Motif Ukir Semarangan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Motif Ukir Semarang Written By Unknown on Saturday, 4 April 2015 | 12:49:00 pm Motif Ukir Semarang merupakan stilasi dari bentuk tumbuhan menjalar. Daun pokoknya berbentuk relung (lung). Pada sepanjang relung ditumbuhi daun trubusan yang berbentuk kombinasi bulat dan runcing. Unsur - unsur yang terdapat pada motif ukir Semarang terdiri dari :



1.) Relung Relung pada motif ukir Semarang berbentuk panjang melengkung. Pada ujung relung berbentuk ulir. 2.) Daun Daun pada motif ukir Semarang di ukir berbentuk bulat semua. 3.) Ulir Ulir pada motif ukir Semarang terdapat pada setiap ujung relung. Selain itu ulir sering terdapat pada daun trubusan. 4.) Benangan Benangan terdapat pada setiap daun dengan bentuk ukiran miring. Ciri Khusus Motif Ukir Semarang : - Semua daun di ukir berbentuk bulat. - Ujung relung berbentuk ulir



Ragam Hias Batik Semarangan Ciri khas yang terdapat pada Batik Semarang 16 adalah motif dan ragam hias yang mengambil artefak dan kekhasan Kota Semarang. Ini tentu saja melalui proses yang panjang, termasuk di dalamnya pendapat dan komentar minor soal keberadaan batik yang bisa disebut khas Semarang.



Sebelumnya, sering muncul pertanyaan: adakah yang bisa disebut Batik Semarang? Kalau ada, apa ciri khasnya? Ragam hias seperti apa yang bisa langsung jadi titik pengenal suatu batik disebut batik Semarang. Yang tanya seperti itu tak hanya orang dari luar Semarang, tapi juga orang dari dalam Kota Semarang sendiri. “Setiap mengadakan pelatihan dan pameran, saya selalu ditanya apa benar ada batik Semarangan? Ya, orang-orang tentu sudah mengenal batik Solo, Yogya, Pekalongan, atau Lasem. Tapi saya terus saja berkreasi dengan memunculkan ragam hias yang saya ambil baik dari artefak di Kota Semarang maupun kekhasan lain dari kota itu,’’ tandas Umi pemilik Sanggar Batik Semarang 16. Dalam suasana keragu-raguan mengenai identitas batik Semarang, Batik Semarang 16 terus berkreasi menghasilkan batik-batik yang khas. Sebagai identitas batik gaya Semarangan, di antara ratusan motif, 11 di antaranya telah diakui dan dipatenkannya di HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Kesebelas motif itu menampilkan artefak Semarang sebagai ragam hiasnya, antara lain Lawang Sewu Ngawang, Ceng Ho neng Klenteng, Asem Arang (bervarian tiga motif), Gambang Semarangan, Tugu Muda Kekiteran Sulur, dan Blekok Srondol.



Kampung Kulitan dan Gandhekan, Pemukiman Bangsawan yang Jadi Pangkalan Terbesar Gilo-Gilo June 09, 2016



DAHULU, nama Kampung Kulitan dikenal karena menjadi kediaman Tasripien, tuan tanah dengan jumlah kekayaan yang tak terbilang. Seiring dengan meredupnya pamor dinasti Tasripien, popularitas kampung di wilayah Kecamatan Semarang Tengah atau berada di kawasan Jalan MT Haryono itu pun tetap tidak hilang. Reputasi nama kampung pun kembali besar setelah awal 1960-an, para perantau asal Klaten dan Sukoharjo menghuni kawasan itu. Bersama Kampung Gandhekan, Kulitan dikenal menjadi pangkalan gilo-gilo terbesar di Kota Semarang. Tak kurang dari 80-an orang pedagang tinggal di kedua kampung yang bersebelahan itu. Setiap hari, mereka berkeliling menjajakan Gilo-gilo ke seluruh sudut Kota Semarang. Gilo-gilo, begitu masyarakat menyebut aneka makanan yang dijajakan pedagang dengan gerobag kayu yang suka berkeliling atau mangkal di beberapa titik di Kota Semarang. Makanan yang dijual diantaranya, nanas, pepaya, bengkoang, melon, semangka, pisang, pisang goreng, singkong goreng, jadah goreng, bakwan, martabak pasar, bakwan, onde-onde, molen pisang, bolang-baling, tahu goreng, tahu isi, tahu petis, nagasari, sate kerang, sate telur puyuh, beberapa macam kerupuk dan masih ada yang lain.



