Modul Psikologi Keluarga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Pengantar Keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat, yang merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan tidak lekang oleh perubahan zaman, meski banyak faktor perkembangan zaman yang tentu saja bisa mempengaruhi corak dan karakteristik keluarga, namun substansi keluarga tidak terhapuskan. Dibeberapa negara, isu tentang kemerosotan nilai-nilai keluarga memang mengemuka, diantaranya karena angka perceraian yang terus meningkat sebagai indikasi dari merosotnya nilai keluarga. Lembaga keluarga juga tidak selalu menjadi tempat yang baik bagi perkembangan anak, karena banyaknya data yang mengungkapkan bahwa jumlah kekerasan anak yang dilakukan oleh orang terdekat termasuk keluarga juga terus meningkat (Lestari, 2012). Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, yang tentunya sangat berpengaruh besar terhadap bangsa dan negara yang akan mencetak generasi penerus bangsa. Jika keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka dimungkinkan akan tumbuh generasi yang berkualitas dan dapat diandalkan yang kelak akan menjadi pilar kemajuan bangsa. Namun sebaliknya, bila keluarga tidak berfungsi dengan baik, maka akan menghasilkan generasi yang bermasalah yang dapat menjadi beban sosial masyarakat. Oleh karena itu keberfungsian keluarga sangat ditentukan oleh proses yang berlangsung didalamnya.



B. Deskripsi Mata Kuliah Matakuliah ini akan mempelajari tentang keluarga mulai dari definisi keluarga, manfaat perkawinan, struktur keluarga, relasi dalam keluarga, keberfungsian keluarga, serta teori sistem keluarga. Selain itu juga akan mempelajari tentang praktik pengasuhan anak, kesadaran pengasuhan, stress pengasuhan, pendidikan nilai dalam keluarga, konflik dalam keluarga, serta pengelolaan konflik dalam keluarga.



1



C. Capaian Mata Kuliah Target dari pencapaian mata kuliah ini adalah: 1) Mahasiswa memiliki pengetahuan-pengetahuan, sikap-sikap, dan keterampilanketerampilan psikologis penting yang diperlukan untuk membangun pernikahan dan keluarga yang bahagia, sehat, vital, dan fungsional. Mengantarkan mahasiswa kepada kesadaran akan pentingnya pernikahan dan keluarga, pengetahuan-pengetahuan, sikapsikap, dan keterampilan-keterampilan psikologis penting yang harus mereka latih dan kuasai untuk membangun, mengembangkan, dan memelihara sebuah pernikahan dan keluarga yang bahagia, vital, sehat, dan fungsional.



2) Tujuan yang hendak dicapai dari Mata kuliah Psikologi Keluarga adalah agar mahasiswa/i memiliki pengetahuan tentang hal ihwal keluarga baik dalam perspektif sosiologis maupun psikologis. Selanjutnya menjadi bekal dan pedoman dalam kehidupan keluarga baik dalam perspektif sosiologis maupun psikologis serta mampu memberikan solosi problematika keluarga dalam perspektif sosiologis maupun psikologis.



2



BAB II MATERI AJAR A. Definisi Keluarga Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan bersilang pendapat dalam merumuskan definisi keluarga yang bersifat universal. Ilmuwan George Murdock, dalam bukunya Social structure, menguraikan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerjasama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi. Dalam surveinya terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan sejak tahun 1937, Murdock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga poligami (polygamous family), dan keluarga batih (extended family). Inti dari hasil penelitiannya adalah keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal, karena menjalankan empat fungsi dari keluarga, yaitu seksual, reproduksi, pendidikan, dan ekonomi (Murdock, dalam Lestari, 2012). Ira Reiss (dalam Lestari, 2012) mengkritik Murdock karena menurut Reiss, bukti lintas budaya menunjukkan masyarakat yang menjadikan kepuasan seksual, fungsi reproduksi, dan kerjasama ekonomi tidak melekat dalam jenis hubungan yang disebut keluarga. Adapun ciri spesifik yang melekat dalam keluarga menurut Reiss adalah adanya proses sosialisasi yang disertai dukungan emosi yang disebut sebagai sosialisasi pemeliharaan (nurturant socialization). Bagi Reiss, keluarga adalah suatu kelompok kecil yang terstruktut dalam pertalian keluarga dan punya fungsi utama berupa sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi baru. Meski definisi keluarga yang diungkapkan oleh Murdock mendapat banyak sanggahan, namun kesemua inti dari definisi keluarga sesungguhnya adalah rumah tangga yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan terselenggaranya fungsifungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan, seperti yang diungkapkan oleh Hill (dalam Lestari, 2012). Konsep ini sesuai dengan konsep keluarga dalam masyarakat Indonesia yang memaknai keluarga tidak hanya terbatas pada keluarga inti saja, namun juga keluarga batih.



