Metode Penelitian hukum-MHD - CHAIRUL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

METODE PENELITIAN HUKUM (Pendekatan Yuridis Sosiologis)



Oleh: Dr. Muhammad Chairul Huda, S.HI, M.H.



Editor: Dr. Ilyya Muhsin, M.Si



i



METODE PENELITIAN HUKUM (Pendekatan Yuridis Sosiologis) Penulis: Dr. Muhammad Chairul Huda, S.HI, M.H.



ISBN : 978-623-6077-20-7



Editor : Dr. Ilyya Muhsin, M.Si Desain Sampul dan Tata letak: Seply Arsiantoro Penerbit: The Mahfud Ridwan Institute Redaksi: The Mahfud Ridwan Institute Jl. KH. Ahmad Sholeh Km. 04, Dsn.Bandungan, Ds. Gedangan, Kec. Tuntang, Semarang, Jawa Tengah 50773, Telp: (0298)3433250, Email : [email protected] Anggota IKAPI Jawa Tengah Cetakan pertama, Desember 2021 vi + 136 halaman; 15 x 23 cm Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.



ii



KATA PENGANTAR Hukum, baik dalam wujudnya yang tertulis (written law) atau yang tidak tertulis (unwritten law) telah lahir seiring keberadaan manusia. Adanya manusia selalu diikuti oleh adanya hukum. Bukankah Nabi Adam diturunkan dari surga ke-alam dunia ini gegara terpedaya tipu muslihat iblis lalu “melanggar” hukum Tuhan? Oleh karenanya umur eksistensi hukum setua umur eksistensi manusia itu sendiri. Hukum juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Sejak bangun tidur, mengenakan pakaian, beraktifitas apapun, hingga tidur kembali, tidak bisa dilepaskan dari hukum dalam wujudnya yang universal. Maksud dari wujud hukum yang universal disini, hukum tidak hanya dimaknai deretan pasal-pasal yang ada dalam undang-undang. Lebih dari itu, segala bentuk aturan-aturan sosial, aturan agama, adat istiadat, tradisi, bahkan mitos, merupakan produk hukum yang dikonstruksi oleh masyarakat. Keberadaannya ditaati oleh aktor-aktor yang meyakininya. Pelanggaran terhadapnya juga diyakini mengandung konsekuensi berupa sanksi (punishment), entah berupa hukuman sosial, hukuman Tuhan, maupun dihukum oleh segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan untuk menghukum. Sedemikian luasnya kajian tentang hukum hingga dapat diibaratkan mencakup wilayah kajian yang sangat luas dan tak bertepi. Hukum adalah ilmu yang tidak habis-habisnya untuk selalu didiskusikan, terutama oleh mereka yang secara intensif melakukan kajian hukum. Sejarah dan dinamika perkembangan hukum selalu menarik untuk dipelajari oleh siapa saja khususnya para pengkaji hukum. Pengkaji hukum yang dimaksud adalah kalangan akademisi, praktisi serta para



iii



peneliti. Hukum juga bukanlah sesuatu yang stagnan, tetapi ia lahir atas dinamika sosial. Oleh karenanya Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH menyatakan bahwa hukum adalah proses untuk menjadi (law as process). Penting mengkaji hukum dengan tidak hanya menempatkannya sebagai bahan -dalam bahasa ulumul Qur’an- “qoth’i” (taken for granted), yang terisolasi dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem pengetahuan) dan relasinya dengan masyarakat. Dalam dimensi yang lain, hukum tak selalu seiring sejalan dengan realitas yang terjadi. Das Sein (realitas) tak selalu sesuai dengan das Sollen (idealitas). Disinilah pentingnya mengkaji hukum bukan hanya berfokus pada aturan-aturan (perundang-undangan) ansich, namun juga pada aspek sosilogis. Buku ini hadir -paling tidak- memberikan perpsektif lain, bahwa kajian hukum tidak selalu identik dengan pendekatan yang bersifat dogmatis dan normatif, tetapi hukum memiliki hakikat interdisipliner. Maksudnya, berbagai disiplin ilmu lainnya (mis: sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, sejarah, agama, dsb) dapat digunakan untuk membantu menjelaskan berbagai aspek yang berkaitan dengan kehadiran hukum ditengah kehidupan masyarakat. Oleh karenanya buku ini mencoba menjelaskan tentang metode penelitian hukum dengan pendekatan interdispliner, khusunya dalam pendekatan yuridis sosiologi. Terlalu “sombong” jika mengatakan bahwa buku ini akan memberikan khazanah dalam kajian hukum. Karena sebetulnya apa yang penulis sajikan dalam buku ini sekedar memotret dalam “kacamata” yang dimiliki oleh penulis sarat dengan berbagai keterbatasan. Kacamata tersebut tentu tidak dapat memotret hukum secara utuh karena memang kedalaman dan keluasan kajian hukum yang tidak dapat



iv



dituliskan dalam seberapapun tebalnya lembaran buku. Kajian hukum itu sendiri adalah samudera ilmu yang tak bertepi. Melalui buku ini pula, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada guru-guru penulis, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat. Guru yang penulis temui secara langsung maupun melalui karya-karyanya. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada guru-guru penulis ketika menempuh pendidikan S3 Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, wa bil khusus kepada Prof. Dr. H. Yusriyadi S.H., M.S. dan Prof. Dr. H. Mudjahirin Thohir, M.A. Beliau berdua telah berkenan “netah” dalam keilmuwan penulis. Kepada guru-guru di Fakultas Hukum UNISSULA Semarang ketika penulis menempuh pendidikan magister hukum, dan guru-guru di Fakultas Syariah IAIN Salatiga saat penulis menempuh pendidikan sarjana hukum Islam. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman dosen di IAIN Salatiga, teman-teman diskusi yang “tega” mengkritik dan memberikan insiprasi bagi penulis. Kepada Dr. H. Ilyya Muhsin M.Si yang berkenan menjadi editor buku ini ditengah kesibukannya menjadi Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah dan Editor in Chief Jurnal Ijtihad. Last but not least, ucapan terimakasih kepada orangtua, istri dan keempat buah hati penulis yang selalu memahami kesibukan penulis dan tak henti memberikan doa terbaik. Salatiga, Desember 2021



Penulis



v



DAFTAR ISI Kata Pengantar .............................................................................. iii Daftar Isi ........................................................................................ vi Bab I Pendahuluan: Relasi Manusia dan Hukum ............ 1 Bab II Pendekatan Penelitian Hukum Yuridis Sosiologis .....................................................................................21 Stand Point Peneliti .....................................................................25 Paradigma Penelitian ...................................................................27 Jenis/Tipe Penelitian ...................................................................31 Bab III Pengumpulan dan Pengolahan Data dalam Penelitian Yuridis Sosiologis .................................................33 Sumber dan Jenis Data ................................................................33 Teknik Pengumpulan Data .........................................................34 Teknik Pengolahan Data .............................................................39 Teknik Validitas Data ..................................................................42 Teknik Penyajian Data ................................................................45 Bab IV Teori dalam Penelitian Yuridis Sosilogis ............47 Memahami Manusia: dari Tindakan Rasional hingga Beyond Rasional ..............................................................47 Memahami Realitas di Masyarakat ............................................56 Tafsir dan Makna Semiotik Tanda ............................................71 Relasi Kekuatan Ekonomi, Kekuatan Budaya dan Bekerjanya Hukum ......................................................................84 Progresifitas Hukum menuju li Maslahatil Ummah ................91 Bab V Kerangka Penulisan Skripsi/Tesis & Refleksi Menulis Disertasi ................................................................... 101



vi



Daftar Pustaka ........................................................................ 121 Contoh Artikel Penelitian Menggunakan Pendekatan Yuridis Sosiologi ..................................................................................... 141



vii



viii



BAB I PENDAHULUAN: RELASI MANUSIA DAN HUKUM Manusia merupakan rangkaian organisme holistik dan dinamis yang memiliki kebutuhan-kebutuhan dasariah dalam proses hidup dan kehidupannya. Jiwa dan tubuh yang terdapat dalam manusia merupakan rangkaian unsur kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan. Apa yang terjadi pada satu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain. AlGhazali memandang esensi manusia secara ganda, yaitu naturalistik (biologis) dan metafisis yang terdiri dari nafs (jiwa), ruh (roh), qalbu (kalbu), dan aql (akal).1 Hal senada dikatakan oleh Emile Durkheim yang menyebut bahwa manusia memiliki dualisme watak yaitu tubuh duniawi dan jiwa.2 Manusia selalu mengalami perubahan baik dalam hal jasadiyah maupun pemikirannya.3 Abraham Maslow menyatakan bahwa hirarki kebutuhan dasariah manusia terdiri dari lima hal, yaitu; pertama, kebutuhan yang bersifat fisik seperti makan, minum, air, udara serta penyaluran hasrat seksual.4 Pada tataran ini kebutuhan manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk hidup lainnya, terutama premata yang secara biologis lihat dalam Anwar, S. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia, hlm. 177. 2 lihat Ritzer, G., & Smart, B. 2014. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media. hlm. 1025. 3 Ibid., hlm. 178. 4 Hirarki kebutuhan manusia oleh Abraham Maslow disebut dengan the physiological needs, the safety and security needs, the love and belonging needs, the esteem needs, the self-actualization needs. Lihat Goble, F. G. 1987. Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 69-84. Lihat juga dalam Olson, Matthew H., and B. R. Hergenhahn. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (eds.8), hlm. 838-844. 1



1



memiliki kemiripan dengan manusia. Kedua, kebutuhan akan keselamatan dan keamanan diri. Kebutuhan ini berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri, agar dalam menjalani hidup dan kehidupannya terus menerus dalam situasi selamat dan aman. Selamat dan aman dalam pengertian terhindar dari segala bahaya dan ancaman. Kondisi ketakutan dan ketidak-amanan menjadikan pikiran dan energi manusia akan terfokus pada usaha untuk melawan atau mencari jalan keluar (fight or flight).5 Ketiga, kebutuhan untuk mencintai dan rasa memiliki. Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki ini meliputi kebutuhan untuk mencintai dan dicintai (affection). Selanjutnya kebutuhan untuk mempengaruhi diri sendiri termasuk mempengaruhi orang lain (control), serta kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, sejawat atau keluarga (inclusion). Oleh karenanya manusia memiliki rasa cinta baik kepada suami, istri, anak, keluarga, teman, sahabat, maupun cinta terhadap harta benda (property). Pada saat yang sama, manusia memiliki kebutuhan ingin dicintai oleh manusia yang lain ataupun pasangannya.6 Manusia tak ingin cintanya “bertepuk sebelah tangan”. Keempat, kebutuhan yang menyangkut harga diri. Kebutuhan akan harga diri ini yang menjadikan manusia membutuhkan penghargaan ataupun penghormatan dari manusia lain, termasuk enggan untuk diremehkan, direndahkan, dihina, di-bully. Orang bisa menjadi sedih, cemberut, menangis, marah atau bahkan melakukan kekerasan ketika merasa harga dirinya direndahkan.7



5 Poston, B. 2009. Maslow’s Hierarchy of Needs. The Surgical Technologist, 41(8), hlm. 347-353. 6 Goble. op. cit. hlm. 1025. 7 Ibid. hlm. 1025.



2



Kelima, puncak kebutuhan manusia yaitu aktualisasi diri. Seorang musisi butuh bersenandung atau mencipta lagu, seorang sastrawan butuh menulis, seorang guru butuh mengajar, seorang olahragawan butuh bertanding. Aktualisasi diri menjadi kebutuhan setelah keempat kebutuhan lainnya telah terpenuhi dan menjadi kenyamanan dalam hidup.8 Mudjahirin Thohir mengkategorikan kebutuhan dasariah manusia menjadi tiga hal, yaitu; pertama, kebutuhan primer yang bersifat biologis; kedua, kebutuhan sekunder yang bersifat sosial; dan ketiga, kebutuhan tertier yang bersifat kultural (adab).9 Kebutuhan biologis meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, serta pemenuhan hasrat seksualitas. Agar kebutuhan biologis tersebut tercukupi, manusia membutuhkan kerjasama dan interaksi dengan manusia yang lain. Kebutuhan interaksi inilah yang menjadi kebutuhan dasariah manusia yang bersifat sosial. Interaksi sosial dalam satu sisi bisa berwujud kerjasama, tetapi dalam sisi yang lain berpotensi memunculkan konflik. Dalam memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial dan meminimalisir konflik ini, manusia membutuhkan kebersamaan, keteraturan, keselarasan, keindahan dan kenyamanan hidup yang bersifat adab atau kultural (kebutuhan tertier).10 Kebutuhan adab inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dalam pemenuhan kebutuhan adab ini diperlukan hukum, agar tercipta harmoni dalam kehidupan yang ber“adab” sebagai lawan kata (antonim) dari “biadab”. Hukum ada dalam rangka menciptakan keteraturan, ketertiban dan Ibid. hlm. 1026. Thohir, Mudjahirin. 2007. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang: Fasindo, hlm. 1. 10 Ibid., hlm. 1-2. 8 9



3



meminimalisir konflik yang terjadi dalam masyarakat manusia di tengah kebutuhan-kebutuhan hidup yang mengitarinya. Pemenuhan kebutuhan tersebut merupakan realitas kehidupan bagi manusia. Realitas kehidupan yang melingkupi manusia adalah; pertama, pemenuhan kebutuhankebutuhan dasariah. Kedua, jalan keluar atas kesulitan hidup, baik kesulitan yang bersifat individual, kesulitan keluarga maupun kesulitan ekonomi. Ketiga, didorong oleh -dalam istilah Maslow- motivasi11 (ekspektasi). Maslow juga menyatakan bahwa manusia tidak pernah merasa puas sepenuhnya. Saat satu kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan dan ekspektasi lainnya akan muncul menuntut pemuasan. Kebutuhan dan ekspektasi tersebut adalah hal yang kodrati (insaniah). Permasalahannya muncul karena dua faktor, yaitu berasal dari dalam diri sendiri berupa keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dan faktor luar yaitu berupa kompetisi dengan individu yang lain. Faktor keterbatasan dan kompetisi inilah yang menjadi dasar manusia untuk melakukan berbagai tindakan yang diyakininya dapat memenuhi kebutuhan, ekpektasi ataupun jalan keluar atas kesulitan-kesulitan hidup yang sedang dihadapi oleh individu-individu manusia. Berbagai realitas atas tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhan, kesulitan hidup serta ekspektasi tersebut menjadi hal menarik karena masing-masing individu akan dipengaruhi oleh knowledge yang termanifestasikan dalam attitude dan diimplementasikan dalam practice.12 Realitas tindakan ini 11 Goble. loc. cit., hlm. 69. Lihat juga dalam, Olson, Matthew H., and B. R. Hergenhahn. 2013. loc.cit., hlm. 845-847. 12 Bergmark, Å., & Lundström, T. 2002. Education, practice and research. Knowledge and attitudes to knowledge of Swedish social workers. Social work education, 21(3), hlm. 359-373.



4



memiliki makna (meaning) bagi masing-masing pelakunya. Menurut Levi-Strauss, para ilmuwan seyogyanya menitikberatkan perhatian kepada mekanisme bekerjanya pemikiran manusia atau human mind serta memahami strukturnya.13 Pendapat senada disampaikan Gordon Allport yang menyatakan bahwa masing-masing individu manusia (proprium/self) memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri.14 Lebih lanjut Allport menyatakan bahwa; “to understand what a person is, it is necessary always to refer to what he may be in the future, for every state of the person is pointed in the direction of future possibilities.”15 Jadi, menurut Allport, untuk memahami seseorang, perlu merujuk pada siapa dia di masa depan, karena setiap keadaan seseorang ditujukan pada arah kemungkinan masa depan”. Mudjahirin Thohir menyatakan bahwa sumber kebenaran yang diyakini oleh masing-masing pelaku dapat berupa kebenaran konstitutif (keyakinan), kebenaran kognitif (pengalaman dan penalaran), kebenaran evaluatif (kesepakatan sosial), ataupun kebenaran ekspresif (cita rasa/kepantasan etika dan estetika).16 Hal tersebut menjadi acuan dan diacu untuk mendapatkan hasil berupa kecukupan ekonomi, kesejahteraan dan keluar dari kesulitan hidup. Guna mendapatkan kecukupan ekonomi dan Ahimsa-Putra, H. S. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika, hlm. 75. 14 Walsh, R. N., & Vaughan, F. 1980. Beyond the ego. UC Irvine Previously Published Works. Journal of Humanistic Psychology, vol. 20, hlm. 5-30. 15 Lihat dalam, Allport, G. W. 1955. Becoming; Basic Considerations For A Psychology Of Personality. Yale University Press. hlm. 152. 16 Thohir, M. 2019. Etnografi Ideasional (Suatu Metodologi Penelitian Kebudayaan). Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 14(2), hlm. 194-205. 13



5



kesejahteraan itu sejumlah orang mengacu pada keyakinan, pengetahuan dan kebiasaan yang bisa dilakukan. Keyakinan terkait dengan agama, pengetahuan dan tradisi-tradisi yang berkembang dalam lingkungan sosial. Sementara itu, Bronislow Malinowski dalam bukunya yang berjudul Crime and Custom in Savage Society menyatakan bahwa: “Not to study how human life submits to rules - its simply does not: the real problem is how the rules become adapted to life”.17 Van Doorn (seorang sosiolog Belanda) menyatakan bahwa hukum merupakan skema dalam rangka menata (perilaku) manusia, tetapi sebagian manusia memiliki kecenderungan jatuh di luar skema itu. Van Doorn menyatakan penyebabnya adalah faktor pengetahuan, pendidikan, pengalaman, tradisi yang mempengaruhi dan membentuk perilaku.18 Austin Sarat dan Thomas R. Keans seperti yang dikutip oleh Teddy Asmara dalam disertasinya yang berjudul “Budaya Ekonomi Hukum Hakim” menyatakan bahwa: “Para pengkaji … memulai perhatiannya bukan kepada bunyi-bunyi hukum, melainkan kepada peristiwa-peristiwa atau praktik-praktik yang nampak… Berangkat dari cara seperti inilah yang memungkinkan bisa melihat… motif, kebutuhan, emosi, hasrat, dan aspirasi yang sama sekali tidak ada dalam bunyi hukum, tetapi tanpa harus kehilangan identitas bagi hukum. Apabila ternyata hukum



17 Malinowski, B. 2013. Crime and Custom in Savage Society. New York City: Transaction Publishers. hlm. 38. 18 Suteki, Taufani G. 2018. Metodologi Penelitian Hukum; Filsafat, Teori dan Praktik. Depok: PT. Raja Grafinfo Persada, hlm. 107.



6



itu diabaikan, disangkal, ditafsir ulang atau terdistorsi, semuanya adalah merupakan kenyataan.”19 Merujuk pada Satjipto Rahardjo, bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial masyarakat yang bermanfaat untuk mempertahankan tertibnya pola kehidupan yang ada. Hukum juga berfungsi untuk transformasi perilaku masyarakat yang abai terhadap hukum.20 Hukum kerap kali berhadapan dengan perilaku masyarakat yang didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dasariah, ekspektasi dan juga berhadapan dengan kebiasaan/tradisi yang beragam. Interaksi dan “ketegangan” antara hukum dan perilaku masyarakat menjadi kajian hukum yang penting untuk diteliti menggunakan pendekatan interdisipliner. Tujuan awal dan akhir diterapkannya hukum (ultimate value) adalah demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri (salus populi suprema lex). Hukum merupakan aspek penting di masyarakat. Salah satu fungsi utamanya adalah dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keadilan. Selain itu, hukum juga memiliki fungsi sebagai penjaga tata aturan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Bisa dibayangkan jika hidup dan kehidupan ini tidak ada hukum, maka yang terjadi adalah ketidak-teraturan, yang kuat memakan yang lemah, konflik dan chaos. Ketiadaan hukum akan membuat sistem dimasyarakat menjadi bellum omnium contra omnes (manusia satu menjadi serigala bagi manusia lainnya) sesuai yang dikatakan Thomas Hobbes.



19 Asmara, Teddy. 2011. Budaya Ekonomi Hukum Hakim. Semarang: Fasindo. hlm. 11. 20 Rahardjo, Satjipto. 2010. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung:Genta Publishing, hlm.124.



7



Relasi antara manusia dan hukum meletakkan bangunan dasar “hukum untuk manusia” seperti yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo.21 Hal senada dijelaskan Esmi Warassih, bahwa manusia merupakan insan pokok (pelaku utama) dalam segala kegiatan untuk mewujudkan keadilan.22 Indonesia adalah negara hukum yang memiliki sistem hukum dan harus ditaati oleh setiap insan bangsa tanpa terkecuali (equality/al-musāwāt). Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal senada eksplisit di dalam Pasal 27 ayat (1) bahwa; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, oleh karena itu setiap manusia Indonesia seyogyanya mentaati hukum baik dalam bentuknya yang tertulis maupun tidak tertulis. Fungsi hukum (baik tertulis maupun tak tertulis) di antaranya adalah, pertama; berfungsi sebagai standard of conduct, yaitu tolak ukur perilaku yang harus dipatuhi oleh setiap individu masyarakat dalam interaksi satu dengan yang lain, kedua; berfungsi as a tool of social engineering,23 yaitu sebagai alat transformasi masyarakat ke arah perbaikan, baik sebagai individu maupun dalam kolektifitas masyarakat, ketiga; berfungsi as a tool of social control, yakni sebagai alat kontrol tingkah laku manusia agar terhindar dari tindakan 21 Rahardjo, Satjipto. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing, cet. 2. hlm. 68. 22 Warassih, Esmi. 2001. op.cit, hlm. 3. 23 Menurut Shidarta, konsep social engineering tidak dapat dilepaskan dari penelitian yang mendalam tentang living law (hukum yang hidup). Lihat, Shidarta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 7. Lihat juga, McManaman, Linus J. 1958. Social Engineering: The Legal Philosophy of Roscoe Pound. St. John's Law Review. V. 33 (1). hlm. 1-47.



8



yang melanggar norma hukum, keempat; berfungsi as a facility on of human interaction, yaitu hukum juga menciptakan transformasi masyarakat dengan memperlancar interaksi sosial serta mendorong terciptanya perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.24 Negara dalam membentuk hukum tentu memiliki sasaran yang ingin dicapai, tidak ada satupun peraturan hukum dibuat tanpa memiliki tujuan. Tujuan hukum adalah demi mewujudkan kepastian hukum (legal certainty), keadilan (justice), dan kemanfaatan (utility).25 Merujuk pada Satjipto Rahardjo, bahwa relasi antara hukum dengan masyarakat memiliki dua fungsi yang berdampingan, yaitu; pertama, fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial; dan yang kedua, sebagai sarana untuk melakukan ‘social engineering’.26 Fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial bermakna hukum bertugas untuk mempertahankan suatu tertib pola kehidupan yang telah ada. Hukum menjaga agar setiap individu menjalankan perannya sebagaimana yang telah ditentukan atau diharapkan.27 Fungsi hukum sebagai sarana social engineering bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan untuk melakukan transformasi perilaku masyarakat yang abai terhadap hukum menjadi masyarakat yang patuh terhadap hukum.28 Lebih lanjut menurut Satjipto Rahardjo, bahwa lemahnya (laxity) 24 Manan, Abdul. 2005. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, hlm.3. 25 Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiolgis. Semarang: Suyandaru Persada, hlm. 24-25. Lihat juga dalam, Yusriyadi, Y. 2011. Polisi dan Aspek Penegak Hukum Secara Sosiologis. Jurnal Hukum Progresif, 4(1), hlm. 78-95. 26 Rahardjo, Satjipto. 2010. op.cit., hlm. 124. 27 Ibid., hlm. 125. 28 Ibid., hlm. 126.



9



masyarakat terhadap hukum dapat dikategorikan dalam konstatasi sebagai berikut; pertama, pengabaian terhadap ketentuan-ketentuan yang elementer (dasar); kedua, menjadikan pekerjaan-pekerjaan di sektor publik sebagai tempat untuk mencari keuntungan pribadi; ketiga, inkonsistensi dalam pelaksanaan hukum.29 Satjipto Rahardjo juga memberikan solusi sebagai ikhtiar dalam rangka perbaikan masyarakat agar patuh terhadap hukum, yaitu; pertama, pembinaan disiplin sosial yang serius; kedua, penanaman kesadaran bahwa hukum bukan hanya melindungi masyarakat, tetapi juga menjadi lembaga yang dapat bertindak dengan keras; ketiga, pembinaan kesadaran dan pengetahuan perlunya pembedaan antara kehidupan sektor privat dan publik; keempat, pelaksanaan hukum dijalankan dengan selugas mungkin, sikap pembiaran, kompromistis akan menjadikan kebiasaan yang kurang membantu sikap positif masyarakat terhadap hukum.30 Melalui empat ikhtiar tersebut, kepatuhan masyarakat dan efektifitas hukum dapat dijalankan dengan optimal karena sejatinya keberadaan hukum dalam rangka keadilan, kepastian hukum dan kesejahteraan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam perspektif hukum Islam, hukum hadir dalam rangka li maslahatil ummah. Tafsir bebasnya, hukum ada bagi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat manusia itu sendiri.31 Penting mengkaji hukum dengan tidak menempatkannya sebagai bahan -dalam bahasa ulumul Qur’an- “qoth’i” (taken for granted), yang terisolasi dari kebudayaan (sistem berpikir, sistem pengetahuan) dan relasiIbid., hlm. 148-149. Ibid., hlm.154. 31 Lihat, Jaseer Audah. 2011. al-Ijtihad al-Maqashidi. al-Syabkah al-Arabiyah li al Abhas. hlm. 17. 29 30



10



nya dengan masyarakat.32 Hukum itu sendiri terkait erat dengan kebudayaan. Kaidah hukum Islam menyatakan, alādah muhakkamah, (adat, tradisi atau kebudayaan dapat bertransformasi menjadi hukum).33 Relasi antara hukum dan kebudayaan dinyatakan oleh Roger Cotterrell sebagai berikut: “Law sometimes appearing to be dependent on culture, sometimes dominating and controlling it; sometimes ignoring it; sometimes promoting or protecting it; sometimes expressing it; sometimes expressed by it.”34 Hal senada dinyatakan oleh Lawrence Friedman yang mendefiniskan budaya hukum (legal culture) dengan: “The concept of legal culture has a central place in regard to both of these tasks. By legal culture we mean the ideas, values, attitudes, and opinions people in some society hold, with regard to law and the legal system. Every person has a "legal culture," just as every person has a general culture, and a social culture; every person has individual, unique traits, as distinctive as his or her fingerprints; but each person is at the same time part of a collective, a group, a social entity, and shares in the ideas and habits of that group.” 35 Lihat, Sulistyowati Irianto. 2017. Memperkenalkan Studi Sosiolegal dan Implikasi Metodologisnya, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed). 2017. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, hlm. 177. 33 Bodei Andullah, Beni Ahmad Saebani. 2018. Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah. Bandung: Pustaka Setia, hlm. 162. 34 Roger Cotterrell. 2004. Law and Culture. Ratio Juris. Vol. 17, No. 1, hlm. 1-14. Selanjutnya Cotterell menyatakan: “Relations of law and culture are now a very important focus for legal inquiries. Culture is important for law.” Lihat, Endang Sutrisno. 2019. Pemaknaan Budaya Hukum: Menggagas Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: In Media, hlm. 26-27. 35 Lawrence M. Friedman. 1994. "Is There a Modern Legal Culture?" Ratio Juris. vol. 7, no. 2. hlm. 117-131. Lihat juga dalam, 32



11



Berangkat dari pernyataan Cotterrell dan Friedman tersebut dapat dipahami bahwa relasi antara hukum dan manusia beserta seluruh kebudayaannya tidak dapat dipisahkan. Terkadang hukum bergantung pada budaya manusia, terkadang mendominasi dan mengontrolnya, terkadang mengabaikannya, mengembangkannya atau melindungi budayanya atau bahkan merefleksikan dan mempertegas budaya manusia yang ada secara keseluruhan. 36 Sementara itu, mengacu pada Teori Sibernetik Talcott Parsons, maka sub sistem ekonomi sebagai adaptaion, sub sistem politik sebagai goal attainment, sub sistem sosial sebagai integration, dan sub sistem budaya sebagi latency pattern,37 keempatnya hadir dan berkelindan pada sebuah konstruksi masyarakat. Masyarakat itu sendiri tidaklah statis, tetapi bersifat dinamis.38 Masyarakat bergerak mengkuti ruang dan waktu (bi al taghyīri zamān wal makān wal ‘awāidi wal ikhwāl). Meminjam istilah Phillipe Nonet dan Philip Selznick, hukum seyogyanya responsif mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan demikian, keberadaan hukum pada sebuah masyarakat merupakan keniscayaan untuk selalu dirumuskan sebagai solusi atas berbagai persoalan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia itu sendiri (basic needs). Pembangunan hukum secara prinsipil meliputi tiga komponen seperti yang dinyatakan oleh Lawrence M. Lawrence M Friedman. 1990. The Republic of Choice: Law, Authority and Culture. Cambridge, Mass: Harvard University Press. hlm. 4 36 Lihat, Endang Sutrisno. 2019. op.cit., hlm. 26-27. 37 George Ritzer. 2005. Encyclopedia of Social Theory. Vol. 2. California: Sage Publications, hlm. 6. 38 Ismayawati, Any. "Pengaruh Budaya Hukum terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia (Kritik terhadap Lemahnya Budaya Hukum di Indonesia)." Pranata Hukum, vol. 6, no. 1, 31 Jan. 2011, hlm. 55-68.



12



Friedman dalam teori sistem hukumnya, yakni legal structure (struktur hukum), legal substance (substansi hukum), dan legal culture (budaya hukum).39 Ketiga komponen dalam sistem hukum Friedman tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama; struktur hukum yang merupakan bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme, termasuk dalam komponen ini yaitu lembaga pembuat peraturan perundangundangan, lembaga penegak hukum, pengadilan dan lembaga lain yang memperoleh wewenang untuk melakukan penindakan terhadap pihak yang melanggar atau abai terhadap hukum yang berlaku. Kedua; substansi hukum, merupakan produk yang diterbitkan oleh sistem hukum. Produk hukum ini dapat berwujud hukum in-concreto atau kaidah hukum khusus dan kaidah hukum in-abstarcto atau kaidah hukum umum. Ketiga; budaya hukum (legal culture). Budaya hukum ini dapat diterjemahkan sebagai kolektifitas sistem nilai serta sikap yang mempengaruhi hukum. Budaya hukum inilah yang menjadi tulang punggung dari penelitian hukum yuridis sosiologis, sebagai jawaban atas persoalanpersoalan sosial dan hukum yang terdapat dalam sebuah konstruksi masyarakat. Dalam kaitan dengan budaya hukum ini, David Nelken40 menyatakan bahwa: “Legal culture, in its most general sense, is one way of describing relativelystable patterns of legally oriented social 39 Lawrence Friedman. 2018. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terj; M. Khozim, Ed. Bandung: Nusa Media, hlm. 15-18. Lihat juga dalam, Lawrence Friedman. 1975. The Legal System; Social Science Perspective. New York: Russle Sage Foundation, hlm. 15. 40 David Nelken adalah profesor dalam bidang Legal Institutions and Social Change di University of Macareta Italy sekaligus Profesor Research of Law pada University of Wales Cardiff. Lihat, David Nelken. 2004. Using the Concept of Legal Culture. Austl. J. Leg. Phil. 29: Heinonline, hlm. 1.



13



behaviour and attitudes… and, at the other extreme, more nebulous aspects of ideas, values, aspirations and mentalities. Like culture itself, legal culture is about whowe are not just what we do.”41 Jadi, menurut pandangan David Nelken tersebut, budaya hukum dalam arti yang paling umum adalah salah satu cara untuk menggambarkan pola relatifitas dan berorientasi pada sikap dan perilaku sosial. Budaya hukum bukan hanya pada aspek perilaku sosial, lebih dari itu merupakan aspek ide, nilai, harapan dan keyakinan. Lebih lanjut Nelken menyatakan, “Enquiries into legal culture try to understand puzzling features of the role and the rule of law within given societies.”42 Menurut Friedman budaya hukum dibedakan menjadi dua, yakni budaya hukum internal (internal legal culture) dan budaya hukum eksternal (external legal culture). Budaya hukum internal adalah budaya hukum dari para penegak hukum seperti, polisi, jaksa, hakim, satuan polisi pamong praja dan aparat penegak hukum lainnya, sementara budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya.43 Budaya hukum akan memandu melihat bagaimana aparat penegak hukum (internal legal culture) bekerja di dalam sebuah konstruksi masyarakat, selain juga melihat pola aktivitas masyarakatnya (external legal culture). Mudjahirin Thohir menjelaskan secara etimologis kebudayaan berasal dari kata dalam bahasa Sansekerta budhayyah, merupakan bentuk plural (jama’) dari buddhi (budi)



Ibid., hlm. 1. Ibid., hlm. 2. 43 Lawrence Friedman. op.cit., hlm. 15. 41 42



14



yang dapat diterjemahkan menjadi akal.44 Definisi kebudayaan ini mengacu pada pemikikiran Kluckhohn seperti yang dikutip Clifford Geertz, bahwa kebudayaan sebagai the total way of life of a people45 (pedoman hidup masyarakat). Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, mengkonsepkan kebudayan yang memuat seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, namun berakar dari suatu proses belajar manusia itu sendiri. Lebih lanjut Koentjaraningrat membagi unsur-unsur universal dari kebudayaan itu dalam 7 (tujuh) sistem, yakni; (1) Sistem religi dan upacara keagamaan; (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6) Sistem mata pencaharian hidup; (7) Sistem teknologi dan peralatan. Sementara itu wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat dibagi dalam tiga wujud, yakni; (1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma dan lain sebagainya; (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.46 Pedoman hidup masyarakat (the total way of life of a people) memiliki dua dimensi, yakni; patterns of behavior (polapola dari tindakan) dan patterns for behavior (pola-pola untuk bertindak). Patterns of behavior merupakan serangkaian 44 Mudjahirin Thohir. loc. cit., hlm. 18. Lihat juga, Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia, hlm. 9. 45 Clifford Geertz. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc. Publishers, hlm. 4.. Lihat, Koentjaraningrat. 1985. op.cit., hlm. 1-5. 46 LIhat juga, Parsudi Suparlan dalam Mudjahirin Thohir. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran. Semarang: Penerbit Bendera. hlm. viii.



