Metode Abduksi, Induksi, Dan Deduksi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH ILMU FILSAFAT METODE ABDUKSI, INDUKSI, DAN DEDUKSI



OLEH : KELOMPOK 7 1. 2. 3. 4.



ALVREDO SATRIAWAN SINGGIH KELVIN HERVANGGA NUR FITRI MELATI M. DEDDY PRAMANA



(041811333088) (041811333076) (041811333089) (041811333101)



PRODI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2018



1



DAFTAR ISI



Cover



…………………………………………………………………… 1



Daftar Isi …………………………………………………………….......... 2 Kata Pengantar ……………………………………….........…………. ….. 3 I Pendahuluan ………………………………………..…..........…..……… 4 I.I Latar Belakang ……………………....................................................... 4 I.II Rumusan Masalah ……........……………….. ……………………….. 4 I.III Tujuan Pembahasan...………………………………………………... 4 II. Isi …………………………………………………………………........ 5 II.I Pengenalan Metode Induksi, Deduksi, Abduksi ………..…...……….. 5 III. Kesimpulan …………………………………...…….....…….……….. 19 Daftar Pustaka ……………………………………........………………... 21



2



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya. Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun



menambah



isi



makalah



agar



menjadi



lebih



baik



lagi.



Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.



Surabaya, Agustus 2018



Penyusun



3



PENDAHULUAN



LATAR BELAKANG Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara dangkal.dan didalam ilmu filsafat terdapat 3 metode dalam menganalisis suatu hasil pengamatan – pengamatan suatu data yaitu metode induksi, deduksi, abduksi, oleh karena itu kami akan membahas bagaimana metode – metode tersebut diaplikasikan ke lapangan. RUMUSAN MASALAH 1. Apa itu metode induksi? 2. Apa itu metode deduksi? 3. Apa itu metode abduksi? TUJUAN PEMBAHASAN Mengetahui apa itu metode induksi, deduksi, dan abduksi.



4



ISI METODE ABDUKSI Tugas utama ilmu pengetahuan tidak akan berhenti dengan hanya mengumpulkan data, akan tetapi lebih dari itu untuk mencoba mencarikan dan menemukan sebuah penjelasan atau eksplanasi atas data tersebut. Ilmuan tidak akan pernah puas dengan hanya menerima data dengan begitu saja. Data bukan sumber satusatunya bagi pengetahuan manusia. Dengan demikian ilmu pengetahuan merupakan suatu proses hidup yang dijalani oleh ilmuwan dalam menemukan hipotesis untuk menjelaskan fenomena atau data. Semua proses yang terdiri dari mencari dan merumuskan hipotesis yang terjadi dalam pemikiran ilmuwan. Proses yang terjadi dalam pikiran ilmuwan ini oleh C.S. Peirce di sebut abduksi. Abduksi menurut C.S. Peirce yaitu mencari dan merumuskan hipotesis. tiga bagian yang berkaitan dengan proses abduksi: a) Pemikiran Peirce tentang abduksi Pemikiran Peirce mengenenai abduksi mengalami perkembangan yang panjang dan baru mencapai kematangannya dalam karya-karyanya setelah tahun1893. Awalnya Peirce meemandang abduksi merupakan sebuah bentuk penyimpulan yang terdiri dari tiga proposisi, yaitu, proposisi tentang suatu hukum (rule), proposisi tentang suatu kasus (case), dan proposii tentang kesimpulan (result). Dalam abduksi, hukum, kasus, dan kesimpulan dibentuk dalam sebuah silogisme hipotesis yang tediri dari premis mayor, minor, dan kesimpulan. Bentuk silogisme hipotetis dapat dilihat sebagai berikut: Jika A, maka B dan A: maka B Akantetapi setelah tahun 1893,Peirce semakin sadar bahwa abduksi lebih dari sekedar sebuah bentuk logis. Abduksi merupakan tahap pertama dari penelitian ilmiah. Hal ini berawal saat ilmuwan heran terhadap peristiwa atau fakta.