3



B. Manfaat Perkawinan Menurut Olson dan Olson (2000), berbagai kajian telah menunjukkan berbagai manfaat dari perkawinan, diantaranya: 1. Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat, sehingga cenderung menghindari perilaku yang berbahaya daripada lajang, bercerai, atau duda/janda. Misalnya, orang yang menikah lebih sedikit memiliki masalah minuman keras, yang seringkali terkait masalah kecelakaan, konflik antar pribadi, dan depresi. 2. Orang yang menikah hidup lebih lama, karena mereka memiliki dukungan emosi dari pasangan dan akses terhadap sumber daya ekonomi. 3. Orang yang menikah punya kepuasan relasi seksual yang lebih baik. 4. Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi, karena bisa menggabungkan pendapatannya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekonominya. 5. Anak-anak umumnya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orangtua lengkap, yang cenderung lebih baik secara emosi dan akademik bila tinggal serumah dengan kedua orangtuanya.



C. Struktur Keluarga Keberadaan anggota keluarga dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami-ayah, isteri-ib, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur keluarga seperti ini menjadikan keluarga sebagaia orientasi bagi anak, yaitu keluarga tempat ia dilahirkan. Adapun orangtua menjadikan keluarga sebagai wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004). Dalam keluarga inti, hubungan antara suami isteri bersifat saling membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak tergantung pada orangtuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan sosialisasi. Adapun keluarga batih adalah keluarga yang didalamnya menyertakan posisi lain selain ketiga posisi diatas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga batih yang banyak ditemui di masyarakat adalah keluarga bercabang (stem family), yang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, sudah menikah dan masih tinggal dalam rumah orangtuanya. Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun (lineal family), yang terjadi manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua orangtuanya. Bentuk 4



ketiga adalah keluarga beranting (fully extended), yang terjadi manakala dalam suatu keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama. Menurut Lee (1982), kompleksitas struktur keluarga tidak ditentukan oleh jumlah individu yang menjadi anggota keluarga, tapi oleh banyaknya posisi sosial yang terdapat dalam keluarga. Oleh karena itu, besaran keluarga (family size) ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota, tidak identic dengan struktur keluarga (family structure). Walaupun keduanya punya pertalian yang positif, namun keduanya tetap jenis variabel yang berbeda. Keluarga inti umumnya dibangun berdasarkan ikatan perkawinan yang menjadi pondasi bagi keluarga. Oleh karena itu, ketika sepasang manusia menikah, akan lahir keluarga yang baru. Adapun keluarga batih biasanya terdapat dalam masyarakat yang memandang pentingnya hubungan kekerabatan. Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal menentukan siapa yang bertanggungjawab atas sosialisasi anak, pendistribusian wewenang, dan pemanfaatan sumber daya keluarga, keluarga dibedakan menjadi tiga, yaitu matriarki, patriarki, dan egaliter (Berns, 2004). Keluarga matriarki, seperti yang terjadi pada keluarga kerajaan Inggris dan masyarakat Minang, ibu menjadi pemegang utama wewenang atas keluarga. Keluarga patriarki, umumnya menerapkan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga. Namun dimasa kini, dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan gender dan semakin banyaknya keluarga yang kedua orangtuanya sama-sama bekerja, telah berkembang keluarga dengan pola egaliter. Variasi keluarga berdasarkan struktur juga mencakup keluarga dengan orangtua tunggal, baik karena bercerai maupun meninggal, keluarga yang salah satu orangtuanya jarang berada di rumah karena bekerja diluar daerah, keluarga tiri, dan keluarga dengan anak angkat. Bahkan di dunia Barat banyak ditemui keluarga kohabitasi, yang orangtuanya tidak menikah, dan keluarga dengan orangtua pasangan sejenis (Lestari, 2012).



D. Relasi dalam Keluarga Umumnya, keluarga dimulai dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan dewasa. DImana tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan suami-isteri. Ketika anak pertama lahir, muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu relasi orangtua-anak, dan ketika anak berikutnya lahir, muncul pula bentuk relasi yang lain, yaitu relasi sibling (saudara sekandung). Ketiga relasi ini merupakan bentuk relasi yang pokok dalam suatu keluarga inti. 5



Dalam keluarga yang lebih luas anggotanya atau keluarga batih, bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi, misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman/bibi-keponakan. Tiap keluarga punya bentuk relasi dengan karakteristik yang berbeda.



1.