Saat saya memasuki dua kampung yang masih terlihat beberapa rumah khas Semarangan yang kini dihuni cucu dan buyut Tasripien, Rabu (7/1) pagi, terlihat kesibukan kaum ibu membuat penganan. Para pedagang menyiapkan dasaran, mulai dari merajang buah, membersihkan gerobak dan mengisinya dengan aneka makanan. Gerobak-gerobak itu berjajar memenuhi jalan kampung yang tak seberapa lebar. Beranjak siang, satu per satu mereka berkeliling menjajakan dagangannya. Suwarno (64) perantau asal Klaten yang tinggal di Kampung Gandekan mulai 1966 dan



berjualan Gilo-gilo sejak 1981, menjelaskan, kata Gilo-gilo berasal dari kata "gi lho" yang merupakan transformasi dari "iki lho" yang artinye "ini lho". Atau, sang penjual ingin membuktikan eksistensi diri bahwa "ini lho makanan dan jajanan yang anda cari." ''Dulu, jumlah pedagangnya ada 80-an orang, sekarang sekitar 35 orang. Semua pedagang pun mengontrak rumah milik keturunan Tasripien, termasuk saya,'' tutur Suwarno, atau yang akrab disapa Pak Badut, saat ditemui di Jalan MT Haryono. Pedagang Gilo-gilo sejak 1990, Kuslan (59) yang juga tinggal di rumah milik Tasripien di Kampung Kulitan menambahkan, di Kampung Kulitan, sisa-sisa kejayaan Tasripien masih terlihat. Diantaranya tujuh rumah dengan bangunan asli bergaya Semarangan dengan bahan baku kayu jati yang masih kokoh berdiri. ''Dulu, jalan masuk kampung disini cukup lebar. Mobil pun bisa masuk. Sekarang tidak bisa. Rumah-rumah disini dulu ditempati kaum bangsawan. Sekarang, selain menjadi pemukiman pedagang Gilo-gilo, beberapa rumah ditempati keturunan Pak Tasripien,'' kata bapak dua anak dan tiga cucu itu, kemarin. (KS)



Pelestarian Kampung Kauman Kota Semarang Sebagai Kawasan Wisata Budaya By Staf Editor on Jumat, 15 September 2017 0



dolandolen.com



Berlibur ke Kampung Kauman Kota Semarang sangat menarik untuk dilakukan. Hari libur merupakan hari yang selalu ditunggu- tunggu semua kalangan. Begitu juga dengan kamu bukan ? Pilihan berbagai destinasi mesti kamu dipikirkan jauh-jauh hari. Setelah itu tentukan juga dengan siapa kamu akan menghabiskan hari liburmu. Tentunya akan sangat berarti jika kamu ditemani orang yang kamu sayangi seperti teman, sahabat, pacar maupun keluarga. Salah satu kota yang mempunyai aneka wisata adalah kota Semarang. Kota pesona Asia ini menawarkan ragam destinasi seperti pantai, hutan, gunung, air terjun, dan wisata alam lainnya. Jika kamu ingin mencari destinasi baru, mungkin kamu bisa mencoba destinasi bernuansa religi atau budaya.



Kampung Kauman salah satunya. Tempat ini terkenal sebagai kampung santri dengan segala kenangan budaya yang khas didalamnya. Pelestarian kampung Kauman dapat digunakan sebagai kawasan wisata budaya. Berikut simak informasi seputar kampung Kauman.



