MMQ Revolusi Mental MFM [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MUSABAQAH MAKALAH AL-QUR’AN REVOLUSI MENTAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM



Disusun oleh: M. Fatchul Muslim



MUSABAQAH TILAWATIL QUR’AN KE VIII TINGKAT KABUPATEN LAMANDAU KAFILAH MTQ KECAMATAN DELANG TAHUN 2019



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Revolusi Indonesia digagas pertama kali oleh presiden Soekarno pada tahun 1957. Dimana kondisi rakyat sedang “mandeg” dan belum tercapainya cita-cita kemerdekaan. Soekarno pernah mengatakan revolusi mental dikobarkan sebagai suatu gerakan untuk: “Membimbing bangsa Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”. Setelah tujuh dekade, revolusi mental kembali diiklankan Joko Widodo. Suatu jargon, dan program unggulan di kampanye pilpres 2014 guna menggaet massa, mendulang suara. Tentu bukan sebatas spirit sosialisai, tentunya realisasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara harus jadi bukti bukan sekedar janji.6 Revolusi mental harus mampu menjadi penawar luka, obat penyakit degradasi wibawa negara, pil lesunya sendi perekonomian, penyambung pudarnya solidaritas dan toleransi, serta pembangkit krisis kepribadian bangsa. Agar revolusi mental sebagai pembaharuan tidak terpental, relevan dengan cita-cita „trisaki‟ pelopor bangsa, demi kedaulatan NKRI, berdikari dalam ekonomi, masyarakat berkepribadian budi tinggi, terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan, serta bangsa yang bermartabat dan berperadaban. Maka dibutuhkan nilai agama, tradisi kebudayaan dan nilai falsafah bangsa. Integritas, etos kerja dan gotong royong, merupakan gagasan Joko Widodo beserta tim-nya. Pelaksanaannya tidak berbenturan dan berlari dari pancasila dan UUD 45 sebagai landasan dasar negara. Sulit kiranya mencapai keberhasilan jika tidak memiliki landasan teologis yang jelas, bebas nilai, serta adanya ketidakserasian misi pejabat (hulu) sebagai penerima amanah, dan rakyat (hilir) sebagai pemberi amanah. Krisis multi dimensi, korupsi, kolusi dan nepotisme, intoleransi SARA, pudarnya nasionalisme, maraknya perjudian, narkotika, free sex, merupakan PR rusaknya mental bangsa yang harus diselesaikan bersama. Disinilah perlunya



pendidikan mental yang bernilai. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia sadar sebagai individu, sebagai sosial dan makhluk tuhan. Mental yang dimaksud dalam Islam adalah akhlak. Untuk menjadi seseorang berakhlak diperlukan proses agar menjadi manusia paripurna, proses itu pendidikan namanya. Pendidikan yang mampu mencetak individu berakhlak mulia, shalih secara individu dan shalih sosial. Dahulu orang yang memiliki keahlian dalam merevolusi akhlak itu Muhammad Rasululloh SAW, menyempurnakan akhlak dan seruan pada tauhid merupakan misi risalahnya. Petunjuk Al-Qur’an dan wahyu dijadikan pijakannya, dakwahnya terprogram, dari teologis ke sosial tujuan revolusinya, dari individu ke masyarakat dimulai pergerakannya, dan para sahabat sebagai kader militannya. Revolusi yang diajarkan berupa internalisasi wahyu yaitu nilai-nilai Qur’ani dan petunjuk Nabi (hadiṡt), sehingga terhimpun manusia berakhlak karimah, masyarakat madani yang berkemajuan dan berperadaban. Dari latar belakang diatas sehingga pada kesempatan kali ini penulis membuat makalah ini dengan judul “Revolusi Mental Dalam Perspektif Islam”. B. Rumusan Masalah Berawal dari latar belakang diatas sehingga rumusan masalah dari makalah ini adalah: 1. Apa pengertian dari revolusi mental? 2. Bagaimana perspektif Islam terhadap revolusi mental? C. Tujuan Penulisan Makalah ini dibuat dengan tujuan: 1.



