Microsoft Word - 7 BAB II AQ&KK MILLENNIAL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Kepuasan Kerja 1. Pengertian Kepuasan Kerja Kepuasan kerja merupakan cara karyawan merasakan pekerjaannya dengan generalisasi sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaannya yang bermacam-macam. Sikap karyawan terhadap pekerjaan mencerminkan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan serta harapan-harapannya terhadap pengalaman masa depan(Wexley & Yukl, 2003). Menurut Kaswan (2017) kepuasan kerja merupakan pendorong hasil karyawan maupun organisasi karena kepuasan kerja merupakan hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaannya memberikan hal yang dinilai penting. Lebih lanjut, Kepuasan kerja adalah keadaan emosi positif maupun emosi negatif yang berasal dari penilaian terhadap pekerjaan atau pengalaman kerja karyawan. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja dapat mencerminkan moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja, maka karyawan akan dapat bekerja dengan lebih baik dan prestasinya akan meningkat pada saat karyawan puas akan pekerjaan yang dilakukannya. As’ad (2004) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai penilaian karyawan terhadap pekerjaan atau seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Karyawan akan menilai perbedaan apa yang diharapkan dari pekerjaannya dengan apa yang diberikan organisasi kepadanya



12



13



yaitu perasaan bahagia dengan komponen-komponen tertentu dari pekerjaan, penyelia (pengawas), maupun lingkungan pekerjaan menyeluruh. Menurut Locke (dalam Munandar, 2004) kepuasan kerja merupakan perasaan-perasaan yang mencerminkan tentang pengalaman kerja karyawan pada waktu sekarang dan waktu lampau. Lebih lanjut, dua unsur dalam kepuasan kerja yaitu nilai-nilai pekerja, merupakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan tugas pekerjaan, yaitu nilai-nilai yang membantu memenuhi kebutuhan karyawan. Howell dan Diboye (dalam Munandar, 2004) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka dan tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaan, kepuasan kerja juga mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap yang di tunjukan karyawan terhadap pekerjaan yang dirasakannya, dengan begitu karyawan akan mengevaluasi gambaran positif atau negatif atas pekerjaannya. 2. Aspek – aspek Kepuasan Kerja Wexley dan Yukl (2003) mengemukakan bahwa aspek kepuasan kerja terbagi dalam tiga aspek, yaitu sebagai berikut : a. Pekerjaan Kepuasan terhadap pekerjaan merupakan perasaan dan sikap karyawan dalam memandang suatu pekerjaan dari berbagai aktivitas dalam menyelesaikan pekerjaannya yang mencangkup banyak jenis ketrampilan dan bakat-bakat pekerja, pekerjaan memiliki arti penting dalam dirinya, pekerjaan memberikan



14



kebebasan serta kemandirian, memiliki informasi langsung yang jelas tentang efektivitas pekerjaannya, lingkungan pekerjaan yang sesuai harapan, dan hubungan dengan teman kerjanya. b. Kompensasi Kepuasan terhadap kompensasi merupakan sejumlah upah yang diterima karyawan dari organisasi yang sesuai dengan harapan dan beban kerja. Karyawan akan membandingkan upahnya dengan rekan-rekan kerjanya. Semakin tinggi jabatan karyawan, maka semakin besar harapan terhadap upah yang tinggi pula. c. Pengawasan Kepuasan terhadap pengawasan merupakan pandangan atau penilaian karyawan bahwa pengawas mampu berperilaku bijaksana dalam setiap permasalahan yang terdapat ditempat kerja dengan memberikan bantuan dan dukungan perilaku kepada karyawan yang membutuhkannya. Aspek-aspek kepuasan kerja selanjutnya dikemukakan oleh Kaswan (2017), yaitu : a. Kepribadian Cara tetap yang dimiliki seseorang dalam berpikir dan berperilaku, yaitu sejauh mana seseorang merasakan mengenai pekerjaannya atau kepuasan kerjanya. b. Nilai Mereprentasikan kepercayaan tentang kualitas kehidupan manusia atau modus perilaku yang dianggap penting oleh seseorang dan layak dicapai.