Akhirnya pengalaman ini membangkitkan keraguan, pertanyaan dan karena itu ilmuwan atau peneliti mencoba mencari penjelasan atau hipotesis. Maka dari itu



5



secara formal, abduksi sesungguhhnya merupakan suatu bentuk silogisme yang bertolak dari falta atau kasus. Dari fakta tersebut kita dapat merumuskan suatu hipotesis untuk menjelaskan mengenai kasus tersebut. Hipotesis tersebut mengandung makna secara general atau universal. Maka, pertama abduksi berfungsi menawarkan suatu hipotesis yang bisa memberikan penjelasan terhadap fakta-fakta tersebut. Fakta-fakta tersebut harus dijelaskan dengan sebuah hipotesis. Maka dari itu silogisme abduksi selalu memulai dari fakta dan fakta tersebut dapat dirumuskan dalam sebuah hipotesis untuk menjelaskan fakta tersebut. Menurut Peirce ciri abduksi dibedakan (merincikan) menjadi dua. Yang pertama, abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan (eksplanasi yang probable). Probable disini untuk menegaskan bahwa hipotesis merupakan kemungkinan penjelasan, karena hipotesis hanya berfungsi sebagai konjektur atau dugaan. Jika penjelasannya benar maka fakta-fakta yang diobservasi akan dapat dijelaskan dengan benar dan kebenaran hipotesis tersebut dapat dibuktikan dengan melalui proses verifikasi. Yang kedua, hipotesis dapat memberikan eksplanasi terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan bahkan tidak dapat diobservasi secara langsung. Peirce beranggapan bahwa setiap hepotesis memang harus diverifikasi namun hepotesis tidak perlu dibuktikan dengan observasi secara langsung cukup memberikan atau menjelaskan fakta yang diobservasi dan ada kemungkinan untuk diverifikasi melalui pengalam dimasa depan. Teori tidak hanya dapat menjelaskan fakta yang bisa diamati tetapi juga fakta yang dapat diamati. Alasan filosofis menjelaskan kenyataan ini dapat dilihat dari sudut pandang tugas ilmu pengetahuan pada umumnya. Ilmu pengetahuan sebagai kegiatan akal budi manusia, yang didukung oleh fakta-fakta pengalaman, bertugas untuk



memperkenalkan gagasan baru dalam bentuk penjelasan tentang suatu masalah. Pengalaman merupakan suatu segi dari ilmu pegetahuan. Dan dari sisi lainnya pemikiran yang orisinil yang tidak hanya dapat di hasilkan dari logika saja



6



melainkan dapat juga melalui imajinasi. Meski begitu imajinasi dapat mengacaukan jika tidak diarahkan oleh pengalaman karena pengalaman atau observasi yang dapat mencetuskan loncatan imajinasi. Tetapi abduksi, di mana imajinasi yang brilian dan bebas menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan begitu saja,tidak menjalankan fungsi kritis. Abduksi hanya menghasilkan hipotesis sebagai penjelasan yang sementara. Abduksi hanya memberikan suatu konjektur atau dugaan yang masuk akal sebagai salah satu cara untuk memahami fakta. Maka, hipotesis yang ditawarkan melalui abduksi tidak lebih dari sebuah vague ideas, yang masih harus dibuktikan melalui induksi dan deduksi. b) Bebrapa syarat dalam pemilihan hipotesis Abduksi merupakan sebuah proses yang akurat untuk merumuskan hipotesis. Namun persoalan mengenai abduksi, dan persoalan logic of discovery, tidak berhenti di sini. Persoalan dasar dari abduksi adalah alasan logis sehingga hipotesis A lebih preferable, lebih pantas diuji dibandingkan hipotesis B. Syarat yang paling yaitu bahwa hipotsis yang dipilih adalah yang dapat diverifikasi secara eksperimental. Namun sebelum itu pemilhan hipotesis perlu mendapatkan pertimbangan ekonomi. Ilmuan sendiri adalah seorang manusia yang tunduk pada finansial dan waktu. Bahkan secara negatif, dengan mempertimbangkan ekonomi waktu, uang, dan tenaga, lebih menguntungkan memilih hipotesis yang paling cepat dan mudah ditolak dibandingkan deengan hipotesis yang memakan banyak waktu dan tenaga untuk diverifikasikan tetapi belum jelas.