Relasi pasangan suami-isteri Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami isteri memberi landasan dan



menentukan warna bagi keseluruhan relasi dalam keluarga. Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami isteri. Kunci kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan dalam melakukan penyesuaian diantara pasangan, yang sifatnya dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Penyesuaian adalah interaksi kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, 1995). Ada tiga indikator bagi proses penyesuaian seperti yang diungkapkan Glenn (dalam Lestari, 2012), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas rumah tangga. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi, namun ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan resolusi konflik, yang kuncinya adalah pada komunikasi yang positif. Peran penting komunikasi adalah membangun kedekatan dan keintiman dengan pasangan, yang bila terjaga, maka hal itu menandakan penyesuaian keduanya telah berlangsung dengan baik. Dalam konsep perkawinan tradisional, berlaku pembagian tugas dan peran suami isteri, dimana segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi tanggungjawab isteri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan perkembangan kini telah mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut. Kenyataannya terus meningkat, bahwa kecenderungan pasangan yang sama-sama bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran atau berbagi tugas dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun pekerjaan domestik. Selain itu, kesadaran tentang pentingnya peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak juga mendorong keterlibatan pasangan untuk bersama-sama dalam pengasuhan anak.



6



2.



Relasi orangtua-anak Menjadi orangtua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan yang



memiliki anak. Masa transisi menjadi orangtua saat kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan dipersepsikan menurunkan kualitas perkawinan. Menurut John dan Belsky (2008), kajian psikologis menunjukkan bahwa perempuan menjalani transisi lebih sulit daripada laki-laki. Apalagi bila ini berkaitan dengan pilihan antara mengurus anak dan kesempatan ekonomis. Perlunya dukungan dari sanak keluarga sangat diperlukan agar perempuan tidak berjuang dengan susah payah dalam menjalankan fungsi keibuannya dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga sangat kurang, maka keterlibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama. Kajian tentang hubungan orangtua-anak dapat dibagi dalam dua masa, yaitu sebelum berkembangnya paham dua arah (bidirectionality) pada akhir tahun 60-an dan setelahnya (Chen, dalam Lestari, 2012). Semasa berkembang paham satu arah (unidirectionality), penelitian tentang hubungan orangtua-anak berfokus pada mengenali strategi pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya, dan pembawaan yang mempengaruhi akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi akademik, dan problem perilaku. Para ilmuwan mulai mengenali bahwa baik orangtua mupun anak merupakan agen bagi proses sosialisasi setelah era paham dua arah muncul. Fokus utamanya adalah kaitan antara interaksi orangtua –anak dan relasi yang terbentuk. Interaksi dan waktu merupakan dua komponen mendasar bagi relasi orangtua-anak (Hinde, dalam Lestari, 2012), yang mengandung beberapa prinsip pokok, yaitu: a) Interaksi; orangtua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang menciptakan suatu hubungan, yang membentuk kenangan pada interaksi dimasa lalu dan antisipasi terhadap interaksi dikemudian hari. b) Kontribusi mutual; orangtua dan anak sama-sama memiliki sumbangan dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya. c) Keunikan; setiap relasi orangtua-anak bersifat unik yang melibatkan dua pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orangtua dengan anak yang lain. d) Pengharapan masa lalu; interaksi orangtua-anak yang telah terjadi membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya. Berdasarkan pengalaman dan 7



pengamatan, orangtua akan memahami bagaimana anaknya akan bertindak pada suatu situasi, dan sebaliknya. e) Antisipasi masa depan; relasi orangtua-anak bersifat kekal, sehingga membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan keduanya.



3.



Relasi antar saudara Para psikolog dan orangtua meyakini bahwa keberadaan saudara baik kandung, tiri,



maupun adopsi, berpengaruh terhadap kehidupan anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang berlangsung dalam jangka panjang, yang bisa mempengaruhi perkembangan individu, secara positif maupun negatif tergantung pada pola hubungan yang terjadi. Menurut Steelman dan Koch (dalam Lestari, 2012), pada masa kanak-kanank pola hubungan dengan sibling dipengaruhi oleh empat karakteristik, yaitu jumlah saudara, urutan kelahiran, jarak kelahiran, dan jenis kelamin. Pola hubungan antara saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orangtua dalam memperlakukan mereka, yang menurut Rauer dan Volling (dalam Lestari, 2012), perlakuan orangtua yang berbeda terhadap anak akan berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri, yang pada gilirannya bisa menimbulkan distress pada hubungan romantis dikemudian hari. Menurut Dunn (2002) pola hubungan antara suadara kandung dicirikan oleh tiga karakteristik; pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya pengungkapan emosi tersebut, baik emosi negatif maupun positif. Kedua, keintiman yang membuat antar saudara kandung saling mengenal secara pribadi, yang bisa menjadi sumber bagi dukungan maupun konflik. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi yang mewarnai hubungan diantara saudara kandung. Sebagian memperlihatkan afeksi, kepedulian, kerjasama, dan dukungan. Sebagian yang lain menggambarkan adanya permusuhan, gangguan, dan perilaku agresif yang memerplihatkan adanya ketidaksukaan satu sama lain. Meskipun ada hal negatif dalam hubungan antar saudara yang dikenal dengan sebutan sibling rivalry, namun keberadaan saudara kandung juga bermanfaat (IhingerTallman & Hsiao, dalam Lestari, 2012), antara lain:



8



a) Sebagai tempat uji coba (testing ground); Saat bereksperimen dengan perilaku baru, anak akan mencobanya terhadap saudaranya sebelum menunjukkannya pada orangtua atau teman sebaya. b) Sebagai guru; Biasanya anak yang lebih besar, karena memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak akan banyak mengajari adiknya. c) Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negosiasi; Saat melakukan tugas dari orangtua atau memanfaatkan alokasi sumber daya keluarga, kakak beradik biasanya akan melakukan negosiasi mengenai bagian masing-masing. d) Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerjasama dan konflik. e) Sebagai saran untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan. f) Sebagai pelindung bagi saudaranya. g) Sebagai penerjemah dari maksud orangtua dan teman sebaya terhadap adiknya. h) Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada keluarga.



E.



Keberfungsian Keluarga Keluarga menjalankan fungsi yang penting bagi keberlangsungan masyarakat dari



generasi ke generasi. Menurut Berns (2004), keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu: 1) Reproduksi; keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang ada didalam masyarakat. 2) Sosialisasi/edukasi; keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai, keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi sebelumunya ke generasi yang lebih muda. 3) Penugasan peran sosial; keluarga memberikan identitas pada para anggotanya seperti ras, etinik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender. 4) Dukungan ekonomi; keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan, dan jaminan kehidupan. 5) Dukungan emosi/pemeliharaan; keluarga memberikan pengalaman interaksi pertama bagi anak yang bersifat mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman pada anak.



9



Keberfungsian keluarga juga dapat dinilai dari tingkat kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (strength) keluarga dalam menghadapi berbagai tantangan.



F.



Teori Sistem Keluarga Teori ini dicetuskan oleh Minuchin (1974) yang mengajukan skema konsep yang



memandang keluarga sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga komponen; pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka dalam transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluarga beradaptasi dengan perubahan situasi kondisi untuk mempertahankan kontinuitas dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya. Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang memiliki bagianbagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Pendekatan teori sistem memandang keluarga sebagai kelompok yang memiliki sistem hierarki (Henry, dalam Lestari, 2012), yang artinya terdapat subsistem-subsistem yang membuat kualitas keluarga ditentukan oleh kombinasi dari kualitas individu atau relasi dari dua pihak (dyadic). Adapun keluarga sebagai sebuah sistem punya karakteristik seperti yang diungkapkan Day (dalam Lestari, 2012), sebagai berikut: 1) Keseluruhan (the family as a whole) 2) Struktur (underlying structures) 3) Tujuan (families have goals) 4) Keseimbangan (equilibrium) 5) Kelembaman (morphostatis) 6) Batas-batas (boundaries) 7) Subsistem 8) Equifinality dan equipotentiality



G. Praktik Pengasuhan Anak (Parenting) Menjadi orangtua (parenthood) merupakan masa yang alamiah terjadi dalam kehidupan seseorang. Seiring harapan untuk memiliki anak dari hasil pernikahan, maka menjadi orangtua adalah suatu keniscayaan. Seiring perkembangan zaman, maka parenthood saja 10



tidaklah cukup. Istilah parenting memiliki konotasi yang lebih aktif daripada parenthood, sebuah kata benda yang berarti keberadaan atau tahap menjadi orangtua, menjadi kata kerja yang berarti melakukan sesuatu pada anak seolah-olah orangtualah yang membuat anak menjadi manusia. Tugas orangtua pun kian tumbuh dari sekedar mencukupi kebutuhan dasar anak dan melatihnya dengan keterampilan hidup yang mendasar, menjadi memberikan yang terbaik bagi kebutuhan material anak, memenuhi kebutuhan emosi dan psikologis anak, dan menyediakan kesempatan untuk menempuh pendidikan terbaik. Kagan (dalam Berns, 2004) mengungkapkan, melakukan tugas parenting berarti menjalankan serangkaian keputusan tentang sosialisasi pada anak. Le Vine (dalam Berns, 2004) juga menjelaskan bahwa tujuan universal parenting meliputi: 1) Menjamin kesehatan dan keselamatan fisik 2) Mengembangkan kapasitas perilaku untuk menjaga diri dengan pertimbangan ekonomis 3) Pemenuhan kapasitas perilaku untuk memaksimalkan nilai-nilai budaya, misalnya moralitas, kemuliaan, dan prestasi.