pegipegi.com



Sejarah Kampung Kauman Kauman adalah sebutan untuk tempat yang masuk dalam tatanan kota di setiap daerah Jawa. Terbentuknya kampung Kauman berawal dari Ki Ageng Pandanaran dalam memberikan karater islami yang begitu kental pada tempat tersebut. Kampung Kauman Semarang terletak di pusat kota. Pada kampung ini , hidup beragam etnis dari berbagai daerah , jadi tidak berasal dari jawa saja. Keharmonisasian penduduknya menjadi ciri khas kampung ini . Dampak aktivitas ekonomi di sekitarnya, membuat kampung Kauman berubah menjadi kawasan yang dipenuhi dengan aktivitas perdangangan dan jasa. Hal ini juga menggeser rumah khas pedesaan menjadi jajaran toko atau ruko yang terbentang di jalan raya Kauman. Untuk melestarikan kebudayaannya, masyarakat setempat berkomitmen menjaga segala jenis tradisi yang ada. Dahulu terjadi diskriminasi ras di Kota semarang. Terdapat 2 tipe ras. Kampung Kauman terkenal sebagai tempat penghuni ras kedua, khususnya ras arab. Berdasarkan sejarah, dimulai dari zaman kerajaan demak hingga zaman kerajaan mataram telah menjadikan Kauman sebagai tipologi central. Tempat kumpulan elite agama ini letaknya terkesan diwajibkan berada antara alun-alun dan masjid. Perkembangan zaman lambat laun merubah tempat ini. Kekhasannya sebagai kampung santri mulai bergese sejak adanya kegiatan perdagangan dan jasa .



Hal yang menarik tentang kampung Kauman 1. Pondok pesantren



Pondok pesantren Raudatul Qur-an berdiri di kawasan kampung Kauman. Seluruh aktivitas agamis yang rutin membuat keberadaan pondok pesantren ini menjadi alasan kuatnya suasana islamik yang begitu kental di kampung Kauman. 2. Tradisi dugderan



Tradisi dugderan merupakan hasil budaya yang unik dari kampung Kauman. Tradisi ini bertujuan untuk menyambut bulan Ramadhan. Kegiatan yang dilakukan berupa karnaval yang diikuti oleh warga Semarang. Tradisi ini menjadi acara nasional yang sering dinanti oleh masyarakat. 3. Masjid Agung Kauman



Masjid agung Kauman tergolong dalam masjid tua yang berada di Jawa. Berdirinya masjid ini serta peninggalan prasasti didalamnya, menunjukan bahwa dahulu Kauman merupakan salah satu pusat peradaban islam. Masjid ini juga mngukir sejarah yang unik. Mimbar masjid didalamnya merupakan tempat dimana diumumkan kemerdekaan Indonesia tepat pada tanggal 17 Agustus 1945. 4. Rumah tradisional



Rumah-rumah yang unik berbahan kayu dengan ukuran yang cukup besar mengisi berbagai titik di kawasan kampung ini. Meskipun telah terpengaruh oleh kehidupan sosial yang semakin maju, beberapa rumah tradisional yang ada mampu bertahan. Nuansa yang didapat dari rumah itu seakan membawa kita ke zaman peradaban islam tahun silam. 5. Pasar Johar



Pasar yang terletak di Kota Semarang ini merupakan pusat perbelanjaan yang diminati sejak dahulu. Aktivitas perdagangan dan jasa mempengaruhi perubahan sosial dan budaya Kampung Kauman. Bangunan lama ini menunjukan ciri khas Kauman pada zamannya. Namun sayang, beberapa waktu lalu terjadi kebakaran yang menyebabkan pasar Johar tak seontentik dulu. Berbagai hal menarik yang dimiliki kampung Kauman Semarang sangat patut untuk dilestarikan. Semuanya merupakan bukti identitas kampung penuh sejarah ini. Pelestarian kampung Kauman akan menjadikan tempat ini sebagai kawasan wisata budaya yang ada di Semarang.



Beragam Cerita di Balik Pemukiman Padat Kampung Mataram



Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah sekaligus menjadi kota terbesar kelima di Indonesia, Semarang tak lepas dari peran perkampungan-perkampungan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda.



Minggu pagi, 2 September 2018, bersama Bersukaria diajak untuk jelajah seputar Mataram. Bersukaria adalah semacam tour & travel di Kota Semarang yang salah satu programnya yaitu walking tour / tur jalan kaki. Setiap weekend mereka mengadakan walking tour dengan rute yang berbeda-beda dengan story teller yang bergantian. Di rute Mataram, kami dipandu oleh Mas Ardhi dengan titik kumpul di seberang Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto. Di pagi hari yang hawanya enak banget buat melanjutkan ke alam mimpi, satu persatu



dari



peserta



walking



tour



sebanyak



9



orang



berdatangan.



Setelah perkenalan diri masing-masing, Mas Ardhi mulai menjelaskan bahwasanya tempat sekarang kita berpijak di Jl. Dr. Cipto dulunya bernama Mlaten — salah satu pemukiman orang yang cukup berada. "Salah satu contoh rumahnya ada di sebelah sana. Dulu rumah itu punya halaman yang luas." lanjut Mas Ardhi sambil menunjuk ke salah satu rumah yang sepertinya tak berpenghuni.



