari polisi! batin Widya. Sejurus kem udian wanita itu m endengar suara sirene dari jauh, yang makin lama makin mendekati rumahnya, lalu berhenti. Widya m endekati jendela kam ar yang m enghadap ke halam an dan m elihat kerlap-kerlip lam pu m obil patroli polisi terparkir di depan rum ah. Beberapa polisi terlihat m encoba m em buka pintu pagar. Mereka pasti datang untuk m encari Rachel! batinnya. Widya segera m enghapus SMS Rachel. Dia tidak ingin petugas polisi m enem ukan SMS tersebut Hati-hati, Nak, dan cepat kem bali. Doa Mam a akan selalu m engiringim u! batin Widya, lalu beranjak keluar kam ar. *** ”Kau akan menepati janjimu?” tanya Brad pada Rachel di 163



dalam m obil. Dia m engem udi, sedang Rachel duduk di sam pingnya. ”Aku janji akan melepaskanmu setelah kauantar aku ke markas kelompok Oni, dan pasti akan kulakukan itu. Tapi kalau kau bohong, aku bisa m encari dan m enem ukanm u dengan m udah,” jawab Rachel. Brad diam m endengar jawaban Rachel. ”Kau bilang baru saja lolos dari tangkapan polisi. Mereka pasti sedang mencarimu di mana-mana, termasuk di bandara. Kita tidak bisa keluar dari negara ini lewat udara,” ujar Brad. ”J angan kuatirkan itu. Aku hanya perlu tahu ke m ana negara tujuan kita,” sahut Rachel. Brad tidak m enjawab pertanyaan Rachel. ”Kalau aku tidak tahu kita akan ke m ana, aku juga tidak tahu dengan cara apa kita bisa keluar dari Indonesia,” ujar Rachel. Mendengar itu, Brad menghela napas, lalu mulai berbicara. ”Kurasa kita kem bali ke kam pung halam anm u, tem pat kau dibesarkan,” ujar Brad akhirnya. ”Maksudm u, kita ke Am erika?” tanya Rachel. ”Apa kau dibesarkan di sana? Kau kan masih kecil saat berada di DC.” Mendengar ucapan Brad, Rachel m em belalakkan m ata. ”J adi… m arkas Oni m asih ada di J epang?”



164



Sembilan Belas



P



ULAU KITAGAI, sebuah pulau kecil di Utara J epang. Salah satu pulau di J epang yang telah m enjadi hak m ilik seseoran g yan g m am pu m en geluarkan uan g sen ilai m iliaran yen hanya untuk m em beli sebuah pulau kecil. Den gan luas kuran g-lebih sam a den gan luas Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur, Indonesia, Pulau Kitagai sebagian besar alam nya terdiri atas bukit-bukit rendah dengan didom inasi vegetasi rum put dan padang ilalang yang luas totalnya mencapai kurang-lebih 80 % keseluruhan vegetasi di pulau tersebut. Yang m enonjol dan m enarik perhatian dari Pulau Kitagai adalah sebuah kastil yang berdiri di tengah-tengah pulau. Kastil yang punya arsitektur seperti kastil-kastil kuno di daratan Eropa itu terlihat masih utuh dan berdiri dengan kokoh. Adanya kastil di pulau Kitagai karena pulau itu dulunya 165



berada dalam wilayah Rusia. Pada masa kekuasaan Tsar, pulau yang dulunya bernama Pulau Cherep (yang artinya Pulau Tengkorak dalam Bahasa Rusia) merupakan tempat pembuangan tahanan pemerintah yang dianggap penjahat berbahaya, dengan kastil di tengah pulau sebagai penjara utam a. Karena itu, di sekitar kastil terdapat sisa-sisa bangunan yang m erupakan bekas tem pat tinggal para penjaga penjara serta bangunan pendukung lain. Setelah Revolusi Rusia tahun 1917 yang m engubah sistem pem erintahan Tsar menjadi pemerintahan Sosialis Uni Sovyet, Pulau Cherep tidak lagi dijadikan penjara, dan dibiarkan kosong tidak berpenghuni. Saat pecah Perang Dunia II, militer J epang menduduki Pulau Cherep dan menjadikannya bagian wilayah J epang. Anehnya, pihak Uni Sovyet dan Rusia sekarang tidak berusaha mengambil kembali pulau yang sebetulnya menjadi haknya, sehingga sam pai saat ini, Pulau Cherep tetap m enjadi bagian teritorial J epang. Nam anya pun berubah m enjadi Pulau Kitagai yang artinya ”pulau terluar di bagian utara J epang”. Dan seperti juga pihak Rusia dulu, pihak J epang pun m em biarkan Pulau Kitagai seperti apa adanya. Hanya sesekali ada patroli dari Angkatan Laut J epang yang m elewati wilayah pantai Pulau Kitagai. Pagi itu sebuah kapal m esin m erapat di satu-satunya derm aga yang terdapat di pulau Kitagai. Dari kapal berukuran sedang tersebut keluar puluhan orang, sebagian besar berpakaian ala ninja dengan warna berbeda-beda. Mereka berbaris, lalu bersam a-sam a berjalan m enelusuri jalan setapak, ke arah kastil yang berada di puncak bukit kecil. 166



Aktivitas para ninja itu diamati seseorang yang bersembunyi di atas bukit, di balik reruntuhan bangunan yang banyak tersebar di berbagai penjuru pulau. Ada lebih dari dua puluh orang Onim usha y ang baru saja datang! batin Rachel. Onim usha adalah nam a untuk m enyebut prajurit Oni. Arti hariahnya adalah Prajurit Setan. Sedang untuk para pembunuh bayaran seperti Kenji, The Twins, dan lain-lain disebut Onikira. J ika benar ini Oni Tera, pasti ada ratusan Onim usha dan m ungkin puluhan Onikira di sana. Rachel bisa dibantai sebelum sem pat m enem ukan Riva. Rachel m engeluarkan PDA-nya. Di PDA itu terdapat blueprint digital kastil yang ada di Pulau Kitagai, yang didapatnya dari Zig. ”J angan tanya dari m ana aku m endapatkannya,” kata Zig waktu itu. Setelah m elihat sejenak blueprint di PDA-nya, Rachel m enentukan rencana untuk m asuk ke kastil dan m enyelam atkan Riva. Aku harus tidak terlihat! batinnya. *** Saat sadar dari pingsannya, Riva m endapati dirinya berada di dalam sebuah ruangan yang sangat terang. Ruangan yang tidak begitu luas itu m irip ruangan kantor; berAC, dengan m eja dan kursi di salah satu sisi ruangan. Riva sendiri tergeletak di lantai. Di m ana gue? tanya Riva dalam hati, sambil memegang 167



kepalanya yang masih agak pusing. Riva ingat tadinya dia berada di kam ar hotel di Singapura, dan ada seseorang yang m enyentuh lehernya, lalu dia tidak ingat apa-apa lagi. Riva m encoba berdiri. Kem udian dia m elangkah ke pintu ruangan yang kelihatannya terbuat dari logam. Tapi tidak ada satu pun pegangan pintu yang bisa digunakan untuk membuka pintu tersebut. Kelihatannya pintu ruangan ini m enggunakan kunci elektronik yang hanya bisa dibuka dengan m enggunakan kartu, kata sandi, atau sejenisnya, tidak bisa dibuka secara m anual. Sialan! sungut Riva. Riva m engalihkan pandangan ke sekeliling ruangan. Selain meja dan kursi, tidak ada lagi benda lain di ruangan ini. Saat itulah gadis itu baru m enyadari bahwa di atas m eja dari alum inium itu terdapat dua potong sandw ich dan sebotol sedang air m ineral. Spontan Riva m em egang perutnya. Dia baru m erasa bahwa perutnya saat ini lapar. Kelihatannya, sandw ich serta m inum an di atas m eja itu benar-benar disediakan untuk dirinya. Perlahan, Riva mendekati m eja dan m engam bil sepotong sandw ich. Setelah m em buka plastik pem bungkusnya, dia m engam ati sandw ich yang dipegangnya sebentar, m elihat isi di dalam nya sam bil berpikir, apa dia akan m em akannya atau tidak. Kalo m ereka berniat m em bunuh gue, pasti udah m ereka lakukan dari tadi! pikir Riva. Karena itu, dia berpikir sandw ich di hadapannya pasti am an untuk dim akan.



***



168



Sejak m endarat di Pulau Kitagai pagi tadi, Saka sudah m erasa apa yang dilakukannya ini tergolong nekat dan berbahaya. Nekat, karena tanpa persiapan dan rencana yang m atang, dia m endatangi m arkas besar salah satu organisasi pem bunuh bayaran yang paling tua dan terkenal di kalangan dunia hitam. Berbahaya karena dia bisa saja terluka atau bahkan kehilangan nyawa. Tapi inform asi m engenai keberadaan m arkas Oni m em ang sulit untuk dilupakan. Apalagi untuk inform asi seperti itulah Saka sam pai m engorbankan sem uanya, term asuk kariernya di kepolisian. Saka yakin, m enem ukan m arkas Oni bisa merupakan petunjuk untuk menemukan keberadaan Riva, apalagi setelah dia m engetahui sejarah kelom pok tersebut dan hubungannya dengan silsilah m asa lalu sepupunya itu. Karena itu, begitu Profesor Masaro m em beritahu tentang Pulau Kitagai yang diduga m erupakan markas kelompok Oni, Saka tidak mau membuang waktu lagi. Dengan persiapan seadanya dia m endatangi pulau yang terletak di ujung utara J epang itu. Sendiri, tanpa tem an, apalagi bala bantuan. Tujuan Saka hanya satu, m enyelam atkan Riva dan m em bawa gadis itu kem bali pulang ke rum ahnya dengan selam at. Sebetulnya bukannya Saka tidak berusaha m em bawa bala bantuan. Melalui Erwin, dia telah m em inta bantuan Interpol. Tapi Interpol tidak punya personil yang cukup untuk menghadapi kelompok Oni. Saka coba minta bantuan pada Kepolisian J epang, tapi juga terhalang prosedur yang berbelit-belit. Polisi J epang tidak m au m enangkap anggota kelom pok Oni dengan alasan belum ada bukti yang kuat. Dan Saka tidak bisa m enunggu lam a. Dia 169



harus m enem ukan Riva secepatnya atau sem uanya akan terlam bat. *** Melalui sungai kecil yang berfungsi sebagai saluran air dari dalam kastil, Rachel m enyusup m asuk ke dalam bangunan yang berusia lebih dari dua abad itu. Saluran air itu bukan tanpa penjagaan. Di salah satu sisi tem pat terdapat pintu m enuju ke dalam kastil terdapat dua Onim usha yang berjaga. Tapi keduanya dapat dilum puhkan dengan m udah oleh Mawar Merah. Pintu itu pun tidak dikunci, hingga dapat dibuka dengan m udah. Sebuah tangga terbuat dari batu m em anjang ke atas. Ujung tangga itu tidak kelihatan dari bawah, apalagi tidak ada penerangan sam a sekali di sepanjang tangga yang m elingkar itu. Rachel keluar di sudut sebuah lorong yang sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat. Dia melihat kembali PDAnya. Sekitar dua puluh m eter di depan kita ada beberapa ruangan! Sebaikny a aku m ulai dari situ! batin Rachel. Rachel berjongkok di depan lubang tempat mereka keluar tadi. Dia menempelkan sebuah bom mini yang dipicu oleh sensor gerakan. Oke... beres! kata Rachel dalam hati. *** Riva bersam a pria berbadan besar yang m engawalnya 170



keluar dari lift. Mereka berdua kem udian berjalan m enyusuri lorong yang sepi dan dingin, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah pintu dengan sebuah panel elektronik di sisi kanannya. Pria berbadan besar itu berbicara di depan sebuah panel berm ikrofon di depannya. ”Dia sudah datang,” Sebagai jawaban, pintu di depannya bergeser seperti pintu lift. Pria berbadan besar itu m enggam it lengan Riva, sebagai isyarat untuk m asuk. Ruangan yang m ereka m asuki ternyata ruang kerja seperti kantor-kantor lain yang pernah dilihat Riva sebelum nya. Hanya saja ruangan ini desainnya terkesan futuristis, dengan warna perak m endom inasi ruangan. Sebuah layar m onitor raksasa yang tersusun atas beberapa layar m onitor berukuran lebih kecil m enem pel di salah satu sudut ruangan. J endela ruangan tertutup tirai yang tebal hingga Riva tidak bisa m em astikan apakah sekarang m alam atau siang. Seorang pria berbadan tinggi dan beram but pirang terlihat berdiri m enghadap ke jendela. Tapi tidak lam a, karena begitu m enyadari kedatangan Riva, pria itu m enoleh ke arahnya. Saat itulah Riva bisa m elihat wajah pria tersebut. Tenang, tapi terkesan dingin. ”Selamat datang Nona Nissho... atau boleh aku panggil Riva?” sapa Henry Keisp m enyam but kedatangan tam unya. Riva belum pernah bertemu atau melihat wajah Henry Keisp sebelum nya, jadi dia tidak tahu siapa yang berdiri di hadapannya. 171



”J am berapa sekarang?” Itulah pertanyaan pertam a yang terlontar dari m ulut gadis itu. Henry m elihat jam tangannya. ”J am lim a lebih seperem pat,” jawabnya. ”J am lim a sore?” ”J am lim a pagi, Nona.” J am lim a pagi? Riva m enatap Henry dengan heran. Apa tidak salah? Sekarang jam lim a pagi, dan pria yang berdiri di hadapannya ini berpakaian rapi, m em akai setelan jas berwarna putih seperti layaknya seorang pekerja kantoran? Keheranan Riva pasti m akin bertam bah kalau dia tahu hari ini adalah hari Minggu yang m erupakan hari libur akhir pekan. ”Nam aku bukan Nissho. Nam aku Riva. Rivania Perm ata,” tukas Riva. Henry hanya mengangkat bahu, tidak menanggapi lebih jauh ucapan gadis itu. ”Maaf... saya lupa mempersilakan Nona duduk dan menawarkan m inum an. Silakan duduk, Nona. Anda ingin minum apa? Di sini juga ada softdrink,” Henry mempersilakan Riva duduk di sofa yang berada di ruang tersebut. Tapi Riva tetap bergem ing di tem patnya. ”Nona Riva...” ”Langsung aja! Siapa kau, dan di m ana aku? Kenapa aku dibawa ke sini?” potong Riva. ”Anda berada di tem pat yang am an, Nona.” ”Tem pat yang am an? Aku m endengar kalim at itu berkali-kali, tapi sampai saat ini rasanya nyawaku tetap saja terancam .” 172



”Tidak di sini. Tidak akan ada yang berani m enyentuh Anda di sini.” ”Oya? Kenapa?” ”Karena...” Henry tidak m elanjutkan ucapannya. Dia m enatap tajam pada Riva. ”Karena Anda berada di dalam rum ah Anda sendiri,” tandas pria itu. Giliran Riva yang heran m endengar ucapan Henry. ”Apa m aksudm u?” tanya Riva. ”Nona Riva... Selam at datang di Oni Tera...” *** Suara gerakan orang terdengar jelas oleh telinga Rachel yang terlatih. Saat dia m enoleh ke belakang, dua Onimusha berlari ke arahnya dalam posisi menyerang menggunakan shinobigatana. ”Shit!” Rachel cepat m encabut pistolnya yang m enggunakan peredam suara. Dua tembakan, dan dua orang penyerangnya langsung roboh ke lantai. Tapi gadis itu belum bisa bernapas lega, karena saat itu m uncul em pat Onim usha dari arah koridor di dekat m ereka, m enyerang dengan kecepatan tinggi. Gerakan keem patnya yang lebih cepat dari rekan m ereka yang pertam a ditam bah dengan jarak yang lebih pendek membuat Rachel tidak sempat melepaskan tem bakan. Rachel m engibaskan tangan kanan. Deru udara yang kencang keluar dan m enerjang para Onim usha yang m enyerangnya. Mereka pun terpental ke belakang. Belum 173



sempat keempatnya bangkit, Rachel telah berdiri di hadapan m ereka dan m elepaskan pukulan m em atikan secara beruntun pada setiap orang. Dari sudut m atanya, Rachel m elihat bayangan dari ujung koridor, mendekat ke arahnya. Dari bentuk bayangan dan suara yang terdengar, tam paknya kali ini jum lah Onim usha yang datang lebih banyak dari yang telah dihadapinya. Merasa tidak akan mampu menghadapi Onimusha yang datang dalam jum lah banyak, Rachel segera berlari m enghindar. Dia berlari ke arah ujung lain koridor. Shit! Kenapa m ereka bisa tahu?! tanya Rachel dalam hati. Di sudut koridor yang bercabang, Rachel m elihat peta di PDA-nya, lalu dia berbelok ke arah kanan. *** ”Oni Tera?” Riva m elihat ke sekelilingnya. Ruangan tem patnya berada sekarang lebih mirip ruang kerja seorang direktur sebuah perusahaan daripada markas organisasi pembunuh bayaran tertua di dunia. ”Saya m engerti apa yang ada di pikiran Nona. Nona pasti membayangkan bahwa Oni Tera adalah sebuah kuil, atau bangunan tradisional, dengan berbagai macam ornam en kuno. Bukan begitu?” Riva tidak m enjawab pertanyaan Henry. ”Zaman sudah berubah. Kita harus mengikuti perkem 174



bangan zam an, tapi tetap m em pertahankan tradisi yang ada,” lanjut Henry. ”J adi, ini Oni Tera?” tanya Riva akhirnya. ”Bukan di ruangan ini, tapi di suatu tem pat di dalam gedung ini.” ”Mem angnya sekarang kita berada di m ana? J epang?” Henry tertawa kecil m endengar ucapan Riva. ”Nona juga m asih m engira bahwa Oni Tera harus berada di J epang?” ”Di m ana kita?” ”London...” ”London?” *** Rachel sampai di ruang terbuka di tengah kastil, yang diduga m erupakan bekas tam an. Di m ana pintuny a? tanya gadis itu dalam hati. Dia m elihat PDA-nya Seharusny a ada pintu di situ, dan jalan m enuju ke saluran air di balikny a! batin Rachel. ”Kita bertem u lagi!” Sebuah suara terdengar di belakang Rachel. Saat dia menoleh, terlihat The Twins telah berdiri di belakangnya. Di belakang pria itu terdapat puluhan Onim usha bersenjata api lengkap. ”Kali ini kau tidak akan bisa lolos, Double M!” ujar The Twins. Tiba-tiba tem bok di belakang Rachel pecah. Rupanya 175



yang disangka tem bok oleh Rachel adalah sebuah pintu yang ditutup oleh papan tipis yang digambar menyerupai tem bok di sekelilingnya. Dengan ditutupi oleh sem ak belukar lebat di depannya, dari kejauhan tidak ada yang m enyangka itu adalah pintu yang tertutup papan tipis. Dari dalam ruangan, keluar puluhan Onimusha. Kali ini m ereka m enghunus shinobigatana. Sial! Aku dijebak! batin Rachel m arah. *** Di salah satu ruangan di dalam kastil, Kenji berdiri bersam a Marcelo ”Dia pasti bisa lolos,” kata Kenji. ”Kau masih meragukan kemampuan The Twins?” tanya Marcelo. ”The Twins m em ang hebat, tapi dia tidak akan bisa m engalahkan Rachel,” jawab Kenji. ”Biar aku yang urus dia.” ”J angan terlalu kuatir. Andaikata dia bisa mengalahkan The Twins, masih ada ratusan Onimusha yang mengepungnya. Sehebat-hebatnya Double M, dia tidak akan sanggup m elawan ratusan onim usha sekaligus,” tandas Marcelo. Lalu dia m elihat jam tangannya. ”Kita harus pergi sebelum terlam bat,” katanya. ”Apa kau benar-benar...” ”Ini keputusan Pemimpin Agung. Ingat, kau telah mengadakan perjanjian dengannya.” ”Aku tidak akan pergi sebelum sem uanya selesai.” Marcelo berjalan ke pinggir jendela. Dia m em andang 176



laut yang terham par luas, berkilau tertim pa sinar m atahari pagi. ”Kurang dari satu jam , polisi akan datang ke tem pat ini. Mungkin bersam a pasukan beladiri. Dan aku tidak m au berada di tem pat ini saat itu terjadi,” ujar Marcelo. Lalu dia m enoleh ke arah Kenji. ”Riwayat Oni sudah tamat. Kau tidak bisa berbuat apaapa lagi,” tandas Marcelo kem udian. ”Bagaim ana dengan m antan polisi itu?” tanya Kenji. ”Sepupu Nona Nissho? Mungkin dia nanti berguna untuk kita. Kudengar dia juga punya hubungan dekat dengan Double M.”



177



Dua Puluh



KEY TOWER



adalah gedung m egah yang terletak di distrik Canary Wharf, salah satu pusat bisnis di jantung kota London. Gedung itu merupakan kantor pusat KeyTel, per usahaan telekom unikasi dan m edia m ilik J onathan Keisp yang sekarang diteruskan oleh putranya. Walau selam a bertahun-tahun J onathan Keisp lebih suka m engendalikan perusahaannya dari kapal pesiarnya yang mewah daripada di gedung ini, tapi sebagian operasional per usahaan tetap berada di gedung yang m em iliki 76 lantai itu. Saat Henry Keisp m enggantikan ayahnya, seluruh aktivitas perusahaan kem bali dilakukan di Key Tower. Di Key Tower-lah sekarang Riva berada, bersam a dengan Henry Keisp. Tidak ada yang m enyangka, bahwa gedung yang sehari-harinya berfungsi sebagai kantor 178



salah satu perusahaan telekom unikasi terbesar di dunia ternyata juga m erupakan m arkas besar kelom pok pem bunuh bayaran tertua di dunia. Setidaknya jika apa yang dikatakan oleh Henry itu benar. Saat keluar dari lift yang m em bawanya ke lantai 75, kekaguman sudah menyelimuti Riva. Tidak seperti lantailantai sebelumnya yang interior ruangannya ditata seperti interior kantor pada um um nya, di lantai 75 ini, interior koridor ditata dengan gaya arsitektur J epang, lengkap dengan lukisan yang tergantung di dinding dan rangkaian ikebana 13 di sepanjang koridor. Riva berjalan di belakang Henry, dan seorang pengawal Henry di belakang dirinya. Henry berhenti di depan sebuah pintu berukuran lebar dengan gaya arsitektur J epang. Walau begitu pintu itu dilengkapi dengan kunci elektronik yang hanya dapat dibuka m elalui pengenalan telapak tangan. Begitu pintu terbuka, kekagum an Riva sem akin bertam bah. Di hadapannya kini terbentang sebuah ruangan yang interiornya m irip interior kuil kuno di J epang. Lantainya beralaskan kayu, dengan sebuah karpet berwarna m erah m em bentuk jalan setapak tergelar dari depan pintu hingga sisi lain aula yang m em bentuk altar pem ujaan. Sebuah kursi terbuat dari kayu berukir em as terdapat di tengah altar, dan sebuah kaldron 14 kecil terdapat di sisi kanan kursi itu. Kaldron itu terlihat kosong, tidak terdapat api m enyala di tengahnya.



13 Seni merangkai bunga dari Jepang yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumputrumputan, dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. 14



Tempat nyala api berbentuk seperti tungku atau obor raksasa.



179



Inikah y ang dinam akan Oni Tera? Markas besar kelom pok Oni? batin Riva. Ada beberapa keanehan yang berkecam uk di benak Riva. J ika benar ini Oni Tera, apa ukuran ruangannya tidak terlalu kecil? Ruangan yang berada di hadapannya ini m em ang cukup luas, kira-kira sam a dengan luas lapangan basket. Tapi anggota Oni kabarnya berjum lah sam pai ribuan. J ika setengah saja dari seluruh anggota datang, apa bisa m asuk sem ua? Keanehan lain, Oni Tera terletak di puncak sebuah gedung bertingkat yang terletak di salah satu pusat bisnis paling ram ai di Eropa, bahkan dunia. Kehadiran ratusan, atau bahkan ribuan anggota Oni ke gedung ini akan m en arik perhatian , m inim al perhatian m ereka yang bekerja di gedung ini. J ika ingin m erahasiakan keberadaan kelom pok Oni, di sini bukan tem pat yang tepat untuk itu. Satu lagi dan yang menjadi pertanyaan besar Riva dari tadi, kelom pok Oni berasal dari J epang, didirikan oleh orang J epang, dan sebagian besar anggotanya berasal dari J epang. Tapi kenapa Oni Tera ada di sebuah negeri asing yang berjarak puluhan ribu kilometer dari negeri asalnya? Lalu apa hubungan Henry Keisp dengan kelom pok Oni? Apa dia m erupakan salah satu anggota kelom pok tersebut? Henry m em beri tanda pada Riva untuk m asuk. ”Kau anggota kelom pok Oni?” tanya Riva. ”Apa itu penting?” ”Tapi Oni Tera bisa ada di sini. Bukannya seharusnya ada di J epang?” 180



”Saya tidak m elihat suatu keharusan Oni Tera berada di negeri asalnya.” Henry m enoleh ke arah Riva. ”Boleh dibilang saya punya hubungan istimewa dengan kelom pok Oni, walau saya bukan anggota kelom pok tersebut. Saya bukan pem bunuh bayaran seperti m ereka,” katanya. Riva m endekati altar. ”Ruangan ini, terlalu sempit untuk jadi markas kelom pok Oni. Saya dengar anggota kelom pok Oni m encapai ribuan,” kata Riva. ”Kemajuan teknologi memungkinkan segalanya, Nona,” tukas Henry. ”Maksudnya?” ”Dulu, untuk m enyam paikan pesan atau tugas pada anggota kelompok, hanya bisa melalui kurir, atau anggota kelom pok tersebut datang m enerim a pesan. Tapi sekarang, hanya dengan menekan satu tombol pada key board, pesan dari kelom pok bisa diterim a oleh ribuan anggota sekaligus. J adi untuk apa lagi m arkas yang besar, yang hanya m em bahayakan kepentingan kelom pok?” Henry m enjelaskan. ”Lalu bagaim ana dengan segala m acam ritual kelom pok?” Riva ingat, Kenji pernah memberitahu dia soal berbagai ritual dan tradisi dalam kelom pok Oni. ”Ritual seperti itu tidak wajib. Boleh tidak dilaksanakan bila keadaan tidak m em ungkinkan. Dan dalam kondisi seperti saat ini, saya rasa lebih baik kita m em ikirkan hal 181



lain yang lebih penting daripada sekadar memikirkan soal ritual atau tradisi.” Riva m enoleh ke arah Henry. ”Oke... sekarang apa alasan Anda m em bawa saya ke tem pat seperti ini? Apa yang Anda inginkan? Dan jika Anda punya hubungan dengan kelom pok Oni, saya juga ingin bertanya, m engapa kalian m enghancurkan hidup saya? Kalian m em bunuh kedua orangtua saya juga ingin membunuh saya? J ika itu yang diinginkan kelompok Oni, kenapa Anda tidak langsung m em bunuh saya?” Pertanyaan yang bertubi-tubi bagaikan rentetan tembakan senapan mesin itu tidak langsung dijawab oleh Henry. Sesaat dia hanya terdiam sam bil m enatap Riva. ”Hanya ada satu jawaban untuk sem ua pertanyaan Anda, Nona,” jawab Henry kemudian. Sedetik kemudian, pria itu berlutut di depan Riva dan menundukkan kepalanya. ”Kam i sem ua m enanti Anda... Sang Ketua Agung...,” tandas Henry. *** Lima unit perahu cepat milik Kepolisian J epang berlabuh di lepas pantai Pulau Kitagai. Mereka sedang m enunggu tiga kapal sejenis yang masih berada di belakang. Masingmasing kapal cepat tersebut mengangkut satu regu polisi khusus J epang. Detektif Polisi Aoshi Shigawa berada di salah satu kapal cepat. Matanya tidak lepas m em andang Pulau Kitagai di kejauhan. Sesekali dia m enggunakan teleskop binokular182



nya untuk m elihat daratan pulau tersebut dengan lebih jelas. Seorang petugas polisi lain berpakaian dinas mendekati Aoshi. ”Radar kita m enangkap sebuah kapal pen gan gkut barang berada empat mil dari sini, sedang menuju ke Pulau Kitagai,” lapor petugas polisi tersebut. ”Kapal barang? Apa nam a kapal itu? Sudah kirim petugas untuk m enyelidikinya?” tanya Aoshi. ”Kapal itu bernam a Shinm aru. Kam i baru m engam bil gambar kapal itu melalui helikopter,” jawab petugas polisi itu sam bil m em berikan sebuah PC tablet pada Aoshi. Shinm aru? batin Aoshi. Dia m erasa m engenal nam a kapal yang baru saja disebutkan. Cepat dia mengamati PC tablet yang diberikan pada dirinya dengan saksam a. Tidak salah lagi! ”Berapa lam a kapal lainnya akan tiba?” tanya Aoshi. ”Mungkin sekitar setengah jam lagi. Ada m asalah, Pak?” ”Ya. Masalah yang sangat besar jika kita tidak segera bertindak.” Aoshi segera bergegas pergi menuju anjungan. Dia akan m em inta pem im pin regu pasukan khusus kepolisian untuk m em percepat operasi yang akan dilakukan, sebelum terlam bat. Kapal Shinm aru adalah kapal pengangkut barang milik salah satu pemimpin Yakuza. Aoshi tahu pasti itu karena dia pernah m em im pin operasi penggeledahan barangbarang im por ilegal di kapal tersebut. Aoshi juga tahu, 183



tujuan kapal Shinm aru ke Pulau Kitagai bukan untuk m engantarkan barang. Akan terjadi bencana m engerikan bila pihak kepolisian tidak cepat-cepat m encegahnya. *** ”Tidak... aku tidak m au jadi ketua organisasi apa pun. Aku hanya ingin hidup sebagai m anusia biasa. Soal urusan kelom pok Oni, atau apa pun urusan kalian, aku tidak tahu dan tidak ingin tahu,” ujar Riva. ”Kau tidak bisa menghindar. Ini takdirmu, Nona,” balas Henry. Dia tidak lagi m em anggil Riva dengan panggilan Anda. ”Tapi aku bukan pem bunuh. Aku bahkan tidak bisa m em bunuh seekor lalat secara sengaja.” ”Tidak perlu bisa bermain basket untuk memimpin sebuah klub basket. Tidak perlu menjadi seorang pembunuh un tuk m en jadi ketua sebuah organ isasi pem bun uh bayaran. Lagi pula, tidak seperti bayanganm u, kau akan m em im pin kelom pok Oni dengan cara yang baru, yang sam a sekali berbeda dengan kepem im pinan sebelum nya.” ”Cara baru yang berbeda? Apa m aksudnya.” Henry m endekati Riva dan berdiri di depan gadis itu. ”Sekarang era m odern. Kelom pok Oni akan m em asuki era baru, tentu saja di bawah kepem im pinan baru. Kam i telah m em persiapkan segalanya,” tandas Henry.



184



Dua Puluh Satu



D u a p u lu h e m p a t ja m s e b e lu m n y a



S AKA bersam a



Prof. Masaro berada di dalam ruang tahan an den gan tin gkat keam an an m aksim um . Di hadapan m ereka duduk seorang pria berusia setengah bay a dengan ram but gondrongny a y ang sebagian sudah m em utih. Dia adalah Noboutso Am aki, salah seorang bekas pem bunuh bay aran kelom pok Oni. Am aki m eny erahkan diri ke polisi tiga tahun y ang lalu setelah m enjadi buronan selam a lebih dari dua puluh tahun, dan dijatuhi hukum an m ati oleh pengadilan. Tapi sam pai sekarang, dia belum juga dieksekusi. Sak a dan Prof. M asaro m en em u i Am ak i u n tu k m enge tahui lebih dalam soal keberadaan kelom pok Oni, ter utam a keberadaan m arkas m ereka sekarang.



185



”Pulau Kitagai?” Am aki m engerny itkan keningny a saat Saka m eny ebutkan nam a pulau tersebut. Inform asi m engenai keberadaan m arkas kelom pok Oni di Pulau Kitagai diperoleh Saka m elalui sebuah SMS dari pengirim tak dikenal. ”Siapa y ang m em beritahu kalian?” tany a Am aki. ”Seseorang m engirim pesan ke ponsel saya,” jawab Saka. ”Hm m m ...” Am aki hany a bergum am . ”Itu tidak m ungkin. Tidak m ungkin m arkas Oni ada di situ,” katany a kem udian. ”Kenapa? Kenapa tidak m ungkin?” tany a Saka. ”Anda m engetahui sesuatu?” Prof. Masaro ikut m engejar. Am aki bangkit dari posisi dudukny a di ranjang, lalu berjalan ke arah jeruji besi. ”Ya. Markas Oni tidak m ungkin ada di pulau itu, juga di m ana pun,” ujar Am aki. Lalu dia m enoleh ke arah Saka dan Prof. Masaro. ”Tidak m ungkin... karena kelom pok Oni sebenarny a sudah tidak ada...,” tandasny a. *** Rachel m em buka pertarungan dengan m enem bakkan pistolnya ke arah The Twins. Tapi sia-sia, karena The Twins m enghindar dengan sigap sehingga peluru m engenai salah seorang Onim usha di belakangnya. Salah seorang Onim usha m enem bakkan senjata oto186



m atisnya. Rentetan tem bakan terdengar keras. Untung Rachel sigap, dia meloncat sambil membalas si penembak. Seorang Onim usha pun kem bali roboh. ”Sudah kubilang jangan ada yang ikut cam pur sam pai aku perintahkan sebaliknya!” seru The Twins. Lalu dia m enoleh ke arah Rachel. ”Nah sekarang kita bisa bertarung dengan tenang,” sam bungnya. ”Dan bersiaplah untuk m ati!” seru The Twins, lalu m aju m enerjang ke arah Rachel, sem bari badannya ”terbelah” m enjadi dua. *** ”Kelom pok Oni m odern?” Henry m engangguk, m engiyakan ucapan Riva. ”Sama seperti organisasi modern lainnya. Kau tinggal diam di satu tempat, mengatur organisasi dan pengikutm u m elalui alat kom unikasi di hadapanm u. Lupakan soal ritual dan upacara kuno. Sem ua itu hanya m asa lalu.” ”Tapi apakah anggota kelom pok setuju? Anda akan m engubah tradisi sebuah organisasi yang udah berum ur ratusan tahun.” ”Mereka pasti setuju, jika kau yang m elakukan hal itu. Kau ketua mereka, dan mereka pasti akan mengikuti apa yang kaukatakan.” Henry menuju ke arah kaldron. Dia mengamati seluruh badan kaldron yang dipenuhi berbagai macam relief. Kedua tangan Henry lalu m em egang sepasang relief ber187



gam bar Tengu 15, yang berada di kedua sisi kaldron yang berlawanan. Secara bersam aan, kedua tangan itu lalu m enekan kedua relief lalu m em utarnya ke arah kanan. Tiba-tiba, lantai pada altar terbuka tepat di depan kursi singgasana. Dari dalam lantai keluar sebuah m eja logam . ”Dari sinilah kau akan m engendalikan kelom pok kita,” ujar Henry. Sebuah m onitor dengan teknologi layar sentuh tertanam di perm ukaan m eja. Riva dapat m elihat layar tersebut dipenuhi berbagai m acam tom bol sentuh dan inform asi yang sebagian tidak dim engerti olehnya. ”Melalui m eja itu, kau bisa berkom unikasi dengan seluruh anggota Oni di seluruh dunia, secara audio visual. Kau bisa m em beri perintah, tugas, atau bahkan m enghukum mereka yang melawan aturan kelompok. Kau juga bisa m endapatkan info lain dan segala sesuatu di dunia ini untuk kepentingan kelom pok. Pendeknya, tidak perlu lagi ada pertem uan langsung yang hanya m em boroskan waktu, tenaga, dan biaya. Semuanya bisa ditekan seeisien mungkin dengan hasil yang jauh lebih besar,” Henry menjelaskan. *** Saka terduduk lemas di sebuah ruangan yang sempit dan gelap, serta berbau tidak enak. Kepalanya m asih terasa 15 Makhluk mitologi Jepang. Tengu memiliki wajah merah dan hidung yang luar biasa panjang, mirip dengan Kera Bekantan. Tengu juga memiliki sepasang sayap, serta kuku kaki dan tangan yang sangat panjang.