15



“perwujudan yang tampak” atas pola tindakan orang-orang, sementara patterns for behavior merupakan “perwujudan yang tersembunyi” berupa pengetahuan dan keyakinan yang mendasari semua sikap, tindakan dan hasil tindakan di dalam merespon atau beradaptasi terhadap lingkungannya.47 Realitasnya, antara patterns of dan patterns for sering tidak berjalan beriringan bahkan cenderung bertabrakan. Oleh karena itu dibutuhkan hukum sebagai social order. Hukum merupakan salah satu aspek penting yang ada di masyarakat demi ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hukum merupakan salah satu kaidah yang hidup di tengah masyarakat selain terdapat pula kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Kaidah hukum merupakan ketentuan serta pedoman tentang sesuatu yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya tidak dilakukan serta memiliki sifat memaksa berdasarkan legalitas dari penguasa atau negara.48 Satjipto Rahardjo mendefiniskan hukum sebagai suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.”49 Bertolak dari hal tersebut maka dapat dipahami bahwa budaya dan hukum saling terkait. Menurut Yusriyadi: “Budaya hukum merupakan salah satu komponen dalam sistem hukum yang terdiri atas nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan pengikat sistem hukum serta menentukan tempat sistem hukum itu di Mudjahirin Thohir. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang: Fasindo, hlm. 70-71. 48 Sudikno Mertokusumo. 2005. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Kelima, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty, hlm.1516. 49 Satjipto Rahardjo. 2009. Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 2. 47



16



tengah-tengah kultur masyarakat secara keseluruhan. Secara esensial permasalahan budaya hukum tidak bisa dilepaskan dengan masalah nilai-nilai (values).”50 Konsep budaya hukum dalam penelitian yuridis sosiologis berpijak pada teori ideasional. Teori ideasional berkelindan pada ide, pengetahuan dan keyakinan yang menjadi tulang punggung dari kebudayaan dan mewujud dalam tindakan publik (patterns for behavior).51 Menurut Soerjono Soekanto, budaya hukum adalah budaya nonmaterial atau spiritual. Inti budaya hukum atau spiritual adalah nilai yang berbentuk konsep abstrak tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Apa yang baik untuk dilakukan dan apa yang buruk untuk dihindari. Nilai-nilai tersebut adalah dasar dari etika tentang apa yang baik dan yang buruk dan memiliki -paling tidak- tiga aspek, yaitu aspek kognitif (rasio, pikiran), aspek afektif (emosi) dan aspek konatif (kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat) norma atau kaidah yang berisikan perintah, larangan, serta pola perilaku masyarakat.52 Menurut Lawrence Friedman, budaya hukum mengacu kepada bagian sistem-sistem kebudayaan yang secara lazim dapat berupa cara berpikir, berpendapat sehingga melahirkan pemahaman, tindakan dan kebiasaan yang dalam hal-hal tertentu dapat menggerakkan kekuatan sosial untuk menjauh atau mendekat dari hukum.53 50 Yusriyadi. 2009. Tebaran Pemikiran Kritis Hukum & Masyarakat. Malang; Surya Pena Gemilang Publishing, hlm. 35-36. 51 Mudjahirin Thohir. 2007. loc. cit., hlm. 28. 52 Soerjono Soekanto. 1984. Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Jakarta: CV. Rajawali, hlm. 202-203. 53 Lawrence Friedman. 1975. The Legal System: A Social Perspective. New York: Russel Sage Foundatinon, hlm. 15. Lihat juga, Lawrence M. Friedman. 1994. "Is There a Modern Legal Culture?" Ratio



17



Friedman lebih lanjut membedakan budaya hukum menjadi dua, yakni budaya hukum internal dan budaya hukum eksternal. Budaya hukum internal adalah budaya hukum dari para penegak hukum seperti, polisi, jaksa, hakim dan aparat penegak hukum lainnya, sementara budaya hukum eksternal adalah budaya hukum masyarakat pada umumnya. Dalam tulisan yang lainnya Friedman secara konsisten mendefiniskan budaya hukum (legal culture) sebagai berikut: “The concept of legal culture has a central place in regard to both of these tasks. By legal culture we mean the ideas, values, attitudes, and opinions people in some society hold, with regard to law and the legal system. Every person has a "legal culture," just as every person has a general culture, and a social culture; every person has individual, unique traits, as distinctive as his or her fingerprints; but each person is at the same time part of a collective, a group, a social entity, and shares in the ideas and habits of that group.” 54 Berangkat dari pernyataan tersebut, Friedman menegaskan bahwa konsep budaya hukum memiliki tempat sentral. Maksud budaya hukum bagi Friedman adalah gagasan, nilai, sikap, dan pendapat yang dianut oleh sebagian masyarakat dalam kaitannya dengan hukum dan sistem hukum. Setiap orang memiliki "budaya hukum", seperti halnya setiap orang memiliki budaya umum, dan budaya sosial. Setiap orang memiliki ciri-ciri individu yang unik, Juris. vol. 7, no. 2. hlm. 117-131. Lihat juga dalam, Lawrence M Friedman. 1990. The Republic of Choice: Law, Authority and Culture. Cambridge, Mass: Harvard University Press. hlm. 4. 54 Ibid., hlm. 15. Lihat juga dalam Abdul Halim Barkatullah. 2013. Budaya Hukum Masyarakat dalam Perspektif Sistem Hukum. Jurnal UKSW. hlm. 1-18.



18



sama khasnya dengan sidik jarinya, tetapi setiap orang pada saat yang sama adalah bagian dari kolektifitas kelompok, entitas sosial, dan berbagi ide dan kebiasaan kelompok masyarakat tersebut. Menurut Hilman Hadikusuma, bahwa budaya hukum merupakan respon umum yang relatif sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Respon tersebut merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan orientasi yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati oleh sebuah konstruksi masyarakat tertentu.55 Maksud dari pembahasan tentang budaya hukum adalah agar mengenal ciri-ciri (atribut) yang asasi untuk mengkaji proses yang berlanjut maupun yang berubah ataupun yang sejalan dengan perkembangan masyarakat, hal ini dikarenakan sifat kontrol sosial tidaklah tetap. Dinamika perubahan dalam budaya hukum adalah hal yang niscaya, meskipun perubahannya dapat berjalan secara cepat ataupun lambat bergantung dari keadaan, waktu dan tempatnya.56 Hal senada dinyatakan oleh Werner Menski yang mengusung gagasan pluralisme hukum. Secara eksplisit, Menski menyatakan: “centred on legal pluralism as a complex, constantly contested amalgam of state law, values/ethics/religion and socio-cultural norms.”.57 Oleh karenanya budaya hukum menjelaskan relasi antara manusia, masyarakat, pengampu kekuasaan dan aturan-aturan hukum itu sendiri.58 Budaya 55 Hilman Hadikusuma. 2013. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, cet. 4. hlm. 51. 56 Ibid., hlm. 52. 57 Werner Menski. 2006. loc.cit., hlm. 594. 58 Ibid., hlm. 51-53.



19



hukum dapat pula diidentikkan dengan kesadaran hukum, yakni kesadaran hukum dari subjek hukum.59 Ahli hukum Belanda Scmid, membedakan antara perasaan hukum (rechtsgevoel) dan kesadaran hukum (rechsbewutzin). Penilaian masyarakat secara spontan adalah perasan hukum, sementara kesadaran hukum merupakan abstraksi dari perasaan hukum suatu subjek hukum, baik individu maupun masyarakat.60 Kesadaran hukum berelasi dengan nilai-nilai, yakni konsepsi abstrak di dalam diri manusia tentang kesesuaian, ketentraman dan ketertiban. Menurut Soerjono Soekanto dan Taneko, kesadaran hukum memiliki empat indikator, yaitu; pertama, pengetahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan hukum (law awareness); kedua, pengetahuan masyarakat tentang isi peraturan hukum (law acquaintance); ketiga, sikap masyarakat terhadap peraturan hukum (legal attitude); dan keempat, pola perilaku hukum masyarakat (legal behaviour).61



59 Subjek hukum di sini tidak ditafsirkan termasuk sebagai badan hukum. Subjek hukum yang dimaksud adalah kumpulan individuindividu yang menjadi bagian dari masyarakat sebagai orientasi bagi pemberlakuan hukum. 60 Shidarta Darmodiharjo. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Grafindo, hlm. 154-155. 61 Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko. 1994. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Penerbit Rajawali, hlm. 348.



20



BAB II PENDEKATAN PENELITIAN HUKUM YURIDIS SOSIOLOGIS Ilmu hukum dan atau ilmu syariah dapat dikaji melalui pendekatan yuridis sosiologis (empiric/nondoctrinal/socio-legal). Pendekatan yuridis sosiologis memaknai hukum sebagai hasil pemikiran antara teks dan konteks, atau antara nash dan realitas (al-indimāj bainan nāsh wa al-wāqi’). Hukum dikonsepsikan sebagai realitas yang keberlakuannya dapat dipengaruhi atau mempengaruhi faktor yang lain. Yuridis sosiologis mengkaji hukum dengan pendekatan interdisipliner, yakni menggabungkan ilmu hukum dan ilmu sosial dalam sebuah pendekatan tunggal. Penelitian yuridis sosiologis memiliki karakter kajian, yaitu; Pertama, pembahasan pelaksanaan hukum di masyarakat (law in action), bukan hanya pada hukum yang tertulis dalam buku atau undang-undang (law in the book). Kedua, penggunaan logika dalam penelitian hukum yuridis sosiologis bersifat posteriori (pengetahuan yang bergantung pada bukti empiris). Keempat, validitasnya didasarkan pada fakta realitas hukum (legal reality). Kelima, penekanan datanya pada memahami (verstehen) atas makna (meaning) dalam pikiran/ide tineliti, yang berkaitan dengan tindakan hukum oleh individuindividu manusia. Individu-individu manusia secara sadar melakukan berbagai tindakan beserta dengan segala motif, dampak, dan konstruksi budayanya. Mudjahirin Thohir menyatakan, all the behaviour is meaningfull (segala tindakan memiliki makna bagi pelakunya). Hoebel seperti yang dikutip Hilman Hadikusuma menyatakan hal senada; “Facts are never without



21



their meanings, for meaningless phenomena are nonexistent”. Fakta atau peristiwa itu tidak pernah tanpa arti, jika tanpa arti maka fenomena itu tidak ada. Penelitian hukum yuridis sosiologis adalah penelitian hukum dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu (interdisipliner).62 Realitas sosial dalam sebuah konstruksi masyarakat akan lebih jernih dipahami dan dijelaskan dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial, sehingga fokus studi penelitian yurudis sosiologis adalah mendudukkan hukum sebagai pola perilaku manusia (law as a behavioral system).63 Menurut Yusriyadi, hukum sejatinya merupakan realitas yang dapat dikaji dari berbagai metode. Lebih lanjut Yusriyadi menjelaskan bahwa ilmu hukum memiliki hakikat inter-disipliner.64 Hakikat ini dapat diketahui dari digunakannya berbagai disiplin ilmu pengetahuan untuk membantu menerangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan kehadiran hukum di masyarakat. Yusriyadi menjelaskan lebih lanjut bahwa berbagai aspek dari hukum yang ingin diketahui ternyata tidak dapat dijelaskan dengan baik tanpa memanfaatkan disiplin ilmu pengetahuan seperti sosiologi, politik, antropologi, sejarah, ekonomi dan lain-lainnya. Antropologi misalnya membantu menjelaskan tentang kerja dari hukum itu yang tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan kehidupan masyarakat sebagai satu kesatuan budaya.65



62 Lihat dalam Esmi, Shidarta, et.al. 2016. Penelitian Hukum Interdisipliner: Sebuah Pengantar Menuju Sosio-Legal. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media. hal. 3. 63 John R. Sutton, J. 2001. Law/society: Origins, interactions, and change. Pine Forge Press. Vol. 474, hal. 9. 64 Yusriyadi, Y. 2020. Ilmu Hukum Dogmatik dan Teoretik Serta Problem Penegakan Hukum. Semarang: UNDIP Press, hlm. 43. 65 Ibid., hlm. 43.



22



Penelitian hukum yuridis sosilogis biasa disebut juga penelitian socio-legal yang mendekatkan hukum kepada manusia ataupun masyarakat sebagai subjek. Jadi, dalam kajian yuridis sosiologis menempatkan manusia sebagai subjek utama pembahasan. Bukan sebaliknya, manusia menjadi objek dari hukum. Penerapan dan pembahasan keterkaitan ilmu sosial terhadap hukum berguna untuk menyelesaikan permasalahan hukum itu sendiri. Esmi Warassih mengatakan bahwa hakikat ilmu hukum dengan segala keterbatasannya memerlukan “teori hukum sosial” dalam rangka memperluas wawasan keilmuan hukum. 66 Lebih lanjut Warassih mengajarkan bahwa para penstudi hukum seyogyanya memahirkan diri dalam berbagai segi kehidupan sosial, termasuk di dalamnya kebudayaan, ekonomi, agama dan lain sebagainya.67 Jadi, yang terpenting dalam penelitian yuridis sosiologis adalah untuk menemukan hukum yang hidup (living law), yang nyata berlaku dalam sebuah konstruksi masyarakat. Esmi Warassih dengan mengutip Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa, secara garis besar pengertian dasar hukum dibagi menjadi tiga kelompok beserta konsekuensi metodologisnya masing-masing, yaitu: pertama, hukum sebagai sekumpulan gagasan/ide yang memuat nilai-nilai asbtrak, maka konsekuensi metodolgisnya bersifat filosofis. Kedua, hukum sebagai sistem peraturan yang asbtrak dan lembaga yang benar-benar otonom, konsekuensi metodologisnya bersifat normative-analitis. Ketiga, hukum



66 Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiolgis. Semarang: Suyandaru Persada, hlm. 7. 67 Ibid. Lihat juga dalam, Warassih, Esmi. 2016. Monograf Ilmu Hukum. Yogyakarta: Deepublish, hlm. 9.



23



sebagai social control, konsekuensi metodologisnya adalah sosiologis.68 Pengetahuan yang diproduksi oleh ilmu-ilmu sosial akan menjadi bahan berharga dalam proses pembuatan aturan-aturan hukum termasuk penerapan dan pelaksanaan hukum. Ilmu-ilmu sosial membantu melihat pemahaman, motif maupun dampak (positif/negatif) atas perilakuperilaku di masyarakat. Melalui pemanfaatan ilmu-ilmu sosial, hukum dapat menemukan kunci-kunci bagi sistem tindakan agar dapat diperoleh hasil yang tepat dan efektif.69 Pemahaman yang mendalam dan komperhensif atas realitas sosial membuat hukum akan lebih cermat serta mampu menghayati realitas dalam masyarakat. Meskipun hukum nampak sebagai seperangkat norma-norma tetapi hukum selalu merupakan hasil dari suatu proses dinamika yang terjadi di masyarakat. Ikhtiar manusia dalam memproduksi dan melakukan transformasi tatanan hukum selalu berada dalam konteks situasi sosial yang dinamis70 (bi al taghyīri zamān wal makān wal ‘awāidi wal ikhwāl). Oliver W. Holmes dalam Mark Goodale mengatakan bahwa hukum adalah sebagai “great anthropological document”71 yang berisi perilaku dan dinamika kehidupan manusia dalam proses pembangunan hukum itu sendiri.72 Oleh karenanya penelitian yuridis sosiologis memfokuskan pada kajian empiris berserta kajian yuridisnya Ibid., hlm. 23. Warassih, Esmi. op.cit., hlm. 10-11. 70 Ibid. 71 Oliver Wendell Holmes dalam Goodale, M. 2005. Traversing boundaries: New anthropologies of law. American Anthropologist, Vol. 107, hlm. 505. 72 Tanya, B. L., Simanjuntak, Y. N., & Hage, M. Y. 2013. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 6. 68 69



24



secara mendalam, seimbang, tidak berat sebelah, dan tidak mudah menjustifikasi.73 Penelitian hukum dengan pendekatan yuridis sosiologis bukan hanya menitik-beratkan pada substansi hukum menurut hukum positif (ius constitutum), lebih dari itu berupaya menemukan konstruksi budaya hukum yang hidup di masyarakat sesuai idealitas kebudayaan yang dicita-citakan (ius constituendum). A. Stand Point Peneliti yang Menggunakan Pendekatan Yuridis Sosiologis Realitas sosial ataupun fenomena hukum dalam penelitian yuridis sosiologis diamati secara langsung oleh peneliti. Peneliti melakukan kajian dan pengamatan terhadap aktivitas orang-orang (sebagian menjadi informan) yang menjadi aktor-aktor atas sebuah fenomena hukum. Pengamatan tersebut meliputi proses atau tahapan-tahapan yang menggambarkan pola-pola yang terbiasa dilakukan oleh aktor-aktor tersebut. Polapola tindakan tersebut bagi peneliti diposisikan sebagai tindakan simbolik terkait dengan kepercayaan, pengetahuan, latar belakang pengalaman, pemahaman dan harapan-harapan (ekspektasi) yang menyelinap di balik tindakan-tindakan yang dipilih oleh para pelaku (aktor). Upaya untuk memahami dan menjelaskan tindakan-tindakan simbolik tadi, peneliti menindaklanjuti dengan melakukan wawancara kepada berbagai pihak (stakeholders). Dalam proposal penelitian, sebaiknya dijelaskan secara detail siapa saja aktor yang akan diwawancara, umur dan perannya sebagai apa dalam konteks penelitian tadi. Masing-masing dari 73



Esmi, Shidarta. op.cit., hlm. 106-107.



25



informan tersebut digali informasi berdasarkan pada status, peran dan pilihan tindakannya. Informan dipilih secara purposive.74 Purposive adalah sampel yang dipilih secara cermat dan relevan terhadap tujuan penelitian serta paham akan konteks dan tema penelitian. Jumlah informan tidak ditentukan secara limitatif melainkan mengikuti prinsip snowball.75 Maksud dari pemilihan sampel secara snowball adalah sampel dipilih berdasarkan asumsi informan yang benar-benar mengerti dan menguasai tema penelitian ini. Pedoman wawancara (interview guide) pada penelitian yuridis sosiologis menggunakan pertanyaan terbuka, bersifat luas dan umum, agar informan dalam penelitian memiliki keleluasaan dalam mengkonstruksi makna dan situasi yang dihadapi. Hasil dari serangkaian pengamatan dan informasi yang diperoleh dari seorang informan sebaiknya di-cross-check dengan informan lain dan dokumen yang ada, baik dokumen peraturanperaturan hukum, karya ilmiah, berita dari media masa dan lain sebagainya. Berdasarkan tahapan-tahapan penelitian tersebut, penelitian yuridis sosiologis menggunakan tradisi kualitatif dan penalaran induktif. Penalaran induktif adalah cara berfikir yang mengandalkan observasi/fakta empirik sebagai metode keilmuwan atau penelitiannya.76 Nanang Martono mengatakan bahwa 74 Lihat dalam, Creswell, John. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Qualitative and Quantitative Research. Boston: Pearson, hlm. 206. 75 Lihat dalam, Zamili, M. 2015. Menghindar dari Bias: Praktik Triangulasi dan Kesahihan Riset Kualitatif. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan. 9(2), hlm. 283-304. 76 lihat dalam, Shidarta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 46-47.



26



penalaran induktif diterapkan dalam penelitian kualitatif. Penelitian ini menitikberatkan pada kasus-kasus yang diteliti dari level bawah (kecil) menuju level yang lebih besar (makro/teoritik).77 Posisi sudut pandang/stand point peneliti terhadap masalah penelitian yuridis sosiologis adalah sebagai peneliti yang meletakkan empati dan memahami (understanding) atas keyakinan, pemahaman dan tindakantindakan tineliti. Posisi peneliti adalah sebagai instrumen utama yang berinteraksi dengan tineliti.78 Artinya peneliti terjun langsung pada setting kajian dalam sebuah konstruksi masyarakat dan tidak mewakilkan kepada orang lain atau asisten peneliti. Penelitian kualitatif membawa nilai-nilai ke dalam penelitian serta mengumpulkan makna dari para informan.79 Penelitian kualitatif mengajarkan kepada peneliti untuk bersikap terbuka, mengamati, mendengarkan, bertanya dan berpartisipasi.80 B. Paradigma Penelitian Yuridis Sosiologis Realitas yang beragam dan nilai-nilai yang terdapat dalam tindakan manusia terkait fenomena hukum dalam penelitian yuridis sosiologis Lihat dalam, Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial; Konsep-konsep Kunci. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, hlm. 115. 78 Lihat dalam, Mudjahirin Thohir. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang: Fasindo Press. hlm. 109. 79 John W Creswell. 2016. Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran, Edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 25. 80 Laurel Richardson dan Eliabbeth Adams dalam Denzin, Norman dan Lincoln, Yvonna (ed). 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 2. Edisi ketiga. terj: Dariyatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 346. 77



27



membutuhkan paradigma dalam proses penelitian untuk memahaminya.81 Erlyn Indarti mengatakan bahwa paradigma adalah kerangka keyakinan atau komitmen intelektual yang bersifat metateoritis dan tak terartikulasikan. Paradigma adalah sebuah sistem filosofi ‘payung’ di dalam aktivitas penelitian ilmiah yang memuat ontologi, epistemologi dan metodologi. Setiap paradigma memiliki ‘basic belief’ atau ‘worldview’ yang tidak bisa dipertukarkan antara paradigma satu dengan paradigma yang lain. Paradigma yang dipilih dan digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis adalah paradigma constructivism.82 Denzin dan Lincoln menyebut constructivism juga sebagai interpretative. Constructivism adalah paradigma atau kerangka penafsiran yang mencoba memahami dunia tempat individu manusia hidup dan bekerja. Pandangan ini menitikberatkan pada ragam makna yang bersifat subjektif dari pengalaman-pengalaman individu. Makna yang diangkat pada paradigma penelitian yuridis sosiologis adalah makna-makna yang muncul dari masing-masing subjek penelitian sehingga menghasilkan ragam pandangan dari beragam partisipan tentang situasi tertentu. Makna yang muncul dari para partisipan adalah hasil negosiasi partisipan dengan konteks sosial dan historis mereka. 81 lihat dalam Indarti, Erlyn. 2010. Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar: Universitas Diponegoro, hlm. 4. 82 Lihat dalam John Creswell. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: memilih di antara Lima Pendekatan edisi ke-3. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 32. Lihat juga, Gunther Teubner. 1990. "How the Law Thinks: Toward a Constructivist Epistemology of Law." In Selforganization. European University Institute, Florence: Springer, Dordrecht. hlm 87-113.



28



Cresswell menegaskan makna ini muncul tidak hanya pada konteks individu-individu namun hasil interaksi sosial dan nilai-nilai atau norma historis dan budaya yang melekat pada individu tersebut selama hidupnya. Creswell menjelaskan konstruktivisme dikenal juga dengan paradigma interpretatif karena peneliti dalam melakukan penafsiran tentang apa yang ditemukan, peneliti dipengaruhi oleh pengalaman dan latar belakang peneliti. Pandangan konstruktivis kerap ditempatkan dalam studi-studi fenomenologi, di mana individu mendeskripsikan pengalaman mereka. Pertimbangan penggunaan paradigma konstruktivisme dalam penelitian yuridis sosiologis adalah untuk mengkaji realitas yang multiple dari nilainilai dan tindakan individu-individu masyarakat. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasariah, manusia terus mengalami proses perkembangan dan unsur nilai hadir dalam tindakan individu. Tindakan tersebut dapat bermula dari keyakinan, pengetahuan dan pemahaman individu-individu yang selalu dinamis dan terus berkembang. Peneliti yuridis sosiologis berfokus pada proses interaksi terjadinya makna. Peneliti juga menekankan perhatian pada konteks situasi dan latar belakang kehidupan dan aktivitas informan. Hal ini untuk memahami latar belakang historis dan kultur para informan. Erlyn Indarti dengan mengutip Guba dan Lincoln mengajarkan bahwa ontologi dari konstruktivisme adalah relativisme; realitas majemuk dan beraragam, berdasarkan pengalaman sosial-individual, local dan spesifik. Epistemologi dari konstruktivisme adalah transaksional/subyektivis di mana peneliti dan



29



objek investigasi terkait secara interaktif; temuan dicipta/di-konstruksi bersama. Metodologinya menggunakan hermeneutikal/dialektikal di mana konstruksi ditelusuri melalui interaksi antara peneliti dan tineliti dengan teknik pertukaran dialektikal ‘konstruksi’ diinterpretasi; tujuannya distilasi / konsesnsus / resultante.83 Lebih dalam dari paradigma konstruktivisme, penelitian yuridisi sosiologis juga dapat menggunakan paradigma partisipatori atau yang biasa disebut participatory action research (PAR). Tujuan dari penggunaan PAR adalah untuk memahami sebuah fenomena sekaligus hasil riset dapat memberikan kemanfaatan bagi masyarakat yang menjadi subjek penelitian. tujuan dari penelitian ini ingin memahami fenomena dan dapat bermanfaat bagi masyarakat. Fals-Borda dan Rahman menjelaskan dua tujuan penggunaan strategi participatory action research adalah ingin memproduksi ilmu pengetahuan dan tindakan yang langsung bermanfaat bagi masyarakat melalui penelitian, pendidikan bagi kaum dewasa, dan aksi sosial politik serta memberdayakan masyarakat kelas bawah melalui proses penciptaan berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki sendiri.84 Menurut Guba, secara ontologi penelitian partisipatif memandang realitas kongkrit sebagai hubungan antara subjektivitas dengan objektivitas, dan sama sekali bukan objektivitas yang terpisah jauh dari subyektifitasnya itu sendiri. Pandangan paradigma partisipatif dekat dengan pandangan ontologis kaum 83 84



30



Erlyn Indarti. op.cit., hlm. 19. Ibid, hlm. 423



relativis. Dalam konteks-konteks tertentu, kita memilih realitas dan cara mengetahui tentang realitas kongkret tersebut, baik secara individu maupun kolektif. Dengan demikian, penelitian manusia yang valid pada prinsipnya merupakan penelitian yang menyelidiki partisipasi penuh dalam proses penciptaan ilmu pengetahuan personal dan sosial.85 Fals-Borda & Rahman menjelaskan secara epistemologi, pendekatan ini menekankan aspek fundamental pengetahuan berbasis pengalaman. Dalam PAR disebutkan hal ini dapat diwujudkan dengan pengalaman actual yang secara intuitif mampu memahami esensinya; kita merasakan, menikmati, dan memahaminya sebagai sebuah realitas. Paradigma penelitian participatory bertujuan agar individu atau kelompok memiliki kemampuan refleksi atas perilaku diri dan dunia mereka. Konsep tentang pengalaman praksis, subjektivitas kritis, pembelajaran ganda dan kesadaran yang saling memengaruhi.86 Sejak awal desain penelitian PAR lebih memprioritaskan terciptanya proses kolaborasi dan dialog yang memberdayakan, motivasi, meningkatkan kepercayaan diri dan membangun solidaritas kelompok.87 C. Jenis/Tipe Penelitian Meneliti tentang tindakan-tindakan sejumlah orang (tineliti) dalam penelitian yuridis sosiologis lebih mendalam jika dilakukan dengan penelitian lapangan (field work study), maka jenis penelitian yang dipilih adalah Ibid, hlm.429 Ibid, hlm.430 87 Ibid, hlm.424 85 86



31



penelitian kualitatif. Norman Denzin dan Yvonna Lincoln mengatakan bahwa penelitian kualitatif dapat menghadirkan transformasi demokratis radikal pada ranah privat maupun publik dalam dunia postkapital global. Denzin dan Lincoln juga mengatakan bahwa peneliti kualitatif memiliki potensi menggerakkan dunia dengan berfikir historis dan interaksional, sehingga penelitian ini ditempuh dengan pengamatan, mewawancarai, mempelajari kebudayaan, berpikir mendalam yang melampaui visual, menyusun narasi yang memuat tutur karya kisah eksplanatoris, menggeluti entografi terapan dan merumuskan kebijakan. 88 Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik observasi atas tindakan, pemahaman dan keyakinan para pelaku. Selanjutnya dilakukan wawancara secara mendalam (depth in interview) kepada sejumlah subjek penelitian dan kemudian di-cross-check dengan studi dokumen yang berkaitan dengan realitas.. Keunggulan penelitian kualitatif adalah pada kedalamannya. Jenis penelitian kualitatif ini juga dikenal dengan metode interpretatif, yakni data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.89



88 Denzin, N. K. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I, hlm. 482. 89 Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung: Alfabeta, hlm. 12-15.



32



BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA DALAM PENELITIAN YURIDIS SOSIOLOGIS A. Sumber dan Jenis Data Penelitian yuridis sosiologis bertumpu pada penelitian lapangan atau yang biasa disebut field work research dan dilaksanakan pada lingkungan budaya hukum masyarakat.90 Lokasi penelitian terlebih dahulu dijelaskan oleh peneliti beserta keunikan-keunikan lokasi tersebut dibanding dengan tempat-tempat yang lain. Penjelasan tentang keunikan lokasi penelitian harus didasarkan pada argumentasi ilmiah akademik. Kurang tepat jika alasan pemilihan lokasi karena misalnya lokasi tersebut dekat dengan rumah tinggal peneliti, peneliti telah akrab dengan lokasi tersebut, ataupun alasan subyektifitas lainnya. Dalam penelitian yuridis sosiologis membutuhkan sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer didapatkan langsung dari subjek penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari sumber-sumber lain seperti tulisan, peraturan hukum, artikel koran maupun penelitian yang telah ada. Sumber data primer dalam penelitian yuridis sosiologis adalah informan atau subjek yang terlibat dalam sebuah tindakan atau fenomena hukum yang terjadi. Sementara sumber data sekunder dalam penelitian yuridis sosiologis terbagi menjadi dua, yakni data primer berupa data-data aturan hukum yang berlaku atau yang pernah diterbitkan oleh pemerintah. Sedangkan jenis data sekunder yaitu data-data pendukung lainnya. Bisa juga berupa angka-angka atau data-data lainnya, misalnya data Hajar, M. 2017. Model-Model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqh. Yogyakarta: Kalimedia, hlm. 18. 90



33



pengunjung sebuah destinasi tujuan pariwisata, data pemasukan ekonomi atau keuangan, dan lain sebagainya. Konsekuensi metodologis proses penelitian yuridis sosiologi yang fieldwork study ini, membutuhkan waktu (take time) yang relatif lama, membutuhkan stamina dan energi yang kuat (take energy), membutuhkan nyali atau keberanian yang lebih (take bravery), dan membutuhkan biaya yang cukup (take money). Itulah yang disebutkan dalam kitab Alala dengan: dhukain wa khirsin wa istibarīn wa bulghotīn wa irsyādi ustādzi wa tūli zamāni (syarat mencari ilmu berupa; kecerdasan, ketekunan atau tekad yang kuat, kesabaran, biaya yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang relatif lama). Proses penyusunan penelitian yuridis sosiologis adalah “kawah candradimuka” bagi peneliti. Peneliti diharapkan belajar mengamati, bertanya, mendengar, dan mengkonstruksikannya kembali dalam sebuah laporan penelitian. Mengkaji subjektifitas ide, pikiran, gagasan dan keyakinan hukum tineliti baik yang berasal dari hukum tertulis ataupun hukum tak tertulis. Meminjam istilah dari Ibnu Arabi, peneliti yuridis sosiologis dituntut memahami pengetahuan burhāni, irfāni hingga asrāri yang berada pada pikiran tineliti. Selain itu juga menemukan makna (meaning) di balik kesadaran tineliti (informan) dari yang rasional hingga beyond rasional. B. Teknik Pengumpulan Data Penelitian hukum dengan pendekatan yuridis sosiologis menekankan pada memahami keyakinan, pemahaman, tindakan serta peran masing-masing informan atau pelaku. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang ditemukan dari kerja-kerja lapangan. Berupa uraian atau keterangan yang komprehensif mengenai



34



peristiwa atau gejala yang dapat dilihat dari pelaku, proses, tempat, waktu dan pemaknaannya. Informasi yang komprehensif itu akan menjadi temuan yang bersumber atas dasar keterangan langsung dari pelaku. Data yang lain yang dibutuhkan sebagai pendukung dalam proses penelitian ini dapat juga berbentuk data kuantitatif yang berwujud angkaangka. Penelitian dengan pendekatan yuridis sosiologis menekankan pada memahami keyakinan, pemahaman, tindakan serta peran masing-masing informan atau pelaku. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang ditemukan dari kerja-kerja lapangan. Berupa uraian atau keterangan yang komprehensif mengenai peristiwa atau gejala yang dapat dilihat dari pelaku, proses, tempat, waktu dan pemaknaannya. Data yang lain yang dibutuhkan sebagai pendukung dalam proses penelitian ini dapat juga berbentuk data kuantitatif yang berwujud angka-angka. Proses pengumpulan data dalam penelitian yuridis sosiologis menggunakan teknik pengumpulan data seperti observasi, wawancara, dan studi dokumen. Hasil pengumpulan data dan reduksi kemudian disajikan dalam bentuk catatan-catatan dengan diberikan kode tertentu agar mudah dipahami dalam penyajian data dan mudah dianalisis. Teknik dalam pengumpulan data penelitian ini, peneliti paparkan sebagai berikut: Pertama, pengamatan/observasi. Setiap realitas yang terjadi dalam sebuah konstruksi masyarakat diasumsikan muncul karena berbagai alasan. Kehadirannya tidak alamiah melainkan atas dasar pemahaman, pemikiran, penyikapan dan keputusan individu-individu yang terlibat di dalamnya. Setiap tindakan selalu memiliki makna bagi pelakunya, baik makna secara terbuka maupun tersembunyi. Oleh karenanya



35



observasi atau pengamatan mengarah dan diarahkan untuk tujuan menangkap makna-makna di balik realitas tersebut.91 Observasi dalam penelitian yuridis sosiologis dapat menggunakan teknik quasi observasi partisipasi.92 Pada observasi quasi partisipasi, peneliti melibatkan diri pada saat tertentu, dan pada saat-saat lain peneliti tidak melibatkan diri.93 Michael Angrosino dalam Denzin-Lincoln menyebutnya sebagai pengamat partisipan (participant as observer).94 Observer pada kegiatan partisipasi ini sebagai pengamat berarti masuk menjadi bagian dari kelompok yang diteliti, namun membatasi diri untuk tidak terlibat secara mendalam dalam aktivitas kelompok yang diamati.95 Hasyim Hasanah mengatakan bahwa participant as observer dilakukan oleh Laud Humphrey pada tahun 1975 yang berperan sebagai “Ratu Pengamat” dalam gathering komunitas homoseksual. Humphrey hadir dalam komunitas homoseksual, namun menolak bila ada salah seorang homoseksual yang mengajaknya berkencan. Humphrey juga Lihat, Mudjahirin Thohir. loc.cit., hlm. 57. Noeng Muhadjir. 1996. Metodologi penelitian kualitatif: pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama. Yogyakarta: Rake Sarasin, hlm. 350. Lihat juga dalam, Wayan Nurkencana & P.P.N. Sunarta. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, hlm. 47. Lihat juga dalam, Walcott, B. L., M. J. Corless, and S. H. Żak. 1987. "Comparative Study of Non-Linear State-Observation Techniques." International Journal of Control 45.6, hlm. 2109-2132. 93 Sitti Mania. 2017. "Observasi Sebagai Alat Evaluasi dalam Dunia Pendidikan dan Pengajaran." Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Vol. 11. (2), hlm. 220-233. 94 Denzin, Norman dan Lincoln, Yvonna (ed). 2011. op.cit., hlm. 97. 95 Lihat dalam Hasyim Hasanah. 2017. "Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode pengumpulan data kualitatif ilmuilmu sosial)." At-Taqaddum 8.1, hlm. 21-46. Lihat juga dalam Laud Humphreys. 1975. Tearoom trade, enlarged edition: Impersonal sex in public places. Transaction Publishers. 91 92



36



berperan sebagai penikmat, peran ini dilakukan Humphrey menikmati apa yang ditampilkan para homoseksual, dengan tidak mengacaukan acara tersebut. Mudjahirin Thohir membagi pengamatan dalam penelitian kualitatif menjadi empat jenjang, yakni (1) partisipan penuh; (2) partisipan sebagai pengamat (3) pengamat sebagai partisipan (4) pengamat total.96 Kedua, wawancara. Teknik pengumpulan data bertitik berat pada wawancara secara mendalam (depth in interview) antara peneliti dengan tineliti. Wawancara secara mendalam, dalam rangka untuk “merebut” makna (meaning) atas pemahaman dan tindakan-tindakan simbolik tineliti. Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan interview guide meskipun cenderung tidak formal, bersifat mendalam dan dapat dikembangkan (improvisasi) oleh peneliti. Karenanya peneliti menjadi instrumen penting dalam penelitian yuridis sosiologis dan sebaiknya tidak mewakilkan kepada orang lain atau asisten peneliti.97 Wawancara dalam penelitian yuridis sosiologis dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan -seperti pernyataan Hegel yang dikutip Noeng Muhadjir- akan lebih halus, lebih mendalam, lebih geestelijk dan lebih rohaniah.98 Peneliti menekankan penghapusan hambatan antara peneliti dengan subjek yang diteliti dalam proses wawancara atau dalam bahasa Denzin-Lincoln dengan sebutan wawancara empatik. Menurut Denzin-Lincoln, pendekatan empatik dalam teknik wawancara bukan semata-mata “metode persahabatan”; pendekatan empatik merupakan sebuah 96 Mudjahirin Thohir. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang: Fasindo, hlm. 122-124. 97 Mudjahirin Thohir. op.cit., hlm. 58. 98 Noeng Muhadjir. 1996. op.cit., hlm. 154.



