Merenung Sampai Mati [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Merenung Sampai Mati Blog ini berisikan kumpulan tulisan dari Prie GS, seorang Penulis sekaligus Kartunis asal Semarang, Jawa Tengah. Merenung Sampai Mati, adalah buku pertama beliau yang saya baca. Tulisan-tulisannya yang sederhana, menggelitik, kritis ternyata dapat sekaligus menampar kesadaran terdalam dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan :d Monday, February 25, 2008 Kucing yang Bertamu Di rumahku pada jam-jam tertentu, selalu kedatangan seekor kucing sebagai tamu. Mula-mulai ia cuma tidur-tiduran di bangku depan, lama-lama masuk ke dalam dan akhirnya menjelajah ke sekujur ruangan. Terakhir, sebagai bukti bahwa ia sudah akrap dengan keluargaku, ia telah diizinkan tidur di atas bantal besar kesayangan anak lelakiku. Sementara si kucing tidur dengan nyenyak di bantal besarnya, anakku cukup mengambil tempat di sebelahnya, tidur dengan alas seadanya. Keduanya tidur bersama tetapi tidak benar-benar tidur. Sebentar-sebentar si kucing ini melenguh dan merubah posisi tubuhnya. Sebentar-sebentar anakku terjaga untuk mengamati seluruh gerakan kucingnya. Tak bisa berlama-lama kucing itu dengan tidurnya, karena akan datang istri dan anak perempuanku untuk merubungnya. Berebut mengelus bulu-bulunya. Jika mereka hendak tertawa kucing ini digodanya sedemikian rupa. Jika kedua belah pihak telah merasa cukup bemain, sang kucing akan pamit pergi dengan caranya sendiri yang keluargaku telah menghafalinya. Jika pintu kami tertutup, ia akan mengetuk-etukkan kakinya sampai pintu itu terbuka. Jika ia hendak pergi, anak dan istriku akan mengantarnya di depan pintu. Jika jam-jam kucing itu hendak datang bertamu, keluargaku tegang menunggu. Jika tamu itu benar-benar datang, semuanya berteriak girang. Sudah tentu, kecuali aku. Dari seluruh keriuhan itu biasanya aku memang cuma mengamati dari kejauhan. Sikap inilah yang dianggap mengurangi kegembiraan keluargaku. Dianggapnya aku sama sekali tidak ikut bergembira bersama mereka. Anggapan itu pasti keliru. Ketika aku melihat anak lelakiku merelakan bantal besarnya untuk tidur si kucing, sementara ia sendiri cukup beralas apa saja, dari jauh mataku sesungguhnya telah berkaca-kaca. Tetapi pasti aku tidak mau kehilangan muka. Menangis di hadapan anak dan istri? Huh, gengsi! Maka biarlah aku terharu dengan caraku sendiri. Ini bukan sekadar keharuan bapak atas anak, melainkan keharuan atas hasutan imajinasiku sendiri. Begitulah sejatinya seluruh hati anak-anak di dunia, seluruh hati manusia, ia selalu memiliki ruang-ruang yang besar untuk cinta, untuk menyayangi sesamanya. Dan ruang-ruang itu jika dibuka lebar-



lebar, seluruh dunia ini akan berisi cinta. Cinta yang besar itu cukup disulut dengan soal-soal sederhana. Kucing ini sama sesali kucing liar, ia bukan jenis anggora yang ningrat dan manja. Hewan ini datang tanpa diminta dan pergi tanpa dipaksa. Sesungguhnya, ia tetaplah kucing tanpa kelas. Tapi tak peduli siapapun dia, kedatangannya di rumah kami seperti menyalakan lampu raksasa. Setiap meong pertama di kemunculannya akan langsung disambut suka cita. Anak-anakku akan berlarian dan istriku dengan sok anggun mengikutinya. Tapi sebetulnya tidak. Perasaan istriku itu pasti setara saja dangan anak-anaknya yang gegap-gempita. Cuma karena kedudukannya sebagai ibu, ia merasa perlu menganggun-anggunkan diri. Untuk menggembirakan seluruh keluarga, cukup dengan hanya meongan seekor kucing, betapa murahnya. Dan ketika kucing ini tiba gilirannya pergi, seluluruh keluargaku serentak terharu bersama. Jangan disangka bobot keharuan lebih rendah katimbang kegembiraan. Keduanya setara dan sama menakjubkannya. Keharuan adalah kegembiran yang tengah bermetamorfosa. Maka ketika dalam sehari kami setidaknya memilik sekali kegembiraan dan sekali keharuan, sesungguhnya kami telah gembira berkali-kali. Belum lagl, kegembiraan atas kucing ini bisa kami perpanjang. Jika malam menjelang, kepada anak-anak, kami dongengkan betapa esok pagi ia akan ketemu kucingnya lagi. Dan tidur berbekal kerinduan atas kegembiraan esok hari, pasti tidur yang menyenangkan. Dan pagi hari ketika mereka hendak ke sekolah, bersiap menempuh hari-hari yang berat, kami ingatkan, bahwa sepulang sekolah nanti, kucingnya telah menanti. Jika kegembiraan menjadi bekalnya, keberatan hidup itu pasti akan meringan dengan sendirinya. Cuma dengan seekor kucing liar yang tak jelas asal-usulnya, keluarga kami gembira setiap hari. Ini bukti satu lagi, bahwa kegembiraan itu sejatinya murah sekali! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Monday, February 25, 2008 1 comments Links to this post Labels: kucing keluarga serambi baru Wednesday, February 20, 2008 Aku Ingin Mencintaimu Secara Bersahaja Aku ingin mencintaimu dengan cara yang biasa-biasa saja. Ini bukan karena aku tidak mencintamu, tetapi lebih karena aku takut pada bahaya cinta. Semua ini pertama; untuk kepentinganku sendiri, kedua untuk kepentinganmu dan ketiga untuk kepentingan kita bersama. Untuk kepentinganku, karena jika cintaku ini kandas, akulah pihak yang paling sakit. Karena tak ada jaminan bahwa yang kucintai selalu mencintaiku. Untuk



kepentinganmu; karena kesakitanku yang sangat, pasti akan membebani hidupmu. Padahal makin besar cintaku kepadamu, makin besar risiko kesakitanku. Padahal makin besar kesakitanku akan makin besar risiko kesakitanmu akibat kesakitanku. Untuk kepentingan kita, karena sakitku, mau tidak mau pasti akan menjadi sakitmu. Jadi makin besar kecintaanku akan makin besar risiko kesakitan kita bersama. Lalu siapakah kamu itu? Kamu bisa siapa saja, karena cinta bisa jatuh kepada siapa saja. Bisa jatuh ke orang-orang terdekatku, bapakku, ibuku dan saudara-saudaraku. Maka cintaku yang keterlaluan kepada bapakku akan membuat bisa menantang siapa saja yang membencinya, meskipun misalnya bapakku adalah seorang penjarah uang negara. Kamu itu bisa pula berupa anak-anakku. Jika keterlaluan cintaku kepadanya, akan menggodaku berbuat apa saja demi kebahagiaannya. Jika anakku adalah si bodoh misalnya, aku bisa ngotot merayu sekolahnya agar tetap diterima meskipun dengan cara membayar dari bawah meja. Jika anakku adalah pengangguran, maka akau akan berkolusi dengan siapa saja asal anak itu mendapat posisi, sambil tak peduli betapa ia miskin kompetensi. Padahal jika anak yang sudah aku bela mati-matian, dengan segala cara pula itu, kemudian cuma akan sibuk dengan dirinya sendiri dan lupa pada orang tuanya, yang lebih mencintai pasangannya sambil mengabaikan orangtua, lebih banyak tinggal di rumah mertua sampai lupa orangtuanya sendiri? aku pasti akan mengutuknya sebagai anak durhaka. Aku pasti akan makin marah saja jika ternyata, sudah kukutuk pun, eee kutukanku tak mempan juga! Apa jadinya jika kamu itu adalah idolaku? Inilah yang kutakutkan karena aku bisa menganggapmu sebagai orang suci cuma karena sering melihatmu memberi nasihat di televisi. Maka aku akan berhenti menontonmu ketika kemunculanmu sudah keterlaluan. Aku takut engkau menjadi terlalu terkenal dan aku makin memujamu cuma karena popularitasmu. Betapa mudah membayangkanmu sebagai si sempurna, cuma karena televisi tak pernah menyutingmu ketika bangun tidur, sedang malas dan uring-uringan. Televisi cuma suka mengambil adegan ketika engkau sedang sebagai si sempurna, si baik, si sabar dan si sejuk. Televisi sungguh tidak pernah jujur kepadaku, apakah kebaikan yang sedang ditampilkan itu kebaikan asli atau sekadar kebaikan industri. Sudah lama aku takut, jika televisi itu sebenarnya tidak sedang memopulerkanmu, tetapi sedang menghisapmu. Menampilkan wajahmu siang malam, pagi dan petang. Kemana remote control itu berpindah selalu cuma harus ketemu wajahmu. Aduh, begitu ingin berteriak mencegahmu tapi aku mencegah diriku sendiri. Aku khawatir jika kau anggap aku sebagai si cemburu pada popularitasmu. Maka yang bisa aku lakukan hanyalah mencegah diriku sekuatku, sebisaku, agar aku tidak menjadi pemujamu cuma oleh hasutan televisi dan media massa. Tidak mudah, karena televisi telah menyita begitu banyak energi bangsaku cuma untuk menghabiskan waktu. Ia telah menjadi pengasuh bagi anak-anak, karib bagi ibu-ibu dan teman begadang bapak-bapak. Maka apa saja yang dimunculkan televisi, tiba-tiba menjadi nilai terpenting saat itu.



Jelas, aku menolak untuk tertipu. Maka izinkan aku mencintamu secara bersahaja agar kita berdua tidak sama-sama tertipu dan menjadi korban hasutan media massa. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Wednesday, February 20, 2008 0 comments Links to this post Labels: cinta, mencintai Tuesday, February 19, 2008 Jurus Menghibur Diri Tak terbayangkan betapa berat beban hidup ini jika manusia tak dilengkapi dengan kemampuan menghibur diri. Lihatlah jumlah penderitaan itu, sejauhjauh mata memandang, rasanya manusia cuma akan melihat derita dan persoalan. Lihatlah daftar persoalan itu, sambung-menyambung tanpa henti mulai lahir sampai mati. Tetapi jika hidup cuma berisi penderitaan, manusia pasti tak kuat bertahan. Begitu lahir, ia pasti akan langsung mati. Setengah dari hidup itu, pastilah berisi sang kebalikan. Maka antara derita dan kegembiraan, pasti sama banyaknya. Inilahlah yang membuat bahkan filsuf seperti Sartre kebingungan. Fakta bahwa manusia bisa bertahan hidup tanpa bunuh diri itu saja baginya sudah amat mengherankan. Ya, banyak orang tergoda untuk mati karena daftar derita yang tak ada rampung-rampungnya. Tapi fakta bahwa jauh lebih banyak orang berani hidup katimbang berani mati juga bukti yang nyata bahwa di dalam hidup, seseorang boleh bergembira kapan saja dia mau, karena kegembiraan itu jumlahnya tak terhingga dan tinggal memungut begitu saja. Salah satu pintu kegembiraan itu adalah kemampuan menghibur diri seperti yang telah saya sebutkan. Dan jujur saja, hingga saat ini, jurus menghibur ini menolong saya dari bermacammacam persoalan. Saya tidak malu disebut sebagai suka menghibur diri atas banyak kegagalan. Jika setelah gagal saya tak boleh menghibur diri, tak akan pernah bisa saya melahirkan kolom ini. Misalnya saja ketika saya memiliki sepetak tanah, kecil saja, yang saya beli dengan menabung serupiah demi serupiah, tetapi ternyata suratnya tak juga rampung selama bertahun-tahun. Geram belaka bawaan saya setiap mengingatnya. Setiap melihat tanah ini bukannya seperti melihat harta karun, melainkan malah seperti melihat sumber kegeraman. Lalu apa yang saya lakukan? Tanah itu pelan-pelang saya buang dari pikiran. Tanah itu tetap di tempatnya, tetapi lokasi di pikiran saya telah berubah. Katimbang menatap tanah itu, saya lebih suka menatap gunung-gunung di sekitar yang terlihat dari rumah saya. Saya suka naik ke atas rumah dan menengadah melihat langit. Waa.. dunia ini luas sekali. Begitu luasnya sehingga menempatkan pikiran hanya untuk berpikir tentang tanah secuil itu sungguh merupakan ketololan. Saya mengembangkan dada seluas yang saya bisa. Saya berjanji kepada diri sendiri, bahwa tanah itu



terlalu kecil untuk dipikirkan. Kalau perlu saya akan membeli pantai, membeli gunung dan lautan sebagai gantinya. Saya tidak tahu apakah keinginan saya ini masuk akal. Tetapi baru memikirkan keinginan ini saja hati saya sudah gembira luar biasa. Hati itu tiba-tiba terbimbing untuk menuju keumungkinankemungkinan yang luas tanpa batas. Hati dan pikiran itu akhirnya tidak cuma tergadai untuk soal-soal yang terlalu remeh jika badingannya adalah seluruh hidup kita. Maka setiap memandangi tanah itu, saya tidak lagi terpaku pada suratsuratnya yang hingga tulisan ini saya buat belum rampung juga, melainkan malah seperti melihat seorang yang menegur saya untuk mau terbang lebih tinggi, untuk lari lebih kencang, untuk membeli apa saja karena dunia menyediakan apa saja jika saya menginginkan. Ya, banyak sekali soal-soal sederhana yang kita biarkan menyita hampir seluruh pikran padahal ia murah sekali jika bandingannya adalah seluruh dari kehidupan. Posted by Prie GS at Tuesday, February 19, 2008 0 comments Links to this post Sunday, February 17, 2008 Saya Mimpi Menjadi Casper Untuk mengukur sejauh mana tingkat kematangan Anda sebagai manusia, cukup diukur dari kualitas mimpi-mimpi dalam tidur Anda. Untuk itulah kenapa belum lama ini saya menyesali sebuah mimpi yang menurut saya sangat dangkal dan tidak bermutu, yakni mimpi menjadi Casper, si hantu baik, salah satu tokoh kartun Disney. Di mimpi itu entah bagaimana awal mulanya saya dikutuk menjadi hantu Casper. Sedih, karena tubuh saya menjadi mengkeret dan kehilangan konvensi gerak seperti lazimnya manusia. Tapi kepedihan ini pelan-pelan menemukan obatnya ketika serombongan anak-anak sekolah yang saya datangi tunggang langgang ketakutan. Bahkan sebuah truk yang sedang parkir pun kaget ketika saya bentak. Saat sedang membentak truk inilah saya terbangun karena istri keburu membangunkan saya. Sungguh butuh terdiam lama untuk menjawab pertanyaan istri, tentang mimpi apa gerangan yang membuat saya sampai mengigau begitu hebat. Untuk berterus terang bahwa mimpi itu sekadar menjadi hantu Casper, pasti akan merusak ketegangan yang telah kami bina. Melihat kecemasan istri pun sungguh merupakan kebahagiaan juga. Saya jelas tidak ingin merusak kebahagiaan ini dalam waktu singkat. Biarlah istri menduga, bahwa saya sedang bermimpi begitu seriusnya, mimpi mendapat wangsit semacam kejatuhan rembulan atau berselancar gagah di atas gelombang samudera. Itulah mimpi khas kaum aulia, orang-orang suci dan manusia yang dekat dengan bisikan-bisikan Tuhan. Membiarkan istri salah paham dan mengira suaminya adalah manusia yang dikasihi Tuhan juga kebahagaan tersendiri. Maka saya sengaja menyimpan rahasia ini hingga esok



hari. Karena benar juga, ketika saya terpaksa berterus terang, istri saya merasa sangat tertipu. Ia tak cuma geli tapi juga menyesal bahwa mimpi suaminya yang ikut menegangkan hatinya itu tak lebih dari sekadar mimpi hasil rembesan dunia keseharian yang mengendap dalam pikiran. Apa boleh buat, karena mimpi ini, terbukalah kualitas saya sebagai manusia, yang ternyata masih suka membawa persoalan-persoalan hidup yang remeh temeh, bahkan ke dalam tidur. Betapa melelahkan hidup semacam ini. Karena hanya membenci seseorang tadi siang, di malam hari, orang itu bisa datang dalam mimpi untuk kita pukuli sampai klenger. Kita lalu puas untuk kemudian terbangun sambil kecewa lagi. Hanya karena ditekan oleh kesulitan hidup, kita bisa mengusung kesulitan itu untuk dipecahkan di malam hari lewat mimpi, untuk kemudian terbangun dan menderita lagi. Bukan sekali dua kali saya dibikin lelah oleh mimpi-mimpi halusinatif semacam itu. Jadi jelas sudah, betapa saya adalah kualitas manusia yang masih mudah terguncang oleh hal-hal sepele, manusia yang belum cukup tenang untuk melupakan persoalannya hingga ke kamar tidur, betapapun remeh persoalan itu. Jadi, bahkan saat tidur pun, saat terbaik untuk mengendorkan semua ketegangan, untuk mengistirahatkan dari tekanan hidup yang penat, malah menjadi kepenatan tersendiri. Jadi, jika dalam kesendirian pun, dalam keadaan paling pribadi pun, saya masih begitu gampang diguncang persoalan, betapa makin buruk kualitas saya di tengah keramaian, di tengah hidup sehari-hari. Apa jadinya jika saya melihat teman naik pangkat dan tambah kaya. Pasti teman ini akan muncul dalam tidur saya untuk saya pukuli dan saya hajar habis-habisan. Jadi, dalam tidur maupun jaga, saya ini orang yang terus menerus didera ketegangan! Sungguh lelah punya kualitas mental semacam ini. Maka jika maagh saya kambuh, jika urat leher saya menegang diam-diam dan kepala pusing secara berkala, jangan-jangan semua ini bukan karena penyakit medis, tapi hasil endapan-endapan hidup yang tegang belaka. Maka, jika Anda juga menderita penyakit saya, mari kita berobat bersama. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post Labels: lawas, mimpi Seekor Kucing di Rumahku Ada kucing di rumahku. Ia tak secara khusus dipelihara, tapi selalu saja betah berlama-lama. Kucing ini agaknya sebatang kara, terbukti rumahkulah satusatunya tempat yang dia suka.



Sebagai layaknya pihak yang cuma nebeng, kucing ini sebetulnya relatif tahu diri. Ia cuma berkisar tidur di genting tumah, di kolong dapur dan di tempattempat darurat lainnya. Jika ia suatu kali kedapatan bermalasan di tempattempat terhormat, seperti ruang tamu dan sofa misalnya, ia sadar diri. Secepat kilat ia akan berlari jika kepergok, terutama olehku. Kucing ini tahu, aku adalah pihak yang paling keras kepadanya di rumah ini. Kekerasan ini semula kusengaja, karena aku tidak ingin kucing ini kerasan di rumahku. Aku tahu, untuk memelihara hewan seperti kucing, butuh waktu ekstra. Maka jika waktu dan komitmen itu tak ada, lebih baik jangan cobacoba. Berteman dengan kucing liar, hanya akan membuat panas hati saja. Padahal, karena kucing ini tidak jelas statusnya, ia terancam menjadi setengah liar pula. Tongkrongannya memang telah mirip kucing rumahan, tapi kelakuannya betul-betul liar sempurna. Jika pintu dapur terbuka sedikit saja, lauk-pauk yang ada akan secepat kilat dijarahnya. Berak dan kencing bisa sembarangan. Dan yang paling menjengkelkan, jika malam tiba. Ia bisa mengundang kucing tetangga untuk datang, berebut pasangan dan bertengkar dengan kegaduhan yang mengerikan. Pendek kata itulah peran si kucing di rumah kami hingga hari ini. Dibanding sukanya, rasanya jauh lebih banyak dukanya. Tambahan kejengkelan lain ialah ketika ia bisa meninggalkan bulu-bulunya itu di mana saja. Ia bisa memakai kursi busa untuk mengasah kuku-kukunya pula. Pokoknya, meski saya bukan pembenci kucing, godaan untuk marah pada hewan ini bisa berlangsung setiap kali. Meski tidak sampai menyiksa, saya tetap menyalurkan hasrat kemarahan pada kucing ini setiap ada kesempatan. Mulai dari sekadar membentaknya, hingga mengguyurnya air jika terpaksa. Pendek kata, baginya aku adalah musuh, dan ia menangkap permusuhan ini dengan seksama. Maka reaksinya terhadap aku pun khas. Ia akan buru-buru menyingkir jika kelebat bayanganku dilihatnya. Komunikasi semacam itulah yang ada di antara kami selama ini. Aku tak tahu persis ukuran pastinya. Yang jelas kucing ini aku kenal mulai dari balita hingga kini beranjak tua. Jadi sudah dalam bilangan tahun. Yang aku heran, meskipun bertahun-tahun hewan ini kukasari, ia tetap saja betah di rumah kami. Sampai pada suatu hari, ketika di suatu sore, aku dan kucing ini menjadi begitu dekatnya oleh sebab yang tak terduga. Semua berawal dari kebiasaanku naik ke genting rumah jika udara gerah. Memandang langit, menikmati keluasan dari sebuah ketinggian, adalah hobiku sejak lama. Si kucing ini, entah kenapa juga sedang berada di genting yang sama. Ia berbaring, dengan mata lurus ke barat, ke arah hari yang mulai senja. Tak seperti biasa, ia sama sekali tak terusik oleh kedatanganku. Akulah yang ganti kaget oleh ulahnya yang tak biasa. Sedang apakah hewan ini? Sedang sedihkah dia? Baru aku sadar sepenuhnya, betapa ia selama ini memang



sebatang kara. Tidak sepertiku, yang istri ada, anak-anak pun ada, dan dalam batas-batas yang tertentu, kami hidup bahagia. Lalu kucing ini? Matanya yang lurus itu, jangan-jangan ia sedang membayangkan ibu bapaknya yang sudah tiada. Sanak saudaranya yang juga entah kemana. Sudah sendiri, nebeng pada sebuah keluarga pun tak peduli pula. Ia bahkan cenderung selalu dikasari. Soal makan, ia juga dibiarkan memecahkannya sendiri. Karena keluarga ini pasti punya dalih, mereka tak tak pernah punya ikrar memelihara, karenanya tak perlu pula merasa bertanggung jawab atas nasibnya. Kucing yang sedang menerawang ke arah matahari terbenam itu, memang tidak tampak sedang menyalahkan kami sekelurga. Ia lebih seperti meratapi kemalangannya sendiri. Sejenak kemudian aneka loudspeaker dari beberapa masjid serempak menyuarakan azan bersama. Kucing ini masih terpaku, menatap hari yang berangkat senja. Dan di ketinggian genting ini, kami berdua merasa sangat sepi. Aku dan kucing itu, pasti akan ketemu magrib juga. Sama-sama akan menemukan hari senja dan kembali ke mati bersamasama. Dalam hidup yang cuma sekali dan itupun cuma singkat saja, kenapa di antara kami masih tega untuk saling mengasari. Kenapa aku yang manusia ini tidak juga tanggap, betapa hewan ini, sudah ditakdirkan sebagai kucing, tidak bahagia pula. Kenapa manusia yang sudah diberi banyak kemuliaan ini, tidak bisa berbaik hati ada kucing yang papa ini, yang pada akhirnya juga akan menjadi teman seperjalanan, menuju senja yang di sana. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post Labels: keluarga, kucing Karena Aku Sering Numpang Mobilmu Karena sering numpang mobil teman, tulisan ini akhirnya diturunkan. Temanku itu bermacam-macam tapi seperti seragam dalam satu keadaan. Ada yang kelas atas, menengah dan bawah, ada yang bermobil tua dan payah ada pula yang mewah, tapi hampir semuanya tanpa tong sampah. "Terus di mana kotoran ini harus aku buang," tanyaku. "Lewat jendela," jawabmu sekenanya. Ini bukan soal tradisi buang sampah sembarangan yang memang sudah termashur di Indonesia. Ini lebih menyangkut soal kelakuan kita yang membuat kenapa kerusakan tatanan di hampir semua lini itu terjadi. Penyakit boleh menyebar menjadi bemacam-macam versi, tapi sumbernya ternyata satu saja: diri sendiri. Prioritas kita terhadap diri sendiri ternyata masih luar biasa. Konsep membersihkan diri tanpa peduli kebersihan tetangga adalah hal yang biasa. Menjaga kebersihan mobil sendiri sambil membuang limbahnya ke mana saja,



karenanya juga hal yang biasa. Akibatnya, yang bersih dan yang kotor, yang lebih dan yang kurang, di negeri ini memang bisa berdampingan dengan sangat kontrasnya. Sanggup mengotori tanpa sanggup membersihkan adalah hobi kita. Itulah kenapa WC umum selalu jorok keadaannya, bus kota selalu cepat bobroknya dan kendaraan-kendaran iventaris selalu tak terurus kedaannya. Apalagi yang bisa diharap dari masyarakat yang hanya bisa memakai tanpa mau merawat, hanya mau enak tapi enggan menanggung risikonya, hanya bisa mementingkan diri sambil mengabaikan kepentingan sekitarnya. Masyarakat seperti ini pasti akan merosot mutunya. Jika membentuk kesebelasan sepak bola pasti akan menjadi kesebalasan yang lemah. Yang kuat cuma suporternya. Dan ini juga cuma bukti baru betapa lemahnya kekuatan yang kita punya itu karena ia hanya berupa kekuatan untuk berbuat onar dan membuat kerusakan. Dalam masyarakat yang egois semacam ini tak akan ada bentuk organisasi yang kuat, tak akan ada perencanan yang utuh dan tak ada orientasi yang terfokus. Jika kita membanagun sebuah kota, maka kota itu akan begitu ruwet dan penuh tabrakan kepentingan. Akan ada trotoar bukan untuk pejalan kaki tapi untuk bedagang dan malah menjadi lahan strategis untuk mendirikan posko partai. Akan ada jembatan penyebarangn bukan untuk menyeberang tapi untuk pangkalan pengemisdan penodong. Jika kita adalah pengendara motor, maka ngebut di kegelapan tanpa lampu adalah kewajaran. Bikin kaget orang malah kalau perlu tabrakan lalu mati bersama bukanlah kejahatan. Maka juga bisa dimengerti, jika banyak pemilik mobil dan motor di Indonesia yang mengganti knalpot aslinya dengan knalpot baru yang lebih pekak, lebih bikin hiruk pikuk sekitarnya. Jadi, membahagiakan diri sendiri sambil bikin budek kuping tetangga memang tujuan kita. Jika kita sopir angkutan maka membuat penumpang ketakutan adalah kebanggaan. "Bayangkan, dari kota A ke B saya haya menempuhnya dalam dua jam. Tancap terus. Penumpang di bagian depan malah sampai harus mengangkat kakinya hahaha…," kata kita gembira. Jika kita anggota partai, maka dipakailah partai itu sebagai tak ubahnya perusahaan. "Prospeknya cerah," batin kita. Dengan mengatas namakan tegaknya kebenaran dan keadilan kita pun meneriakaan slogan. Sementara yag sebenarnya terjadi, kita ini tak lebih sedang mencari makan. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post Labels: lawas, mobil, numpang



Karena Aku Kebal... Aku anak seorang diplomat Aku punya kekebalan diplomatik Aku menjual heroin Maka: Karena aku anak diplomat dan memiliki kekebalan diplomatik, maka aku berjualan heroin. Kita mengenal penarikan kesimpulan dengan gaya seperti di atas dengan sebutan silogisme. Pelajaran matematika di sekolah sering mengajarkan hal itu pada kita. Pelajaran ini pula yang muncul ketika kita membaca berita tentang ditangkapnya seorang anak diplomat Indonesia yang kedapatan memiliki heroin dalam jumlah yang sudah layak disebut sebagai bandar. Apakah ia terkena hukuman? Tidak, kasusnya ditutup. "Karena punya kekebalan diplomatik," begitu argumentasinya. Penarikan kesimpulan gaya silogisme di atas bisa saja keliru. Tapi kasus heroin itu, jika berita media tersebut benar, membuktikan kepada kita, bahwa sesuatu yang keliru pun bisa dan boleh terjadi. Karenanya gaya berpikir yang keliru pun bisa terjadi, hak-hak yang digunakan secara keliru juga bisa terjadi, dan akibatnya penarikan kesimpulan yang keliru pun boleh saja terjadi. Bunyi kesimpulan itu bisa ditulis: hak-hak diplomatik itu ternyata hanya untuk berjualan heroin. Kasus itu juga mengingatkan kita tentang betapa luar negeri tidak lagi selalu identik dengan mutu, tapi juga bisa soal sekadar konsumsi, soal gengsi biasa. Artinya, menyekelohkan anak ke luar negeri tidak selalu untuk mengejar mutu, tapi sekadar untuk menyalurkan naluri konsumtif semata. Karena aku punya duit, apalagi duit ini kuperoleh dengan gampang, apalagi kalau cuma dengan korupsi, maka aku merasa gampang pula memboros-boroskan. Begini caraku mencari, begini pula caraku menghabiskan. Meski pun aku nebeng dengan berbagai atribut yang tampaknya mulia seperti menyekolahkan anak, membangun tempat ibadah, menyantuni anak yatim, tapi pada dasarnya kegiatan itu tetap tak lebih dari tindakan penghambur-hamburkan uang semata. Mutu seseorang, ternyata tidak terletak pada lokasi tempat ia berada, tapi terletak pada tingkat kejujuran proses hidupnya. Karena ada yang bersekolah ke luar negeri bukan menjadi tambah baik tapi malah menjadi tambah rusak. Karena ada yang tidak pernah ke luar negeri tapi mutunnya baik-baik saja. Proses hidup yang salah, akan membuat niat hidup juga salah. Niat yang salah juga kan memunculkan akibat yang salah. Dan niat ini ternyata tak bisa ditipu. Maka di manapun berada, orang salah niat ini juga akan terus dikuntit hasil-hasil yang yang salah. Malah makin jauh ia pergi, kesalahan itu bisa makin menjadi-jadi. Derajatnya malah bisa mempermalukan bangsa dan negara. Orang-orang yang terlihat lebih bermutu sepulang dari luar negeri itu, bukan



karena mereka dimutukan oleh luar negeri, tapi karena pada dasarnya mereka adalah orang-orang bermutu. Luar negeri hanya pelengkap, penyempurna mutu mereka. Tapi bahwa mereka adalah orang baik, jujur dan berkepribadian, sudah teruji bahkan di tingkat kampungnya sendiri. Orang-orang yang mengalami kerusakan di luar negeri itu juga bukan karena luar negeri yang merusak mereka, tapi karena mereka sendirlah yang membawa kerusakan itu ke manapun mereka pergi. Jadi luar negeri hanya melapangkan jalan, mematangkan dan menyempurnakan kerusakannya. Jadi jangan biarkan lokasi menipu kita. (03) (PrieGS/) Technorati Tags: karena aku kebal Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post Labels: lawas, masyarakat Inul Pulang Kampung Inul pulang kampung. Ia akan kembali pentas dari pangung ke panggung sambil introspeksi, sambil meminta maaf karena sekarang ini ia telah dianggap berdosa membenamkan musik dangdut yang telah naik derajatnya itu kembali ke comberan. Maka sekarang jelas sudah: peta musik dangdut ternyata terbagi dua bagian: yang satu adalah pedangdut aliran putih, dan sisanya aliran hitam. Sebagaimana pendekar dalam cerita silat, tugas pendekar aliran putih ini adalah menumpas kezaliman dan menegakkan kebenaran. Para pendekar yang telah begitu bersusah-payah membangun kemuliaan di bumi ini masgul karena segenap usahanya itu luluh lantak secara tiba-tiba akibat ulah golongan hitam. Maka para pedangdut sesat itu harus angkat koper dari tempat-tempat yang mulia seperti televisi dan panggung-panggung yang cuma cocok untuk trah kaum putih. Karena untuk sepanggung bersama pun para pedangdut putih itu merasa sedang berhadapan dengan pasien lepra. Selain ada golongan putih, dunia musik juga memiliki golongan bapak dan ibu asuh. Dari rahim merekalah musik dangdut itu dilahirkan dengan mutu seorang anak jadah. Hanya karena berkat kesabaran merekalah, berkat kemuliaan dan mutu mereka sebagai orang tua asuh itulah, musik dangdut naik jenjang, menjadi anak baik-baik dan luhur martabatnya. Sebagaimana galibnya orang tua, golongan ini kemudian merasa berhak menganggap anak sebagai hak milik. Sebagai hak milik, wajar jika orang tua ini berhak mengatur-atur, mencegah jika anaknya bergaul dengan teman yang berstatus rendah, marah jika si anak diajak ke arah yang salah. Dari awal, anak bernama dangdut ini sudah dirawat begitu rupa, sudah hampir menjadi anak yang menjunjung nama baik keluarga jika tidak tiba-tiba muncul para



pedangdut berandalan yang menghancurkan semuanya. Padahal jasa para orang tua ini sudah hampir sempurna. Mereka bahkan sudah layak dipatungkan dan dijadikan nama-nama jalan karena jasa-jasanya. Menyebut dangdut tanpa menyebut mereka adalah sebuah kelancangan. Membuat pembaruan tanpa restu mereka adalah langkah durhaka. Jangankan bermimpi menggeser kedudukan mereka, bahkan para generasi berikutnya itu, harus tahu diri. Jangan sukses tanpa menganggap mereka sebagai senior, panutan, guru, dan minimal sesepuh. Maka bahkan soal cara bergoyang pun harus dikonsultasikan. Jangan bergoyang tanpa mendapat restu. Ingat, dangdut sudah menjadi hak milik pribadi, dan jangan ada pihak lain mencoba bermain api. Jangan mengotori goyang yang sudah ditetapkan karena moral dan keluhuran itu sudah pula digariskan. Maka pihak di luar garis ini, jelas kedudukannya: perusak moral bangsa, artis kampungan dan penyanyi tanpa kasta. Jadi memang ada bangsa yang begitu rapuh moralnya hingga terhadap goyang pinggul saja langsung porak-poranda. Begitulah wajah musik dangdut di Indonesia. Musik yang semula dikira milik kaum pinggiran, musik rakyat kampungan ini ternyata diam-diam telah menjadi anak pingitan. Ia telah menjadi hak milik sebuah kekuasaan. Dan seperti lazimnya kekuasan, ia langsung berkuasa menentukan baik-buruk, boleh-tidak boleh, halal-haram, taat-sesat, tanpa berkonsultasi dengan rakyat kebanyakan. Padahal sementara para penguasa itu demikian tegang, rakyat kebanyakan ini biasa tenang-tenang saja. Tapi sudahlah. Inul sudah terlanjur pulang kampung dan kita lupa mengantarnya. Orang boleh tidak menyukai goyangannya, tapi siapa saja yang sedang menjadi korban kekuasaan, berhak atas santunan, setidaknya teman perjalanan. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, February 17, 2008 0 comments Links to this post