188



sakit. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di dalam ruangan tersebut. Yang terakhir diingat Saka hanya saat dirinya m encoba m asuk ke kastil m elalui pintu belakang yang tidak ada penjaganya. Suasana lengang m em buat kewaspadaannya mengendur, hingga akhirnya Saka tidak m enyadari saat beberapa Onim usha m engepung dirinya. Saka mencoba melakukan perlawanan. Dia berhasil mengatasi para Onimusha, sampai kemudian muncul seseorang beram but gim bal yang m em punyai kem am puan di atas dirinya. Serangan orang itu membuat Saka tidak sadarkan diri. Ketika sadar, dirinya telah berada di dalam ruangan ini. Saka teringat ucapan Prof. Masaro saat dia memutuskan untuk pergi ke Pulau Kitagai, mengikuti keterangan yang didapatnya dari SMS dari orang yang tidak dikenalnya. ”Kau tahu tidak ada m arkas Oni di Pulau Kitagai. Itu jebakan. Tapi kenapa kau tetap akan pergi ke sana?” tany a Prof. Masaro. ”Jebakan atau bukan, pasti ada sesuatu di sana. Firasatku m engatakan, Riva ada di pulau itu,” jaw ab Saka. ”Bagaim ana jika tidak ada?” ”Paling tidak, aku akan m endapat inform asi. Mungkin inform asi m engenai keberadaan Riva, atau bahkan lokasi m arkas kelom pok Oni.” ”Tapi ini berbahay a...” Saka han y a tersen y um m en den gar ucapan Prof. Masaro. ”Saat ini ’bahay a’ sudah m enjadi tem anku, Profesor...,” ujar pem uda itu. 189



*** Saka baru akan mencoba bangkit, saat pintu ruangan terbuka. Kenji dan dua Onim usha m em asuki ruangan. ”Kau sudah sadar?” tanya Kenji sam bil m engham piri Saka. Sepertinya dia tidak perlu menunggu jawaban dari pertanyaannya itu, karena sedetik kem udian tangannya bergerak m em ukul tengkuk Saka, hingga dia kem bali jatuh pingsan. ”Bawa dia ke helikopter,” perintah Kenji kepada dua Onim usha di belakangnya. *** Melawan The Twins, Rachel sedikit kerepotan juga. Selain karena dari awal The Twins telah m engeluarkan ilm u m em belah dirinya, arena bertarung berupa koridor yang sem pit juga m em buat Rachel tidak leluasa bergerak. Saat tendangan The Twins berbaju hitam ham pir m engenai wajahnya, Rachel m undur beberapa langkah ke belakang. Belum sempat dia menarik napas, sebuah serangan dari The Twins yang asli telah m enunggunya. Rachel berkelit ke sam ping sam bil m enepis tendangan dari The Twins berbaju hitam yang m engarah ke perutnya. Saat dilihatnya ruang di belakang dirinya kosong, gadis itu pun m elakukan gerakan salto ke belakang, m em berinya jarak dan waktu jeda yang cukup untuk m enarik napas. Sial! Kalo terus-terusan kay ak gini lam a-lam a aku bakal kalah! batin Rachel. 190



Dilihatnya kedua The Twins yang sedang dalam posisi berdam pingan, bergerak ke arahnya. The Twins berbaju hitam lalu berlari menerjang lebih dulu. Rachel mengibaskan kedua tangannya, dan seketika itu juga The Twins berbaju hitam terjungkal ke belakang, sedang The Twins yang asli sedikit terdorong, tapi tetap dalam posisi berdiri. ”Heh… kau tidak akan bisa terus-terusan mengandalkan pukulan angin-m u...,” ujar The Twins. Ucapan The Twins benar. Setiap pukulan angin yang dilepaskan Rachel memerlukan tenaga dalam yang cukup besar. J ika Rachel sering melakukannya, tenaganya lamalam a akan terkuras. Sekarang saja, badan Rachel terasa m ulai lem as. ”J adi hanya segini kemampuan Double M yang terkenal itu? J angan malu-malu, keluarkan semua kemampuanmu. Pakai senjata juga boleh supaya kau tidak m ati penasaran,” ejek The Twins. Sempat terlintas dalam pikiran Rachel untuk menggunakan senjata, tapi lalu dia berpikir itu belum perlu. Lagi pula bukan masalah menggunakan senjata atau tidak, tapi ini soal kem am puan. Walau m enggunakan senjata, tapi kalau kem am puan bertarungnya m asih di bawah The Twins, tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Sebetulnya kem am puan bertarung Rachel dan The Twins setara. Bahkan boleh dibilang kem am puan Rachel sedikit di atas The Twins. Hanya saja The Twins memiliki ilm u aneh yang dapat m em bagi tubuhnya m enjadi dua, yang m asing-m asing punya kem am puan bertarung yang sam a dan bisa bergerak serta berpikir sendiri-sendiri. J adi Rachel seperti m enghadapi dua orang sekaligus. 191



Tapi sem ua ilm u pasti puny a kelem ahan. Hany a saja aku belum m enem ukan kelem ahan itu! batin Rachel. ”Kenapa? Ragu-ragu? J angan salahkan aku kalau aku keburu m em bunuhm u,” ejek The Twins lagi. Seusai berkata dem ikian, The Twins berbaju hitam m aju m enyerang Rachel. Kenapa selalu y ang hitam y ang m aju duluan? tanya Rachel dalam hati. Tangannya bergerak menangkis pukulan dari The Twins berbaju hitam , sem entara m atanya m elirik pada The Twins yang m asih berada di belakang. Dan tidak lam a kem udian, The Twins yang asli ikut m aju m enyerang Rachel. Kenapa tidak m aju bersam aan aja? Apa dia m em ang m em bagi tenagany a? Rachel m elom pat m enghindari tendangan The Twins berbaju hitam , sem entara The Twins asli m enyam butnya dengan pukulan ke arah kepalanya. Sam bil m elayang di udara, Rachel m em utar tubuhnya, hingga dia bisa m enghindari pukulan The Twins. Lalu dengan m enggunakan dinding koridor sebagai pijakan, dia m elakukan tendangan m em utar ke arah kepala The Twins asli. The Twins asli m enangkis tendangan Rachel, sem entara The Twins berbaju hitam m eloncat m elewati kepala The Twins asli sam bil m elayangkan tendangan. Rachel tidak m enduga bahwa The Twins berbaju hitam bakal melancarkan tendangan di udara dan tidak sempat mengelak. Akibatnya kaki kanan The Twins berbaju hitam m endarat m ulus di perut gadis itu dan m em buatnya terlem par sejauh ham pir sepuluh m eter. 192



Shit! Sam bil m enahan sakit di perutnya yang terasa ham pir pecah, Rachel mencoba bangkit. Tapi serangan dari kedua The Twins m engham pirinya. Rachel bisa m enghindar tendangan dari The Twins berbaju hitam , tapi tidak dari pukulan The Twins asli yang kali ini m enghantam telak wajahnya. Tubuhnya pun kem bali tersungkur. Darah keluar dari m ulutnya. ”Kelihatan n ya pertarun gan in i lebih cepat selesai daripada yang kubayangkan,” ejek The Twins. Serangan The Twins berhenti sejenak, membuat Rachel m endapat waktu untuk m engatur napas. Terpaksa aku m elakukan ini, atau aku akan m ati kony ol! batin Rachel. ”Ayo… keluarkan sem ua jurus andalanm u. Aku tidak p er ca ya Dou b le M h a n ya m em p u n ya i sa t u ju r u s andalan…” Rachel terdiam dalam posisi bersim puh, seolah-olah sedang m elakukan sesuatu. ”Apa yang kaulakukan? Apakah kau sedang berdoa sebelum kem atianm u?” Sesaat kem udian, baru The Twins tahu apa yang sedang dilakukan Rachel. Pelan-pelan dia m erasakan sesuatu di dadanya. Sesuatu yang m em buat jantungnya serasa berdebar lebih cepat daripada biasanya, hingga sem akin lam a m em buat dadanya terasa sakit. The Twins pun mulai meringis menahan sakit. Napasnya juga terasa m akin lam a m akin sesak. ”Kau… apa yang kaulakukan?” tanya The Twins sambil m enahan sakit. 193



Shunji, m aafkan Rachel karena telah m elanggar pesan Shunji, tapi Rachel nggak m au tew as di tem pat ini! batin Rachel sam bil terus berkonsentrasi. Dia tetap bersim puh sam bil m enatap The Twins. ”Sihir…,” um pat The Twins. Dia tidak m am pu berdiri lagi, dan jatuh terduduk di lantai sambil terus memegangi dadanya. The Twins sekarang m erasa jantungnya seperti direm as dengan kuat oleh sebuah tangan yang tidak kelihatan. Begitu kuatnya sehingga dia m erasa jantungnya sebentar lagi akan pecah. Keringat dingin keluar dari tubuh pria Brazil itu. The Twins berbaju hitam juga tibatiba m enghilang, m enyatu lagi ke dalam dirinya. Saat itu, tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga. Sakit di dada The Twins tiba-tiba berangsur-angsur menghilang. Napasnya juga mulai kembali lega. Hal yang aneh, bahkan bagi The Twins sendiri. Tadinya dia merasa dadanya akan sakit sam pai dia harus m eregang nyawa dengan jantung rem uk. The Twins melirik ke arah Rachel. Gadis itu bersimpuh dengan tangan m em egang tanah. Aku nggak kuat lagi! kata Rachel dalam hati. J urus yang baru dikeluarkannya memang membutuhkan banyak tenaga, dan karena sebagian tenaga Rachel telah terkuras dalam pertarun gan sebelum n ya, dia jadi keh abisan tenaga. Sekarang Rachel m engerti, kenapa alm arhum Shunji melarangnya menggunakan jurus ini dalam kondisi apa pun. Apalagi dia sebetulnya belum begitu menguasai jurus tersebut. Sekarang giliran Rachel yang tubuhnya basah berkeringat. Napasnya tersengal-sengal. Dia berusaha mengatur 194



aliran napas dan jalan darahnya, agar tenaganya bisa cepat pulih kem bali. The Twins rupanya tahu perubahan yang terjadi pada diri Rachel. Walau begitu, dirinya sendiri belum sepenuhnya pulih. Walau terputus di tengah jalan, tapi jurus yang dilancarkan Rachel bener-benar m elum puhkan ham pir seluruh bagian tubuhnya, dan The Twins butuh waktu untuk bisa pulih kem bali. Tiba-tiba The Twin s m en yerin gai. Sepertin ya dia menemukan cara untuk memenangi pertarungan ini. The Twins m em ejam kan m ata, dan sejurus kem udian The Twins berbaju hitam m uncul kem bali dari dalam tubuhnya. Tidak seperti tuannya, The Twins berbaju hitam bisa langsung berdiri dengan tegap, seolah tidak terpengaruh jurus yang dilancarkan oleh Rachel. ”Biar dia yang akan menuntaskan semua ini,” ujar The Twins di tengah-tengah seringainya. The Twins berbaju hitam berjalan dengan tenang m enuju Rachel yang m asih bersim puh, seakan tahu bahwa lawannya itu m asih dalam keadaan tidak berdaya. Saat berada di depan Rachel, The Twins berbaju hitam tersenyum m enyeringai, seperti tuannya. Dia lalu m engangkat tangan kanannya dan mengepalkan telapak tangan dengan kuat, siap menghantam kepala Rachel dan menghunjam kannya ke bum i. Saat tangan kanan The Twins berbaju hitam m eluncur ke arah kepala Rachel, gadis itu tiba-tiba m enengadah. Lalu dengan gerakan yang cepat, Rachel berguling ke samping untuk m enghindari pukulan The Twins berbaju hitam . Tidak hanya itu. Sam bil berguling, Rachel juga 195



m engayunkan kaki kanannya, m enendang perut The Twins berbaju hitam. Tendangan itu membuat The Twins berbaju hitam sedikit m enunduk. Rachel cepat bangkit. Sebelum The Twins berbaju hitam bisa menguasai dirinya, kedua tangan gadis itu mencengkeram pundak lawannya, dan m endorong ke depan hingga The Twins berbaju hitam nyaris terjungkal jatuh. Kemudian, dengan cepat Rachel melepaskan dua pukulan dan dua tendangan beruntun, dan akhirnya sebuah tendangan lurus m endorong tubuh The Twins berbaju hitam ke arah jendela. Saat itulah suatu keanehan terjadi. Tubuh The Twins berbaju hitam yang terem pas ke jendela tiba-tiba m engeluarkan asap. Tubuh itu juga seperti terpaku di jendela, tidak bisa melepaskan diri. Sinar m atahari yang m asuk m elalui jendela seperti m em bakar tubuh The Twins berbaju hitam . Tidak berapa lam a, tubuh The Twins berbaju hitam m em udar, hingga akhirnya m enghilang tanpa bekas. ”Sudah aku duga… Makum ba 16 , ilm u kegelapan,” gumam Rachel dengan napas tersengal-sengal. Dia lalu menoleh ke arah The Twins yang m asih duduk bersim puh. ”Kau m em ang hebat, tapi sayang kau berpihak pada pihak yang salah,” ujar Rachel. ”J angan sok suci. Kaukira kau tidak pernah m em bunuh?” balas The Twins. ”Aku tidak bicara soal pembunuhan, tapi soal kebenaran. Kau tidak tahu siapa yang berhak kaubela.” 16



Sejenis ilmu shir hitam seperti Voodoo yang berkembang di negara-negara Amerika Latin.



196



”Persetan dengan pidatomu!” seru The Twins. Bersamaan dengan akhir ucapannya, dia lalu bangkit dan langsung m enerjang Rachel, dengan sebilah pisau terhunus di tangan. Untung Rachel sudah m enduga tindakan The Twins tersebut. Saat jaraknya dengan The Twins sudah dekat, Mawar Merah kem bali m engibaskan tangan kanannya. Seberkas sinar berwarna biru berkelebat di antara kedua orang itu. SREEETT!!! Rachel berdiri sam bil bersandar pada dinding koridor. Di tangan kanannya tergenggam pedang laser pemberian Zig. Sinar laser biru dari pedang tersebut m em ancarkan cahaya yang m enerangi sekelilingnya. The Twins berdiri beberapa m eter dari Rachel. Pisau yang tadi dihunusnya sudah tidak ada, bahkan bukan cum a pisau, tangan kanan yang m em egang pisau juga tidak lagi m enem pel di tubuhnya. Putus sebatas pangkal lengan dan terlem par sejauh kurang-lebih lim a m eter. Darah m engucur deras dari pangkal lengan pem bunuh bayaran tersebut. Wajah The Twins pucat dan m atanya m em besar. ”Apa… itu?” tanya The Twins terbata-bata. Belum sem pat m endapat jawaban atas pertanyaannya, tubuh The Twins keburu am bruk. Rachel mematikan pedang lasernya, dan berjongkok di samping tubuh The Twins yang diam tidak bergerak. J ari telunjuk dan jari tengahnya ditempelkan di pangkal leher 197



pria tersebut. Denyut nadi The Twins masih terasa, walau pelan. Dengan cepat Rachel m enotok pangkal lengan The Twins yang terputus, hingga darah berhenti m engalir keluar. Dia juga m enotok leher, bahu, dan paha agar perdarahan bisa berhenti sem purna. Mudah-m udahan kau bisa m enerim a sem ua ini dan m engubah jalan hidupm u! batin Rachel. Saat itulah ekor m atanya m enangkap gerakan di sekelilingnya. Melihat salah satu pemimpinnya kalah, para Onimusha yang tadinya hanya diam m enonton kem bali m enghunus senjata. Kali ini tidak ada yang m em erintah m ereka, dan para Onim usha itu siap untuk m em bantai Rachel. Tidak ada jalan lagi untuk lolos. Saat itulah terdengar ledakan keras di belakang para Onimusha, disusul asap tebal berwarna putih yang menyelim uti area tersebut. Asap tebal itu m em buat pandangan sem ua orang m enjadi terbatas, term asuk Rachel. ”J ika ingin lari, inilah saatnya!” Suara itu m elintas di telinga Rachel. Dia tidak tahu siapa yang berbicara padanya, tapi ucapan itu betul. J ika ingin kabur, sekarang saat yang tepat! ”Pergi ke arah cahaya di sam pingm u!” Sam ar-sam ar, Rachel m elihat cahaya berwarna kuning keem asan di sisi kanannya. Mulanya dia m erasa aneh, bisa m elihat cahaya di antara asap tebal berwarna putih. Tapi kekuatiran itu lalu ditepisnya, m engingat dia tidak punya alternatif lain. Terus bertahan di tempat itu hanya akan m em buat dirinya m ati konyol. Dengan m engum pulkan sisa-sia tenaganya, Rachel 198



segera berlari ke arah cahaya tersebut. Seorang Onimusha yang m encoba m enghadang dirinya langsung tersungkur terkena pukulan angin dari tangannya. *** Detektif Polisi Aoshi Shigawa m elirik jam tangannya. ”Berapa lam a lagi bantuan akan tiba?” tanyanya pada petugas polisi yang berada di dekatnya. Petugas polisi itu segera m en ghubun gi seseoran g m elalui HT-nya. ”Kira-kira sepuluh m enit lagi, Pak,” katanya kem udian. ”Sepuluh menit… kita akan terlambat,” kata Aoshi sambil m elihat ke arah Pulau Kitagai m elalui teleskopnya. ”Minta helikopter segera kem ari! Aku akan pergi ke kapal Shinm aru,” Aoshi m engam bil keputusan. ”Tapi, Pak… itu sangat berbahaya.” ”Aku tidak ingin pulau itu m enjadi kuburan m assal, dan kita hanya bisa melihatnya dari sini,” tandas detektif polisi itu. *** Rachel pergi ke luar kastil, m enuju pantai. Beberapa Onimusha yang mencoba menghadangnya akhirnya menjadi korban pukulan angin atau tem bakan gadis itu. Saat m elewati pintu depan dan berlari ke arah pantai, insting Mawar Merah m erasakan sesuatu yang ganjil. Benar, saat dia m enoleh ke belakang, dua bongkah batu 199



yang masing-masing sebesar TV 29 inci sedang melayang ke arahnya. Rachel cepat bersalto ke udara, hingga kedua bongkah batu tersebut m elayang m elewati dirinya. Saat mendarat di tanah, Rachel mengarahkan pandangannya ke arah datangnya batu itu, sekaligus ingin tahu siapa yan g telah secara licik m em bokon gn ya. Saat pandangannya tertuju ke arah kastil, seketika itu juga raut wajah Rachel berubah.



20 0



Dua Puluh Dua



Lo n d o n , jam s e be las m alam



GEDUNG Key Tower terlihat lengang, berbeda dengan keadaan siang hari saat gedung ini selalu ram ai karena aktivitas di dalam nya. Hanya terlihat petugas keam anan yang secara rutin m em eriksa seluruh lantai di dalam gedung, m em astikan apakah m asih ada yang bekerja. ”Sem ua ruangan telah kosong,” lapor salah seorang petugas keam anan yang baru saja berpatroli. ”Tidak ada yang bekerja lembur?” tanya temannya yang duduk di depan layar m onitor di ruang keam anan. ”Kurasa tidak. J adi kita bisa aktifkan sistem keamanan sekarang,” jawabnya. ”Kecuali di Area X, kan?” tem annya balas bertanya.



20 1



”Kau tahu bahwa area itu bukan tanggung jawab kita,” balas petugas keam anan yang baru berpatroli. Tem annya m engangguk. Lalu dia m enekan beberapa tom bol dan saklar pada panel pengontrol di depannya. ”Sem ua sistem sudah aktif...,” katanya kem udian. Key Tower dilengkapi sistem keam anan yang sangat canggih. Selain ratusan kam era CCTV yang dipasang di setiap sudut gedung, di setiap lantai juga dipasang alarm dengan sensor gerak. Gerakan sekecil apa pun dapat membunyikan alarm . Tidak hanya itu. Di beberapa bagian gedung yang dianggap vital dan penting, dipasang sinar laser yang sangat tajam , yang bisa m em otong benda apa pun yang m elintasinya. Sebuah sedan berhenti tepat di depan pintu masuk Key Tower. Di dalam nya, Rachel duduk sam bil m engam ati pintu gerbang gedung. Saat penjaga keamanan mendekati pintu dan m enguncinya, gadis itu segera m engaktifkan alat kom unikasi yang m enem pel di telinganya dan m ulai m enghubungi seseorang. ”Operasi dim ulai. Tunggu aba-aba selanjutnya,” katanya. Lalu Rachel keluar dari m obil dan setengah berlari ke arah Key Tower. Dia m engenakan setelan blazer dipadu dengan rok berwarna cokelat, kacamata bening, dan rambut yang tergerai sebahu. Sesam painya di depan pintu gedung yang terbuat dari kaca, dia m enggedor-gedor pintu, hingga menarik perhatian petugas keamanan yang berada di front desk di dalam . Seorang petugas keam anan m engham piri pintu dan m em bukanya dengan sebuah kunci elektronik. 20 2



”Berkas pekerjaan saya ada yang ketinggalan,” kata Rachel. Ucapannya itu membuat si petugas yang berkulit hitam m engernyitkan kening. ”Di ruang kerja saya,” Rachel m elanjutkan ucapannya. ”Maaf, Nona bekerja di sini?” tanya petugas keamanan tersebut. ”Tentu saja! Saya karyawan di sini. Saya bekerja di lantai 22. Winsburgh Company...” Rachel berusaha mengelabui petugas keam anan tersebut. ”Tapi saya belum pernah m elihat Nona sebelum nya...” ”Apa itu penting? Ada ribuan orang bekerja di sini! Apakah Anda mengingat wajah mereka semua? Telah dua tahun saya keluar-m asuk gedung ini, dan sering m elihat Anda, tapi Anda bilang Anda belum pernah m elihat saya?” Rachel m engeluarkan sesuatu dari tas wanita yang dibawanya. ”Ini kartu pengenal saya. Silakan Anda periksa. Tapi terus terang, saya merasa tidak nyaman dengan apa yang Anda lakukan pada saya. Saya akan melaporkan ini pada atasan saya untuk diteruskan pada pem ilik gedung ini.” Petugas keamanan itu memeriksa kartu tanda karyawan milik Rachel. Memang terlihat tidak ada yang mencurigakan. ”Ada apa?” Tiba-tiba terdengar suara seorang pria lain. Seorang petugas keamanan lain yang berkepala botak dan berbadan besar berjalan m endekati m ereka. Petugas keamanan berkulit hitam menceritakan semuanya pada rekannya. ”Maaf, Nona, tapi ini sudah hampir tengah malam, dan 20 3



saat ini akses ke semua lantai telah dimatikan. Anda bisa kembali pagi hari, saat gedung ini telah dibuka kembali,” kata petugas berkepala botak tersebut sambil mengembalikan kartu karyawan pada Rachel. ”Saya juga inginnya begitu, tapi saya harus lem bur m alam ini untuk m enyelesaikan pekerjaan saya, dan berkas di kantor saya itu sangat saya butuhkan untuk m enyelesaikannya. Ini penting bagi saya, karena kalau besok pekerjaan saya belum selesai, saya bisa kehilangan pekerjaan. Tolonglah...,” pinta Rachel dengan mimik m em elas. J awaban Rachel m em buat kedua petugas berpandangan. ”Baiklah. Sebutkan di m ana berkas-berkas yang Anda butuhkan? Kam i akan m engam bilkannya untuk Anda,” kata petugas berkulit hitam akhirnya. ”Tidak... saya harus mengambilnya sendiri,” Rachel berkeras. ”Kenapa? Toh sama saja. Anda hanya tinggal menyebutkan di m ana,” si petugas keam anan juga berkeras. ”Tidak...” Rachel m enghela napas sebelum m elanjutkan ucapannya. ”Apakah Anda pernah mendengar soal rahasia perusahaan? Lebih baik saya tidak m enyelesaikan pekerjaan saya dan dipecat besok daripada m em biarkan orang lain m elihat berkas-berkas perusahaan kami. Maaf, bukan berarti saya curiga atau tidak percaya pada Anda, tapi berkas ini m enyangkut sesuatu yang m enjadi rahasia perusahaan kam i. Saya harap Anda m engerti,” lanjut Rachel. 20 4



”Baiklah. Saya akan m engantar Anda,” kata petugas berkulit hitam . Mereka bertiga pun m elintasi lobi m enuju ke front desk. Petugas berkepala botak m enghubungi rekannya yang berada di ruang kontrol m elalui HT untuk m em atikan sebagian alarm , terutam a yang berada di lantai 22. ”Baik, Nona ikut saya...” Ucapan si petugas berkulit hitam terhenti karena saat itu Rachel yang berada di belakangnya telah m enotok saraf di lehernya. Kontan tubuhnya m enjadi lem as dan tersungkur ke tanah. Melihat tem annya diperlakukan seperti itu, petugas berkepala botak terkejut. ”Apa-apaan...” Ucapannya juga terpotong karena Rachel langsung menendang perutnya. Saat petugas itu terhuyung, Rachel bergerak cepat dan kembali melancarkan totokan ke leher si petugas, hingga seperti rekannya, petugas berkepala botak itu juga tersungkur ke tanah dengan tubuh lem as. ”Sudah siap? Aku akan mulai,” kata Rachel melalui alat kom unikasinya. ”Siap.” Rachel mengeluarkan sebuah kotak metal sebesar korek api dari saku blazernya. Dia m enekan sebuah tom bol pada kotak tersebut. Lalu dia m elihat jam tangannya di tangan kiri, sementara tangan kanannya menekan tombol yang ada di sam ping jam tangan tersebut. Terdengar suara berdesing selama tiga detik dari dalam jam, kemudian lam pu yang ada di lobi dan sekitarnya m endadak padam. Suasana menjadi gelap gulita. J am tangan Rachel 20 5



m em ancarkan gelom bang elektrom agnetik yang dapat m em atikan peralatan elektronik di sekitarnya, kecuali peralatan elektronik yang dibawa gadis itu. Rachel menekan tombol di kacamatanya dua kali untuk mengaktifkan night vision/ penglihatan malam. Dia sekarang dapat melihat dengan jelas keadaan di sekelilingnya, walau sem uanya terlihat berwarna hijau. Sekarang aku hany a puny a w aktu tiga m enit! katanya dalam hati. *** Lam pu ruan gan yan g tiba-tiba padam m en galihkan perhatian Riva yang sedang m em baca. Ada apa ini? tanyanya dalam hati. Sudah dua hari ini Riva memang tinggal di lantai 72 di gedung Key Tower. Key Tower sendiri adalah gedung yang dirancang dengan unik. Walau berlantai 76, tapi yang digunakan sebagai kantor pusat KeyTel hanyalah dari lantai 31 hingga lantai 50 . Lantai dasar hingga lantai 30 disewakan kepada pperusahaan lain. Sedang ruangan di lantai 51 hingga 76 adalah lantai yang tidak boleh dim asuki sem barang orang tanpa izin. Lantai 51 hingga 76 itulah yang biasa disebut Area X dan m em iliki sistem keamanan sendiri, terpisah dari sistem keamanan seluruh gedung. Riva tinggal di kam ar yang besar dan m egah seperti kam ar hotel berbintang lim a bukan atas kem auannya sendiri. Henry yang m enyarankan dia tinggal di situ dengan alasan keam anan. Di tem pat ini segala sesuatunya 20 6



m em ang sudah tersedia, dari m akanan hingga keperluan pribadi lainnya, juga pelayan yang siap selam a 24 jam . Pokoknya Riva serasa hidup di hotel berbintang lim a. Riva bukannya tidak bosan dan m encoba untuk keluar, sekadar untuk menghirup udara segar. Tapi Henry selalu m elarangnya. Dan Riva sendiri tidak berani untuk cobacoba kabur. Dia melihat sendiri sistem keamanan gedung ini, apalagi saat m alam hari. Saat Riva bertanya untuk berapa lam a dia tinggal di dalam Key Tower, Henry m enjawab beberapa hari. ”Dalam w aktu dekat akan ada acara penobatan dirim u sebagai ketua. Saat ini kam i sedang m em persiapkan sem uany a untuk acara tersebut,” kata Henry . ”Tapi sudah kubilang, aku tidak ingin jadi ketua,” kata Riva kesal. ”Kau bisa m engundurkan diri dan m enyerahkan jabatan itu pada orang yang kautunjuk. Itu terserah padam u. Tapi itu setelah kau m enjadi ketua. Kau bisa m em utuskan sem uany a,” tandas Henry . Padam nya listrik dan seluruh peralatan elektronik juga m em buat panik petugas keam anan yang berada di ruang kontrol. ”Sudah kaupindahkan ke sistem listrik cadangan?” tanya salah seorang petugas pada rekannya yang duduk di depan panel-panel pengontrol. ”Seharusnya sistem cadangan berfungsi secara otomatis saat listrik padam ,” jawab yang ditanya. ”Mungkin sistem otom atisnya tidak berfungsi. Coba 20 7



secara manual,” ujar petugas keamanan lain yang berada di sam pingnya. ”Bagaim ana caranya? Aku tidak bisa m elihat apa pun.” ”Sistem manual juga tidak berfungsi. Mungkin sekeringnya putus.” ”Biar kuperiksa. Hei, kenapa senternya tidak m au m enyala?” ”Mungkin baterainya habis...” Belum habis ucapan si petugas keamanan, pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan petugas yang berada di dekat pintu terpental ke belakang. Dua petugas yang lain m enoleh mendengar suara gaduh dekat mereka, tapi karena gelap m ereka tidak bisa m elihat apa pun, dan tiba-tiba tubuh m ereka sudah diam tidak bergerak di kursinya m asing-m asing. Rachel mendekati panel pengontrol yang ada di ruangan itu, lalu m elihat jam tangannya. Tiga... Dua... Satu. Lampu ruangan dan semua peralatan elektronik di Key Tower m enyala kem bali. Rachel m elepas kacam atanya. Dia lalu m enekan tom bol-tom bol pada panel pengontrol di hadapannya untuk m em atikan sistem alarm dan laser di gedung ini. ”Sem ua telah am an. Lanjutkan rencana. Kita bertem u di titik Alpha,” ucap Rachel.



20 8



Dua Puluh Tiga



”SHUNJ I-SAN!” Tubuh Shunji tergeletak di dekat pintu rum ahnya. Terdapat luka di beberapa bagian tubuh dan wajahnya. Tidak hanya itu. Seisi rum ah juga terlihat berantakan. Pintu ruang tengah hancur berantakan, sedang pintu depan robek di beberapa bagian. Barang-barang m ilik lelaki tua itu terlihat bertebaran, baik di ruang tengah, kamar tidur, maupun di belakang, seolah sengaja diacakacak seseorang. Rachel yang pertam a kali m enem ukan Shunji segera memeriksa kondisi guru sekaligus orangtua angkatnya itu. Sejurus kem udian raut m ukan ya berubah. Matan ya berkaca-kaca, sebelum akhirnya tangisnya m eledak. ”Shunji-san... tidak!” *** 20 9



Seusai prosesi pem akam an 17 Shunji di desa terdekat, Rachel kembali ke rumahnya. Kesedihan masih terlihat di wajahnya yang cantik. Rum ah y ang pernah m enjadi tem pat Rachel tinggal dan m enem pa diriny a sem asa kecil itu kini terlihat lengang. Tidak terdengar lagi suara Shunji y ang m eny any ikan lagu-lagu tradisional Jepang sam bil m eraw at tanam an di halam an, atau bentakanny a saat sedang m elatih Rachel. Sem uanya telah berubah! batin Rachel. Tidak hany a hari ini, tapi sejak lam a sem uany a telah berubah. Sejak dia m enerim a tugas dari Shunji untuk m elindungi keturunan terakhir keluarga N issho. Atau bahkan sejak Kenji m eninggalkan tem pat ini tanpa Rachel tahu sebabny a, sem uany a tidak lagi sam a. Apalagi dalam beberapa bulan terakhir ini, pikiran dan isik tua Shunji dipenuhi berbagai m asalah, terutam a saat m encoba m em ulihkan Rachel dari am nesiany a. Tapi orang tua itu selalu terseny um , dan ham pir tidak pernah m em perlihatkan pada orang lain bahw a pikiranny a dipenuhi berbagai m asalah. Rum ah Shunji kini terlihat lebih rapi. Orang-orang desa telah m em bereskan rum ah itu. W alau begitu, pintu y ang rusak dan hancur belum diganti. Persem ay am an Shunji sendiri tidak dilakukan di situ, m elainkan di



17 Di Jepang, jasad seseorang yang sudah meninggal biasanya akan dikremasi/dibakar, lalu abunya yang dikubur atau ditaruh di tempat penyimpanan abu khusus. Hal ini bisa menghemat lahan, karena Jepang tidak terlalu luas sedang penduduknya makin bertambah hingga harga tanah jadi mahal dan terbatas. Dalam satu keluarga bisa dibuat hanya satu makam saja karena hanya abunya yang dikuburkan.



210



rum ah kepala desa, sebagai penghorm atan karena diri dan keluargany a pernah ditolong oleh Shunji. Rachel m enatap ruang tengah. Ruang y ang selalu digunakan Shunji untuk berm editasi. Shunji tidak pernah m enggunakan ruangan khusus saat berm editasi. Dia bisa m elakukanny a di m ana saja. Dari ruang tengah, kam ar tidur, hingga halam an rum ah sem ua bisa m enjadi tem patny a berm editasi, dan dia tidak m erasa terganggu sedikit pun. Tapi Rachel m elihat Shunji lebih bany ak berm editasi di ruang tengah terutam a pada m alam hari, dengan hany a ditem ani cahay a sebatang lilin di depanny a. Rachel ingat cerita Shunji saat guruny a itu m encoba m em ulihkan ingatan diriny a y ang terkena am nesia. Dengan ditem ani lilin, Shunji m encoba berbagai cara, dari ram uan tradisional hingga jarum akupunktur. Di sam ping itu, setiap selesai satu sesi pengobatan, Shunji selalu m em berikan nam a baru bagi Rachel. Tujuanny a untuk m em bangkitkan ingatan gadis itu hingga perlahan-lahan Rachel dapat m engingat nam any a sendiri. Lilin-lilin y ang sering m enem ani Shunji berm editasi m asih ada. Tapi lilin-lilin itu m ungkin tidak akan m eny ala lagi, bahkan untuk selam any a. Dem ikian juga barang-barang m ilik Shunji, tidak akan bisa m enem ani tuanny a lagi. Tiba-tiba Rachel teringat sesuatu, dan segera m elangkah ke halam an belakang. Di sana berjajar rapi deretan pohon bonsai koleksi Shunji. Jum lahny a m ungkin lebih dari lim a puluh jenis. Pohon-pohon itu dipelihara setiap hari oleh Shunji. Sekarang tidak ada 211



y ang m em elihara pohon-pohon tersebut. Rachel puny a rencana untuk m enjual atau m em berikan pohon-pohon bonsai tersebut pada orang-orang desa y ang bersedia m eraw atny a. Rachel m engam ati deretan pohon bonsai m ilik Shunji dengan saksam a. Sekilas pohon-pohon bonsai tersebut m em iliki bentuk dan jenis y ang ham pir sam a. Rachel butuh w aktu lim a m enit untuk m enem ukan pohon bonsai y ang dicariny a. Pohon dengan batu-batu kerikil kecil di baw ahny a. Shunji selalu m enghiasi pohon bonsainy a dengan batu kerikil berjum lah genap. Entah apa alasanny a. Tapi di pohon bonsai ini, Shunji m eletakkan lim a buah batu kerikil, y ang berarti berjum lah ganjil. Rachel m engam bil pot y ang berisi pohon bonsai tersebut, lalu m em banting pot y ang cukup besar itu ke tanah. Pot itu pecah berantakan. Tapi kelihatanny a Rachel tidak m em edulikan pohon bonsai dan potny a y ang berharga m ahal. Dia m alah berjongkok dan m engorek-ngorek tanah y ang tadiny a berada di dalam pot. Tidak lam a kem udian, Rachel m enem ukan sebuah plastik hitam y ang m em bungkus sebuah benda. Rachel m eny obek plastik hitam tersebut, dan m enem ukan apa y ang dicariny a. Siapa pun pem bunuh Shunji, pasti ini yang dicarinya! batin Rachel sam bil m engam ati sebuah buku bersam pul kuning y ang terlihat lusuh dan berusia sangat tua.