H. Kesadaran Pengasuhan Pengasuhan



merupakan



tanggungjawab



utama



orangtua,



sehingga



sungguh



disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orangtua tanpa kesadaran pengasuhan. Menjadi orangtua dijalani secara alamiah, sebagai konsekuensi dari menikah dan kelahiran anak. Selain memunculkan harapan, kelahiran anak juga memunculkan rasa tanggungjawab, yang muncul karena adanya tuntutan sosial tentang kewajiban orangtua untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi anak. Harapan dan tanggungjawab tersebut akan mempengaruhi bagaimana orangtua menciptakan atmosfer dalam mengasuh dan membesarkan anak. Bila tugas dan peran orangtua dijalankan berdasarkan kesadaran pengasuhan anak, yaitu suatu kesadaran bahwa pengasuhan anak merupakan sarana untuk mengoptimalkan potensi anak, mengarahkan anak pada pencapaian kesejahteraan, dan membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dalam setiap tahap kehidupannya dengan baik. Dengan memiliki kesadaran pengasuhan, maka orangtua menyadari dirinya merupakan agen yang pertama dan utama dalam membantu mengembangkan kemampuan



11



anak bersosialisasi. Orangtua melatih anak agar mampu menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan.



I.



Stres Pengasuhan (Parenting Stress) Dalam psikologi, stress difahami sebagai proses yang dijalani seseorang ketika



berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Deater-Deckard (2004), stress pengasuhan didefinisikan sebagai serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis yang tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dalam upaya beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orangtua. Stres pengasuhan dapat difahami sebagai stress atau situasi penuh tekanan yang terjadi pada pelaksanaan tugas pengasuhan anak. Kenyataannya, pengasuhan anak bukanlah tugas yang mudah untuk dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa pengasuhan itu sendiri merupakan proses yang penuh dengan tekanan (Lestari, 2012). Adapun faktor-faktor yang mendorong timbulnya stress pengasuhan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu individu, keluarga, dan lingkungan. Pada tingkatan individu, faktor tersebut dapat bersumber dari pribadi orangtua maupun anak, misalnya kesehatan fisik orangtua, sakit yang dialami orangtua berlangsung dalam jangka panjang. Selain itu, kesehatan mental dan emosi orangtua yang kurang baik juga bisa mendorong munculnya stress. Pada tingkatan keluarga, masalah keuangan dan struktur keluarga bisa mendorong munculnya stress pengasuhan. Tingkat penghasilan keluarga yang rendah dan dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan yang tinggi, atau kualitas tempat tinggal yang buruk. Dari segi struktur keluarga, jumlah anggota keluarga yang banyak bisa menjadi faktor pemicu stress, apalagi bila pengasuhan anak dilakukan sendiri tanpa keterlibatan pasangan atau karena menjadi orangtua tunggal. Hubungan yang pernuh dengan konflik, baik antar pasangan maupun antara orangtua-anak, sangat berpotensi menimbulkan stress pengasuhan. Stres pengasuhan tidak hanya dirasakan oleh orangtua, namun juga dirasakan oleh anak, terutama dari gaya pengasuhan orangtua ke anak, yang dampaknya akan lebih dirasakan oleh anak dalam jangka panjang. Kondisi stress dapat berlangsung jangka pendek, situasional, atau aksidental, bila sumber stress pengasuhan lebih dominan pada situasi lingkungan. Namun bila tidak segera diatasi dengan baik, kondisi stress ini akan berlangsung dalam jangka panjang. Pada kondisi ini, orangtua dan anak akan sama-sama merasakan