Syarat yang lain yaitu dampak positif dari hipotesis bagi ilmu dan nilai hipotesis itu sendiri. Hipotesis yang baik yaitu yang terbuka dan mendalam. Jika sebuah hipotesis dapat menjelaskan fenomena lain secara bersamaan maka perlu dipertimbangkan untuk verifikasi lebih lanjut. Dikemudian hari hipotesis tersebut dapat ditinjau kembali sebagai teori ilmiah dengan lingkup penjelasan



7



yang luas karena semakin baik hepotesis maka semakin luas dan mendalam hipotesis tersebut. Hipotesis yang baik yaitu hipotesis yang dapat diuji, dan dapat membantu bagi perkembangan ilmu tersebut. Dengan perkataan Peirce, hipotesis yang baik adalah hipotesis yang memiliki karakter idealistik. Idealistik disini memiliki arti hipotesis itu tidak hanya dapat diuji, dibuktikan benar dengan berbagai macam alat pembuktian, dan dengan demikian dapat mendorong perkembangan ilmu tersebut dengan dinamis. Hipotesis yang dapat disebut idealistik yaitu yang berdasarkan pengalaman. Peirce menaruh kepercayaan yang besar pada insting akal budi manusia untuk mengenal kebenaran atau memilih eksplanasi yang benar atas fakta. “Hence we must expect that man should have a natural light, or light of nature, or intinctive insight, or genius, that will guide them to a correct or nearly correct conjecture about the laws.” Maka “hipotesis eksplanatoris “ menjadi pilihan akal budi kita. Namun hal tersebut tidak dapat lepas dari kritik. Kontrol dan kritik tetap diperlukan dan hal itu dapat terjadi pada fase kedua dalam seluruh kegiatan ilmiah. Insting hanya sebuah alat ilmu pengetahuan ketika satu hipotesis harus dipilih diantara banyak hipotesis. c) Kesimpulan nilai teoretis fase abduksi



Pemikiran peirce tentang pentingnya insting pada fase abduksi memiliki implikasi teoretis yang besar. Pertama, abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep yang universal. Kesimpulan dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suati kasus khusus dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hepotesis mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum. kedua, abduksi merupakan sebuah proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk



8



oleh imajinasi bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, ilmuwan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika mengahadapi begitu banyak yang harus diuji. Maka karena itu tidak muncul dari suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis. Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang sesuatu yang baru. Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the explanation for the phenomena might be”. Keempat, yaitu interpretatif. Abduksi yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang bebas. Maka dari pada itu ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduksi merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi sendiri memiliki arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman. METODE INDUKSI Induksi adalah cara kerja ilmu pengetahuan yang bertolak dari sejumlah proposisi tunggal atau partikular tertentu untuk menarik kesimpulan umum tertentu. Dengan kata lain, atas dasar sejumlah fenomena, fakta, atau data tertentu yang dirumuskan dalam proposisi-proposisi tunggal tertentu, ditarik kesimpulan yang dianggap sebagai benar dan berlaku umum. Cara kerja ini umumnya dimulai dengan penelitian untuk mengamati berbagai fenomena dan mengumpulkan berbagai macam fakta dan data yang kemudian dievaluasi untuk bisa melahirkan kesimpulan umum tertentu. Kesimpulan ini pada



9



dasarnya merupakan generalisasi dari fakta dan data yang kemudian di evaluasi untuk bisa melahirkan kesimpulan umum tertentu. Kesimpulan ini pada dasarnya merupakan generalisasi dari fakta dan data atau proposisi tunggal yang ada yang memperlihatkan kesamaan , keterkaitan, dan regularitas diantara fakta yang ada tadi. Sebelum kita melangkah lebih jauh, perlu kita tegaskan bahwa kendati dengan menggunakan cara kerja induksi kita dapat secara sah menarik kesimpulan umum tertentu yang dianggap benar dan berlaku umum, kebenaran kesimpulan itu - entah berbentuk hukum atau teori ilmiah – harus dianggap sebagai bersifat sementara. Dengan kata lain, kendati kita secara sah mendasarkan diri pada berbagai fakta yang ada untuk menarik suatu kesimpulan yang benar, ini tidak dengan sendirinya menjamin bahwa kesimpulan itu benar secara mutlak. Ini tidak menjamin bahwa kebenaran kesimpulan itu bersifat mutlak karena ciri dasar dari induksi adalah bahwa induksi selalu tidak lengkap. Dalam kegiatan ilimiah, kita hanya bisa bekerja dengan pengamatan atau data yang sangat terbatas sifatnya. Kita tidak pernah sampai mencangkup semua data yang relevan karena data yang relevan tidak terbatas jumlahnya. Induksi Gaya Bacon Orang yang paling berjasa dalam mengembangkan metode induksi adalah Francis Bacon (1561-1626). Menurut Bacon, ilmu pengetahuan dan ilmuwan sampai dengan zamannya terlalu berupaya untuk mengontrol dan memanipulasi alam menurut kehendaknya. Menurut Bacon, ilmuwan, termasuk Aristoteles, “telah sampai pada kesimpulan sebelum ia sendiri melakukan percobaan. Ia tidak mengacu pada percobaan, sebagaimana yang seharusnya dilakukan, ... melainkan dengan telah menetapkan persoalan tersebut sesuai dengan kehendaknya, ia memaksakan pengalaman agar cocok dengan apa yang dipikirkannya.” Inti dari induksi gaya Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bermula dari dan dikendalikan oleh pengamatan yang tidak terpengaruh oleh pengandaian apapun juga. Ilmuwan harus mendekati alam atau objek penelitiannya dengan