212



Dua Puluh Empat



SAJ IAN m usik klasik dari London Philharm onic Orchestra sedang berlangsung, saat HP Henry Keisp bergetar. Dia m engeluarkan setengah badan HP-nya dan m elirik layar untuk m engetahui siapa yang berani m engganggu keasyikannya m alam ini. Beberapa saat kem udian, pria berusia 42 tahun itu beranjak dari kursinya. ”Aku segera kembali,” kata Henry pada teman kencannya, seorang m odel berusia 24 tahun yang baru dikenalnya sebulan yang lalu. Henry keluar dari ruang pertunjukan, lalu m enelepon kem bali pada si penelepon yang tadi mencoba menghubunginya. ”Tikus datang lebih cepat dari dugaan kita,” terdengar suara dari seberang telepon. ”Sem ua sudah siap?” 213



”Tinggal m enunggu perintah.” ”Kalau begitu lakukan.” *** Lebih dari lim a jam Matahari diam m enunggu, tepatnya ketika dia m asuk ke Key Tower dengan m enyam ar m enjadi salah seorang karyawan di gedung itu setengah jam sebelum kegiatan perkantoran di gedung itu berakhir. Dan ide untuk m em ilih bersem bunyi di jalur lift yang gelap dan sempit itu terpaksa diambil untuk menghindari pem eriksaan rutin petugas keam anan gedung. Petugas keam anan m em eriksa setiap ruangan gedung m enggunakan alat pendeteksi gerakan dan suhu tubuh, hingga tempat yang aman untuk bersembunyi hanya di jalur lift yang hawanya panas hingga suhu tubuh tidak bisa terdeteksi alat pendeteksi suhu. Penantian Matahari berakhir saat dia m endapat abaaba untuk m elanjutkan rencana yang telah disusun bersam a. Dengan peralatan khusus, dia m em buka pintu lift di dekatnya, dan keluar m elalui pintu lift itu. Lantai 50 ! Di sinilah Matahari berada. Ada alasan khusus kenapa dirinya berada di lantai ini. Lantai 50 terlihat sepi. Koridor di sepanjang lantai hanya diterangi lam pu ruangan berwarna kuning yang cahayanya tidak lebih terang dari bohlam lima watt. Tapi Matahari tetap waspada. Dia sangat tidak suka kalau ada kejutan yang m enantinya. Tidak banyak ruangan di lantai 50 . Setelah menjelajahi seluruh koridor, Matahari hanya m endapati ada lim a 214



ruangan, tidak term asuk toilet dan gudang berada di lantai tersebut. Ini berbeda dengan lantai lainnya, yang rata-rata mempunyai lebih dari sepuluh ruangan, bahkan lantai 23 m em punyai ham pir dua puluh ruangan yang ditem pati perusahaan yang berbeda-beda. Semua pintu ruangan itu dikunci dengan menggunakan akses kartu m agnetik seperti lantai lainnya. Perhatian Matahari tertuju pada sebuah pintu yang lebih lebih besar daripada pintu ruangan lain. Mungkin ini ruanganny a! Dengan menggunakan kartu akses palsu yang telah dipersiapkan sebelumnya, Matahari tidak mengalami kesulitan membuka pintu tersebut, dan masuk ke ruangan yang sangat gelap. Matahari memakai kacamata night vision yang dibawanya. Dengan itu dia bisa m elihat jelas keadaan ruangan dalam keadaan gelap. Tidak mungkin menyalakan lampu karena bisa berisiko m enarik perhatian dari luar gedung. Di dalam ruangan yang tidak terlalu besar tersebut terdapat sebuah m eja kerja berukuran sedang, dan satu set sofa lengkap dengan meja dari kaca. Tapi bukan itu yang m enarik perhatian Matahari, m elainkan sebuah pintu yang berada di belakang m eja kerja. Pintu tersebut m enandakan adanya ruangan lain di baliknya Pantas saja ruangan ini tidak begitu besar. Meja kerja di dekat pintu itu pasti m eja kerja sekretaris atau asisten pem ilik ruangan di belakangny a! batin Matahari. Matahari m endekat ke pintu dan m endapati pintu tersebut terbuat dari logam, tidak seperti pintu ruangan lain 215



yang terbuat dari kayu atau kaca. Pintu tersebut juga dikunci oleh sistem keamanan yang berbeda. Bukan kartu magnetik seperti yang lainnya, tapi merupakan gabungan antara sistem PIN (Personal Identiication Number) dan sidik jari. ”Benar dugaanmu, pintu ini memerlukan PIN dan sidik jari untuk m asuk,” kata Matahari. Dia berbicara dengan seseorang m elalui alat kom unikasi yang dipasang di telinga kirinya. ”Seperti apa tem pat untuk m en-scan sidik jarinya?” Terdengar suara di telinga kiri Matahari. Suara Zig. ”Bujur sangkar, dan kelihatannya lebih besar daripada yang biasa kulihat.” ”Perm ukaannya kasar atau halus?” Matahari m eraba perm ukaan scanning sidik jari. ”Agak kasar, seperti pasir…” ”Itu sidik DNA. Perm ukaan scanning sidik jari halus dan tidak bertekstur.” ”Lalu apa yang harus aku lakukan?” Diam sejenak, tidak terdengar balasan. ”Sidik DNA sulit untuk ditem bus. Tidak bisa dengan apa yang kaubawa sekarang.” Akhirnya suara Zig terdengar lagi. ”Lalu bagaimana aku bisa masuk? Kau bilang semuanya akan beres.” ”Aku tidak bilang sidik DNA tidak bisa ditembus, hanya saja tidak bisa dilakukan oleh sem barang orang.” ”Kalau begitu aku akan m em utar keluar, m asuk lewat jendela.” ”J angan… kau akan m em icu alarm begitu m asuk...” 216



”Bukannya sem ua sistem alarm telah dilum puhkan? Lagi pula Double M telah menguasai ruang kontrol di bawah.” ”Sistem keamanan ruangan tersebut kemungkinan terpisah dengan sistem keamanan global. Kita tetap harus bisa m asuk ke sistem nya untuk bisa m elum puhkannya. Dan apa kau yakin Double M telah m elum puhkan sem ua penjaga? Bagaim ana dengan penjaga di Area X? Bisa saja sistem alarm terhubung ke sana. Lagi pula, m enurut hasil scanning, hanya sedikit daerah Area X yang m em punyai jendela. Kau tidak akan tahu m ulai m asuk dari m ana.” ”Mungkin? Kau tidak tahu pasti, kan?” ”Biasanya begitu...” ”Kalau begitu kita akan cari tahu…” ”Apa yang akan kaulakukan?” Matahari tidak m enjawab pertanyaan Zig. Dia m engam bil peledak sem tex18 dari tas ransel yang dibawanya. Peledak yang diselipkan dalam kotak kosm etik itu dilekatkan di sekeliling panel pengontrol akses m asuk. Lalu Matahari m elepas jam tangan dari pergelangan tangan kirinya. Pada sisi jam tangan digital terdapat kabel tipis yang tersem bunyi. Ujung kabel itu ditanam pada sem tex, dan jam tangannya ditempelkan di samping bahan peledak tersebut. Matahari lalu m en-set tim er pada jam tangan. Sepuluh… tidak, lim a detik sudah cukup! katanya dalam hati.



18 Sejenis bahan peledak yang terbuat dari plastik, sehingga tidak bisa dideteksi oleh detektor logam



217



Setelah m en-set tim er, Matahari m elangkah m undur dan m ulai m enghitung. Lim a… Em pat… Tiga… Dua… Satu… Ledakan kecil terjadi. Asap berkumpul di sekitar panel akses m asuk. Panel akses m asuk telah hangus terbakar. Matahari mendekat dan memegang gagang pintu, serta m em utarnya. Pintu terbuka. Dan tidak ada suara alarm . ”Kau salah, tidak ada alarm di sini,” kata Matahari pada Zig. ”Dengan cara apa kau m asuk?” ”Aku m eledakkannya.” *** Dua unit helikopter terbang beriringan di atas langit kota London. Saat berada di atas Key Tower, salah satu helikopter terbang rendah, sebelum akhirnya m endarat di helipad 19 yang berada di atap gedung. Enam orang bersenjata senapan otom atis keluar dari dalam helikopter. Mereka langsung menyebar ke penjuru atap, memeriksa keadaan sekitarnya. Dua orang di antaranya m enuju pintu m asuk ke bagian dalam gedung. Kemudian salah seorang memasukkan kunci elektronik yang dibawanya, lalu m enekan tom bol PIN pada panel di sam ping pintu. Pintu terbuka. Kedua orang itu lalu m asuk gedung. 19



Tempat helikopter mendarat



218



Tidak lam a kem udian, orang yang tadi m em buka pintu kem bali ke atap, m enatap ke arah helikopter kedua yang m asih berada di atas gedung. ”Clear. Anda boleh turun, Tuan Keisp…” *** Riva membuka pintu. Dua pria bersenjata telah berdiri di depan kam arnya. ”Sudah saatnya,” kata salah seorang pria tersebut. ”Sekarang?” ”Sekarang, Nona.”



219



Dua Puluh Lima



D u a b e la s t a h u n y a n g la lu



T UBUH tinggi itu terlem par ke luar jendela, dan m endarat di rum put y ang becek. Di tengah-tengah derasny a air hujan, Red Rose m encoba bangkit. Darah keluar dari m ulut pria tersebut. Dari arah jendela dari m ana dia tadi terlem par, keluar seorang pria Asia bertubuh kecil dan berm ata sipit. Pria tersebut m enggendong seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun y ang terlihat diam tidak bergerak. Mata sipitny a m enatap tajam ke arah Red Rose. ”Kau sudah m endapat kesem patan m enjalankan tugasm u. Sekarang pergilah!” bentak Shunji. ”Anak itu harus ikut m ati!” balas Red Rose.



220



”Anak ini tidak term asuk dalam perjanjian. Katakan pada Jonathan, dia akan berhadapan dengan kelom pok Oni kalau tetap m engejar anak ini,” tandas Shunji. Dia lalu m enatap Rachel y ang pingsan di pelukanny a. Anak y ang berani! Suatu saat kau sendiri y ang akan m eny elesaikan apa y ang terjadi m alam ini! batin Shunji. ”Kalau kau m asih penasaran, tunggulah sam pai anak ini dew asa. Dia sendiri y ang akan m encarim u,” tandas Shunji pada Red Rose. *** D u a b u la n y a n g la lu ”Papa hany a m em berikan tem pat tinggal dan pekerjaan untuk Shunji. Kenapa Shunji m enganggap Papa berjasa besar, seakan-akan Papa telah m eny elam atkan ny aw a Shunji?” tany a Rachel suatu hari pada Shunji. Shunji tertaw a kecil m endengar ucapan Rachel. ”Bagi Shunji, besarny a jasa seseorang bukan diukur dari bentuk pertolongan y ang kita terim a, tapi bagaim ana pertolongan tersebut datang saat kita benar-benar m em butuhkan. Papam u m enolong Shunji saat Shunji benar-benar sedang m em butuhkan tem pat tinggal. Dia juga m em beri Shunji pekerjaan, juga m elindungi identitas Shunji dari orang-orang y ang m engejar Shunji. Karena itu, Shunji anggap apa y ang dilakukan papam u adalah jasa y ang besar dan sangat berarti bagi Shunji,” jaw ab laki-laki tua tersebut. 221



Setelah m enghela napas, Shunji m elanjutkan ucapannya. ”Seperti yang telah Shunji katakan tadi, sekarang saatny a bagi Rachel-kun untuk m engetahui sem uany a. Sem ua tentang Shunji, sem ua tentang Rachel-kun, dan sem ua tentang Kenji. Jadi Rachel-kun bisa m engam bil keputusan y ang tepat bila saatny a telah tiba…” *** Dengan m enggunakan kacam ata night vision, Matahari m em asuki ruangan yang m erupakan ruang kerja Henry Keisp. Tujuannya adalah m eja kerja direktur utam a KeyTel tersebut. Mana kom puterny a? tanya Matahari dalam hati. Matahari meraba-raba di balik meja kerja Henry. Sampai akhirnya dia menemukan sebuah tombol tersembunyi yang berada di pojok kanan sebelah bawah. Saat Matahari menekan tombol, tiba-tiba bagian tengah m eja terbuka, lalu m uncullah sebuah LCD m onitor berukuran 22 inci dari dalam m eja. LCD m onitor itu lalu bergerak dari posisi horizontal, hingga akhirnya berdiri ham pir tegak lurus dengan layar m enghadap ke arah Matahari. Proyektor tersembunyi yang dipasang di kedua sisi m onitor m em ancarkan cahaya tipis ke perm ukaan m eja di depannya, m em bentuk sebuah key board dan touchpad virtual. Ruangan yang gelap m em buat cahaya dari layar m onitor dan LCD terlihat sangat terang dan m enyinari keadaan di sekitarnya. Passw ord! batin Matahari. Dia lalu mengeluarkan PDA 222



dari tas kecil yang diselipkan di pinggangnya. Matahari m enancapkan sebuah kabel pada PDA-nya, dan ujung kabel yang lain ditancapkan di port USB ada yang berada di sam ping layar m onitor. ”Zig… sekarang giliranm u,” kata Matahari pada alat kom unikasinya. ”Oke… aku sudah terhubung. Sekarang kau tinggal duduk m anis dan saksikan bagaim ana seorang m aster beraksi…” sahut Zig sam bil terkekeh. *** Di sebuah ruangan yang terletak pada lantai lain di Key Tower, Henry Keisp duduk santai di sebuah sofa, m engisap cerutu sam bil m enikm ati iram a m usik klasik yang m engalun lem but di seluruh ruangan yang m irip dengan kamar hotel tersebut. Walau terlihat tenang, tapi sebetulnya ada sedikit kekuatiran di wajah pria tersebut. Kekuatiran yang wajar, sebab saat ini Henry m erasa dia sedang m elakukan sebuah perjudian besar yang bukan saja m em bahayakan dirinya, tapi juga m em bahayakan bisnis bahkan kehidupannya. Kali ini aku tidak boleh gagal seperti Ayah! batin Henry sam bil m engisap cerutunya dalam -dalam . Bel pintu kamar berbunyi. Dengan menggunakan rem ote yang berada pada meja di depannya, Henry membuka pintu kam ar. Begitu pintu terbuka, Marcelo m asuk. Sendirian. ”Sem ua sudah siap?” tanya Henry tanpa sedikit pun m engalihkan pandangannya pada Marcelo. 223



”Sesuai perintah Anda,” jawab Marcelo. ”Anda yakin akan hal ini?” tanya Marcelo setelah terdiam sejenak. ”Kenapa?” Henry m enoleh ke arah Marcelo. ”Double M tidak bisa dipandang remeh. Kemampuannya saat ini setara dengan The Sun, bahkan lebih. Kita bahkan tidak bisa mengetahui kehadirannya di Pulau Kitagai. Dan orang yang bersam anya… J uga punya kem am puan yang tidak bisa dipandang enteng. Dia bisa m em bunuh Tuan William dalam satu gerakan,” ujar Marcelo lagi. ”Itu Matahari. Kau tidak m engenalinya?” ”Tidak m ungkin. Matahari terluka parah setelah dihajar habis-habisan oleh The Twins. Butuh waktu lama untuk bisa pulih, apalagi untuk bisa bertarung seperti sem ula.” ”Kau terlalu m erem ehkan orang Asia. Mereka punya banyak hal yang tidak kita ketahui sebelum nya,” tandas Henry. ”Aku tidak akan m engulang kesalahan ayahku yang terlalu m enganggap enteng m usuhnya. Karena itu aku senang The Shadow berada di pihak kita.” ”Tapi aku m erasa The Shadow bukan orang yang bisa dipercaya. Kita jangan terlalu m engandalkan dia,” kata Marcelo. ”Aku tahu. Karena itu aku menugaskanmu untuk selalu mengawasi gerak-geriknya. Aku juga telah membuat perjanjian dengannya, dan selam a dia berpikir kita m em punyai sesuatu yang dia inginkan, dia tidak akan berani m acam -m acam ,” sahut Henry. ”Lalu soal gadis itu? Anda tidak akan benar-benar menjadikan dia sebagai ketua Oni, bukan?” tanya Marcelo lagi. 224



”Menurutm u?” Henry m alah balik bertanya. ”Kelom pok Oni telah hancur. Banyak anggotanya yang tertangkap polisi atau dibantai oleh Yakuza kem arin. Andaikata gadis itu m enjadi ketua, saya tidak yakin dia bisa m enyatukan anggota kelom pok yang m asih tersisa. Lagi pula, organisasi pem bunuh bayaran dipim pin oleh seseoran g yan g bukan seoran g pem bun uh bayaran , anggota organisasi mana yang mau dipimpin seperti itu?” sahut Marcelo. ”Term asuk kau. Kau term asuk anggota kelom pok Oni, bukan?” tukas Henry. ”Aku hanya m enjadi pengikut Anda.” Henry m em atikan cerutu yang baru setengah diisap dan m eletakkannya di asbak yang ada di m eja. Lalu dia berdiri m enghadap ke arah Marcelo. ”Gadis itu adalah kartu As kita. Dia m asih hidup selama kita masih membutuhkan dia. Kau mengerti maksudku, kan?” tandas Henry. ”Saya m engerti.” *** Tiga buah m inibus berhenti di depan pintu m asuk Key Tower. Dari dalam mobil keluarlah belasan orang anggota Yakuza, beberapa di antaranya terlihat membawa senapan api otom atis dan shot gun. Mereka langsung m asuk ke bagian dalam gedung. Rachel telah m enunggu di front desk. Dia telah berganti pakaian, sekarang m engenakan baju dan celana 225



ketat berbahan kulit berwarna serbahitam . Sebuah tas pinggang tersem at di pinggangnya ”Oyabun memerintahkan kami untuk membantu Nona,” ujar salah seorang anggota Yakuza yang m erupakan pem im pin rom bongan tersebut pada Rachel. ”Perintahkan dua orang yang bisa berbahasa Inggris untuk menggantikan penjaga di sini, kemudian dua orang di ruang kontrol, dan sisanya ikut aku,” perintah Rachel. ”Baik.” ”Ingat, sem ua di bawah perintahku. J angan ada yang bertindak tanpa sepengetahuanku,” Anggota Yakuza itu mengangguk, lalu dia berbalik kembali m enuju ke anak buahnya yang berkum pul di sekitar pintu m asuk. Rachel tersenyum. Fakta bahwa Inggris, terutama Kota London, term asuk salah satu basis operasi Yakuza terbesar di luar negeri m enguntungkan dirinya. Dia jadi m udah m endapat bantuan. Setelah kerja sama mereka di Pulau Kitagai berlangsung dengan sukses, Rachel kem bali m em butuhkan bantuan para Yakuza untuk menguasai Key Tower. Dia yakin, Riva pasti ada di gedung ini. Rachel juga yakin ada sesuatu di gedung pencakar langit tertinggi di kota London itu. Karena itu m ungkin saja para pem bunuh bayaran dari kelompok Oni atau SPIKE yang masih tersisa ada di gedung ini, dan bantuan para Yakuza akan sangat m em bantu untuk m engatasi m ereka. Rachel tidak peduli bahwa para Yakuza itu mempunyai m isi lain untuk m elenyapkan kelom pok Oni. Dia hanya 226



m em butuhkan bantuan m ereka untuk m enyelam atkan Riva dan membalas dendam pada orang yang bertanggung jawab atas kem atian Shunji. J uga Saka!



227



Dua Puluh Enam



Pu la u K it a g a i, d u a h a r i y a n g la lu



M ATA



Rachel ham pir tidak berkedip begitu m elihat siapa y ang m elem parkan batu besar ke arahny a. ”Kau…,” desis Rachel. Kenji berdiri di atas kastil. Dengan tenaga dalam ny a, dia y ang tadi m elem parkan batu besar ke arah Rachel. Dan Kenji tidak sendiri. Seseorang terlihat berada di sam pingny a, dan w alau jarak antara Rachel dan Kenji lebih dari dua puluh m eter, Rachel m asih bisa m engenali orang itu. Saka! Saka terlihat terduduk lem as di sam ping kanan Kenji. Matany a terpejam seperti sedang tidur. Tangan kanan



228



Kenji m encengkeram tengkuk Saka untuk m enahan pem uda itu agar tidak tergolek lem as. Rachel tidak habis pikir, bagaim ana Saka bisa berada di tangan Kenji? Apa dia juga datang ke Pulau Kitagai? Tapi satu hal y ang pasti, Saka tidak berada di pihak Kenji, dan Kenji pun tidak m enganggapny a tem an. ”Lepaskan dia! Dia tidak ada hubunganny a dengan ini!” seru Rachel. Rachel m elangkah m aju. Dia ingin secepatny a ke atas kastil. Meny elam atkan Saka. Tapi tubuhny a sudah terlalu lem ah. Tenagany a sudah terkuras habis dalam pertarungan m elaw an The Tw ins, dan sisa-sisa tenagany a telah digunakan untuk m enghindari batu besar y ang tadi ham pir m engenainy a. Kenji hany a diam , tidak m enanggapi seruan Rachel. Tapi hal itu hanya sesaat, karena beberapa detik kem udian, tangan kanan Kenji y ang m encengkeram tengkuk Saka bergerak m aju, dan m endorong tubuh y ang dicengkeram ny a ke depan. ”TIDAAAKK!!!” Teriakan Rachel tidak ada artiny a. Hany a dalam satu gerakan, tubuh Saka langsung terjatuh dari ketinggian sekitar sepuluh m eter, ke sungai y ang m engelilingi kastil. Dengan m engerahkan sisa-sisa tenagany a, Rachel segera berlari ke arah sungai. Tapi langkahny a dihentikan serentetan tem bakan dari para Onim usha y ang berada di sekitar kastil. Sadar kalau tidak m ungkin m endekati sungai, apalagi untuk m engam bil tubuh Saka tanpa terkena tem bakan, Rachel segera m engurungkan niatny a. 229



Sam bil m enahan air m ata dan perasaanny a, gadis itu segera m encari perlindungan, sam bil berlari keluar m enuju pantai. Kak Saka… maafkan Rachel! batin Rachel dengan m ata berkaca-kaca. Rentetan tem bakan y ang terus-m enerus m em buat posisi Rachel kem bali terdesak. Jangankan m endekati jasad Saka, untuk sekadar m em balas tem bakan m ereka pun gadis itu sudah kerepotan. Dia berada dalam posisi terbuka sedang peny erangny a berada di tem pat y ang terlindung. Saat Rachel m ulai putus asa untuk m eloloskan diri, kem bali terdengar ledakan keras dari arah kastil. Beberapa Onim usha y ang m enem baki diriny a dari atas kastil terlem par ke baw ah. Ledakan berikutny a pun terdengar kem bali. Apa para Yakuza sudah datang? tany a Rachel dalam hati. Rachel m em ang harus m em bay ar ketidaksabaranny a. Sebenarny a dia m em puny ai rencana untuk m eny erbu Pulau Kitagai bersam a para Yakuza. Tapi karena kuatir akan keselam atan Riva, dia m em utuskan untuk bergerak lebih dahulu sebelum para Yakuza tiba. Dan sekarang ny aw any a berada di ujung tanduk. Tapi para Yakuza juga datang lebih aw al! Dugaan Rachel terny ata keliru. Bukan para Yakuza y ang datang m enolongny a. Dari kejauhan dia m elihat seoran g On im usha berbaju biru y an g m en em bak i Onim usha lainny a. 230



Siapa dia? tany a Rachel dalam hati. Onim usha berbaju biru itu m endekat ke arahny a, sam bil berlari dia m engeluarkan bom asap, hingga keadaan di sekeliling tem pat itu kem bali dipenuhi asap. Melihat bom asap y ang dilepaskan Onim usha berbaju biru, Rachel y akin dia y ang m enolongny a di tam an tadi. ”Cepat lari ke arah sungai!” seru Onim usha berbaju biru pada Rachel saat sudah berada di dekatny a. ”Siapa kau?” tany a Rachel. Dia m erasa m engenali suara itu. Onim usha berbaju biru m elepaskan topengny a, dan ternyata w ajah di balik topeng itu adalah w ajah seorang gadis Asia y ang cantik. ”Zig m em intaku m em bantum u, m ungkin kau dalam kesulitan. Terny ata dugaanny a benar,” ujar Matahari. ”Tapi bagaim ana kau bisa pulih secepat ini?” tany a Rachel. Dia ingat saat m enem ukan Matahari y ang terluka parah di salah satu rum ah sakit di Shanghai. Dengan susah pay ah dia m em baw a Matahari kabur ke tem pat Zig y ang berada di Hong Kong. Dia juga berusaha m ey akinkan Matahari untuk m em bantu rencanany a, w alau tidak y akin Matahari akan berubah pikiran. Tapi sekarang Matahari berada di sini, berarti Zig berhasil m ey akinkanny a. Tapi w alau Matahari berubah pikiran, seharusny a m ustahil dia bisa m em bantu Rachel sekarang. Luka y ang dideritany a m ustahil bisa pulih dalam w aktu singkat. ”Tern y ata Zig buk an han y a ahli k om puter dan 231



elek tron ik a,” jaw ab M atahari sam bil m en gedipk an sebelah m atany a. *** ”Sem ua sudah siap.” Suara itu m em buyarkan lam unan Rachel. Anggota Yakuza yang jadi koordinator anggota lainnya kem bali telah berdiri di dekat gadis itu. Rachel terdiam sejenak sam bil m encoba m engusap m ata. Dia ham pir saja terhanyut dalam perasaannya. ”Baik… kita mulai sekarang. Kuharap kalian semua sering berolahraga,” ujar Rachel setelah bisa m enguasai dirinya. *** Dari 76 lantai gedung Key Tower, hanya lantai dasar hingga lantai 50 yang digunakan untuk kegiatan bisnis dan ekonomi. Lantai 51 hingga 76 merupakan lantai yang sangat tertutup dan tidak sem barang orang bisa m asuk ke sana. Entah apa m aksud J onathan Keisp m em buat lantai-lantai yang biasa disebut Area X itu. Yang jelas, kecuali orang kepercayaan J onathan dan m ereka yang bertugas di Area X, tidak ada seorang pun yang tahu pasti isi dan fungsi 26 lantai teratas Key Tower tersebut. Karena sangat tertutup dan rahasia, akses menuju Area X tidak gam pang. Elevator m aupun lift regular dibatasi hanya bisa sam pai di lantai 50 . Butuh tanda pengenal 232



dan kode khusus agar bisa mengakses lift ke lantai 51 dan seterusnya. Kode yang tidak gam pang untuk ditem bus, bahkan oleh hacker sekaliber Zig sekalipun. Selain lift regular, akses ke Area X juga bisa dilakukan m elalui lift pribadi yang ada di ruang kerja J onathan Keisp yang sekarang m enjadi ruang kerja Henry Keisp. Tapi tetap m em butuhkan kode yang sam a. Ini yang sekarang coba dipecahkan oleh Matahari. Panel akses m asuk lift di ruang kerja Henry berbeda dengan panel akses yang ada di depan pintu ruangan. Hanya berupa sebuah bidang persegi panjang berukuran sebesar majalah dengan display LCD sebesar kotak rokok di sisi kanan panel. Sam a sekali tidak terlihat slot untuk memasukkan kartu, key pad, atau alat pemindai sidik jari m aupun DNA. Matahari m engeluarkan pistolnya, bersiap m enem bak panel akses seperti yang dia lakukan di pintu masuk, nam un terdengar suara Zig di telinganya. ”Kali ini jangan tem bak panel aksesnya! Tadi kau beruntung karena pintu bisa terbuka. Tapi jangan paksakan keberuntunganm u kali ini. Bisa saja liftnya m alah tidak bisa diakses sam a sekali.” Suara Zig m em buat Matahari m engurungkan niatnya. Dia m em asukkan kem bali pistolnya. ”Kau tahu cara m enem busnya?” tanya Matahari. ”Saat ini belum . Tapi akan segera kutem ukan.” ”Sebaiknya kau cepat. Kita tidak punya banyak waktu.” ”Aku tahu.” *** 233



Rachel beserta sekitar delapan orang anggota Yakuza m enyusuri tangga darurat m enuju ke lantai 50 . Mem ang sangat m elelahkan, tapi itu pilihan Rachel ketim bang melalui lift. Walau telah melumpuhkan petugas keamanan di ruang kontrol, Rachel tidak yakin sem ua sistem keam anan di gedung ini telah dilum puhkan. Key Tower adalah gedung yang penuh m isteri. Bahkan Zig sendiri tidak bisa m endapatkan blueprint gedung ini walau dia telah berusaha masuk ke berbagai database berbagai sumber yang diperkirakan m enyim pan blueprint tersebut. Kemisterian gedung Key Tower terutama pada Area X. Dan Rachel yakin, Area X berhubungan erat dengan kelompok Oni dan SPIKE. Dia juga yakin Riva pasti berada di tempat itu. Saat ini tidak ada tempat lain seaman Area X. Dan gedung sem isterius serta serahasia Key Tower pasti m em punyai sistem keam anan yang sangat ketat, baik secara elektronik maupun secara isik, tidak hanya mengandalkan petugas keamanan biasa dan ruang kontrol di lantai dasar. Berdasarkan hal tersebut, naik m elalui lift m em punyai risiko yang sangat tinggi. Bukan tidak mungkin kehadiran Rachel dan yang lainnya sudah diketahui, dan m ereka menunggu hingga para penyusup tersebut terjebak, salah satunya di lift. Saat berada di lift mereka bisa saja memberhentikan lift di tengah jalan, atau bahkan memutuskan kabel lift hingga terhunjam ke bawah. Di lantai 27, Rachel berhenti sejenak. Dia melirik pada para anggota Yakuza yang bersam anya. Walau m ereka sam a sekali tidak bersuara dan tetap m engikuti dirinya, dari raut wajah para anggota Yakuza tersebut Rachel tahu 234



m ereka sangat lelah. Naik tangga puluhan lantai bukan sesuatu yang m udah dilakukan, apalagi kalau belum terbiasa. ”Kita istirahat lim a m enit,” kata Rachel. Lalu seorang diri dia berjalan m enuju pintu. Seluruh sistem keam anan dari lantai dasar hingga lantai 50 telah dinonaktifkan. Tapi pintu darurat masih terkunci secara manual, dan kuncinya ada di sisi dalam pintu. Itu bukan m asalah bagi Rachel. Secanggih apa pun sistem keamanan dan kunci sebuah gedung, khusus untuk pintu darurat harus tetap m enggunakan kunci m ekanis hingga gam pang dibuka. Dan Rachel hanya memerlukan waktu kurang dari satu menit untuk membuka pintu. Suasana di lantai 27 sam a seperti lantai-lantai lain. Sunyi dan lengang. Lam pu yang m enyala hanya lam pu ruangan yang redup untuk penerangan seadanya. Sebetulnya tidak ada yang istim ewa di lantai 27 ini. Rachel m em asuki lantai ini hanya untuk m engisi waktu, sem bari m em astikan sem ua sistem keam anan Key Tower telah dim atikan. Lim a m enit telah berlalu, dan Rachel setelah berjalan m enyusuri koridor lantai 27 berm aksud kem bali ke tim nya. Saat itulah pandangan m atanya m elihat bayangan berkelebat di depannya. ”Siapa?” tanya Rachel. Pertanyaannya dijawab dengan letusan pistol yang m enggunakan peredam . Tem bakan dari arah kegelapan langsung m em buat Rachel tersungkur. Sesosok tubuh m uncul dari balik ceruk. Seorang pria 235



bertubuh sedang dan berwajah Tim ur Tengah. Pria itu langsung m endekati tubuh Rachel yang tergeletak di lantai dan berjongkok untuk m engam atinya dari dekat. Diakah Double M? Sepertiny a dia tidak terlalu hebat! batin si pria. Tapi pria tersebut harus m enarik kem bali ucapannya, karena saat dia berjongkok, tiba-tiba tubuh Rachel bergerak ke arah sam ping. Tangan kanan gadis itu segera m engarah pada leher si pria, m enghadiahkan sebuah totokan yang walau tidak m em atikan, cukup m elum puhkan hingga tubuh pria itu m enjadi kaku, dan akhirnya tersungkur ke lantai. Rachel segera bangkit. Dia bersyukur karena sem pat melihat gerakan pembunuh yang akan menembaknya. Karena itu Rachel sem pat m enangkis peluru yang datang dengan ilmu pukulan angin yang dikuasainya. Dia sendiri lalu pura-pura tersungkur, agar si pembunuh datang mendekat. Ini salah satu m antan pem bunuh SPIKE! batin Rachel yang m elihat wajah penyerangnya. Walau kali ini hanya ada satu orang yang m enyerangnya, kejadian ini m em buat Rachel m enjadi bertam bah waspada. Ini suatu bukti bahwa kehadirannya di Key Tower telah diketah ui. Bukan tidak m un gkin para pem bunuh suruhan Henry Keisp berkeliaran di setiap lantai. *** Sambil berusaha memecahkan kode untuk mengakses lift 236



m enuju Area X, Zig m elihat-lihat data-data yang telah selesai di-dow nload dari kom puter pribadi Henry Keisp. Siapa tahu ada petunjuk akses ke area terlarang tersebut. Tapi sejauh ini tidak ada data yang bisa dijadikan petunjuk. Hampir semua data yang telah didownload hanya berupa data-data yang berhubungan dengan KeyTel. Tidak ada data m engenai SPIKE, kelom pok Oni, atau Area X. Saat Zig ham pir m enarik kesim pulan bahwa dia m endow nload sesuatu yang sia-sia, pandangan matanya yang hampir 24 jam terjaga melihat salah satu ile yang kelihatannya berbeda dari yang lain. Bukan saja karena ile tersebut dilindungi oleh kata sandi, tapi karena letak ile tersebut yang sengaja dirahasiakan, terpisah dari data yang lain. Zig hanya butuh waktu kurang dari lim a m enit untuk memecahkan sandi yang melindungi ile tersebut. Setelah berhasil membuka ile yang bernama DELILAH PROJ ECT itu, m ata sipit pria itu terbelalak lebar, seolah-olah baru saja m elihat sesuatu yang luar biasa. Tidak m ungkin! batin Zig. Rachel harus tahu soal ini!



237



Dua Puluh Tujuh



D u a b u la n y a n g la lu



R ACHEL duduk



bersim puh di depan Shunji. Dia m engenakan baju serbaputih, dan m em akai ikat kepala putih. ”Apa Shunji y akin? Rachel rasa Rachel belum pantas. Dan kata Shunji…,” tany a Rachel. ”Kau sudah pantas. Shunji bisa m elihat dari dalam dirim u. Sekarang bersiaplah…,” balas Shunji. ”Tapi… bukannya ada tahapan-tahapan tertentu untuk m enjadi anggota? Tidak bisa langsung begitu saja?” ”Mem ang, tapi saat ini sudah tidak ada w aktu. Shunji harus cepat bertindak sebelum terlam bat.” ”Terlam bat? Apa m aksud Shunji? Apa karena Kenjikun?” 238



Shunji tidak m enjaw ab pertany aan itu. Dia m alah m engam bil sebuah bejana kecil berisi air, lalu m engucapkan beberapa kata dalam bahasa Jepang kuno sam bil m em ejam kan m ata. Setelah selesai, pria tua itu lalu m em ercikkan air pada Rachel sam bil tetap m engucapkan doa kuno. ”Sekarang berdirilah…,” perintah Shunji. Rachel m engikuti apa y ang dikatakan Shunji. Dia berdiri di hadapan guruny a tersebut. Shunji m enatap Rachel, lalu m eletakkan tangan kananny a di hadapan gadis itu. ”Dengan kuasa y ang diberikan oleh para leluhur, dengan ini aku m engangkat kau, Rachel Sarasvati W atson sebagai anggota Shinseina hi no Oni tingkat tiga,” ujar Shunji. Rachel tertegun m endengar ucapan Shunji. Tingkat tiga? Dia tahu tingkat keanggotaan kelom pok Oni dibagi m enjadi lim a tingkatan. Dari tingkatan terendah y aitu On im usha, hin gga tin gk atan tertin ggi y aitu Ketua Agung. Sebagai salah satu Ketua Pelindung y an g m erupakan tin gkat em pat dalam organ isasi, Shunji m em ang berhak m engangkat seorang anggota hingga tingkat tiga. Tapi hal itu tidak bisa dilakukan secara sem barangan. Seseorang harus m em enuhi berbagai kriteria dan m enjalani berbagai ujian sesuai untuk sesuai dengan tingkat keanggotaan y ang akan diterim a. Tapi Shunji langsung m engangkat Rachel m enjadi anggota tingkat tiga tanpa m elalui ujian apa pun. Ini di luar kebiasaan. Dan Shunji m engatakan dia tidak puny a 239



w aktu lagi. Terus terang, Rachel tidak m engerti m aksud ucapan itu. Shunji m engam bil sebuah pisau dari balik bajuny a. ”Ulurkan tangan kananm u,” pintany a. Rachel m engulurkan tangan kananny a. Dengan pisau di tanganny a, Shunji m eny ay at sedikit pergelangan tangan kanan Rachel. Rachel m eringis m enahan sakit saat m ata pisau y ang tajam m eny ay at pergelangan tanganny a. Saat darah m ulai keluar dari bagian y ang disay at, Shunji cepat-cepat m engam bil bejana kecil berisi m iny ak kelapa dan kain kecil berw arna putih. Lalu darah Rachel ditam pung dalam bejana kecil tersebut sam bil tangan kiri Shun ji m em egan g pergelan gan tan gan R achel dengan sedikit ditekan dan dipijit-pijit di sekitar daerah y ang tersay at. Tidak lam a kem udian darah m ulai berhenti m enetes hingga akhirny a berhenti sam a sekali. Shunji m enutup luka say atan pada pergelangan tangan kanan Rachel m enggunakan kain berw arna putih, lalu dia m em baw a bejana kecil berisi m iny ak kelapa dan cucuran darah Rachel pada bejana lain berukuran agak besar y ang juga berisi m iny ak kelapa dan m enuangkan isi bejana kecil tersebut ke bejana y ang lebih besar. Shunji lalu m engam bil obor kecil y ang telah dipersiapkan di sisi m eja, dan dengan obor itu dia m eny alakan api pada bejana berisi m iny ak kelapa dan darah Rachel di perm ukaanny a. Shunji kem bali m em baca doa di depan bejana y ang m eny ala. Setelah selesai, dia m enoleh ke arah Rachel. Shunji m engham piri Rachel dan duduk bersim puh di 240



depan gadis itu. Tangan kiriny a lalu m engam bil sebuah kotak baja kecil seukuran 20 x 10 senti, kem udian dia m em buka kotak tersebut dan m engeluarkan isiny a. ”Hany a anggota tingkat tiga ke atas y ang boleh m eny im pan buku ini.” Shunji m eny odorkan sebuah buku berw arna kuning keem asan pada Rachel. ”Ini adalah buku y ang berisi jurus beladiri rahasia dari kelom pok Oni. Ada sepuluh level atau tingkatan dalam buku tersebut dan setiap anggota hany a berhak m em pelajari level dalam buku ini sesuai tingkat anggotany a. Untuk tingkat tiga, kau hany a boleh m em pelajari hingga level enam ,” Shunji m enjelaskan. ”Bagaim ana jika Rachel m em pelajari level di atas level enam , Shunji?” tany a Rachel. ”Kau akan m endapat hukum an y ang sangat berat…,” jaw ab Shunji, ”…tapi itu jika ada anggota lain y ang m elihat dan m elaporkanm u…” Dan Rachel seperti m erasakan ada arti lain di balik kalim at terakhir Shunji. *** Lima pria bersenjata api menyerbu masuk ke ruang kerja Henry Keisp di lantai 50 . Begitu di dalam ruangan, m ereka langsung m elepaskan tem bakan m em babi buta ke segala arah. ”Berhenti!” seru salah seorang dari m ereka. Rentetan tembakan pun berhenti. Kemudian salah seorang lainnya m enyalakan saklar lam pu. Seketika itu juga, ruangan 241



menjadi terang benderang. Dan terlihat keadaan ruangan yang telah berantakan karena tem bakan m em babi buta tadi. Kelim a orang tadi m enyebar ke seluruh ruangan, seperti m encari sesuatu. ”Target tidak ditem ukan… ulangi, target tidak ditem ukan,” lapor orang yang m erupakan pem im pin kelim a orang tersebut m elalui alat kom unikasi yang tergantung di telinganya. ”Tidak m ungkin. Target m asih berada di perim eter.” Salah seorang dari kelim a orang itu m em eriksa lift pribadi Henry Keisp yang berada di ruangan itu. ”Aman… dia belum berhasil masuk,” lapornya kemudian. Tapi laporannya itu malah menimbulkan tanda tanya bagi rekan-rekannya. Ham pir serentak m ereka m enoleh ke atas langit-langit. Tapi tidak ada tanda-tanda lubang udara di langit-langit dibuka secara paksa. Hanya ada satu tem pat lagi yang m ungkin… Salah seorang m enoleh ke arah jendela. Saat itu juga semua baru merasakan embusan sepoi-sepoi angin malam dari luar. Ada yang m em buka jendela! Saat kelim a orang itu m enoleh ke arah jendela, tibatiba pintu lift pribadi di ruangan itu terbuka, dan keluarlah Matahari dengan pistol di tangan. Dua orang bersenjata yang berada di sekitar lift langsung roboh terkena tem bakan. Tiga orang yang lain segera bereaksi cepat dan melepaskan tem bakan ke arah lift. Matahari m elom pat m eng242



hindar sambil terus menembak. Baku tembak pun terjadi dalam ruangan berukuran sekitar 60 m eter persegi tersebut. Tidak banyak benda di dalam ruangan yang bisa dijadikan tempat berlindung. Meja kerja Henry Keisp telah dijadikan tam eng oleh tiga anak buahnya yang tersisa. Selain itu ada seperangkat m ebel di dekat pintu m asuk, dan inilah yang dijadikan tem pat berlindung oleh Matahari. Dia berlindung di balik sofa panjang yang berharga ribuan dolar Am erika. Ini bisa berlangsung lam a! batin Matahari. Pandangan m atanya terarah pada kom puter yang ada di m eja kerja Henry Keisp yang masih terhubung dengan PDAnya di atas meja. Dia tidak tahu apakah Zig telah selesai men-dow nload seluruh data yang ada pada komputer tersebut, tapi jelas dia tidak punya waktu lagi untuk m enunggu. Maafkan aku, Zig! Matahari telah m engam bil keputusan. Setelah m engisi kem bali pistolnya dengan m agasin yang baru, dia berguling ke sam ping sofa, dan m elakukan tem bakan. Sasarannya adalah m eja kerja Henry Keisp. Matahari tahu, mereka yang memburunya adalah mantan pem bunuh profesional SPIKE. Tapi itu tidak m encegah m ereka m elakukan kesalahan kecil ketika m elakukan adegan baku tem bak. J angan berlindung di balik benda yang mudah terbakar, m eledak, atau barang elektronik! Dan Matahari tahu, di dalam m eja kerja Henry Keisp ada seperangkat komputer yang digunakan Henry sehari243



hari. Meja kerja itu terbuat dari logam, tapi tidak masalah karena Matahari m enggunakan peluru titanium , logam paling keras di perm ukaan bum i ini. Tiga tem bakan pertam a ke bagian tengah m eja tidak m em buahkan hasil. Sem entara itu. Ketiga orang yang memburunya gencar melakukan tembakan balasan. Matahari kem bali berlindung di balik sofa. Peluru titanium m em ang sanggup m enem bus logam perm ukaan benda apa pun, kecuali intan, tapi harga peluru tersebut lim a kali lebih m ahal daripada harga peluru biasa yang terbuat dari timah. Karena itu Matahari tidak memiliki persediaan peluru titanium sebanyak peluru biasa dan dia harus berhemat serta menggunakan peluru itu seeisien mungkin. Usahakan langsung kena sasaran. Di m ana letak CPU 20 -ny a? tanya Matahari dalam hati Salah seorang pem bunuh naik ke m eja. Kelihatannya dia tidak sabar ingin segera m enghabisi targetnya. Matahari kem bali berguling, keluar dari sisi sofa dan melepaskan tembakan. Sasarannya sekarang adalah bagian kiri bawah m eja. Sebuah peluru titanium yang ditem bakkan berdesing cepat, dan m enem ukan sasarannya. Tidak ada yang terjadi hingga sekitar tiga detik kem udian… DUAARR… Ledakan kecil terjadi pada meja kerja Henry Keisp, me-



20 Central Processing Unit= Bagian inti dari sebuah sistem komputer. CPU boleh dibilang adalah ”otak” dari keseluruhan sistem komputer tersebut.