37



metode moralitas karena berupaya mengembalikan kesucian dan kesakralan umat manusia.99 Selanjutnya peneliti dapat memilah dan memilih data yang diperoleh dari berbagai hasil wawancara tersebut menjadi narasi yang terstruktur.100 Faktor bahasa akan menjadi penentu juga seberapa dalam peneliti dapat berinteraksi dengan masyarakat yang diteliti. Contohnya, jika secara umum masyarakat tineliti menggunakan Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia, beberapa di antaranya menggunakan bahasa daerah lainnya misalnya Sunda. Peneliti yang berasal dari suku Jawa dan keseharian akrab dengan bahasa serta tradisi Jawa tidak mengalami kendala, baik faktor kebahasaan maupun adat tradisi dengan para informan yang menjadi sumber data primer. Masyarakat ataupun informan yang cenderung terbuka dalam memberikan informasi kepada peneliti perlu peneliti lakukan cross-check dan penerapan teknik triangulasi. Hal tersebut dilakukan agar peneliti mendapatkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akademik. Untuk menjaga privasi dan karena sensitifitas isu, maka beberapa identitas informan dapat peneliti rahasiakan dengan menggantinya dengan nama samaran.101 Guna mendukung dalam proses pengumpulan data peneliti memanfaatkan piranti berupa catatan-catatan dalam bentuk jotting, diary, dan log.102 Selain itu peneliti juga menggunakan alat dokumentasi berupa kamera foto dan tape recorder agar dapat dicermati kembali dan tidak ada data yang terlewatkan. Jotting adalah catatan kasar yang berisi catatan 99” Lihat dalam, Denzin, Norman dan Lincoln, Yvonna (ed). 2011. op.cit., hlm. 61. 100 Ibid., hlm. 61. 101 Mudjahirin Thohir. 2013. op.cit., hlm. 107. 102 Ibid., hlm. 65.



38



yang sifatnya segera atas suatu peristiwa atau temuan yang dijalankan pada hari-hari melakukan penelitian. Jotting dapat bermanfaat untuk peneliti mengembangkan pertanyaan kepada informan. Diary adalah catatan harian yang berisi rencana kegiatan apa yang tersembunyi di balik peristiwa yang diamati. Log adalah suatu catatan mengenai rencana dan hasilnya, serta tentang proses kerja secara sistematis, baik berkaitan dengan perencanaan kerja, maupun pengumpulan data.103 C. Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data dalam penelitian yuridis sosiologis mengacu pada tradisi penelitian kualitatif yang bersifat sirkuler dengan tiga tahapan proses.104 Miles dkk mengatakan; “The three types of analysis activity and the activity of data collection itself form an interactive, cyclical process… four nodes during data collection and then shuttles among condensing, displaying and conclusion drawing/verifying for the remainder of the study.”105 Jadi, menurut Miles dkk, ketiga jenis aktivitas analisis dan aktivitas pengumpulan data itu sendiri membentuk proses siklus yang interaktif. Empat proses selama pengumpulan data dan kemudian berpindah-pindah di antara pemadatan, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Pengolahan data dari penelilitian ini adalah analisis data interaktif di mana proses analisis data berjalan sirkuler dan terus menerus hingga jenuh. Sirkuler proses ini terdiri atas empat tahapan yang berinteraksi terus Lihat dalam, Mudjahirin Thohir. loc.cit., hlm. 65. Lihat dalam, Miles, M., Huberman, A., & Saldana, J. 2014. Qualitative Data Analysis A Methods Sourcebook 3rd Edition. UK: Sage Publications, hal. 13-14. 105 Ibid., hlm. 13-14. 103 104



39



menerus. Empat tahapan ini adalah pengumpulan data, penyajian data, reduksi data dan verifikasi. Proses ini oleh Miles dkk digambarkan dalam ragaan di bawah ini: Ragaan106 Komponen Analisis Data Kualitatif



Sumber: Miles, M.B. and Huberman, A.M. 1994. Qualitative Data Analysis. Komponen dalam gambar menjelaskan proses reduksi data dengan memilih dan memfokuskan data sesuai dengan kebutuhan penelitian. Tahap yang dapat dilakukan adalah memilah, mengkategori, mempolakan dan membuat catatan dari hasil wawancara, observasi ataupun field note untuk kemudian dilakukan verifikasi.107 Hasil verifikasi tersebut kemudian peneliti analisis berdasarkan teori-teori yang digunakan sesuai yang tercantum didalam kerangka teori di depan. Langkah selanjutnya kemudian dilakukan analisis filosofis. Hasil verifikasi data tersebut disusun dalam kategorikategori dan pola-pola perilaku peziarah dengan mensinkronkan dan menganalisisnya berdasarkan teori-teori yang digunakan sesuai yang tercantum di dalam kerangka 106 107



40



Ibid., hal. 10. Ibid.



teori di depan. Pola dan kategorisasi dari hasil data penelitian ini berangkat dari sumber keyakinan, motif-motif dan pemaknaan dari gejala sosial masyarakat. Individuindividu akan dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan, serta motif dan pola yang berbeda-beda. Oleh karenanya kategori-kategori tersebut menjadi penting dalam pelaporan hasil penelitian. Teori-teori digunakan dalam rangka memahami makna-makna dibalik tingkah laku dan selanjutnya diharapkan muncul teori atau temuan baru (novelty). Langkah selanjutnya kemudian dilakukan analisis filosofis, yakni analisis berdasarkan kajian-kajian filosofis secara eklektik baik dari disiplin ilmu sosial, ilmu hukum maupun ilmu hukum Islam. Teknik dalam penulisan pelaporan dalam hasil penelitian yuridis sosiologis dapat merujuk pada abstraksi yang digambarkan Creswell sebagai berikut:



41



Ragaan Alur Penelitian Kualitatif Menurut Creswell (The inductive mode)



Researcher develops a theory or compares pattern with other theories



Researcher looks for pattern (theories)



Researcher forms categories



Researcher asks questions



Researcher gathers information



Sumber: Creswell, Jhon, W. 1994, Research Design Qualitatative & Quantitative Approaches. London: Sage Publication, hlm. 89 & 96. D. Teknik Validitas Data Seringkali data yang didapat dari penelitian kualitatif diragukan validitasnya. Kecurigaan ini muncul terutama karena dalam prosesnya penelitian kualitatif tidak bisa dilepaskan dari subjektifitas peneliti. Guna menjaga validitas data, maka diperlukan pengujian keabsahan data (validitas data). Teknik yang digunakan dalam melakukan pengujian keabsahan data dalam penelitian yuridis sosiologis dapat



42



menggunakan triangulasi.108 Triangulasi dapat digunakan untuk menguji proses dan hasil. Triangulasi dilakukan dengan memanfaatkan beberapa sumber informasi yang berbeda untuk menguji kebenaran data tentang realitas sosial di masyarakat. Triangulasi juga dapat digunakan untuk melakukan cross check kebenaran data di lapangan dengan studi dokumen. Menurut Denzin seperti yang dikutip Nanang Martono terdapat tiga jenis triangulasi data, yaitu; orang, waktu dan tempat. Siapa saja orang yang terlibat dalam proses pengumpulan data, waktu ketika dikumpulkan data dan tempat dari mana data diperoleh.109 Langkah-langkah operasional yang dapat peneliti tempuh dalam teknik triangulasi ini adalah; pertama, peneliti menggunakan wawancara mendalam, dan observasi untuk pengumpulan data, maka peneliti memastikan bahwa setiap waktu, tempat, informan serta observasi terhimpun dalam catatan harian (jotting, diary, log). Kedua, materi catatan harian tersebut peneliti pastikan tidak ada informasi yang bertentangan antara catatan wawancara/observasi dengan catatan harian. Apabila ternyata terdapat data yang tidak relevan, peneliti melakukan konfirmasi perbedaan tersebut kepada informan. Ketiga, hasil konfirmasi tersebut peneliti uji lagi dengan informasi-informasi sebelumnya. Apabila masih terdapat perbedaan peneliti menelusuri hingga peneliti menemukan sumber dan materi perbedaannya. Proses tersebut dilakukan terus menerus hingga peneliti yakin bahwa sudah tidak ada data yang perlu dikonfirmasi kembali.110 Keempat, setelah data hasil kerja-kerja lapangan 108 Lihat, Burhan Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Ed.2. Jakarta: Kencana, hlm. 260. 109 Nanang Martono. loc. cit., hlm. 324. 110 Burhan Bungin. op.cit., hlm. 260.



43



terkonfirmasi keshahihannya, maka peneliti kemudian melakukan cross chek dengan sumber referensi yang tersedia. Tulang punggung dalam triangulasi memuat tiga hal utama, yakni subjek penelitian, referensi dan peneliti sendiri. Mudjahirin Thohir menggambarkan proses triangulasi seperti di bawah ini: Ragaan Proses Dialog Triangulatif Referensi



Peneliti



Objek Kajian



Masyarakat/Pelak u



Sumber: Mudjahirin Thohir. 2019. Etnografi Ideasional (Suatu Metodologi Penelitian Kebudayaan). Nusa: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.14. No.2. hlm. 200. E. Teknik Penyajian Data Penyajian data hasil penelitian yuridis sosiologis dianalisis dan disajikan secara formal melalui deskripsi dalam bentuk narasi kalimat dengan menggunakan Bahasa Indonesia baku dan gaya bahasa yang mudah dipahami pembaca. Hasil pengolahan dan validitas data kemudian peneliti lakukan proses analisis. Peneliti juga dapat menyajikan dalam bentuk-bentuk lain seperti gambar/foto, sketsa, denah tabel, diagram, grafik dan lain-lain. Keseluruhan hasil penelitian ini disajikan dan dilengkapi



44



dengan daftar pustaka, pedoman transliterasi dan lampiranlampiran yang diperlukan.



45



46



BAB IV TEORI DALAM PENELITIAN YURIDIS SOSILOGIS A. Memahami Manusia: dari Tindakan Rasional hingga Beyond Rasional Manusia merupakan individu yang sadar (concious) dan bebas memilih sekaligus penentu bagi tindakan dan pengalamannya sendiri. Manusia tidak pernah stagnan, tetapi selalu dinamis dan dalam proses untuk menjadi (becoming), serta memiliki potensi berupa kreatifitas yang mengarahkan individu manusia terhadap tindakan dan ekspresi diri. 111 Tindakan manusia terkadang dianggap oleh sebagian orang yang lain tidak masuk akal, tidak rasional, atau aneh. Namun hakekat dari tindakan memiliki arti apabila pelaku menjelaskan tentang bagaimana tindakan tersebut dilakukan. Ibnu Arabi112 seperti yang dijelaskan oleh William C. Chittik membagi pengetahuan manusia yang mendorongnya 111 Dian Arianty. tt. Psikologi Humanistic Eksistensialisme. researchgate.net, hlm. 3-4. 112 Ibnu Arabi lahir di Andalusia, Spanyol, Senin 17 Ramadhan 560 H / 1165 M. Nama aslinya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi al-Tha’i. Lihat dalam, Ibnu Arabi. 1993. al Durrah al Baidha’. Tahqiq Zainahum M. Kairo: Maktabah Madbuli, hlm. 3. Ibnu Arabi dalam hidupnya memiliki 200 karya kitab dan mendapat gelar oleh ummat Islam sebagai as Syaikhūl Akbar (guru terbesar). Para pengikutnya tergabung dalam thariqah “Akbariyah”. Dalam kajian filsafat Islam Ibnu Arabi dikategorikan dalam filsafat Islam Iluminasi (pencerahan) yang menggunakan pendekatan qolbu (hati), metode kajiannya sering juga disebut filsafat irfāni (tasawuf). Illuminasi lahir atas kritik terhadap ilmu pengetahuan yang bersumber dari pendekatan rasionalistik. lihat dalam, Mohammad Muslih. 2014. Logika Ketuhanan dalam Epistemologi illuminasi Suhrawardi. Yogyakarta; Lesfi, hlm. 2. Tokoh-tokoh filsafat Islam yang dikategorikan dalam filsafat Islam Iluminatif di antaranya adalah Ibnu Arabi, Abdul Qodir al-Jailani, Al-Hallaj, Suhrawardi, Jalaludin Rumi, Mulla Shadra, Ar-Razi. lihat dalam, Asep Ahmad Siddiq. 2018. Para Sufi-



47



melakukan tindakan menjadi tiga kategori; pertama, pengetahuan aqali yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh melalui jalan rasio atau akal; kedua, pengetahuan yang bersifat intuitif dari olah rasa atau batin (knowledge by acquaintance). Intuisi adalah kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasio dan intelektual. Intuisi dalam bahasa sederhana dapat diartikan getaran hati (jiwa) akan sesuatu hal yang dihadapi atau yang akan terjadi. Pengetahuan intuitif ini dapat dipelajari melalui riyaḍoh (latihan batin). Pengetahuan manusia yang ketiga menurut Ibnu Arabi adalah pengetahuan yang bersifat misteri (asrār). Pengetahuan asrār ini sering disebut sebagai pengetahuan yang bersifat laduni / irfāni. Hadirnya pengetahuan asrār ini secara tiba-tiba (bisa melalui mimpi atau kejadian unik lainnya) dan diyakini merupakan akhbar langsung dari Tuhan.113 Kategorisasi pengetahuan manusia menurut Ibnu Arabi tersebut dapat diklasifikasikan secara sederhana dengan kategori aqali sebagai pengetahuan rasional, sementara intuitif dan asrār sebagai pengetahuan beyond rasional. Pengetahuan dan tindakan beyond rasional sering tanpa melalui panca indera, juga bukan melalui rasio, tetapi pengetahuan yang didapat lewat intuisi atau melalui rasa hati. Falsafi Iluminasi: Refleksi untuk Dunia Modern. Prosiding SNaPP: Sosial, Ekonomi dan Humaniora, proceeding.unisba.ac.id, 4(1), hlm. 121-128. 113 William Chittick. 2010. The Sufi Path of Knowledge: Ibn alArabi's Metaphysics of Imagination. New York: State University of New York Press, hlm. 147-155. Berbagai ajaran dalam agama Islam diyakini dan dilaksanakan karena berawal dari mimpi para nabi/rasul. Misalnya adalah ajaran tentang berkurban pada hari raya Idul Adha. Bermula dari mimpi, Nabi Ibrahim meyakini bahwa Tuhan memerintahkan kepadanya untuk menyembelih anaknya yang bernama Ismail. Ajaran menyembelih hewan kurban ini sampai saat ini masih dilakukan oleh kaum muslim. Lihat dalam Choirul Mahfud. 2014. "Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban dalam Islam." HUMANIKA, Vol. 14, no. 1, hlm. 1-16.



48



Lazimnya pengetahuan beyond rasional berkaitan dengan sesuatu yang abstrak seperti alam gaib, eksistensi Tuhan, keberadaan jin, malaikat, surga, neraka atau sesuatu lainnya yang tidak terdeteksi oleh inderawi. Pada umumnya untuk mendapatkan pengetahuan beyond rasional ini menggunakan latihan (riyaḍah) tertentu dan penggunaanya sesuai dengan pemilik pengetahuannya masing-masing. Dalam kajian Islam, ilmu ini sering disebut dengan ulumul ḥikmah (ilmu hikmah).114 Orang baik yang memiliki pengetahuan ini akan menggunakan dengan baik, seperti untuk menentramkan orang lain atau untuk ikhtiar menyembuhkan penyakit melalui cara yang beyond rasional pula. Istilah awam menyebutnya “pengobatan alternatif”. Sebaliknya orang yang tidak baik akan menggunakan pengetahuan ini dengan tidak baik pula, seperti digunakan untuk santet, sihir, tenun, agar orang lain sakit/ terbunuh atau tindakan-tindakan melanggar hukum lainnya.115 Imam Al-Ghazali116 yang dikenal sebagai ḥujjatul Islam memaparkan tentang berbagai ulumul ḥikmah tersebut Ahmad Khoiri. 2019. Kepercayaan terhadap Benda-Benda Mistis Masyarakat (Studi terhadap Rajah Jimat Desa Bulusari Kedungwaru Tulungagung Kajian Fenomologi Edmund Husserl). Skripsi, IAIN Tulungagung, hlm. 1213. 115 Ibid., hlm. 12-13. 116 Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, dilahirkan di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima Hijriyah (450 H/1058 M). Al-Ghazali adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugerahi gelar Hujjatul Islam (bukti kebenaran agama Islam) dan zain ad-din (perhiasan agama). Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember 1111 M). AlGhazali merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan sufistik dengan bahasa yang mudah diterima oleh ummat. Berkat jasa alGhazali ini ajaran-ajaran tawasuf yang merupakan upaya spiritualisasi lslam banyak tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga sekarang. Magnum opus karya al-Ghazali adalah Kitab Ihya’ Ulumuddin yang sampai 114



49



dalam kitab al-Aufaq.117 Kitab ini berisikan tentang penggunaan rajah, ‘azimat, asma’, dan do’a-do’a yang dipercaya memiliki faḍīlah/ khasiat tertentu baik berupa keamanan diri, kesaktian, kekayaan, kebahagiaan dan keberkahan dalam kehidupan. Kitab lain yang membahas tema-tema tersebut di antaranya adalah Manba’ Ushul alḤikmah dan Syamsul Ma’arif karya Imam Ali al Buni.118 Oleh ummat Islam wa bil khusus kalangan pesantren,119 kitab-kitab tersebut digunakan untuk memandu pengetahuan dan tindakan yang bersifat beyond rasional.120 Pengetahuan dan keyakinan inilah yang kemudian mewujud dalam tindakantindakan manusia. Dalam rangka menjelaskan tindakan manusia yang bersifat beyond rasional, penulis mengambil contoh tindakan ziarah kubur. Ziarah kubur adalah tindakan yang dilakukan saat ini diajarkan di banyak pesantren yang berafiliasi dengan organis keagamaan Nahdlatul Ulama (NU). Lihat, Ahmad Zaini. 2016. "Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali." Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf. Vol. 2 (1), hlm. 146-59. 117 Al-Ghazali, 1986, Kitabul Aufaq, Jateng Aneka Solo, hlm. iiiv. 118 Muhammad Abdullah. 2017. Naskah Mamba’ul Hikmah dan Teks Pencak Silat Harimau Putih (Sebuah Kajian Intertekstual), PIBSI XXXIX, FIB Universitas Diponegoro, hlm. 1227-1241. 119 Pesantren atau pondok pesantren adalah sebuah institusi pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Keberadaanya telah ada sejak sebelum era penjajahan Belanda dan menjadi lembaga pendidikan tertua di bumi Nusantara. Ciri khas pendidikan di pesantren adalah diajarkannya kitab-kitab Islam klasik (turats) karya ulama-ulama Islam abad pertengahan. Lihat dalam, Zamakhsyari, Dhofier. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES, hlm. 86-88. Lihat juga dalam, Lukens-Bull, Ronald. 2008. The Traditions of Pluralism, Accommodation, and Anti-radicalism in The Pesantren Community. Journal of Indonesian Islam. 2.1. hlm. 1-15. lihat juga Gamal Abdul Nasir Zakaria. 2010. Pondok Pesantren: Changes and Its Future. Journal of Islamic and Arabic Education 2.2. hlm. 45-52. 120 Al-Ghazali, op.cit., hlm. iv.



50



oleh sebagian orang dengan mengunjungi, mendoakan atau berdoa di makam (pusara kubur) orang yang dihormati dan telah wafat. Makam orang yang dihormati tersebut bisa kedua orangtua, leluhur, tokoh-tokoh lain yang dianggap berjasa atau diharapkan akan berjasa (mberkahi)121 dalam kehidupan peziarah. Ziarah kubur merupakan salah satu budaya masyarakat Indonesia yang dipengaruhi oleh tradisi ahlussnah wal jamā’ah (Sunni).122 Dalam tradisi Sunni, karāmah123 para wali diyakini mampu membantu kehidupan peziarahnya (mberkahi). Keyakinan terhadap karāmah ini berlaku tidak hanya ketika sang wali masih hidup, namun juga saat sang wali telah meninggal dunia. Hal ini di-ejawantah-kan melalui tawaṣul dengan ziarah di tempat sang wali tersebut dimakamkan.124 121 Kata “mberkahi” berasal dari kata “berkah”. Kata berkah itu sendiri berasal dari Bahasa Arab. Kata asalnya adalah “bāraka” yang terdiri dari huruf ba’, ra’ dan kaf. Bāraka secara asli dapat diterjemahkan menjadi buah kismis. Kismis (bāraka) inilah yang kemudian menjadi kata “bārakah” atau “berkah” yang dapat ditafsirkan menjadi kenikmatan atau kebahagiaan. lihat dalam, Ahmad Warson Munawir. 1984. Kamus alMunawwir; Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren “AlMunawwir” Krapyak, hlm. 84. 122 Sunni merupakan kelompok mayoritas dalam faham keagamaan Islam. Paham Sunni atau ahlussunnah wal jamaah ini dalam bidang teologi menganut ajaran Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi, dalam bidang fikih memegang teguh tradisi salah satu dari empat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), dan dalam bidang tasawuf menganut ajaran Al-Junaid dan Al-Ghazali. Lihat; Zamakhsyari Dhofier. 1994. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, hlm. 149. Lihat juga dalam, Said Agil Siradj. 2013. The Sunni-Shi’ah Conflict and the Search for Peace in Indonesia. Journal of Indonesian Islam. Vol. 7(1), hlm. 145-164. 123 Kata karāmah berasal dari Bahasa Arab yang dapat diartikan dengan kelebihan atau orang yang memiliki kelebihan. Dapat juga ditafsirkan orang yang dimuliakan atau dihormati. Lihat, Ahmad Warson Munawwir. 1984. op.cit., hlm. 1293. 124 Solichin Salam. 2010. Sekitar Walisongo. Kudus: Menara Kudus, hlm. 390.



51



Salah satu doktrin ajaran Sunni yang menjadi dasar keberadaan ziarah ini adalah ajaran tentang waṣilah.125 Waṣilah atau tawaṣul adalah upaya untuk meminta pertolongan dari Tuhan melalui perantara seseorang (mediator). Perantara ini adalah orang yang dianggap suci dan diyakini memiliki kedekatan dengan Tuhan. Orang suci inilah yang dalam tradisi Sunni dikenal dengan sebutan wali (auliyā’) “friends of God”,126 dalam terminologi Islam disebut wali (wāliyullāh/kekasih Allah), dalam Agama Kristen disebut “Santo” atau “Maharesi” dalam terminologi Agama Hindu. 127 Wāliyullāh diyakini memiliki keistimewaan berupa karāmah.128 Karāmah merupakan kelebihan-kelebihan yang diberikan oleh Tuhan kepada seseorang yang dipilih. Karāmah ini secara umum bersifat beyond rasional dan tidak memuat hal-hal yang biasa terjadi. Artinya hal-hal yang terjadi dalam karāmah sering tidak lazim (kharīqul ‘ādah), jika lazim berarti bukan karāmah.129 Melalui keyakinan atas karāmah wali inilah peziarah melakukan tindakan ngalap berkah atau mencari keberkahan (tabārukan).130 Banyak tokoh



125 Secara harfiah waṣilah adalah bentuk/sighot masdar dari ṣola yang dapat diterjemahkan menjadi penyambung atau penghubung. Lihat, Ahmad Warson Munawir. 1984. op.cit., hlm. 1669. 126 Michel Chodekiewicz. 2007. Konsep Kesucian dan Wali dalam Islam, dalam Chambert-Loir, Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Agama Islam. Ecole Francaise d’exreme-orient forum. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hlm. 9. 127 Abu Bakar. 2012. Konsep Ibadah dalam Hindu. Jurnal Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama. Vol. 4(2), hlm. 195-205. 128 Purwadi. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Kompas, hlm. 22. 129 Anwar Masduki. 2016. The Social Construction of New Understanding Wali in Java. DINIKA: Academic Journal of Islamic Studies 1.2, hlm. 189-210. 130 Mustagfiroh, Hikmatul, dan Mustaqim. 2014. Analisis Spiritualitas Para Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Peziarah Di



52



yang dianggap wali oleh masyarakat, di antaranya yang masyhūr karena mempelopori masuknya Agama Islam di Pulau Jawa pada sekitar abad 15-16 Masehi. Para wali tersebut oleh khalayak dikenal dengan sebutan “Walisongo”.131 Makam Walisongo banyak dikunjungi oleh masyarakat baik secara individual maupun rombongan dari berbagai daerah. Ratusan bahkan ribuan orang datang berziarah ke makam Walisongo setiap harinya. Makam Walisongo yang sering dikunjungi peziarah di antaranya adalah makam Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat, Makam Sunan Ampel di Surabaya, Makam Sunan Giri di Gresik, Makam Sunan Drajat di Lamongan Jawa Timur, Makam Sunan Kalijaga di Demak, Makam Sunan Kudus di Kudus Jawa Tengah.132 Terdapat pula para tokoh yang diyakini sebagai murid atau pengikut Walisongo dan makamnya juga banyak dikunjungi peziarah, di antaranya adalah makam Raden Fatah di area Masjid Agung Demak, Sunan Tembayat (Sunan Pandanaran) di Klaten Jawa



Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak). Jurnal Penelitian. Vol. 8, No. 1. hlm. 143-160. 131 Agus Sunyoto. 2012. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIman, hlm. 109. 132 Rohmawati, A dan Ismail, H. 2017. Ziarah Makam Walisongo Dalam Peningkatan Spiritualitas Manusia Modern. Sumbula: Jurnal Studi Keagamaan, Sosial dan Budaya, 2(2), hlm. 612-627.



53



Tengah,133 Sunan Geseng di Magelang,134 Jaka Tingkir di Plupuh Sragen.135 Tindakan dan ritual ziarah telah mewujud menjadi sebuah kebiasaan dan kebudayaan dalam konstruksi masyarakat di Indonesia. Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan memiliki beberapa wujud, yakni; pertama, kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma; kedua, sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia di masyarakat; ketiga, kebudayaan yang berwujud benda-benda hasil karya manusia.136 Kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai atau norma tidak dapat diraba namun terwujud dalam bentuk norma, adat istiadat, agama, hukum atau perundangundangan. Kebudayaan dalam wujud ini memiliki fungsi dalam mengatur dan menjadikannya acuan perilaku kehidupan manusia. Norma dan wujud kebudayaan ini menjadi budaya ideal yang diharapkan berlaku di masyarakat. Wujud kedua yakni sebagai sistem aktivitas. Wujud kebudayaan ini merupakan aktivitas atau perilaku kegiatan sosial yang terpola dari individu dalam masyarakat. Sistem ini adalah hasil interaksi manusia yang berkelanjutan. Tak jarang perilaku manusia pada sistem ini berbeda dengan budaya ideal yang diharapkan dalam budaya sebagai ide, Ibid., hlm. 612-627. Lihat juga dalam, van Doorn-Harder, N., & de Jong, K. (2001). The pilgrimage to Tembayat: Tradition and revival in Indonesian Islam. The Muslim World, 91(3/4), 325. 134 Faelasofa, D. 2011. Ajaran Sunan Geseng bagi Kehidupan Keagamaan Masyarakat. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, 3(2), hlm. 159-168. 135 Sunarni, W., & Khuriyah, K. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Ziarah Kubur Di Makam Jaka Tingkir Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Tahun (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Surakarta). 136 Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia, hlm. 6. 133



54



gagasan, nilai atau norma. Perilaku dan praktik ini dikenal dengan real cultures. Terkadang terdapat perbedaan antara budaya sebagai gagasan yang penuh nilai dengan aktivitas atau pola tindakan manusia di masyarakat.137 Wujud kebudayaan yang ketiga adalah hasil karya fisik manusia atau sekelompok masyarakat yang berupa artefak dan menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat tersebut. Sifatnya kongkrit dan dapat dideteksi atau diobservasi menggunakan panca indera.138 Tindakan kebudayaan beserta nilai-nilai spiritual yang melekat di dalamnya, dalam penelitian yuridis sosiologis dapat menggunakan teori-teori secara eklektik.139 Penggunaan teori secara eklektik ini agar memandu sebuah penelitian sehingga mendapatkan “potret” realitas dalam sebuah konstruksi masyarakat secara luas, komperhensif, mendalam dan tepat. Realitas dalam masyarakat dibaca sebagai teks budaya yang bersifat parikular, sementara teks hukum pada pembacaan teks budaya bersifat general. Keduanya (antara teks partikular dan teks general) dapat peneliti dialogkan secara eklektik dalam rangka menemukan philosophical meaning (makna filosofis) karena keduanya bersifat komplementer.140 Penggunaan teori-teori secara ekletik dapat juga dianalogikan dengan kebutuhan koleksi alat/piranti dalam kehidupan sehari-hari. Orang butuh sendok dan piring 137 Lihat dalam, Michel Freeman. 1998. Human Rights and Real Cultures: Towards a Dialogue on ‘Asian Values.’ Netherlands Quarterly of Human Rights. Vol. 16(1), hlm. 25-39. 138 Ibid., hlm. 8. 139 Lihat dalam, Hilman Hadikusuma. op.cit., hlm. 37. 140 Maulidi. 2017. op.cit., hlm. 507-528. Lihat juga dalam John I. Brooks. 1998. The Eclectic Legacy: Academic Philosophy and The Human Sciences in Nineteenth-Century France. University of Delaware Press, hlm. 56-57.



