Modul MPK Agama Hindu PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

1



AGAMA HINDU : SEJARAH, SUMBER DAN RUANG LINGKUP



I KETUT NYANADEVA NATIH NYOMAN METTA N. NATIH



UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA 2016



2 DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ....................................... INTRODOKSI ........................................... BAB I KARAKTER AGAMA HINDU ………………………………………1 1.1



Istilah Hindu ………………………………………………….. 1



1.2



Karakter agama Hindu …………………………………………1



1.3



Istadevata dan adikara ……………………………………….



4



BAB II PERKEMBANGAN AGAMA HINDU………………………………. 9 2.1



Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India ………………. 9



2.2



Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Indonesia ………….26



BAB III KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU ………………39 3.1



Konsep Ketuhan Menurut Veda ……………………………… 39



3.2



Agama Veda-Upanisad: Konsep Ketuhanan (Atman-Brahman 40



3.3



Kedudukan Para Dewa ……………………………………….. 45



3.4



Aspek Immanen dan Transendental Tuhan …………………... 50



3.5



Iswara dan Penciptaan ……………………………………… ..52



BAB IV SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU ……………..57 4.1



Pengantar ………………………………………………………57



4.2



Sumber Agama Hindu …………………………………………58



4.3



Ruang Lingkup Agama Hindu ……………………………… 70



BAB V SIMBOL DALAM AGAMA HINDU ……………………………… 79 5.1



Pengantar …………………………………………………… 79



5.2



Makna dan Hakikat Simbol dalam Agama Hindu …………



5.3



Beberapa Contoh Simbol dalam Agama Hindu …………… 81



79



3 BAB VI FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA …… 84 6.1



Umur Veda …………………………………………………. 84



6.2



Kedudukan Veda bagi Umat Hindu ………………………… 85



6.3



Pembagian Kesusastraan Veda ……………………………… 86



6.4



Kitab-kitab Samhita ………………………………………… 87



6.5



Kitab-kitab Brahmana ……………………………………… 88



6.6



Kitab-kitab Aranyaka ………………………………………. 88



BAB VII SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU DI INDIA …………94 7.1



Kalender ………………………………………………………94



7.2



Tahun Hindu di India …………………………………………97



BAB VIII HARI RAYA SUCI AGAMA HINDU ……………………………101 8.0



Pendahuluan ………………………………………………



101



8.1



Hari Raya Siwaratri ……………………………………….



102



8.2



Hari Raya Nyepi ………………………………………….



107



8.3



Hari Raya Galungan dan Kuningan ………………………



130



4



KATA PENGANTAR



Nasakah-naskah yang dihimpun menjadi satu buku ini, pada mulanya merupakan naskah-naskah ceramah dan seminar agama Hindu yang kami berikan di beberapa tempat, baik di Jakarta maupun di luar Jakarta. Naskah-naskah tersebut telah berulang-ulang diperbaiki dan diketik ulang disesuaikan dengan bentuk himpunan yang saling berhubungan sampai dengan yang terakhir ini. Materi naskah-naskah ini sekaligus kami pakai landasan dasar penanaman kehinduan di kalangan mahasiswa kami, baik di Universitas Indonesia maupun di beberapa universitas lainnya di Jakarta, tempat kami mengajar agama Hindu. Misalnya di Universitas Indonesia, kami mengajar agama Hindu dan Buddha sejak tahun 1967. Semenjak itu, kami berusaha mencari-cari bahan untuk dijadikan dasar utama pengertian dan pemahaman agama Hindu (dan Buddha) yang universal. Hal itu kami cari karena memang karakter kedua agama ini sangat universal sehingga sangat bervariasi pelaksanaannya di seluruh dunia. Bahkan di Indonesia saja pelaksanaannya sangat bervariasi. Munculnya beraneka ragam variasi tersebut tidak saja disebabkan oleh beraneka ragamnya suku-suku bangsa Indonesia, tetapi juga disebabkan oleh lokasi mereka. Umat Hindu (dan Buddha) tinggal begitu tersebar di seluruh pulau dan kepulauan Indonesia. Keadaan itu mempengaruhi terhadap penyiapan dan pemakaian sarana, lokasi, waktu dan sebagainya (desa, kala, dan patra) dalam melaksanakan ritual atau upacara-upacara keagamaan. Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai lembaga umat Hindu telah berusaha membuat pokok-pokok dasar yang dianjurkan dipergunakan sebagai pedoman dasar. Hal itu ditempuh untuk menghindari hambatan dan kendala yang mungkin muncul di kalangan umat pada saat-saat melaksanakan kegiatankegiatan keagamaan. Tentu tidak harus persis seperti di Bali pelaksanaannya karena alasan seperti yang telah kami kemukakan tadi. Apalagi usaha



5 penyeragaman dalam segala bidang tidak mungkin bisa terjadi. Lagi pula usahausaha kearah itu memang sulit, sukar, dan memang tidak perlu. Kecuali kesiasiaan saja dipanen. Oleh karena itulah, kami akhirnya dapat menjelaskan bahwa ada karakter tertentu agama Hindu (dan Buddha) yang menyebabkan survivel dan merambahnya Hindu sepanjang masa dan zaman. Sejak 6000SM sampai sekarang Hindu terus dan tetap hidup berkembang merambah seluruh permukaan bumi dengan corak, warna, wujud, gaya, dan sebagainya yang bervariasi. Sesuai dengan nama panggilan aslinya ‘sanatanadharma’ (agama yang kekal abadi) memang Hindu tanpa awal dan tanpa akhir. Justru karena itulah Hindu terus dan terus hidup bertumbuh kembang mengikuti pertumbuhkembangan budaya manusia di mana pun mereka berada dan bermukim. Pada kesempatan ini, dengan rendah hati kami mengucapkan angayubhagya kepada para leluhur, para dewa samudaya, dan Sang Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Begitu juga terima kasih tidak terkira kami sampaikan kepada Ibu Ketut Geniki yang sangat sabar dan tekun mendampingi kami sejak 1958; juga kepada semua putra-putri dan menantu serta cucu kami yang sangat kami kasihi dan sayangi. Walaupun sekecil apa pun makna dan nilai buku ini di tenagh-tengah buku-buku Hindu yang telah ada dan yang akan ada di persada Indonesia, kiranya pada tempatnya kami berdoa dengan harapan semoga buku kecil ini ada manfaatnya bagi siapa pun yang tekun mendalami Hindu atau pun yang ingin mengetahui tentang agama Hindu. Untuk kesempurnaannya sangat diharapkan bantuan semua pihak



terutama para pembaca yang budiman dan bijaksana.



Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru.



Jakarta, Agustus 2016



1 BAB I KARAKTER AGAMA HINDU



1.1 Istilah Hindu Nama hindu sebenarnya tidak asli. Nama ini, diberikan oleh orang-orang (para imigran) yang datang di India sejak berabad-abad yang lalu. Mereka datang di India melalui celah-celah (pass) Kayber, di barat daya (north-western) pegunungan Himalaya. Kata hindu hanya berarti: orang-orang yang mendiami lembah Sungai Indus (Indus valley). Kemudian, keyakinan (faith, sraddha) yang dianut oleh mereka itu dikenal sebagai Hinduisme (agama Hindu). Sebenarnya istilah ekspresi yang biasanya dipakai dalam kitab suci di India untuk Hinduisme, adalah vaidikadharma dan sanatanadharma, yang berarti: agama atau Veda-veda dan agama yang kekal abadi (faith ethernal). Kitab suci Veda berisi sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah perkembangannya menerima tambahan-tambahan dan interpretasi dalam literaturliteratur agama yang ditulis baik dalam bahasa Sanskerta, maupun dalam bahasabahasa lainnya. Kebenaran Veda ini, adalah kekal abadi, karena berisi ajaranajaran realitas spiritual (spiritual reality).



1.2



Karakter Agama Hindu



Sesungguhnya setiap agama mempunyai karakter, sifat atau ciri. Karakter itulah yang merupakan pola dasar proses perkembangan agama tersebut dalam perjalanan sejarah penyebarannya ke seluruh penjuru dunia. Karakter tersebut menjadi ciri khas sebuah agama, dan sekaligus menjadi barometer pembanding antar agama di kawasan dunia ini. Agama Hindu, sebagai agama besar dan paling tua di dunia, juga mempunyai karakter tersendiri. Karakter itulah yang menyebabkan agama Hindu memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah panjang yang pernah dilaluinya sepanjang zaman (sejak 6000 BC). Adalah suatu



2 kenyataan bahwa tersebarnya keberadaan agama Hindu di seluruh dunia sangat beraneka ragam, jadi sangat bervariasi. Tidak ada keseragamannya dalam segala bidang apa



pun.



Keseluruhan



pelaksanaan



kegiatannya



diwarnai



oleh



keaneragaman budaya penganutnya di mana pun agama tersebut dianut. Keadaan seperti itu sangat mengundang pertanyaan ‘mengapakah demikian?’. Misalnya hari suci atau hari raya Hindu yang dirayakan umatnya tidak sama di permukaan bumi ini. Segabai contoh, umat Hindu di India (bahkan umat Hindu keturunan India di mana pun mereka bermukim), merayakan hari raya seperti : Dipavali, Durgapuja atau Navaratri, Holi, Tahun Baru Telugu, Vasanta Pancami. Sedangkan di Indonesia umat Hindu merayakan hari raya atau hari suci seperti : Sivaratri, Nyepi, Pagerwesi, Galungan – Kuningan, dan Saraswati. Hari raya Sivaratri dan Nyepi dirayakan setahun sekali, sedangkan hari raya Pagerwesi dan lain-lainnya itu dirayakan setiap 210 hari. Begitu juga aspek yang lainnya juga sangat bervariasi. Mengapakah begitu?



1.2.1 Landasan pijakan agama Hindu



Sesungguhnya, hal yang menyebabkan para peneliti yang mempelajari agama



Hindu,



sangat



terpesona



terhadap



tradisi



Hindu,



adalah



keanekaragamannya. Dalam perjalanan perkembangan sejarah kehidupan agama Hindu, - yang usianya telah mencapai ribuan tahun ( a.l.: menurut Tilak yang menggunakan cara astronomi Rg Veda, veda yang tertua, dikomposisi sejak tahun 6000 SM), - kemudian lahir dan berkembang banyak sekte agama, dan aliran filsafat yang muncul dari agama Hindu.



Kita akan menemukan berbagai macam ajaran, praktek agama, dan beraneka ragam cara dan jenis



pemujaan yang dilaksanakan oleh para



penganutnya di mana pun agama Hindu itu hidup dan berkembang. Keanekaragaman seperti itulah yang sangat mempesonakan para cendekiawan yang mempelajari agama Hindu. Oleh karena itu, timbullah pertanyaan di hati



3 mereka, bahkan di hati kita juga, "Mengapakah demikian? Tidakkah bisa diseragamkan?" Sebenarnya pasti ada 'sesuatu' di dalam agama Hindu (Hinduism) yang menyebabkan agama Hindu bisa tetap hidup mengikuti irama zaman yang dilaluinya, sejak 6000 SM sampai dengan sekarang, bahkan dengan masa yang akan datang. Berbeda halnya dengan agama-agama kuno yang pernah hidup dan berkembang di dunia ini yang bersamaan dengan agama Hindu saat itu. Misalnya: agama Yunani Kuno, Mesir, Mesopotamya, Babylonia, Asyria dan lain-lainnya. Kita mengetahui dalam sejarah, bahwa agama-agama kuno itu kemudian satu per satu berguguran di muka bumi ini. Jadi, agama Hindu sudah sempat menyaksikan gugurnya agama-agama kuno yang pernah hidup sejaman dengannya seperti: agama Mesopotamya, Babylonia, Syria, Persia, Mesir, dan Yunani Kuno itu. Adapun agama-agama kuno itu satu per satu berguguran di muka bumi akibat karakternya tidak bisa mengikuti irama perubahan dan perkembangan yang terjadi di alam ini. Berbeda halnya dengan agama Hindu. Agama Hindu kendatipun usianya sangat tua (80 abad), namun masih tetap hidup subur dan jaya dipermukaan bumi ini. Apakah yang menyebabkannya? Adalah sangat menarik, seandainya kini kita melihat di sekeliling kita, agama-agama yang seumur dan sezaman dengan agama Hindu, seperti tersebut tadi. Jika kita pergi ke Itali dan Yunani misalnya, maka kita akan bertanya dalam hati kita, "Di manakah agama dan peradaban Roma dan Yunani kuno? Apakah kita dapat melihat agama kuno itu di Yunani dan Italia sekarang?" Berbeda halnya jika seandainya kita pergi ke India --(yang juga dapat kita temukan di Bali sampai sekarang) - ternyata agama dan budaya India kuno masih tetap hidup sampai saat sekarang. Walaupun di sana-sini kita menemukan adanya perubahan-perubahan,



perkembangan, bahkan penyim pangan-penyimpangan,



namun pada dasarnya masih tertanam subur 'harta karun' spiritual yang berlimpah-limpah. Tidak seperti di Yunani dan Italia. Mengapa demikian keadaannya? Pertanyaan ini dari tadi muncul namun belum juga bertemu jawabannya.



4 Sesungguhnya jawabannya sangat sederhana, yakni : bahwa salah satu penyebab, mengapa agama Hindu masih tetap hidup berkembang dari zaman 6000 BC sampai sekarang, bahkan sampai masa-masa yang akan datang, adalah karena dasar atau landasan berpijak agama Hindu tidak berada pada material lines, tetapi pada spiritual lines.



Jadi, landasan pijakan di atas spritual lines



itulah yang menjadikan agama Hindu tetap hidup subur sepanjang masa. Dengan landasan itu, agama Hindu



mampu menyesuaikan dirinya dengan irama



perkembangan dan perubahan alam semesta ini. Itu berarti, bahwa di belahan bumi mana saja



agama Hindu hidup, agama tersebut akan mampu hidup



berkembang subur menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Landasan spirirtual lines itu , sebagai tempat berpijak agama Hindu, sangat universal, sangat umum; bahkan dari landasan pijakan yang universal itulah muncul



karakter



agama Hindu yang juga sangat umum.



1.3



Istadewata dan adhikara Pada dasarnya, agama Hindu memiliki dua macam karakter: pertama,



ajaran mengenai konsep bentuk Tuhan yang dapat dipilih (ista devata), dan kedua, ajaran tentang spiritual yang juga bisa dipilih (adhikara).



Pertama, dari ajaran dasar istadevata ini, ialah kebebasan yang diberikan oleh agama Hindu kepada para pemeluknya, umat Hindu, untuk memilih bentuk Tuhan, -- yang telah diterangkan dalam kitab-kitab suci, personal God atau impersonal God,--



yang ingin mereka puja, sesuai dengan kesenangan dan



kemantapan hati nuraninya ( atmanastusthi, atau atmatusthi) Di sini juga ada keunikan, sehingga Max Muller, --yang banyak menyelidiki Hinduisme pada abad ke-19-- sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan dewa-dewa dalam agama Hindu atau Hinduism. Menurut Max Muller, bahwa Hinduisme bukan agama polytheisme. Jika seandainya di dalam agama Hindu (Hinduism), terdapat seseorang yang telah memilih satu Dewa tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kitab sucinya, maka dewa-dewa yang lainnya secara otomatis



5 menjadi "sub atau bagian" Dewa yang dipuja. Kedudukan para dewa lainnya langsung berada di bawah kedudukan Dewa yang dipujanya. Jadi, bentuk pemujaan seperti ini, sangat berlainan dengan bentuk polytheisme, yakni kedudukan antara dewa yang dipuja dengan para dewa lainnya masih sejajar dan sama, bahkan masih ada kompetisi kekuatan di antara para dewa tersebut. Sehubungan dengan itu Max Muller kemudian menyebut agama Hindu (Hinduism) sebagai agama Henotheism. Tetapi, menurut pandangan saya, istilah "isme" di dalam studi agama-agama, sesungguhnya hanya



dapat dipergunakan



oleh para sarjana Barat. Hal itu disebabkan, karena istilah "isme" ini sulit diterapkan pada agama Hindu, karena sifat keunikan agama Hindu itu sendiri.Seandainya kita menerima bentuk henotheism Max Muller, maka hal itu juga dijadikan bahan argumentasi,- maka sekelompok indolog lainnya, seperti Prof. Murti, -- yang mengatakan bahwa agama Hindu (Hinduism)



adalah



pantheism ( semua reality adalah divine ). Kedua, ajaran adhikara, memberikan kebebasan kepada penganut agama Hindu untuk memilih disiplin, tatasusila dan tatacara yang sesuai dengan budaya, kemampuan dan kesenangan serta kemantapan hati nuraninya (atmatusthi) . Jadi, bagaimana caranya melaksanakan pemujaan dan dengan sarana apa saja yang dipakai untuk pemujaan itu, adalah terserah kepada atmanastusthi mereka. Kemudian dalam perkembangannya di daerah-daerah tertentu (misalnya di Bali/Indonesia) disebut: desa, kala, dan patra atau tempat, waktu dan keadaan. Menurut pandangan saya, kedua konsep ini muncul dari pandangan umat Hindu, bahwa kitab suci Veda itu bersifat apaurushya (tidak dibuat oleh manusia), dan nitya (kekal abadi). Kita dapati Veda itu melalui revalations atau sruti (wahyu) yang diterima oleh para Maharesi Namun, oleh karena



keadaan kita



yang masih belum sempurna (belum jivanmukti)



inilah yang mengakibatkan



interpretasi kita terhadap Veda belum sempurna.



Hal itulah yang membuat



agama Hindu (Hinduism) terdiri dari berbagai aliran filsafat, bahkan berbagai aliran sekte dan agama, yang mampu hidup bertahan sejak zaman India kuno Sampai-sampai bentuk pemujaan animistic dapat kita temukan bersamaan dengan bentuk monotheistic dan monistic yang sangat tinggi. Agama Hindu berpendirian,



6 bahwa setiap bentuk pemujaan dianggap sebagai satu langkah maju yang sangat berguna untuk menuju keadaan yang lebih tinggi. Bahkan, setiap bentuk pemujaan itu dipandang dengan toleran dan pengertian yang sangat mendalam. Agama Hindu tidak memaksa akan adanya keseragaman bentuk pikiran dan cara berpikir serta dalam praktek. Agama Hindu menyadari, bahwa setiap manusia memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang beraneka ragam, bahkan menyadari bahwa setiap manusia berada pada tingkat perkembangan spiritual yang berbeda.Sehubungan dengan itu, Mahatma Gandhi mengatakan (Journal Young India, 8-4-1926) bahwa, " Hinduism adalah sebuah organisme hidup, yang dapat berkembang dan juga mati, dan merupakan subjek hukum Nature (Tuhan). Akarnya begitu besar dan kuat, yang sudah tumbuh pada pohon yang besar, dengan cabang dan ranting yang tidak terhitung jumlahnya. Perubahan



musim mempengaruhinya: dia mempunyai musim gugur, musim



panas, musim dingin, dan musim bunga". Dengan kata lain, Max Muller mengatakan, bahwa agama Hindu mempunyai kamar untuk setiap agama , dan agama Hindu merangkul mereka dengan toleran. Begitu juga, Dr. K. M. Sen mengatakan, bahwa definisi agama Hindu (Hinduism) menghadirkan kesulitan lain. Agama Hindu (Hinduism) lebih menyerupai sebatang pohon, yang tumbuh perlahan-lahan, daripada sebuah bangunan megah yang dibangun oleh arsitek besar, pada saat tertentu dan dalam satu waktu tertentu pula Lain daripada itu, agama Hindu tidak menekankan faithnya (keyakinannya) kepada seorang resi atau nabi. Hal itu dikarenakan bahwa menurut agama Hindu, jalan menuju Tuhan sangat luas pada vision yang terusmenerus dan experience pada Tuhan yang tanpa henti-hentinya. Tuhan ada tanpa awal dan akhir. Sehubungan dengan itu, Savepalli Radhakrisnam menulis ("The Hindu View of Live, Macmillan, New York, 1973, hlm.55), " Hinduism lebih merupakan suatu cara hidup daripada



suatu bentuk pemikiran. Ketika dia memberikan



kebebasan mutlak dalam dunia pemikiran, agama Hindu menekankan satu etika dan disiplin".



Seterusnya dia melanjutkan, bahwa agama Hindu tidak



7 menekankan pada



bidang kecocokan interpretasi agama, tetapi pada satu



spiritual dan ethika dalam kehidupan. Jadi, terlihat agama Hindu (Hinduism) terdiri atas banyak sekte dan ideologi. Namun, semua sekte itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas satu Reality yang sama, serta sekte-sekte itu pada hakikatnya adalah cara yang bebeda untuk mencapai goal atau tujuan yang sama Dengan kata lain, bahwa keanekaragaman itu bukan bentuk akhir (final) agama Hindu (Hinduism), tetapi semua bentuk atau sekte itu adalah laksana untaian sebuah persatuan dan kesatuan. Kesatuan (unity) itu dapat kita temukan dalam nilai-nilai dan tujuan (goal) terakhir yaitu moksa, serta beberapa konsep filsafat mereka



yang sama,



misalnya: karma, samsara, dan sebainya, yang dianut oleh semua aliran dan sekte yang beraneka ragam itu. Jadi, walaupun beraneka ragam tetapi tujuannya sama Contoh berikut ini semua akan menjelaskan, mengapa konsep filsafat yang kelihatannya bertolak belakang, seperti monism-nya (hanya Tuhan yang real) Sankara, dan dualism-nya "kapan hamba akan dapat menyembah kaki-Mu)



aliran Bhakti, tidak



menimbulkan konflik kekerasan. Sumber kesatuan (unity) lainnya yang dalam bahasa filsafatnya disebut caritra, conduct atau charackter (perilaku atau karakter).



Sudah juga adanya persetujuan tentang kode-kode etika dan nilai-nilai



atas perilaku. Oleh sebab itu, untuk menerangkan prinsip-prinsip agama Hindu (Hinduism) kepada orang yang belum familiar dengan agama Hindu, merupakan usaha yang sulit dan tidak mudah. Salah satu penyebabnya, adalah banyaknya istilah dalam agama Hindu (Hinduism), yang sulit dicarikan sinonimnya dalam bahasa Eropa/Indonesia. Hampir semua penulis tentang agama Hindu (Hinduism), dengan terpaksa harus menunjukkan bahwa dharma dan agama itu tidak sama, mandira itu bukan 'gereja' Hindu, jati yang telah diterjemahkan menjadi 'kasta' pun tidak begitu mantap (sreg)



bagi penulis-penulis agama Hindu (Hinduism).



Satu kata, begitu penting bagi filsafat Hindu, misalnya kata sadhana tidak ada persamaannya dalam bahasa Inggris. Dengan karakter istadevata dan adikara tersebut, agama Hindu merangkul semua tradisi dan budaya penganutnya



8 setempat. Hal itu yang menimbulkan keanekaragaman bentuk dan cara pelaksanaan upacara keagamaan di seluruh dunia. Bahkan di dalam Manawa Dharmasastra atau Manusmrti dicantumkan bahwa sumber hukum agama Hindu ada lima : Vedasruti, Vedasmrti, sila, acara, dan atmatusthi, yang diserap di Indonesia menjadi tiga : desa, kala dan patra.



.



9 BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA HINDU



2.1



Sejarah Perkembangan Agama Hindu di India



Beberapa sarjana indolog sepakat membagi sejarah agama Hindu di India menjadi lima periode, yaitu sbb.: 2.1.1 Periode Veda, dari tahun yang belum bisa dipastikan, 6000 SM sampai tahun 600 SM 2.1.2 Periode Itihasa (Wiracarita), 600 SM - 200 M 2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistematik filsafat Hindu, yang mulai dari awal tahun Masehi 2.1.4 Periode Scholastic, tahun 1200 M - abad ke- 19 M 2.1.5 Periode Modern, berawal dari abad 19 M



2.1.1 Periode Veda / Mantra ( 6000 SM -- 600 SM)



Periode Vedic, mewakili zaman kedatangan bangsa Aryan ke India, dan setelah menetap di daerah baru tersebut,



secara perlahan-lahan mereka



mengembangkan kebudayaan dan peradabannya. Hasil kesusasteraan yang terpenting pada zaman itu, ada tiga macam yang kemudian dikomposisikan sbb.: 1) Mantra samhita: (a) Rg Veda samhita, (b) Yajur Veda Samhita, (c) Sama Veda Samhita, dan (d) Athtarva Veda Samhita. 2) Brahmana 3) Aranyaka dan Upanisad



10 2.1.1.1 Mantra Samhita



Kitab samhita terdiri dari empat Veda: Reg, Yajur, Sama dan Atharva Veda SamhitaKitab Rig Veda terdiri dari 10 buku (mandala), dan 1028 hymne (termasuk 11 suplementacy), dan 10.552 stanza (sloka). Kitab Yajur Veda Samhita, terbagi atas 40 bab, dan 1975 stanza (sloka) dan unit-unit prosa. Kitab Samaveda Samhita, terdiri atas 1875 stanza (sloka), dan dibagi atas dua bagian. Terakhir kitab Atharva Veda Samhita, terbagi atas 20 buku: terdiri dari 730 hymne, 5987 stanza dan unit-unit prosa. Dari empat samhita (himpunan) itu, yang paling tua usianya ialah Reg Veda Samhita. .Di dalam Yajur Veda Samhita, yang berisi koleksi hymne, hampir semua verse diambil dari Reg Veda Samhita (kecuali 75 verse/sloka), dan hymnehymne ini diatur atas beberapa nada atau lagu (chanda) khusus. Sedangkan



Atharva Veda Samhita, yang berisi hymne-hymne dan



magical formula, tidak saja berbeda dengan Reg Veda Samhita, tetapi juga mewakili satu tingkatan pikiran yang lebih primitif (Macdonald, Religion and Philosophy of Veda, hlm.31).



2.1.1.2 Brahmana



Kitab Brahmana adalah kitab yang ditulis dalam bentuk prosa, untuk menerangkan arti suci berbagai upacara yang berbeda. Menurut Macdonald (Ibid., hlm: 31), dikatakan bahwa kitab-kitab Brahmana mewakili aktivitas intelektual suatu zaman yang semua aktivitas dipusatkan pada upacara. Sehubungan dengan itu, Prof. S. N. Dagsupta (History of Indian Philosophy, Vo.1, hlm: 13) mengatakan, bahwa spekulasi pikiran yang bebas adalah pembantu (subordinated) upacara, dan hasilnya merupakan satu produksi suatu upacara yang sangat mengherankan sistem simbolik.



11



2.1.1.3 Aranyaka dan Upanisad



Kitab-kitab Aranyaka, adalah kitab 'hutan' yang mewakili satu pemindahan perfomance upacara ke satu meditasi, dan dari simbol tertentu.Dalam hal ini, Dasgupta menyarankan, karena upacara-upacara yang rumit tidak bisa dilaksanakan di dalam hutan, yang disebabkan karena kurangnya bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara-upacara tersebut, maka kitab-kitab Aranyaka digubah/disusun oleh para wanaprasthin (mereka yang mengundurkan diri dari masyarakat lalu pergi ke hutan), dan lebih memusatkan dirinya pada meditasi, ketimbang pada upacara (Ibid). Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa unsurunsur filsafat yang terdapat dalam samhita-samhita, membentuk satu jembatan antara upacara kitab-kitab Brahmana dan filsafat kitab-kitab Upanisad. Kitab-kitab Upanisad, adalah ajaran rahasia yang merupakan bagian Aranyaka, dan berisi dasar ajaran-ajaran filsafat India. Upanisad juga disebut sebagai Vedanta, karena Upanisad timbul dari akhir Veda. Jumlah Upanisad yang ada, sekitar 200 buah, namun Muktika Upanisad menyebutkan hanya 108 buah Upanisad. Di antaranya yang sangat penting antara lain: Isa Upanisad Kena Upanisad, Katha Upanisad, Prasna Upanisad, Mundaka Upanisad, Mandukya Upanisad, Taitriya Upanisad, Chandogya Upanisad, Brhadaranyaka Upanisad, Kausitaki Upanisad, Mahanarayana Upanisad, dan Maitreyi Upanisad. Veda, termasuk Mantra Samhita, Brahmana, Aranyaka dan Upanisad, termasuk golongan Sruti atau revelation. Setiap Samhita ( Rg, Yajur, Sama, dan Atharva) memiliki Brahmana dan Aranyaka/ Upanisad



Bentuk Veda yang



berlainan dengan Sruti, adalah Smrti atau recollection. Smrti, adalah hasil karya manusia dan mengambil sumber dari Sruti. Smrti, merupakan tafsir terhadap vedasruti. Periode Smrti, secara kasar berkisar dari tahun 600 SM sampai tahun 1200 M, semenjak beberapa Purana (yang juga dianggap Smrti)



mulai



dikomposisikan sampai pada abad ke-13 M. Dalam periode Smrti, kita menemukan perkembangan: Vedangga, Upaveda, Purana, Ithihasa. Di samping



12 itu, dalam periode ini, juga terjadi perkembangan



Sutra-sutra sekte bhakti



seperti: Vaisnavism, Saivism, dan Saktism, serta sistem filsafat Hindu. Vedangga terdiri dari enam bidang: kalpa (ceremonial /upacara), siksa (phonetic), chanda (prosody / metre, lagu), wyakarana (grammar / tatabahasa), nirukta (etimology), dan jyotisa (astrology). Sedangkan Kalpa Sutra, terdiri dari tiga jenis teks: Srauta Sutra, membahas tentang upacara (sacrificialrites), hya Sutra, membahas upacara domestik (domestic ceremonies), dan Dharma Sutra membahas sifat-sifat sosial dan tugas-tugas individu.Karena Kalpa Sutra merupakan bentuk Vedangga, maka ada tiga macam Kalpasutra yang berbeda, sebagai apendiks Veda yang berbeda juga. Namun, hanya dalam Yajurveda ketiga teks itu disebutkan. Tidak ada Dharmasutra yang berasal dari Atharvavedayang masih ada pada saat ini, walaupun beberapa Dharmasutra milik kitab ini telah disebutkan dalam kitab Mahabhasya-nya Patanjali. Vasistha Dharmasutra dikatakan sebagai milik Rg Veda, dan Gautama Dharmasutra milik Samaveda. Dharmasutra yang lainnya yang juga terkenal antara lain: Visnu, Yajnavalkya, Baudhayana



dan Apastamba adalah milik



Yajurveda Manusmrti muncul dalam bentuknya sekarang pada zaman jauh sesudah sutra-sutra tersebut, namun istilah 'manu' sudah dikenal semenjak zaman dharmasutra. Sedangkan Manusmrti menyebutkan Dharmasutra - dharmasutra yang lebih tua seperti: Atri, Vasistha, Gautama, dan Saunaka.



2.1.2



Periode Itihasa atau Wiracarita ( 600 SM - 200 M )



Perkembangan itihasa, -Ramayana dan Mahabharata-,termasuk smrti dari periode tua (600 SM - 200 M). Di dalam kitab itihasa kitab-kitab kuno dan legenda-legenda, manusia dikisahkan begitu bagus, dan sangat mendalam, sehingga itihasa (epik) ini merupakan Veda bagi kaum awam, yang boleh



13 disebut 'veda terapan'. Jadi ajaran Upanisad dibawa ke rumah-rumah bagi kaum awam, dalam satu bentuk yang nyata, yang mudah dimengerti, dihayati, dan dipahami, karena pengetahuan yang dahulunya bersifat sangat rahasia dan hanya dimiliki oleh beberapa golongan dapat diketahui oleh kaum awam. Itihasa atauWiracarita yang sering disebut epik berisi geneologi rajaraja, kisah-kisah yang berasal dari berbagai sumber dan petunjuk yang berbeda. Kemungkinan besar, bahwa inti itihasa / wiracarita atau epik-epik itu sudah ada sebelum epik atau itihasa / wiracarita itu disusun dalam bentuk kitab-kitab yang seperti sekarang kita ketahui. Kitab Taitriya Aranyaka menyebutkan kata Vyasa dan Visampayana, tetapi tidak sebagai penulis. Panini menyebutkan, istilah atau kata mahabharata tetapi tidak sebagai epik. Beliau juga menyebutkan Vasudeva, Arjuna, dan Yuddhisthira (kedua yang pertama) sebagai dewa. Mengenai usia Ramayana, para sarjana umumnya setuju mengatakan. bahwa itihasa atau epik tersebut lebih tua dari Mahabharata. Bab I dan VIII dalam Ramayana, dipandang sebagai



bab-bab tambahan dari



zaman



kesudahannya. Mahabharata dan Ramayana mempunyai bentuk-bentuk versi yang berbeda menurut daerah. Seperti halnya Mahabharata, Ramayana juga udah ada sebelum berbentuk sebagai satu komposisi yang populer seperti sekarang. Kitab



Bhagavadgita



membentuk



satu



bagian



dari



buku



epik



Mahabharata. Bhagavadgita yang berisi 18 bab, yang terdiri atas 720 stanza (sloka), masih tetap menjadi satu sumber inspirasi untuk perkembangan banyak aliran filsafat Hindu, dan juga pada pergerakan modern Hinduisme. Beberapa sarjana berpendapat, bahwa isi Bhagavadgita bersifat allegorical, sedang beberapa sarjana lainnya menemukan di dalam Bhagavadgita satu dasar filsafat perbuatan dalam kehidupan. Namun, yang jelas Bhagavadgita telah menjadi satu sumber dasar aliran Vedanta dan bahkan sampai sekarang tetap menjadi kitab yang paling bertpengaruh di dalam masyarakat Hindu. Periode Smrti, termasuk periode disusunnya Purana-purana. Beberapa sarjana menempatkan abad ke-4 Masehi sebagai tahun tertua pengkomposisian



14 purana. Beberapa Purana bahkan dikomposisi pada abad ke 14 Masehi. Purana-purana, seperti epik-epik, membahas



penciptaan (creation), pralaya,



dan creation kembali, geneologi para dewa, zaman-zaman Manu, dan geneologi para raja. Hal itu disebut sebagai pancalaksana atau lima karakter purana. Secara tradisi, ada 18 purana yang dimasukkan sebagai Mahapurana. Beberapa purana membawa tanda-tanda sektarianism dan dibagi menjadi tiga jenis menurut sifanya, yaitu: Visnu, Siva, dan Brahma. Dengan demikian puranapurana itu dibagi menjadi tiga kelompok : Vaisnava purana, Saivapurana, danSaktapurana. Periode Smrti juga disamakan dengan karakter perkembangan sektesekte bhakti Vaisnavism dan savism. Visnu dan Siva yang merupakan dewadewa minor dalam vedicliterature kuno, namun kini menjadi sangat penting. Sekte-sekte bhakti itu menunjukkan bentuk pengaruh keagamaan non-Aryan. Vaisnavism memasukkan pemujaan kepada Krsna-Vasudewa di dalam sektenya. Bersamaan dengan itu, kemungkinan besar bahwa bentuk yoni yang terdapat pada sebuah setempel tanah liat di Harappa adalah bentuk Siwa. Para sarjana berpendapat bahwa pemujaan lingga pada Saivisme berasal dari unsur Dravida. Yang jelas, bahwa Siva dan Visnu menjadi sangat penting daan menonjol setelah peroide Weda (Vedic periode). Begitu juga konsep tentang Siwa dan Wisnu menjadi kian bertambah kaya, melalui pengidentitasan-Nya dengaan dewa-dewa Vedic lainnya. Misalnya, Narayana diidentitaskan dengan Visnu, Rudra dengan Siva. Akhirnya Vaisnavism dan Sivaism terangkat menjadi sangat penting pada abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Alvar pada Vaisnavism dan Nayanmar pada Saivism memperkaya tradisinya



dengan



mistik



melalui



hymne-hymne



atau



seloka



bhakti



mereka.Kesepuluh Alvar adalah santo, para rahib/resi Vaisnavism yang hidup di India Selatan. Kata 'mystic Alvar-alvar menunjukkan pengaruh buku suci Weda, hanya mereka berkiblat atau beracu kepada mythological mysticism puranapurana. Para Alvar juga mengkomposisi kitab agama-agama yang menyediakan tatacara upacara pemujaan kepada Wisnu. Betapa pentingnya kehidupan dan



15 ajaran para Alvar sangat terasa, karena mereka merupakan sumber inspirasi untuk perkembangan Vasistadvaita bagi Ramanujja dan juga berpengaruh besar terhadap aliran filsafat itu dibawah pimpinan para filosof (philosopherphilosopher) pasca /post Ramanuja, terutama Vedanta Desika. Kitab Nalayiradivya Prabhandam, adalah sebuah kumpulan ucapanucapan para Alvar, yang dianggap sangat suci di daerah-daerah Tamil dan dianggap sama kedudukannya dengan Weda oleh kaum Vaisnava di daerah Tamil. Bahkan sampai sekarang verse-verse, sloka-sloka, syair-syair kitab tersebut selalu dibacakan pada setiap upacara-upacara suci. Hasil karya yang paling bagus di kalngan Sivaisme adalah hymnehymne, puja, sthawa, brahma, mantra, pemujaan kepada 63 Nayanmar. Hymnehymne Tamil kepada tiga Nayanmar besar: Appar, Sambandar,dan Sundarar membentuk Thevaram, kitab pertama dari 12 kitab suci yang disebut Tirumarai (kitab suci). Tirumarai ke-18 adalah Tiruvacagam salah satu Nayanmar, Manivavagar. Hasil-hasil karya para Naayanmar itu disebut Dravida sruti, dan dianggap sangat suci oleh sebagian besar Siavit. Saiva Siddhanta, adalah salah satu kitab theologi Tamil Sivaism yang sistematik. Kitab itu berkembang pada awal pertama pertengahan abad ke-13. Sivajnana Bondham, sebuah kitab Tamil yang ditulis oleh Meykandar, adalah kitab pertama yang mencoba membuat satu bahasan yang sistematik tentang Sivaisme. Berikutnya mnncul Sivajnana Siddhiyar yang juga sangat penting dalam Sivaisme. Kemudian kitab-kitab itu diikuti oleh 8 kitab yang bersifat mendukung apa yang ditulis oleh Umapathi Sivacarya. Tamil Sivaisme lebih theistic dalam pandangan mereka, sedangkan Kashmira Sivaism yang berkembang pada abad ke-9, mempunyai sifat pandangan yang monistic. Karya-karya dasar aliran Sivaism Kashmir adalahsbb.:(a)Agama Sastra, menurut kepercayaan ditulis oleh Vasugupta, berisi 77 Sivasutra, yang mengajarkan jalan mencapai moksa dan komentar-komentar; (b) Spanda sastra, menurut tradisi ditulis oleh Kallata,membentuk komentar pendek atas Sivasastrasastra; dan (c) Pratyabhijnana sastra, yang dikomposisi oleh Somananda.



