Modul Digital Communication 2.0 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DIGITAL COMMUNICATION Kompetensi yang diperlukan untuk komunikasi yang efektif sebagai antisipasi tantangan yang dihadapi dan mengambil kesempatan yang terbuka di era digital. Dr. Desak Made Wihandani, M.Kes., dr. I Made Winarsa Ruma, Ph.D., dr. Agus Eka Darwinata, Ph.D.



Tujuan akhir dari modul ini adalah untuk membantu mahasiswa untuk memiliki literasi media dan informasi yang diperlukan dalam komunikasi yang efektif di dalam komunitas digital (digital society) dengan menjadi anggota komunitas digital yang teredukasi, berperan aktif dan kritis. Kemampuan akhir mahasiswa mencakup: 1. Mengetahui peran sentral literasi media dan informasi dalam transformasi komunikasi di era digital 2. Mengetahui cara untuk memverifikasi kebenaran informasi secara kritis. 3. Mengetahui dampak transformasi komunikasi di era digital terhadap kebebasan berpendapat, penyebaran dis-informasi, kesenjangan digital (digital divide) dengan peran dari kenetralan internet (net neutrality). 4. Mengetahui etiket dalam berkomunikasi di dunia digital dengan penekanan pada sensitifitas terhadap diskriminasi dan menghindari plagiarisme.



1. Literasi media dan informasi sebagai prasyarat kompetensi komunikasi yang efektif di era digital. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang terdigitalisasi telah menghasilkan lingkungan informasi yang kompleks dan dinamis, terhubung dan interaktif serta menyebar secara tidak terprediksi di mana pengawasan terhadap informasi tidak terbatas waktu dan tempat. Dengan perubahan lingkungan informasi yang berbasis kertas menjadi digital, fokus utama berubah dari literasi informasi menjadi literasi digital yang memungkinkan individu untuk hidup, belajar dan bekerja di lingkungan komunitas digital (digital society). Namun demikian, literasi informasi tetap



menjadi aspek fundamental untuk pembelajaran sepanjang hayat bagi mahasiswa yang menjadi literasi utama untuk mencapai keterampilan literasi lainnya untuk dapat mencapai kesuksesan dalam pendidikan akademik, partisipasi yang efektif dalam komunitas digital, dan pencarian dan penggunaan informasi secara efektif dalam dunia pendidikan dan kerja. Hal ini sesuai dengan deklarasi Praque yang mendefinisikan literasi informasi sebagai prasyarat untuk berpartisipasi aktif dalam komunitas digital berbasis informasi dan bagian dari hak dasar kemanusiaan (basic human right) untuk pembelajaran sepanjang hayat. Dengan literasi informasi, informasi dapat dianalisis sebelum digunakan dan disebarluaskan untuk memenuhi etika bersosialisasi dan komunikasi dalam komunitas digital. Pada era pasca industri seperti saat ini, keterampilan ini menjadi sentral dalam pencapaian literasi digital untuk meningkatkan kualitas hidup dalam komunitas digital. Gambar1. Literasi digital Literasi



media



adalah



proses



untuk



mengembangkan kemampuan untuk mengakses, memahami,



menganalisis



secara



kritis



dan



menghasilkan pesan dengan menggunakan semua media yang tersedia. Dengan melalui proses ini akan dicapai literasi media yang mampu untuk mengakses,



memahami



dan



menciptakan



komunikasi dalam berbagai kontek di dalam komunitas digital. Literasi media juga mencakup pendekatan sosial yang inklusif seperti partisipasi aktif sebagai warga negara dan anggota komunitas digital serta menekankan pada proses pembelajaran yang berkelanjutan, tidak hanya terbatas pada pendidikan formal. Perkembangan teknologi informasi yang baru, memberikan media bagi mahasiswa untuk berkomunikasi secara luas di luar lingkup kelas/kampus dan berpartisipasi dalam komunitasnya serta menciptakan perubahan dengan pengetahuan dan keterampilannya. Dalam upaya pencapaian literasi media dan informasi, terdapat lima hukum yang harus terpenuhi (Five Laws of Media and Information Literacy by Ranganathan’)



a.



Law one –Sumber informasi,



media komunikasi dan semua bentuk penyedia layanan informasi yang



kritis



digunakan



untuk



interaksi dan perkembangan yang berkelanjutan harus diperlakukan secara setara satu dengan lainnya. b.



Law two – Semua anggota



masyarakat



adalah



sumber



informasi/pengetahuan



sehingga



memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengakses informasi dan mengekspresikan dirinya. c.



Law



three







Informasi,



pengetahuan dan pesan/berita tidak selalu bersifat netral atau bebas dari bias. Dalam pengkonsepan, penggunaan dan aplikasi literasi informasi dan media masyarakat harus menyadari secara trasparan kenyataan ini. d. Law four – Setiap anggota masyarakat memiliki hak yang sama untuk mengetahui dan memahami suatu informasi baru, pengetahuan dan berkomunikasi, walaupun tidak menyadari, mengakui atau mengekspresikan dirinya. e. Law five – Literasi media dan informasi merupakan suatu proses dan perkembangan pengalaman yang dinamik. Literasi ini menjadi lengkap jika mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam upaya mendapatkan informasi secara on line, terdapat tiga cara utama untuk mendapatkan informasi di website: 1. Mengikuti link 2. Mengetik URL 3. Searching dengan search engine Keterampilan untuk menggunakan ketiga cara tersebut di atas menentukan kemampuan untuk mengakses informasi. Dari ketiga cara tersebut, kemampuan untuk menggunakan search engine