Saturday, February 16, 2008 Istriku Mengaku Kuper Bisa jadi karena jenuh menjaga rumah, merawat anak dan mengurus suami, istri saya terpaksa ngomel. ''Anak-anak dan bapaknya sama saja. Menjadi tukang perintah. Saya adalah babu besar,'' katanya sambil bersungut-sungut. Tapi itulah kehebatan istri, meskipun sambil ngedumel, tangannya terus bekerja. Menyingkirkan gelas kotor, melap kaca, membereskan semua barang yang berseliweran hasil kenakalan anak-anaknya. Saya sebetulnya senang melihat istri ngomel seperti ini. Pekerjaannya pastilah berat. Dan ngomel adalah obat yang sehat. Toh sambil marah-marah begitu,



pekerjaannya malah makin beres. Dengan ngedumel, tiga keuntungan diperoleh sekaligus. Kemarahan batin disalurkan, fisik disehatkan, dan pekerjaan dirampungkan. Tapi istri saya terlalu banyak diam. Ngomelpun hanya kalau terpaksa. Ini menurut saya sebuah kerugian. Padahal sudah sejak awal, saya adalah orang yang secara dini membayangkan betapa berat pekerjaan seorang istri, khususnya lagi istri saya. Karena sebagai lelaki, saya telah kepalang menganggap, bahwa dunia paling cocok bagi istri adalah rumah dan seisinya. Artinya, itulah petisi yang harus ditandatangani sebelum akad perkawinan tiba. Sudah tentu anggapan ini bisa keliru dan malah bisa berbahaya bagi lain keluarga. Maka anggapan ini cuma soal pilihan, tak ada kaitannya dengan benar dan salah. Yang menjadi pokok persoalannya bagi kami ialah bagaimana agar istri saya nanti kuat menahan beban berat ini. Karena bentuk pilihan lain, misalnya dengan mengizinkan istri bekerja, sudah tidak saya punya. Dan kecurigaan yang saya bayangkan itu datang juga. Istri mulai merasa cuma objek yang dikurungi, dianiaya dan diisolasi dari dunia luar. Malah, pernah sekali ia mengancam akan benar-benar menjadi istri kuper, menjadi istri yang kurang gaul. ''Biar engkau malu. Karena hanya dengan cara begini, aku bisa membalas dendamku kepadamu,'' katanya masih dengan muka ditekuk. Omelan kali ini ia sampaikan sambil memijitku. Sekali lagi, omelan ini menyenangkan saya. Karena itu sehat untuk istri, menggembirakan untuk saya. Gembira dalam arti, betapa senang melihat istri bersungut-sungut, betapa saya menikmati kesalahpahamannya. Salah paham dalam arti: ia menyangka bahwa menjadi kuper itu musibah. Padahal bagi saya, ada jenis kuper yang asyik. Karena faktanya, ada manusia menjadi rusak karena pergaulannya, dan ada yang selamat karena kekuperannya. Menjadi modern dan menjadi kampungan, ternyata tak ada hubungannya dengan mutu kelakuan manusia. Istri saya juga menyangka, betapa akan semakin kuat keadaan ekonomi keluarga jika ia boleh membantu saya bekerja. Sungguh ini jelas sebuah kesalahpahaman yang lain lagi. Kenapa ia meminta izin kerja padahal ia sudah sangat bekerja? Dibanding gaji kantor yang rata-rata rendah untuk pegawai pemula, bayaran istri sungguh sudah sangat tinggi. Bayaran itu berupa anakanak yang selalu bisa berdekatan dengan ibunya, selalu mendapat guyuran perhatian kapan saja yang dia minta. Bisa rewel dan bermanja-manja kapan saja. Ayo, tanyakan kepada anak-anak yang kesepian, yang bapak-ibunya sibuk bekerja, yang ketika sangat ingin bercerita, orang tunya tak ada. Tanyakan, betapa berat derita mereka. Lalu, berapa gaji yang harus dipatok pada seorang karyawan yang bisa menghasilkan kerja segemilang ini? Lalu soal rezeki itu, wah dia salah paham lagi. Ia menyangka, bahwa hanya karena saya yang bekerja di luaran, penghasilan itu semata-mata penghasilan saya. Ini keliru. Karena sejak semula saya telah ragu, apakah jika saya mendapatkan uang, uang ini bener-benar rezeki saya atau rezeki istri saya



yang dititipkan ke saya. Jangan-jangan bagian saya kecil saja dan bagian dialah yang selama ini menopang kebutuhan keluarga. Jangan-jangan sebetulnya saya ini cuma kuli dan dia juragannya. Maka melihat seorang juragan sedang mengomeli kulinya ini, sambil membayangkan keadaan yang sebaliknya, sungguh membuat saya suka tertawa dalam hati. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Saturday, February 16, 2008 0 comments Links to this post Labels: istri, keluarga, lawas Hidup Enak, Mati Enak TAK semua orang yang hidup enak bisa mati dengan enak. Terbukti banyak ''orang enak'' yang bisa mati secara tidak enak. Tapi Umar Kayam, adalah sedikit dari manusia yang saya duga sanggup memperoleh dua keenakan itu sekaligus. Menatap kehidupan Umar Kayam, adalah menatap kehidupan seorang ''priyagung'', priyayi agung. Priyayi adalah gambaran sebuah kemewahan dan agung adalah gambaran kemewahan lain lagi. Umar Kayam seperti sanggup mengenyam dua kemewahan itu sekaligus. Tapi jangan salah, ia memperoleh kemewahan itu justru ketika ia menganggap yang priyayi dan yang agung itu sekadar dunia main-main dan tak lebih dari humor belaka. Kata agung itu bagi Kayam cuma setara dengan sebutan Ageng untuk nama tokoh dalam kolomnya, yang akhirnya menjadi stereotip dirinya sendiri. Cuma setara dengan sebutan Garuda Yeksa, yakni panggilan untuk Jeep tua yang menjadi kendaraan pribadinya. Artinya, yang priyayi, yang agung dan ageng itu bagi Kayam hanya sebuah dunia main-main, dunia klangenan dalam meledek diri sendiri. Tapi apa boleh buat, akhirnya Kayam malah membesar dengan dunia klangenan-nya itu. Kekuatan kolomnya juga terletak pada gaya yang disebut Sapardi Joko Damono sebagai glenyengen itu, selengekan, tidak sok profesor dan sok guru besar itu. Dengan kepribadiannya itu, akhirnya Kayam malah mencatat keagungannya sendiri. Agung dalam pengertian yang nyaris sebenarnya. Karena jika Kayam ingin menulis novel, ia langsung diungsikan oleh sponsor nyepi ke luar negeri. Jika Kayam berkata ''tidak'' kepada universitas yang hendak mengangkat doktor honoris causa, batal pula rencana ini. Jika Kayam hendak nonton pertunjukkan kesenian, ada panitia yang menyediakan kursi ''kebesaran''. Ketika Kayam pamit pensiun, ia disambut pesta. Ketika ia sembuh dari sakit, semua ikut bersyukur dan bergembira. Fenomena Kayam sebagai budayawan, benar-benar pernah menggentarkan kami, anak-anak muda yang memiliki interest ke arah ini. Secara prbadi, sebagai wartawan pemula, saat itu saya malah sempat menyusun daftar idola



yang harus saya buru. Salah satunya adalah Umar Kayam ini. Sepanjang perburuan itu, pengidolaan saya atas Kayam makin menjadi-jadi bukan karena nama besarnya semata, tapi juga karena saya menyaksikan langsung, betapa banyak pihak terhormat menaruh rasa hormat yang nyata pada orang ini. Sambil menunggu diterima oleh Pak Ageng, si penunggang Garuda Yeksa itu untuk giliran wawancara, saya juga melihat P, seorang intelektual, tokoh, ilmuwan yang juga sedang menunggu Kayam dengan gaya anak tengah menunggu bapak. Saya melihat S, tokoh sepuh, yang juga tengah mendatangi Kayam dengan gaya bawahan yang hendak ''sowan''. Jalan pikiran saya sederhana, jika begitu banyak orang terhormat menaruh hormat pada Kayam, lalu kehormatan jenis apa yang dimiliki tokoh ini? Terhadap Kayam, seorang budayawan beken lain bisa ngedumel dengan nada kabur; antara kagum dan iri, antara takut dan segan: ''Alam begitu memanjakan orang ini,'' katanya. Tapi bagi sekadar fans Kayam seperti saya, tokoh ini mengisyaratkan satu hal penting saja: betapa Kayam sanggup menjadi ''priyayi'' tanpa orang ribut apakah ia benar-benar berdarah biru. Sanggup menjadi agung dan ageng tanpa orang berdebat soal kriteria kualitatifnya. Sanggup bertahta di atas singgasana yang singgasana itu cuma berupa cerpen, novel, kolom, humor dan kepribadian dia seluruhnya. Kayam sanggup memiliki kerajaan cuma dengan basis humor dan kepribadian, bukan basis duit atau kekuasaan. Ini sungguhsungguh sulit untuk tidak disebut mengesankan. (03) (PrieGS/) Posted by Prie GS at Saturday, February 16, 2008 0 comments Links to this post Older Posts Sunday, December 30, 2007 Siapa Takut Jatuh Cinta Siapa Takut Jatuh Cinta Beruntung saya pernah mengambil diploma seni musik di IKIP Negeri Semarang yang sekarang menjadi Universitas Negeri Semarang. Keberuntungan pertama ialah karena topografi kampus saya di kawasan Jl Kelud itu bagus sekali. Ia seperti kawasan puncak, naik turun, tinggi rendah, jauh dekat. Ruang kampus itu seperti sebuah vila-vila saja layaknya. Penuh rimbun pohon-pohon besar dengan rumput dan bunga-bunga yang rapi terpelihara. Seperti berada di sebuah pegunungan dengan banyak vila…. sungguh sebuah suasana yang bagi usia saya saat itu, amat mudah memicu untuk jatuh cinta.



Karenanya hampir setiap saat saya bisa jatuh cinta: ada yang pada tema sekelas, ada yang beda kelas, ada yang beda jurusan dan ada pula yang beda fakultas, karena saat itu, rasanya kawa-kawan kuliah yang cantik memang ada di mana-mana. Dan syukyurlah, di antara semua teman yang saya taksir itu tidak ada satupun yang menjadi pacar saya. Macam-macam saja alasannya, tapi terbesar adalah karena saya sendiri penyebabnya. Tegasnya, saya memang cuma asyik jatuh cinta tetapi tidak terlalu bernafsu untuk pacaran karena pasti ditolaknya. Rasa percaya diri ditolak inilah yang membuat saya malah merasa bebas. Bebas jatuh cinta kepada siapa saja dan bebas putus kapan saja saya mau, tanpa perlu pihak yang saya taksir itu membalas atau malah sekadar tahu. Saya pernah naksir seorang teman yang begitu cantiknya sehingga kalau saya maju terus pasti tidak kebagian. Dan benar, seluruh dari kami, mahiswa paling top pun terpaksa harus gigit jari, karena kecantikan yang keterlaluan seperti itu tidak cocok bagi kelas mahiswa yang payah modalnya. Seperti yang telah saya duga, si cantik itu akhirnya kawin dengan pengusaha kaya. Dari awal saya sudah mengerti kemungkinan ini, maka untuk apa berdarah-darah atas sesuatu yang saya tahu ia bukan jatah saya. Tetapi untuk menjadi pacar bagi imajinasi, saya bebas pacaran sesuka hati dengan teman ini. Persis seperti Ebiet G Ade bercinta dengan Camellia. Itu sebuah percintaan yang menurut saya dahsyat sekali. Dari pandangan pertama sampai Camellia masuk liang lahat, ternyata belum sekalipun Ebiet pernah menjumpai. Apakah Ebiet menjadi gila karenanya? Tidak. Ia sehat sekali, waras sekali dan malah suskes sekali. Karena energi jatuh cinta itu, jika cerdik cara mengelolanya memang luar biasa. Di dalam perasana jatuh cinta itu, semuanya menjadi penuh sensasi. Melihat mega-mega berarak, seperti melihat puisi. Melihat jemuran berkelebat seperti melihat burung-burung blekok berterbangan di atas sawah kampung saya. Melihat rinai hujan, seperti melihat air mata peri-peri cantik berjatuhan. Tak ada yang tidak indah ketika saya jatuh cinta. Sesumbang apapun suara ini, bawaannya melulu ingin beryanyi. Sepayah apapun tampang saya, rasanya ingin selalu berkaca. Jadi jika begini besar efek jatuh cinta dalam mendatangkan keindahan, kenapa saya tidak jatuh cinta saben hari saja? Maka saat itu, saya merdeka untuk jatuh cinta setiap kali tanpa takut patah hati. Jatuh cinta semacam ini ternyata hemat sekali; tidak harus kehilangan ongkos nonton bareng, makan bareng, dan tidak perlu repot-repot bertengkar segala. Padahal ongkos pertengkaran itu, ongkos mental terutama, besar sekali! Sekali waktu saya pernah pacaran beneran. Astaga… daftar pertengkaran saya ternyata lebih panjang dari daftar kebahagiaan saya. Ini pasti melelahkan. Padahal dalam keadaan jatuh cinta versi pertama itu, yang ada cuma keinginan bernyanyi dan menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk



ditulisi. Bakat menulis saya pun rasanya terpupuk dengan hebat karena seringnya saya jatuh cinta semacam ini. Menulis saat jatuh cinta itu luar biasa menggelegak. Seluruh dunia jadi semuanya berwarna biru saking indahnya. Kenapa kawasan Puncak itu diburu orang Jakarta? Karena warna biru itulah. Biru, temaram, sendu, syahdu, kelu, rindu. Itulah suasana cinta. Sementara merah, darah, gerah…itulah warna perang, warna derita, dan itulah warna Jakarta. Maka bisa Anda bayangkan betapa menyenangkan jika jalan menuju ke biru itu bisa saya askes setiap waktu, kapan saja saya mau. Betapa hati akan melulu dipenuhi kegembiraan cinta. Dan hati yang penuh cinta akan melihat apa saja, tiba-tiba dengan perasaan cinta. Berkarya apa saja jadi penuh semangat cinta. Tetapi persoalannya, bagaimana kalau saya kemudian sudah berkeluarga? Apakah cinta seperti ini masih aman untuk diperagakan? Biarlah akan saya ceritakan pada kolom berikutnya! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 1 comments Links to this post Labels: Siapa Takut Jatuh Cinta Dari pintu ke pintu, dari hati ke hati Inilah tantangan bagi aneka institusi agama yang ada, betapa mereka harus membuat dakwah yang lebih indah dan menggugah, agar umat tidak lari ke dalam keyakinan-keyakinan baru, yang cuma akan ditolak oleh masyarakat dan negara. Penolakan itu bahkan ada kalanya, harus berujung kekerasan pula. Jika kemunculan demi kemunculan aliran baru terus bermunculan, jika penolakan demi penolakan terus dilakukan, berarti akan pula diikuti oleh risiko kekerasan demi kekerasan. Jika cuma sekali waktu, hampir setiap negara, mengalaminya. Tetapi jika ia bisa muncul setiap waktu, pasti ada kesakitan sosial di negara itu. Marilah kita kutip pendapat Dr Azumardi Azra, tentang kenapa aliran-aliran baru ini selalu saja berhasil memikat hati pengikutnya. Jawabnya, menurut Azumardi adalah karena cara dakwahnya. Mereka melakukannya dari pintu ke pintu, dan lebih dari itu dari hati ke hati. Mengetuk langsung ke hati itulah yang hendak ditekankan dalam persoalan ini. Dan begitulah memang watak hati, jika ia tersentuh kelembutan, apa saja bisa dimasukkan, termasuk kekeliruan. Bahkan kekeliruan pun, jika disebarkan dengan cara yang menyentuh dan indah, ia menghuni hati dengan kuat sekali. Itulah kenapa apapun dan siapapun yang telah menghuni hati dengan cara yang indah, ia terpatri kuat sekali. Jika penghuni hati itu bernama ketersetatan, hati itu akan tersesat hingga jauh sekali. Jika penghuni itu bernama kebenaran, maka keteguhannya tak akan terguncangkan. Mengingat watak itulah jutsru muncul persoalan ini: tak semua kesalahan disampaikan dengan cara yang salah, tak semua kebenaran disampaikan dnegan cara yang indah.



Adakah sekarang ini kebenaran tidak cuma disampaikan dengan cara yang tidak indah tapi juga dengan cara yang salah? Penting sekali mempertanyakan soal ini, dan penting sekali institusi agama menyadari persoalan artistik ini. Jiak para agamawan awam dalam persoalan artistic dalam berbagai segi, maka artistik itu bisa jatuh ke tangan yang keliru. Maka kekeliruan pun akan menjadi tampak aryistik, indah, dan mengguggah. Kekeliruan yang indah itu lalu akan menjadi seolah-olah lebih benar dari kebenaran, lebih indah dari keindahan itu sendiri. Di Indonesia, sungguh tak terkira jumlah hati yang sedang dahaga, yang butuh disantuni oleh kelembutan, oleh keindahan. Tapi yang lembut dan indah itu, harus pula adalah sekaligus si benar. Karena jika kelembutan dan keindahan dipinjam oleh si keliru, ia akan menjadi berbahaya sekali฀ Kita semua akan merasa indah tanpa tahu bahwa sedang tertipu! (PrieGS) Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 0 comments Links to this post Labels: dari hati ke hati, Dari pintu ke pintu Ada Langit Di Rumahku Karena rumahku kecil maka hanya ada satu cara jika harus menambah ruang: meninggikannya. Tetapi karena meninggikan rumah tidak murah, maka ia bisa terhenti ketika pembangunan baru jalan setengah. Setengah pembangunan inilah yang akan aku ceritakan karena ia cuma meninggalkan hamparan lantai beton tanpa bangunan. Maka jadilah beton sebagai salah satu atap rumahku. Dan di atas beton ini adalah ruang terbuka dengan langit sendiri sebagai atapnya. Semula aku mengira rumahku adalah jenis rumah terbengkalai korban salah perencanaan. Bukan... bukan salah rencana, melainkan rumah ini memang adalah produk tanpa rencana. Semula ada juga bermacam-macam kejengkelan, perasana marah dan menyesalan. Bukan datang dari diriku sendiri, melainkan dari orang-orang yang datang. Mereka bisa saudara dekat, bisa saudara jauh, bisa sekadar tetangga dan teman. Tapi siapapun mereka, senada saja komentarnya. ‘'Lengkap sekali kekacauan di rumahmu ini'' begitu biasa komentar yang saya dengar. Lumayan jika komentar itu cuma berhenti hingga di sini. Aku sering tegang menunggu komentar selanjutnya, karena makin panjang, cuma makin menyinggung perasaan. Misalnya; ‘'Ini pasti karena engkau membangun rumah sekaligus engkau tempati. Jadi ini arsitektur gerilya!'' kata pihak lain biasanya dengan tawa mereka. Tak jarang mereka mengomentari sambil geli pada imajinasinya sendiri. Semakin mereka gembira, semakin tersinggung hati saya. Padahal komentar itu bisa diteruskan lagi; ‘'Tidak apa-apa sebetulnya membangun rumah sambil tetap dinempati. Asal... tetap terencana. Tetapi ini pasti rumah hasil rencana pembangunan lima tahunan alias repelita, yang



tidak nyambung. Setiap lima tahun berubah rencana tergantung duit yang ada.'' Kata yang lain lagi. Kata-kata iu semakin menyakitkan karena semakin cocok dengan kenyataan. Tegasnya, rumah ini menjadi kacau begini, pasti karena kemiskinanku. Karena cuma bisa jengkel tapi tak berdaya, maka semua akhirnya aku iyakan saja. Malah kejengkelan kuteruskan saja, seluruh rumahku, akhirnya kunikmati apa adanya lengkap dengan semua kekacauannya, termasuk lantai beton yang beratap angkasa raya itu. Malah kini aku sedang bertaruh dengan diriku senidri, kalaupun uang sudah ada, akankah aku dirikan bangunan di atas lantai beton ini, seperti yang aku bayangkan semula. Rasanya tidak! Aku mencintai hasil pembangunan setengah jalan ini karena sebuah sensasi yang tak terduga. Pertama setelah kuteliti, di seantero kampung, rasanya cuma rumahku yang memiliki atap langit seperti itu. Selebihnya adalah ruang-ruang yang seluruhnya tertutup. Kalaupun ada rumah yang meninggi, mereka langsung mengatapinya. Sudah berumah kecil, tertutup pula, jadi betapa sumpeknya. Mak setiap kali aku sumpek, aku cukup menuju ke lantai beton beratap langit ini. Hasilnya luar biasa. Dari sebuah kamar yang sumpek, aku langsung ketemu langit yang terhampar begitu luasnya! Aku segera melihat kaki langit, horison-horison yang jauh serta beberapa gunung yang ada di tanah Jawa di pagi dan sore hari. Jika malam hari, dan aku berebahan di lantai beton itu, bintang-bintang segera berserak di atasku. Indah sekali. Dan kepada bintang-gemintang, aku selalu mencari komposisi yang diajarkan oleh ibuku dulu ketika malam-malam kami bersantai di halaman. Sebuah bintang yang letaknya sedemikan rupa, sehingga bentuknya menyerupai bajak petani. ‘'Jika ia telah condong ke barat, pertanda malam sedang bersiap pagi,'' begitu kata ibu. Jika bulan puasa tiba, dan kami belum punya weker sebagai penanda, kami cukup keluar rumah, untuk melihat kedudukan bintang ini. Jika letaknya sudah bergeser ke ufuk barat, pertanda jadwal makan sahur sudah tiba. Bintang ‘'bajak petani''itu hingga sekarang masih menjadi bintang idolaku. Jika aku sedang kesal dengan istriku, dengan kenakalan anak-anak, atau penat dengan pekerjaan, lantai beton itu menjadi obatku. Aku cukup berdiri di atasnya, menatap ruang terbuka, melihat bukit-bukit yang jauh di siang hari, dan melihat bintang-gemintang di malam hari, maka luruhlah kekesalan hatiku. Karena setelahnya, baru aku merasa bahwa kejengkelan pada istriku itu, ternyata adalah kejengkelan pada diriku sendiri, bahwa kemarahan pada anak-anakku tak lebih dari kemarahan pada diriku sendiri. Selanjutnya, anakanak dan istri, kembali menjadi orang-orang menyenangkan di mataku. Jadi rumahku dengan lantai beton beratap langit itu adalah harta karun yang tak ternilai harganya฀ Di atasnya memuat banyak keindahan, efek terapi dan akses tak terbatas menuju langi luas. Rumahku yang sempit menjadi luas



karena bangunan salah rencana ini. Di rumahku ada langit, aset yang aku sulit menaksir nilainya! (PrieGS) Posted by Prie GS at Sunday, December 30, 2007 0 comments Links to this post Labels: Ada Langit Di Rumahku Monday, December 03, 2007 Bunga-bunga di Rumahku MAU tapi tak mampu, itulah keadaanku atas bunga-bunga di rumahku. Kusangka, jika sudah kusiram, setiap tanaman akan tumbuh sempurna dengan sendirinya. Dugaanku ternyata keliru. Ada jenis tanaman yang sampai lelah aku menyirami, bentuknya senantiasa seperti pihak yang merana. Karena jengkel, aku mendatangi pakar bunga di kampungku. Hasilnya, ia tergelak melihat kebodohanku. Begitu banyak bunga salah letak menurutnya. Ada jenis bunga yang rakus panas, tetapi letaknya di keteduhan. Ada jenis yang suka teduh, tetapi malah selalu kepanasan. Olala, sama-sama hijau daunnya tetapi kenapa berbeda wataknya. Dari sini saja pikiranku segera menerawang ke mana-mana. Ooo bunga-bunga ini ternyata mirip partai-partai di negaraku. Sama warnanya bisa pecah menjadi dua, tiga dan seterusnya. Sama niat baiknya, tetapi macam-macam cara mewujudkannya. Lumayan jika cuma beda cara. Tetapi ada niat baik yang begitu banyaknya sementara kebaikannya sendiri tidak muncul-muncul juga. Bunga-bunga di rumahku itu sungguh mengisyaratkan tentang bermacammacam keadaan yang ada di sekitarku. Maka atas saran sang teman yang ahli itu aku memindahkan bunga-bunga ini sesuai kebutuhannya. Yang suka panas ketemu panas, yang suka teduh ketemu teduh. Aku menyangka perubahan akan terjadi segera. Bunga-bunga yang merana itu kusangka akan menyubur seketika. Tapi lagi-lagi aku salah sangka. Rasanya mereka tetap saja seperti sedia kala. Hampir saja aku menyangka yang salah adalah bunga-bunga itu sendiri karena terlalu keras kepala. Seluruhnya sudah kuberikan, tetapi mereka sendirilah yang enggan pada pertumbuhan. Setiap kali, batangan tonggak yang nyaris mati itu rasanya tetap merana belaka meskipun panas matahari sudah leluasa mengguyurnya. Setiap saat, daun-daun yang kurang gizi itu kuning saja warnanya. Ia tak segera menghijau segar seperti yang aku duga. Hampir saja aku patah hati dan pohon yang kusangka mati itu kukorek-korek saja sesuka hati. Astaga, ketika kulitnya mengelupas baru aku kaget dibuatnya. Pokok bunga itu ternyata terlihat hijau sekali. Ini pasti pohon sehat cuma belum bersemi. Melihat perubahan ini aku girang sekali. Setiap pagi, aku semakin bergairah menyambangi bunga-bunga yang nyaris sekarat ini dan tegang menunggu perubahan apalagi yang akan terjadi.



Oo semuanya ternyata sedang berubah cuma aku saja yang kurang teliti. Dahan-dahan yang meranggas itu diam-diam menghijau dengan pasti. Daundaun yang menguning itu diam-diam menyergarkan diri. Makin hari perubahan itu kian nyata cuma memang tidak dengan segera. Ternyata tidak ada perubahan yang seketika. Ketidaksabaran terhadap perubahan inilah watak dasar manusia yang sering melahirkan bermacam-macam perkara. Di dalam dunia politik ia bisa melahirkan revolusi yang mahal biaya, di dalam birokrasi ia bisa menggoda untuk korupsi yang bisa membangkrutkan negara, di dalam urusan mencari kekayaan ia bisa membuat orang tidak sabar bekerja dalam kewajaran. Ada yang begitu nekatnya sehingga masa tuanya malah berakhir di penjara. Ada perubahan yang jika ukurannya adalah ketidaksabaran terasa amat lambat. Tetapi anehnya, ketika bonggol meranggas itu mulai bersemi, rasanya daundaun berikutnya menyusul cepat sekali. Ketika tulisan ini dibuat, si bonggol itu malah telah memunculkan putik bunga, sebuah percepatan yang sama sekali tak terbayangkan. Perubahan rasanya juga seperti perbuatan; kesulitannya ada di langkah pergtama. Ketika yang pertama telah dijatuhkan, kedua dan ketiga akan mengikuti dengan sendirinya. Prajurit Keraton Yogyakarta dalam berbaris misalnya, memakai aba-aba yang artinya kaki kiri maju, kaki kanan mengikuti. Jadi yang penting adalah kaki kiri maju lebih dulu agar kaki kanan bisa mengikuti. Tanpa si kiri maju tak ada kanan yang akan mengikuti. Terakhir dan ini terpenting bagiku, bunga-bunga ini mengajariku meyakini satu hal: jika segala sesuatu diletakkan sesuai tempatnya, tak peduli betatapun lambat, ia akan berubah juga! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Monday, December 03, 2007 0 comments Links to this post Labels: bunga Monday, November 26, 2007 Pelajaran yang Tak Pernah Aku Tamatkan ADA jenis pelajaran yang aku selalu gagal lulus dari ujiannya. Pelajaran itu bernama buruk sangka. Di usia kanak-kanakku dulu, aku pernah amat terhina ketika disapa dengan cara yang menurutku tidak semestinya. Aku punya panggilan kesayangan yang membuat aku ketagihan. Penyebutan di luar sebutan itu, apalagi langsung main sebut nama asliku, akan terasa asing dan tidak ramah di hatiku. Aku akan menafsirkan pemanggil itu sebagai orang yang tidak sayang kepadaku. Dan aku bisa menjadi pemberontak di hadapannya. Begitu juga dengan orang tua satu ini. Ia saudara jauhku, pertama kali bertemu dan kasar memaggilku. Aku marah sekali dan kujawab ia dengan tak kalah kasarnya sebagai bukti perlawananku. Orang tua itu terpana. Ia kaget



sekali atas reaksiku. Bertahun kemudian baru kusadari betapa reaksiku itu cuma bikin malu. Ia adalah saudara yang amat baik kepadaku. Ia tidak kasar, cuma serba menggelagar. Hingga saat ini, sikap itu adalah jenis kebodohan yang amat aku sesali. Ketika masuk umur remaja, aku mulai jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seseorang yang menurutku jelek sekali. Ya wajahnya, ya kelakuannya. Jika di sekolah kami ketemu, dengan suka cita aku menyingkirinya. Jika kebetulan aku melihat dia sedang bercanda, kuanggap hanya teknik menarik perhatianku saja. Bertambah tambah belaka kejengkelanku padanya. Lama aku membenci gadis ini sampai kemudian aku mengerti reputasinya. Ternyata ia selalu ranking satu, tulisannya rapi, bintang organisasi dan yang naksir banyak sekali. Melihat bahwa ia bukan sembarang perempuan, tiba-tiba semuanya berubah. Tertawanya berubah menjadi merdu, senyumnya mengharu-biru dan wajahnya jadi cantik sekali. Pelan tapi pasti, aku jatuh cinta kepadanya. Dan ketika cintaku sudah sedemikian rupa, ia ganti menolakku! Eh, tepatnya bukan menolak, karena bahkan ia tak pernah menggubrisku! Ketika aku sudah mulai bekerja, aku merasa jagoan dalam profesiku. Maka ketika ada orang yang menurutku bodoh tapi sok tahu, seluruh kebencianku tertumpah kepadanya. Aku masuk dalam geng gosip yang menggunjingnya dan menyebut-nyebut bentuk kepalanya sebagai kepala duren! Ya buah durian itulah yang kami sebut mirip kepalanya, bukan benar-benar karena bentuknya, melainkan pasti karena kebencian kami saja. Tetapi astaga, orang yang aku benci inilah orang yang kemudian menolong kami ketika sedang dalam kesulitan masuk gedung pertunjukkan. Ia adalah orang yang dengan jelas menunjukkan kualitas budinya, ketika kami sedang dalam kesusahan. Kini aku selalu mengingat orang ini dengan rasa hormat yang mendalam. Bertahun-tahun aku meratapi kesalahan ini dan berjanji tak akan memandang rendah orang lagi. Tapi janji memang cuma janji. Bayangkan, jika aktor sekelas Roy Marten saja bisa kejebak kesalahan dua kali, apalagi diriku yang pasti bukan Roy. Maka kesalahan yang sama pun terulang lagi. Kali ini menyangkut orang tua yang mengetuk-ketuk pintu rumah dengan kerasnya. Ia orang asing dengan dandanan sederhana dan tak kukenal pula. Maka satu saja tafsirku: ini pasti pencari sumbangan yang memang gemar lalu-lalang di kampungku. Gayanya khas, keramahannya palsu, terbukti jika ditolak ia berlalu sambil menggerutu. Ia juga bisa main gebrak pintu tanpa kenal waktu. Maka melihat orang tua ini yang terus mengetuk-ngetuk pintu itu sudah cukup membuat kesal hatiku. Kutemui dia cuma untuk segera menghardiknya. Tapi alamak, ia ternyata adalah pemilik urusan yang telah lama aku rindu. Ada sebuah urusan yang jika orang ini tak ada, akan menjadi gelap akhirnya. Aku sudah pusing mencari siapa orang ini dan di mana alamatnya, tahu-tahu malah nongol sendiri di rumahku.



