Mazhab Sunni Yang Masih Eksis Dan Yang Sudah Lenyap [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAZHAB SUNNI YANG MASIH EKSIS DAN YANG SUDAH LENYAP Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh Dosen Pembimbing Fatma Amilia, S.Ag.,M.S.I.



Kelompok 2 : 1. Sugianti Khasanah



(11670017)



2. Hendra Budi G



(11670018)



3. Th. Nurmala E



(11670019)



4. Woro Sri Erdini



(11670020)



5. Mir‟atul Azizah



(11670022)



6. Rian Bahar Rahmadi



(11670023)



7. Dyah Hesti H



(11670024)



8. Marganing Tyas W



(11670025)



9. Miftakhul Intan N



(11670026)



10. Elsa



(11670027)



11. Izzatillah Safitrie



(11670028)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2013



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan ridhaNya makalah ini dapat selesai pada waktunya. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat untuk alam semesta. Makalah yang membahas mengenai “Mazhab Sunni yang masih berkembang dan yang sudah lenyap” ini terdiri dari pendahuluan, pembahasan dan penutup.Membahas mengenai perkembangan beberapa mazhab yang ada. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yaitu Ibu Fatma Amilia dan kepada teman-teman yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini. Makalah ini penulis sajikan dengan segala kekurangannya, namun dikandung harapan barangkali dapat dijadikan bahan bacaan tambahan dari buku-buku yang ada.Kritik dan saran sangat diharapkan dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca. Terima kasih.



Yogyakarta, 19 Agustus 2013



Penyusun



BAB I PENDAHULUAN Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Imam Ahmad Bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi ilmuwan, selain Imam mazhab yang empat itu juga terdapat Imam yang dikenal seperti Imam Daud AzZahiri, Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza‟I, Abu Abdillah Sofyan Bin Said al-Tsauri, Abdul Haris al-Laits Ibnu Sa‟ad al-Fahmi, Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari. Akan tetapi, untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang cenderung ingin mendalami mazhab tertentu saja.Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama atau guru yang menganut suatu mazhab saja. Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat. Sehingga, tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatic terhadap satu mazhab. Andaikan sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat kita. Pada makalah ini, akan dibahas mengenai mazhab Sunni yg masih berkembang diantaranya Imam Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Imam Ahmad Bin Hambali dan yang sudah tidak berkembang diantaranya Imam Daud Az-Zahiri, Ibnu Hazm, Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza‟I, Abu Abdillah Sofyan Bin Said al-Tsauri, Abdul Haris al-Laits Ibnu Sa‟ad al-Fahmi, Abu Ja‟far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari.



BAB II PEMBAHASAN



A. MAZHAB SUNNI YANG MASIH BERKEMBANG 1. Imam Hanafi Imam hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau sejak kecil ialah Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.Mazhab Hanafi memakai Qur‟an, Hadits, Fatwa sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat lain, ia memakai juaga Ijma‟, Qiyas, Istihsan, dan „Urf.1 Dalam mengistinbatkan suatu hukum, beliau terlebih dahulu melihatkepada kitabullah, dan bila tidak beliau temukan, dilihat pada Sunnah Rasulullah, bila tidak ditemukan dalam Sunnah Rasulullah, beliau melihat perkataan (pendapat) para Sahabat, lalu beliau ambil pendapat yang sesuai dengan jalan pikiran beliau dan ditinggal mana yang tidak sesuai, dan beliau tidak akan mengambil pendapat selain dari para Sahabat. Apabila para Sahabat semuanya sependapat dalam menetapkan suatu hukum, beliau pun akan mengikuti pendapat itu sepenuhnya. Apabila itu dikemukakan oleh Ibrahim an-Nakha‟i, Sya‟bi, Ibnu Sirin, Hasan, Atha‟, Said Ibn Musayyab, tidak beliau ambil karena beliau pun dapat pula berijtihad seperti para Imam Mujtahid tersebut. Tegasnya beliau tidak akan mau mengambil pendapat para tabi‟in dan para ulama yang sezaman dengan beliau.2 Imam hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan dalam menetapkan suatu hukum adalah al-kitab, as-sunnah, aqwalush shahabah, al-qiyas, al-istihsan dan urf. a. Al-Kitab Al-Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan Hukum Islam sampai akhir zaman. b. As-Sunnah As-sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).



