Mengasihi Musuh [PDF]

  • Author / Uploaded
  • pitu
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama



: Gr. Pitu Sinaga



Nim



: 12. 2707



Mata Kuliah : Etika II Dosen



: Pdt. Dr. J. Boangmanalu MENGASIHI MUSUH (Ditinjau dari Sudut Etika Kristen)



1.



Pendahuluan Etika Kristen menekankan konsep yang jauh lebih dalam dari etika mana pun. Karena di dalam Kekristenan manusia dituntut tidak hanya memberikan perbuatan baik kepada orang yang baik, tidak dituntut hanya dalam batas mengasihi orang yang sefaham dengan kita. Tapi Alkitab memberikan pengertian kepada kita jauh lebih sulit, jauh lebih dalam dan jauh lebih besar tuntutannya yaitu supaya kita mengasihi musuh, supaya kita tidak menganggap dendam, benci dan juga ketidakpedulian sebagai sesuatu yang boleh kita alami.1 Orang Kristen tidak boleh mendendam, tapi bukan hanya itu orang Kristen tidak boleh menyimpan benci, bahkan tidak boleh merasakan netral, tidak suka juga tidak benci, tidak peduli terhadap orang lain. Maka Tuhan menyatakan diriNya sebagai teladan mengenai bagaimana kita memperlakukan musuh. Itu sebabnya etika Kristen menjadi etika yang sangat dalam dan tidak disamai oleh ajaran apa pun sebab etika Kristen diajarkan berdasarkan sifatNya Tuhan. Ini bukan semacam pengajaran yang tidak real, ini bukan semacam pengajaran yang ideal tapi tidak ditemukan dalam sejarah. Sebab Allah sendirilah yang menjadi contoh dan Kristus yang membawa contoh itu ketika Dia ada di dunia. Dan ketika Dia menjalankannya, Dia menjalankan dengan persis sehingga apa yang Dia kerjakan sebagai manusia yang tinggal di bumi sudah memberikan contoh yang ideal mengenai sifat-sifat Bapa. Kekristenan jauh lebih dalam dibandingkan hanya sekedar menjalani hidup yang tidak berdosa. Kekristenan penuh dengan kelimpahan, penuh dengan pengertian yang mengaitkan seluruh aspek hidup kembali kepada Tuhan. “Kasihilah musuhmu”, ini adalah perintah ideal yang real, di mana Allah sudah membawanya ke dalam sejarah sehingga ini menjadi sesuatu yang real, sesuatu yang nyata. Jika mengasihi menjadi cara



1



A. Widyahadi Saputra, Hidup dalam Persaudaraan Sejati, (Jakarta: APP-KAJ, 2000), 273



1



yang digunakan untuk mengekspresikan diri terhadap orang lain, maka kenyamanan dalam hubungan sosial akan mudah diwujudkan. 2.



Isi 2.1. Pengertian mengasihi a.