adalah elemen utama untuk mencari informasi secara online. Namun, keterampilan untuk memahami informasi sesuai dengan konteksnya, strategi untuk menganalisa dan mengasimilasi informasi sesuai kebutuhan dan pada waktu yang diperlukan merupakan keterampilan lanjutan yang diperlukan untuk literasi informasi. Kerangka konsep komunikasi terdiri dari 3 komponen: 1. Tiga tipe/bentuk informasi a. Dis-information b. Mis-information c. Mal-information 2. Tiga fase dari informasi a. Creation b. Production c. Distribution 3. Tiga elemen dari informasi a. Agent b. Message c. Interpreter Berdasarkan hasil penelitian, secara teoritis mekanisme otak untuk memahami konten visual secara fundamental berbeda dengan konten tulisan. Otak memproses konten visual dengan kecepatan tinggi dibandingkan dengan konten tulisan sehingga keterampilan berpikir kritis tidak bekerja sebagaimana mestinya seperti halnya mekanisme otak bekerja terhadap konten tulisan. Dengan transisi komunikasi di dunia digital yang didominasi oleh konten visual, perlu untuk disadari kelemahan mekanisme biologis dalam memproses informasi. Upaya sadar untuk kritis, membantu dalam menganalisis informasi baik berupa konten tulisan atau konten visual dengan lebih hati-hati. Literasi media dan informasi memiliki dua sisi yang berbeda, di satu sisi sebagai kompetensi untuk aktif sebagai anggota komunitas global digital yang kritis namun di sisi lainnya meningkatkan kemungkinan individualisme dan konsumerisme baik sebagai objek atau subjek seperti orientasi untuk mempromosikan diri (self-promotion/self-branding orientation).



Di satu sisi meningkatkan akses informasi secara global, namun di sisi lainnya meningkatkan resiko paparan terhadap dis dan mis-informasi yang secara berkelanjutan beredar di media sosial yang disebut dengan ‘digital disinformation’ beserta variannya yang menciptakan kesenjangan akses ke informasi yang berkualitas sehingga menimbulkan ‘informational poverty’ dan ‘informational malnutrition’. Namun perlu untuk disadari bahwa literasi media dan informasi sebagai dasar komunikasi di komunitas digital adalah bagian dari kesatuan proses yang mencakup legislasi dan reformasi pada media, pendidikan dan bidang lainnya yang relevan yang mencakup dari hal yang bersifat personal hingga politik, dari lokal ke global. Literasi media dan informasi sebagai kompetensi yang dinamis seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan media Literasi media dan informasi mencakup pengetahuan, keterampilan dan pemahaman untuk dapat menggunakan media sebagimana mestinya dengan aman serta pemikiran kritis untuk dapat menganalisa realita yang komplek sehingga dapat membedakan opini dan fakta. Sebagai konsekuensi literasi media dan informasi sebagai kompetensi utama dalam mengakses, menginterpretasi dan mengkomunikasikan informasi sehingga dapat mengurangi kesenjangan disinformasi. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai literasi informasi berdasarkan A New Curriculum for Information Literacy (ANCIL) yang dikembangkan dari the Arcadia project at Cambridge University (Coonan & Secker, 2011) meliputi: 1) Transisi ke perguruan tinggi 2) Pembelajaran mandiri (independent learning) 3) Literasi akademik 4) Pemetaan informasi 5) Mencari literature sesuai bidang keilmuan 6) Mengatur informasi yang diperoleh 7) Penggunaan informasi yang etis 8) Presentasi dan komunikasi 9) Mensintesis pengetahuan baru 10) Dimensi social/kultural dari informasi



Lima tingkatan kompetensi literasi informasi pada pendidikan tinggi mencakup: (Information literacy standards for higher education, 2000 by the Association of College and Research Libraries (ACRL) in the USA): 1. Level I



: Menentukan jenis dan kedalaman informasi yang diperlukan



2. Level II



: Mampu mengakses informasi yang diperlukan secara efektif dan efisien



3. Level III : Mengevaluasi informasi yang didapat beserta sumber informasinya secara kritis dan menginternalisasi informasi tersebut dengan pengetahuan dan pemahamannya. 4. Level IV : Mampu untuk menggunakan informasi tersebut secara personal atau kolektif untuk mencapai tujuan tertentu. 5. Level V



: Memahami berbagai masalah ekonomi, hukum dan sosial berkaitan dengan akses



dan pemanfaatan informasi secara etis dan legal. Komunitas saat ini dan pada masa yang akan datang terdiri atas semantic Web, Big Data, cloud computing, smart phones dan aplikasinya, the Internet of things, artificial intelligence yang menunjukkan komunitas yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Kompleksitas komunitas di era digital ini menuntut keterampian/kompetensi khusus untuk beradaptasi dengan ekosistem kerja yang berbeda, yang mencakup: a. Kompetensi konseptual (Conceptual competencies): connectivist thinking, innovative thinking and problem solving, critical thinking, reflective thinking dan positive thinking skills. b. Kompetensi praktis (Practical competencies): literasi media dan informasi. c. Kompetensi humanis (Human competencies): Ketermapilan dalam berinterkasi sosial, kolaborasi secara virtual, managemen diri, kesadaran humanistic, dan keterampilan interaksi lintas budaya. Kompetensi yang diperlukan pada era digital dan masa yang akan datang (Future Work Skills 2020) berdasarkan proyek yang dilakukan oleh the Apollo Research Institute (Davies, Fidler and Gorbis, 2011), yang mencakup 10 aspek kompetensi: a. Transdisciplinarity: the ability to understand concepts across multiple disciplines; b. Virtual collaboration: the ability to work productively, drive engagement and demonstrate presence as a member of a virtual team; c. Sense-making: the ability to determine the deeper meaning of what is being expressed;