244



nyebabkan meja logam itu porak poranda. Para pembunuh yang berlindung di baliknya pun terkejut dan segera berham buran m enyelam atkan diri. Matahari tidak m au m em buang waktu. Dia cepat berlari ke arah penyerangnya yang masih shock dengan ledakan yang baru terjadi. Gadis itu m encekal lengan kanan orang terdekat dan memuntirnya, hingga tulangnya patah. Matahari lalu m engam bil senjata orang tersebut, yaitu senapan pendek sem iotom atis. Dengan cepat dia lalu mengarahkan dan menembakkan senapan yang dipegangnya pada dua pem bunuh lain. Tanpa perlawanan keduanya pun diterjang tim ah panas. Bahkan salah seorang di antaranya terdorong ke arah jendela, m enem bus jendela yang setengah terbuka, dan jatuh ke bawah. Matahari lalu m elepaskan tangan pem bunuh yang dipegangnya, dan memberikan satu pukulan terakhir yang mematikan pada pangkal leher pria tersebut. Selesai sudah! batin Matahari sam bil m enarik napas panjang. Tiba-tiba lam pu di ruang kerja Henry Keisp berubah. Dari tadinya terang, m enjadi lam pu kuning berkedipkedip. Pintu ruangan pun tertutup secara otom atis. J uga jendela, tertutup sem acam sekat dari atas. Apa lagi ini? Belum lagi hilang kekagetan Matahari, dia m erasa dadanya terasa sesak. Pandangan m atanya pun jadi berkunang-kunang. Tidak lam a kem udian tubuhnya terasa lemas. Matahari coba menetralisir keadaan tubuhnya dengan menarik napas dalam-dalam dan mengatur konsentrasinya, tapi tidak berhasil. Makin lam a pandangannya 245



m enjadi kabur dan gelap. Sebelum jatuh pingsan, Matahari sem pat m endengar langkah kaki m endekati dirinya. Sesudah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.



246



Dua Puluh Delapan



R ACHEL



tidak m enyangka akan bertem u anak buah Henry lainnya di lantai 32. Tiga anggota Yakuza yang menyertainya telah tewas terkena tembakan, sedang seorang lagi terluka terkena tem bakan di paha. Yang m enyerang Rachel m em ang bukan orang sem barangan. Ketiga penyerangnya adalah m antan pem bunuh bayaran SPIKE yang punya kem am puan bertem pur sangat baik. Di sisi lain, posisi Rachel juga sangat tidak menguntungkan. Dia dan keem pat anggota Yakuza lainnya yang m asih bertahan terpojok di dekat pintu darurat, dihujani tembakan dari berbagai arah. Tidak ada jalan lain! batin Rachel. Dia m engenakan kaca m ata hitam nya. Rachel lalu m enekan tom bol pada jam tangannya, m engeluarkan gelom bang elektro m agnetik. 247



Seketika itu juga keadaan m enjadi gelap gulita. Rachel segera m enghidupkan fungsi night vision pada kacam atanya hingga dia dapat m elihat dengan jelas dalam kegelapan. ”Tunggu di sini!” perintah Rachel pada para anggota Yakuza. Sesudah itu dia keluar dari tempat persembunyiannya. Di luar perhitungan Rachel, keluarnya dia dari tem pat persem bun yian n ya tern yata disam but oleh ren tetan tembakan, membuatnya terpaksa berguling di lantai, mencari tem pat perlindungan lain. Shit! maki Rachel dalam hati. Ternyata musuhnya juga m em akai kacam ata night vision! Men getah u i tidak ada gu n an ya ber tar u n g d alam kegelapan, Rachel membuka kacamatanya dan mematikan gelom bang elektrom agnetik jam tangannya. Lam pu di lantai 32 pun m enyala kem bali. Rachel punya waktu beberapa detik saat penyerangnya m elepas kacam ata m alam nya. Dan itu dim anfaatkannya untuk m endekat, hingga dia tahu posisi para penyerangnya. Dua di kanan, satu di kiri! batinnya. Cepat dia m engeluarkan sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah granat mini buatan tangan. Sambil melompat Rachel m elem parkan granat m ini itu ke sebelah kanannya. DUARR!! Ledakan kecil terjadi. Anak buah Henry yang berlindung di balik sebuah ceruk terlempar terkena ledakan. 248



Keduanya tidak tewas, tapi terluka cukup parah hingga sudah tidak berbahaya lagi. Rachel m engibaskan tangan kanannya ke arah kiri. Gelom ban g pukulan lan gsun g m en erjan g, m em buat penyerangnya yang masih tersisa terpental, ke arah eskalator. Saat m encoba bangkit, Rachel telah siap dengan pistol di tangan. Tiga tem bakan, dua ke arah telapak tangan kanan dan kiri serta satu ke arah paha kanan m elum puhkan m usuhnya. *** Kenji m asuk ke ruangan tem pat Henry Keisp telah m enunggunya. ”Kau m enangkap Matahari?” tanya Kenji. Henry m enoleh ke arah Kenji. ”Kenapa?” Henry balik bertanya. ”Kukira kau akan m em bunuhnya.” ”Aku berubah pikiran. Kupikir dia akan berguna bagi kita nanti,” sahut Henry. ”Apa kau tidak takut dia bisa berbahaya nanti? Kem am puannya ham pir setara dengan Rachel dan sem akin hari kem am puannya sem akin berkem bang.” ”Aku tahu. Tapi aku punya irasat gadis itu menyimpan sesuatu. Aku akan cari tahu soal itu sebelum memutuskan apakah akan m em biarkan dia tetap hidup atau harus m em bunuhnya.” ”Dia bukan siapa-siapa.” ”Itu akan kita ketahui nanti. Kenapa kau kelihatan cem as?” 249



”Tidak… aku hanya…” Kenji tidak melanjutkan ucapannya. ”Dan Rachel?” tanya Kenji mengubah topik pembicaraan setelah terdiam sejenak. ”Aku m em utuskan untuk m engakhiri perm ainan ini,” jawab Henry. ”Kau akan m em bunuhnya sekarang? Dengan apa?” ”Kau siap m enghadapinya saat ini?” Kenji tidak m enjawab pertanyaan itu. ”J angan kuatir, aku tidak akan m enyuruhm u untuk menghadapi dia. Aku punya cara lain untuk mengirimnya ke neraka, walau cara itu sangat mahal dan menyulitkanku nanti,” tukas Henry. ”Dengan cara apa kau akan m em bunuh dia?” ”Lihat saja.” ”Lalu, bagaim ana dengan perjanjian kita?” Henry tertawa m endengar pertanyaan Kenji. ”J angan kuatir… aku adalah orang yang menepati janji. J ustru karena ini kau kupanggil kem ari.” Henry menjulurkan sebuah buku bersampul cokelat tua yang sedari tadi dipegangnya pada Kenji. ”Dari cerita The Twins, kelihatannya Double M telah m en guasai hin gga level delapan , yan g han ya boleh dipelajari oleh Ketua Agung,” kata Henry. Kenji m enerim a buku dari Henry dan m em buka-buka isinya. ”Kau boleh m em eriksanya. Buku itu salinan langsung dari buku aslinya. Ayahku sendiri yang m en-scan-nya,” kata Henry seolah bisa m em baca pikiran Kenji. ”Kalau kau coba-coba m enipu aku…” 250



”Tidak ada tipuan…” Sam bil berkata dem ikian, Henry mengibaskan tangan kanannya. Seketika itu juga embusan angin yang kuat keluar dari tangannya. Em busan angin itu bahkan bisa m em buat kursi yang berada di dekat Kenji terlem par ke belakang. Anehnya, Kenji tetap bergem ing di tem patnya. Dia seolah-olah tidak terpengaruh em busan angin dari tangan Henry. ”Lihat, aku telah m enguasai level tujuh dari buku ini. Sam a sepertim u. H anya saja dasar tenaga dalam ku kurang, jadi efeknya tidak sebesar kau, ataupun Double M,” ujar Henry. Kenji m em asukkan buku bersam pul cokelat tua itu di balik jaket kulitnya. ”Kau hanya m em pelajari sam pai level tujuh?” tanyanya. ”Aku bukan anggota Oni, jadi aku tidak terikat peraturan. Inginnya aku mempelajari semua tingkatan dalam buku itu. Tapi level berikutnya bukan saja hanya boleh dipelajari oleh Ketua Agung, tapi m em ang jurus di ketiga level terakhir itu susah untuk dipelajari. Aku telah berkalikali m encobanya, tetapi selalu gagal… Apalagi level sepuluh atau terakhir. Aku kira jurus terakhir ini hanya diperuntukkan khusus untuk Ketua Agung,” jawab Henry. ”Tapi aku yakin, kau pasti bisa. Double M bisa m enguasai level delapan, kenapa kau tidak? Bahkan mungkin kau bisa mempelajari level sepuluh. J urus yang tidak terkalahkan,” lanjutnya. Rachel… kalau dia bisa m enguasai sem ua jurus y ang ada di buku ini…! batin Kenji. 251



”Bagaim ana dengan gadis itu? Apa yang akan kauperbuat padanya?” tanya Kenji lagi. ”Maksudm u Nona Nissho? Kau sangat peduli dia ya? Apa kau m enyukainya?” Henry m alah balik bertanya. Kenji tidak m enjawab pertanyaan Henry. ”Serahkan gadis itu padaku. Aku tidak ingin dia terluka,” tegas Kenji. Henry m enatap Kenji sejenak sam bil berpikir. ”Baiklah…,” katanya kem udian. ”Setelah urusan ini selesai, gadis itu akan kuserahkan padamu. Dan seperti janjiku sebelumnya, sampai saat ini tubuhnya tidak tergores sedikit pun,” tandas Henry akhirnya. *** Rachel baru saja menarik napas lega, saat terdengar suara m elalui pengeras suara yang terpasang di sekeliling area. ”Kau m em ang hebat, Double M… aku terlalu m erem ehkanm u. Karena itu, aku tidak ingin m em buang w aktu lagi!” Terdengar suara Henry m enggem a di seluruh area. Rachel heran m endengar ucapan Henry. Tidak ingin m em buang w aktu lagi? Apa m aksudny a? batin gadis itu. Tiba-tiba lantai tem patnya berpijak bergetar hebat. Disusul suara ledakan di beberapa bagian gedung. Serasa ada gem pa bum i berskala besar di tem pat itu. Ada apa ini? Tiba-tiba Rachel teringat apa yang baru saja diinform asikan Zig padanya soal Project Alpha. 252



Shit! Dia akan m enghancurkan tem pat ini! batin Rachel. Dia m enghubungi Zig m elalui alat kom unikasinya. ”Zig, kau bisa m endengarku?” Tidak ada jawaban, Rachel m engulang panggilannya sampai akhirnya dia menyadari alat komunikasinya tidak m endapat sinyal. Sem entara itu, atap gedung m ulai runtuh, juga lantai tem pat Rachel berpijak. Gadis itu terpaksa harus melompat menghindari lantai yang runtuh. Dari ekor m atanya, dia m elihat em pat anggota Yakuza yang m engikutinya juga berusaha m enyelam atkan diri. Tapi m alang, satu per satu tubuh m ereka terjerem bap bersam a lantai yang runtuh atau tertim pa reruntuhan atap. Sepertinya tidak ada jalan lain bagi Rachel untuk m enyelam atkan diri. Hanya dalam hitungan detik, lantai tempatnya berada runtuh, bersama dengan lantai lain dan berjuta-juta ton-ton m aterial bangunan, terem pas ke tanah. *** Mata Riva terbelalak begitu m engetahui siapa yang baru saja m elangkah ke dalam ruangan. ”Kenji…” Riva segera berlari dan m em eluk Kenji. ”Kau baik-baik saja?” tanya Kenji. ”Baik…. aku tidak apa-apa. Kenapa kau ada di sini? Kau datang untuk m engeluarkan aku dari sini, kan?” tanya Riva setelah m elepaskan pelukannya. 253



Kenji tidak m engangguk. ”Aku mendengar suara gemuruh di luar. Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Riva lagi ”Tidak ada apa-apa. Yang penting kau baik-baik saja,” jawab Kenji, berusaha m enenangkan Riva. ”Mereka bilang akan segera m engangkatku m enjadi ketua. Tapi aku lalu disuruh m enunggu di tem pat ini, entah sam pai kapan. Kau akan m engeluarkan aku dari sini, kan?” tanya Riva lagi. ”Tentu. Sekarang kau ikut aku. Kita akan keluar dari tem pat ini,” jawab Kenji, lalu dia m enyeret tangan Riva. ”Tunggu…” Riva m engam bil jaket katun yang digantung di balik pintu, lalu m engikuti Kenji keluar ruangan. *** Marcelo m asuk ke ruangan tem pat Henry berada. ”Ucapanmu benar. Dia memang tidak dapat dipercaya,” ujar Henry. ”Lalu, apa tindakan kita?” ”The Shadow akan sangat berbahaya jika kita biarkan hidup. Bunuh dia.” ”Dan gadis itu?” tanya Marcelo. ”Kita sudah tidak m em erlukan dia lagi. Perm ainan ini sudah berakhir, lebih cepat dan lebih m udah dari yang kubayangkan,” jawab Henry.



254



Dua Puluh Sembilan



”CAROLINE



FISHER dari BBC m elaporkan langsung dari lokasi runtuhnya gedung Key Tower di pusat bisnis Canary Wharf London. Seperti pem irsa ketahui, sekitar lim a belas m enit yang lalu, yaitu pukul satu lewat tujuh m enit, gedung tertinggi di London ini tiba-tiba runtuh sebagian. Mengapa kami sebut sebagian, karena memang hanya sekitar dua pertiga bagian gedung yang runtuh, sedang sepertiga lainnya yang m erupakan lantai atas gedung masih tetap utuh. Dan satu keanehan lagi, bahwa m enurut penglihatan kam i, bagian gedung yang runtuh hanyalah bagian sisi gedung. Sedang bagian tengah gedung m asih tetap utuh, dan bagian ini yang m e nahan lantai gedung yang tidak runtuh hingga gedung ini tidak am bruk seluruhnya. Saat ini telah terlihat petugas dari kepolisian , pem adam kebakaran , juga param edis di 255



sekitar lokasi. Kami belum mendapat informasi mengenai penyebab runtuhnya sebagian gedung dan apakah ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Sejauh ini, pihak KeyTel Corporation sebagai pem ilik Key Tower belum m em berikan keterangan resm i atau bisa dim intai keterangan…” *** Zig keluar dari van yang diparkir sekitar seratus m eter dari Key Tower. Di sela-sela asap dan debu dari sisa-sisa runtuhnya sebagian gedung, dia menyaksikan sendiri keadaan Key Tower sekarang dalam kegelapan. Suara sirine dan hilir-mudik mobil polisi, petugas pemadam kebakaran, dan am bulans tidak dipedulikannya. Pandangan pria itu terus tertuju pada sisa gedung yang m asih berdiri tegak. Kekagum an pun m enyelim uti benaknya. Proy ek itu benar-benar terw ujud! Benar-benar jenius! batin Zig. Tapi kekuatiran m enyelim uti benaknya. Bagaim ana nasib Rachel dan Matahari? *** Nun jauh di atas dan luput dari pengam atan siapa pun, tubuh Rachel tergantung di luar gedung dengan m engandalkan seutas kabel dari logam. Kabel kecil yang ujungnya tertancap pada dinding gedung itulah yang m enahan tubuhnya agar tidak jatuh ke bawah bersam a jutaan ton m aterial gedung, dan sekarang m enjadi pem batas antara hidup dan m ati bagi Rachel. Setelah tergantung sekitar lim a belas m enit m enunggu 256



debu dan asap yang menaungi sekeliling gedung mereda, Rachel akhirnya m engam bil keputusan untuk naik dan m asuk kem bali ke gedung. Setelah m em bersihkan debu yang m enem pel di kacam ata yang dikenakannya, Rachel m em anjat kabel hingga bisa m enggapai pinggiran bawah gedung. Dibanding lantai di bawahnya yang runtuh, lantai 51 hingga 76 yang sering disebut Area X tidak banyak m em iliki jendela di setiap lantainya. Dan saat ini, jendela terdekat dari tem pat Rachel bergantung berjarak sekitar sepuluh meter di sisi kanannya. Rachel harus berayun ke sam ping untuk dapat m enggapai jendela tersebut. Hal yang sulit, walau tidak m ustahil untuk dilakukan. Tapi gadis itu punya rencana lain. Rachel berayun ke depan dan belakang. Makin lam a ayunannya m akin keras. Dan saat ayunannya dirasa sudah cukup keras, tiba-tiba dia melepaskan diri dari kabel logam yang selam a ini m enopang hidupnya. Saat dirinya m elayang di udara, Rachel m enem bakkan kabel logam lainnya m elalui pelontar kecil dari tangannya. Kabel logam itu menancap di dinding persis di samping jendela terdekat. Saat telah berada di sam ping jendela, Rachel m eneliti sebentar jendela di dekatnya. Sudah kuduga! Jendela ini sangat tebal, berbeda dengan jendela di lantai baw ah! batinnya. Rachel menempelkan jari manis kirinya yang mengenakan cincin pada kaca jendela. Cincin yang dikenakannya bukanlah perhiasan biasa, cincin itu dapat mengeluarkan gelom bang suara ultrasonik yang bisa m em ecahkan atau 257



memotong kaca setebal apa pun. Dengan memutar sebuah alur kecil pada cincin untuk m engaktifkan gelom bang ultrasonik, Rachel tinggal memutar tangannya untuk membuat sebuah lubang pada jendela yang cukup untuk dirinya m asuk. *** Alarm pada ruang kontrol Area X yang terletak di lantai 70 berbunyi. ”Ada perubahan tekanan udara yang cukup besar di lantai lim a puluh dua!” kata seorang penjaga. ”Perubahan tekanan? Karena apa?” tanya penjaga lainnya. ”Mungkin ada jendela yang pecah akibat getaran dari proses Deform asi tadi.” ”Tidak m ungkin. Seluruh jendela di area X telah didesain untuk menghadapi getaran yang kuat akibat proses Deform asi. Tidak m ungkin getaran tadi m engakibatkan jendela pecah.” ”Kalau begitu apa penyebabnya?” ”Kirim orang ke sana untuk m enyelidikinya!” *** Masuk ke lantai 52, Rachel mendapati dirinya berada dalam sebuah koridor yang panjang. Tidak seperti lantai di bawah Area X yang telah dibagi menjadi ruangan-ruangan untuk kegiatan bisnis, di lantai 52 ini hanya terlihat koridor panjang yang kelihatannya m engelilingi seluruh 258



lantai, tanpa terlihat adanya pem bagian ruangan. J uga tidak terlihat adanya pintu pada dinding dalam sebagai tanda adanya ruangan di dalam nya. Rachel melangkah mendekati dinding bagian dalam. Dia m eraba dan bahkan m enem pelkan telinganya ke dinding. Pasti ada sesuatu di balik dinding ini! batinnya. Dia tetap yakin bahwa Riva berada di salah satu tempat yang berada di balik dinding. Gadis itu lalu berjalan perlahan m enyusuri koridor. Siapa tahu dia m enem ukan pintu atau sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk mengenai dugaannya itu, dan mungkin bahkan sebuah pintu untuk m elihat ke balik dinding. Tapi bukan pintu yang ditem ukan Rachel, m elainkan dua penjaga yang akan m em eriksa jendela. Sebelum kedua penjaga itu beraksi, Rachel cepat bertindak. Sekali mengibaskan tangan, kedua penjaga terlempar ke dinding di sam pingnya. Sebelum kedua penjaga itu bangkit, Rachel cepat mengambil pistolnya dan menembakkannya di paha kedua penjaga tersebut. ”Mana jalan m asuk ke dalam dan akses ke lantai lain?” Kedua penjaga itu tidak m enjawab. Salah seorang dari m ereka m alah m enekan sebuah kotak kecil yang ada di sabuknya. Rachel cepat bertindak. Dia menotok kedua penjaga itu pada lehernya, hingga m ereka diam tidak bergerak. Kedua penjaga ini pasti berasal dari lantai lain! batin Rachel. *** 259



”Ada penyusup di lantai lim a puluh dua!” ”Cepat lapor pada Tuan Marcelo!” *** Setelah m enyusuri koridor yang m elingkar m engelilingi gedung, Rachel akhirnya menemukan sebuah pintu. Tentu saja pintu yang terbuat dari logam tersebut dilindungi oleh sistem keam anan berupa PIN. ”Zig? Kau dengar? Zig?” Rachel m encoba m em anggil. Tapi ternyata alat kom unikasinya m asih tetap tidak berfungsi. Rachel m em andangi panel yang terdapat key pad pada perm ukaannya. Hanya ada satu cara untuk m engetahui kom binasi angka yang tepat, dan itu m erupakan cara yang sangat klasik, yaitu m engem buskan napas m elalui mulut. Napas dari mulut yang mengandung uap air akan m enem pel pada perm ukaan key pad dan akan m em perlihatkan sidik jari yang ada pada key pad yang sering ditekan. Masalahnya adalah menentukan urutan yang tepat dari angka yang ada, dan kadang-kadang dibutuhkan sedikit keberuntungan dalam hal itu. Ada lim a angka yang key pad-nya m eninggalkan sidik jari, yaitu 3,5,8,9,0 . J um lah PIN um um nya tidak pernah ganjil! J adi pasti ada satu angka yang dipakai dua kali! Rachel m engam ati dengan saksam a sidik jari pada masing-masing keypad, hingga akhirnya dia bisa menemukan salah satu perm ukaan key pad m em punyai sidik jari lebih dari satu. Tiga! 260



Tidak m ungkin m ereka m enyusun nom or secara berurutan, dari yang kecil atau yang besar dahulu. Pasti secara acak! Rachel m enekan key pad, m em asukkan enam angka PIN sesuai dengan keyakinannya. 5380 93 Dan pintu terbuka! Benar-benar keberuntungan pem ula! *** Kenji m enuntun Riva m enuju lantai atas. ”Kita akan keluar, kan? Kenapa m alah ke atas?” tanya Riva. ”Ke atas satu-satunya jalan keluar,” jawab Kenji. ”Em ang ke bawah nggak bisa?” ”Nanti kau akan lihat sendiri…” Riva dan Kenji akhirnya sam pai di lantai teratas, lantai 76. Tapi saat hendak m enuju ke atap gedung, Tiba-tiba Kenji berhenti. ”Ada apa?” tanya Riva. ”Dia m asih hidup…,” gum am Kenji. ”Siapa?” ”Rachel. Dia ada di sini. Di lantai lain.” ”Elsa di sini?” *** 261



Saat Rachel memasuki ruangan yang berada di balik dinding, m atanya terbelalak. Dia tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya, walau sebelum nya telah m em peroleh inform asi dari Zig. Inikah Proy ek Delilah? tanya Rachel dalam hati. ”Selam at datang, sekali lagi… Double M.” Suara itu. Suara yan g terden gar seperti m alaikat kem atian bagi Rachel. *** Berapa kali pun m encoba, Zig tetap tidak bisa m enghubungi Rachel ataupun Matahari. Kom unikasi sam a sekali terputus. Sem oga m ereka baik-baik saja! batin Zig sambil tetap memantau perkembangan mengenai ambruknya sebagian Key Tower dari televisi di van-nya dan dari kom unikasi radio polisi yang berhasil dibajaknya.



262



Tiga Puluh



”S



EKITAR lim a m enit yang lalu, pihak KeyTel Corp. baru saja selesai m engadakan konferensi pers m engenai runtuhnya gedung Key Tower. Dan menurut pihak KeyTel yang diwakili oleh humasnya, runtuhnya sebagian gedung itu adalah bagian dari renovasi Key Tower. Gedung itu sengaja diruntuhkan pada malam hari untuk menghindari risiko, termasuk adanya korban yang mungkin timbul jika pengerjaannya dilakukan pada siang hari. KeyTel juga memastikan tidak ada korban jiwa dalam proses peruntuhan ini karena bagian gedung yang runtuh dalam keadaan kosong. Petugas keam anan gedung yang telah terlebih dahulu dievakuasi di tem pat yang am an…” *** Rachel m erasa berada di dalam sebuah tabung raksasa. 263



Area X ternyata m erupakan bangunan dengan lubang besar di tengahnya, terbentang dari dasar hingga ke puncak. Dinding lubang itu penuh dengan berbagai m acam cahaya dari perangkat elektronik yang ditanam di dalam nya. Ya, seluruh dinding di Area X merupakan perangkat elektronik yang m ungkin berjum lah ribuan. Terdapat jem batan yang m enghubungkan sisi ruangan dengan sisi lainnya di beberapa lantai, term asuk di lantai tem pat Rachel berada. Di tengah-tengah Area X terdapat sebuah tiang berbentuk silinder dengan diam eter sekitar tiga m eter, yang juga terbentang dari dasar. Bedanya, tiang itu tidak sam pai ke puncak. Puncaknya m asih terlihat dari tem pat Rachel berdiri. Pada permukaan tiang itu terdapat lampulam pu yang berkerlap-kerlip secara berurutan dari atas ke bawah. Inform asi dari Zig m em ang benar! batin Rachel sam bil m em andang ke segala arah. Proy ek Delilah. Terny ata selam a ini server Key Tel berada di dalam gedung m ereka sendiri, bahkan Key Tow er adalah server itu sendiri. Dan m elihat rancangan Key Tow er, aku tidak bisa m em bayangkan betapa besarnya kem am puan server m ereka dalam m enangani jaringan telekom unikasi di seluruh dunia. Bahkan superkom puter terbesar m ilik pem erintah AS pun besarny a tidak sam pai seperem pat dari superkom puter y ang ada di Key Tow er. ***



264



”Kagum ?” Suara itu bergem a di seluruh area ruangan. Rachel m endongak, ke tem pat suara itu berasal. Henry Keisp berdiri di salah satu jem batan, beberapa tingkat di atasnya. Walau jaraknya cukup jauh, tapi suara Henry terdengar jelas di ruangan yang berongga besar tersebut. Walau Rachel belum pernah bertem u langsung dengan Henry, tidak sulit untuk m engenalinya. Apalagi sebagai pem ilik salah satu perusahaan kom unikasi terbesar di dunia, foto-foto Henry sering m uncul di berbagai m edia. ”Delilah m em ang indah. Aku sendiri sam pai saat ini tidak pernah berhenti m engagum inya. Ayahku m em ang benar-benar jenius!” Henry m elanjutkan ucapannya. ”By the w ay … kau tahu kenapa ayahku menamakan ini Delilah?” tanya Henry. Lalu tanpa m enunggu jawaban Rachel, dia m enjawab sendiri pertanyaannya. ”Delilah. Wanita yang terlihat lemah, tapi memiliki kecerdasan yang luar biasa, hingga pria yang punya kekuatan luar biasa seperti Sam son pun bisa dia taklukkan.” ”Dan kau berharap akan menaklukkan dunia dari sini?” tanya Rachel. ”Menaklukkan? Aku suka kata itu, walau bagiku itu tidak tepat. Aku lebih suka m em akai istilah… m engatur. Ya, m engatur dunia.” ”Sekarang adalah zam annya telekom unikasi, m ultim edia. Siapa yang bisa m enguasai telekom unikasi, dia akan m enguasai dunia…,” tukas Henry. ”Kau m elakukan sem ua ini untuk m enguasai dunia? 265



Dengan m engorbankan banyak nyawa?” ”Apa m aksudm u?” ”Sem ua yang kaulakukan... Kau m engadu dom ba dua kelompok kriminal terbesar di J epang. Kau tahu pertikaian m ereka tidak hanya m em bawa korban jiwa di kedua pihak, tapi bisa m engguncang politik dan perekonom ian J epang, yang m em bawa pengaruh yang tidak kecil bagi kestabilan politik dan ekonom i Dunia. Dan siapa yang diuntungkan dengan sem ua ini? Tentu saja m edia dan perusahaan telekom unikasi seperti kalian.” Mendengar ucapan Rachel, Henry tertawa kecil. ”Ha... ha... ha… Aku sangat kagum dengan analisism u, Nona Watson. Tapi sayang, kau keliru. Walau secara tidak langsung KeyTel diuntungkan dengan pertikaian yang terjadi dan pengaruhnya pada dunia, tapi bukan itu alasan utam a m engapa aku m elakukan sem ua ini,” ujar Henry di sela-sela gelak tawanya. ”Oya? Kau yakin? Sebab aku tahu sem uanya.” ”Kau tahu?” ”Ya. Aku tahu. Shunji telah m enceritakan sem uanya.”



266



Tiga Puluh Satu



”I NI kisah tentang dua anak m anusia. Seorang berasal dari sebuah negara di Tim ur Jauh, dan y ang lain berasal dari belahan barat dunia. Sejak berusia lim a tahun Shunji Nakay am a diasuh oleh seorang pem bunuh bay aran kelom pok Oni, y aitu George Sutton. Lim a tahun kem udian, George Sutton m endapatkan seorang anak dari istriny a y ang say angny a langsung m eninggal setelah m elahirkan. Anakny a itu diberi nam a Jam es Sutton. Shunji dan Jam es tum buh bersam a seperti kakak-beradik. Tapi hany a Shunji y ang tertarik untuk m enjadi pem bunuh bay aran seperti ay ah angkatny a, sedang Jam es lebih tertarik untuk belajar di sekolah. Shunji lalu belajar ilm u beladiri pada seorang ninja y ang juga m erupakan tem an baik ay ah angkat ny a. Sam pai akhirny a dia pun ikut bergabung dengan kelom pok Oni. 267



”W alau m em ilih tidak m enjadi pem bunuh bay aran seperti ay ahny a, bukan berarti Jam es sam a sekali jauh dari dunia tersebut. Sejak kecil, dia m engenal baik tem an-tem an ay ahny a, sesam a anggota kelom pok Oni. Jam es bahkan tahu di m ana m arkas kelom pok tersebut dan tradisi m ereka. Dia m engenal baik Ketua Agung y ang juga m erupakan tem an baik ay ahny a, tidak jauh berbeda dengan Shunji y ang m erupakan anggota kelom pok. Dan terutam a, dia juga tahu rahasia kelom pok y ang bahkan tidak diketahui oleh anggota kelom pok itu sendiri. ”Saat George Sutton m eninggal, Shunji m enggantikan ay ah angkatny a untuk m enghidupi dan m em biay ai sekolah Jam es. Dalam usia y ang m asih sangat m uda, dia juga diangkat m enjadi salah satu Ketua Pelindung m enggantikan ay ah angkatny a. Suatu hari, dia m enem ukan tulisan m engenai sejarah kelom pok Oni y ang sebenarny a, y ang telah lam a tersim pan rapi dan tidak pernah ditem ukan anggota kelom pok lain. Penem uannya itu lalu diberitahukan pada Ketua Agung, Penasihat, dan para Ketua Pelindung. Ketua Agung lalu m em erintahkan Shunji untuk m encari penerus kepem im pinan kelom pok y ang sah, y aitu Keluarga Nissho dan berm aksud m engem balikan kepem im pinan kelom pok pada y ang berhak. Shunji lalu m asuk m iliter untuk m em perm udah pencarianny a. Tapi saat dia sudah m enem ukan penerus keluarga Nissho, terjadi pergantian kekuasaan dalam kelom pok. Ketua Agung m eninggal, dan penggantiny a terny ata tidak m em puny ai pem ikiran y ang sam a seperti ay ahny a. Dengan dukungan para ketua y ang m en268



dukungny a, m ereka m enghabisi keturunan Nissho hingga ny aris tidak tersisa. Hany a satu y ang selam at, dan Shunji y ang m engetahui hal itu berusaha m elindunginy a secara diam -diam , tentu saja dengan bantuan Jam es. ”Setelah lulus kuliah, Jam es bekerja di salah satu perusahaan elektronik. Dia lalu jatuh cinta pada seorang w anita Jepang y ang berusia lebih tua dariny a. Say angny a, w anita itu telah bersuam i, bahkan m em puny ai anak. Dan suam iny a adalah orang y ang puny a kekuasaan dan kekuatan. Ya, w anita itu adalah istri Ketua Agung sendiri. Ketua Agung m em ergoki Jam es berselingkuh dengan istriny a. Dalam kem arahan dan keterkejutanny a, Ketua Agung terkena serangan jantung y ang m em atikan. Jam es m elarikan diri ke luar Jepang untuk m enghindar dari kejaran kelom pok Oni y ang ingin m em balas dendam . Sedangkan istri sang ketua bunuh diri karena m alu dan takut diadili Kelom pok Oni. Anak gadis m ereka diam bil dan dipelihara oleh Shunji. Sejak saat itu, kelom pok Oni tidak m em puny ai Ketua Agung. ”Jam es m elarikan diri ke Eropa. Dia berkelana dari satu negara ke negara lainny a. Dia lalu bertem u dengan seorang gadis w arga negara Norw egia, dan m ereka akhirny a m enikah. Jam es pun m engganti nam any a dan m engubah kew arganegaraannya, m enjadi w arga negara Norw egia. Mereka lalu pindah ke Inggris, dan dengan bantuan istriny a Jam es m endirikan perusahaan sendiri, bergerak di bidang elektronik dan alat-alat kom unikasi. Usahany a m akin lam a m akin berkem bang dan m ereka m em iliki seorang anak laki-laki. 269



”Tapi Jam es tidak bisa selam an y a bersem bun y i. Shunji y ang terus m encariny a, akhirny a bisa m enem ukan dia dan keluargany a. Tapi Shunji tidak tega m em bunuh Jam es dan keluarganya sesuai perintah kelom pok, karena m erasa berutang budi pada orangtua Jam es dan m enganggap Jam es saudarany a sendiri. Tanpa sepengetahuan kelom pok Oni, Shunji akhirny a m alah m em bantu m erekrut orang-orang untuk m elindungi Jam es dan keluargany a. Di kem udian hari, Jam es akhirny a m alah m endirikan organisasi pem bunuh bay aran profesional dari orang-orang y ang direkrutny a. ”Anak gadis Ketua Agung y ang diasuh Shunji tum buh m enjadi w anita dew asa. Say angny a dia jatuh ke dalam pergaulan y ang salah dan tidak pernah m enghargai Shunji y ang m eraw at dan m em besarkanny a. W alau begitu Shunji selalu m eny ay anginy a. Bahkan saat anak angkatny a pergi dari rum ah tanpa kabar, Shunji selalu berusaha m encariny a. Shunji akhirny a baru m enem ukan anak angkatny a enam tahun kem udian. Say angny a pertem uan m ereka hany a berlangsung singkat sebelum anak angkatny a itu m eninggal akibat terlalu bany ak m inum m inum an keras dan m em akai narkoba. Anak angkat Shunji itu m eninggalkan seorang anak laki-laki berusia satu tahun y ang tidak diketahui siapa ay ahny a. Shunji pun m em baw a anak laki-laki tersebut dan m enganggapny a sebagai anakny a sendiri. Shunji sendiri kem udian m engundurkan diri sebagai salah satu ketua pelindung kelom pok Oni, dan pem bunuh bay aran lalu m em ilih hidup di kaki sebuah gunung yang terpencil dan jauh dari keram aian. 270