Mengasihi sebagai suatu keputusan



Mengasihi merupakan keputusan untuk mewujudkan kasih kepada seseorang dalam bentuk perasaan, pemikiran, maupun perbuatan. Tujuan dari mengasihi adalah untuk menjadikannya lebih baik atau meningkatkan kebahagiaannya. Istilah “keputusan” mendapatkan perhatian karena istilah tersebut dapat diartikan sebagal sebuah titik akhir dan rangkaian pertimbangan yang bisa saja sangat panjang dan kompleks. Setiap keputusan yang baik senantiasa menggunakan berbagai bahan untuk dipertimbangkan. Proses itu sendiri memerlukan waktu yang cukup. Lamanya waktu yang diperlukan untuk menghasilkan sebuah keputusan tentu sangat bervariasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagal faktor antara lain dari kepribadian si pembuat keputusan, kompleksitas bahan pertimbangan, serta tingkat urgensi. Setiap hal memiliki faktor-faktor yang tidak sederhana. Sangat wajar jika kepribadian memegang peranan terpenting dalam setiap pengambilan keputusan. Kepribadian tersebut akan mempengaruhi bahan-bahan pertimbangan maupun skala prioritas. Setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut, kita dapat memberi kesimpulan bahwa keputusan untuk memberikan kasih secara spesifik bukanlah hal yang mudah, meski bukan berarti harus sulit. Keputusan untuk mengasihi merupakan keputusan besar dalam perjalanan hidup manusia. Karena selain penetapannya melalui suatu proses yang bisa saja sangat kompleks, konsekuensi dan keputusan tersebut harus dipertanggungjawabkan seumur hidup.2 b. Mengasihi sebagai suatu karunia Istilah “karunia” berarti suatu pemberian yang berasal dari Tuhan. Mengasihi sebagai sebuah karunia mengandung maksud bahwa setiap orang memiliki kuasa untuk mengasihi dan memberikan sebagian kuasa tersebut kepada orang lain. 2



Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 55-56



2



Mengenal kasih karunia Tuhan dan menebarkannya kepada semua orang sehingga dapat menjadi berkat bagi orang lain adalah hal yang semestinya kita lakukan. Kalau kita sudah mengenal kasih karunia Tuhan, biarlah  damai Kristus memerintah atas kita sehingga kita dapat mengasihi dan berdamai dengan orang lain, karena untuk itulah tujuan kita dipanggil dari kegelapan.(Kolose 3:15). 3 c.



Mengasihi merupakan suatu panggilan suci



Mengasihi sebagai suatu panggilan suci merupakan suatu bentuk apresiasi yang sangat tinggi. Masing-masing pribadi menyadari keterlibatan Tuhan dalam segala dinamika hidup. Tuhan diyakini sebagai sumber kasih yang mengatur segala hal. Apa pun yang terjadi akan dipandang sebagai wujud kasih-Nya. Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagi umat-Nya. Tugas manusia adalah agar berhatihati datam segala hal sehingga tidak merusak rencana Tuhan tersebut. 4 2.2. Dasar Umum Orang Kristen mengasihi musuh Setidaknya ada 4 hal yang menyatakan bahwa Allah adalah Allah yang mengasihi musuh-musuhNya, dan ini jugalah yang menjadi dasar bagi orang Kristen untuk mengasihi musuh-musuhnya, antara lain: 1.



Allah selain mencipta segala sesuatu, Dia juga mengatur, mempertahankan dan terlibat langsung di dalam segala hal yang terjadi di alam. Jadi Allah menopang alam semesta dengan FirmanNya yang berkuasa. Ini berbeda dengan konsep deis, Saudara tidak boleh percaya kaum deis meskipun sepertinya ini sangat cocok dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Orangorang deis mengatakan Allah mencipta tapi setelah itu Allah tidak ikut campur, seluruh sistem, peraturan, hukum dan segala hal yang ada di dalam alam sudah Allah tetapkan, sudah Allah berikan dan Dia tidak ikut campur. Di dalam Kisah Para Rasul 17, kita tahu jawabannya, Paulus mengatakan “Allah telah menetapkan bagimu batas-batas, Allah telah memelihara seluruh manusia dari satu orang saja lalu Allah turunkan seluruh manusia yang memenuhi bumi sekarang. Allah juga yang terus memberikan hujan, memberikan hasil tanah, memberikan segala kebaikan supaya mudah-mudahan kamu menemukan Dia



3 4



Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, 62-63 Bambang Untoro, Benarkah Aku Mengasihimu?, 66



3



2.