Tetapi sungguh, aku lupa bergembira karena telah sibuk didera rasa malu. Ketika ia pamit, aku menatap orang tua itu dengan perasaan remuk redam dan rasa bersalah yang gagal aku ungkapkan. Aku khawatir, buruk sangka adalah jenis ujian yang aku tak kunjung sanggup menamatkan. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this post Sandal Buruk Rupa (2) Tukang sandal ini selalu berhenti di depan rumahku, sehingga terpaksa lahirlah episode Sandal Buruk Rupa bagian yang kedua. Bagian pertama telah terjadi hampir dua tahun lalu, dan tukang sandal itu, hingga dua tahun kemudian berhenti lagi di depan rumahku. Pada mulanya, setiap orang ini lewat dengan sepeda bututnya, dengan kotak kayu di goncengannya dan ia berdiri termangu, aku ganti ikut termangu. Jika tukang sandal dan sol sepatu itu menerawangkan sepinya pekerjaan, aku ganti menerawang betapa ironi masih amat penuh di negaraku. Sementara hanya dengan menulis novel saja JK Rowling memilki kekayaan yang konon melebih kekayaan ratunya sendiri, Elizabeth, sementara dua anak muda Larry Page dan Sergey Brin, dengan ketawa-ketiwi bisa melahirkan Google dan menjadi milyader dunia, di depan rumahku masih ada tukang jahit sandal dan sol sepatu. Melihat profesi penjahit sandal ini aku serasa melihat dinosaurus hidup kembali. Negaraku seperti museum besar, tempat bermacam-macam kehidupan yang cuma layak ada di masa lalu masih hidup hingga kini. Setiap tukang sandal itu termangu, aku juga ikut termangu, itulah kenapa kami merasa harus bertemu. Aku merasa harus beremphati pada orang ini, syukursyukur berbagi rezeki. Maka meskipun tak butuh jasanya, aku cari-cari juga sandal yang bisa ia reparasi. Sekadar untuk berbagi kegembiraan. Telah kuceritakan sekitar dua tahun lalu itu, tentang sandalku yang bagus rupanya tapi lemah jahitannya, yang kemudian aku bengkelkan ke tukang ini. Hasilnya malah membuatku murka. Sandal itu menjadi kuat sekali, tetapi kemudian menjadi buruk sekali. Tukang sandal ini aku marahi habi-habisan. Sandal itu, begitu habis diperbaiki, malah langsung tidak berguna sama sekali. Tukang ini lalu kuberi bermacam-macam kotbah, mulai dari kotbah manajemen sampai kotbah spriritual. Bagaimana ia harus berkomunikasi sampai bagaimana harus mengambil hati pelanggan jika tidak ingin bisnisnya mati. Kemarahanku yang menggila itu cuma menandakan, bahwa sesungguhnya, niatku saat itu memang tidak benar-benar ingin menolongnya, tetapi sekadar mengagumi kedermawananku sendiri. Maka kekecewaanku ganda waktu itu, kecewa pada diriku sendiri, kemudian kecewa pada tukang sandal ini. Tetapi dua tahun kemudian, tukang itu masih juga berhenti di rumahku



dengan ekspresi yang masih sama, masih termangu seperti dulu. Tampangnya masih memelas saja. Aku pun tergoda kembali untuk jatuh iba dan sok ingin berbuat mulia. Ee barangkali ia telah berubah. Telah belajar dari kesalahannya kepadaku dulu. Inul Daratista dan Elvi Sukaesih yang dulu berseteru saja kini sudah duet, kenapa aku dan tukang sandal ini tidak berdamai. Maka kembali kucari-cari sandal yang bisa untuk memberi proyek padanya. Bukan besarnya pekerjaan tetapi niat baik berbagi kegembiraan itulah yang kupikirkan. Di mana ada niat, di situ ada alat. Sandal buruk rupa itu, masih ada juga di rumahku. Maka lagi-lagi untuk yang kedua kali, aku bertransaksi pada tukang ini. Aku sengaja membiarkan dia berbuat apa saja, tak perlu tanya soal harga, toh pasti dia sudah berubah dan aku hendak berbuat baik pula. Ia pasti sudah menjadi lebih baik dan mengerti kebaikan orang lain, apalagi di depan orang yang pernah memarahinya dulu. Tapi abrakadabra, setelah sandal itu rampung, ternyata tarifnya mahal sekali. Lebih tinggi dari harga sandal ini ketika ia kubeli (karena memang sandal murah). Mentang-mentang aku tak bertanya berapa, ia memukul harga seenaknya. Orang ini benar-benar dengan sengaja memanfatakan keadaan. Aku kecewa sekali. Tukang sandal ini ternyata belum berubah. Sakit sekali hatiku ini karena merasa dizalimi. Tepai lebih besar lagi ternyata adalah kekecewaan pada diriku sendiri. Aku ternyata juga belum berubah juga. Masih sok dermawan tetapi sebelullnya hanya ingin mencari kepuasan atas pujian. (/Prie GS) Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this post Labels: sandal buruk rupa Beyonce, Binal, Menggeletar JUDUL tulisan ini saya pungut dari tulisan seorang wartawan atas konser Beyonce di Jakarta, belum lama ini. Sebuah judul yang membuat minat saya atas Beyonce berubah. Saya tak lagi tertarik membayangkan konsernya, tetapi malah ganti tertarik membayangkan imajinasi wartawan ini yang bisa jadi adalah seorang seperti saya: laki-laki. Seorang lelaki yang sedang menonton sebuah konser yang disebutnya sebagai binal dan menggeletar. Waa, ini menarik sekali. Mendengar nama Beyonce disebut saja, saya tak perlu diajari lagi untuk berimajinasi, karena saya juga lak-laki. Apalagi ketika ia disebut binal… menggeletar! Apalagi wartawan ini juga memberitahukan kepada pembacanya tentang gaun super mini, tentang sekujur tungkai, tentang kurva tubuh yang tegas, tentang helai-helai rambut liar yang tersangkut di leher, tentang leher yang basah oleh keringat, yang semuanya terlihat dalam layar besar karena pentas diterangi cahaya 200 ribu watt, tentang bagian bawa gaun yang dilepas lalu dibuang, tentang bagaimana Beyonce menggeletarkan paha, dada dan pantat (yang dalam laporan itu disebut bokong) sambil membelakangi penonton, tentang gaun atasnya yang terbuka lebar. ''Untuk ini tolong Anda bayangkan sendiri,''



tulis sang wartawan. Tulisan ini dahsyat sekali. Saya terpaksa berhenti membacanya, karena sebagai lelaki, saya tak kuat lagi. Alasannya jelas, Beyonce bukan istri saya. Jika seluruh keindahan ragawinya disodor-sodorkan di depan mata saya, sementara ia bukan milik saya, pasti cuma akan membuat saya tersiksa. Hidup di Indonesia ini sudah penuh ujian, maka saya tak hendak menambah-nambah ujian hidup ini dengan cara menginginkan sesuatu yang bukan milik saya, dan mustahil pula saya dapatkan. Mustahil Beyonce naksir saya dan tiba-tiba datang ke kampung saya di sudut kota Semarang sana untuk berkata: ''Tolong Anda poligami, dan jadikan saya sebagai istri muda.'' Maka dengan berat hati, saya akan menghapus imajinasi ini dengan segera karena ia akan membebani hidup saya yang sudah berat ini. Kedua, jika keindahan ragawi yang gegap gempita itu dibaca oleh lelaki yang sedang tidak bahagia dengan istrinya, ia pasti akan menambah beban deritanya. Istrinya, pasti akan makin terlihat reyot di matanya. Dan di depan tongkrongan Beyonce yang muda, gagah dan sentosa itu tentu akan membuat rumah tangganya terasa sepi, karena setekun apapun istrinya mendampingi, meksipun seluruh kesetiaan telah dicurahkan, tapi tak akan mengobati dahaga atas sebuah kebosanan. Dahaga, tapi tak berdaya, aduh alangkah beratnya. Terus, jika keterpanaan atas fisik Beyonce itu disodorkan kepada para artisartis yang telah pensiun, tua dan sepi peran, dibaca oleh perempuan yang sedang grogi dan bersedih karena sedang merasa tidak kebagian kecantikan, pasti akan berisiko menimbulkan luka diam-diam. Karena di hari yang sama saya, di media yang sama, saya juga membaca tentang seorang artis senior yang setiap berkaca, selalu gatal untuk kembali mengencang-ngencangkan kulitnya yang mulai kondor. Sementara di sini ada barisan lelaki yang lemah seperti saya, ada perempuan yang sedang rendah diri dan cemburu, di panggung sana, Beyonce yang kencang sempurna itu, disorongkan untuk mencibir dengan bahagia! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this post Labels: beyonce, binal Haru Lebaran Banyak soal membuat haru hatiku saat lebaran tiba. Misalnya penjaga masjid di kampungku yang selalu menunda pulang mudiknya karena harus menyelengarakan bermacam-macam kegiatan. Mulai dari memimpin anakanak takbir keliling kampung di malam hari sampai menyiapkan perlengkapan shalat Idul Fitri di esok hari. Maka ketika kampung telah sepi, ia masih harus mengepel lantai, menggulung karpet dan memunguti koran-koran bekas untuk alas shalat. Wahai koran bekas itu betapa banyaknya. Padahal jika setiap pembawa itu membawa kembali korannya, gunungan kotoran itu tak akan ada.



Tapi beginilah tabiat kita ini, sambil beribadah pun bisa sekaligus berbuat dosa. Jelas sekali, kenapa ada jenis peribadatan yang rendah saja pengaruhnya bagi perbaikan kelakuan. Kita tetap di sini, seperti ini, tak ada yang berubah juga. Kita adalah pribadi yang sama dengan yang kemarin, yang berani menebar kekotoran tanpa berani membersihkan. Itulah kenapa WC umum selalu buruk mutunya. Masih saja ada orang yang berani kencing tapi tak berani mengguyur. Makanya di WC-WC umum itu, hingga di hari ini, masih saja anjuran yang sebetulnya menghina martabat kita: habis kencing harap diguyur! Jelas anjuran itu pasti akibat dari banyaknya pengencing yang lupa mengguyur bahkan kencingnya sendiri. Itulah kecurigaan saya kenapa Indonesia ini lambat sekali menjadi negara yang sehat. Karena kesehatan itu cuma baru bisa terjadi, jika setiap dari kita sudah sama-sama menjadi pembela kepentingan bersama. Padahal sedang kita lihat, penghancuran kebersamaan itu tengah berlangsung di mana-mana. Soal-soal yang menyangkut tentang keadilan umum kesejahteraan umum, dan ketenteraman bersama sedang ada di titik rendahnya. Sementara yang menyangkut tentang keadilan pribadi, kesejahteraan pribadi dan keadilan pribadi sedang berada di titik tertinggi. Padahal ini tidak mungkin. Karena jika orang membangun ketinggian sambil merendahkan yang lain, ia sesungguhnya sedang berada dalam bahaya. Jika seseorang membangun keluasan sambil menyempitkan pihak lain, sesungguhnya ia tengah bersiap untuk celaka. Jika keseimbangan alam ini terganggu, ia akan meminta keseimbangan itu kembali. Dan jika ini sudah terjadi, tak akan ada kekuatan yang bisa menghalangi. Siapa saja, akan dilumatnya. Tetapi baiklah. Di tengah pameran ego-ego pribadi itu, marilah kita pungut sisa-sisa yang masih ada, soal-soal yang mengharukan hati kita, setidaknya hatiku ini. Biar ia menjadi sedikit penentram dan menerbitkan lagi kerindukan kita atas pentingnya kebersamaan. Di antara sederet soal yang bikin haru itu adalah HP tuaku. Ia tampak terengah-engah menerima berondongan SMS yang terlalu deras untuk ukuran usianya. Sebentar-sebenatar HP ini sudah berteriak bahwa ia tak kuat lagi. Satu-satu ia saya buangi agar bisa menerima SMS lagi. Bukan pekerjaan yang mudah, karena sambil membuang, aku sempatkan untuk membalasnya, dengan sentuhan pribadi. Bukan SMS generik, yang sekali bikin bisa dikirim untuk seluruh umat di jagat raya. Aku tahu pentingnya menyebut nama-nama, menempatakn mereka sebagai pribadi istimewa di hatiku. Aku mengerti hebohnya perasaan pihak yang dihargai. Jika cuma berpikir tentang mode, tentang ketuaan dan tentang gaya, rasanya HP ini sudah layak aku campakkan, karena bahkan anak saya pun enggan menerimanya. ''Itu HP abad Flindstone,'' katanya. Tetapi setiap hendak benda ini, entah kenapa saya selalu teringat logika poligami. Banyak orang menyakiti istri pertama yang begitu besar jasanya cuma karena ia telah peot dan tua.



Maka selama ia masih bisa bersuara dan masih terlihat hurufnya, biarlah ia menjadi teman hidup saya. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Monday, November 26, 2007 0 comments Links to this post Labels: haru, lebaran Saturday, October 20, 2007 Anakku Kena Jotos Dari sekian drama dalam ephos Mahabarata, bagian yang sangat saya suka adalah hubungan antara tokoh Karna dan Arjuna, dua kesatria yang samasama tampan, sakti, jagoan, mulia hati, tetapi harus bermusuhan hingga salah seorang di antara mereka ada yang mati. Bukan kematian yang mudah kita setujui, karena sesungguhnya keduanya adalah saudara, kakak beradik, satu ibu, beda bapak. Dua saudara yang harus saling mematikan cuma karena sebuah alasan. Alasan itu di tangan seorang dalang maestro seperti Ki Narto Sabdo misalnya, akan segara akan menjadi drama yang mencekam. Saya menyimpan kaset dalang ini di dalam mobil sebagai kelengkapan. Ia saya jadikan teman setiap kali melakukan perjalanan. Begitu sering saya menyetelnya, tetapi selalu teraduk perasaan saya ketika bagian pertemuan antara Karna dan Arjuna itu tiba. Jika ada dua perbedaan di antara dua saudara ini ialah watak Karna yang lebih pemberang. Ketika bertemu adiknya untuk pertama kali, ia cemburu setengah mati karena reputasi Arjuna sebagai jagoan. Sang jagoan itu dilabraknya, dihajarnya habis-habisan tanpa si adik itu mau membalas, karena ia malah jatuh sayang pada musuh yang ternyata memang kakaknya sendiri itu. Dari awal, hubungan kaka beradik ini memang sudah penuh dilema. Dan Ki Narto Sabdo berhasil menghadirkan dilema itu seperti di depan mata. Sosok Arjuna, yang meskipun sakti mandraguna, pada dasarnya adalah anak yang berfisik kecil kurus, lembut hati dan selalu pilih mengalah. Membayangkan si kurus itu dihajar habis-habisan tanpa melawan entah mengapa suka menerbitkan air mata saya. Saya tidak menyangka, jika bagian paling saya sukai itulah yang belum lama ini terjadi pada anak lelaki saya. Ia masih kelas tiga SD, dan kebetulan kecil dan kurus serta pendiam pembawaannya. Ia biasa menyelesaikan persoalan cuma dengan kata, bukan dengan kekuatan fisiknya. Jika tak setuju, ia cukup diam saja. Jika ia kecewa, tahu-tahu cuma matanya yang berkaca-kaca. Maka setiap kali mengantarnya ke sekolah, saya melepas dengan rasa cemas membayangkan betapa akan lemah ia di hadapan kenakalan teman-temannya. Hingga suatu hari bayangan buruk itu malah terjadi. Anak saya dilaporkan kena jotos. Saya langsung gemetaran dan segera menghentikan seluruh



pekerjaan saya. Apalagi saya tahu, di kelasnya memang ada anak yang selama ini dikenal nakal, bongsor tubuhnya, dilatih bertinju pula oleh bapaknya. Jotosan petinju itulah yang kabarnya singgah di tubuh anak saya. Waktu kabar itu saya dengar, air mata saya meleleh tak terasa. Bayangan wajah anak saya yang lemah dan kalah menghajar imajinasi saya. Apa saja rasanya ingin saya lakukan agar bisa segera melindungi anak saya. Ingin rasanya saya terbang secepat kilat menemuinya, untuk segera melindunginya sekuat yang saya bisa. Padahal setelah ketemu saya kaget dengan imajinasi saya sendiri karena ternyata ia jauh lebih dramatik katimbang kenyataannya. Karena ketika saya sedang gemetaran sedemikian rupa, anak itu sudah berlari dan tertawa-tawa seperti galibnya anak-anak. Pemukulan itu tak lebih dari sebuah insiden khas anak-anak dan merupakan bagian dunia permainan mereka belaka. Sementara saya bereringat dingin oleh pikiran buruk, anak saya sudah kembali bergembira menatap dunia. Hati-hati dengan imajinasi. Jika ia kelebihan porsi, dunia yang sesungguhnya terang benderang ini bisa kita bayangkan sebagai sedang gelap gulita! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Saturday, October 20, 2007 4 comments Links to this post Tuesday, September 25, 2007 Berkah Seorang Penipu Bulan puasa memang bulan penuh berkah. Begitu penuhnya berkah itu sehinga mengalir ke mana-mana termasuk kepada para penipu. Misalnya tamuku ini, seorang yang seluruh tampilannya meyakinkan sehinga kepadanya aku tidak menaruh kecurigaan. Inilah kesalahan pertamaku, terintimidasi oleh penampilan. Kesalahan ini mestinya membuatku malu. Kenapa malu? Karena terpedaya oleh penampilan ini, hanyalah pintu dari sebuah mata rantai kekeliruan berikutnya. Jika tidak percaya, baiklah aku ceritakan saja urut-urutan imajinasiku. Karena penampilan yang meyakinkan, aku percaya orang ini menguntungkan. Jadi jelas sekal watakku ini, gembira menemui tamu, cuma jika dia dianggap menguntungkan. Padahal yang aku bayangkan sebagai keuntungan itupun datang dari jenisnya yang mestinya aku malu mengaku karena agak tidak bermutu. Jangan-jangan orang ini hendak menawarkan kerjasama untuk sebuah proyek raksasa, misalnya. Atau minimal , ia adalah panitia seminar yang hendak mengundangku bicara di sebuah tempat megah dengan honor raksasa. Maklum, aku memang doyan bicara, sekaligus doyan duit pula. Saking seringnya aku bicara dan dibayar dengan duit sebagai imbalannya, setiap orang asing yang datang kepadaku, menggoda cuma kubayangkan hanya dari satu jurusan; ia duit bagiku!



Maka dengan segenap gairah aku menemuinya. Basa-basi seperti biasa dengan ending yang kubayangkan seperti lazimnya. Begitulah memang gaya orang menemuiku. Maklum, sudah lama aku mengemas diriku ini sebagai orang penting. Maka jika tidak sepadan dengan kepentinganku, jangan harap menemuiku. Jadi hanya orang-orang penting yang datang membawa kabar penting saja yang akhirnya datang kepadaku. Jika tidak, ia hanya akan mendapat murkaku. Orang ini, siapapun dia, pasti sudah mengerti rumus ini. Untuk itulah aku berkenan menemui. Aku gembira dengan basa-basinya. Tertawa lepas bersama. Tak perlu saling mengerti nama karena bahasa tubuh kami berdua, sudah menggambarkan kesejajaran ini: kami sama-sama orang penting. Apalagi aku sudah terbiasa dimanja. Orang lain telah jamak mengerti namaku lebih dulu. Merasa terkenal itulah akibatnya watakku. Jadi aku sudah terbiasa bicara berlama-lama untuk kemudian berpisah tanpa mengerti dia siapa. Aku malu sebetulnya mengakui sifat ini. Tapi demi kejujuran, aku terbuka saja kepadamu. Ee siapa tahu ada orang lain yang wataknya seperti aku. Tapi astaga, makin lama aku melayaninya, basa-basi itu tak pernah jelas ujungnya. Makin ia dilayani, makin panjang belaka kelakarnya. Padahal aku sibuk sekali. Kesibukan ini bisa kuperlonggar asal hasilnya memadai. Cuma dengan kalkulasi itulah aku sudi melayani berlama-lama orang ini. Maka ketika sampai hitungan bermenit-menit belum menunjukkan keuntungan akan tiba, jiwaku mulai gelisah. Sebagai orang yang sudah kepalang sok mulia, tak elok rasanya aku mengipas-ipas perkara, memanciing-mancing agar rahasia ini segera terbuka. Aku harus tetap terlihat sebagai pribadi yang anggun. Harus jaim sempuran meskipun hatiku mulai meronta-ronta. Maka ketika makin lama orang ini makin tidak jelas maksudnya, kemarahanku mulai membara. Ia bukan cuma mengganggu waktuku tetapi juga menipuku. Dosanya sungguh tak terampunkan jika sampai akhir pertemuan orang ini ternyata memang tidak membawa keuntungan yang aku bayangkan. Tetapi inilah deritaku, dengan cara apa kemarahan ini hendak kusalurkan ketika aku sudah memulai dengan kesalahan. Sejak awal aku sudah kepalang ramah, kepalang mulia, dan berlagak suka menerima tamu siapa saja. Maka untuk tiba-tiba murka hanya karena tamu ini tidak membawa keuntungan apa-apa, adalah soal yang aku tak mungkin melakukannya. Jalan satu-satunya adalah mengakhiri pertemuan ini baik-baik dan melanjutkan pekerjaanku. Naah baru di saat itulah terbuka seluruh rahasia. Orang ini diam-diam mengambil sesuatu dari tasnya dan menyodorkan kalender sera jadwal puasa untuk dibayar suka rela. ‘’Saya edarkan secara terbatas, hanya kepada orangorang yang baik hatinya,’’ katanya gembira. Saya bayar barang itu segera dengan uap mengepul di kepala dan senyum ramah merana. Tapi selebihnya adalah pertanyaan keras kepada diriku sendiri; orang ini seorang penipu, atau aku sendiri yang mudah tertipu oleh harapan-harapanku (Prie GS) Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 2 comments Links to this post



Dua Jam Sebelum Keberangkatan Sebelum atlet berlaga, harus melakukan peregangan. Sebelum kendaraan diberangkatkan, mesin harus dipanaskan. Sebelum menulis sajak, penyair harus duduk dan terdiam. Maka sebelum berangkat kerja, manusia juga butuh kesiapan. Pemanasan mutlak hukumnya bagi sebuah pergerakan. Tetapi saya curiga, tidak semua kita yang hendak bekerja, berangkat dengan kesiapan. Maka kerja yang tidak siap itulah sumber aneka persoalan. Hanya karena soal sederhana, seorang pekerja yang tidak siap, akan mudah terbakar kemarahan. Kalau ia seorang atasan: bawahan terlambat akan terasa sebagai hinaan. Dering telepon akan serasa gelegar petir dan klakson di jalan akan terasa seperti bentakan. Jika ia seorang bawahan, maka ia akan tegang cuma deru mobil atasan. Ketika atasan memanggil ke ruangan, ia seperti hendak masuk arena uji nyali. Ketika atasan ia lihat untuk pertama kali, ia seperti melihat penampakan. Cuma karena ketidaksiapan yang soal-soal sederhana menjadi begitu beratnya. Maka jika ingin kuat, bersiaplah! Begitulah cara saya menasihati diri sendiri. Nasihat ini butuh ditegaskan berulang-ulang, karena saya tahu benar siapa diri saya ini. Saya pasti bukan orang pemberani. Maka untuk berani saya pasti butuh kesiapan. Saya bukan orang yang selalu jujur. Maka untuk jujur, saya butuh latihan. Saya bukan orang ramah, maka agar bisa ramah, saya butuh kegembiraan. Berangkat setelah siap, itulah kata kuncinya. Kesiapan akan membuat kegembiraan. Dan kegembiraan akan mengalirkan bermacammacam kekuatan. Kuat ramah, kuat jujur, kuat derma. Sulit sekali untuk ramah jika hati kita tidak gembita. Sulit sekali berbuat jujur kalau hidup ini penuh persoalan. Sulit sekali kita berderma kalau hari sedang tidak rela meskipun sedang banyak uang di kantong kita. Kesiapan akan mudah memantik kegembiraan, kegembiraan mudah melahirkan kekuatan. Dan kesiapan itu, sepanjang pengalaman saya, cuma butuh cara-cara sederhana, misalnya cukup dengan menyediakan waktu minimal dua jam sebelum keberangkatan. Karena setelah bangun tidur, untuk tenang, seseorang butuh terdiam, demi mengembalikan kesadaran, menata nafas dan pikiran, baru mengerjakan lain-lain persoalan. Mandi dengan tenang, minum kopi dengan tenang, dan maka pagi dengan tenang. Bahkan makan minum yang kehilangan ketenangan, cuma setara dengan memasukkan barang ke dalam keranjang. Jika jarak antara tidur dan kerja itu cuma sekejap saja, saya tak bisa membayangkan mutu keberangkatan seperti apa yang ia dapatkan. Itulah kerja yang dibekali dengan mandi yang buru-buru, makan yang buru-buru, di jalan yang buru-buru dan semua soal yang berwatak buru-buru. Sepanjang yang saya tahu, tidak ada hasil bermutu dari sebuah proses yang buru-buru. Bahkan di jalanan pun, jika kita buru-buru, tak ada yang nikmat dari sebuah perjalanan kecuali siksaan.



Seluruh obyek di jalanan cuma seperti hambatan. Jika ada orang yang terlalu pelan, ia tampak seperti menggoda. Jika ada orang menyalip sembarangan ia seperti menantang. Dan siapapun yang sedang menghalangi jalan ia sah untuk disingkirkan. Seluruh isi jagat raya ini sepertinya tengah keliru cuma karena kita sedang buru-buru. Ada banyak mutu hidup yang kita pertaruhkan, cuma karena sebuah ketidaksiapan. Dan membangun kesiapan itu ternyata sederhana: cukup dimulai dengan kebiasaan bangun setidaknya dua jam sebelum keberangkatan. (Prie GS) Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 0 comments Links to this post Labels: keberangkatan Ada Rossi di Televisi DUA keharusan ini datang bersamaan. Yang satu adalah keharusan mengetik karena tuntutan pekerjaan, dan satunya lagi adalah keharusan menonton karena kesukaan. Dari dua keharusan ini siapakah yang harus didahulukan? Mestinya, saya mendahulukan pekerjaan. Tetapi nyatanya tidak. Ternyata saya lebih mendahulukan yang kurang penting katimbang yang penting untuk kepentingan diri saya sendiri. Persoalannya ialah, kenapa ada soal penting yang tiba-tiba menjadi kurang penting dan yang kurang penting tiba-tiba menjadi penting. Jawabannya ialah karena ada Valentino Rossi sedang balapan di televisi. Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja saya? Toh jika ia menang balapan, saya tak kebagian hadiahnya. Jika ia juara saya juga tak ikut menjadi berprestasi karenanya. Dia bukan teman, tetangga apalagi saudara. Apapun yang dia kerjakan mestinya tak saya pedulikan karena bahkan mengenal saya pun dia tidak. Tapi kenapa orang yang sama sekali asing ini sanggup menghentikan kegiatan mengetik saya. Padahal kalau Rossi tahu, betapa penting pekerjaan saya ini. Karena mengetiklah saya bekerja dan menghidupi anak istri saya. Jika mutu hidup Rossi tergantung balapannya, mutu hidup saya pun tergantung dari ketikan saya. Mestinya saya lebih berkonsentrasi pada prestasi saya sendiri katimbang prestasi dia. Saya pikir, betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi pada prestasi orang lain. Orang lain yang balapan kita yang teriak-teriak di pinggir jalan. Orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa untuk kirim SMS. Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian rupa, jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang, kita ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama sekali tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya hingga ke tampuk juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia kala. Sementara orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai pemandu sorak saja.



Maka mestinya, ketika Valentino Rossi itu sedang balapan, saya juga harus terus ngebut dengan pekerjaan saya sendiri. Ini soal hidup dan mati. Tetapi kenapa, selalu ada orang-orang yang kita biarkan mengganggu laju prestasi kita seperti ini. Saya pun tak kuasa mengelak dari dorongan ini. Dorongan untuk menghentikan seluruh kegiatan diri sendiri, betapapun pentingnya, demi merayakan prestasi orang lain, tak peduli ia adalah orang yang asing dalam hidup kita, bukan tetangga, bukan saudara. Tetapi jika orang itu seperti Rossi, yang berani menikung dengan kecepatan tinggi, yang start di belakang tapi finish di depan, yang sanggup menyalip di tikungan, yang kalah di depan tetap selalu menang di belakang… tak peduli apapun tugas saya saat itu, saya rela berhenti untuk menghormati kemampuan ini. Saya dengan gembira menghentkan semua urusan demi melihat Muhamamd Ali bertinju, Mariah Carey dan Celine Dion menyanyi. Muhamamd Ali itu rela dipukuli si raksasa George Foreman sepanjang pertandingan dan membalas cuma beberapa pukulan untuk membuat si raksasa itu tumbang. Ketika Foreman bangun, bel pertandingan berdentang sebagai akhir pertandingan. Ia kalah dan gelarnya melayang. ''Butuh waktu setahun untuk kembali tidur nynyak,'' kata Foreman mengenang kekalahan yang menyakitkan itu. Saya menonton berulang-ulang rekaman pertandingan ini hingga hari ini. Dan Mariah Carey, dengan suara empat oktafnya, dengan tenggorokan tanpa cela, jika ia sedang menyanyi, kupu-kupu terbang pun rela berhenti. Malah siapapun engkau, jika memiliki prestasi semempesona ini, akan saya rayakan setiap kali, dengan cara menghentikan sejenak kesibukan ini dengan senang hati. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Tuesday, September 25, 2007 0 comments Links to this post Labels: rossi televisi Tuesday, September 04, 2007 Sherina dan Indonesia SEANDAINYA anak-anak Indonesia berkesempatan tumbuh seperti Sherina..., begitu pikirku suatu kali. Sejak lama anak itu membuatku termangu. Sejak usia SD kelas dua ia telah menggemparkan Indonesia dengan lagu anak-anak yang tak biasa. Lagu yang bahkan orang tua pun berat menyanyikannya. Lagu yang amat dewasa, amat berselera tetapi tanpa menganggu masa kanakkanaknya. Anak itu tetaplah anak-anak, tetapi dari jenisnya yang berbeda. Keberanian meneguhkan perbedaan ini, sungguh menggugah rasa hormatku, terutama pada keluarganya. Di usai sedini itu, bahasa Inggrisnya telah baik sekali. Ia tampak mungil nyelip di antara sosok-sosok Westlife yang raksasa ketika boysband itu datang ke Indonesia. Tetapi anak ini berdialog dengan mereka seperti kepada teman sepermainannya. Ini sebuah syiar yang menggugah kepada anak-anak di



negaraku yang terancam inferior oleh kekuatan asing. Lalu terbayanglah di benakku tokoh Haji Agus Salim yang kecil dan kurus tetapi begitu sampai di podium langsung berubah menjadi singa. Terbayang Sutan Syahrir dengan fisik yang seadanya, tetapi dengan isi pikiran seluas Indonesia Raya. Ketika Sherina main film, aku diseret putriku untuk ikut antre berdesakan cuma untuk bisa menontonnya. Aku terharu melihat film ini. Bukan karena terhasut pada ceritanya, melainkan karena terhasut imajinasiku sendiri. Melihat akting Sherina yang alamiah dengan pipi segembul mangga muda, aku menoleh untuk melihat putriku sendiri. Anak yang lahir dari kemampuan kami yang sederhana. Kepadanya belum bisa kuberikan kursus balet, kursus bahasa, kursus piano, kursus vokal, kursus wushu... seperti yang telah diperkenalkan kepada Sherina sejak balita. Kepada anakku, paling banter baru bisa aku ikutkan kursus menghitung cepat yang pernah jadi wabah itu. Begitu cepatnya kemampuan menghitung itu hingga kalkulator sendiri tak berdaya melawannya. Tetapi sebelum kecepatan anakku dalam menghitung itu benar-benar menggila, aku telah menghentikannya. Aku ketakutan jika kecepatan menghitung itu sudah dia punya, tetapi yang dihitung ternyata tidak ada. Aku mungkin tidak sangup memberikan seluruh kursus terbaik pada anakku. Tetapi setidaknya aku masih bisa mengajarkannya untuk tidak mudah tertipu, sibuk mengajaknya menghitung barang-barang yang bukan miliknya. Aku tidak ingin anakku ngebut dan bergaya di jalan raya dengan sepeda motor yang tengah macet angsuran kreditnya. Kini Sherina telah dewasa, tetapi rasa cemburuku pada keluarganya malah kian bertambah saja. Seandainya seluruh keluarga di Indonesia memiliki kesempatan serupa, anak-anak di negeri ini, tentu lebih mudah bergembira, lebih mudah menemukan dirinya. Di album terbarunya, album remajanya yang pertama, kekuatannya sebagai anak muda itu hadir penuh. Ia menghapus seluruh bayang-bayang masa kecilnya tanpa harus menjadi pemberontak yang marah. Tidak seperti pejabat baru yang bahkan membenci hingga ke kursi yang diduduki pejabat lama. Sebuah pemberontakan yang tenang, pasti dan amat percaya diri yang cuma mungkin muncul dari pribadi lengkap lauk pauk hidupnya. Inilah yang di dalam industri agro adalah hasil dari teknik sonic bloom itu. Bahkan tanaman pun jika kepadanya diasupkan nutrisi organik, didengarkan bunyi-bunyian yang selaras dengan habitatnya akan segera merangsang pertumbuhannya. Pasti tidak semua anak Indoneisa punya berkesempatan tumbuh selengkap Sherina. Tetapi jika setidaknya mereka tumbuh dengan cinta yang semestinya, anak-anak itu, pasti akan mudah menemukan kehidupannya. (/Prie GS) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this post Labels: sherina dan indonesia