d. Social intelligence: the ability to connect to others and to stimulate desired interactions; e. Cross-cultural competency: the ability to operate in a variety of cultural settings; f. Cognitive load management: the ability to filter information for importance, and know how to maximise cognitive functioning using a variety of tools and techniques; g. Novel and adaptive thinking: the ability to produce innovative solutions that go beyond rulebased thinking; h. Computational thinking: the ability to translate large amounts of data into abstract concepts and to understand data-based reasoning; i. New media literacy: the ability to critically evaluate and develop content that uses new media forms; and j. Design mindset: the ability to develop tasks and work processes that address desired outcomes.



2. Transformasi komunikasi massal dan media sosial dan peran pentingnya dalam komunitas digital yang demokratis di bidang politik dan budaya. Pada komunikasi digital, gambar, tulisan dan suara diubah dalam bentuk sandi elektronik berupa kombinasi angka satu dan nol yang dapat direproduksi secara digital dan ditansmisi secara global. Media komunikasi tradisional seperti televisi, radio telah digantikan oleh media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram sebagai pemain utama dalam penyampaian berita dan politik terutama untuk generasi milenial yang telah tumbuh dan berkembang di dunia digital. Media sosial juga sebagai pengganti “oral culture” dengan mendefinisikan ulang arti “oral culture” tanpa batasan wilayah dan waktu. Hal ini juga secara fundamental merubah berbagai aspek interaksi komunikasi dalam kehidupan sosial seperti model bisnis tradisional, cara interaksi dengan produk media dan gaya hidup keseharian dalam lingkup pengaruh media sosial yang beragam. Pada era digital, mis dan disinformasi terjadi pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teknologi informasi memungkinkan proses manipulasi dan fabrikasi konten informasi dengan mudah dan cepat yang disebarkan melalui jaringan sosial media yang dapat secara eksponensial dan dramatis mempercepat penyebaran dan proliferasi konten informasi yang menyesatkan yang disponsori oleh negara, politisi, perusahaan dengan kepentingan tertentu dan disebarluaskan oleh karena kekurangkritisan publik terhadap informasi yang diterimanya. Jaringan sosial media



dengan mudah menjadi wadah untuk propaganda, trolling, troll armies, ‘sock-puppet’ networks’dan ‘spoofers. Media sosial sebagai akses utama informasi dibanjiri oleh informasi yang bersifat personal hingga politik. Masyarakat sebagai pengguna sulit untuk memilah dan memverifikasi informasi yang diterimanya. Selain itu, sumber informasi dari bloggers, Instagram ‘influencers’ dan YouTuber seringkali memiliki kepentingan tertentu karena didukung oleh sponsor tanpa memerlukan klarifikasi adanya konflik kepentingan secara terbuka. Dengan demikian, sebagai anggota komunitas digital harus kritis terhadap media dan informasi yang diterima. Masyarakat perlu untuk memahami bahwa sebagian besar informasi yang beredar di media sosial tidak bersumber dari jurnalis yang memiliki kode etik dalam pelaporan informasi/berita yang telah terverifikasi kebenarannya dan memiliki sumber informasi yang kredibel. Hal ini yang membedakannya dengan bentuk lain dari komunikasi yang terjadi di dunia digital. Dengan demikian, informasi yang dihasilkan oleh jurnalis tanpa memegang prinsip jurnalisme namun masih mengkatagorikannnya sebagai berita, dikatagorikan sebagai disinformasi. Bagaimana mengkatagorikan sebagai informasi yang objektif untuk menciptakan kepercayaan dan kredibilitas, beberapa prinsip harus terpenuhi seperti fairness, independence, accuracy, contextuality, transparency, protection of confidential sources dan perspicacity. Pada tahun 2009, peneliti Harvard University Dr David Weinberger menyatakan bahwa “Transparency is the new objectivity”. Salah satu upaya kolektif untuk memudahkan komunitas digital dalam memilah informasi yang objektif adalah dengan pelaksanaan The Trust Project. Dari proyek kolaborasi ini, dibuat 8 kriteria utama yang harus dipenuhi untuk informasi yang bersifat objektif yaitu: 1. Best Practices: Pernyataan umum yang menunjukkan sumber dana, misi, komitmen terhadap kode etik jurnalistik, 2. Author/Reporter Expertise: Deskripsi lengkap jurnalis yang memberitakan informasi beserta riwayat berita yang telah dibuat sebelumnya. 3. Type of Work: Jenis berita yang dibuat dinyatakan secara jelas (opini, analisis, sponsor terhadap isi berita). 4. Citations and References: Sumber informasi.