Allah menyatakan diriNya sebagai Allah yang jauh lebih unggul, jauh lebih baik dan jauh lebih berkuasa dari agama manapun dan dari ilah manapun ciptaan manusia. Banyak kali dalam Perjanjian Lama, Allah menyatakan diri sebagai Allah yang jauh lebih unggul, lebih tepat, lebih benar, lebih limpah dari pada dewa-dewa palsu. Contoh paling jelas adalah dalam Kitab Keluaran, dalam Kitab Keluaran, Tuhan menyatakan 10 tulah, banyak dari tulah itu Tuhan nyatakan untuk menyatakan “tanpa Aku maka kamu pasti binasa kalau kamu memutuskan untuk menyembah berhala-berhalamu”.



3.



Allah memberikan hati nurani di dalam hati manusia. Sehingga manusia bisa tahu mana yang cocok, yang benar, yang pantas dan mana yang tidak. Hati nurani Tuhan berikan sehingga orang yang dibimbing oleh hati nuraninya akan mengetahui apa yang pantas dan yang tidak. Menurut Thomas Reid ada satu harapan kembali untuk orang melihat dalam diri dan tahu di dalam diri ada prinsip-prinsip moral yang Tuhan sudah tetapkan yang kalau ini diselidiki baik-baik akan membuat kita tahu apakah perbuatan kita itu pantas atau tidak. Memang hati nurani tidak pernah menggantikan usaha kita untuk mempelajari dengan teliti serta mendalam prinsip-prinsip dan norma-norma moral yang harus mengarahkan tingkah laku kita. Namun etika sebagai ilmu menjadi klengkap dengan adanya hati nurani. Etika harus berusaha keras untuk mencari kepastian ilmiah dan objektif tentang problem-problem moral yang dihadapi.5



4.



Tuhan menawarkan keselamatanNya kepada siapapun. Maka kita mengerti anugerah khusus itu diberikan bukan karena kita mempunyai kelebihan, tapi karena kita tidak punya kelebihan apa pun dari orang lain. Dan kalau kita tidak diberikan anugerah khusus, kita tidak mungkin bertobat, tidak mungkin kembali kepada Tuhan, tidak mungkin menjadi orang percaya dan diselamatkan



Tuhan lebih dulu menyatakan pengampunan, belas kasihan, pemeliharaan kepada orang yang membenci Dia. Maka Dia memerintahkan kepada kita “kamu pun harus mengasihi musuhmu”. Bagaimana mengasihi musuh? Dengan mengikuti apa yang Tuhan kerjakan, tetap berbuat baik, tetap mengharapkan pertobatan, tetap mendoakan dan tetap tulus kepada mereka yang berbuat jahat kepadamu. 5



K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 64



4



2.3. “Mengasihi Musuh” dalam Alkitab Dalam “hukum” dunia kata “mengasihi” dan “musuh” adalah dua kata yang bertolak belakang, karenanya tidak dapat dipersatukan. Dalam bahasa Inggris, musuh adalah enemy, berasal dari bahasa Latin inimicus, artinya “bukan sahabat”. definisinya jelas: orang yang membenci, menginginkan hal yang tidak baik, menyebabkan jatuh, kecewa, sakit, dan sebagainya. Maka nasihat untuk mengasihi musuh bisa dibilang aneh. Sebab normalnya musuh itu dilawan, dibenci dan disingkirkan. Akan tetapi, dalam Alkitab Yesus dengan tegas mengajarkan murid-muridNya untuk mengasihi musuh: ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Matius 5:38-48). Ajaran mengasihi musuh tidak saja berdimensi teologis, berkenaan dengan aspek imani tetapi juga berdimensi praktis dan logis.6 Dalam membicarakan hubungan mund-murid-Nya dengan orang lain, Yesus temyata menyampaikan pengajaran yang sangat revolusioner. Pada bagian ini Ia mengajar mereka untuk mengasihi setiap orang, bahkan musuh mereka sekalipun. Sebagai catatan, yang dimaksud dengan musuh pada saat itu ialah setiap orang yang menghambat pekerjaan Yesus dan murid-mund-Nya. Namun, tentu hal ini kini berarti lebih luas juga, yaitu setiap orang yang membenci kita, entah karena kita pengikut Kristus, atau juga karena perbuatan baik yang kita kerjakan.7 Kata kasih yang digunakan dalam bagian ini ialah agape. Kasih di sini maksudnya mengasihi tanpa mempedulikan apa pun yang dilakukan seseorang kepada kita. Meskipun seseorang melakukan hal yang baik atau buruk, kita tetap mengasihi dia, menginginkan dan mengharapkan yang terbaik kepadanya. Dengan pengertian inilah kita diminta untuk mengasihi musuh kita. Apa maksud Yesus memberikan perintah ini? Tujuannya tentu agar kita menjadi lebih baik daripada orang lain, bukan agar kita bisa berbangga diri daripada orang lain, melainkan karena memang itulah bagian dan panggilan kita sebagai seorang Kristen. Inilah etika Kristen. Kalaupun kemudian kita mendapat pujian orang karena perbuatan kita, itu adalah hal yang lumrah terjadi di dunia ni. Namun, kalaupun tidak. Allah tetap akan memperhitungkan perbuatan kita. 8 6