Untuk mengetahui pengertian dari revolusi mental?



2.



Untuk mengetahui perspektif Islam terhadap revolusi mental?



D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan makalah ini adalah: 1.



Memeperoleh informasi dan wawasan tentang revolusi mental.



2.



Memperoleh informasi dan wawasan dan tentang revolusi mental.



BAB 2 PEMBAHASAN A. Pengertian Revolusi Mental Revolusi mental secara etimologi terdiri dari dua kata “revolusi dan mental” yang berlainan makna. Dalam bahasa Arab disebut al-ṡarwah, wa al-inqilabu wa alhayaju, al-ṡauru wa ẓuḥuru al-dam (perubahan radikal yang menyebabkan pertumpahan darah), dan al-waṡbu (loncatan), yang terjadi apabila terdapat penyebab. Rohi Balbaki mengartikan “ṡarwah” dengan revolution, sehingga dari struktur bahasa terdapat titik temu Arab-Inggris. Kata “revolusi” dalam kamus umum bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, juga ditemukan kemiripan arti, yaitu: (1). Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (pemberontakan bersenjata); dan, (2). (berevolusi) mengadakan pemberontakan untuk mengubah ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial). Menurut Amin Rais, revolusi adalah perubahan radikal yang menyangkut pemerintahan dan masyarakat suatu negara dengan kekerasan disebabkan tidak berjalannya sistem pemerintahan. Pendapat itu senada dengan pandangan Islam klasik yang memaknai revolusi sebagai (1). Fitnah (godaan, hasutan); (2). Ma’siyah (ketidakpatuhan, pembangkangan, perlawanan); dan (3). Riddah (berpaling). Islam klasik melihat “revolusi” identik dengan gerakan untuk menggulingkan tatanan kehidupan orang beriman, kekerasan, intimidasi, krimininalisasi dan diskriminasi perjuangan Islam. Revolusi juga selalu terkait gagasan perubahan total, pembaharuan, diskontinuitas yang erat hubungannya dengan transformasi sosial budaya. Oleh karena itu, revolusi bisa saja terjadi karena adanya pengaruh sosial dan budaya bangsa lain. Sehingga revolusi dapat diartikan sebagai perubahan individu, sosial masyarakat, negara dan ketatanegaraan secara otomatis berbasis pada kesadaran atau perubahan karena adanya pengaruh atau paksaan. Mental secara etimologi diartikan dengan kejiwaan; rohani, batin; mengenai pikiran, dan keadaan batin. Dalam bahasa Arab disebut, Sajiyyah (tabi’at), Khulq (akhlak), Nafs (jiwa), Ikhtibar ruhiyah (latihan kerohanian), dan Tahdzib an-Nafs (perbaikan jiwa). Sifat-sifat tersebut, memiliki tujuan akhir (gardu al-aqsha) yaitu