1



. A. Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. 1995. Hal 151 M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 187-188



2



c. Aqwalush Shahabah (Perkataan Sahabat) Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah, mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur‟an (walaupun tidak semua sahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka tahu bagaimana kaitan Hadits Nabi dengan ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan itu. d. Al-Qiyas Abu Hanifah berpegang pada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Qur‟an, sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara keduanya. e. Al-Istihsan Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas.Istihsan menurut bahasa berarti “menganggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah Ulama ushul fiqh, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat umum dan berpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang memperkuatnya. f. „Urf „Urf menurut bahasa berarti apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan.3



2. Imam Maliki Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93H (712M). nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya dating ke Madinah lalu berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut menyaksikan segala peperangan Nabi selain perang Badar. Pada masa Imam Maliki dilahirkan, Pemerintahan Islam ada di tangan kekuasaan kepala Negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang ketujuh). Kemudian setetah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal di mana-mana, pada masa itu pula penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian



3



Ibid. Hal 188-194



kaum muslimin.Buah hasil ijtihad beliau dikenal oleh orang banyak dengan sebutan Mazhab Imam Maliki.4 a. Hadits-hadits yang dihimpun Imam Maliki Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Imam Maliki menghimpun Hadits Nabi selama 40 tahun dan dalam suatu riwayat lagi ada yang menyatakan bahwa Imam Maliki telah hafal 100.000 hadits dan beliaulah yang paling hafal hadits Nabi. Kemudian hadits-hadits yang banyak itu beliau selidiki lebih lanjut sehingga dari sekian banyak hadits tersebut tinggal 10.000 hadits yang beliau ambil. Tetapi hadits sebanyak 10.000 pun masih beliau teliti dan beliau cocokkan dengan Al-Quran dan akhirnya hanya 5.000 haditslah yang beliau himpun kemudian hadits-hadits itu disusun dalam bentuk sebuah buku yang diberi nama kitab al-Muwaththa. b. Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki Dasar-dasar hokum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki dapat disimpilkan sebagai berikut : 1) Al-Quran 2) Sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah 3) Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadits apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah. 4) Qiyas 5) Istishlah (Mashalihul Mursalah) c. Cara Imam Maliki memberi Fatwa Imam Maliki adalah seorang yang terkenal alim besar, tetapi amat berhati-hati dan amat teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan riwayat yang dikatakan hadits dari Nabi. Imam Syafi‟I berkata : “ Sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah, beliau menjawab “saya belum tahu.” Dari pernyataan ini jelaslah bahwa beliau adalah orang yang amat berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hokum-hukum keagamaan dan beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah-masalah yang memang belum diketahii hukumnya oleh beliau. Beberapa ulama meriwayatkan, Imam Maliki berkata : “ saya tidak memberi fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadits, sehingga tujuh puluh ulama membenarkan dan



4



Ibid. Hal 195



mengaku.” Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka itu menetapkan dan sepakat, bahwa beliau orang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.5 d. Pesan Imam Maliki Mengenai Bid‟ah Imam Maliki adalah seorang alim besar yang amat cinta kepada Sunnah Nabi dan sangat benci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan perbuatan yang dalam istilan agama disebut bid‟ah. Beliau sangat keras terhadap bid‟ah dan ahli bid‟ah, antara lain : Beliau pernah bersyair yang artinya : „Sebaik-baik urusan agama itu adalah yang mengikutu Sunnah Nabi dan sejelek-jelek urusan agama itu, adalah perbuatan yang baru.” Artinya bahwa sebaik-baik urusan agama mengenai urusan peribadatan adalah yang mengikuti pimpinan Nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Nabi.6 3. Imam Syafi’i Imam Syafi‟imerupakan imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran dari emapt imam mazhab dalam fiqh sunni. Beliau adalah pendukung ilmu hadits dan pembaharu dalam agama/mujaddid dalam abad II H.7 Imam Syafi‟i dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina.Masih wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaaan dengan wafatnya Imam Hanafi.Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan disana. Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas ibn Utsman ibn Syafi‟I al-Muthalibi dari keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, yaitu kakek keempat dari rasul dan kakek yang kesembilan dari asy-Syafi‟i. Dengan demikian, beliau adalah keturunan dari keluarga bangsa Quraisy dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan Nabi SAW pada Abdul Manaf (datuk Nabi yang ke-3).8 a. Pendapat-pendapat asy-Syafi‟i dan Pemikirannya Asy-Syafi‟I tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu kalam dibangun oleh golongan Muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang ditempuh ulama salaf dalam mengungkapkan akidah dan al-Quran.Sebagai seorang Fiqh/Muhaddits tentu