Renu Rita Silvano & Fio Mascarenhas (editor), Cintailah Aku: Belajar dari Ajaran Sang Inspirator, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 24 7 Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 68 8 Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 69



5



Perintah untuk mengasihi musuh ini, sebagaimana dikemukakan oleh Boland, harus diperjelas dengan tiga hal: Pertama, hati atau sikap musuh itu harus dibalas dengan berbuat baik terhadap mereka (Rm. 12:20; Ams. 25:21-22). Kedua, kata-kata kutuk mesti dibalas dengan ucapan berkat. Akhirnya, kalaupun permusuhan itu berubah menjadi perbuatan kekerasan dan penindasan, masih ada kemungkinan untuk mendoakan mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Yesus (Luk. 23:34), juga Stefanus (Kis. 7:60). 9 Harus diakui, ajaran Yesus ini memang sulit diikuti. Kemanusiaan yang berdosa membuat kita lebih mudah berbuat hal yang baik hanya kepada mereka yang dekat dengan kita, atau kepada orang yang kita senangi. Atau karena kita ingin orang itu suatu saat melakukan hal yang balk kepada kita sehingga kebaikan yang kita lakukan justru karena mengharapkan sesuatu. Kalau kepada orang yang tidak memusuhi saja kita berpikir demikian, bagaimana pula dengan mereka yang memusuhi? Jangankan melakukan kebaikan secara ekstra, melakukan hal yang baik kepada mereka yang memusuhi kita itu saja sudah begitu sulit. Namun, Yesus justru mengajar kita untuk tidak hanya berbuat baik kepada orang-orang yang dekat dengan kita. Lalu bagaimana kita bisa melakukannya? Memang perlu kerendahan hati. Selain itu kita juga perlu memiliki hati seperti yang dimiliki Yesus dan mata sebagaimana Ia melihat. Memiliki hati dan mata seperti yang dimiliki Yesus berarti kita memiliki belas kasihan dan memandang sesama sebagai pribadi yang berharga. Hal ini tidak akan terjadi kalau kita belum mengalami pembaharuan. Jadi, kita perlu memohon kepada-Nya untuk membaharui hati dan pikiran kita tedebih dahulu. Kita harus memberi diri dipakai oleh-Nya. Sebagai orang percaya, kita diarahkan untuk menadi serupa dengan Kristus. Dan keserupaan itu di antaranya ialah dengan memiliki belas kasih dan kemurahan hati, sebagaimana yang dimiliki oleh Kristus. Sebagaimana dikemukakan Barclay, hal ini mengungkapkan dua fakta yang berkenaan dengan etika Kristen: 10 1.