16



2.1.3 Periode Sutra dan perkembangan sistem fifsafat Hindu (awal Masehi)



Sistem-sistem filsafat India mulai berkembang pada awal abad-abad Masehi. Kitab-kitab sistematik berbagai aaliran disuguhkan dalam bentuk yang berurut dan logika memakai bentuk aphorism yang disebut sutra (syair, sloka). Kitab-kitab itu dijadikan penuntun yang dipergunakan oleh para pengikut aliran filsafat tertentu, supaya mereka mampu mempertahankan dan memahami doktrin-doktrin utama tersebut. Adapun keenam sistem filsafat yang disajikan dalam bentuk sutra-sutra itu: (1) Nyaya sutra, (2) Vaisesika sutra, (3) Samkhya sutra, (4) Yoga sutra, (5) Mimamsa sutra, dan (6) Vedanta sutra. Dari sutra-sutra tersebut, secara perlahan-lahan muncul aliran filsafat yang kuat, melalui komentar-komentar yang intensip dan sub-subkomentar. Kemudian dalam perjalanan waktu sejarah perkembangan yang dilaluinya, keenam sistem yang saling berbeda itu, akhirnya masing-masing berpasang-pasangan, menjadi tiga pasang: (1) Nyaya-Vaisesika, (2) Samkhya-Yoga, dan (3) Mimamsa-Vedanta. Namun, yang perlu disimak dalam pasangan-pasangan tersebut, bahwa pasangan antara Mimamsa dan Vedanta ternyata tidak begitu erat, tidak begitu harmonis dan mesra. Berbeda halnya dengan pasangan yang terjadi antara sistem Nyaya dan Vaisesika dan antara Samkhya dan Yoga. Hubungan dan percampuran antara kedua pasangan sistem itu (NyayaVaisesika, dan Samkhya-Yoga), saling memberi dan saling menerima. Misalnya: (1) Nyaya memberikan sistem logika kepada Vaisesika, dan sebaliknya Vaisesika memberikan struktur metapfisik kepada Nyaya. (2) Samkhya menyediakan prinsip-prinsip metafisik kepada Yoga, sebaliknya Yoga menyediakan delapan



jalan yoga (astanggayoga) kepada Samkhya sebagai



praktek untuk mencapai moksa atau nirwana. Sedangkan Vedanta menerima beberapa kitab-kitab komentar Mimamsa, namun perbedaan dan ketidaksamaan serta ketidaksetujuan di antara kedua sistem filsafat itu nampak lebih nyata dan



17 menonjol. Dari keenam sistem filsafat tersebut, ternyata karakter aliran Nyaya yang sangat nyata: dari aliran Nyaya adalah cara uji yang sangat teliti atas satu objek, sumber dan keberlakuan pengetahuan.



2.1.3.1 Sistem Nyaya



Kitab Nyayasutra yang utama karya Gautama, ditulis sekitar abad ke-3 SM. Ada beberapa komentar kitab itu yang ditulis oleh Vatsyayana pada awal abad ke-4 M: Udyotkara, pada abad ke-7 dan Udayana pada abad ke-10. Di samping itu, Nyaya Kusumanjali karya Udayaana, juga merupakan hasil karya yang penting. Kitab Nyaya Kusumanjali itu menunjukkan bukti-bukti logika untuk mempertahankan adanya Tuhan di dalam bentuk suguhan sistematik untuk pertama kalinya. Aliran Nyaya baru,



dikenal sebagai Navya Nyaya, dimulai dengan



Gangesa Upadhyaya karya Mithila pada abad ke-13 Masehi. Agak berbeda dengan aliran Nyaya yang mengutamakan episthemologi dan methaphisika, aliran baru itu (Navya Nyaya) mengutamakan epistemologi



untuk menguji



keempat pramana: pratiaksa (sense perception), anumana (inference), upamana (analogy), dan sabda (scriptural testimony). Di



samping itu perlu juga



disebutkan tafsir / komentar karya Gangesa Upadhyaya oleh Ragunath Siromani (tahun 1500 M), Mathura Bhattachaarya (tahun 1580 M), dan Gadadara (tahun 1650 M).



2.1.3.2 Sistem Vaisesika



Sistem Vaisesika mengambil nama dari 'visesa' (particulary) yang membahas arti particular. Sistem itu mengutamakan pembedaan objek pengetahuan (padartha), sebagai perbedaan dengan Nyaya yang mengutamakan analisis jalan / cara pengetahuan (pramana). Yang membentuk dasar aliran



18 Vaisesika sutra, ialah Kanada. Adapun karya-karya aliran Vaisesika yang terpenting antara lain: Padarthadharma Samgraha karya Prasasta pada abad ke4 M, Nyaya Kandali karya Sridhara (abad ke-10 M), dan Apasakara karya Snkhara Mirsa (abad ke-15 M).



2.1.3.3 Sistem Samkhya



Aliran Samkhya terkenal berkat teorinya tentang evolusi permanen katagorinya yaitu purusa dan prakrti, yang mempunyai tiga guna(kualitas): sattva, rajas, dan tamas. Triguna itu berpartisipasi dalaam tingkatan yang berbeda sebagaai prakrti dibagi menjadi 24 kategori: mahat, buddhi, ahamkara, manas, lima alat persepsi, lima alat perbuatan, lima sub elemen, dan lima gross elemen. Biasanya semua kategori itu diterima oleh aliran filsafat lainnya , bahkan dipakai dalam sistem aliran mereka. Hasil karya Kapila tentang Samkhya sutra, sangat utama dalam aliran tersebut. Karya-karya aliran itu yang juga penting diketahui : Samkhya Karikanya karya Iswara Krisna, Tattwa Kamudhi karya Vacaspati Mirsa (abad ke-10), Vrti dan vrti Bhasya atas Samkhya sutra karya Aniruddha (abad ke-15), dan Vijnana Bhiksu (abad ke-16).



2.1.3.4 Siatem filsafat Yoga



Aliran



filsafat



Yoga



dikembangkan



oleh



Patanjali.



Dalam



mengembangkan aliran itu Patanjali dilatarbelakangi oleh aliran Samkhya Menurut aliran Samkhya, ultimate entities, prakrti dan purusa, berbeda dan memiliki perbedaan karakter secara total.



Prakrti terdiri dari triguna dan



bersifat aktip. Purusa tidak mempunyai triguna dan sifatnya diam. Samsara terjadi ketika sifat dasar perbedaan itu dilupakan dan dianggap keduanya sama (identik). Adapun identisasi yang salah itu terjadi tatkala ada



19 perubahan buddhi danpurusa. Sekarang purusa tidak berhasil menyadari bahwa transformasinya buddhi adalah merupakan bagian prakrti. Kemudian moksa baru bisa akan dialami, bila keadaan bingung seperti itu telah berakhir. Untuk menuju pencapaian ke pengalaman moksa itulah yoga menyediakan jalan yang mengacu kesempurnaan itu. Jalan yang mengacu ke arah kesempurnaan guna tercapainya moksa tersebut ada delapan tangga atau disiplin. Kedelapan disiplin yoga itu disebut asthanggayoga: (1) yama, (2) nyama, (3) asana, (4) pranayama, (5) pratyara, (6) dharana, (7) dhyana, dan (8) samadhi.



2.1.3.5 Sistem filasafat Mimamsa Masalah yang diutamakan di dalam aliran purva mimamsa adalah investigasi atas dharma (tugas), sebagai disebutkan di dalam Weda. Aliran filsafat purvamimamsa menganggap bahwa Weda kekal abadi. Weda bukan buatan manusia atau apauruseya,namun ciptaan Tuhan. Weda menjanjikan satu bentuk sangat indah, bahagia di alam yang lain; menurut mimamsa bentuk nan indah itulah yang disebut moksa. Selanjutnya, menurut aliran mimamsa, bahwa kehidupan dikontrol oleh satu hukum yaitu apurva (tenaga tak terlihat) yang berhubungan dengan perbuatan untk menghasilkan akibat (consequence). Seandainya perbuatan baik dilakukan, seperti juga disebut di dalam Weda, maaka seseorang akan menikmati buahnya dan itulah sammum bonum, tujuan akhir seseorang. Jadi, mimamsa menekankan perbuatan, berbeda dengan samkhya yang menekankan intelektual. Mimamsa sutra karya Jaimini merupakan kitab mimamsa yang paling utama, yang ditulis tahun 200 SM. Adapun komentar yang penting atas sutra itu: Sabara Bashya oleh Prabhakara dan Kumarila. Dari situ timbul dua aliran baru mimamsa yang tidak sama, keduanya berbeda satu dengan lainnya. Perbedaannya itu di bidang masalah epistemologi tertentu.



20 2.1.3.6 Sistem Vedanta Purvamimamsa



karya



Jaimini



sangt



erat



hubungannya



dengan



karmakanda atau bagian Weda yang membahas karma (perbuatan). Sedangkan Uttaramimamsa karya Badarayana (200 SM) erat hubungannya dengan jnanakanda, atau bagian keagamaan dan filsfaat Weda terutama Upanisad. Kedua kitab tersebut sama-sama menggunakan dasar isi Weda secara lengkap. Kitab Badarayana Sutras juga disebut sebagai Brahmanasutraskarena membahas doktrin Brahman. Brahma sutras terdiri dari 555 verse / seloka, isinya mensistematikkan ajaran-ajaran Upanisadic, yang terdiri dari ide-ide yang begitu tinggi, maaka dirasakan sangat memerlukan banyak komnetar / tafsir. Perbedaan sistem-sistem Vedanta, Advaita, Visistadvita dan Dvaita, timbul disebabkan oleh karena adanya perbedaan komentar / tafsir: Sankara, Ramanuja, dan Madhva atas prasthanatraya, yaitu Upanisad, Brahmasutra dan Bagavadgita. Sankhara



biasanya dikatakan hidup pada abad ke –8 (788 - 820 M),



Kebangkitan kembali filsafat monistik dimulai dalam Mandukya Karika karya Gaudapada, sebuah komentar /tafsir terhadap Mandukya Upanisad. Ajaran Gaudapada itu mencapai Sankara melalui Govinda yang merupakan gurunya Sankara, dan Govinda adalah murid Gaudapada. Ajaran utama filsafaat Advaita yang diajarkan oleh Sankara, adalah bahwa ultimate dan Absolute Reality (Tuhan) adalah satu, walaupun nampak berbeda-beda dalam berbagai bentuk. Kalimat Upanisadic " That Are Thou / Tat twam asi dan ‘jamak (banyak) itu tidak ada', diartikan oleh aliran itu bahwa ultimate Reality (Tuhan) adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sankara menulis komentar/ tafsir atas Upanisad, Brahma sutras, dan Bhagavadgita. Ketiga kitab itu merupakan kitab utama bagi semua aliran Vedanta. Komentar/tafsir Sankara atas Brahmasutra membangkitkan komentar lainnya. Anadagiri, seorang pengikut Sankara, menulis satu komentar atas Brahmasutra Bhasya-nya Sankara yang bernama Nyaya Nirnaya. Komentar /tafsir penting yang lainnya adalah komentar /tafsir yang ditulis oleh Vacaspathi Misra (abad ke-10) yang bernama Bhamati. Naiskarmya Siddhi karya Suresvara (abad 9) adalah komentar /tafsir bebas atas filsafat Sankara.



21 Advaita adalah satu aliran filsafat yang hidup dengan pengikut yang sangat besar. Ajaran nondual Sankara tidak memberikaan dampat yang saaangat besar terhadap elemen theistik Hindu. Keinginan untuk membahas elemen theistik membnagkitkan kembali theisme dalam Hinduisme. Ramanuja (tahun 1017 M) berusaha untuk menunjukkan satu bahasan yang sistematik tentang theisme dalam Hinduisme dan aliran filsafat visitadvaita terbentuk. Doktrin-doktrin Ramanuja berdasarkan atas itihasa/epik (Ramayana dan Mahabharata), purana-purana, pancaratras dan tulisan-tulisan para Alvar sebagai tambahan atas Prasthanatraya. Karakter Visistadvaita yang menonjol adalah konsep atas erality (Tuhan). Sedang menguatkan kesatuan ultimate dengan Absolute (Tuhan), dia mengizinkan perbedaan melalui metodemetodenya (prakaras) tanpa menambahkan satu fundamental perbedan di dalam reality (Tuhan) sendiri. Visistadvaita menerima tiga tattva yang kekal : matter (acit), jiwa individu (cit), dan Tuhan (Isvara). Matter dan self (jiwa) sangat bergantung pada Tuhan. Ketergantungan itu mirip dengan ketergantungan badan atas jiwa. Menurut aliran itu, matter dan soul membentuk badan Tuhan dan matter-soul itu didukung oleh Tuhan untuk tujuan-Nya. Madva yang erat hubungannya dengan aliran Dvaita hidup pada abad ke13 dan 14 (1238-1317). Madva menulis 37 kitab di antaranya: Sepuluh monograf filsafat, Komentari atas sepuluh Upanisad, Komentari atas Bhagavadgita dan Brahmasutra, Komentari pendek atas tiga bab pertama Rgveda, Satu epitome atas Mahabharata dalam bentuk verse-verse, dan Catatan pendek atas Brahmasutra dikenal sebagai Anuvyakyana. Karya itu kemudian dikomentari oleh Jayatirtha, yang merupakan komentator Madva yang terbaik, di dalam kitab Tattva Prakasika-nya. Adapun nama lainnya yang penting juga dalam aliran Dvaita adalah Vyasaraya (1478 - 1539) yang terkenal atas karya-karyanya: Nyayamrta, Tarkatandava, dan Tatparya Chandirika. Aliran Dvaita Vedanta menekankan perbedaan yang absolut antara invidu dan Tuhan. Dalam hal ini juga asal- usul jiwa individu dan perlunya berkah Tuhan untuk keberhasilan mencapai moksa.



22 Madva percaya atas lima perbedaan antara eternal entities (pancabheda). Ini adalah perbedaan-perbedaan yang fundamental, yang tidak dapat dimusnahkan walau sudah dalam keadaan moksa. Tuhaan adalah berbeda dengan alam semesta. uhan adalah berbeda dengan jiwa-jiwa. Jiwa adalah berbeda dengan alam semesta. Masing-maasing jiwa berbeda satu dengan yang lainnya. AAlam semesta terbuaat dari bermacam-macam entity. Konsep perbedaan total itu mungkin aksi menyerang aliran advaita yang dianggap 'menyeret Tuhan ke bawah ke level yang sama dengan manusia' Madhva dengan tegas menekankan bahwa invidu saangat tergantung pada Tuhan (paratantra), sedangkan Tuhan bebas tidak tergantung (swatantra) atas jiwa-jiwa. Jadi mereka (jiwa) tidak bisa diidentitaskan atau menyatu kepada Tuhan.



2.1.4 Periode Scholastic (1200 M - 1800 / abad 18 M)



Periode yang berlangsung dari abad ke-13 sampai akhir ad ke-18, menjadi periode perkembangan semua aliran filsafat India dengan komentar dan subkomentarnya. Periode itu juga merupakan periode perkembangan sekte-sekte agama Sivaism, Vaisnavaism, dan Saktism. Di dalam Vaisnavaisme muncul dua sekte: vadagalai dan tengalai di India Selatan, atas dasar pertanyaan yang berbeda tentang usaha manusia dan keberkahan Tuhan serta posisi bentuk wanita pada diri Tuhan, Sri. Yang menonjol dari dua sekte itu , bahwa sekte tenglai mengajarkan penyerahan diri secara total kepada Tuhan termasuk tanggung jawab seseorang untuk mencapai moksa. Ide di belakang ini dijelaskan menlaaalui sebuah analogi seekor kucing membawa anak kucing (moksa-kucing; markata nyaya). Sedangkan sekte vadagalai mengajarkan usaha manusia yang tiada henti-hentinya sebagai tambahan atas keberkahan Tuhan. Analogi yang digunakan di sini adalah



23 sebagai anak kera yang terus-menerus memeluk ibunya ketika bergerak ke sana kemari (marjala nyaya). Pada kejadian pertama, anak kucing harus tetap diam; dan pada kejadian kedua anak kera harus memeluk dan bekerja sama



dengan ibunya. Atas



pertanyaan aspek wanita Tuhan, tengalai menjawab , bahwa Sri adalah satu finite self (jiwa yang terbatas) yang diangkat ke pangkat sebagai istri Tuhan. Sedangkan vadalai mempertahankan bahwa sri adalah infinite, tidak terbatas, dan uncreated, tidak terciptakan. Pergerakan agama pada peruode itu yang lain dipusatkan atas pemujaan inkarnasi Visnu, pemujaan Siva, dan Sakti (power dan energy keaktipan Tuhan, dipersonalkan menjadi istri Siva). Dua inkarnasi Visnu, Rama dan Krisna, menjadi sangat menonjol. Mahabharata, Ramayana dan purana-purana menyediakan tanah yang subur untuk perkembangan banyak sekte agama. Pemujaan Krisna-Radha menjadi karakter sekte Ramananda, dan ini menimbulkan banyak subsekte seperti: Kabirpanthis, Mulakdasis, Raidasis, Senapanthis, dan sebagainya. Tulasidas, penulis Ramayana versi Hindu (tahun 1574) juga berasal dari sekte Ramananda. Beberapa saint yang memuja Krisna yang penting disebut di sini adalah Jnanesvara, Namdev dan Tukaram. Sekte vallabhacaris juga mengajarkan dan mempraktekkan pemujaan Kresna; bentuk pemujaan yang diajarkan oleh sekte ini adalah bentuk pemujaan yang menggunakan cinta Radha terhadap Krisna. Sedangkan pihak lain, mereka dari sekte Sahajiya seperti Jayadeva, penulis kitab Gita Govinda, Candideva dan Vidyapathi mempraktekkan Saktibhava. Di sini bentuk pemujaan adalah analogi cinta seseorang terhadap temannya yang dia ingin bersatu dengan kekasihnya.Berlawanan dengan sektesekte Vaisnava, sekte-sekte Siva mempraktekkan asceteism (pertapaan) dan menekankan perlunya menuntun kehidupan seperti petapa di dalam pencaharian kesadaran spiritual. Sekte-sekte penting di dalam Saivite adalah: Dandis, Yogis, Singayats, Paramahamsas, Aghoris, Sannyasis, dan Nagas. Di samping itu ada kelompok sekte terdiri dari : Dakshinas, Vamacaris, Kanchbians, dan Kararis. Semua sekte itu menentang adanya sistem kasta yang dipraktekkan oleh



24 masyarakat India. Semua sekte menerima anggotanya tidak berdasarkan kasta, semuanya berhak menjadi anggota dan menduduki tempat yang sama. Sebagai satu mommunity pemuja Tuhan, mereka melihat tidak adanya perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya. Penggunaan atas tindakan asceticism di dalam sekte Sivaite menjurus ke satu bentuk aksi pamer yogic power dan juga penyiksaan diri sendiri. Hal itu semua mengakibatkan satu praktek keagamaan yang bersifat kejam dan kadangkadang menyangkut praktek upacara korban manusia. Aspek hitam pergerakan sekte Vaisnava dan Sivaite tersebut membawa sekte itu ke arah keruntuhan. Namun, tentu di samping aspek hitam itu, keduaa sekte tersebut mempunyai aspek yang luhur sehingga banyak melahirkan santosanto besar agama Hindu di India.



2.5



Periode Modern (berawal dari abad ke-19 M)



Sri Raja Rammohan Roy, dapat dianggap sebagai pelopor pergerakan modern dalam agama Hindu. Masuknya ilmu teknologi arat dan ideologi Barat membentuk laatar belakang periode modern. Bersamaan dengan itu datang ajaran-ajaran Kristen yang menekankan pelayanan masyarakat mereka yang hina. Teknologi modern membutuhkan satu pola kehidupan sosial yang baru. Sistem tua tentang adanya kasta di masyarakat India terbukti sangat sulit di dalam pembangunan industri yang menarik semua manusia dari semua kasta. Pendidikan cara Inggris dengan bahasa Inggris membuka pikiran orang-orang India terhadap ideologi Barat pada waktu itu. Dalam keadaan seperti itu ajaran Kristen memberikan pengaruhnya terhadap pikiran intelek India pada waktu itu. Di bawah pengaruh besar seperti itu, masyarakat Hindu di India mengalami beberapa benturan. Kaum intelek mulai menyelediki beberapa hal yang di luar tradisi mereka. Perlahan-lahan cara pandangan idea yang baru itu mempengaruhi pandangan intelek mereka. Mereka melihat Hinduisme dari satu perspektip baru



25 dan itu membawa kesatuan bentuk nilai Hindu yng baru. Ketertarikan yang dalam atas personality Jesus dan nilai prakteknya,



banyak kaum Hindu



mencoba menemukan kemiripan nilai-nilai itu di dalam tradisi agamanya sendiri. Masyarakat Hindu perlu perubahan meningkatnya estenalitas di dalam praktek agama dan banyak pemimpin agama bangkit untuk menunjukkan pikiran kaum Hindu, dari eksternalitas ke satu titik inner spiritual. Banyak juga yang membangkitkan nilai-nilai asli Hindu



kembali untuk satu alat untuk



membela diri atas serangan kaum missionaris Kristen yang menjadi agresip menentang filsafat agama dan bentuk masyarakat India. Pergerakan Brahma Samaj yang didirikan oleh Raja Rammohan Roy (1772-1835), dikembangkan oleh Debendranath Tagore (1817-1905), Keshub Chandra Sen (1838-1884) menghendaki beberapa penghilangan noda-noda evil (bersifat setan /jelek) yang menjadi benalu dalam struktur masyarakat Hindu di India. Dia juga berusaha memasukkan harmoni di dalam kehidupan beragama. Pergerakan Dev Dharma yang didirikan oleh Agnihotri (1850-1929), merupakan cabang Brahma Samaj. Cabang itu mengajarkan saatu doktrin rasionalistik dan etika humanisme. Arya Samaj, didirikan oleh Swami Dayanand Sarasvati (1824-1883) bergerak menentang kegiatan missionasir Kristen dan mengembalikan nilainilai asli Hindu. Anne Besant (1847-1930) yang berjuang untuk pergerakan Theosophical sosciety, membuat pertahanan yang gigih pada Hindusime dan berusaha gigih untuk mempopulerkan Hinduism melalui kegiatannya yang penuh energi. Swami Ramakrisna Paramamhamsa (1836-1886) dengan baktinya yang terus-menerus, menciptakan percakapan sederhana dan penggunaan parabelparabel yang bersifat sederhana menjadi satu sumber inspirasi banyak umat Hindu di India. Beliau menekankan kepada pengikutnya saatu spirit renunciation (meninggalkan keduniawian) daan pelayanan kepada kemanusiaan. Pengikutnya, Swami Vivekananda (1863-1902), membawa



pesan-pesan



gurunya ke seluruh dunia dan mengatakan bahwa Vedanta berisi satu ajaran



26 universal, dan dia percaya bahwa Vedanta adalah satu antidote (obat anti) menentang materialisme Barat. Dalam hal itu dia memulai apa yang dikatakan banyak sarjana sebagai counter attack from the East yang menunjukkan kehebatan Hinduisme tidak hanya pada masyarakat modern India tetapi juga keseluruh dunia. Jerih payah Swami Vivekananda berhasil diteruskan oleh sarjana Prof. Radhakrisnan. Integral Yoga-nya Sri AAurobindo (1872-1950), pesan-pesan spiritual dan ajaran-ajaran Ramana Maharesi (1879-1855), nature mysticism-nya Rabindranath Tagore (1861-1941) dan usaha dedikasi agama serta ideals ke dalam politiknya Mahatma Gandhi (1869-1948), telah membawa ajaran dan pesaan-pesan Hinduism sampai jauh dan meluas dan berhasil memberikan ide spiritual agama yang begitu kuno itu. Hinduisme hari ini penuh dengan hidup dan dinamika. Berisi di dalamnya banyak sekte agama, ahli akademika, beragama sarja Vedantic, bervariasi yogi daan tentu saja pemimpin-pemimpin agama darisekte orthodoks. Ada satu kesadaran beragama di antara massa (masyarakat Hindu). Juga ada satu kenginan kaum intelek untuk mengerti lebih baik tradisi agamanya dan menngunakannya. Studi pada agama menjadi sangat populer dan diskusi antar agama sering terjadi. Keinginan masyarakat Hindu yang sangat besar untuk kembali mempelajari agama mereka dan mempraktekkannya menunjukkan bahwa Hinduisme akan terus kekal menjadi sumber inspirasi dan pemandu kegiatan mansuia.



2.2



Sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia



Pada zaman pertengahan, ketika Portugis muncul di atas panggung sejarah Asia Tenggara, ternyata Asia Tenggara telah dibagi menjadi dua wilayah kebudayaan yangbesar. Wilayah kebudayaan yang pertama, oleh para sarjana Perancis, disebut dengan nama I' Inde Exterieure, yang didominasi oleh pengaruh India. Sedangkan wilayah kebudayaan yang kedua, yang terdiri



dari



27 Tongking, Annam dan Cochinchina, didominasi oleh pengaruh China, dengan jatuhnya kerajaan Hindu Champa pada abad ke-15 M. Banyak para sarjana mengatakan, bahwa penggunaan istilah-istilah seperti: "Further India", "Greater India", atau "Little China", sebenarnya kurang tepat. Karena, istilah sepereti itu bisa membawa kita ke arah kekaburan dan dapat menimbulkan keberatan yang cukup serius. Memang kenyataanya, daerah-daerah tersebut banyak mendapat pengaruh India, namun dibalik itu semua sesungguhnya mereka juga memiliki ciri kebudayaan asli yang sangat kuat. Misalnya, seni dan arsitektur yang berkembang dengan subur dan indahnya di Angkor, Pagan, Jawa Tengah, dan kerajaan lama Champa, sangat berbeda dengan seni dan arsitektur Buddhis dan Hindu di India. Adapun kunci untuk dapat mengertikan semua hal itu, adalah dengan mempelajari kebudayaan-kebudayaan asli yang melahirkannya. Di samping itu juga harus disadari, bahwa semuanya telah berkembang menurut garis-garis ciri khas keperibadiannya sendiri.Pengaruh-pengaruh India terhadap Asia Tenggara yang tidak bertalian dengan politik, berbeda prosesnya dengan pengaruh China. Dalam proses penyerapan pengaruh tersebut oleh masyarakat asli di Asia Tenggara, ditransformasikan dengan cara yang sama dengan pengaruh Yunani kuno terhadap Eropah Barat. Proses tersebut bisa sama, karena masyarakat asli Asia Tenggara yang merasakan rangsangan kebudayaan India itu, bukannlah 'orang-orang liar', melainkan masyarakat yang telah berperadaban



relatif



tinggi. Demikian keterangan yang dikemukakan oleh George Coedes, dalam Les Etats Hinduises et d'Indonesia (1948: 27). Seperti apa yang disebutkan, bahwa negara-negara yang telah dihindukan tersebut ternyata sebagian besar masyarakatnyaa dalam waktu yang cukup panjang tidak tersentuh sama sekali oleh kebudayaan India. Sebaliknya masyarakat asli Asia Tenggara menyerap kebudayaan India itu dan mengubahnya dengan menyalurkannya sejalan dengan pikiran-pikiran



dan



praktek-praktek kebudayaan asli. Dengan demikian, struktur masyarakat secara luas tidak terpengaruh oleh pengaruh kebudayaan India.



Misalnya, sistem kasta yang sangat mendasar



28 dalam masyarakat India, ternyata sangat kecil pengaruhnya terhadap masyarakat asli Asia Tenggara. Begitu juga kedudukan wanita tetap dipertahankan yakni tetap tinggi, seperti sebelum masuknya pengaruh kebudayaan India. Jadi, baik Hinduisme maupun Buddhisme dalam perkembangannya di Asia Tenggara mengalami penyesuaian disesuaikan dengan agama yang telah mereka anut sebelum mereka datang.(Hal itu justru bisa terjadi, karena agama Hindu dan Buddha mempunyai sifat: isthadewata dan adhikara). Adapaun peradaban Asia Tenggara yang telah dimilikinya pada saat pengaruh India datang, Coedes telah merangkumnya sebagai berikut:a. Bidang material : (1) persawahan / perladangan padi dengan irigasi, (2) peternakan sapi dan kebau, (3) penggunaan logam, dan (4) ahli dalam navigasi b. Bidang sosial : (1) pentingnya kedudukan wanita dan keturunan garis ibu, -- di India posisi wanita ditinggikan pada zamannya aliran sakti tumbuh subur, yaitu sekitar abad ke-8 M dan kitaaa bisa menyaksikan pentingnya kedudukan para wanita dalam kehidupan sosial dan agama dalam masyarakat sakta di propinsi West Bengal dan Orissa-, dan (2) organisasi sebagai hasil pertanian dengan irigasi.c. Bidang agama : (1) animisme, (2) pemujaan nenek moyang dan dewa bumi, (3) lokasi tempat suci di tempat yang tinggi,--di India hal itu tidak penting, bahkan altar suci orang-orang India diletakkan di lantai, (4) penguburan dalam guci / gentong atau dalam dolemen,



dan (5) mythology bercampur dengan dualisme



cosmogony gunung laut, mahluk bersayap lawan mahluk dalam air, orang gunung dengan orang pantai. Kemudian Krom dalam studinya pada orang Jawa menambah kan hasil penelitiannya ke dalam daftar Coedes: (1) orkes gamelan, (2) wayang, dan (3) kerajinan batik. Lebih lanjut, banyak para indolog / indologist berendapat bahwa istilah Hinduisasi terhadap negara-negara Asia Tenggara sesungguhnya tidak tepat. Hal itu dinyatakan demikian, karena sebenarnya bukan Hindu saja yang mempengaruhi Asia Tenggara, tetapi juga Buddhisme. Bahkan, pengaruh Buddhisme di Asia Tanggara besar sekali, terutama di Burma, Arakan, Kamboja dan Thailand. Namun, harus disadari, bahwa sangat susah untuk mencari garis pemisah antara kedua agama itu (Hindu dan Buddha).



29 Apalagi dalam agama Buddha Tantrayana; bahkan pada abad ke-13 M di Jawa terdapat pemujaan terhadap Siva Buddha sekali gus. Di samping itu, di setiap negara yang didominasi oleh agama Buddha Theravada, masyarakatnya masih tetap menggunakan upacara Hindu. Mungkin saja hal seperti itu yang menyebabkan istilah Hinduisasi masih sering juga digunakan. Sebenarnya, hubungan perdagangan antara India dan Asia Tenggara, sudah terjadi sejak zaman prasejarah. Misalnya, dengan ditemukan banyak koloni-koloni kecil India di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara. Namun, juga sebaliknya kita dapat menemukan adanya koloni-koloni dagang Indonesia di pelabuhan-pelabuhan dagang Bengal dan Coromandel. Hal itu tidak mustahil, karena orang-orang Indonesia adalah pelaut yang ulung Munculnya kerajaankerajaan di Semenanjung dan di Indonesia, yang kemudian munculnya praktek agama dari India, kesenian dan adat serta bahasa Sanskerta sebagai bahasa suci. Semua hal itu masih sulit dipastikan kapan tepatnya dimulai. Sedangkan bahanbahan yang berasal dari catatan-catatan China, India dan Eropah masih sulit juga memberikan keterangan yang pasti. Kitab Jataka yang banyak berisi ceriteraceritera tentang pelaut Jawa dan Sumatera. Demikian juga kitab Ramayana. Sylvain Levi juga menyebutkan kitab berbahasa Pali Niddesa banyak menyebutkan nama-nama tempat di Indonesia. Catatan-catatan mengenai Indonesia, kebanyakan berasal dari era berkisar abad ke-5 M. Kutai memakai tulisan Sansekerta, berasal dari raja Mulawarman, bera pertengahan abad ke-5 M. Patung-patung Buddha bergaya Amaravati ditemukan di Kedah, Sulawesi. Catatan tertua Cina tentang Indonesia berasal dari buku riwayat dinasti Han "Tsien-han-shu" yang berkisar abad 206 SM - 24 SM. Catatan berikutnya bertahun 132 M yang menceritakan Kaisar Han menerima utusan-utusan yang membawa hadiah dari Raja Ye-tiao yang bernama Tiao-pien. Istilah China itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta oleh para indolog menjadi Javadvipa, dan rajanya Devavarman. Beregang paga catatan itu mungkin kita bisa menarik kesimpulan bahwa pada tahun itu sudah ada proses Hinduisasi di Indonesia.



30 Adapun sebab-sebab penyebaran kebudayaan India ke Asia Tenggara, tidak mudah diketahui. Sehubungan dengan itu ada dua teori untuk menentukan nya. Teori yang pertama mengatakan, bahwa orang Kalingga karena desakan berdarah yang dilakukan Asoka pada abad ke-3 SM. Yang kedua mengatakan, adanya imigrasi yang disebabkan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh dinasti Kushana pada abad ke-1 M. Kedua teori itu masih belum diterima oleh semua sarjana Sementara itu hipotesis Coedes mengatakan, bahwa tidak ada imigrasi besar-besaran, namun yang ada adalah hubungan perdagangan. Terutama pada zamannya dinasti Kushana. (Silk road, tumbuh subur pada era pemerintahan dinasti Kushana, terutama pada zamannya Kanishka) Selama dua abad sebelum masehi, India kehilangan import logam berharga. Kaisar Vespasianus (69 - 70 M) dari Roma menghentikan eksport logamnya ke India. Di sinilah Coedes mengirakan India berpaling ke Svarnabhumi (dataran Asia Tenggara) dan Svarnadvipa (Sumatera) yang merupakan tempat emas yang terkenal. Pada zaman transportasi laut sudah maju, ada kapal berpenumpang 700 orang dengan peralatan yang mampu berlayar menentang angin. Buddhisme menolong kemajuan kelautan itu, sebab sebelumnya orang-orang Hindu sangat takut kehilangan kastanya, seandainya menyeberangi lautan. (Hilangnya kasta seseorang karena mengarungi lautan juga menyebabkan pemberontakan Sepoy, pemberontakan tentara Inggeris pada tahun 1835. Salah satu penyebab pemberontakan itu adalah usaha pengiriman tentara untuk menundukkan Burma dengan jalan laut dari Calcutta). Maka



melalui



perdagangan



terbawalah



kebudayaan



India



dan



kesusastraan Sansekerta. Menurut Dr. Hall dengan begitu sebenarnya tidak ada imigrasi massal yang mengubah tipe fisik penduduk. Juga ada laporan orangorang Cina, bahwa masyarakatnyalah yang telah mengambil kebudayaan Cina, jadi bukan koloni-koloni orang India.Adalah sangat langka dokumen-dokumen yang dapat memperlihatkan yang menyatakan baahwa dari bagian India yang manakah asalnya pengaruh kebudayaan India itu yang mengalir masuk ke Asia Tenggara / Indonesia Ho-ling, nama Cina untuk kerajaan kuno di Jawa.



