Mohammad Hatta [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



Mohammad Hatta



Biografi Singkat Siapa yang tak kenal dengan wakil presiden Negara kita ini? Mohamad Hatta atau akrab dipanggil Moh.Hatta merupakan tokoh proklamator yang sangat berperan penting terhadap Negara tercinta kita ini.Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga ia disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”.Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Mohammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Sangat besar jasa beliau yang telah diperjuangkan demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Ide-ide dan pemikirannya yang gemilang banyak berkontribusi pada NKRI,sehingga kita dapat menjadi bangsa yang besar seperti saat ini. Terbukti saat proklamasi kemerdekaan,Drs.Moh Hatta dianggap sebagai pemimpin utama bangsa selain Bung Karno. Berkat beliau,perselisihan pendapat antara golongan tua dan golongan muda dapat tercapai kesepakatan. Beliau berdialog dengan golongan muda tentang bagaimana tentang cara memproklamasikan kemerdekaan Indonesia



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



Selain itu, Bung Hatta adalah salah seorang perumus naskah Proklamasi. Bersama Bung Karno, Bung Hatta bertindak sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia. Selain menandatangani naskah Proklamasi, beliau mendampingi Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.Bung Hatta juga sangat berjasa atas perubahan beberapa kata dalam Piagam Jakarta. Sebagai pemimpin bangsa beliau menerima aspirasi seluruh rakyat Indonesia. Beliau memikirkan keutuhan seluruh bangsa Indonesia.



Masa Kecil-Remaja di Indonesia (1902-1921) Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Attar di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ayahnya, Muhammad Djamil yang seorang pemuka agama meninggal ketika Hatta berusia 8 bulan. Oleh karena itu, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang berasal dari keluarga saudagar. Masa remaja Hatta diisi dengan pendalaman agama Islam, belajar bahasa Belanda, dan mengikuti berbagai ceramah dan pertemuan politik baik yang bersifat lokal yang diisi oleh Sutan Ali Said, maupun yang berasal dari luar Jawa yang menghadirkan Abdul Moeis dari Sarekat Islam.



Hatta (kanan) bersama pamannya Mak Ayub Rais (kiri)



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808 Di Padang, Hatta mengikuti pendidikan di ELS dan MULO (istilah SD dan SMP di jaman



Belanda) dari 1913-1916. Setamat sekolah di Padang, pada pertengahan Juni 1919 Hatta melanjutkan studi di HBS (Hogere Burger School) di Betawi yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama. Di Betawi, Hatta remaja diasuh oleh pamannya yang biasa disebut dengan Mak Etek Ayub, seorang saudagar yang cukup sukses berdagang. Dia membiayai Hatta dan menumbuhkan minat dan kecintaan Hatta dengan buku-buku untuk pertama kalinya.



Dalam otobiografinya, Bung Hatta berkali-kali menyebut keteladanan Mak Ayub sangat berdampak besar dalam perkembangan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip yang diyakininya di masa depan. Pada masa inilah Hatta mulai belajar prinsip-prinsip berdagang serta kecintaan pada buku dan ilmu pengetahuan.



Setelah lulus dari HBS dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi, pada tahun 1921 Hatta ditawari beasiswa untuk belajar di Rotterdam School of Commerce. Di saat yang hampir bersamaan, Mak Ayub jatuh bangkrut karena terlilit hutang dan sempat menjadi tahanan Hindia Belanda. Di balik jeruji penjara, Mak Ayub tetap menyemangati Hatta untuk terus melanjutkan studi di Eropa. Akhirnya, Hatta yang saat itu baru berusia 19 tahun harus berangkat ke Belanda sendirian dan merasakan hidup jauh di rantau sejak usia belasan tahun.



Masa Studi di Belanda & Lahirnya Jiwa Pemberontakan (1921-1932) Masa studinya di Belanda ini menjadi awal mula dari perkembangan intelektual Hatta yang sangat pesat, sekaligus membuka mata Hatta untuk memenuhi panggilan dirinya dalam memperjuangkan hak kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia). Menjadi anak rantau di Eropa membuat matanya terbuka akan kemajuan peradaban, modernitas, perkembangan ilmu terbaru, serta peta perpolitikan dunia yang sedang berkecamuk paska Perang Dunia I dan revolusi di Rusia. Pada masa-masa ini jugalah Hatta mulai memikirkan berbagai bentuk ketidakadilan kaum kolonialis pada rakyat pribumi.



