Membaca Sapardi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perjalanan Kepenyairan Sapardi Djoko Damono dalam “duka-Mu abadi” hingga “Hujan Bulan Juni” (Kajian Diksi Dominan pada Puisi-puisinya) Oleh Adam Raka Ekasara Sapardi Djoko Damono adalah sosok sastrawan Indonesia yang lengkap. Dia seorang penyair, pengamat sastra, dan pendidik yang tekun—bahkan sempat menjadi birokrat kampus. Sebagai penyair, Sapardi lebih dikenal lewat puisi-puisi yang bercorak liris. Puisinya dianggap mewakili pengelolaan pikiran dan perasaan yang mendalam. Diksinya sederhana, tetapi tajam; rumit sekaligus halus. Duka-Mu Abadi; sebuah awal kesunyian Sapardi hadir pertama kali lewat buku Duka-Mu Abadi, perlu diketahui bahwa ini bukanlah sajak yang pertama ia terbitkan. Sebagaimana yang ia sebutkan dalam pengantar buku Hujan Bulan Juni sajaknya pertama dimuat di media cetak umum pada tahun 1957. Dan di antara 1957-1964 ia menciptakan ratusan sajak seperti dilansir dalam esai ‘Permainan Makna” karangannya. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari sini? Sapardi benar-benar mempersiapkan kemunculannya sebagai penyair, ia mempertimbangkan harus ada sesuatu yang menarik dalam satu buku yang baik. Lalu mengapa ada ratusan sajak yang ia simpan? Barangkali sajak itu disimpan karena mungkin lebih sesuai untuk buku lain yang suasananya atau entah apanya-agak berbeda dari bukunya. Ini berarti ada yang mengikat sajak-sajak ini dalam satu buku. Buku ini memuat 42 sajak. Kalau dilihat dari segi isi sajaknya dapat dilihat bahwa penulis tidak atau belum ingin keluar atau lepas jauh dari kerumunan orang banyak tetapi ia mengajak orang banyak itu melihat ke arah yang lain. Tahun itu 1967-1968 adalah tahun yang baru saja melewatkan suasana hiruk pikuk politik. Tahun itu riuh rendah pidato dan aksi massa.Sapardi tampil dengan sajak-sajak yang nyaris semuanya bersubyek ‘kita’ . Petikan larik-lariknya: “Kita dengan bumi menerima tanpa mengaduh” –(sajak putih) “Mengapa kita masih juga bercakap”-(saat sebelum berangkat) “Kita pun memutih memandangnya setia”-(lanskap) “Kita pun setia memulai percakapan kembali”- (dalam sakit) Mata Pisau yang tajam dan detail Buku kedua ini memuat sajak yang ia tulis tahun 1969-1973. Terbit pada tahun 1982. Sapardi dalam buku ini masih mempertahankan kekuatan lirik. Penyair seperti meneliti detail benda benda, obyek dan peristiwa sajaknya.Maka yang tersaji di hadapan kita adalah daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela, ....tiktok jam itu kita indera kembali.. hujan yang menimpa



pohon jambu, tergelincir dari daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan,...senandung lonceng dalam kabut,....jalan setapak yang berakhir di sebuah lorong,.....sepasang sepatu tua Sejak terbitnya buku ini kita harus mengakui bahwa Sapardi adalah “hantu” penggemar hujan. Dalam buku pertamanya hanya ada lima sajak tentang hujan yang hanya sebagai latar (“hujan pun reda”;”hujan turun sepanjang jalan”;”hutan kelabu dalam hujan” ;”pastilah sudah gugur hujan di hulu sungai itu”,”sewaktu gerimis menyulut pipiku”). Di buku keduanya hujan digarap lebih detail, saya menghitung ada sepuluh sajak yang basah kuyup kehujanan, hujan kali ini tak hanya menjadi latar tapi menjadi obyek sajak: “adakah yang kau tangkap dari swara hujan”-(hujan dalam komposisi 1) “adakah yang kita harapkan dari hujan”-(hujan dalam komposisi 2) “..akhirnya terpisah dari hujan” –(hujan dalam komposisi 3) “...yang senantiasa berulang dalam hujan”-(di beranda waktu hujan) “lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan” –(kartu pos bergambar :jembatan golden gate, san fransisco) “ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan”-( catatan masa kecil 2) “hujan, yang menggunakan mantel, sepatu panjang ....”- (percakapan malam hujan) “yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan “_ (sepasang sepatu tua) “sehabis hujan seekor rama-rama keluar dari tanah” – (malam rama-rama) “ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi” –( pada suatu pagi hari) Bila dalam Duka-Mu Abadi, penyair kita ini cenderung ingin senantiasa berada di tengah kerumunan, maka pada buku keduanya ia menikmati perannya sebagai “anak-anak” . Ia sepertinya amat sadar telah diberi tempat bebas, dan dimaklumi saja bila bertingkah kata seperti bocah.