31 Mungkin yang dimaksudkan adalah Keling, yang juga dipakai di India Selatan, Kalingga. Orang Batak Karo mempunyai nama-nama marga seperti Chola, Pandya, Pallawa dan Malaya, semua itu adalah nama-nama India dari bangsa Dravida. Menngenai aksara atau huruf, Prof. Dr. R.C. Majumdar berpendapat bahwa inskripsi / prasasti tertua berbahasa Sansekerta di Funan menggunakan tulisan Kushana. Sehubungan dengan itu N.A. Nilakanta Sastri berpendapat bahwa semua abjad yang dipakai di Asia Tenggara berasal dari India Selatan; bahkan tulisan Pallawa mempunyai pengaruh besar. Tetapi Coedes menunjukkan bahwa ada banyak pengaruh Bengali pada huruf-huruf yang dipakai di Asia Tenggara pada abad-abad ke-8 dan awal abad ke-9 M. Sementara itu Kalimantan menunjukkan bukti-bukti tertua pengaruh India, pada tujuh prasasti yang ditemukan di Kuati. Prasasti-prasasti itu bertahun 400 M yang dkeluarkan oleh Raja Mulawarman, yang menyebutkan kakeknya bernama Kudungga dan ayahnya bernama Asvavarman. Nama



kakeknya



ternyata bukan nama Sansekerta, tetapi masih memakai nama asli Indonesia. Di lembah-lembah sungai Kapuas dan Mahakam, banyak ditemukan patung-patung Hindu dan Buddha yang bergaya Gupta. Sedangkan prasasti yang tertua di Jawa ditemukan dekat Bogor, bertahun kira-kira 450 M. Prasasti itu dikeluarkan oleh raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanagara, waktu mengadakan upacara Hindu untuk memulai penggalian irigasi. Nama kerajaannya mengingatkan nama daerah di India Selatan dekat Tanjung Comorin. Kerajaan itu masih ada sampai pertengahan abad ke-7 M, yang dinuktikan oleh orang-orang Cina yang mencatat utusan dari To-lo-mo, pada tahun 666-669 M. Diperkirakan 20 tahun kemudian ditaklukkan oleh Srivijaya. Berkuasanya Sailendra yang beragama Buddha di Jawa Tengah pada abad ke-8 M, menyebabkan Sivaisme mencari tempat pengungsian di bagian timur pulau Jawa. Terdapat bukti adanya kerajaan merdeka di sana dalam pertengahan abad itu, dengan pusatnya di sekitar Malang. Kerajaan itulah yang mendahului kerajaan Singasari. Ada bangunan-bangunan yang gayanya sama



32 dengan gaya bangunan Sailendra di Jawa Tengah, tetapi bangunan- bangunan itu diperuntukkan guna pemujaan Agastya, maharesi Hindu yang menghindukan India Selatan. Dokumen tertua di Jawaa Timur bertahun sekitar abad itu, ada yang bertahun 760 M, berbahasa Sansekerta, dan menyebutkan pendirian tempat suci



untuk



Agastya,



di



Dinoyo



oleh



seorang



raja



yang



berama



Gajayana.Kembalinya Sivaisme pada pertengahan abad ke-9 M dianggap sebagai petunjuk runtuhnya kekuasaan Sailendra di Jawa Tengah. Kemudian Balitung (898 - 910 M) dalam prasastinya menyebutkan nama kerajaan Mataram yang untuk pertama kalinya dan dia merupakan empat raja pertama yang beragama Siva. Sedangkan pengganti Balitung, Dhaksa (910-919 M) mungkin yang mendirikan kelompok candi Prambanan, dengann 8 candi terbesarnya diperuntukkan guna pemujaan Siva. Salah satunya adalah patung Durga yang dikenal sebaagai Loro Jonggrang, "gadis ramping". Sestelah itu Mpu Sendok (929-947 M) memindahkan kerajaan itu ke Jaawa Timur dengan alasan yang masih belum diketaaahui dengan pasti oleh para sarjana. Mungkin karena wabah penyakit dan gempa bumi. Atau mungkin saja karena rasa ketakutan terhadap kekuasaan Srivijaya yang menuntut wilayah Sailendra di Jawa Tengah. Mpu Sendoklah sebagai pendiri dinasti baru yang memerintah Jawa Timur sampai tahun 1222 M. Di memerintaah bersama-sama dengan permaisurinya Rakryan Bawang dan kemudian penggantinya adalah putrinya, Sri Isanatunggavijaya. Hal itu menunjukkan kedudukan wanita waktu itu sangat penting dalam masyarakat. Karena perpindahan itu, banyak lahan pertanian yang belum digarap secara intensip sehingga ekonomi kerjaan berpaling yakni ditekannkan pada perdangan dengan luar Jawa: dengan Maluku, Sumatra, dan Semenanjung Melayu. Dalam hal itu Bali untuk pertama kali memainkan peranan yang penting dalam sejarah Jawa. Kemudian pada abad ke-10 M seorang raja Bali mengawini putri cucunya Sendok dan dengan demikian terbuka jalan untuk memasukkan kebudayaan Jawa ke Bali. Kemudian keturunan Sendok, Dharmawangsa (985 - 1006 M), adalah raja yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Atas perintahnya banyak



33 hukum Hindu dibukukan dan banyak terjemahan dilakukan dari bahasa Sansekerta ke bahasa Jawa. Salah satu di antaranya adalah bagian Mahabharata. Pada saat itulah berkembang kesusastraaan prosa tertua di Indonesia. Pengganti



Dharmawangsa,



adalah



Airlangga



putra



raja



Bali



Dharmodayana, dari perkawinannya dengan cucunya Sendok. Kesusastraan juga mengalami masa-masa emas pada zamannya. Salah satu di antaranya adalah Arjuna



wiwaha-nya



Mpu



Panuluh.



Yang



mungkin



mengumpamakan



perkawinannya Airlangga sendiri. Versi itu diterima dengan populer dan disajikan dalam pentas-pentas Jawa dan menjadi tema populer dalam wayang. Dalam syair dan wayang susunanya sepenuhnya bersifat Jawa. Pada masa itu agama Hindu berdampingan secara damai dengan agama Buddha. Menurut Prof. Dr. Hall, kedua agama itu sudah menjurus kepenyatuan. Sivaisme dianggap tingkat pertama pada jalan menuju cahaya kebenaran. Setelah melalui itu yang bersangkutan siap diberi pelajaran pengetahuan Buddhisme yang lebih tinggi daripada Hindu. Kemudian setelah Airlangga wafat, ia sendiri dipuja sebagai penjelmaan Visnu di Belahan. Praktek seperti itu menjadi umum oleh keturunannya, yakni setelah mangkat lalu dipuja dalam bentuk Visnu. Pemujaan nenek moyang adalah tugas khusus yang dibebankan kepada seorang raja. Pada waktu-waktu tertentu raja harus melaksanakan upacara yang berhubungan dengan nenek moyang untk memperkuat posisinya dengan menerima kekuatan-kekuatan magis. Karena itu banyak kita temukan candi-candi tersebar di Jawa Timur untuk memperingati seorang raja dalam pakaian Siva, Visnu, Avalokitesvara. Mereka itu semua adalah pusat-pusat pemujaan nenek moyang dan menujukkan survival pemujaan pre-Hindu. Di Bali, agama Hindu terdiri dari tiga aspek: Hindu, Buddha, dan aspekaspek prapengaruh India.



Selain dengan India, Bali sebenarnya sudah



mengadakan hubungan dengan China sejak dahulu kala. Banyak orang-orang China yang datang ke Bali, bekerja pada raja-raja Bali sebagai tukang Walaupun tugas kontrak mereka sebagai tukang sudah selesai, tetapi banyak di antara mereka yang tidak maau pulang kembali ke negerinya. Mereka memilih lebih



34 baik tinggal menetap terus di Bali. Kemudian mereka membuka usaha dagamg berbagai macam barang di Bali. Pengaruh mereka nampak pada seni dan arsitektur di Bali, misalnya: meru, barong, rumah dan pekarangan dan sebagainya. Kemudian akhirnya Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 M. Bathara Maospahit (Maspahit, Majapahit), sampai kini masih dipuja di setiap merajan, (di altar / pelinggih yang berisi patung kepala menjangan) di Bali.Kitab Buddhis Manjusri Mulakalpa, bertahun sebelum 920 M, menyebutkan nama Bali sebagai negeri tempat tinggal kaum barbarian. Sedangkan catatan China abad ke-5 - 6 M menyebutkan P'o-li. Nama Dwa-pa-tan (negeri di timur Kaling), yang disebutkan pada dinasti Tang (647 M) mungkin Bali. Catatan itu memberikan informasi bahwa huruf-huruf ditulis di atas daun, mayatnya dibakar di atas tumpukan kayu api, dihiasi emas, dan dengan emas di mulutnya, dengan segala macam harum-haruman. Bukti langsung, adalah lempengan copper (tembaga), bertahun 882-914 M menyebutkan berdirinya satu pertapaan di Sukawana ( di bukit Penulisan), dan peletakan dasar sebuah pura untuk bhatara Da Tonta di desa Trunyan. Kedua tempat itu masih sangat penting bagi umat Hindu di Bali. Bhatara Da Tonta masih dipuja. Prasasti Bali menggunakan tahun Saka. Prasasti-prasasti tua tidak menyebutkan nama raja. Singhamandava yang disebutkan pasti tempat tinggal raja. Nama raja disebutkan pertama kalinya pada prasasti tugu batu Sanur 914 M, namanya Adhipatih Sri Kesari Varma ..., nama istanya Singhadhavala. Prasasti Seri Singhamandava berikutnya brtahun 915 - 933, berisi nama raja Sang Ratu Sri Ugrasena. Setelah berjarak 20 tahun, pengganti-penggantinya adalah: 1) Sang Ratu Sri Aji Tabanendra dan isteri Subhadrika (tiga prasasti bertahun 955). 2) Sang Ratu Sri Chandrabhayasingha (960) 3) Sang Ratu Sri Janasadhu (975) 4) Sri Maharaja Sri Mahadevi (984)



35 Kecuali yang terakhir, semua raja di atas setelah tahun 955 memakai nama famili Varmadeva. Sanur Pillar (Tugu Sanur) setengah berbahasa Bali kuno dan setengahnya Sansekerta. Melihat tulisan yang dipakai yaitu tulisan pre Nagari atau early Nagari. Tulisan tersebut dipakai pada tugu-tugunya Soka (abad 3 SM), dan di negara-nrgara Buddha di Bengal. Jadi tidak sepenuhnya sama dengan tulisan di Jawa Tengah. Kelihatannya ada hubungaan langsung dengan Bali. Cap-cap di Pejeng (Pejeng clay seals) kemungkinan besar datangnya dari negeri-negeri Buddha Bengal. Walaupun ada catatan dari kitab-kitab Jawa, carita Parahyangan



yang mencatat raja Sanjaya (730) menaklukkan Baali,



namun jelas ada hubungan langsung antara Bali dengan India. Bahasa yang kini disebut 'bahasa Bali kasar', ternyata tidak ada hubungannya dengan bahasa Jawa. Bahasa ini lebih erat hubungannya dengan Sumbawa dan Sasak. Dari penggunaan baahasa di pulau Nusa Penida dan desadesa yang sulit terjangkau di Bali Utara, ternyata mereka lebih cenderung menggunakan bahasa Bali kasar. Penggunaan bahasa Jawa kuno, dimulai pada akhir abad ke-10 di kalangan istana. Penggantian bahasa Bali kuno ke bahasa Jawa kuno, berhubungan erat dengan perkawinan Sang Ratu Maharani Sri Gunapriyadhamapatni yang berasal dari Jawa dengan Sang Ratu Maharani Sri Dharmodayana Varmadeva (989). Dalam



prasasti



Calculta



Stone



(1041)



dikatakan



bahwa



Gunapriyadharmapatni adalah titel yang diberikan oleh ayahnya Mahendradatta (ibunya Airlangga). Ayahnya Mahendradatta adalah Sri Makutavangsa Vardhana, cucunya Mpu Sendok, raja Jawa Timur yang pertama. Pada prasastiprsasti yang dikeluarkan oleh pasangan itu nama Sang Ratu selalu disebutkan pertama, mungkin dia lebih penting kedudukannya atau mungkin karena dia putri Jawa. Patung Durga yang amat cantik diperuntukkan untuk Mahendradatta di Kutri. Menurut Goris, gambaran patung itu berhubungan dengan ilmu blackmagic yang dikuasai oleh Gupriya. Jadi ada hubungannya kebenarannya dengan kisah calon arang (kisah itu mengisahkan bahwa ada perjanjian yakni



36 Udayana boleh memperistri Gunapriyaa asalkan Udayana tidak kawin lagi. Ketika Udayana tidak menepati janjinya, maka Gunapriya mempelajari ilmu hitam dan kemudian ia diusir. Menurut dugaan gambaran Durga yang cantik itu mungkin saja sama dengan gambaran di India, yang melambangkan kebesaran kasih sayang ibu kepada anak-anaknya. Kenapa Gunapriya tidak dipatungkan dalam bentuk yang menakutkan, seandainya dia dianggap begitu menakutkan Setelah adanya gap selama 25 tahun, uncul nama raja baru di Bali yaitu Paduka Haji Anak Wungsu. Prasastinya yang terakhir bertahun 1078. Patung wanita di pura Penulisan yang bertuliskan Bhatari Mandul mungkin isterinya. Melihat prasasti-prasasti dan pentingnya gunung Kawi, menunjukkaan bagaimana besarnya anak Wungsu. Beliau merupakan salah satu raja Bali yang besar. Monumen-monumen yang berasal dari zamannya sangat kaya dan banyak, tersebar di daerah-daerah dari sungai Petanu sampai Pakerisan. Adapunraja dan ratu yang menyusul Anak Wungsu adalah sebagai berikut: 1) Seorang ratu, Paduka Sri Maharaja Sakalendukirana Isanag unadharmalshmdhara Vijayottunggadevi; namanya disebutkan pada prasasti Canggi 1098. 2) Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa (1115, 1119), prasasti yang bertahun 1119 menyebutkan nama Bhatara Sri Haji Uganedra Dharmadeva, namun para sarjana belum tahu pasti siapa dia. 3) Jayasakti (1146-1150) 4) Jayapangus (1178-1181) 5) Paduka Sri Maharaja Haji-ra-ajaya dan ibunya Paduka Sri-rta-ya (1200) 6) Paduka Bhatara Guru Sri AAdikunti-ketana dan putranya Sira Bhatara Paramesvara Sri Wirama dan ratunya Dhanadeviketu (1204)



Tahun 1284 merupakan awalnya satu era baru pada hubungan Bali dan Jawa. Setelah kehidupannya yaang pendek namun menjadi periode yang sangat penting dari Gunapriyadharmapatni dan Udayana. Bahasa resmi dan mungkin



37 bahasa istana dipakai bahasa Jawa. Namun, tidak ada tanda-tanda adanya pengaruh politik langsung. Agama pada masa itu adalah Siwa dan Buddha. Tetapi ada juga sekte-sekte kecil lainnya. Misalnya, sekte Ganapatya yang menyembah Gana atau Ganesa dan Sora yang menyembah surya dan sebagainya. (Patung Ganesa terdapat di gunung Penulisan, pura Penataran Sasih Pejeng, Pura Pusering Jagat dll). Sedangkan pemujaan kepada Surya (suryasevana), sampai sekarang kita dapati pada kebaktian kepada Surya atau Sivaditya. Sebelum Mpu Kuturan datang di Bali (tahun 1039), di Bali waktu itu telah terdapat beberapa sekte agama Hindu. Konsep rwabhineda (dualisme) telah dikenal pula seperti: siang malam, baik buruk, naik turun dan sebagainya. Dalam agama dikenal Pura Penataran bertempat di hulu desa (kaja), dan Pura Setra di hilir desa (kelod). Mpu Kuturan datang di Bali dan tinggal di Padang (Padangbai), yang sekarang pura Silayukti. Ia mengajarkan konsep Trimurti dan membuat Kahyangan tiga yaitu: Pura Puseh di hulu desa untuk memuja Wisnu, Pura Desa di pusat desa untuk memuja Brahma, dan Pura Dalem di hilir desa untuk memuja Siwa (Durga). Adapun raja Bali kuna terakhir, adalah Sri Artasura Ratna Bhumi Banten (1337-1343), menganut agama Bhairawa, (gama Bhairawa itu pernah berkembang subur di Singosari), dan berkedudukan di Bedahulu, dengan Patih Pasunggrigis. Kemudian ditundukkan oleh Majapahit, di bawah pimpinan Gajah Mada pada tahun 1343. Perbedaan agama Bhairawa yang dianut oleh Astasura dengan agama yang dianut di Majapahit, yakni Siwa Buddha, menyebabkan raja Artsura disebut 'bedahulu'. Peninggalannya sekarang tertdapat di Pura Kebo Edan di desa Bedulu, Gianyar.Namun demikian Bali baru aman pada pemerintahan Dalem Ketut Ngulesir (cucunya Sri Kresna Kepakisan), setelah Pura Dasar di Gelgel dijadikan sebagai pura Pusat kerajaan (sama dengan pura Pusering Jagat pada masa Bedahulu), dan menjadikan Pura Besakih sebagai pura pusat di seluruh Bali. Kemudian pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550), datanglah di Bali Dang Hyang Nirartha (tahun 1480) dengan membawa banyak



38 perubahan, baik di bidang ketatamasyarakatan maupun agama. Dibidang ketatamasyarakatan diadakan pembagian golongan secara tegas sbb: 1) keempat putranya menduduki tempat tertinggi yang disebut brahmana yaitu: (a) kemenuh, putranya yang ibunya dari Daha, (b) keniten, putranya yang ibunya dari Pasuruan, (c) manuaba, putranya yang ibunya dari Blambangan, dan (d) Mas, putranya yang ibunya dari Mas (Gianyar). 2) tempat yang kedua untuk keluarga yang memerintah, yang disebut ksatrya, dan 3) yang ketiga waisya. Sedangkan di bidang agama, Dang Hyang Nirartha mengajarkan sistem Ketuhanan yaitu: Siwa, Sadasiwa, dan



Paramasiwa. Paramasiwa adalah



Nirguna Brahma dan Nirguna Brahman adalah Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya Dang Hyang Nirartha, atau Dang Hyang Dwijendra atau Pedanda Sakti Wau Rawuh, membangun pelinggih meru untuk memuja Wisnu, gedong anda untuk memuja Brahma, dan gedong cungkub untuk memuja Siwa (Durga). Sedangkan pelinggih padmasana untuk memuja Tripurusa.



39



BAB III KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA HINDU



3.1 Konsep Ketuhanan Menurut Veda



Di India ( dunia Timur ) tidak seperti di Eropa (dunia Barat), yaitu garis pemisah antara filsafat dan agama sangat tipis.



Bahkan sering tidak ada



batas pemisahnya dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Hal itu yang menyebabkan fisafat India sama dengan agama Hindu, dan sebaliknya agama Hindu sama dengan filsafat India (dharsana). Kenyataan seperti itu sangat jelas dalam agama Hindu dan dapat dibuktikan dalam Veda, kitab suci agama Hindu. Veda berkedudukan sebagai otoritas mutlak terhadap keenam sistem filsafat orthodok Hindu (saddharsana, astika dharsana). Dalam keenam sistem



filsafat



(saddharsana) itu, Vedalah yang



dijadikan sebagai titik akhir semua perbedaan pendapat filsafat. Bahkan, definisi Hindu orthodok (astika), yang berbeda dengan Hindu hetherodok (nastika) dan agama-agama India seperti Buddhisme



dan Jainisme, didasari



atas kepercayaan kebenaran kitab Veda. Hal itu bisa kita lihat dalam kenyataan, bahwa sekte-sekte agama Hindu tetap rukun atas kemutlakan Weda. Padahal agama Hindu terdiri dari berbagai cabang yang kemudian merupakan berbagai sekte, akibat menempuh zaman yang sangat panjang, tidak pernah berkelahi atas kemutlakan Veda. Semuanya berawal dari Veda dan berakhir pada Veda. Semuanya menuntut bahwa Veda sebagai otoritas yang selalu benar, karena mereka percaya bahwa isi Weda adalah Šrekaman atau liputan revelation atau sruti (wahyu) langsung.



40 Revelation atau sruti dari Brahman (Tuhan) yang diterima oleh para resi semenjak zaman yang tidak bisa ditentukan kapan mulai pendapat di atas yang mengatakan bahwa ajaran-ajaran Veda sangat penting, yang menyebabkan agama Hindu disebut sebagai vaidika dharma (agama Veda). Jadi konsep Tuhan dalam agama Hindu adalah konsep Tuhan menurut Veda.



3.2 Ajaran-ajaran



Veda-Upanisad (Vedic



Upanisadic)



atau konsep



tentang Tuhan: Ide tentang identitas Self God (Atman - Brahman)



Mempelajari tentang Tuhan melalui inti sari ajaran Veda sesungguhnya tidak mudah,



karena



Veda mempunyai metafora dan allegori yang begitu



kaya , sangat banyak dan bervariasi. Pembagian tema Veda Sruti menjadi tiga bagian yang masing-masing berbeda (samhita/mantra, brahmana, upanisad), membuat masalah itu semakin sulit, sebab isi bagian yang satu nampaknya berbeda dengan bagian yang lainnya. mendalami, yang



Jadi, seorang pembaca yang tidak



hanya melihat halaman-halaman Weda, maka nada



polytheistik samhita dan brahmana, yang di dalammnya terdapat sejumlah dewa dan pemberian sajen kepadanya (dewa-dewa), tampak bagi pembaca itu, jelas berbeda dengan konsep monoteistik Tuhan Upanisadic. Banyak sekali elemen-elemen upanisad yang tidak terhitung, mencoba untuk menjelaskan suatu ajaran yang penting dan mendasar dengan berbagai cara: Hanya satu Tuhan, tidak ada duanya (Ekam evam advityam)(Chandogya Upanisad, VI. 21). Universal Being Tuhan itu disebutkan di dalam Upanisad berbeda-beda seperti: Brahma, Isawara, Paramatma dan sebagainya, yang sesungguhnya semuanya dapat juga digunakan sebutan God (Tuhan),



walaupun masing-



masing mempunyai satu karakter yang tidak dapat dibedakan



satu dengan



yang lainnya. Jadi, perbedaan pendapat berbagai bagian Veda itulah yang menyulitkan bagi kita untuk mempelajari tentang konsep Tuhan di dalam Weda.



41 Dengan demikian timbullah masalah, yang perlu diteliti dan didalami yakni: Apakah konsep polytheisnya samhita dan brahmana yang benar, ataukah konsep monotheisnya Upanisad, yang sesungguhnya benar-benar menyatakan ide Veda yang sebenarnya. Masalah itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Untuk



itu kita mencoba melihat, seandainya



samhitanya Veda, yang



politheismenya sangat menonjol dapat membawa kita ke satu pemecahan. Mantram (verse, sloka) gayatri dinyatakan amat penting,



karena



mengandung spiritual life (kehidupan sepiritual), baik dalam Weda maupun dalam beberapa tulisan Sanskerta (Rgv, III,62.10). Di dalam Atharvaveda, gayatri, diterangkan sebagai ilmu Veda (AV.XIX,712) mengandung inti kehidupan



sepiritual (spiritual life). Jadi



Gayatri Veda salah satu elemen Veda yang paling vital. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam gayatri mantram terkandung satu universal being (Tuhan ) menjelmakan diri-Nya dan bersinar sendiri dari manifestasi diri-Nya, baik di dalam alam ini maupun di dalam alam-alam lainnya, (Tuhan)



itu juga bersemayam



dan Being



di dalam hati manusia, sebagai penguasa



batin manusia itu sendiri (inner ruler). Adapun konsep Gayatri atas satu self-luminous universal spirit dan Dia bersemayam di dalam hati manusia, di kemudian hari dikristalkan di dalam kitab-kitab Upanishad, yang merupakan bagian kesimpulan Veda, ke dalam doktrin bahwa Brahman (Tuhan) ada di mana-mana yang sama identitasnya dengan individual self (atman). Individual self (atman), walaupun nampaknya terbatas dan tidak sempurna, dalam bentuk



akhirnya adalah Divine



(Tuhan/Brahman); karena Dia bersemayam di dalamnya. Doktrin



tentang identitas Atman dan



Brahman,



pertama kali



diutarakan di dalam Gayatri dan kemudian dikembangkan oleh UpanishadUpanishad menjadi pusat ajaran Veda dan Hinduisme pada umumnya. Seperti mahavakya Upanishad-Upanishad: that thou art (tat tvam asi), I am Brahman (Aham Brahmasmi)dan sebagainya. Jelas bahwa konsep atman menjadi titik pusat upanisad-upanisad.



42 Menurut Upanisad, atman adalah inti sari (inner essence) manusia, substance yang permanen yang selalu tetap dan stabil, tidak berubah-ubah dari segala macam perubahan badan, alat-alat indria (sence of organs), dan pikiran. Badan jasmani manusia bisa berubah-ubah dalam berbagai bentuk. Begitu juga indra-indra lainnya dapat dihancurkan, juga pikiran ; bahkan dapat dijadikan dalam keadaan tidak sadar, emosinya, indria, citranya dan sebagainya dapat dihancurkan. Tetapi dalam kenyataan Dia (manusia) tidak pernah kehilangan self identity terhadap dirinya sendiri. Hal itu membuktikan bahwa Dia di dalam dirinya ada satu relitas yang menyaksikan semua perubahan dan penghancuran itu, tetapi tidak dipengaruhi oleh mereka. Substance yang permanen itu disebut self (atman). Atman (self) itu tidak hanya inner essance mahluk hidup (kita, manusia), tetapi juga outter essance of the universe (alam semesta). Upanishad tidak membuat perbedaan antara with in dan with out. Kita lihat dalam Kathopanishad: Apa yang within kita juga without. Apa yang without juga within. Dia yang melihat perbedaan antara apa yang within dan apakah without, pergi terus-menerus dari satu kematian ke kematian (KU, II, 1.10). Kalau kita memandang sebagai The Ultimate Methaphysical principle outter universe, Atman itu disebut sebagai Braahman. Ada perubahan without yang



tidak



henti-hentinya



di dalam



bentuk pergerakan, pertumbuhan,



kehancuran dan kema tian; dan di dalam hati manusia semua perubahan itu ada satu reality yang kekal dan disebut Brahman. Lagi, di dalam perubahan yang tidak henti-hentinya within (di dalam) badan dan pikiran kita satu reality kekal yang disebut Atman, dan kedua pokok pendapat (principle) itu dipergunakan sebagai hal yang satu dan sama: aikyam atma Brahman



(self itu adalah Brahman) adalah satu ucapan



besar



(mahavakya) yang digunakan oleh Upanishad untuk menyimpulkan ajaran Upanishad tersebut.



43 Tetapi ada satu pertanyaan yang kiranya sulit dijawab, yang dapat kita tampilkan di sini, seandainya atman yang kekal adalah inti reality maanusia dan alam semesta (universe), dan bagimana kita harus memnadang phenomena perubahan dan becoming of changes yang menjadi karakter dunia penglaman kita sehari-hari. Jawaban Upanishad adalah,



hal-hal



yang



mengalami



perubahan dan tidak berasal dari luar nilai-nilai yang dimiliki sendiri dan tidak mempunyai reality sendiri. Jadi perubahan dan becoming (menjadi) itu dianggap tidak benar dan dianggap sebagai sumber penderitaan. Hanya atman yang tidak terjangkau oleh perubahan dan penderitaan, tetapi walaupun dia tidak terjangkau oleh perubahan dan penderitan, Atman dibawah pengaruh satu kebodohan cosmic (avidya), melupakan sifat aslinya sendiri, dan dengan salah menyamakan dirinya dengan perubahan fenomena badan dan pikiran. Yang terakhir itu bukan bagian self sendiri, tetapi kosa-nya self atau pembungkus atman, misalnya badan dan mental bertanggung jawab atas semua penderitaan mahluk karena atman salah membayangkan milik-milik sifat badan dan pikiran sebagai sifat-sifatnya sendiri. Hanya ketika atman berhasil membebaskan diri dari pembungkuspembungkus (kosa) itu dengan cara spiritual traening dibawah tuntunan seorang guru (guru spiritual), bersinar maju di dalam bentuk devine-nya sama dengan Brahman. Tetapi selama itu tidak terjadi self menderita dari illusion (bayangan semu) yang merupakan subjek semua evils, ketidaksempurnaan dan keterbatasan pembungkus luar; jadi membuat dirinya korban penderitaan dan kematian. Tetapi pada saat yang sama, setiap individu berkeinginan untuk lolos dari penderitaan dan menentang kematian, itu membuktikan bahwa semua penderitaan bukan sifat self dan bukan tujuan akhir. Seandainya ada elemen asing yang memasuki badan kita atau satu duri ke dalam daging, badan kita langsung bereaksi kepadanya dan mencoba untuk mengenyahkan, seperti semua orang ingin mengenyahkan kesedihan dan kesengsaraan kehidupan manusia. Itu menunjukkan bahwa mereka bukan milik self tetapi elemen asing yang masuk. Itu menyatakan karakter self adalah satu



44 keadaan yang sempurna dan damai atau bliss (damai mutlak, ananda), bebas mutlak dari semua penderitaan dan ketidaksempurnaan. Keadaan yang bahagia mutlak disebutkan dalam berbagai istilah di dalam Upanishad-Upanishad sebagai: mukti,



moksa, kaivalya,



apavarga, dan



sebagainya dan pencapaian manusia (caramapurusartha). Bagaimana caranya mencapai tujuan utama itu? Hanya dengan jalan menyobek penutup kosmik yang menghalangi pandangan kita (avidya), dan berhasil menyadari identitas Atman dengan Brahmaan; itulah jawaban yang diberikan Upanishad atas pertanyaan tersebut. Ketika



seseorang



menyadari keidentitasannya



itu



dia akan tahu



kebenaran sejati. Atman akan bebas dari ketentuan, bebas dari kematian, bebas dari kesedihan, bebas dari lapar dan haus (ChUI, 1.3). Itulah sebabnya manusia disebutkan di dalam upanisad-upanisad sebagai putra dan putri "kekal abadi" (amrtsya putrah). Doktrin kepentingan spiritual identitas antara atman



dan Brahman



mewakili inti pandangan spiritual maharesi-maharesi Vedic - Upanisadic dan memberikan Hinduisme satu karakter khas. Agak menarik dicatat di sini doktrin kuno Upanisadic tentang Atman Brahman mempunyai keparalelan dengan mediaval Christian mystic Eckhart: "untuk mengukur jiwa (soul) kita harus mengukurnya dengan Tuhan, karena dasar Tuhan dan dasar jiwa (soul) adalah satu dan sama" (To gauge the Soul we must gauge it with God, for the groud of the God and the Soul are one and the same) (Aldous Huxley, Perennial Philosophy, 19). Untuk



mengetahui atman (self), kita harus mengetahui Brahman



(Tuhan). Dengan mengetahui Tuhan adalah mengetahui semuanya, karena semua di alam semesta ini dihadiri oleh Tuhan. "Semua ini diciptakan oleh Tuhan" (Isopanisad). Jadi ada pertanyaan aneh -- Apa yang diketahui semuanya yang lain diketahui? -- menemukan jawabannya pada jiwa manusia: atmanam Viddhi, diketahui self-mu sendiri Karena hal itu yang menyebabkan semua kitab-kitab Upanisad dinamakan Atmavidya, satu studi tentang atman.



45



3.3



Kedudukan para Dewa dalam Agama Hindu



Sebagai kita ketahui Upanisad-upanisad disebut sebagai Atmavidya, juga Samhita-samhita, bagian Veda yang pertama dan tertua, dikenal juga sebagai Devavidya, yaitu satu studi tentang sifat-sifat Dewa. Disebut demikian, karena samhita merupakan koleksi himne-himne dan persembahyangan yang ditujukan kepada para /berbagai dewa. Misalnya, sebuah sloka /verseRg.Veda (VIII,28) dan komentar tradisional atas Veda, menyebutkan 33 dewa antara lain: Indra, Varuna, Pusa, Agni, dan sebagainya. Dewa-dewa tersebut dikatakan sebagai super natural dan luminious (bersinar sendiri). Kenyataannya, kata ‘deva’, diambil dari akar kata Sansekerta "dev" yang artinya "bersinar". Mereka itu (para dewa), aktif dan menuntun berjenis- jenis objek alam dan fenomena untuk mampu berfungsi. Perlu dimengerti dalam hal ini, bahwa Indra adalah dewa hujan, petir, dan badai. Pusa adalah dewi fajar. Agni adalah dewa api dan sebagainya. Walau hubungan dewa Vedic itu dengan alam sangat intim (erat hubungannya), namun dewa bukan personifikasi kekuatan-kekuatan alam, seperti banyak dimengerti oleh para sarjana. Akan lebih benar, jika para dewa dimengertikan sebagai personalitas yang menguasai berbagai fenomena alam (abhimana devatas) dan menuntun dewa-dewa. Persembahyangan yang ditujukan untuk para dewa adalah bersifat kepada dewa yang lebih berkuasa dari manusia dan mengontrol alam; dan sebagai personalitas dewa-dewa bersifat pemberkah. Tetapi sebuah pertanyaan langsung timbul di sini. Bagaimana mungkin adanya banyak dewa seperti yang kita dapatkan dari Samhita Veda dapat disetujui dengan doktrin dasar Upanisadic, bahwa Brahman adalah satu dan hanya satu, dan individual atman adalah identik / sama dengannya. Kalau pertanyaan ini tidak terjawab, maka semua isi Veda menjadi tidak ada artnya dan berkontradiksi.