12



stress pengasuhan, dan dampaknya kepada orangtua dan anak sangat tergantung bagaimana stress tersebut dikelola. Bagi orangtua, ketidakmampuan mengelola stress pengasuhan dapat menyebabkan mudah melakukan tindak kekerasan pada anak, yang akan berdampak buruk pada pembentukan kepribadian anak. Selain itu juga bisa memunculkan perasaan gagal dan ketidakpuasan dalam menjalankan tugas sebagai orangtua (parenting dissatisfaction). Hal ini bisa merenggangkan hubungan orangtua-anak, sehingga anak bisa kehilangan tempat rujukan saat menghadapi masalah, menghambat perkembangan kemampuan pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan. Kesadaran pengasuhan merupakan modal penting untuk menciptakan ketahanan terhadap stress pengasuhan. Dengan memiliki kesadaran pengasuhan, maka pelaksanaan tugas pengasuhan anak yang menghabiskan waktu dan melelahkan tidak terasakan sebagai beban. Kebahagiaan dan kepuasan akan dapat terasakan saat tugas pengasuhan membuahkan keberhasilan. Kesadaran pengasuhan juga berperan membangkitkan kesiapan dan kesediaan untuk terus belajar guna menghadapi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam melaksanakan tugas pengasuhan.



J.



Pendidikan Nilai dalam Keluarga Sosialisasi dalam keluarga dapat didefinisikan sebagai proses yang diinisiasi oleh orang



dewasa untuk mengembangkan anak melalui insight, pelatihan, dan imitasi, guna mempelajari kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen dalam beradaptasi dengan budaya (Baumrind, dalam Lestari, 2012). Melalui sosialisasi, anak diharapkan memiliki kebiasaan yang adaptif dan nilai-nilai yang relevan dengan budaya setempat. Sebagai lingkungan yang pertama dan terdekat, keluarga memikul tanggungjawab utama dalam pendidikan nilai pada anak. Nilai-nilai yang dimiliki oleh orangtua akan membentuk perilakunya dalam mengasuh anak dan selanjutnya nilai-nilai tersebut akan diwariskan pada anak (Yi, Chang, & Chang, dalam Lestari, 2012). Adapun faktor yang mempengaruhi akibat (outcome) dari proses pendidikan nilai yang dilakukan orangtua pada anak antara lain: 1) Kualitas relasi orangtua-anak 2) Kepercayaan (trust) 3) Persepsi anak terhadap nilai yang disosialisasikan oleh orangtua 13



Menurut Phalet dan Schonpflug (dalam Lestari, 2012) dalam kajian lintas budayanya menyimpulkan, bahwa proses pendidikan nilai oleh orangtua pada anak dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: 1) Pendidikan nilai bersifat selektif; misalnya orangtua dari masyarakat kolektivistik memilih untuk menanamkan nilai kolektivistik, bukan individualistik. 2) Pendidikan nilai dipengaruhi oleh tujuan-tujuan orangtua; misalnya orangtua yang lebih menghargai kolektivisme akan menekankan konformitas. 3) Pendidikan nilai dipengaruhi oleh gender dan tingkat pendidikan orangtua maupun anak. 4) Model pendidikan nilai tersebut dapat diterapkan dalam konteks akulturasi. Secara umum, terdapat lima nilai yang menjadi prioritas untuk disampaikan oleh orangtua pada anak melalui pengasuhan, yakni pentingnya ibadah, nilai jujur, nilai hormat, nilai rukun, dan nilai pencapaian prestasi. Bila ditinjau dari metode yang digunakan dalam menanamkan nilai pada anak, terdapat empat cara, yaitu berdialog, pemberian contoh, pemberian nasehat, dan menyuruh tanpa memberikan contoh. Dari keempat metode tersebut, metode yang kurang mendukung proses sosialisasi nilai terhadap anak adalah menyuruh tanpa memberikan contoh, karena tidak ada unsur keteladanan yang dilakukan orangtua terhadap anak. Adapun metode yang mendukung keberhasilan proses



sosialisasi nilai terhadap anak adalah metode dialog, seperti



membentuk forum untuk berdiskusi dengan anak guna menyampaikan nilai yang akan disosialisasikan, dan mengungkapkan argumen pada anak bila meminta atau melarang anak untuk melakukan suatu perbuatan. Dengan demikian, anak dapat memperoleh informasi yang jelas tentang nilai yang disosialisasikan dan terbuka kesempatan untuk bertanya bila ada hal yang kurang jelas (Lestari, 2012). Proses internalisasi nilai yang baik ditemukan dalam keluarga yang orangtuanya menggunakan metode dialog disertai pemberian contoh. Dengan berlangsungnya internalisasi nilai oleh anak, maka akan timbul rasa bersalah (guilty feeling) jika anak melakukan pelanggaran terhadap nilai yang telah disosialisasikan orangtua. Dengan demikian, orangtua tidak perlu lagi memberikan hukuman pada anak. Terjadinya internalisasi nilai pada anak dapat menumbuhkan kemampuan anak untuk mengontrol 14



perilakunya sendiri ketika berada diluar pemantauan orangtua. Berbagai perbedaan pola yang digunakan orangtua dalam menanamkan nilai pada anak akan berdampak pada kuat atau lemahnya anak dalam memegang teguh nilai-nilai yang telah ditanamkan orangtua.