Turangga Titihan Sekaring Bawana Di alun-alun Kota Magelang terdapat patung Pangeran Diponegao sedang berkuda. Saya sudah terkesima dengam patung ini bahkan ketika baru lancar membaca. Apa hubungannya patung ini dengan bacaan? Karena sebuah tulisan di bawahnya: turangga titihan sekaring bawana. Artinya: kuda tunggangan kembang dunia! Saya terpana pada kalimat itu. Di kali yang lain, di alun-alun ini saya pernah kehabisan uang dan kelaparan. Patung itulah yang menggugah saya dengan semangatnya. Dalam pandangan saya waktu itu, patung ini adalah karya seni yang sempurna. Kuda itu gagah sekali. Jika kudanya saja gagah, apalagi penunggangnya. Itulah Pangeran Diponegoro, tokoh yang namanya memaksa penyair seangkuh Chairil Anwar harus menulis sajak untuknya. Tokoh yang makamnya amat jauh dari kota kelahirannya. Saya pernah berziarah di makam itu, di Makasar sana dan merenung: hidup dan mati memang sedekat urat leher. Tapi jarak antara tempat kelahiran dan tempat kematian bisa seluas samudera. Di patung itu, Pangeran tampak gagah di atas kuda, matanya tajam sambil jarinya menunjuk ke kejauhan. Itulah jari yang barangkali sedang menuding preman-preman pribumi yang mematoki tanah suadaranya sendiri atas perintah Kumpeni. Dan meskipun Diponegoro menunjukkan kemarahnnya sejak tahun 1825 atas premanisme, watak itu masih merajalela hingga kini. Pemilik jari itulah yang di Magelang, mencium untuk pertama kali bahaya pejajahan. Penciuman semacam itulah yang saya sebut sebagai visi. Tapi meksipun indera penciuman atas pejajahan itu telah ia ajarkan sejak lama, keterjajahan masih berlangsung hingga kini. Karena harga yang jatuh di pasar bursa Amerika, rupiah pula yang ikut menangung derita. Kita yang memiliki tambang, tetapi kepada kita cuma kebagian bagi hasilnya. Kita kembali pada kalimat itu, turangga titihan sekaraning bawana, kuda tungangan sang kembang jagat itu. Pada imajinasi saya watu itu, turangga adalah pihak yang menjadi daya tarik pertama saya. Terlebih lagi kalimat ini memang mendahulukan sang kuda katimbang penunggangnya. Ada apa dengan kuda, pikir saya. Oo, bukan sembarang kdua, melainkan kuda tunggangan seorang kesatria yang menggemparkan Indonesia. Seorang yang lahir dari desa kecil tetapi harus membuat Belanda menguras brankas untuk membiaya sebuah perang yang melelahkan. Diponegoro memang kalah, tetapi tak surut kekaguman saya kepadanya karena selalu ada kekalahan yang juara. Dan kepada para juara, ada kehormatan penuh yang siaga senantiasa. Dan sang Juara itu telah memilih kudanya. Ia seperti Michael Scumacher yang telah memilih mobil Formulanya. Bahkan kursi kemudinya pun pasti layak dikoleksi. Maka patung kuda itu bisa saya tetap berlama-lama. Karena tidak sembarang mobil Scumacher sudi menaiki. Tak sembarang kuda Diponegoro mau menunggangi. Ia pasti kuda yang dalam bahasa KiTimbul, dalang sepuh



Yoga, sebagai kuda yang sudah katara, katari dan katarimah, kuda yang sudah terlihat, terseleksi dan akhirnya terterima. Kuda yang baik, memang langsung katara, terlihat dari tongkrongannya, begitu juga orang yang baik. Tetapi tongkrongan saja bisa menipu jika ia tidak katari, jika tidak diteliti, ditawari, diseleksi, diuji, digosok, digesek, dan dipoles sedemikan sampai akhinya lolos dan katarimah, diterima, disetujui dan percayai. Patung kuda itu memang memenjara saya dalam kekaguman karena bahkan ia disebut pertama dan baru menyusul penunggangnya. Tapi ternyata selalu ada pihak yang sengaja disebut pertama cuma untuk menegaskan kehormatan pihak kedua. Jadi di manapun nomor urut Anda, tak penting benar sepanjang Andalah pemilik kehormatan itu. Ia akan mengalir ke mana-mana. Walau orang lain disebut pertama, percayalah, ia cuma untuk mengingatkan Anda sebagai pusatnya. Jadi jika engkau telah menjadi kembang jagat raya, apa yang ada di dekatmu, akan menjadi terciprati harumnya tak peduli ia cuma seekor kuda. (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this post Labels: turangga titihan sekaring bawana Tentang Tiga Perjalanan Dua kali acara TV itu terlihat, dua kali saya mendapat nasihat. Ia tentang seorang pesohor muda yang melengkapi rumahnya dengan fasilitas untuk berkumpul banyak orang. Ketika tamu di rumahnya itu sebagian besar adalah anak-anak inilah kurang-lebih pernyataannya: ''Perjalanan yang paling mulia adalah perjalanan ke tempat ibadah. Perjalanan paling baik adalah perjalanan ke tempat kerja. Dan perjalanan paling menentramkan adalah perjalanan menuju rumah.'' Di hari yang lain, di acara dan televisi yang sama, yang juga terlihat secara tak sengaja saya dengar pernyataannya. Saat itu, ia sedang kedatangan tamutamu tuna netra; ''Kita semua memliki tiga mata. Mata beneran untuk melihat, mata hati untuk merasa, dan mata kaki untuk melangkah menuju perbuatan.'' Saya mengagumi anak muda ini, tapi soal dia akan saya tulis lain kali. Kita langsung menuju nasihatnya saja. Kita mulai dari nasihat pertama, tentang tiga jenis perjalanan itu, perjalanan termulia, yakni berjalan ke tempat ibadah. Jadi barang siapa rampung beribadah tidak juga menjadi mulia, berarti yang mulia cuma perjalanannya. Manusianya bisa tetap seperti sedia kala. Perjalanan kedua adalah perjalan terbaik, yakni ketika seseorang berangkat kerja. Jadi kerja adalah pusat kebaikan. Maka jika ada orang bekerja hasilnya



malah masuk penjara, ia pasti sedang mengingkari hakikat pekerjaannya. Jika ada sopir bus masih tega mengencingi pintu busnya sendiri, dan jika ada pegawai enggan merawat kendaran dinasnya, ia tak layak mendapat kebaikan dari pekerjaannya. Perjalanan ketiga, ini menurut saya perjalanan yang tidak cuma menentramkan tetapi juga menyenangkan yakni berjalan menuju rumah, pulang, kepada keluarga. Maka barang siapa punya rumah dan keluarga tetapi tidak memiliki ketenteraman, sesungguhnya ia sedang tidak memiliki apa-apa. Maka siapa saja yang bermain api dengan keluarganya, ia sedang berjudi dengan hidup dan matinya. Padahal sejauh pengamatan saya, untuk mengakses kebahagaian keluarga ini cuma butuh tindakan-tindakan sederhana. Saya, misalnya, langsung mendapatkan kebahagiaan yang nyaris penuh dari istri saya, ketika ia saya biarkan mengerti seluruh duit yang saya peroleh dan kepadanya sering saya perintahkan mengobrak-abrik dompet saya. Hasilnya luar biasa. Ia segera mengggap saya sebagai lelaki setia dan terpercaya karena tak butuh ''uang laki-laki''. Di masa lalu, uang laki-laki ini biasa ditaruh di lipatan kaos kaki, di saku-saku rahasia dan di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Tujuannya jelas, agar ia digunakan sesuka hati tanpa diketahui istri. Dampak uang laki-laki ini ternyata dahsyat sekali, terutama jika ia dipergoki. Istri bisa berimajinasi macam-macam dari imajinasi ringan, berat atau sedang. Imajinasi ini sungguh biang bahaya karena sudah dibimbing oleh bibit ketidakpercayaan. Di mata istri, kenapa suami menyimpan uangnya secara sembunyi hanya punya satu alasan: semua ini cuma demi kepentingannya sendiri. Dan ego semacam ini hanya mungkin dijalankan dengan dua cara: secara diam-diam atau dengan menyiapkan kebohongan. Dan inlah bahaya bohong, ia tidak mengenal berat dan ringat karena jika ketahuan selalu meninggalkan bekas yang dalam. Batu pertama untuk saling tidak percaya telah diletakkan. Hidup bersama yang sudah tidak saling mempercayai adalah sumber dari seluruh tragedi. Jika serumah sudah tidak saling percaya, maka di dalam satu selimut pun tidak akan saling meraba. Ketika inilah rumah akan berubah fungsi dari pusat ketentraman menjadi pusat kegaduhan. Seseorang yang gagal menentramkan rumahnya sendiri, sulit untuk diharap membuat kebaikan di dalam pekerjaan dan membuat kemuliaan di dalam peribadatan. ( Prie GS/cn05) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this post Labels: perjalanan Saat Aku Terima SMS-mu SMS di hari ini adalah Pak Pos di masa SMP ku dulu. Bahkan cukup hanya mendengar bel sepedanya, sudah cukup membuat gemetar jantungku. Aku



sudah mulai jatuh cinta saat itu dan surat-suratan adalah keasyikan tertinggiku. Maka menunggu balasan surat adalah ketegangan utamaku. Masih bersepeda Pak Pos saat itu dan seragamnya berwarna kelabu. Gesit, cepat dan berburu waktu. Maka ketika ia cuma berlalu, kecewa sekali hatiku. Begitulah perasaanku sekarang terhadap SMS setiap ia menyalak di HP ku. Kedatangannya kusambut dengan degup jantung. Saat-saat hendak membukanya adalah saat-saat yang penuh dengan teka-teki. Dan inilah pesona teka-teki; ia mendebarkanku. Dari siapa, kabar apa yang ia bawa! Itulah selalu gairah yang tersimpan di bawah sadarku. Setiap SMS yang masuk adalah cuplikan dari misteri besar di depan yang gelap gulita. Maka mencungkil sedikit-demi sedikit kegelapan di depan untuk menjadi serpihanserpihan terang di hari ini, pasti sebuah keadaan yang menegangkan. Maka jika bunyi SMS itu tak lebih dari kabar yang biasa-biasa saja, hambarlah hatiku. Apalagi jika SMS itu hanya berisi kabar generik, yang bias dikirim juga ke sembarang orang, tak penting, tak mendesak, akan kecewalah hatiku. Di SMS aku butuh kiriman-kiriman yang sangat pribadi. Kalau pun ia bukan penting, sepanjang ia ada namaku, hanya untukku, ia akan menghibur hatiku. Dari caramu mengirim SMS, aku akan segera menentukan apakah engkau bisa segera menjadi temanku. Jika SMS punuh singkatan, aku akan mengangapmu sebagai orang yang kikir. Aku jelas bukan orang yang bahagia mendapat sahabat kikir seperti itu. Cuma kata-kata saja engkau hemat demikian ketatnya. Jika engkau sedang tak punya waktu, lebih baik tundalah. Di negaraku ini sudah terlalu banyak singkatan untuk soal-soal yang tidak perlu. Malangnya, untuk hal-hal yang mestinya perlu disingkat, malah di panjangpanjangkan. Jadi jika, singkatan SMS mu itu hanya menggambarkan pribadi seperti itu, aku tidak gembira menyambutmu. Ketahuilah, betapapun bagus kata-katamu dalam mengirim ucapan, jika itulah kata-kata yang juga engkau kirim ke sembarang orang, aku akan menyambutnya dengan dingin. Karena tidak ada unsur aku di dalam kirimanmu itu. Di mataku, engkau sedang menyamaratakan aku sebagai barang recehan. Susah payah aku meyakinkan diriku bahwa aku adalah sebuah pribadi. Memang aku tidak lebih hebat dari orang lain, tetapi aku juga pasti tidak lebih rendah. Tetapi ini bukan soal tinggi dan rendah. Ini cuma soal ''aku''. Inilah repotnya; dalam beberapa urusan, keakuan ini penting aku munculkan. Teman yang tidak memahami kedudukanku sebagai pribadi, adalah teman yang tidak peka. Dan ia pasti bukan teman yang mengasyikkan karenanya. Sesingkat apapun engkau mengirim SMS-mu, sesingkat apapun waktu yang engaku punya, sebutlah namaku dalam SMS mu. Maka aku akan merasa menjadi pribadi yang istimewa. Sebagai akibatnya kau akan kusimpan di dalam hatiku sebagai pihak yang lembut hati dan penuh rasa hormat dengan sesamamu. Aku tidak sedang gila hormat. Tetapi aku jelas membutuhkan kehormatan karena ia menghidupkan, membuatku bergairah dan merasa berharga.



Maka jika ada SMS masuk, aku akan berdebar-debar membukanya. Sebetulnya aku tidak selalu mengharapkan kabar gembira, karena hidup memang tidak cuma berisi kegembiraan. Aku bahkan rela-rela saja jika SMS itu dikirim oleh seorang penipu. Dari pihak yang mengatakan aku adalah seorang pemenang hadiah dan begitu hadiah itu langsung aku dermakan kepadanya, orang ini malah kecewa! Tapi jelas, aku pasti tidak sedang membicarakan para penipu. Aku sedang membicarakan engkau sebagai sahabat yang bisa menggembirkaanku cukup dengan soal-soal sederhana dan cuma sedikit butuh waktu. Percayalah, aku juga akan melakukannya untukmu! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this post Labels: sms Paku Di Kepala Itu… Seorang ibu memaku kepala anaknya sendiri. Adakah ia ibu yang kejam? Tidak. Karena ia juga memaku kepalanya sendiri. Jika pun ia dianggap kejam, ia juga pasti kejam tidak cuma kepada orang lain, tetapi juga kepada dirinnya. Kepada seseorang yang tengah kehilangan kendali atas diri sendiri, ia tak bisa ditutut untuk punya kendali atas orang lain, walau ia adalah anaknya sendiri. Sambil kepala yang berpaku itu ditayangkan televisi, penyiar menyebut penyebab itu semua adalah tekanan ekonomi. Walau mungkin, saya tidak mudah mempercayai komentar ini. Izinkan saya meduga lebih jauh lagi. Dugaan saya ini berawal dari fakta bahwa kemiskinan bisa saja membuat seseorang menjadi gila. Tetapi faktanya tidak semua orang miskin otomatis gila. Sebagian di antaranya baik-baik saja mentalnya, sebagian di antaranya malah tetap berwatak mulia. Ada orang miskin yang menemukan dompet dan berkeras mengembalikan tanpa sedikitpun menyentuh isinya. Ada pedagang kecil yang terancam bangkrut tetapi ringan saja memberi uang pada orang terlantar yang kebingungan untuk pulang. Ada tukang sepatu keliling yang pantang menilep uang kembalian meskipun pelanggan telah melupakan. Panjang daftar orangorang kecil yang tidak cuma tetap kuat tetapi juga mulia ini. Bahwa miskin itu berat, iya. Tetapi bahwa menjadi miskin otomatis harus menjadi kalap, tidak! Maka meskipun kemiskinan itu berat, ia tak otomasti harus menjadi sumber kekalapan. Dari mana orang miskin bisa menemukan kekuatannya? Pasti bukan dari duitnya, melainkan harus dari prinsip-prinsip hidupnya. Tahu diri, adalah prinsip yang pertama. Miskin tapi merokok, naa ini tak tahu diri. Bapak dari anak yang dipaku itu adalah seorang satpam. Tak ada yang keliru dari profesi satpam. Ini pekerjaan terhormat. Bahwa kemungkinan penghasilnya kurang, bisa saja. Benar, gaji satpam bisa jadi tidak mencukupi.



Tetapi jika gaji kecil adalah alasan untuk boleh memaku kepala anak sendiri, kepala anak-anak satpam di Indonesia akan berpaku seluruhnya. Nyatanya tidak. Banyak kehidupan satpam, meskipun sederhana tetapi baik-baik saja. Mereka tetap berteman gelak tawa bersama keluarga. Jadi meskipun miskin itu berat, tetapi untuk tetap kuat, adalah sebuah kemungkinan. Maka menjadi kuat dan lemah itu, adalah pilihan. Persoalnnya, banyak orang yang memang memilih menjadi lemah tanpa sengaja. Misalnya, sudah tahu cekak penghasilan tapi besar keinginan. Sudah ngerti menganggur suka berjudi. Sudah tahu miskin masih suka memukuli istri. Saya dengar, satpam yang satu ini juga suka main pukul kepada istrinya. Jadi bisa dibayangkan betapa berat derita wanita itu. Bersuamikan pria miskin sendiri sudah kemalangan, apalagi tambah pula dipukuli, jadi ganda sengsaranya. Miskin tapi mesra, itu bisa! Cuma tidak mereka lakukan. Maka tengoklah orang-orang sederhana yang memilih bahagia itu. Para satpam yang tetap tenteram hidupnya itu. Mereka ada dan jelas di depan mata kita. Karena sudah memilih, mereka pasti sadar membayar harganya. Gajinya yang tak seberapa pasti hanya untuk membiayai yang perlu-perlu saja. Bahkan jika untuk membiayai kekeliruan, seorang yang berduit pun bisa dipersalahkan, apalagi bagi yang cekak penghasilan. Sudah miskin, ngawur pula. Apakah ada? Banyak sekali. Kemiskinan banyak dipersalahkan padahal biang masalah itu bernama kelakuan! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this post Labels: paku di kepala Meditasiku yang Gagal Saya selalu senang melihat orang-orang yang berpembawaan tenang. Saya malah suka terpesona melihat orang-orang yang begitu mudah tidur. Masuk mobil langsung tidur. Sementara penumpang lain tegang pada keganasan jalan raya, orang ini malah mendengkur dengan kerasnya. Enak betul. Begitu juga dengan penumpang pesawat yang satu ini: masuk, menemukan kursi, memasang sabuk pengaman dan pulas seketika. Salama perjalanan ia cuma bangun sekali, yakni ketika ia digugah pramugari, itupun cuma bangun untuk tidur lagi. Sementara penumpang lain sibuk tegang berada di ketinggan, sementara ada penumpang yang sejak pesawat naik hingga turun tak hentihentinya berdoa, orang yang satu ini baru benar-benar bangun setelah pesawat sampai ke landasan. Jika pesawat itu meledak berkeping-keping di udara misalnya, orang ini pasti pihak yang paling menikmati situasinya. Bahkan jika harus mati pun, kematian itu bukan soal yang menyakitkan karena ia sedang tertidur begitu nyenyaknya untuk bangun dan tersadar ketika kematian tiba. Enak betul. Telah banyak diceritakan tentang kematian orang-orang suci yang begitu rileks caranya dan



sebagian di antaranya, konon meninggal sambil tertidur. Apakah orang yang mudah tertidur adalah indikasi orang suci? Entahlah. Tetapi suci atau tidak, tidur dengan mudah adalah anugerah! Kebetulan saya mengerti betul betapa enaknya tidur nyenyak, betapa tidak enaknya tak bisa tidur dan betapa capeknya tidur tak nyenyak, karena ketiga keadaan ini sering saya alami. Untuk menjadi orang yang tidak bermutu yang mudah uringan-uringan, suka mengutuki keadaan dan merasa bernasib malang, saya tidak memerlukan musibah besar, melainkan cukup hanya dengan kekurangan tidur. Sebaliknya, bangun dari tidur yang bermutu sungguh mendorong kita untuk mudah bergembira. Batuk tetangga pun akan terdengar merdu di telinga. Maka kekaguman aaya kepada orang-orang yang tenang dan mudah tertidur sungguh tak terbantahkan. Begitu ada kesempatan tak tahan bagi saya untuk menanyakan resepnya. Ada di antara meeka yang mengaku memiliki bakat tidur alamiah, tetapi ada yang karena rajin berlatih. Meditasi adalah salah satunya. Naa, meditasi itu pula yang akhirnya menjadi keinginan saya. Di mata saya, ahli meditasi, adalah orang yang selalu berhasil mengembalikan keadaan, betatapun gentingnya, ke dalam ketenangan. Hidup selala berselancar di pantai yang tenang, di semilir angin dan kedamaiman lembah amboi, betapa indahnya. Itulah hidup yang selalu dijalankan dengan senyum mengembang, dengan kesabaran yang terjaga dan kebijaksanaan tanpa henti. Itulah senyum yang jejaknya saya temui pada diri para bijak dan empu-empur rohani yang membuat saya iri. Karena iri saya pun tergoda untuk berlatih meditasi di pagi dan petang. Begitu saya telah duduk bersila nafas tenang saya alirkan, bibir ini saya senyum-senyumkan bak orang-orang bijak itu. Pada dua tarikan nafas pertama saya benar-benar serasa telah mejadi bijak. Tapi tarikan nafas berikutnya mulai seret dan nafas selanjutnya malah berkembang seperti orang terserang asma. Bayangan orang bijak dengan senyum sabar itu sudah bergeser ke pekerjaan yang semalam tertunda karena sebuah kelelahan. Ooo, meditasi ini serasa salah waktu, karena pagi ini mestinya saya sau harus merampungkan sebuah tulisan yang sudah ditunggu. Jadi betapapun baik saya merampungkan meditasi ini, betapapun tenang jiwa ini oleh sebuah kontemplasi, tetapi telah jelas hitung-hitungannya: bahwa sehabis meditasi, pekerjaan yang semalam sudah tertunda itu akan makin buruk saja keadaannya. Sebentar lagi pasti akan ada telepon yang menagih, dan saya harus menyiapkan alasan pembenaran. Setelah alasan saya berikan orang itu pasti akan kecewa meskipun mencoba memahami. Tetapi meskipun dipahami, saya pasti merasa besalah di dalam hati. Sebagai gantinya, saya pasti akan ngebut merampungkan keterlambatan ini. Dalam suasana seperti itu, jangankan menjadi orang bijak, bahkan tidak mengutuk menyumpah kanan-kiri pun sudah merupakan keberuntungan.



Maka meditasi saya itu malah cuma berbuah kekacauan. Saya putuskan bangun secepatnya untuk mengetik dengan kesetanan dan sepakat mendahulukan pekerjaan. Begitu telepon berdering, pekerjaan sudah saya rampungkan. Hasilnya saya lega, tenteram dan gembira luar biasa. Oo inilah agaknya hasil meditasi yang sesungguhnya. Maka rumus menentramkan diri itu ialah: merampungkan pekerjaan pada waktunya, menghindari masalah secepatnya dan hidup dengan sedikit mungkin masalah! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 1 comments Links to this post Labels: meditasi Memperpanjang Nafas Keluarga Saya pernah mengatakan sumber stres utama di zaman ini adalah jalan raya. Kini, pernyatan itu saya koreksi sendiri bahwa sumber stres utama itu adalah keluarga. Terutama keluarga yang kita biarkan menjadi buruk mutunya. Karena seberat-beratnya jalan raya menekan kita dengan kemacetannya, ada keluarga yang akan menyambut kita dan meredakannya. Jalan raya hanyalah bagian dari hidup, sedang keluarga adalah seluruh hidup. Maka jika rusak mutunya, akan rusak pula seluruh hidup. Karena cukup hanya dengan memiliki bapak yang otoriter, seorang anak merasa rumahnya adalah neraka. Pulang adalah kata yang ia takuti karena rumahnya cuma mendatangkan satu perasaan saja: ketidaktenteraman. Kemanapun matanya memandanng ke sekujur ruangan, hanya akan terlihat wajah bapaknya yang selalu keruh, penuh perintah dan hardikan. Maka hidup di luaran menjadi keasyikan. Sebagai sesama lelaki dan seorang bapak, saya pasti juga memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi orang tua horor semacam itu. Suatu kali watak ini saya simulasikan di rumah. Anak-anak saya minta membayangkan bapaknya sebagai bapak yang kejam. Pertama saya minta mereka mengimajinasikan bagaimana jika bapaknya kawin lagi. Baru diminta membayangkan saja jeritan sudah terdengar di sana-sini. Tapi permintaan ini serius. Saya meminta mereka meneruskan imajinasinya. Bahwa sejak hari ini, bapakya sudah memiliki ibu baru yang lebih muda, lebih cantik dari ibu mereka. Dan hari-hari bapaknya akan terbagi dengan pemberatan di istri mudanya. Jika pagi hari, bapak ini tidak lagi punya kesempatan untuk mengantar mereka kesekolah lagi, ikut mencarikan topi dan dasi dan menjemput mereka jika pulang nanti. Ketika telah sampai ke rumah, mereka hanya akan mendapati kamar-kamar yang sepi, ibunya yang makin lama makin terlihat tua, tertekan dan uring-uringan lalu gagal mengurus diri. Sementara di rumahnya kekacauan makin hari makin meninggi, mereka malah mendapat bocoran bahwa bapaknya sedang membangunkan rumah baru untuk ibu tiri mereka. Ibu muda itu sedang mengandung pula dan bersiap memiliki



bayi, membangun keluarga kecil baru, bermain, bergembira seperti keluarga mereka dulu. Kini keindahan mereka yang dulu telah berpindah ke rumah baru itu. Hasilnya, ibu mereka makin hari makin termakan oleh kesedihan dan fisiknya tinggal kulit berbalut tulang. Jika sesekali bapaknya datang untuk menengok dan mendapati istrinya sudah demikian layu dan porak-poranda, hanya satu keinginannya: berbalik secepatnya ke rumah istri muda. Kalaupun reaksi ini memunculkan kemarahan seluruh keluarga, si bapak ini akan membalasnya dengan kemarahan. Apa saja akn dibantingnya. Gelas-gelas, foto-foto hingga asbak. Saya betul-betul memeragakan bantingan ini. Saya membanting bantal dengan keras ke lantai dan meminta mereka membayangkan sebagai bola kritsal yang di rumah saya tidak ada. Saya bahkan melempar pesawat televisi yang sedang menyala dengan kaos kaki dan meminta mereka membayangkannya sebagai granat. Simulasi ini berjalan sempurna. Karena sebelum saya melanjutkan imajinasi gila ini anak-anak sudah memekik-mekik histeris. Selanjutnya mereka sudah menghambur ke ibu mereka yang dalam benak barusan sedang menjadi pihak yang amat teraniaya. Jika mereka gagal menangis, lebih karena secepat mungkin kami merubahnya menjadi gelak tawa. Anak-anak ini takjub bukan main demi melihat ibu tercintanya masih utuh, masih segar bugar dan tidak diitnggal kawin suaminya. Anak-anak ini kami ajak merasakan sensasi betapa walau rumah mereka kecil dan sederhana, masih penuh dengan cadangan gelak tawa. Kami setiap kali berimajinasi tentang kengerian, agar kebahagiaan di dunia nyata yang sedang kami miliki ini, tidak kami lupa. (/Prie GS) Posted by Prie GS at Tuesday, September 04, 2007 0 comments Links to this post Labels: keluarga Thursday, June 14, 2007 Buah Pisang yang Hilang Buang pisang di kebun kecil kami raib diserobot pencuri. Kepada kami cuma ditinggalkan bekas-bekasnya, ceceran kotoran bekas cacahan di mana-mana. Semakin kami pandangi aneka kotoran ini semakin kami merasa terintimidasi. Mencuri ya mencuri, tetapi ya jangan sambil meledek seperti ini. Kotoran itu, seperti sengaja diacak-acak sedemikian rupa agar efek kehilangan ini lebih terasa. Maka setiap memandangi serpihan itu, yang terbayang adalah serpihan hati kami sendiri. Tetapi yang disebut kami itu sebetulnya cukup diwakili oleh Bapak saya. Kebun sepetak itu adalah ladang kegembiraan di masa tuanya. Beliau pula yang merawat, mencintai dan memperlakukan kebun itu sebagai teman di hari tuanya, tak terkecuali pisang yang hilang itu. Setiap detail pertumbuhan pisang ini, tidak lepas dari pengamatannya. Ketika ia sudah mulai berbunga dan menongolkan jantungnya, Bapak berkabar dengan gembira. ''Pisang di kebun kita mulai ada hasilnya,'' katanya waktu itu.



Pisang ini melulu yang ia bicarakan setiap saya berkunjung kepadanya. ''Sudah mulai muncul buahnya,'' kata Bapak. ''Kau perlu menengoknya,'' tambahnya. Saya biasanya selalu mengiyakan dan pura-pura gembira terhadap tema ini walau pikiran saya sebetulnya mengembara ke mana-mana. Ke sejumlah pekerjaan yang belum usai, ke rencana-rencana yang masih terbengkalai, ke target-target hidup yang memenuhi benak. Maka persoalan pisang itu pasti menjadi tema yang menyebalkan jika yang berbicara bukan bapak saya. Di hari-hari berikutnya, pisang ini lagi yang menjadi tema wajib dialog kami. ''Ia telah membesar. Beberapa minggu lagi telah bisa dipotong. Tengoklah kalau ada waktu,'' katanya. Lama-lama saya penasaran juga. Toh jarak kebun itu hanya sekelebatan dari rumah, maka tak ada salahnya menengok buah yang menjadi isu terpanas dalam keluarga besar kami. Woo boleh juga. Ranum, mulus, dan penuh. Buah ini tumbuh sempurna dan dari pisang jenis kesukaan saya pula. Kini ganti sayalah yang bersemagat bicara tentang pisang ini. ''Ini panen pertama sejak kebun ini jadi milik kita,'' kata saya kepada istri. ''Nanti ajak anak-anak menengoknya,'' kata istri. ''Tengok sekarang juga!'' teriak anak-anak. Pisang ini, telah menjadi kegemparan di rumah kami. Sampai kemudian hari penentuan itu tiba. Kami telah menghitung hari. Bapak adalah pihak yang pasti amat cermat soal ini. Mulai dari membangun rumah, menentukan hari perkawinan saya, sampai hari kapan menegur buah pisang, tak pernah lepas dari hitung-hitungan ''hari baik'' Bapak. Tetapi mungkin karena saking telitinya menghitung, Bapak malah kalah cepat dengan pencuri yang ternyata juga memiliki hari baiknya sendiri. Pisang kebanggaan kami lenyap, dan yang tinggal hanya cacahan kotoran di sanasini. Saya melihat Bapak yang terpukul dan amat kecewa. Saya mengerti betul kekecewaan jenis ini. Karena ada saja pagar-pagar yang lebih baik dibiarkan kosong, padahal ia bisa dirembeti oleh tanaman anggur, tetapi batal dilakukan cuma karena jika ia berbuah, kita khawatir kalah cepat dengan pencuri. Ada seorang yang memlih menebang pohon buahnya, karena tak tahan melihat betapa pohon ini tak pernah tenteram dari gangguan. Ketimbang diganggu, lebih baik sama sekali tidak menanam. Dari pada sakit hati, lebih baik semuanya tidak makan. Begitulah kejamnya kekecewaan ini, sehingga seseorang merasa lebih tidak menanam sama sekali, dan puncaknya; lebih baik sama-sama tidak makan! Saya dan Bapak saya pasti juga tidak terlepas dari kekecewaan semacam ini. Cuma kami berdua sepakat untuk saling menyemangati, ayo tanam lagi, meskipun akhirnya cuma untuk dicuri lagi. Karena jika jika seseorang enggan



membangun cuma karena takut rusak, enggan mandi cuma karena takut kotor lagi, ogah makan cuma karena pasti lapar lagi, bumi bisa berhenti berputar dan kehidupan akan macet. Maka pisang yang hilang ini membuat kami malah menjadi semangat sekali. Belum pernah terjadi dalam hidup kami, pencuri malah menyemangati kami seperti ini! Posted by Prie GS at Thursday, June 14, 2007 0 comments Links to this post Labels: Buah Pisang yang Hilang Wednesday, May 09, 2007 Ketika Sopir Sakit HARI itu sopir kami sakit dan pemberitahuannya yang mendadak membuat saya kacau sekali. Ini artinya, pagi hari itu saya harus mengantar anak-anak sekolah sendiri, harus mencuci mobil sendiri, harus menyetir sendiri, menembus kemacetan sendiri, mencari tempat parkir sendiri. Duh Gusti di pagi itu saya gundah sekali. Kegundahan pertama karena saya bukan pengemudi yang terampil. Melihat lalu lalang kendaraan di jalanan, disalip dari kanan dan kiri, dan menghadapi keganasan jalan raya, bukanlah bakat saya. Saya bisa mengetik berjam-jam di depan komputer tetapi untuk terengah-engah dengan keringat dingin berleleran cukup hanya dengan waktu setengah jam menyetir sendiri di jalanan. Hari itu, saya menghadapi ujian berat. Maka ketika mobil hendak saya keluarkan dari garasi, dengan kantuk semalaman masih jelas tersisa, dengan bayangan jalan raya yang penuh keganasan, sejuta penderitaan sudah membayang. Kemarahan saya terhadap beban ini membuat saya bersiap untuk marah kepada apa saja. Kepada istri yang rasanya terlalu lambat berkemas-kemas, kepada anak-anak bersepeda yang tahu saya hendak memundurkan mobil tetapi malah menghalangi jalan dengan begitu santainya. Terakhir saya marah luar biasa kepada sopir kami, yang meskipun ia sopir setia, tetapi kenapa harus sakit salah waktu. Sakit ya sakit, tetapi kenapa harus hari Senin, hari ketika saya sangat tidak siap untuk mengerjakan ini semua. Sepagi itu, kemarahan sudah nyaris mengepul di kepala. Belum lagi jika saya bayangkan, sehabis tugas mendadak ini rampung, berarti ada tugas rutin yang terpaksa molor waktunya. Jika tugas rutin itu molor, maka pertemuan dengan kolega itu akan berubah pula agendanya. Jika agenda itu berubah, maka soalsoal yang sudah rapi tertata harus di bongkar ulang. Repotnya sungguh tak terbayangkan. Tetapi ketika kemarahan itu hendak memuncak bahkan sebelum saya benarbenar mengerjakan seluruh kerepotan itu, saya melihat anak-anak saya yang sepagi itu telah rapi dengan seragam sekolahnya, dengan bekal makan



minum, dan kesigapan menyambut tugas. Astaga! Betapa lama saya tidak mengantar mereka ke sekolah, tugas yang sebelum sopir kami ada, selalu menjadi tugas saya. Betapa tiba-tiba saya teringat tentang pagi-pagi ketika kami selalu berada di jalanan bersama-sama. Melepas mereka ke sekolah, berdada-dada dari kejauhan dan menatap anak-anak dengan perasaan bangga, khawatir dan gentar. Bangga, karena kami dianugerahi putra-putri yang sehat lahir-batin. Saya dan istri bukanlah pasangan yang sempurna. Penuh cacat dan kesalahan, brengsek dan sering tidak bermutu. Tetapi bahwa dari pasangan yang tidak bermutu seperti kami, Tuhan tetap menganugerahkan anak-anak yang baik membuat kami tersipu dan terharu. Melihat anak-anak dari kejauhan dengan tas sekolah di punggungnya, adalah juga melihat kekhawatiran jika kelak kami tidak sanggup membimbingnya ke arah yang semestinya. Betapa anak-anak tidak cuma membutuhkan arah yang jelas, tetapi juga keteladanan dan nasib baik. Sanggupkah kami memberi arah yang jelas, sementara untuk mempertegas arah kami sendiri saja masih begini repotnya. Sanggupkah kami memberi keteladanan jika kami sendiri masih tergoda oleh banyak sekali keburukan. Ketiga adalah perasaan gentar itu, karena untuk apa kami punya arah yang jelas, punya keteladanan, jika tanpa nasib baik. Seideal apapun keluarga Anda, Anda tidak bisa mencegah ancaman gempa bumi yang bisa membuat seluruh kampung kita porak-poranda dan risiko perang nuklir yang mengancam kita kehilangan orang-orang tercinta. Aduh… aduh… sepagi itu, imajinasi saya sudah merayap ke mana-mana. Sehingga tanpa sadar, anakanak itu sudah saya lepas masuk ke kelas-kelas mereka dan di mobil tinggal saya berdua dengan istri tercinta, mirip ketika dulu kami sedang pacaran saja. Gara-gara sopir sakit, saya kembali menemukan keindahan-keindahan lama yang nyaris terlupa. Maka kenapa harus takut kerepotan mendadak seperti ini, jika ia ternyata adalah pintu-pintu untuk menemukan kembali kebahagiaan yang hilang. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Wednesday, May 09, 2007 0 comments Links to this post Labels: ketika, sakit, sopir Saturday, April 28, 2007 Kejengkelan Di Rumahku Aku amat mencintai rumahku karena di sanalah terkumpul semua kecintaanku. Tetapi bukan rumah sebagai sumber cinta yang hendak aku bicarakan, melainkan bahwa rumah ternyata juga sebagai sumber kejengkelan. Karena ternyata apa yang kita cintai adalah apa yang juga mendatangkan kejengkelkan.