46 Satu contoh jawaban yang khas Hindu, adalah tidak pernah ada polytheisme yang asli dalam agama Hindu. Apa yang nampak sebagai polytheisme di dalam verse-verse /sloka-sloka Samhita, adalah benar-benar monotheisme dan hanya berselimut polytheistik semu/ samaran. Ini membawa kita ke satu pertanyaan yang lebih mendasar ke dalam sifat adanya para dewa dan status methaphysikanya. Seandainya kita ambil agama pra Kristen dari klasikal Yunani dan Roma sebagai contoh yang beanr politheisme tidak sulit bagi kita melihat kenapa Hinduisme masuk golongan ini. Di dalam polytheisme Yunani dan Roma perbedaan pokok antara dewaa-dewa



daan manusia berbeda dalam hal



yang pertama ialah immortal (kekal, anitya), sedangkan maanusianya tidak; dan manusia mortal, nitya (tidak kekal) tidak akan mencapai status sebagai dewa. Tetapi dalam Hinduisme, manusia dan dewa mempunyai nasib yang sama: bahwa mereka, keduanya diciptakan olel Brahman, Tuhan Maha Pencipta; dan sebagai mahluk mereka bernasib lahir dan mati. Seperti manusia biasa, nasib para dewa itu juga ditentukan oleh hukum karmaphala, hukum sebab akibat. Hukum tersebut berfungsi sebagai awal dan akhir kedudukan mereka sebagai dewa. Menurut hukum karmapala, kebahagiaan dan penderitaan seseorang tergantung pada perbuatan baik (punya atau subha karma, kusala karma), dan perbuatan jelek, jahat (papa, asubhakarma, akusala karma), yang dilakukan seseorang. Perbuatan baik akan berakibat kebahagiaan, dan perbuatan jelek / jahat akan berakibat kesedihan, penderitaan. Sekarang seandainya hasil perbuatan baik seseorang begitu besar, sehingga semua kebahagiaan di dunia ini tidak dapat menyamainya. Ketika badan wadag orang mati, ia akan lahir sebagai seorang dewa di sorga. Untuk menikmati hasil-hasil perbuatannya dan tetap di sana, sebagai mahluk dengan kekuatan supernatural (adikodrati), dan menguasai satu kekuatan alam. Kebahagiaan



yang berlimpah dan kekuatan superhuman menjadi



karakter kehidupan dewa-dewa di sorga. Lagi, seandainya seseorang yang mendapat hasil perbuatan baik yang tertinggi dengan melakukan bebrapa



47 pertapaan khusus dan upacara Veda (Yajna) mati, maka dia akan lahir kembali tidak hanya sebagai dewa, tetapi sebagai raja dewa-dewa yang disebut Indra, dan semua dewa yang lebih kecil akan menuruti perintahnya. Tetapi kehidupan para dewa itu termasuk Indra akan berakhir, seandainya hasil perbuatan baiknya sudah habis dinikmatinya dan mereka akan mati dan kemudian akan lahir kembali dalam bentuk menurut hasil perbuatannya yang lalu. Lingkaran hidup dan mati itu disebut samsara. Lingkaran hidup dan mati manusia atau dewa akan terus berputar, selama mereka belum menyadari identitas mereka dengan Brahman. Adalah sangat menarik untuk kita catat di sini, bahwa dewa-dewa Vedic tersebut dideklarasikan sebagai karyawan kosmos (cosmic) yang memegang jabatan tertentu (pada), dan mempunyai tugas-tugas tertentu. Jadi, istilah Indra, -raja dewa-dewa-, bukan nama seseorang tetapi nama satu kedudukan / jabatan (Indrapada). Setiap orang yang mempunyai hasil perbuatan baik mencukupi lahir untuk menjadi seorang Indra, dia berhak menduduki kedudukan /jabatan tersebut. Tetapi kalau karma baiknya sudah habis, dia harus meninggalkan kedudukan tersebut, dan Indra lainnya (yang baru) akan •mengambil kedudukannya. Jadi walaupun kedudukan dewa-dewa itu (pada) adalah konstan, namun individu-individu yang melakukan tugas sebagai Indra, Agni dan sebagainya yang berubah. Sekarang melihat hal-hal yang tersebut di atas yang khas deva Vedic,



kekekalan



dan



menjadi dewa-dewa, kita



kemampuan mereka untuk mengangkat dirinya tidak



menyebut Vedic



polytheisme,



sebagai



polytheisme sejati pada agama Yunani dan Roma kuno. Satu hal yang sangat penting yang kita perhatikan pada dewa-dewa Vedic, adalah walaupun mereka



berkekuatan



cukup untuk mengontrol



kekuatan-kekuatan alam, mereka tidak pernah dinyatakan sebagai menciptakan mahluk dan alam. Pencipta di dalam Hinduisme adalah hanya Tuhan Yang Maha Esa (Iswara), yang Dia sendiri tidak tercipta. Dewa-dewa / para dewa dalam agama Hindu, agak mirip



dengan



malaikat-malaikat dan santo-santo dalam agama Kristen, yang mereka sendiri



48 adalah mahluk Tuhan pencipta. Dewa Hindu juga mirip dengan santo-santo Kristen dalam hal pencapaian kedudukan tinggi tersebut, tidak semenjak awal. Para malaikat diciptakan oleh Tuhan bersamaan waktu penciptaan.



Berbicara secara teknikal malaikat dan saint-saint adalah mahluk semiiternal, yaitu mereka mempunyai satu awal tetapi tidak punya akhir. Dan juga kemunculan mahluk-mahluk semiternal itu tidak mempengaruhi dasar monotheisme Kristianiti, juga adanya berbagai dewa tidak mengganggu teori Tuhan Yang Maha Esa-nya Upanisad. Tetapi ini, bukan semua cerita tentang dewa-dewa Vedic, dan Hinduisme pergi lebih dalam dari ini, di dalam menerangkan tentang mereka. Di antara banyak ragamnya dewa-dewa, terdapat sebuah fondamental unity, satu unity (kesatuan), yang menahan Hinduisme jatuh ke dalam bentuk



polytheisme.



Titik



itu dengan



jelas



diterangkan oleh Swami



Vivekananda, seorang santo agama Hindu, dengan satu perbandingan studi dengan non-Hindu polytheistic, mithologis (Svami Vivekananda, Hinduism: hlm.324). Di dalam mithologi-mithologi itu, kata Vivekananda, selalu kita temukan satu Dewa tertentu berkompetisi/berlomba dengan dewa-dewa lainnya, untuk menjadi lebih menonjol dan mengambil kedudukan yang lebih tinggi di atas yang lain, sedang dewa-dewa yang lainnya secara perlahan menjadi bawahan. Jadi, di dalam mithologi Yahudi (Jewish), Jehovah menjadi supre (paling tinggi) dari semua molochos dan molocho-molocho lainnya dilupakan dan menghilang selama-lamanya. Jehovah menjadi God of gods. Sama dengan methologi Yunani, Zeus menjadi dewa yang terkemuka dan mengambil bagian yang terpenting, menjadi God of the universe dan dewadewa lainnya turun menjadi malaikat-malaikat minor. Hal itu nampaknya menjadi proses umum. Tetapi dalam mithologi Hindu, kita temukan agak berbeda. Dari semua dewa Vedic salah satu,- yang mana saja,- diangkat ke status omnipoten



49 God(Tuhan Maha Kuasa) atas semuanya, sewaktu-waktu ketika dia dipuja oleh resi-resi Vedic. Jadi ketika Indra dipuja, dikatakan bahwa Dialah yang Maha Kuasa, maha tahu, suprem Lord atas para dewa lainnya, seperti: Varuna, Agni dan sebagainya, hanya mengikuti perintah-Nya. Tetapi di dalam buku Veda berikutnya atau kadang-kadang pada buku yang sama, ketika hymne-hymne ditujukan kepada Varuna dikatakan, bahwa Varuna adalah yang maha kuasa dan Tuhan Maha Tahu. Sedangkan Indra dan yang lain-lainnya hanya mengikuti perintah-Nya. Dengan jalan begitu, maka semua dewa yang lain memiliki posisi sebagai suprem Lord secara bergantian. Menyelidiki kekhasan dewa-dewa Vedic, Prof. Max Muller tidak mengkarakterkan kepercayaan Vedic sebagai polytheisme, memberikan istilah baru yaituhenotheisme.Tetapi, dengan memberikan nama baru kepada situasi yang baru itu ternyata tidak memperjelas situasi tersebut. Jadi, dengan penggunaan istilah henotheism, Max Muller tidak benar-benar menerangkan kenyataan kenapa berbeda-beda



para dewa



Vedic, mengatasi satu saama linnya



bergantian sampai menduduki posisi sebagai Tuhan alam semesta. Namun, keterangannya ada di dalam kitab Veda sendiri. Di sana sudah diterangkan, dalam satu hymne-hymne Veda: Ekam sat vipra bhahuda vadanti (Rg Veda, I. 164.46). Dia hanya satu, para resi menyebutnya dengan berbagai nama. Jadi hanya nama-nama atau konsep-konsep para dewa yang lain tetapi reality. Berbagai tingkat kekuatan intelektual individu-individu yang berbeda di dalam mengertikan reality yang satu dan sama menghasilkan satu formasi berjenis-jenis konsep dewa-dewa. Tetapi di dalam hati berbagai pendapat, satu reality tetap berkuasa: Dia ada hanya satu, para resi memanggilnya dengan berbagai nama. Dan hal ini nyata sekali bukan polytheisme. Apa yang nampaknya



polytheisme



dalam



Samhita Veda, kenyataannya



adalah



monotheisme. Lagi pula walaupun bahasa politheisme menarik perhatian kita di dalam verse-verse, sloka-sloka Samhita, namun mereka membisikkan nada-nada monotheisme tidak absen di dalamnya, sebagai yang terbukti dari verse, sloka



50 Gayatri Rg Veda. Harus monotheisme dibagian pertama dan tertua dari Veda, Samhita menjadi harus yang dominan dalam Upanisad ketika resi-resi Upanisadic secara bersatu mengatakan istilah: Ekam eva advityam. Hanya ada satu Tuhan, tidak ada duanya. Teori Tuhan Yang Maha Esa itu adalah ajaran Veda utama dan konsep ketuhanan Hindu harus diartikan dalam bentuk itu. Hinduisme tidak pernah menganut agama pure polytjeism (politheisme sejati).



3.4



Aspek-aspek Immanent dan Transcendental Tuhan



Walaupun Tuhan satu dan hanya satu (The God one and only), Veda telah membagi dua sifat Tuhan yang berbeda yaitu: (1) immanent, dan (2) transcendental. Di dalam apsek imanentnya, Tuhan dikatakan sebagai: pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta (srsti, sthiti, pralaya karta).Konsep Tuhan sebagai maha pencipta, adalah satu fundamenatal hampir pada semua agama di dunia dan Hinduism termasuk di dalamnya. Tetapi satu bentuk yang khas konsep Hindu tentang Tuhan Maha Pencipta, adalah setelah Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berada atau berdiri di luar alam semesta, tetapi Tuhan berada di dalam alam semesta. Konsep Tuhan tinggal di sorga, di atas alam semesta, dan kadang-kadang turun ke alam semesta pada waktu krisis, cukup asing bagi pikiran Hindu. Tuhan menurut Hinduisme, tetap berada di dalam universe / alam semesta bahkan



menjadi



satu



dengannya,



mengontrol



dan



tetap



bersamanya



(Bhagavadgita, XV, 13). Jadi, Tuhan diterangkan oleh kitab suci Hindu sebagai pencipta, intern dan mengontrol di dalam dunia, atau dalam bahasa Sansekerta antaryamin. Untuk menghargai pengertian tentang Tuhan dikatakan interatly embedded di dalam universal, kita perlu mengerti teori Hindu tentang penciptaan, (diskusi secara detail tentang ini di bahas dalam bagian berikutnya).



51 Namun, untuk keperluan sekarang ini cukup kita mencatat Tuhan dalam bentuk imanennya: adalah bentuk personal God, di dalam pemujaan bhakti Hinduism di kemudian hari diberikan (majesty, aisvarya),



(2) maha



kuasa



enam sifat yaitu: (1) maha agung, (omnipotence, virya),



(3) maha



mulia, (glory, yasa), (4) maha cantik/indah, (beauty, sri), (5) maha tahu, (knowledge, jnana), dan (6) maha adil, (dispassin, vairagya). Tuhan dalam bentuk imanent dengan sifat-sifat tersebut di atas, dinamakan juga sebagai Saguna Brahman, dan dapat dipuja serta disembah dalam bentuk Isvara, seperti disebutkan dalam kitab Upanisad. Walaupun Tuhan berada dalam alam semesta dan menjadi satu dengannya, namun dalam kenyataannya Tuhan tetap ada dan Dia di luar jangkauan alam semesta. Jadi, Tuhan selain immanent,(tetap ada), juga mempunyai hubungan transcendental (di luar pengertian, pikiran) dengan alam semesta. Tentang itu dikatakan dalam satu hymne/sloka Rg Veda yaitu Purusa Sukta



: "Tuhan menyatu



dengan seluruh dunia, dengan seperempat tubuhnya, sedangkan tiga per empatnya berdiri kekar di langit. Tuhan menyatu dengan seluruh dunia dengan seperempat tubuh-Nya, sedangkan tiga perempat-Nya berdiri sebagai kekal di langit (Rg Veda, I, 90.3). Bahasa ukuran yang digunakan dalam hymne /sloka itu tentu saja mettaforika, seperti akan kita lihat kemudian, bahwa Tuhan dalam aspek transcendental di luar jangkauan ukuran manusia dalam istilah kuantitas maupun kualitas. Tuhan adalah di luar jangkauan alam semesta, aspek transcendental Tuhan itu disebut Brahman. Tidak hanya di dalam Rg Veda, tetapi juga dalam kitab-kitab suci Hindu lainnya sudah berkali-kali dijelaskan yaitu Tuhan mempunyai aspek yang luar jangkauan fenomena (misalnya Brhadaranyaka Upanishad, III, 9.26; Bhagavagita, X.42, XIV.16-17). Sekarang, aspek transcendental Tuhan tentu tidak ada satu keterangan linguistk yang mampu



menerangkan tentang Tuhan,



Kita



ambil dari



Upanishad: Brahman adalah dari di mana pikiran dan perkataan bingung di dalam pencahariannya (Taittirya Upanisad, II,9.1).



52 Jadi, segala bentuk komentar-komentar fenomena tentang Brahman semuanya tidak memberikan pengetahuan yang benar. Juga pikiran konseptual kita tidak mampu menerangkan tentang Brahman secara positip. Kalau pun mencoba menerangkan tentang Brahman, kita hanya sampai pada kemampuan menyatakan "neti-neti", bukan ini (Brhadaranyaka Upanisad,III,9.26). Satu proses yang panjang praktek spiritual (yoga), akan mampu membawa pikiran kita dari konsep-konsep itu dan mengubah memindahkan reason tak menentu kita ke dalam suatu keadaan transcendental intuition. Pemindahan keadaan itu, keadaan pikiran tanpa konsep, dikenal sebagai samadhi di dalam Yoga Sutra-nya Patanjali, dan dikatakan bahwa pengetahuan tentang sifat dan karakter-karakter Brahman yang sebenarnya berada dalam keadaan itu. Di dalam keadaan pengalaman intuitif transcendental (samadhi), Upanisad menerangkan sifat Brahman sebagai: Sat cit ananda. Tetapi semua pernyataan kitab-kitab suci itu dan tidak akan mampu menerangkan apa itu Brahman



(sifat Brahman). Dari semua itu kita dapat menyimpulkan



pemikiran, bahwa Brahman itu tidak kosong (sunya), tetapi Dia adalah sumber objek dan pengalaman, dan Dia adalah satu tanpa duanya. Brahman kalau dipandang sebagai kreatif energi (sakti) alam, disebut Isvara dan tidak ada perbedaan di antara ke dua itu Brahman dan Isvara). Isvara adalah kemungkinan tertinggi pikiran kemanusiaan kita yang terbatas untuk mengetahui Brahman; di luar jangkauan mental kita, Tuhan berdiri sebagai Transcendental dan impersonal absolut, yang sukar terjangkau oleh cinta dan pemujaan. (Pada bagian berikut ini akan dijelaskan tentang Isvara personal God sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur dunia).



3.5



Isvara (Tuhan) dan Penciptaan



53 Teori Vedic Upanisadic tentang penciptaan (creation) bersandar pada dua teori yang saling berlawanan: penciptaan exnihilo



dan penciptaan bahan-



bahan yang ada di alam semesta. Menurut teori yang pertama, tidak ada yang ada kecuali Tuhan, sebelum penciptaan dan Tuhan menciptakan alam semesta dari yang tidak ada (exnihilo) dengan sifat kreatif keinginan Tuhan. Kita temukan teori penciptaan ini disebutkan dan ditolak di dalam salah satu Upanisad yang terpenting dan perdebatan yang digunakan untuk menolak teori tersebut adalah: bahwa salah satu hal yang tidak pernah diproduksi dari yang tidak ada (kathamasatah sajjayettiti) (Chandogya Upanisad, VI,2.1-2). Adapun perdebatan tersebut bersandar pada sebuah



pandangan



penyebaban dikenal sebagai sat-karya-vadah, di dalam sistem sankhya salah satu filsafat Hindu. Menurut pandangan itu akibat (karyaa), harus ada (sat) di dalam bahan penyebab, sebelum dia diproduksi. Seseorang bisa mendapat minyak dari kacang-kacangan, minyak dikandung dalam kacang-kacangan, sebelum diproses menjadi minyak. Ribuan usaha untuk memproduksi setetes minyak dari bahan pasir, tidak kan berhasil, karena pasir tidak mengandung minyak. Jadi, apa yang disebut produksi atau penciptaan, berarti evolusi suatu benda yang sudah mengandung bahan-bahan penyebab. Apa yang involved menjadi envolved, apa yang envolved menjadi denvolved, apa yang laten menjadi patent, dan inilah yang dimaksud penciptaan (creation), dalam Hinduism. Jadi suatu hal atau benda tidak bisa diciptakan dari hal atau benda yang tidak ada yang juga tidak mengandung sifat-sifat sebelumnya. Jadi, mengatakan Tuhan menciptakan dunia dengan ex nihilo, tidak tepat dengan konsep creation di atas, sehingga lawan teori itu yaitu teori lain tentang creation (penciptaan) dikemukakan oleh beberapa kosmologis dan filosofis yang mungkin bisa dikatakan sebagai teori desain dunia. Menurut teori itu, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari yang tidak ada, tetapi dari bahan-bahan yang pre-existing, misalnya: atom-atom (paramanu), ruangan dik), waktu (kala),dan lain-lain, yanng merupakan coval



54 entities yang sudah ada dengan Tuhan. Bahan-bahantersebut sudah ada sebelum dan di luar Tuhan, dan Tuhan sebagai satu concious efficient agin, hanya membentuk dan mendesain dunia ini dari mereka. Di dalam teori tersebut, Tuhan tidak begitu pencipta sebagai satu desainer dan arsitek alam semesta. Tetapi Hinduisme menolaak teori itu, sama halnya dengan menolak teori yang pertama tentang creation. Kelemahan utama teori tersebut, berada di dalam kenyataan penurunan Tuhan sebagai satu keadaan ketergantungan, keterbatasan, dan mahluk terbatas. Seorang arsitek harus menggantungkan dirinya seluruhnya pada bahan-bahan creationya, dan dia hanya dapat berbuat apa-apa, yang bahan-bahannya memberi ia kemampuan untuk membuat. Dengan jalan itu Tuhan menjadi disempitkan oleh bahan-bahan creationnya, dan kemahakuasaan-Nya hilang. Jadi, walau teori disain menghindari kelemahan teori ex nihilo tentang penciptaaan, Dia tidak mempertahankan konsep kemahakuasaan Tuhan. Jadi kita tidak bisa diterima sebagai kesimpulan yang memuaskan di dalam menghadapi masalah penciptaan. Setelah menolak kedua pandangan di atas, Upanisadic Hinduisme memberikan teorinya sendiri, tentang penciptaan di dalam bentuk positip. Menurut Upanisadic Hinduism, Tuhan menciptakan alam semesta tidak dari ketidakadaan atau tidak dari bahan-bahan yang sudah ada dikatakan Tuhan, tetapi dari dalam dirinya sendiri. Tuhan adalah bahan-bahan penyebab dan penimbul aktif alam semesta (abhinna nimittopadana). Di dalam keadaan empirikal biasa produksi, material cause (upadana karana) dan efisien cause (nimitta karana), adalah dua hal yang berbeda. Material cause (bahan penyebab) berada di luar effisience cause (penyebab aktif). Di dalam hal produksi kendi tanah, tanah liatnya (bahan baku) untuk membuat kendi itu adalah material cause dan membuat kendi, yang sadar membuat kendi adalah effisiencee cause setelah kendi terbuat, kendi terus mempunyai satu keadaan yang bebas dan di luar pembuat kendi. Di sini Isvara dikatakan sebagai effisience cause dan material cause alam sewmesta, Tuhan



55 menciptakan alam-alam



semesta



dari sifat-sifat



diri-Nya sendiri.



Dia



pencipta dan juga bahan ciptaan alam semesta dalam waktu yang sama. Jadi, setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berdiri di alam semesta, tetapi menyebabkan dirinya sendiri berada di setiap bagian kecil alam semesta, sebab Tuhan sendiri menjadi alam semesta: alam semesta adalah satu extention diri-Nya sendiri, alam semesta adalah satu proyaksion innernature (prkerti) Tuhan. Kita petik dari Upanisad: Seperti halnya laba-laba mengeluarkan benang-benang dari dalam dirinya sendiri dan menarik kembali ke dalam ..... juga demikian Tuhan (aksara) menciptakan alam semesta (Mundaka Upanisad, I, 1.7). Bentuk lainnya yang menrik dalam teori Hindu tentang penciptaan adalah bahwa sifat penciptaan dikatakan sebagai kekal tanpa awal dan akhir. Tidak ada titik yang dapat dibayangkan kapan Tuhan ada sebelum terciptanya alam semesta. Dunia mempunyai satu awal dan satu akhir. Tidak bisa kita katakan, bahwa alam semesta diciptakan beberapa ribu tahun setelah penciptaannya. Tidak pada titik tertentu Tuhan menciptakan alam semesta dan semenjak itu Tuhan beristirahat dengan damai, kecuali kadang-kadang ikut campur dalam urusan alam semesta. Energi creasion Tuhan selalu berjalan; Tuhan kekal dalam penciptaan dan tidak pernah beristirahat. Di dalam Bhagavadgita, Sri Krisna, yang dianggap sebagai avatara Visnu (Tuhan), satu sekte Hindu mengatakan, " Kalau saya tetap tidak aktif dalam satu detik waktu, seluruh alam semesta akan hancur menjadi berkeping-keping" (Bhagavadgita, III,24). Akan tetapi, bagaimana dapat ide penciptaan yang kekal tanpa awal dan akhir bisa disatukan dengan konsep lingkaran peleburan alam semesta, atau disebutkan oleh kitab suci Hindu lainnya sebagai pralaya. Jawabannya di bawah ini menurut metafisik Hindu alam semesta yang diciptakan adalah suatu kumpulan-kumpulan getaran (vibrations) yang tetap pada satu level frekwensi tertentu. Tetapi ada satu periode ketika semua



56 kumpulan vibrations itu menjadi sangat cair dan mulai kembali dan akhirnya diserapkan kembali ke dalam Tuhan, dari mana Dia diproyeksikan sebelumnya. Kumpulan getaran (vibrations) yang tidak bergerak dari alam semesta di dalam Tuhan itu dikenal sebagai pralaya /peleburan atau cosmic dissolution. Tetapi harus tidak diartikan sebagai penghancuran mutlak alam semesta. Alam semesta pralaya, tidak meledak menjadi ketidakadaan mutlak selama-lamanya. Setelah mencapai level frekwensi terendah alam semesta tetap ada sebagai suatu



keadaan yang tidak terbentuk (humanitested



condation). Segala apa pun yang telah berkembang (evolved) dari Tuhan akan menjadi satu (involved) kembali di dalam Tuhan. Tetapi setelah satu periode involution sementara seluruh alam semesta kembali berkembang ke depan pada awal satu lingkaran yang baru. Proses involution dan evolution alam semesta berjalan ke belakang dan ke depan seperti ombak samudra dalam kekekalan. Lagi pula pralaya itu tidak mengambil tempat secara beruntun di semua bagian alam semesta ini. Satu solar sistem tertentu seperti solar sistem kita mungkin diserap tetapi ribuan yang lainnya tetap melanjutkan kenyataannya di dalam kenyataannya masing-masing. Jadi, penciptaan sebagai satu keseluruhan adalah kekal abadi dalam arti tidak mempunyai awal yang absolut dan akhir yang absolut. Ketika kitab suci Hindu menggunakan kata 'awal' dan 'akhir' dunia ini, mereka harus diartikan sebagai awal dan akhir satu lingkaran tertentu tidak lebih dari itu.



57 BAB IV SUMBER DAN RUANG LINGKUP AGAMA HINDU



4.1



Pengantar



Pada bab terdahulu telah dijelaskan, bahwa agama Hindu,



seperti



agama-agama besar lainnya, juga memiliki karakter yang merupakan sifat yang khas dan mendasar sebagai pembeda dengan agama-agama yang lainnya. Dengan mengetahui dan memahami karakteristik Hindu itu, sebagai umat Hindu akan mempunyai pandangan yang luas dan wawasan universal. Pengertian, pengetahuan dan pemahaman tersebut, akan merupakan dasar wiweka (pengambilan kebijaksanaan) yang sangat utama, baik di dalam Hinduisme sendiri maupun ekstern. Di situlah sesungguhnya letak dasar utama ketoleransian Hinduisme. Keanekaragaman dalam berbagai variasi bisa berdampingan, bahkan bisa saja saling isi mengisi



dalam pertumbuhan dan



perkembangannya.Sementara itu, para sarjana indologi mengatakan, bahwa sumber data agama Hindu berdasarkan dua faktor: (1) berdasarkan tradisi, yang dihiasi berbagai methologi, dan (2) berdasarkan sejarah. Faktor yang pertama, sangat dipengaruhi oleh legenda, metologi, folklore dan kepercayaan secara tradisi. Sedangkan



dasar yang kedua, sejarah, memerlukan fakta-fakta dan



pembuktian sejarah.Dalam sejarah perkembangan agama Hindu sepanjang masa, kedua faktor itu sangat berperan, dan saling melengkapi. Atas dasar itu, pada bab ini akan dijelaskan: sumber dan ruang lingkup agama Hindu.



4.2 Sumber agama Hindu



Sesuai dengan karakter, dan dasar sumber datanya, agama Hindu mempunyai sumber dua macam: (1) sumber yang tertulis, (Vedasruti dan Vedasmrti), dan (2) sumber yang tidak tertulis (sila, acara, dan atmatusti). Ketentuan seperti itu dapat kita simak apa yang tersirat pada sloka dalam



58 pustaka



Manawa



Dharmasastra



(II,6,



1977:



64):



Idanim



dharma



pramananyaha, vedo'khilo dharmamulam; smrticile ca tadvidam acaraccaivaa sadhunam atmanastutireva ca. Terjemahannya:Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber dharma yang pertama, kemudian Smrti, sila yang terpuji para budiman yang mendalami pustaka suci Veda, tradisi para orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi. Menyimak apa yang tersirat dalam sloka itu, dapat kita mengetahui bahwa sumber hukum dan ajaran agama Hindu ada lima sumber: (1) Vedasruti, (2) Vedasmrti, (3) sila, (4) acara, dan (5) atmanastusti (atmatusti). Rincian tersebut tersusun secara kronologi, menurut otoritasnya. Itu berarti bahwa , sumber hukum atau agama (dharmamulam) yang paling tinggi kedudukannya adalah : sruti, kemudian berturut-turut smrti, sila, acara dan yang paling rendah kedudukannya adalah atmanastusti atau atmatusti. Jadi, penerapannya



dalam



kehidupan



sehari-hari,



secara



kronologi



diurut



pencariannya dimulai dari Vedasruti. Seandainya dalam Vedasruti tidak ditemukan, barulah dicari di dalam Vedasmrti/Dharmasastra. Demikian seterusnya dicari sampai ditemukan dalam sumber yang paling kahir. Namun, dalam keseharian tidak tampak yang yang mendominasi, karena sangat bergantung pada pelaksananya. Setiap bangsa yang menganut agama Hindu tenatu sangat dipengaruhi oleh acara atau tradisi dan budayanya. Oleh karena itu, walaupun nampaknya dalam sloka itu



Vedasruti



kedudukannya lebih tinggi dari Vedasmrti atau Dharmasastra, namun keduanya dianggap sama sebagai sumber dharma. Hal itu dijelaskan pada sloka II.10 (Ibid: 65):Crutistu vedo vijneyo dharmacastram tu vai smrtih;te savarthesvamimamsye tabhyam dharmohi nirbabhau.Terjemahannya:Yang dimaksud dengan sruti ialah Veda, dan yang dimaksud dengaan smrti ialah Dharmasastra; kedua pustaka suci itu tidak boleh diragukan kebenarannya, karena keduanya merupakan sumber hukum (agama Hindu). Dalam sloka di atas jelas, bahwa sruti dan smrti sama kedudukannya dalam menentukan kebenaran. Bahkan, tanpa diragukan lagi. Cara penerimaan pengetahuan tentang kebenaran seperti itulah yang disebut sabdapramana.



59 Bahkan, seandainya di antara kedua sumber itu terdapat perbedaan atau pertentangan, maka kedua-duanya diterima. Jadi, tidak ada penghapusan sloka, atau tidak ada sebuah sloka tigugurkan oleh sloka yang lainnya. Kedua sloka tersebut diterima apa adanya (Ibid:II,14,:66).Cruti dvaidham tu yatra syattatra dharmavubhau



smrtau;



ubhavapi



hitau



dharmau



samyaguktau



mani.



Terjemahannya:Seandainya dalam kedua pustaka suci itu terdapat suatu perbedaan, maka keduanya dianggap sebagai hukum, sebab keduanya telah ditetapkan sebagai hukum (dharma) oleh para bijaksanawan. Dalam pustaka Sarasamuscaya sloka 37 dan 39, juga diungkapan betapa hubungan antara Vedasruti dan Vedasmrti sbb.: Srutirvedah samakhyato dharmasastram tu vai smrti; te sarvathesvamimamsye tabhyamdharmo vinirbhrtah (SS,37).



Itihasapuranabhyam vedam samupavrmhayet; bibhe tyalpasrutadavedo mamayam pracrisyati (SS,39).



Terjemahannya: Ketahuilah, bahwa Sruti adalah Veda, (dan) Smrti sesungguhnya adalah Dharmasastra; keduanya harus diyakini dan dituruti, agar sempurnalah dalam dharma itu.Hendakya Veda itu dihayati dengan sempurna melalui itihasa dan purana; karena pengetahuan yang sedikit itu menakutkan (dinyatakan) janganlah mendekati saya (SS,37,39).



4.2.1



Weda sruti



Kata veda berasal dari urat kata vid artinya pengetahuan.Oleh orang Inggris diterjemahkan menjadi Knoledge, dengan huruf 'K'besar. Jadi, Veda berarti ilmu pengetahuan dalam arti yang sangat luas. Memang Veda, bukan



60 pengetahuan rohani saja, atau bukan pengetahuan suci saja,



melainkan juga



berisi ilmu pengetahuan biasa/duniawi dan ilmiah. Jadi juga berisi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengertian sehari-hari. Dengan demikian, Veda tidaklah semata-mata yang berbentuk buku itu saja, tetapi mengandung makna buku abstrak. Lebih lanjut kata veda yang memakai 'a' panjang, artinya 'kata-kata yang diucapkan dengan lagu,



atau dinyanyikan'. Memang sloka-sloka dalam Veda



digubah dalam bentuk puisi (chanda) dan mempunyai berbagai lagu: gayatri. Sebab itulah, kemudian sloka-sloka itu lebih dikenal dengan sebutan mantra. Sedangkan kata sruti, berarti mendengar, atau apa yang didengar. Kata srota artinya telinga. Dengan demikian kata sruti identik dengan kata wahyu. Memang, para resi menerima dari pendengarnnya (sruti) dari Brahman/Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widi Wasa. Sruti itu diterima oleh para resi: (1) Grtsamada, (2) Visvamitra, (3) Vamadeva, (4) Atri, (5) Bharadvaja, (6) Vasistha, (7) Kanva, (8) Agastya, (9) Narayana, (1)) Prajapati, (11) Hiranyagarbha dan lain-lainnya. Adapun resi nomor 1 - 7 , termasuk dalam golongan sapta resi yang menghimpun sloka-sloka Rgveda, mandala II - VIII. Sedangkan Resi Agastya beserta siswanya menghimpun sloka-sloka Rgveda mandala I. Selanjutnya Resi Narayana, Prajapati serta Hiranyagarbha, menghimpun sloka-sloka Rgveda mandala IX - X. Jadi, Rgveda atau Rgvedasamhita, yang merupakan himpunan sloka (stanza) sejumlah 10.552 mantra, terdiri dari 10 mandala, adalah sruti (wahyu) yang didengar (diterima) oleh para resi tersebut ( dengan srota atau telinga) dari Brahman/Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Maharesi Manu, membagi veda menjadi dua : sruti dan smrti, yang lebih lanjut merincinya masing-masing. Begitu juga Vedasruti dibagi menjadi tiga bagian: (1) mantra, (2) brahmana (karmakanda), dan (3) upanisad / aranyaka (jnanakanda). Bagian mantra terdiri lagi dari empat macam himpunan (samhita) : (a) Rgvedasamhita, terdiri dari 10.552 sloka Samavedasamhita, terdiri dari 1.875



(mantra, stanza); (b)



sloka / mantra / stanza; (c)



Yajurvedasamhita, terdiri dari 1.975 mantra (beberapa mantra dalam bnetuk



61 prosa liris); dan (d) Atharvavedasamhita, terdiri dari 5.987 sloka / mantra / stanza (beberapa sloka dalam bentuk prosa liris). Jika sloka-sloka keempat veda (caturveda) itu dijumlahkan semuanya, maka seluruh himpunan mantra atau veda ada 20.389 mantra (sloka). Rg vedasmhita, merupakan kumpulan mantra yang paling tua, yang mengandung ajaran umum dalam bentuk pujaan. Kitab ini disusun berdasarkan 5 resensi: Sakala, Baskala, Asvalayana, Sankhyayana, dan Mandukeya. Di antara kelima resensi itu, Sakala yang masih utuh dan sempurna. Seperti telah dikemukakan di depan, Rgvedasamhita terdiri dari 10 mmandala: mandala 2 - 8 hasil himpunan warga saptaresi, yang berhasil dipelihara oleh para keluarganya secara oral turun-temurun. Sedangkan mandala (bab) 1, 9 dan 10 merupakan himpunan beberapa resi.Samavedasamhita, himpunan mantra tentang lagu-lagu pemujaan, yang dipetik dari Rgveda. Samaveda terdiri dari 2 bagian: arcika, mantra pujaan (Rgveda), dan



uttracika, himpunan mantra



tambahan.Yajurvedasamhita, himpunan mantra mengenai pokok-pokok yajus, sebagian besar dipetik dari Rgveda, dan dari sumber lain sebagai mantra tambahan (prosa). Yajurvesamhita, terdiri dari dua aliran: (a) Krsna Yajurveda(Yajurveda hitam), mengenai makna yadnya,



dan (b) Sukla



yajurveda, (Yajurveda putih), mantra waktu upacara. Juga terdapat pokok-pokok upacara darsapurnamamasa,



upaca



bulan purnama



dan tilem (bulan



gelap/mati).Atharvavedasamhita, atau Atharvangira, kumpulan mantra petikan Rgveda.Keempat himpunan itu kemudian



terkenal dengan nama caturveda,



bahkan sering hanya tiga himpunan yang ditonjolkan (Rg, Sama dan Yajur) dengan sebutan triveda. Bagian Brahmana (karmakanda), berisi himpunan puja, sthava, brahma, yang dipakai dalam upacara yadnya. Setiap mantra (Rg, Sama, Yajur, Atharva), mempunyai brahmana.



Kata 'brahma' artinya doa, puja,



sthava, stotra. Brahmana, juga merupakan penjelasan arti dan makna mantra.Bagian Upanisad dan Aranyaka (Jnanakanda), merupakan himpunan mantra pembahasan aspek Ketuhanan. Setiap mantra samhita juga mempunyai upanisad (aranyaka) yang merupakan rahasia jnana (jnanakanda).



Jumlah



Upanisad diperkirakan ada 1180 buah buku, namun kebanyakan para sarjana menyetujui adanya 108 buah upanisad. Perinciannya sbb.:



62 1) Upanisadnya Rgveda 10 buah:



Aitareya, Kausitaki, Nadabindu,



Atmaprabodha, Nirvana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saughagya, dan Bahvrca upanisad. 2) Upanisadnya Samaveda, 14 buah: Kena, Chandogya, Aruni, Maitryani, Vajrasucika, Yogasudamani, Vasudeva, Mahat, Sanyasa, Avyakta, Kondika, Rudraksajabala, Darsana, Jabali. 3) Upanisadnya Yajurveda : (a) Yv hitam, 32 buah:Kathavali, Taitriyaka, Brahma, Kaivalya, Svetasvatara,



Garbha,



Narayana,



Amrtabindu,



Asartanada,



Katagnirudra,



Kausika,



Sarvasara,



Sukharahasya,



Tejobindu,



Dhyanabindu, Yogatattva, Daksinamurti, Skanda Sariraka, Yoghasikha, Ekaaksara, Aksi, Avadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma,



Pranagnihotra,



Varaha,



Kalisandarana,



dan



Sarasvatirahasya. (b) Yv putih, 19 buah:Isavasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha, Trisikhibrahmana, Mandalabrahmana,



Advanyataraka,



Pingala,



Bhiksu,



Turiyatita,



Adhyatma, Tarasara, Yajnavalkya, Satyayani, dan Muktika. 4) Upanisadnya Atharvaveda, 31 buah: Prasna, Munduka, Mandukya, Athavasira,



Atharvasikha,



Brhajjabala,



Nrsimhatapini,



Naradaparivrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Paramahamsa parivrjaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripuratapini, Devi, Bhavana, Brahma, Gamapati, Mahavakya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriva, Dattatreya, dan Garuda upanisad.



4.2.2



Weda smrti



Seperti telah diuraikan di depan, bahwa Smrti atau dharmasastra juga dianggap sebagai veda, bahkan sama kedudukannya dengan Vedasruti (Manavadharmasastra II,10 ).