K. Konflik dalam Keluarga Konflik dalam hubungan antar pribadi (misalnya dengan teman, rekan kerja, tetangga, suami/isteri, orangtua/anak) merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, bahkan semakin tinggi saling ketergantungannya, maka akan semakin meningkat pula kemungkinan terjadinya konflik. Jadi, semakin dekat hubungannya, semakin berpotensi untuk terjadi konflik (Dwyer, dalam Lestari, 2012). Konflik berguna untuk menguji bagaimana karakteristik suatu hubungan antarpribadi. Dua pihak yang memiliki hubungan yang berkualitas akan mengelola konflik dengan cara yang positif. Konflik juga bermanfaat bagi perkembangan individu dalam hal menumbuhkan pengertian sosial. Konflik dalam keluarga adalah sebuah keniscayaan, yang tejradi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik sibling, konflik orangtua-anak, dan konflik pasangan (Sillars, Canary, & Tafoya, dalam Lestari, 2012). Namun jenis konflik yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua, dengan saudara ipar dan paman/bibi. Faktor yang membedakan konflik dalam keluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah karakteristik hubungan dalam keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu intensitas, kompleksitas, dan durasi (Vuchinich, dalam Lestari, 2012). Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal. Orangtua akan selalu menjadi orangtua, demikian juga saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan dari konflik keluarga seringkali bersifat jangka panjang. Konflik dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan dengan konflik dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk, dalam Lestari, 2012). Meski demikian, banyak keluarga yang sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik (Vuchinich, dalam Lestari, 2012). Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga berfungsi dengan baik adalah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap akan hilang seiring waktu. Seperti yang 15



diungkapkan Rueter dan Conger (dalam Lestari, 2012), keluarga yang memiliki interaksi yang hangat menggunakan pemecahan masalah yang konstruktif, sebaliknya keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.



L.



Pengelolaan Konflik Konflik merupakan aspek normatif dalam suatu hubungan, sehingga tidak otomatis



berdampak negatif terhadap hubungan maupun individu yang terlibat dalam hubungan. Konflik akan berdampak negatif bila tidak dikelola dengan baik, sehingga bisa menyumbang akibat yang negatif pada individu maupun keluarga secara keseluruhan. Pada dasarnya, pengelolaan konflik dalam interaksi antar pribadi dibedakan menjadi dua, yaitu secara konstruktif atau secara destruktif. Pengelolaan secara destruktif dapat terjadi karena; persepsi negatif terhadap konflik, perasaan marah, dan penyelesaian oleh waktu. Cara orangtua menyelesaikan konflik dengan anak dapat menjadi model bagi anak dalam menyelesaikan konflik pada berbagai situasi. Pengelolaan konflik orangtua-anak yang tidak konstruktif bisa mempengaruhi cara yang ditempuh anak dalam mengelola konflik dengan teman, sehingga anak akan mengalami hambatan dalam penyesuaian sosial. Konflik orangtua-anak, selain berupa konflik dalam meregulasi perilaku, dapat pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil, yaitu konflik nilai. Dalam menghadapi situasi konflik nilai antara orangtua dan anak, Natrajan (dalam Lestari, 2012) mengajukan empat tahapan penyelesaian, yaitu: 1) Menentukan nilai yang berkonflik (apa yang dianggap penting orangtua, apa yang penting menurut anak) 2) Mencoba melakukan kompromi (masing-masing nilai dipertahankan tetapi dikurangi kadarnya) 3) Mempertimbangkan lagi nilai apa yang paling penting 4) Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai Kurdek (dalam Lestari, 2012) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu: 1) Penyelesaian masalah secara positif (positive problem solving); misalnya melakukan perundingan dan negosiasi 16



2) Pertikaian (conflict engagement); misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu membela diri, menyerang, dan lepas kontrol 3) Penarikan diri (withdrawal); misalnya mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari konflik 4) Tunduk (compliance); misalnya selalu mengalah Secara garis besar, konflik orangtua-anak sesungguhnya dapat berfungsi sebagai media penanaman nilai, karena dalam menangani konflik dengan anak, orangtua berkesempatan mengungkapkan harapannya atau menyampaikan pesan-pesan moral. Fungsi ini dapat berlangsung dan berhasil mendorong anak menginternalisasikan nilai yang disampaikan apabila konflik dikelola secara konstruktif.