Bangunan penting yang bisa kita lihat di salah satu ruas Jl. Dr. Cipto yaitu Rumah Sakit Panti Wilasa. Secara kasat mata, mungkin tidak ada yang menarik dari bangunan rumah sakit ini, tapi siapa kira ada sejarah panjang di baliknya?



Rumah Sakit Panti Wilasa kan ada 2 cabang nih, di Dr. Cipto dan di Citarum, kira-kira lebih duluan mana dibangunnya?



Jawabannya lebih dulu gedung Rumah Sakit Panti Wilasa Dr. Cipto. Diinisiasi tahun 1948 dan diresmikan pada tanggal 19 Januari 1950 sebagai Klinik Bersalin Panti Wilasa (yang mengandung arti Rumah Cinta dan Kasih Sayang) dan dikepalai oleh Zr. AJ. Heidema.



Pada tahun 1956 dibuka lembaga pendidikan untuk mendidik pembantu bidan. Kemudian baru pada tahun 1966 muncullah rencana sekaligus pelaksanaan proyek pembangunan RS Panti Wilasa Citarum. Tiga tahun kemudian dilakukan peletakan batu pertama RS Panti Wilasa Citarum. Singkat cerita, pada tahun 1974 pelayanan di komplek Jl. Dr. Cipto diresmikan menjadi RSU Panti Wilasa. (pantiwilasa.com)



Persis di sebelah selatan RS Panti Wilasa Dr. Cipto, terlihat rumah dengan model sama yang disebut rumah deret. Sekilas memang tak begitu kelihatan karena di bagian depan tertutup oleh pepohonan dan parkir mobil pengunjung RS Panti Wilasa. Rumah deret ini pun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya golongan D.



Belum ada data yang valid kapan dibangunnya, perkiraan sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-19. Di sebelahnya adalah bekas penjara Mlaten. (Sekarang Rupbasan kelas 1 Semarang). Kemungkinan rumah deret di sampingnya tadi merupakan bagian dari fasilitas penjara Mlaten.



Menyeberang di padatnya lalu lintas Jl. Dr. Cipto, tepat di depan Rupbasan, tibalah kami di tujuan berikutnya. Berbeda dengan 2 bangunan yang sebelumnya terkesan modern, tempat ini bernama Sobokartti.



Terlihat sangat khas bangunan Jawa dari atapnya yang mempunyai 3 tingkat, seperti masjid-masjid Jawa pada umumnya. Di dalam bangunan inti juga terdapat 4 buah soko guru serta pelataran. Adapun pendopo yang terpisah dengan bangunan inti dan masih sering digunakan untuk latihan tari anak-anak maupun dewasa.



Pembangunan Sobokartti diinisiasi oleh Ir. Herman Thomas Karsten dan Pangeran Prangwedana (kelak menjadi KGPAA Mangkunegara VII). Ketika itu kraton-kraton Jawa sedang terjadi proses demokratisasi berupa diijinkannya kesenian kraton (yang semula eksklusif untuk lingkungan kraton) diajarkan dan digelar di luar dinding kraton.



Untuk mendukung gagasan tersebut, dibuatlah pertemuan yang dihadiri antara lain Burgemeester Semarang Ir de Jonghe, Bupati Semarang RMAA Purbaningrat, GPH Kusumayuda dari Kraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar "De Locomotief". Dalam pertemuan itu disepakati untuk mendirikan perkumpulan kesenian yang diberi nama "Sobokartti" (tempat berkarya).



Sobokartti menjadi saksi sejarah pertempuran 5 hari di Semarang. Sebanyak 18 pemuda gugur di sana ketika berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang menjadikan Sobokartti sebagai markas. Jenazah mereka dimakamkan dalam satu lubang di kawasan Sobokartti, kemudian pada tahun 1960, 12 jenazah dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang sebagai 'Pahlawan Tidak Dikenal', sementara 6 jenazah lainnya dimakamkan kembali oleh keluarga masingmasing.



***



Menjauh dari Sobokartti, kami berjalan terus ke timur, mengamati ruko-ruko di Kawasan Dargo yang belum begitu ramai. Meski ada jalan tembus yang lebih dekat dengan 'the real Mataram', kami diajak berputar-putar dahulu seolah Mas Ardhi menginginkan peserta walking tour untuk berinteraksi dengan perkampungan-perkampungan yang dilewati. Beberapa rumah yang khas Belanda masih bisa ditemukan, meski sudah ada percampuran dengan gaya modern.