Selain melahap entah berapa ratus buku dari toko buku de Westerboekhandel dan perpustakaan kampus, Hatta juga mulai aktif dalam berorganisasi. Diawali dengan pertemuan diskusi antar sesama pelajar dari Hindia Belanda di rumah persinggahan bernama



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



Bilderdikjstraat, Hatta aktif dalam organisasi bernama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda). Dinamika diskusinya dalam organisasi tersebut, Hatta bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Soekiman Wirjosandjojo, dkk memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup radikal pada masanya, yaitu mengubah nama organisasi mereka dari “Indische Vereeniging” menjadi “Indonesische Vereeniging” yang kemudian berubah menjadi “Perhimpunan Indonesia”. Sampai akhirnya, Hatta yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mulai meresahkan



pemerintah



Belanda



akhirnya



ditangkap



dan dipenjara



di Casius-



straat bersama Nazir Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Dalam masa peradilan, Hatta membuat pembelaan yang sangat terkenal dan bikin masyarakat Eropa geger berjudul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka). Di waktu yang hampir bersamaan, Bung Karno juga menulis pembelaannya dengan judul “Indonesia Menggugat”. Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan sebelum mereka berdua bertemu. Setelah hampir enam bulan dipenjara, Hatta dibebaskan dan melanjutkan kuliah hingga lulus dengan gelar Drs pada 1932. Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis serta ribuan buku bacaannya yang berjumlah 16 peti. Tapi terlepas dari semua ilmunya itu, seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum Indonesia Merdeka.



Masa Kependudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-1945) Dalam masa kependudukan Jepang, para calon pendiri negeri kita seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) dihadapkan pada “musuh” imperialis Jepang yang sifatnya jauh berbeda dengan Belanda. Jika sebelumnya tantangan yang dihadapi adalah pemerintahan Belanda yang masih terbuka pada dialog dan pembelaan secara birokrasi dan dialektika. Maka Jepang tidak mau ambil kompromi untuk bersilang pendapat. Silang pendapat itu artinya bersilang katana beneran! Untuk itulah para calon



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



pendiri NKRI terpaksa harus bersikap ekstra hati-hati, lebih taktis, dan lebih kooperatif sambil tetap waspada dengan pergerakan dan tujuan tersembunyi dari pemerintah Jepang. Dalam polemik itu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri untuk berdiskusi dengan Mayjen Harada agar tidak menjadikan Nusantara sebagai koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang mengangkat empat serangkai jadi pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang merupakan organisasi propaganda buatan Jepang untuk dapat mengendalikan rakyat Nusantara dalam perang pasifik, baik dalam upaya kerja paksa (romusha) maupun bantuan militer. Peran serta tanggung jawab Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penderitaan rakyat pribumi atas romusha adalah sebuah perdebatan moral tiada akhir dalam sejarah bangsa ini. Di satu sisi, ini adalah pilihan berat yang mereka anggap sebagai “langkah paling tepat” pada saat itu, agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri dengan (berpura-pura) berkooperatif dengan Jepang. Di sisi lain, bagi tokoh pergerakan lapangan (seperti Tan Malaka, dkk) yang melihat secara langsung penderitaan rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta dinilai terlalu lembek bahkan pengecut karena mau-maunya jadi boneka Jepang. Puncak polemik ini adalah ketika Soekarno dan Hatta diundang ke Jepang untuk makan malam bersama Kaisar Jepang dan Perdana Menteri Tojo tahun 1943. Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat Nusantara untuk mendapatkan momen untuk menghirup udara kemerdekaan.



Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949) Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat seolah-olah kita sudah ‘menang sepenuhnya’. Dalam kondisi ini,



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



tantangan berikutnya yang harus dihadapi adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai bentuk “upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku mendirikan negara” yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak seluruh kepulauan Nusantara. Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya mempertahankan status kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya merebut daerah NKRI. Kedua adalah upaya memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan perjanjian. Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betul-betul harus berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap perjanjian Linggarjati dan Renville. Puncak



“kekalahan”



Indonesia



adalah serangan



agresi



militer



Belanda



II ke



Yogyakarta pada 19 Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu, Indonesia saat itu benar-benar kalah telak, hancur berantakan hampir tak berbekas. Jatuhnya ibukota negara (saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI), beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan musuh ini memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Untungnya di saat-saat kritis, TNI masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 ke Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu Perjanjian Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam kesempatan terakhir merebut kembali jati diri Negara di Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag.



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



Bung Hatta (duduk di meja kedua dari kanan) yang saat itu berstatus sebagai Perdana Menteri, mewakili Indonesia dalam perundingan Konferensi Meja Bundar 1949



Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan paling menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di ambang kehancuran, seorang



putera Minangkabau



yang



telah



ditempa



oleh



kedisiplinan



belajar



yang



mencengangkan, oleh keluasan wawasan yang didapat dari melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik seluruh dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949). Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran yang dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah simpatik pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia. Ditambah dengan penyalahgunaan alokasi dana setelah Perang Dunia II yang seharusnya digunakan Belanda untuk membangun negara, malah digunakan untuk menyerang negara lain. Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh kemenangan, karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah pengakuan kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik Indonesia sudah hilang dari peta dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu. Peran Moh. Hatta 1. Mendirikan perhimpunan Indonesia (IP) 2. Menjadi pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat) 3. Menjadi anggota Panitia Sembilan dalam merumuskan Piagam Jakarta 4. Bersama Ir. Soekarno menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 5. Menjadi pemimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus–2 November 1949 6. Pada tanggal 27 Desember 1945, menandatangani naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 7. Drs. Mohammad Hatta dipercaya mendampingi Ir. Soekarno menjadi wakil presiden pertama Republik Indonesia. Keteladanan Sosok Moh.Hatta Setelah mengerti dan memahami jasa-jasa yang telah dilakukan oleh Bung Hatta terhadap Indonesia,kita juga harus dapat memetik dan mencontoh pribadi baiknya. Berikut sedikit kisah hidup yang sedikit banyak dapat kita jadikan inspirasi dan motivasi dalam kehidupan :



1. Sederhana dan baik hati “Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan.Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Padahal, jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong



Nama : Mohamad Arifudin Fibrianto Kelas : Teknik Elektro SV A16 NIM : 16/396595/SV/10808



para duta besar atau pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta. Namun, di sinilah letak keistimewaan Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang lain. Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.” 2. Jujur dan Rendah hati Ketika Bung Hatta ingin menunaikan ibadah haji di tanah suci, beliau berangkat dengan menggunakan biaya sendiri. Padahal waktu itu Bung Karno telah menawari untuk berangkat menggunakan pesawat terbang yang biayanya ditanggung negara. Tapi, Bung Hatta menolaknya dan lebih memilih untuk naik haji menggunakana biaya sendiri sebagai rakyat biasa. Hebat bukan? 3. Mendahulukan kepentingan Negara Ibu Rahmi, istri Bung Hatta menabung sedikit demi sedikit untuk membeli mesin jahit. Ketika tabungannya sudah cukup, Ibu Rahmi pun berencana untuk membeli mesin jahit impiannya. Tapi, kemudian Ibu Rahmi sedih karena tidak jadi membeli mesin jahit tersebut. Kenapa? Sewaktu Ibu Rahmi akan membeli mesin jahit ternyata ada berita bahwa ada penurunan nilai mata uang dari 100 rupiah menjadi 1 rupiah. Meskipun Bung Hatta tahu hal itu, beliau tidak mau menceritakan kepada Ibu Rahmi karena hal tersebut merupakan suatu rahasia negara.



Itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman ini. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak berutang atau bergantung pada orang lain.Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini, seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi berutang dan meminta sedekah dari orang asing.