5. Methods 6. Locally Sourced or expertise; pelaporan berita oleh ahli atau orang yang memeiliki pengetahuan yang dalam terhadap situasi local/komunitas local yang diberitakan. 7. Diverse Voices: Informasi disampaikan secara berimbang 8. Actionable Feedback: Mengakomodasi umpan balik dari pembaca Lima langkah (IDEAS) yang diperlukan dalam penyelesaian masalah dengan berpikir kritis dan proses pengambilan keputusan termasuk dalam menentukan kebenaran suatau informasi: 1. I: (Identify) Mengidentifikasi masalah dan menetapkan prioritas 2. D: (Deepen) Memperdalam pemahaman dan mengumpulkan informasi yang relevan 3. E: (Enumerate) Mempertimbangkan pilihan dan mengantisipasi konsekuensi 4. A: (Assess) Menganalisis situasi dan mengambil keputusan awal 5. S: (Scrutinize) Mengevaluasi kembali proses dan melakukan koreksi jika diperlukan Model Budaya untuk Pemahaman Komunikasi Massal. Secara teori, komunikasi dapat dipandang dari dua perspektif: transmisi dan ritual. Perspektif komunikasi sebagai bentuk transmisi informasi adalah bentuk paling umum dari komunikasi. Perspektif ritual dari komunikasi sebaliknya menganggap komunikasi sebagai bentuk representative dari membagi kepercayaan bukan hanya sekedar mentransmisikan informasi. Model pendekatan untuk memahami tentang media adalah dengan model budaya/model transaksional. Dengan pendekatan ini mempertimbangkan persepsi individu yang bervariasi terhadap pesan yang diterima. Berbagai faktor mempengaruhi seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, etnik, dan pekerjaan. Pada model komunikasi massal ini, penerima pesan secara aktif mengkonfirmasi, mengintepretasi, atau menolak pesan atau informasi yang disebarkan melalui berbagai jenis media. Model ini menunjukkan kompleksitas proses komunikasi massal dan peran kontrol yang terbatas dari pembuat pesan terhadap respon atau intepretasi penerima pesan terhadap maksud awal dari pembuatan pesan tersebut. Hal ini menunjukkan peran aktif penerima pesan dalam menentukan makna informasi pada media yang tergantung pada nilai dan pandangan yang bersifat personal. Fenomena ini disebut dengan “selective exposure”, yang mendasari pola pencarian dan penggunaan informasi yang sesuai dengan nilai budaya, kepercayaan, pandangan politik dan minat. Keberadaan internet dan media social membuat komplek peran tradisional baik pada model linear, interaktif dan transaksional/budaya dari komunikasi. Internet yang tak berbatas,



terdesentralisasi dan demokratis menyebabkan setiap orang bisa berperan sebagai sender informasi dan mengeliminasi peran dari gatekeeper. Walaupun ada upaya beberapa pemerintah yang berupaya mengkontrol server dari internet dan beberapa website yang membatasi konten yang dapat diupload, namun sebagian besar internet memungkinkan transmisi informasi tanpa editing atau persetujuan dari gatekeeper.



Gambar 3. Model linear, interaktif dan transaktional dari komunikasi. Komunikasi digital yang persuasif Terdapat lima bentuk komunikasi, yaitu: 1. Intrapersonal communication adalah komunikasi yan terjadi dalam diri 2. Interpersonal communication adalah komunikasi antara dua orang yang hidupnya saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. 3. Group communication adalah komunikasi yang terjadi pada tiga atau lebih orang untuk mencapai tujuan bersama. 4. Public communication adalah komunikasi dari satu orang kepada sekelompok orang sebagai audiensnya. 5. Mass communication adalah komunikasi yang dilakukan melalui media cetak, elektronik atau digital. Proses komunikasi yang terjadi di dunia digital melalui sosial media menyebabkan kaburnya batasan bentuk komunikasi yang terjadi. Bentuk komunikasi intrapersonal yang reflektif dalam bentuk pernyataan di media sosial dapat dipersepsikan sebagai bentuk komunikasi interpersonal, group/kelompok, publik dan massal dengan dampak yang lebih luas dari maksud awal komunikasi. Kaburnya batasan bentuk komunikasi ini, sering disalahgunakan oleh pihak yang berusaha untuk



mencapai tujuan komunikasi tertentu tanpa menerima konsekuensi karena dengan sengaja mengaburkan maksud dari bentuk komunikasi yang dilakukan. Enam karakteristik pesan/informasi yang bertahan lama di media informasi: 1. Sederhana (Simple), mengandung satu ide pikiran yang tereplikasi dengan mudah. 2. Tidak mudah terprediksi (Unexpected), menciptakan rasa keingintahuan dan minat. 3. Nyata terkait (Concrete) dengan hasil interaksi antar manusia yang bisa dipahami oleh manusia. 4. Terkredential (Credentialed), disampaikan oleh ahli atau mudah untuk dibuktikan oleh orang awam. 5. Membangkitkan emosi tertentu (Emotion-filled). 6. Disampaikan dalam bentuk cerita (Story-based). Pada tahun 2016 the Oxford English Dictionary dan the Society for the German Language menyatakan “post-truth” or “post-fact” era sebagai “Word of the Year”. Hal yang dinyatakan oleh “post-truthers” adalah politik dan media yang terpolarisasi sehingga masyarakat menolak fakta yang mereka tidak setujui. Sebagai anggota komunitas digital yang kritis, perlu memahami keterbatasan personal yang dapat mempengaruhi keputusan dalam evaluasi dan analisis suatu informasi. Hal yang perlu disadari antara lain: 1. Confirmation bias: Kecenderungan menilai suatu informasi yang sesuai dengan kepercayaan sebelumnya walaupun informasi yang dievaluasi bersifat tidak konsisten. 2. Motivated reasoning: Kecenderungan individu untuk mengambil keputusan terhadap suatu informasi yang sesuai dengan tujuan tertentu/hubungan emosional tertentu. 3. Avalaibility heuristic: Kebenaran suatu informasi dinilai berdasarkan frekuensi informasi tersebut terekspos. Dengan demikian, perlu upaya untuk mengklarifikasi kebenaran suatu informasi dengan menggunakan sumber eksternal untuk menghindari sumber bias personal. Berbagai sumber yang bisa digunakan meliputi: 1. https://www.poynter.org/channels/fact-checking 2. https://www.factcheck.org/ 3. http://cekfakta.com/