10



menggunakan mata yang lugu dan tidak dicemari oleh anggapamn apapun juga. Ia tidak boleh dikuasai oleh praduga praduga apapun. Ada tiga hal pokok yang mau dikatakan bacon disini. Pertama, ketika mengadakan penelitian ilmiah, ilmuwan harus bebas dari segala pengenadaian. Tujuannya adalah untuk mencegah bias ilmiah. Bias ilmiah terjadi ketika ilmuwan hanya menggunakan data dan fakta sekadar untuk membenarkan pemikiran atau teori yang sudah dimilikinya. Akibatnya, ada kecenderungan untuk hanya memperhatikan data yang relevan dengan kerangka pikiran yang ada. Akibatnya, kesimpulan yang diperoleh memang sah, tetapi meleset atau keliru. Kedua, sebisa mungkin memperhatikan fakta dan data yang bertentangan satu sama lain. Artinya, jangan hanhya memperhatikan fakta yang cocok satu sama lain, apalagi yang hanya cocok dengan apa yang telah dipikirkan atau diduga, tetapi juga



data dan fakta yang agak menyimpang atau yang tidak diduga-duga. Khususnya, data dan fakta yang berbeda dari yang telah diperoleh bahkan yang tidak disangka-sangka. Ketiga, setelah mengamati objek sebagaimana adanya, dan mengumpulkan fakta dan data tentang objek itu, fakta dan data tersebut dievaluasi, diklasifikasi, dirumuskan, dan disimpulkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki ilmuwan itu. Jadi, baru pada tingkat inilah ilmuwan dapat menggunakan berbagai macam konsep dan teori yang telah diketahuinya untuk mengolah data yang ada. Pada tingkat inilah, akal budi dan pengamatan indrawi saling menunjang untuk memperoleh kesimpulan yang dapat diandalkan. 1. Keberatan dan Kelemahan Induksi Gaya Bacon Terlepas dari keunggulan dan manfaat atau nilai positifnya diatas, ada dua keberatan atas induksi gaya Bacon dan cara kerja induksi pada umumnya, Pertama, betapapun menariknya metode yang dianjurkan Bacon, dalam kenyataannya kita tidak pernah mendekati, meneliti, dan membaca alam dengan mata telanjang yang kosong



11



sama sekali. Kita tidak bisa melakukan pengamatan apapun atas alam tanpa ide tertentu tentang alam yang sedang kita amati. Pengertian ini bisa saja tidak ilmiah, tapi kenyataannya menunjukkan bahwa kita tidak bisa mengamati alam dengan akal budi yang kosong sama sekali. Mengapa? Karena ketika kita mengamati objek tertentu, kita sesungguhnya telah memiliki kerangka teoritis tertentu. Kita sudah punya asumsi tertentu. Jangan tebelenggu dengan asumsi teoritis. Jadi, dapat disimpulkan bahwa asumsi teoritis tetap penting. Tetapi, kita tidak boleh menjadi budak dari asumsi teoritis. Kita harus terbuka pada penemuan baru. 2. Langkah – langkah metode induksi