”Di sisi lain, Jam es terny ata tidak benar-benar m elupakan m asa laluny a. Keinginan untuk m em balas dendam pada kelom pok Oni y ang telah m em isahkan diriny a dari w anita y ang dicintainy a sangat kuat, tidak lekang dim akan w aktu. Berpuluh-puluh tahun kem udian, saat m erasa kedudukanny a telah kuat, Jam es m encoba m elaksanakan dendam ny a. Dia berhasil m eny usup kem bali ke kelom pok dengan identitas baruny a. Jam es bahkan berhasil duduk sebagai salah Ketua Pelindung, hingga m em puny ai akses y ang ham pir tidak terbatas ke kelom pok. ”Shunji y ang m engetahui hal ini berusaha m encegah Jam es m elaksanakan niatny a. Bagi Shunji, kelom pok Oni adalah salah satu keluargany a, sam a seperti Jam es, dan dia tidak ingin ada y ang terluka. Tapi Jam es tetap bergem ing. Shunji pun m encoba dengan berbagai cara untuk m enghalangi niat Jam es tanpa m em bahay akan adik angkatny a itu. Shunji tahu, kalau anggota Kelom pok Oni lain m engetahui siapa sebenarny a Jam es dan apa niatny a, m ereka pasti akan m em buru Jam es habishabisan. Shunji tidak ingin pertum pahan darah terjadi. ”Say ang, sebelum berhasil m em balas dendam , Jam es lebih dahulu tew as dalam suatu peristiw a y ang tidak didugany a sam a sekali. W alau begitu niatny a untuk m em balas dendam tidak pernah padam , dan rencananya itu sekarang diteruskan oleh putrany a…”



271



Tiga Puluh Dua



”M UNGKIN



kau telah m engetahui rencana ayahm u, dan kau m elanjutkannya. Tapi aku tidak yakin kau m elanjutkan rencana ayahm u karena alasan pribadi. Kukira kau bukan orang seperti itu. Dan lagi, kelompok Oni berseteru dengan Yakuza, itu adalah sebuah berita besar, dan kaulah yang m em buat berita itu…” Henry m asih tetap tertawa m endengar ucapan Rachel. Hanya saja sekarang tidak terbahak-bahak lagi. ”Harus kuakui, kau memang pintar, juga berani. Kalau saja bisa bekerja sam a, kita akan m enjadi kekuatan yang tidak terkalahkan. Aku bisa m elupakan apa yang terjadi pada ayahku,” kata Henry. ”Tapi aku tidak bisa m elupakan apa yang kauperbuat, termasuk perbuatan ayahmu yang telah membunuh Papa dan m enghancurkan keluarga kam i. Aku juga tidak bisa 272



m elupakan perbuatanm u yang m enghancurkan keluarga Riva. Tapi m ungkin aku akan m engam punim u jika kaubebaskan Riva sekarang,” balas Rachel. ”Riva? Oya… gadis itu…” Henry kem bali tertawa terbahak-bahak. ”Dan kau m engam puniku? Please… Kaukira kau bisa m enyentuhku? Untuk keluar dari sini saja kau akan m em erlukan kem urahan hatiku. Kaukira kau bisa m asuk ke tempat ini begitu saja? Kaukira kau bisa meng-hack pintu m asuk? Tidak. Kam i yang m em bukakan pintu untukm u…,” lanjutnya. ”Oya? Itu kaulakukan setelah kau gagal m em bunuhku. Tapi aku salut. Begitu besar am bisi dan keinginanm u, hingga kau m au m engorbankan apa saja, term asuk gedung dan bisnis senilai m iliaran dolar.” ”Untuk m endapat tangkapan ikan yang besar, kita harus m em akai um pan yang besar juga, bukankah begitu?” ”Yang aku heran, kau juga bisa m enyusup ke dalam Yakuza. Bahkan ayahm u pun tidak bisa m elakukannya. Bagaim ana bisa?” ”Itu bukan hal sulit. Kebetulan aku kenal seorang dokter bedah plastik yang hebat. Aku berhasil berkenalan dengan salah seorang pem im pin Yakuza, dan ketika saat itu tiba, Orang kepercayaanku m enggantikan tem patnya dan m engikuti apa yang aku perintahkan.” ”Kau juga yang m em bocorkan siapa Riva sebenarnya pada kelompok Oni, lalu kau buat seolah-olah Riva mendapat perlindungan dari pihak Yakuza hingga makin memperlebar pertikaian antara kedua kelom pok itu.” 273



”Lihat… kita berdua m em ang cocok. Kau bisa jadi tangan kananku, dan kita pasti berhasil…,” tukas Henry. ”Maaf, tapi aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Tapi aku ingin m engajukan satu lagi pertanyaan untukm u,” sahut Rachel. ”Oya? Apa? Tanyakan saja. Aku m ungkin akan senang m enjawabnya…” Rachel mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru arah. ”Ribuan komputer ini… untuk menjadi penguasa telekom unikasi di dunia, kau tidak m em erlukan kom puter sebanyak ini. Aku juga tidak yakin bahwa m enghancurkan kelom pok Oni dan Yakuza adalah tujuan utam am u. Apa tujuanm u sebenarnya?” tanya Rachel. ”Ha... ha... ha… pertanyaan yang bagus. Sebetulnya aku segan m enjawab pertanyaan itu. Tapi karena kau sangat pintar, aku suka denganmu, dan umurmu tidak lama lagi, m aka akan kujawab…,” kata Henry. Dia lalu berhenti sebentar untuk m enarik napas. ”Terus terang, aku tidak merencanakan semua ini. Aku hanya m elanjutkan apa yang sudah dirintis oleh ayahku. Aku ingat, Ayah pernah berkata: Gapailah cita-citam u setinggi m ungkin jika kau m am pu m elakukanny a. Menguasai telekom unikasi dunia m em ang cita-cita Ayah. Tapi saat cita-cita itu tercapai, Ayah tidak lagi m endapat tantangan. Karena itu, Ayah kembali mempunyai cita-cita yang lebih tinggi…” ”Menguasai dunia?” potong Rachel. ”Bukan seperti yang ada dalam pikiranmu. Ayahku bukan seorang politisi atau negarawan. Dia juga bukan se274



orang jenderal yang m em iliki ribuan pasukan yang bisa membantunya menguasai dunia. Ayah hanya mempunyai otak, pikiran, dan sedikit dana untuk bisa m ewujudkan cita-citanya.” ”Aku tahu. Saat ini, untuk m enguasai dunia kau tidak harus mempunyai pasukan yang banyak atau senjata penghancur yang hebat. Kuasai telekom unikasi dan jaringan internet global, m aka kau akan m enguasai dunia.” ”…Dan menguasai jaringan kejahatan di seluruh dunia, m aka dunia akan berada dalam genggam anm u…,” tukas Henry. ”Lalu setelah ini, apa tujuanmu selanjutnya? Maia? Triad? Atau Gangster?” tanya Rachel. ”Hmmm… itu belum aku pikirkan. Tapi Maia boleh juga…” ”Tak akan kubiarkan kau m elakukan itu.” Henry m enatap Rachel dengan pandangan m engejek. ”Kau akan coba menghentikanku? Sedang gurumu saja tidak bisa m enghentikan ayahku untuk m enguasai kelom pok Oni.” ”Shunji tidak bisa m encegah J onathan karena m ereka punya hubungan batin, selain itu Shunji juga merasa berutang budi pada orangtua J onathan, kakek dan nenekmu yang telah m em besarkannya. Tapi aku tidak punya hubungan apa-apa denganm u, dan aku pasti akan m enghentikan rencana gilam u.” ”He... he… he… kukira pem bicaraan ini sudah selesai. Selam at m enikm ati sisa hidupm u, Nona Watson…” Seusai berkata dem ikian, Henry keluar dari Delilah. Bersam aan dengan itu, pintu di sisi lain di lantai 52 275



terbuka, dan m asuklah lim a orang bersenjata yang langsung m enem baki Rachel secara m em babi buta. Shit! batin Rachel. Dia meloncat menghindari tembakan sam bil m undur kem bali ke pintu tem pat dia m asuk tadi. Rach el kem bali ke bagian dalam Delilah sam bil m engibaskan kedua tangannya. Em busan angin kencang m elanda kelim a orang yang m enem bakinya. Tiga di antara mereka terlempar dari jembatan, dan jatuh menuju dasar gedung yang sangat dalam . Rachel cepat-cepat m encabut pistolnya dan m elepaskan tem bakan pada dua orang sisanya. *** Henry kem bali ke ruangannya. Dia berpapasan dengan Marcelo di pintu m asuk. ”Pancing dia ke lantai tujuh puluh, dan jangan ganggu aku sebelum aku selesai. Dia ada di dalam ?” Marcelo m engangguk. ”Anda akan m elakukannya? Tapi Anda belum pernah m elakukannya…,” tanya Marcelo. ”Kau salah…” Henry m enatap Marcelo dengan tajam . ”Aku sudah pernah m elakukan ini. Dan rasanya sangat m enyenangkan…” Henry m asuk ke kam ar. Dia m enuju ke ruang tam u, tem pat seseorang telah m enunggunya, duduk dalam keadaan terikat dan m ulut disum pal. ”Sekarang, kau akan menuruti semua perintahku,” ujar Henry pada Matahari yang m asih dalam keadaan setengah sadar. 276



*** Kenji m embuka pintu sebuah ruangan. Ternyata itu adalah sebuah kam ar. ”Tunggulah di sini. Aku akan m enjem putm u setelah selesai,” ujarnya pada Riva. ”Kau akan m em bantu Elsa, kan?” Kenji tidak m enjawab pertanyaan itu. ”Aku ikut. Mungkin aku bisa m em bantu,” lanjut Riva. ”Tidak. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada dirim u. Berjanjilah kau akan tetap di sini dan m enunggu aku kem bali.” ”Tapi Elsa tem anku, dan dia…” ”Dia pasti selamat. Keberadaanmu justru akan merepotkan dia, juga aku. Kau m engerti, kan?” ”Aku m engerti,” kata Riva sam bil m engangguk lem as. ”Baiklah. Kunci pintu. Dan ini…” Kenji m enyerahkan sepucuk pistol sem iotom atis pada Riva. ”Kau pernah m enggunakannya, kan?” Riva m engangguk. ”Kenji…,” panggil Riva saat Kenji hendak beranjak pergi. Saat Kenji m enoleh, Riva langsung m em eluk pem uda itu dan m encium pipinya. ”Hati-hati. Aku juga tidak ingin terjadi sesuatu pada dirim u…,” ujar Riva dengan wajah m em erah.



277



”KAMI baru saja m endapat inform asi bahwa puluhan m obil polisi, am bulans, dan pem adam kebakaran yang berada di lokasi runtuhnya gedung Key Tower, satu per satu mulai pergi meninggalkan lokasi setelah adanya pernyataan resmi dari pihak KeyTel. Menurut informasi yang kam i terim a, pihak keyTel baru akan m em bersihkan reruntuhan gedung pada esok pagi. Kem ungkinan nanti hanya tersisa beberapa petugas polisi yang disiagakan untuk m enjaga lokasi. Saya, Caroline Fisher, m elaporkan untuk Anda langsung dari lokasi kejadian…” Dasar polisi bodoh! Mereka tidak tahu apa y ang terjadi di dalam ! umpat Zig dalam hati. Dia melihat jam yang ada di sebelah laptopnya. Ham pir jam dua pagi! Zig sebetulnya sedang bingung m engenai statusnya sekarang. Dia sam a sekali belum m enerim a kabar dari Matahari ataupun Rachel, dan tidak tahu keadaan mereka berdua. Walau begitu Zig tidak ingin cepat-cepat m eninggalkan tem pat itu. Dia m em ilih untuk tetap m enunggu hingga pagi baru m engam bil keputusan. Siapa tahu kedua tem annya itu sedang dalam kesulitan dan tidak bisa m enghubunginya. *** Perkiraan Rachel bahwa Area X akan lengang seperti lantai di bawahnya ternyata keliru. Anak buah Henry ternyata cukup banyak di sini dan m ereka rata-rata m enggunakan senapan otom atis. Rachel juga tidak bisa terusmenerus mempergunakan ilmu pukulan anginnya karena 278



lam a-lam a tenaganya akan terkuras. Persediaan peluru pistolnya juga terbatas. Rachel m enekan tom bol di jam tangannya untuk m engeluarkan gelom bang elektrom agnetik. Tapi kali ini tidak ada yang terjadi. Tidak ada lam pu yang m ati, juga peralatan elektronik. Sem ua tetap terlihat seperti biasa. Ada apa ini? tanya Rachel dalam hati. Dia m em eriksa status di jam tangannya. Anti EMP 21 Detected Shit! um pat Rachel dalam hati. Setelah m engatasi dua anak buah Henry yang m enghadangnya, Rachel naik ke lantai selanjutnya lewat tangga. Hingga akhirnya dia sampai di persimpangan antarkoridor yang lum ayan luas. ”Kita bertem u lagi, Rachel.” Suara itu m em buat Rachel m enghentikan langkahnya. *** Pem bunuh bayaran pertam a yang ditem ui Kenji adalah seorang wanita berkulit hitam dengan ram but dipilin kecil-kecil. ”Kau ingin berkhianat lagi?” tanya si wanita. Nama aslinya Deborah Grant, tapi dia lebih dikenal dengan nam a Lady Bug. 21



Electroma Magnetic Pulse = Gelombang Elektromagnetik



279



”Minggir! Aku tidak punya urusan denganm u!” bentak Kenji. ”Kau tahu aku tidak akan m em biarkan kau lewat.” ”Kalau begitu terim alah ini!” Kenji m engibaskan tangan, m enghantam kan pukulan anginnya. Tapi kelihatannya Deborah telah mengantisipasi jurus itu. Dia melompat ke samping hingga pukulan angin Kenci tidak m engenainya. Deborah bersalto, m enyerang Kenji. Kenji telah siap. Dia m enyam but serangan Deborah. Tangan m ereka beradu di udara. ”Kau akan m enyesal…,” gum am Kenji. *** Rachel berada di tengah persim pangan antarkoridor. Pistol yang berada di tangan kanannya diacungkan ke depan, mengarah pada seorang pria berkulit putih berambut pirang yang berdiri sekitar tiga m eter di hadapannya, yang juga m enodongkan pistol ke arah dirinya. Ternyata tidak hanya mereka berdua. Dua orang, satu di antaranya wanita, berada di sisi kanan dan kiri Rachel, m enodongkan senjata m ereka ke arah gadis itu. Di sebelah kanan Rachel adalah seorang wanita Spanyol berusia sekitar 30 tahun an dan beram but ikal kem erahan , m em egan g senapan semi-otomatis. Sedang di sebelah kirinya berdiri seoran g pem uda In dia berusia sekitar 25 tah un an beram but lurus pendek, m em egang pistol seperti halnya Rachel. Bola m ata Rachel sekilas m elirik ke kiri dan kanannya, m encoba m engam ati situasi. 280



”J adi? Kalian akan m enem bakku sekaligus?” tantang Rachel. ”J angan m em aksa kam i Double M, kau tahu di m ana posisim u saat ini,” kata pria yang berada di depannya. Ketiga orang yang m enodong Rachel adalah para pem bunuh bayaran m antan anggota SPIKE yang m em bantu Henry Keisp. Rachel tidak berkata lagi. Matanya melirik ke arah sisi kirinya, seolah sedang m em perhatikan sesuatu. ”Aku sudah sering m endengar kehebatan dan kecepatanm u. Kini akan kubuktikan hal itu. Bersiaplah!” kata pem bunuh bayaran yang berada di sisi kiri Rachel. ”Aku sudah siap dari tadi.” ”Sekarang!” Sehabis berkata dem ikian, pem uda India yang berada di sisi kiri Rachel menarik pelatuk pistolnya. Bersamaan dengan itu, Rachel membungkuk dan melepaskan tem bakan ke depan. Gerakan Rachel cepat dan tak terduga siapa pun. Tem bakan gadis itu tepat m engenai leher pem bunuh bayaran di depannya, sem entara peluru yang ditembakkan dari sisi kiri Rachel menembus kening wanita yang berada di sisi kanan gadis itu. Keduanya roboh dan tewas seketika. Rachel cepat berdiri kem bali dan m enodongkan pistolnya ke arah lawannya yang tadi berada di sisi kiri, sama dengan yang dilakukan lawannya itu. Kini m ereka berdua saling m enodongkan senjatanya m asing-m asing tanpa ada jarak sedikit pun. Ujung pistol Rachel hampir menempel pada pipi kiri lawannya, sedang ujung pistol pem uda India yang badannya lebih tinggi beberapa senti dari Rachel ham pir m enem pel di kening gadis itu. Beberapa saat lamanya kedua orang pembunuh 281



bayaran itu hanya saling memandang tanpa berbicara sepatah kata pun. ”Terim a kasih, Deva,” ujar Rachel. ”Kau pernah menyelamatkan nyawaku. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk m em balasnya,” kata pem bunuh bayaran yang dipanggil Deva itu. ”Kau tahu berapa orang pem bunuh lain yang ada di sini?” tanya Rachel sambil terus menodongkan pistolnya. Dem ikian juga Deva. ”Aku tidak tahu pasti. Tapi m ungkin lebih dari dua puluh orang,” jawab Deva. ”Kau tahu di mana Henry berada?” tanya Rachel. Deva m engangguk. ”Kam arnya berada di lantai tujuh puluh dua. Gadis yang ditawannya juga berada di lantai yang sam a.” ”Riva m aksudm u?” ”Aku tidak tahu nam anya. Mungkin dia.” ”Baiklah. Ada lagi yang perlu kuketahui?” tanya Rachel lagi. ”Kurasa tidak. Dengar, ada kamera pengawas di ruangan ini. Lakukan apa yang perlu kaulakukan.” ”Tidak. Aku tak m ungkin m elakukannya.” ”Tapi kau harus.” Rachel m enurunkan pistolnya. ”Ikutlah denganku. Kita hadapi ini bersam a-sam a.” ”Tak m ungkin. Biar bagaim anapun aku juga berutang budi pada keluarga Keisp. Dia yang m enjadikan aku seperti sekarang ini.” Rachel membalikkan badan, kemudian melangkah meninggalkan Deva. 282



”Kalau kau tidak m elakukan sesuatu, jangan salahkan aku!” Deva mengancam Rachel. Rachel tidak memedulikan ucapan itu. Dia terus melangkah. Tak lama kemudian terdengar suara letusan pistol di belakangnya. Rachel m enoleh. ”Deva!!” seru Rachel. Tubuh Deva roboh ke lantai dengan pelipis kanan bersimbah darah. Deva telah melakukan apa yang m enurutnya terbaik. Sejenak Rachel diam terpaku memandangi tubuh Deva, sebelum akhirnya melanjutkan langkah. *** Tubuh Lady Bug terlem par hingga m enghantam tem bok. Darah keluar dari m ulutnya. ”Kau sudah kuperingatkan…,” ujar Kenji. Deborah m enatap Kenji sam bil m engatur napas. ”Kaukira kau sudah m enang?” ujarnya tiba-tiba. Seusai berkata demikian, Lady Bug mengatupkan mulutnya dan m ulai bersiul. Siulannya terdengar seperti siulan biasa, bahkan m akin lam a suara siulannya m akin m elem ah. Tapi anehnya, saat m endengar siulan Deborah, Kenji m erasa ada perubahan di dalam dirinya. Mula-m ula dia tidak m erasakannya, tapi m akin lam a kepalanya serasa makin berat. Dan semakin pelan siulan Deborah, semakin berat pula kepala Kenji, seperti ada batu yang sangat berat yang mengimpit kepalanya, dan semakin lama batu tersebut sem akin berat. Ini gelom bang ultrasonik! batin Kenji. 283



Gelom bang ultrasonik sebetulnya tidak dapat didengar oleh telinga manusia. Tapi jika gelombang suara tersebut dapat difokuskan ke suatu target tertentu, dan jika kekuatan gelom bangnya sangat besar, dapat m enghancurkan benda keras sekalipun. Lady Bug memiliki kemampuan khusus menciptakan gelom bang ultrasonik sendiri. Dengan kem am puannya itu, dia memiliki beberapa keuntungan; mulai dari mengendalikan hewan yang bisa mendengar gelombang ultrasonik seperti anjing, kelelawar, dan serangga, sam pai kem am puan untuk m em bunuh sasarannya tanpa dicurigai siapa pun. Kenji tahu, sem akin lam a gelom bang ultrasonik yang menyerang kepalanya akan semakin kuat, dan lama-lama akan menghancurkan otaknya. Bahkan andaikata dia bisa selam at, pikirannya bisa rusak. Aku tak m ungkin m enang! batin Kenji. Pem uda itu m engum pulkan seluruh tenaga dalam nya. Dia m encoba m elawan gelom bang ultrasonik yang sem akin lam a sem akin kuat. Tidak butuh waktu lam a bagi orang yang terlatih baik seperti Kenji untuk mengumpulkan tenaga dalam nya, dan… HIAAA!!! Dengan satu bentakan keras, Kenji melepaskan seluruh tenaga dalamnya. Dia mencoba melawan gelombang ultrasonik yang dilepaskan Deborah. Dua kekuatan yang besar bertem u, m enyebabkan getaran di sekitarnya. *** 284



Henry membuka matanya, seperti ada sesuatu yang mengganggu konsentrasinya. Energi ini! Dia puny a energi sekuat ini? *** Di lantai lain, Rachel yang sedang menaiki tangga menuju lantai di atasnya m enghentikan langkahnya. Sepertinya dia juga m erasakan sesuatu. Dia ada di sini! batin gadis itu. *** Kau tak m ungkin m enang! Kenji benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuannya. Gelombang energi yang besar menyapu apa saja yang m enghadangnya, term asuk Lady Bug. Tubuh wanita itu akhirnya terem pas diterjang gelom bang energi tenaga dalam Kenji. Bahkan saking kerasnya, tubuh Lady Bug sam pai m enghantam tem bok yang ada di belakangnya sam pai retak. Kenji bersim puh di tem patnya, berusaha m em ulihkan kondisi kepalanya yang masih terasa berat, sekaligus mem ulihkan ten agan ya. Napasn ya terden gar tersen galsengal. Keringat m em basahi seluruh tubuhnya. Dia m enatap tajam ke arah Deborah. Di sisi lain, tubuh Lady Bug terlihat diam tidak bergerak. Em pasan tadi sangat kuat, hingga m em atahkan sebagian tulangnya. Tapi Lady Bug masih hidup. Dia men285



coba bangkit walau tam pak jelas sedang kesakitan luar biasa. ”Sekarang tenagam u pasti sudah habis, hingga berdiri pun kau tidak mampu…,” ejek Lady Bug sambil meringis m enahan rasa sakitnya. ”Benar…,” tukas Kenji, anehnya dengan sikap tenang. ”Tapi aku m asih punya ini…” Selesai berkata dem ikian, tangan kanan Kenji yang sedari tadi berada di balik punggungnya terjulur, dan bersamaan dengan itu melayanglah sebuah pisau kecil ke arah Lady Bug. Pisau kecil itu tepat m enancap di kening Lady Bug, m em buat wanita itu roboh ke tanah. Ham pir saja! batin Kenji. Sekarang dia harus m em ulihkan tenaga dulu sebelum m elanjutkan niatnya. Bukan tidak m ungkin lawan-lawan yang lebih berat dari Lady Bug telah m enunggunya di perjalanan. *** Rachel kem bali m asuk ke bagian dalam Delilah untuk m enyeberang ke sisi lain. Saat m enyeberangi jem batan, dia m elihat seseorang seperti telah m enunggunya di tengah jem batan. ”Kau…,” gum am Rachel. Dia m elangkah m endekati orang tersebut. Matahari tetap diam , tapi terus m enatap Rachel. Dia telah berganti pakaian. Sekarang dia m em akai baju Onimusha berwarna putih, dan sebilah katana berada dalam genggam an tangan kanannya. 286



”Kau ke m ana saja? Kukira kau telah…” Rachel tidak meneruskan ucapannya. Bahkan langkahnya pun terhenti. Dia balas m enatap Matahari dalam jarak sekitar lim a m eter. Beberapa saat keduanya hanya terdiam . ”Kau tidak apa-apa?” tanya Rachel lagi. Sebagai jawaban, Matahari berjalan perlahan ke arah Rachel dengan pandangan tidak lepas darinya. Saat Matahari sem akin dekat, Rachel m enyadari sesuatu yang lain pada diri gadis di hadapannya. ”Kau…” Belum sempat Rachel menyelesaikan ucapannya, Matahari bergerak cepat mencabut katana-nya, dan mengayunkan pedang itu ke arah Rachel.



287



Tiga Puluh Tiga



”AZUKA!” Rachel m enunduk m enghindari sabetan katana Matahari. Dia lalu meloncat sambil mencoba mundur ke belakang. ”Azuka! Apa-apaan ini?” Tapi Matahari yang dipanggil Azuka oleh Rachel seperti tidak m endengar suara Rachel. Dia terus m enyerang Rachel dengan sabetan katana-nya. Serangannya benarbenar m em atikan. Lengah sedikit, nyawa taruhannya. Be lum lagi arena pertarungan di jembatan yang lebarnya hanya sekitar satu m eter m em buat gerakan m enjadi terbatas. Matahari m elom pat, dan saat m asih berada di udara dia m em utar badan. Katana disabetkan dari kiri ke kanan, m em buat Rachel tidak punya jalan untuk m eng288



hindar. Beberapa saat lagi lehernya akan tertebas sisi katana yang tajam . Di luar dugaan, Rachel berguling ke samping. Dia berguling melewati batas sisi jembatan. Tak ayal lagi, tubuhnya terem pas ke bawah. Tapi sebelum terjun bebas, Rachel m enem bakkan kabel logam sehingga ujung kabel m elilit pem batas jem batan. Lalu dengan m enggunakan kabel logam itu , Rach el ber ayu n m elewati kolon g jem batan dan m uncul di sisi lain. Saat ayunan Rachel m encapai puncaknya dan lebih tinggi dari jem batan, dia m elom pat sam bil m elepaskan tendangan m em utar. Gerakan Rachel yang cepat tidak diduga oleh Matahari. Walau dia sem pat m enghindar, tapi angin yang keluar dari tendangan Rachel tidak urung m em buat Matahari terdorong, walau tidak begitu keras. Rachel kembali berdiri di jembatan. Dia menatap tajam ke arah Matahari. ”Azuka! Apa yang terjadi pada dirim u? Sadarlah… ini aku! Rachel!” Tapi Matahari tidak m enanggapi ucapan Rachel. Dia m alah kem bali m enyerang. Rachel sadar, Matahari yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Matahari yang selam a ini dikenalnya. Entah apa yang telah dialam inya, tapi saat ini Matahari m elihat Rachel sebagai m usuh yang harus dilenyapkan. Rachel tidak bisa m ain-m ain m enghadapi hal ini. Dia m enghadapi dilem a. Dia bisa bertarung habis-habisan, bahkan kalau segan bertarung jarak dekat, dia bisa langsung m enem bak Matahari dengan pistol di tangannya. Tapi hati kecilnya m engatakan bahwa Matahari sedang 289



berada di luar kesadarannya. Dari tatapan m atanya yang nyaris kosong, Rachel tahu Matahari bertindak bukan atas kehendaknya sendiri. Ada yang m engendalikannya, dan Rachel tidak ingin melakukan hal yang akan disesalinya kelak. Karena itu Rachel memilih bertindak hati-hati. Dia akan berusaha melumpuhkan Matahari tanpa melukai apalagi m em bunuhnya. Tapi m elum puhkan Matahari juga bukan perkara m udah. Sebetulnya kemampuan Matahari hanya setingkat di bawah Rachel, dan Rachel bisa m elum puhkan dia hanya dalam beberapa jurus. Tapi saat ini, entah kenapa kem am puan bertarung Matahari seperti m eningkat pesat. Tenaga dan kecepatannya seperti berlipat ganda dari sebelum nya. Ham pir sam a, atau bahkan m elebihi Rachel. Ini yang m em buat Rachel heran. Bagaim ana m ungkin dalam waktu singkat kem am puan bertarung Matahari bisa m eningkat dengan pesat? Jangan-jangan ini ada hubunganny a dengan dengan hilangny a kesadaran Azuka? Sepertiny a dia dihipnotis! batin Rachel. Sedikit saja Rachel lengah, katana Matahari ham pir m em belah tubuhnya. Rachel m engelak ke sam ping, dan katana itu m enebas ikat ram butnya, hingga ram but Rachel yang panjangnya sebahu tergerai. ”Azuka! Kau tidak ingat siapa dirim u!? Cobalah untuk m elawan… Kau adalah Azuka… si Matahari!” Tapi Azuka alias Matahari yang sudah kena pengaruh hipnotis mana mau mendengar perkataan Rachel. Bahkan dia makin gencar menyerang. Gerakannya semakin cepat dan berbahaya. 290



Katana-ny a harus dilum puhkan dulu! batin Rachel. Saat Matahari m elom pat untuk m enyerang dari atas, Rachel m enunduk lalu m em utar badan, hingga sekarang kepalanya tepat berada di depan perut Matahari. Rachel lalu m em ukulkan kedua tangannya ke depan, ke arah perut. BUK! Tepat m engenai perut Matahari, m em buat gadis itu terempas mundur. Rachel tidak memberi kesempatan. Dia cepat bersalto ke belakang. J araknya yang m asih dekat dengan Matahari m em buat kaki kiri Rachel m asih dapat m enjangkau tangan kanan Matahari yang m em egang katana. Tangan kanan itu bergetar terkena tendangan kaki kiri Rachel, tapi katana yang dipegangnya tidak terlepas sedikit pun. Gagal! batin Rachel. Bukan saja gagal m elepaskan katana dari tangan Matahari, tapi posisi Rachel setelah bersalto sangat tidak m enguntungkan. Posisinya m enjadi sangat terbuka dan gam pang diserang. Dan itulah yang dilakukan Matahari. Dengan cepat dia menguasai diri dan melakukan tusukan yang m em atikan ke arah leher Rachel. Beberapa senti lagi ujung katana m enem bus leher Rachel, sebuah sinar biru berkelebat dari bawah dan m enghantam m ata katana hingga patah m enjadi dua. Lagi-lagi pedang laser m enyelam atkan Rachel. Sinar birunya m em ancar, m enerangi sekitarnya. 291



”Maafkan aku…,” ujar Rachel. Lalu dia m endorongkan kedua tangannya ke depan. Seketika itu juga tubuh Matahari terpental. Belum sem pat Matahari bangkit, Rachel telah berada di depannya dan m enodongkan ujung pedang lasernya ke leher Matahari. ”Azuka… kau bisa dengar aku?” tanya Rachel. Matahari m enggeram . Terlihat bahwa kesadarannya belum pulih. ”J angan paksa aku untuk m elukaim u…,” ujar Rachel lagi. Pedang lasernya diturunkan ke arah dada Matahari. Tiba-tiba Rachel mematikan pedang lasernya. Sebelum Matahari bereaksi, cepat tangan kirinya bergerak ke arah leher Matahari. Sekali totok, Matahari langsung jatuh pingsan. Mungkin lebih baik kau di sini dulu! kata Rachel dalam hati. Setelah m engikat kem bali ram butnya, Rachel lalu berbalik arah, m elanjutkan perjalanannya yang tertunda. Tapi baru beberapa langkah, gadis itu berhenti. Dia kembali m elihat seseorang di depan pintu m asuk. Seseorang yang m em ang sedang dicarinya. ”Kau…” Kenji m elangkah ke dalam Delilah. Tangan kanannya m enggenggam sebilah pisau. ”Merunduk!” seru Kenji. Bersamaan dengan itu dia melem parkan pisau yang ada di tangan kanannya ke arah Rachel. Rachel yang tidak menyangka Kenji akan menyerangnya tidak sem pat m enghindar. Tapi ternyata pisau yang di292



lem parkan Kenji bukan untuk dirinya. Pisau itu hanya beberapa senti m elewati leher sebelah kiri Rachel. Dan m enancap di dada kiri Matahari! Rachel baru m engerti. Ternyata Matahari tadi ingin m em bokongnya dari belakang. Yang dia heran, Matahari berhasil m elepaskan totokannya seorang diri. Sehebat itukah kem am puannya sekarang? Matahari roboh dengan dada tertusuk pisau. Kenji pun segera berlari ke arahnya. Tapi Rachel yang m engira Kenji akan m elakukan sesuatu pada Matahari berusaha m encegahnya. ”J angan bodoh! Kau lupa siapa dia?” tanya Rachel. ”Aku tidak lupa…,” jawab Kenji. Kenji berlutut di sisi Matahari yang berada dalam keadaan setengah sadar. Rachel juga ikut berlutut. Kenji lalu menotok di sekitar dada dan leher Matahari. Setelah itu dia m em egang gagang pisau dan m encabutnya. Saat pisau dicabut, Matahari m engeluarkan erangan kecil. Anehnya, tidak ada darah m engalir keluar saat pisau dicabut. Rachel m em eriksa luka di dada kiri Matahari. ”Setengah senti lagi kau akan m engenai jantungnya,” ujar Rachel. ”Aku tahu…,” balas Kenji. Rachel berdiri dan m em perhatikan Kenji yang sibuk m erawat luka Matahari. ”Riva ada di lantai tujuh puluh empat, ruangan D. Kau bisa m enjem putnya di sana,” kata Kenji tanpa m enoleh. ”Lalu dia?” tanya Rachel. ”J angan kuatir, biar aku yang urus dia,” sahut Kenji. 293



Tapi Rachel hanya berdiri di tempatnya sambil memandang Kenji dan Matahari yang m eringis kesakitan. Dia lalu m engenakan kacam ata hitam nya dan m engaktifkan m ode poly graph. ”Kau harus cepat, sebelum anak buah Henry menemukannya terlebih dahulu. J angan kuatirkan Azuka, dia pasti selam at.” Kenji seakan-akan tahu pikiran Rachel yang m em belakanginya. ”Kau bilang Riva ada di m ana?” tanya Rachel lagi. ”Lantai tujuh puluh em pat, ruangan D. Dekat pintu darurat…,” Kenji mengulangi jawabannya. Dia tidak tahu saat ini Rachel sedang m enguji kejujuran jawabannya m elalui poly graph. ”Kalian tidak akan ke m ana-m ana!” Suara itu m engalihkan perhatian Rachel dan Kenji. Marcelo telah berdiri di salah satu ujung jembatan. Sendirian. ”Pergilah! Biar aku yang hadapi dia,” kata Kenji lirih. ”Kau yakin? Biar kita hadapi bersam a,” balas Rachel. Pandangannya terarah pada tangan kanan Marcelo. Tangan kanan itu memakai sebuah benda sepanjang lengan yang terbuat dari logam dan penuh dengan sirkuit elektronik. Sekilas m irip perisai. Rachel yakin, benda itu bukanlah perisai biasa. Pasti itu sebuah senjata. ”J angan m em bantah. Keselam atan Riva lebih penting!” Rachel heran juga mendengar Kenji menguatirkan keselamatan Riva. Dia mengarahkan kacamata poly graph-nya ke arah Kenji. Dia tidak bohong! batin Rachel. 294



”Baik, aku akan segera kem bali,” tandasnya. Lalu berlari m enuju ke sisi lain jem batan. *** ”Kau m em biarkan dia pergi?” tanya Kenji sepeninggal Rachel. ”Aku diperintahkan untuk tidak m enghadapi dia. Lagi pula aku lebih tertarik untuk berhadapan denganm u, sekaligus menguji senjata baruku ini,” kata Marcelo sambil m enyeringai kejam . Marcelo m engangkat tangan kanannya, dan diarahkan pada Kenji. ”Apa kau tidak malu terus menjadi budak dan menjadi kelinci percobaannya?” ejek Kenji. Tapi Marcelo tidak m enanggapi ejekan Kenji. ”Kau boleh berkata apa saja, aku tidak peduli,” jawabnya datar. Tangan kirinya bergerak m enekan tom boltom bol pada alat tangan kanan. ”Saatnya kau m ati!” Seusai Marcelo berkata dem ikian, keluarlah kilatan listrik ke arah Kenji.