memperbaiki perilaku manusia lahir dan batin. Menurut Moeljono “mental” berasal dari bahasa Yunani, yaitu, “psyche” (psikis), jiwa atau kejiwaan. Namun menurut Kartini dan Jenny, mental diambil dari bahasa Latin, yaitu mens atau metis yang berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat. Walau berbeda pendapat tetapi dari keduanya memiliki kesamaan makna yaitu jiwa. Dalam bahasa inggris mental di artikan way of thingking (berfikir solutif), dan revering to the mind (sesuatu yang berhubungan dengan pikiran). Syed Muhammad Naquib al-Attas menyamakan mental dengan jiwa. Asal kata “jiwa” dalam bahasa Indonesia adalah jiwa dari bahasa sangsakerta artinya benih kehidupan, adapun mental image adalah gambaran kejiwaan. Pendapat al-Attas relevan dengan istilah psikologi, yaitu (mental) menyinggung masalah pikiran, akal, ingatan atau proses-proses yang berasosiasi dengan pikiran, perbuatan, kesigapan, sikap, impuls, dan intelektual. Dengan demikian mental dapat diartikan sebagai pola pikir, jiwa, kebiasaan, keperibadian, dan sikap seseorang yang mempengaruhi perilaku individu dimana mental (akhlak) sebagai barometernya. Perilaku individu Muslim, disebut Abdul Mujid dengan kepribadian Islam (syahshiyat) artinya fitrah, yaitu struktur kepribadian utuh yang mencakup dimensidimensi ragawi (biologis), kejiwaan (psikologi), lingkungan (sosio multikultural) dan ruhani (spiritual). Dalam leksikologi Al-Qur’an disebut al-nafsiyat, dan dalam ilmu akhlak disebut al-khulq, al-huwiyat, dan al-żatiyat. Jauh sebelum Abdul Mujid, AlGahzali telah berpendapat, bahwa manusia memiliki citra lahiriyah (khalq), dan citra bathiniyah (khulq). Al-Ghazali mendefinisikan khulq suatu kondisi (hai’at) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhat), yang melahirkan aktivitas spontan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sedangkan menurut Miskawih, khulq ialah suatu kondisi (hal) jiwa (nafs) yang menghasilkan aktivitas tanpa berpikir terlebih dahulu. Dari beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa; pertama, revolusi mental adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan negara menyangkut pola pikir (mindset), sikap dan kepribadian (akhlak) dalam tempo singkat. Kedua, revolusi mental merupakan sebuah gerakan ke dalam, untuk memperbaiki sikap diri sebagai individu, mengevaluasi sistem yang rusak karena korup, ketidakadilan, dan



bertentangan dengan tujuan pendidikan. Ketiga, revolusi mental sebagaimana disampaikan Joko Widodo, adalah “gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai, dan prilaku bangsa Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkepribadian”. B. Revolusi Mental dalam Perspektif Islam Menurut Azyumardi Azra dalam Ubaidillah dan Abdul Rozak (2013: 133), “hubungan Islam dan Negara Modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga paradigma: integralistik, simbiotik dan sekularistik”. Indonesia mempraktekkan pada katagori urutan dua, karena adanya nilai pancasila “ketuhanan yang maha esa” sebagai pijakan sila-sila berikutnya, dan selaras dengan lintas sejarah Nusantara yang menjadikan agama tidak sekedar urusan privat (personal) namun termasuk urusan publik (sosial). Pondasi yang harus dipersiapkan dalam revolusi mental adalah ajaran agama Allah SWT secara utuh, yaitu: Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga asas tersebut merupakan integrasi ajaran Islam yang meliputi keilmuan syariat, adab, kelembutan, ibadahẓahiriyah dan ibadah baṭiniyah. Ihsan merupakan level tertinggi dalam beragama, karena cakupannya iman dan Islam. Sebagai out put perubahan mental yang menyangkut kejiwaan, roh, spiritual dan nilai-nilai dapat merubah seseorang atau kelompok dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah Negara. Sehingga alumni revolusi mental mampu menjadi agen perubahan karakter sosial, menumbuhkan jati diri bangsa, memperjuangkan kewargaan, dapat dipercaya, berkemandirian, kreatif, menjunjung tinggi nilai gotong royong dan saling menghargai. Serta melahirkan manusia bermental pancasila yang religius, humanis, nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat. Lebih dekatnya ketuhanan yang maha Esa adalah ajaran tauhid agama Islam, yang berlandaskan pada (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Islam sama sekali tidak berseberangan dengan pilar negara (Pancasila, UUD 45,Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Bahkan berkontribusi besar demi terwujudnya generasi bangsa yang berkarakter, berbekal iman dan taqwa. Soekarno pernah menyampaikan, bahwa, “salah satu barisan terkuat dalam pergerakan revolusi tahun 1945 adalah agama”. Dari itulah seharusnya