Imaji Suara di Perahu Kertas Kepercayaan Sapardi sebagai penyair teraih penuh ketika sampai di buku Perahu Kertas.Ia sepenuhnya menjadi diri sendiri. Saya mencatat hanya ada satu dari 42 sajak di buku ini yang bersubyek “kita”. Selain satu sajak itu, penyair dengan yakin menghadirkan “aku” yang terpisah, berhadapan dengan “kau” atau dengan orang ketiga yang bisa apa saja. Jika di buku sebelumnya Sapardi terasa banyak menghadirkan imaji visual maka di buku ini ia lebih banyak menghadirkan imaji yang lain yaitu imaji auditif dan sebagian kecil ada juga imaji pengecapan atau penciuman.



-- ia hampir muntah karena bau sengit itu. (air selokan)



berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; (akulah si telaga) terdengar jerit wanita untuk pertama kali, sejak itu ia terus bertiup tak pernah menoleh lagi (angin 1) Jangan menjerit: semerbakmu memekakkanku. (angin 3) udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api .... (Bunga 1)



Dan yang menarik dalam buku ini adalah penyair setia dalam dua kutub yaitu menolak mejadi nabi (yang dengan sadar bersabda di depan „umat‟, mengatakan sesuatu yang mengandung kebenaran dan itu mesti ditaati) dan di kutub lain menolak tetap menjadi kanakkanak (yang kata-katanya tak masuk akal, ta dimengerti, tapi ingin dimaklumi dan diterima saja sebagai permainan) Sikap itu dijelaskan dalam dua sajak dalam buku ini: 1. “di mulut anak-anak kata menjelma Kitab Suci/ Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.” (Di Tangan Anak-anak) 2. “...kalau aku sudah dililit akar, sudah merupakan benih, sudah mencapai makna – masih beranikah kau menyapaku, Saudara (“Pertapa”) Ia ingin dimaklumi, bahwa penyair seperti anak-anak boleh saja mengatakan yang di luar keumuman logika,tetapi dia tidak ingin kepenyairannya itu menjadikan dia seperti pertapa yang terasing “dililit akar” meski dengan begitu ia sadar telah mencapai makna. Tetapi (lagilagi) dia takut dan tidak mau “kepertapaan” atau “kenabian” itu membuat orang tak berani menyapanya, Hujan Bulan Juni yang fenomenal Hasan Aspahani mengatakan dalam esai berjudul “Kenapa Mesti Ada Sore Hari?” bahwa bila sebuah kumpulan sajak berusaha mewakili perjalanan penyairnya selama 30 tahun, dan sajaksajak di buku itu dipilih sendiri oleh penyairnya, maka kita harus menganggap bahwa sajaksajak di buku tersebut adalah sajak yang paling diinginkan oleh si penyair,mewakili kepenyairannya. Hasan Aspahani menambahkan bahwa buku Hujan Bulan Juni adalah buku esensi Sapardi. Untuk pertama kalinya, Sapardi menampilkan dua sajak yang bertahun 1964, jauh sebelum buku pertamanya hadir yaitu “Pada Suatu Malam” dan “Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati.” “Lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri.” Sajak pencapaian sekuat itu, tak dipilih oleh penyairnya untuk menandai pemunculan pertama kali dalam karya utuh sebuah buku. Pelajarannya: menerbitkan buku harus melewati pertimbangan yang matang. Sajak-sajak baru di buku ini sepenuhnya menggambarkan kecenderungan penyair kembali mengarah posisinya sebagai “nabi” atau “pertapa” dan ia tidak cemas dijauhi.



Pada buku ini lahir dua karya fenomenal Sapardi diantaranya Aku Ingin yang hampir melebihi ketenaran penyairnya dan satu lagi tentu saja sajak Hujan Bulan Juni Hujan Bulan Juni tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu Yang terasa pada buku ini adalah penyair telah nyaman dengan gaya kepenyairannya. Ia telah ikhlas dengan kepenyairannya, bahkan untuk dilupakan sekalipun.