55



ketika melakukan aktivitas makan, butuh gelas ketika minum, butuh gayung ketika mandi, butuh pisau untuk mengupas buah, butuh pulpen dan kertas untuk menulis, butuh cangkul atau sabit ketika bekerja di sawah. Tentu tidak tepat jika beraktivitas makan, minum, menulis, bekerja di sawah apalagi mandi hanya menggunakan piranti pisau, meskipun mungkin bisa tetapi menurut peneliti hal tersebut kurang tepat.141 Pitana dan Gayatri menyatakan, “sesungguhnya tidak ada satu teoripun yang mampu memuaskan di dalam menganalisis segala fenomena sosiologis di masyarakat. Suatu teori mungkin cocok untuk membahas suatu fenomena tertentu, tetapi sangat lemah untuk membahas fenomena sosial lainnya. Tidak ada teori yang mutlak benar dan unggul.” Oleh karenanya dalam penelitian yuridis sosiologis membutuhkan berbagai teori sebagai alat dalam melihat, memahami dan “mengupas” realitas. B. Memahami Realitas di Masyarakat Tindakan individu-individu anggota masyarakat menarik untuk dikaji melalui Fenomenologi ala Edmund Husserl.142 Edmund Husserl adalah tokoh pelopor fenomenologi sehingga sering dijuluki sebagai Bapak Fenomenologi. Nama lengkapnya adalah Edmund Gustav Albrecht Husserl, dilahirkan di Prosswitz, Moravia, Ceko pada 8 April 1859 dan meninggal pada 26 April 1938 di Freiburg, Jerman. Pada awalnya Husserl mempelajari tentang ilmu-ilmu pasti di Wina namun kemudian beralih ke studi filsafat. Husserl merupakan guru besar di Universitas Lihat, I Gde Pitana dan Gayatri. 2005. op.cit., hlm. 27. Lihat dalam, Harun Hadiwijono. 1989. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 140-141. 141 142



56



Halle, Gottingen dan Freiburg Jerman. Beberapa karya Husserl berbahasa Jerman, di antaranya adalah; Logische Unter suchungen (penyelidikan-penyelidikan yang logis) tahun 1900-1991, Ideen zu einer reinen Phanomenologie (idea-idea bagi suatu fenomenologi yang murni) tahun 1913, Formale und tranzendentale logic (logika yang formal dan transcendental) tahun 1929 dan Erfahrung und Urteil (Pengalaman dan Pertimbangan) tahun 1930. Para filosof di era Post Modernisme banyak yang menjadi murid atau meneruskan tradisi berfikir ala Husserl ini. Sebut saja misalnya Martin Heidegger, Hannah Arendt, Alfred Schutz dan lain sebagainya. Fungsi utama fenomenologi adalah “membersihkan kacamata” agar dalam melihat realitas dapat jernih dan terang. Fenomenologi menetapkan suatu orientasi yang genuine dan khas terhadap realitas serta menempatkan pengalaman subjek penelitian sebagai hal utama.143 Meski kata fenomenologi (phenomenology) telah ada sejak era tahun 1700-an, namun diskusi tentang fenomenologi tidak bisa dilepaskan dari tokoh pelopornya, yakni Edmund Husserl.144 Phenomenon berasal dari bahasa Yunani, yakni phanesthai, yang dapat diterjemahkan dengan tampak, muncul, menerangi, menyala, menunjukkan diri, sedangkan logos berarti ilmu,145 sehingga fenomenologi dapat ditafsirkan dengan ilmu tentang penampakkan dari apa yang ada dalam



George Ritzer dan Barry Smart. 2011. Handbook Teori Sosial. Jakarta: Nusa Media, hlm. 466. 144 Payne, G. C. F., & Cuff, E. C. (Ed). 1984. Perspectives in Sociology. G. Allen & Unwin. London, hlm. 3. 145 Clark Moustakas. 1994. Phenomenological Research Methods. USA; Sage Publication, hlm. 26. 143



57



diri pengalaman subjek,146 dalam hal ini subjek penelitian dalam sebuah konstruksi masyarakat. Kajian fenomenologi dari Edmund Husserl memfokuskan pada upaya untuk membahas dan menelaah sebuah realitas yang berawal dari consciousness (kesadaran) pada masing-masing subjek.147 Fenomenologi berada pada wilayah pengalaman manusia (subjek penelitian) dengan perhatian pada meaning (makna) dan verstehen (memahami) sebuah realitas yang dibangun oleh individu-individu. Jadi fenomenologi melihat, memahami, mengkonstruk kenyataan pengalaman konkret dari subjek penelitian (pelaku). Fenomenologi dalam penelitian yuridis sosiologis berupaya untuk merebut “esensi” pada masing-masing subjek penelitian yang berkelindan di masyarakat dengan merunut pada kebenaran yang dapat didasari atas pengetahuan keagamaan, pendidikan, kepercayaan, kebudayaan, faktor lingkungan, maupun sesuatu yang metafisik. Fenomenologi Husserl mengajarkan untuk “menangkap kembali” kehidupan manusia sebelum hadirnya modernitas, di mana segala sesuatu masih tampil apa adanya. Menurut Husserl dengan membuang asumsi-asumsi dan pengandaian serta prasangka diharapkan peneliti dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sesuai aslinya.148 Bersumber dari hal tersebut, peneliti akan mendapatkan fenomena dalam sebuah konstruksi masyarakat secara jernih dan mendalam. 146 Donny Adian, 2010. Pengantar fenomenologi. Depok: Penerbit Koekosan, hlm. 5. 147 Ijsseling, S. 1979. Hermeneutics and Textuality: Questions Concerning Phenomenology. Research in Phenomenology, 9, hlm. 1-16. 148 Prasetyono, Emmanuel. Bertemu dengan Realitas: Belajar dari Fenomenologi Edmund Husserl. Fakultas Filsafat Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya. Jurnal Filsafat Arete, Vol.1(1), hlm. 19.



58



Memahami realitas serta makna di balik tindakan para pelaku, peneliti yuridis sosiologis dapat menggunakan perspektif emic (insider’s looking).149 Janette Young mengatakan bahwa melalui insiders looking peneliti tidak menggunakan kata-kata kasar yang merendahkan atau menghilangkan sisi kemanusiaan. Young juga mengatakan bahwa melalui pendekatan emic, penelitian dapat memberikan kemanfaatan kepada orang-orang yang berada pada “the lowest rung”. Untuk memahami masyarakat, penelitian yuridis sosiologis dapat mengacu pada pengamatan atas realitas empirik, realitas simbolik, realitas makna, realitas ide dan realitas nilai (world view).150 Mudjahirin Thohir menggambarkan lapis realitas dalam ragaan sebagai berikut: Ragaan Lapisan-lapisan Realitas Sosial World View Realitas Ide Realitas makna Realitas Simbolik Realitas Empirik



Sumber: Mudjahirin Thohir. 2011. Refleksi Pengalaman Penelitian Lapangan. Lihat, Janette Young. 2005. On Insiders (emic) and Outsiders (etic): Views of Self, and Othering. Systemic Practice and Action Research, Springer. Vol. 18(2), hlm. 151-162. 150 Mudjahirin Thohir. 2011. Refleksi Pengalaman Penelitian Lapangan: Ranah Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora. Semarang: Fasindo, hlm. 39. Lihat juga, Teddy Asmara. 2011. op.cit., hlm. 57. Lihat juga, Teddy Asmara dalam Esmi Warassih, et.al. 2016. op.cit., hlm. 29. 149



59



Lapisan terluar adalah realitas empirik, dalam hal ini subjek penelitian di dalam masyarakat. Wujudnya dapat diamati secara langsung dan secara umum dapat divisualisasikan dalam bentuk foto, gambar atau video. Lapis kedua adalah realitas simbolik, biasanya terbentuk dalam wujud simbol-simbol (tanda).151 Lapis ketiga adalah realitas makna. Masing-masing simbol memiliki makna atau diberi makna oleh pelakunya, sehingga makna tersebut yang membedakan dengan objek lainnya.152 Makna di balik simbol batu nisan tentu berbeda dengan batu yang digunakan sebagai pondasi bangunan, meskipun keduanya sama-sama batu. Orang bisa saja meludahi atau mengencingi batu yang ada di sungai, tetapi akan berbeda makna dan efeknya jika yang diludahi atau dikencingi adalah batu hajar aswād yang terdapat di pojok Ka’bah. Lapis keempat adalah realitas ide, yaitu kumpulan pengetahuan dan pengalaman (baik langsung ataupun tidak langsung) yang berawal dari latar belakang kehidupan masing-masing pelaku. Pengetahuan dan pengalaman hidup dalam kehidupan pelaku tersebutlah yang dalam istilah lain disebut sebagai local knowledge beserta metode (strategy) yang dilakukan. Lapis kelima (yang paling dalam) atau worldview adalah makna terdalam dari berbagai aktivitas tindakan manusia (kebudayaan).153 Annick Hedlund-de Witt mengatakan bahwa: “Worldviews thus profoundly influence perceptions of human– environment relationships, thereby informing environmental attitudes and sustainable lifestyles”,154 (Worldviews dengan demikian sangat



Ibid., hlm. 39-40. Ibid., hlm. 40. 153 Ibid., hlm. 40-43. 154 Lihat dalam, Annick Hedlund-de Witt. 2012. Exploring Worldviews and Their Relationships to Sustainable Lifestyles: Towards a 151 152



60



mempengaruhi persepsi hubungan manusia-lingkungan, sehingga menginformasikan sikap lingkungan dan gaya hidup yang berkelanjutan). Tugas peneliti dalam penelitian yuridis sosiologis adalah mengkaji berbagai realitas tindakan manusia yang berkelindan dalam sebuah konstruksi masyarakat dari lapis terluar hingga lapis terdalam (worldview). Tindakan menurut Benjamin Bloom adalah salah satu bentuk perilaku dari tiga bidang perilaku yakni kognitif, afektif dan praktik psikomotorik.155 Bidang kognitif terkait dengan kemampuan mengingat, memahami pengetahuan yang dimiliki dan kemampuan mengembangkan bakatnya. Bidang afektif adalah terkait dengan ketertarikan, sikap dan nilai yang dianut. Praktik adalah akumulasi dari pengetahuan afektif, sehingga untuk mengubah praktik dengan menumbuhkan sikap dan pengetahuan tentang sesuatu. Notoatmodjo menambahkan sikap positif seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan yang positif, begitu juga sebaliknya.156 Bloom menjelaskan bahwa perilaku adalah bentuk reaksi seorang individu terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara dalam pandangan humanisme mendudukkan asumsi bahwa manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab atas tindakan-tindakannya.157 Sementara itu dalam Theory of Reasoned Action yang dikembangkan Fishbein dan Ajzen menjelaskan bahwa perilaku ditentukan



New Conceptual and Methodological Approach. Ecological Economics, Elsevier, Vol. 84, hlm. 74-83. 155 Benjamin Bloom. 1956. Taxonomy of Educational Object. London: Longman, hlm. 7. 156 Soekidjo Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 157 Bloom, op.cit., hlm. 7.



61



oleh niat bertindak atau behavioural intention untuk melaksanakan tindakan itu sendiri.158 Terdapat dua faktor utama yang menentukan behavioural intention dalam theory reasoned action, yakni faktor sikap personal dan faktor sosial atau normatif. Faktor sikap personal terkait pada formula expectancy-value atau nilai-nilai harapan atas perilaku dan konsekuensi dari perilaku. Jadi faktor pertama berfokus mengenai bagaimana nilai harapan atas perilaku yang akan dilakukan. Faktor kedua berfokus mengenai bagaimana persepsi individu terhadap perilaku yang dicerminkan pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Jadi seseorang akan berperilaku atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai/norma yang ada di masyarakat. Kedua faktor ini tergantung pada perilaku, situasi dan perbedaan perilaku sang individu.159 Ragaan 6 The Theory of Reasoned and Moral Behavior



Martin Fishbein dan Icek Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory And Research, hlm. 181-202. 159 Robert J. Vallerand, Luc G. Pelletier, Claude Mongeau, Paul Deshaies and Jean-Pierre Cuerrier. 1992. Ajzen and Fishbein Theory of Reasoned Action as Applied to Moral Behavior - A Confirmatory Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 62., No,1. hlm. 98109. 158



62



Sumber Ragaan: Robert J. Vallerand, Luc G. Pelletier, Claude Mongeau, Paul Deshaies and Jean Pierre Cuerrier. 1992. Ajzen and Fishbein Theory of Reasoned Action as Applied to Moral Behavior - A Confirmatory Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 62., No,1. hlm. 99.



Teori Fishbein dan Ajzen ini menyatakan bahwa sikap dan pemahaman subjektif akan norma sosial dapat memprediksi minat dan berpengaruh pada perilaku.160 Secara umum reasoned action theory berasumsi perilaku sosial dipengaruhi oleh kehendak individu dan minat seseorang akan mempengaruhi perilaku. Bahkan keduanya menggambarkan model teori ini dalam rumusan seperti berikut: Behavior  Intention = Attitude act (W1) + Subjective norm (W2) Fishbein dan Ajzen menekankan bahwa; pertama, untuk memprediksi sikap dan pemahaman subjektif norma yang mendorong perilaku maka hubungan perilaku dan minat harus sangat kuat; kedua, perilaku akan stabil apabila minat tetap stabil.161 Namun dalam perkembangannya kebiasaan akan menjadi pengaruh yang lebih besar dibandingkan minat, Fishbein dan Ajzen tidak banyak mengangkat ini namun telah menegaskannya. Fishbein dan Ajzen dalam buku terbarunya menyampaikan kembali asumsi bahwa perilaku sosial manusia berdasarkan pada alasan dan spontanitas yang 160 John Wttenbraker, Brenda Lynn Gibbs, & Lynn R. Kahle. 1983. Seat Belt Attitudes, Habits, and Behaviors: An Adaptive Amendment to the Fishbein Model. Journal of Applied Social Psychology, 13(5). hlm. 406. 161 Ibid., hlm. 407-408



63



berbasis pada informasi atau pengetahuan yang mereka percaya dan miliki dengan sadar. Pengetahuan dapat diperoleh melalui beragam sumber seperti pengalaman pribadi, pendidikan, radio, koran, internet, komunikasi dalam keluarga dan media lainnya. Oleh karena itu individu yang berasal dari latar belakang sosial yang berbeda atau berbeda kepribadiannya akan memiliki perbedaan keyakinan/pengetahuan yang mereka percayai. Setiap individu dalam bertindak memiliki harapan atau ekspektasi atas perilaku yang mereka akan lakukan, entah positif atau negarif konsekuensinya. Ekspektasi dan keyakinan dalam berperilaku ini kemudian menentukan bagaimana individu tersebut bertindak.162 Fishbein menggambarkan kerangka berpikir dari reasoned action theory sebagai berikut: Ragaan Fishbein and Ajzen’s Reasoned Action Framework



Sumber: Martin Fishbein & Icek Ajzen. 2010. Predicting and Changing Behavior. New York: Psychology Press. hlm. 21. Martin Fishbein & Icek Ajzen. 2010. Predicting and Changing Behavior. New York: Psychology Press. hlm. 21. 162



64



Model di atas berkembang dari model yang dikeluarkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa minat adalah faktor prediksi terbaik atas sebuah perilaku. Namun kini juga penting untuk memperhitungkan kemampuan dan ketrampilan seperti halnya faktor lingkungan dalam proses perilaku. Fishbein mencontohkan proses yang mempengaruhi bagaimana seorang akademisi untuk hadir atau tidak dalam sebuah konferensi. Mereka mungkin mengevaluasi pentingnya kehadiran mereka di konferensi karena tekanan sosial yang mengharuskan mereka hadir, tetapi mereka dapat memutuskan tidak hadir apabila memiliki skala prioritas yang tidak memuat konferensi tersebut, tidak memiliki uang untuk registrasi dan akomodasi. Mereka yang hadir mungkin dengan beragam niat, kehadiran mereka dianggap akan menghasilkan jaringan dan mendapatkan informasi yang penting (behavioural beliefs), kantor dan rekan-rekan sejawat juga menghadiri (normative beliefs) dan mereka memiliki waktu dan sumberdaya finansial (control beliefs). Maka setiap individu memiliki set of beliefs yang berbeda-beda.163 Pada ragaan di atas pun terlihat set of beliefs yang berbeda-beda dipengaruhi oleh latar belakang individu, latar belakang sosial, dan akses serta kompetensi informasi yang mereka masing-masing miliki.164 Max Weber165 memandang bahwa metode yang dapat digunakan untuk memahami arti subjektif atas Ibid., hlm. 23. Ibid., hlm. 25. 165 Max Weber lahir tahun 1864 di Eufrat Jerman pada tahun 1864 dan meninggal pada tahun 1920 Masehi. Weber dianggap Bapak Sosiologi Jerman berkat teori-teorinya tentang metodologi dan analisis berkaitan tentang masyarakat modern. Max Weber adalah guru besar dalam bidang hukum, sejarah, filsafat, ekonomi dan teologi. Jean 163 164



65



tindakan manusia adalah dengan verstehen. Istilah verstehen ini oleh Weber didefinisikan dengan kemampuan dalam menempatkan diri untuk ber-empati dalam kerangka berfikir orang lain. Tindakan individu-individu tersebut dijelaskan berdasarkan situasi tujuan ataupun ekspektasi pelaku. Verstehen memandu untuk memahami tindakan individu dengan benar manakala dapat berempati dan menempatkan kerangka pikir peneliti seperti apa yang terdapat dalam pikiran individu.166 Weber membagi tipe-tipe tindakan individu menjadi empat macam, yaitu; pertama, tindakan rasional instrumental (zweckrationalitat), yang mengarah pada tujuan di mana tindakan individu mempertimbangkan aspek kesesuaian antara alat yang digunakan dan tujuan yang menjadi orientasi. Pilihan tindakan individu ditentukan atas alat yang dipergunakan dengan mempertimbangan efisiensi dan efektivitas; Kedua, tindakan rasionalitas berorientasi nilai (wertrationalitat). Tindakan ini berorientasi pada nilai, bersifat rasional dengan memperhitungkan manfaat, tetapi orientasi atas tindakan individu tersebut tidak terlalu dipertimbangkan. Kriteria baik dan buruk menjadi asumsi atas tindakan ini sesuai ukuran dan persepsi masyarakat.167 Ketiga, tindakan tradisional, merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Dalam tindakan ini individu mendasarkan pada tradisi yang berlaku di dalam komunitas sosial tanpa menyadari alasannya dan tanpa membuat Francois Dortier dalam, Anthony Giddens, et.all. Sosiologi; Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm. 35-36. 166 Johnson, Doyle P., & Lawang, Robert. M. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1. terj: Ninik Rochani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 216. 167 Lucke Doris. 1990. Max Weber Revisited. In: Scheuringer B. (eds) Wertorientierung und Zweckrationalität. VS Verlag für Sozialwissenschaften, Wiesbaden, Springer, hlm. 11-12.



66



perencanaan di awal mengenai cara dan tujuan yang akan dilakukan; Keempat, tindakan afektif. Tindakan ini merupakan dominasi emosi atau perasaan tanpa pemikiran intelektual atau perencanaan terlebih dahulu. Tindakan ini mengasumsikan individu yang sedang mengalami perasaan meluapkan kemarahan, kegembiraan, cinta, ketakutan, dengan aksi spontanitas mengungkapkan perasaan tersebut tanpa pertimbangan logis, ideologis, reflektif atau kriteria rasionalitas lainnya.168 Weber kemudian menjelaskan bahwa tidak banyak tindakan yang secara keseluruhan berkesesuaian ideal dengan keempat tipe tersebut. Sebagai contoh, mengasumsikan ziarah kubur ke dalam tipe tindakan tradisional, mencerminkan suatu keyakinan atas kesadaran nilai-nilai tradisi yang sakral dalam sebuah komunitas sosial masyarakat tertentu, maka tindakan tersebut memiliki orientasi pada nilai.169 Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari pengetahuan atau pengalaman individu peziarah. Mengacu pada tipe tindakan tradisional Weber dapat dicermati lebih dalam tentang perbebedaan antara tindakan rasional dan tindakan supra rasional / beyond rasional. Tindakan rasional mengacu pada tradisi modernitas dalam perjalanan sejarah peradaban filsafat manusia. Rasionalisme didorong oleh kritik dan perlawanan atas kekuasaan yang mengatasnamakan agama pada sekitar abad ke-14 Masehi yang kemudian menumbuhkan gerakan renaissance dan melahirkan modernitas. Modernitas inilah yang mendasarkan pada pengetahuan berbasis empiris dan rasional. Rasionalisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu 168 Johnson, Doyle P., & Lawang, Robert. M. 1988., op.cit., hlm. 220-221. 169 Ibid., hlm. 222.



67



pengetahuan berdasarkan pada aspek rasio/akal manusia, dapat dibuktikan secara empirik dan mengandung objektifitas. Sementara beyond (supra) rasional adalah pengetahuan atau keyakinan tentang sesuatu yang abstrak yang terkadang tidak dapat dipahami rasionalitas umum. Maksudnya bahwa pengetahuan beyond rasional ini bebas dari ketergantungan inderawi, terkadang tidak dapat dipahami oleh rasio dan hubungan sebab-akibat yang terjadi juga tidak dapat dipahami rasio. Sifatnya subjektif oleh pelaku, terkadang memiliki bukti empiris tetapi secara mayoritas tidak.170 Berangkat dari tindakan rasional dan beyond rasional tersebut, pemikiran Mircea Eliade relevan untuk digunakan dalam membaca realitas tindakan para pelaku.171 Eliade membagi tindakan ritual manusia menjadi dua hal, yaitu sakral dan profan. Eliade adalah tokoh pendukung dari gagasan pendekatan agama ke arah yang lebih humanistik antroposentris. Menurut Eliade, agama lahir dari sesuatu yang sakral. Eliade mempolakan masyarakat agama menjadi dua kategori, yaitu masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Masyarakat tradisional atau homo religiousus memiliki karakter yang terbuka dalam melihat dunia sebagai pengalaman yang sakral, sementara masyarakat modern memiliki karakter tertutup dari pengalaman ini.172 170 Hambali, H. 2011. Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jurnal SUBSTANTIA, 13(2), hlm. 211-219. 171 Mircea Eliade lahir di Bucharest, Romania pada tanggal 9 Maret 1907 dan meninggal pada tanggal 22 April 1986. Daniel Pals. 2001. Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama, terj: Inyiak Ridwan Muzir dan M. Sukri, Yogyakarta: Institute for Religion and Society Development (Ircisod), hlm. 251-255. 172 Mircea Eliade. 2002. Sakral dan Profan. terj: Nuwanto. Yogyakarta: Fajar Pustaka, hlm. 11.



68



Masyarakat modern memiliki keyakinan bahwa manusia dalam proses pembangunan dirinya sendiri secara utuh ketika melakukan “desakralisasi” terhadap sesuatu yang sakral menjadi profan.173 Karya Eliade berjudul The Sacred and the Profane, yang didasarkan atas penelitian berbagai kebudayaan menjelaskan betapa kesungguhan masyarakat tradisional (homo religiousus) menerapkan cara-cara ilahiah dalam aktivitas hidup dan kehidupannya.174 Sebagai contoh yang dipaparkan oleh Eliade, dalam membangun sebuah area perkampungan baru, masyarakat tradisional tidak memilih tempat sembarangan. Masyarakat tradisional akan memilih tempat yang memiliki hierophany, yaitu tempat-tempat sakral yang menurut pemahaman mereka pernah dikunjungi oleh para dewa atau roh leluhurnya.175 Masyarakat tradisionalis mengasumsikan area perkampungan yang ditinggali adalah titik pusat dunia atau cosmos dan diyakini sebagai tempat kehidupan yang tersiklus dengan baik.176 Dalam pandangan Eliade ini bersesuaian dengan wilayah sakral yang diyakini sebagai pusat cosmos oleh pelaku. Konsep fundamental dalam Teori Eliade tentang sesuatu yang sakral dan profan, Eliade menjelaskan bahwa ruang dan waktu yang sakral adalah riil, sungguh ada, nyata, permanen, abadi dan suci. Eliade menyebutnya dengan istilah hierophany. Sementara kebalikannya adalah profan dengan ruang dan waktu yang selalu berubah-ubah, labil dan bersifat duniawi atau disebut dengan istilah pseudoreal.



Daniel Pals. op.cit., hlm. 251-255. Mircea Eliade. op.cit., hlm. 11. 175 Ibid., hlm. 4-5 176 Daniel Pals. op.cit., hlm. 265. 173 174



69



Menurut Eliade manusia menempati ruang tengah (midland) yang berada di antara yang sakral dengan yang profan.177 Senada dengan Eliade, Seyyed Hossein Nasr178 mengklasifikasikan tindakan tradisi sakral (traditional science) dengan istilah “Scientia Sacra” (sacred knowledge).179 Lebih lanjut Hossein Nasr dalam bukunya yang berjudul “Islam and the Plight of Modern Man” menawarkan alternatif science yang transendental metafisik, dan melakukan sanggahan terhadap pendekatan science yang berbasis modernitas yang objektif empiric ansich.180 Pengetahuan dan tindakan yang suci (sacred knowledge) ini menurut Nasr disebut sebagai pengetahuan dan kebenaran abadi. Agama Islam menyebutnya dengan alḥikmah al-khalidiyah, Agama Kristen menyebutnya “Yang Kudus” dan Agama Hindu menyebutnya “Sanata Dharma” (kebenaran abadi).181 Oleh karenanya ziarah kubur merupakan praktik tindakan realitas transenden yang merupakan bentuk perilaku manusia yang suci (sacred knowledge) dan mengandung nilai-nilai keabadian.



Kusumawati, A. A. 2016. Nyadran Sebagai Realitas Yang Sakral: Perspektif Mircea Eliade. Thaqafiyyat: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 14(1), hlm. 145-160. 178 Seyyed Hossein Nasr adalah guru besar (saat ini emeritus) di George Washington University, Amerika. Lahir di Teheran, Iran pada tahun 1933. Nama depannya adalah Seyyed (Sayyid), dalam terminologi Islam sebutan “sayyid” diperuntukkan bagi keturunan Nabi Muhammad Saw dari jalur Khusain bin Ali RA, sementara sebutan “syarif” diperuntukan dari jalur keturunan Khasan bin Ali RA. Asfa Widiyanto. 2017. Traditional science and scientia sacra: Origin and Dimensions of Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science. Intellectual Discourse, 25(1), hlm. 247-272. 179 Ibid., hlm. 247-272. 180 Seyyed Hossein Nasr. 2001. Islam and the Plight of Modern Man, Chicago: ABC International Group.Inc, hlm. 73. 181 Wora, E. 2006. Perenialisme: Kritik atas Modernisme & Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 69. 177



70



C. Tafsir dan Makna Semiotik Tanda Memahami tafsir atas makna bahasa dalam penelitian yuridis sosiologis dapat menggunakan teori hermeneutika dari Hans Georg Gadamer.182 Hermeneutika ala Gadamer dapat digunakan oleh peneliti untuk merunut dan menafsirkan teks. Teks merupakan unsur kebahasaan yang berkembang atau dikembangkan sehingga menjadi keyakinan bagi sejumlah orang. Permasalahan sosial, budaya, hukum tidak dapat dilepaskan dari unsur bahasa yang menjadi media. Hal ini dikarenakan faktor bahasa yang merupakan media manusia dalam mengungkapkan ide, gagasan, pesan, berbicara, menulis dan mengapresiasi sebuah karya. Hidup dan kehidupan manusia sejatinya tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Artinya semua hal berkaitan dengan bahasa. Hermeneutika berasal dari akar kata dalam bahasa Yunani yaitu “hermeneuein” (kata kerja) yang memiliki arti “menafsirkan” dan “hermeneia” (kata benda) yang dapat diartikan dengan “interpretasi”.183 Menurut Richard E. Palmer, bahwa asal mula dari hermeneutika adalah “to express” (mengungkapkan), “to explain” (menjelaskan) dan “to translate” (menerjemahkan).184 Hermeneutika merupakan salah satu dari sekian teori yang digunakan untuk menyibak Lahir di Marburg Jerman pada tahun 1900 dari keluarga Protestan berlatar belakang pendidikan eksak. Gadamer adalah murid dari Martin Heideger (1889-1976) pakar filsafat hermenutik. Gadamer mengembangkan pemikiran Hermenutik Heideger sehingga orang sering menyebutnya Heidegerrian meskipun hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Gadamer menjadi guru besar pada tahun 1937 dan meninggal pada tahun 2002. Lihat dalam Sulaiman Ibrahim. 2014. Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Dalam Metode Tafsir Alquran. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 11.1. hlm. 23-41. 183 Richard E. Palmer. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 14. 184 Ibid., hlm. 15-36. 182



71



dan menampilkan makna yang ada di balik bahasa yang berkelindan dalam subjek penelitian.185 Hermeneutika Gadamer mengarahkan pemahaman yang benar pada tingkatan ontologis, bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode melainkan melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan kepada subjek penelitian. Oleh karenanya bahasa menjadi medium vital bagi terjadinya dialog.186 Gadamer menonjolkan dialektika dengan pengajuan banyak pertanyaan yang menjadikan bahasa memiliki peran sangat penting dalam interaksi dialogis antara peneliti dengan subjek penelitian. Menurut Gadamer, penerapan (application) adalah unsur yang terdapat dalam interpretasi. Pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation), merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut menurut Gadamer, pemahaman subjek adalah sesuatu yang memiliki sifat historis, dialektik sekaligus peristiwa linguistik 187 (kebahasaan). Segala sesuatu yang terdapat pada alam ini tidak dapat dilepaskan dari bahasa. Apapun yang dipikirkan oleh orang, selalu berkaitan dengan bahasa. Hermeneutika sendiri saat ini telah menduduki status universal sebagai dasar filsafat. Oleh karena universalitas itu, maka hermeneutika relevan digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, diantaranya; sejarah, teologi, politik, kesusastraan dan lain sebagainya, termasuk dalam disiplin



Faisal Attamimi. 2012. Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 9(2), hlm. 319-341. 186 Mochtar Lutfi. 2007. "Hermeneutika: Pemahaman Konseptual dan Metodologis." Jurnal Nasional Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 22, hlm. 203-207. 187 Ibid., hlm. 19-20. 185



72



ilmu hukum.188 Muhammad Ilham dalam disertasinya tentang hermeneutika hukum menjelaskan bahwa hermeneutika memiliki urgensi dalam kajian ilmu hukum dan dapat dikategorikan dalam empat hal: pertama, ikhtiar mencari pembenaran dan kebenaran ilmiah ilmu-ilmu hukum atas positivism hukum; kedua, kritik atas keberadaan positivisme hukum yang bersifat tertutup dan silogisme; ketiga, membuka penafsiran hukum untuk tidak berkutat pada teks-teks hukum secara otonom; keempat, memperhitungkan keberadaan penafsir dalam mencari makna keadilan.189 Gadamer mendudukkan peran penting yang ada dalam pemahaman interpretator. Dalam penelitian yuridis sosiologis, interpertator adalah para pelaku yang memiliki subjektivitas atas pemahamaan terhadap hukum. Gadamer mengatakan bahwa manusia memahami dirinya sebagai entitas yang menyejarah dan memaknai hidupnya dalam hubungannya dengan dunia. Hermeneutika hukum dalam pandangan Gadamer merupakan proses rekonstruksi dari keseluruhan problema hermeneutik dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutik secara utuh, di mana ahli hukum dan teolog bertemu dengan para ahli humaniora.190 Oleh karenanya hermeneutika hukum bukanlah suatu objek khusus, tetapi merupakan hasil dari



Muhammad Ilham Hermawan. 2018. Hermeneutika Hukum: Perenungan Pemikiran Hans-Georg Gadamer. Bandung: Refika Aditama, hlm. 126. 189 Ibid., hlm. 126-127. 190 Jazim Hamidi. 2003. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta UII Press, hlm. 42. 188



73



sebuah rekonstruksi dari problem hermeneutika yang telah ada sebelumnya.191 Hermeneutika hukum dapat juga dipahami sebagai sebuah metode interpretasi terhadap teks di mana metode dan teknik penafsirannya dilakukan secara holistik dalam relasi keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Teks tersebut dapat berwujud peristiwa hukum, fakta hukum, teks hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno ataupun kitab suci.192 Dalam konteks penelitian yuridis sosiologis, hermeneutika hukum berguna bagi peneliti untuk tidak hanya berada pada positivisme hukum dan cara berpikir logis formal saja. Lebih dari itu, hermeneutika hukum memandu agar peneliti menggali dan meneliti pemaknaan hukum dalam perspektif subjek penelitian. Hal ini bersesuaian dengan yang dinyatakan oleh Fahrudin Faiz dengan mengutip Josef Bleicher bahwa hermeneutika adalah sebuah teori tentang interpretasi makna,193 yang berkelindan pada ide, gagasan, pengetahuan tineliti dan mewujud dalam pola-pola tindakan. Peristiwa kebahasaan (hermeneutik) yang digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis, akan semakin disempurnakan dengan menggunakan teori semiotik analisis atas simbol-simbol dalam perspektif Roland Barthes. Menurut pandangan Roland Barthes194 bahwa kajian tentang kebudayaan (cultural studies) tidak dapat dilepaskan 191 Arip Purkon. 2013. "Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam." AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, vol. 13, no. 2. hlm. 183-192. 192 Jazim Hamidi. 2003. op.cit., hlm. 45. 193 Fahrudin Faiz. 2002. Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hlm. 9. 194 Roland Barthes adalah filosof dari Perancis yang lahir pada tanggal 12 November 1915 di Cherbourg, Normandia dan meninggal pada 26 Maret 1980. Barthes merupakan filosof penting dan



74



dari tanda (simbol). Asumsi-asumsi dalam pemikiran Barthes adalah bahwa kebudayaan merupakan sistem bahasa dan dapat dibaca sebagaimana membaca teks. Lebih lanjut Barthes memaparkan bahwa saat ini dunia dipenuhi dengan tanda (simbol) yang selalu dibaca dan diinterpretasikan. Makna yang diproduksi dari simbol-simbol tersebut terbentuk oleh budaya (kultur). Barthes menggambarkan semiotika mampu membongkar struktur makna yang tersembunyi dalam pertunjukan, konsep-konsep umum dan tontonan.195 Terdapat banyak makna yang lahir berdasarkan simbol tersebut dan bersifat tidak netral, dari sinilah nanti lahir mitos dalam kajian pemikiran Roland Barthes. Barthes memfokuskan pada gagasan signifikansi dua proses, yaitu “denotasi” dan “konotasi”. Denotasi adalah definisi objektif sedangkan konotasi merupakan makna subjektif. Denotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan relasi penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Ruang lingkup ekspresi sama luasnya dengan konten atau makna yang terkandung. Sementara konotasi merupakan tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda, di dalamnya beroperasi makna yang implisit, tidak pasti dan tidak langsung. Konten makna lebih luas daripada ekspresi atau penandanya.196 Barthes lebih lanjut menyatakan bahwa pemikiran mitologis manusia yang sebagian besar berpengaruh di dunia pasca perang dunia kedua. Lihat dalam Roland Barthes. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi, terj: Ikramullah. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. xiii. 195 Marcel Danesi. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra, hlm. 14. 196 Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 253.