revolusi mental masa kini pun bermula dari pendidikan akhlak dan pembenahan jiwa (roh) berlandaskan agama (Islam). Beberapa waktu lalu Bapak Joko Widodo pernah mengatakan bahwa, “…Tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama, dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik”. Sebetulnya upaya dikotomi politik dan agama mesti tidak terjadi lagi di negeri ini, megingat pancasila adalah bagian dari nilai Islam. Walaupun tidak jelas maksud dan tujuannya dari ungkapan itu, namun Ia seolah amnesia terhadap sila satu Pancasila, dan pembukaan UUD 45, atau mungkin candu dengan agama. Sehingga agama harus dilepas dari aspek kehidupan manusia. Atau mungkin menurutnya, agama hanya pada sektor rituil saja, Tuhan tidak usah mengurusi urusan politik, sehingga perannya harus dibatasi. Hamid Fahmi seolah memberitahu pola pemikir semacam itu pun terjadi di Barat, menurutnya, bahwa konsep Tuhan di Barat hampir sepenuhnya hasil rekayasa manusia. Tuhan harus mengikuti aturan manusia. Dan tuhan tidak boleh ikut campur dalam kebebasan dan kreativitas manusia. Islam adalah agama shumul (universal), totalitas, syariatnya mengatur urusan dunia dan akhirat, urusan agama dan negara. Urusan agama yang meliputi masalahmasalah keyakinan, aqidah dan ibadah. Sedangkan yang bertalian dengan negara, hubungan sosial masyarakat, muamalah, hukum, privat, perundang-undangan, pemerintahan,



kepemimpinan,



ekonomi,



administrasi,



politik,



akhlak



dan



sebagainya. Abdul Qadir Audah pernah menyampaiakan,yang artinya: Keistimewaan syariat Islam ialah karena bersifat universal, yaitu diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh ummat manusia baik Arab maupun ajam (selain Arab), bangsa timur maupun barat yang berbeda adat istiadatnya, tradisinya, dan sejarah pertumbuhannya. Yaitu syariat yang merupakan undang-undang keluarga, undang-undang kabilah, undang-undang jama’ah, dan undang-undang negara, bahkan merupakan undang-undang seluruh alam semesta yang pernah diimpikan oleh sarjanasarjana hukum tetapi mereka tidak mampu membuat hukum seperti itu. Al-Qur’an banyak berbicara tentang perubahan sosial kemasyarakatan. Walaupun tidak ditemukan term khusus “revolusi mental” secara inflisit tetapi secara ekplisit banyak ditemukan makna yang menunjukan perubahan. Seperti: Q.S: ArRa’d : 11.



...



...



Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra’d: 11). Menurut Al-Qurṭubi, ayat di atas menunjukkan keharusan adanya tokoh perubahan dalam gerakan perubahan. Baik terlahir dari kalangan suatu kaum, pengawas, atau salah seorang dari kaum tersebut. Dalam konteks ke-Indonesia-an gerakan revolusi mental harus diampu revolusioner yang mampu menjadi penggerak dan tauladan dalam perubahan, mengajak manusia pada perbaikan tatanan kehidupan, ekonomi, sosial, politik berbasis agama untuk kesejahteraan bersama. Kebaikan yang direncanakan dapat berbuah kebaikan, perubahan keburukan yang direncakan dapat berbuah buruk, pembangunan yang dilandasi tipu daya dapat membawa petaka, itulah sunnatullah. Sedangkan menurut al-Sa’di, mengatakan bahwa, “Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum”, berupa kenikmatan (ihsan), dan kehidupan yang menyenangkan sampai mereka merubah keimanan kepada kekafiran, dari ketaatan kepada kemaksiatan, atau dari mensyukuri nikmat Allah kepada mengkufurinya, sehingga Allah mencabut kenikmatan itu. Demikian pula, ketika manusia merubah keadaan diri dari maksiat pada ketaatan kepada Allah, maka Allah akan merubah keadaan mereka dari kesengsaraan kepada kebaikan, kesenangan, kegembiraan, dan rahmat. Sektor pendidikan revolusi mental menuju good character dalam perspektif Islam setidaknya meliputi pendidikan aqidah (teologi), pendidikan pola pikir (mindset), pendidikan akhlak (character), pendidikan adab kenabian, pendidikan fisik, dan pendidikan kesucian jiwa. Dari proses pendidikan itu menghasilkan pembiasaan nilai akhlak yang bertumpu pada hikmah, syaja’ah, iffah, dan adil. Syariat Islam merupakan satu-satunya ajaran agama bersifat sempurna (kāmilah) dan menyeluruh (shamilah). Sempurna karena tidak didapatkan kekurangan, kelemahan, dan menyeluruh karena meliputi lapangan individu, kelompok masyarakat, maupun negara. Islam mengatur cara hidup seseorang, etika bergaul, juga memanaje persoalan-persoalan hukum administrasi, politik dan