Etika Kristen itu bersifat positif karena tidak terdiri dari perintah jangan melakukan, tetapi “lakukanlah”. Yesus tidak hanya memberi perumusan yang negatif, sebagaimana kebanyakan guru agama dan filsuf, tetapi juga memberi rumusan yang positif. Hakikat dari kelakuan Kristen ialah dengan aktif



9



Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 70 Hermin Lambe, Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, 71



10



6



melakukan hal-hal yang baik. Dengan demikian, kita sebenamya didorong untuk tidak pernah berhenti melakukan perbutan baik. 2.



Etika Kristen berdasarkan pada yang ekstra. Dalam perikop di atas, Yesus rnengajukan pertanyaan yang intinya menanyakan bagaimana agar kita lebih balk danpada orang-orang biasa itu.



Dengan demikian, ajaran ini



sesungguhnya akan membuktikan seberapa serupa kita dengan Dia. Bukankah Allah yang kita sembah di dalam Yesus itu pun tidak hanya memiliki atribut keadilan, tetapi juga belas kasihan? Bukankah Ia juga baik kepada mereka yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang yang jahat? Dua sikap ini, yaitu cinta kasih dan kemurahan hati, seharusnya sanggup meredakan segala macam permusuhan yang ada. Dua hal ini bisa kita anggap sebagai modal dasar dalam kehidupan. Sikap revolusioner dalam hal mengasihi sangat dibutuhkan oleh zaman ini. Dengan demikian kita mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai di tengah masyarakat. 2.4. Respon terhadap Keprihatinan Sosial Secara khusus, ajaran Yesus tentang mengasihi musuh merupakan ajaran yang tidak dapat dipisahkan dari Khotbah di Bukit. Ajaran Yesus tentang mengasihi musuh dan mendoakan orang yang melakukan penganiayaan sangat menarik untuk dilihat karena perintah tersebut menyiratkan manusia untuk melakukan sesuatu diluar kapasitas manusia yang “lumrah”. 11 Ajaran Yesus tentang mengasihi musuh merupakan sebuah ajaran yang begitu dekat dengan realita gereja yang tengah dihidupi saat ini. Tentunya Yesus tidak memunculkan ajaran tersebut sebagai sebuah trend agar Yesus dilihat sebagai sosok yang tampil beda. Namun Yesus memunculkan ajaran tersebut sebagai respon atas keprihatinan sosial yang Ia lihat pada saat itu. Bahkan bisa juga dikatakan, Yesus menentang arus kehidupan sosial yang ‘mengalir’ pada zaman itu. Komunitas Matius dan kita sekarang dipanggil untuk mengamalkan ajaranNya. Dengan demikian, ajaran Yesus tentang mengasihi musuh dapat disebut sebagai sebuah upaya (doing) yang memanggil supaya kita terus berefleksi untuk 11



Sebagaimana yang dikutip oleh Swartley, Guelich melihat bahwa Khotbah di Bukit merupakan pemenuhan Kristologi. Yesus datang untuk memenuhi nubuatan nabi di dalam Perjanjian Lama dengan memaklumkan Kerajaan Sorga. Lihat Glen H. Stassen, Just Peacemaking: Transforming Initiatives for Justice and Peace, (Louisville: John Knox Press, 1992), 39-42.