15



c. Situasi kerja Berkaitan dengan situasi kerja berupa pekerjaan itu sendiri, penggajian, kesempatan promosi, pengawasan, kelompok kerja, dan kondisi kerja. d. Pengaruh sosial Pengaruh sosial meliputi efektifitas kinerja, hasil perilaku, dan sikap anggota. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat tiga aspek kepuasan kerja menurut Wexley dan Yukl (2003) yaitu pekerjaan, kompensasi, dan pengawasan, selain itu kepuasan kerja mencangkup aspek lainnya menurut Kaswan (2017) yaitu kepribadian, nilai, situasi kerja, dan pengaruh sosial. Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek yang dikemukakan oleh Wexley dan Yukl (2003) yaitu pekerjaan, kompensasi, dan pengawasan. Aspek tersebut dipilih sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur kepuasan kerja pada karyawan generasi milenial di rumah makan X Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan karena aspek tersebut sejalan dengan variable penelitian, penjelasannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara, dan dilihat dari kondisi tempat penelitian. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Mangkunegara (2002), yaitu : a. Faktor karyawan Faktor karyawan merupakan faktor yang berasal dari dalam diri karyawan itu sendiri yaitu meliputi kecerdasan (IQ), umur, jenis kelamin, kondisi fisik,



16



pendidikan, pengalaman, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, sikap kerja, dan kecakapan khusus. Menurut Stoltz (2004) hidup ini bisa diibaratkan seperti mendaki gunung untuk mencapai kepuasan melalui usaha yang tidak kenal lelah.Usaha tersebut dapat melalui kecakapan khusus yaitu salah satunya dengan adanya adversity quotient (AQ)dalam diri karyawan sehingga dapat mengubah hambatan menjadi peluang karena kecakapan atau kecerdasan ini merupakan penentu seberapa jauh individu mampu bertahan dalam menghadapi dan mengatasi kesulitan. b. Faktor pekerjaan Faktor pekerjaan merupakan faktor yang berasal dari pekerjaan karyawan yaitu meliputi jenis pekerjaan yang di kerjakan oleh karyawan, struktur organisasi dalam sebuah organisasi, pangkat atau golongan yang dimiliki karyawan, kedudukan sebagai kekuasan yang diduduki oleh karyawan, mutu pengawasan dengan seberapa besar karyawan terpuaskan atas dukungan serta bantuan yang diberikan pengawas, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja antara karyawan dengan atasan maupun dengan perusahaannya. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Mangkunegara (2002) yaitu faktor karyawan yang meliputi kecerdasan (IQ), umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, sikap kerja, dan kecakapan khusus, selanjutnya faktor pekerjaan yaitu meliputi jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat atau golongan, kedudukan,



17



mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Dari uraian yang telah dikemukakan, peneliti akan menggunakan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dari Mangkunegara (2002), yaitu faktor karyawan berupa kecakapan khusus. Menurut Stoltz (2004) usaha untuk mencapai kepuasan dapat melalui kecakapan khusus yaitu salah satunya dengan AQ dalam diri karyawan.AQ dapat ditinjau dengan berbagai variabel, salah satunya ditinjau dengan variabel kepuasan kerja. Hal tersebut, sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2017) yaitu terdapat hubungan positif antara AQ dengan kepuasan kerja, begitu pula dari hasil penelitian Suryanti (2016) yang mengungkapkan bahwa AQ terbukti dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Hal tersebut juga didukung berdasarkan hasil wawancara yang menunjukan bahwa kepuasan kerja dapat tumbuh dalam diri karyawan generasi millennial yang bekerja di rumah makan X Yogyakarta karena adanya peran penting dari AQ. Oleh karena itu, AQ akan menjadi satu faktor dominan dan variabel bebas dalam penelitian ini.