63 Sebagai sumber hukum /dharma, smrti mengandung hukum-hukum suci kuno (sanatana varnasrama dharma), penjelasan ritualia. Jadi, smrti menjelaskan dan mengembangkan dharma, serta menetapkan hukum yang mengatur kewajiban pribadi, sosial dan warganegara (dharmanagara). Dalam arti luas, kata 'smrti' meliputi semua hasil karya sastra Hindu, kecuali Vedasruti.Smrti selalu berubah mengikuti perkembangan dan perubahan zamannya, sehingga smrti itu berbeda dari satu zaman ke zaman yang lainnya.Menurut tradisi, smrti merupakan kelompok veda yang disusun kembali berdasarkan ingatan yang diperoleh dari vedasruti. Vedasmrti, dibagi menjadi dua kelompok: (1) Vedangga, (merupakan batang tubuh veda) dan (2) Upaveda(veda tambahan).



4.2.2.1 Vedangga Kelompok Vedangga, disebut batang tubuhnya veda, karena isinya merupakan penuntun dan penjelasan bagi orang yang mendalami Vedasruti. Jadi, seperti sebuah "buku pinter" (manual). Dengan mempelajari Vedangga, diharapkan seseorang dapat mengeti bahasa, makna yang tersirat dalam slokasloka. Sehubungan dengan itu, Vedanggaterdiri dari enam bidang veda: (a) Siksa, (b) Vyakarana, (c) Chanda, (d) Nirukta, (e) Jyotisa, dan (f) Kalpa.Siksa, berisi uraian tentang fonologi atau ilmu fonetik dalam bahasa Sanskerta yang dipakai menggubah Veda. Isinya memuat petunjuk tentang lafal, matra, dan lagu mantra. Terdapat banyak buku yang menjelaskan tentang fonologi veda tersebut Sarjana di bidang fonologi Veda: Bhagavan Saunaka, Katyayana, Bharadvaja, Vyasa (Abyasa), Vasistha dan Yajnavalkya. Vyakarana, mengandung tatabahasa Sanksterta. Untuk dapat menyimak, mengertikan dan memahami isi Vedasruti, serta menghayatinya, pemahaman dan penguasaan tentang ketatabahasaannya (Sanskerta), harus terlebih dahulu dikuasai.Sudah tentu, sistem fonolgi di atas terlebih dahulu dikuasai.Banyak sarjana di bidang bahasa Sanekerta: Sakatayana, Panini, Patanjali dan Yaksa. Panini yang pertama kali mengetahui sistem tatabahasa Sankserta Veda.



64 Kemudian Patanjali memperkenalkan bahwa bahasa veda adalah bahasa Sanskerta, yang sebelumnya disebut bahasa dewa (Daivivak). Chanda, membahas lagu, irama, matra veda. Melalui lagu (chanda) itu, mantra itu diikat dan dipelihara secara turun-temurun. Dengan lagu itu, slokasloka veda dapat dilestarikan. Nirukta, berisi tentang etimologi, semantik, dan kosakata. Penulisnyaa: Bhagavan Yaksa (+800 SM). Jyotisa, isinya memuat astronomi Hindu, yang sangat dipentingkan dalam melaksanakan upacara yadnya. Di samping itu juga berisi ilmu pembahasan peredaran tatasurya, bulan, dan badan ruang angkasa yang mempengaruhi pelaksanaan yadnya. Bukunya: Jyotisavedangga, dihubungkan dengan Rg dan Yajurveda. Kalpa, kelompok vedangga yang terbesar dan utama. Isinya dipetik dari Brahmana:



(a) Sautra, mengenai tatacara yadnya, penebusan dosa yang



berhubungan dengan upacara keagamaan; (b) grhya, memuat peraturan tatalaksana yadnya bagi grahastin (orang yang berumah tangga). Kitab Dharmasutra, merupakan kitab Kalpa yang terutama, berisi berbagai aspek tentang hidup bermasyarakat dan bernegara (dharmanagara).



4.2.2.2 Upaveda Kelompok Upaveda, merupakan veda tambahan, yang mengandung berbagai disiplin ilmu, antara lain: (a) Itihasa, (b) Purana, (c) Arthasastra, (d) Ayurveda,



dan



(e)



Gandharvaveda.Itihasa,



merupakan



veda



terapan,



mengandung pokok-pokok ajaran Veda, yang disajikan dalam bentuk cerita kegagahberanian, kepahlawanan, (viracarita). Ia menyajikan cerita indah, menarik dan bermakna yang mengandung ajaran agama Hindu yang sangat mendasar. Setiap orang akan terasuki jiwanya bahkan sampai seluruh darah dan dagingnya. Di sana sini terselip hukum smrti dan prinsip Veda, yang dilukiskan melalui figur tokoh agung nan mulia dan luhur. Metode itu ternyata sangat memudahkan kaum awam untuk memahami dan menghayati ajaran dan filsafat Hindu yang cukup sulit. Sungguh sangat tepat dan bijaksana metoda yang dipilih



65 oleh Walmiki dan Vyasa, untuk menerapkan ajaran Veda atau memasyarakatkan veda. Itihasa sering juga disebut epos yang besar (mahavakya). Itihasa, terdiri dari dua macam: (a) Ramayana, dan (b) Mahabharata. Namun, ada juga yang menambah lagi dua, yaitu: (c) Yogavasistha, dan (d) Harivamsa. Biasa juga disebut Suhritsamhita (pembahasan populer), sedangkan Vedasruti disebut prabhusamhita (pembahasan serius).Ramayana digubah oleh Maharesi Valmiki, terdiri dari 7 kanda, yang isinya menceritakan zaman tretayuga. Ramayana, selesai ditulis sebelum 500 SM. Sedangkan ceritanya, sudah populer sejak 3.100 SM. Isinya dibagi menjadi 7 kanda: Balakanda, Ayodhyakanda, Aranyakanda, Kiskindakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda, dan Uttarakanda. Cerita Ramayana itu tersebar dan tersohor di seluruh pelosok dunia, termasuk di Indonesia. Mahabharata, menurut tradisi digubah oleh Bhagavan Vyasa (Abyasa), terdiri dari 18 buku (asthadasaparva), dua buku sisipan: Harivamsa dan Bhagavadgita. Ceritanya diperkirakan terjadi sejak + 950 SM, namun menurut tradisi kejadian itu pada awal zaman kaliyuga 3101 SM. Mahabharata terdiri dari 18 parva: AAdiparva, Sabhaparva, Vanaparva, Virataparva, Udyogaparva, Bhismaparva, Santiparva,



Dronaparva,



Karnaparva,



AAnusasanaparva,



Salyaparvaa,



AAsvamedhikaparva,



Sauptikaparva,



sramavasikaparva,



Mausalaparva, Mahaprasthanikaparva, dan Svargarohanaparva.Bhagavan Vyasa (Abyasa), putra Maharesi Parasara, juga terkenal menyusun kodifikasi caturvedasamhita bersama dengan siswanya. Purana, merupakan cerita kuno. Ciri-cirinya mengandung atau mengungkapkan: sejarah, kosmogoni, penciptaan tahap kedua, silsilah para raja, dan Manvantara (pancalaksana). Sedangkan menurut VisnupuranaIII.6.24. kelengkapan purana diukur kandungan isinya meliputi: (1)kosmogoni (cerita penciptaan alam semesta; (2) pralaya (cerita tanda dan terjadinya kiamat); (3) cerita silsilah para dewa dan bhatara; (5) cerita silsilah keturunan dinasti Suryavangsa dan Candravangsa. Jenis kitab purana ada 18 (Mahapurana): Brahmanda, Brahmavaivarta, Markandeya, Bhavisya, Vamana, Brahma, Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda,



66 Padma, Varaha, Matsya, Kurma, Lingga, Siva, Skanda, dan Agni. Berdasarkan sifatnya, purana-purana dikelompokkan menjadi tiga: (a) Satvikapurana (Visnu, Narada, Bhagavata, Garuda, Padma, dan Varaha);



(b) Rajasikapurana



(Brahmanda, Brahmavaivarata, Markandeya, Bhavisya, Vamana, dan Brahma); (c)Tamasikapurana (Matsya, Kumara, Lingga, Siva, Sakda, dan Agnipurana). Penulisan purana dimulai pada 500 SM dan mencapai kesempurnaannya pada 600 M, pada zama Raja Harsa Vardhana memerintah wilayah Aryavarta. Penulis utama purana, sepanjaang masa yang tiada taranya sampai sekarang adalah Vyasa atau Krsnadvipayana putra Bhagavan Parasara. Arthasastra, berisi pokok-pokok ilmu pemerintahan negara dan politik. Misalnya: Usana, Nitisastra, Sukraniti, dan Astrasastra. Dalam Ramayana dan Mahabharata, tersirat juga pokok-pokok ajaran Arthasastra. Cabang ilmunya disebut: Nitisastra, Rajadharma, Dandaniti. Para acarya di bidang politik Hindu: Bhagavan Brhaspati, Bhagavan Usana, dan Resi Canakya. Penulis lainnya: Visalaksa, Bharadvaja, Dandin, dan Visnugupta. Adapun jenis Arthasastra yang digubah di Indonesia:Usana, Nitisara. Ayurveda, isinya mengenai bidang ilmu kedokteran, kesehatan jasmani, dan rohani. Jadi, memuat fisfasat kehidupan, baik etis maupun medis,sehingga ruang lingkupnya cukup luas. Kitab ini erat hubungannya dengan kitab-kitab Dharmasastra dan Purana. Penulisnya: Maharesi Punarvasu. Materi Ayurveda meliputi 8 bidang: (1) Salya (ilmu bedah), (2) sajkya(ilmu penyakit), (3) kayakitsa (ilmu usada/obat-obatan), (4) bhutavidya (ilmu psikoterapi), (5) kaumarabhrtya (ilmu pendidikan anak dan dasar ilmu jiwa anak), (6) agdatantra (ilmu toksikologi), (7) rasayamatantra (ilmu mujizat), dan (8) vajikaranatantra (ilmu jiwa remaja). Kitab Yogasara dan Yogasastra, karya Bhagavan Nagarjuna, memuat pokok-pokok ilmu yoga dikaitkan dengan sistem anatomi, guna pembinaan kesehatan jasmani rohani. Kitab Kamasastra atau Kamasutra (juga cabang Ayurveda), karya Bhagavan Vatsyayana, memuat seni cinta dalam kebahagiaan keluarga. Gandharvaveda, membahas berbagai aspek cabang ilmu seni.



67



4.2.3 Sila Kelompok sumber hukum Hindu / dharma yang kedua yang bersifat tidak tertulis, seperti yang telah dikemukakan di depan adalah sila, acara, dan atmanastusti. Mengingat sifatnya tidak tertulis, sumber itu



sangat ditentukan



dan dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungannya. Jadi, ia mengikuti keadaan dan perkembangan masyarakatanya, dalam segala bidangnya, geografi, dan keadaan alam lingkungannya. Dengan demikian, ia selalu berubah berkembang sepanjang masa dan zaman. Dengan karakter universalnya (istadevata dan adikara) agama Hindu menerima dan menyesuaikan dirinya dengan ketiga keadaan itu. Karena itulah pelaksanaan agama Hindu sanga bervariasi. Setiap daerah, wilayah dan etnis mempunyai varian tersediri, seperti kenyataan yang kita kihat dan kita alami. Justru kevariasiaannya itulah yang memberi kekuatan agama Hindu selalu bisa hidup subur sepanjang masa, sejak 6000 SM. Adapun yang dimaksudkan sila itu adalah contoh-contoh perbuatan, baik dalam bentuk (manacika, vacika, dan kayika) pikiran, ucapan, maupun laksana, yang pernah dan telahdikakukan oleh para resi, baik yang berada di India, maupun yang berada di luar India, seperti di Indonesia, baik pada masa lampau, sekarang maupun pada masa yang akan datang. Semua contoh sila-sila tersebut, baik yang tercantum dalam Vedasruti, Vedasmrti, maupun dalam Itihasadan lain-lainnya, merupakan suri tauladan yang seyogyanya patut ditiru dan sebagai cermin kehidupan umat Hindu di manapun mereka berada. Hal-hal seperti itu, banyak sekali terdapat di dalam Ramayana, Mahabharata, Bhagavadgita, Sarasamuscaya dan lain-lainnya. Sila atau etika yang baik dan luhur itulah yang menjadi pegangan dan pedoman umat Hindu. Misalnya, dalam Bhagavadgita, Krisna memberi contoh apa yang pernah dilaksanakan oleh raja Janaka, yang seyogyanya ditiru oleh Arjuna. Jika dirinci, ajaran sila yang tersirat dalam Ramayana, Mahabharata, Bhagavadgita, Sarasamuscaya, Vrhaspatitattva, dan sebagainya akan ditemukan 'harta karun' nan tak luntur dan berharga itu. (dalam uraian mengenai sila atau etika Hindu dan pengendalian diri, akan kami uraikan tersendiri nanti).



68



4.2.4 Acara Acara adalah tradisi, kebiasaan-kebiasaan yang telah melembaga yang pernah dilakukan oleh seseorang dan masyarakat, yang kemudian dilakukan, ditiru pada masa sekarang. Tradisi itu, tentu pada mulanya merupakan contohcontoh sila, perbuatan yang baik yang pernah dilakukan oleh seseorang, resi, tokoh agama dan atau masyarakat pada masa lalu, yang masih relevan untuk dilakukan pasa masa kini. Mengenai tradisi atau adat istiadat itu banyak sekali ditemukan dalam masyarakat beragama apapun termasuk masyarakat yang beragama Hindu. Sumber tradisi itu bermula dan berpangkal pada sila. Bahkan semua aspek kebudayaan, bisa menjadi sumber dan bahan dasar tradisi suatu orde masyarakat berikutnya. Karena itu, trdisi itu bisa berkembang dan bertumbuh terus, tergantung pada daya tarik masyarakatnya.Agama Hindu, sesuai dengan karakternya, ternyata tradisi itu merupakan pemberi pola dan variasi yang paling dominan. Makin beraneka ragam kebudayaan masyarakatnya, makin beraneka warna pula variasi agama Hindu itu. Oleh sebab itu, tidaklah bijaksana kalau umat Hindu berusaha membedakan dan memisahkan antara agama dan adat atau tradisi. Adalah sudah demikian rupa variasi agama Hindu, yang ditimbulkan oleh karakternya sendiri. Justru agama Hindu bisa semarak dan hidup sejak tahun 6000 SM hingga kini, adalah berkat karakternya,



sifatnya, yang bisa



menampung dan menerima kebudayaan, tradisi masyarakatnya. Varian-varian yang beraneka ragam ada di dunia ini, adalah diakibatkan oleh tradiri tersebut. Semua jenis upacara yadnya yang dilakukan oleh umat Hindu dari etnis Bali misalnya, adalah merupakan sebuah contoh varian Hindu tersendiri, begitu juga varian Hindu yang ditimbulkan oleh masyarakat India.Dengan uraian itu, jelas bahwa acara, sadacara atau tradisi, adat, memberi pola varian-varian Hindu.



juga



merupakan sumber dan



69



4.2.5 Atmanastusti Atmanastusti atau atmatusti, adalah kepuasan pribadi yang sanga subjektif. Setiap orang, masyarakat, etnis dan bangsa secara kovensi berkesamaan membuat satu atmatusti. Berawal dari perseorang, atmatusti itu merupakan hak yang paling azasai baginya untuk melaksanakan keagamaannya. Hak individu dan martabat individu sangat dihormati dalam agama Hindu. Hal itu menimbulkan variasi yang paling kecil dalam agama Hindu. Kemudian, sebagai mahluk sosial ( di samping sebagai mahluk individu) manusia (dalam hal ini masyarakat Hindu), secara bersama-bersama membuat satu ketetapan atmatusti yang lebih luas. Begitu seterusnya, atmatustui terbentuk melalui kelompok-kelpmpok mayarakat, yang berawal dari perseorangan,



keluarga,



masyarakat, etnis, bangsa dan seterusnya. Dalam agama Hindu di Indonesia misalnya, peranan Parisada Hindu Dharma Indonesia, sebagai majelis agama Hindu yang tertinggi sangat utama. Melalui mahasabha, pesamuhan agung, dan lokasabha lembaga tersebut menetapkan berbagai keputusan, sebagai atmatusti secara makro yang diperkirakan memberi kepuasan masyarakat Hindu di wilayahnya (Indonesia). Atmatusti (dalam arti sempit/perseorangan) itu, menjadi budaya yang memberi kelonggaran bahkan kebebasan mutlak terhadap seorang umat Hindu dalam melaksanakan ajaran agamanya. Justru, atmatusti itulah yang memberikan warna dan merupakan akar yang sangat mendasar bagi kehidupan agama Hindu itu dalam diri pribadi penganutnya. Atmatusti itulah yang membentuk religius experient, atau 'keagamaan' dalam diri setiap individu. Misalnya, dalam sebuah keluarga saja, keagamaan, atau kadar, pola penghayatan agama itu bervariasi.Atas dasar itulah, munculnya berbagai cara, jalan atau marga menuju tujuan akhir agama Hindu. Ajaran catur marga yoga(karma, bahkati, jnana, dan raja marga yoga) itu, pada hakikatnya bermula dan berpangkal pada atmanastusti atau atmatusti itu. Justru, atmatusti, itu merupakan benih yang menyuburkan kihidupan agama Hindu, Bersama-sama dengan sila dan acara, ketiga faktor itu memberi kesuburan hidupnya agama Hindu.



70 4.3



Ruang lingkup agama Hindu



Dharma, juga mempunyai arti agama, maksudnya agama Hindu. Di dalam dharma itu sendiri terkandung ciri-ciri khas agama Hindu, yang pada hakikatnya sebagai dasar ajaran agama Hindu dan sekaligus merupakan pokokpokok atau ruang lingkup agama Hindu. Unsur-unsur dharma itu menjadi pokok-pokok ajaran agama Hindu Ketentuan tentang unsur-unsur itu, kita dapat menemukannya di dalam Atharvaveda (XII, 1.1): satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma yajna prthivim dharayanti. (Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna yang menyangga dunia). Prithivim dharmana dhritam (bumi / dunia ditegakkan / disangga oleh dharma: Ath.XII.1-17).Beranjak dari sloka itu, kita dapat penjelasan dan pengetahuan, bahwa dunia ini disangga oleh dharma. Sebagai penyangga dunia / alam semesta, dharma memliki enam buah 'pilar'atau tiang, sehingga alam semesta /dunia itu berkeadaan mantap, stabil, dan harmonis di atas dharma (agama). Mengingat pada mulanya agama Hindu disebut atau disamakan dengan dharma, maka agama Hindu mempunyai pokok-pokok ajaran yang sangat mendasar yaitu: satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna. Keenam unsur sebagai pokok dasar itu pada hakikatnya dapat dikatakan sebagai isi pokok agama Hindu, atau dasar-dasar agama Hindu yang merupakan ruang lingkup agama Hindu.



4.3.1 Satya



Kata 'satya' artinya: 'kebenaran, kejujuran, kesetiaan'. Kata satya yang berarti 'kebenaran' ada dua macam: (1) kebenaran mutlak, yaitu sifat hakikat Sang Hyang Widi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sama dengan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) kebenaran mutlak itu, juga merupakan salah satu sifat Tuhan dan dewa; dan (3) kebenaran dalam arti relatip, dalam kehidupan sehari-hari. Kata 'satya' berarti 'kebenaran atau truth', sama dengan



71 ajaran mengenai kepercayaan kepada Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Jadi satya, adalah salah satu aspek ajaran agama Hindu tentang Ketuhanan dengan segala aspeknya. Kata satya berarti Tuhan (RV, VIII,62.12). Sat atau biasa ditulisZhat artinya 'Yang Maha Ada. Baik dalam Rgveda maupun Upanisad banyak ditemukan kata sat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari Om tat sat, Sat cit ananda, Ekam Sat (Om itu adalah Satya,Tuhan bersifat satya, Tuhan bersisat citta (pikiran), Tuhan bersifat ananda, bahagia,tak terbatas) sangat populer. Sehubungan dengan itu dikemukakan dua contoh adagium:at cit ananda Brahman artinya (Sesungguhnya) Tuhan adalah kebenaran, pengetahuan, tak terbatas. Ekam sad vipra bahudha vadanti, agniyamammatarisvanam ahuh, artinya Tuhan yang Esa, para arif bijaksana mengatakannya banyak (nama), Agni, Yama, Matarisva . Janmadhyasya yatah (Tuhan) merupakan asal mula semua ini Sedangkan pengertian satya sebagai



'kejujuran, kebenaran' dalam



kehidupan sehari-hari adalah kejujuran dan kebenaran dalam kontek dalam masyarakat. Misalnya, satyavacana, satya mitra dan sejenisnya. Jadi makna dalam arti etika, sila: jujur, benar . Sifat jujur, benar dan setia merupakan sifat yang terpuji. Karena itu setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan harus dilandasi satya. Di dalam Veda, satya (kebenaran mutlak) disimbolkan sebagai inti Ketuhanan. Bahkan para dewa pun dianggap sebagai perwujudan kebenaran (satya). Savita satyadharma (dewata memiliki kebenaran, keberadaanya sebagai hukum). Satya (kebenaran) sangat diutamakan dalam agama Hindu (vedic religion). Satya lebih diutamakan daripada ritus. Doa dan ritus yang benar, lahir dari



hidup



yang



benar



dan



hati



yang



sejati:



satyam



vadam



satyakarman(perkataan yang benar, perbuatan yang benar). Bahkan atmanpun harus diwujudkan melalui satya (kebenaran): satyena labhya. Pandangan itulah yang menimbulkan keyakinan penuh, bahwa: satyam eva jayate na anritam (kebenaran pasti menang, bukan ketidakbenaran).



72 4.3.2 Rta



Unsur dharma yang kedua : r t a



(baca: rita atau reta); rtasering



diterjemahkan : orde atau lowyaitu hukum (kekal abadi).Rta adalah hukum alam semesta yang kekal abadi, hukum murni yang bersifat absolut transendental. Sedangkan hukum (rita) yang dijabarkan untuk mengatur manusia, bangsa disebut dharma. Begitu juga hukum agama yang disebut dharma bersifat relatip, karena dikaitkan dengan pengalaman manusia setempat. Oleh karena itu, istilah dharma (sebagai hukum) beraneka ragam, disesuaikan dengan tradisi stempat. Rta, dapat dilihat dari berbagai segi: (1) aspek rita yang etis, (2) rita sebagai hukum alam semesta, (3) rita sebagai aspek estetika, (4) rita sebagai ritus, (5) rita sebagai tertib sosial, dan (6) satya dan rita sebagai Brahman dan kshatra. Dalam aspek moral rta dan satya berasal dari satu rumpun dan lahir pada permulaan yang ada atas kemauan spiritual (Rgv.X,110.1). Rita lebih luas daripada satya, karena meliputi keadilan, kebaikan, etika (dharma). Ritalah yang menyebabkan menangnya kebenaran atas kebatilan.Sebagai hukum alam semesta, rita merupakan hukum alam yang abdi, yang mengatur keterpaduan alam semesta, dan menghindarkan kekacauan dan ketidakteraturan. Tuhan pun diidentifikasikan sebagai Rita. Sebagai pengendali rita, Tuhan disebut Ritawan. (Para dewa adalah Ritawan, dan para dewi adalah Ritawati). Rita dalam fungsinya mencegah kekacauan, dan sebaliknya menata kesimetrisan dan keharmonisan alam semesta, rita dapat menimbulkan kemegahan dan keindahan (estetika). Rita menyatupadukan alam dengan hukum alam, di samping merupakan disiplin hidup melalui aturan moral, juga disiplin bentuk yang menciptakan keindahan. Dengan menegakkan rita, semuanya tertib, indah dan baik. Sebagai



ritus,



rita



menyimbolkan



bagian



upacara



yadnya,



persembahyangan, merupakan kegiatan yang sangat umit, namun bersifat seni. Bentuk yadnya juga menurut aturan tertentu. Aturan yang diterapkan dalam ritus, merupakan simbol hukum abadi, termasuk ketentuan kehidupan moral.



73 Rita sebagai hukum alam semesta dan hukum moral adalah rita yang abadi sebagai ritus yang berubah menurut waktu, dan perlu diperbaharui agar sesuai dengan keinginan manusia akan perubahan: Navyo jayatam ritam, biarlah ritus yang baru tumbuh (Rgv.I,105.15). Menurut Weda, setiap dewa dinyatakan sebagai pelindung rita, tatanan alam semesta. Bahkan dewa tertentu, digambarkan sebagai raja, yang menlindungi rita. Seperti Mitra dan Varuna digambarkan sebagai penegak rita (Rgv.VIII,25.3). Para raja meniru Mitra dan Varuna, yaitu menegakkan hukum (rita) untuk diterapkan dalam kehidupan sosial. Karena itu, raja disebut kshatra = kshatrya), pelindung, pembela dan pejuang Dewa yang dianggap kesatria dan penegak hukum dengan semangat yang tinggi adalah Indra (Rgv.III,46.2). Dengan kshatra (kekuasaannya), para raja menjadi pelindung masyarakatnya, seperti dewa (Indra, Vishnu), menggunakan kekuasaannya dalam alam semesta sesuai dengan rta. Rta (rita) bukan merupakan suratan takdir. Rita tetap merupakan hukum abadi dan keadilan abadi. Karena itu, manusia tidak bisa menghindar dari akibat perbuatannya. Apa yang ditanam, itulah yang akan dipetiknya. Itulah yang membawa kepada ajaran hukum karma. Dengan menerima ajaranpunarbhawa (tumimbal lahir), setiap jiwa (atman) akan lahir membawa karmakelahiran terdahulu (praktana) yang tidak tampak (adrishta), yang menunutun hidupnya sampai mencapai kebahagiaan atau kesengsaraan, menurut hakikat rita. Dengan demikian ajaran rta dan dharma merupakan dasar ajaran karma dan karmaphala. Bahkan rta dan dharma (dalam arti luas) mencakup pengertian hukum (orde) abadi, ajaran sila, estetika, dan hukum sosial. Satya dan rta bagaikan Brahman dan kshatra. Satya



(dalam arti



metafisis dan moral) dan rta (dalam arti luas meliputi: hukum kosmos, etis, estetis, sosial, dan ritual), merupakan kepentingan yang lebih mulia dan luhur dalam hidup. Satya (hidup berlandaskan filosofi agama) dan rta (bersifat moral politis), digambarkan seperti Brahman dan kshatra.



74 4.3.3 Diksa



Diksa, artinya penyucian, penasbihan, inisiasi, sakramen. Diksa juga disebut abhiseka. Dikatakan, bahwa diksa, tapa, brahma, dan yajna merupakan sarana yang berfungsi untuk mencapai peningkatan kesucian atau spiritual. Diksa dan tapa, diutamakan guna perwujudan satya (kebenaran mutlak). Dalam Yajurveda Samhita (XIX,30) diungkapkan bahwa: "dengan melaksanakan pengabdian (vrata) ia akan mencapai kesucian (diksa); dengan melaksanakan diksa ia akan mencapai kemuliaan (dakshina); dengan melalui dakshina ia akan mencapai kehormatan/keyakinan (sraddha); dan dengan melalui sraddha ia akan mencapai kebenaran mutlak (satya).Sesungguhnya diksha bukan semata-mata merupakan inisiasi formal.



Dalam peristiwa itu



tersirat satu ajaran yang sangat mendalam, yaitu adanya hubungan pribadi yang sangat intim antara guru (acharya) dan murid sishya). Menurut Atharvaveda (XI,5.3) disebutkan, bahwa dalam pediksaan itu seolah-olah murid berada di dalam diri sang guru, bagaikan seorang ibu yang sedang mengandung bayi; dan kemudian setelah menjalani brata atau vrata selama tiga hari, secara simbolis murid (sisya) dilahirkan menjadi orang yang sangat mulia, dengan disaksikan oleh para dewa. Itulah sebabnya, pediksaan merupakan transisi dari gelap ke terang, dari ketidakbenaran ke kebenaran. Jadi diksa merupakan cara untuk melewati tahap-tahapan kehidupan suci, dari satu tingkat ke tingkat berikutnya, dari satu kebenaran (truth) ke tingkat kebenaran berikutnya. 'Hamba menuju kebenaran dengan menghindari ketidakbenaran' (Yvs,1.5). Dengan demikian, diksha bertujuan untuk menyucikan manusia lahir batin, agar ia dapat melaksanakan tugas memimpin upacara yadnya (ngeloka palasraya) dan belajar serta mengajarkan veda. Diksha berfungsi sebagai lembaga inisiasi yang bersifat formal. Oleh sebab itu, sebelum didiksa ia tidak dibenarkan mempelajari dan mengajarkan Veda. Setelah didiksa status seseorang berbeda, karena ia telah berdwijati(lahir untuk kedua kalinya). Diksha sebagai lembaga formal, kemudian di Indonesia dibatasi penggunaannya, yakni hanya dilakukan bagi calon pandita, pedanda, resi, empu.



75 Jadi diksha dilaksanakan hanya untuk penasbihan pandita. Pada mulanya (asli) diksa dipergunakan secara umum dipakai untuk mencapai tahap-tahap kehidupan suci melalui upacara yadnya. Namun, karena pengkhususan seperti di atas, maka pengertian sejenis diksha untuk itu disebut samskara, sangaskara, sakramen, yang lebih populer dengan sebutan pewintenan.



4.3.4 Tapa Tapa, artinya 'disiplin'. Yang dimaksud dengan tapa dalam Atharvaveda, adalah pengendalian diri, penguasaan terhadap nafsu, pengendalian panca indrya dan pikiran. Jadi, berusaha melaksanakan hidup suci. Dengan pengendalian diri itu, diharapkan terciptanya trikaya parisuddha dalam diri manusia. Bersihnya atau sucinya ketiga bagian tubuh manusia: pikiran (manacika), ucapan (vacika), dan perbuatan (kayika). Tapa merupakan usaha nan tak kenal lelah, perjuangan dan kerja keras yang pantang menyerah, untuk mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi, dan yang lebih luhur. Jadi, tapa merupakan awal segala sesuatu yang luhur dan mulia. Kesucian (diksha) hanya dapat dicapai dengan melaksanakan disiplin (vrata atau brata). Vrata atau brata adalah bentuk tapa. Setiap orang yang sadar, selalu berusaha membersihkan (visuddha) atau melakukan parisuddha dengan tapa atauvrata, brata. Istilah prayascita, parisuddha, dan brata sama dengan tapa. Tapa dapat dilakukan dengan berbagai variasi: upavasa (berpuasa), monabrata (tidak berbicara), jagra, aturu (tidak tidur), bahkan ada dengan cara penyiksaan diri dsbnya. Namun, tapa harus dilaksanakan dengan kesadaran.



4.3.5 Brahma



Brahma arti harfiahnya: mantra, puja, stawa, stotra, stuti, doa dan pujian. Brahma adalah sloka-sloka atau ayat-ayat suci Veda, yang dipergunakan untuk melaksanakan pemujaan kepada Sang Hyang Widi Wasa/TuhanYang



76 Maha Esa. Karena itu, Veda disebut buku doa dan ilmu Veda. Brahmacharya artinya kegiatan untuk menguasai Veda dan ilmu Veda. Brahmana orang yang mencari Brahman (Jnanayoga),orang yang mengetahui Brahmanatau isi Veda. Para resi sejak zaman dahulu mengakui betapa kemanjuran gema gaya suci mantra Veda. Mantra Veda termasuk karya puisi yang sangat tinggi dalam sejarah umat manusia. Fungsi mantra, brahman, puja itu bergantung pada tujuan penggunaannya, dan jenis isi yang terkadung dalam mantra itu sendiri. Namun, pada umumnya gaya suci yang ditimbulkan oleh karena pemujaan mantra itu, mampu menciptakan suasana tenang, damai dan tenteram di lingkungan dan dalam diri yang mengucapkannya. Gaya suci dan spiritual itu mampu mempengaruhi diri pribadi manusia dan mahluk metafisika serta lingkungan wilayah pembacaan mantra tersebut. Situasi seperti itu akan membantu usaha manusia



untuk



menjalankan



meditasi



mengendalikan



pikirannya



dan



meningkatkan kesadarannya, untuk mencapai kesucian dan tingkatan-tingkatan samadhi, kebijaksanaan dan pandangan terang. Sesungguhnya,



manusia



dapat



membersihkan



dan



menyucikan



pikirannya dengan mengucapkan mantra. Misalnya, dengan mengucapkan mantra atau puja trisandhya setiap hari, merupakan kegiatan yang sangat berfaedah bagi dirinya lahir batin, bahkan juga terhadap lingkungannya. Gema dan getaran mantra itu menimbulkan gaya-gaya suci yang sangat diperlukan untuk menciptakan suasana tenang, tenteram dan damai. Oleh karena itu, peranan dan kedudukan mantra, brahman dalam agama Hindu sangat dominan.



4.3.6 Yajna Kata 'yajna' (Sanskerta) berasal dari urat kata 'yaj', yang artinya 'memuja',



atau



memberi



pengorbanan



atau



menjadikan



suci',



mempersembahkan, bertindak sebagai perantara'. Kata 'yajna' (Rgv.VIII,40.4) berarti 'kurban', 'pemujaan'. Yajna ialah upacara (Veda) yang mempersembahkan sajen (banten, atau upakara) kepada para dewa. Upacara itu sangat indah diiringi mantra, nyanyian,



77 kidung disertai gerakan-gerakan (mudra). Perkembangan selanjutnya upacara kian besar, sehingga kian menjadi rumit, namun dapat menambah kesemarakan upacara pemujaan. Oleh karena itu diperlukan para ahli di bidang itu, yaitu kaum brahmana yang memang menguasai Veda. Kata yajna juga berarti proses, yakni proses penciptaan alam semesta. Yadnya yang hebat dan besar itu dilakukan oleh Purusa/Brahman/ Sang Hyang Widi Wasa /TYME saat menciptakan alam semesta ini. Yajna mengandung pengertian luas: perbuatan/pengurbanan dalam arti yang lebih luas, upacara agama/ceromony/samskara. Samskara adalah ritual yang menyempurnakan, menyucikan badan dan spiritual. Bhagavadgita mengajarkan bahwa yajna itu sangat penting dan wajib dilaksanakan oleh setiap orang, terutama bagi mereka yang berumah tangga (grhastha). Makna yajna (yadnya) adalah melakukan pekerjaan dengan tulus ikhlas, dan tidak mengikatkan diri serta tidak mengharapkan hasilnya. Jadi, melakukan pekerjaan tanpa pamrih. Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Pada zaman dahulu, Prajapati pun beryadnya untuk menciptakan alam semesta dan isinya termasuk manusia. Para dewa akan memberikan kesenangan dan keinginan manusia, jika mereka melaksanakan yadnya. Sebaliknya, ia akan disebut sebagai pencuri, jika ia hanya mau menikmati pemberian tanpa melakukan yadnya. Dari makanan muncullah mahluk, dari hujan muncullah makanan, dari yadnya muncullah hujan, dan dari pekerjaan muncullah yadnya (Bhg.III,8-16). Dalam Rgveda (X,71) diungkapkan empat cara untuk mencapai tujuan hidup tertinggi (moksa): (a) bhaktimargha, dengan mengucapkan mantra; (b) wibhutimargha, dengan cara menyanyikan lagu pujaan (hymne), mantra, stotra; (c) jnanamargha, dengan ilmu pengetahuan; dan (d) karmamargha, dengan melakukan yajna. Jadi, menurut Rgveda, yajna merupakan salah satu di antara empat jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa/TYME. (Di Indonesia, keempat cara itu sekaligus dilaksanakan untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa/TYME). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa yajna



78 bagaikan 'kapallaut yang suci' yang akan dapat mengantarkan manusia menuju tujuannya. Di dalam Manavadharmasastra disebut rincian panca mahayajna (lima macam



upacara besar): devayajna, rsiyajna, pitriyajna, manusayajna, dan



bhutayajna. (Uraian lebih lanjut tentang itu lihat bab: yadnya).