7



menemukan sebuah gambar diri (being) yang sesuai dengan kehendak Allah dalam mengasihi musuh. Gereja sebagai komunitas iman terus mencari panggilannya di tengah-tengah dunia dalam situasi yang baik maupun tidak baik. Panggilan selalu terkait erat dengan apa yang dibutuhkan oleh dunia. Oleh karena itu pengalaman Yesus di dalam Alkitab menjadi salah satu hal yang penting untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh dunia.12 2.5. Larangan untuk Balas Dendam Etika masyarakat pada umumnya didasarkan pada hukum balas dendam. Memang hukum itu dimaksudkan untuk mencegah pembalasan yang tidak setimpal, sebagai pedoman para hakim agar orang tidak main hakim sendiri. Tetapi Yesus menolak pendasaran dari hukum itu. Sebab meski pembalasan dapat dikontrol, tetapi balas dendam sama sekali tidak mempunyai tempat dalam etika Kristen. Maka itu, Yesus memperkenalkan hukum baru yang tidak didasarkan pada balas dendam, tetapi pada semangat kristiani.13 Dalam Mat 5: 39, Yesus mengatakan: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”. Menampar pipi kanan orang lain lebih gampang dilakukan dengan sebelah luar telapak tangan kanan. Bagi orang Timur Tengah kuno dan para rabi Yahudi, menampar dengan sebelah luar telapak tangan dimengerti sebagal penghinaan yang berat, penghinaan dua kali lipat dibanding tamparan dengan bagian dalam telapak tangan. Jadi tamparan itu tidak dipandang sebagal kekerasan, tetapi lebih sebagai tanda penghinaan. Maka itu, perkataan Yesus tersebut harus dimengerti bahwa meski secara sengaja orang menghinamu dengan hinaan yang paling berat dan menyakitkan, engkau sama sekali tidak boleh membalas atau mendendam. Itu pun bukan berarti bahwa kejahatan boleh dibiarkan dan kebenaran tak perlu diperjuangkan, tetapi Yesus mengajak untuk berpegang pada strategi kalahkanlah kejahatan dengun kebaikan. 14 Yesus juga mengingatkan sisi lain dan hukum dalam Perjanjian Lama yang hendaknya mendasari etika kristiani: “Biarlah Ia memberikan pipi kepada yang 12



Parker J. Palmer, Let Your Life Speak: Listening For The Voice of Vocation, (San Fransisco: Jossey Bass Inc. Publishers, 2000), 16 13 Surip Stanislaus, Mematahkan Siklus Kekerasa, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 56 14 Surip Stanislaus, Mematahkan Siklus Kekerasa, 57



8



menamparnya. biarlah ia kenyang dengan cercaan” (Rat. 3:30); “Janganlah berkata: “Sebagaimana Ia memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia” (Ams. 24:29); “Janganlah engkau menuntut balas dan janganlah menaruh dendam terhadap orangorang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirirnu sendiri” (Im 19:18); “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di alas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu” (Ams. 25:21-22).15 Paulus menggemakan etika kristiani itu dalam suratnya: “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Rom. 12:19-21). 3.



Tanggapan Tindakan mengasihi musuh merupakan salah satu unsur dari pengendalian diri atau emosi. Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengungkapkan emosi. Ada yang diam dan memendam emosinya, ada yang menangis, tetapi ada pula yang meluapkannya dengan tindakan-tindakan yang kasar, misalnya marah-marah, memukul, mengumpat, merusak, atau tindakan lain yang bisa merugikan diri sendiri, bahkan orang lain. Sebenarnya mengungkapkan emosi bukanlah tindakan yang buruk. Emosi memang perlu diungkapkan, namun hendaknya kita bisa mengungkapkannya di tempat yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Karena kegagalan mengendalikan emosi tidak hanya akan merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat melukai orang lain. Jadi bagaimana caranya kita bisa mengungkapkannya tanpa melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain? Karena kita mudah kehilangan kendali emosi saat seseorang yang ingin menyakiti kita tampak telah memenangkan situasi. Adalah penting untuk mengetahui bahwa emosi berkaitan erat dengan pikiran dan perbuatan. Emosi berhubungan dengan pikiran. Di dalam Filipi 4:4-7, Paulus menulis waktu ia di penjara. Ia mempunyai alasan kuat untuk berkecil hati, tetapi ia berkata, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!