Beberapa menit kemudian sampailah kita di jalan yang selalu sibuk. Jalan ini sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, bernama Jl. Mataram. Menurut mas Ardhi, belum ada data yang valid kenapa dinamakan Mataram. Apakah ada hubungannya dengan tentara Mataram? Apakah ada kesamaan sejarah dengan Matraman di Jakarta?



Di sepanjang Mataram, dulunya dibangun jalur trem milik Samarang - Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) yang menghubungkan Semarang Djoernatan - Djomblang dengan jarak 4 kilometer. Selengkapnya mengenai jalur kereta api dan trem di Semarang, bisa ikut walking tour rute Spoorweg atau boleh juga baca-baca di link berikut ini.



Penamaan Jl. MT. Haryono baru ada setelah kemerdekaan. Kini, di sisi kanan kiri jalan utama berjajar ruko-ruko yang menjual segala macam produk. Di belakangnya, di antara gang-gang yang tak begitu lebar, terdapat perkampungan padat penduduk. Toponimi / penamaan daerah tersebut berdasarkan profesi masyarakatnya.



Dengan salah satu peserta walking tour, kami berandai-andai mungkinkah penyebutan nama-nama kampung yang berdasarkan profesi warganya ini berperan dalam suatu proses?



Misal: 



Jagalan ; diambil dari profesi warganya yang sebagian besar menjadi tukang jagal / pemotong







hewan seperti sapi / kambing. Kentangan ; dahulu menjadi tempat orang-orang menjemur kulit, sebutan Kentangan karena panasnya ngentang-ngentang (dalam Bahasa Indonesia semacam panas banget). Tapi beberapa







tulisan di internet menyebut bahwa Kentangan dulunya karena banyak orang menanam kentang. Kulitan ; dahulu daerah ini menjadi tempat pengrajin kulit.



Bukankah dari 3 kampung itu bisa dianggap sebagai suatu proses dari hewan yang dijagal, diambil kulitnya untuk dijemur, kemudian kulitnya dijadikan kerajinan?



"Tapi misalkan kalau mau cari malingan atau ngutangan, nggak ada ya. Walaupun itu juga kadang jadi profesi sih" canda mas Ardhi.



Menyeberang Jl. MT. Haryono, masuk ke kampung Grajen (dahulu menjadi tempat penggergajian / tempat pengumpulan serbuk-serbuk gergaji), berdiri sebuah klenteng yang terbilang masih muda dan berbeda dengan klenteng-klenteng yang ada di Pecinan.



Perbedaan itu ada pada atapnya yang bertingkat, pintu klenteng yang hanya ada satu semacam rolling door, serta tidak menggunakan nama Hookian melainkan disebut nama daerahnya yaitu Klenteng Grajen.



Setelah ini kami dibawa untuk menyusuri jalan-jalan kampung yang benar-benar beragam. Citra Semarang sebagai kota multicultural tersaji di sini. Seperti misalnya rumah-rumah orang Tionghoa berdekatan dengan masjid, atau rumah kuno Semarangan.



Atau bisa juga ditemukan di salah satu sudutnya, secuil rumah Verbetering. Berupa rumah deret yang bentuknya mirip. Kampung verbetering ini muncul awal abad ke-20 seiring dengan kebijakan politik etis, pemerintah Belanda memberi perhatian pada kampung dalam bentuk peningkatan infrastruktur juga dalam mengatasi masalah kesehatan dan sanitasi.



Keluar masuk perkampungan, akhirnya sampailah kita di salah satu sudut gang yang cukup instagramable. Pada mulut gang tertulis Kampung Kulitan. Bicara mengenai Kampung Kulitan tak lepas dari salah satu saudagar dan tuan tanah pribumi dari Semarang. Ia adalah Tasripin, seorang pengusaha kopra, kapuk, dan juga memiliki bisnis kulit yang dijalankan di Kampung Kulitan ini pada



permulaan abad ke-19. Kampung Kulitan dahulu juga disebut sebagai 'Kerajaan Tasripin' karena ia beserta segenap kerabatnya pernah tinggal di sini.