Beberapa penanda yang dapat diidentifikasi untuk verifikasi konten visual: 1. Apakah kontennya original atau merupakan bagian dari konten sebelumnya. 2. Apakah konten telah dimanipulasi secara digital? 3. Apakah waktu dan tempat dari konten bisa dikonfirmasi dari metadata? 4. Apakah waktu dan tempat dari konten bisa dikonfirmasi dari bukti visual pada konten? Cara mengkonfirmasi konten visual dapat dilakukan dengan menggunakan Reverse Image Search dengan 1. Google Reverse Image Search, 2. TinEye https://tineye.com/ 3. RevEye Dengan melakukan reverse image search pada data base image bisa diketahui versi paling awal konten visual tersebut muncul. Dengan demikian, jika konten visual yang digunakan merupakan image yang sudah muncul sebelum kejadian yang dikaitkan, kemungkinan besar merupakan konten visual yang digunakan ulang. Namun jika konten visual yang dicari tidak ditemukan, maka perlu dilakukan verifikasi lanjutan. Sedangkan verifikasi untuk konten video bisa dilakukan melalui beberapa pilihan seperti: 1. InVID http://www.invid-project.eu/tools-and-services/invid-verification-plugin/. 2. NewsCheck https://firstdraftnews.org/launching-new-chrome-extension-newscheck/ Selain itu, beberapa metode dapat digunakan untuk memverifikasi kesesuaian informasi seperti: 1. Kesesuaian cuaca dapat dikonfirmasi dengan WolframAlpha https://www.wolframalpha.com/examples/science-and-technology/weather-andmeteorology/ 2. Geolokasi, foto yang diambil dari kamera atau telepon selular menunjukkan koordinat lokasi. Namun, memerlukan cross-reference dengan karakteristik visual dan landmark yang berasal dari foto satelit, atau street view atau dari konten lain yang diposting di media sosial. 3. Analisis foto untuk menemukan tanda manipulasi pada foto dengan



https://29a.ch/2015/08/16/forensically-photo-forensics-for-the-web Fotoforensics tools available at: http://fotoforensics.com/ Izitru tools available at: https://www.izitru.com/



3. Dampak transformasi komunikasi di era digital terhadap kebebasan berpendapat, penyebaran dis-informasi dan hate speech, kesenjangan digital (digital divide) dengan peran dari kenetralan internet (net neutrality. Berkembangnya “Hate Speech” di sosial media dan dampaknya pada dinamika komunitas digital dan sosial. Berdasarkan rekomendasi the Council of Europe, 1997 – Hate speech mencakup semua bentuk ekspresi yang menyebarkan, menginisiasi, mempromosi atau menjustifikasi kebencian terhadap ras tertentu, xenophobia, anti-Semitism atau bentuk kebencian lainnya yang berdasar pada intoleransi seperti intoleransi yang diekspresikan oleh pandangan nasionalisme yang ekstrim, diskriminasi dan hostilitas terhadap minoritas, dan immigran. Hate speech mencakup merendahkan reputasi suatu kelompok tertentu, membuat suatu stereotype terhadap suatu negara, karakteristik ras atau religious tertentu yang disertai dengan pernyataan yang menginisiasi kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok tersebut. Konten Hate speech yang sering menimbulkan masalah adalah karena konten yang menyertakan emosi/perasaan tertentu yang sejalan dengan emosi yang dirasakan oleh audiensnya walaupun konten tersebut tidak berdasarkan fakta dan dengan persamaan emosi baik itu superioritas, amarah atau rasa takut menjadikan dasar untuk menyebarkan dis-informasi/hate speech tersebut pada komunitasnya. Dasar emosi yang terlibat dalam konten ini juga tercermin pada berbagai platform media sosial yang menggunakan likes, comments atau share sehingga konten mudah menyebar walaupun organisasi/platform yang menyediakan layanan verifikasi informasi makin banyak tersedia. Hate speech yang terjadi berusaha untuk menempatkan kelompok orang tertentu pada posisi superior/inferior terhadap kelompok lainnya yang menyebabkan disharmoni pada kehidupan sosial dan menimbulkan diskriminasi serta kekerasan. Hate speech memungkinkan untuk melabel tidak