75



bersifat tidak sadar mewujudkan diri dalam segala macam wacana, pertunjukkan, dan simbol.197 Penanda, petanda dan tanda menurut Roland Barthes dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut: Ragaan Bahasa Mitos Roland Barthes198 1. enanda 3.



Bahasa MITOS



P 2. etanda Tanda



P



II I PENANDA PETANDA III TANDA KONOTATIF



Sumber: Roland Barthes. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Barthes menyebutkan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, dan mitos adalah pesan, mode pertandaan, suatu bentuk.199 Pada ragaan di atas dapat diketahui bahwa mitos mengandung dua sistem semiologis, di mana salah satu di antaranya diatur berkaitan dengan sistem yang lain.200 Menurut Barthes, mitos adalah tahapan kedua dari sistem semiologi, sementara tanda-tanda berada pada tahapan pertama sistem tersebut.201 Sementara itu, semiotika hukum mendudukkan ide, gagasan, pengetahuan dan pola-pola tindakan yang diverbalkan, maka sebuah Marcel Danesi. 2010. op.cit., hlm. 441. Roland Barthes. op.cit., hlm. 303. 199 Ibid., hlm. 295. 200 Ibid., hlm. 304. 201 Arthur A. Berger. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. terj. Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 66-67. 197 198



76



simbol termaknakan dan diformulasikan ke dalam teks bahasa hukum.202 Apabila teks hukum tersebut dikonstuksikan dalam sebuah bentuk produk hukum, misalnya yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat negara yang memiliki otoritas untuk itu, maka selanjutnya dinamakan peraturan perundang-undangan. Pada tataran inilah semiotika hukum bukan hanya dibaca secara tekstual skriptualistik. Lebih dari itu dibutuhkan eksplanasi ide, gagasan, perasaan dan tindakan yang menyelinap di balik rumusan teks-teks peraturan hukum, baik dalam wujudnya yang tersurat maupun tersirat.203 Siti Mawar menyatakan bahwa dalam kajian sosiologi hukum, analisis semiotik dapat diintegrasikan dalam sejumlah perspektif guna mengkonstruksi suatu pendekatan yang lebih holistik.204 Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa penafsiran hukum merupakan jantungnya hukum. Hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran hukum. Membaca hukum itu sendiri adalah aktivitas menafsirkan hukum.205 Teks hukum itu sendiri dalam pandangan semiotika hukum bukan hanya tentang teks hukum yang tertulis (written law), tetapi dapat pula berwujud dalam simbol, gambar, lukisan, poster dan lain sebagainya. Contoh Turiman. 2015. "Metode Semiotika Hukum Jacques Derrida Membongkar Gambar Lambang Negara Indonesia." Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 45, no. 2, hlm. 308-338. 203 Ibid., hlm. 308-338. 204 Sitti Mawar. 2018. "Semiotika Hukum sebagai Pendekatan Kritis." Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial, vol. 2, no. 1. hlm. 73-83. 205 Satjipto Rahardjo, Penafsiran Hukum Yang Progresif. Pra wacana dalam Anthon Freddy Susanto. 2005. Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna. Bandung: Refika Pratama. hlm. 1. 202



77



sederhananya adalah lampu traffic light (alat pemberi isyarat lalu lintas).206 Ketika lampu merah menyala, maka pengendara kendaraan bermotor diwajibkan untuk berhenti, dan dibolehkan berjalan lagi ketika lampu berwarna hijau telah menyala. Tugas peneliti adalah melakukan eksplanasi hasil dari pemaknaan simbol dan teks hukum yang ada dalam ide, gagasan, pikiran dan tindakan subjek penelitian. Beranjak dari Semiotika Roland Barthes ini peneliti melengkapi dengan teori Jacques Derrida tentang dekonstruksi atas makna. Logika berpikir Derrida adalah logika berpikir yang khas poststrukturalisme.207 Dalam poststukturalisme teks diterjemahkan dengan textere (terj: rajutan), hal ini berbeda dengan pandangan strukturalisme yang menerjemahkan teks dengan tekstus (terj: kain). Oleh karena teks dimaknai sebagai kain dalam pandangan strukturalisme, maka makna itu tunggal. Sementara dalam poststrukturalisme teks diterjemahkan sebagai rajutan, oleh karena rajutan, maka tidak ada yang dominan, makna tidak tunggal, tetapi makna bersifat relatif. Poststrukturalisme berangkat dari kiritk utama atas metafisika kehadiran yang membekukan “identitas” dan mengabaikan keragaman. Konsep atau teori dianggap telah mewakili “being”. Metafisika kehadiran merupakan sumber logosentrisme (terpuasnya tradisi pada logos/pemikiran rasional). Logosentrisme tampak misalnya dalam “binary oppositions”



Lihat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 207 Lihat, Anton F Susanto. 2005. Semiotika Hukum: dari Dekonstuksi Teks Menuju Progresifitas Makna. Bandung: Refika Aditama, hlm. 181. 206



78



yang mendominasi gaya berpikir. Pada ujungnya binary oppositions melahirkan hirarki dan sub-ordinasi.208 Gaya berpikir Derrida adalah gaya berpikir yang tidak sekedar argumentatif, tetapi “evokatif”209 dan sirkuler (tidak linier). Karya-karya Derrida merupakan komentar atas pengarang-pengarang lain (filosof, ilmuwan, sastrawan lain), tetapi Derrida tidak sekedar memberi penafsiran. Derrida melacak segala pra-anggapan dan implikasi-implikasi dalam teks yang dibicarakan, khususnya dengan cara menghubungkannya dengan teks-teks lain. Dari sini kemudian Derrida mengomentari teks tersebut untuk melahirkan teks baru sehingga menjadi produksi teks. Dengan kata lain Derrida melampaui teks-teks tersebut dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan oleh teks itu sendiri. Inilah yang oleh Derrida disebut sebagai “Dekonstruksi”.210 Dalam ulumul qur’an tafsir pikiran Derrida ini dalam men-sarahi teks dapat dipahami sebagai ta’wil atau qirā’ah muntijah (pembacaan yang produktif) sebagai lawan dari qirā’ah mukarrirah (pembacaan repetitif).211 Dekonstruksi adalah konsep yang tepat dalam menyingkap makna atas teks. Makna atas teks itu sendiri dipahami bersifat sementara, bukan sebuah korpus final. Jeffrey T. Nealon dalam Collebrook, Claire (ed). 2015. Jacques Derrida Key Concepts. London: Routledge, hlm. 19 209 Jefferson, N.C. dalam Sally Everett (ed). 1991. Art Theory and Criticism: An Anthology of Formalist, Avant-Garde, Contextualist, adn Postmodernist Thought, North Carolina and London: McFarland, hlm. 54. 210 Kata “Dekonstruksi” Derrida ini sendiri terilhami oleh Heidegger dengan konsepnya “Destruksi”. Dekonstruksi bukan teknik, gaya kritik sastra atau metode tafsir. Lihat dalam Barry Stocker. 2006. Derrida on Deconstruction. London: Routledge Philosophy Guidebook, Taylor & Francis e-Library, hlm. 187. 211 Izzudin, Abdul Hafiz, Maria Ulfa Fauzia, and Sari Rohtul Khasanah. 2019. "Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou ElFadl." Maraji: jurnal kependidikan, Vol.1(1). hlm.1-14. 208



79



Dekonstruksi berkaitan dengan teks. Selanjutnya dekonstruksi berhubungan dengan dua konsep, yaitu description dan transformation, yaitu menggambarkan maksud teks sekaligus mengubah dan mengembangkannya dalam makna baru (produksi makna). Secara umum dekonstruksi merupakan satu strategi analisis yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membongkar kontradiksi-kontradiksi internal yang ada di dalamnya.212 Istilah yang masyhur dalam slogan Derrida adalah “nothing outside the text”.213 Secara bebas istilah ini dapat diterjemahkan dengan segala sesuatu adalah teks dan mengandung makna. Makna ada di balik segala teks. Dalam padangan Derrida, teks bukan hanya tulisan, tetapi lukisan, bangunan, ucapan dan perilaku manusia merupakan teks yang memiliki makna. Lebih lanjut Derrida menyatakan bahwa makna tidak terdapat dalam teks itu sendiri, namun merupakan hasil dari membacanya. Ketika orang sedang membaca teks, maka orang tersebut sedang meletakkannya dalam konteks yang baru, dan dengan demikian orang sedang memproduksi makna baru. Makna sebagaimana yang dipahami oleh struturalisme didapatkan dari persamaan (similarity) dan perbedaan (difference). Derrida keluar dari dua term tersebut dan menemukan istilah sendiri yakni “differance”. Differance digunakan Derrida dalam menjelaskan dua makna sekaligus, yaitu to differ dan to defer yang berarti mebedakan sekaligus menunda.214 Bagi Derrida makna pada akhirnya bersifat indeterminan, tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Makna Barry Stocker. 2006. op.cit., hlm. 76. Claire Collebrook, Claire (ed). 2015. op.cit., hlm. 128. 214 Ibid., hlm. 105. 212 213



80



selalu dalam momen penundaan. Jadi hal penting dalam teori Dekonstruksi Derrida ialah; pertama, makna tidak tunggal tetapi menyebar; kedua, oleh karna itu perlu "penundaan" makna, artinya setiap individu memiliki pemahaman dan pilihan-pilihan berdasar motif dan pengetahuan serta rasionalisasi yang berbeda-beda.215 Beranjak dari dekonstruksi Derrida perlu membaca interakasi yang terjadi pada konstruksi masyarakat dengan menggunakan teori interaksionisme simbolik. Teori interaksionisme simbolik berawal dan diawali the theoretical perspective yang di prakarsai oleh George Harbert Mead (1863-1931). Mead adalah seorang guru besar sosiologi pada Universitas Chicago. Pada perkembangannya kemudian lahir dua mazhab (school) dari “aliran” Teori Interaksionisme Simbolik, yakni mazhab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blummer dan Mazhab Iowa yang dipelopori oleh Manford Kuhn. Pembeda dari keduanya adalah pada metode yang digunakan. Mazhab Chicago menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interpretif, sedangkan Mazhab Iowa menggunakan metode kuantitatif dan cenderung menggunakan paradigma post positivis. Oleh karenanya dalam penelitian yuridis sosiologis yang dipilih adalah Teori Interaksionisme Simbolik Mazhab Chicago dengan metode penelitian kualitatif ala Herbert Blummer. Herbert Blummer merupakan tokoh pelopor teori interaksi simbolik yang memiliki pemikiran bahwa dalam melakukan penelitian tentang manusia akan berbeda dengan penelitian tentang benda mati. Blummer memiliki anggapan tentang pentingnya peneliti untuk menggunakan empatinya Barry Stocker. 2006. op.cit., hlm. 67. Lihat juga Jeffrey T. Nealon dalam Collebrook, Claire (ed). 2015. op.cit., hlm. 105. 215



81



kepada subjek kajian serta melakukan usaha masuk ke dalam pengalaman subjek yang diteliti, termasuk memahami nilainilai yang dimiliki masing-masing individu.216 Oleh karenanya peneliti yuridis sosiologis memasuki pengalaman subjek pada individu-individu pelaku. Interaksi simbolik berangkat dari ide dasar pembentukan makna yang bersumber dari dalam pikiran manusia (mind), bersumber dari dalam diri manusia (self), serta bersumber atas relasinya dengan interaksi sosial dengan tujuan menginterpretasi dan memediasi makna dalam sosial masyarakat (society).217 Teori berikutnya yang dapat digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis adalah teori pertukaran sosial atau social exchange theory. Teori ini dikembangkan oleh beberapa ahli. Para ahli social exchange theory menemukan pembahasan yang sama pada teori ini, yakni terdapat pertukaran yang saling menguntungkan dalam interaksi kedua belah pihak. George Homans mendefinisikan pertukaran sosial sebagai hubungan pertukaran antar individu dengan saling mengharapkan imbalan yang dinilai akan sebanding dengan pengorbanan yang dikeluarkan. Maka semakin tinggi imbalan yang diterima maka akan setara dan sebanding dengan investasinya.218 Hal ini juga ditegaskan Kelly dan Thibault yang menyebutkan dalam pertukaran sosial terjadi hubungan ganjaran dan biaya antar dua pihak yang saling



Lihat dalam, Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Aness. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, hlm. 135. Lihat juga, Nina Siti Salmaniah Siregar. 2011. Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. PERSPEKTIF, Vol. 4, No. 2, hlm. 100-110. 217 Ibid., hlm. 104. 218 Javier A. Trevino. 2006. Geoarge C. Homans: History, Theory, and Method. Paradigm Publisher, hlm. xiii-xv. 216



82



memuaskan.219 Levi-Strauss kemudian membaginya menjadi dua, pertukaran terbatas dan pertukaran umum atau restricted exchange dan generalized exchange. Pertukaran terbatas terjadi pada pertukaran kepentingan antar individu, sedangkan generalized exchange terjadi pada kelompok-kelompok yang lebih besar dengan kepentingan yang lebih besar pula. Hal ini yang membedakan antara Homans dan Levi-Strauss. Bila Homans lebih menekankan pada tingkat individu maka Levi-Strauss mengungkapkan pertukaran sosial pun bisa bersifat kolektif atau masa.220 Pemikiran Levi-Strauss mengenai kolektivitas ini dikemukakan juga oleh Peter Blau. Menurut Blau, dalam sebuah pertukaran sosial terdapat struktur sosial yang membuat proses pertukaran sosial tidak lagi sesederhana yang diungkapkan Homans. Struktur sosial ini kemudian mengatur hubungan antara individu dengan kelompoknya. Pertukaran sosial kemudian menjadi dasar berlangsungnya interaksi sosial di masyarakat. Blau juga menjelaskan mengenai pertukaran sosial akan mendorong integrasi sosial yang menciptakan adanya kepercayaan, konformitas dan nilai-nilai kolektif.221 Peter Blau menegaskan praktik pertukaran sosial berlangsung terus menerus pada prinsip saling mempercayai antar pelaku-pelakunya dan berlangsung secara resiprokal. Pertukaran sosial yang melahirkan integrasi sosial membuat individu di dalamnya mengikuti berbagai norma dan nilai yang berlaku sebagai kesepakatan atau konformitas Kelley Harold. 1979. Personal Relationships; Their Structures and Processes. New Jersey: Lawrence Erlbraum, hlm. 26-27. 220 George Ritzer (ed). 2004. Encyclopedia of Social Theory. USA; Sage Publication, hlm. 55-57. 221 Peter M. Blau. 1964. Exchange and Power in Social Life. New York: John Wiley and Sons, hlm. 97-98. 219



83



masyarakat agar kemudian mendapatkan imbalan yang sepadan. Peter Blau menekankan individu yang sudah terbiasa terlibat senantiasa menjaga nilai atau kesepakatan agar proses pertukaran sosial terus berlangsung. Struktur sosial yang mempengaruhi pertukaran sosial melahirkan kekuasaan pada kelompok atau individu tertentu di masyarakat. Hal ini dikarenakan terdapat individu yang tergantung pada individu lain untuk mendapatkan nilai dari pertukaran yang ditawarkan. Kekuasaan ini menurut Blau akan semakin membesar saat individu/kelompok tersebut berhasil menguasai isu atau nilai tersebut. Blau menekankan individu yang terlibat akan mengakui kekuasaan ini sebagai subjek yang menentukan nilai apa yang disepakati bersama.222 D. Relasi Kekuatan Ekonomi, Kekuatan Budaya dan Bekerjanya Hukum Relasi Kekuatan Ekonomi, Kekuatan Budaya dapat dipahami menggunakan teori sibernetik dari Talcott Parsons. Teori sibernetik dari Talcott Parsons berangkat dari rangkuman skema paradigma fungsi Parsons yang dikenal dengan singkatan AGIL, yakni adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), and latent pattern maintenance (L).223 Skema Paradigma Fungsi Talcott Parsons dirilis pertama kali berkolaborasi dengan Robert F. Bales and Edward A. Shils, dalam buku mereka yang berjudul Working Papers in the Theory of Action tahun 1953. Skema ini dikhususkan dalam teori struktural fungsional yang mengangkat mengenai kebutuhan hidup sebuah sistem dan bagaimana sistem Ibid., hlm. 111-112. Lihat, Thomas Burger. 1977. "Social Systems and the Evolution of Action Theory. By Talcott Parsons. New York: Social Forces, vol. 57, no. 1, hlm. 308-310. 222 223



84



mempertahankan hubungan antara lingkungan eksternal dan internalnya. Skema ini dapat digunakan pada tataran abstrak maupun pada tataran empirik.224 Setiap bagian dari sistem memiliki fungsinya untuk mempertahankan sistem itu sendiri secara utuh. Beberapa sub sistem berhubungan dengan lingkungan eksternalnya namun juga bisa saling berhubungan dalam sistem yang utuh. Sub sistem yang berkaitan dan saling berhubungan ini kemudian oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai hubungan sibernetik.225 Keempat subsistem fungsional ini terbagi dalam dua pembedaan yakni pada lingkungan eksternal atau internal. Adaptation sebagai fungsi instrumental di mana sistem beradaptasi pada lingkungan eksternalnya atau sebaliknya. Goal Attainment adalah fungsi consummatory yang menentukan tujuan dari sistem dan mendorong beragam sumber daya untuk memenuhinya. Goal Attainment pada umumnya berorientasi pada lingkungan eksternal. Integration adalah fungsi consummatory yang mengatur hubungan internal pada bagian-bagian dalam sistem. Fungsi integrasi mempertahankan koherensi internal dan solidaritas dalam sistem. Latent pattern maintenance adalah fungsi instrumental yang memasok seluruh aktor dalam sistem dengan sebuah motivasi. Ini termasuk pola-pola normatif dan mengatur tekanan-tekanan yang para aktor alami dalam sistem tersebut.



224 George Ritzer. 2005. Encyclopedia of Social Theory. Vol. 2. California: Sage Publications, hlm. 6. 225 Satjipto Rahardjo, 1985. Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni dalam Putra Satria, Adhi. 2020. Sibernetika Talcott Parsons: Suatu Analisis Terhadap Pelaksanaan Omnibus Law dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di Indonesia. Indonesia State Law Review, vol. 2, no.2, hlm. 111-118.



85



Parsons menegaskan semua jenis sistem dan masyarakat di dunia dapat ditelaah melalui empat subsistem ini. Hal ini dikarenakan setiap masyarakat mengandung fungsi sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sub sistem ekonomi menampilkan fungsi adaptasi yang mengatakan bahwa sistem ini memproduksi dan mendistribusikan barang-barang kebutuhan. Oleh karena itu ekonomi membantu masyarakat untuk berdaptasi dan bertransformasi di lingkungannya. Sub sistem politik didefinisikan oleh Parsons sebagai beragam bentuk yang menjelaskan tujuan masyarakat, proses pengambilan keputusan dan mobilisasi sumber daya masuk dalam fungsi goal attainment. Sub sistem sosial memenuhi fungsi integrasi. Agama, hukum atau kewarganegaraan membantu membentuk sebuah koordinasi yang dapat menentukan sebuah solidaritas dalam sebuah masyarakat. Subsistem budaya memenuhi fungsi Latent pattern Maintenance atau fungsi mempertahankan pola. Sub sistem budaya yang dimaksud Parsons adalah sistem kekeluargaan, pendidikan dan media lainnya seperti media yang mempengaruhi sub sistem budaya. Sub sistem ini termasuk di dalamnya norma, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang digunakan di masyarakat yang hidup dalam sistem tersebut.226 Sub sistem ini saling berhubungan yang dapat dilihat ketika sistem yang memiliki informasi tinggi tetapi energi rendah (subsistem budaya dan subsistem sosial) mengatur sub sistem yang energinya tinggi namun memiliki informasi rendah (subsistem politik dan subsistem ekonomi). Secara sederhana, Teori Sibernetik daro Talcott Parsons dapat diabstraksikan dalam ragaan berikut ini; George Ritzer. 2005. Encyclopedia of Social Theory, vol. 2. California: Sage Publications, hlm. 7. 226



86



Ragaan Teori Sibernetik Talcott Parsons GOAL ATTAINMENT (G) SUB SISTEM POLITIK Kekuasaan, proses pengambilan keputusan, mobilisasi sumber daya INTEGRATION (I) SUB SISTEM SOSIAL Agama, Hukum, Kewarganegaraan Solidaritas



ADAPTATION (A) SUB SISTEM EKONOMI Keuangan, produksi dan distribusi kebutuhan LATENCY PATTERN (L) SUB SISTEM BUDAYA Sistem kekeluargaan, pendidikan, pengaruh media. Norma, nilai, simbol



Pada setting kajian dalam penelitian yuridis sosiologis perlu juga melacak bagaimana niliai-nilai dan berkejanya hukum. William Chambliss dan Robert Seidman dalam Satjipto Rahardjo membagi masyarakat dalam dua model, yaitu; pertama, model masyarakat yang melandaskan kehidupannya pada basis kesepakatan akan nilai-nilai (value concensus). Pada model masyarakat ini relatif minim akan adanya konflik atau tegangan di antara para anggota masyarakat. Tidak terdapat perbedaan di antara para anggota masyarakat mengenai apa yang sebaiknya diterima sebagai nilai-nilai yang dipertahankan di dalam masyarakat. Model masyarakat ini bertumpu pada kesepakatan di antara para warganya. Unsur-unsur yang menjadi pendukung kehidupan



87



sosial terangkum dalam kesatuan yang laras (well integrated).227 Kedua, model masyarakat konflik. Model masyarakat ini bukan seperti model masyarakat pertama yang selaras, namun masyarakat yang sebagian warganya mengalami tekanan-tekanan oleh sebagian warga yang lain. Dinamika perubahan dan konflik adalah kejadian yang bersifat umum atau biasa. Pembuatan hukum dalam masyarakat ini adalah penetapan nilai-nilai yang disepakati oleh warganya.228 Kedua model masyarakat tersebut sesuai karakternya masing-masing akan mempengaruhi dan tercermin dalam pembuatan hukum yang dijalankan dalam kehidupan sosialnya. Dalam konteks realitas yang terjadi di masyarakat dapat dianalisis melalui klasifikasi model masyarakat menurut Chambliss tersebut, untuk kemudian melihat fenomena bekerjanya hukum dalam masyarakat. Teori bekerjanya hukum dalam masyarakat menurut Chambliss dan Seidman mengemukakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu lembaga pembuat undang-undang, lembaga pelaksana hukum, dan pemegang peran (actor). Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat hukum, selalu berada dalam area kompleksitas variabel-variabel sosial, budaya, ekonomi, agama dan politik. Variabel-variabel sosial selalu ikut bekerja dalam setiap proses memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku, penerapan sanksi-sanksinya dan dalam keseluruhan aktivitas lembaga-lembaga pelaksananya.229 Dalam konteks kehidupan di masyarakat terdapat pembuat undang-undang, institusi pelaksana hukum dan aktor-aktor termasuk kekuatan sosial, ekonomi, budaya, agama yang 227 Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa, hlm. 49. 228 Ibid., hlm. 49. 229 Robert B. Seidman dalam Esmi Warassih. loc.cit., hlm. 11.



88



berkelindan dan mewarnai bekerjanya hukum di masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat sejatinya merupakan suatu kompleksitas tatanan.230 Kompleksitas dalam hukum ini digambarkan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan pengaruh kekuatan-kekuatan sosial terhadap bekerjanya hukum oleh William Chamblis dan Robert B. Seidman seperti dalam ragaan berikut ini: Ragaan Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya



230



Satjipto Rahardjo. op. cit., hlm. 20.



89



Faktor-Faktor Sosial dan personal lainnya



Lembaga Pembuat Peraturan



Umpan balik



Norma Umpan balik



Lembaga-lembaga Penerapan Peraturan



Pemegang Peranan



Kegiatan Penerapan Sanksi



Norma



Semua kekuatan Umpan balik



Sosial dan Pribadi Faktor-Faktor Sosial dan personal lainnya 90



Faktor-Faktor Sosial dan personal lainnya



Sumber: Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat, diadaptasi dari William Chambliss dan Robert B. Siedman, Law, Order and Power.231 Berdasarkan ragaan tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut; Pertama, setiap peraturan hukum memandu tindakan pemegang peranan (role occupant). Kedua, tindakan pemegang peranan (role occupant) didasarkan pada peraturan dan fungsi hukum yang ditujukan baginya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-lembaga pelaksana serta seluruh elemen kekuatan sosial, politik, ekonomi yang mewarnainya. Ketiga, tindakan lembaga pelaksana hukum didasarkan pada peraturan hukum yang ditujukan baginya, sanksi-sanksinya, serta seluruh elemen kekuatan sosial, politik yang mewarnainya. Keempat, tindakan para pembuat undangundang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku, sanksi, seluruh elemen kekuatan sosial, politik, ideologi serta melakukan umpan balik yang muncul dari pemegang peranan dan pelaksana hukum.232 E. Progresifitas Hukum menuju li Maslahatil Ummah Penelitian yuridis sosiologis dapat menggunakan beberapa teori hukum dan hukum Islam. Teori keadilan hukum dari Jhon Rawls misalnya, dapat mengantarkan pada dimensi hukum yang substantif yakni tentang keadilan. Nama lengkapnya adalah Jhon Borden Rawls yang dilahirkan pada tanggal 21 Feburari 1921 di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat. Jhon Rawls menyelesaikan 231 Chambliss, W. J., & Seidman, R. B. 1971. Law, Order, and Power. Reading, MA: Addison-Wesley, hlm. 12. 232 Ibid., hlm. 27-28.



91



disertasinya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Kowledge: Considered with Reference to Judgement on The Moral Worth of Character di Princeton University Amerika tahun 1950. Pada tahun 1952 Jhon Rawls kemudian melanjutkan studi lagi di Oxford University, Inggris. Di Kampus inilah Jhon Rawls bertemu dan berteman dengan Herbert Lionel Adolphus (H.L.A) Hart yang memberikan banyak insiprasi. Seperti diketahui, H.L.A Hart merupakan tokoh hukum yang terkenal dengan bukunya yang berjudul The Concept of Law. Pada tahun 1962 Jhon Rawls dikukuhkan sebagai Guru Besar di Cornell University Amerika dan di Massachusetts Institute of Technology. Jhon Rawls juga aktif mengajar di Harvard Univesity. Buku karya Jhon Rawls diantaranya adalah A Theory of Justice, The Law of Peoples, dan Political Liberalism, selain terdapat pula karya-karyanya yang berbentuk artikel ilmiah dan diterbitkan di berbagai jurnal internasional. Jhon Rawls233 adalah seorang yang berkontribusi memberikan pengaruh besar dalam kajian tentang nilai-nila keadilan pada era abad ke-dua puluh. Hal ini didasarkan pula pada kepakarannya dalam berbagai lintas disiplin ilmu yang mendalam. Konsepsi tentang keadilannya menjadi rujukan berbagai kalangan baik dalam disiplin ilmu sosial, ekonomi maupun hukum. Oleh banyak pakar, gagasan Rawls tentang keadilan disebut sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”. Thomas Nagel dalam bukunya yang berjudul Concealment and Exposure: and Other Essays menyatakan bahwa:



233 Lihat dalam Pan Mohamad Faiz. 2009. Teori Keadilan John Rawls (John Rawls' Theory of Justice), Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, hlm. 135-149.



92



“[W]hat Rawls has done is to combine the very strong principles of social and economic equality associated with European socialism with the equally strong principles of pluralistic toleration and personal freedom associated with American liberalism, and he has done so in a theory that traces them to a common foundation.”234 Pernyataan Thomas Nagel tersebut menjelaskan kekuatan berfikir Jhon Rawls yang menggabungkan prinsip kesetaraan sosial ekonomi antara sosialisme Eropa dengan prinsip-prinsip toleransi pluralistik dan kebebasan pribadi seseorang yang terdapat dalam ajaran liberalisme Amerika. Jhon Rawls memadukannya dalam fondasi bersama. Jhon Rawls menempatkan keadilan pada situasi yang sama dan setara (egaliter) di antara masing-masing orang. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Tidak terdapat perbedaan keadilan karena status sosial, kelompok keagamaan, maupun etnis. Oleh karena kesederajatan tersebut, maka dapat terjadi perlakuan yang seimbang.235 Lebih lanjut Rawls menemukan pemikiran tentang prinsipprinsip keadilan (kontrak keadilan) dengan dua teori. Pertama, original position (posisi asali). Original position ini memuat ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) dalam rangka melakukan pengaturan sturktur dasar yang terdapat dalam masyarakat (basic structure of society). Rawls menjelaskan bahwa para pihak dalam original position dapat mengadopsi dua prinsip utama, yakni kebebasan dasar yang paling asasi dan perbedaan sosial ekonomi dapat diatur dalam rangka memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kelompok masyarakat yang 234 Thomas Nagel. 2002. Concealment and Exposure: and Other Essays. Cambridge, MA: Oxford University Press, hlm. 88. 235 Faiz. op.cit, hlm. 135-149.



93



paling lemah (marginal). Selain itu peluang posisi jabatan publik dibuka dan terbuka bagi semua orang secara adil tanpa melihat status sosial.236 Kedua, veil of ignorance (selubung ketidaktahuan) yang dijelaskan oleh Jhon Rawls bahwa setiap orang berada pada wilayah tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk pada posisi class social dan kelompok tertentu. Jhon Rawls juga menekankan bahwa jika terdapat pembedaan perlakukan dapat diterima selama memberikan kemanfaatan kepada kelas sosial yang paling lemah (marginal).237 Dari sini tampak bahwa pemikiran Jhon Rawls memberikan prioritas keadilan kepada kaum yang tertindas (mustadz’afīn). Teori berikutnya yang dapat digunakan dalam penelitian yuridis sosiologis ini adalah teori hukum progresif yang dipelopori oleh Satjipto Rahardjo. Teori hukum progresif ala Satjipto Rahardjo berawal dari kepirhatinan mendalam atas persoalan-persoalan hukum di Indonesia ketika masa orde baru (dan mungkin masih terjadi hingga hari ini). Hukum di Indonesia dinilai telah ditinggal atau meninggalkan roh-nya. Hukum tidak lagi menjadi arena para pihak dalam mencari keadilan, justru hukum “menafikan” keadilan. Orang akan mengatakan, “kalau kehilangan ayam lalu lapor kepada hukum, maka bersiaplah kehilangan kambing”. Oleh karena hukum telah jauh dari keadilan, maka alih-alih dapat menjadi waṣilah bagi kesejaheraan masyarakat, hukum justru tunduk pada kekuasaan atas dasar legalisme. Wal hasil yang terjadi adalah hukum “tajam kebawah dan tumpul keatas”. Pada saat seperti itulah hukum 236 John Rawls. 2009. A Theory of Justice. Harvard University Press, hlm. 2. 237 Ibid., hlm. 2.



94



progresif lahir dan menjadi “oase” atas berbagai masalahmasalah hukum di Indonesia.238 Menurut Satjipto Rahardjo, hukum progresif mengoperasionalkan hukum tidak mengabdi pada dirinya sendiri, melainkan diperuntukkan bagi tujuan kehidupan manusia. Hukum progresif mendudukkan kebutuhan dan kepentingan manusia/masyarakat sebagai titik orientasinya dan menempatkan manusia sebagai tujuan utama dari hukum. Karakter hukum progresif menghendaki kehadiran hukum dalam upaya mencari solusi atas persoalan-persoalan manusia.239 Oleh karenanya, hukum ada untuk manusia, bukan hukum untuk hukum. Hukum sendiri dalam pandangan hukum progresif bukanlah institusi yang final dan mutlak, tetapi hukum terus menerus dalam proses menjadi (law as a procces, law in the making).240 Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam perspektif sosiologis, terdapat dua unsur penting dalam proses transformasi serta penegakan hukum, yaitu unsur manusia dan unsur lingkungan sosial.241 Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan dan kepentingan masing-masing yang terkadang bersitegang satu sama lain. Akibat perbedaan kepentingan tersebut tak jarang terjadi ketidaksesuaian atau konflik dalam masyarakat. Dari sinilah dibutuhkan hukum dalam kerangka untuk mengatur perbedaan kepentingan, 238 Sudijono Sastroatmodjo. 2005. Konfigurasi hukum progresif. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 8, No. 2, hlm. 185-201. Lihat juga dalam Nonet, P. & Selznick, P. 2008. Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media, Cetakan II. Bandung. hlm. 10. 239 Bernard L. Tanya, et.al. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Jakarta: Genta Publishing, hlm. 190. 240 Rizal Mustansyir. 2008. Landasan Filosofis Mazhab Hukum Progresif: Tinjauan Filsafat Ilmu. Jurnal Filsafat, 18(1), hlm. 15-25. 241 Satjipto Rahardjo. 1980. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru, hlm. 26.