5



Ibid. Hal 198-200 Ibid. Hal 201-202 7 Fakhruddin.Intelelectual Network, sejarah & Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih. 2009. Hal 122 8 M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 203-204 6



saja beliau mengutamakan Ittiba‟ dan menjauhi ibtida‟ sedang golongan Muktazilah mempelajarinya secara falsafah. Tentang Imam, beliau berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq dan amal, dia bisa bertambah dan bisa berkurang, yaitu bertambah dengan bertambah amal dan berkurang dengan berkurang amal. Mengenai Imamah, beliau berpendapat bahwa Imamah harus ada untuk menjaga kemaslahatan umat dan beliau berpendapat, bahwa Imamah harus dipegang oleh orang Quraisy dan dapat terjadi tanpa baiat. Pada hal ini beliau tidak mensyaratkan khlaifah harus dari golongan Hasyimiyah.Disamping itu beliau berpendapat, bahwa Abu Bakar lebih utama dari Ali.Kedudukan para Khulafaur Rasyidin menurut pendapatnya ialah yang paling utama Abu Bakar, Umar, Usman, dan kemudian Ali. b. Pendirian Imam Syafi‟I tentang Bid‟ah Karena Imam Syafi‟I terkenal sebagai pembelan Sunnah dan termasuk seorang ahli hadits, maka sudah tentu beliau sangat keras terhadap perbuatan bid‟ah dan ahli bid‟ah. Pendiriannya terhadap bid‟ah adalah sebagai berikut : 1) Bid‟ah terpuji Bid‟ah terpuji yaitu bid‟ah yang sesuai dengan Sunnah.Bid‟ah terpuji menurutnya barang yang diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikit pun dari semua sumber hukum yang disebutkan itu. 2) Bid‟ah tercela Bid‟ah tercela yaitu bid‟ah yang menyalahi as-Sunnah.Menurut beliau, bid‟ah tercela adalah semua perbuatn yang diada-adakan dengan menyalahi al-Quran, Sunnah, Ijma (kesepakatan para sahabat Nabi), dan Atsar (keterangan para sahabat Nabi). c. Pendirian Imam Syafi‟I tentang Hukum secara Qiyas Pendirian Imam Syafi‟I tentang Hukum Qiyas sangat hati-hati dank eras, karena menurutnya qiyas dalam hal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali dalam keadaan memaksa.Selain itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah hukum-hukum yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada pokoknya tidak dapat dipikirkan sebab-sebabnya, atau tidak dapat dimengerti bagaimana tujuan yang sebenarnya seperti, ibadah shalat dan puasa.



Cara Imam Syafi‟I mengambil atau mendatangkan hukum qiyas adalah sebagai berikut : 1) Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja. 2) Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash al-Quran atau dari Hadits yang shahih. 3) Cara beliau menqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat alQuran dan dari Hadits Nabi.9 d. Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Imam Syafi‟i Imam Syafi‟i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki dan mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan sebutan Nasyirus Sunnah (penyebar Sunnah).Hal ini adalah hasil mempertemukan antara fiqh Madinah dengan fiqh Irak. Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh ImamSyafi‟I sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut : 1) Al-Quran, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika didapati alas an yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti. 2) As-Sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW. 3) Ijma‟, bahwa para Sahabat semuanya telah menyepakatinya. Disamping itu, beliau berpendapat dan meyakini bahwa kemungkina ijma‟ dan penyesuaian paham bagi segenap ulama itu tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sulit berkomunuikasi. 4) Qiyas, Imam Syafi‟I memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum Qiyas yang terpaksa diadakan itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah telah cukup sempurna dari al-Quran dan asSunnah. 5) Istidlal (Istishhab), makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang yang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat kebiasaan dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui,



9



Ibid. Hal 207-210



bahwa adat kebiasaan yang lazim di tanah Arab pada waktu datang Islam yang tidak dihapus oleh Islam, mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula adat dan kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Quran atau tidak terang-terangan dilarang oleh al-Quran juga diperbolehkan.10



4. Imam Ahmad Bin Hambali Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H. Ayahandanya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibu beliau bernama Syarifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.11 Cara Imam Hambali memberi fatwa, Imam Hambali dalam memberikan fatwa tentang urusan agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhatihati, baik dalam menjawab atau menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau memberikan jawaban: “Saya tidak tahu atau belum tahu atau belum saya periksa”, kalau memang belum jelas benar, tentang perkara yang ditanyakan kepada beliau. Inilah salah satu pernyataan tentang cara-cara Imam Hambali memberikan fatwa atau jawaban tentang persoalan-persoalan yang ia hadapi, baik masalah hukum atau masalah-masalah yang baru terjadi di dalam lingkungan masyarakat, tidak sekali pun beliau terburu-buru menjawabnya sebelum menyelidiki dan memperoleh keterangan yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12 Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar berikut: a. Nash al-Qur‟an dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya. b. Fatwa sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati sesuatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau perpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan ijmak.