79 BAB V SIMBOL (NYASA) DALAM AGAMA HINDU



5.1



Pengantar



'Simbol', adalah suatu kegiatan, gerakan, benda atau yang dibendakan, yang mengandung makna/arti atau yang mewakili sesuatu Dalam kehidupan sehari-hari, sejak zaman purba kala sampai pada zaman sekarang, manusia selalu menggunakan simbol-simbol tersebut kalau mereka berkomunikasi. Justru, kemampuan manusia menciptakan dan menggunakan simbol-simbol itu untuk berkomunikasilah, yang membedakan manusia dengan hewan. Manusia berbudaya, karena memiliki pikiran (tripramana: bayu, sabda, hidep atau manah). Sedangkan hewan tidak memiliki pikiran/manah (dwipramana: bayu, sabda). Demikianlah manusia menggunakan berbagai jenis simbol, mulai dengan tanda 'tambah' ( + ) dan 'kurang' ( - ), gerakan-gerakan, dan kata-kata, sampai pada 'bahasa', khayalan dan aktivitas yang mengandung arti dan interpretasi dalam berkommunikasi.



5.2



Makna dan hakikat simbol dalam agama Hindu Agama Hindu berangkat melewati segala kemampuan yang dapat



disentuh dan dialami oleh manusia setiap hari, dalam kehidupannya. Hal itu menyebabkan semua ekspresi dan komunikasi agama Hindu , hanya dapat disampaikan melalui simbol (nyasa). Maka dari itu, agama Hindu sangat banyak mempergu nakan simbol atau lambang, yang disebut nyasa (baca: niyasa). Simbol atau nyasa tersebut meliputi berbagai poin, misalnya: kata-kata (istilah) keagamaan yang khusus dan penggunaanya juga secara khusus, kata-kata biasa, objek/benda yang terlihat (iconography), gerakan khusus (mudra) untuk jenis ritual, musik, gamelan, drama, tari, lagu dsbnya. Bahkan kombinasi semua yang



80 tersebut di atas dalam hubungannya dengan persembahyangan. Sebaliknya dalam hal itu 'diam' (silence) mungkin juga dapat menjadi sebuah simbol. Nyasa (simbol) itu sangat banyak ragamnya, mulai dari perlambangan jiwa atau atman sampai pada perlambangan untuk para dewata. Di dalam Veda terdapat berbagai jenis dan bentuk perumpamaan, kias atau simbol tersebut. Misalnya:kereta, kapal, lembu, sapi, dsbnya. Kadang-kadang 'kereta' dipakai sebagai perumpamaan untuk mengganti: 'upacara keagamaan'(yadnya), dan badan jasmani manusia. Jadi, penggunaannya tidak tetap, melainkan selalu berubah. Hal itu mempengaruhi cara berpikir yang menimbulkan pengaruh besar dalam pertumbuhkembangan agama Hindu. Penggunannya, sekedar untuk menambah nilai spiritual atau sifat-sifat kemuliaan atas hal-hal yang akan digambarkan. Untuk membuat simbol itu dapat dipergunakan beraneka ragam bahan, antara lain: aksara, warna, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Selanjutnya, untuk memproduksi objek-objek yang memiliki nilai simbolik, para seniman tidak saja memerlukan teknik penggarapannya, tetapi ia hasur juga berada dalam suatu keadaan yang sangat khusus (ekstase). Dengan cara melalui suatu proses transformasi spiritual pada dirinya sendiri, dia (para seniman) juga mentransformasikan bahan-bahan untuk membuat patung misalnya, menjadi suatu receptacle of divine power, wadah atau tempat kekuatan Ida Sang Hyang Widi Wasa/TYME. Begitu juga kita seyogyanya memahami makna dan hakikat khusus sebuah arca, pratima, patung atau gambar dan kemudianmengidentifikasikan diri kita dengan gaya kekuatan di dalammnya. Demikian juga, tatkala kita mempersembahkan sajen atau banten; kita menggunakan sajen (banten) itu, sebagai alat untuk menyampaikan life breath ke dalam internal image yang telah ditransformasikan ke dalam internal vision Ida Sang Hyang Widi Wasa/TYME. Jadi, dengan melalui simbol atau nyasa dan pengetahuan bagaimana kita seyogyanya



bersikap,



kita



dapat



menyadari



kemungkinan



dalam



81 subconciusnesskita sendiri, bahkan memahami kekuatan alam semesta dan mengadakan hubungan dengan Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.



5.3.



Beberapa contoh simbol



a. lingga yoni Dalam sejarah agama Hindu baik di India maupun di Nusantara (Indonesia) pemujaan terhadap lingga dan yoni sangat populer. Lingga dan yoni merupakan simbol kekuatan (creative energi) pria dan wanita. Itulah sebabnya, kedua simbol ini seringkali dipadukan, yakni yoni menjadi dasar tempat lingga itu tegak. Dari zaman Hindu kuno, lingga tersebut sudah dikenal dan dipuja, sebagai simbol creative energi Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai Siva.



b. Patung Siva Nataraja Patung Siva yang sedang menari, sedangkan kakinya berpijak pada seorang bhuta. Patung ini menggambarkan Siva sedang menari. Tarian yang dilakukan oleh Siva sebagai Nataraja, merupakan sombol ritme alam semesta. Arca-arca mendukung kehadiran Tuhan. Dewi Durga yang memerangi kerbau raksasa duduk di atas sing, mengandung makna bahwa kekuatan-kekuatan alam semesta yang positip dan juga simbol kemenangan kebajikan atau kebenaran atas kebatilan/ketidakbenaran. Relief-relief bentuk wanita dan pria yang berpelukan, melam bangkan penyatuan dua unsur yang berbeda dan mengandung makna proses regenerasi yang kekal abadi.



c. Suastika Svastika (keadaan yang baik) merupakan simbol yang juga diyakini oleh umat Hindu. Svastika mempunyai kekuatan suci yang sangat sakti. Svastika juga merupakan simbol roda dunia yang melambangkan gerak kosmik dan perputaran evolusi pada pusat yang tetap. Dalam Brhatsamhita (IV.15) disebutkan bahwa



82 svastika harus dilukis atau dipasang pada pintu pura. Bahkan sering juga dilukis pada rumah untuk melindungi keluarga dari kejahatan. (Asal-usul simbol ini masih menjadi teka-teki para indologis; namun contohnya banyak sekali ditemukan di: lembah Indus, Mesopotamia, Palestina, Amerika Selatan, dan pulau Easter).



d. Arsitektur suci (pura) Pura, biasanya didirikan dan dibangun di tempat yang khusus, tempat yang tertentu, indah dan suci.Pura, adalah ibarat sebuah pintu yang terbuka untuk berhubungan ke atas dengan leluhur, para dewa, dan Sang Hyang Widi Wasa/TYME. Karena itu, bentuk luarnya harus dapat membangkitkan perasaan untuk harapan akan bertemu dengan Sang Hyang Widi Wasa. Keindahan objek menyumbangkan kekuatannya sebagai alat yang sakral/suci. Oranamennya menolong proses pengundangan kekuatan suci ke dalamnya. Setiap segi icogographinya memiliki nilai simbolik tersendiri pada satu pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai aspek kekuatan Sang Hyang Widi Wasa dan berangkat dari dunia external menuju pemujaan internal. Pada kebanyakan umat Hindu penempatan dan penyucian arca menjadi satu wadah energi, menjadi satu alat yang dapat membantu akan keberadaan Sang Hyang Widi Wasa di hadapannya.



e.



Senjata Nawasangha (sikep Nawasangha) Menurut methologi, setiap arah mata angin dikuasai oleh dewa. Bahkan



hari pun dikuasai oleh dewa. Mengingat arah penjuru mata angin ada sembilan, maka dewa pun ada sembilan (navasangha). Masing-masing dewa tersebut menguasai setiap penjuru itu dan mempunyai senjata (sikep), sebagai berikut.:



83 No.



Nama Dewa



sakti



senjata



warna



tempat



1



Isvara



Uma



bajra



putih



purva/ timur



2



Mahesora



Laksmi



dupa



dadu



agneya



3



Brahma



Sarasvati



Gada



Merah



daksina



4



Rudra



Camodi



Moksala



M muda



nairiti



5



Mahadeva



Sanci



Nagapasa



Kuning



pascima



6



Sangkara



Rodri



Angkusa



hijau



bayavya



7



Visnu



Sri



Cakra



Hitam



utara



8



Sambu



mahadevi



trisula



Biru tua



Timur laut



9



Siva



Uma



Padma



Pancawarna



tengah



84 BAB VI FILSAFAT HINDU: SISTEM DAN PERKEMBANGANNYA (Filsafat Veda, dan Brahmana)



6.1



Umur Veda



Para sarjana, hampir semuanya berpendapat bahwa Veda, sebagai kitab suci agama Hindu, merupakan kitab tertulis yang tertua di antara kitab-kitab tertulis bangsa Indo European. Walaupun demikian, para sarjana masih belum bisa menemukan kata sepakat tentang kapan sebenarnya kitab suci itu dibuat. Banyak di antara para sarjana itu mencoba menerkanya, tetapi terkaannya selalu gagal, seandainya dibuktikan secara logika. Max Muller, sebagai sarjana indologi dan bapak ilmu perbandingan agama, menentukan tahun awal pembentukan kitab suci Veda pada tahun 1200 SM. Sarjana lainnya, Hang, berpendapat tahun 2400 SM , sebagai awal terbentuknya kitab suci Veda. Sedangkan Gangadhar Tilak, menentukan tahunnya pada 4000/6000 SM. Sebagaimana diketahui pada zaman India kuno, orang-orang India tidak mempunyai kebiasaan meninggalkan atau membuaat catatan (record) yang menerangkan tahun dan nama penulisnya sangat membanggakan. Hal itu terjadi pada bidang sastra, politik, maupun dalam bidang agama. Juga kita dapat mengetahuinya, bahwa mereka tidak menulis hasil ciptaannya. Misalnya, kitab suci Veda, diturun-temurunkan tidak melalui titab tertulis, tetapi melalui secara lisan, dari mulut ke mulut, dalam kurun waktu yang tidak mampu kita menerka betapa lamanya. Namun, umat Hindu yakin, bahwa Veda itu tidak dibuat oleh manusia (apaurusya).Umat Hindu meyakini (sraddha), bahwa Tuhanlah yang secara langsung mengajarkan isi Veda itu kepada para resi; atau para resi mendapat wahyu (sruti) tentang hymne-hymne suci (sloka-sloka) yang terdapat pada kitab suci Veda, melalui seer (dengan supernatural power) atau adikodrati mereka atau mantradrsta.



85 6.2



Kedudukan Veda bagi umat Hindu



Pada waktu kitab suci Veda dibentuk, mungkin sekali orang India kuno belum mempunyai sistem tulis. Jadi, hal itu merupakan suatu hal yang yang luar biasa, yang dilakukan oleh para pemuka dan penekun agama (Brahmana), untuk mempelajari kitab suci Veda itu. Beliau menekuninya dengan cara yang luar biasa, mengingat dan mengapalkan semua ajaran Veda dalam ingatannya, dengan cara yang luar biasa juga, dalam kurun waktu yang lamanya sangat sulit ditentukan, seandainya kita mencoba menentukannya. Paling sedikit selama 3000 tahun mereka mempelajari Veda dengan cara seperti itu, yakni secara lisan turun temurun dari mulut ke mulut. Seandainya kita mempelajari dan menyimak sejarah India kuno, dengan jelas sekali kita bisa melihat perubahan-perubahan yang terjadi semenjak zaman Veda sampai zaman later Vedic. Tetapi kitab Veda selalu merupakan kitab tersuci bagi umat Hindu dalam setiap zaman. Bahkan, sampai saat kini, semua upacara



dalam



kehidupan



umat



Hindu,



seperti:



upacara



perkawinan



(vivahasamskara), upacara kelahiran (jatakarma samskara), upacara kematian (antyesti samskara), dan sebagainya, masih tetap dilakukan mengikuti dan menurut petunjuk kitab Veda. Jadi mantra-mantra, doa-doa suci, yang dipergunakan oleh umat Hindu pada saat sekarang, umurnya sudah ribuan tahun. Mantra Gayatri misalnya, kita temukan di antara hymne-hymne (sloka-sloka) yang terdapat dalam Rg Veda, Veda yang paling tua di antara keempat Veda. Lagi pula, mantra Gayatri tersebut sudah merupakan mantra yang paling suci di antara semua hymne (sloka) dalam Rg Veda.Pengaruh Veda, tidak saja kita rasakan sangat kuat dalam kehidupan umat Hindu sehari-hari, tetapi juga pada karya sastranya, yang lahir pada zaman setelah zaman Veda Semuanya berdasarkan Veda dan para penulis menerima bahwa hasil karya mereka berdasarkan kitab suci Veda. Pada keenam sistem filsafat Hindu (saddharsana) kita temukan bahwa mereka selalu 'baku hantam' dalam mempertahankan ketenaran ide mereka, bahwa ide atau filsafat merekalah yang paling setia kepaada kitab suci Veda.



86 Semua hukum dan peraturan-peraturan yang terdapat di India saat ini juga berdasarkan Veda Bahkan, pada zaman Inggris menguasai India pun pemerintah Inggris membuat hukum dan peraturan-peraturan di India berdasarkan kitab suci Veda. Misalnya, pada hukum tentang warisan, pengangkatan anak dan sebagainya. Jadi, walaupun kitab suci Veda itu sudah sangat tua usianya, namun Veda masih tetap segar bugar bagi umat Hindu. Tidak ada perubahan yang terjadi pada kitab suci Veda menurut umat Hindu. Kitab suci Veda selalu merupakan kitab suci bagi umat Hindu dari zaman ke zaman.



6.3



Pembagian kesusatraan Veda



Bagi kita yang baru pertama kali mempelajari kesusastraan Sanskerta, biasanya sering bingung ketika kita menemukan kata 'veda' atau 'sruti'. Kata veda sebenarnya bukan nama satu jenis kitab, tetapi merupakan hasil kesusastraan pada zaman tertentu dan berkelanjutan dalam jangka kurtun waktu amat lama, lebih dari 2000 tahun lamanya. Karena itulah para sarjana sepakat membuat pembagian untuk kitab itu karena jangka waktu yang begitu lama masa pembuatannya (masa terbentuknya), serta melibatkan banyak resi pada pembentukannya. Seandainya secara kasar kita membuat pembagian kitab Veda itu atas dasar subjek yang dibicarakan dan bahasanya, kita bisa menemukan empat tipe yang berbeda. Keempat tipe tersebut adalah: (1) kitab Samhita atau koleksi verse-verse; (2) kitab Brahmana; (3) kitab-kitab Aranyaka (harta dari hutan); dan (4) adalah kitab-kitab Upanisad. Kitab-kitab tersebut di atas, dianggap amat suci bagi umat Hindu dan para resi. Oleh karena itu, mereka merasa tidak patut mencatatnya atau menulisnya. Tetapi mereka harus mendengarkan uraian-uraian para guru (resi), dan kemudian disimpan dalam ingatan semua ajaran itu. Tradisi itu juga yang menyebabkan, kitab-kitab tersebut dikenal sebagai kitab sruti, yang berarti



87 semua yang didengar. (seperti para resi mendengar ajaran itu (wahyu) dari Tuhan/Brahman).



6.4



Kitab-kitab samhita



Kita menemukan adanya empat samhita (kumpulan): (1) Rg Veda samhita, (2) Samaveda samhita, (3) Yajurveda samhita, dan (4) Atharvaveda samhita. Dari keempat samhita itu, Rg Veda merupakan yang tertua. Samaveda hampir tidak mempunyai arti banyak, karena semua stansa (sloka) yang terdapat di dalamnya diambil dari Rgveda. Fungsinya hanya untuk diucapkan menurut melodi. Sedangkan Yajurveda samhita menambahkan banyak formula kitab Rg Veda. Lalu Samaveda dibuat sedemikian rupa untuk Soma sacrifice (upacara Soma). Sedangkan Atharvaveda samhita berfungsi pada waktu pembuatan upacara-upacara. Rigveda samhita agak berbeda dengan ketiga samhitaa lainnya, karena syair-syairnya (sloka-slokanya, verse-verse) diatur menurut kepada Dewa siapa sloka-sloka itu ditujukan. Jadi, pada Rigveda kita menemukan, misalnya, slokasloka/verse untuk: Dewa Agni, Indra, dan sebagainya. Samhita yang keempat, Atharvaveda samhita, merupakan samhitayang termuda. Kita catat pendapat Prof. Machdonell atas Atharvaveda: Kitab ini sebenarnya tidak begitu berbeda dengan kitab Rigveda. Hanya Atharvaveda mencerminkaan (mewakili) jalan pemikiran orang yang lebih primitif.Sementara kitab Rigveda melibatkan dewa-dewa, Atharvaveda melibatkan magic-magic mantra untuk para raksasa, blackmagic dan sebagainya. Jadi Mackdonell berpendapat, bahwa Rigveda dan Atharvaveda-lah yang terpenting dari keempat veda samhita itu.



6.5



Kitab-kitab Brahmana Kitab-kitab ini merupakan kitab 'theological' dan tumbuh setelah



samhita, serta sangat berbeda dengan samhitaa. Kitab itu ditulis dalam bentuk



88 prosa. Isinya menerangkan tentang arti-arti rahasia bermacam-macam ritual (upacara) bagi umat Hindu yang awam. Kitab Brahmana bersifat intelektual, mendiskusikan semua upacara, mengenai arti, gunanya, asal-usul upacara tersebut dan sebagainya. Jadi, pada kitab-kitab Brahmana itu, kita banyak menemukan simbol-simbol dan juga penuh dengan dogma-dogma. Dari kitab Brahmana itulah kita mendapatkan gambaran, bahwa sebelumnya, upacara-upacara di dalam agama Hindu dilakukan dengan cara yang sangat sederhana Tetapi ketika kitab itu mulai terbentuk, upacara-upacara di dalam agama Hindu menjadi sedemikian rumit. Di situ mulai timbul banyak jenis upacara yang harus dilakukan oleh pandita dan jenisnya juga banyak, menurut derajat para pandita. Kita bisa menarik kesmipulan di sini, bahwa pada zaman itulah sistem kasta mulai terbentuk dan semenjak itu juga semua urusan yang bersangkutan dengan agama dikonsentrasikan pada upacara. Para sarjana berpendapat, zaman kitab Brahmana berlangsung sebelum tahun 500 SM.



6.6



Kitab-kitab Aranyaka Setelah kitab-kitab yang telah kita sebutkan di depan, bentuk lain yang



berkembang adalah Aranyaka (artinya harta benda hutan belantara). Kitab-kitab itu kemungkinan disusun (kompused) bagi mereka yang melakukan kehidupan sebagai sanyasin atau bhiksuka, hidup di hutan belantara. Jadi, mereka tidak mampu untuk melakukan upacara-upacara. Di dalam kitab-kitab itu meditasi kepada simbol tertentulah yang diutamakan. Sedangkan upacara ditempatkan pada nomor dua. Di situ kita menemukan satu tahap perkembangan yang drastis sekali di dalam agama Hindu. Upacara-upacara tidak begitu penting lagi. Di situ timbul satu filsafat yang berusaha menekuni dan mencari arti apakah kebenaran itu. Seandainya kita mempelajarinya, misalnya dari Brihadaranyaka Upanisad: bentuk upacara kuda (asvamedha) yang sangat populer pada saat itu sudah berubah bentuknya menjadi satu bentuk meditasi yang ditujukan kepada Usas (Sang dewi Fajar) sebagai kepala kudanya, dan matahari sebagai mata



89 kudanya, serta udara sebagai kehidupannya kuda dan sebagainya. Jadi, upacaraupacara kini beralih ke bentuk meditasi dan filsafat, serta pengetahuan tentang kebenaran menjadi tujuan hidup yang utama Pada zaman itu, di zaman Aranyaka, terjadi suatu perubahan darastis dalam jalan pikiran umat Hindu. Dalah hal itu, Aranyakalah yang membuka jalan untuk munculnya ajaran-ajaran Upanisad, ajaran filsafat yang berpedoman kepada Veda. Kemudian Upanisadlah yang menjadi sumber aliran-aliran filsafat Hindu dan menjadi sumber jalan pikiran umat Hindu.



6.7



Polytheistik, Henotheistik, dan Monotheistik Banyaknya jumlah dewa yang kita temukan di dalam kitab Veda,



mungkin membuat orang mempunyai pikiran, bahwa Vedic Hindu bersifat polytheistik. Tetapi bagi mereka yang mempelajari kitab Veda dengan sangat cermat, serta teliti, dan bagi mereka yang intelligent, mereka akan menemukan bahwa agama Hindu (Vedic Hindu), tidak politeisme dan juga tidak monoteisme, tetapi mempunyai sistem kepercayaan tersendiri.Di dalam Vedic Hindu kita menemukan: seandainya seseo rang mempunyai dan memuja satu Dewa tertentu, maka dewa-dewa lainnya secara otomatis menjadi dewa-dewa minor, subdewa dalam fungsinya. Max Muller menamakan bentuk kepercayaan itu sebagai bentuk henoteisme atau katenoisme, yang berarti percaya kepada satu dewa di antara para dewa dan setiap dewa secara bergiliran menjadi yang tertinggi.Tetapi jalan pikiran



pada



kepercayaan



itu,



terus



berkembang



bersamaan



dengan



perkembangan zaaman dan bentuk monotheism kian menjadi nyata pada sejarah perkembangan agama Hindu. Di dalam kitab Hindu kuno, kita menemukan satu bentuk, misalnya Prajapati (lord/raja semua mahluk). Tentang itu jelas sekali diterangkan dalam Rgveda X.121 (Rgv., X.121), bahwa Prajapatilah yang tertinggi dan maha kuasa. Jalan pikiran agama Hindu yang terus menuju bentuk monotheism juga kita temukan padaRgveda X .82.3, yaitu untuk Visvakarma , pencipta semuanya.



90 Baiklah kita mencoba menerjemahkan sloka (verse) Rgveda X.82.3: "Siapa Bapak, Pencipta dan pembuat kita. Dia yang mengetahui segala tempat dan segala mahluk. Dari siapa semua dewa mendapat nama mereka. Kepada Dia semua mahluk memohon diri-Nya".



6.8



Brahman Menyusul yang telah diuraikan di depan, kemudian kita menemukan



munculnya konsep Brahman sebagai Tuhan. Hal itu kita temukan pada aliran filsafat Vedanta. Sedangkan arti dan makna Brahman yang sesungguhnya masih diperdebatkan oleh para sarjana. Salah seorang resi, bernama Resi Sayana memberi arti tentang brahman itu sebagai Mahabesar. Sedangkan menuerut kitab Satapatha Brahmana, Brahman(netral), adalah asal mula alam semesta. Dia (Brahman), menciptakan dewa-dewa dan memberi tugas-tugas para dewa untuk mengatur alam semesta ini, misalnya : Agni mengatur api, Vayu untuk angin dan sebagainya. Kemudian sebagai Yang Maha Kuasa, Brahman kadangkadang juga disebut



sebagai Prajapati, Purusa, dan Prana. Di samping itu



Brahman sering juga disebut sebagai Svayambhu.



6.9 Konsep Atman menurut filsafat Veda Umat Hindu percaya (sraddha), bahwa jiwa (atman) manusia akan dapat terpisah pada saat mereka meninggal. Di dalam kitab Satapatha Brahmana disebutkan, bahwa barang siapa yang tidak melakukan kejidupan dengan semestinya, akan terlahir kembali (reinkarnasi, punarbhava), setelah ia meninggal dan akan kembali mengalami kesengsaraan (samsara), jara marana, dan seterusnya akan mengalami kematian kembali, dan seterusnya. Dalam sloka Rg Veda (X. 58.), disebutkan bahwa jiwa (atman) seseorang tanpa disadari dapat diundang untuk kembali kepadanya dari pohon, langit, dan sebagainya.Bahkan pada banyak sloka (hymne) juga kita mendapat gambaran, bahwa ada alam lainnya yaitu alam yang penuh dengan kebahagiaan, seandainya mereka berbuat baik pada masa hidupnya atau alam yang penuh dengan penderitaan, seandainya berbuat jahat pada masa hidupnya.



91 Kitab Satapatha Brahmana menerangkan, bahwa setelah kematian seseorang / mereka harus melewati api yang membakar mereka yang tidak baik tingkah lakunya selama masa hidupnya dan membiarkan mereka yang tidak hangus terbakar Semua uraian yang disebutkan di depan, membuktikan bahwa sudah ada konsep moral idea pada zaman itu. Begitu juga sudah ada satu hukum yang bernama hukum karma. Di dalam Rg Veda juga banyak kita temukan kata-kata seperti: manas, atman, dan asu untuk jiwa. Justru kata atman inilah yang kemudian hari terus dipakai sampai sekarang dalam agama Hindu. Jadi, kesimpulan kita adalah pada zaman sebelum zaman Upanisad sudah ada kepercayaan (sraddha) terhadap atman.



6.10



Upacara (sacrifice = kurban = asal mula hukum karma)



Walaupun tendensi agama Hindu menuju ke bentuk monotheisme terus berlangsung dengan pesat pada zaman itu, bentuk-bentuk upacara (sacrifice) untuk dewa-dewa atau sacrifices untuk bentuk polytheism masih tetap terus berlangsung dan bahkan bertambah rumit. Tetapi atas power/kekuatan para dewa yang dipuja di dalam sacrifices tersebut menjadi tidak begitu penting dan utama. Tetapi justru kekuataan magic terletak pada bentuk upacara (sacrifices) sendiri. Bentuk banten (sesajen, offering) tidak disadari atas devotion (bhakti) seperti halnya bentuk banten yang kita temukan pada zaman Hindu berikutnya, terutama setelah timbulnya sekte Vaisnava.Karena begitu penting dan powerfulnya sacrifices, maka mereka (umat Hindu) harus sangat hati-hati melakukannya. Tidak boleh salah mengucapkan mantra-mantranya dan nadanya. Lain daripada itu, juga tidak boleh salah sewaktu menuangkan mentega (gee) ke dalam api upacara dan tidak boleh salah mengatur perlengkapan-perlengkapan upacara. Kesalahan sedikit saja dapat menyebabkan kefatalan dan kegagalan bagi mereka yang melakukan sacrifice /upacara yadnya itu. Contoh seperti itu, bisa kita temukan dalam mitologi, bagaimana raksasa Tvastr salah mengucapkan mantra sehingga justru dia yang terbunuh oleh musuhnya, Indra.Tetapi seandainya sacrifice / upacara sudah dilakukan



92 dan berjalan dengan sempurna, maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menggagalkan tujuan upacara tersebut. Jadi jelaslah di sini, bahwa hasil upacra tidak tergantung pada belas kasih para dewa, tetapi tergantung pada upacaranya sendiri, pada hasil upacaranya sendiri.Menurut umat Hindu, sacrifices (upacara kurban) itu sama seperti halnya dengan kitab Veda bersifat kekal dan tidak mungkin kita bisa mencari dan menentukan asal mulanya. Di samping itu umat Hindu juga percaya, bahwa alam semesta ini (macrocosmos, bhuwana agung)



tercipta



karena



sacrifices



(upacara



yadnya)



yang



dilakukan



oleh



Brahman/Purusa (Tuhan). Jadi, upacara yadnya /sacrifices, sesungguhnya tidak ditujukan atau tidak dipersembahkan kepada para dewa. Hasil yang dicapai (melalui yadnya) tergantung dan diperoleh langsung dari kekuatan upacara itu sendiri, seandainya upacara yadnya itu dilakukan



secara



sempurna.Walau



kita



kadang-kadang



menemukan



disebutkannya beberapa dewa dan pemberian atau persembahan



tentang



sesajen, banten



kepadanya. Tetapi sebenarnya fungsi dewa-dewa tersebut hanyalah sebagai alat pelengkap keberhasilan sacrifices/upacara/yadnya. Jadi, sacrifices / upacara / yadnya mempunyai potensi power, yang luar biasa, yang bahkan lebih besar dari kekuatan para dewa. Malahan, kita juga menemukan , bahwa mereka /umat Hindu yang melakukan upacara/yadnya kadang-kadang bisa menjadi dewa karena kesempurnaan upacara yadnya /sacrifices yang mereka lakukan.



93 BAB VII SISTEM KALENDER DAN TAHUN HINDU INDIA



7.1



Kalender



Sistem perhitungan dan pencatatan waktu di India, tidak berdasarkan sistem solar, tetapi menggunakan sistem tihti atau lunar day. Satu bulan tithi (lunar) ada 30 hari. Sedangkan kalau sistem solar, satu bulannya ada 29 hari. Kemudian yang satu bulan itu dibagi menjadi dua bagian atau paksa: (1) dimulai dengan 'bulan penuh' (purnima vasya), dan (2) 'bulan baru ' (amavasyaatau bahula vasya). Masing-masing bagian atau paksa, terdiri dari 15 hari. Dua minggu yang pertama, dimulai pada 'bulan pertama'(baru, Bali: tanggal pisan,sehari setelah tilem), disebut 'pertengahan terang' (suklapaksa), dan dua minggu berikutnya, dimulai setelah bulan purnama



(Bali: panglong pisan),



disebut 'paro bulan gelap' atau kresnapaksa. Menurut tradisi India Utara dan sebagian Deccan, bulan dimulai dan diakhiri pada 'bulan penuh' atau purnama (purnima). Sedangkan di daerah Tamil, bulan biasanya dimulai pada 'bulan baru.' Perlu juga diketahui, bahwa di India sampai sekarang kalender Hindu masih dipergunakan sebagai kepentingan agama.Jadi, suklapaksa mulai dari 'bulan baru' (Bali: tanggal pisan), sampai dengan 'bulan purnama' (purnima), dan kresnapaksa mulai 'bulan purnama' sampai 'bulan baru' (amavasya atau bahula vasya). Selanjutnya, penentuan kapan 'hari' (tithi) itu dimulai, menurut sistem solar? Biasanya, dimulai pada jam berapa saja; atau dengan kata lain tidak ditetapkan secara pasti dan tegas. Namun, untuk memudahkan pencatatan waktu, perhi tungan 'hari' (tithi), dimulai pada saat matahari terbit, dan berakhir pada saat sebelum matahari terbit berikutnya. Jadi, bukan pada pukul 00.00, seperti sistem pergantian hari secara masehi.Dalam satu tahun Hindu (India) ada 12 lunar (bulan).



94 Adapun nama-nama bulan tersebut sebagai berikut: 1) Caitra, (Maret-April) 2) Vaisakha, (April-Mei) 3) Jyaistha, (Mei-Juni) 4) Asadha, (Juni-Juli) 5) Sravana, (Juli-Agustus) 6) Bhadrapada atau Pransthapada, (Agustur-September) 7) Asvina atau Asvayuja, (September-Oktober) 8) Kartika, (Oktober-November) 9) Mayasira atau Agrahayana, (November-Desember) 10) Pausa atau Taisa, (Desember-Januari) 11) Magha , (Januari-Pebruari) 12) Phalguna, (Pebruari-Maret)



Sedangkan pada zaman kuno, nama-nama bulan yang kita temukan dalam Veda atau puisi/sastra adalah sebagai berikut: 1) Madhu 2) Madhava 3) Sukra 4) Suci 5) Nabhas



7) Urja 8) Sahas 9) Sahasya 10) Tapas 11) Tapasya



6) Jsa



Menurut sistem di India, biasanya perhitungan tahun dimulai pada bulan Caitra. Namun, kadang-kadang ada kalanya dimulai pada bulan Kartika atau pada bulan yang lainnya. Di samping itu, di India ada juga sistem penentuan musim (rtu). Setiap musim lamanya dua bulan. Dengan demikian, di India ada enam musim (rta) sebagai berikut: 1)



Vasanta, Spring, (Maret-April)



2)



Grisma,



Summer, (Mei-Juni)



95 3)



Varsa, rains, (Juli-Agustus)



4)



Sarad, autum, (September-Oktober)



5)



Hemanta, winter, (November-Desember)



6)



Sisira, cool, (Januari-Pebruari)



Dalam satu tahun kalender Hindu (12 bulan), ada 354 hari; jadi berbeda dengan tahun Masehi, yakni 365 hari. Untuk mengatasi perbedaan itu, sejak zaman dahulu sudah diselesaikan permasalahannya. Dalam setiap 62 bulan lunar, dikira-kirakan sama dengan 60 bulan solar.Jadi, setiap 30 bulan lunar ada sisipan satu bulan ekstra dalam satu tahun, seperti juga di Babylonia. Penambahan bulan ekstra itu, biasanya dilakukan setelah bulan Asadha atau Sravana, yang



disebut



Asadhadvitya



atau



Sravana



dvitya(Asadha,



Sravana



kedua).Dengan demikian, setiap tahun kedua dan ketiga terdiri dari 13 bulan, dan berarti 29 hari lebih panjang daripada tahun lainnya. Kalender Hindu (India) memang kurang efisien, karena sangat berbeda dengan kalender solar lainnya. Bahkan sangat sulit untuk mengetahui hari-hari penting Hindu (Bali: dewasa ala ayu), dalam waktu singkat. Sistem penulisan tanggal India, ditulis menurut urutan sebagai berikut: bulan paksa, tithi, istilah tambahan sudi dan badi, untuk pertengahan terang dan gelap. Misalnya, Caitra sudi 7, berarti hari ketujuh bulan baru/purnama bulan Caitra.Sesungguhnya sistem 'kalender solar' diimport dari 'astronomi Barat', yang juga sudah dikenal sejak zaman Raja Gupta (ke atas). Namun, pengaruh itu tidak mendesak dan tidak mennggeser kedudukan sistem kalender luni solar kuno. Walaupun penggunaan penanggalan sistem kalender solar dalam pencatatan kuno lebih tepat, dengan kedominanan naksatra hari dipertanyakan, setelah penanggalan hari solar yang teratur. Nama-nama bulan kalender solar, diberi nama menurut nama-nama zodiak, yang penerjemahannya sangat mirip dengan yang asli Yunani, yaitu sebagai berikut: 1) Mesa



Aries



2) Vrshaba



Taurus



3) Mituna



Gemini



96 4) Karkata



Cancer



5) Simha



Leo



6) Kanya



Virgo



7) Tula



Libra



8) Vrscika



Scorpio



9) DhanusSagitarius 10) Makara



Capricorn



11) Kumbha Aquarius 12) Mina



Pisces



Di samping itu kalender solar juga memperkenalkan bahwa dalam satu minggu ada 7 hari. Kemudian ketujuh hari tersebut diberi nama menurut namanama planet, seperti yang ada pada sistem Greco-Roman, yaitu sebagai berikut: 1) Ravivara



Minggu (matahari)



2) Somavara Senin (bulan) 3) Manggalavara



5) Brhaspativara



Soma



Selasa



4) Budhavara Rabu



Redite



Anggara Budha



Kamis



Wraspati



6) Sukravara Jumat



Sukra



7) Sanisvara



Saniscara



Sabtu



7.2 Tahun Hindu (India) Menurut penyelidikan, ternyata sampai pada abad pertama sebelum Masehi (abad 1 BC), tidak ditemukan adanya bukti yang bisa dipercaya, bahwa India telah mempunyai sistem regular yang dipakai untuk mencatat tahun kejadian-kejadian, dengan menulis penanggalan pada satu era (tahun) yang difinitip seperti AUC bangsa Roma atau era Christiannya Eropa. Prasasti-prasasti (inscripsi) kuno, biasanya ditulis tanggalnya pada tahun berkuasanya seorang raja. Sedangkan ide penanggalan panjangnya satu periode dari titik tahun, jelas dibawa ke India oleh para invader dari north-west.Mereka



97 meninggalkan prasasti-prasastinya memakai tahun India. Namun, sayang sekali bangsa India tidak mengikuti dan tidak memakai satu jenis sitem tahun dengan seragam.Di India berlaku atau dipakai beberapa jenis sistem tahun (era) antara lain sebagai berikut:



7.2.1 Tahun Vikrama atau Vikrama era (58 BC) Menurut tradisi (kepercayaan, tidak menurut fakta sejarah), tahun Vikrama didirikan oleh seorang raja, bernama Vikramaditya. Beliau berhasil mengusir mengusir bangsa Saka keluar dari wilayah Ujjayini dan kemudian mendirikan



tahun



(era)



Vikrama,



sebagai



tanda



untuk



merayakan



kemenangannya pada tahun 58 BC (sebelum Masehi). Tetapi menurut sejaarah, bahwa satu-satunya raja yang memaakai titel atau nama Vikramaditya dan yang berhasil mengenyahkan kaum Saka keluar dari Ujjayini, adalah Candra Gupta II. Rjaa itu hidup lebih dari 400 tahun sesudah tahun (era) itu sendiri berdiri (58 BC ). Dengan demikian, legenda atau tradiri itu tidak benar. Di dalam prasasti-prasasti kuno yang menggunakan tahun (era) ini semua prasasti ini berasal dari western India, eranya disebut sebagai kreta (didirikan atau diturunkan oleh suku Malava). Beberapa sarjana percaya, baahwa banyak prasasti kaum Saka Palava dari north-west India menggunakan tahun ini, yang didirikan oleh Azes, salah seorang raja kunanya. Namun hal itu masih diragukan kebenarannya. Era (tahun) ini (Vikrama) paling populer di India Utara aslinya. Tahun Vikrama dimulai pada bulan Kartika, tetapi pada zaman abad pertengahan ;tahun Vikrama dimulai pada paro (pertengahan) terang (suklapaksa) bulan Caitra di Utara, dan pada pertengahan (paro) gelap (kresnapaksa) bulan yang sama di Penisula.