18



B. Adversity Quotient (AQ) 1. Pengertian Adversity Quotient (AQ) Menurut Stoltz (2004) Adversity Quotient merupakan kemampuan seseorang dalam mengamati kesulitan dan mengolah kesulian tersebut dengan kecerdasan



yang



dimiliki



sehingga



menjadi



sebuah



tantangan



untuk



menyelesaikannya. Lebih lanjut, AQ adalah sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ juga merupakan kemampuan individu untuk menggerakkan tujuan hidup kedepan, dan juga sebagai pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan. AQ menjelaskan seberapa baik individu dapat bertahan dan mampu mengatasi kesulitan, dapat meramalkan siapa yang dapat bertahan akan kesulitan atau siapa yang akan hancur, dan juga dapat memprediksi siapa yang dapat melebihi harapan dari potensi yang dimiliki Leman (2007) mendefinisikan adversity quotient secara ringkas, yaitu sebagai kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah. Menurut Agustian (dalam Rachmawati, 2007) adversity quotient merupakan kecerdasan individu dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup yang berakar pada bagaimana kita merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan. Wisesa dan Indrawati (2016) menyatakan bahwa AQ adalah kecerdasan seseorang dalam bertahan untuk mengatasi dan keluar dari permasalahan yang menghambat aktivitasnya.



19



Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan kecerdasan karyawan dalam mengelola kemampuannya untuk bertahan dan memecahkan masalah yang ringan maupun sulit pada saat melakukan pekerjaannya. 2. Aspek-aspek AQ Stoltz (2004) menyatakan bahwa aspek-aspek dari AQ mencakup empat komponen, antara lain: a. Control (kendali) Control atau kendali adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Kendali diri ini akan berdampak pada tindakan selanjutnya atau respon yang dilakukan individu bersangkutan, tentang harapan dan idealitas individu untuk tetap berusaha keras mewujudkan keinginannya walau sesulit apapun keadaannya sekarang. b. Origin (asal-usul atau kepemilikan) dan ownership (pengakuan) Origin yaitu kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul permasalahan tersebut berada dalam dirinya. Selanjutnya, ownership atau pengakuan dengan sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya ketika mendapati bahwa kesalahan tersebut berasal dari dirinya, atau sejauh mana seseorang mempermasalahkan orang lain atau lingkungan yang menjadi sumber kesulitan atau kegagalan seseorang. Rasa bersalah yang tepat akan menggugah seseorang untuk bertindak sedangkan rasa bersalah yang terlampau besar akan menciptakan kelumpuhan. Sesorang akan mengakui



20



akibat-akibat kesulitan dan kesediaan seseorang untuk bertanggung jawab atas kesalahan atau kegagalan tersebut. c. Reach (jangkauan) Sejauh mana kesulitan ini akan merambah kehidupan seseorang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. d. Endurance (daya tahan) Endurance adalah aspek ketahanan individu.Sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, pada aspek ini dapat dilihat berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Hal ini berkaitan dengan pandangan individu



terhadap



kepermanenan



dan



ketemporeran



kesulitan



yang



berlangsung. Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, tedapat empat aspek AQ, yaitu control, origin dan ownership, reach,dan endurance. Aspekaspek yang dikemukakan oleh Stoltz (2004) tersebut dipilih sebagai acuan yang digunakan peneliti untuk mengukur AQ pada karyawan generasi milenial yang bekerja di rumah makan X Yogyakarta. Peneliti memiliki pertimbangan dalam memilih aspek tersebut karena sejalan dengan variable penelitian, penjelasannya lebih konkrit, didukung berdasarkan hasil dari wawancara dan dilihat dari kondisi tempat penelitian yang akan dijadikan tempat penelitian. Selain itu, keempat aspek tersebut mampu mengungkap AQ pada karyawan generasi milenial yang bekerja di rumah makan X Yogyakarta.