295



Tiga Puluh Empat



SAMBIL



m enunggu Kenji kem bali, Riva m enim angnim ang pistol yang berada dalam genggam annya sam bil m em bayangkan lagi peristiwa yang m enim pa dirinya akhir-akhir ini. Terus terang, Riva tidak pernah m em bayangkan jalan kehidupannya akan jadi seperti ini. Kehilangan kedua orangtua secara m endadak, diburu untuk dibunuh, lalu tiba-tiba dia dinobatkan sebagai pem im pin organisasi pem bunuh tertua di dunia, benar-benar tidak terlintas sedikit pun di dalam benak gadis itu. Tapi semua ini telah terjadi, dan m au tidak m au Riva harus m enjalaninya. Pandangan Riva tertuju pada benda yang ada di dekatnya. Sebuah buku bersam pul cokelat tua. Kenji m em ang m enitipkan buku tersebut pada Riva sebelum pergi. Buku apa ini? tanya Riva dalam hati. Tangannya bergerak m em egang buku itu. Riva lalu 296



membuka lembar demi lembar dari buku seukuran novel tersebut. Ini… seperti sebuah jurus beladiri! batin Riva. Dia mengenali beberapa jurus yang ditulis dalam buku, karena pernah diajarkan Kenji. Tapi sisanya baru dilihat Riva sekarang. Walau begitu Riva seperti m erasa tidak kesulitan untuk memahami apa yang tertulis dalam buku. Bukan karena dia bisa m em baca huruf Hiragana 22 di buku tersebut, tapi karena dia merasa seperti ada sesuatu yang m em buatnya bisa m em aham i isi buku tersebut dengan cepat. *** Kilatan listrik yang m enyam bar tubuh Kenji m em buat pemuda itu jatuh tersungkur. Bukan saja cepat, tapi kilatan itu m engandung listrik ratusan volt yang bisa m elum puhkan seseorang atau bahkan m em bunuhnya. ”Kau kuat juga. Kita lihat apakah kau m asih kuat m enahannya,” kata Marcelo sambil bersiap menyerang Kenji lagi. Kenji tahu, sekali lagi dia terkena kilatan listrik yang keluar dari tangan Marcelo, tamatlah riwayatnya. Apalagi tenaganya belum pulih 10 0 % akibat pertarungan dengan Lady Bug. Di sisi lain, Kenji juga m engkuatirkan Matahari. Dia kuatir kilatan listrik dari tangan Marcelo m enyam bar Matahari yang m asih tergeletak pingsan. Karena itu dia 22



Tulisan tradisional Jepang



297



harus menjauhkan Matahari dari arena pertarungan. Tapi ke m ana? Mereka berada di tengah jem batan di atas jurang sedalam ratusan m eter. ”Kau adalah m antan prajurit, tapi kau m au m enjadi budak seorang am bisius m acam Henry! J uga m em akai peralatan konyol itu. Mana harga dirimu sebagai prajurit dan laki-laki!?” seru Kenji. Dia tahu, Marcelo adalah mantan anggota pasukan khusus m iliter Spanyol. Marcelo m enyeringai m endengar ucapan Kenji. ”Kau sendiri? Seharusnya kau yang m em im pin kelompok Oni! Tapi kau malah menyerahkan kekuasaan itu pada orang lain!? Kau juga m enuruti perintah Ketua!” balas Marcelo. ”Itu beda! Aku tidak di bawah perintahnya! Kami punya perjanjian. Aku juga tidak ingin m enjadi ketua apa pun!” ”Aku tahu, kau hanya ingin jadi yang terkuat di m uka bumi ini! Tapi sayang, niatmu terlambat. Sudah ada yang lebih kuat daripada dirim u saat ini!” Aku tahu! batin Kenji. ”Sudah hukum rimba, yang kuat akan memangsa yang lem ah. Karena kau pihak yang lem ah, m aka m enyingkirlah!” Kilatan listrik kem bali m enyam bar Kenji. Tapi kali ini dia lebih siap. Kenji menghindar hingga kilatan listrik itu m engenai tiang cahaya yang ada di tengah tem batan. Percikan api dan ledakan kecil pun terjadi. Marcelo m enem bak lagi, m em buat Kenji harus m enjatuhkan diri untuk m enghindarinya. Kali ini kilatan listrik m engenai kom puter di dinding. ”Kau m erusak tem pat ini!” seru Kenji. 298



”Memang kenapa? Ketua juga sudah tidak memerlukan tempat ini! Dia hanya menunggu waktu untuk meratakan gedung ini!” Meratakan gedung? Apa m aksudny a? ”Apa maksudnya gedung ini akan diratakan? Bukannya ini kantor pusat keluarga Keisp?” tanya Kenji. ”Dulu. Tapi sekarang tidak lagi. Superkom puter terbesar di dunia adalah impian J onathan Keisp. Tapi Henry Keisp tentu punya im pian dan pikiran yang lain. Mem bangun sebuah superkom puter dan pusat dari segalanya di tengah kota, di daerah bisnis yang ramai kurang bijaksana di saat ini. Henry telah m em bangun kerajaannya sendiri. Markas untuk mengendalikan bisnisnya di tempat yang jauh dari keram aian kota. Walau m ungkin superkom puter di tem pat itu tidak sebesar di sini, tapi cukup untuk memenuhi impiannya. Dan gedung ini? Tentu saja tidak m ungkin dijual secara utuh. Walau begitu, tanah tem pat gedung ini berdiri pasti m asih bisa dijual dengan harga tinggi. Kau tahu berapa harga tanah di Canary W harf? Tertin ggi di seluruh In ggris,” kata Marcelo panjang-lebar sam bil tersenyum licik. Dasar orang kay a! Menghancurkan gedung bernilai ratusan juta Euro23 dianggap sam a saja dengan m enghancurkan gedung m ainan bernilai puluhan Euro! batin Kenji. ”Dan kau tahu harga tanah jika terkena radiasi radioaktif?” tanya Marcelo tiba-tiba, m em buat Kenji m engernyitkan kening. 23



1 Euro= ± 1,5 US Dollar= ± Rp. 15.000,- (Nilai kurs berubah-ubah)



299



”Terkena radiasi? Apa m aksudm u?” tanya Kenji. Marcelo hanya tertawa m endengar pertanyaan Kenji. *** Masuk ke lantai 74, ada kejutan lain m enanti Rachel. Seorang pria berkulit hitam dan berbadan tinggi kurus telah m enunggunya di tengah-tengah koridor. Wajahnya sangat kaku. Mata kirinya berwarna putih, tanpa ada warna hitam seperti bola m ata pada um um nya. Ram but pria itu dipotong pendek dengan pola m elingkar yang sangat norak. ”Ingin lewat, Double M?” tanya pria tersebut dingin. Siapa lagi dia? tanya Rachel dalam hati. ”Kau salah satu cecunguk anak buah Henry, kan?” tebak gadis itu. ”Perkenalkan. Namaku Bones. Dan aku ditugaskan untuk m enghentikanm u di sini,” sahut pria tersebut. ”Menghentikanku? Apa kau m am pu?” tanya Rachel. Diam-diam kengerian meliputi benaknya. Apalagi melihat m ata orang yang bernam a Bones itu. Mata putih itu seolah-olah m enyim pan kesadisan yang luar biasa. Bones tertawa kecil m endengar ucapan Rachel. ”Kau boleh coba sekarang,” katanya. ”Baiklah… jangan salahkan aku.” Seusai berkata dem ikian, Rachel m engam bil pistolnya. Dia tidak mau berlama-lama menghadapi lawan di depannya. Lebih cepat lebih baik! Rachel m enem bak. Dua kali. Sasarannya adalah kedua 30 0



kaki Bones. Tapi kurang dari satu detik, gadis itu m elongo m elihat apa yang terjadi. Bones diam saja saat Rachel menarik pelatuk pistolnya. Tidak sedikit pun dia berusaha menghindar. Bahkan saat timah panas mengenai kedua kakinya. Dan di luar dugaan Rachel, Bones tetap berdiri tegak walau peluru mengenai kakinya. Bahkan peluru itu seperti m em bentur sesuatu yang sangat keras dan terpantul kem bali. Tak m ungkin! batin Rachel tidak percaya. Dia kembali m enem bak, kali ini sasarannya ke dada Bones. Tapi seperti juga dua tem bakan yang pertam a, Walau tem bakan Rachel tepat mengenai dada kiri Bones, tapi pria tersebut tidak roboh. Pelurunya terpantul lagi. Apa dia m em akai rom pi antipeluru? Rachel bertanya dalam hati. Tapi jika m elihat postur tubuh Bones, akan terlihat jelas kalau dia memakai rompi antipeluru. Badannya pasti akan terlihat mengembang. Sedang badan Bones sangat kurus, terlihat jelas di balik kaus hitam yang dikenakannya. Dan lagi, kakinya juga kebal terhadap peluru. Apa kakinya m em akai pelindung juga? ”Kau boleh habiskan sem ua peluru yang kau punya. Kau boleh tem bak bagian tubuhku m ana saja, term asuk di sini.” Bones m enunjuk dahinya. Ini tidak bisa dipercaya! Baru kali ini Rachel berhadapan dengan seseorang yang benar-benar kebal peluru tanpa pelindung apa pun. Apa m ungkin dia m em akai ilm u gaib seperti The Tw ins? batinnya. Tadinya Rachel m erem ehkan keberadaan hal-hal yang berbau gaib. Tapi sejak kem bali dari Banten, dia lebih 30 1



percaya bahwa hal-hal gaib itu memang benar-benar ada. Apalagi saat dia m endapat sejum lah pengalam an yang berhubungan dengan hal-hal yang gaib. Terakhir saat dia berhadapan dengan The Twins di Pulau Kitagai. Pulihnya Matahari dengan cepat setelah dihajar habishabisan oleh The Twins juga tidak m ungkin terjadi jika m em akai pengobatan m edis biasa. Rachel menduga pasti Bones juga berhubungan dengan hal-hal sem acam itu. Apalagi m elihat aksesori yang dikenakan pria itu. Kalung, gelang, dan anting yang dikenakannya, sem ua berbau m istis. Dia m ungkin kebal terhadap peluru, tapi apa dia kebal terhadap pukulan tenaga dalam ? Rachel m enyim pan kem bali pistolnya dan bersiap. Sejurus kem udian dia m elancarkan pukulan tenaga dalam nya ke arah Bones. Koridor lantai 74 bergetar karena kekuatan pukulan tenaga dalam Rachel. J uga Bones. Saat pukulan angin Rachel m engenai tubuhnya, dia langsung terem pas. Kena kau! batin Rachel gem bira. Sebelum Bones bangkit, Rachel segera maju menerjang. Dia langsung menghunjamkan tinjunya dari udara. Begitu mengenai tubuh Bones, pukulannya itu minimal akan mem atahkan tulangnya. Tapi kem bali Rachel terkejut. Beberapa saat sebelum pukulannya menghantam sasaran, tangan Bones bergerak lebih cepat. Telapak tangan kanan Bones m enangkis pukulan Rachel. Dan bukan hanya menangkis, Bones juga m em egang kepalan tangan kanan Rachel dengan kuat. Apa ini? 30 2



Belum hilang keterkejutan Rachel, dia m erasa tangan kanannya dipuntir. Saat itu juga serasa ada satu ikatan kuat yang m engikat tangan kanannya dengan kuat, bahkan terasa hingga ke tulang. Rachel coba melepaskan diri dengan m em ukulkan tangan kirinya. Tapi nasib tangan kirinya sam a dengan tangan kanan. Kali ini telapak tangan kiri Bones yang m enahannya, hingga sekarang kedua tangan Bones m enyilang m enekan kedua tangan Rachel. Rachel bersalto di udara, m encoba m elepaskan kedua tangannya. Tapi Bones tidak m au m elepaskan Rachel. Kedua tangan gadis itu seolah-olah dipaku dan tidak bisa terlepas kem bali. Saat Rachel bersalto, Bone m engikuti gerakan Rachel, dan m elem par gadis itu tanpa m elepaskan cekalannya. Tak ayal lagi, tubuh Rachel pun terempas ke lantai. Belum sem pat Rachel bangkit, tubuhnya serasa diangkat ke udara. Dan sedetik kemudian, Bones telah berada di belakangnya. Kedua tangan Bones telah m elepaskan kedua tangan Rachel, tapi bukan m elepaskan gadis itu. Kedua tangan Pria itu m enelusup di bawah ketiak Rachel dan telapak tangannya bertemu di belakang leher gadis itu. Bones lalu m endekatkan badannya dan m enekan badan Rachel kuat-kuat ke arah dirinya. *** Suara pintu diketuk dari luar m enarik perhatian Riva yang sedang m em baca buku bersam pul cokelat. Kenji! batinnya. 30 3



Tanpa pikir panjang Riva segera berlari m enuju pintu. Bahkan pistolnya pun ditinggalkan di tem pat duduknya sem ula. ”Kenapa kau lam a…” Ucapan Riva saat m em buka pintu terhenti begitu dia tahu siapa yang telah m engetuk pintu. ”Kau…” *** AARRGGHH!!! Rachel m erasa tulang-tulangnya akan rem uk akibat tekanan Bones. Makhluk apa ini! Tarikanny a seperti m esin! Sambil memeluk dan menekan tubuh Rachel dari belakang, Bones m engangkat tubuh itu, hingga m em buat Rachel tidak berdaya. Dia seperti boneka yang sedang diperm ainkan oleh pem iliknya. ”Ayo… berteriaklah kalau kau ingin... sebelum tulangtulangm u lepas…,” kata Bones m engejek. ”Berteriak? J angan harap!” seru Rachel sam bil m enahan sakit. ”Kalau begitu, silakan m ati dalam kesunyian!” Bones makin mengencangkan pelukannya, mendatangkan rasa sakit yang amat sangat pada Rachel. Begitu kuatnya pelukan Bones, hingga darah mulai keluar dari mulut Rachel. Aku harus… Harus bisa! Tidak m ungkin m elepaskan pelukan Bones dengan 30 4



mengandalkan kekuatan isik. Karena itu Rachel mencoba berkonsentrasi. Tidak m udah karena dia juga harus m enahan sakit yang makin lama makin menyiksa tubuhnya. Tapi ini satu-satunya cara supaya Rachel bisa terbebas dari pelukan pria tersebut. Walau begitu, Rachel juga manusia. Makin lama bukan saja tulangnya terasa rem uk, tapi dia juga m akin susah bernapas. Tubuhnya juga makin lemas. Dia mencoba berkonsentrasi untuk m engum pulkan tenaga dalam , tapi tidak bisa. Makin lama Rachel merasa pandangannya juga m akin gelap. Selanjutnya dia tidak ingat apa-apa lagi.



30 5



Tiga Puluh Enam



”E LSA?” Suara itulah yang pertama didengar Rachel begitu sadar. Suara yang m em buatnya m em buka m ata. Riva duduk di hadapan Rachel. Matanya berkaca-kaca. ”Kam u udah sadar?” tanya Riva dengan suara bergetar. ”Riva?” Rachel m encoba bangun dengan dibantu Riva. Begitu dia duduk, Riva langsung m em eluknya. ”Elsa… Kam u ke m ana aja?” tanya Riva. ”Kamu baik-baik aja, kan?” Rachel balas bertanya. Lalu dia m elepaskan pelukan Riva. ”Iya… aku baik-baik aja. Tapi Mam a dan Papa…” ”Aku tahu… Kau tahu siapa yang m em bunuh papam am a m u?” 30 6



Riva m enggeleng. ”Yang aku tahu, dia berasal dari kelompok Oni. Mereka yang akan m em bunuhku untuk m enduduki jabatan ketua…” ”Kau ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas kem atian orangtuam u? Dia berada di sini,” kata Rachel. ”Di sini? Di tem pat ini?” Rachel m em perhatikan keadaan sekelilingnya. Saat ini m ereka berada di ruangan dengan interior ala rum ah tradisional J epang. Walau begitu dia yakin mereka masih berada di Key Tower. Pintu ruangan terbuka secara otom atis. Ternyata m ereka berada dalam sebuah ruangan besar. Henry Keisp berdiri di sisi lain ruangan. Sendiri. Rachel tidak melihat orang lain, termasuk Bones. Pakaian Henry juga telah berganti. Tuksedo serbahitam yang tadi dipakainya telah berganti m enjadi pakaian serbaputih, seperti pakaian atlet anggar. ”Kau bisa tanyakan langsung pada dia,” ujar Rachel lirih pada Riva. ”Dia yang membunuh Papa dan Mama?” Riva menatap Henry dengan pandangan tidak percaya. ”Tanya aja sendiri kalo nggak percaya.” Henry berdiri sam bil m enatap dua gadis yang berada di hadapannya. ”Akhirnya kalian bertem u juga. Selam at…,” katanya. Rachel menatap Henry dengan tajam. Saat itu dia baru sadar, tas pinggangnya sudah tidak ada. Saku baju dan celananya juga kosong. 30 7



Shit! Mereka m engam bil sem uany a! batin Rachel. ”Benar kau terlibat atas kem atian Papa dan Mam a?” tanya Riva. ”Kenapa kau m engam bil kesim pulan seperti itu? Pasti Double M yang m em beritahu…,” sahut Henry. ”J adi benar kau terlibat?” Henry m engangkat bahu. ”Aku tidak bisa menyangkal. Tapi yang kau harus tahu, bukan aku yang langsung m em bunuh m ereka. Kedua orangtuam u hanya korban.” ”Kau…” Riva m engertakkan giginya m enahan m arah. Beberapa bulan m encari tahu siapa pem bunuh kedua orangtuanya dalam pelarian, baru kali ini dia bertem u dengan orang yang langsung m engaku. Gadis itu tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia maju m enerjang Henry. ”Riva!” Henry tetap berdiri di tem patnya. Saat jarak Riva dengannya sem akin dekat, pria itu m engayunkan tangan kanannya dari dalam keluar. Gelom bang tenaga dalam keluar m enerjang Riva, m em buatnya terpental ke belakang. Dia m enguasai ilm u Oni! batin Rachel. Rachel segera menghambur ke arah Riva. Padahal saat bergerak, dia merasa seluruh tubuhnya sakit. Tapi Rachel tidak m em edulikan hal itu. Riva terem pas dan m em bentur pintu, hingga pintu yang terbuat dari kayu dan kertas itu hancur berantakan. ”Riva…” 30 8



Kepala Riva terasa berdenyut keras setelah benturan. Badannya juga terasa sakit. Rachel segera m em bantu Riva. Dan saat itu pandangannya tertuju pada suatu tem pat. Dia m elihat tas pinggangnya berada di sudut altar. Aku harus m endapatkanny a kem bali! batin Rachel. ”Dia… dia…,” gum am Riva. ”Dia bukan tandinganm u. Kau nggak m ungkin bisa langsung m enyerangnya,” kata Rachel. ”Lebih kuat m ana dia dengan dirim u?” tanya Riva. ”Ngng… aku nggak tahu. Aku belum pernah bertarung langsung dengannya,” jawab Rachel. Sebetulnya, walau belum pernah bertarung secara langsung dengan Henry, Rachel bisa m erasakan kekuatan pukulan tenaga dalam pria itu saat dia m em ukul Riva. Dari situ dia bisa m em perkirakan tingkat tenaga dalam nya. Dan Rachel sangat terkejut saat m engetahui kekuatan tenaga dalam Henry. Nggak m ungkin dia puny a tenaga sebesar itu! kata Rachel dalam hati. ”Dia orang jahatnya, kan?” tanya Riva. Rachel m engangguk. ”Kukira kau bisa m engalahkannya.” ”Aku nggak tahu.” ”Sayang sekali…” Henry angkat bicara. ”Kalian berdua sebetulnya sangat berbakat. J ika kita bisa bekerja sama, tidak akan ada yang bisa mengalahkan kita. Lupakan Oni, lupakan SPIKE. Kita bentuk organisasi yang lebih kuat dan punya pengaruh besar…” ”Kau… kau bohong padaku. Kau bilang aku keturunan



30 9



pem im pin Oni, dan kau akan m enjadikanku ketua. Ternyata ini cum a tipuanm u…,” kata Riva. ”He... he... he... aku tidak berbohong padam u, Manis. Soal asal-usulm u, kau bisa tanya tem anm u kalau tidak percaya.” Riva m enoleh pada Rachel, seolah-olah m inta pendapatnya. ”Dia benar. Kau memang keturunan Eiichi Nissho. Aku telah menyelidikinya untuk membuktikan kebenarannya,” kata Rachel. ”Kau tahu? J adi m em ang benar aku seharusnya m ewarisi kursi ketua Oni?” tanya Riva. ”Kau m em ang berhak m ewarisi posisi ketua. Hanya saja, ternyata bukan kau satu-satunya yang berhak…” ”Bukan satu-satunya? Tapi dia bilang…” Tidak hanya Riva, Henry yang m endengar ucapan Rachel pun sebetulnya ikut terkejut. Riva bukan satusatunya penerus kekuasaan Oni? ”Kau bilang apa? Dia bukan satu-satunya penerus Oni? Lalu siapa? J angan-jangan yang kaum aksud adalah The Shadow…” Mendengar ucapan Henry, Rachel m enoleh dan m enatapnya. ”J adi kau belum tahu ada pewaris posisi Ketua Oni selain Riva?” tanya Rachel. ”Yang aku tahu, kakak angkatmu itu adalah keturunan dari Hatom i Suki. Tapi klan Suki tidak berhak m ewarisi posisi ketua karen a m ereka m erebutn ya dari klan Nissho.” ”Kau benar. Kenji adalah keturunan langsung dari klan 310



Suki dan dia tidak berhak atas posisi itu. Dan aku tidak sedang membicarakan soal klan Suki. Aku membicarakan soal pewaris sah kelom pok Oni.” ”J adi m aksudm u, ada Nissho lain yang m asih hidup?” ”Benar. Dan kurasa dia lebih cocok m ewarisi jabatan Ketua Oni daripada Riva.” Riva m em egang pundak Rachel. ”J adi aku m asih punya saudara?” tanya Riva. ”Saudara jauh. Dia memang keturunan Nissho juga, tapi garis keturunan kalian telah terpisah selam a berpuluhpuluh tahun. Kalian m em punyai buyut yang sam a.” ”Tapi The Shadow bilang dia adalah keturunan Nissho terakhir,” tukas Henry sam bil m enunjuk Riva. ”Kau dibohongi Kenji. Dia bukan saja tahu soal ini, tapi juga m enem ukan dan m elatih saudara Riva itu,” sahut Rachel ”Kau bohong…” ”Kau boleh tanya sendiri, pada Kenji atau pada orangnya jika bertem u langsung,” kata Rachel. ”Dia ada di sini?” tanya Henry tak percaya. ”Ya. Dia ada di sini, dan sekarang sedang bersam a Kenji.” Henry terkesiap m endengar ucapan Rachel. ”Yang kaum aksud…” Henry m em ang selalu m em antau situasi yang terjadi. Dia tahu saat Kenji melarikan diri, saat Rachel berhadapan dengan anak buahnya, atau saat berhadapan dengan Matahari kem udian ditolong Kenji. Matahari… The Sun… Nissho! 311



Henry tiba-tiba tersenyum, menyesali kecerobohannya. Seharusnya dari awal dia tahu. Selain nam a keluarga, Nissho juga m em punyai arti dalam bahasa J epang, yaitu sinar m atahari. Henry tahu, Kenji m em punyai seorang m urid yang diberi julukan Matahari, tapi selam a itu dia tidak menyadari bahwa nama julukan itu mempunyai arti lain. ”Nam a kecilnya adalah Azuka Hanai. Kedua orangtuanya telah meninggal karena kecelakaan, dan dia tinggal di panti asuhan sejak berusia tujuh tahun. Ayahnya dibawa Shunji dari Indonesia ke J epang sewaktu berusia em pat tahun, lalu diadopsi sebagai anak oleh keluarga Hanai. Shunji menyimpan rapat-rapat soal ini, sampai menceritakannya sendiri padaku sebelum m eninggal. Saat Azuka mulai menginjak usia remaja, Shunji menugasi Kenji untuk m engawasinya, sedang aku kem udian ditugasi untuk mengawasi Riva. Tapi tidak hanya mengawasi Azuka, Kenji juga mengajarinya beladiri, lalu menjadikannya pembunuh bayaran, hal yang tidak disetujui oleh Shunji. Karena itu dia sangat kecewa pada Kenji,” Rachel m enjelaskan. Henry terdiam sejenak mendengar keterangan Rachel. Tapi lalu dia tertawa terbahak-bahak. ”Ha... ha... ha… cerita yang m enarik. Aku m em ang ceroboh soal ini ha... ha... ha... Tapi itu tidak m asalah, karena kalian semua akan kubereskan saat ini juga!” kata Henry di sela-sela tawanya. Pintu ruangan terbuka, dan masuklah Bones. Raut wajah Rachel berubah melihat kedatangan Bones. Dia belum lupa akan pertarungan yang ham pir m erenggut jiwanya tadi. 312



”Kau ingin melanjutkan pertarunganmu dengan Double M, kan? Kau boleh melanjutkannya sekarang,” kata Henry pada Bones. Seringai keji m uncul pada wajah pria tersebut.



313



Tiga Puluh Tujuh



”AKU



harus m endapatkan tasku,” bisik Rachel pada Riva. Matanya m elirik m em beri petunjuk. Riva melihat tas pinggang Rachel dan mengerti maksud sahabatnya itu. ”Lalu? Apa rencanam u?” ”Kau bisa m enghadapi m ereka berdua?” tanya Henry pada Bones. ”J angan kuatirkan aku.” ”Baik kalau begitu, aku ada urusan dulu.” H en ry Keisp beran jak pergi m en in ggalkan Bon es sendirian bersam a Rachel dan Riva. Bagus! Ini keuntungan! batin Rachel. Tadinya dia mengira akan berhadapan dengan Bones dan Henry sekaligus. 314



”Aku akan m enghadapi dia. Kau coba am bil tas itu. Kau bisa?” tanya Rachel. Riva m engangguk. ”Kau rindu padaku?” tanya Bones pada Rachel. ”Rindu? Makan ini!” Seusai berkata dem ikian Rachel Menghantamkan pukulan tenaga dalamnya. Tidak maksim al karena tubuhnya m asih cedera, tapi cukup untuk m em buat Bones waspada. Bones kem bali terpental karena pukulan tenaga dalam Rachel. Tapi kali ini Rachel tidak langsung mendekat seperti pada pertarungan pertam a. Aku tidak boleh terlalu dekat! batin Rachel. ”Sekarang!” perintah Rachel pada Riva. Sam bil m enahan sakit, Riva bergegas berlari ke arah altar. Tapi gerakannya terlihat oleh Bones. ”Kau mau ke mana?!” seru Bones dan mencoba bangkit untuk menghadang, tapi gelombang tenaga dalam Rachel m enghantam nya hingga dia kem bali terjungkal. ”Kau akan m enghabiskan tenagam u untuk ini, hah?” seru Bones pada Rachel. Rachel tidak m em edulikan ucapan Bones. Saat Bones kem bali bangkit, dia lagi-lagi m enghantam kan pukulan angin atau pukulan tenaga dalam nya. ”Kaukira ini bisa m enghentikanku?” kata Bones. Saat Rachel kem bali m enghantam kan pukulan anginnya, pria ini berguling hingga pukulan angin Rachel hanya m enghantam tem pat kosong. Bones lalu cepat bangkit dan menerjang Rachel. Gerakannya sangat cepat dan tiba-tiba dia telah ada di hadapan Rachel. 315



Rachel berkelit saat Bones hendak m em eluknya. Tapi dia tidak bisa m enghindar dari tendangan Bones, hingga tubuhnya terpental. UGGHH!!! Tendangan Bones bagaikan hantam an pipa besi berukuran besar yang sangat keras, m em buat dada Rachel serasa pecah. Belum sempat dia bangkit, Bones telah berdiri di hadapannya. Kali ini Rachel tidak sem pat m enghindar. Bones m em egang kedua kakinya dan m enarik dengan keras. ”Dapat!” Riva berdiri di sisi altar dengan m em egang tas pinggang Rachel. ”Riva! Cari benda berbentuk silinder dan lem parkan padaku!” seru Rachel. Sem entara itu, Bones m ulai m em eluk dan m enekan tubuhnya lagi. Benda berbetuk silinder? Riva membuka tas pinggang, tapi dia tidak menemukan apa yang dicari. ”Nggak ada!” seru Riva Nggak ada? tanya Rachel dalam hati. Apa m ungkin pedang lasernya itu diam bil Henry? Pasti dia telah m elihat Rachel m enggunakannya saat m elawan Matahari. Riva m engalihkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, m encari benda yang dim aksud Rachel. Hingga akhirnya dia m enem ukan benda yang dim aksud, tergeletak di atas kaldron api suci. 316



Dia berm aksud m em bakarny a! batin Riva. Untung saja kaldron itu tidak sedang dinyalakan. Riva cepat berlari dan m engam bil benda berbentuk silinder m ilik Rachel. ”Aku dapat barangnya!” Melihat Riva memegang benda miliknya, Rachel segera m encoba m elepaskan diri. Dia berkonsentrasi sejenak untuk m em usatkan pikirannya, dan… AARRGH! Bones tiba-tiba menjerit, dan sejurus kemudian tangannya melepaskan pelukannya pada Rachel lalu memegangi dadanya. Kesem patan itu digunakan Rachel untuk m elepaskan diri. Kakinya yang m asih bebas m enendang perut Bones hingga pria itu terjungkal. Rachel lalu bersalto untuk m elepaskan diri, dan m endarat di lantai kayu. ”Lem par!” seru Rachel pada Riva. Sementara itu Bones sudah bisa menguasai dirinya. Dia langsung kem bali m engejar Rachel. Riva m elem parkan benda berbentuk silinder tersebut pada Rachel, yang langsung ditangkap oleh gadis itu. Tapi, tangan Bones sem pat m encengkeram bahu Rachel dan m enariknya ke belakang. Rachel segera m engaktifkan pedang lasernya lalu berguling di lantai. WUZZZ!!



317



Apa yang terjadi selanjutnya m em buat Riva terpekik perlahan. Dengan pedang lasernya, Rachel m em babat kaki kiri Bones hingga putus. Bones m em ekik keras, lalu tersungkur. Anehnya, tidak ada darah yang keluar dari kaki kirinya yang putus. Walau begitu, kelihatan jelas pria tersebut m enderita rasa sakit yang luar biasa hingga nyaris pingsan. Tepuk tangan tiba-tiba m enggem a. Henry Keisp ternyata telah berada kem bali di dalam ruangan. ”Sudah kuduga, benda itu pasti bisa m em otong apa pun…,” ujarnya. ”…Bones adalah hasil percobaan ayahku. Dia menyuntikkan titanium cair untuk m elapisi tulang-tulangnya. Selama ini belum ada yang berhasil menembus, memotong, atau m em atahkan tulang-tulangnya. Hanya pedang itu yang bisa m elakukannya. Zig m em berikan itu padam u, kan?” Henry m endekat ke arah Bones yang sedang m enahan sakit. Dia m engam bil sesuatu dari saku bajunya, dan… ”Seperti kaulihat, bukan hanya kau yang m em iliki pedang laser,” kata Henry. Ternyata dia juga m em iliki pedang laser seperti Rachel. Tapi pedang laser milik Henry m em punyai dua m ata pedang yang berlawanan arah. Selain itu warnanya juga m erah, tidak seperti pedang laser milik Rachel yang berwarna biru dan hanya memiliki satu m ata pedang. Tiba-tiba, tanpa diduga oleh siapa pun, Henry m engayunkan pedang lasernya, dan sedetik kem udian, kepala Bones telah terpisah dari badannya. Kepala itu m eng318



gelinding beberapa m eter dari badannya yang langsung tersungkur ke tanah. Riva kem bali terpekik tertahan, sem entara Rachel hanya m enelan ludah. Dia tidak m enyangka Henry tega m em bunuh anak buahnya sendiri. ”Tanpa kaki, dia m enjadi tidak berguna. Bikin repot saja. Aku heran kenapa kau tidak langsung m em bunuhnya,” ujar Henry. Dia mematikan pedang lasernya dengan tenang, lalu m enatap Rachel dan Riva. ”Aku sudah m em utuskan, akan m enyelesaikan kalian berdua sendiri. Terserah kalian m au m aju berdua atau sendiri-sendiri.” Akhirny a! Saat itu datang juga…



319



Tiga Puluh Delapan



DIBANDINGKAN



dengan J onathan Keisp yang lebih m en yu kai ilm u pen getah u an dan tekn ologi, H en r y Augnesson Keisp m em ang lebih m enuruni bakat kakekn ya, yaitu m en jadi ahli beladiri. Separuh hidupn ya dihabiskan Henry untuk berkeliling dunia, m em pelajari berbagai ilm u beladiri dari berbagai tem pat dan aliran. Kematian ayahnya menjadi akhir petualangan Henry yang dengan terpaksa kemudian mengambil alih posisi ayahnya memimpin KeyTel Corporation. Dari situlah Henry mulai mengetahui siapa sebenarnya ayahnya, dan masalah yang sedang dialaminya. J onathan memang tidak pernah menceritakan m asa lalunya pada Henry, tapi dia m enuliskan semua pada jurnal pribadinya yang kemudian ditemukan oleh anaknya itu. Tak butuh waktu yang lama bagi Henry untuk m enyusun rencana, m elanjutkan usaha J onathan sekaligus m em balas dendam atas kem atian ayahnya. 320



Separuh dari rencana Henry telah berhasil. Dia telah berhasil m enghancurkan kelom pok Oni seperti cita-cita ayahnya. Kini tinggal satu lagi rencana yang semula tidak ada dalam pikirannya. Mem balas dendam ! Sekarang dia punya peluang untuk langsung m em balas dendam pada orang yang dianggap m em bunuh ayahnya. Henry m em utar-m utar pedang laser berm ata dua m iliknya. ”Kalian m aju sendiri-sendiri atau berdua sekaligus? Tidak m asalah bagiku,” tantang Henry. ”Aku sendiri sudah cukup untuk m enghadapim u,” Rachel m aju, m enerim a tantangan Henry. ”Elsa…,” desis Riva. ”Ssttt… ini kesem patanm u. Cepat keluar dari tem pat ini,” sahut Rachel. ”Nggak. Aku nggak akan pergi. Biar kita serang bersam a-sam a, m ungkin kita bisa m engalahkannya.” ”Nggak perlu. Sudah kubilang aku bisa mengalahkannya sendiri.” Rachel m aju selangkah, m endekat ke arah Henry. ”J adi kau sendiri yang akan m aju? Tidak m asalah karena aku akan tetap m em bunuh kalian berdua.” ”Kau banyak bicara. Akan kulihat apakah kau bisa bertarung sehebat bicaram u...” Selesai berkata dem ikian, Rachel m enyerbu Henry. Duel pedang pun terjadi. Duel m enggunakan pedang teknologi terbaru, pedang laser. Walau telah berusia kepala em pat, Henry ternyata 321



m asih dapat bergerak dengan lincah. Dia m am pu m engimbangi gerakan Rachel yang usianya dua kali lipat lebih m uda. Bahkan lam a-kelam aan terlihat bahwa gerakan Henry sedikit lebih cepat dari gerakan Rachel. Ini bukan karena Henry punya kem am puan di atas Rachel, tapi karena Rachel m ulai kehabisan tenaga. Sebagian besar tenaganya terkuras saat dia m elepaskan em pat pukulan angin berturut-turut ke arah Bones, hingga sekarang dia m elawan Henry m enggunakan sisa-sisa tenaganya saja. Sebuah sabetan Rachel berhasil dihindari Henry. Tidak hanya itu. Henry bahkan berhasil m enyerang balik m elalui tusukan pedang lasernya, langsung ke perut Rachel. Rachel coba m enghindar tapi dia tidak sem purna. SREET! Baju Rachel di pinggang sebelah kanannya tersayat m ata pedang m ilik Henry. Baju itu sobek disertai bekas terbakar. Rachel m elom pat m undur untuk m enetralisasi keadaan. Tapi Henry ternyata tidak ingin m em biarkan buruannya lepas. Dia m engejar Rachel dan terus m endesaknya dengan tusukan dan sabetan yang m em atikan. Hanya dalam dua jurus, sabetan pedang Henry kem bali m elukai Rachel, kali ini m engiris pipi kiri gadis itu, m eninggalkan luka sayatan sepanjang ham pir lim a senti di pipi yang putih itu. ”Bagian mana lagi yang ingin kurias, Double M?” tanya Henry m engejek. Rachel tidak m enanggapi ejekan Henry. Dia sibuk m engatur jalan napasnya. 322



Riva yang m elihat pertarungan itu m enjadi berharapharap cem as. Celaka, kalo begini terus Elsa bisa kalah! batin Riva. Riva benar. Rachel m em ang terlihat m ulai kesulitan m enandingi Henry. Selain karena telah m ulai kehabisan tenaga, Rachel juga kalah teknik. Ternyata Henry m em punyai banyak variasi jurus pedang. Selain m enguasai ilm u pedang ninjitsu dan sam urai, Henry m enggunakan jurus pedang kendo, jurus pedang kungfu, jurus pedang Kesatria Tem plar di abad pertengahan, hingga jurus anggar para Muskeeters dari Prancis. Karena itu serangannya begitu sem purna, m em iliki banyak variasi gerakan, juga berbahaya. Tidak ada jalan lain, Riva harus membantu Rachel. Dia teringat saat harus bertarung melawan pembunuh bayaran yang bernama Geisha beberapa bulan yang lalu. Kejadiannya sama seperti sekarang ini. Riva harus turun tangan m em bantu Lotus yang m ulai terdesak, dan akhirnya m ereka berdua bisa menang, walau Lotus meninggal karena luka-lukanya. Karena itu Riva tidak ingin m enunggu sam pai Rachel terluka parah. Dia ingin cepat m em bantunya. Walau kemampuan bertarungnya di bawah Rachel, apalagi Henry, tapi m un gkin dia bisa m erepotkan H en ry sehin gga konsentrasinya terpecah, seperti saat m elawan Geisha. Riva m ulai m engedarkan pandangannya, m encari senjata yang bisa dipakai. Tidak perlu waktu lam a untuk m enem ukannya, saat m atanya tertum buk pada deretan senjata yang dipajang di salah satu sudut ruangan. Dari berbagai m acam tom bak hingga katana ada di sana. 323



Rachel benar-benar sudah terdesak. Tenaganya sudah ham pir tidak bersisa lagi. Dia hanya bisa m enghindar sam bil terus m encari kelem ahan Henry. Saat terpojok, Rachel m encoba m enjaga jarak dengan m elepaskan pukulan anginnya. Sayang, karena tenaganya sudah hampir habis, tenaga yang dilepaskannya pun sangat lem ah, hanya terasa seperti belaian angin bagi Henry. ”Tenagam u sudah habis, ya? Sayang… padahal tadinya aku berharap banyak darim u,” ejek Henry sam bil terus menyerang Rachel. Dengan jurus anggarnya, dia berhasil m endesak Rachel. Suatu ketika, sebuah tusukan dari Henry ke perut Rachel berhasil ditangkis gadis itu, tapi gerakan itu membuat pertahanan atasnya terbuka. Henry m em utar pedangnya sam bil m elom pat, dan bersiap m enebas Rachel dari atas. Gerakannya sangat cepat sehingga Rachel tidak sempat mengangkat kembali pedangnya. Kali ini dia tidak akan selam at dari tebasan pedang laser Henry. Beberapa senti lagi ujung pedang Henry akan m em belah kepala Rachel, tiba-tiba pria itu menarik tangannya, lalu berguling ke sam ping. Dia seperti m enghindari sesuatu. Benar saja, sebuah tombak lewat di depan Rachel, dan hampir saja mengenai Henry kalau saja dia tetap meneruskan serangannya pada Rachel. Rachel m enoleh. Riva terlihat m aju ke arahnya sam bil m en ggen ggam k a t a n a . Dia ber m aksu d m en yer an g Henry. ”Riva… jangan!” Peringatan Rachel terlam bat. Riva telanjur m enyabetkan katana-nya pada Henry. 324



Kejadian selanjutnya sudah bisa ditebak. Henry m enangkis serangan Riva dengan pedang lasernya. Kontan saja, m ata katana Riva patah m enjadi dua saat beradu dengan m ata pedang Henry yang terbuat dari laser dengan intensitas tinggi. Henry lalu menendang perut Riva, hingga gadis itu terjungkal ke belakang. ”Riva!” Rachel kontan bangkit dan kem bali m enyerang Henry. ”Mulai m ain keroyokan, heh!” Henry m engibaskan tangan kirinya, dan keluarlah pukulan tenaga dalam yang langsung menghantam Rachel dan membuatnya terpental ke belakang. Pedang lasernya terlepas dari pegangannya. Henry cepat bangun dan m eloncat ke arah Rachel. ”Saatnya untuk berdoa!” serunya. Tepat sebelum pedang laser Henry m enem bus perut Rachel, terdengar tembakan, disusul dengan terpentalnya tubuh Henry ke sam ping. Riva berdiri sam bil m em egang pistol Rachel. Dialah yang menembak Henry dan menyelamatkan nyawa Rachel untuk kedua kalinya. Henry kembali bangkit. Tembakan Riva ternyata hanya m engenai lengan kirinya. ”Kurang ajar… ternyata aku memang harus menghadapi kalian berdua sekaligus…,” um pat Henry sam bil m em egang lengannya yang terluka. ”Riva!” seru Rachel. Riva seakan m engerti arti seruan itu. Dia segera m elem parkan pistol yang dipegangnya pada Rachel. Henry tentu saja tidak tinggal diam . Dia segera m e325



nyerbu Rachel sebelum gadis itu m ulai m enem bak. Tapi terlambat. Rachel langsung menembak setelah menerima pistol dari Riva, m em buat pria itu m undur ke belakang sambil menangkis tembakan Rachel dengan pedang lasernya. Shit! Dia bisa m enangkis peluru dengan pedangny a! um pat Rachel dalam hati. Sem entara itu, Riva m em ungut pedang laser m ilik Rachel yang tergeletak di lantai. Walau tidak dipegang oleh pem iliknya, tapi pedang itu m asih m enyala. Aku pasti bisa m enggunakanny a! batin Riva. Dia m elihat ke arah Henry yang sibuk m enghindar dan m enangkis tem bakan Rachel. Riva telah m engam bil keputusan. Dia m asuk ke arena pertarungan. Keputusan Riva untuk ikut bertarung m engejutkan Rachel dan juga Henry. ”Riva!” seru Rachel yan g terpaksa m en gh en tikan tem bakannya karena takut m engenai sahabatnya itu. Tapi keputusan Riva sudah bulat. Dia tidak bisa mengandalkan Rachel untuk terus bertarung. Kemampuan bertarung Riva m em ang di bawah Rachel dan Henry. Tapi dia punya satu keuntungan, yaitu stam ina. Sekarang stamina Riva jauh lebih segar daripada kedua lawannya yang telah bertarung habis-habisan, dan tenaganya telah terkuras. Lagi pula Riva telah m encapai banyak kem ajuan sejak dilatih oleh Kenji. Dia telah m enguasai beberapa jurus dari kelom pok Oni, term asuk jurus pedangnya. Walau begitu, ternyata m enghadapi Henry bukan hal 326



mudah. Mungkin stamina pria itu memang telah jauh berkurang, tapi teknik serta jurusnya yang bervariasi m enutupi kekurangan staminanya. Hanya dalam waktu beberapa jurus, Henry telah berhasil m endesak Riva. Rachel tentu saja cem as m elihat kondisi Riva. Bagaim anapun, Riva tidak berpengalam an bertarung seperti dirinya. Kalau terus memaksakan diri, dalam waktu singkat gadis itu akan terbunuh. Tapi jika kem bali bertarung saat ini, tenaga Rachel belum terkum pul. Tapi Riva bisa terbunuh kalau aku tidak turun tangan! Rachel m elirik pistol yang ada di tangannya. ”Riva! Menyingkir!” Seruan Rachel m em buat Riva m enoleh ke arahnya dan perhatiannya terpecah. Sabetan pedang Henry hampir saja m engenai lehernya. Untung saat itu Riva sem pat m elihat gerakan Henry dan segera m enjatuhkan diri ke lantai. Apa ini? Pertanyaan Henry terjawab saat dia m elihat Rachel kem bali m enem bak. Walau Rachel tahu bahwa m em akai pistol tidaklah efektif m elawan Henry dengan pedang lasernya, tapi lumayan untuk mengulur waktu dan mengham bat gerakan pria tersebut.. ”Riva! Lem par pedangnya!” seru Rachel. Tapi jawaban Riva di luar dugaan gadis itu. ”Nggak! Kita hadapi sam a-sam a!” balas Riva. ”J angan bodoh! Biar aku yang m elawan dia!” ”Kau yang bodoh! Kita nggak m ungkin m enang kalau bertarung sendiri-sendiri! Kurasa kau udah tahu soal itu!” 327



Henry m elom pat m enghindari tem bakan Rachel. ”Kalian berdua memang menyebalkan!” serunya sambil m engibaskan tangan kirinya. Pukulan angin bertenaga dalam besar pun m enerjang Rachel dan Riva, m em buat keduanya terem pas kuat ke belakang. ”Aku tidak m au m ain-m ain lagi… Kalian berdua akan aku bereskan sekaligus!” Tapi saat itu, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Demi melihat siapa yang datang, wajah Rachel tiba-tiba berubah. Dia tidak tahu apakah harus senang atau waswas m elihat siapa yang baru saja datang.