Dengan memperhatikan keberatan-keberatan diatas, kita dapat membedakan dua model langkah metode induksi. Yang pertama dapat kita sebut metode induksi murni. Yang kedua metode induksi yang telah dimodifikasi. A, langkah-langkah metode induksi murni Dalam induksi murni, ada empat langkah penting. Pertama, identifikasi masalah. Pada tahap ini akan muncul sebuah situasi yang disebut sebagai situasi masalah. Intinya ada berbagai macam gejala yang memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang “aneh” atau “menarik”. Ada kejadian atau peristiwa tertentu yang belum bisa dijelaskan secara masuk akal. Singkatnya, tahap pertama adalah menetapkan dan merumuskan apa masalah yang ingin dipecahkan. Kedua, pengamatan dan pengumpulan data. Untuk menjawab dan menjelaskan masalah tersebut diatas, dilakukan pengamatan secara lebih seksama atas gejala gejala yang menimbulkan masalah diatas. Pengumpulan fakta dan data yang diduga dapat menjelaskan masalah tersebut diatas. Fakta dan data tersebut lalu diklasifikasi, dikaji, dan dianalisis untuk mendapatakan suatu gambaran yang jelas yang dapat memberi penjelasan tentatif tentang sebab dari masalah diatas. Ketiga, merumuskan hipotesis. Atas dasar fakta dan data yang telah dikumpulkan dan dianalisis tadi, diajukan sebuah hipotesis yang berfungsi untuk



12



menjelaskan sebab dari masalah tersebuat diatas. Sebab tersebut hanya merupakan jawaban sementara berdasarkan fakta dan data yang telah ditemukan. Hipotesis ini didasarkan pada dugaan dugaan mengenai hubungan yang terjalin antara berbagai fenomena, antara berbagai fenomena, antara berbagai fakta dan data, khususnya dengan gejala yang menjadi masalah tersebut diatas. Keempat, tahap pengujian hipotesis. Tahap ini bermaksud untuk menguji lebih lanjut kebenaran hipotesis tadi dengan melakukan penelitian dan percobaan lebih lanjut untuk membuktikan apakah sebab yang menjadi dugaan dalam hipotesis tadi memang terbukti benar. Caranya adalah dengan membuat berbagai prediksi yang akan memperlihatkan adanya kaitan yang tak terbantahkan dan terbukti benar antara sebab yang diduga dalam hipotesis dan gejala yang menjadi masalah tersebut diatas.



B. Langkah-langkah induksi yang telah dimodifikasi Dengan terutama memperhatikan keberatan atas induksi murni gaya Bacon di atas, kita dapat mengajukan langkah-langkah metode induksi yang sedikit dimodifikasi dengan mengakomodasi keberatan tersebut di atas. Pertama, seperti halnya dalam metode induksi murni, adalah adanya suatu situasi masalah. Ada masalah tertentu yang sulit dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang ada, dan karena itu mendorong kita untuk melakukan penelitian untuk menjawab dan menjelaskannya. Kedua, pengajuan hipotesis. Berbeda dengan metode induksi mumi, langkah kedua adalah mengajukan hipotesis tentatif tertentu yang diduga bisa menjawab masalah tersebut. Hipotesis ini merupakan hasil dari abduksi telah kita bicarakan di depan. Kalau dalam metode induksi muni, hipotesis dibentuk berdasarkan fakta dan data yang diperoleh melalui penelitian, dalam metode induksi yang telah dimodifikasi ini, hipotesis dibentuk hanya berdasarkan akal sehat, dugaan muni, spekulasi, imajinasi, maupun asumsi tertentu berdasarkan pengetahuan tertentu yang telah dimiliki. Dengan kata lain, dalam induksi mumi, masalah tersebut yang hendak dipecahkan dijawab dengan berpaling kepada fakta dan data yang diperoleh melalui penelitian lapangan. Sedangkan dalam metode induksi yang telah dimodifikasi, masalah tersebut dijawab



13



dengan berpaling kepada hipotesis tertentu yang langsung diajukan berdasarkan pengetahuan tentatif tertentu. Dalam penelitian modern dewasa ini, tahap atau langkah pengajuan hipotesis ini mencakup pula studi kepustakaan. Tujuannya, untuk mengetahui pengetahuan awal yang masih bersifat umum sekitar masalah yang dihadapi. Sejauh mana masalah tersebut telah berusaha dijawab oleh ilmuwan tertentu. Selain dimaksudkan untuk membantu kita merumuskan hipotesis awal untuk menuntun kegiatan penelitian selanjutnya, studi kepustakaan juga membantu kita untuk merumuskan masalah tersebut secara lebih akurat dan jelas.