21



C. Kepuasan Kerja di Tinjau dari AQ pada Karyawan Generasi Millennial yang Bekerja di Rumah Makan X Yogyakarta Bisnis kuliner di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki potensi yang tinggi, karena makanan merupakan salah satu kebutuhan utama semua orang dari berbagai kalangan (Santoso, 2016).Ketatnya persaingan pada bisnis kuliner di Yogyakarta membuat rumah makan X harus mampu bertahan dan selalu mencoba memberikan pelayanan yang memuaskan agar dapat menarik perhatian dan mempertahankan costumer (Vranakis, 2012). Oleh karena itu, rumah makan X dituntut untuk tidak hanya berfokus dengan target penjualan, namun lebih pada memperhatikan sumber daya manusianya agar dapat merebut hati costumer. Salah satu sumber daya manusia yang sedang diperbincangkan pada saat ini adalah karyawan generasi millennial, karena berbeda dengan generasi sebelumnya, dimana generasi millennial menganggap bisnis bukanlah hal yang menakutkan sehingga ketika terdapat banyak rintangan yang menghadang generasi tersebut akan tetap bertahan dan mampu menyelesaikan permasalahan dengan keadaan tenang. Lain halnya dengan generasi sebelumnya yang menganggap bahwa bisnis merupakan hal yang menakutkan sehingga ketika terjadi banyak rintangan maka generasi tersebut akan merasa khawatir untuk menghadapinya (Firdaus, 2017). Karyawan generasi millennial sebagai sumber daya manusia yang dimiliki oleh rumah makan X menempati posisi strategis untuk menghasilkan kemampuan maupun hasil kerja yang sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, sudah seharusnya karyawan dari generasi millennial dikelola dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, sehingga dunia bisnis kuliner menuntut



22



rumah makan X untuk mampu memberdayakan dan juga mengoptimalkan penggunaan sumber dayanya dengan baik. Hal tersebut, dilakukan dalam upaya mempertahankan



kelangsungan



kegiatan



operasional



sehingga



dapat



mempertahankan karyawan generasi millennial untuk tetap bekerja sesuai dengan tuntutan yang ada, dan selalu bersemangat dalam setiap pekerjaan yaitu dengan adanya kepuasan kerja yang rasakan karyawan generasi millennial (Wijaya & Kaihatu, 2010). Kepuasan kerja dapat terjadi jika seseorang memiliki kemampuan untuk dapat mengelola setiap rintangan didalam kehidupannya. Stoltz (2004). Berpendapat bahwa seseorang akan mampu menghadapi rintangan, kesulitan, hambatan dan mampu untuk mengatasinya secara teratur dalam lingkup pekerjaannya yaitu melalui AQ yang ada dalam dirinya. Lebih lanjut,AQ harus memenuhi aspek tertentu agar dapat berpengaruh baik bagi karyawan. Aspek tersebut akan mendorong karyawan untuk memiliki kemampuan dalam mempertahankan dirinya dalam situasi apapun di tempat kerja sebagai usaha dalam memuaskan kebutuhannya. Menurut Subariyanti (2017) kepuasan yang dirasakan seseorang dapat ditunjukan pada saat seseorang tesebut bekerja sehingga lebih produktif, bersemangat dalam bekerja, dan menunjukan kinerja terbaiknya. Wirabrata dan Fajrianthi (2013) menyatakan bahwa AQ yang rendah membuat seseorang sulit menunjukan kemampuannya dalam mengendalikan diri untuk bertahan dan keluar dari peristiwa yang menyengsarakan kehidupannya. Oleh karena itu, kepuasan atas kebutuhan tidak akan tercapai ketika karyawan tidak memiliki kecakapan mengendalikan dirinya (Stoltz, 2004). Menurut Amelia