hanya pada individu atau kelompok orang namun juga pada suatu kebangsaan, negara tertentu. Berikut ini adalah salah satu contoh peran sosial media dalam perluasan hate speech yang beredar: https://youtu.be/atKkZLZ2Fp4 Pada awalnya, Facebook, dan media sosial lainnya mendekripsikan bisnisnya sebagai perantara/mediator melalui jaringan sosial. Pada tahun 2012, kemuadian berubah menjadi bisnis dalam komersialisasi data. Dengan karakteristik seperti ini, facebook dan media sosial lainnya melepaskan tanggungjawab editorial terhadap semua konten yang ada di dalam platformnya walaupun banyak dis-. Mis-, dan mal-informasi yang beredar. Algoritma yang digunakan oleh Google, facebook dan twitter mengutamakan partisipasi pengguna dibandingkan dengan kebenaran dan kesetaraan. Berdasarkan data dari HateBase, aplikasi web yang mengumpulkan hate speech secara on line, menunjukkan sebagian besar hate speech menargetkan individu berdasarkan etnik, kebangsaan, agama, dan strata sosial. Tantangan berkaitan dengan hate speech secara on line terutama berkaitan dengan ranah hukum dan status anonim pengguna di media sosial. Hal yang perlu dipahami juga adalah sistem yang canggih dan inteligent dapat menguatkan diskriminasi yang sering dijadikan dasar dari hate speech yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa algoritma yang dibuat untuk membangun suatu sistem membawa bias yang dimiliki oleh penciptanya dan kenyataan bahwa karakteristik komunitas penulis algoritma masih belum merata mewakili karakteristik populasi secara general. Selain itu, machine learning systems hanya merefleksikan data yang digunakan untuk melatih sistem tersebut yang membawa pola diskriminasi sehingga sistem tersebut juga memiliki pola diskriminasi yang sama. Perlu untuk dipahami secara instingtual manusia cenderung untuk mempercayai bahwa suatu informasi yang dibagikan karena suatu alasan tertentu terlepas dari kebenaran dari informasi yang disebarkan. Sebagai contoh jika kita melihat sekelompok orang lari pada kondisi yang tidak semestinya terjadi, maka kita secara insting juga ikut lari sebagai upaya untuk melindungi diri. Pada komunitas digital, insting seperti ini justru membuat individu semakin rentan terhadap maksud tersembunyi dari suatu informasi yang disebarkan. Selanjutnya, bots sering digunakan sebagai alat untuk menyebarkan dis-informasi. Salah satu praktik yang dilakukan adalah “astroturfing” untuk menunjukkan informasi yang disebarkan



seolah-olah bersumber dari masyarakat umum dengan mendistribusikan informasi secara strategis melalui berbagai sumber seperti front groups, sockpuppets, dan bots sehingga seolah-olah bersumber dari berbagai sumber yang kredibel. Strategi ini bertujuan untuk menyebarkan disinformasi dengan memanipulasi penyebarannya sehingga terlihat trending dan membuat “fake news” terlihat lebih popular dan kredibel dari informasi yang berdasarkan fakta. https://youtu.be/Fmh4RdIwswE



“Skepticism is healthy; cynicism is toxic” Permasalahan Hoax atau fake news di social media/internet Tujuan utama sosial media adalah sebagai wadah/platform untuk menghubungkan antar personal/pengguna/user dengan berbagi informasi. Informasi yang dibagikan dapat dalam berbagai bentuk seperti berita, website atau konten lainnya beserta komentar terhadap konten tersebut. Facebook adalah social media terbesar di asia dan asia tenggara dengan jangkauan pasar sebesar 78% sehingga Facebook sebagai sumber berita utama di asia, dan asia tenggara. Sebagai contoh dominasi Facebook, di Filipina 97% aliran internet melalui Facebook sedangkan di Indonesia, Facebook juga sebagai sumber informasi utama untuk aktivitas politik. Namun demikian, peran Facebook sebagai gatekeeper sumber informasi masih sangat terbatas. Dengan demikian, sebagai pengguna aktif harus menyadari kelemahan ini dan berperanserta aktif dalam pencegahan penyebaran informasi yang salah (hoax/fake news). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks atau hoax adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Menurut Silverman (2015), hoax adalah sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun 'dijual sebagai kebenaran. Menurut Werme (2016), hoax adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta. Perlu dipahamai perbedaan nyata antara informasi yang palsu (hoax/fake news) dengan informasi yang bias. Hoax/fake news adalah berita yang tidak ada dasar kebenarannya sama sekali dan tidak pernah terjadi, sedangkan informasi yang bias adalah informasi yang memiliki kecendrungan opini



atau pendapat namun informasi yang diberitakan benar-benar terjadi. Media massa dengan afiliasi politik tertentu memiliki kecenderungan untuk memberikan informasi yang bias tapi jarang dalam bentuk hoax/fake news. Hoax atau fake news cenderung beredar di sosial media atau internet karena ketiadaan ‘editor’ atau ‘gatekeeper’ terhadap konten dari berita tersebut. Selain itu, hal yang perlu juga diperhatikan adalah keberadaan bias personal berupa availability bias dan confirmation bias. Availability bias terkait dengan persepsi apa yang dilihat lebih sering dipercaya sebagai sesuatu yang benar. Dengan alur informasi yang tidak mengenal batas, informasi mudah beredar dan berkembang tanpa proses verifikasi dan validasi yang memadai. Dengan demikian, jika informasi yang salah telah beredar luas , terdapat kecendrungan dipercaya sebagai berita atau informasi yang benar. Sedangkan, confirmation bias adalah pengaruh opini personal terhadap persepsi terhadap realita. Confirmation bias mempengaruhi persepsi terhadap media dan informasi yang disampaikan. Penelitian yang dilakukan pleh peneliti dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), USA, menunjukkan dis/mis-informasi berupa hoax/fake news dapat mencapai target audiensi dengan lebih cepat, lebih luas dan lebih jauh dibandingkan dengan fakta. Selain itu, terlepas dari jenis beritanya, disinformasi memiliki probabilitas 70% lebih besar untuk disebarluaskan melalui retweeted dibandingkan berita yang berdasarkan fakta. Satu studi menunjukkan, berita yang berdasarkan fakta memerlukan waktu 6 kali lebih lama untuk mencapai 1500 orang dibandingkan dengan dis-informasi. Net Neutrality sebagai faktor utama yang mempengaruhi hak kebebasan dalam berpendapat dalam komunikasi di era digital. Kebebasan berekspresi adalah komponen utama dalam mendukung demokrasi secara domestik atau internasional. Kebebasan berekspresi mencakup hak dasar dan instingtual dari manusia sebagai mahluk hidup yang direkognisi secara hukum internasional. Namun perlu untuk diketahui bahwa terdapat batasan dalam penyampaian pendapat terutama untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi seperti hak dan reputasi orang lain yang perlu dihormati, untuk keamanan nasional atau keamanan publik atau menjaga moral dan kesehatan interaksi social secara publik. Hak untuk mengemukakan pendapat secara bebas tidak hanya terbatas pada ketiadaan sensorship dari negara namun juga keadilan dalam infrastruktur yang menunjang kebebasan berekspresi. Dalam hal komunikasi di era digital, peranan internet sebagai wahana komunikasi