95



memberikan rasa aman dan adil serta berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Istilah progresif sendiri digunakan oleh Satjipto Rahardjo karena memiliki makna sebagai kehendak untuk berbuat baik dan melakukan perbaikan. Konstruksi hukum progresif setidaknya mengandung lima postulat yang diacu dan menjadi acuan; yaitu; pertama, hukum yang pro rakyat dan pro keadilan; kedua, hidup baik sebagai dasar hukum yang baik; ketiga, hukum yang memiliki karakter responsif; keempat, berhukum menggunakan nurani; kelima, hukum yang memiliki kecerdasan spiritual.242 Penggunaan teori hukum progresif dalam penelitian yuridis sosiologis akan secara cermat mencari solusi-solusi guna upaya pembangunan ideal culture atas budaya hukum yang berkeadilan dan mensejahterakan masyarakat. Tugas hukum dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state) adalah demi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.243 Melengkapi berbagai teori di atas, penelitian yuridis sosiologis dapat menggunakan teori dalam hukum Islam sebagai manifestasi pemikiran hukum spiritual pluralistik seperti yang diajarkan oleh Esmi Warassih. Menurut Esmi Warassih, pemikiran hukum spiritual pluralistik secara prinsip terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi hukum yang berdasarkan nilai-nilai spiritual serta dimensi nilai budaya yang menjadi tempat lahirnya hukum dari sisi spiritual manusia yang plural.244 Semenjak masuknya Islam di bumi Sudijono Sastroatmodjo. 2005. op.cit., hlm. 185-201. Lihat dalam Kumlin, Staffan. dalam Russell J. Dalton and Hans‐Dieter Klingemann (Ed). 2017. The Welfare State: Values, Policy Preferences, and Performance Evaluations. in The Oxford Handbook of Political Behavior. 244 Esmi Warassih, et. al. 2016. Pemikiran Hukum Spiritual Pluralistik; Sisi lain Hukum yang Terlupakan. Yogyakarta:Thafa Media, hal.x. 242 243



96



Nusantara, hukum Islam menjadi salah satu referensi dalam proses pembentukan nilai-nilai, norma-norma, budaya, hukum dan perilaku masyarakat. Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat muslim ini tentu tidak lepas dari ajaran AlQur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang secara mutawatīr diajarkan oleh para pengikutnya. Hukum Islam diakui sebagai salah satu sumber hukum materiil di Indonesia serta telah memberikan kontribusi dalam pembangunan hukum, meskipun Indonesia bukan merupakan negara Islam. Islam meletakkan prinsip dasar hukum yang bersifat am (universal) tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, serta memungkinkan diformulasikan suatu hukum demi kesejahteraan masyarakatnya (social welfare),245 dalam konteks ini berlaku qowāidul fiqhiyyah “Tasharufūl imām ‘ala ro’iyah manūtun bil maslahāh (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan).246 Artinya, kebijakan pemimpin haruslah didasarkan pada kemaslahatan masyarakat. Agama merupakan pondasi moralitas bagi kehidupan manusia dan kekuasaan hukum negara adalah penjaganya.247 Oleh karenanya peneliti yuridis sosiologis dapat menghadirkan Islamic legal studies dalam kajiannya sebagai salah satu teori yang digunakan. Teori hukum Islam yang peneliti gunakan adalah teori maqāsyid syari’ah. Secara harfiyah maqāsyid syari’ah berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “maqāsid” dan “syari’ah”. Secara etimologi, kata “maqāsid” merupakan bentuk jamak dari kata “maksud” yang memiliki makna “maksud”, “tujuan”, “prinsip”, “sasaran” atau “tujuan akhir”. Sedangkan kata “syari’ah” berasal dari kata 245 Asghar Ali Engineer. 2000. Devolusi Negara Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm. 58. 246 Al Faraidul Bahiyyah, op.cit., hlm. 39. 247 Asghar Ali Engineer. 2000. op.cit., hlm. 58.



97



“syara’a al-syai” yang berarti “menjelaskan tentang sesuatu” atau diambil dari kata al-syari’ah yang memiliki arti “tempat sumber air yang tidak akan terputus dan orang datang ke tempat tersebut tidak membutuhkan alat”.248 Maqāsid syari’ah dapat ditafsirkan dengan makna atau hikmah yang menjadi perhatian syara’ (hukum) dalam segala keadaan pensyari’atan (pemberlakuan hukum).249 Syamsul Anwar memandang maqāsid syari’ah dapat diartikan dengan illah, hikmah, dan alghayah (tujuan) atau al-hafd.250 Wahbah Zuhaili menafsirkan maqāsid syari’ah dengan nilai-nilai yang terkandung secara implisit baik keseluruhan atau sebagian dari ditetapkannya sebuah aturan hukum. Nilai-nilai tersebut dapat diterjemahkan pula dengan “rahasia” di balik setiap penerapan syari’ah. Dalam pandangan Asy-Syatibi, tujuan akhir hukum adalah demi tercapainya kemaslahatan hidup. 251 Jadi, maqāsid syari’ah dapat diterjemahkan secara bebas dengan tujuan-tujuan ditetapkanyna syari’at (ultimate value) oleh Tuhan Yang Maha Esa demi terwujudnya kemaslahatan manusia baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.252 Berangkat dari sini apa yang menjadi tindakan individuindividu masyarakat tidak hanya dilihat dalam perspektif normatif yang “hitam-putih” ataupun “halal-haram”. Lebih dari itu perlu mencari jalan keluar yang filosofis sekaligus Yusuf Al-Qardhawi. 2007. Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, hlm. 12. 249 Muhammad Thahir bin Asyur. 1999. Maqasid al-Syariah alIslamiyyah. Malaysia: Dar al-Fajr, hlm. 251. 250 Muhammad Lutfi Hakim. 2017. “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syari’ah: Dari Klasik Sampai Kontemporer.” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, hlm. 1-16. 251 Muhammad Khalid Mas’ud. 1995. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Surabaya: Al-Ikhlas. hlm. 225. 252 Abu Ishaq Al-Syatibi. tt. Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariah, Juz 2. Beirut: Dar Kutub Al- ‘Ilmiyah, hlm. 3. 248



98



solutif dengan tidak menafikkan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat. Agus Maftuh Abegebriel menjelaskan bahwa nilainilai prinsipil (mabādi’ al-asāsiyah) Islam dalam kehidupan hukum (baik privat maupun publik) berpijak pada lima jaminan dasar (maqāsidus syari’ah), yaitu; pertama, keselamatan fisik individu-individu masyarakat (hifdzun nafs); Kedua, kebebasan dan kepatuhan untuk menjalani kehidupan beragama masing-masing tanpa adanya intervensi (hifdzud dīn); Ketiga, keselamatan untuk berkeluarga dan berketurunan yang baik (hifdzun nasbi wa nasl); Keempat, keselamatan harta kepemilikan atau properti pribadi dari ancaman dan penggusuran di luar prosedur hukum yang adil (hifdzul māl); Kelima, keselamatan berprofesi, mengembangkan pemikiran dan kecerdasan (hifdzul aql).253 Kelima prinsip dalam maqāsidus syari’ah tersebut diacu dan menjadi acuan bagi penerapan hukum Islam. Artinya, konstruksi hukum termasuk yang diterapkan di masyarakat sebaiknya berorientasi dan diorientasikan pada kelima prinsip dasar maqāsidus syari’ah tersebut. Hal tersebut sejatinya bukan hanya dalam hukum Islam saja, tetapi jika hukum negara atau hukum yang ada dalam masyarakat memuat prinsipprinsip tersebut, maka cita-cita hukum demi keadilan dan kesejahteraan akan dapat terwujud.



Agus Maftuh Abegebriel, dalam Abdurrahman Wahid. 2007. Islam Kosmopolitan. Jakarta: The Wahid Institute, hlm. xxi. 253



99



100



BAB V KERANGKA PENULISAN SKRIPSI DAN TESIS YANG MENGGUNAKAN PENDEKATAN YURIDIS SOSIOLOGIS Penulisan skripsi atau tesis pada program studi ilmu hukum dan atau ilmu syariah dapat menggunakan pendekatan yuridis sosiologis (non doctrinal / socio-legal). Skripsi/tesis yuridis sosiologis memaknai hukum sebagai hasil pemikiran antara teks dan konteks, atau antara nash dan realitas (al-indimāj bainan nāsh wa al-wāqi’). Hukum dikonsepsikan sebagai realitas yang keberlakuannya dapat dipengaruhi atau mempengaruhi faktor yang lain. Yuridis sosiologis mengkaji hukum dengan pendekatan interdisipliner, yakni menggabungkan ilmu hukum dan ilmu sosial dalam sebuah pendekatan tunggal. Penelitian yuridis sosiologis memiliki karakter kajian, yaitu; pembahasan pelaksanaan hukum di masyarakat (law in action), logikanya bersifat posteriori, validitasnya didasarkan pada fakta realitas hukum (legal reality). Penekanan datanya pada memahami (verstehen) atas makna (meaning) dalam pikiran/ide tineliti, yang berkaitan dengan tindakan hukum. A. Bab I (Proposal) 1. Judul Judul ditulis ringkas, padat, jelas dan maksimal dua belas (12) kata. Diperbolehkan menggunakan judul besar dan judul kecil. Judul merepresentasikan isi, tema utama yang menjadi pembahasan, memberikan kesan terdapat masalah (problem research) dan manarik (eye catching). 2. Latar belakang



101



Latar belakang berisi informasi bahwa terdapat permasalahan hukum (legal problems) yang secara ilmiah penting untuk dicari jawabannya, dengan menunjukkan adanya ketidaksesuaian (research gap) antara das Sein (seinwissenchaft/senyatanya) dengan das Sollen (normwissenchaft/seharusnya). Cara penulisan pada subbab latarbelakang ini dengan “mempertanyakan” (bukan justifikasi), karena fungsi latar belakang ialah untuk menunjukkan terdapat permasalahan yang layak diteliti. 3. Rumusan Masalah Rumusan Masalah merupakan sejumlah pertanyaan penelitian (sesuai tema penelitian) yang hendak ditemukan jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan ini diajukan untuk mengetahui gambaran apa yang akan diungkapkan di lapangan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus didukung oleh alasan-alasan mengapa hal tersebut ditampilkan. Alasan-alasan ini harus dikemukakan secara jelas, sesuai dengan sifat penelitian kualitatif, yakni holistik, induktif, dan naturalistik yang berarti tidak berjarak dengan gejala/fenomena yang diteliti. 4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sesuai dengan fokus yang telah dirumuskan. 5. Kegunaan Penelitian Pada bagian ini ditunjukkan kegunaan atau pentingnya penelitian terutama bagi pengembangan keilmuan syariah. Dengan kata lain, uraian dalam subbab kegunaan penelitian berisi alasan kelayakan atas masalah yang diteliti. Dari uraian dalam bagian ini diharapkan dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap masalah yang dipilih memang layak untuk dilakukan.



102



6. Penegasan Istilah Penegasan Istilah dimaksudkan untuk menghindari pemahaman yang berbeda atau bias antara pembaca dengan peneliti mengenai istilah-istilah kunci yang terdapat dalam judul atau tema Tesis. Kriteria istilah yang mengandung konsep kunci adalah jika istilah tersebut terkait erat dengan permasalahan yang diteliti. Definisi operasional istilah disampaikan secara langsung, dan tidak perlu diuraikan asalusulnya. Penegasan istilah dianjurkan untuk merujuk pada literatur atau buku-buku yang relevan dengan disiplin ilmu hukum, ke-syariah-an atau ilmu lainnya. Namun demikian, penegasan istilah lebih dititikberatkan pada pengertian yang diberikan oleh peneliti sendiri. 7. Studi Terdahulu Studi Terdahulu adalah kajian terhadap hasil penelitian-penelitian terkini (lima tahun terakhir) yang memiliki kemiripan tema, khususnya dari Tesis, tesis, disertasi, artikel jurnal atau karya ilmiah akademik lainnya. Tujuan telaah pustaka untuk mengetahui orisinalitas (perbedaan) perspektif / fokus kajian Tesis dibanding penelitian-penelitian sebelumnya. 8. Metode Penelitian Metode Penelitian memuat uraian tentang langkahlangkah atau proses penelitian secara operasional yang menyangkut jenis, pendekatan, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian. a. Jenis Pada bagian ini peneliti perlu menjelaskan bahwa jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.



103



Dalam subbab ini perlu juga menyertakan alasan singkat mengapa jenis penelitian kualitatif digunakan. Selain itu juga dikemukakan landasan berpikir untuk memahami makna (meaningful understanding) atas suatu gejala, fakta-fakta, ataupun fenomena hukum yang menjadi tema penelitian. b. Pendekatan Pada bagian ini peneliti perlu menjelaskan bahwa pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiric / nondoctrinal. Kemudian menjelaskan mengapa pendekatan yuridis empiric yang digunakan dan bagaimana korelasinya dengan tema Tesis yang diangkat. c. Stand Point (Kehadiran Peneliti) Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen utama/kunci (key instrument) penelitian. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lapangan dalam penelitian kualitatif mutlak diperlukan (field work research). Pada subbab ini perlu dijelaskan bagaimana proses interaksi antara peneliti dengan tineliti. Baik antara peneliti dengan setting kajian (lokasi penelitian), para informan, termasuk menjelaskan berapa lama interaksi tersebut dilakukan. Kehadiran peneliti ini harus dinarasikan secara eksplisit dalam laporan penelitian. Perlu dijelaskan pula apakah peran peneliti sebagai partisipan penuh; partisipan sebagai pengamat (participant as observer), pengamat sebagai partisipan (observer as participant), atau pengamat total. Di samping itu perlu disebutkan apakah kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh subjek atau informan. d. Subyek dan Lokasi Penelitian Uraian lokasi penelitian diisi dengan identifikasi karakteristik lokasi, alasan memilih lokasi, serta bagaimana strategi peneliti memasuki lokasi tersebut. Lokasi hendaknya diuraikan secara jelas, misalnya letak geografis, titik



104



koordinat (bujur/lintang), bangunan fisik, (jika perlu disertakan peta lokasi), struktur organisasi, program, dan suasana sehari-hari. Pemilihan lokasi harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kemenarikan, keunikan, dan kesesuaian dengan tema yang dipilih dalam Tesis. Dengan pemilihan lokasi ini, peneliti diharapkan menemukan hal-hal yang bermakna dan baru. Peneliti kurang tepat jika mengutarakan alasan-alasan yang bersifat subyektifitas non ilmiah akademik, seperti dekat dengan rumah peneliti, peneliti pernah bekerja di situ, atau peneliti telah mengenal orang-orang kunci. e. Sumber Data Penelitian Kualitatif dengan pendekatan yuridis empiric bertumpu pada sumber data primer (primary data atau basic data) dan data sekunder (secondary data). Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama; yakni tindakan, pemahaman, ide dan keyakinan warga masyarakat berkaitan dengan tema kajian yang diangkat dalam Tesis. Data sekunder adalah data yang dalam keadaan telah siap terbuat dan dipergunakan dengan segera. Data sekunder dalam penelitian syariah dan atau ilmu hukum dapat dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa ayat-ayat al-Qur’an, Hadist Nabi, UndangUndang Dasar, Undang-undang dan peraturan pemerintah. Adapun bahan hukum sekunder bersifat pendukung dalam penelitian, misalnya buku, skripsi, tesis, disertasi ataupun artikel jurnal hasil penelitian ilmiah. Bahan hukum tersier bersifat penunjang seperti kamus, ensiklopedia, artikel surat kabar dan lain sebagainya. Dalam sub bab ini peneliti menjelaskan berbagai macam sumber data yang akan



105



dikumpulkan, serta relevansi atas data tersebut untuk menjawab rumusan masalah yang telah dituliskan. Pada bagian ini dilaporkan jenis data, sumber data, dan teknik pengumpulan data dengan keterangan yang memadai. Uraian tersebut meliputi data apa saja yang dikumpulkan, bagaimana karakteristiknya, siapa yang dijadikan subjek dan informan penelitian, bagaimana ciri-ciri subjek dan informan itu, dan dengan cara bagaimana data dikumpulkan, sehingga kredibilitasnya dapat terjamin. Misalnya data dikumpulkan dari informan yang dipilih dengan teknik bola salju (snowball sampling). Istilah pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif harus digunakan dengan penuh kehati-hatian. Dalam penelitian kualitatif tujuan pengambilan sampel adalah untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dan sedalam mungkin, bukan untuk melakukan generalisasi. Pengambilan sampel dikenakan pada situasi, subjek, informan, dan waktu. f. Prosedur Pengumpulan Data Dalam bagian ini diuraikan teknik pengumpulan data yang digunakan, misalnya observasi, wawancara mendalam (depth in interview), dan dokumentasi. Terdapat dua dimensi rekaman data: fidelitas dan struktur. Fidelitas mengandung arti sejauh mana bukti nyata dari lapangan disajikan (rekaman audio atau video memiliki fidelitas tinggi, sedangkan catalan lapangan memiliki fidelitas kurang). Dimensi struktur menjelaskan sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Hal-hal yang menyangkut jenis rekaman, format ringkasan rekaman data, dan prosedur perekaman diuraikan pada bagian ini. Selain itu dikemukakan cara-cara untuk memastikan keabsahan data dengan crosscheck, triangulasi, dan waktu yang diperlukan dalam pengumpulan data.



106



g. Analisis Data Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip-transkrip wawancara, catalan lapangan dan bahan~bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola, pengungkapan hal yang penting, dan penentuan apa yang dilaporkan. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data, dengan teknik-teknik misalnya analisis domain, analisis taksonomis, analisis komponensial, dan analisis tema. Dalam hal ini peneliti dapat menggunakan statistik nonparametrik, logika, etika, atau estetika. Dalam uraian tentang analisis data ini supaya diberikan contoh yang operasional, misalnya matriks dan logika. h. Pengecekan Keabsahan Data Bagian ini memuat uraian tentang usaha-usaha peneliti untuk memperoleh keabsahan temuannya. Agar diperoleh temuan dan interpretasi yang absah, maka perlu diteliti kredibilitasnya dengan menggunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori), pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat-tidaknya ditransfer ke latar lain (transferability), ketergantungan pada konteksnya (dependability), dan dapat-tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability). 9. Jadwal Penelitian Subbab ini menjelaskan proses rencana pelaksanaan penelitian, mulai dari penyusunan proposal penelitian,



107



pengumpulan data, pengolahan data, hingga penulisan laporan penelitian. 10. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan Tesis memuat paparan secara ringkas mengenai isi dari masing-masing bab dalam Tesis tersebut. Perlu digarisbawahi bahwa paparan ini berbeda dengan daftar isi. Bagian ini terdiri atas paragraf-paragraf yang masing-masing memuat isi dari bab-bab dalam Tesis. 11. Daftar Pustaka Memuat sumber referensi atau bahan bacaan yang menjadi dan dijadikan acuan dalam penelitian. sumber referensi tersebut dapat berupa al-Qur’an, kitab-kitab hadis, undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah daerah, buku, artikel jurnal, artikel surat kabar, hasil wawancara, hasil observasi dan lain sebagainya. Penulisan daftar pustaka ini disarankan menggunakan reference manager seperti mendeley, zotero dan lain sebagainya. Bab II: Kerangka Teori (diberi judul sesuai isi bab II) Kerangka teori adalah uraian sejumlah konsep atau teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis untuk membantu membedah masalah-masalah yang akan diteliti. Kajian yuridis empiric dapat menggunakan konsep ataupun teori dari disiplin ilmu ke-syariah-an, ilmu hukum, ilmu sosial ataupun disiplin ilmu lainnya. Fungsi konsep atau teori tersebut adalah to explain (untuk menjelaskan data), to analysis (untuk menganalisis realitas), to simplify (untuk “menyederhanakan/mereduksi” realitas/data yang kompleks dan rumit) dan to prediction (untuk memprediksi). Bab III: Paparan Data (Diberi judul sesuai data /isi bab III)



108



Pada bab ini berisi uraian mengenai gambaran umum objek penelitian. Kemudian menguraikan karakteristik masing-masing variabel. Pada bab ini juga memuat uraian tentang data dan temuan yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur yang diuraikan dalam Bab I. Uraian ini terdiri atas paparan data yang disajikan dengan topik sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian dan hasil analisis data. Paparan data tersebut diperoleh dari pengamatan (apa yang terjadi) dan/atau hasil wawancara (apa yang dikatakan) serta deTesis informasi lainnya (misalnya yang berasal dari dokumen, foto, rekaman video, dan hasil pengukuran). Hasil analisis data yang merupakan temuan penelitian disajikan dalam bentuk pola, tema, kecenderungan, dan motif yang muncul dari data. Di samping itu, temuan dapat berupa penyajian kategori, sistem klasifikasi, dan tipologi. Bab IV: Analisis (diberi judul sesuai isi Bab IV) Berisi perbandingan antara tinjauan pustaka, landasan konsep ataupun teoretik yang tertuang dalam Bab II dengan temuan-temuan penelitian yang dikemukakan di dalam Bab III. Dengan demikian bab ini sangat penting dalam rangka menjawab masalah penelitian atau menunjukkan bagaimana tujuan penelitian dicapai. BAB V: Penutup Penutup memuat temuan pokok atau kesimpulan, implikasi dan tindak lanjut penelitian, serta saran-saran atau rekomendasi yang diajukan. Dalam penelitian kualitatif, temuan pokok atau kesimpulan harus menunjukkan "makna" temuan-temuan tersebut.



109



Bagian Akhir Bagian akhir dari Tesis hasil penelitian kualitatif pada dasarnya tidak berbeda dengan Tesis hasil penelitian kuantitatif, yaitu memuat: (a) daftar pustaka, (b) lampiranlampiran, dan (c) riwayat hidup penulis. Uraian mengenai ketiga hal tersebut dapat dilihat pada bab sebelumnya. Sedikit perbedaan terletak pada jenis lampiran. Dalam penelitian kualitatif data yang dilampirkan berupa ringkasan rekaman pengumpulan data (catatan observasi, transkrip wawancara, dan rekaman dokumentasi), foto-foto lapangan, dan dokumen-dokumen lain yang relevan. B. REFLEKSI MENULIS DISERTASI Rentang waktu antara tahun 2018 hingga tahun 2021 penulis mendapatkan kesempatan untuk belajar pada jenjang pendidikan program doktor ilmu hukum di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Dalam pembahasan bab ini penulis mencoba untuk berbagi pengalaman saat menulis disertasi di bawah bimbingan dan arahan Prof. Dr. Yusriyadi, S.H. (promotor) dan Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A. (co promotor). Hasil diskusi panjang dan intensif dengan para pembimbing tersebut, penulis mendapatkan sebuah norma-norma atau etika keilmuan, yaitu: 1. Universalisme: Pendapat (apa yang ditulis) berbasis pada data dan teori dan sebaiknya menghindari claim (justifikasi) yang berdasarkan asumsi. 2. Skeptisisme: Tidak gampang percaya dan selalu ingin tahu dengan tabayun (klarifikasi). 3. Imparsialisme: Netral (tidak berpihak). 4. Komunalisme: Tidak pelit ilmu/mau berbagi di antaranya dengan menulis.



110



5. Justice: Adil/Jujur (mengakui kekurangan diri). Penulis menyimpulkan beberapa pra syarat karya disertasi atau penelitian telah “layak” ataukah belum untuk diujikan dan dipertahankan dalam siding ujian: 1. Clarity (jelas). Apakah tulisan kita bisa dipahami pembaca, ataukah malah kita sendiri yang menuliskannya saja pening (gak paham) dengan tulisan kita sendiri? Nah, disinilah peran penting teman/mentor/pembimbing untuk kita mohon berkenan me-review naskah kita. Biasanya pembaca lebih kritis dari si penulis sendiri. Jadi, sebaiknya kita membuka diri terhadap masukan dari orang lain terutama dari mereka yang memiliki kompetensi keilmuan tentang subjek yang menjadi kajian kita dalam skripsi/tesis/disertasi. Clarity disini juga jelas alur-nya, flow-nya (mengalir), dan jelas juga pesan yang akan disampaikan. 2. Accuracy (ketepatan). Maksudnya ketepatan dalam membahas tema yang kita angkat. Accuracy ini juga termasuk ketepatan dalam menentukan pendekatan, metode dan teori yang digunakan. 3. Precision. Maksudnya hal-hal yang tidak penting sebaiknya tidak kita tuliskan, agar tidak “grambyang dan mbulet ngalor-ngidul”. Jadi tidak mengejar ketebalan naskah, tetapi padat. 4. Relevance (relevan/kesesuaian). Apakah tulisan (naskah) kita sesuai dengan tema dan menjawab research problems? ataukah justru tidak nyambung? Kesesuain ini termasuk tentang ruang dan waktu. 5. In depth (mendalam). Mendalam itu kalau dalam teori interaksionisme simbolik-nya Erving Goffman, bukan hanya pada front stage tetapi sampai pada back stage.



111



6.



7.



8.



9.



Bahasa Prof. Mudja, bukan hanya realitas empiric-nya saja, tetapi hingga worldview-nya (ingat, lapis-lapis realitas). Tugas peneliti adalah “merebut worldview” atas sebuah realitas. Breadth (meluas). Tidak berpikir sempit, artinya sebuah realitas terdapat realitas lain yang menopang. Kita bisa lihat hubungan sebuah realitas dengan faktor-faktor penghubung yang lain. Logic. Artinya apakah tulisan kita telah sesuai dengan pikiran “waras" (masuk akal), logis dan memenuhi kaidah ilmiah? Fairness (adil). Kita menuliskan secara apa adanya (objektif). Contohnya dalam mencari data bukan dari informan yang kita suka saja dengan menafikan informan lain. Butuh teknik triangulasi dan crosscheck agar bisa “berlaku adil” pada data. Honest (jujur). Jika menemukan gagasan orang lain maka secara jujur kita cantumkan sumber referensinya. Butuh kejujuran untuk mengakui dan menghormati karya orang lain melalu sitasi. Saat ini mudah mengecek apakah tulisan “copy-paste” ataukah telah diinternalisasi dan di-pharaprase. Maklum, sudah ada aplikasi i-thenticate atau cek similarity.



Pengalaman Review Substansi Naskah Penelitian 1. Substansi  Awal menulis disertasi, tulisan saya dulu pernah mendapat “sindiran” dari Prof. Mudja dengan menyebut “novel yang belum jadi”. Nah dari sini kemudian saya berusaha belajar dan membaca buku-buku teori (baik teori-teori sosial, teori hukum maupun teori hukum Islam), sekaligus



112



bagaimana meng-aplikasikan-nya dalam disertasi. Ketemulah bahwa disertasi “harus” based on theory atau intellectual guessing (Prof. Tandyo:2017;12). Ini berbeda dengan ketika kita menulis buku, cerpen, novel, dll. Istilahnya Hasan Hanafi (2005;15), penelitian yang baik terbangun dan dibangun atas tiga dimensi kesadaran, yaitu al-wa’yu al-amalī (kesadaran realitas), al-wa’yu al-tarīkhī (kesadaran historis) dan al-wa’yu al-nadzārī (kesadaran teoretis).  Teori menurut saya adalah hubungan antar konsep-konsep (variable-variabel) -dalam hal iniyang sesuai dengan isu dan pendekatan yang dipilih. Contohnya, konsep atau definisi tentang budaya dan kebudayaan itukan banyak. Nah, menurut saya kita TIDAK PERLU “memampang” semua definisi tentang budaya dari semua ahli, cukup yang relevan dengan kajian kita. Bukan pula “memindahkan” konsep-konsep yang telah ditulis oleh para ahli ke dalam naskah kita. Lebih baik kita pharaprase dengan bahasa made in kita sendiri yang lugas dan mudah dipahami pembaca.  Kalaupun kita memahami konsep-konsep yang lain itu dalam rangka “pengkayaan” (letaknya bisa di footnote atau catatan kaki, sertakan pula sumber referensinya). Dari konsep yang menjadi pegangan itu kemudian lebih diperdalam dengan teori-teori yang sesuai. Harap dipahami pula beda-nya antara konsep dengan teori.  Teori menyuguhkan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan



113



penelitian yang diajukan kepada informan, sekaligus membantu memberikan makna terhadap data. Jadi, berlimpahnya data yang telah peneliti dapatkan di lapangan “hanya bisa berbunyi” ketika peneliti memiliki “nutrisi teori” yang berlimpah pula. Karenanya kita butuh banyak mengkaji teoriteori yang aplikatif dan relevan untuk “membaca” data yang berlimpah tadi.  Prof. Yusriyadi (saat bimbingan) pernah mengatakan kepada saya, terdapat beberapa fungsi teori, yakni; a. to explain (untuk menjelaskan data); b. to analysis (untuk menganalisis realitas); c. to simplify (untuk “menyederhanakan/mereduksi” realitas/data yang kompleks dan rumit); d. to prediction (untuk memprediksi);  Menurut saya patokan alurnya tetap pada rumusan masalah. Artinya kita menggunakan teori-teori apa saja untuk menjawab masing-masing rumusan masalah. Jadi jelas teori yang digunakan. Misalnya; Rumusan masalah pertama akan peneliti lakukan pembahasan dengan menggunakan teori a, teori b, teori c, dan seterusnya. Kemudian Rumusan masalah kedua akan peneliti kaji dengan menggunakan teori d, teori e, teori f, dan seterusnya hingga rumusan masalah terakhir. Tentu butuh kejelian penggunaan teori yang tepat untuk “membedah” masing-masing rumusan masalah. Yang perlu kita ingat, Prof. Mudja pernah berkata; “peneliti adalah designer, bukan penjahit”.



114



 Teori bisa kita ambil dari para ahli yang memiliki otoritas dibidangnya. Teori juga tidak tentang benar atau salah, tetapi teori yang relevan dalam menjembatani permasalahan yang kita kaji. Ketika peneliti menggunakan metode kualitatif, maka logika berpikirnya induktif. Penggunaan teorinyapun secara eklektik. Penggunaan teori secara eklektik ini “memacu” kita untuk belajar banyak teori, mengendapkannya sekaligus meng-aplikasikan dalam naskah disertasi. Namanya juga sekolah, maka ya harus banyak belajar dan serius.  Saya coba ambil contoh. Jika peneliti mengkaji ritual Ngasa pada masyarakat Jalawastu, maka ritual itu sendiri adalah tindakan manusia. Sebuah tindakan manusia berawal dari sumber kebenaran yang diyakini (konstitutif, kognitif, evaluative, ekspresif). Tidak ada tindakan yang tanpa makna. all the behavior is meaningfull. Kalau kita merujuk pada pemikiran Ibnu Arabi maka terdapat tiga kategori pengetahuan manusia, yakni; burhani, irfani dan asrari, (Abid Al Jabiri menambahkan bayani).  Tindakan manusia dalam kajian penelitian tentang masyarakat Jalawastu, maka dalam teorinya Mircea Eliade bisa dikategorikan menjadi dua, yakni sacred and profane. Sakral adalah “’wilayah suci dan disucikan oleh aktor-aktornya”, sementara profan adalah tindakan sehari-hari. Wilayah sakral kecenderungannya memiliki simbol-simbol (sign) bermakna. Nah simbol bermakna ini bisa kita dekati dengan teorinya Roland Barthes tentang sign (simbol) yang memiliki makna denotatif dan konotatif. Logikanya begini, orang bisa saja



115



mengencingi atau meludahi batu yang ada di sungai, namun akan berbeda makna dan efeknya kalau yang dikencingi adalah batu hajar aswad yang ada di pojok Ka’bah, meskipun kedua-nya samasama batu.  Tugas peneliti yuridis sosiologis adalah “mencari” dan “memahami” makna-makna yang “menyelinap” dalam pikiran aktor-aktor yang ada pada masyarakat Jalawastu. Lalu bagaimana jika pemahaman para aktor berbeda? nah, kita bisa menggunakan teori hermeneutic-nya Jacque Derrida. Makna itu tidak tunggal, tetapi makna itu menyebar. Kata Derrida, nothing outside the text. Perbedaan makna ini pula yang bisa kita manfaatkan untuk melakukan kategori data atau istilah metode penelitian-nya adalah “coding”. Tiga poin di atas adalah contoh tema dan membahasnya menggunakan teori yang relevan.  Dalam bab teori bukanlah berkutat tentang konsep-konsep dari para ahli, tetapi perlu menghadirkan teori-teori yang relevan dengan rumusan masalah yang akan dijawab dalam disertasi. Pada sisi yang lain konsep-konsep tersebut seolah-olah berdiri sendiri dan tidak dikaitkan dengan strategi untuk menjawab rumusan masalah. Sekali lagi harap dibedakan antara konsep dengan teori. Saran saya, peneliti membaca buku atau jurnal tentang teori-teori sosial, teori hukum ataupun teori hukum Islam yang memiliki relevansi dengan tema kajian. Sayang jika data lapangan yang berlimpah tidak



116



maksimal dalam “membaca”nya karena keterbatasan pembacaan atas teori-teori.  Menurut saya peneliti perlu membaca secara berulang-ulang dan merefleksikan kembali bab 1 (pendahuluan) dan bab 2 (kajian teoretik), karena dua bab ini merupakan pondasi disertasi. Baik atau tidak baik, kuat atau tidak kuatnya bangunan disertasi akan bergantung pada kedua bab ini. Jika perlu peneliti bisa membandingkan dengan disertasi-disertasi lainnya yang tergolong baik. Biasanya pembimbing juga akan merekomendasikan untuk kita membaca disertasidisertasi yang menurut pembimbing bagus. Sebut saja misalnya disertasi Arifudin Ismail, Teddy Asmara, Purnawirawan, dsb. Disertasi tersebut telah dibukukan dan dijual bebas. 2. Penulisan  Kelemahan yang biasa dilakukan oleh peneliti pemula dalam penulisan laporan penelitian adalah cukup banyak typo (salah ketik) dalam naskah. Kelemahan yang lain adalah penempatan kata sambung “di”, kapan harus disambung atau dipisah. Butuh ketelatenan dalam urusan typo ini dan tidak bosan-bosan untuk mecermatinya.  Pada awal paragraph peneliti sering memulainya dengan kata sambung (misal; jika, dari, dalam, juga, seperti , untuk, dan lain sebagainya). Struktur kalimat baku dalam bahasa Indonesia adalah memuat SPOK (subyek-predikat-obyekketerangan).  Kita bisa mendesain masing-masing paragraph pada satu kalimat inti (bisa di awal, tengah atau



117



akhir paragraph) dan kalimat yang lain penjelasan atau penguatan terhadap kalimat inti.  Kelemahan dalam penulisan laporan penelitian lainnya adalah tingginya similarity (kemiripan) dalam kalimat. Biasanya yang diperkenankan tingkat similarity maksimal tiga puluh persen (30%) jika dicek menggunakan aplikasi turnitin atau ithenticate. 3. Pemanfaatan dan Pencarian Referensi  Dalam penulisan naskah laporan penelitian sebaiknya memaksimalkan bahan bacaan terutama dari jurnal, baik jurnal nasional ataupun internasional. Trend menulis akhir-akhir ini terutama pada penulisan artikel ilmiah ataupun skripsi/tesis/disertasi, referensi diambil dari tujuh puluh persen (70%) jurnal dan tiga puluh persen (30%) buku. Atau minimal berimbang. Kenapa? karena jurnal cenderung singkat, padat, terdapat novelty dan up to date. Jadi, referensi dari jurnal (baik nasional maupun internasional) perlu dioptimalkan. Beberapa statmen dalam naskah juga sering tidak mencantumkan rujukan. Sekedar sharing cara belajar, biasanya ketika ada artikel jurnal yang bagus dan relevan dengan kajian saya, maka saya men-download-nya, lalu saya print, kemudian saya baca berulang-ulang hingga faham.  Para peneliti bisa mengakses jurnal-jurnal tersebut lewat google scholar (https://scholar.google.com/) ataupun di jurnal Scopus. Kalo ternyata artikelnya closed acces kita bisa “mencuri”nya secara gratis lewat sci-hub



118



(https://sci-hub.tw/) dengan meng copy-paste DOI (Digital Object Identifier) artikelnya. Jika mebutuhkan e-book bisa akses lewat genlibrus (https://libgen.lc/), z-library (https://z-lib.org/), pdfdrive (https://www.pdfdrive.com/) dan lain sebagainya.  Dalam penelitian yuridis sosiologis penting juga untuk membaca buku-buku teori sosial, teori hukum, teori hukum Islam dan buku-buku filsafat. Kita bisa menjelajah filsafat baik Era Klasik, Modern, Post Modern. Filsafat Barat (Amerika, Eropa), Timur (China, India, Jepang), mungkin juga filsafat Jawa atau Sunda, dan lain sebagainya.  Dalam kajian filsafat Islam penting juga membaca pemikiran-pemikiran tokoh Islam. Sebut saja misanya; Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Ibnu Arabi, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Seyyed Hossein Nasr, Abdullah Ahmed An-Naim, Jaseer Auda, dan lain sebagainya. Kita coba mengais, memilah dan memilih serpihan pemikiran para filosof-filosof besar tersebut.  Menulis laporan penelitian artikel ilmiah/skripsi/tesis/disertasi merupakan investasi “usia peradaban” seseorang, oleh karenanya akan lebih baik jika dilakukan secara serius dan optimal. Saya setuju dengan ungkapan Dr. Fahrudin Faiz, M.Ag dalam sebuah seri ngaji filsafat-nya di akun youtube MJS Channel; gelar adalah “menu cemilannya”, sementara “menu utama” yang semestinya kita lahap (dalam menulis sebuah karya ilmiah) adalah ilmu-nya.