sebagainya. Seperti; integritas, etos kerja, dan gotong royong. Hanya saja agama masih merupakan teks pasif, sehingga agama dapat terlihat bila diaplikasikan pengikutnya, serta diyakini dan dipamahi nilai teks ajarannya. Jika pada kenyataannya Islam belum maju, tidak berarti menunjukan bahwa Islam yang tidak sempurna tetapi ke munduran itu disebabkan kelalaian pengikutnya. Dari itulah tuntutan Islam dalam variable keimanan tidak sekedar pernyataan, tetapi butuh realisasi dalam bentuk aksi (amal) perbuatan dan budi luhur, seperti termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat: 14.



Artinya: Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.”Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah “Kami telah tunduk (Islam), “karena iman belum masuk kedalam hatimu. Dan jika kamu taat kepaa Allah dan Rosul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.(Q.S. Al-Hujurat: 14) 1. Integritas Integritas ialah kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan hati, kejujuran, dan tak tersuap. Jika di analisa isi integritas dalam nilai revolusi mental yang dicanangkan oleh Joko Widodo adalah akhlak. Dari situlah sebenarnya re;volusi mental memprioritaskan akhlak (SDM), sebelum SDS, dan SDA. Akhlak adalah nilai akhir iman dan Islam. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dilihat dari ahklak masyarakatnya dan pemimpinya. Keberhasilan Rasulullah dalam mendidik para sahabat adalah bukti nyata keberhasilan suatu peradaban. Oleh sebab itu Islam memposisikan akhlak sebagai dimensi yang tidak dapat dipisahkan dari disiplin iman, ilmu, dan amal. Ketiga dimensi itu menjadi landasan utama dalam beragama, sehingga saling mengikat dan tidak bisa diputuskan. Lebih hebatnya lagi akhlak adalah alat ukur kemuliaan sesorang. Ketiga dimensi yang dimaksud ialah: a. Aqidah Jika akidahnya benar maka timbul akhlak baik terhadap Al-Khaliq sehingga tidak menyekutukannya.



b. Shari’ah Berupa pengabdian hamba terhadap Tuhan-Nya. Jika pengamalan mahḍah dan gairu maḍhah sesuai Qur’an dan Sunnah maka telah menjaga dari ikhtilaf fil ibadah. c. Ihsan Yaitu hubungan baik terhadap Allah Swt (mu’amalah ma’a Allah), hubungan baik terhadap sesama manusia (mu’amalah ma’a al-naas), serta hubungan terhadap seluruh makhluk di dunia (mu’amalah ma’a al-aalam). Ihsan inilah pembuktian dari adanya pemahaman benar terhadap aqidah dan syari’ah. Novi Hardian (2008:21), menyebut empat faktor pembentuk akhlak sesDeorang, yaitu: 1). Al-wiraṡiyah (genetic), artinya keturunan atau nasab sebagai pembentuk akhlak anak; 2). An-Nafsiyah (psikologis), yaitu nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya; 3). Shari’ah ijtimaiyyah (sosial), artinya lingkungan pengaruhi aktulisasi nilai-nilai dalam diri; 4). AlQiyam (nilai Islami), yaitu pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mewarnai pembentukan akhlak. Jika seseorang berakhlak karimah pasti dimudahkan mendapat ridha Allah dan kasih sayang-Nya, menjadi pantas, dan elegan, berbuat mulia menghidar dari amal tercela. Atas dasar itulah, akhlak mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam, sehingga seorang Muslim dapat diukur kualitas keimanannya hanya dengan melihat akhlaknya. Hasan al-Bashari, ulama besar kalangan tabi’in, mengatakan bahwa, “seorang manusia disebut tidak berilmu jika tidak berakhlak”. hal itu seperti dikutip oleh Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Asqalani sebagai berikut: Orang yang tidak berakhlak, tidak berilmu, orang yang tidak beresabar, tidak beragama, dan orang yang tidak wara’ (apik/kehati-hatian), tidak berkedekatan dengan Allah. Secara umum, akhlak dibagi dua. Pertama, akhlak mahmudah, (akhlak terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia). Kedua, akhlak mazdmumah (akhlak tercela). Namun menurut al-Ghazali, bahwa pembagian akhlak baik dan buruk itu ditentukan oleh adanya perbuatan yang bertolak ukur pada ketentuan akal dan syari’at.