begitu vital. Namun perlu untuk dipahami kondisi natural dari internet dan penyedia layanan internet berkaitan dengan net neutrality. Net neutrality pada hakikatnya berkaitan dengan masalah politis dan moral, bukan merupakan masalah teknis. Internet telah menjadi media utama untuk mengekspresikan diri dan mengakses informasi, sehingga batasan/diskriminasi terhadap akses ini sangat mempengaruhi kebebasan dalam berekspresi. Dengan demikian, net neutrality adalah isu global yang utama berkaitan dengan hak kebebasan dalam berpendapat. Seperti yang diuraikan secara mendalam pada dua video berikut ini berkaitan dengan pentingnnya net neutrality. 1. https://youtu.be/fpbOEoRrHyU 2. https://youtu.be/92vuuZt7wak Beberapa metode yang melanggar prinsip kenetralan internet (net neutrality) 1. Diskriminasi dengan protocol/bandwidth throttling oleh Internet service provider (ISP) 2. Pemblokiran IP address dan deep packet inspection 3. Peering discrimination Dengan metode tersebut di atas menyebabkan perbedaan akses ke produk atau website atau perbedaan biaya yang dibebankan oleh pengguna, atau karena konten, wadah/platform sehingga menghambat kebebasan berpendapat. Kebebasan media yang efektif memiliki beberapa karakteristik mencakup seperti: 1. Ketiadaan atau mekanisme pembatasan melalui kontrol oleh pemerintah sehingga tidak ada pembatasn terhadap hak untuk mengemukakan pendapat 2. Kesetaraan hak bagi setiap warga negara untuk memiliki akses kebebasan berpendapat termasuk hak untuk berkomunikasi. 3. Kebebasan dari kontrol atau intervensi dari pemilik media atau kepentingan politik atau ekonomi. 4. Tingkat kompetisi dari sistem kepemilikan media untuk menghindari konsentrasi kepemilikan media dan cross-ownership media. 5. Kebebasan media untuk memperoleh informasi dari sumber yang relevan. Prinsip media equity mencakup 1. Akses



a. Open/terbuka b. Proporsional 2. Diversity a. Change b. Reach 3. Objektivity a. Neutrality b. Fairness c. Truth Peranan dari media dalam komunikasi informasi; 1. Sebagai jendela (window) dari kejadian dan pengalaman yang memperluas visi tanpa hambatan dari orang lain. 2. Sebagai cermin (mirror) dari komunitas dan dunia dengan persepsi personal yang dapat mempengaruhi informasi yang diterima. 3. Sebagai filter, gatekeeper atau portal yang memfilter dis-informasi yang beredar. 4. Sebagai signpost, guide atau interpreter yang dapat mengarahkan dalam perkembangan informasi yang semakin divergen dan terfragmentasi. 5. Sebagai forum atau platform presentasi informasi dan ide bagi audiens dengan kesempatan untuk memberikan respon atau umpan balik. 6. Sebagai disseminator informasi. Manfaat internet bagi demokrasi dan politik 1. Memungkinkan komunikasi secara vertikal dan horisontal 2. Mempromosikan kesetaraan 3. Menghilangkan perantara (disintermediation) antara masyarakat dan politisi 4. Efisiensi biaya 5. Ketiadaan batasan wilayah dan kontak untuk berinteraksi.



4. Mengetahui etiket dalam berkomunikasi di dunia digital dengan penekanan pada sensitifitas terhadap diskriminasi dan menghindari plagiarisme. Melihat partisipasi aktif pengguna internet atau anggota komunitas digital sangat menentukan keberlanjutan dampak positif perkembangan teknologi komunikasi dan membatasi dampak negatifnya, maka terdapat komunitas yang berusaha untuk mengedukasi anggota komunitas digital