119



120



DAFTAR PUSTAKA Abu Bakar. 2012. Konsep Ibadah dalam Hindu. Jurnal Toleransi: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama. Vol. 4(2), hlm. 195-205. Adian, Donny. 2010. Pengantar fenomenologi. Depok: Penerbit Koekosan. Ahmad Khoiri. 2019. Kepercayaan terhadap Benda-Benda Mistis Masyarakat (Studi terhadap Rajah Jimat Desa Bulusari Kedungwaru Tulungagung Kajian Fenomologi Edmund Husserl). Skripsi, IAIN Tulungagung. Ahmad Zaini. 2016. "Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali." Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf. Vol. 2 (1), hlm. 146-59. Ahimsa-Putra, H. S. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika. Al-Ghazali, 1986, Kitabul Aufaq, Jateng Aneka Solo. Al-Qardhawi, Yusuf. 2007. Fikih Maqashid Syari’ah, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Al-Syatibi, Abu Ishaq. tt. Al-Muwafaqat Fi Ushul Al-Syariah, Juz 2. Beirut: Dar Kutub Al- ‘Ilmiyah. Allport, G. W. 1955. Becoming; Basic Considerations For A Psychology Of Personality. Yale University Press. Annick Hedlund-de Witt. 2012. Exploring Worldviews and Their Relationships to Sustainable Lifestyles:



121



Towards a New Conceptual and Methodological Approach. Ecological Economics, Elsevier, Vol. 84, hlm. 74-83. Anwar Masduki. 2016. The Social Construction of New Understanding Wali in Java. DINIKA: Academic Journal of Islamic Studies 1.2, hlm. 189-210. Anwar, S. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia. Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Aness. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Arip Purkon. 2013. "Pendekatan Hermeneutika dalam Kajian Hukum Islam." AHKAM: Jurnal Ilmu Syariah, vol. 13, no. 2. hlm. 183-192. Arthur A. Berger. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. terj. Yogyakarta: Tiara Wacana. Asfa Widiyanto. 2017. Traditional science and scientia sacra: Origin and Dimensions of Seyyed Hossein Nasr’s Concept of Science. Intellectual Discourse, 25(1), hlm. 247-272. Asep Ahmad Siddiq. 2018. Para Sufi-Falsafi Iluminasi: Refleksi untuk Dunia Modern. Prosiding SNaPP: Sosial, Ekonomi dan Humaniora, proceeding.unisba.ac.id, 4(1), hlm. 121-128.



122



Asmara, Teddy. 2011. Budaya Ekonomi Hukum Hakim. Semarang: Fasindo. Asyur, Muhammad Thahir bin. 1999. Maqasid al-Syariah alIslamiyyah. Malaysia: Dar al-Fajr. Audah, Jaseer. 2011. al-Ijtihad al-Maqashidi. al-Syabkah alArabiyah li al Abhas. Barkatullah, Abdul Halim. 2013. Budaya Hukum Masyarakat dalam Perspektif Sistem Hukum. Jurnal UKSW. hlm. 1-18. Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi, terj: Ikramullah. Yogyakarta: Jalasutra. Benjamin Bloom. 1956. Taxonomy of Educational Object. London: Longman. Bergmark, Å., & Lundström, T. 2002. Education, practice and research. Knowledge and attitudes to knowledge of Swedish social workers. Social work education, 21(3), hlm. 359373. Bernard L. Tanya, et.al. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Jakarta: Genta Publishing. Blau, Peter M. 1964. Exchange and Power in Social Life. New York: John Wiley and Sons. Bodei Andullah, Beni Ahmad Saebani. 2018. Perbandingan Kaidah Fiqhiyyah. Bandung: Pustaka Setia.



123



Burhan, Bungin. 2007. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Ed.2. Jakarta: Kencana. Chambliss, W. J., & Seidman, R. B. 1971. Law, Order, and Power. Reading, MA: Addison-Wesley. Clark Moustakas. 1994. Phenomenological Research Methods. USA; Sage Publication. Cotterrell, Roger. 2004. Law and Culture. Ratio Juris. Vol. 17, No. 1, hlm. 1-14. Creswell, John. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Qualitative and Quantitative Research. Boston: Pearson. Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. ____________. 2015. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset: memilih di antara Lima Pendekatan edisi ke-3. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________. 2016. Research Design Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif dan Campuran, Edisi ke-4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Daniel Pals. 2001. Dekonstruksi Kebenaran; Kritik Tujuh Teori Agama, terj: Inyiak Ridwan Muzir dan M. Sukri, Yogyakarta: Institute for Religion and Society Development (Ircisod).



124



Darmodiharjo, Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Grafindo. Denzin, N. K. dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. I. Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES. Engineer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Esmi, Shidarta, et.al. 2016. Penelitian Hukum Interdisipliner: Sebuah Pengantar Menuju Sosio-Legal. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media. Faelasofa, D. 2011. Ajaran Sunan Geseng bagi Kehidupan Keagamaan Masyarakat. Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture, 3(2), hlm. 159168. Faisal Attamimi. 2012. Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik. HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 9(2), hlm. 319-341. Faiz, Fahrudin. 2002. Hermeneutika Qur’ani Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Friedman, Lawrence. 1975. The Legal System; Social Science Perspective. New York: Russle Sage Foundation.



125



_________________. 1990. The Republic of Choice: Law, Authority and Culture. Cambridge, Mass: Harvard University Press. _________________. 1994. "Is There a Modern Legal Culture?" Ratio Juris. vol. 7, no. 2. hlm. 117-131. __________________. 2018. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terj; M. Khozim, Ed. Bandung: Nusa Media. Gamal Abdul Nasir Zakaria. 2010. Pondok Pesantren: Changes and Its Future. Journal of Islamic and Arabic Education 2.2. hlm. 45-52. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc. Publishers. Goble, F. G. 1987. Mazhab Ketiga, Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Kanisius. Goodale, M. 2005. Traversing boundaries: New anthropologies of law. American Anthropologist, Vol. 107. Hadikusuma, Hilman. 2013. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: Alumni, cet. 4. Hajar, M. 2017. Model-Model Pendekatan dalam Penelitian Hukum dan Fiqh. Yogyakarta: Kalimedia. Hambali, H. 2011. Pengetahuan Mistis dalam Konteks Islam dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jurnal SUBSTANTIA, 13(2), hlm. 211-219.



126



Hamidi, Jazim. 2003. Hermeneutika Hukum. Yogyakarta UII Press. Harun Hadiwijono. 1989. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius. Hasyim Hasanah. 2017. "Teknik-teknik observasi (sebuah alternatif metode pengumpulan data kualitatif ilmuilmu sosial)." At-Taqaddum 8.1, hlm. 21-46. Hermawan, Muhammad Ilham. 2018. Hermeneutika Hukum: Perenungan Pemikiran Hans-Georg Gadamer. Bandung: Refika Aditama. Ijsseling, S. 1979. Hermeneutics and Textuality: Questions Concerning Phenomenology. Research in Phenomenology, 9, hlm. 1-16. Indarti, Erlyn. 2010. Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat hukum. Pidato Pengukuhan Guru Besar: Universitas Diponegoro. Ismayawati, Any. "Pengaruh Budaya Hukum terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia (Kritik terhadap Lemahnya Budaya Hukum di Indonesia)." Pranata Hukum, vol. 6, no. 1, 31 Jan. 2011, hlm. 55-68. Izzudin, Abdul Hafiz, Maria Ulfa Fauzia, and Sari Rohtul Khasanah. 2019. "Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl." Maraji: jurnal kependidikan, Vol.1(1). hlm.1-14.



127



Janette Young. 2005. On Insiders (emic) and Outsiders (etic): Views of Self, and Othering. Systemic Practice and Action Research, Springer. Vol. 18(2), hlm. 151-162. Jefferson, N.C. dalam Sally Everett (ed). 1991. Art Theory and Criticism: An Anthology of Formalist, Avant-Garde, Contextualist, adn Post-modernist Thought, North Carolina and London: McFarland. Jeffrey T. Nealon dalam Collebrook, Claire (ed). 2015. Jacques Derrida Key Concepts. London: Routledge. Javier A. Trevino. 2006. Geoarge C. Homans: History, Theory, and Method. Paradigm Publisher. John I. Brooks. 1998. The Eclectic Legacy: Academic Philosophy and The Human Sciences in Nineteenth-Century France. University of Delaware Press. John R. Sutton, J. 2001. Law/society: Origins, interactions, and change. Pine Forge Press. Vol. 474. John Wttenbraker, Brenda Lynn Gibbs, & Lynn R. Kahle. 1983. Seat Belt Attitudes, Habits, and Behaviors: An Adaptive Amendment to the Fishbein Model. Journal of Applied Social Psychology, 13(5). hlm. 406. Johnson, Doyle P., & Lawang, Robert. M. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jilid 1. terj: Ninik Rochani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kelley Harold. 1979. Personal Relationships; Their Structures and Processes. New Jersey: Lawrence Erlbraum.



128



Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia.



dan



Kumlin, Staffan. dalam Russell J. Dalton and Hans‐Dieter Klingemann (Ed). 2017. The Welfare State: Values, Policy Preferences, and Performance Evaluations. in The Oxford Handbook of Political Behavior. Kusumawati, A. A. 2016. Nyadran Sebagai Realitas Yang Sakral: Perspektif Mircea Eliade. Thaqafiyyat: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 14(1), hlm. 145160. Laud Humphreys. 1975. Tearoom trade, enlarged edition: Impersonal sex in public places. Transaction Publishers. Laurel Richardson dan Eliabbeth Adams dalam Denzin, Norman dan Lincoln, Yvonna (ed). 2011. The Sage Handbook of Qualitative Research 2. Edisi ketiga. terj: Dariyatno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lucke Doris. 1990. Max Weber Revisited. In: Scheuringer B. (eds) Wertorientierung und Zweckrationalität. VS Verlag für Sozialwissenschaften, Wiesbaden, Springer. Lukens-Bull, Ronald. 2008. The Traditions of Pluralism, Accommodation, and Anti-radicalism in The Pesantren Community. Journal of Indonesian Islam. 2.1. hlm. 1-15. Mahfud, Choirul. 2014. "Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban dalam Islam." HUMANIKA, Vol. 14, no. 1, hlm. 1-16.



129



Malinowski, B. 2013. Crime and Custom in Savage Society. New York City: Transaction Publishers. Manan, Abdul. 2005. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana. Martin Fishbein dan Icek Ajzen. 1975. Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory And Research. Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial; Konsep-konsep Kunci. Depok: PT. Raja Grafindo Persada. Mas’ud, Muhammad Khalid. 1995. Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial. Surabaya: Al-Ikhlas. McManaman, Linus J. 1958. Social Engineering: The Legal Philosophy of Roscoe Pound. St. John's Law Review. V. 33 (1). hlm. 1-47. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Edisi Kelima, Cetakan Kedua. Yogyakarta: Liberty. Michel Chodekiewicz. 2007. Konsep Kesucian dan Wali dalam Islam, dalam Chambert-Loir, Claude Guillot. Ziarah dan Wali di Agama Islam. Ecole Francaise d’exremeorient forum. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Michel Freeman. 1998. Human Rights and Real Cultures: Towards a Dialogue on ‘Asian Values.’ Netherlands Quarterly of Human Rights. Vol. 16(1), hlm. 25-39.



130



Mircea Eliade. 2002. Sakral dan Profan. terj: Nuwanto. Yogyakarta: Fajar Pustaka. Miles, M., Huberman, A., & Saldana, J. 2014. Qualitative Data Analysis A Methods Sourcebook 3rd Edition. UK: Sage Publications. Mochtar Lutfi. 2007. "Hermeneutika: Pemahaman Konseptual dan Metodologis." Jurnal Nasional Masyarakat, Kebudayaan dan Politik 22, hlm. 203-207. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi penelitian kualitatif: pendekatan positivistik, rasionalistik, phenomenologik, dan realisme metaphisik telaah studi teks dan penelitian agama. Yogyakarta: Rake Sarasin. Muhammad Abdullah. 2017. Naskah Mamba’ul Hikmah dan Teks Pencak Silat Harimau Putih (Sebuah Kajian Intertekstual), PIBSI XXXIX, FIB Universitas Diponegoro, hlm. 1227-1241. Muhammad Lutfi Hakim. 2017. “Pergeseran Paradigma Maqasid Al-Syari’ah: Dari Klasik Sampai Kontemporer.” Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, hlm. 1-16. Munawir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren “AlMunawwir” Krapyak. Muslih,



Mohammad. 2014. Logika Ketuhanan dalam Epistemologi illuminasi Suhrawardi. Yogyakarta; Lesfi.



131



Mustagfiroh, Hikmatul, dan Mustaqim. 2014. Analisis Spiritualitas Para Pencari Berkah (Studi Atas Motivasi Peziarah Di Makam Sunan Kalijaga Kadilangu Demak). Jurnal Penelitian. Vol. 8, No. 1. hlm. 143-160. Nagel, Thomas. 2002. Concealment and Exposure: and Other Essays. Cambridge, MA: Oxford University Press. Nasr, Seyyed Hossein. 2001. Islam and the Plight of Modern Man, Chicago: ABC International Group.Inc. Nelken, David. 2004. Using the Concept of Legal Culture. Austl. J. Leg. Phil. 29: Heinonline. Nina Siti Salmaniah Siregar. 2011. Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. PERSPEKTIF, Vol. 4, No. 2, hlm. 100-110. Nonet, P. & Selznick, P. 2008. Hukum Responsif. Bandung: Nusa Media, Cetakan II. Bandung. Olson, Matthew H., and B. R. Hergenhahn. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar (eds.8). Pan Mohamad Faiz. 2009. Teori Keadilan John Rawls (John Rawls' Theory of Justice), Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, hlm. 135-149. Payne, G. C. F., & Cuff, E. C. (Ed). 1984. Perspectives in Sociology. G. Allen & Unwin. London.



132



Poston, B. 2009. Maslow’s Hierarchy of Needs. The Surgical Technologist, 41(8), hlm. 347-353. Prasetyono, Emmanuel. Bertemu dengan Realitas: Belajar dari Fenomenologi Edmund Husserl. Fakultas Filsafat Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya. Jurnal Filsafat Arete, Vol.1(1), hlm. 1-9. Putra Satria, Adhi. 2020. Sibernetika Talcott Parsons: Suatu Analisis Terhadap Pelaksanaan Omnibus Law dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di Indonesia. Indonesia State Law Review, vol. 2, no.2, hlm. 111-118. Purwadi. 2006. Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual. Jakarta: Kompas. Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa. _______________. 1980. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung: Sinar Baru. _______________. 1985. Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoritis serta Pengalaman-pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni. _______________. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Publishing, cet. 2. _______________. 2009. Hukum Progresif; Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.



133



_______________. 2010. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Bandung:Genta Publishing. Rawls, John. 2009. A Theory of Justice. Harvard University Press. Richard E. Palmer. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G., & Smart, B. 2014. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusa Media. Ritzer, George. 2005. Encyclopedia of Social Theory. Vol. 2. California: Sage Publications. Rizal Mustansyir. 2008. Landasan Filosofis Mazhab Hukum Progresif: Tinjauan Filsafat Ilmu. Jurnal Filsafat, 18(1), hlm. 15-25. Robert J. Vallerand, Luc G. Pelletier, Claude Mongeau, Paul Deshaies and Jean-Pierre Cuerrier. 1992. Ajzen and Fishbein Theory of Reasoned Action as Applied to Moral Behavior - A Confirmatory Analysis. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 62., No,1. hlm. 98-109. Rohmawati, A dan Ismail, H. 2017. Ziarah Makam Walisongo Dalam Peningkatan Spiritualitas Manusia Modern. Sumbula: Jurnal Studi Keagamaan, Sosial dan Budaya, 2(2), hlm. 612-627.



134



Said Agil Siradj. 2013. The Sunni-Shi’ah Conflict and the Search for Peace in Indonesia. Journal of Indonesian Islam. Vol. 7(1), hlm. 145-164. Sastroatmodjo, Sudijono. 2005. Konfigurasi hukum progresif. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 8, No. 2, hlm. 185-201. Shidarta. 2013. Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing. Sitti Mania. 2017. "Observasi Sebagai Alat Evaluasi dalam Dunia Pendidikan dan Pengajaran." Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Vol. 11. (2), hlm. 220-233. Sitti Mawar. 2018. "Semiotika Hukum sebagai Pendekatan Kritis." Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundangundangan dan Pranata Sosial, vol. 2, no. 1. hlm. 73-83. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soekanto, Soerjono. 1984. Antropologi Hukum, Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat, Jakarta: CV. Rajawali. Soekidjo Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko. 1994. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Penerbit Rajawali.



135



Solichin Salam. 2010. Sekitar Walisongo. Kudus: Menara Kudus. Stocker, Barry. 2006. Derrida on Deconstruction. London: Routledge Philosophy Guidebook, Taylor & Francis e-Library. Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung: Alfabeta. Sulaiman Ibrahim. 2014. Hermeneutika Teks: Sebuah Wacana Dalam Metode Tafsir Alquran. Hunafa: Jurnal Studia Islamika 11.1. hlm. 23-41. Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed). 2017. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. Sunarni, W., & Khuriyah, K. 2018. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Ziarah Kubur Di Makam Jaka Tingkir Desa Gedongan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen Tahun (Skripsi, Institut Agama Islam Negeri Surakarta). Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Walisongo. Depok: Pustaka IIman, hlm. 109. Susanto, Anthon Freddy. 2005. Semiotika Hukum dari Dekontruksi Teks menuju Progresivitas Makna. Bandung: Refika Pratama. Suteki, Taufani G. 2018. Metodologi Penelitian Hukum; Filsafat, Teori dan Praktik. Depok: PT. Raja Grafinfo Persada.



136



Sutrisno, Endang. 2019. Pemaknaan Budaya Hukum: Menggagas Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: In Media. Tanya, B. L., Simanjuntak, Y. N., & Hage, M. Y. 2013. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing. Thohir, Mudjahirin. 1999. Wacana Masyarakat dan Kebudayaan Jawa Pesisiran. Semarang: Penerbit Bendera. ________________. 2007. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang: Fasindo. ________________. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang: Fasindo. ________________. 2019. Etnografi Ideasional (Suatu Metodologi Penelitian Kebudayaan). Nusa: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 14(2), hlm. 194-205. Thomas Burger. 1977. "Social Systems and the Evolution of Action Theory. By Talcott Parsons. New York: Social Forces, vol. 57, no. 1, hlm. 308-310. Teubner, Gunther. 1990. "How the Law Thinks: Toward a Constructivist Epistemology of Law." In Selforganization. European University Institute, Florence: Springer, Dordrecht. Turiman. 2015. "Metode Semiotika Hukum Jacques Derrida Membongkar Gambar Lambang Negara Indonesia." Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 45, no. 2, hlm. 308-338.



137



Van Doorn-Harder, N., & de Jong, K. (2001). The pilgrimage to Tembayat: Tradition and revival in Indonesian Islam. The Muslim World, 91(3/4), 325. Wahid, Abdurrahman. 2007. Islam Kosmopolitan. Jakarta: The Wahid Institute. Walsh, R. N., & Vaughan, F. 1980. Beyond the ego. UC Irvine Previously Published Works. Journal of Humanistic Psychology, vol. 20, hlm. 5-30. Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiolgis. Semarang: Suyandaru Persada. Warassih, Esmi. 2016. Monograf Ilmu Hukum. Yogyakarta: Deepublish. Wayan Nurkencana & P.P.N. Sunarta. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Walcott, B. L., M. J. Corless, and S. H. Żak. 1987. "Comparative Study of Non-Linear StateObservation Techniques." International Journal of Control 45.6, hlm. 2109-2132. William Chittick. 2010. The Sufi Path of Knowledge: Ibn alArabi's Metaphysics of Imagination. New York: State University of New York Press. Wora, E. 2006. Perenialisme: Kritik atas Modernisme & Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius.



138



Yusriyadi. 2009. Tebaran Pemikiran Kritis Hukum & Masyarakat. Malang; Surya Pena Gemilang Publishing. Yusriyadi, Y. 2011. Polisi dan Aspek Penegak Hukum Secara Sosiologis. Jurnal Hukum Progresif, 4(1), hlm. 78-95. Yusriyadi, Y. 2020. Ilmu Hukum Dogmatik dan Teoretik Serta Problem Penegakan Hukum. Semarang: UNDIP Press. Zamili, M. 2015. Menghindar dari Bias: Praktik Triangulasi dan Kesahihan Riset Kualitatif. Lisan al-Hal: Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan. 9(2), hlm. 283-304.



139



140



CONTOH PENELITIAN YURIDIS SOSIOLOGIS Berikut ini penulis sajikan sebuah artikel hasil penelitian yang menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Artikel ini telah diterbitkan pada Jurnal Penelitian yang dikelola oleh IAIN Pekalongan edisi volume 17 no 1. Jurnal tersebut telah terakreditasi nasional (SINTA 2).



Pesantren dan Takzir Di Indonesia: Perspektif Sistem Hukum Lawrence Friedman Muhammad Chairul Huda IAIN Salatiga [email protected] Sukirno Sukirno Universitas Diponegoro Semarang [email protected] Sukron Ma’mun Western Sydney University Austalia [email protected] Abstrak Artikel ini menjelaskan tentang sistem hukum yang terdapat di pesantren khususnya dalam hal takzir yang sering dipersepsi sebagai hukuman yang tidak manusiawi dan betentangan dengan hak asasi manusia (human rights). Setting social penelitian ini di Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM) Salatiga yang memiliki karakter inklusif dan toleran. PPEM adalah Pondok Pesantren yang fokus terhadap moderasi beragama. PPEM telah memiliki alumni yang



141



menjadi tokoh-tokoh nasional. Kajian ini menggunakan teori sistem hukum dari Lawrence Friedman yang mensyararatkan bekerjanya hukum dalam tiga komponen, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data diperoleh dari field work study dengan teknik depth interview dan analisis deskriptif interpretatif. Hasil dari penelitian ini adalah; pertama, Pondok Pesantren Edi Mancoro memiliki komponen sistem hukum seperti yang disyaratkan Friedman. Kedua, terdapat pergeseran metode penerapan takzir (hukuman) bagi santri yang terbukti indisipliner atau melakukan tindak pidana. Ketiga, takzir berkontribusi membentuk kepribadian (akhlak) bagi santri dalam menempuh kehidupan pasca di pesantren. Takzir sesungguhnya memiliki nilai-nilai edukatif dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Jadi, takzir di pesantren memenuhi segala komponen dari sistem hukum yang diungkapkan Friedman. Dari tiga komponen tersebut, budaya hukum menjadi komponen utama dalam berjalannya takzir di pesantren baik budaya hukum internal maupun budaya hukum eksternal. Kata Kunci: Edi Mancoro, Lawrence Friedman, Legal System, Pesantren, Takzir. PENDAHULUAN Pondok pesantren adalah sebuah institusi pendidikan Islam yang unik dan tersebar di seluruh penjuru wilayah Nusantara (Zuhriy, 2011: 287-310; Gamal Abdul Nasir Zakaria, 2010: 45-52). Keberadaannya diyakini menjadi lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah dakwah Islam di Indonesia (Srimulyani, 2007: 85-99). Pondok pesantren memiliki andil dalam sejarah kenegaraan Indonesia sejak



142



masa pra kolonial, masa perjuangan melawan kolonial hingga era kemerdekaan (Dhofier, 2019: 170). Saat ini, pondok pesantren tetap eksis di tengah arus pendidikan modern yang dinilai lebih maju dan memiliki proyeksi menjanjikan bagi masa depan peserta didiknya (Rustam Ibrahim, 2014: 253-263). Pondok pesantren kerap kali mendapatkan stigma tradisionalis, ketinggalan jaman dan anti modernitas, bahkan muncul tuduhan sebagai sarang teroris dan paham radikalisme (Lukens-Bull, 2008: 1-15). Hal ini menambah persepsi negatif terhadap pesantren. Tuduhan ini dilabelkan kepada pesantren akibat beberapa oknum santri pondok pesantren yang terlibat aksi terorisme. Padahal hal ini tidak sepenuhnya benar (Woodward, Rohmaniyah, Amin, & Coleman, 2010: 28-50; Phol, 2006: 389-409). Kasus tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat justifikasi dan generalisasi kepada seluruh pondok pesantren yang ada di Indonesia (Hamdi, Carnegie, & Smith, 2015: 692-710). Stigma negatif dialamatkan pula dalam proses metode pendidikan pesantren, baik dalam proses pembelajaran maupun kehidupan keseharian para santri. Sebut saja misalnya metode pembelajaran yang tidak interaktif dan santri (sebutan untuk peserta didik) hanya menjadi “pendengar yang baik”. Santri dianggap hanya menerima doktrin dari para kyai, ustadz atau pengajar pesantren lainnya tanpa ruang berfikir secara kritis. Hal inilah yang oleh sebagain orang dinilai menjadikan kaum santri sebagai kaum yang “taqlid buta” (Lukens-Bull, 2010: 1-24) dan perlu dilakukan transformasi dalam metode pendidikannya (Suradi, 2018: 27-38). Pendidikan dalam pesantren (khususnya pesantren salaf) terdapat sanksi atau hukuman yang dikenal dengan



143



konsep takzir (Amri, Tahir, & Ahmad, 2017: 125-132). Takzir ini juga memiliki stigma negatif. Hukuman (takzir) atas santri yang indisipliner atau melakukan pelanggaran peraturan dinilai tidak manusiawi. Banyak pesantren tercatat menerapkan takzir (punishment) bagi para santrinya dengan membersihkan bak mandi, toilet, selokan, diguyur dengan air comberan, dipotong rambutnya hingga gundul, dipermalukan dengan diarak keliling pesantren dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi kritik para pengamat pendidikan bahwa hukuman (takzir) tersebut dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM) (M. A. Ma’arif, 2017: 1-20). Berangkat dari prasangka-prasangka tersebut penelitian ini penting untuk mengklarifikasi, memberi pandangan lain dan memahami (verstehen) takzir yang terjadi di pesantren. Penelitian ini memfokuskan studi pada tindakan takzir di Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM) yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. PPEM dipilih karena pesantren tersebut memiliki kekhasan sebagai pesantren mahasiswa dan masih menerapkan takzir kepada santrinya yang terbukti melakukan tindakan indispliner atau pidana (jarimah). Hal unik lainnya bahwa PPEM adalah pesantren yang dikenal inklusif, toleran (Masroer, 2018: 124) dan berfokus dalam moderasi beragama (S. Ma’arif, 2014: 198-209) namun menerapkan takzir, selain itu PPEM telah memiliki alumni yang menjadi tokoh-tokoh nasional. Takzir secara etimologi berarti mencegah atau menolak (Hamid, Mohamed, Pauzai, & Syed Nong, 2015: 27-38). Secara umum dapat didefinisikan sebagai hukuman atas tindak pidana atau jarimah (Santoso, 2012: 123-148; Huda & Ispriyarso, 2019: 147-167). Istilah takzir dalam dunia pesantren dimaknai sebagai metode pendidikan



144



berupa hukuman bagi santri yang melanggar tata tertib atau peraturan yang terdapat dalam sebuah pesantren. Secara umum bentuk hukumannya ditetapkan oleh pengasuh, pengurus atau waliyul amri (legal structure) yang terdapat di pesantren (Widayatullah, 1907: 66-77). Penelitian tentang takzir pada pondok pesantren telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Arifin dan Zaini (2017: 812823), Hamid et al (2015: 27-38), Amri et al (2017: 125-132). Pembeda dalam penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penggunaan perspektif ilmu hukum dengan mengacu pada teori sistem hukum dari Lawrence Friedman yang mensyaratkan bekerjanya hukum dalam komunitas masyarakat dengan adanya komponen legal structure (struktur hukum), legal substance (substansi hukum) dan legal culture (budaya hukum). Jadi posisi penelitian ini mengacu pada teori sistem hukum dari Friedman untuk melihat efektifitas bekerjanya hukum dan hal-hal penting apa yang dilakukan dalam membangun sistem hukum di pondok pesantren khususnya dalam penerapan takzir. Rumusan masalah (research problems) dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana sistem hukum di PPEM? kedua, bagaimana penerapan takzir-nya, dan ketiga, bagaimana manfaat takzir bagi para santri? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan melakukan field work research dengan melakukan observasi, depth interviews dan teknik analisis deskriptif interpretatif. Informan dalam penelitian ini adalah Muhammad Hanif (Gus Hanif, 35 tahun) sebagai pengasuh PPEM, Ahmad Sukri (23 tahun) sebagai lurah pondok, Andi Saputra (21 tahun) sebagai santri sekaligus koordinator biro keamanan PPEM, Damar Safera (21 tahun), Mawadah Ani Fitria (23 tahun), Zulfa Rofiah (22 tahun), ketiganya adalah satri putri



145



PPEM yang pernah dijatuhi hukuman takzir, dan Moh Hafidz (42 tahun) santri PPEM pada tahun 1991-2002. PEMBAHASAN Sejarah dan Gambaran Umum Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM) Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM) terletak di sebelah barat daya Kota Salatiga. Secara administratif PPEM masuk dalam wilayah Dusun Bandungan Desa Gedangan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang. PPEM didirikan oleh Mahfud Ridwan pada tahun 1984 (Zuhdi, 2019: 39) dan memiliki afiliasi ideologi dengan Nahdlatul Ulama (NU) (Hanif, 2020). Oleh karena PPEM memiliki afiliasi dengan NU, maka menganut faham keagamaan ahlussunnah wal jamaah dengan kajian-kajian kitab Islam klasik atau turats sebagai rujukan keilmuwannya (Huda, Yusriyadi, & Thohir, 2020: 1579-1595). Mahfud Ridwan adalah seorang kyai yang berasal dari Desa Pulutan Kota Salatiga, Jawa Tengah. Lahir pada tahun 1941, Mahfud memiliki latar belakang pendidikan keIslam-an sejak usia dini. Orang tuanya merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Salatiga. Jenjang pendidikan menengah Mahfud, pernah nyantri (menimba ilmu) dari Syeh Yasin di Kota Mekah Arab Saudi kemudian melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Bagdad University. Pada saat di Bagdad inilah Mahfud menjadi sahabat karib Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mustofa Bisri (Gus Mus). Sepulang dari Bagdad pada Tahun 1970, Mahfud memper-istri seorang perempuan bernama Nafisah, putra Muhammad Soleh seorang kyai yang bertempat tinggal di Dusun Bandungan, Desa Gedangan Kabupaten Semarang.