2. Etos kerja Menurut Heddy, Etos yaitu perangkat nilai atau nilai-nilai yang mendasari perilaku suatu golongan atau kolektivitas manusia. Basis etos adalah ilmu profetik (penghayatan etos kerja keabadian untuk Allah). Sedangkan kata “kerja” didefiniskan sebagai kegiatan melakukan sesuatu. Sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata pencaharian. Selanjutnya menurut Heddy, etos kerja dibagi dua yaitu: a). Etos kerja keabdian; 2). Etos kerja keabadian. Bagi seorang Muslim etos kerja adalah upaya eksistensi keimanan, mewujudkan keyakinan melalui pola prilaku dan tindakan, serta ketawadhuan. Etos kerja keabadiannya ditujukan untuk: 1). Kemanusiaan; 2). Keilmuan; 3). Kesemestaan. Nilai etos kerja inilah pembeda agama Islam dengan selainnya. Islam mengatur berjuta persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja), dengan asas agama (religiusitas) wajib jadi landasan. Islam juga memadukan segala nilai material dan spiritual agar simbang, menyeluruh, dan memudahkan manusia dalam mengarungi kehidupan yang telah ditentukan Allah untuk akhirat nanti. Dalam Q.S. Al-Taubah: 105, Allah memerintahkan seseorang untuk bekerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja mawas.



Artinya: “Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah: 105) Wahbah al-Zuhaili menafsirkan, Q.S. At-taubah: 105, bahwa manusia diperintah untuk menjalankan pekerjaan sesuka hati “bekerjalah kalian sesuai kehendakmu” baik berupa kebajikan maupun kemaksiatan. Sedangkan Abu Ja’far al-ṭabari menyebutkan, bahwa ayat I’malū merupakan “peringatan”, karena konsekuensi dari kerja dalam Islam ialah penilaian orang beriman, di lihat Rasul berarti bekerja sesuai tuntunannya, dihisab Allah karena hasil kerja baik buruknya. Dengan demikian etos kerja dalam Islam adalah ibadah, bernilai dunia



akhirat. Sehingga bekerja tidak sekedar memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi berlandas pada Iman, Taqwa, dan kerjaas untuk kemaslahatan bersama. 3. Gotong Royong. Melirik sejarah bangsa Indonesia, Nusantara tidak dapat dipisahkan dari gotong royong. Leluhur bangsa Indonesia sejak jaman kerajaan, penjajahan, hingga awal kemerdekaan sentiasa terikat erat dalam budaya gotong-royong. Budaya bahu-membahu ampuh menggalang kekuatan dan menggiring gelombang ombak kebersamaan menuju dermaga kemerdekaan. Lain zaman lain generasi, masakini sapuan angin ribut dan derasnya budaya asing hampir menghanyutkan budaya bangsa. Budaya yang sebenarnya hampir mirip budaya jepang kyodo (gotong royong), hanya saja mereka tetap konsekuen menjalankan sifat tradisonal yang sudah turun temurun, sedangkan kita sudah banyak bergeser akibat berbagai faktor. Sejak