untuk menerapkan prinsip-prinsip yang baik dalam berinteraksi di dunia digital dalam bentuk pernyataan individu seperti yang tersebut di bawah ini: Pernyataan janji personal/individu untuk menjadi anggota komunitas digital yang aktif dan produktif mencakup: 1) Hanya menyebarkan informasi yang benar (share the truth). 2) Memverifikasi (verify) kebenaran informasi sebelum membagikan informasi tersebut kepada orang lain. 3) Memproporsikan secara berimbang (balance) dengan membagikan keseluruhan informasi yang benar walaupun beberapa aspek di dalamnya tidak sesuai dengan pendapat pribadi saya. 4) Mengikutsertakan referensi (cite) dengan orang lain sehingga bisa mengkonfirmasi ulang kebenaran informasi yang diberikan. 5) Mengklarifikasi (clarify) fakta dengan membedakannya dengan pendapat pribadi. 6) Menghargai kebenaran 7) Berani menyatakan kebenaran informasi yang dibagikan oleh orang lain walaupun tidak sependapat. 8) Berani mengevaluasi ulang (reevaluate) informasi yang diragukan kebenarannya oleh orang lain dan meretraksinya jika tidak mampu untuk memverifikasinya. 9) Berani membela (defend) orang lain yang dicerca secara on line karena membagikan informasi yang benar, walaupun tidak sependapat. 10) Menyelaraskan (align) pendapat pribadi dengan perilaku yang berdasarkan informasi yang benar. 11) Memotivasi kebenaran 12) Meminta orang lain untuk meretraksi informasi yang sumbernya telah teretraksi. 13) Mengedukasi (educate) orang lain di sekitar kita untuk tidak menggunakan sumber yang tidak reliabel.• Merujuk (defer) pada opini ahli jika terjadi kontroversi pada suatu informasi. 14) Mengapresiasi orang lain yang telah meretraksi pernyataan yang tidak berdasarkan fakta. Pernyataan tersebut di atas adalah contoh komitmen sebagai anggota komunitas digital untuk menjadi anggota komunitas digital yang teredukasi, berperan aktif dan kritis.



Peran yang besar bagi media dalam komunikasi di era digital, sesuai dengan terminology media sebagai ‘the fourth estate’ yang disampaikan oleh Edmund Burke yang menunjukkan posisi media setelah Lords, Church dan Commons. Hal ini disebabkan oleh kekuatan media yang mampu untuk menahan atau menyampaikan informasi yang bisa mengarahkan opini publik. Namun dengan perkembangan teknologi informasi dan internet, kekuatan media mulai bergeser kepada individu sebagai anggota komunitas digital. Namun hal ini sangat tergantung pada tingkat literasi digital individu sebagai bagian dari komunitas digital. Dampak dari diseminasi informasi yang berkualitas (media truth) 1. Berkontribusi pada pembentukan komunitas yang teredukasi dan tenaga kerja yang terampil 2. Menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang demokratis. 3. Menghindari propaganda dan tawaran yang irrasional 4. Memenuhi kebutuhan informasi untuk keperluan aktivitas sehari-hari. Proses akuntabilitas media (media accountability) harus memenuhi 4 kriteria umum yaitu: 1. Menghormati kebebasan berpendapat/ hak untuk publisitas 2. Mencegah dampak negative dari publikasi/informasi terhadap individu atau komunitas. 3. Mendorong publikasi/informasi yang bersifat positif dan tidak bersifat restriktif 4. Bersifat transparan Sebagai akademisi, bentuk dari tanggungjawab terhadap kebenaran informasi dan akuntabilitas publik, salah satunya adalah menghindari plagiarisme. Hal yang perlu lebih dipahami dalam proses sitasi adalah meletakkan landasan yang rasional pada teori atau penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, bukan hanya sekedar menghindari plagiarime. Mahasiswa harus memahami cara untuk memilih dan memvalidasi sumber referensi, memparafrasekan kalimat yang digunakan dan mengelaborasikannya dengan pengetahuan dan ide yang dimilikinya. Menghindari plagiarism tidak hanya sekedar bentuk pemujaan terhadap integritas akademik namun menekankan pada pengembangan praktik pada komunitas yang menghargai penulisan yang kreatif dan reflektif. Sebagai mahasiswa perlu untuk mengklarifikasi dengan baik sumber referensinya dan memahami pentingnya untuk mengejar kejujuran intelektual sebagai salah satu kompetensi utama sebagai anggota komunitas digital yang kritis dengan mengutamakan pembelajaran sepanjang hayat.



Sebagai anggota komunitas yang kritis, mahasiswa juga perlu mengetahui bahwa banyak referensi ysng tersedia di dunia digital memiliki bias kepentingan. Salah satu bentuknya adalah “ghostwriting” sebagai upaya untuk menimbulkan keraguan pada hasil penelitian yang menggunakan dasar-dasar ilmiah yang baik dengan mempublikasi hasil yang bertentangan namun tanpa menggunakan dasar ilmiah yang baik. Idealnya, dalam publikasi ilmiah konflik finansial harus dinyatakan secara terbuka, terutama jika hasil penelitian berkaitan dengan tingkat keamanan dan efektifitas produk dari suatu perusahaan. Dalam upaya untuk menghindari hal tersebut, banyak perusahaan berusaha untuk mempublikasi counterfeit science pada jurnal yang memiliki kredibilitas dengan secara selektif mempublikasikan hasil positif sesuai dengan harapan perusahaan sehingga dapat memberikan dampak yang serius pada kesehatan masyarakat dan keamanan sosial. Hal yang paling berbahaya berkaitan dengan “fake news/disinformasi, “ghost-writing, counterfeit science atau hate speech adalah dampak dari disinformasi yang mendeligitimasi pendapat ahli, institusi yang berwenang, dan konsep dari objektivitas sehingga mengurangi kemampuan anggota masyarakat digital untuk berdiskusi secara rasional yang berdasarkan atas data objektif/fakta yang tidak diskriminatif.