15



Surip Stanislaus, Mematahkan Siklus Kekerasa, 58



9



Kedengarannya bagus, tetapi sebetulnya sulit menyuruh diri kita sendiri untuk tidak cemas, tidak marah, atau tidak kuatir. Dalam sebagian besar kasus, hal itu tidak berhasil. Jika saya sedih dan seseorang mengatakan, "Anda tidak perlu sedih," saya tidak akan mulai merasa gembira seberapa kerasnya pun saya berusaha. Penulis Mazmur 56 juga menjadi sasaran kebencian yang tidak pada tempatnya. Musuh-musuh yang cerdik mengancam jiwanya. Namun, ia tidak kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Sebaliknya, ia berbicara kepada Allah secara jujur dan terbuka. Ia membicarakan kenyataan yang ada dan kemudian memohon pertolongan Allah yang kemudian memang menolongnya. Tidak mudah bagi kita untuk menerima kenyataan bahwa kita adalah orang yang dibenci secara tidak layak dan diserang secara menyakitkan. Namun, kita tidak perlu menyerah terhadap keadaan emosi kita. Kita dapat berdoa kepada Allah dan menaruh keyakinan kepada-Nya. Apabila kita melakukannya, Dia akan menanggapinya. Dia akan membebaskan kita atau memberi kita kekuatan untuk menanggung keadaan itu dan untuk mengasihi musuh-musuh kita. Kita perlu mengakui bahwa emosi itu dapat sangat bermanfaat. Namun kita juga adang-kadangmenganggap emosi itu hanya berdampak negatif, terutama jika kita menjadi marah atau frustrasi, kita berpikir bahwa emosi itu buruk. Kita berpikir bahwa seorang Kristen seharusnya tidak merasa tidak berbahagia. Tetapi Tuhan menciptakan emosi-emosi. Emosi adalah bagian dari wujud manusia. Emosi mendorong kita untuk bertindak. Namun, emosi dapat menimbulkan masalah bila kita tidak mengendalikannya. Emosi yang tidak terkendali dapat menimbulkan tekanan darah tinggi, ketegangan otot, infeksi, berbagai macam penyakit, atau menjadi marah terhadap anak-anak dan pasangan kita. Akibat-akibat negatif itu tidak banyak disebabkan oleh emosi itu sendiri, tetapi lebih banyak karena ketidakmampuan kita untuk mengendalikannya dan memanfaatkannya secara konstruktif. 4.



Kesimpulan 1. Mengasihi ialah menciptakan suatu keadaan yang lebih baik dengan mengenal kasih karunia Tuhan dan menebarkannya kepada semua orang. 2. Setiap manusia dipanggil untuk mengasihi karena Tuhan terlebih dahulu mengasihi dan melibatkan diriNya dalam setiap dinamika kehidupan manusia. Tuhan adalah sumber kasih sehingga apa pun yang terjadi adalah sebagai wujud dari kasih-Nya.



10



3. Dalam Etika Kristen, Yesus Kristus menjadi teladan bagi orang Kristen mengenai bagaimana memperlakukan musuh. Itu sebabnya Etika Kristen menjadi etika yang sangat dalam dan tidak disamai oleh ajaran apa pun sebab etika Kristen diajarkan berdasarkan sifat Tuhan.



TAR PUSTAKA Bertens K. 2007



Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Lambe Hermin 2005



Menanti tidak dengan Suam-Suam Kuku, Jakarta: BPK Gunung Mulia.



Palmer Parker J. 2000



Let Your Life Speak: Listening For The Voice of Vocation, San Fransisco: Jossey Bass Inc. Publishers.



Saputra A. Widyahadi 2000



Hidup dalam Persaudaraan Sejati, Jakarta: APP-KAJ.



Silvano R.R. & Fio (editor) 2008



Cintailah Aku: Belajar dari Ajaran Sang Inspirator, Yogyakarta: Kanisius.



Stanislaus Surip 2007



Mematahkan Siklus Kekerasa, Yogyakarta: Kanisius.



Stassen Glen H. 1992



Just Peacemaking: Transforming Initiatives for Justice and Peace, Louisville: John Knox Press.



Untoro Bambang 2009



Benarkah Aku Mengasihimu?, Jakarta: BPK Gunung Mulia.



11