10



Ibid. Hal 211-212 Ibid. Hal 221-222 12 Ibid. Hal 229 11



c. Pendapat sebagian sahabat, yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada al-Qur‟an dan sunnah. Terkadang beliau tidak mau memberi fatwa, apabila beliau tidak memperoleh pentarjih bagi suatu pendapat itu. d. Hadits Mursal atau Hadits daif. Hadits Mursal atau Hadits daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat. e. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada point 1-4 di atas.13 Imam Hambali bukan dari golongan orang yang membenarkan pendapat-pendapat akal secara mutlak, tanpa bersandar pada al-Qur‟an dan as-Sunnah dan sama sekali tidak mau berdebat. Karena menurut pendapatnya bahwa kebenaran itu akan pudar karena perdebatan. Pada waktu Imam Hambali sedang mempelajari Sunnah, ilmu agama dan fiqihnya melalui jalan yang diterima dari Rasul, pada saat itu pula terjadi perdebatan dalam masalah aqaid dan masalah khalifah, siapa yang lebih utama dari para sahabat.Sebenarnya Imam Hambali tidak suka dan tidak mau memperdebatkan hal itu, tetapi suasana dan keadaanlah yang memaksa Imam Hambali mencampurinya.14



B. MAZHAB SUNNI YANG SUDAH LENYAP Mazhab-mazhab yang tidak berkembang diantaranya adalah az-Zhahiri, al-Auza‟i , al-Tsauri, al-Laits, dan at-Tabhari. Mazhab-mazhab tersebut musnah tersaingi oleh mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali.Mazhab-mazhab tersebut tidak berkembang luas karena diantara pengikut-pengikutnya jarang yang mengkodifikasikannya menjadi suatu buku. Lebih jelasnya, akan dibahas di bawah ini.



1. Imam Daud Az-Zhahiri Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H, dengan nama Abu Sulaiman Daud ibn Ali al-Asbahani yang kemudian dikenal dengan sebutan Daud ad-Dhahiri, karena beliau pendiri mazhab ini.



13 14



Ibid. Hal 230 Ibid. Hal 225



Mula-mula beliau bermazhab Syafi‟i dan amat teguh memegang hadits, sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun akhirnya beliau menentang mazhab Syafi‟i, karena Syafi‟i mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum. Daud pernah berkata: “Saya telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan oleh asy-Syafi‟i untuk menentang istihsan, maka saya dapati bahwa dalil-dalil tersebut membatalkan qiyas.” Beliau berpendapat bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh ahlur Ra‟yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu



nash dari Kitabullah atau Sunnah Rasul dan beliau berpendapat bahwa



apabila kita tidak memperoleh nash dari al-Quran dan Sunnah, maka hendaklah kita memusyawarahkan hal itu dengan para ulama, bukan kita berpendapat kepada ijtihad sendiri. Mazhab beliau ini dikenal dengan nama Mazhab ad-Dhahiri, karena beliau berpegang kepada dhahir al-Qurandan as-Sunnah, tidak menerima ada ijmak kecuali ijmak yang diakui oleh semua ulama. Walaupun mazhab ini pada dasarnya berpegang pada dhahir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori Barat karena dalam mazhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa istri yang berharta wajib menafkahi suaminya yang fakir.15 a. Perkembangan Fiqh Dhahiri Fiqh Daud adalah fiqh nushush(fiqh hadist)tetapi para ulama tidak banyak meriwayatkan mahzab ini.Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena Daud menyalahkan orang yang memakai qiyas dan menegaskan bahwa AlQuran itu adalah makhluk dan orang yang berjunub atau haid boleh menyentuh Alquran dan membacanya.Beliau mengungkapkan hal ini ketika para ulama di masa itu menyalahkan golongan yang menyatakan al-Quran itu makhluk.Salah satu prinsip Daud yang banyak di cela orang adalah Daud melarang taqlid untuk siapapun dan membolehkan orang yang mengetahui bahasa Arab memperkatakan agama dengan



memegang



kepada



dhahir



al-Quran



dan



as-Sunnnah.Paraulama



menentangnya dan bahkan menganggapnya tidak ada.Mahzab ini berkembang di Timur dan di Barat dengan prinsip mengambil dhahir AlQuran.Di bagian timur pada abad ketiga dan keempat perkembangannya melebihi perkembangan mahzab Ahmad.