146



Di Desa Gedangan inilah kemudian Mahfud merintis terbentuknya PPEM (Hanif, 2020). Mahfud Ridwan awalnya mendirikan sebuah bangunan di dekat rumahnya yang diperuntukkan sebagai ruang diskusi dan pendidikan latihan (diklat) bagi para koleganya. Kolega Mahfud Ridwan yang sering melakukan diskusi tersebut dari berbagai kalangan, baik akademisi, politisi, akitifis lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun para mahasiswa. Mahasiswa yang sering terlibat dalam diskusi dan pelatihan di Gedangan adalah mahasiswa dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Kolega Mahfud dalam diskusi-diskusi tersebut di antaranya Matori Abdul Djalil yang dalam perjalanan sejarahnya kemudian menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia di era pemerintahan Gus Dur (Hanif, 2020). Komunitas diskusi tersebut kemudian bertransformasi menjadi Yayasan Desaku Maju (YDM) dan secara resmi didirikan pada tanggal 26 Desember 1989. YDM inilah yang menjadi embrio dari berdirinya PPEM (Hanif, 2020). Sejak resmi berdiri pada tahun 1984, PPEM mengalami perkembangan. Santri yang mengikuti pengajianpengajian Mahfud dikategorikan menjadi dua, yakni santri yang tinggal menetap di pondok (disebut sebagai santri mukim) dan santri yang mengikuti kajian, tetapi tidak mukim di pondok. Santri yang tidak mukim (menetap) di pondok ini disebut sebagai santri kalong. Mahfud selain sebagai kyai di PPEM juga menjadi dosen di IAIN Salatiga serta pernah menjabat sebagai rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta. Persinggungannya dengan mahasiswa ini menjadikan PPEM sebagai pondok pesantren yang mayoritas santrinya berlatar belakang mahasiswa.



147



Tercatat beberapa nama pernah menjadi santri di PPEM yang saat ini telah menjadi tokoh lokal maupun nasional, di antaranya adalah Miftahuddin yang pernah menjabat sebagai Wakil Rektor 2 IAIN Salatiga, Ahmad Bahrudin yang saat ini aktif menjadi direktur Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah Salatiga (Shofwan & Kuntoro, 2014: 50-62), dan Muhammad Hanif Dhakiri yang pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja RI tahun 2014-2019 (Wardiah & Subandi, 2018: 195-205; Hanif, 2020). Interaksi dengan berbagai kalangan inilah yang membentuk karakter PPEM menjadi pesantren yang moderat. Gerakan toleransi dan moderasi beragama yang dilakukan oleh PPEM diantaranya adalah menjadi koordinator Pesantren for Peace dan koordinator Forum Agamawan Muda Lintas Iman (KITA FAMILI). PPEM juga pernah menerima tamu live in dari berbagai agama yang ingin mempelajari tentang pendidikan Islam di pesantren, di antaranya dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Fakultas Teologi UKSW Salatiga (Hanif, 2020). Dalam hal sarana prasarana, PPEM saat ini memiliki lahan seluas 3500 meter persegi yang telah memiliki akta ikrar wakaf (Hanif, 2020). PPEM saat ini telah memiliki unit lembaga yang berada di bawahnya, yaitu; Taman KananKanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Madrosatul Qur’an, Koperasi Santri, Lembaga Amil Zakat Infak Sedekah dan Wakaf, Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (Hanif, 2020). Mahfud Ridwan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 2017 dan dimakamkan di komplek PPEM. Sejak saat itu kepemimpinan pengasuhan PPEM diteruskan oleh putra keempatnya yang bernama Muhammad Hanif atau yang sering dipanggil Gus Hanif (Sukri, 2020). Moh Hafidz mengatakan:



148



“…. selama lebih dari sepuluh tahun (1991-2002) saya menjadi santri Kyai Mahfud, beliau tidak pernah sekalipun memarahi santri. Termasuk jika ada santri yang melakukan pelanggaran beliau tidak pernah memarahinya. Bahkan untuk pelanggaran santri yang sifatnya berat sekalipun beliau tidak pernah marah apalagi mengeluarkan santri dari pondok. Beliau menghukum santri dengan menyanyagi santri, bukan dengan menghukum secara fisik atau mengeluarkan dari pondok. Itulah uniknya Kyai Mahfud.” (Hafidz, 2020). Pondok Pesantren Edi Mancoro (PPEM) telah berumur 35 tahun. Pada era pengasuhan Mahfud tidak terdapat takzir kepada santri karena mengedepankan pendekatan humanis. Pendekatan humanistik dalam pendidikan dengan memberikan perhatian dan kasih sayang lebih kepada siswa/santri yang melakukan pelanggaran, bukan dengan memberikan hukuman (O’Banion, 1978: 2127) dalam hal ini berupa takzir atau mengeluarkan dari pesantren. Dalam perjalanannya terdapat dinamika dalam hal takzir karena perkembangan situasi demi terlaksananya program-program kegiatan pesantren. Hal ini menandakan bahwa terdapat pergeseran metode takzir pada masa pengasuhan di bawah Mahfud Ridwan dengan pengasuhan di bawah Muhammad Hanif. Saat ini, dibawah pengasuhan Hanif, PPEM memiliki santri mukim sebanyak 321 orang (Sukri, 2020). Banyaknya jumlah santri tersebut memerlukan penanganan yang berbeda dibanding ketika pada masa Mahfud Ridwan.



149



Gambar. 1



Gambar. 2



Makam KH. Mahfud Ridwan



Komplek PPEM



Gambar. 3 Asrama putri PPEM



Sistem Hukum di PPEM Santri PPEM memiliki kewajiban untuk melaksanakan ngaji (kajian-kajian) dan program-program yang telah ditentukan oleh pengasuh dan pengurus. Damar Safera mengatakan: “… kalau di Edi Mancoro ini semua santri wajib mengikuti sholat jamaah subuh di masjid (berada di komplek pondok), setelah jamaah kemudian para santri ngaji Tafsir Jalalain (Hari Selasa-Kamis) atau ngaji AlQur’an (Hari Sabtu-Senin), untuk hari Jumat ba’da sholat subuh santri ngaji sendiri di kamar masing-masing atau di makam Kyai Mahfud. Setelahnya free karena santri banyak yang kuliah juga. Ba’da ashar sampe menjelang maghrib ngaji kitab kuning (Riyadus Sholihin). Setelahnya sholat maghrib berjamaah di masjid. Habis itu ngaji Al-Qur’an sampe isyak. Ba’da isyak ngaji kitab lagi sampai jam 9 malam.” (Safera, 2020) PPEM adalah sebuah komunitas kecil masyarakat yang melakukan aktivitas keseharian dan masing-masing santri memiliki berbagai kebutuhan. Mengacu pada buku “Memahami Kebudayaan” karya Mudjahirin Thohir, bahwa



150



manusia memiliki kebutuhan untuk ke-adab-an dalam rangka menjaga keteraturan dan ketertiban dalam sebuah konstruksi masyarakat (Thohir, 2007: 4). Kebutuhan akan ke-adab-an ini memerlukan sebuah sistem hukum termasuk pada komunitas pondok pesantren. Mengelola kehidupan keseharian santri yang berjumlah ratusan tentu membutuhkan hukum dan aturan-aturan agar tercipta ketertiban, kedisiplinan dan ke-adab-an, selain ditujukan untuk berjalannya sistem pendidikan secara baik. Ketiadaan hukum atau peraturan dalam komunitas pesantren akan membuat kehidupan di pesantren menjadi carut-marut dan rentan terhadap berbagai pelanggaran serta ketidak-tertiban. Ketiadaan hukum akan membuat sistem dimasyarakat menjadi bellum omnium contra omnes sesuai yang dikatakan Thomas Hobbes (Schmitt, Schwab, & Strong, 2008: 31), dimana orang akan terpacu untuk mengikuti apa yang menjadi syahwat dan egoismenya. Oleh karenanya Hobbes menegaskan bahwa fungsi utama hukum sebagai tatanan keamanan dan ketertiban (Tanya, 2013: 61). Hukum adalah salah satu aspek penting yang ada di masyarakat demi ketertiban dan keadilan, dalam hal ini pada komunitas pesantren. Hukum juga berfungsi sebagai penjaga tata aturan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Hukum merupakan salah satu kaedah yang hidup di tengah masyarakat selain terdapat pula kaedah agama, kaedah kesusilaan dan kaedah kesopanan. Kaedah hukum merupakan ketentuan serta pedoman tentang sesuatu yang seharusnya dilakukan dan yang seharusnya tidak dilakukan serta memiliki sifat memaksa berdasarkan legalitas dari pemilik otoritas pembuat hukum (Mertokusumo, 2005: 1516). Komunitas masyarakat termasuk pesantren dalam membentuk hukum tentu memiliki sasaran yang ingin



151



dicapai. Tidak ada satupun peraturan hukum dibuat tanpa memiliki tujuan. Esmi Warassih dengan mengutip Gustav Radbruch memadukan tiga teori tujuan hukum (teori prioritas baku). Tujuan hukum yaitu; pertama, mewujudkan keadilan (justice); kedua, mewujudkan kemanfaatan (Utility); ketiga, mewujudkan kepastian hukum (legal certainty) (Warassih, 2005: 24-25). Komunitas pondok pesantren dalam rangka melaksanakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum memerlukan sistem hukum yang diberlakukan. Lawrence Friedman mensyaratkan adanya sistem hukum dalam tiga komponen bagi bekerjanya hukum dalam komunitas masyarakat, yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture (Friedman, 2018: 15-18; fr Arif, 2017: 63-64). Struktur Hukum (legal structure) di PPEM Pengasuh PPEM adalah pimpinan tertinggi sekaligus penanggung jawab dari seluruh aktivitas kepesantrenan (Sukri, 2020). Pengurus pondok berkonsultasi dan melaporkan kegiatan-kegiatan pesantren kepada pengasuh secara periodik paling lama satu kali dalam satu bulan, kecuali dalam hal-hal krusial dapat berkonsultasi atau melaporkan kepada pengasuh secara lebih intens. Struktur di bawahnya adalah pengurus PPEM yang terdiri dari ketua pengurus atau disebut sebagai “lurah pondok”. Tugas lurah pondok adalah menjadi manager dan koordinator pelaksana dalam seluruh kegiatan kepesantrenan (Sukri, 2020). Kerja lurah pondok dibantu oleh sekretaris pondok yang membantu dalam hal administratif, bendahara dalam hal pengelolaan keuangan dan biro-biro dalam bidang masingmasing. (Saputra, 2020; Sukri, 2020). Pengasuh dan pengurus memiliki otoritas yang besar dalam kebijakankebijakan berjalannya pesantren.



152



Pembentukan kepengurusan di level santri ini memberikan manfaat kepada para santri senior dalam belajar pembuatan peraturan (legal drafting), belajar bertanggung jawab, belajar disiplin diri dan mendisiplinkan orang lain, serta belajar untuk berlaku adil kepada setiap santri tanpa membeda-bedakan. Dalam hal ini pengurus diwajibkan memberlakukan asas equality before the law (Winter, 2015: 741756). Pengurus dilarang melakukan perbuatan tidak adil dalam menjatuhkan hukuman takzir karena faktor kebencian atau ketidak-sukaan kepada santri yang kebetulan melakukan pelanggaran hukum. Hukum memerlukan otoritas yang memproduksi undang-undang atau aturan-aturan yang akan diterapkan dalam sebuah komunitas masyarakat (Friedman, 2018: 15). Dalam konteks PPEM, struktur hukum yang bertugas memproduksi aturan-aturan adalah santri-santri senior baik putra maupun putri yang dipilih dan terpilih menjadi pengurus. Kerja-kerja kepengurusan bertugas membuat aturan-aturan yang akan diterapkan dan berlaku bagi seluruh santri PPEM. Aturan-aturan hukum yang telah dibuat dan menjadi kesepakatan pengurus kemudian diajukan kepada pengasuh PPEM untuk disahkan. Pengesahan aturan ini dapat diterjemahkan sebagai bentuk asas legalitas dalam hukum, yang memuat kepastian hukum atau yang sering disebut sebagai azas legalitas hukum (Braithwaite, 2002: 4782). Jadi, unsur legal structure terpenuhi oleh PPEM yang memiliki otoritas merangcang, menyusun, membuat dan mengesahkan peraturan untuk dipatuhi semua anggota komunitas masyarakat pesantren. Pengesahan atas aturan itulah yang lantas termuat dalam substansi hukum.



153



Substansi Hukum (legal substance) di PPEM Substansi hukum dapat diartikan bahwa diperlukan produk aturan yang berisi kebolehan atau ketidak-bolehan melakukan sesuatu bagi komunitas masyarakat (Friedman, 2018), dalam hal ini di PPEM. Peraturan tersebut memuat kewajiban santri, hal-hal yang menjadi larangan dan prosedur perizinan bagi santri yang meninggalkan kegiatankegiatan di PPEM. Kewajiban yang ditetapkan bagi santri adalah mengikuti kajian dan kegiatan sesuai jadwal yang ditetapkan, melaksanakan sholat subuh dan maghrib secara berjamaah di masjid, ziarah ke makam masyayih pada setiap hari Jum’at, menjaga nama baik PPEM, menjaga ketertiban dan kebersihan pesantren serta bermasyarakat dengan baik (Saputra, 2020). Larangan yang terdapat dalam peraturan adalah setiap santri dilarang merusak fasilitas PPEM, melakukan pencurian atau ghosob (meminjam tanpa ijin), berpacaran, mencuci pakaian didalam kamar mandi pondok, membawa motor bagi yang belum genap dua tahun mukim di PPEM. Larangan yang lain adalah membuat gaduh, membuat resah warga seperti mandi, tidur ataupun menitipkan motor di rumah warga sekitar PPEM, merokok bagi santri putra yang berumur dibawah 18 tahun dan mencuci motor dengan menggunakan air fasilitas pondok. Meskipun terdapat berbagai larangan yang termaktub dalam aturan tertulis, namun masih bersifat sederhana dan tidak sistematis seperti halnya dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah daerah (Perda) ataupun undang-undang produk negara. Tidak terdapat pula pengkategorian antara hukum privat maupun hukum publik. Dalam peraturan yang dibuat juga tidak memuat bentuk hukuman bagi santri yang dinyatakan indisipliner atau melanggar peraturan seperti



154



yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setiap tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh santri akan dimusyawarahkan dalam rapat pengurus untuk menentukan proses pembuktian dan bentuk takzir. Bentuk takzir di PPEM yang telah diterapkan di antaranya adalah membaca al-Qur’an di makam (Saputra, 2020), membaca dziba’ di depan rumah pengasuh pada jam 24.00 WIB (Fitria, 2020), pemotongan izin jatah liburan, membersihkan lingkungan PPEM (Rofiah, 2020), dikenakan denda dengan membeli buku untuk diinfakkan di perpustakaan PPEM (Safera, 2020), “dipajang” di depan santri putra-putri ketika pengajian dengan tulisan “saya mbedal” pada selembar kertas yang dipasang di dada, sehingga membuat malu dan santri diharapkan tidak mengulangi kembali (Fitria, 2020). Dari sini dapat dilihat bahwa hukuman yang diterapkan mengandung nilai-nilai edukasi bagi santri. Hukuman takzir-nya juga disesuaikan dengan kadar berat atau ringannya pelanggaran yang dilakukan. Bentuk takzir di PPEM disesuaikan dengan tingkat berat-ringannya pelanggaran dan seberapa sering santri melakukannya, dalam bahasa hukum pidana disebut sebagai residivis. Sementara bagi yang dijatuhi takzir tetapi tidak dilaksanakan maka hukumanya akan ditambah. Santri yang telah berkali-kali melakukan pelanggaran dapat diberikan teguran, dan jika tidak indahkan akan dikeluarkan (Saputra, 2020). Pelanggaran yang dilakukan oleh santri tidak pernah diteruskan oleh pengurus kepada aparat hukum negara baik kepolisian maupun kejaksaan. Hal ini karena takzir dalam pesantren lebih bersifat persuasif dan mengandung nilai-nilai edukatif (Zalidj, 2011). Peraturan yang terdapat di PPEM secara menyeluruh mengakomodir kebutuhan santri dan



155



tetap dalam kerangka ketertiban, keamanan dan efektivitas pembelajaran di PPEM. Hal inilah yang oleh Von Savigny disebut sebagai volkgeist (Rai, 2012: 1-8), bahwa hukum harus disesuaikan dengan jiwa masyarakat sebagai subjek hukum. Hal senada dikatakan Satjipto Rahardjo (2009: 68), bahwa hukum untuk manusia (masyarakat), bukan hukum untuk hukum itu sendiri. Budaya Hukum (legal culture) di PPEM Hukum harus ditaati dan dilaksanakan, artinya hukum atau aturan yang telah dibuat dan ditetapkan menjadi sebuah budaya (culture) komunitas masyarakat (Friedman, 2018: 15). Meskipun aturan yang tertulis dalam legal substance di PPEM bersifat sederhana, tetapi cukup jarang santri yang melakukan pelanggaran (Saputra, 2020). Hal ini mengindikasikan bahwa hukum dapat bekerja secara efektif pada komunitas pesantren. Dalam budaya hukum ini Friedman membagi menjadi dua, yaitu budaya hukum internal (aparat) dan budaya hukum eksternal (masyarakat) (Friedman, 1975: 15). Pertama, budaya hukum internal (aparat), dalam hal ini pengurus PPEM memiliki kewajiban untuk mentaati seluruh peraturan. Santri senior dituntut menjadi contoh perilaku yang baik (uswah) bagi santri lain (Alam, 2016: 124131). Tidak ada toleransi bagi pengurus kecuali telah mendapat ijin langsung dari pengasuh. Aparat pengurus di PPEM adalah santri senior yang dipilih karena kapasitas dan kredibilatas yang telah teruji selama menjadi santri di PPEM (Safera, 2020). Aparat pengurus yang melakukan tindakan indisipliner akan dimusyawarahkan di internal pengurus dan kemudian dilakukan teguran pertama berupa lisan, jika masih diulangi maka aka ada teguran kedua secara tertulis.



156



Jika masih melakukan pelanggaran yang ketiga, maka pengurus akan mengkonsultasikan kepada pengasuh untuk kemudian ditetapkan bentuk hukumannya atau dikeluarkan dari PPEM (Saputra, 2020). Pelanggaran yang dilakukan oleh anggota pengurus akan dijatuhi hukuman takzir yang lebih berat, dengan alasan bahwa pengurus seharusnya menjadi contoh yang baik bagi santri-santri yang lain, bukan justru memberikan contoh sebaliknya (Sukri, 2020). Oleh karenanya budaya hukum internal menjadi perhatian penting di PPEM. Kedua, budaya hukum eksternal dalam hal ini masyarakat santri di PPEM memiliki motivasi untuk mematuhi peraturan-peraturan yang ditentukan oleh pengurus. Santri yang di takzir akan merasa malu dengan santri lain. Ani Ftria mengatakan: “… selama menjadi santri di sini saya pernah mendapatkan hukuman takzir. Takzir itu saya terima sekitar bulan September 2019, itu karena saya ijin pulang tapi tidak menggunakan surat. Jadi dari pengurus perbuatan tersebut disamakan dengan kabur dari pondok (mbedal). Sebernarnya saya ditakzir tidak sendirian melainkan dengan banyak teman, tapi dalam pelaksanaannya harus dilakukan sendirian. Saya di takzir membaca 1 juz di halaman pondok tepat jam 12 malam. Tidak begitu seram sih, tapi malu banget karena jam segitu pasti ada santri putra yang piket jaga malam”. (Fitria, 2020). Budaya hukum santri dalam mematuhi peraturan karena semangat santri dalam tabarukan dan tholabul ilmi di PPEM. Pada Proses pendaftaran menjadi santri di PPEM, orangtua calon santri diwajibkan bertemu pengasuh dan “memasrahkan” anaknya untuk mendapatkan pendidikan agama di PPEM. Proses ini dapat dimaknai bahwa selama di



157



pesantren, orangtua anak (santri) tersebut adalah pengasuh PPEM, oleh karena pengasuh dianggap sebagai orangtua, maka apapun kebijakan pengasuh harus dipatuhi oleh santri. Termasuk jika santri melanggar, maka santri harus menerima takzir atas tindakannya yang melanggar ketentuan/hukum pesantren. Ani Fitria mengatakan: “Menurut saya takzir harus tetap ada karena dengan adanya takzir santri/santriwati akan lebih berhati-hati dalam melangkah, dengan adanya takzir bisa untuk melatih kedisiplinan juga mental. Selama takzir itu masih sesuai dengan apa yang kita perbuat artinya setimpal maka bagi saya sah-sah saja. Menurut saya takzir bermanfaat bagi santri.” (Fitria, 2020) Pelajaran dasar di PPEM bagi santri baru (dan mayoritas pesantren lain) adalah kajian kitab adab al-ta’lim wa al-muta’alim, yaitu kitab turats yang menjelaskan tata cara santri dalam proses mencari ilmu (tholabul ilmi) (Susanto, 2011). Adab santri dalam mencari ilmu dalam kitab tersebut memuat enam syarat dalam mencari ilmu, yaitu; dhukain wa khirsin wa istibarin wa bulghotin wa irsyadi ustadzi wa tuuli zamaani, bahwa mencari ilmu itu harus cerdas, rajin, ketekunan yang kuat, sabar, memiliki biaya yang cukup, bimbingan guru dan waktu yang relatatif lama (Hidayah, 2019: 1-15). Jadi dalam pemahaman santri, apapun keputusan dari pengurus dan pengasuh berkenaan pelanggaran yang diperbuat merupakan bagain dari proses pembelajaran. Takzir juga dipahami sebagai bentuk ke-ta’dzim-an kepada pengasuh dan kesadaran pentingnya proses dalam menuntut ilmu. Hal ini menjadikan takzir sebagai hukuman yang dirasa adil dan memberikan kemanfaatan kepada santri baik selama di pesantren maupun kelak ketika hidup ditengah



158



masyarakat. Dengan demikian, budaya hukum di pesantren adalah budaya hukum dalam rangka proses menuntut ilmu bagi santri baik dalam hal keilmuwan, kedisiplinan maupun belajar menaati hukum yang telah berlaku dan diberlakukan, karena sejatinya hukum itu memberikan kemanfaatan (utilitas) bagi santri. KESIMPULAN Takzir dapat diterapkan dalam sebuah komunitas pesantren dengan disesuaikan kondisi masing-masing pesantren. Metode dan implementasi takzir pada satu pesantren dengan pesantren lain bisa jadi terdapat perbedaan. Takzir merupakan bentuk budaya hukum yang sesuai dan disesuikan jiwa (volkgeist) dan budaya hukum komunitas masyarakat pesantren. Metode takzir di PPEM mengalami pergeseran semenjak di bawah pengasuhan Kyai Mahfud Ridwan kemudian beralih di bawah pengsuhan Gus Hanif. Pada era Kyai Mahfud Ridwan dilakukan dengan pendekatan humanis dan kasih sayang, sementara di era Gus Hanif takzir diterapkan dengan tegas sebagai bentuk pembelajaran kepada santri. Hal penting lain bahwa takzir berkontribusi membentuk kepribadian (akhlak), kedisiplinan dan kehati-hatian bagi santri dalam betindak, sehingga akan memberikan manfaat bagi kehidupan pasca di pesantren. Takzir sesungguhnya memiliki nilai-nilai edukatif dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). PPEM memiliki komponen sistem hukum seperti yang disyaratkan Friedman yakni legal structure, legal substance dan legal culture meski masih sederhana dan tidak sistematis seperti dalam peraturan hukum negara. Jadi, takzir di pesantren memenuhi segala komponen dari sistem hukum yang diungkapkan Friedman. Dari tiga komponen tersebut,



159



budaya hukum menjadi komponen utama dalam berjalannya takzir di pesantren baik budaya hukum internal maupun budaya hukum eksternal. DAFTAR PUSTAKA Alam, N. A. R. (2016). Caring for the Excellence of Pesantren; the Contribution of Islamic Education Curriculum in Globalization. International Advisory Board, 124–131. Amri, M., Tahir, S. Z. A. Bin, & Ahmad, S. (2017). The Implementation of Islamic Teaching in Multiculturalism Society: A Case Study at Pesantren Schools in Indonesia. Asian Social Science, 13(6), 125. https://doi.org/10.5539/ass.v13n6p125 Arifin, S., & Zaini, A. (2017). Takzir dalam Pendidikan Pesantren Kajian Teknik Pengubahan Tingkah Laku Perspektif Konseling. In Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, (2), 812–823. Braithwaite, J. (2002). Rules_and_Principles2002.pdf. Austl. J. Leg. Phil., 27, 47–82. Dhofier, Z. (2019). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (X). Jakarta: LP3ES. Fitria, M. A. (2020). Interiew. February, 12, Pondok Pesantren Edi Mancoro. Friedman, L. (1975). The Legal System; Social Science Perspective. New York: Russle Sage Foundation.



160



Friedman, L. (2018). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (terj; M. Khozim, Ed.). Bandung: Nusa Media. Gamal Abdul Nasir Zakaria. (2010). Pondok Pesantren : Changes and Its Future. Journal of Islamaic and Arabic Education, 2(2), 45–52. Hafidz, M. (2020). Interview. February, 14 Salatiga. Hamdi, S., Carnegie, P. J., & Smith, B. J. (2015). The recovery of a non-violent identity for an Islamist pesantren in an age of terror. Australian Journal of International Affairs, 69(6), 692–710. https://doi.org/10.1080/10357718.2015.1058339 Hamid, N. A., Mohamed, A. M. T., Pauzai, N. A., & Syed Nong, S. N. A. (2015). Takzir offences and youth offenders : A critical appraisal of the syariah criminal offences (Takzir) (Terengganu) enactment 2001. Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities, 23(SpecialIssue11), 27–38. Hanif, M. (2020). Interview. February, 10 Pondok Pesantren Edi Mancoro. Hidayah, U. (2019). Optimalisasi Pendidikan Islam Postmodren Dalam Pendekatan Kitab Klasik Alala. Al-Muaddib Jurnal Kajian Ilmu Pendidikan, 1(1). Retrieved from http://jurnal.staimprobolinggo.ac.id/index.php/Muaddib/article/view /1-15/pdf Huda, M. C., & Ispriyarso, B. (2019). Contribution of islamic law in the discretionary scheme that has Implications for



161



corruption. 19(2), 147–167. https://doi.org/10.18326/ijtihad.v19i2.147-167 Huda, M. C., Yusriyadi, Y., & Thohir, M. (2020). Perspectives and movement of Nadlatul Ulama (NU) in counter-terrorism. International Journal of Psychosocial Rehabilitation, 24(2), 1579–1595. https://doi.org/10.37200/IJPR/V24I2/PR200462 Lukens-Bull, R. (2008). The traditions of pluralism, accommodation, and anti-radicalism in the pesantren community. Journal of Indonesian Islam, 2(1), 1–15. https://doi.org/10.15642/JIIS.2008.2.1.1-15 Lukens-Bull, R. (2010). “Madrasa By Any Other Name: Pondok, Pesantren, and Islamic Schools in Southeast Asia. Journal of Indonesian Islam. Ma’arif, M. A. (2017). Hukuman (Punishment) dalam Perspektif Pendidikan di Pesantren. Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 5(1), 1–20. https://doi.org/10.21274/taalum.2017.5.1.1-20 Ma’arif, S. (2014). Ideologi Pesantren Salaf: Deradikalisasi Agama Dan Budaya Damai. IBDA` : Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 12(2), 198–209. https://doi.org/10.24090/ibda.v12i2.446 Masroer, M. (2018). Religious Inclusivism In Indonesia: Study of Pesantren An-Nida and Edi Mancoro, Salatiga, Central Java. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19(1), 1. https://doi.org/10.14421/esensia.v19i1.1485



162



Mertokusumo, S. (2005). Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) (2nd ed.). Yogyakarta: Liberty. Nawawi Arif, B. (2017). Ilmu Hukum Pidana Integralistik (Pemikiran Integratif dalam Hukum Pidana. Semarang: Pustaka Magister. O’Banion, T. (1978). Innovations in Humanistic Education. Community College Review, 5(3), 21–27. https://doi.org/10.1177/009155217800500303 Phol, F. (2006). Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren Tradition in Contemporary Indonesia. Comparative Education Review, 50(3). https://doi.org/https://doi.org/10.1086/503882 Rahardjo, S. (2009). Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (2nd ed.). Yogyakarta: Genta Publishing. Rai, N. (2012). Volksgeist: In View of Friedrich Carl Von Savigny. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.1695389 Rofiah, Z. (2020). Interview. February, 12, Pondok Pesantren Edi Mancoro. Rustam Ibrahim. (2014). Eksistensi pesantren salaf di tengah arus pendidikan modern (Studi multisitus pada beberapa pesantren salaf di Jawa Tengah). Jurnal Analisa, 21(2), 253–263. Safera, D. (2020). Interview. February, 12, Pondok Pesantren Edi Mancoro.



163



Santoso, T. (2012). Implementation of Islamic Criminal Law in Indonesia: Taʿzīr Punishment As a Solution? IIUM Law Journal, 19(1), 123–148. https://doi.org/10.31436/iiumlj.v19i1.6 Saputra, A. (2020). Interview. February, 12, Pondok Pesantren Edi Mancoro. Schmitt, C., Schwab, G., & Strong, T. B. (2008). The Leviathan in the State Theory of Thomas Hobbes: Meaning and Failure of a Political Symbol. Retrieved from http://books.google.com/books?id=iDE56HLy4X MC Shofwan, I., & Kuntoro, S. A. (2014). Pengelolaan Program Pembelajaran Pendidikan Alternatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah Di Salatiga Jawa Tengah. Jurnal Pendidikan Dan Pemberdayaan Masyarakat, 1(1), 50. https://doi.org/10.21831/jppm.v1i1.2356 Srimulyani, E. (2007). Muslim Women and Education in Indonesia: The pondok pesantren experience. Asia Pacific Journal of Education, 27(1), 85–99. https://doi.org/10.1080/02188790601145564 Sukri, M. (2020). Interview. February, 12, Pondok Pesantren Edi Mancoro. Suradi, A., & Bengkulu, I. (2018). Transformation Of Pesantren Traditions In Face The Globalization Era Introduction In General ; Pesantren can be distinguished to the pesantren of khalafiyah and salafi . The teaching system used classical methods . 1 This method is known as the sorogan or. 12(51), 27–38.



164



Susanto, H. (2011). PENGARUH INTENSITAS MENGIKUTI KAJlAN TA’LIMUL MUTA’ALIM TERHADAP KETAWADLU’AN SANTRI KEPADA KIAi DI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO DESA. GEDANGAN, KEC. TUNTANG, KAB. SEMARANG TAHUN 2011. IAIN Salatiga. Tanya, B. et. al. (2013). Teori Hukum Strategi Tertib Manusia (IV). Yogyakarta: Genta Publishing. Thohir, M. (2007). Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Semarang: Fasindo. Warassih, E. (2005). Pranata Hukum; Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Persada. Wardiah, I., & Subandi. (2018). Mengembangkan lifeskill mahasiswa melalui model pembelajaran stad. Prosiding Seminar Nasional ASBIS 2018, 195–205. Widayatullah, W. (1907). ( Penelitian di Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut ). Pengaruh Ta’Zir Terhadap Peningkatan Kedisiplinan Santri Di Pondok Pesantren, Vol. 06; N, 66–77. Winter, R. K. J. (2015). Changing Concepts of Equality: From Equality before the Law to the Welfare State. Wash. U. L. Q, 1(3). Woodward, M., Rohmaniyah, I., Amin, A., & Coleman, D. (2010). Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter- Radicalization Strategies in Indonesia. Perspective on Terrorism, 4(4), 28–50.



165



Zalidj, U. K. C. (2011). Efektifitas Takzir dalam Meningkatkan Disiplin Santri di Pondok Pesantren Putri Roudlotut Tholibin Rembang Tahun 2010. IAIN Walisongo Semarang. Zuhdi,



M. M. (2019). MODERNISASI PONDOK PESANTREN EDI MANCORO GEDANGAN KABUPATEN SEMARANG UNTUK MEMBANGUN MASYARAKAT MADANI. IAIN Salatiga.



Zuhriy, M. S. (2011). Budaya Pesantren Dan Pendidikan Karakter Pada Pondok Pesantren Salaf. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 19(2), 287. https://doi.org/10.21580/ws.2011.19.2.159



166



TENTANG PENULIS Muhammad Chairul Huda lahir di Kabupaten Semarang tahun 1983. Pendidikan S1 ditempuh di Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga lulus tahun 2007. Pendidikan S2 ditempuh pada Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang. Pendidikan S3 ditempuh di Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Sejak tahun 2016 Ia aktif mengajar pada almamaternya di IAIN Salatiga bidang ilmu hukum. Beberapa mata kuliah yang diampu adalah mata kuliah Pancasila, Kewarganegaraan, Filsafat Hukum, Sosiologi Hukum, Metode Penelitian Hukum serta mata kuliah Islam dan Budaya Lokal. Sejak di bangku perkuliahan Ia cukup aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra kampus. Di antaranya pernah menjadi Ketua Remaja Masjid (Remas) Baiturrahim Karangtengah, ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Syariah STAIN Salatiga, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STAIN Salatiga. Saat ini Ia aktif menjadi Wakil Ketua Lakpesdam NU Salatiga dan Komisi Kajian Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Salatiga. Selain itu, Ia juga menjadi reviewer dan editor pada beberapa jurnal ilmiah. Karyanya dalam bentuk artikel telah banyak dipublikasikan pada jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional.



167