Ketiga, penelitian lapangan untuk mengamati dan mengumpulkan fakta dan data sebanyak mungkin dengan dimbimbing oleh hipotesis tadi. Langkah ini pun sedikit berbeda dengan langkah yang sama dalam induksi murni. Dalam induksi murni, hipotesis baru dibentuk setelah ada penelitian lapangan. Dengah kata lain, dalam induksi murni, penelitian lapangan dimaksudkan untuk menjawab masalah yang dihadapi. Dalam induksi yang telah dimodifikasi, penelitian lapangan bermaksud untuk menjawab masalah tadi berdasarkan hipotesis yang telah dianjurkan. Keempat, pengujiam hipotesis. Dalam langkah atau tahap ini, hipotesis awal atau yang diganti tadi diuji berdasarkan fakta dan data yang kita temukan dan kumpulkan. Kalau hipotesis tersebut didukung oleh fakta dan data yang ada, hipotesis tersebut diterima dengan benar. Kalau tidak, maka dianggap gugur dan perlu diajukan hipotesis yang baru sama sekali. Termasuk dalam langkah pengujian ini adalah upaya membuktikan kebenaran hipotesis yang telah didukung fakta tadi dengan membuat prediksi untuk menunjukkan apakah hipotesis itu benar atau tidak. METODE DEDUKSI Pengujian atas hipotesis dapat dimulai dengan memeriksa implikasi eksperiensial (virtual prediction) dari hipotesis. Setelah seorang ilmuwan memilih hipotesis, langkah berikutnya adalah menyimpulkan prediksi-prediksi eksperiensial dari hipotesis itu, mencatat dan menyeleksi prediksi serta pada akhirnya mengamati



14



apakah prediksi itu terjadi atau tidak. Proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hipotesis kita sebut dengan proses deduksi. Deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensial dari hipotesis eksplanatoris. Tugasnya adalah mengeksplikasi hipotesis dengan cara menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis. Pertanyaannya adalah bagaimana kita menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis? Setiap hipotesis eksplanatoris selalu mengandung predikasi generalitas. Artinya, predikat hipotesis mengklasifikasikan suatu peristiwa dalam suatu kelas yang lebih umum. Oleh karena itu, dalam proses memikirkan prediksi dari hipotesis, seorang ilmuwan dapat berkonsentrasi hanya pada makna generalitas predikat dari hipotesis. Ia dapat menganalisa kelas dan merumuskan ciri-ciri dari suatu kelas. Ini merupakan suatu proses yang membuat hipotesis menjadi makin lama makin jelas dan mudah dipahami. Ini merupakan deduksi yang nyata, di mana hipotesis itu seniri berfungsi sebagai premis minor.



1. PENALARAN DEDUKTIF Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan tertentu. Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut. Contoh dari



15



penggunaan premis dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Premis Minor: Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai salah satu disiplin keilmuan yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian kebenarannya. Penalaran deduktif merupakan salah satu cara berfikir logis dan analistik, yang tumbuh dan berkembang dengan adanya pengamatan yang semakin intens, sistematis, dan kritis. Juga didukung oleh pertambahan pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan bermuara pada suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional sehingga dapat dipertanggung jawabkan kandungannya, tentunya dengan mengesampingkan hal-hal yang irasional. Adapun penyelesaian masalah secara rasional bermakna adanya tumpuan pada rasio manusia dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Dan paham yang mendasarkan dirinya pada proses tersebut dikenal dengan istilah paham rasionalisme. Metode deduktif dan paham ini saling memiliki keterikatan yang saling mewarnai, karena dalam menyusun logika suatu pengetahuan para ilmuan rasionalis cenderung menggunakan penalaran deduktif. Lebih jauh lagi deduksi sering lahir dari sebuah persangkaan mayoritas orang. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa setiap keputusan adalah deduksi. Dan setiap deduksi diambil dari suatu generalisasi yang berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati. Generalisasi ini terjadi karena adanya kesalahan dalam penafsiran terhadap bukti yang ada. Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya tumpuan pada pengamatan terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak demikian. Seperti halnya kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien, hal ini terjadi karena tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain dengan tanda-tanda seperti itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang bukti di tempat tindakan kriminal.