Lalu bagaimana mengelola perasaan jengkel ini jika ia datang dari pihak yang kita cintai? Belajar cinta pada kejengekelan inilah yang kemudian yang menjadi pekerjaan rumah terbaruku di hari-hari ini. Di rumah selalu saja ada soal-soal yang menurut kita keliru. Barang yang salah letak, nonton televisi yang salah waktu hingga masakan istri yang salah bumbu. Daftar kejengkelan ini bisa bertambah panjang jika kita telah memasukkan pula kesalahan-kesalahan pembantu. Apalagi bersama kami tinggal seorang pembantu yang seluruh perilakunya mengundang kami untuk segera memecatnya. Pembantu ini begitu sopannya pada kami, begitu takutnya pada kami, tetapi adalah pihak yang begitu membangkangnya pada perintah-perintah kami. Jadi bagaimana mungkin ada seorang yang begitu takut, tetapi begitu penuh pembangkangan. Jika kami meminta dia jangan membuang barang-barang sembarangan tanpa lapor dulu, ia selalu mengiyakan, tetapi selalu melakukan apa yang kami larang. Selalu ada saja barang-barang kami yang hilang karena agresivitas pembantu kami ini dalam melakukan pembersihan. Rumah memang menjadi bersih, termasuk bersih dari barang-barang yang aku butuhkan. Kami nyaris putus asa menghadapi pembangkangan yang sopan ini. Suatu kali kami sepakat untuk memberhentikannya ketimbang setiap hari makan hati dan dibuat gila oleh kebandelannya. Tetapi pembantu ini seperti memiliki sihir gaib. Setiap kali ia datang kami memang sudah jengkel luar biasa, bahkan baru melihat kemunculannya. Kedatangannya selalu cuma berarti membongkar kembali tumpukan kejengkelan kami. Tetapi anehnya, begitu ia pulang kami selalu diserang rasa iba luar biasa. Menatapnya berjalan, sendiri, kemudian lenyap di tikungan jalan, adalah pemandangan yang menganggu kami setiap kali Pemandangan itu membuat kami sejenak melupakan seluruh kesaahannya dan yang tinggal hanyalah fakta-fakta berikut ini: bahwa hidup orang itu, cuma tergantung pada kami. Padahal dari kami pun, ia cuma mendapat upah sekadarnya, sekadar umum orang lain dalam membayar pembantunya. Dan kami tahu, jumlah itu amat jauh dari mencukupi untuk seluruh kebutuhan hidupnya lengkap dengan keluarganya yang juga cuma tergantung kepadanya. Jadi membayangkan bahwa ia selalu berada dalam sebuah keadaan yang selalu darurat setiap hari, membuat kami melupakan seluruh kejengkelan yang tidak penting ini. Karena kenapa kepada pihak yang sudah begitu penuh beban, kami malah tega meminta banyak sekali. Kenapa jika upah yang kami berikan rendah saja, kami meminta pelayanan yang tinggi. Ini pasti tidak adil. Akhirnya kami menempuh cara yang agak tidak lazim kepada pembantu yang unik ini. Kami tidak cuma gagal memecatnya, tetapi malah mencoba bergembira dengan seluruh kesalalahnnya.



Jika ia kembali melakukan kesalahan yang sama, aku malah meminta istri untuk menyediakan upah ekstra ketika ia telah rampung bekerja. Tentu saja istri melotot pada awalnya. Tetapi segera kujelaskan alasannya: Mudah saja memberikan kegembiraan kepada pihak yang memang menggembirakan hatimu. Tetapi sanggupkah kamu menggembirakan pihak yang menjengkelkanmu, begitu kataku, yang tak lebih adalah kataku pada diriku sendiri! Mudah untuk berderma ketika hati sedang gembira, tetapi sanggupkah kita memberi ketika hati kita sedang begitu marahnya? Sulit, amat sulit! Tetapi kami tertantang untuk kuat melakukannya. Maka kami bukan cuma batal memecat pembantu ini, tetapi juga malah sering memberinya tips ekstra ketika hati kami sedang jengkel kepadanya. Ia juga selalu kami tempatkan sebagai pihak penerima oleh-oleh pertama sehabis kami dari luar kota. Ia kami pertahankan di rumah kami karena menjadi guru terbaik kami dalam berteman dengan kejengkelan. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Saturday, April 28, 2007 0 comments Links to this post Labels: kejengkelan di rumahku Monday, April 09, 2007 Ciuman Salah Waktu JIKA Anda orang tua, risiko ini akan dekat dengan Anda, karena contoh ini saya pungut dari pelaku yang sebenarnya. Pertama ketika secara tanpa dosa, anak Anda mengorek-orek dinding mobil dengan benda tajam, padahal mobil itu baru dan kreditan pula. Jika ini terjadi, hati-hati, penyakit kalap bisa menyerang Anda. Tak peduli betapa pun polos anak Anda, tak peduli bahwa ia sesungguhnya tidak bermaksud merusak mobil keluarga, melainkan merasa cuma sedang menggambar, melukis dengan hati gembira di sebuah kanvas yang menurutnya adalah ruang yang bebas terbuka. Tak tebersit di dalam benak anak itu merusak sebuah mobil, apalagi mobil baru, apalagi mobil milik bapaknya, apalagi belum lunas pula. Tapi semua ini tak cukup kuat untuk menahan sikap kalap orang tua yang tengah terluka itu. Karena luka di mobil itu setara dengan luka di hati kita, yang bekerja keras sedemikan rupa untuk bisa membeli barang kesayangan dan belum genap kegembiraan ini berjalan sempurna telah diorek-orek pula. Maka tak peduli anak sendiri, anak kesayangan pula, luka di mobil itu adalah dorongan yang gegap gempita untuk minimal membentak sang anak dengan teriakan termarah yang kita punya. Maka anak yang sedang bergembira akan segera melotot matanya oleh perasaan kaget luar biasa. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar untuk kemudian surut ke belakang dengan sikap gemetaran. Sebuah rasa takut yang



bukan cuma datang tiba-tiba, tetapi ketakutan yang sungguh tak ia sangkasangka. Ingatlah kenakalan masa kecil Anda, dan ingatlah sebuah rasa takut akibat kemarahan sekitar yang timbul karenanya. Kita begitu takut karena sama sekali tak pernah menduga bahwa yang kita lakukan adalah sebuah kekeliruan. Kita menyangka semua itu tak lebih dari kegembiraan bagi akal kita yang masih cekak dan terbatas. Saya pernah menyimpan sebuah pengalaman dahsyat di usia prasekolah, yang karena jasa kakak-kakak, saya telah bisa membaca. Sebuah keberuntungan? Bisa jadi. Tetapi bahaya segera menyelinap di baliknya. Seorang remaja kampung, ia telah remaja, seorang berandal muda mestinya, tetapi memilik kenakalan yang cerdas, karenanya amat berbahaya. Ia semula memuji kemampuan saya dan saya senang atas pujiannya. Selanjutnya ia menoreh di tanah berdebu tiga huruf besar-besar dan saya diminta membacanya keraskeras. Didorong keinginan unjuk kebolehan, saya dengan gembira melakukannya. Saya baca huruf itu dengan teriakan yang memenuhi sekujur desa. Apa yang terjadi, selepas saya berteriak, anak itu lari meninggalkan saya sendiri yang kemudian didatangi banyak orang, di antararnya adalah orang-orang tua. Orang-orang ini mengabarkan kepada saya sebuah berita yang mencekam, bahwa saya bisa masuk penjara karenanya. Kenapa? Karena tiga huruf yang saya teriakkan keras-keras itu adalah nama sebuah partai terlarang, yang di saat itu, cuma karena menyebut namanya saja sudah berarti bencana. Saya masih mengingat betapa seperti lenyap tulang belulang saya. Hari berikutnya badan saya demam oleh pukulan batin yang teramat sangat. Ya, anak-anak itu, termasuk penggores pintu mobil itu, atau seluruh kenakalan anak-anak kita, bisa jadi tak lebih dari sebuah kegembiraan baginya. Tetapi siapa peduli kegembiraan anak jika korbannya adalah barang-barang yang tengah begitu menyedot seluruh konsentrasi kita. Maka kepada anak yang tengah kita anggap berdosa ini kadang tak cukup hanya diganjar dengan bentakan. Kadang itu perlu tamparan di pantat, jeweran di telinga atau malah tempelengan di kepala. Begitu kalapnya sehingga ketika sadar kita cuma bisa terpana. Padahal tak mudah meminta maaf kepada anak karena tak sedikit dari kita adalah para orang tua yang jaim dan tak biasa melakuan permintaan maaf secara terbuka. Maka yang bisa kita lalukan hanyalah menangis diam-diam. Memandangi si anak ketika ia telah lelap tertidur dan menciuminya dengan segenap perasaan remuk redam. Saya percaya kualitas tangisan penyesalan seperti ini, karena tak ada dari kita yang tidak mencintai anak-anak kita. Tetapi tidakkah ciuman semacam itu menjadi sesuatu yang nyaris percuma, karena sementara kita mencium, anak itu sudah begitu terlelapnya. Ketika hati kita tengah porak-poranda, anak itu sama sekali tak menangkapnya, karena penyesalan itu, ciuman itu, datang di waktu yang keliru, ketika anak sama sekali tak pernah mengetahuinya.(Prie GS/)



Posted by Prie GS at Monday, April 09, 2007 1 comments Links to this post Labels: anak-anak, ciuman, penyesalan, salah, waktu Keponakan dari Desa Suatu kali keponakan saya datang dari desa dengan motor dan tas penuh meninggi di punggungnya, isinya adalah hasil kebun kakak saya: buah petai! Buah yang baunya jauh lebih menggemparkan dibanding rasanya. Jumlahnya membuat saya terpana dan karena banyaknya saya berencana membagibagikan juga ke tetangga. Ada banyak alasan, pertama menyenangkan tetangga adalah pekerjaan yang menggembirakan. Kedua, makan petai enaknya harus bersama-sama. Ini baru adil. Karena jika engkau makan, aku cuma kena baunya, ini kejahatan, karena bau petai ini memang jahat sekali. Saya bukan penggemar petai, tetapi juga tidak anti sama sekali. Tapi intinya ialah bahkan bau pesing pun kalau itu hasil produksi bersama pasti jauh dari pertengkaran. Tetapi bukan soal petai itu yang akan saya ceritakan, melainkan kedatangan keponakan yang salah waktu itu, meskipun ia datang hendak membagi kegembiraan. Tetapi itulah waku yang saya sedang diburu-buru pekerjaan. Komputer baru saja menyala dan sebuah tulisan buru-buru harus dirampungkan. Pada saat seperti ini, tak ada soal yang lebih penting selain melihat agar tulisan itu lekas jadi. Maka kedatangan keponakan saya dari jauh itu tak lebih dari gangguan. Hampir saja saya menyelesaikan persoalan ini dengan cara praktis, menyapa secukupnya, meminta maaf karena saya sibuk, meminta dia ambil makan dan minum sendiri dan begitu pulang saya cukup memberinya uang saku seperlunya. Hampir saja! Tetapi kemudian saya begitu marah kepada diri sendiri. Komputer itu segera saya matikan. Ini pasti bukan karena saya terlalu sibuk. Ini pasti karena di mata saya, pekerjaan adalah satu-satunya soal yang terpenting di dunia. Pekerjaan benar-benar telah bersiap menjadi berhala. Saya tanya kepada diri saya sendiri dengan perasan marah, apakah dunia akan kiamat kalau pekerjaan ini sejenak saya hentikan? Tidak! Keponakan itu datang dari jarak hampir seratus kilo, dengan beban berat di pungungnya. Dari daerah pegunungan yang pasti membuat ia harus melawan dingin dengan geraham gemeretak dan bibir kebiruan. Dan ia tidak akan singgah lama, karena setelahnya ia harus pergi meneruskan urusannya sebagai anak muda. Saya tidak tahu, berapa kali momen persaudaraan seperti itu akan terulang. Tetap saya tahu, selama bumi berputar, cuma sekali saja saya akan melihat keponakan ini bermotor, menembus hawa dingin, dengan beban menggunung di punggung, demi mengantar oleh-oleh petai dari desa kepada om-nya. Cuma sekali! Dan yang sekali itu pun cuma akan disambut dengan sekadar sapaan seperlunya dan kebaikan basa-basi. Untung saya segera habis-habisan



mendamprat diri sendiri! Komputer itu saya pelototi dengan marah untuk saya bunuh dengan tega dan dengan segera saya temui keponakan yang ketika kecil saya gendong-gendong itu. Saya pandangi dia hingga tas itu merosot dari pungungnya. Saya tongkrongi ketika dia melepas jaket-jaketnya. Saya duduk di depannya. Saya tak peduli ketika ia cuma diam saja. Ia telah tumbuh besar. Dia membesar, saya menyibuk. Perkembangan ini telah membuat kami terancam saling asing. Tapi meskipun kami saling terdiam, saya mengirim pesan yang jelas untuknya. Ia tahu, saya tengah menyambutnya, menghargai kedatangannya dan menerimanya. Pesan ini pelan-pelan membuatnya nyaman. Maka setiap pertanyaan tentang kabar di desa, tentang kuliahnya di kota, tentang aktivitasnya, ia jawab dengan hati yang hidup dan gembira. Saya segera mendengar seorang anak-anak yang haus bercerita. Benar, ada segudang cerita yang ia ingin orang lain mendengarnya, terutama pasti orang-orang terdekatnya. Cerita itu akan menjadi barang beku, jika saya, om-nya, orang tuanya, orangorang terdekatnya, cuma sibuk dengan dirinya sendiri. Kesibukan yang keterlaluan kepada diri sendiri, telah membuat banyak orang-orang yang mestinya kita sayang menjadi korban. Mereka kesepian, gagal tumbuh dan beku. Pertemuan kami tak lebih dari setengah jam. Saya mengantarnya hingga ia lenyap dengan sepeda motornya di pengkolan jalan. Ia pasti pulang dengan hati gembira dan pesan yang jelas di jiwanya: bahwa om-nya ini, masih menyayanginya! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Monday, April 09, 2007 0 comments Links to this post Labels: keponakan dari desa persaudaraan silaturahmi Sunday, March 25, 2007 Semua Benar, Semua Salah Saya takjub pada perilaku seorang gubenur yang mengaku amat jarang memakai sopir pribadi ini. ''Dengan sopir saya jadi seperti orang lumpuh,'' katanya. Sikap gubernur ini saya kagumi sekaligus menyakiti saya. Jika perilaku gubernur itu serasa menyindir, maka pernyataannnya itu malah sudah menampar saya. Karena apa? Untuk mempekerjakan sopir pribadi, saya tidak perlu menunggu jadi gubenrur, dan tak perlu lebih dulu menjadi orang kaya. Sopir dan mobil saya pernah sama-sama tua-tuanya. Tidak pantas sebetulnya dengan mobil setua itu bersopir pribadi. Malu juga saya mestinya. Tetapi jika keputusan bersopir itu saya batalkan, berarti akan ada begitu banyak waktu saya buang untuk mencuci mobil yang sudah tua itu,



mengantarnya ke bengkel setiap kali, karena semakin tua sebuah mobil akan semakin akrap ia dengan bengkel. Merawat mobli tua, rasanya nyaris setara dengan merawat bayi. Jelas, hidup saya pasti cuma akan habis dirampas benda ini. Saya tidak sedang menganggap pekerjaan mencuci dan mengelap mobil itu hina. Melainkan karena saya sedang mengawasi dengan keras desain mental saya sendiri; adakah pekerjaan ini saya ambil lebih karena saya gagal membedakan mana yang penting mana yang mendesak. Begitu sayangnya saya kepada mobil tua itu, sehingga saya bisa menunda kesempatan saya bercanda dengan keluarga, misalnya. Menemani anak-anak saya tidur, saya pikir jauh lebih menggembirakan katimbang mencuci mobil malam-malam akibat hujan seharian. Tapi saya pasti juga tidak tega menganiaya mobil tua yang sudah berjasa itu. Maka harus ada orang yang menjaganya. Atau jangan-jangan pekerjaan itu saya lakukan lebih karena saya ingin menjadi orang yang begitu hematnya. Bahkan mencuci mobil pun harus dilakukan sendiri karena akan menyelamatkan anggaran. Termasuk membongkar pasang rodanya pun kalau perlu harus dikuasai sendiri karena melatih kemandirian. Saya bukan anti penghematan dan kemandirian, tetapi saya ngeri jika menjadi orang yang kesulitan membedakan mana hemat, mana kikir. Mana kemandirian mana kekonyolan. Tapi alasan pertama itu sesungguhnya masih saya anggap sederhana. Jika terpaksa, saya masih sanggup melakukannya. Jika perlu, saya bisa menyiapkan alasan pembenaran. Tetapi begitu alasan pembenar itu saya adu dengan alasan saya yang sejujurnya, niat bersopir pribadi itu saya teruskan juga. Alasan paling jelas ialah ketika melihat jumlah manusia menganggur begitu banyaknya, termasuk saudara, sahabat dan tetangga. Saya tidak ingin mejadi tontonan, karena sementara mereka begitu menganggurnya, saya begitu sibuknya. Ini pasti karikatur sosial. Lepas dari bahwa Anda tidak bermaksud sok mulia, membiarkan ketidak seimbangan lingkungan adalah keputusan berbahaya. Apalagi sebetulnya, selalu ada dorongan dari manusia untuk berbuat mulia, tak terkecuali saya. Dorongan ini harus didengar, dirawat dan dibesarkan karena ia adalah sumber kegembiraan. Maka tidak malu saya jika harus dianggap sok mulia, bahwa dengan mempekerjakan sopir itu karena memang ada niat ingin menggembirakan sesama. Jangankan cuma membantu seorang sopir saja, jika perlu, senang sekali jika ternyata saya ini diberi kemampuan mempekerjakan semua penganggur di seluruh dunia. Maka jika gubernur ini mengatakan bak orang lumpuh ketika sedang disopiri, saya malah merasa sedang melumpuhkan orang-orang yang sehat ketika sedang menyetir sendiri. Konsep siapa yang kebih benar? Semuanya benar



karena salah dan benar ternyata seperti dua buah gambar di sebuah koin yang sama. (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post



Ketika Pikiran Kukosongkan Aku berterimakasih kepada seorang yang telah kuanggap sebagai kakak pergaulan dan kepadaku ia memberi banyak bimbingan. Tak semua bimbingan aku laksanakan bukan karena bimbingan itu keliru, melainkan lebih karena kekerasan kepalaku. Salah satu bimbingan itu kuperloleh ketika kami berdua menonton pertunjukan lawak dan seluruh penonton tertawa rerbahak-bahak, termasuk dia, sementara aku sendiri cemberut demikian hebatnya. Jadi ketika seluruh orang bergembira, aku malah begitu menderita. Seluruh lawakan itu bagiku adalah pertunjukan kebodohan. Jadi jangankan tertawa, bahkan melihat tampang-tampang pelawak itu pun malah membuatku ingin membakar seluruh gedung pertunjukan saja raanya. Menurutku seluruh isi lawakan itu cuma menghina kecerdasanku. Kemarahanku makin menjadi-jadi saja ketika para penonton itu, suka cita saja menertawakan sebuah kebodohan. Maka sementara orang-orang bergembira dan tertawa-tawa, aku menyumpah-nyumah demikian hebatnya. Melihat aku menderita seperti ini, sang kakak pergaulan itu segera melirikku, memintaku untuk menenangakan diri dan mau mengosongkan pikiran. Nasihat yang sama sekali gagal kururuti, karena kesibukanku menuruti kemarahan artistik yang sedang membakar kepalaku. Baru di hari-hari ini saja aku terkenang kembali nasihatnya. Bersyukur bahwa aku pernah menjadi adik pergaulannya dna mendapat nasihat yang berharga ini. Kini seluruh pelawak, bahkan yang paling tidak lucu sekalipun, selalu menggelikan hatiku. Jika aku ingin menonton pelawak yang lucu aku cukup menikmati kelucuannya di atas pangung. Sementara untuk menikmati pelawak yang gagal aku akan mencari kelucuannya setelah dia turun panggung. Seorang pelawak yang diminta turun pentas karena dianggap tidak lucu, pernah mengocok perutku justru ketika ia aku temui di kamar ganti. Tampangnya susah sempurna dengan keringat dingin membasah di sekujur tubuhnya. ''Luar biasa! Penonton sebegitu banyaknya kok satu saja tidak ada yang tertawa. Ini lucu sekali! Ini meyadarkan saya bahwa esok pagi, saya harus sudah harus pindah profesi jadi tukang bakso,'' kata pelawak malang ini sambil mengelap seluruh keringat dingin yang kuyup di wajahnya. Kenapa dulu aku sulit tertawa begitu melihat pelawak yang menurutku buruk mutunya? Karena aku pernah merasa ahli dalam soal humor. Maka siapa saja yang berhumor kurang dari mutu yang kutetapkan, ia akan menjadi musuhku. Perasaan sebagai orang ahli inilah yang kemudian menanamkan banyak prasangka di benakku. Ada berbagai kriteria yang telah kutetapkan, aneka standar telah kupatok nilainya. Maka bahkan penonton yang sedang



menertawakan humor yang belum menjangkau standarku itu, akan ikut kupersalahkan. Aku menjadi angkuh dengan standarku yang kukira paling benar, paling mutu dan paling artistik itu. Kepalaku lalu mendongka dengan standar itu. Apa saja yang menurutku di bawah ukuranku akan kupandang dengan mata memicing dan sinisme yang merendahkan. Tapi inilah hasilnya: dengan kepala yang penuh standar seperti itu membuatku sulit sekali untuk tertawa dan sulit sekali bahagia. Musuh seperti berada di mana-mana, karena hampir semua orang aku musuhi. Kini aku sungguh ingin melihat manusia dari sudut standarnya sendiri. Dari sudut ini aku baru mengerti bahwa setiap pribadi menyimpan pesonannya sendiri-sendiri. Kini aku ingin sekali terpesona pada siapa saja. (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post



Aku dan Jeep Tuaku Suatu saat, ketika aku telah merasa sebagai anak muda yang mulai berpenghasilan, aku tidak tahan untuk tidak segera menjadi orang kaya baru, meskipun penghasilan itu sejatinya pas-pasan belaka. Tapi dorongan untuk cepat-cepat dianggap kaya ini benar-benar tak tertahankan. Maka membeli mobil adalah salah satunya jalan. Tapi karena dasarnya orang kaya gadungan, maka beli mobil pun pasti cuma kuat yang murahan. Murahan tapi tetap gaya, inilah soal yang harus segera dipecahkan. Maka inilah caranya: memilih jeep Wyllys tua tapi yang sudah diobrak-obrak sedemikian, bercat menyala, khas anak muda. Mobil bobrok ini lalu tampak berharga. Jadi antik. Terhadap barang antik, orang tak lagi peduli soal usia. Efek itulah yang hendak aku manfaatkan untuk memanipulasi kemiskinan ini. Kesannnya, aku membeli mobil ini, karena keantikannya. Bukan karena cekak duitnya. Dalam beberapa hal manipulasi ini berhasil. Saat itu aku pernah menjadi anak muda yang menurutku amat gaya, jika ukurannya adalah menjadi barang tontonan. Ke mana-mana rasanya semua mata cuma memandang kepadaku dengan Jeep antikku itu. Bangga sekali rasanya. Sebuah kebanggaan yang bertahun-tahun kemudian terbukti keliru. Karena ternyata sebagian di antaranya cuma berisi salah sangka. Orang-orang itu ternyata tak semuanya bangga melainkan malah iba. Karena rasa iba itu pula yang muncul di benakku saat ini, setiap aku melihat pihak yang pas-pasan tapi ngotot hendak bergaya sepertiku dulu. Tapi setiap orang pasti memiliki periode kesesatannya sendiri, temasuk diriku ini. Maka agar tidak tersesat kembali, rasanya penting membongkar-ngongkar



kesesatan lama untuk ditengok kembali. Sesat pertama ialah kebanggaan menjadi barang tontonan itu. Begitu penting menjadi tontonan itu sehingga soal-soal lain bisa aku korbankan. Misalnya saja soal penghasilanku yang pas-pasan untuk membiayai sebuah gaya yang belum semestinya. Tapi siapa peduli. Tontonan orang-orang itu adalah soal yang menakjubkan hatiku. Berapapun harganya, harus kubayarkan. Meskipun risikonya harus menguras seluruh keuanganku. Betul-betul menguras. Karena sejak punya mobil itu, aku jarang sekali berada di rumah. Bukan untuk selalu bepergian karena punya mobil baru, melainkan karena harus ke bengkel melulu. Namanya juga mobil tua, meskipun gaya, tapi mesinnya bobrok senantiasa. Hari ini anunya yang ngadat, besok itunya kondor, besok lagi ininya lecek. Hampir tiada hari tanpa reparasi. Ekonomiku saat itu benar-benar berdarah-darah. Tapi bagi pikiran yang sedang sesat, bahkan sudah mau mati pun masih ingin gaya. Semua kebangkrutan ini tak ada artinya jika sekeluar dari bengkel, aku sudah kembali ke jalan raya. Kembali melaju dan semua mantap menatapku, tak peduli apakah mereka sedang iri, bangga, atau malah iba. Menjadi barang tontonan itulah kebutuhanku. Dan aku tak peduli jika risikonya adalah kebangkrutanku. Kesesatan ini sejatinya akan menjadi-jadi jika tidak karena pengalaman di sebuah lampu merah itu terjadi. Sebuah pengalaman yang mendebarkan. Tegang ketika lewat di sebuah lampu merah, ada Jeep serupa telah lebih dulu berhenti. Mobil sama-sama tuanya, sama-sama antiknya, dan sama-sama gayanya. Secepatnya mobil itu akan kudampingi, aku akan menyapa sopirnya sebagai sesama penyuka barang antik. Kepadanya akan aku tawarkan program arak-arakan, membuat extravaganza dengan jeep-jeep tua tapi gaya. Dan aku memang berhalo kepadanya. Tapi astaga, lambaian tangan balasannya tak sehangat yang aku duga. Bukan galibnya sambutan sesama penyuka jeep tua, tetapi lambaian orang yang tengah sengsara. ''Ah, gara-gara aku punya mobil ini, jadi habis-habisan. Duit melulu. Salah beli saya,'' kata orang ini dengan mimik sepenuhnya berisi derita. Wooo, kami hanya bertemu di lampu merah. Tapi orang ini sudah langsung menyodorkan kepahitan hidupnya. Ini pasti karena saking sengsaranya cuma karena dirusak oleh jeep antiknya itu. Ya, ya…. Di dalam hidup ini, ada jenis kerusakan yang kita sangka adalah sumber kegembiraan! (Prie GS/Cn07) Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post



Menggeser Definisi Seorang teman yang memberi saya bunga hias dalam pot ini ternyata juga memberi saya lebih dari sekadar bunga, yang ketika sedang musim, konon harganya mahal sekali cuma untuk ukuran bunga. Terpenting dari itu semua, ia memberi saya sebua definisi. Tepatnya, cara mengeser definisi. Karena dari cara kita membuat definisi atas segala sesuatu, amat menentukan mutu kita dalam menjalani segala sesuatu. Semua bermula dari anggapan bahwa bunga dalam pot itu mahal harganya. Merasa mendapat barang mahal, maka gugup juga hati ini. Bukan cuam karena kerepotan mengurusnya, tetapi juga karena kerepotan menjaga keamanannya. Repot mengurus karena bunga ini harus cukup panas matahari, sehingga mutlak harus bertempat di luar rumah. Repot menjaga karena jika di luar, ia rawan lenyap oleh pencuri. "Yang namanya kecurian, saya sudah berkali-kali,'' kata si teman ini meyakinkan, betapa karena mahalnya, bunga ini memang menjadi incaran pencuri. Belum bunga ini saya terima, kerepotannya sudah membayang di depan mata. Bayangkan jika setiap hari harus menjerang bunga ini di panas matahri dan di malam hari ia harus diungsikan ke dalam rumah lagi. Betapa melelahkan mengurusnya. Mengurus anak saja rasanya tidak serepot ini. Hampir saja saya menolak pemberian yang berat syarat ini. ''Lho berat bagaimana. Taruh saja bunga ini terus di tempatnya, asal ia cukup sinar matahari,'' kata sang teman ini sambil tertawa. Tapi bukankah langkah ini cuma akan menjadi garapan pencuri? Tanya saya segera. Oo, teman saya yang agaknya telah kenyang kecurian ini ternyata lelah juga memindah bunga-bunganya. Akhirnya ia membiarkan bunga-bunga itu tetap di tempatnya dan soal risiko kecurian itu tak lagi menganggu pikirannya. Darimana ia memperoleh ketenangan ini, apakah akibat putus asa? Tidak. Melainkan semenjak ia mengganti definisi tentang aryi kata kecurian itu. Menurutnya, yang namanya mencuri itu sekadar memindahkan barang, tetapi barang itu sendiri tidak hilang. ''Cuma berpindah tempat,'' katanya. Jadi sejak saat itu, ia tidak menganggap bunganya yang dicuri itu sebagai hilang, melainkan sekadar berpindah tempat. Dan efeknya, risiko kecurian bukan lagi soal yang membuatnya tegang. Dari perubahan satu definisi, perubahn yang lain segera mengiktui. Misalnya ia mulai merasa aneh melihat ada orang yang memagari rumahnya sepeti penjara saja layaknya. Sudah tinggi, dilapisi kawat berduri, di tanam pecahan kaca dan kalau perlu dialiri strum segala. Tetapi seluruh upaya pengamanan seperti ini ternyata cuma menjadi pekerjaan yang sia-sia belaka. Pencuri yang ditakuti itu tidak pernah masuk ke rumahnya, perampok juga tidak. Ia aman-aman saja dari risiko yang amat dicemaskannya. Bahaya itu ternyata tidak datang dengan cara melompat pintu gerbang, menerobos kawat berduri dan melewati pagar beraliran strum listrik. Bahaya itu ternyata malah datang dari arah yang tak disangka-sangka yakni



dari kelakuannya sendiri. Di kantor, orang ini ini ternyata sedang diduga korupsi. Dari duit itulah ia dicurigai memegahkan rumahnya yang berlilit kawat berduri itu. Rumah yang ia sangka aman, tetapi tidak sanggup mengamankannya itu. Sementara rumahnya begitu megah, ia malah harus tinggal di pengapnya kamar tahahan. Orang ini, jika mau sejak awal mengeser definisinya tentang rasa aman, barangkali tak akan bernasib seperti ini. Keamanan itu ternyata amat tergantung pada kelakuan. Jadi kualitas kita dalam membuat definisi, ternyata amat menentukan mutu hidup di kelak kemudian hari. (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post