17



BAB III METODE PEMBELAJARAN Aplikasi WhatsApp merupakan salah satu aplikasi yang familiar dikalangan masyarakat Indonesia, termasuk dosen dan mahasiswa. Aplikasi ini merupakan aplikasi media sosial yang cukup terkenal. Ternyata WhatsApp bisa dimanfaatkan sebagai media pembelajaran daring. Tentu syarat utamanya adalah baik dosen maupun mahasiswa harus memiliki smartphone dan akun WhatsApp agar dapat saling berkolaborasi. Berdasarkan penelitian, pembelajaran melalui WhatsApp (WA) merupakan aplikasi favorit. Sebab WA sudah sangat familiar penggunaannya di kalangan masyarakat. WA menyajikan beberapa fitur yang menarik serta mudah pengoperasiannya. Fitur-fitur tersebut meliputi penyampaian pesan perorangan, penyampaian pesan dalam grup, dapat melampirkan/mengirimkan file/dokumen dalam berbagai bentuk dan format pdf, docx, ppt, xls, jpg, png, video, dan lain-lain melalui fitur “dokumen”, tangkapan gambar maupun video langsung melalui fitur “kamera”, file gambar dan video melalui fitur “galeri”, rekaman audio langsung melalui fitur “audio”, lokasi melalui fitur “lokasi”, dan juga dapat mengirinkan nomor kontak yang mungkin diperlukan di grup melalui fitur “kontak”. Selain itu, panggilan suara dan video conference juga bisa dilakukan menggunakan aplikasi ini, dan mengirimkan pesan suara dan WA relatif lebih murah jika dibandingkan dengan aplikasi yang lain. WhatsApp (WA) juga bisa dioperasikan di komputer atau laptop dengan menscan QR Code yang muncul di komputer. Oleh karena itu, pembelajaran untuk mata kuliah ini akan menggunakan media dengan bantuan aplikasi WhatsApp Grup (WAG) sehingga diskusi antara dosen dan mahasiswa, maupun antara mahasiswa dengan mahasiswa akan semakin mudah dilakukan baik itu dalam bentuk tanya jawab, presentasi, maupun diskusi serta pemberian tugas secara terbuka dalam grup terkait pembahasan materi yang sedang dipelajari.



18



BAB IV JENIS PENUGASAN Jenis penugasan yang akan diterapkan di mata kuliah ini adalah: 1) Tugas mandiri: Mengevaluasi keluarga sendiri dengan menjelaskan: a. Bagaimana struktur yang ada dalam keluarga Anda? b. Bagaimana relasi yang terjalin dalam keluarga Anda selama ini? c. Jelaskan bagaimana bentuk keberfungsian keluarga Anda? d. Apakah kesadaran pengasuhan sudah benar-benar terwujud pada orangtua Anda? e. Jelaskan bagaimana pengalaman Anda saat menghadapi konflik dengan orangtua Anda? 2) Tugas terstruktur: Menganalisis dan mendiskusikan secara kelompok mengapa kasus perceraian di masyarakat terus mengalami tren peningkatan. Jelaskan faktor apa saja yang menjadi pemicu perceraian tersebut? 3) Tugas UTS: Carilah berita/kejadian disekitar Anda tentang tindak kekerasan terhadap anak oleh orangtua dalam sebuah keluarga. Dari kasus tersebut, lakukan analisis mengenai stress pengasuhan yang dialami oleh pelaku (orangtua). Berikan solusi menurut Anda agar tindak kekerasan tersebut tidak terulang lagi. 4) Tugas UAS: Silahkan evaluasi nilai-nilai apa saja yang telah diajarkan oleh orangtua terhadap Anda selama ini? Dan jelaskan nilai-nilai apa saja yang sudah mulai meluntur di masyarakat saat ini? (Boleh jelaskan menggunakan contoh kasus)



19



BAB V KRITERIA PENILAIAN A. Kriteria Penilaian meliputi : 1) Ujian Tengah Semester (UTS); dalam bentuk ujian tertulis dengan bobot nilai 35% 2) Ujian Akhir Semester (UAS); dalam bentuk ujian tertulis, dengan bobot nilai 35% 3) Tugas terstruktur; kemampuan menulis, memahami, dan menjelaskan materi tugas, dengan bobot nilai 15% 4) Tugas mandiri; kehadiran, keaktifan, ketrampilan dalam berdiskusi meliputi menyampaikan pendapat, menanggapi pendapat, serta mengambil konsep kesimpulan, degan bobot nilai 15%



B. Syarat mengikuti ujian semester 1) Kehadiran 75-100%: boleh mengikuti ujian 2) Kehadiran 50-75% : ujian dengan penugasan/bersyarat 3) Kehadiran