K e p u la u a n Fiji Brad Greene sedang asyik menikmati deburan ombak dan belaian angin pantai sambil minum es kelapa mudanya di depan sebuah cottage, saat dua orang polisi lokal dan dua pria berbaju pantai dan bercelana pendek serta berkacam ata hitam m engham pirinya. ”Tuan West?” tanya salah seorang polisi. Brad Greene m em ang m em akai nam a sam aran Sim on West saat berada di pulau kecil yang terletak di sebelah selatan Samudra Pasiik tersebut. ”Iya?” jawab Brad sam bil m enoleh, ”Anda kam i tangkap,” kata petugas polisi tersebut. Bersam aan dengan itu, petugas polisi lainnya m enarik tangan Brad dan m eringkusnya ke belakang. ”Hei… apa-apaan ini!? Atas dasar apa aku ditangkap?” ”Anda ditangkap dengan tuduhan pem alsuan identitas 328



dan m asuk ke negara ini secara ilegal…,” kata petugas polisi tersebut. ”Ser t a t u d u h an p em bu n u h an t er h ad ap Pr esid en Amerika Serikat, Tuan Greene,” lanjut salah seorang pria yang mengenakan baju pantai sambil mengeluarkan kartu identitas Secret Service dari saku bajunya.



W a s h in g t o n D C, Am e r ik a Se r ik a t Neil Price sedang bertugas m engawal Presiden Am erika Serikat m enghadiri jam uan m akan m alam kenegaraan di Kedutaan Besar Italia di Washington, saat HP di saku celananya bergetar. ”Misi berjalan sukses. Target telah diam ankan.” ”Kerja bagus. Kam i tunggu di sini.” Saat m enutup HP-nya Neil teringat akan sebuah telepon yang diterim anya dua hari yang lalu. ”Kalau kau ingin m enangkap Brad Greene, aku tahu di m ana buronanm u itu sekarang berada…” Terdengar suara Rachel dari seberang telepon.



329



Tiga Puluh Sembilan



KENJ I masuk ruangan. Dan dia tidak sendiri. Ada Matahari alias Azuka bersam anya. Walau terlihat jelas ada bekas darah di dada kiri Azuka, tapi kelihatannya gadis itu baik-baik saja. Kenji juga terlihat sehat walau pakaiannya terlihat sobek di beberapa bagian. ”Akhirnya kau datang juga…,” sapa Henry seperti layaknya m enyam but tam u yang datang ke rum ahnya. ”Berarti kau telah m engatasi Marcelo. Di m ana dia sekarang?” tanyanya lagi. Mendengar ucapan Henry, Kenji hanya tersenyum sinis. ”Ada pesan dari Marcelo...,” ujar Kenji. ”Oya? Apa pesannya?” ”Sam pai bertem u di neraka!” Seusai berkata dem ikian, Kenji m elom pat dan m aju m enerjang Henry. 330



Nekat… dia m elaw an pedang laser tanpa senjata! batin Rachel. Tapi Kenji bukannya nekat atau tidak tahu kemampuan pedang laser. Dia punya rencana sendiri. Saat Henry m engayunkan pedang lasernya m enyam but serangan Kenji, pem uda itu tiba-tiba m engubah arah loncatannya ke sam ping. Apa-apaan ini? tanya Henry dalam hati. Henry bergerak m engikuti arah lom patan Kenji. Ternyata setelah mendarat di lantai, Kenji lalu melompat lagi ke sisi yang lain. Sepertinya dia tidak berniat bertarung dengan Henry, tapi hanya terus m enghindar. Apa yang dia lakukan? tanya Rachel dalam hati. Mungkin seperti itu jugalah pertanyaan yang ada dalam benak Riva. ”Sam pai kapan kau akan bertingkah laku seperti m onyet? Kurasa bukan ini kemampuanmu yang sebenarnya?” ejek Henry. Henry pun mulai habis kesabarannya. Dia merasa Kenji m em perm ainkannya. Saat Kenji m ulai m elom pat lagi, Henry m engeluarkan pukulan anginnya. ”Sekarang!” Seruan Kenji terasa aneh bagi siapa pun yang m endengarnya. Tentu saja tidak termasuk Azuka, karena saat Henry mengeluarkan pukulan anginnya, Azuka mengeluarkan pistol dari balik pinggangnya dan m ulai m enem bak. Tem bakan bertubi-tubi dilepaskan Azuka, m em buat Henry terpental. Pedang lasernya terlepas dari pegangan. Berhasil! Henry tersungkur setelah terkena tem bakan yang di331



lepaskan Azuka. Tubuhnya terjatuh menimpa guci raksasa yang berada di dekatnya. Setelah itu, tubuh tersebut diam tidak bergerak. Menyerang saat law an m enyerang! Bagus juga siasatny a! Rachel diam -diam m em uji apa yang dilakukan Kenji dan Azuka. Suasana dalam ruangan hening sejenak. Azuka m engham piri Rachel yang m asih terduduk di lantai. ”Kau tidak apa-apa?” tanyanya sam bil berjongkok. ”Tidak. Aku hanya kehabisan tenaga,” jawab Rachel. ”Ehm m … soal tadi…” Azuka terdengar ragu untuk m elanjutkan ucapannya. ”Tidak usah dipikirkan. Aku tahu tadi itu kau berada di luar kesadaranm u. Aku juga m inta m aaf telah m em ukulm u tadi,” kata Rachel cepat. ”Tidak apa-apa.” ”Bagaim ana lukam u?” tanya Rachel. Azuka m eraba luka di dada kirinya. ”Sudah m em baik. Kenji-kun telah m engobatinya. Itu yang nam anya Riva?” Rachel menoleh ke arah Riva. Terlihat Kenji telah berada di sisi gadis itu. Kenji dan Riva, ada hubungan apa antara m ereka? tanya Rachel dalam hati. ”Kelihatannya Kenji-kun sangat m em perhatikan dia,” ujar Azuka. ”Kau dan Kenji…” 332



”J angan kuatir, Kenji sudah aku anggap seperti kakakku sendiri,” jawab Azuka sam bil tersenyum . *** ”Kau tidak apa-apa?” tanya Kenji pada Riva. Riva m enggeleng. Tubuhnya saat ini terasa rem uk setelah m enghantam lantai dan dinding kayu berulang kali. Tiba-tiba Kenji m eringis tertahan sam bil m em egang dadanya. ”Kau kenapa?” tanya Riva. ”Tidak, tidak apa-apa. Hanya luka kecil di pertarungan tadi. Tapi tidak m asalah.” Kenji m engulurkan tangan, m em bantu Riva berdiri. Tapi tiba-tiba gerakannya terhenti. ”Ada apa?” tanya Riva. ”Dia m asih hidup…” Kenji m enoleh ke arah Henry tadi tersungkur. Dugaannya benar. Beberapa detik kemudian, tubuh yang tadinya terbaring perlahan-lahan bangkit kem bali. ”J angan-jangan dia punya ilm u kebal peluru juga,” gum am Riva. ”Tidak ada jurus seperti itu,” sergah Kenji. ”Ada. Di beberapa tem pat di Indonesia…” Riva tidak m eneruskan ucapannya karena m elihat perhatian Kenji tidak tertuju pada dirinya. ”Apa dia tidak bisa mati?” keluh Rachel yang juga telah m elihat Henry bangkit kem bali. Henry kem bali berdiri. Baju putih yang dikenakannya 333



penuh lubang peluru, tapi tidak ada darah yang mengalir dari tubuhnya. ”Aku sudah m enduga kalian akan m elakukan apa saja untuk bisa mengalahkanku. Karena itu aku telah bersiapsiap,” kata Henry. ”Dia m em akai rom pi antipeluru,” kata Rachel m enyadari situasinya. ”Rompi antipeluru? Tapi tubuhnya tidak kelihatan mengem bang,” tukas Azuka. ”Ini rom pi antipeluru m odel baru. Prototipe yang aku dapat dari NATO24 . Tipis seperti sweter tapi dapat m enahan peluru berdiam eter hingga 56 m m . J uga dapat meredam benturan yang sangat keras,” Henry memamerkan rom pi antipeluru yang dipakainya. ”Tidak m asalah…,” tiba-tiba Kenji m em otong. ”Sekarang dia tidak lagi m em iliki senjata ini.” Lanjutnya sam bil m enunjukkan benda yang berada di tangan kanannya. Ternyata pedang laser m ilik Henry yang sedang tidak aktif. Pedang itu langsung m ati saat terlepas dari tangan pem iliknya. Azuka m engam bil pedang laser Rachel yang berada tidak jauh dari dirinya dan m enyerahkan pada pem iliknya. Baterainy a ham pir habis! batin Rachel saat m encoba m enyalakan kem bali pedang lasernya. Pedangnya m ungkin hanya dapat menyala sekitar lima menit saja sebelum baterainya benar-benar habis.



24 North Atlantic Treaty Organization (Pakta Pertahanan Atlantik Utara): Organisasi pertahanan negara-negara di sekitar Eropa (Barat) dan Amerika Utara.



334



”Kaukira aku tergantung pada benda itu?” Henry tertawa mengejek. ”Tanpa pedang laser, aku masih bisa mengalahkan kalian sem ua.” ”Aku juga tidak m em erlukan pedang laser untuk m engalahkanm u, asal kita bertarung secara jujur,” tukas Rachel tiba-tiba. Mendengar ucapan Rachel, sem ua m ata m enatap ke arahnya, tidak terkecuali Henry. ”Rachel, apa m aksudm u?” tanya Azuka lirih. ”Kukira siapa yang bicara, ternyata orang yang hampir m ati. Bertarung secara jujur katam u? Kalian yang m ain keroyok dan m enggunakan pistol. Apa itu yang disebut bertarung secara jujur?” ”Kita bertarung tanpa m enggunakan senjata apa pun, dan tanpa menggunakan tenaga dalam,” kata Rachel menantang Henry. ”Heh… kaukira aku bodoh? Tanpa senjata dan tenaga dalam ? Dan kalian akan kem bali m ain keroyok seperti tadi?” ”Tidak. Kali ini aku jamin, hanya kau dan aku. J ika ada yang ikut campur, perjanjian batal dan kau boleh kembali m enggunakan senjata dan tenaga dalam .” Rachel m enoleh ke arah Kenji. ”Serahkan senjata m iliknya…,” katanya. ”Rachel! J angan gila! Kau terluka dan sudah kehabisan tenaga. Kau m au m elawan dia dengan apa?” tanya Azuka. ”Elsa…” Kenji tidak berkomentar apa-apa. Dia mengerti maksud 335



Rachel dan m elem parkan pedang laser Henry hingga jatuh di dekat pem iliknya. Henry m em ungut pedang lasernya. ”Kuakui keberanian dan jiwa sportifm u. Baiklah, aku layani tantanganmu. Kurasa ini tidak akan lama,” katanya sam bil m enyim pan pedangnya di saku bajunya. ”Kuharap kalian sem ua bisa m engerti. Tidak ada yang ikut campur walau apa pun terjadi,” kata Rachel kemudian. ”Elsa, kau…” Rachel m enoleh ke arah Riva. ”J angan kuatir, aku pasti menang,” ujarnya sambil tersenyum . Rachel maju ke tengah ruangan, demikian juga Henry. Keduanya lalu bersiap-siap bertarung. ”J angan salahkan aku kalau pertarungan ini akan berlangsung singkat,” kata Henry penuh percaya diri. ”Silakan saja kalau kau bisa,” balas Rachel kalem . Sedetik kem udian, Henry m eloncat untuk m em ulai serangan.



336



Empat Puluh



”P ENCAK SILAT?” ”Apa katam u?” tanya Azuka yang m endengar ucapan Riva. ”Lihat. Elsa m enggunakan ilm u silat.” ”Ilm u silat?” ”Engg… beladiri asli negara kam i.” ”Oooo… Rachel juga belajar itu?” Ya, pencak silat atau biasa disebut silat saja, itulah jurus yang sekarang dipakai Rachel untuk m enghadapi Henry. Ilmu beladiri asli Indonesia itu baru dipelajari Rachel sekitar satu setengah bulan yang lalu. Setelah kem atian Shunji, Rachel bermaksud menyelesaikan semua masalahnya selam a ini, term asuk m encari Riva serta m em balas kem atian gurunya itu. Tapi Rachel tahu, dia terlebih dahulu harus m em persiapkan diri sebaik-baiknya karena 337



lawan-lawan yang dihadapinya nanti tidak ringan. Mem perdalam ilm u beladiri m erupakan salah satu caranya m em persiapkan diri term asuk m em pelajari pencak silat. Dari pertarungannya yang pertama dengan Henry, Rachel bisa m engam bil kesim pulan bahwa Henry m em ang m enguasai berbagai m acam jurus beladiri dari berbagai negara, tapi dia tidak m em pelajari pencak silat. Rachel akan m enggunakannya sebagai jurus pam ungkas. Keputusan Rachel ternyata tepat. Melawan jurus yang belum dikenalnya, Henry sedikit kelabakan. J anjinya untuk menyelesaikan pertarungan dalam beberapa jurus saja tidak terbukti. Bahkan sebaliknya, Rachel berhasil m em buatnya terpojok. Keunggulan teknik dan isik Henry men­ jadi hilang. Gerakan silat adalah gerakan yang sangat ei­ sien. Tidak memerlukan banyak gerakan yang tidak perlu, tapi langsung m enyerang m enuju daerah yang m em atikan. Setelah berulang kali m encoba m em asukkan pukulan dan tendangan, Henry akhirnya berhasil menendang pinggang kanan Rachel. Tapi tendangan itu tidak telak karena Rachel sempat menghindar walau tidak sempurna. Rachel cepat berkelit dengan memutar badannya dan melakukan pukulan m em utar. Tepat m engenai kening Henry, m em buat pria itu terpental jatuh. Berhasil! Rachel segera kem bali m engam bil kuda-kuda. Tangan kanannya diangkat sejajar kepala, sedang tangan kirinya sejajar dada. Kedua kakinya direnggangkan sambil sedikit m enekuk. 338



Pam acan! batin Riva yang mengenali apa yang sedang dilakukan Rachel. Riva m em ang tidak asing dengan silat, karena pernah berlatih silat saat masih kecil, sebelum beralih menekuni karate. Walaupun hanya sebentar, Riva cukup tahu selukbeluk dunia silat. Apalagi pelatihnya waktu itu adalah tetangganya sendiri yang sering bercerita mengenai olahraga tradisional itu. Belum sem pat Henry m enarik napas, Rachel kem bali m enyerangnya. Kali ini serangan diarahkan ke bagian bawah dengan kom binasi tendangan dan pukulan, m embuat Henry hanya bisa bertahan. Tapi Henry juga tidak m au terus-m enerus dipojokkan. Setelah berhasil m engelakkan tendangan Rachel, Henry balas m enyerang dengan kom binasi pukulan ke arah kepala dan perut gadis itu. Rachel m elom pat m enghindari serangan Henry, tapi pria itu terus m em burunya. Dia tidak ingin kehilangan m om en saat dirinya sedang unggul. Rachel m enunduk sam bil m elepaskan sapuan kaki kanannya. Serangan bawah yang tidak diduga itu membuat Henry tidak siap, hingga akhirnya terjatuh. Henry segera berguling ke samping untuk menghindari serangan Rachel berikutnya. Tapi di luar dugaan, Rachel m alah m undur, kem udian hanya berdiri, seakan m enunggu Henry untuk bangun. ”Pertarungan selesai, aku tidak ingin melanjutkan lagi,” kata Rachel tiba-tiba. Ucapannya tentu saja membuat semua yang ada di situ m enjadi heran, tidak terkecuali Henry. ”Tapi jangan salah, aku m undur bukan berarti per339



tarungan selesai. Ada yang akan melanjutkan pertarungan ini dan m engalahkanm u…,” lanjutnya. ”Kau bodoh. Kaukira ini perm ainan? Kau m au bilang ada yang akan mengalahkanku?” balas Henry. Pandangannya terarah pada tiga orang yang berdiri di dekat pintu. Ada Riva, Azuka, dan Kenji. Di antara ketiganya, Henry m enilai hanya Kenji yang punya kesem patan untuk mengalahkannya, walau dia telah terluka. Azuka dan Riva punya kem am puan bertarung di bawah dirinya, apalagi Azuka juga telah terluka. Rachel juga m enoleh ke arah ketiga tem annya. ”Riva, kau ingin m em balas dendam atas kem atian kedua orangtuam u, kan? Sekarang saatnya…,” kata Rachel. Lagi-lagi ucapannya membuat semua yang mendengarnya heran. ”Rachel, jangan gila! Kau m au m enyuruh Riva m enggantikan dirim u? Dia bisa terbunuh…,” protes Azuka. ”Biar aku yang maju,” ujar Kenji sambil melangkahkan kakinya. Tapi Rachel m em beri isyarat padanya untuk tetap di tem pat. ”Aku tidak gila. Riva sekarang ini mampu mengalahkan kecoak ini,” ujarnya santai. Rachel lalu m elangkah m endekat ke arah Riva. ”Aku… aku nggak bisa,” kata Riva. ”Kau pasti bisa. Percayalah pada dirim u sendiri. Aku sudah m elihat caram u bertarung tadi, dan kau pasti bisa m enang,” kata Rachel m enenangkan hati Riva. ”Tapi…” ”Kau tidak ingin m em balas dendam atas kem atian kedua orangtuam u dengan tanganm u sendiri?” 340



Riva m enatap tajam ke arah Henry. ”Menurutmu, aku bisa menang?” tanyanya masih raguragu. ”Pasti. Percayalah pada dirim u sendiri.” Riva m engangguk, lalu m elangkah m aju. Tapi Rachel m enahan bahunya. ”Satu serangan mematikan ke arah badan sudah cukup. Tandanya terlihat jelas. Kau pasti bisa,” ujar Rachel. Kali ini nada suaranya sangat lirih sehingga hanya Riva yang bisa m endengar. ”Maksudm u?” ”Lakukan saja apa yang kubilang,” Riva sekarang berhadapan dengan Henry. Dia m em asang kuda-kuda ala karate. ”Kau telah menyuruh Riva untuk menggali liang kuburnya sendiri,” gum am Azuka pada Rachel yang berdiri di sam pingnya. ”Aku tak akan m engirim seseorang untuk terbunuh,” balas Rachel. ”J adi kau yang dipilih untuk m elawanku?” kata Henry dengan nada m erem ehkan Riva. ”Kali ini akan kubuat Double M m enangis. Akan kubunuh kau dengan cepat, tepat di hadapannya.” ”J angan banyak bicara. Ayo serang aku!” seru Riva tiba-tiba. Kepercayaan dirinya m ulai m eningkat. Ucapannya m em buat wajah Henry m em erah. ”Kau memang benar-benar ingin cepat mati! Kalau begitu kukabulkan perm intaanm u!” 341



Selesai berkata dem ikian, Henry m eloncat m enyerang Riva! Sebuah tendangan dari Henry m asih dapat dielakkan Riva. Tapi dia tidak bisa mengelak tendangan kedua yang datang begitu cepat. Tubuhnya terem pas ke lantai. Saat Riva baru bangkit, Henry sudah di hadapannya dan m enendangnya lagi. ”Sudah kubilang dia bukan tandingan Henry!” kata Azuka cem as. ”J angan terlalu cepat m engam bil kesim pulan. Ini baru m ulai.” ”Cepat m engam bil kesim pulan? Kau tidak lihat dia terlalu cepat untuk Riva?” Azuka lalu m enoleh ke arah Kenji. ”Kau sayang Riva, kan? Cepat bantu dia,” pintanya. ”Kalau kalian bantu dia, Riva akan m enyesal seum ur hidup karena tidak bisa membalas kematian kedua orangtuanya,” Rachel m em peringatkan. ”Tapi kalau dia tewas…” ”Mungkin Rachel benar…,” tukas Kenji. ”Kecepatan dan kekuatan Henry telah m enurun jauh dibanding tadi. J ika tenaganya seperti saat dia mulai bertarung melawan Rachel tadi, Riva akan tewas dalam satu pukulan. Mungkin saja saat ini Riva bisa m enang…,” lanjutnya. Riva tersungkur untuk ke sekian kalinya setelah m enerima pukulan di kepalanya. Darah telah mengucur dari pelipis dan m ulut gadis itu. Sejauh ini dia belum bisa 342



memasukkan pukulan ataupun tendangan ke arah Henry karena lawannya bergerak sangat cepat dan tidak m em berinya kesem patan sedikit pun. Dia terlalu cepat! batin Riva. Bola m atanya m elirik ke arah Rachel. Rachel berdiri sam bil tetap m enatapnya. Tidak sedikit pun kecem asan terlihat di wajahnya. Dia terlihat m asih percaya dengan kem am puan Riva. Kau pasti bisa! Henry telah berada di depan Riva yang masih terduduk di lantai. Dia mengangkat tangannya, siap memukul Riva dari atas. Dan saat itulah Riva m elihat satu peluang bagus untuk m enang. Henry lengah karena m erem ehkan Riva dan dia m embuka badannya untuk diserang! Sebelum Henry melepaskan pukulannya, Riva bergerak cep at. Dia m en gu m p u lkan selu r u h ten agan ya d an m elepaskan pukulannya, langsung ke dada Henry. Satu serangan m em atikan ke arah tubuh! Tandany a terlihat jelas! Saat itulah terjadi hal yang tidak diduga oleh sem ua orang, kecuali Rachel. Saat pukulan tangan kanan Riva telak mengenai dadanya, m ata Henry langsung m elotot. Wajahnya berubah seperti menahan sakit. Dia pun menarik kembali pukulan yang tadinya akan dilepaskan, dan tubuhnya pun m undur ke belakang sam bil terhuyung-huyung. Darah kelihatan keluar dari bagian dada yang terkena pukulan Riva. 343



”Kau…,” ujar Henry. Sambil memegang bagian dadanya yang terus m engeluarkan darah. ”Bagaim ana m ungkin? Riva m em punyai tenaga sekuat itu hingga bisa m em buat dada Henry berdarah? Tapi kelihatannya pukulannya tidak begitu kuat,” tanya Azuka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. ”Kau tidak salah lihat. Riva mungkin mengerahkan seluruh tenaganya, tapi pukulan dia tidak sekuat yang kaukira,” sahut Rachel. ”Tapi bisa m enyebabkan dada berdarah dan m em buat Henry seperti kesakitan?” ”Bukan pukulan Riva yang menyebabkan semua itu…,” tukas Kenji, ”…peluru yang tadi kautem bakkan. Henry tidak m elepas rompi antipelurunya sehingga peluru itu masih berada di sana. Dan Henry bilang rom pi antipelurunya sangat tipis. H anya butuh satu dorongan kuat untuk mendorong peluru melewati rompi dan meneruskan tujuannya sem ua.” ”Maksudm u, peluru itu terdorong oleh pukulan Riva dan m enem bus badan Henry?” tanya Azuka. ”Akhirnya kau m engerti.” ”Tapi ujung peluru itu tidak lagi tajam . Tidak cukup satu pukulan untuk m em asukkannya m enem bus tubuh,” kata Azuka lagi. ”Tentu saja…,” kali ini Rachel yang bicara. ”J adi… Riva m enggunakan tenaga dalam untuk m endorong peluru itu?” Rachel hanya tersenyum .



344



Benar-benar pintar! batin Kenji, mau tidak mau mengakui kepintaran adik angkatnya itu. Henry terhuyung-huyung m undur sam bil m em egangi dadanya. ”Kau… kau m enggunakan tenaga dalam !” katanya dengan suara bergetar. ”Itu kan perjanjianm u dengan Elsa. Salah sendiri kenapa kau tidak m enggunakannya,” jawab Riva. Henry m enggeram m arah. Dia m engibaskan tangan, mencoba mengeluarkan pukulan angin. Tapi kali ini Riva lebih cepat. Dia bergerak menuju Henry dan melepaskan tendangan beruntun ke dada dan perut pria tersebut, m em buat Henry terjungkal ke belakang. Ini untuk Papa dan Mam a! batin Riva. Henry tersungkur. Darah m akin deras keluar, bukan saja dari dada, tapi juga perut dan mulutnya. Dia mencoba bangkit, tapi luka-lukanya terlalu parah dan dalam. Henry pun kem bali tersungkur, dan diam tidak bergerak. ”Dia sudah tewas?” tanya Azuka. Rachel dan Kenji bergerak m enuju ke arah Riva yang berdiri lem as. Tenaganya terkuras karena m elepaskan pukulan dan tendangan yang m em erlukan tenaga dalam . Belum lagi luka-luka dan memar di tubuhnya yang membuat seluruh badannya terasa sakit. Walau begitu Riva sangat puas karena bisa membalas kematian orangtuanya dengan tangannya sendiri. Dia menatap jasad Henry yang terbujur kaku. ”Kau berhasil…,” kata Rachel sam bil m erengkuh bahu Riva. 345



”J angan senang dulu. Kita harus cepat keluar dari sini dan pergi sejauh m ungkin,” tukas Kenji tiba-tiba. ”Apa m aksudm u?” tanya Rachel. ”Kenji benar. Kita harus cepat m enyingkir dari tem pat ini sejauh m ungkin. Henry telah berencana untuk m eledakkan gedung ini,” Azuka m enam bahkan. ”Meledakkan gedung ini?” Kenji m engangguk. ”Dan kita tidak tahu kapan dia akan m eledakkannya. Mungkin dia telah m em asang waktu peledakannya sebelum kita datang,” ujar Kenji lagi. ”Tapi dari m ana kau tahu hal ini?” ”Marcelo. ”



346



Empat Puluh Satu



”KAU m ungkin bisa m engalahkanku, tapi kau takkan bisa keluar dari tem pat ini dengan selam at…,” kata Marcelo terengah sam bil m em egang dada kiriny a y ang tertusuk m ata katana y ang patah m ilik Azuka. ”Tem pat ini bukan saja sebuah superkom puter y ang san gat besar, tapi juga bom w aktu y an g san gat dahsyat. Dan Ketua sudah m em utuskan untuk m eledakkan bom w aku ini. Apa pun y ang terjadi, tidak akan ada y ang bisa keluar dari tem pat ini hidup-hidup. Bahkan juga keluar dari kota ini,” lanjutny a sam bil tertaw a histeris. *** ”Singkatnya, Henry akan m eledakkan tem pat ini m elalui 347



sumber listrik gedung yang berada di bawah tanah,” kata Kenji. ”Kalau begitu sem oga kita m asih punya waktu. Kukira helikopter Henry m asih ada di atas,” kata Rachel. Tibatiba wajahnya berubah. ”Tapi… siapa yang akan m enerbangkan helikopter tersebut?” lanjutnya. ”Aku bisa…,” jawab Azuka. ”Aku pernah ikut kursus m enerbangkan helikopter. Walau tidak sam pai selesai, tapi kalau untuk m enerbangkan helikopter dari gedung ini ke suatu tem pat yang tidak begitu jauh, aku m asih bisa.” ”Kalau begitu tunggu apa lagi?” ”Apa kau tidak dengar? Bila gedung ini meledak, tidak hanya daerah sekitarnya yang hancur, tapi m ungkin sebagian dari kota ini,” kata Azuka ragu. ”J angan berlebihan. Berapa dahsyat sih efek ledakan sebuah gedung? Mungkin daerah di sekitarnya ikut terkena imbasnya, tapi paling jauh hanya radius sekitar satu kilometer. Sedang luas London lebih dari seribu kilometer persegi,” sergah Rachel. ”Kau tidak tahu sum ber listrik gedung ini…” ”Mem angnya apa?” Tiba-tiba Rachel m em belalakkan m atanya. ”Maksudm u, sum ber listrik gedung ini…” ”Sebuah reaktor nuklir mini tertanam di bawah gedung ini. Walau reaktor m ini, tapi jika m eledak, m aka akan m enim bulkan ledakan nuklir yang m ungkin bisa m enghancurkan seluruh area Canary Wharf, atau bahkan separuh kota.” 348



”Tepatnya, ledakannya tiga ribu kali lebih dahsyat daripada ledakan di Hiroshim a. Seluruh London akan rata dengan tanah.” Tiba-tiba terdengar sebuah suara, membuat Rachel dan yang lainnya terkejut serta menoleh ke arah asal suara tersebut. Henry Keisp ternyata m asih hidup. Dia terduduk di lantai. Napasnya tersengal-sengal, sedang pandangan matanya sayu. Tapi kemarahan jelas tergambar di wajahnya. ”Mem ang benar, aku telah m engaktifkan bom untuk m eledakkan gedung ini sebelum nya, dan kalian tidak akan bisa selamat. Tapi aku tidak puas kalau tidak membunuh kalian dengan tanganku sendiri!” katanya dengan nada penuh am arah. Tanpa basa-basi, Kenji maju. Dia hendak meremukkan kepala Henry dengan tangannya sendiri. Tapi baru beberapa langkah, Henry m engibaskan tangannya, m em buat pemuda itu terpental. Ternyata Henry masih mempunyai tenaga yang kuat. ”Matilah kalian bersam a-sam a!” seru Henry. Dia lalu memejamkan mata, dan berkonsentrasi. Tidak sam pai lima detik kemudian, tiba-tiba Rachel m erasakan dadanya m akin lam a m akin sesak. Lam a-kelam aan, rasa sakit m ulai m enyelim uti dada kiri, seperti ada yang m eremas jantungnya. Rachel meringis menahan sakit sambil terduduk. Dia melirik ke arah yang lain. Ternyata temantem annya juga m engalam i hal yang sam a. ”Sial… dia telah m enguasai level delapan…,” desis Rachel sam bil m em egangi dadanya. ”Level delapan?” tanya Azuka. 349



”Level delapan ilm u Oni. Perem uk J antung. Level sembilan adalah menguasai pikiran seperti yang dia lakukan padam u. Tapi dia tidak bisa m enggunakan ilm u m enguasai pikiran ke lebih dari satu orang, jadi dia m enggunakan ilm u Perem uk J antung yang bisa digunakan hingga ke puluhan orang sekaligus,” kata Rachel. Jurus Oni? Riva tiba-tiba teringat buku yang dibacanya. ”Kudengar jurus Oni ada sepuluh level. Apa level sepuluh dari jurus itu?” tanya Riva sam bil berusaha keras m enahan rasa sakit di dadanya. ”Aku tidak tahu. Level sepuluh terlihat bukan sebuah jurus, hanya sebuah cara m engatur aliran darah dan pernapasan tubuh,” jawab Rachel agak tersengal. ”Tapi pasti ada artinya…” Perbincangan m ereka terhenti karena rasa sakit yang sem akin lam a sem akin m enggila. Bahkan kini Rachel m erasa jantungnya akan pecah karena rem asan yang begitu kuat. Tidak hanya dada, sekarang rasa sakit itu sudah m enjalar ke seluruh bagian tubuh yang lain, term asuk kepala. ”Aaakhh… aku tidak tahan lagi!” seru Azuka. Hidungnya mulai mengeluarkan darah, dan pandangannya mulai kabur. Di sisi lain, Riva mencoba berkonsentrasi. Dia mencoba mengingat-ingat apa yang dibacanya di salinan kitab jurus Oni yang dititipkan Kenji, terutam a di halam an-halam an terakhir. Walau m enurut Rachel level sepuluh bukanlah jurus, tapi menurut Riva, apa yang ditulis di level sepuluh m alah lebih gam pang untuk dilakukan daripada level 350



lainnya. Dan entah kenapa, Riva seakan m erasa aliran darahnya yang tadinya m enyem pit perlahan-lahan m ulai lancar kembali. Dadanya yang tadi serasa sesak juga mulai kem bali norm al. Apa dia m engurangi tenagany a? pikir Riva dalam hati. Gadis itu m elihat sekelilingnya. Rachel, Azuka, dan Kenji m asih terlihat kesakitan sam bil m em egang dada. Sama sekali tidak ada perubahan. Henry juga masih duduk bersila sam bil m em ejam kan m ata. Terlihat urat-uratnya m enonjol tanda dia sedang berkonsentrasi penuh. ”Riva, kau…” Itu suara Azuka. Mendengar suaranya, Rachel menoleh ke arah Riva. ”Kau tidak terpengaruh?” tanya Rachel terbata-bata. ”Aku tidak tahu kenapa. Tapi setelah aku mempraktikkan level sepuluh, seluruh sakit di badanku terasa hilang,” ujar Riva. ”Level sepuluh bukan jurus untuk menyerang. Itu adalah jurus untuk m enangkis sem ua serangan dari level sebelum nya.” Tiba-tiba Kenji angkat bicara. ”Tapi aku pernah mempelajarinya dan tidak berhasil…,” sahut Rachel. ”Kita tidak akan bisa, karena level sepuluh hanya bisa dipelajari oleh keluarga Nissho. J urus ini diciptakan oleh Eiichi Nissho berdasarkan sistem peredaran darah keluarga Nissho yang agak berbeda dengan sistem peredaran darah pada um um nya.” ”Kalau begitu Azuka juga pasti bisa m em pelajarinya…” Tapi kondisi Azuka sudah tidak m em ungkinkan untuk 351



m em pelajari apa pun. Luka yang dideritanya dalam pertarungan-pertarungan awal menyebabkan rasa sakit di tubuhnya m enjadi dua kali lipat dari yang lain. Bahkan dia sudah ham pir pingsan karena tidak kuat m enahan sakit. Dengan sisa-sisa tenaganya dan sambil menahan sakit, Rachel m engam bil pistolnya dan m elem parkannya ke arah Riva. ”Tem bak dia…,” seru Rachel. ”Tapi…” Riva masih ragu-ragu. Dia tidak segera mengam bil pistol yang tergeletak di lantai. ”Tem bak… atau kita akan m ati. Atau kau lebih senang m enyerangnya langsung?” Riva m asih ragu-ragu. Dia m asih m em pertim bangkan apakah akan m enem bak atau m enyerang Henry secara langsung. J ika itu yang dilakukannya, Riva ragu karena kondisi badannya sebenarnya juga sudah m ulai lem ah. ”Cepat…” Itulah ucapan terakhir Rachel sebelum dia tersungkur. Darah keluar dari hidungnya. Riva m enoleh ke arah Kenji. Keadaannya juga tidak jauh lebih baik. Riva segera memungut pistol yang dilemparkan Rachel dan m em bidik ke arah Henry. DOR! Sekali tem bak, dan Henry tersungkur ke belakang. Sebutir peluru yang ditem bakkan Riva tepat m enem bus dahi kirinya. Saat itu juga rasa sakit yang menyelimuti Rachel men352



dadak berhenti. Rachel segera bersila mengatur jalan napasnya. Dem ikian juga Kenji. ”Elsa, kam u nggak papa, kan?” tanya Riva. Rachel m engangguk. ”Kau berhasil. Kau telah m em balas kem atian kedua orangtuam u,” ujar Rachel. ”Dia udah m ati, kan?” Kenji beranjak dan m endekati tubuh Henry, lalu berjongkok m em eriksanya. ”Kali ini dia benar-benar telah tewas,” kata Kenji. ”Kita tidak ada waktu, cepat keluar dari sini…,” ajak Kenji. ”Tunggu… bagaim ana kalau yang dikatakannya benar? Bagaim ana kalau m em ang ada bom nuklir yang bisa m enghancurkan seisi kota? Tujuh juta penduduk kota akan tewas…,” tukas Rachel. ”Lalu? Itu bukan urusan kita.” ”Dasar egois! Kau tidak peduli akan nasib jutaan orang? Papaku m em iliki darah keturunan Inggris, jadi negara ini juga m erupakan kam pung halam anku. Aku tidak akan tinggal diam m elihat negara asalku hancur lebur, apalagi ibu kota negara,” kata Rachel. ”J adi kau in gin jadi pah lawan ? Silakan lakukan sendiri!” tandas Kenji ”Elsa benar, kita harus coba m em atikan bom itu kalau kita m am pu,” tukas Riva. ”Caranya? Kita tidak tahu di mana bom itu disimpan,” ujar Kenji. ”Bom itu tentu saja reaktor nuklir yang ada di bawah gedung ini. Kita harus m em atikannya,” sahut Rachel. 353



”Oya? Kau pernah m em atikan bom atom ?” tanya Kenji. ”Akan lebih m udah bila kita m enem ukan detektornya. Kita m em atikannya dari sana,” jawab Rachel ”Kau tahu di m ana detektornya?” tanya Kenji lagi. ”J ustru itu kita harus cari.” ”Cari? Sam pai kapan? Sam pai bom itu m eledak?” Tiba-tiba Rach el m en odon gkan pistol yan g bar u diam bilnya dari Riva ke kening Kenji. ”Elsa!” seru Riva. ”Seh ar u sn ya aku m em bu n u h m u sekar an g!” u jar Rachel.