Oprah Winfrey dan Kertas Tisu Saya menyukai Oprah Winfrey Show. Tidak ada yang istimewa karena saya pasti cuma bagian dari berjuta-juta penggemar show yang luar biasa ini. Tapi izinkan saya mengemukakan alasan pribadi kenapa saya menyukai orang ini, lebih dari ketrampilannya sebagai pewawancara, tetapi lebih karena sensivitasnya sebagai manusia. Menurut saya, itulah kekuatan terbesar Oprah. Ia sukses menghidupkan pertunjukkannya karena ia menghidupkan kemanusiaan. Ketika 20 tahun genap umur perusahaannya, ia menerbangkan ratusan karyawannya piknik ke Hawai dengan mencarter 5 pesawat. Sebuah keputusan yang disambut teriakan gembira oleh seluruh pekerja dan beberapa di antaranya harus berlinang air mata. Kenapa? Karena bahkan di antara karyawan itu ada orang-orang yang belum pernah sekalipun naik pesawat. Piknik ke Hawai itu adalah salah mimpi besar mereka. Tetapi kabar gembira ini belum lengkap. Belum rampung para karyawan itu bergembira, Oprah yang terdiam sejenak sudah menyambung lagi: ''Dan kalian semua boleh mengajak keluarga!'' Teriakan karyawan itu meledak gegap gempita. Air mata gembira berhamburan di banyak mata. Menonton adegan ini, Anda harus siap kertas tisu. Tapi menonton acara Oprah, memang harus selalu menyediakan penghapus air mata. Oprah membawa ke depan hidung kita, aneka jenis peristiwa kemanusiaan yang menggetarkan. Misalnya tentang seorang ibu pengidap kanker. Ketika vonis dokter datang, ibu ini merasa batas hidupnya telah ditentukan. Mati telah disiapkan. Persoalannya, ia memiliki suami yang tampan dan baik hati serta putri semata wayang yang amat ia cintai. Berpisah dari putri kesayangan inilah soal yang belum sanggup ia bayangkan. Tetapi waktu terus mendesak. Dan ia harus melunaskan seluruh tugasnya sebagai ibu. Maka setiap hari, kerjaannya adalah ngebut merekam gambarnya sendiri lewat



video. Isinya adalah kurikulum nasihat untuk sang putri, mulai dari soal mencukur rambut, memilih pacar, hingga memilih suami kelak. Ibu yang hebat ini akhirnya memang harus menjemput ajal, tapi putri tercintanya setiap hari masih bisa mendengar nasihatnya. Kematian ternyata tidak memisahkan komunikasi ibu dan anak. Melengkapi kebaikan hati wanita ini, sambil melawan maut, ia sepenuhnya merestui jika kelak suaminya menikah lagi. Si putri ini pun meremaja, dan sang ayah memang kembali jatuh cinta. Tidak mudah bagi sang anak menerima ayahnya memiliki kekasih baru, apalagi jika ia harus menjadi ibu baru. Ketika si anak mengatakan belum siap, sang bapak tak memaksa, tetapi sabar menunggu. Melihat ada jenis keluarga yang menetapkan standar kasih sayang demikian tinggi atas anggotanya, saya hanya bisa mengumpulkan anak-anak plus emaknya. Kami menonton bersama-sama talkshow ini. Dan kami ikut bersorak gembira ketika ibu baru itu ternyata juga wanita yang tak kalah baiknya. Ia membacakan kembali, surat izin dari anak tirinya itu, surat yang mengizinkan ia menikah dan surat yang pertama kali menyebutnya sebagai ibu. Kamera merekam mata ibu baru ini yang basah dan bibirnya yang gemetar, Oprah meminta tisu dan seluruh penonton tercekam oleh rasa haru. Jika saya menteri pendidikan, saya akan menginstruksikan agar Oprah Show ini dijadikan sebagai kurikulum wajib di sekolah dan universitas, tak peduli apakah saya akan dianggap sedang melanggar HAM. Karena orang-orang tulus hati, perilaku yang mulia, orang-orang yang merawat rumah tangganya sebagai harta tak terkira, manusia yang mencintai sesama dengan ketulusan nyaris sempurna, amat dibutuhkan Indonesia. Orang-orang itu menggentarkan kita langsung dengan kharisma perilakunya. Dan atas keteladanan seperti ini, sungguh kita sedang amat dahaga! (/Prie GS) Posted by Prie GS at Sunday, March 25, 2007 0 comments Links to this post



Wednesday, January 31, 2007 Begitu Hidupmu, Begitu Matimu Keasyikan yang sangat, itulah perasaan saya ketika punya anak pertama. Saking asyiknya, saya hampir lupa kalau ia sudah layak masuk TK dan ketika ingat, hari penutupan sudah tiba. Dengan tergopoh-gopoh saya mendatangi sekolah, sebuah sekolah yang selama ini saya bayangkan akan menjadi sekolah anak-anak saya. Secara emosional, saya merasa dekat dengan sekolah ini karena setiap hari melewatinya. Saya menyukai halamannya yang luas, suasananya yang hidup dan bentuk gedungnya yang berwibawa. Begitulah mestinya suasana sebuah sekolah, pikir saya.



Tapi sekolah ini membuat saya kecewa. Bukan cuma oleh penolakannya yang angkuh, tapi lebih pada tawarannya yang tak pernah saya duga. Bahwa katanya, saya masih bisa memperoleh formulir pendaftaran secara diam-diam, asal mau membayar biaya ekstra. Saya memilih pulang dan patah hati. Saya lalu membayangkan wajah anak saya yang tampangnya memang sudah memelas itu, dengan rasa iba. Bagaimana mungkin saya membiarkan anak yang polos itu dididik oleh sekolah yang doyan suap. Hidup saya sendiri sudah bergelimang dosa. Jalan satusatunya untuk mengurangi dosa ini ialah mencegah agar anak tidak mengalami kesesatan yang sama. Begitulah pelajaran yang saya tarik dari novel-novel mafia. Bahkan penjahat paling ganas pun ingin agar sang anak tidak meniru cara hidup bapaknya. Tapi konsekuensi dari penolakan atas tawaran ini sungguh tidak ringan. Anak saya harus sekolah, dan sekolah yang masih membuka diri tinggal satusatunya, sekolah yang sebetulnya sangat ingin saya singkiri karena kemahalan tarifnya. Saya terperangkap dalam sikap iba dan ngeri yang kedua kali. Iba pada nasib saya sendiri dan ngeri pada jenis pendikan yang boros ini. Jika keputusan akhirnya tetap dijatuhkan, bukan karena kekuatan ekonomi saya, tapi lebih pada bisikan gaib saja: daripada murah tapi menyuap, mending mahal tapi legal, begitu sang gaib berkata. Ilustrasi ini saya ceritakan bukan karena ada keinginan untuk menjadi suci. Tidak, ini ilustrasi orang yang sedang takut saja. Dari awal saya percaya karma. Karma itu bukan klenik tapi matematika alam saja. Bahwa bau keringatmu tergantung jenis makananmu. Jika engkau ada di tempat ber AC maka engkau akan pipis melulu dan jika kebanyakan makan sambal, pasti berisiko terserang sembelit. Itu adalah hukum-hukum yang nyata belaka. Jelas, tidak butuh sekolah tinggi untuk mengerti dan tidak perlu menjadi orang suci untuk bisa mempercayai. Jenis akibat selalu tergantung pada jenis sebab. Cara mendapatkan, sejalan dengan cara kehilangan, karenanya cara hidup, akan menentukan cara mati. Maka saya sering memilih menyerah pada hukum yang jelas itu. Bukan karena ingin menjadi mulia, tapi karena terlalu berbahaya untuk menentangnya. Lagipula penyerahan terhadap hukum itu akan membuat hidup jadi praktis. Dalam melihat mutu seorang pemimpin pun, pandangan ini menjadi efesien. Tidak perlu susah-susah menyeleksinya lewat debat publik, membentuk pansus, membuat komisi pemantau kekayaan segala. Pokoknya jika ada calon pemimpin yang ngotot menawar-nawarkan diri, orang ini pasti lebih kuat keinginannya katimbang kualitas kepemimpinannya. Pemimpin yang menjadi pemimpin karena memaksa, ia pasti cuma ingin berkuasa, tidak benar-benar ingin menjadi pemimpin. Seorang penguasa memang bisa saja jadi pemimpin, tapi sebetulnya, kekuasaanlah yang menjadi cita-citanya, bukan demi perbaikan mutu hidup yang dipimpin dan mutu wilayahnya.



Karena telah jelas apa maunya, maka pemimpin semacam ini bisa menggunakan cara apa saja unutk berkuasa. Bisa menggunakan uang dan berani pula mengumbar kebohongan. Jika uang menjadi landasannya, maka wajar jika kekuasaan akan segera menjadi barang dagangan. Modal tak cuma harus dikembalikan tapi harus disertai keuntungan. Jika mencari untung adalah pijakannya, maka semua elemen kekuasaan akan dilihatnya sebagai sumber pemasukan. Jika bohong sudah menjadi kebiasaannya, maka tak ada bedanya pemimpin ini dengan seorang penipu. Di tangan seorang penipu, tak sulit membayangkan apa jadinya sebuah keadaan. Hukum sebab-akibat, matematika alam dan rumus-rumus kenyataan ini begitu sederhana, tapi masih saja banyak pihak yang belum percaya. Buktinya selalu ada saja pemimpin yang salah jurusan, yang merasa mampu, dan malah berani mematungkan dirinya sendiri untuk kemudian cuma dirobohkan dan diludahi. Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 1 comments Links to this post Anting Tukang Siomay Berhentilah berharap dari orang lain maka semua manusia akan menjadi saudara. Pelajaran ini diberikan oleh tukang siomay yang lewat di depan rumah. Dia anak muda dengan anting di kupingnya. Aku menyukai siomay tapi terancam batal membeli dari penjual ini gara-gara kupingnya. Bagiku cuma rokcer dan semacamnya yang layak beranting. Hanya seniman yang layak berambut gondrong dan menguncir rambut. Tapi kuli bangunan tidak, abang bakso, penjual sayur, apalagi penganggur, harus menyadari kedudukannya. Ia harus tahu diri dan memakai azas kepantasan. Terhadap orang lain, tiba-tiba aku memasang banyak keharusan. Jika engkau datang hanya untung menghutang, maka lagakmu harus sopan sempurna. Jangan berbantah, jangan membuat gara-gara. Jika ia tahu maksud kedatanganmu dan lantas bermuka masa karena itu, terimalah. Jika dia menunjukkan superioritasnya karena merasa telah berjasa menolongmu, sabarlah. Jika dia membuat humor, meski tidak lucu, tertawalah. Jika engkau cuma seorang pembantu, idetintas itu harus kau tegaskan bahkan mulai dari pakaianmu. Jika engkau perempuan, jangan menjadi bersih dan cantik. Kecantikan semacam itu tidak layak bagimu karena hanya akan memancing komentar: "Dia terlalu cantik untuk menjadi pembantu." Jadi pahamilah, bagi pembantu, menjadi pintar dan cantik itu suatu kekeliruan. Pembantu harus selalu bodoh dan buruk rupa. Jika engkau menjadi semacam anak asuh, posisi yang dianggap setingkat lebih baik dibanding pembantu tapi tetap saja sebuah posisi yang kau dapat karena kemiskinanmu, jagalah dengan teguh kenyataan itu. Jangan pernah sok akrab apalagi sok menjadi anggota keluarga jika tidak diminta. Jika orang tua asuhmu tak punya pembantu, engkaulah pemeran pengganti itu. Engkau harus



bangun paling pagi dan tidur paling larut karena engkaulah yang harus memastikan apakah semua pintu telah terkunci. Engkau pula yang harus membuka pintu itu pagi-pagi sekali. Ingat, siapapun orang tua asuhmu, dia adalah malaikat penolongmu. Karena dia, engkau bisa sekolah dan makan tidur gratis tanpa harus mendapat sebutan anak kos. Maka jika kau dapati mereka pulang berbelanja, tergopohlah engkau menyongsongnya. Jika harus semobil bersama, tunggulah giliran paling akhir, di kursi mana engkau harus berada. Jika orang tua asuhmu itu nanggung ekonominya, jika mobilnya cuma sekadar angkutan bak terbuka, engkau malah harus siap duduk di bak belakang menjadi serupa barang. Maka jika engkau sekadar tukang somai, hak seperti apakahkah yang mebuatmu berani memasang anting di kuping? Ini sungguh tidak layak. Karena hanya kuping anak muda kaya dan modern saja yang boleh dilubangi. Hanya mereka yang boleh berdandan semaunya. Engkau tidak. Anting di kupingmu itu jelas pengingkaran dan ini membuatku menolak siomaymu jika tidak perut dan lidahku ngotot memintanya. Ya sudah, aku pun menyerah. Dan hebatnya, setelah siomay itu ku kunyah, tak ada rasa kuping dan anting di dalamnya. Ia enak seperti yang aku duga. Jadi, betapa anting itu tak ada hubungannya dengan makanan apalagi dengan mutu hidup manusia. Maka izinkan aku memakan siomaymu dengan rasa bersalah. Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this post Bapak Berkaos Singlet Pagi, saat mengantar anak sekolah, adalah saat yang penuh dengan tawa. Bukan cuma karena geli melihat istri yang selalu berantem dengan anak-anak karena perbedaan persepsi di kepala mereka. Sementara si anak tak pernah tahu artinya buru-buru, si ibu tak pernah tahu artinya santai. Bagi anak, tak ada rumus terlambat ke sekolah. Meksipun jam sudah mepet, anak ini malah bisa sibuk mencari baterai mainanya yang hilang, tangan robotnya yang patah atau ban mobil mainnya yang terlepas. Jadi, soal yang amat penting bagi anak, adalah soal yang amat tidak penting bagi ibu. Karena nyatanya selalu saja ada perlengkapan anak yang kurang, di mana dasinya, di mana tas dan astagaa... malah ada pula pekerjaan rumah yang lupa dikerjakan! Sementara kepala ibu menguap karena kemarahan, si anak pilih meraungraung meratapi tangan robotnya yang benar-benar hilang. Jadi antara yang marah dan yang dimarahi tidak nyambung. Dan pagi hari, ketidak nyambungan seperti ini adalah sarapan pagi kami. Ketika kami sampai ke jalan raya, kelucuan itu malah menjadi-jadi. Kami melihat banyak sekali anak-anak sekolah bermotor tanpa helm dengan



kecepatan tinggi. Pemandangan ini menarik, karena begitu banyak ternyata para orang tua yang membelikan motor hanya untuk membunuh anakanaknya sendiri. Mereka membiarkan anak-anaknya ngebut sedemikian rupa tanpa menyayangi kepalanya sendiri. Jika terhadap kepala sendiri saja tidak menghargai, anak-anak semacam itu pasti juga sulit untuk diminta menghargai nyawa orang lain. Jadi dari ngebut tanpa helm itu menandakan, bahwa pelajaran bunuh diri dan membunuh orang lain memang justru bisa dimulai dari rumah. Malah tren itu sekarang makin menjadi-jadi: pengendara motor itu makin lama makin mengecil. Jika semula SMU sekarang mulai ke SLTP dan SD. Dan anak-anak ini tampak lebih menikmati keenakannya semata katimbang menimbang risikonya. Adakah anak sekecil itu sudah sanggup berurusan pada polisi, sudah sanggup bertanggung jawab jika menabrak orang hingga mati? Jadi, ada orang tua menyayangi dengan cara membuatnya celaka. Tapi anak-anak ini juga tidak sendirian. Karena di jalan raya yang sama, kami juga bisa melihat ada orang tua yang bermotor tidak cuma tanpa helm, melainkan cuma dengan kaos singlet. Pemandangan ini sungguh memiliki kandungan humor yang luar biasa karena aksi ini menjadi tumpukan watak salah sangka. Orang ini pasti menyangka bermotor dengan bersinglet ini gaya, padahal yang terjadi tak lebih dari kenekatan belaka. Kenapa? Karena singlet ini dipilih, biasanya karena dua alasan: pertama karena si bapak ini merasa gede badannya, dan kedua, karena biasanya untuk pamer tato di lengannya. Dua hal inilah yang sebetulnya menggelikan. Karena segede-gedenya otot, ia tidak pernah bisa menang melawan angin. Jika kebiasaan ini diteruskan dalam jangka waktu yang lama, pastilah bapak berbadan gede ini akan gampang masuk angin dan rawan terserang banyak penyakit. Membiarkan diri digerogoti penyakit tentu sebuah perbuatan bodoh. Anak-anak pasti juga tidak bangga memiliki bapak bertubuh gede padahal penyakitan diam-diam. Terus, jika singlet itu dipilih untuk menunjukkan tato di lengannya, pemandangan seperti itu juga salah jurusan. Tato sebagai seni, bisa saja. Tapi ajang pamerannya tentu bukan di jalan raya, di pagi hari sambil mengantarkan anak sekolah seperti ini. Tapi kalau tato itu tidak ia perlakukan sebagi seni, tapi sekadar untuk menakuti-nakuti orang, tujuan ini justru lebih menggelikan lagi. Sekarang ini banyak pihak bertato yang telah ramai-ramai mengubur tatonya dengan segala yang cara. Ada yang sekadar ditutupi, dan ada pula yang harus disterika segala. Para pemakai tato untuk gagah-gagahan itu biasanya malah pihak yang sering dimuat di koran-koran kriminal sebagai korban bacok salah sasaran atau kriminal yang menjadi objek amuk massa. Jadi, anak-anak tentu tidak berbangga hati jika bapaknya cuma disamakan kelasnya dengan orangorang yang wajahnya menghiasi koran dan televisi sebagai kriminal kambuhan. Maka, saat pagi mengantar anak-anak sekolah, jalan raya yang padat itu,



selain membawa kemacetan juga membawa kegembiraan karena humor di dalamnya. Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 1 comments Links to this post Labels: bapak, berkaos, singlet Andai Aku Engkau Percayai Sulit benar membuat orang lain mempercayai pihak lain, walau untuk hal-hal yang sederhana sekalipun. Soal lampu rem misalnya. Jika ia menyala, pasti ada ada hambatan di depan. Maka sudah sepantasnya, si belakang mengikuti si depan karena depanlah yang tengah menjadi imam, melihat dengan mata kepala sendiri, paling menguasai data dan informasi. Tapi karena azasnya sudah tidak dipercayai, maka otoritas ini sering dianggap sepi. Saat itu, akulah yang mestinya paling berhak untuk mengerti bahwa di depan ada becak yang hendak menyeberang. Biarlah ia lewat, karena bebannya berat amat. Kalau ia harus berhenti dan menggejot dari awal lagi, tentu repot sekali. Tapi keputusanku ini ternyata cuma membuat mobil di belakang itu salah paham. Baru aku menginjakkan rem saja klaksonnya sudah menyalak galak sekali. Tapi keputusan telah ditetapkan, dan abang becak telah mengambil jalan. Hanya si mobil belakang ini juga telah membulatkan hati: memilih menyalipku katimbang ikut berhenti. Maka yang terjadi terjadilah. Seterusnya ia harus kaget setengah mati ketika becak itu nongol begitu saja di moncong mobilnya. Ia menginjak rem sekuat yang ia bisa. Tabrakan keras memang tidak terjadi tapi sekadar ciuman bumper pun itu telah membuat sang becak terguling. Muatan buahnya yang menggunung berhamburan ke sekujur jalan. Sebagai kecelakaan ia tidak ngeri, tapi buah-buah yang berhamburan itu benar-benar telah menjadi provokasi tersendiri. Jalanan macet seketika. Si mobil dibelakangku pucat pasi. Ia seorang lelaki, terpelajar, tapi saat itu sudah berubah menjadi orang dogol. Posisi mobilnya secara mencolok mengatakan bahwa dialah biang keladi kemacetan ini. Semua pihak kini menudingnya. Dan abang becak yang terkapar, ini entah belajar teori drama dari mana, membangun sensasi. Ia membiarkan saja becaknya telentang. Ia sendiri dengan ketenangan seorang jagoan, memilih bangkit dan berjalan menghampiri si pengemudi dan langsung menghajarnya. Cerita selanjutnya bukan urusanku lagi. Tapi tak sulit merekonstruksi ending insiden ini. Betapa tidak enak membayangkan pengemudi mobil tadi, seorang yang tampak terpelajar, bertampang bersih, tapi cuma jadi bahan olok-olok lingkungan dan dipukuli abang becak lagi. Padahal, jika ia mau sedikit bersabar, dan terpenting, mau mempercayaiku untuk ikut berhenti, musibah ini tentu tidak akan terjadi. Tapi begitulah memang keadaan di negeriku, orang lain tak pernah dibiarkan menjadi imam, walau ia memang tengah memegang otoritas yang sesungguhnya.



Inilah kenapa kita selalu terdorong main klakson kepada mobil yang ada di depan. Itulah kenapa dalam hal antre, leher kita cenderung terjulur demikian panjang untuk selalu gatal menginterogasi keadaan di depan. Padahal di depan itu sering tidak terjadi apa-apa. Kemacetan itu masih baik-baik saja. Sekeras apapun klakson ini engkau ledakkan, engkau masih akan macet juga jika waktu lancar memang belum tiba. Pada gilirannya, antrean pasti akan bergerak maju dengan caranya sendiri. Jika semua masih terhenti, pasti karena masih ada persoalan. Tapi biarlah itu persoalan yang di depan. Kita di belakang sini, tinggal mempercayai. Berat memang, tapi inilah ongkos hidup bersama. Harus ada semacam tebusan sebagai ongkos kepercayaan. Ketidaksabaran membayar ongkos inilah yang membuat hidup bersama sering dilanda kekacauan. Para imam, pemimpin, dan pihak yang di depan itu, memang bisa saja menyelewengkan kepercayaan. Kita boleh kecewa tapi tak perlu trauma. Karena untuk hidup bersama, manusia memang butuh saling percaya. Soal bahwa sesekali kita tertipu, tidak usah diherankan pula. Siapa yang sama sekali bisa membebaskan diri dari nasib sial? Rasanya tak ada. Maka jika saat itu aku engkau percayai, engkau pasti tak akan dipukuli. Oleh abang becak lagi. (cn05) Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this post Labels: aku, andai, engkau, percayai Merenung Sampai Mati.. Aku sering memandangi rumahku berlama-lama. kadang dari dekat, kadang dari kejauhan. Bukan untuk menggumi keindahannya karena rumahku kecil saja, berantakan pula. Namun, semua tentang rumahku, aku menyukainya. Memandang rumahku, aku jadi memandang diriku sendiri juga kekayaanku. Sebagai diriku, ia menggambarkan betul watakku, kebaikanku juga keburukanku.rumah itu serba gelap, tak pernah dicat, tak pernah dirampungkan sebagaimana layaknya sebuah rumah. Ada tembok yang tidak rata, ada lantai dari marmer perca, ada sudut tidak simetris, ada tanam-tanaman yang cukup siraman,tetapi tak cukup perawatan. Rumah ini benar-benar bukan hasil karya seni, tetapi hasil spekulasi. Spekulasi dari relasi hidup yang cuma bisa kujalankan dengan cara merambat. Setindak demi setindak. Dan, rumahku adalah kumpulan dari tindak demi tindak itu. Bukan sebuah kesatuan makanya di banyak sudut seperti Cuma berisi kesalahan. Begitulah hidupku, lengkap dengan kesalahan yang kuperbuat adalah kenyataan yang menggembirakan hatiku. Hidup, lengkap dengan kesalahan, sungguh merupakah kesempurnaan. Maka memandangi kesalahan itu setiap kali sungguh sebuah kegembiraan. Padahal, di rumahku tidak Cuma ada kesalahan-kesalahan hidupku, tetapi juga



ada anak-istriku. Di dalam rumah itulah aku dan keluargaku tumbuh, menyejarah dan menjalani hidup ini dengan segenap cobaan dan berkahberkahNya. Memandang anak-anak tertidur, sering melelehkan air mataku. Mulia sekali rasanya kualitasku saat terharu seperti itu. Namun, begitu anakanak itu terbangun, mengobrak-abrik apa saja, membuat kegaduhan, menjadi anak-anak yang menjengkelkan, lalu terlihatlah kualitas kelakuanku. Aku ternyata tak lebih dari bapak-bapak kebanyakan yang gampang didikte oleh kemarahan, terutama jika kenyamanan dirinya terganggu. Aku jelas bukan orang kaya, akan tetapi, semua simbol orang kaya telah kulengkapi hampir seluruhnya. Butuh apa saja di rumahku ada dan tersedia, sepanjang kebutuhan itu cuma seperti kebutuhanku. Mau makan apa saja yang menjadi kesukaanku ada: pisang goreng, kacang rebus hingga juadah bakar. Istriku telah pintar membuatnya. Mau jajan apa saja terlaksana karena di depan rumah mengalir tanpa henti jajanan kelilingan. Ada yang generik model mi ayam, mi kopyok, siomay, ada pula yang baru dan aneh-aneh seperti telur grandong dan upil macan, jenis makanan yang tak hendak aku jelaskan di sini karena keanehannya. Malah ada pula jajanan kuno yang sesekali masih bisa ditemui seperti arum manis dan gulali. Di rumahku juga tersedia kolam renang meskipun bukan untuk manusia, melainkan untuk renang ikan-ikan. Ikan pun bukan jenis louhan dan arwana, tetapi cukup jenis sepat dan mujahir, dan wader saja, yang tak perlu dirawat pun tahan hidup lama. Mau mendengar semua jenis kicau burung piaraan juga ada sepanjang ia adalah jenis tekukur, kutilang, dan puter. Aku juga memelihara banyak burung gereja di sela-sela atap rumahku. Mau bersantai dan menghibur diri juga tak perlu bingung. Televisiku, meskipun kecil dan kuno, masih kuat menyala seharian-semalaman. Mau nonton konser apa saja, film apa saja, talkshow apa saja...semua ada. Mau sekadar mendengar musik dan karaoke? Malah cukup mendengarkan VCD tetangga yang bisa menyetel karaokenya sampai terdengar ke lain desa. Aku kaget sendiri ketika di rumahku semuanya ada. Ternyata kaya sekali aku ini. Jika kamu memiliki tingkat kebutuhan cuma seperti kebutuhanku dan memiliki aset sepertiku, marilah kita merasa menjadi orang kaya bersamasama. Posted by Prie GS at Wednesday, January 31, 2007 0 comments Links to this post Labels: mati, merenung, sampai Newer Posts Home Subscribe to: Posts (Atom) Merenung Sampai Mati Blog ini berisikan kumpulan tulisan dari Prie GS, seorang Penulis sekaligus Kartunis asal Semarang, Jawa Tengah. Merenung Sampai Mati, adalah buku pertama beliau yang saya baca. Tulisan-tulisannya yang sederhana,



menggelitik, kritis ternyata dapat sekaligus menampar kesadaran terdalam dari setiap manusia yang mengaku masih punya akal dan perasaan :d Thursday, January 31, 2008 Pergi Hanya untuk Kembali! PAK Harto mangkat dan bendera setengah tiang dikibarkan di sekujur Indonesia, termasuk di kampung saya. Kematian tokoh ini memberi banyak pekerjaan rumah tidak cuma bagi Indonesia, tetapi juga bagi kedisiplinan di rumah saya. Betapa berantakan keadaannya karena bendera itu baru saya temukan setelah seluruh almari saya obrak-abrik sedemikian rupa. Betapa buruk perhatian saya pada negara, jika perhatian kepada bendera menjadi salah satu indikatornya. Ketika bendera itu sudah ketemu, saya baru ingat, bahwa tiangnya yang ganti tidak ada. Yang ada cuma kotak beton tancapannya. Kotak ini pun baru saya temukan belakangn karena baik tiang maupun kotaknya sama-sama mudah dilepas dan dipindah. Jadi entah oleh keisengan siapa barang ini pernah lenyap dari rumah dan saya butuh keliling kampung untuk kembali menemukannya. Akhirnya bendera setengah tiang saya kibarkan, saya menyapu daun-daun kering di bawahnya. Saya singkirkan kerikil dan apa saja yang mengotori lokasi tiang bendera saya yang sempit itu. Untuk ikut melepas jenazah Pak Harto saya tidak perlu ke Cendana atau ke Astana Giri Bangun karena pasti percuma. Bukan cuma akan gagal masuk, tapi salah-salah malah bisa tergencet massa. Maka saya merasa bebas melakukannya dari halaman rumah saya sendiri. Dan tidak ada perintah politik apapun yang membuat saya melakukan keputusan ini. Begitu juga dengan tetangga-tetangga saya. Saya melihat bendera setengah tiang rapi dikibarkan di sekujur kampung. Ini pasti juga bukan kepatuhan politik. Tetapi memang begitulah cara kampung kami mengajarkan, bahwa setiap jenazah yang hendak diberangkatkan siapapun ia, harus dibekali kesaksian tentang kebaikannya. Tegasnya, terhadap jenazah, kami dimohon menatap cuma kebaikan-kebaikannya. Maka keadaan seperti itulah yang terjadi ketika Pak Harto tiada. Itulah kenapa duka cita bisa demikian serempak berlangsung di Indonesia. Tapi adakah pihak yang hari ini yang berduka dan yang kemarin menurunkan Soeharto dari kekuasaan itu adalah pihak yang sama? Bisa jadi. Dan inilah persoalan terbesar manusia yakni kesulitannya memisahkan diri dari ironi. Manusia bisa mencintai sedemikian rupa untuk akhirnya cuma membenci sedemkian rupa. Setelah membenci sedemikian rupa, ia bisa jauh cinta lagi sedemikian rupa. Saya punya teman yang jika pergi selalu terburu-buru, tetapi jika sudah sampai tujuan, selalu ingin kembali juga secara buru-buru. Jadi pekerjaan orang ini sebetulnya bukan pulang bukan pergi, melainkan sekedar terburu-buru itu sendiri. Terburu-buru untuk apa? Untuk sesuatu yang tidak jelas bentuknya. Seperti Sisipus itulah; mahkluk yang dikutuk untuk bolakbalik mengangkat batu ke atas bukit cuma untuk dijatuhkannya kembali.