zaman



kerajaan



Majapahit,



doktrin



agama



sipil



untuk



mensenyawakan keragaman-keragaman ekpresi keagamaan telah di formulasikan oleh mpu tantular dalam sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa,” berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. Dalam Islam kebersamaan tolong menolong, bermusyawarah, tenggang rasa, bahumembahu bagian dari universalitas Islam menyangkut aspek sosial yang sangat di anjurkan bahkan diwajibkan, perhatikan bunyi ayat berikut:



Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah:2). Menurut Wahbah al-Zuhaili, tolong-menolong dalam kebajikan, taqwa, dan perkara yang dapat menenangkan hati, adalah wajib. Sedangkan bahu-membahu dalam permusuhan, kriminal, melanggar hukum, merampas hak orang, kemaksiatan dan dosa adalah haram. Pada ayat 71 Q.S. Al-Maidah, Allah Swt memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk saling bahu-membahu dalam menegakakan



kebenaran,



mencegah



yang



mungkar,



mendirikan



shalat,



menunaikan zakat, dan ketaatan pada Allah. Konteknya dalam berbangsa dan bernegara, kita diwajibkan menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dari neokolonialisme, mempersatukan kebhinekaan dalam bingkai ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhwuwah basyariyah. Menstabilkan keterpurukan ekonomi dari keberpihakan asing yang menghancurkan, membangun akhlak bangsa yang hampir roboh, melawan ganasnya budaya barat yang telah mengubah aspek tertentu dari kehidupan dan prilaku kalangan elit yang berperan sebagai pengambil keputusan karena pola pikirnya barat. Sudah



saatnya



ummat



bersatu,



bergotong-royong,



bahu-membahu,



berupaya membangun National Character Building (NCB) dari tangan-tangan panas, mulut berbisa, wajah ganda para pejabat dan elit bangsa yang tidak lagi memprioritaskan kesejahteraan, kemandirian, kedaulatan, dan kemaslahatan bangsa.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Revolusi mental sebagaimana disampaikan oleh presiden Joko Widodo, adalah “gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola pikir, sikap-sikap, nilai-nilai,



dan



prilaku



bangsa



Indonesia



yang



berdaulat,



berdikari



dan



berkepribadian”. Secara ekpisit ayat Al-Qur’an yang membahas tentang Revolusi mental yaitu:



Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.(Q.S. Ar-Ra’d: 11). Integritas, etos kerja dan gotong royong dalam perspektif Islam memiliki tujuan dunia-akhirat. Sehingga tujuan revolusi mental untuk memenuhi kebutuhan dan mengatur masyarakat, melindungi susunan masyarakat, menciptakan suasana tenang, menciptakan keharmonisan, bekerjasama, solidaritas dan gotong royong, damai antara anggota masyarakat; suku, agama, ras, dan adat, dapat dijalankan melalui konsep Islam yang komprehensif yang sudah jelas tidak bertentangan dengan nilai pancasila dan UUD 45. B. Saran Nilai-nilai integritas, etos kerja dan gotong royong harus benar-benar dapat diamalkan oleh setiap masyarakat kita. Selain itu integritas, pembangunan sektor ekonomi, dan menjaga kedaulatan negara tidak harus memutus urusan politik dan agama.



Karena



pemutusannya



menyebabkan



terjadinya



bangsa



yang



tak



berkeperibadian dan tak berperadaban. Pembangungan sektor material: SDA, SDS, prastruktur dan suprastruktur hanya akan menimbulkan ketergantungan pada bangsa asing-aseng jika tidak diiringi pembangunan SDM pribumi dan sektor immaterial yang kompeten dan berkepribadian unggul. Sehingga harus seimbang antara pembangunan sektor material dengan pembangunan SDM dan sektor immaterial.