354



Empat Puluh Dua



M ELIH AT



Rachel m enodongkan pistolnya ke arah Kenji, Riva dan Azuka tentu saja terkejut. Sedang Kenji terlihat tenang-tenang saja. Tidak ada perubahan pada wajahnya. ”Elsa, apa yang kaulakukan?” ”Seharusnya aku m em bunuh dia sejak pertam a kali ketem u,” jawab Rachel. ”Iya, tapi kenapa?” Rachel m enghela napas sejenak sebelum m enjawab pertanyaan Riva. ”Karena dia telah m em bunuh Shunji…” ”Shunji? Gurumu itu? Kenji membunuhnya? Bukankah dia anaknya?” ”Orang seperti dia tidak pantas disebut anak. Mem bunuh orang yang m em besarkan dan m erawatnya dari ke cil.” 355



”Aku hanya menginginkan kitab Oni, tapi Oto-san tidak memberikannya. Dia terbunuh dalam pertarungan secara adil,” Kenji m em bela diri. ”Tapi kau tidak perlu m em bunuhnya!” tukas Rachel. ”Kalau aku tidak m em bunuhnya, dia yang akan m em bunuhku.” ”Dasar iblis!” Tiba-tiba Riva berdiri di antara Rachel dan Kenji. Pistol yang tadi terarah ke kening Kenji sekarang terarah ke kening Riva. ”Riva, apa-apaan kau?” tanya Rachel. ”Kenji telah banyak m enolongku. Dia juga beberapa kali m enyelam atkan nyawaku, jadi aku berutang nyawa padanya,” jawab Riva. ”Aku tahu, dia berbuat dosa besar kepadam u. Karena itu, sebaiknya kau tem bak aku untuk m enggantikan dirinya. Kalau bukan karena Kenji, aku m ungkin udah nggak ada lagi di dunia ini.” ”J angan bercanda! Kau nggak ada hubungannya dengan ini!” ”Aku nggak bercanda. Tem bak aku dan am puni dia!” Rachel terdiam sebentar m endengar ucapan Riva. ”Kau rela berkorban dem i orang seperti dia?” ”Dia udah banyak berkorban dem i aku, jadi aku harus m em balasnya.” ”Oya? Dan kau tetap akan m elakukannya walau kau tahu bahwa dia juga udah m em bunuh Kak Saka?” Ucapan Rachel m em buat Riva terenyak. Dia bagaikan baru terkena sengatan listrik ribuan volt ”Apa m aksudm u? Kak Saka telah…” ”Kau bisa tanyakan langsung pada orang yang kau356



lindungi itu, bagaimana dia melempar Kak Saka dari atas kastil setinggi dua puluh m eter.” Mendengar itu, Riva berbalik. Sekarang dia berhadapan dengan Kenji. ”Apa benar?” tanya Riva dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Kenji m enatap Riva. ”Kenji?” ”Aku tidak m em bunuh dia,” ujar Kenji akhirnya. ”Mau berbohong? Aku sendiri yang m elihat kau m elem par Saka seperti m elem par sam pah!” tukas Rachel. ”Aku m em ang m elem par dia dari atas kastil. Tapi bukan aku yang m em bunuhnya,” sergah Kenji. ”Kau mengaku melempar dia, tapi tidak mau mengaku m em bunuh Kak Saka?” kejar Rachel. ”Dia telah tewas saat kulem par. Marcelo yang m em bunuhnya! Dia m enem baknya tepat di dada.” Riva tetap m enatap Kenji dengan pandangan kecewa. ”Tapi… kenapa kau m elem par tubuh Kak Saka?” tanya Riva sam bil m enahan tangis. Kenji m enelan ludah m endengar pertanyaan itu. ”Aku… aku hanya ingin m enyerahkan tubuhnya pada Rachel. Tapi situasi saat itu tidak m em ungkinkan…,” jawab Kenji tercekat. ”J adi kau tidak m em bunuh Kak Saka?” tanya Rachel. Kali ini dia m engenakan kacam ata hitam dan m engaktifkan poly graph-nya. ”Tidak. Marcelo yang m em bunuhnya,” jawab Kenji. Shit! Dia berkata jujur! batin Rachel saat melihat hasil poly graph-nya. 357



”Lalu Shun ji? Kau m em m bun uh n ya, kan ?” tan ya Rachel. ”Oto-san tewas dalam pertarungan yang fair. Aku tidak m enyesali hal itu.” Tiba-tiba ruangan bergetar hebat, seperti ada gem pa bum i. Terdengar juga suara ledakan dari lantai bawah. ”Proses penghancuran gedung sudah m ulai. Kau akan m en em bakku atau tidak? Putuskan sekaran g!” seru Kenji. ”Kau…” Rachel hendak m enarik pelatuk pistolnya, tapi Riva kem bali m enghalangi. ”Aku tidak akan m em bunuhm u di depan Riva,” kata Rachel geram sam bil m enurunkan pistol. ”Makasih…,” ujar Riva lirih. Rachel segera m em apah Azuka yang m asih lem ah. ”Kita harus segera ke atap!” seru Kenji. ”Detonatornya?” tanya Riva. ”Lupakan!” *** Di atap gedung, terlihat sebuah helikopter terparkir. Saat itu hari m enjelang fajar. Sinar m atahari m ulai terlihat di ufuk tim ur. ”Kau m asih bisa m engem udikan helikopter?” tanya Rachel pada Azuka. ”Tidak m asalah. Aku sudah tidak apa-apa.” Beberapa m eter dari helikopter, tiba-tiba ada kilatan cahaya menyambar tiang pemancar. Kilatan itu menyebab358



kan ledakan kecil dan percikan api yang m enyam bar keem pat orang yang sedang berada di dekatnya. ”Awas!!” Mereka sem ua berusaha m enghindar. Tapi Riva yang berada paling dekat dengan sum ber ledakan terlam bat menghindar. Percikan api menyambar wajahnya, tepat di bagian m ata. ”Aduuh!!” ”Riva!!” Kenji segera menarik Riva dan membawanya ke tempat yang am an. Sem entara itu Riva terus m enjerit kesakitan sam bil m em egangi kedua m atanya yang berdarah. ”Riva… tenang!” Rachel berusaha m enenangkan Riva. ”Mataku… Aku nggak bisa m elihat…,” jerit Riva. ”Tenang…” Rachel m enotok urat di sekitar leher Riva untuk m engurangi sakit yang dirasakan gadis itu. Daerah di sekitar mata Riva menghitam. Percikan api tepat mengenai kedua bola m atanya. Saat menenangkan Riva, Kenji melihat sebuah bayangan berdiri tidak jauh dari m ereka. ”Awas!” Kenji m elom pat, tepat saat kilatan listrik kem bali datang. Dia menghadang kilatan listrik yang mengarah pada salah satu dari mereka. Tak ayal lagi, tubuhnya langsung tersengat kilatan listrik itu. ”Kenji-kun!” seru Azuka. Kenji tersentak, tapi tidak mundur. Dia malah maju ke arah sumber kilatan itu, yaitu seseorang yang berdiri dalam kegelapan. 359



”Kenji!” seru Rachel. ”J aga Riva baik-baik!” seru Kenji. Marcelo yang ternyata m asih hidup m engarahkan lagi senjata listriknya, tapi kali ini Kenji m enghindar sam bil m elom pat m endekati Marcelo. Kondisi Kenji yang terluka m em buat tenaganya m asih lemah. Karena itu dia tidak bisa menggunakan tenaga dalam dan h arus m en dekat un tuk bertarun g den gan Marcelo. ”Kau susah m ati ya?” seru Kenji Dia telah berada di dekat Marcelo dan di luar dugaan langsung m em eluk pria itu. ”Kau… apa yang kaulakukan?” seru Marcelo kaget. Kenji terus mendorong Marcelo hingga ke pinggir atap gedung. ”Kenji! J angan...!!” seru Rachel yang mengikutinya dari belakang. Tapi Kenji seperti tidak mendengar seruan Rachel. Dia terus m endorong, hingga akhirnya dirinya dan Marcelo m elewati pinggir atap gedung. ”Kau… jangan!!” J eritan Marcelo tidak ada artinya. Mereka berdua terjatuh dari atap dan terempas dari gedung setinggi ratusan m eter. ”Kenji!” Rachel berdiri di pinggir atap gedung sam bil m elihat ke bawah. Tapi dia hanya m endengar jeritan Marcelo yang makin lama makin lemah. Suasana yang masih gelap m em buatnya tidak bisa m elihat dengan jelas ke bawah. Kenapa kaulakukan ini!? batinnya. 360



Empat Puluh Tiga



LIMA m enit kem udian… ”Kau bisa m em bawanya?” tanya Rachel. ”J angan kuatir. Begitu mendarat, aku akan segera membawanya ke rum ah sakit terdekat,” jawab Azuka yang sudah duduk di kokpit helikopter. Di belakang, terbujur Riva yang pingsan karena luka-luka di m atanya. ”Zig akan m enunggum u di luar kota. Segera hubungi dia setelah kau m endarat. Dia tahu apa yang harus dilakukan,” kata Rachel lagi. ”Kenapa kau tidak ikut?” tanya Azuka. ”Aku harus coba m enghentikan proses peledakan ini. J ika tidak, seluruh kota bisa hancur,” jawab Rachel. ”Bagaim ana jika kau gagal?” ”Paling tidak aku sudah berusaha. Karena itu kau harus cepat pergi sebelum terlam bat!” 361



Rachel segera m enutup pintu helikopter yang m ulai m enyala. ”Sem oga kau berhasil…,” ujar Azuka. ”J aga Riva baik-baik. Bilang padanya, aku akan m enem uinya setelah ini selesai!!” seru Rachel di tengah-tengah deru m esin helikopter. Setelah helikopter yang m em bawa Azuka dan Riva mengangkasa, Rachel segera kembali ke lantai 75. Sambil berjalan, dia m engakses internet m elalui PDA-nya dan m engetikkan kata kunci pada m esin pencari: MENJ INAKKAN BOM ATOM Sesam painya di lantai 75 keadaan m ulai gelap. Beberapa lampu telah padam. Walau begitu Rachel masih bisa m enem ukan jasad Henry yang terbaring di tem pat itu. Dia berm aksud m enggeledah tubuh Henry, siapa tahu bisa m enem ukan petunjuk m engenai cara m em atikan bom nuklir. Dia pasti m em baw a suatu alat untuk m engontrol peledakan! batinnya. Dugaan Rachel benar. Dia m enem ukan PDA m ilik Henry dalam salah satu saku celananya. Layar PDA itu m enam pilkan deretan angka digital yang m erupakan hitungan waktu mundur. Rachel yakin ini adalah hitungan m undur m enuju peledakan. Tujuh m enit lagi! batinnya. Rachel segera bergegas m enuju lift. Tapi ternyata lift telah m ati. Sial! um patnya. 362



Waktu tujuh m enit tidak cukup bagi Rachel untuk sam pai ke basem ent lewat tangga, sam bil berlari sekalipun. Tapi dia tetap berlari menuju tangga. Hanya saja tujuannya adalah ruang superkom puter di lantai 70 . Ruang superkom puter Delilah m em ang hanya sam pai lantai 70 . Hanya dalam waktu kurang dari satu m enit, Rachel telah sam pai di ruang superkom puter itu. Walau gelap, cahaya yang keluar dari tiang di tengah ruangan m em berikan terang bagi keadaan di sekelilingnya. Rachel terus berlari m enyusuri jem batan hingga ke tengah ruangan. Sesam painya di tengah jem batan, dia m elihat ke bawah, ke dalam lubang yang gelap. Rachel lalu m elihat PDA m ilik Henry yang dibawanya. Enam m enit lagi! Tidak ada w aktu! Inilah satusatuny a jalan untuk cepat sam pai ke baw ah! Rachel m enarik napas panjang, lalu dengan penuh keyakinan, gadis itu melompat dan menjatuhkan dirinya ke d alam lu ban g yan g d alam n ya ber atu s-r atu s m eter tersebut. *** ”Ledakan gedung Key Tower di pagi hari memang sangat m engguncangkan sebagian penduduk kota London, terutam a yang berada di sekitar distrik Canary Wharf. Setelah ledakan diiringi runtuhnya sebagian gedung pada tengah m alam tadi, sekitar sepuluh m enit yang lalu, terjadi ledakan besar dan diikuti runtuhnya seluruh bagian gedung yang tersisa. Belum diketahui apakah ada korban jiwa pada ledakan kedua ini, sem entara dugaan adanya 363



korban jiwa pada ledakan pertam a juga belum bisa diketahui walau pihak KeyTel Corp. m em astikan tidak ada korban jiwa pada ledakan pertam a m alam tadi. Saat ini ratusan petugas kepolisian, pem adam kebakaran, dan petugas m edis sudah berada di lokasi dan distrik Canary Wharf untuk sem entara ini ditutup sam pai batas waktu yang belum ditentukan. Ditutupnya salah satu pusat perekonom ian Inggris ini dipastikan akan m em engaruhi situasi ekonom i negara ini. Saat ini kam i m endapat laporan bahwa Perdana Mentri telah m em anggil pihak KeyTel untuk m endapat inform asi yang jelas m engenai runtuhnya gedung tertinggi di London ini. Sementara itu Direktur Utam a sekaligus pem ilik KeyTel Corp, Henry Keisp juga m asih belum diketahui keberadaannya. Saya, Laura Shilton, m elaporkan untuk BBC News...” ***



Se te n gah jam ke m u d ian Markas Scotland Yard 25 di daerah Westm inster gem par karena paket yang diletakkan di depan pintu. Para personil kepolisian London yang sebelum nya disibukkan dengan kasus peledakan dan runtuhnya Key Tower tidak ada yang berani m endekat, apalagi m em buka paket yang dibungkus kardus berukuran sekitar 60 x 50 x 40 senti



25 Sebutan bagi Metropolitan Police Service, yaitu polisi yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah London di kota London.



364



tersebut. Pasukan penjinak bom pun didatangkan untuk m engevakuasi paket yang m encurigakan itu. Seorang petugas penjinak bom berpakaian pelindung lengkap mendekat ke arah paket dengan hati-hati. Setelah m em buka lakban yang m erekatkan kardus tersebut, dia m em buka isi kardus. Saat itulah m atanya terbelalak m elihat apa yang ada di dalam kardus. ”Cepat panggil badan nuklir, atau siapa pun yang berhubungan dengan itu!” serunya. Di dalam kardus tergeletak sebuah silinder logam dengan panjang sekitar lim a puluh senti dan diam eter sekitar dua puluh senti. Silinder itu berada di tengah tum pukan butiran es batu yang m ulai m encair. Orang yang m eletakkan paket itu tam paknya ingin m em astikan silinder tersebut tetap dalam keadaan dingin dalam waktu lama. Walau hampir seluruh permukaan silinder tertutup uap es, tulisan pada perm ukaan silinder tersebut m asih dapat terbaca dengan jelas: HATI- HATI BAHAN RADIOAKTIF BARANG MILIK



KEYTEL CORP.



Setangkai bunga m awar berwarna m erah yang telah m em beku tergeletak di sisi silinder.



365



Empat Puluh Empat



Ban d u n g, s atu tah u n ke m u d ian



VIONA duduk di dalam sebuah kam ar. Dia m enunggu sesuatu. Lim a m enit kem udian, yang ditunggu keluar dari kam ar m andi yang ada di kam ar tersebut. ”Lo kok beseran am at sih? Stres lo?” tanya Viona. ”Gue nggak beseran. Gue cum a m o nenangin diri gue. Nggak tau kenapa, gue kok jadi deg-degan gini...,” jawab Riva. ”Wajar lah... sem ua orang m o m arried pasti kayak gitu... apalagi kalo udah Hari-H-nya,” sahut Viona sambil berdiri dari tem pat duduknya dan m endatangi Riva. ”Tuh kan... gaun lo berantakan lagi. Sini gue rapiin,” kata Viona sam bil m eneliti gaun pengantin Riva. 366



”Lo bisa?” ”Gue pernah diajarin cara ngerapiin gaun pengantin am a tante gue yang punya butik. Kalo cum a gini sih gue bisa.” Sam bil m em biarkan Viona m erapikan gaunnya, Riva berdiri di depan cerm in besar yang ada di dalam kam ar. ”Udah,” ujar Viona. Kem udian dia berdiri di sam ping Riva. ”Lo cantik, Va. Cantik banget hari ini,” puji Viona sambil m elihat ke cerm in. ”Ah... m asa? J angan ngeledek lo.” ”Siapa yang ngeledek? Beneran. Lo berbeda dengan biasanya. Mungkin karena gue biasa sehari-hari liat lo cum a pake kaus dan celana, dan baru kali ini gue liat lo pake gaun. Gaun pengantin, lagi. Lo jadi terlihat berbeda, jauh lebih cantik daripada Riva yang gue kenal.” ”Udah... udah... nggak usah terlalu m uji...” Viona merapikan juga mahkota kecil yang terpasang di ram but Riva. Dia lalu m enatap wajah sahabatnya itu. ”Gue seneng... akhirnya lo bisa hidup bahagia juga. Bisa m enikah dengan orang yang lo cintai,” ujar Viona. ”Makasih... ini berkat lo juga, dan juga Prita.” ”Mata lo bagus, Va... ini yang m em buat lo jadi terlihat lebih cantik.” ”Mata ini...” Tanpa sadar Riva hendak menyentuh matanya, tapi dicegah Viona. ”J angan... ntar m ake-up lo jadi luntur.” *** 367



Pintu kam ar terbuka, dan m uncul wajah Prita dari balik pintu. ”Udah siap, lo? Ntar telat, lagi...,” kata Prita. ”Em ang m obilnya udah siap?” tanya Viona. ”Udah... sem ua udah siap. Tinggal nunggu Tuan Putri aja...,” jawab Prita sam bil bercanda. Lalu dia m asuk ke kam ar. ”Cantik bener lo... gue sam pe pangling liatnya...,” puji Prita. ”Tuh kan gue bilang juga apa...,” Viona m enim pali. ”Lo udah siap, kan?” tanya Prita lagi. Riva m engangguk perlahan. ”Ya udah... tunggu apa lagi? Pangeran lo udah nggak sabar tuh...,” goda Prita. ”Mulai deh... Kalian keluar dulu deh... ntar gue nyusul,” ujar Riva. ”Em ang lo m o ngapain lagi?” ”Udah... pokoknya kalian keluar dulu. Nggak lama kok. Nggak sam pe satu m enit.” ”Riva...” ”Udah cepetan... tuh jangan lupa bunganya.” Saat Viona dan Prita telah keluar dari kamar, Riva kembali melihat wajahnya di cermin. Dia masih tidak percaya bahwa sebentar lagi dirinya akan m elepas m asa lajang dan hidup di sam ping pria yang dia cintai. Arga. Setelah selam a setahun m encoba untuk selalu berada di sisi Arga, Riva berhasil m enum buhkan kepercayaan diri pemuda itu. Arga berhasil menyelesaikan studi S1-nya bersam aan dengan Riva. Setelah lulus, bersam a dengan 368



mantan teman-teman kuliahnya, Arga mendirikan sebuah surat kabar yang diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Riva sendiri setelah peristiwa di Key Tower memutuskan untuk menyerahkan jabatan ketua kelompok Oni pada Azuka yang dinilainya lebih pantas. Dia sendiri memilih untuk hidup normal sebagai manusia biasa, dan tidak peduli apakah kelom pok Oni bakal ada lagi atau tidak. Riva lalu m em bantu usaha penerbitan surat kabar m ilik Arga, dan kadang-kadang ikut m em bantu m encari berita. Hasil kerja m ereka berdua cukup sukses. Surat kabar yan g diberi n am a MATAH ARI itu m en dapat sam butan positif dan oplah cetaknya terus m eningkat. Dalam waktu satu tahun, MATAHARI telah beredar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Arga pun seperti terlahir kembali, dengan semangat baru, dengan dukungan Riva di sisinya. Mereka berdua lalu m em utuskan untuk m enikah, pada hari ini. Mata ini m em ang indah! batin Riva sam bil m elihat m atanya sendiri di cerm in. Pandangan Riva lalu beralih ke m eja kerjanya, di sana terdapat foto dirinya bersam a Elsa alias Rachel saat kuliah dulu. Setelah peristiwa itu, Riva m em ang tidak pernah lagi bertem u dengan Rachel. Riva m endapat kabar bahwa Rachel tewas terkena radiasi radioaktif saat m encoba m enjinakkan bom yang akan m eledak. Walau begitu Rachel berhasil m engeluarkan inti radioaktif dari dalam gedung tersebut, hingga hanya gedung Key Tower yang meledak dan ledakannya tidak sam pai m enghancurkan kota London. Riva tidak bisa m elihat jasad Rachel untuk terakhir kalinya karena 369



jasad gadis itu langsung dibakar untuk m enghindari radiasi di tubuhnya. Riva sendiri sebetulnya terluka parah karena percikan api yang m enyam bar m atanya. Bola m ata kanannya hangus terbakar dan tidak berfungsi lagi. Tapi untunglah dia lalu m endapatkan donor m ata dari seseorang yang baru saja m eninggal dan tidak m au diketahui identitasnya. Tapi karena warna bola m ata yang baru tidak sama dengan warna bola mata asli Riva, bola sebelah kiri Riva ikut diambil dan digantikan dengan bola mata donor yang berwarna cokelat kebiruan itu. Sam pai sekarang Riva tidak tahu siapa yang m enjadi donor m atanya. Riva beranjak ke m eja kerjanya dan m engam bil foto dirinya bersam a Rachel lalu m engelusnya. Makasih, Elsa... di m ana pun kau berada! *** Akad nikah Arga dan Riva berlangsung lancar. Setelah akad nikah, kedua m em pelai bersiap-siap untuk resepsi pernikahan di aula sebuah hotel berbintang lim a di kawasan Bandung Utara. Pukul sepuluh lebih dua puluh menit, mobil pengantin yang m em bawa kedua m em pelai tiba di halam an hotel. Puluhan orang telah m enanti. Riva sendiri yang m endorong kursi roda yang diduduki Arga m enuju ke pelam inan di dalam aula. Baru beberapa m eter m elangkah dari m obil, tiba-tiba terdengar suara tem bakan. Sontak Riva, Arga dan yang lainnya terkejut. Tak lama kemudian, dari balik kerumun370



an orang yang menunggu Riva, muncul sesosok pria berkulit hitam dan berkepala botak. Tangan kanan pria tersebut putus hingga sebatas lengan, sedang tangan kirinya m em egang pistol yang siap ditem bakkan. Pria tersebut membidik Arga. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat Riva dalam keadaan tidak siap, bahkan untuk melindungi dirinya sekalipun. Saat si pria akan m enem bak, dari arah kerum unan yang lain tiba-tiba m uncul sesosok bayangan, yang langsung m elom pat tepat di depan Riva. Dengan gerakan yang cepat, sosok yang ternyata seorang wanita itu m engibaskan tangan kanannya, m em buat si pria yang m em egang pistol terjungkal ke belakang, dan pistolnya terlepas dari tangannya. Belum sem pat si pria bangun, muncul lagi dua pria dari kerumunan yang langsung meringkus pria berkulit hitam tersebut. ”Interpol...! Harap sem ua m undur!” seru wanita tersebut sam bil m enunjukkan kartu identitasnya. Sem ua yang ada di sekitar tempat itu langsung mundur termasuk beberapa petugas keam anan hotel. Walau wan ita tersebut m en gaku sebagai petugas Interpol, tapi Riva m engenali siapa dia sebenarnya. Azuka! batin Riva dengan wajah gem bira. Azuka berjalan m endekati Riva, sem entara kedua pria yang ternyata adalah anggota kelom pok Oni m em bawa pria berkulit hitam tersebut ke suatu tem pat. ”Maaf m engganggu. Tapi kam i m endapat kabar The Twins akan m engganggu pernikahanm u dan m em bunuh kalian berdua. Karena itu kam i segera kem ari. Ham pir saja terlam bat,” kata Azuka. 371



Riva tersenyum . ”Tidak apa-apa. Aku senang kau bisa datang. Kulihat juga ilm u beladirim u sem akin m eningkat,” jawabnya. ”Sebagai Ketua Agung, aku tentu harus m em pelajari sem ua yang ada dalam buku,” sahut Azuka. ”Maaf, aku tidak bisa lam a. Kam i harus segera pergi dari sini sebelum polisi datang. Kuharap kau bisa m engerti.” Azuka lalu m erogoh saku jaket kulitnya. ”Ini hadiah pernikahan dari aku pribadi, kuharap kau menyukainya. Dan semoga kalian hidup bahagia,” ujarnya sam bil m enyerahkan sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna m erah. ”Terim a kasih… aku pasti suka,” sahut Riva sam bil tetap tersenyum . ”Oya, asal kau tahu… kelom pok Oni sekarang bukan kelom pok pem bunuh bayaran lagi. J ustru kam i sekarang sedang m em buru para pem bunuh bayaran di seluruh dunia dan bekerja sama dengan jaringan kepolisian internasional. Kam i juga telah m engadakan perdam aian dengan Yakuza, dan sepakat untuk tidak saling m enyerang serta m enghargai wilayah m asing-m asing,” ujar Azuka dengan suara lirih. Sehabis berkata dem ikian, Azuka pun berjalan m eninggalkan Riva, m asuk ke kerum unan dan m enuju sebuah m obil yang telah m enunggunya. ”Kau kenal dia?” tanya Arga. Riva m engangguk. ”Dia saudaraku,” jawabnya pendek. *** 372



Tiga h ari ke m u d ian Begitu turun dari m obil sewaan yang m em bawanya dari kota Madrid, Widya langsung masuk ke sebuah bangunan besar bergaya arsitektur kuno. Lelah setelah m enem puh perjalanan darat sepanjang lebih dari 20 0 km dari ibu kota Spanyol itu tidak dirasakan wanita berusia 40 tahunan ini. Gedung besar berarsitektur kuno yang terletak di sebelah selatan Spanyol ini adalah sebuah panti asuhan anak-anak yang dikelola oleh sebuah yayasan Katolik. Tidak heran, begitu masuk, Widya disambut oleh seorang suster yang ikut m engurus panti asuhan ini. Widya lalu diantar m enem ui Pastor Delarosa, penanggung jawab panti. Setelah berbincang-bincang dengan Pastor Delarosa, Widya lalu pergi seorang diri ke sebuah ruangan yang berada di lantai dua. Pintu ruangan yang berada di pojok koridor itu sedikit terbuka, hingga dengan m udah Widya m em bukanya. Di dalam kam ar, Rachel sedang duduk bersim puh di atas sajadah. Gadis itu baru saja selesai salat. Walau posisinya m em belakangi pintu kam ar, tapi dia tahu siapa yang datang. ”Mam a…” Widya m engham piri Rachel yang segera m encium tangannya. Rachel kem udian berdiri. Dia m enolak ketika Widya hendak m em bantunya. ”Nggak usah, Ma, Rachel bisa sendiri kok…” Setelah m elepas m ukena dan m elipatnya, Rachel lalu 373



duduk di kursi yang berada di dekatnya. Dia lalu m eraih kacamata hitam yang berada di meja di dekat dirinya dan m em akainya. ”Anak-anak di sini sering takut kalau Rachel nggak pake kacam ata,” ujar Rachel. *** ”Riva telah m enikah. Pernikahannya berjalan lancar, walau ada sedikit gangguan,” cerita Widya. ”Sedikit gangguan? Gangguan apa?” tanya Rachel. Widya m enceritakan keributan yang terjadi saat akan m ulai resepsi. ”Mereka pasti melindungi Riva, jadi Rachel nggak perlu kuatir lagi,” kom entar Rachel setelah Widya selesai bercerita. ”Kam u kenal m ereka?” Rachel m engangguk. ”Mam a ketem u dengan Riva?” tanya Rachel lagi. ”Tentu… Mam a bahkan sem pat ngobrol dengan dia.” ”Tapi Mam a nggak bilang apa-apa soal Rachel, kan?” ”Nggak… sesuai perm intaan kam u.” Rachel terdiam sebentar. ”Riva bagaimana, Ma? Pasti dia tambah cantik…,” tanya Rachel lagi. ”Tentu, Sayang… Apalagi dengan m ata barunya. Dia jadi lebih m irip kam u…,” jawab Widya. ”Mam a bisa aja. Rachel ikut senang m endengarnya…” ”Kenapa kam u nggak m au m enem ui dia? Dia sangat ingin ketem u dengan kam u.” Kali ini giliran Widya yang 374



bertanya. Ibu dan anak itu ngobrol sam bil m enyusuri tam an kecil yang berada di belakang panti. Widya m endorong kursi roda yang diduduki Rachel. ”Rachel nggak bisa, Ma. Kalo Rachel m uncul dan m enem ui dia, Rachel kuatir itu akan m engundang orangorang yang m asih m em benci Rachel, yang m asih punya dendam pada Rachel. Itu akan membahayakan keselamatan Riva dan orang-orang di sekitarnya, sedang Rachel m ungkin udah nggak bisa m elindungi dia lagi. Rachel juga nggak ingin Riva m elihat Rachel dalam kondisi begini. Dia pasti akan sedih dan merasa bersalah. Karena itu Rachel putuskan untuk berpura-pura telah meninggal, supaya dia tidak terus mengharapkan kehadiran Rachel,” jawab Rachel. ”Tapi keputusan untuk menjadi donor adalah keputusan kam u sendiri, jadi dia tidak perlu m erasa bersalah. Tadinya Mam a juga heran, kam u m au m endonorkan salah satu bagian tubuh yang sangat penting bagi siapa p u n , p ad ah al kam u d alam kead aan seh at…,” u jar Widya. Mendengar ucapan m am anya, ingatan Rachel kem bali saat dia berusaha mencegah Key Tower meledak. Dia berhasil sam pai dengan selam at di lantai basem ent tem pat reaktor mini berada dengan menggunakan sisa kabel tipis yang dim ilikinya untuk m enahan tubuhnya agar tidak m eluncur deras ke bawah. Saat itu waktu enam menit yang tersisa. Rachel tidak m ungkin m encegah reaktor nuklir tersebut m eledak. Satu-satunya yang m asih m ungkin dia lakukan adalah m encegah ledakan yang sangat hebat yang bisa m eng375



hancurkan sebagian besar kota, dengan jalan mengeluarkan bahan radioaktif dan membawanya ke tempat yang am an sejauh m ungkin. Keputusan itu m erupakan perjudian karena Rachel belum pernah m enjinakkan bom atom ataupun m enyentuh bahan radioaktif. Apa yang dibacanya di internet juga belum bisa m enjam in tidak ada kesalahan saat m engeluarkan inti radioaktif dari tem patnya. Saat itulah keajaiban terjadi. J alur kom unikasi antara Rachel dan Zig yang sem pat terputus saat Rachel m emasuki Area X tiba-tiba pulih kembali. Bukan Zig namanya kalau dia tidak m engetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan teknologi, term asuk teknologi nuklir. Dengan panduan dari Zig, Rachel berhasil m engeluarkan inti radioaktif dan keluar dari Key Tower tepat sebelum gedung itu m eledak. ”Rachel m elakukan in i un tuk m en ebus kesalahan Rachel. Karena Rachel, Riva jadi kehilangan sebelah matanya. Rachel nggak m au Riva kehilangan m asa depannya yang m asih panjang,” ujar Rachel akhirnya. ”Tapi m asa depan kam u kan juga m asih panjang…” ”Masa depan Rachel ada di sini, Ma. Rachel bahagia ada di sini, di sekeliling anak-anak yang saling m encintai sesam a m ereka. Dan walaupun Rachel m ungkin nggak bakal bertemu lagi dengan Riva, tapi Rachel bisa m erasakan apa yang Riva rasakan. Segala kebahagiaan, juga kesedihan dia dapat Rachel rasakan di sini walau kami terpisah ribuan kilo. Mungkin karena sekarang ini Rachel juga m erupakan bagian dari diri Riva…,” lanjut Rachel. 376



Saat berpapasan dengan seorang suster, Rachel m enyapanya kem udian m enyerahkan buku yang berada di pangkuannya—buku berhuruf braille yang dibacanya tadi pagi.



377



Jan gan lu p a, baca bu ku p e rtam a trilo gi MAW AR MERAH .



GRAMED IA penerbit buku utam a



In i bu ku ke d u an ya!



GRAMED IA penerbit buku utam a



Mawar Merah



Matahari LUNA TORASHYNGU Riva menghilang. Rachel yang telah pulih ingatannya mencoba mencari sahabatnya itu. Tidak mudah, karena Riva selalu berpindah-pindah demi menghindari kejaran para pembunuh yang terus memburunya. Dengan berbagai cara Rachel terus mencari keberadaan Riva, bahkan sampai membuat dia menunda untuk bertemu dengan mamanya. Di sisi lain, Matahari terus beraksi membunuh para pembunuh mantan anggota SPIKE. Sosoknya yang misterius membuat semua orang penasaran, termasuk Rachel. Kelompok Oni juga terus melancarkan aksi. Bukan hanya memburu Riva, mereka juga mulai membunuh para pemimpin Yakuza, kelompok kriminal terbesar di Jepang. Hal yang membuat pihak kepolisian setempat kalang kabut dan kuair jika Yakuza mengadakan aksi balasan. Jika hal itu sampai terjadi, bakal ada banjir darah di Jepang, dan itu bisa berpengaruh pada situasi poliik dan ekonomi negara matahari terbit tersebut. Rachel harus bisa menemukan Riva dan mencegah perang terbuka antara kelompok Oni dan Yakuza sebelum terlambat. Dia juga harus bisa mengungkap rahasia besar kelompok Oni, termasuk menemukan dalang di balik semua kejadian ini. Buku ketiga trilogi MAWAR MERAH Website : www.novelku.com Email : [email protected] Twiter : @luna_torashyngu FB : luna.torashyngu Fanbase : www.facebook.com/group/lunar.indonesia Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I Lantai 5 Jl. Palmerah Barat 29–37 Jakarta 10270 www.gramediapustakautama.com