Menara Babel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MENARA BABEL Suatu ketika saya membaca satu ayat dari kitab Wahyu: “Babel besar, ibu dari wanita-wanita pelacur dan dari kekejian bumi” (Why 17:5). Babel digambarkan dengan sangat buruk. Penulis Wahyu menggunakannya untuk menyindir kekaisaran Romawi yang jahat. Cerita ini membawa pikiran kita melayang ke cerita lain dalam kitab Kejadian tentang menara Babel. Apa yang sebenarnya terjadi di Babel sampai-sampai penulis kitab Wahyu menyamakannya dengan “ibu dari para pelacur”? Zigurat Babilonia Pada masa lampau kota-kota di wilayah Mesopotamia memiliki sebuah menara yang besar dan tinggi di pusat kotanya. Menara-menara itu berfungsi sebagai semacam tangga bagi penduduk kota untuk membawa kurban dan persembahan bagi dewa pelindung kota. Ke menara paling atas itu pula para dewa turun dari langit. Menara-menara itulah yang disebut zigurat (dari kata sagaru, zaqeru, “tinggi, menjulang”). Nampaknya teks Kej 11 merujuk pada sebuah menara yang sangat terkenal di Babilonia, yakni Etmenanki. Menara atau zigurat menjadi tempat para dewa untuk memerintah atas Bumi. Menara itu menjadi semacam puncak gunung yang tinggi tempat persemayaman para dewa. Di tempat tertinggi itulah mereka tinggal. Di ruangan paling atas terdapat tempat beristirahat dan tempat para dewa menerima persembahan dari umatnya, yakni warga kota. Selain itu, masih ada satu lagi ruangan di bagian paling dasar menara, yang disediakan untuk para dewa jika mereka mau tinggal lebih lama di tempat itu. Demikianlah menara atau zigurat itu menjadi tempat perjumpaan dan komunikasi antara surga dan bumi, antara para dewa dan manusia. Menara Etmenanki di Babilonia juga memiliki susunan yang kurang lebih sama dengan menara yang lain. Ada ruangan di tempat paling atas dan ada ruangan lagi di dasar menara. Di ruangan menara paling atas terdapat tempat persembahan yang luas. Ada pula sebuah tempat peristirahatan untuk dewa pelindung kota dan sebuah meja emas. Konon dewa Marduk, pelindung Babilonia, turun ke tempat pemujaan ini dan beristirahat di ranjang yang disediakan di sana. Menara Kesombongan Penulis kitab Kejadian menceritakan menara Babel. Dia mengerti seluk-beluk menara di Babilonia itu dan juga menara-menara yang lain. Dia tidak bermaksud menggambarkan seperti apa menara Babel, tetapi hendak menegaskan sesuatu yang lain dengan menggunakan cerita itu. Penulis kitab Kejadian hendak menunjukkan kesombongan manusia, yang menyebabkan hukuman Allah. Penduduk bumi berrencana membangun sebuah kota dan mendirikan menara “yang puncaknya sampai ke langit” (Kej 11:4). Tentu saja ini tidak berarti bahwa penduduk bumi mau membangun menara yang tingginya ribuan meter. Yang mau dikatakan adalah bahwa penduduk bumi ingin menjangkau wilayah Allah (Babel artinya pintu surga). Penduduk bumi ingin memasuki dunia Ilahi, seperti dulu terjadi pada Adam dan Hawa yang ingin menjadi seperti Allah (Kej 3).



Berhadapan dengan kenyataan manusia yang semacam itu, Allah pun turun tangan. Allah mengacaubalaukan bahasa manusia, karena awalnya “seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya” (Kej 11:1). Tentu saja kita tidak perlu bingung, jika di bab sebelumnya dikatakan bahwa keturunan Nuh tersebar, “masing-masing di tanahnya, dengan bahasanya sendiri” (Kej 10:4). Kedua teks secara tidak langsung berbicara tentang munculnya aneka bahasa di dunia, dengan menggunakan cerita yang berbeda. Kembali ke menara Babel. Allah mengacaukan bahasa penduduk bumi, sehingga mereka tidak saling mengerti. Dengan begitu rencana pembangunan kota dan menara itu terhambat. Mereka tidak bisa lagi membangun menara Pintu Surga (Ibrani: Babel), sebab Allah mengacaukan (Ibrani: balal) bahasa mereka. Penduduk bumi bermaksud menjangkau dan menjelajahi dunia surgawi tempat Allah berada dengan membangun menara Babel. Penduduk bumi mengira bahwa pintu ke surga ada di Babel. Mereka mengira bisa membangun menara paling tinggi dan memaksa Allah untuk menggunakan menara itu demi berjumpa dengan manusia. Mereka mengira bahwa mereka akan menjadi orang-orang yang sangat istimewa karena memiliki tangga terhebat untuk menuju kepada Allah. Penulis kitab Kejadian hendak menegaskan bahwa Tuhan adalah Allah yang mahakuasa. Allah tidak bisa dibatasi oleh buatan tangan manusia untuk turun ke dunia hanya melalui menara Babel. Alam ini adalah ciptaan-Nya, berada di bawah kuasa-Nya. Allah bisa menggunakan aneka cara sesuai dengan kehendakNya untuk berbicara dengan manusia. Maka, Allah memutus ambisi manusia bumi yang ingin menguasai-Nya. Orang Israel mengimani bahwa Allah yang mahakuasa itu telah memilih mereka menjadi umat yang dikasihi-Nya. Allah sendirilah yang memilih dan menentukan tempat perjumpaan dengan umat-Nya. Ia hadir di puncak Sinai. Allah sendiri memilih diam di Sion (Mzm 135:21). Jika di Babel Allah mengacaubalaukan bahasa penduduk bumi yang hendak berlaku durhaka, maka kelak di Yerusalem, Allah akan mengumpulkan semua bangsa untuk datang menyembah-Nya: “Banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: ‘Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem’” (Yes 2:3).



L. ARNALDICH PEROT. Editorial Rialp. Gran Enciclopedia Rialp, 1991