23



(2011) seseorang yang merasakan ketidakpuasan atas kebutuhannya dapat berdampak pada pekerjaannya, sehingga seseorang sukar untuk bekerja dengan giat, terjadinya kelelahan dalam bekerja, jenuh menjalani pekerjaannya, dan sulit bertahan di perusahaannya bekerja (turn over).Soltz (2004) berpendapat seseorang tentunya dapat bertahan ketika memiliki AQ di dalam dirinya karena adanya AQ dapat membuat seseorang merasakan kepuasan dalam menjalani aktivitasnya, salah satunya kepuasan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Lebih lanjut, empat aspek AQ yang mencakup control, origin dan ownership, reach,dan endurance. Control (kendali) merupakan aspek AQ yang meliputi kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan mengelola peristiwa yang menimbulkan kesulitan di masa mendatang. Semakin besar kendali yang dimiliki, maka semakin besar seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam mencari penyelesaian (Stoltz, 2004). Karyawan yang memiliki kendaliakan rajin bekerja, menunjukkan hasil kerja yang baik, termotivasi menyelesaikan pekerjaan,dan terpenuhi kebutuhan aman dalam dirinya (Wexley dan Yukl (2003). Sebaliknya, jika semakin rendah kendali akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan, mudah menyerah, merasa bahwa peristiwa buruk berada di luar kendali dan sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan (Stoltz, 2004). Hal tersebut membuat karyawan merasa bahwa tempatnya bekerja tidak adil, adanya kesenjangan sosial, kurang tanggung jawab, tidak keterampilan, malas bekerja, dan penurunan kinerja secara kuantitas maupun kualitas (Wexley dan Yukl (2003).



24



Aspek origin dan ownership juga menjadi salah satu yang berperan untuk mengetahuai sejauh mana seseorang mempermasalahkan dirinya dan orang lain ketika kesalahan tersebut berasal dari dirinya. Seseorang akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggung jawab terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan (Stoltz, 2004). Adanya kemampuan tersebut membuat karyawan lebih lugas melaksanakan perintah pengawas, cekatan menjalankan tugas, dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan rekan kerja maupun pengawas (Kaswan, 2017). Dilain sisi, ketika karyawan tidak merasa adanya kepemilikan dan pengakuan maka akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan yang datang karena kesalahan dan kebodohan dirinya sendiri (Stoltz, 2004). Oleh karena itu, karyawan akan menunjukan ketidakpuasannya dengan memberikan hubungan yang buruk dengan lingkungannya yaitu rekan kerja penyimpangan di tempat kerja (tidak sopan dengan rekan kerja maupun konsumen) (Kaswan, 2017). Lingkungan karyawan tidak lepas dariseberapa besar aspek reach yaitu sejauh mana kesulitan akan merambah kehidupan seseorang yang menunjukkan bagaimana suatu masalah mengganggu aktivitas lainnya (Stoltz, 2004). Pada saat seseorang bisa menghadapi masalah maka akan menunjukkan kepuasan kerjanya dengan bekerja secara optimal untuk menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas tinggi (Robbins, 2008). Lain halnya, permasalahan yang tidak bisa dihadapi membuat karyawan bersikap negatif dengan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress (Stoltz, 2004). Sikap negatif akan mengarah pada ketidakpuasan karyawan dengan menarik diri, penarikan dalam berpikir (pasif), ketidak hadiran, (Kaswan, 2017).