Selalu ada ''Sisipus Kompleks'' dalam hidup kita. Kita bisa membenci seorang copet habis-habisan untuk kembali iba setelah ia babak belur dihajar massa. Saya pernah begitu marah pada anak saya gara-gara ia menghapus tulisan di komputer, tetapi langsung gemetar oleh rasa iba begitu melihat anak itu pucat oleh ketakutan dan rasa bersalah. Naluri Sisipus memang bersemayam dalam diri kita. Dan ia sesungguhnya bukan kutukan, melainkan naluri yang wajar dan menyehatkan. Di mana letak kesehatan itu berada? Di dalam batas! Marah dan iba saya kepada anak saya itu, adalah keasyikan yang menyehatkan hidup, jika persoalannya memang sekadar ia menghapus tulisan di komputer, batapapun susah-payah saya menulisnya. Ia tak perlu jadi anak durhaka karenanya. Saya malah makin bisa mencintai anak ini setiap terbayang kembali wajahnya yang pucat dan matanya yang berleleran air mata. Ya, saya atau siapapun kita, sebetulnya bisa mencegah ironi-ironi hidup ini jika mengerti batas! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Thursday, January 31, 2008 1 comments Links to this post Labels: baru Wednesday, January 30, 2008 Teman Masa Kecilku Pelajaran kepemimpinan yang kudapat pertama kali ternyata berasal dari teman-teman masa kecilku. Eloknya, mereka adakah teman-teman yang sangat ku kenang justru karena kenakalannya. Misalnya si A yang dikenal kikir. Terkenal sekali kemampuan anak ini dalam soal jajan tidak bayar. Jika masuk ke kantin sekolah ia seperti bebas makan apa saja. Jika kantin sedang ramai ia tinggal ngeloyor pergi sambil menbentak bahwa teman di sebelah yang sedang makan itulah yang nanti akan bayar. Jika kantin sedang sepi pembeli dan ia datang sendiri, ia tinggal bilang ngutang pada penjaganya, seorang ibu tua yang baik hati. Ngemplang? Tidak. Ia akan datang di lain kesempatan bersama rombongan dan salah satu di antaranya ia jebak untuk membayar hutangnya yang kemarin. Jika ia akan gantian dijebak, diajak jajan bersama dan dialah nanti yang harus membayar, ia memiliki ketangguhan untuk bertahan secara ekstra. Ia mengajak adu kuat, siapa yang nanti lebih dulu akan mengeluarkan uangnya. Jika semuanya bertahan sama kuat, ia akan berteriak pada pemilik kantin: ‘’Siapa yang nanti yang akan membayar, hanya Tuhan yang tahu,’’ katanya. Sudah tentu, salah satu dari kami terpaksa harus mengalah katimbang malu. Kenapa anak ini selalu sukses menjalankan aksinya? Apakah karena begitu mudahnya kami ditipu? Tidak. Jika mau saat itu kami bisa mengeroyoknya dan memukulinya habis-habisan. Kami rela dikerjai karena kami gembira dengan



ulahnya. Ia menipu kami tetapi dengan cara-cara yang lucu. Malah di sekolah anak ini jadi terkenal sekali. Gayanya menjadi bahan cerita di mana-mana. Belum lengkap rasanya menjadi murid sekolah kami jika belum pernah ditipu oleh anak ini. Dan setiap saat, para korban itu bisa saling bertukar cerita sebagai sebuah kegembiraan. Inilian bibit leadership itu. Seorang pemimpin bisa jadi tidak ideal, bisa jadi ia nakal dan keliru perilaku. Tetapi apapun kebencian kita kepadanya, seperti ada yang menarik-barik kita untuk tetap takjub kepadanya. Tetapi inilah kehebatan pemimpin itu ternyata: betapapun ia keliru, jumlah kekeliruannya itu, setelah dihitung-hitung, selalu lebih kecil dibanding nilai kebaikannya. Si kikir ini, memiliki energi kegembiraan yang amat kami kenang hingga kami dewasa dan tersebar di mana-mana. Apa yang kami keluarkan untuk tipuannya itu, rasanya kecil saja jika dibandingkan dengan kegembiraan kami saat mengenang kenakalannya. Lepas dari si A saku terkenang pada B. Anak itu begitu pendiam dan bicara cuma kalau ditendang pantatnya. Tetapi cukup dengan sekali bicara ia akan langsung menggemparkan. Malah yang sering, ia tak perlu berkata-kata untuk menyulut kegemparan. Suatu kali kami, sekelompok anak-anak kampung ini menyambut riang gembira ketika Pak X datang dengan kerbaunya untuk di gembalakan di tanah lapang yang biasa. Entah bagaimana ceritanya, antara penggemabala dan kerbaunya itu, adalah pihak yang amat kami sayangi. Sama-sama baik. Yang kerbau jinak dinaiki, yang penggembala dengan sabar membiarkan kami, anak-anak nakal ini untuk ramai-ramai naik ke punggung kerbaunya. Hewan itu sudah dewasa dan muat tiga sampai empat anak seusia kami. Tak setiap hari Pak X datang ke lapangan kami. Maka hari-hari ia datang, amat kami tunggu dan kami hafali. Dengan gembira kami mengatur strategei bagaimana nanti cara naik ke punggung kerbau, dengan siapa yang akan menjadi tangaanya, berapa jumlah anak setiap ‘’kloter’’-nya, dan berapa lama kami ada di sana, mengingat jumlah kami banyak sekali. Begitu semangatnya kami menyiapkan manajemen naik kerbau ini dan lupa memperhitungkan B yang sejak awal cuma diam seperti arca. Tahu apa yang terjadi? Begitu kerbau itu datang, begitu kami besorak-sorak gembira, begitu kami sudah saling hendak menyusun anak tangga, si B ini, tanpa diduga melangkah dengan pasti. Dengan sebatang ranting di tangan ia langsung membuat tindakan luar biasa gila: menyogrok dubur hewan baik hati itu. Kerbau yang semula manis itu langsung melonjak kaget dan menjadi kalap seketika. Seluruh anak-anak bubar, sang penggembala berteriak-teriak seperti orang gila dan si B lenyap entah kemana. Apakah kami marah? Tidak! Kami tertawa tergelak-gelak dan menghormatinya oleh sebuah alasan yang entah. Tetapi yang jelas, di mata kami, keputusan yang dia ambil itu luar biasa. Tidak pernah kami pikir, dan kalau terpikir pun pasti bukan tindakan yang kami berani melakukannya. Begitulah pemimpin. Ada sesuatu yang bisa jadi tidak selalu kita setujui, tetapi



untuk sebuah alasan, sulit untuk tidak kita hormati. Hai penyogrok kerbau, di manakah gerangan sekarang engkau! Posted by Prie GS at Wednesday, January 30, 2008 0 comments Links to this post Labels: baru, nostalgia Monday, January 28, 2008 Betapa Ingin Saya Dicemburui Sebagai suami, sangat ingin saya melihat istri cemburu. Tapi ternyata keinginan ini tidak mudah. Berbagai godaan telah saya coba, tapi hasilnya nihil belaka. Di tempat-tempat umum, saya secara terus terang sering menatap wanita-wanita yang lalu lalang. Jika ada yang cantik saya mengaguminya secara terbuka. Dan hebatnya, istri saya malah ikut berkomentar serupa. Tentu saya kecewa dan segera mengubah taktik. Dengan melihat wanita lain secara diam-diam, barangkali akan lebih membuat panas hatinya. Tapi hasilnya malah lebih gawat. Karena saya beraksi diam-diam, dia juga cuma diam, dan akhirnya memang tidak terjadi apa-apa. Bahkan untuk membaca tanda, apakah dia tahu apa yang saya lakukan pun sama sekali tak bisa. Sebagai lelaki, saya terancam rendah diri. Saya membayangkan dengan rasa iri, teman-teman lain, para suami yang sangat dicemaskan oleh istri-istri mereka. Apakah gerangan salah saya? Pekik saya dalam hati. Oo janganjangan karena istri saya pernah terprovokasi oleh gurauan teman karib saya, seorang yang sangat suka bercanda dan sudah sangat terbuka dengan keluarga kami. Di suatu kesempatan, kami, dua pasangan keluarga lengkap dengan anakanak, berkencan untuk berlibur bersama. Di tengah keramaian, saya sempat tersesat dari rombongan dan istri saya bingung mencari-cari. Ketika ketemu, bukan rasa syukur yang ia gambarkan, tapi sikap geli. ''Kenapa?'' tanya saya penasaran. Ia menjawab, masih dengan tawa yang tertahan. Bahwa menurut sang karib tadi, istri saya tak perlu cemas pada saya, dan tak perlu khawatir saya akan digoda lain wanita, misalnya. ''Karena satu-satunya wanita yang menyukai dia cuma mbak saja,'' kata si karib yang jahat ini. Saya curiga istri sangat mempercayai hal ini. Buktinya, sejak itu ketenangannya makin menjadi-jadi. Apapun manuver yang saya siapkan untuk memanaskan hatinya, malah membuat saya kelelahan sendiri. Setelah benarbenar menyerah, saya jadi kalap. ''Kamu ini bisa cemburu apa tidak sih?'' bentak saya marah. Tapi jangankan kaget, istri saya malah tersenyum dan ganti bertanya. ''Apa kamu juga pernah cemburu kepadaku?'' Wah kaget juga mendapat serangan yang tak terduga ini. Tapi karena ini pertanyaan gampang, berondongan jawaban langsung saya lepaskan. ''Tentu saja tidak. Engkau istri yang baik. Setia. Terlalu baik, dan terlalu setia. Cemburu jelas tidak pernah terlintas di kepalaku,'' kata saya dengan



keyakinan seorang suami yang sedang ada di puncak kesetiaannya. Tapi apa jawab istri? ''Jawabanku sama dengan jawabanmu!'' Jawaban ini membuat saya sulit menyembunyikan rasa marah dan putus asa. Jadi, kalau saya tidak pernah cemburu kepada dia, punya hak apa saya ini meminta dia mencemburui saya? Jika saya begitu percaya kepada dia, kenapa tidak boleh dia mempercaya saya sepenuhnya? Ooo, kunci dari masalah saya ini ternyata berasal dari sebuah jebakan mental berpikir yang sekarang sedang ramai disebut sebagai bias jender itu. Bahwa kebiasaan berpikir kita telah dibentuk oleh dua perspektif ekstrem: lelaki dan perempuan. Dan dengan segenap kepatuhan, otak saya telah tunduk oleh perangkap berpikir khas laki-laki yang telah diajarkan secara turun-temurun ini. Bahwa lelakilah yang layak dicemburui karena selalu lelaki yang rawan godaan. Pikiran laki-laki ini pula yang membuat saya jadi lupa mencemburui istri, karena di mata saya ia sudah pasti setia. Padahal siapa menjamin bahwa istri saya pasti setia dan saya pasti tergoda? Sama sekali tidak ada. Bagaimana jika terbalik bahwa sayalah yang setia dan istri sayalah yang tergoda. Maka hari-hari ini, saya sedang belatih membayangkan seandainya istri saya jatuh cinta dengan lain lelaki. Ketika bayangan ini membesar, saya lalu jadi gelisah. Rasa cemburu saya bangkit dengan sendirinya dan baru saya menyadari: setelah saya pikir-pikir, istri saya itu toh memang terlalu cantik untuk ukuran saya. Jadi sebetulnya dia yang lebih rawan tergoda. Dan ketika saya cemburu, dia tampak bahagia. Sialan! (PrieGS\) Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post Labels: jadul, keluarga Milikku Akan Selalu Kembali Kepadaku Apa yang sudah digariskan menjadi milikku akan tetap menjadi milikku. Begitulah watak rezeki dan keberuntungan. Kejadian berikut ini menjelaskan konsep itu. Adalah suheng saya, Andrie Wongso, motivator paling menggelegar di Indonesia itu yang hendak merayakan ulang tahunnya dan menggelar perayaan. Perayaan terbesar sepanjang sejarah hidupnya karena selama ini, apalagi ketika ia masih miskin dahulu, ulang tahun itu hanya dirayakan dengan sebutir telur. Cuma sebutir… itu pun sudah merupakan kemewahan karena telur utuh, hanya ia dapati cuma di hari keramatnya. Tentu, kini Andrie Wongso sanggup membeli berton-ton telur untuk sekali makan. Jika mau, tiap hari ia bisa menggelar pesta. Maka pesta ulang tahunnya kali ini, pasti juga sebuah pesta yang sudah amat berbeda. Pesta yang pasti penting, meriah dan megah. Dan di dalam pesta itulah Andrie meminta saya sebagai pemandu acaranya. Permintaan ini tentu sebuah kehormatan yang tak pernah saya duga. Karena saya tidak pernah menduga maka dengan berat hati, dengan segenap rasa ngeri saya terpaksa



menolaknya. Saya tidak cukup punya keberanian untuk mengambil peran sepenting itu. Maka kepada sang suheng itu saya cukup meminta peran yang saya siap menjalaninya; cukup menjadi pelaku testimony saja. Beruntunglah permintaan saya disetujui. Saya dengar, acara itu akan dipandu oleh Helmy Yahya. Saya gembira mendengarnya. Tak ada keraguan dengan nama ini. Kesukesannya tak perlu ditanya. Kecerdasannya tak perlu kita meragukannya. Saya sudah mengagumi orang ini jauh sebelum ia suskes seperti sekarang. Bersama Bambang Iss, senior saya yang wartawan musik tangguh itu, saya pernah semobil bersama bertahun lalu, sebuah Suzuki pickup tua yang suara knalpotnya jauh lebih menyita perhatian katimbang bentuk mobilnya. Begitu kecil dan payah mobil itu, sehingga kami harus berhimpit sedemikian rupa. Tetapi ada yang tak akan saya lupa soal Helmy Yahya dengan mobil tuanya. Waktu itu, saya sudah merasakan pandangan-pandangan nya yang luas, visinya yang jauh dan kalimatnya yang bersih. Jika sekarang Helmy tumbuh seperti ini, saya tidak kaget lagi. Saat itu mungkin ia masih miskin secara materi. Tetapi kualitas pribadi suksesnya telah terasa. Maka Helmy Yahya, pastilah nama yang amat layak untuk memandu acara penting dari seorang motivator nomor satu Indonesia itu. Tapi aduh saya dengar kemudian, Helmy juga tak bisa memenuhi permintaan karena sebuah persoalan. Pilihan kemudian jatuh ke nama yang tak kalah berwibawa: Andi F Noya. Saya tidak mengenal secara pribadi tokoh yang akrap dibanggil Bang Andy ini. Kick Andy adalah acaranya di Metro TV yang telah teruji. Inilah talkshow paling dingin, paling tega bertanya apa saja, tetapi kita semua rela dan terhibur mendengarnya. Saya membayangkan, di tangan Andy, pesta ulang tahun ini pasti akan menjadi ajang talkshow yang gegap-gempita. Saya amat bergairah membayangkan hasilnya. Sayang, Andi juga batal tampil di perhelatan ini. Maka permintaan itu akhirnya kembali ke tempatnya semula, ke saya yang pasti merasa sangat terhormat, tetapi lagi-lagi ini bukan kehormatan yang saya telah siap menjalani. Hanya untuk menolaknya pasti tak mungkin lagi. Karena jalan menghindar sudah tak ada lagi saya cuma bisa menyerah dan menikmati. Saat menyerah inilah seluruh lampu-lampu panggung lalu berpendar dengan warna yang berbeda. Woo tiba-tiba saya baru sadar tentang begitu banyaknya orang penting dan orang beken di acara ini. Mata saya langsung berbinar-binar oleh gairah aneh. Saya membayangkan, betapa seluruh orang-orang penting itu dihadirkan cuma untuk mendengar saya bicara. Ada Ebiet G Ada yang menyanyi, ada Hermawan Kertadjaya yang legendaris ada Komarudiin Hidayat si penyejuk Indonesia, ada Subronto Laras yang mobilnya pasti bantyak sekali dan ada… aduh… semua orang penting Indonesia rasanya berkumpul di acara ini cuma untuk mendengar saya bicara hahaha…. Turun panggung, saya berdiri memojok dan sendiri. Memandangi panggung besar yang akan saya kenang bukan cuma sebagai panggung pertunjukkan melainkan sebuah tempat yang menegaskan bahwa apa saja yang sudah



diperintahkan menjadi milik saya, ia akan berjalan ke arah saya tanpa seorang pun bisa mencegahnya. Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post Labels: baru Berikan Sakit Anakku Kepadaku Sepanjang bicara soal anak, kita, orang tua, seperti memiliki rumus generik. Misalnya ketika bicara soal pendidikan anak: anakku harus bersekolah tinggi, jangan goblok seperti bapaknya. Misalnya lagi soal beragama: anakku harus mendapat les privat dari guru agama. Orang tuanya sudah kepalang rusak, anaklah yang harus bisa membantu orang tuanya masuk surga. Lalu jika bicara soal masa depan: jangan sampai anak besok menjadi orang susah. Cukup bapaknya saja yang sengsara. Sebagai sesama orang tua, saya sungguh tidak asing lagi dengan rumusrumus semacam itu. Saya sendiri toh juga tertulari rumus yang sama. Membayangkan anak harus menanggung derita yang sama seperti yang kita tanggung, adalah bayangan celaka. Membiarkan anak mengalami kebodohan yang sama dengan apa yang pernah menjadi kebodohan kita, adalah tindakan jahat. Pendek kata, anak-anak itu, harus menjadi generasi yang sama sekali baru: generasi yang bebas dari duka lara seperti yang pernah ditangung para orang tuanya. Begitu juga soal sakit. Sepanjang yang saya tahu. Banyak sekali orang tua berkomentar yang sama saat melihat anaknya sakit. Jika anak itu batuk: ingin rasanya memindahkan batuk itu menjadi deritanya. ''Tidak tega rasanya, melihat anak sekecil itu disiksa oleh penyakit jahat,'' kata kita. ''Jika anak panas, atau yang lebih jahat dari itu, ingin rasanya kupindah deritanya, menjadi deritaku saja,'' tambah kita. Yang saya tulis kemudian ini adalah sebuah kisah nyata. Belum lama ini anak saya sakit panas lengkap dengan batuk dan pileknya. Seperti biasa, panas itu, darimana sumbernya, selalu membuat mata anak saya meredup dan semangat bermainnya merosot tiba-tiba. Dalam keadaan seperti itu anak akan layu dan cuma memancing rasa iba. Memandang dia cuma bisa tergeletak, muntah bila kemasukan makanan dan merintih jika tertidur, adalah pemandangan yang menyakitkan. Pada saat itulah saya secara tidak sengaja terseret dalam rumus generik itu. Katimbang anak saya yang menderita seperti itu, biarlah derita itu saya tanggung saja. Biarlah sakitnya menjadi sakit saya, kata batin ini. Saya tidak tahu, apakah permintaan itu sudah menjadi doa, atau sekadar ungkapan kegundahan orang tua belaka. Yang jelas permintaan itu cepat sekali dikabulkan. Anak saya berangsur sembuh. Dan entah kebetulan, entah memang proses pengabulan permintaan, hanya selang sehari, saya bangun pagi dalam keadaan pening. Tidak jelas



penyebabnya. Bisa jadi kelelahan, bisa jadi karena tidur dengan banyak beban pikiran. Meskipun tidak separah anak saya, sakit pening ini rasanya hebat sekali. Kepala seperti penuh paku. Pada saat semacam ini apapun bisa berubah menjadi bencana. Mendengar suara televisi terlalu keras, murka. Mendengar orang lain bercanda, terdengar seperti menghina. Dan yang paling serius, saya begitu marah ketika anak-anak saya begitu gaduhnya. Anak yang ketika sakit menjadi sumber rasa iba itu, yang bahkan kesakitannya saya minta untuk dipindah menjadi kesakitan saya itu, kini menjadi sumber masalah. Saya berteriak sekuat-kuatnya agar anak itu takut dan terdiam. Sakit kepala ini membuat dunia tiba-tiba kiamat. Saya menjadi lupa, bahwa semua ini akibat permintaan saya juga. Padahal jika diukur, penyakit yang dipindah dari anak saya itu baru sebagian saja. Cuma peningnya, belum panas, batuk dan pileknya. Baru sebagian saja sudah membuat pertahanan mental saya jebol, lalu bagaimana kalau penyakit itu dipindah semuanya. Jangan-jangan saya bisa edan. Maka betapa ngeri jika semua permintaan manusia dikabulkan karena manusia cenderung meminta apa saja yang menurut mereka baik dan menyenangkan. Banyak orang menyangka akan kuat jika seluruh permintaan itu dikabulkan. Bayangan semacam ini membuat manusia bisa terlalu percaya diri dalam berdoa kepada Tuhan. Saya ini buktinya. Baru diganjar sakit kepala saja, dunia sudah seperti berakhir. Lupa semuanya, lupa anak yang semula saya bela mati-matian itu. Jatuhnya, saya hanyalah manusia yang bisa sibuk dengan urusan sakitnya sendiri walau sekadar sakit kepala. Maka untunglah tidak semua permohonan saya selalu dikabulkan Tuhan. Kalau tidak, bisa-bisa saya malah menjadi gila. (PrieGS\) Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post Labels: jadul, keluarga Bau Tubuh Istriku Anak saya memiliki serpihan gombal yang derajatnya telah menjadi jimat. Tanpa gombal ini, mustahil dia tertidur. Jika kami sekeluarga harus pergi menginap ke luar kota, semua barang boleh ketinggalan kecuali gombal yang satu ini. Jika barang ini sampai tertinggal, bencana akibatnya. Anak ini akan menolak tidur semalaman. Ia akan mencari gombal jimatnya itu melebih apa saja. Jika ia sudah mendekat gombalnya, wahai... anak ini akan segera stoned, mabuk, dan tidur dengan lelapnya. Kami hanya bisa heran, bagaimana gombal bulukan yang tak pernah kenal air ini bisa membuat



hidupnya demikian tenteram. Gombal wasiat itu sebetulnya berasal dari kain sarung yang dipergunakan sebagai selimut saat istri melahirkan. Sarung inilah yang kemudian menjadi karib anak karena sering menjadi pembungkus ketika ia masih bayi dan menjadi selimut ketika ia balita serta tak jarang menjadi selimut berdua antara anak dan ibunya. Begitu tinggi frekuensi pemakaian sarung ini hingga ia menjadi kain teraniaya yang aus dalam waktu singkat. Hingga ketika si anak sudah masuk TK, sarung itu telah menjadi kain perca selebar serbet saja lebarnya. Serbet apak inilah yang hingga sekarang masih menjadi teman tidur setianya. Melihatnya lelap sambil menghirup gombal ajaibnya itu sungguh pemandangan yang mengherankan hati. Itu gombal sudah bertahun-tahun tak boleh dicuci. Tapi bau inilah satu-satunya aroma terapi yang mujarab bagi tidurnya. Pernah kami diam-diam mencucinya. Ketika malam gombal ini kami sodorkan, si anak malah ngamuk sejadi-jadinya. Ia menolak aroma terapi gombalnya yang sudah tercemar bau detergen. Semalaman, kami harus menanggung tidurnya yang penuh krisis. Tidur dengan bekal marah, telah membuat dia mengigau dan banyak gerak. Sejak saat itu, kami memilih membiarkan gombal ini menjadi kain purba, dengan komplikasi bau yang cuma anak saya yang tega menghirupnya. Tapi belum lama ini kami mengalami kecelakaan kedua menyangkut soal bau ini. Secara tak sengaja, gombal ini tertindih tidur bapaknya semalaman. Ketika malam berikutnya si anak mencium bau bapak di gombalnya, ia menolak menghirupnya. Ia ingin bau ibu, bukan bau bapak. Kami sadar risikonya jika bau ibu tidak secepatnya dihadirkan. Akan terjadi geger semalaman. Maka cara instan pun kami tempuh, gombal itu ditindih, digosok, dililit ke segenap tubuh ibunya, dan ketika bau ibu itu telah menindih bau bapak, si anak baru mau menghirupnya dengan nikmatnya. Kurang ajar! Sudah lama saya cemburu pada kedekatan si anak ini dengan ibunya. Tapi malam itu benar-benar menjadi puncak rasa cemburuku. Apa salah bapaknya ini sehingga soal bau pun dia memihak ibunya? Apa kurang tanggung jawabku pada mereka? Setiap hari aku bekerja hingga tak kenal waktu. Aku memberikan yang terbaik untuk mereka sekuatku, sebisaku. Tapi apa balasan mereka pada kerja kerasku ini! Gombal itu benar-benar menyinggung perasaanku. Ia bukti kekalahanku di keluarga ini. Betapa aku yang bekerja keras di luaran tapi istri juga yang mendapat penghargaan di dalam rumah, di depan anak-anak. Sekarang kutanya kepadamu anak-anakku, beda apa bau tubuh bapakmu dengan ibumu ini? Betul, ibu adalah pihak yang setiap saat merawatmu. Betul, bahwa di waktu kecilku dulu, aku lebih suka menyelinap di ketiak ibu katimbang di ketiak bapak. Betul, jika aku ditantang untuk menggantikan pekerjaan ibumu saat merawatmu, bisa-bisa aku terserang stroke dini. Itu pekerjaan berat dan hanya ibumu yang sanggup melakukannya. Tapi persoalannya ialah, apakah



cuma ibumu yang bekerja keras? Tidak, jawabku. Aku juga bekerja keras untuk menyayangimu. Jika hanya bau tubuh ibumu yang engkau sukai, ini betul-betul tidak adil. Belum jika aku tega membuka rahasia besar ini kepadamu. Dengarlah, engkau boleh begitu menyukai bau ketiak ibumu, tapi tanpa setahumu, ibumu adalah juga pihak yang suka menyelinap di ketiak bapakmu kalau bakat manjanya kumat. Jadi anakku, engkau jangan salah sangka pada bau tubuh bapakmu. (PrieGS) Posted by Prie GS at Monday, January 28, 2008 0 comments Links to this post Labels: jadul Sunday, January 20, 2008 Berdialog dengan Derita DERITA adalah sesuatu serupa mahkluk, karenanya ia bisa kita sapa dan kita ajak berdialog untuk dijinakkan. Penjinakkan ini bukan untuk membuat dia tidak ada melainkan sekadar membuat agar orang tidak merasakan derita yang kita punya. Banyak orang gagal menyimpan deritanya, atau malah tak sedikit orang yang justru menawarkan derita itu kepada siapa saja. Cara ini betul-betul berbahaya karena orang semacam itu akan segera menjadi proposal masalah di hadapan orang lain. Ia akan dengan cepat menuai hasil berupa atribut sebagai orang yang ditolak dan disingkiri. Kedatangannya dianggap sebagai sumber persoalan dan pribadinya akan dianggap semacam kuman lepra. Membiarkan suasana hati terbaca secara terbuka hanyalah suatu kemanjaan. ''Hari ini aku sedang tak enak hati, maka engkau jangan menyetel musik terlalu keras, jangan mengetuk pintu sembarangan dan jangan memancing kemarahan,'' katamu. Pada akhirnya permintaanmu itu akan menjadi semacam kekonyolan belaka. Karena apapun suasana hatimu sekarang, dunia tetap akan berputar seperti biasa. Matahari akan tetap muncul dari timur tanpa peduli apakah engkau sedang sedih atau gembira. Maka jika engkau kedapatan tengah memanjakan kesedihanmu, memohon belas kasihan orang-orang di sekitarmu, sesungguhnya engkau sedang merepotkan banyak orang. Kesedihan yang engkau pertontonkan adalah rapor buruk bagi hidupmu. Mengertilah, setiap orang punya beban dan kesedihannya sendiri. Maka untuk memahami bebanmu, orang boleh mengklaim tak punya waktu. Maka jika ada jenis orang yang masih saja menyediakan waktu untuk menghiburmu, bukan berarti orang itu lebih bahagia darimu. Tapi karena ia benar-benar telah bekerja keras untuk itu. Ia harus menekan deritanya sendiri



demi untuk menghibur deritamu. Ia sama sepertimu, orang yang mestinya juga penuh persoalan, tapi karena sedikit sekali ia mengurusnya, si persoalan itu pun putus asa. Ia menjadi sesuatu yang tak terpelihara dan akhirnya pergi sia-sia. Itulah kenapa orang semacam itu terlihat selalu kuat, tenang dan terjaga. Engkau tak pernah bisa menebak apakah ia sedang sedih atau bahagia. Jika tengah bergembira, ia tak akan pernah terlihat berbunga-bunga. Jika tengah bersedih, ia tak pernah kedapatan kusut dan menekuk muka. Kegemparan tak pernah membuatnya kaget, kekacauan tak pernah membuatnya panik. Maka kepadanyalah orang-orang takjub dan terpana. Kepadanyalah orang mengadu dan bertanya. Kedatangannya menjadi sesuatu yang ditunggu, katakatanya adalah hiburan, perilakunya adalah keteladanan, dan pancaran pribadinya mendatangkan kegembiraan. Apakah orang ini lalu menjadi orang suci? Tidak. Ia masih tetap orang biasa seperti kita. Bedanya, ia cuma malu menyusahkan sekitarnya dengan kesusahannya. Ia malu membuat orang lain menderita karena deritanya. Ia paham beratnya menanggung kesedihan. Maka kesedihan orang lain akan terasa sebagai deritanya. Berpikir tentang kepentingan orang lain jauh lebih menyita kesibukannya. Ia sungguh enggan merepotkan dunia dengan urusan dan kepentingannya sendiri. Tapi anehnya, ketika orang telah merasa dirinya tidak penting, ia malah menjadi penting luar biasa. (03) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Doa Yang Salah Jurusan Ini kisah seorang bapak muda dengan anak prematur yang tengah menjemput ajal. Bayi itu, hanya sekepal tangan besarnya dan cuma bisa tergolek kaku di inkubator dengan tubuh seluruhnya membiru. Bibirnya sama sekali menolak bereaksi dan tubuhnya dipenuhi empat selang di empat penjuru. ''Harap tabah,'' kata dokter kepada bapak muda ini. Ia bapak yang cerdas, apa arti kalimat dokter ini telah ia pahami. Bapak muda ini seorang santri. Maka rerfleks santrinya cepat bekerja. Menghadapi ancaman maut seperti ini, ia menggali tradisi yang jamak di desanya, yakni dukungan sebuah jamaah doa. Sementara ia sendiri menunggui anak di rumah skait, ia meminta orang rumah untuk mengumpulkan tetangga dan memohon dukungan doa hidup bagi si anak.Tak sulit menjalankan tradisi ini, karena kampungnya memang kampung santri. Tak cuma kampungnya, keluarganya sendiri adalah para pendoa ulung karena mereka keurunan seseou desa yang juga kiai. Tapi hari itu, kampung sedang kosong. Seluruh kiai dan pendoa terbaik di kampung itu sedang berziarah ke makam para wali, termasuk sebagian besar keluarganya sendiri. Yang ada



hanyalah para pekerja dan jika masih tersisa seorang pendoa itu pun cuma pendoa papan bawah dengan lidah cadel pula. Di hari-hari biasa, orang ini hanya layak menjadi jamaah dan penggembira. Ia jenis manusia kebanyakan dan diangap warga kelas dua. Tapi orang inilah satu-satunya yang di hari itu layak menjadi imam dan memimipin doa karena lain tak ada. Dari rumah sakit, bapak muda ini hanya bisa tepana. Keadaan anaknya yang sudah amat payah. Keadaan semacam itu jelas butuh doa kelas satu. Dengan doa itupun hasilnya hanya Tuhan yang tahu. Padahal yang tersedia cuma doa lapis bawah. Maka si bapak muda ini pasrah. Ia membiarkan majelis doa seadanya itu berjalan semampunya. Tapi dasar imam papan bawah. Sudah mutu bacaannya payah, ia membaca doa yang salah pula. Yang dibacakan oleh majelis kacau ini adalah doa percepatan kematian. Dari rumah sakit, bapak muda yang mendengar kabar tentang jenis doa apa yang dipanjatkan untuk anaknya itu cuma tambah gundah belaka.Para pendoa itu, jangankan mengerti salah dan benarnya jenis doa yang mereka baca, karena untuk memahami apa arti doa yang mereka ucapkan pun sudah di luar kesanggupan. Jadi doa itu derajatnya cuma serupa mantera yang mereka ucapkan tak lebih karena semata-semata cuma hafalan. Hafalan pun, doa itu adalah satu-satunya hafalan yang mereka bisa. Jadi lengkap sudah. Di mata bapak yang sedang berduka ini, nasib anaknya sudah ditentukan. Ketabahan harus dia siapkan. Doa yang yang salah jurusan itu hanya isyarat, bahwa Tuhan belum mempercayakan titipan anak itu kepadanya. Ia meyerah. Tapi belum genap kepasrahan itu berjalan kekagetan sudah menyergapnya. Esok hari, bibir anaknya itu bergerak-gerak. Anak yang semula cuma seperti sekepal patung itu menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dari vonis tiga bulan harus mengeram di inkubator, cuma dalam waktu sebelas hari anak itu bisa diboyong pulang. Kini anak yang menghebohkan itu telah tumbuh menjadi bayi yang montok, sehat dan cerdas.Bapak muda ini, setiap kali memandangi anaknya dengan ketakjuban, selalu juga diikuti oleh takjub lanjutan, yakni takjub pada para pendoa kelas dua itu. Para pendoa papan bawah yang cuma hafal doanya tapi tanpa paham maknanya itu. Cuma bisa bisa hafal itupun cuma satu-satunya hafalan. Tapi jika doa murahan semacam itu pun dikabulkan, berarti ada jenis sifat Tuhan yang harus ditambahkan, yakni Maha Suka-suka. Mau mengabulkan doa atau tidak suka-suka Tuhan saja, bukan karena mutu pendoanya.Maka, bagi pendoa yang terlalu fasih, teralu lancar lidahnya, terlalu merdu suaranya, jika saking merdunya malah takjub pada kemerduannya sendiri, penting mewaspadai hukum Tuhan yang satu ini! (Prie GS/Cn08) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Doa Anak-anak Saya Dua anak saya, usia SD dan balita, tak bisa tidur dan makan tanpa lebih dulu mengerjakan kebiasaannya: berdoa. Selapar dan sengantuk apapun, mereka selalu menyempatkan berdoa. ''Biar tidak mimpi buruk,'' kata si SD pada adiknya, jika mereka hendak tidur. ''Biar tidak diganggu setan,'' jika keduanya hendak makan. Cerita ini saya tulis bukan untuk membuktikan betapa saleh keluarga kami, melainkan untuk menegaskan betapa dibanding orang tua, anak-anak sering jauh lebih setia pada komitmen moralnya. Di sebuah gerai fast food yang sangat sibuk, ketika kami sekeluarga tengah begitu laparnya, kelaparan yang membuat nama Tuhan tak kami ingat lagi, si balita, dengan muka pucat dan mulut cadelnya yang gemetar menahan lapar, ngotot untuk tetap berdoa. Tempat yang semula hiruk pikuk itu terasa sepi seketika. Sepi oleh rasa malu yang menampar wajah saya, bapak anak ini. Pertama, malu, bahwa doa itu lebih mereka dapat dari sekolah, katimbang dari kami, orang tuanya. Si SD lah yang membawa doa itu ke rumah, si balita menirunya dan kami sekadar menjaga dan mengingatkannya. Kedua, malu terhadap kemampuan kami yang cuma sebagai pengingat itu sementara kami sendiri sering lupa mengerjakan hal serupa. Malu berikutnya jauh lebih serius. Betapa anak-anak itu bisa demikian kokoh dalam menjaga kewajibannya. Sekali meneken kontrak kesanggupan, mereka akan mematuhinya sepenuh hati. Dan dampaknya sungguh membuat saya iri. Sekecil itu, mereka bahkan telah sanggup membuat jarak yang jelas dengan setan. Di dua kegiatan utamanya, makan dan tidur, mereka jelas-jelas sudah menolak bersinggungan dengan setan. Sementara tidur saya? Aduh, sambil tidur, tak jarang kepala ini sesak oleh rencana dead line, penuh oleh judul-judul berita, keluhan-keluhan hidup, dan tegang oleh perhitungan-perhitungan hari depan. Mata memang terpejam, tapi sesak di kepala itu membuat si tidur tak lebih adalah anyaman kegelisahan. Buntutnya? Nama Tuhan nyelip di gelap malam. Lalu mutu makan apa pula ini, yang sambil mengunyah pun dering telepon terus menyalak di sana-sini. Telepon yang di meja, yang di saku. Semua dering itu menguntit bagai hantu. Jika ia berupa dering kegembiraan, kita bisa lupa lapar, lupa waktu. Jika ia berupa dering masalah, sama saja makan juga bisa terhenti sebelum waktu. Buntutnya serupa pula, untuk berdoa, serasa tak lagi ada waktu. Jika sikap makan dan sikap tidur pun sudah begini tidak bermutu, lalu kualitas hidup seperti apa pula yang saya punya. Daftar malu berikutnya, jauh lebih serius lagi. Betapa ketulusan anak dalam menunaikan kewajibannya dengan cara yang bebas prasangka itu, dengan kepatuhan sempurna itu, malah makin menegaskan aib orang tuanya belaka. Betapa saya ini, di depan mereka, tak lebih dari Pendeta Durna saja, yang



dengan gagah menyuruh muridnya, Bima, meningkatkan mutu hidup dengan cara yang muskil, mencari sarang angin. Sementara Sang Bima benar-benar memperoleh apa yang dicarinya, Si Durna justru terbuka kedoknya sebagai pendeta bermasalah. Sayalah Durna itu. Yang di tengah keluarga pun, mata ini masih sering kelayapan melihat wanita-wanita cantik di sekitar. Apalagi di tempat-tempat umum, sekarang banyak wanita yang terang-terangan menonjolkan dadanya, memamerkan putih lengannya dan membuka pusernya. Betapa berat mengingat nama Tuhan di wilayah semacam ini. Dengan mutu hanya sekelas ini, mendadak saya bisa berlagak menjadi orang tua yang saleh. Yang marah ketika anak-anak lupa berdoa, lupa menaruh rasa hormat dan gagal berbakti pada orang tuanya. Sementara anak-anak itu betulbetul patuh dengan kewajibannya, sementara mereka sedang menuju menjadi Bima, orang tua ini, masih terhenti di sini, tertahan sebagai Durna belaka. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Di Stadion dengan Penonton Ratusan Ribu Di stadion Senayan tak kurang seratus ribu orang berkumpul bukan untuk nonton sepak bola, tapi sekadar untuk nonton layar lebar yang menyiarkan pertandingan bola. Ada perbedaan besar antara nonton bola beneran dan cuma sekadar nonton "bioskop" bola. Tapi perbedaan besar itu bagi kita seperti tak ada artinya. Kita seperti sudah bingung membedakan mana kejadian sebenarnya, mana yang bukan. Atau, meskipun bisa, kita sudah tak peduli lagi apakah yang kita hadapi adalah benar-benar kenyataan atau cuma sekadar gambaran kenyataan. Karena bisa jadi, saking jauhnya kita dari kenyataan itu, maka sekadar gambar kenyataan pun cukuplah. Karena saking mustahilnya kita ikut piala dunia, maka menjadi penonton pun cukuplah. Soal apakah mereka adalah Jerman, Brasil atau Indonesia, tak penting lagi, karena semua bisa terasa sebagai "negara saya". Sebagai penonton, kita pun tidak cukup menjadi penonton biasa, tapi penonton sesungguhnya. Bahwa yang kita tonton itu bukan sekadar bioskop, tapi sepak bola sebenarnya. Maka jika ada kesebelasan favorit kalah, bila hati ini panas dan tidak puas, kita boleh membuat keonaran, kalau perlu membakar stadion segala. Hebat sekali kemampuan kita ini dalam merasakan kenyataan semu itu sebagai asli. Karena cuma dengan "nonton bioskop" pun kita terbukti bisa membakar bangku-bangku tribune, kita bisa mengadakan karnaval di jalanjalan dengan kegembiraan sepenuhnya, kita bisa berpesta sedemikian rupa atas hajatan yang bukan punya kita.