7.2.2 Tahun Saka atau Saka Era (mulai tahun 78 M) Menurut legenda, tahun ini didirikan oleh Raja Saka, yang menduduki Ujjayini, 137 tahun setelah Vikramaditya. Namun, menurut fakta sejarah, era



98 (tahun) ini didirikaan oleh Raja Kanishka, dari dinasti Kushana dan dengan pasti tahun (era) ini digunakan oleh Westum Satraps pada awal abad kedua Masehi. Westum Satraps menguasai Malawa, Kathiavar dan Gujarat. Jadi penggunaan tahun Saka ini menyebar ke Deccan dan dieksport ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia.



7.2.3 Tahun Gupta atau Gupta Era (320 M) Tahun ini mungkin didirikan oleh Candra Gupta I, dan penggunaannya dilanjutkan oleh dinasti Maitraka di Gujarat sampai beberapa abad lamanya setelah kerajaan Gupta jatuh.



7.2.4 Tahun Harsa atau Harsa era (606 M) Tahun ini didirikan oleh Raja Harsa Vasdhana dari Kanyakubja. Era ini polpuler di India Utara sampai satu atau dua abad setelah kematiannya.



7.2.5 Tahun Kalacuri atau Kalacuriera (248 M) Tahun ini mungkin didirikan oleh satu dinasti kecil, yang bernama dinasti Traikuta. Era ini dipergunakan di India Tengah, sampai waktu invasi Islam.



7.2.6 Tahun lokal dan penting pada periode tertentu



7.2.6.1 Tahun Laksmana (Laksmanaera), dari Bengal (1119 M). Beberapa sarjana berpendapat, bahwa era ini didirikan oleh raja Laksmana Sena, namun kebenarannya masih diragukan.



7.2.6.2 Tahun Saptarsi atau Laukita Era Digunakan di Kashmir pada abad pertengahan dan dicatat di dalam lingkaran mulai 75 tahun, setelah satu abad era Kristen.



99



7.2.6.3 Licchavi Eraa dan Neyar Era dari Nepal (Masehi 110 dan 878).



7.2.6.4 Kollam era dari Malamar (825 M).



7.2.6.5 Vikramaditya era VI Calukya (1075 M).



7.2.6.6 Kaliyuga era (3102 BC), Lebih sering dipakai untuk tujuan keagamaan dan jarang untuk politik.



7.2.6.7 Buddha Era (544 SM) Dipergunakan di Ceylon dari zaman yang sulit diterka.



7.2.6.8 Mahavira Era (528 SM) Dipakai oleh umat Jaina. Sampai saat kini di India hanya ada empat era (tahun) yang masih dipergunakan untuk keagamaan, yaitu: Buddha era, Mahavira era, dan Saka era. Sedangkan tahun-tahun yang lainnya sudah punah.



100 BAB VIII HARI RAYA DAN UPACARA YADNYA



A. HARI RAYA / SUCI



8.0



Pendahuluan



Sesuai dengan karakter atau sifat agama Hindu yang universal berdasarkan istadevata dan adikara, maka timbullah berbagai variasi di dalam pelaksanaannya.



Varian-varianpelaksanaan



itu



mengikuti



kebudayaan



masyarakat penganutnya, yang meliputi sila, acara, dan atmatusti. Begitu juga di Indonesia, yang juga memiliki kebudayaan tersendiri, dengan berbagai suku bangsanya, menerima agama Hindu tersebut disesuaikan dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, dan keadaan), seperti apa yang ada sekarang. Keseluruhan ajaran agama Hindu diramu sedemikan rupa (seperti telah diuraikan pada buku yang lalu), termasuk hari-hari yang dirayakan dan disucikan. Oleh karena itu, perayaan keagamaan pada umumnya bersifat lokal dan



regional.



Ada



perayaan



keagamaan



daerah/wilayah/negara



tertentu,



namun



daerah/wilayah/negara



lain.



Bahkan,



ada



yang



hampir



amat tidak



perayaan



penting dikenal



keagamaan



di di



yang



berdasarkan legenda atau mitologi setempat, sehingga tidak ditemukan dalam pustaka suci. Itulah keunikannya. Seperti juga telah diuraikan pada bab vii (sistem kalender), bahwa pergantian hari terjadi pada pagi dini hari saat matahari terbit. Jadi tidak pada pukul 00.00 seperti biasa yang dianut oleh tahun masehi, tetapi pada saat subuh pukul 06.00. Di samping itu, sistem luni solar yang dipakai untuk menentukan tahun Saka. Sedangkan di Indonesia, sudah membudaya sistem kalender tersendiri yang disebut pawukon. Sistem itu berdasarkan wuku, banyaknya ada 30 wuku. Satu wuku ada tujuh hari. Dengan demikian satu putaran sistem kalender pawukon ada 210 hari (30x7hari). Di samping wuku, ada lagi beberapa pasar/ wara/ hari yang mempunyai sifat sendiri-sendiri. Namun,



101 yang berhubungan dengan hari raya yang disucikan hanyalah pancawara, dan saptawara saja dikombinasikan denganpawukon tersebut. Pancawara terdiri dari 5 wara/ hari: umanis atau legi, pahing, pon, wage atau cemeng, dan kliwon. Dari legi atau umanis mencari umanis berikutnya ada lima hari. Saptawara terdiri dari tujuh hari: Radite, Soma, Anggara, Budha, Wrehaspati, Sukra, dan Saniscara (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu). Ternyata, pengombinasian kedua wara dan wuku itulah yang dipakai untuk menentukan hari raya, seperti: Pagerwesi, Galungan, Kuningan, dan Saraswati. Di samping itu juga ada hari-hari yang dipergunakan untuk piodalan dan hari raya lokal dan khusus untuk menghormati tertentu, seperti: anggarkasih (Selasa kliwon), tumpek (Sabtu kliwon), buddha manis, budha kliwon, dan budha wage, yang masing-masing ada enam macam dalam 210 hari (bukan hanya satu macam). Jadi, hari-hari raya yang disucikan umat Hindu di Indonesia, sebagian berdasarkan: (1) sistem luni solar (mengikuti India) dan (2) sebagian berdasarkan sistem pawukon. Hari-hari raya yang berdasarkan sistem lunisolar: (a) Sivaratri, dan (b) Nyepi/Tahun Baru Saka.



Sedangkan



hari-hari



raya



yang



berdasarkan



pawukon: (a) Pagerwesi, (b) Galungan, (c) Kuningan, dan (d) Saraswati



8.1



Hari Raya/Suci Sivaratri Sivaratri (Sivalatri) adalah hari raya suci dalam agama Hindu yang



dirayakan setiap hari ke-14 paruh gelap (caturdasi krsnapaksa, atau panglong ping 14), pada bulan ketujuh Magha-Palghuna atau kapitu), yaitu antara februari-Maret. Jadi, setahun sekali, sebelum hari raya Nyepi.



8.1.1



Asal-usulnya



Dalam Purana disebutkan bahwa Brahma lahir dari bunga lotus (teratai). Sedangkan lotus itu tumbuh dari pusarnya Visnu. Brahma ingin mencari pangkal tangkai bunga lotus tersebut. Tangkainya panjang sekali.



102 Akhirnya, ia (Brahma) menemui Visnu sedang santai berbaring merendam badannya dalam air yang sedang mengalir. Brahma segera bertanya, "Wahai! Siapakah Anda sesungguhnya?" Mendengar itu Visnu pun menjawab, sambil tersenyum, "Hai Brahma! Aku ini Visnu! Aku adalah ayahmu!" Mendengar jawaban itu Brahma merasa tidak percaya dan membantah keras. Perang mulut pun terjadi, tidak bisa dihindarkan. Brahma emosi, bahkan menantang Visnu untuk mengadu kesaktiannya, yakni perang tanding dengan senjata saktinya masing-masing. Visnu masih tetap santai menerima tantangan tersebut. Pertarungan



senjata pun dimulai.



Brahma



mengeluarkan senjata



handalannya, yaitu Brahmastra, yang sangat terkenal kesaktiannya. Melihat itu, Visnu pun mengeluarkan senjata ampuhnya yang bernama Pasupatastra. Maka kedua senjata tersebut bertarung dengan dahsyat, sangat lama, tanpa henti-hentinya sehingga para dewa di Suralaya merasa berkeberatan dan langsung memprotesnya beramai-ramai. Mendengar protes para dewa itu Brahma dan Visnu berusaha menarik senjatanya masing-masing, namun ternyata tidak mudah. Di luar perhitungan mereka, kedua senjata itu



terus berlaga siang dan malam, tidak bisa



diberhentikan oleh siapa pun termasuk pemiliknya masing-masing. Hal tersebut menjadikan keduanya (Brahma dan Visnu) menjadi bingung dan putus asa! Berbarengan dengan keputusasaan itu, secara tiba-tiba muncullah sebuah lingga berdiri tegak di hadapan mereka. Lingga itu sangat besar dan sangt tinggi. Pangkal dan ujung nya tidak kelihatan. Brahma dan Visnu menjadi heran dan tercengang. Saat itulah Brahma memulai pertandingan lagi. Brahma menantang Visnu lagi untuk bertanding, masing-masing mencari kedua ujung lingga tersebut. Perjanjiannya sebagai berikut: (1) Brahma akan mencari ujung atau puncak lingga tersebut, dan (2) Visnu harus mencari pangkal lingga itu. Siapa yang lebih dahulu menemukannya, dialah yang menjadi pemenangnya. Setelah setuju, maka Brahma pun langsung terbang membubung ke atas mencari ujung atau puncak lingga tersebut. Makin tinggi Brahma terbang,



103 puncak lingga itu makin tinggi pulka. Akhirnya Brahma tidak sanggup mecapai puncak lingga itu. Brahma pun turun ke bumi dengan sangat kecewa. Begitu juga Visnu. Ia segera masuk ke dalam bumi untuk mencari pangkal lingga itu. Sama dengan Brahma, makin dalam Visnu masuk ke dalam bumi, terbnyata pangkal lingga itu bertambah makin ke dalam bumi. Akhirnya ia gagal juga menemukan pangkalnya dan langsung naik ke atas bumi. Keduanya



sangat



lelah



dan



masing-masing



menceritakan



kegagalannya. Namun, anehnya dengan tiba-tiba pula lingga itu menghilang. Dengan lenyapnya lingga tersebut, Brahma dan Visnu pun sangat heran dan menyerah kalah.



Dalam



keadaan payah



begitu, lenyaplah lingga dan



muncullah Siva. Dengan sangat mudahnya, dengan kedua tangannya Siva dapat menangkap kedua senjata Brahma dan Visnu.



Sambil tersenyum Siva



menyerahkan kedua senjata itu kepada pemiliknya masing-masing, yaitu senjata brahmastra kepada Brahma, dan pasupatastra kepada Visnu. Brahma dan Visnu ternganga keheranan dan tidak sempat berkata sepatah pun sebagai komentar dan ucapan terima kasih. Siva pun langsung berkata, "Wahai, Brahma dan Visnu! Ternyata Anda berdua tidak berdaya menagkap kembali senjata Anda yang Anda pertarungkan siang dan malam, sehingga mengganggu ketenteraman sorga. Para dewa pun pada memprotes kejadian itu; namun Anda berdua tidak peduli.



Bahkan Anda berdua



melanjutkan pertarungan Anda dengan berpacu mencari ujung dan pangkal Lingga Siva yang muncul dan lenyap secara tiba-tiba di hadapan Anda berdua. Oleh karena itu, sebagai sanksinya bahwa sejak saat ini Anda berdua beserta pengikut Anda harus turut memuja Siva pada Sivaratri (Malam Siva).



8.1.2



Kebesaran Sivaratri



Dalam



Sivaratrimahatmya



dan



Padmapurana



Sivaratri mempunyai makna dan keajaiban



disebutkan bahwa



yang sangat hebat. Dalam



Sivaratrimahaatmaya diceritakan bahwa Sukumara, putra seorang Brahmana terkenal dan terhormat di kerajaan Kunjara, di tepi sungai Sindhu. Sukumara



104 mempunyai tiga dosa yang sangat besar, yaitu: (1) ia tidak mau mempelajari Veda; (2) ia (Sukumara) kawin dengan seorang wanita candala, dan (3) terakhir ia mengawini putrinya sendiri. Namun, karena ia pernah mengikuti upacara pemujaan pada hari Sivaratri di pura Nagesvara, maka atmannya kemudian diterima oleh Siva di Sivaloka. Dalam Padmapurana diceritakan bahwa Nisada sebagai pemburu. Kemudian Mpu Tanakung menyadur cerita itu dalam bentuk kakawin, dengan judul Sivaratrikalpa. Tokoh utamanya adalah Lubdhaka. Cerita ini sangat populer di Indonesia. Luar biasa keberhasilan karya sastra tradisional gubahan Mpu Tanakung itu (Dalam Padmapurana kata 'lubdhaka' dipakai hanya dua kali, dalam arti 'pemburu', bukan sebagai nama seorang tokoh). Mpu Tanakung menyebutkan bahwa Lubdhaka adalah seorang pemburu dari suku terasing Nisada. Mpu Tanakung menceritakan bahwa Sivaratri telah diajarkan untuk diperingat sejak zaman purba. Namun, kemudian tidak dirayakan lagi, bahkan para dewa pun telah melupakannya. Hanya Lubdhaka yang merayakannya saat 'malam Siva' (Sivaratri) itu, walaupun dalam keadaan tidak sengaja dan tidak sadar. Oleh karena itu, diumumkan klembali kepada masyarakat dan para dewa, agar masyarakat dan



para



dewa, agar



merayakannya



kembali,



Demikianlah, sejak saat itu Sivaratri dibudayakan kembali, hingga saat kini.



8.1.3



Makna dan hakikatnya



Mengacu kepada Sivaratrikalpa, dijelaskan bahwa Lubdhaka adalah seorang pemburu, yang jelas pekerjaannya membunuhi binatang-binatang buruannya. Dalam agama Hindu, pekerjaan seperti itu sangat rendah disebut papa, hina. Dalam lontar itu diceritakan bahwa Lubdhaka pada saat Sivaratri telah melakukan pajagran (tidak tidur). Istilah 'jagra' sering diganti dengan 'tan aturu, tan mrema, atanghi, atutur yang artinya tidak tidur. Konsep ajaran Siva (Vrehaspatitattva), dijelaskan bahwa manusia yang dibelenggu oleh indrianya



105 (raga) diibaratkan seperti orang yang sedang aturu (tidur). Selanjutnya, manusia yang selalu aturu itu disebut papa. Bagaimana konsep manusia papa bebas dari papaneraka? Kalau sang atma menyadari jati dirinya (... yan matutur ikang atma ri jatinya). Untuk itu ajaran tentang brata (vrata): mona brata, pavasa, dan jagra seyogyanya dilaksanakan pada saat Sivaratri. Dilandasi dengan trivrata itu dilakukan pemujaan dan pemusatan pikiran (meditasi/samadhi) terhadap Siva/Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Adapun pelaksanaan trivrata itu dilaksanakan sejak subuh saat Sivaratri sampai subuh/sore keesokan harinya. Tentu sangat tergantung pada kemampuan masing-masing. Kemudian pada saat tilem (bulan mati/gelap), jika dilakukan berdana punya(danapunya), sangat mulia pahalanya.Jadi, pada hakikatnya ajaran Sivaratri merupakan usaha manusia untuk membebaskan dirinya dari belenggu yang mencekamnya sehingga terbenam dalam papaneraka yang bergelimangan berbagai noda, dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi atau trivrata. Kesimpulannya, dengan penyucian pikiran akan terwujud ucapan dan tindakan suci menuju kebahagiaan lahir batin.



8.1.4



Pelaksanaannya



Secara bersama dapat dilakukan di sebuah lokasi (pura atau tempat yang cocok). Jika sendirian dapat dilakukan di rumah, bersama keluarga. Tingkatan perlu diperhatikan. Hal itu telah biasa diterapkan sejak lama. Pelaksanaan



dan pembudayaannya baru dimulai sekitar tahun 60-an.



Sebelumnya hanya dilakukan oleh para pandita/sulinggih. Sedangkan di Lombok (Mataram) saat itu yang dipopulerkan hanyalah jagra-nya. Jika



di pura dilaksanakan, tentu tidak



terlepas



dari upacara



persembahyangannya dilengkapi dengan sarana selengkapnya. Hal itu pasti bervariasi juga. Misalnya,



di



India caranya seperti seperti India juga.



Sedangkan di Indonesia, Parisada telah mengenalkan pola tertentu juga,



106 seperti Indonesia.



8.2



Hari Nyepi / Tahun Baru Saka



Hari Raya Nyepi dirayakan sebagai hari suci bagi umat Hindu di Indonesia, yang biasanya jatuh pada bulan Maret atau April sehari setelah tilem (bulan gelap/mati: tanggal pisan). Pada saat itu, mulai pergantian tahun Saka, sehingga pantas juga disebut tahun baru Saka, walaupun belum biasa, bagi umat Hindu di Indonesia. Namun, bagi umat Hindu masa kini, mereka sudah membiasakan dirinya di samping merayakan Nyepi secara tradisional, mereka juga memanfaatkan saat itu seperti merayakan tahun baru Masehi, saling mengirimkan kartu dan telegram indah, bahkan sms (short messages system). Tentu saja kelak cara dan kebiasaan itu akan mentradisi juga, seperti halnya pengadaan dharmasanti (semacam halal-bihalal), yang telah ditetapkan oleh Parisada sebagai salah satu hasil keputusan mahasabha (kongres besar). Acara itu kini kian membudaya, apalagi setelah Hari Raya Nyepi dinyatakan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah. Mengingat Hari Raya Nyepi merupakan perayaan Tahun Baru Saka, maka sebelum diuraikan hal-hal yang berhubungan dengan Hari Raya Nyepi itu, terlebih dahulu diuraikan sejarah pendirian tahun Saka itu sendiri, yang bermula di India. Jika demikian, Raja Kanishka dari dinasti Kushana yang sangat berhubungan dengan pendirian tahun Saka tersebut.



8.2.1



Kushana



Kira-kira pada dekade keempat abad kedua sebelum Masehi --biasanya tahun yang diterima oleh kebanyakan para indologist/indolog adalah 165 SM -Hiung-nu, sebuah suku nnomad Turki, menang mutlak terhadap Yueh-chi, tetangga mereka di Kan-su di sebelah barat laut (north-western) China.Dengan kekalahan itu, bangsa Yueh-chi yang dipimpin oleh rajanya, terpaksa harus meninggalkan negerinya, sambil membawa sanak keluarga dan harta benda yang



107 dapat diselamatan. Dalam migrasi ke arah barat, The Yueh-chi harus berhadapan dengan bangsa Wu-sun di tepi sungai Ili. Dalam pertempuran itu, ternyata Yuehchi dapat mengalakan dan mengusir bangsa Wu-sun, bahkan berhasil membunuh raja / pemimpin Wu-sun, yang bernama Nan-teou-mi. Bangsa Yueh-chi menguasai seluruh wilayah bangsa Wu-sun. Namun, tidak berapa lama kemudian, di daerah itu juga, bangsa Yueh-chi pecah menjadi dua seksi. Satu divisi terus melanjutkan perjalanannya ke arah selatan dan kemudian menetap di daerha perbatasan Tibet, yang kemudian dikenal dengan sebutan Yueh-chi Kecil



(Siao



yueh-chi).



Sedangkan



divisi



besarnya,



terus



melanjut-



kanperjalanannya dan berperang melawan bangsa Saka, (yang juga sudah terdesak dari daerah asalnya di utara Jaxartes. Namun demikian, bangsa Yueh-chi tidak lama tinggal didaerah talukannya, sebab kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Kwen-mo putra raja suku bangsa Wu-sun, yang dahulu dibunuh oleh Yueh-chi. Kwen-mo datang menyerang mrbalas dendam dengan bantuan Hiung-nu pada tahun 140 SM. Oleh karena kekalahan itu, bangsa Yueh-chi kemudian melanjutkan perjalannya/pengembaraannya menuju lembah Oxus. Di lembah itu, Yueh-chi harus berhadapan dengan kaum Tahia (Bactrian) yang bermukim di lembah itu, yang terkenal makmur dan pencinta damai. Peperangan pun terjadi, dengan diakhiri oleh kemenangan Yueh-chi terhadap kaum Tahia yang terkenal pencinta damai itu. Secara bertahap bangsa Yueh-chi dapat menguasai Bactria dan Sogdiana. Kemudian pada



awal abad Masehi mereka mulai menanggalakan



kebiasaan nomadiknya. Mereka mulai menjalani cara hidup baru yakni menetap di daerah yang dikuasainya itu. Di situ bangsa Yueh-chi terbagi menjadi lima grup / kelompok: Hieu-mi, Chouang-mo, Kouei-Chouang, Hithun, dan Kao-fu. Selanjutnya, kira-kira satu abad setelah pembagian kelompok itu, the Yabghu atau Yavuga dari



kelompok



Kouei-Chouang



(Kushana) dapat



mengalahkan keempat kelompok lainnya, dan berhasil dipersatukan kembali di



108 bawah satu kerajaan dengan nama K'ieou-tsieouk'io. Raja ini (Wang), kemudian oleh para sarjana diidentasikan sebagai Kujula Kadphises. Pendapat itu berdasarkan coin-coin yang memberi informasi tentang raja tersebut. Raja Kujula Kadphises akhirnya dapat memperkuat pengaruhnya di kawasan itu, pada saat melemahnya kejayaan dan pengaruh Yunani di lembah Kabul. Beberapa koin memiliki nama Kujula Kasa dalam bahasa Kharosthi dan Kozoulo Kadaphes dalam bahasa Yunani atau kadang-kadang Hermaeus. Karena itu, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kedua raja itu bersatu, dan mungkin untuk menahan kekuatan Pahlava. Namun, secara perlahan-lahan akhirnya Kushana berhasil dapat menguasai daerah kekuasaan Yunani di daerah Kabul. Kemudian Kujula Kadphises menyerang Parthia, mengalahkan Kipin (mungkin Gandhara), dan bagian selatan Afganisthan. Dia juga pasti berhasil meraih kemenangan itu pada akhir-akhir masa hidupnya, setelah kematian Gondophernes, yang menguasai Peshawar pada tahun 45 M menurut prasasti Takht-i-Bahi. Para penulis China mengatakan, bahwa Kujula Kadphises hidup sampai berumur 80 tahun. Jadi dari sini kita bisa mengambil tahun kematiannya pada kira-kira pertengahan tida perempat abada kesatu Masehi.



8.2.2 Vima Kadphises



Melalui



para



sejarawan China, dapat



diketahui



bahwa Kujula



Kadphises kemudian diganti oleh putranya, bernama Yen-kao-chen. Nama raja itu kemudian diidentitaskan sebagai"Raja Besar Uviama Kavthisa" atau Oemo atau wema atau Vima Kadphises, yang tertera pada koin-koin. Dia dikenal karena penaklukkannya atas India (T'ien-tchieou). Tetapi mungkin juga hal itu tidak benar seadainya kita mengambil dari hasil literatur. Namun, dari penyebaran koin-koin yang begitu sangat luas, dan mengambil landasan arti titel-titelnya "raja besar, raja di raja, raja semua manusia", dan sebagainya, menunjukkan bahwa kekuasaannya sampai bagian timur lembah Indus dan sampai ke Punjab dan kemungkinan samapai ke United Provinces. Dia



109 memerintah daerahnya di India, melalui seorang Viceroy, yang memproduksi banyak koin tembaga, yang dikenal sebagai koin-koin "Nameless king", yang banyak ditemukan di India Utara. Tampak pula penggunaan istilah Mahesvara dan Nandi, dan juga gambar Siva pada koin-koinnya. Vima Kadphises itu pasti menganut Siva. Jadi



terlihat jelas bagaimana cepatnya kaum Kushana



mengadaptasikan dirinya pada lingkungan Hindu mereka.



8.2.3



Kanishka



Sesungguhnya tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa



Kanishka adalah



sosok raja yang paling besar di antara raja- raja Kushana India. Kanishka adalah seorang raja penakluk dan pelindung yang sangat besar. Dia mampu mengombinasikan kemampuan militer Candragupta Maurya dan kesadaran keagamaan Asoka pada dirinya. Namun, sebenarnya pegetahuan kita tentang Kanishka dan kronologinya, masih merupakan teka-teki bagi kita. Kita belum mengetahui



dengan



pasti



hubungannya



dengan



Vima



Kadphises.



Kemungkinan akan adanya gap sedikit antara kedua raja itu, tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Namun, pergantian langsung mungkin yang banyak diterima. Koin-koin Kanishka dan Vima Kadphises ditemukan bersamasama di beberapa tempat, seperti di Benares, Gopalpur Stupa di distrik Gorakhpur, Begram dekat Kabul. Bentuk dan berat koin-koin tersebut ternyata sama. Jadi, bukti numismaticnya dan stratifikasi penanggalan-penanggalan koin Taxila menunjukkan zamannya Kanishka sangat berdekatan dengan Vima Kadphises, dan yang pasti dia adalah pengganti Vima Kadphises.



8.2.3.1 Tahun Saka Mengenai tahun pergantian antara Vima Kadphises dengan Kanishka, terdapat beberapa pendapat sarjana. Namun, tahun pergantian tahtanya, pilihan jatuh pada tahun 78 M dan 125 M. Walaupun ada beberapa tahun-tahun lainnya yang disarankan oleh beberapa sarjana lainnya (R.C. Majumdar 248 M, Fleet 58



110 SM, R.G. Bhandarkhar 278 M). Kita tidak perlu membicarakan dasar perbedaan pemikiran mereka di sini. Hampir semua sarjana indologi berpendapat bahwa, sesungguhnya Kanishkalah sebagai pendiri era 78 M. Hal itu tidak dapat diragukan lagi, bahwa Kanishka mendirikan satu era, sejak cara penghitungannya dilanjutkan oleh para penggantinya. Kita tidak mengetahui satu pun Samvat, yang berlaku di India Utara, yang mulai pada akhir perempat pertama abad kedua Masehi. Tahun 78 M itu biasanya diterima sebagai tahun Kanishka naik tahta. Di samping, seandainya Kujula Kadphises wafat pada pertengahan perempat ketiga abad pertama Masehi. Kalau begitu pasti Kanishka dekat sekali dengan tahun itu, sebab Vima Kadphises naik tahta sebagai seorang octogenerian. Jadi, dia pasti memerintah dalam waktu yang sangat pendek.



8.2.3.2 Penaklukannya Kanishka adalah seorang prajurit yang sangat gagah perkasa dan berhasil menang dalam banyak peperangan. Dia mengambil alih Kashmir dan memasukkan ke dalam wilayahnya, kerajaan kushana. Dia sangat menyukai daerah Kashmir yang baru ditaklukkannya itu. Kalau kita mempercayai tulisan-tulisan para sejarawan China dan Tibet, maka kita akan melihat bahwa kekuasaannya mencapai Saketa dan Magadha. Dari sana dia berhasil membawa lari Bikkhu Buddha yang amat terkenal bernama Asvaghosa. Selain itu juga disebutkan bahwa Kanishka berhasil memukul mundur serangan yang dilakukan oleh raja bangsa Parthian. Tetapi tindakannya yang paling penting adalah dengan banggsa China. Tindakannya itu membuahkan hasil penanklukkannya atas Kashgar, Khotan, dan Yarkand. Bangsa China yang kekuasaannya di Asia Tengah melemah pada akhir dinasti Han pertama tahun 23 M. Namun,



mereka bangkit kembali setengah abad



kemudian, dan



melakukan gerakan yang sangat mantap ke arah barat di bawah pimpinan Jendral Pan-chao. Hal itu tentu saja mengusik raja Kanishka. Raja Kanishka merasa bahwa kedudukannya sama dengan Kaisar China. Karena itu, ia



111 meminta seorang putri China untuk dijadikan istrinya dan dia minta diakui sebagai seorang raja yang bertitel Devaputra. Tetapi sebaliknya Pan-chao menganggap permintaan itu sebagai penghinaan terhadap tuannya, Kaisar China. Maka Pan-chao pun menahan utusan Kushana itu. Dengan tindakan penahanan utusan tersebut, Kanishka lalu menyeberangi Pamir untuk menggempur Pan-chao. Namun, sayang dalam peperangan tersebut, Kanishka ternyata mengalami beberapa kali kekalahan. Akhirnya Kanishka minta diadakan perdamaian, namun dia harus membayar upeti kepada kaisar China. Beberapa tahun kemudian, Kanishka kembalimenyeberangi Pamir, dan ternyata dalam peperangan saat itu dia menang, dengan mengalahkan Panyang, putra Pan-chao. Beberapa sumber mengatakan,



bahwa



Kanishka



menuntut beberapa orang China sebagai sandera. Salah satu sanderanya adalah putra kaisar China sendiri. Tetapi hal itu sulit untuk diterima akal. Namun, kita diberi tahu bahwa sandrea-sandera itu diperlakukan dengan perlakuan yang sangat terhormat. Pengaturan khusus dilakukan untuk tempat tinggal para sandera di monasteri She-lo-ka di Kapisa (Kafiristan), Gandhara, dan di sebuah tempat lagi bernama Chinabhukti di Punjab Timur. Dikatakan bahwa di sana mereka memperkenalkan the peach and pear.



8.2.3.3 Dominasi Kanishka Kanishka memerintah sebuah kerajaan sangat luas. Di luar India jelas dia menguasai:



Afganistan, bactria,



Kashgar,



Khotan, dan Yarkand.



Sedangkan kekuasaannya di India sulit dicari batas-batasnya. Prasasti-prasasti pemerintahan Kanishka telah ditemukan di beberapa tempat seperti:



di



Peshawar, Manikyala (dekat Rawalpindi), Sui Vihar (Bahawalpur State), Zeda (dekat Und), Mathura, Sravasti, Kosambi, Sarnath. Sedangkan koin-koinnya ditemukan di seluruh India Utara, termasuk Bihar dan Bengal. Jadi, berdasarkan penemuan-penemuan benda-benda bersejarah itu, jelaslah bahwa kekuasaan Kanishka di India terdiri dari: Punjab, Kashmir, Sind, United Provinces, dan mungkin juga beberapa negara jauh ke timur dan



112 selatan.



8.2.3.4 Ibu kotanya Menurut para sarjana sejarah, bahwa ibu kota negeri yang mempunyai batas kekuasaan yang sangat luas itu adalah Purushapura atau Peshavar. Negara itu menguasai rute utama, yang terbentang dari Afganistan sampai lembahlembah Indus. Jadi, terletak di tempat yang sangat strategis.



8.2.3.5 Satrap-satrapnya Mengenai administrasi Kanishka, sangat sedikit yang dapat kita ketahui. Misalnya, prasasti Sarnath yang berangka tahun 3 atau 81 M, namun dengan dasar itu kita sedikit sekali memiliki pengetahuan tentang sistem satrapanya di propinsi-propinsi.



Kharapallana



adalah



mahasatrapanya,



kemungkinan besar dia berkedudukan di Mathura. Vanaspara memerintah di daerah timur Benares, sebagai seorang ksatrapa



8.2.3.6 Karya-karya Kanishka Seperti halnya raja asoka, Kanishka adalah pembangun stupa-stupa dan bangunan-bangunan yang hebat. Dia membuat sebuah monasteri dan menara dari kayu yang sangat besar di ibu kotanya. Di menara itu disimpan relik-relik Sang Buddha. beberapa tahun yang lalu, sebuah peti berisi tulangtulang ditemukan di sana. Prasasti di dalamnya memberikan informasi yang sangat menarik kepada kita, yang mengatakan bahwa stupatersebut didirikan atas pengawasan seorang arsitek Yunani, bernama Agisala atau Agesilaos. Kanishka membangun sebuah kota di dekat Taxila, dan Kanishkapura yang disebut-sebut di dalam kitab Rajataranginimungkin juga didirikan olehnya.



113 8.2.3.7 Agamanya Berdasarkan koin-koin yang ditemukan, tidak mampu memberikan penjelasan yang pasti tentang agama yang dianut oleh Kanishka. Kalau pun mereka memberikan bukti, hanya pada eclecticism-nya



saja



(sistem



filsafatnya), kecenderungan untuk menghormati gabungan dewa-dewa Yunani, Mitraic, Zoroastrian, dan Hindu. (Atau mungkin dewa-dewa yang tertera pada koin-koinnya itu hanya menunjukkan berbagai bentuk kepercayaan yang dianut di kerajaan Kanishka yang memang sangat luas itu :Prof. Tripathi). Pada koin-koinnya banyak kita temui figure-figure dewa-dewa Yunani itu: Herakles, Serapis, Matahari dan Bulan dengan nama Yunaninya Helios dan Selene, Miiro (matahari), Athro (Api), Nanaia, Siva dan sebagainya. Selain itu, kita temukan juga Buddha, duduk dengan cara India dan kadang-kadang berdiri dengan pakaian Yunani. Penulis-penulis Buddhist sangat kuat mengatakan, bahwa agamanya Kanishka adalah Buddha. Mereka mengatakan seperti halnya Asoka, Kanishka memeluk Buddhism,



setelah



perasaan penyesalan yang luar biasa atas



kekejamannya terhadap musuh-musuhnya. Tanpa



diragukan lagi, tujuan utama cerita



ini



adalah untuk



menekankan pengaruh Buddhism terhadap seseorang, pengaruh yang bahkan dapat mengubah besi biasa menjadi emas berkilau, namun tidak ada keraguan bagi para indologist untuk tidak mempercayai terjadi conversion pada diri kanishka. Pengabdiannya terhadap relik-relik Sang Buddha di satu tempat yang luar biasa indah dan terhormatnya serta prakarsa pengadaan Buddhist Council ke empat yang amat besar dan bersejarah, menambah point akan bukti agama yang dianutnya.



8.2.3.8 Buddhist council IV Pemerintahan Kanishka adalah periode yang sangat penting bagi sejarah agama Buddha. Kita ketahui, karena merasa bingung atas studi theologinya, dia atas persetujuan Parsvika atau Parsva, mengadakan satu council 500 bikkhu



114 (mahasangha), terdiri dari Sarvastivadin school, untuk memecahkan doktrindoktrin yang berselisih. Konperensi



Buddhist



yang besar



itu



(Mahasabha)



diadakan di



Kundalavana di lembah Kashmir yang indah - menurut Yuan Chwang (ada catatan China lainnya yang mengatakan di Gandhara, dan yang lain di Jalandhar), semua kegiatan diarahkan oleh Vasumitra. Seandainya dia absent Asvaghosa bertindak sebagai presiden.



Jerih payah mereka menghasilkan kitab Vibhasa



sastra dan beberapa komentari-komentari lainnya atas kitab Tripitaka. Dikatakan semua itu ditulis di atas lempengan-lempengan tembaga merah dan setelah disegel, ditaruh di sebuah stupa yang khusus dibangun untuk itu. Siapa tahu dokumen-dokumen yang sangat tak ternilai harganya itu, yang masih terkubur di sana, satu saat ditemukan kembali.



8.2.3.9 Kebangkitan Mahayana Munculnya sang Buddha bersama-sama dengan dewa-dewa lain pada koin-koinnya Kanishka, jelas sekali menunjukkan bahwa buddhism sudah bergerak jauh berbeda



dari



Buddhism awal.



Sedang



Buddhism awal



menganggap Sang Buddha hanya sebagai seorang manusia, pandu dalam mengarungi kehidupan ini. Sekarang Sang Buddha diangkat pada posisi dewa, tempat pemujanya untuk memohon dan dikelilingi oleh para Boddhisattva dan para dwa lainnya. Hal itu mengarah kepada penanaman doktrin salvation (pembebasan) dengan jalan faith (keyakinan) kepada sang Buddha. Bentukbentuk upacara juga muncul dalam bentuk baru Buddhism ini. Bentuk baru Buddhism ini disebut mahayana. Namun, ada bukti-bukti bahwa mahayana sudah muncul jauh seelum periodenya Kanishka. Mungkin itu berawal dari elemen bhakti yang masuk pada tubuh Buddhism, atau pada waktu Buddhism menyebar pada masyarakat luas. Tentu saja diperlukan bentuk yang lebih catholic untuk menggantikan idealism hinayana yang terasa dingin bagi massa yang sulit berdampingan



115 dengan konsep bhakti dan pemujaan mereka.