1. TEORI KEBENARAN PRAGMATIS Teori kebenaran pragmatis merupakan sebuah proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta nyata yang mendukung semua pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce dalam



16



sebuah makalah dengan judul “how to make our ideas clear?” yang terbit pada tahun 1878. Bagi seorang penggiat pragmatisme, kebenaran suatu pernyataan diukur dengan ada tidaknya fungsional hal tersebut dalam kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan bernilai benar jika berkonsekuensi dengan adanya kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Sehingga penalaran deduktif juga sering diartikan sebagai sebuah metode eksperimen.



2. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor kebutuhan fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi materinya, sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien. Bahkan dari segi lain keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa terjadi karena poin-poin yang ingin dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini sesuai untuk digunakan dalam proses pembelajaran, seperti halnya guru memberikan penerangan sebelum memulai pembelajaran. Selain itu pada deduksi, kesimpulannya merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar manakala premispremisnya benar. Adapun kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya, atau bahkan keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis tersebut akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya, sehingga sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya mengandalkan logika deduktif. Selain itu manakala argumennya diuji kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola penalarannya tapi bukan materi premisnya, jadi benar salahnya premis tersebut tidak dapat diuji.



17



KESIMPULAN Manusia adalah mahluk yang diberikan kemampuan berpikir, merasa,melihat, mendengar, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakanya diperoleh atau bersumber pada pengetahuan yang didapatkan melalui proses-proses tersebut. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan berpikir dan tidak dikaitkan dengan perasaan, dalam hal ini seorang ahli fisika yaitu Pascal menyatakan bahwa ternyata hati mempunyai logikanya sendiri. Dalam penalaran manusia yang besifat relative sehingga menghasilkan banyak metod, tidaak terkecuali para filsuf yunani, yakni Aristoteles menyatakan bahwa pengetahuan bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu induksi dan deduksi, dan abduksi. Induksi adalah proses penalaran atau penarikan kesimpulan dimana benar-tidaknya tesis (pernyataan/proses) ditentukan oleh pengalaman. Induksi bertolak dari



dari



observasi



tentang



objek-objek



tertentu.



Induksi



bergerak



Seperangkat fakta yang diobservasi secara khusus. Ditarik pernyataan yang



bersifat umum tentang akta dari seperangkat sebab tertentu menuju pada sebab akibat, atau sebaliknya. Deduksi adalah proses penalaran yang bertolak dari generalisasi (hal



18



yang umum) lalu kita rumuskan kesimpulan yang lebih khusus.cara kerja ilmu-ilmu a priori (ilmu pasti: matematika, logika) berdasarkan cara kerja penalran jenis ini. Pernyataan atau klaim deduktif disebut juga dengan klaim a priori (tanpa pengalaman). Kebenaran kesalahan klaim apriori hanya dapat diketahui melalui rasio atau intuisi intelektual. Klaim apriori bersifat niscaya (necceserry) yaitu keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang pasti atau tidak mungkin. Kalim a priori yang sekali dinyatakan benar, akan tetap benar (misalnya dalil atau postulat matematika). Abduksi adalah sebuah bentuk pembuktian berdasarkan silogisme. Pembuktian ini berada dengan pembuktian berdasarkan deduktif dan induktif. Sifat pembuktian ini lebih lemah daripada pembuktian deduksi dan induksi. Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesa-hipotesa dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partiklar menuju sebuah “penjelasan yang mngkin” tentang khusus. Penalaran abduksi ini tidak memberikan kepastian mutlak (probable). Misalnya, ada satu kasus atau fakta A yang menimbulkan tanda tanya. Lalu diajukan hipotesa B. jika hipotesa B benar, maka fakta A adalah yang biasa-biasa saja.



19



DAFTAR PUSTAKA 1. Adib, Mohammad . 2015. Filsafat Ilmu . Yogyakarta : Pustaka Pelajar . 2. Keraf, Sonny, A., dkk . 2013 . Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis . Yogyakarta : Penerbit Kanisius . 3. Mustofa, Imron . 2016 . El-Banat (Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam) . Surabaya : Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI . 4. Hidayat,



Adi



.



“Persoalan



Filsafat



Ilmu”



.



(www.researchgate.net/publication/2844442954 di akses 22 Agustus 2018) 5. Kant, Immanuel , dkk . 2004 . Filsafat Ilmu . Yogyakarta : Belukar .



20