25



Seseorang yang bekerja tentunya membutuhkan endurance (daya tahan) yang merupakan aspek ketahanan individu, sejauh mana kecepatan dan ketepatan seseorang dalam memecahkan masalah (Stoltz, 2004). Permasalah yang terpecahkan membuat karyawan menunjukkan bakat-bakatnya, semakin besar beragam akivitas yang dilaksanaannya dan karyawan tersebut semakin tidak menjemukan (menganggap pekerjaannya berarti). Sebaliknya, karyawan yang memiliki daya tahan lemah menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama dan menganggap peristiwa negatif sebagai sesuatu yang sulit berlalu (Stoltz, 2004). Pada akhirnya karyawan akan memandang pekerjaan sebagai aktivitas yang tidak dapat memuaskan dirinya, kurang menyenangkan, membosankan, terjadinya turnover (keluar masuknya karyawan), dan karyawan sulit untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerja (House & Mitchell dalam Kaswan, 2017). Stoltz (2004) menyatakan bahwa setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji.Kemampuan seseorang dalam mengatasi setiap kesulitan dapat dimiliki seseorang dengan adanya aspek-aspek dalam adversity quotient. Adanya AQ membantu pelaku bisnis agar mempertahankan bahkan mengembangkan sumber daya manusia yang dimilikinya (Stoltz, 2000).



26



Cara yang tepat untuk mengelolanya unsur manusia dengan memperkuat kemampuan mengendalikan diri karyawan generasi millennial untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan baik (Stoltz, 2004). Kemampuan tersebut membuat karyawan generasi millennial menunjukan penilaian positif terhadap pekerjaan secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya sehingga mempunyai motivasi bekerja tinggi, senang melakukan pekerjaan, dan lebih produktif (As’ad, 2004). Sebaliknya, ketika kemampuan dalam menghadapi kesulitan dalam lingkup pekerjaan tidak dimiliki, maka karyawan generasi millennial akan menunjukan penialian negatif dengan memandang pekerjaan kurang memuaskannya sehingga malas berangkat ke tempat kerja, malas dengan pekerjaan, tingkat absensi tinggi, keterlambatan kerja, dan kinerja menurun (Munandar, 2001).Stoltz (2004) juga berpendapat bahwa ketidak mampuan seseorang dalam menghadapi hambatan di kehidupannya membuat seseorang tersebut merasakan ketidakpuasan dalam menjalani aktivitasnya, sehingga timbulah perasaan khawatir yang membuatnya sulit untuk melaksanakan dan menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Menurut Mangkunegara (2002) kepuasan kerja dapat terjadi karena kecakapan khusus yang dimiki seseorang.Kecakapan khusus tersebut berupa AQ sebagai penggerak tujuan hidup kedepan, dan pengukuran tentang bagaimana seseorang berespon terhadap kesulitan untuk usaha mencapai kepuasan dalam pekerjaannya (Stoltz, 2004).Hal ini di dukung hasil penelitian Suryanti (2016) yang mengungkapkan bahwa AQ dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Hasil penelitian dari Ningsih (2017) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan positif antara AQ dengan kepuasan kerja karyawan.Lebih lanjut, hasil penelitian



27



tersebut menunjukan bahwa AQ dapat mempengaruhi kepuasan kerja yaitu berupa komitmen karyawan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan tingginya keikatan emosional (affective commitment), terciptanya keinginan karyawan untuk menjadi bagian dari organisasi berarti karyawan memutuskan menetap pada organisasi. Hal ini disebabkan karyawan mendapatkan pemenuhan kebutuhan (cintinuance commitment), dan tingginya keyakinan karyawan untuk menetap dalam suatu organisasi sesuai dengan norma yang karyawan miliki (normativ commitment). Pemenuhan kebutuhan



membuat karyawan



terpuaskan dalam



menjalani



pekerjaannya. Kontribusi tersebut mengindikasikan bahwa variabel AQ memiliki peranan penting dalam membentuk kepuasan kerja karyawan generasi yang bekerja di rumah makan X Yogyakrta yang semakin di hadapkan oleh ketatnya persaingan bisnis kuliner.



C. Hipotesis Agar diperoleh suatu pandangan untuk menganalisis data selanjutnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: terdapat hubungan positif antara AQ dengan kepuasan kerja pada karyawan generasi millennial di rumah makan X Yogyakarta.Semakin tinggi AQ maka semakin tinggi pula kepuasan kerja karyawan generasi millennial.Sebaliknya, semakin rendah AQ maka semakin rendah pula kepuasan kerja karyawan generasi millennial.