8.2.3.10 Gandhara art Aliran baru menemukan ekspresi pada corak art (seni) yang berbeda. Pada seni pahat Buddhism awal, seperti yang kita ketahui dari peninggalanpeninggalan di Sanchi dan Bharhut, menggambarkan cerita-cerita yang diambil dari kitab Jataka dan cerita-cerita lainnya yang berhubungan dengan Sang Buddha. Namun, Sang Buddha sendiri tidak pernah dipahat di atas batu-batu itu. Kehadirannya hanya diindikasikan dalam simbol-simbol, seperti berbentuk telapak kaki, pohon boddhi, kursi kosong, atau payung. Pada periode ini sang Buddha menjadi subjek yang paling favourite bagi pahat-pahat seniman patung. Sebagian besar dari jenis ini ditemukan di gandhara; yang dijadikan pusatnya adalah Purusapura (Peshavar), art ini dinamai Gandharan oleh para indologist yang diambil dari nama daerahnya. Namun kadang-kadang disebut juga dengan lebel Graeco-Buddhist atau Indo-Hellenic, karena bentukbentuk Yunani (Greek) dan teknik yang dipakai pada subjek-subjek yang diambil dari Buddhism baru. Jadi



pengaturan hiasan dan pakaian



mengikuti



contoh-contoh



Hellenistic, dan untuk menggambarkan Sang Buddha, para seniman begitu bebas sehingga citra-citra Sang Buddha kadang-kadang begitu mirip dengan Apollo. Kemudian figure Sang Buddha disamakan, dan menjadi pola yang diterima di mana-mana. dari sini kitamengetahui bagaimana



besarnya



pengaruh Gandhara art pada seni (art) di Mathura dan Amaravati.



8.2.3.11 Istana Kanishka Menurut tradisi, istana Kanishka dilengkapi dengan sekumpulan kaum intelektual tinggi dan tokoh-tokoh Buddhist seperti Parsva, Vasumitra, Asvaghosa, Nagarjuna, Caraka, Matriceta dan lain-lainnya. Tiga orang



116 pertama



dikatakan ikut



terjun dalam perguruan Buddhist



councilnya



Kanishka. sisanya agak diragukan apakah mereka contemporarnya Kanishka.



8.2.3.12 Mangkatnya Kanishka Dikatakan bahwa Kanishka mangkat dengan cara yang menyedihkan di Utara ditangan orang-orangnya sendiri yang sudah merasa sangat lelah atas perang yang terus-menerus diadakan. Dia memerintah kira-kira selama 23 tahun. tetapi seandainya dia identical dengan Kanishka dari prasasti Ara, berarti tahun terakhirnya yang kita ketahui adalah tahun ke 41 ( 78 + 41 = 119 M ). Patung tanpa kepala raja besar ini ditemukan di Mat distrik Mathura, dan merupakan salah satu reliknya yang paling nyata. Jadi, dari uraian itu semua, tahun saka merupakan tahun penobatannya Kanishka menjadi raja, yaitu pada tahun 78 M. Mengapa tahun itu lebih dikenal dengan nama tahun Saka, dan bukan tahun Kanishka? Pada hal bangsa Saka merupakan salah satu suku bangsa yang menjadi jajahan Kanishka. Hal itu disebabkan, bahwa suku bangsa Saka yang menyebarluaskan tahun itu, sehingga disebut tahun Saka. Menurut tradisi, tahun Saka didirikan oleh seorang raja dari kaum Saka, yang menguasai Ujjaini 137 tahun setelah Vikramaditya. Namun, sebagian besar para indologist berpendapat, bahwa tahun / era Saka itu didirikan oleh Kanishka, dan yang pasti digunakan pada awl-awal abad ke-2 Masehi oleh "western satraps", yang menguasai Malva, Kathiavar, dan Gujarat. Kemudian penggunaan tahun Saka itu tersebar ke Deccan dan dieksport ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Nusantara). Sampai sekarang, tahun Buddha (544 SM), tahun Mahavira (528 SM), dan tahun Saka (78 M), masih



dipergunakan



tahun/kalender).



untuk



memperingati



keagamaan



(lihat



tentang



117



8.2.4



Methologi Raja Aji Saka



Menurut tradisi Indonesia,



pada abad pertama Masehi, datanglah



seorang raja bernama Raja Haji Saka dengan beberapa pengiringnya. Rombongannya mendarat di pantai utara Jawa Barat, tepatnya di pantai Banten. Dua orang patihnya bernama Dhora dan Dhira yang sangat dipercaya oleh raja, karena kesetiaan dan baktinya kepada raja. Setelah cukup beristirahat, raja Aji Saka akan meruskan perjalannya ke arah timur. Raja memerintahkan Dhora agar tetap tinggal di wilayah Banten. Sebelum keberangkatannya, raja menitipkan keris saktinya kepada dhora. Raja berpesan, bahwa Dhora harus menjaga dan mepertahankan keris itu dengan mati-matian. Siapa pun yang memintanya agar tidak boleh diberikan, walaupun dia mengaku atas nama raja. Sang Patih (pertama) dengan sangat bakti dan setia mengiakan segala perintah raja itu. Kemudian, Raja Aji Saka



berangkatlah menuju ke timur diiringkan



oleh patih (kedua) dengan sebagian pasukannya. Namun, setelah sampai di tempat tujuan, terjadilah mara bahaya yang tidak dapat dielakkan, tanpa menggunakan kesris saktinya itu. Menyadari akan bahaya yang mengancam itu, raja memeritahkan patih (kedua) kembali ke barat, untuk minta keris raja yang sangat sakti itu. Sedangkan raja Aji Saka, dengan pasukannya menunggu di wilayah yang baru diduduki itu. Sang Patih II, dengan sigap dan cepat kembali ke barat. Tiada berapa lama, sampailah Patih II di tempat pendudukan pertama. Ia segera menemui Sang Patih I, untuk meminta keris sakti itu, atas perntah raja. Namun, Patih I tidak akan memberikan keris tersebut, karena ia sangat patuh dan setia terhadap perintah rajanya. Atas tindakan Patih I itu, maka Patih II pun sangat tersinggung, karena ia tida dipercaya. Maka terjadilah perang mulut, yang dilanjutkan dengan perkelahian yang sangat sengit, seperti pertempuran antara dua orang yang bermusuhan. Salah satu tak ada yang mau mengalah. Akhirnya, perkelahian perebutan keris



118 sakti atas perintah rajanya itu, diakhiri dengan kematian kedua-duanya. Patih I setia mempertahankan keris itu, sedangkan Patih II setia meminta keris itu. Keduanya atas perintah raja. Dan keduanya sangat patuh dan setia kepada rajanya. Sementara itu, Raja Aji Saka tersentak dan sadar. bahwa kedua perintahnya sangat bertentangan dan pasti akan menimbulkan bahaya. Maka raja pun segera balik ke barat, namun sudah terlambat. Ditemukannya kedua patihnya yang gagah perkasa itu telah tergeletak menjadi mayat. Mereka gugur keduanya dengan penuh keperkasaannya, yang diakibatkan



oleh



kkhilafan raja sendiri. Raja pun sangatsedih dan menyesali tindakannya. Kemudia sebagai penghargaan dan penghormatannya kepada kedua patihnya, raja menulis aksara Jawa dengan keris itu di batang pohon kayu. Aksara Jawa yang ditulis itu, kemudian terkenal sampai saat sekarang. Adapun aksara itu sebagai berikut: ha, na, ca, ra, ka, dha, tha, sa, wa, la, ma, ga, ba, ta, nga,pa, da, ja, ya, nya. Atas dasar itu, mulailah tahun Saka dikenal di Indonesia berikut 20 aksara tersebut.Mitologi itu cukup terkenal dalam pustaka Jawa, yang dianggap



sebagai



pembawa



dan



mulainya



berlaku



tahun



Saka



di



nusantara.Menurut tradisi, bahwa tahun Saka sampai tersebar di Nusantara / Indonesia, dibawa oleh Raja Aji Saka. Namun, dari kedua sumber tersebut, dapat disimpulkan bahwa tahun Saka disebarluaskan dari Deccan ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara / Indonesia. Cara masuknya agama dan kebudayaan Hindu ke Nusantara, ada berbagai teori dan



metoda: bramana, ksatria,



dan waisya. Namun,



sesungguhnya yang paling disetujui adalah dengan cara, adanya beberapa orang Indonesia datang ke India, melalui perdagangan dan mereka belajar di sana (Gujarat), dan kemudian mereka menyebarkan dan mengembangkannya di Nusantara. Dengan demikian, kebudayaan dan agama Hindu bisa tersebar secara meluas di seluruh Nusantara. Bersamaan dengan itu, awal-awal abad I Masehi, terbawa juga sistem tahun Saka itu. Bukti itu dapat ditemukan pada beberapa prasasti yang tertua



119 sampai dengan prasasti yang termuda, ternyata memekai tahun Saka atau Isaka Warsa. Dasar perhitungannya pun disesuaikan dengan sistem yang dipakai di India. Bahkan nama bulan-bulannya pun diambil dari India: (1) Sravana (sasih kasa), (2) Bhadrapada (sasih karo), (3) Asvina (sasih katiga), (4) Kartika (sasih kapat), (5) Marghasira (sasih kalima), (6) Pausa (sasih kanem), (7) Magha (sasih (kapitu), (8) Phalguna (sasih kawolu), (9) Chaitra (sasih kasanga), (10) Vaisakha (sasih kadasa), (11) Jyesta (sasih jyesta /kajyseta), dan (12) Asadha (sasih sada /kasada) (lihat tentang tahun/era).



8.2..5 Rangkaian Perayaan / Upacara Hari Raya Nyepi



Berdasarkan prasasti-prasasti tersebut, jelas bahwa tahun Saka telah membudaya pemakaiannya di Nusantara. Pergantian tahun Saka itu, diperingati dan dirayakan berdasarkan upacara dan filsafat hidup dan agama yang dimiliki dan dihayati oleh umat Hindu di Nusantara pada saat itu. Pekasanaan rangkaian upacara itu, merupakan tradisi atau sadacara yang kemudian diwariskan kepada generasi-generasi



berikutnya.



Dalam



proses pelembagaan upacara itu,



bertumbuh kembang dengan mengalami penambahan dan pengurangan serta penyesesuaian dengan masyarakat pendukung berikutnya. Dengan demikian, pada setiap pergantian tahun Saka itu, diadakan upacara yadnya, terutama menjelang pergantian tahun, atau tepat pada akhir tutup tahun Saka. Sedangkan pada saat tanggal satu atau tahun barunya, dirayakan dengan keadaan yang sepi, hening, tanpa adanya suara dan kegiatan apa pun. Untuk lebih jelasnya, berikut akan diuraikan tentang rangkaian upacara dan perayaan yang dilakukan pada saat pergantian tahun Saka itu, yakni: (1) upacara makiis atau melis, malelasti, (2) upacara bhuta yadnya, (3) sipeng atau penyepian, dan (4) ngembak api



120



8.2.5.1 Upacara makiis Beberapa hari (biasanya tiga hari) sebelum upacara bhuta yadnya, diadakan upacara melis, atau makiis,malelasti, yaitu suatu upacara prosesi ke laut, (ke sungai, ke danau, bagi masyarakat jauh di pedalaman). Upacara itu bertujuan untuk membersihkan diri, segala perlengkapan dan sarana upacara keagamaan, termasuk arca, pratima, pralingga dan sebagainya. Di samping itu, upacara makiis juga bertujuan untuk mengambil tirtha amertha (air suci kehidupan), yang menurut metologi terdapat di tengah



samudera.(Bandingkan



dengan



cerita



Navaruci,



pemutaran



girimandara dalam ksirarnava). Seluruh masyarakat Hindu secara bersamaan mengadakan pamelisan atau upacara melis itu di manapun mereka berada. Dengan melaksanakan upacara melelasti itu, diharapkan sempurnalah penyucian dan pembersihan lahir batin, beserta seluruh perlengkapan dan sarana keagamaan itu. Prosesi atau iring-iringan tersebut, sungguh sangat semarak dan indah, dengan diiringi suara gamelan blaganjur, atau jenis gamelan lainnya. Makin banyak jumlah anggota masyarakat Hindu setempat, makin ramai dan panjang prosesi tersebut. (Tetapi kini, ada beberapa masyarakat dalam melaksanakan upacara mekiis itu, dengan memakai kendaraan: bus, truk dan sebagainya).



8.2.5.2 Upacara bhuta yadnya Setelah upacara makiis, melis, malelasti itu dilaksanakan,



maka



menyusul rangkaian upacara yang kedua, yaitu upacara bhuta yadnya atau lengkapnya upacara bhuta yadnya tawur kasanga. Pelaksanaan upacara itu biasa juga dikenal dengan namamacaru (qurban). Jenis dan tingkatan pacaruan itu



cukup banyak, sehingga masyarakat yang bersangkutan



bermusyawarah untuk memilihnya satu bentuk di antara jenis bentuk yang ada.



121 Namun, biasanya Parisada Hindu Dharma Pusat Indonesia, sebagai majelis agama Hindu, jauh-jauh sebelum menjelang hari Nyepi itu, telah menyebarluaskan pedoman dan petunjuk rangkaian upacar Nyepi tersebut. Hal itu



sudah



termasuk jenis



caru



yang seyogianya



dilaksanakan



oleh



masyarakat dengan tetap mempedomani dan berpegang pada desa, kala, dan patra. Adapun jenis pacaruan itu, disusun bertingat-tingakat: tingkat propinsi, kabupaten, kacamatan, desa, banjar, dan keluarga di rumah masing-masing. Dengan adanya pedoman



itu, masyarakat



tidak



ragu-ragu



lagi



untuk



melaksanakannya. Menurut tradisi, biasanya upacara pacaruan tawur kasanga itu dilakukan di setiap perempatan jalan terbesar bagi desa tersebut. Namun,



di



luar Bali,



masyarakat



Hindu



melaksanakan upcara



pacaruan itu, di halaman depan pura setempat. Andai kata di tempat tersebut ada pura lebih dari buah, maka upacara pacaruan dipusakan di pura yang ditetapkan sebagai pusat; yang kemudian dilanjutkan upacara itu dilakukan di halaman pura lainnya yang berada di tempat itu. (Misalnya, masyarakat Hindu Jakarta,



melaksanakan



upcara



pacaruansecara tradisi yang disepakati



bersama, dilakukan di halaman pura Adityajaya Rawamangun. Kemudian dilanjutkan di setiap pura lainnya). Setelah selesai upacara pacaruan taur kasanga itu, setiap anggota masyarakat mendapat tirtha dan nasi caru itu untuk dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing. Sesampainya di rumah, mereka mengadakan upacara di halaman / natar rumah masing-masing, dilanjutkan dengan pangrupukan atau mebuu-buu. Kegiatan itu dilakukan dengan segenap anggota keluarga, dengan cara berkeliling rumah sambil menciperatkan air suci atau ngetisang tirtha, menyemburkan mesui yang dikunyah, menyalakan obor (sundih), memukul-mukul kaleng (blek) dengan riuh rendah dan gegap gempita. Setelah kegiatan /upacara pabuu-buuan, atau pangerupukan selesai, semua sisa peralatan upacara (tirtha, caru, dan sundih / prakpak), dibuang (dilebar) di depan



pintu



masuk halaman



rumah. Selanjutnya, seluruh



122 masyarakat /tetangga melakukan kegiatan ngocang (seperti suara menumbuk padi bertalu-talu pada ketungan /tempat menumbuk padai). Seluruh desa masyarakat Hindu dengan serentak melakukan kegiatan terebut, sehingga terdengan suara yang bukan main gaduh dan riuhnya, riuh pikuk, diselingi sorak-sorai, dan bunyi koncangan sampai malam. (Kegiatan seperti itu, mungkin hanya bisa dilakukan dengan sempurna di Bali, sedangkan di luar Bali pelaksanaannya di sesuaikan dengan keadaan setempat, desa, kala, dan patra). Sebagai catatan, akhir-akhir ini (dimulai sekitar tahun , di kalangan pemuda di Bali, membuat ogoh-ogoh, semacam patung dalam bentuk-bentuk mahluk yang



mengerikan, seperti: raksasa, monyet, naga, rangda, dan



sebagainya dalam ukuran besar. Ogoh-ogoh itu kemudian diarak keliling kota, desa diiringi suara gamelan blaganjuran dan sorak-sorai yang riuh rendah, hiruk pikuk, dan gegap gempita. Arak-arakan ogoh-ogog dan obor itu dilaksanakan sesaat setelah selesai upaca pacaruan taur kasanga. Kegiatan tambahan itu ternyata telah menjalar ke luar Bali, misalnya Jakarta, namun ogoh-ogoh itu hanya diarak di halaman pura saja. Jadi geraknya terbatas, disesuaikan dengan keadaan setempat. Selesai pengarak-arakan ogoh-ogoh itu, di suatu tempat, seperti di pantai, ogoh-ogoh tersebut dibakar, ditaruh tanpa dibakar. Terlepas dari pro dan contra masyarakat kehadiran ogoh-ogoh itu sebagai pelengkap upacara pangrupukan masih memerlukan waktu dalam proses penyesesuaiannya. Semua



kegiatan



pada



saat



pangerupukan,



pangoncangan, kentongan, pengarakan ogoh-ogoh, dan



pabuu-buuan, sebagainya



itu



dilaksanakan dengan serentak dan secara sepontan. Sesungguhnya apakah maksud dan tujuan serta maknanya? Ajaran agama Hindu sangat menjaga keseimbangan jasmani dan rohani, mikrokosmos dan makrokosmos, bhuana alit dan bhuana agung, badan jasmani dan alam semesta. Keseimbangan itu (ajaran trihita karana) sangat dijaga, karena ketidakseimbangan akan menimbulkan kegoncangan dan bahaya. Bahaya itu akan menimpa manusia, semua mahluk, bahkan alam semesta juga.



123 Sehubungan dengan itu, dalam rangka menyambut tahun baru Saka, atau pergantian tahun saka, semua faktor itu harus dalam keadaam bersih, steril, dan suci. Sedangkan untuk membersihkan atau menyucikan alam semesta dari segala noda dan polusi itu, adalah dengan mengadakan upacara pacaruan / bhtayadnya taur kasanga itu. Dengan pelaksanaan upacara bhuta yadnya itu, diharapkan dunia kita ini bersih dari segala bentuk dan jenis polusi / gangguan/ noda. Sedangkan kegiatan atau upacara pabuu-buuan, pangerupukan, pangoncangan, dan yang terakhir pengarakan ogoh-ogoh itu, dimaksudkan penggusuran, pengusiran, para bhutakala, noda dan polusi dari alam ini. Dengan selesainya seluruh kegiatan dan upacara yang dilakukan pada akhir hari tutup tahun Saka itu, diharapkan keadaan alam lingkungan ini bebas noda, bebas polusi, dan bebas dari gangguan bhutakala dan sejenisnya. Semua kegiatan upacara itu, dilaksanakan pada tilem bulan mati, sasih kasanga, jadi sehari sebelum tahun baru Saka. Jika semua kegiatan itu selesai, maka puncak kegiatan fisik berarti sudah berarkhir. Pemebrsihan diri dan alam selesai, dan kini keadaan diri manusia dan alam seimbang dalam kesucian.



8.2.5.3 Nyepi / sipeng Pelaksanaan sipeng atau nyepi(sepi) itu dimulai pada pagi hari sebelum matahari terbit. Seperti telah diuraikan dalam bab tentang sistem tahu / kalender, bahwa pergantian hari adalah pada pagi hari, saat matahari terbit. Jadi tidak pada pukul 00.00 seperti sistem masehi. Tegasnya, setelah selesai upacara pacaruan taur



kasanga,



dan



pangerupukan, yang dilanjutkan



dengan



pengarakan ogoh-ogoh keliling kota / desa / di halaman pura, serta kegiatan pangoncangan dan suara kulkul (kentongan) yang bertalu-talu, besoknya pada pagi hari saat matahari terbit, dilaksankanlah panyepian, serba sepi, hening bening, sunyi lengang, tiada satu pun kegiatan sehari-hari terjadi saat itu.



124 Pada hari itulah saat tanggal satu tahun baru Saka dengan bulan Vaisakha (sasih kadasa, bulan sepuluh). Seluruh masyarakat Hindu, di manapun mereka berada tinggal di rumah. Mereka menjalani 'penghentian hidup sehari', atau melakukan 'penghentian sejenak', dalam rangka untuk meneruskan perjalanan hidupnya selama setahun pada tahun Saka yang baru muncul itu. Dalam



sastra



disebutkan,



bahwa



segenap



umat



Hindu



seyogianya melakukan sambang samadhi, yaitu melakukan tapa, brata, yoga, dan samadhi, atau istilah populernya amati geni. Sehubungan dengan itu, setiap umat Hindu diharapkan menjalani catur brata panyepian: (a) amati geni, (b) amati karya, (c) amati lelunganan, dan (d) amati lalangunan. Kesesemuanya itu dilaksanakan selama sehari dan semalam, jadi 24 jam, mulai saat matahari terbit, sampai dengan besok paginya pada saat matahari terbit juga. Untuk jelasnya, akan diuraikan semua pelaksanaan disiplin nyepi itu, berikut pengawasan oleh para petugas pada saat itu. (Uraian ini khas terjadi di Bali, sedangkan di luar Bali menyesuaikan diri).



a) Amati geni Amati



geni, artinya 'tidak menyalakan



api,



pemadaman api'.



Pemadaman api, atau tidak menyalakan api itu mengandung dua makna dan hakikat, yakni: memadamkan api dalam arti sesungguhnya, jadi tidak menyalakan lampu, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan api yang menyala. Kegiatan itu dimulai pada pagi hari pada saat matahari terbit, sampai besok paginya baru berakhir pada saat matahari terbit juga. Oleh sebab itu, pada malam harinya terjadi suasana gelap gulita, tiada nyala lampu sedikit pun di malam nan pekat itu. Benar-benar selama satu dan satu malam, pulau Bali bebas dari nyala api. (Tentu ada perkecualian, atas dasar dispensasi yang berlaku). Sedangkan makna yang kedua, adalah pemadaman api yang berada di dalam diri manusia. Api yang berada dalam diri manusia, antara lain berupa:



125 kebencian, kemarahan, dendam, kelobaan, keserakahan, kekejaman, kejahatan, dan sebagainya. Jadi, segala napsu rendah yang menyeret manusia ke lembah derita. Api atau geni itu juga termasuk 'musuh manusia yang bermukim dalam dirinya sendiri, yang disebut sadripu. Justru, pemadaman sad ripuyang berrupa menjadi berbagai 'hawa napsu' yang rendah itulah yang paling utama harus dipadamkan. Lagi pula, hanya ia sendiri yang mampu memadamkannya. Karena itu, setiap orang, akan berusaha 'berlomba dalam pemadaman' itu, yakni dengan melaksanakan tapa, brata, yoga, dan samadhi. Sebenarnya, inilah tujuan tertinggi pelaksnaan penyepian itu. Sekaligus dalam usaha pencarian dan penemuan identitas diri, dalam bentuk kesadaran tertinggi, yang biasa juga disebut kebijaksanaan atau pradnya. Kepradnyanan itu, merupakan hakikat hidup tertinggi, sebab dengan pandangan terang itu manusia mampu 'melihat' dharma yakni kebenaran. Bila seseorang telah memiliki pandangan terang itu, ia akan disebut manusia yang dipenuhi oleh kebijaksanaan, kemuliaan, dan keluhuran. Dengan melaksanakan tapa, brata, yoga dan samadhi itu, secara bertahap dan yakin,



seseorang akan mengalami dan memiliki



pradnya itu. Jadi,



sesungguhnya itulah menjadi tujuan pokok dalam pelaksanaan penyepian. Di samping amati geni menjadi salah satu disiplin dalam catur brata penyepian, sesungguhnya ia juga menjadi tujuan utama. Tujuan utama itu, hanya bisa dicapai, kalau



dibantu oleh



disiplin-disiplin



yang



berikutnya.



Tanpa



dukungan ketiga disiplin itu, amati geni tidak akan dengan mudah dicapai.



b) Amati karya Amati karya berarti tidak bekerja. Tidak melakukan kegiatan apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan. Di depan telah diuraikan, bahwa agar bisa seseorang melaksanakan tapa, brata dan yoga samadhi, haruslah segala kegiatan bentuk penghentian



kerja



dihentikan. Di sinilah yang



sejenak, agar tujuan amati geni



itu



dimaksud



dengan



tercapai. Tanpa



itu,



bagaimana mungkin tapa, brata, dan yoga samadhi itu bisa terwujud dalam diri



126 kita. Jadi, jelaslah bahwa disiplin atau brata yang kedua ini, benar-benar sangat diperlukan, dalam rangka pelaksanaan pemadaman api di dalam diri kita.



c) Amati lelunganan Amati lelunganan artinya tidak bepergian. Biasanya, jika kita tidak bekerja, muncul keinginan untuk pergi ke mana pun. Agar tujuan pemadaman api dalam diri tercapai, dengan tidak bekerja saja tidak akan bisa. Hal itu baru bisa terlaksana kalau dibarengi dengan tidak bepergian. Karena itu, disiplin amatai lelunganan itu, diletakkan pada nomor tiga; sebab manusia yang tanpa kerja pada saat itu ia akan ingin bepergian. Jadi, jelas sangat sistematis.



d) Amati lelangunan Amati lelangunan artinya tidak menikmati keindahan, tontonan dan hal-hal yang menimbulkan kenikmata. Pemadaman penikmatan itu, sangat diperlukan



sebagai



daya



dukung



yang



perkunjungan. Disiplin yang terakhir



ketiga,



setelah



pemadaman



itu, terasa akan sangat menjadi



penghambat dan kendala pokok, yang sangatmengganggu proses sambang samadhi, atau yoga samadhi. Jika proses pelaksanaanya terganggu, maka tidak telak lagi tujuannya pun tidak akan tercapai. Pandangan terang (high wisdom) tidak



akan



tercapai,



sehingga hikmah



pelaksanaan catur



bratapenyepian tidak dirasakan, karena tidak tercapainya tujuan brata itu. Dari uraian itu, dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat Hari Raya Nyepi, adalah pencarian dan penemuan jati diri kita, dalam rangka memulai hidup baru di tahun baru yang baru saja muncul. Jika setahun itu lamanya 365 hari, mengapa timbul kendala dan kesulitan dalam diri kita mengunakan hanya satu hari satu malam untuk memawas diri? Inilah dilema nan kunjung sirna dan selalu berulang setiap tahun. Karena itu, seyogianya kita memanfaatkan kelahiran sebagai manusia ini sebaik-baiknya, sebab untuk lahir menjadi manusia jauh lebih sulit daripada melaksnakan catur brata



127 penyepian itu setahun sekali dalam hidup sehari sebagai sanyasin.



8.2.5.4 Ngembak api / geni Setelah sehari semalam (24 jam, mulai pagi matahari terbit sampai besok paginya saat matahari terbit), melaksanakan caturbrata penyepian, tibalah saatnya membuka kegiatan sehari-hari kembali sebagai biasa, yang disebut ngembak api atau ngembak geni. Kegiatan yang dilakukan pada saat itu, berlaku kebiasaan sehari-hari: para petani pergi ke sawah melakukan tugasnya sebagaimana mestinya, para pedagang begitu juga, dan para pengusaha dan pegawai negeri demikian juga, dan sebagainya. Mereka semua mulai saat itu melakukan tugasnya masing-masing dengan semangat baru, yang diwarnai oleh hikmah Nyepi yang diperoleh selama menjalani catur brata penyepian itu. Di samping itu, mereka mengadakan saling kunjungan, sebagai tanda perwujudan rasa cinta kasih dan kasih sayang sesama manusia. Dengan demikian, diharapkaan seluruh hidup dan perikehidupan diwarnai oleh berkah termulia dan hikmah yang membahagiakan. Dengan semangat baru, mereka bertugas sebaik-baiknya di dalam udara tahun baru Saka. Atas



dasar



itu, Parisada



sebagai



pemegang



bhisama, telah



menetapkan dharmashanti sebagai wadah yang perlu dibudayakan dan dilsetarikan dalam konteks hidup pada zaman sekarang. Keputusan itu telah diambil pada mahasabha yang lalu. Pengisian acara dharmashanti itu, disesuaikan dengan kondisi setempat, dan terus akan berproses mencari bentuk yang sesempurna-sempurnanya.



8.3



Hari Galungan dan Kuningan



Hari raya Galungan dan Kuningan, berdasarkan sistem kalender pawukon, jadi selalu hadir setiap 210 hari sekali. Kehadiran kedua hari raya itu



128 selalu dibicarakan serentak, karena jaraknya hanya 10 hari. Di samping itu menurut tradisi, masing-masing mengandung mitologi yang serangkai.



8.3.1 Hari raya Galungan



Hari raya Galungan, jatuh pada hari Budha (Rabu), kliwon, wuku Dungulan (Galungan). Hadirnya setiap 210 hari, sesuai dengan sistem pawukon (6 x 5 x 7 hari = 210 hari). Maksudnya: angka 6 menunjukkan, bahwa dalam satu siklus kalender pawukon ada 6 Buddha kliwon ((1) Budha kliwon Sinta,(2) Budha kliwon gumbreg, (3) Budha kliwon dungulan / galungan, (4) Budha kliwon pahang, (5) Budha kliwon matal, dan (6) Budha kliwon ugu); angka 5 menunjukkan, bahwa Budha kliwon hadirnya setiap 5 wuku; dan angka 7 menunjukkan usia setiap wuku 7 hari. Jadi hadirnya setiap Budha kliwon 35 hari (5 x 7 hari = 35 hari = satu bulan wuku). Menurut tradisi, perayaan hari Galungan di Indonesia khususnya di Bali, diawali pada



tumpekwariga, atau tumpekuduh,



tumpekpengarah, atau



tumpekpangatag. Tumpek pangatag itu jatuh pada hari Sabtu /Saniscara, kliwon, wuku wariga, jakni 25 hari sebelum hari Galungan (-25). Hari tumpek pangatag, diperingati sebagai 'hari tumbuh-tumbuhan', terutama pohon buah-buahan yang berguna bagi kehidupan Galungan dan Kuningan, cukup banyak dedaunan, dan



sebagainya,



manusia. Memang pada hari



diperlukan



untuk perlengkapan



buah-buahan, janur,



banten



(sajen). Segala



keperluan untuk hari Galungan dan Kuningan mulai dipersiapkan. Setelah itu. berbagai kegiatan yang merupakan rangkaian hari Galungan dengan tertib dan patuh dilaksanakan. Namun, berdasarkan sosial masyarakat, beberapa anggota masyarakat di Bali, tidak lagi mematuhi rentetan kegiatan tersebut secara utuh. Mereka hanya mengambil yang pokok-pokok menurut aspirasinya. Rangkaian



yang



paling



terkenal



dilaksanakan



antara lain: (1)



panyajaan (hari membuat kue / jaja: Senin /Soma), dan (2) panampahan



129 (pemotongan hewan: babi, ayam, bebek untuk sajen, lawar, dan sebagainya: Selasa



/Anggara).



Keesokan



harinya



(Rabu



/Budha),



barulah



hari



Galungan.Menurut tradisi kegiatan pada hari Galungan: (1) persembahyangan di Sanggah /Merajan, pura Pedharman, (2) ke kuburan membawa sajen bagi mereka yang belum diabenkan oleh para keluarganya, sekaligus bersembahyang di pura Dalem. (di beberapa daerah di Bali, acara ke kuburan ditiadakan, karena mereka beranggapan paraatman sang newata (para roh yangmeninggal sudah berada di rumah pada saat itu). Setelah



berdirinya



Parisada



Hindu



Dharma Indonesia,



melalui



berbagai sarana pembinaannya, masyarakat Hindu Di manapun berada, baik di Bali maupun di luar Bali, mereka mengadakan persembahyangan bersama di pura-pura, prahayangan, kahyanganyang ada di tempat mereka berada. Persembahyang bersama itu, kini telah membudaya dan secara otomatis, tanpa pemberitahuan / pengumuman lagi, mereka melaksanakan upcara persembahyangan itu. Hal itu, merupakan salah satu keberhasilan Parisada yang tiada taranya, sebab seluruh umat Hindu yang tersebar di seluruh pelosok tanah air tercinta Indonesia, dengan penuh sraddha dan bhakti kepada Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan



Yang



Maha



Esa,



berbondong-bondong



mengikuti



persembahyangan bersama di pura setempat. Makna simbolis dan filosofis yang tersirat dalam sebenarnya



merupakan pertarungan



hari Galungan,



antara dharma (kebenaran) melawan



adharma (ketidakbenaran), yang diakhiri dengan kemenangan dharma. Satyam eva jayate, na anrtham (kebenaran pasti menang, bukan ketidakbenaran). Pertarungan



itu diawali mulai pada



hari



Radite (Minggu), dan



berakhir pada hari Anggara (Selasa). Rangkaian pertempurannya sebagai berikut: (1) pada hari Minggu (Radite), manusia diserang oleh Kala Galungan, (2) pada hari Senin (Soma) datanglah Kala Dungulan yang ingin menundukkan manusia, dan (3) pada hari Selasa (Anggara), datang lagi Sang Kala Amangkurat, yang berhasrat menguasai manusia. Jadi, Sang Bhuta Kala Tiga ( Sang Bhtakala Galungan, Sang Bhtakala Dungulam, dan Sang Bhutakala Amangkurat), secara berturut-turut datang menyerang, menundukkna dan



130 menguasai manusia. Namun, berkat dharma yang dipegang teguh oleh manusia, maka Sang Bhutakala Tiga (adharma) itu akhirnya peperangan dimenangkan oleh manusia . Atas kemenangan itulah, pada hari Rabu (Budha), dirayakan oleh segenap umat manusia, dengan riang gembira. Perayaan itulah kemudian disebut Hari Raya Galungan, hari kemenangan dharma. Dalam mitologi, disebutkan bahwa peperangan yang terjadi antara Raja Mayadanawa dengan Bhatara Indra, yang begitu sengit, akhirnya kemenangan berada di pihak Dewa Indra. Walaupun berbagai cara tipu dan daya Mayadanawa, namun akhirnya kalah juga, karena ia berada di pihak adharma. Sampai sekarang, masih ada 'bukti-bukti' nama dan tempat yang pernah



dijadikan gelanggang perang



oleh



Mayadanawa: Tampaksiring,



Tirthaempul, Sungai Patanu dan sebagainya. Ada lagi disebutkan, bahwa raja Sri Jayakasunu takut naik tahta menjadi raja, karena setiap raja hanya berumur satu tahun. Kematian dan maut datang merenggut jiwa sang raja, sehingga rata-rata usia menjadi rata hanya setahun. Oleh karena itu, Sri Jayakasunu, dengan didampingi oleh para penasihatnya, bertapa di tengah kuburan, dengan memuja



Dewi Durga.



Demikianlah, di tengah malam, Dewi Durga datang, dan memberi tahu, bahwa sebab-musabab kejadian musibah itu, karena para raja tidak ingat lagi merayakan hari raya Galungan. Setelah itu, Dewi durga pun gaiblah. Betapa senang dan terima kasih sang raja, segera pulang ke istana. Kemudian diumumkan, bahwa seluruh masyarakat agar merayakan hari raya Gakungan seperti zaman dahulu. Sejak itulah, usia raja memerintah normal kembali Sebenarnya, di Jawa Galungan telah dikenal dan dirayakan oleh raja Kertanagara. Justru nama wuku dungulan



di Bali, pada mulanya di Jawa



bernama wuku galungan Jelaslah bahwa hari raya Galungan telah lama dikenal di Jawa. Jika dibandingkan dengan perayaan Durgapuja di India dan biasa disebut Vijayadasami, nafas dan maknanya sama dengan perayaan Galungan di Indonesia. Dewi Durga telah berhasil membunuh 9 bhutakala (setiap hari



131 satu bhutakala), sehingga pada hari kesepuluh disebut hari kemenangan kesepuluh (Vijayadasami). Hakikat perayaan itu, juga merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Apakah filosofis itu diresepir di Indonesia, mungkin saja. Namun, sampai kini belum ada sarjana yang meneliti tentang itu.