15



Ibid. Hal 231-232



Abad kelima, berkat usaha Ibnu Ya‟la, maka mahzabAhmad mempunyai kedudukan yang kuat dan mengalahkan mahzab Dharari.Pada waktu Mahzab hambali dengan usaha Abu Ya‟la mengalahkan mahzab Daud di bagian Timur, pada waktu itu pulalah Ibnu Hazm mmancarkan sinarnya dibagian barat. Dalam beberapa hal mahzab Dhahiri menyalahi pendapat para fuqaha lainnya, di antaranya: 1) Dhahiri berpendapat bahwa air yang bercampur dengan air seni manusia, maka air itu tidak suci lagi(bernajis). Sedangkan air yang bercampur dengan air seni babi, tetap suci, karena tidak ada nash yang menyatakan tidak suci. Bila orang mengatakan bahwa air seni itu sama dengan dagingnya haram atau najis, maka mereka mengatakan bahwa pedapat tersebut menurut akal, sedangkan hukum islam tidak boleh ditetapkan berdasarkan akal. 2) Orang yang tidak berwudu, berjunub, sedang haid, diperbolehkan menyentuh AlQuran, karena tidak ada nash yang melarang atau membolehkan mebacanya. 3) Menurut Zhahiri, seorang istri yang kaya (mampu) wajib membiayai suaminya yang miskin(kurang mampu), sebagaimana sudah disinggung terlebih dahulu. Jalan pikiran mahzab ini yang menyatakan bahwa suami istri waris mewarisi apabila salah seorang meninggal dunia. Sangat logis apabila dalam mengatasi biaya hidup rumah tangga pun saling membantu.



Menurut pendapat penulis langkah yang diambil oleh mazhab ini, juga tidak terlepas dari peranan akal (ra‟yu), walaupun tidak disebutkan sebagai qiyas.Namun roh Syariah Islamiyah tetap menjadi pertimbangan dalam hal tertentu.16



2. Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza’i Beliau lebih dikenal dengan nama al-Auza‟i, lahir di Ba‟labaka pada tahun 88 H, dan wafat pada tahun 157 H, keluarganya berasal dari tawanan Ainun Tamar.Ketika muda ia belajar hadits, ia mempelajarinya dari Atha‟ bin Abu Rabah, az-Zuhri dan orang-orang yang sederajat dan para pembesar hadits meriwayatkan



16



Ibid. Hal 232-234



hadits.Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad al-Auza‟i termasuk orang yang tidak menyukai qiyas. Mazhab ini mula-mula dianut oleh penduduk Syria kemudian pindah ke Spanyol (Andalusia) dibawa oleh pengikut-pengikutnya dari Syam yang berpindah ke sana setelah kekuasaan Daulat Umawiyah di Syam mulai lemah. Tetapi kemudian mazhab ini surut, di Syam tersaingi oleh mazhab Syafi‟i pada abad kedua Hijrah di Syria dan Spanyol tersaingi oleh mazhab Maliki pada pertengahan abad ketiga Hijriah.17 3. Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id al-Tsauri Abu Abdillah Sofyan bin Sa‟id al-Tsauri lahir di Kufah pada tahun 97 H, dan wafat pada tahun 161 H. Beliau adalah seorang mujtahid yang hidup pada masa seorang mujtahid besar yaitu Imam Hanifah, beliau termasuk imam ahli hadits. Para mujtahid saat itu mengakui atas pengetahuan agamanya, wara‟nya, zuhudnya dan orang terpercaya dan ia juga seorang mujtahid yang mempunyai pengikut. Meskipun ia hidup pada masa Abu Hanifah, tetapi ia menjauhkan diri dari ra‟yu, karena itu pandangannya dalam mengistinbathkan hukum berdasarkan hadits. Bila ia menghadapi suatu masalah, maka ia mencari penyelesaian pada al-Quran kemudian pada sunnah Rasulullah SAW. Kalau ia menghadapi hadits yang berbedabeda, dia mengambil hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lebih utama. Apabila ia tidak memperoleh hadits, ia meninjau pendapat sahabat, apabila tidak didapati pendapat sahabat ia berijtihad atau tidak memberi fatwa. Begitulah jalan istinbath yang dilakukan oleh Sofyan ats-Tsauri.18 4. Abdul Harits al-Laits Ibn Sa’ad aal-Fahmi Beliau adalah pendiri mazhab al-Laits, wafat pada tahun 175 H, beliau terkenal sebagai seorang ahli fiqh di Mesir pada masa Imam Syafi‟i. As-Syafi‟i berpendapat tentang al-Laits: “Ia lebih pandai daripada Maliki. “Hanya saja temantemannya tidak mau membukukan pendapat-pedapatnya dan menyiarkan ke kalangan jumhur sebagaimana mereka membukukan pendapat-pendapat Maliki. Al-Laits bin Sa‟ad tidak memperoleh kehormatan yang tinggi dalam ilmu fiqh, karena muridmurinya tidak membukukan pedapatnya dan ia sebagai mufti yang mujtahid, namanya 17 18