Lalu di tengah-tengah panggung besar itu, seorang pejabat pun berpidato, yang celakanya, malah menambah jelas bakat kita dalam urusan nebeng kenyataan tetangga. Tiba-tiba saja, dengan alasan entah, pejabat ini merasa perlu untuk berkomentar tentang sepak bola Indonesia. Tentang mutunya yang jauh dari ajang panggung bola dunia. "Sepak bola kita adalah tanggung jawab kita semua," katanya. Lho, bagaimana ini mungkin? Kenapa lagi-lagi, jika ada persoalan, pihak penanggungjawab itu harus melebarkan sebutannya menjadi "kita". Kenapa tidak cukup saya dan kami saja. Ini sama sekali pilihan kata yang tidak fair. Karena rakyat jarang membuat kerusakan. Tapi giliran kerusakan --yang biasanya disebabkan oleh kaum "saya" dan "kami"-- itu tiba, rakyat harus dilibatkan sebagai kita. Sekarang, siapa yang peduli dengan jumlah lapangan di Indonesia? Berapa jumlah lapangan yang dibabat untuk dijadikan hunian? Apakah para pengembang perumahan itu pernah menyediakan lapangan sebagai derma publik? Banyak sekali keputusan para "kami" dan "saya" itu yang sama sekali tidak membela hak-hak publik. Dan anehnya, publik yang jelas-jelas menjadi korban, pada gilirannya malah ditunjuk sebagai pihak yang keliru. Lalu ada pula pejabat yang mengajak semua pihak untuk melupakan hal-hal yang lalu. "Kita berpikir ke depan saja. Kita lupakan kesalahan-kesalahan lalu." Lho, bagaimana ini mungkin? Bagaimana bisa ongkos kesalahan cukup ditebus hanya dengan melupakan. Begitu enak ternyata hidup para pembuat kesalahan. Padahal kesalahan masa lalu itu banyak di antaranya tidak benarbenar lalu, tapi sekadar kemarin. Jadi tidak ada jaminan bahwa setelah dimaafkan tidak akan ada lagi kesalahan baru. Jangan-jangan, ajakan untuk gampang memaafkan kesalahan lama itu hanya untuk membuat agar seseorang tetap gampang melakukan kesalahan baru. (03) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



David Beckham, Gogon dan Kejujuran Jika David Beckham adalah orang Indonesia, ia pasti akan berpikir ulang untuk bercukur model jambul Mohican, karena ia akan segera menjadi pesaing pelawak Gogon. Untung, di Inggris literatur komedian sama sekali telah berubah. Di negaranya, telah jarang -atau kalau malah tidak sudah lenyap sama sekali- pelawak yang melucu dengan mengobrak-abrik fisiknya, dengan dandanan serba aneh. Tapi di Indonesia, Beckham akan paham bahwa gayanya itu sama dan setara dengan gaya Gogon. Yang berbeda cuma bahwa Gogon seorang pelawak dan Beckham bukan. Padahal "hanya" pelawak yang direstui masyarakatnya untuk bergaya anehaneh. Karena masyarakat maklum, masih ada sementara komedian yang



masih menghubungkan kelucuan dengan keanehan. Itulah kenapa pelawak Indonesia hingga kini masih menyukai tempelan kumis model Chaplin. Lucu atau tidak, jika sudah berkumis Chaplin ia sudah boleh merasa sebagai pelawak. Jadi ada jenis komedian yang lebih bergantung pada kumis katimbang pada kualitas humor. Tapi lepas dari itu semua, mari kita tegaskan lagi bahwa cuma pelawak yang punya "hak" memasuki wilayah yang sering disebut sebagai oddity itu, sebagai keganjilan. Maka jika ada pihak lain mencoba bergaya ganjil dan aneh, ia akan berisiko disebut sebagai pelawak. Tepatnya bukan disebut tapi diledek. Ledekan itu bisa bermuatan aneka tujuan. Ada yang merasa geli-geli saja, ada yang sinis, ada yang malah kasihan dan ada yang campuran dari semuanya. Anehnya, pihak bukan pelawak yang meniru-niru tingkah pelawak itu marah sekali jika dianggap pelawak. Beckham pun belum tentu siap hati jika harus disejajarkan dengan Gogon. Penceramah, seminaris, pengkotbah, politisi yang lucu-lucu itu bisa sangat tersinggung jika disamakan dengan pelawak. Dari sini terlihat, bertapa profesi pelawak masih mereka anggap rendah, masih belum cukup berharga untuk berdiri sejajar. Tapi walau dianggap remeh, kelebihan mereka itu ternyata sering ditiru dan dimanfaatkan tanpa para peniru itu mau mengaku. Ibarat penulis yang mengutip pernyataan tapi malu menyebut sumber. Ibarat seorang yang gemar berselingkuh tapi menolak disebut tunasusila. Ibarat pedagang yang ingin dagangannya laku tapi menolak disebut berjualan. Dari sini baru terlihat, betapa rendah hati para pelawak itu. Betapa mereka lebih terbuka dalam memperagakan kejujuran. Sungguh tidak gampang memutuskan menjadi seorang Gogon. Sungguh tidak mudah memelontos rambut, menyisakan cuma jambulnya, yang sebelum menjadi tambang rezeki, model itu pasti berisiko menjadi sumber tertawaan. Pelawak melucu langsung dari sumbernya. Jika sumber itu berupa keharusan membotaki kepala, memonyongkan bibir dan berdandan bak orang gila, pelawak akan melakukannya. Mereka tidak takut menjadi jelek, diledek dan diremehkan. Pelawak mengatakan ambisi ingin laris, ingin terkenal dan banyak rezeki secara terbuka. Sementara banyak pihak bertujuan serupa, ingin laris, terkenal, lucu dan mendapat banyak tepuk tangan, tapi menolak berterus terang. Memang selalu ada saja pihak yang membungkus keinginan dengan kemasan yang tampak mulia tapi sesungguhnya mereka tak lebih berbobot dibanding manusia kebanyakan seperti kita. (03) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Cinta Membawa Pingsan ADA Apa dengan Cinta? Ada antrean panjang ketika film ini diputar. Ada ABG pingsan karena berdesakan. Terdapat setidaknya empat hal untuk menjelaskan soal ini. Pertama, sebut saja siklus periodik. Secara periodik, sebuah siklus akan mengalami semacam titik puncak. Periode siklus ini bisa panjang bisa pendek, tergantung mutu masyarakat yang bersangkutan. Di Hollywood, siklus itu demikian pendek. Belum rampung Home Alone membuat sejarah, menyusul Jurassic Park, menyusul lagi Titanic menyusul lagi Harry Potter. Di sebuah kebudayaan yang baik arsip sejarah begitu cepat penuh karena banyak pembuat sejarah bekerja secara produktif. Di Indonesia, sejarah itu memang berjalan sempoyongan. Periode siklus itu juga berjalan lamban, penuh ketidak pastian. Tapi sejarang apapun kita membuat sejarah, selalu ada saja sejarah yang lahir, betapapun kecilnya. Di balik banjir komedi slapstik yang bangga terhadap kekonyolan, setidaknya pernah lahir film Naga Bonar, film Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Di tengah apatisme yang parah terhadap film nasional, sempat pula lahir Tjut Nya Dien, film yang membuktikan bahwa tak sepenuhnya dunia film kita diisi oleh para tengkulak. Di tengah industri musik anak-anak yang gaduh, nyelip juga figur Sherina yang reflektif. Sebangkrut apapun kebudayaan kita, selalu lahir sesuatu yang menghibur kita. Cuma, hiburan itu memang sering kita tunggu begitu lama. Kedua, adalah bukti bahwa hukum kausalitas masih berjalan secara konsisten. Siapa bersungguh-sungguh akan mendapat imbalan sesuai kesungguhannya. Mira Lesmana adalah orang yang bersungguh-sungguh itu. Ia berani melawan keterbatasan dengan caranya sendiri. Menyiapkan film sendiri, membiayai sendiri, menjual sendiri, menyiapkan riset, menyebar kuisener, menentukan gagasan dan memilih parnter. Semua adalah rangkaian keputusan yang berani dan tak biasa. Ketiga, betapa teori efek domino memang sanggup menimbulkan sensasi luar biasa. Anak-anak yang ngebet nonton film Sherina, para ABG yang bikin pecah kaca jendela sampai harus pingsan segala itu, kita yang sering pensaran atas sesuatu, adalah sebagian korban efek ini. Kita menonton sesuatu bukan semata-mata karena mutu sesuatu itu, tapi juga karena dorongan psikologis sekitarnya, karena sesuatu itu tengah menjadi objek aktualitas bersama. Kita menonton sesautu bukan cuma untuk memenuhi hasrat artistik semata, tapi juga demi hasrat aktualitas kita. Bahwa aku sudah nonoton film ini maka aku sudah sejajar dengan yang lainnya. Kebutuhan untuk sejajar sungguh kebutuhan yang serius. Karenanya film itu cuma jembatan, cuma media agar aku merasa satu kelompok, merasa in group. Menjadi orang yang tidak aktual dan dianggap tertinggal, adalah kenyataan yang menakutkan. Maka meski aku harus berdesakan dan pingsan, jalan itu akan kutempuh juga.



Mira Lesmana dengan film-filmnya, baik Petualangan Sherina maupuan Ada Apa dengan Cinta memiliki efek domino itu. Beruntung pula efek itu berjalan ke arah semestinya. Karena ada juga, pemilik efek serupa, tapi berjalan ke arah sebaliknya. Film-film Garin Nugroho adalah contoh terbaik kasus ini. Tak peduli sebaik apapun film Garin, telah muncul anggapan bahwa film itu cuma cocok untuk para Juri Festival, bukan untuk penonton. Maka cerita tentang koleksi piala Garin, jauh lebih banyak katimbang koleksi penontonnya. Efek domino itu sesungguhnya adalah efek yang tidak adil. Karena ia bisa mendorong orang untuk membuat keputusan cuma berdasar gosip, dugaan dan prasangka. Ada film baik yang digosipkan buruk hingga sepi penonton. Ada film biasa tapi melimpah penontonnya karena luar biasa gosipnya. Soal kenapa efek domino itu masih sering menimpa kita, semua sangat tergantung pada potret kita sebagai masyarakat yang melahirkan faktor keempat dalam tulisan ini, yakni masyarakat penggemar mitos. Maka cita rasa kita atas sebuah film pun masih bisa serupa dengan cita rasa terhadap cerita klenik. Jika dikabarkan ada burung tetangga bisa berubah menjafi ular, berbondong-bondong kita mendatanginya. Tak pedului apakah kabar itu adalah kebenaran atau sekadar klenik murahan, semua soal belakangan. Pokoknya hasrat menonton ini harus dipuaskan walau pada akhirnya kita bisa berkata: "Apa sih istimewanya! Tiwas berdesakan!". (03) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Bahu Membahu Membela yang Keliru Seorang yang baru keluar dari ruang ATM ini sama sekali tak memberitahu bahwa mesin uang itu rusak sementara sayalah satu-satunya pihak yang menunggu di dekatnya. Ia ngeloyor begitu saja dan saya harus mengalami soal yang sama, sebuah kesialan yang sama sekali tak perlu jika orang ini mau sedikit saja berderma dalam bentuk memberi tahu. Sebetulnya saya tak benar-benar butuh jasanya. Karena di negara saya orang cuek seperti itu tak terhitung banyaknya. Maka katimbang harus tersinggung setiap hari lebih baik menganggap pemandangan itu sebagai soal yang jamak saja. Karena ada saja angkutan kota yang dengan tekun menunggu penumpang sambil tak merasa jika ia tengah mengangkangi jalan dan menimbulkan kemacetan panjang di belakangnya. Masih ada saja sopir taksi yang seluruh kabinnya pengap oleh asap rokok sehingga bau taksi itu tak lebih dari sebuah asbak besar. Lumayan jika cuma rokok. Beberapa sopir di antaranya malah masih ada yang tega mengencingi mobilnya sendiri begitu kebelet tiba. Sopir ini cukup hanya dengan membuka pintu dan menjadikannya sebagai dinding



toilet portable, habis perkara. Jika taksi lain ada yang sekadar berbau asbak, taksi yang ini malah telah menjadi WC umum. Jangan tanya pula tentang banyaknya perokok yang salah ruang. Tidak cuma di bus-bus omprengan yang pengap dan sesak, di restoran-restoran yang jelas-jelas serba tertutup dan berpendingin ruangan, tetapi juga di rumahrumah mereka sendiri. Ada seorang bapak yang sedang menimang bayinya lengkap dengan rokok mengepul seperti ketel uap dari mulutnya, dengan bayi sendiri sabagai penadahnya. Maka jangankan orang lain, bahkan bayi sendiri pun diasapi. Jadi jika cuma ada seseorang yang enggan memberi tahu tentang mesin ATM yang rusak kepada pemakai berikutnya, adalah soal yang harus dimaafkan dan kalau perlu malah disambut gembira. Di Indonesia, cadangan maaf memang harus demikian besarnya karena jumlah pelanggaran dan kesalahan seperti jauh di atas jumlah maaf yang tersedia. Walau yang belangsung itu sesungguhnya pasti bukan lagi peristiwa maafmemaafkan tetapi sudah menyerupai sikap putus asa. Putus asa kerpada jumlah pelanggaran yang telah di luar takaran itulah yang kemudian membuat kita secara bersama-sama memiLIh diam dan seolah-olah sabar terhadap kesalahan. Itulah keadaan yang disebut oleh Stephen Covey sebagai konspirasi gelap. Konspirasi yang tidak terang-benderang, seolah-lah tidak ada tetapi begitu nyata dan ganas daya rusaknya. Karena konspirasi ini ibarat seorang yang sedang berlari bersama-sama, saling bantu-mebantu, dorong mendorong, tarik-menarik tetapi cuma untuk masuk ke lubang secara berjamaah. Konspirasi semacam inilah yang rasanya sedang berlangsung di sekujur urusan, secara intensif, pasti dan berbahaya. Itulah keadaan saling mendukung, bahu-membahu di dalam kekeliruan. Maju tak gentar mendukung sang onar! Maka bisa dimengerti kenapa jumlah keterlanjuran kita besar sekali. Untuk membersihkan bantaran sungai dari bangunan liar misalnya, harus menunggu seluruh bantaran itu benar-benar menjadi perkampungan terlebih dulu. Akhinya mormalisasi sungai yang hendak dicanangkan cuma terpenjara di dalam pencanangan karena ia tak mungkin lagi dijalankan. Kampung di bantaran itu benar-benar telah menjadi sebuah desa dan pengusiran tehadapnya hanya akan menimbulkan perang terbuka. Saya pernah tampil di acara interaktif di televisi memandu seorang pejabat dengan seorang penelpon yang demikian marah pada pengelolaan sampah di kotanya. Begitu marahnya sehingga yang ia lakukan ialah bagaimana caranya agar ia bisa sekuat mungkin ikut mengotori kota. Membuang seluruh sampah ke sungai dekat tempat tinggalnya itulah yang putuskan sambil barangkali membayangkan wajah pejabat yang dibencinya. Inilah konspirasi gelap itu; keadaan ketika seorang bisa membenci sebuah kesalahan sambil ikut berbuat rusak sekalian. Jadi memang ada jenis gotong royong kelabu , bahu membahu membela yang keliru!



(PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Anak-anak Ayam Tak semua tamu membawa oleh-oleh dan tak semua oleh-oleh ternyata menyenangkan tuan rumah. Contohnya adalah tamu yang satu ini, yang datang dengan oleh-oleh aneh: tiga ekor anak ayam. Yang dituju pastilah anak-anak saya yang masih kecil-kecil, karena anak ayam yang dibawa ini adalah jenis yang telah diguyur warna merah, hijau, kuning, seperti manisan. Tamu ini benar, karena dalam sekejap saya anak-anak saya sudah histeris dengan mainan hidupnya. Tamu ini mengira bahwa tujuan mulianya berhasil karena ia juga tampak begitu bergembira. Begitu gembiranya hingga lupa kalau saya dan istri saling pandang dengan muka ditekuk. Tapi di hadapan tamu yang tulus ini, kami harus secepatnya tahu diri. Kami pun segera terlibat dengan ayam yang memang lucu itu. Walau kegembiraan kami adalah palsu belaka. Kelucuan ayam ini sungguh menjadi tak penting lagi. Karena jauh lebih penting adalah membayangkan betapa repot nanti mengurus tahinya, bagaimana kandangnya dan berapa lama kami harus memeliharanya. Di rumah kami yang kecil, tambahan makhluk hidup, betapapun lucunya, mengandung risiko yang tidak sederhana. Soal tempat dan kotoran, itu yang pertama. Soal pemeliharaan itu soal yang kedua. Rumah sekecil ini habis sudah untuk berhimpit kami sekeluarga. Tenaga istri habis sudah untuk mengurus anak-anak yang memilik tingkat kenakalan ekstra. Sedang anakanak, cuma bisa menyukai ayam-ayamnya. Mereka masih terlalu kecil untuk bekerja, tapi sudah terlalu berkuasa untuk main perintah kepada orang tuanya. Akhirnya, ayam-ayam ini benar-benar menjadi persoalan serius. Tiga hari pertama, hewan-hewan kecil ini telah menjadi tiran yang sanggup memerintah kami semua. Di pagi hari kandang kecilnya harus dikeluarkan, kotorannya harus dibersihkan, makanannya harus disiapkan. Dasar ayam, dan masih anak-anak pula, jika malam dan kedinginan, mereka berciat-ciat sedemikian rupa. Yang berciat-ciat ayamnya, yang rewel anak-anak saya, karena si sulung harus gelisah tidurnya. ''Dimasukkan dalam kamar, diselimuti,'' pintanya! Kami tentu melotot atas permintaan ini. Lebih melotot lagi ketika permintaan ini tidak boleh tidak harus dituruti. Jika tidak, ancamannya serius. Kami paham betul watak si sulung. Ia akan melawan dengan taktik yang merepotkan: tangis tertahan semalaman. Benar-benar celaka. Maka hingga saat ini, ayamayam itu telah pindah ke dalam, ke tempat terhormat dan hebatnya, anakanak ayam itu menikmatinya. Anak saya dan ayamnya lalu tidur tenang bersama-sama. Ganti orang tuanya yang gelisah oleh kejengkelan.



''Ayam ini terlalu terhormat,'' kutuk saya di depan istri, ketika anak-anak telah tertidur. ''Kembali dikeluarkan saja,'' keputusan saya. Istri pasif saja. Tampaknya ia kesulitan bersikap. Di dalam, ayam itu memang menganggu, tapi di luar, ia pasti tak tega. Anak dan emaknya ini memang sama saja wataknya terhadap binatang, serba tidak tega. Tapi sikap mendua istri ini tetap sebuah modal untuk membulakan tekad: ayam itu harus dikeluarkan. Wah, lega rasanya, lepas dari tekanan ayam. Tapi astaga, tak lama kemudian ayam-ayam celaka itu berciat-ciat lagi dengan marahnya. Saya dan istri kembali saling pandang membayangkan risiko yang saya takutkan dan risiko itu akhirnya datang juga: sulung terbangun untuk menengok ayamnya kembali. Ia luar biasa kecewa atas tindakan sepihak bapaknya ini. Dan sejak malam itu, ia berangkat tidur dengan ketakutan dikhianati orang tuanya. Karena takut dianggap pengkhianat, saya pun menyerah, menempatkan ayam-ayam itu kembali di tempat terhormat, hingga hari ini. Kini ayam-ayam itu mulai membesar dan kasih sayang anak-anak kami terhadap mereka makin besar saja. Kami sekeluarga memang repot bukan main, tapi saya mulai tenteram karena ayam itu membuat saya bisa belajar ketulusan dari anak-anak saya, meskipun cuma kepada ayam. (PrieGS/) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Aib pun Butuh Dibagi Belum lama ini saya lewat di sebuah toko buah yang sedang sepi pembeli. Kesepian itulah yang membuat penjualnya, seorang ibu muda, tampak punya waktu untuk membenahi kerapian dagangannya. Beberapa jenis buah dalam kantung plastik tampak sedang siap-siap digantung. Penggantungan inilah yang memancing masalah. Letak cantolan itu agaknya terlalu tinggi untuk ukuran tubuhnya, tapi terlalu rendah untuk dibantu tangga atau penyangga. Maka jadilah ia memakai media yang menurutnya paling praktis berjinjit saja. Usaha yang dianggap praktis ini ternyata malah tidak praktis. Karena kantung buahnya cuma bisa sampai pada mulut pengait, tapi untuk benar-benar terkait bukanlah persoalan mudah. Padahal jinjit adalah gerakan darurat, apalagi ditambah dengan usaha mengaitkan buah yang tidak mudah ini. Artinya ia tidak boleh terjadi berkalikali karena ancaman kelelahannya yang tinggi. Dan si ibu ini, ketika sudah lebih dari tiga kali usahanya melulu gagal, tampak mulai menyadari risikonya. Ia mulai menoleh kanan-kiri, dan saya yakin bukan untuk mencari pertolongan, tapi lebih pada mendektesi, apakah usahanya tadi aman dan tidak menjadi bahan tertawaan. Ketika ia yakin keadaan terkendali, usaha itu dicobanya lagi, dan ... gagal lagi.



Setiap kegagalan ia tebus dengan menoleh kanan-kiri untuk terus mengecek, apakah adegan konyolnya ini telah diketahui orang. Sesekali, ia menebus kegagalannya itu dengan tersenyum, menentramkan diri sendiri. Puncaknya adalah ketika kesabarannya telah habis. Dari berjinjit, ia nekat berjingkat untuk meraih ketinggian yang lebih memadai. Akibatnya sungguh tak pernah ia duga. Gantungan buah itu memang nyantol ke kawat pengait. Tapi yang lupa ia perhitungkan ialah ketika tubuhnya melayang turun tangan itu masih memegang kantung buahnya, dan musibah itupun datanglah. Buah itu, tepatnya apel, berhamburan ke mana-mana. Ibu ini mencoba mengatasi musibahnya dengan tertawa. Tapi kita tahu, tawa itu pasti tidak mewakili suasana hatinya. Tawa ini pasti sekadar upaya untuk berdamai pada suasana yang menekannya. Kita tidak tahu persis perasaan ibu ini. Ia bisa jengkel, marah, dan malu. Persoalnya bukan pada jenis perasaan apa yang sedang ia alami, tapi terletak bahwa ia sedang sendiri. Jadi apapan perasaan dia saat itu, entah jengkel, kesal dan malu, tidak ada tempat untuk berbagi. Maka tawa yang pahit itulah jalan tengahnya. Tawa ini pun sebuah langkah yang penuh risiko, karena ia cuma bisa tertawa pada buah dagangannya dan maksimal pada dirinya sendiri. Semua jenis perasaan ternyata butuh teman untuk berbagi. Kita tidak bisa marah sendirian, terharu sendirian dan bahkan untuk malu pun kita tidak bisa sendirian. Sekali waktu, dalam hidup kita pasti pernah mengalami jenis kesialan yag tidak bermutu ini. Kesialan itu bukan hal serius, tidak juga mengancam hilangnya nyawa. Tapi ia tetap menjadi derita jika kita sendiri. Terpeleset, menabrak pintu kaca, salah masuk ruangan... adalah hal-hal yang berat ketika sendiri tapi menjadi lelucon saja ketika kita bersama-sama. Begini hebat kebutuhan manusia untuk berbagi itu. Dan jika rasa malu saja butuh dibagi, apalagi rezeki. (Prie GS/) Posted by Prie GS at Sunday, January 20, 2008 0 comments Links to this post



Monday, January 14, 2008 Nonton Konser Bee Gees Di sebuah waktu luang seharian, saya membongkar-bongkar barang-barang lama. Saya membaca ulang buku-buku lama, menonton rekaman DVD lama. Saya membaca ulang novel Max Havelaar yang saya beli tapi tidak pernah saya baca dengan seksama. Aduh, berdosa benar saya. Buku itu ternyata sastra luar biasa. Sebuah novel sejarah yang mencekam. Dan gaya Multatuli alias Douwes Dekker itu dalam bercerita, benar-benar bergelora ketika saya dengan teliti menyimaknya. Sinis, lucu, cerdas. Tergelak-gelak saya dibuatnya dan bodoh benar saya bahwa humor seperti ini pernah saya biarkan teronggok begitu lama.



Buku ini dibuka dengan narasi seorang pedagang yang pikirannya cuma melulu kepada uang. Maka seluruh soal yang tidak mendatangkan uang ia cibir habishabisan, termasuk kesenian. Kepada sepotong sajak yang mengatakan: udara hitam pekat… dan waktu sudah jam empat, misalnya, ia umpat sebagai kebohongan. ''Mana mungkin ada udara sudah hitam pekat tepat pada jam empat. Bisa jadi waktu itu baru pukul tiga seperempat,'' begitulah kira-kira rasa sinisnya. Saya baca ulang buku-buku Kahlil Gibran. Kecil, tipis, murah dan seperti barang tak berharga. Tapi ya ampun, baru membuka selembar halamannya saja, saya seperti terlempar di sebuah galaksi yang jauh. Ia langsung menggedor saya: suka cita tak lebih adalah duka yang telah terbuka kedoknya, katanya. Sangar benar penyair ini! Baru satu kalimat. Padahal seluruh buku itu berisi ribuan kata yang semuanya tak selalu saya mengerti tapi entah kenapa kenindahannya terasa di hati. Saya menonton ulang biografi Muhammad Ali. Edan, keberanian orang ini keterlaluan. Di depan wartawan, saat ia hendak menantang juara dunia ia tidak cuma menjawab, tetapi juga bertanya. ''Apa kabar Sony Liston? Apa dia masih jelek? Juara dunia harus ganteng seperti saya!'' teriaknya. Ali tidak cuma berani berkelahi, tetapi juga berani disalahpahami. Dan keberanian itu melebar ke mana-mana hingga jauh di luar dunia tinju. Sendiri, ia menantang politik Amerika yang hendak mengirimnya ke Vietnam sebagai wajib militer. ''Tak ada alasan saya pergi untuk membunuh sesama orang miskin. Lagipula tak pernah ada Vietkong yang memangil saya Negro!'' Untuk keyakinannya ini, ia merelakan gelar juaranya dicopot paksa dan terancam masuk penjara. Meletup-letup gairah saya melihat keberanian semacam ini. Saya lalu menonton ulang dokumentasi Bruce Lee. Wuaaah… pede-nya setengah mati. Kecil saja tubuhnya, tetapi seluruhnya seperti cuma terdiri atas otot. Itulah otot yang sanggup melahirkan teknik pukulan satu inchi yang fenomenal. Di dalam tubuh sekecil itu menggelegak nyali yang menyala-nyala. Ia taklukkan Amerika dengan pukulan satu inchinya dan memaksa orangorang yang dua kali lipat tinggi tubuhnya harus datang sebagai murid. Lalu saya nonton konser Bee Gees di Las Vegas. Haaa… suara falset Gibb bersaudara yang sebetulnya aneh itu, menjelma sebagai koor yang memukau. Mereka telah menjadi para veteran. Si bungsu, Andi Gibb bahkan telah tiada saat konser itu berlangsung. Tetapi tenggorokan mereka seperti masih tetap sepeti sedia kala. Seluruh penonton hafal hingga titik koma lagu mereka. Tapi tidak pernah sekalipun orang-orang ini terpancing mengacungkan mikrofonnya ke arah penonton dan meminta untuk menirukan nyanyiannya. Di tengah lautan pemuja, orang-orang ini tidak sekalipun tergoda berimprovisasi macammacam cuma karena dorongan untuk bergaya. Ada jenis penyanyi yang begitu mendengar tepuk tangan langsung lenyap kesadarannya lalu bergaya terlalu dini. Baru masuk intro sudah melenggaklenggokkan lagunya sedemikian rupa. Penonton pasti tidak butuh ini. Penonton butuh lagu yang secara persis telah ada di benak mereka, dan Bee Gees



mengerti hukum ini. Di tengah histeria pemuja, Bee Gees tampil lurus, patuh, tertip dan sederhana. Ini sungguh setara dengan orang kaya raya tetapi tetap hidup bersahaja. Sungguh tirakat batin yang berat, dan hanya para juara yang sanggup melakukannya. Lalu saya nonton konsernya Guns N Roses. Wuaaa… urakan sekali AXL Roses itu. Kalau ia tetangga saya, bisa jadi saya sudah meminta Pak Lurah untuk mengusirnya. Tetapi ketika ia sudah berada di depan piano dan menyanyikan November Rain itu…. Ups! Saya boleh tidak menyukai orang ini secara pribadi tetapi saya tidak bisa untuk tidak menghormati bakatnya. Terakhir: sebetulnya saya bukan sedang ingin membuat resensi buku dan pertunjukan. Saya cuma sedang ingin menunjukkan; ada banyak harta karun terpendam di rumah Anda. Bongkarlah dan temukan kebahagiaan yang terancam Anda lupakan! (Prie GS/) Posted by Prie GS at Monday, January 14, 2008 0 comments Links to this post Labels: konser, nonton February 2008