Ibid. Hal 252 Ibid. Hal 252-253



terlupakan meskipun kebesarannya masih tetap dikalangan ahli hadits (Muhadditsin) karena ia juga sebagai perawi yang terpercaya kejujurannya. Dalam mengistinbathkan hukum al-Laits tidak berbeda dengan cara Imam Maliki mengistinbathkan hukum yaitu berangkat dari hadits, selanjutnya beliau menggunakan maslahat mursalah manakala tidak ditemui hadits.19 5. Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath-Thabari Beliau adalah pendiri mazhab ath-thabari, beliau lahir pada tahun 224 H, wafat pada tahun 310H di Baghdad.Beliau dikenal sebagai seorang mujtahid, ahli sejarah dan ahli tafsir.Mula-mula beliau mempelajari fiqh asy-syafi‟i dan Maliki serta fiqh ulama Kufah, kemudian membentuk mazhabnya sendiri yang berkembang di Baghdad. Sejak mudanya ia menuntut ilmu dengan mengelilingi negara-negara Islam sehingga dapat mengumpulkan ilmu yang seorangpun pada masanya tiada yang menyamainya. Ia hafal Al-Quran mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para sahabat dan tabi‟in. Keahliannya tidak hanya terbatas dalam bidang fiqh, tafsir hadits dan sejarah, akan tetapi juga bidang leksikografi (daftar kata-kata atau kamus), tata bahasa, logika, matematika serta kedokteran. Namun dia lebih banyak dikenal sebagai akhli tafsir. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah jami‟ al-Bayan fi tafsiril Quran. Kitab tersebut dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir pertama dalam sejarah penulisan kitabkitab tafsir. Dalam bidang fiqh at-Thabari dipengaruhi oleh dua aliran yaitu ahli hadits (Syafi‟I dan Maliki) dan aliran ra‟yu di kufah.Akan tetapi dalam mengistinbathkan hokum dia lebih dekat kepada moderat seperti yang dijalani Imam Syafi‟I yaitu mengambil jalan tengah antara ahli hadits dan ahli ra‟yu.Dasar-dasar pengambilan hukumnya adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.Tetapi menolak Istihsan yang dipegang oleh Imam Abu Hanifah.Salah satu pikiran beliau yang berharga yang baru diterima oleh masyarakat adalah mengenai hakim wanita. Beliau dengan pikiran yang cukup berani mengemukakannya , pada saat-saat imam-imam Mujtahid lainnya tidak membicarakannya.20



19 20



Ibid. Hal 253-254 Ibid. Hal 254-255



BAB III PENUTUP



Perbedaan pola pikir yang menimbulkan bermacam pendapat dalam kalangan umat Islam khususnya perbedaan pendapat oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam adalah sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri lagi.Sehingga bermunculan berbagai macam mazhab, diantaranya adalah mazhab-mazhab Sunni yang masih berkembang sampai sekarang ataupun yang sudah punah. Mazhab-mazhab Sunni yang masih berkembang antara lain Imam Hanafi, Imam Maliki bin Anas, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad bin Hambali. Sedangkan mazhab yang punah diantaranya adalah Imam Daud az-Zhahiri, al-Auza‟I, al-Tsauri, al-Laits, dan atThabiri.Mazhab-mazhab ini tidak tersebar luas karena di antara pengikut-pengikutnya jarang yang mengkodifikasikannya menjadi suatu buku.



DAFTAR PUSTAKA Ali Ahsan, M. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Fakhruddin. 2009. Intellectual Network, Sejarah & Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih. Malang : UIN-Malang Press. Hanafi, A. 1995.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam.Jakarta : PT Bulan Bintang.