Meski tak begitu luas dibanding kampung yang lain, beberapa rumah khas Semarangan dengan bahan kayu jati bisa kita lihat langsung di sepanjang Kampung Kulitan.



Tak hanya menarik dalam hal arsitektur bangunan, kampung-kampung di Mataram juga tak mau kalah dalam hal kuliner. Di salah satu gang misalnya, ada penjual lumpia atau penjual moachi yang cukup terkenal di Semarang. Selisih beberapa gang, sebagian besar warganya berdagang olahan kambing. Tempat itu bernama Kampung Bustaman, yang terkenal dengan Gulai Bustaman. Spesialnya dari gulai tersebut terletak pada dagingnya yang menggunakan daging bagian kepala serta tanpa santan.



Memasuki Kampung Bustaman, bau prengus kambing senantiasa terhirup sepanjang jalan. Beberapa warga terlihat sedang mengolah daging kambing. Bisnis kambing di Kampung Bustaman sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Pelopornya ada 4 orang yaitu H. Marzuki, H. Ibrahim, Khayat, dan Ny. Klentheng. Bedanya, zaman dulu kambingkambing yang akan dipotong harus dibawa ke Rumah Pemotongan Hewan (RPH), jika tidak maka akan dikenakan sanksi / denda.



Kampung Bustaman juga tak lepas dari salah satu tokoh pelukis terkenal yaitu Raden Saleh Sjarif Boestaman. Masa kecilnya, beliau pernah tinggal di sini. Pada saat usianya 10 tahun, oleh pamannya — yang menjabat Bupati Semarang diserahkan kepada Belanda untuk belajar. Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembagalembaga elite Hindia Belanda.



Raden Saleh dikenang terutama karena lukisan historisnya 'Penangkapan Pangeran Diponegoro' yang menggambarkan peristiwa pengkhianatan Belanda kepada Pangeran Diponegoro untuk mengakhiri Perang Jawa pada tahun 1930. Sebelumnya sudah ada pelukis Belanda, Nicolaas Pieneman yang melukis penangkapan Pangeran Diponegoro, tapi Raden Saleh seolah tidak setuju dengan penggambaran Pieneman, kemudian beliau memberikan sejumlah perubahan signifikan pada lukisannya.



Seperti yang dikatakan mas Ardhi di awal-awal kalau rute Mataram ini tidak banyak bangunanbangunan bersejarah / cagar budaya yang bisa diulik. Namun, Mataram dengan pesonanya yang tersembunyi di balik ruko-ruko dan pemukiman padat penduduk, menyimpan potensi tersendiri di Kota Semarang. Bagi pecinta rumah-rumah kuno jelas mereka akan terkagum-kagum dengan keaslian serta ornamen-ornamen beberapa rumah warga. Syaratnya cuma mata harus jeli melihat ke kanan dan ke kiri. Karena banyak juga bangunanbangunan modern yang berdiri di area perkampungan Mataram.



Batik Semarang



Kota Semarang dikenal dengan sebutan kota atlas, yaitu sebagai pusat kota dan ibukota Jawa Tengah. Tak banyak yang tau, jika di kota ini juga menghasilkan kerajinan batik. Batik Semarang biasa disebut dengan Batik Semarangan. Sejak zaman Belanda, di kampung Rejomulyo sudah terdapat pengrajin batik, namun pada zaman Jepang, kampung ini sempat terbakar. Pada tahun 1980 embrio sentra batik tumbuh dan berkembang kembali di lokasi kampung Batik Semarang. Di dalam sentra tersebut tumbuh sekitar 15 sampai 20 perajin batik. Selanjutnya dalam pembinaan terhadap industri kecil batik, untuk mengantipasi pencemaran yang ada, sentra batik di kampung batik dipindahkan ke lokasi Desa Cangkiran Kecamatan Mijen. Ternyata oleh karena usia para perajin yang semakin tua, industri batik di desa Cangkiran Kecamatan Mijen tidak berkembang. Industri batik tersebut hilang, hingga pada tahun 2006, industri batik di kampung ini mulai dibangun kembali. Pembinaan, lebih secara teknis mengenai dasar cara pembuatan, gambar, pewarnaan, pencelupan warna natural alam, sampai menimba ilmu dengan magang ke lokasi industri batik di kota batik seperti Jogja, Solo maupun Pekalongan. Tahun 2007, dimulai sebuah seminar tentang batik berfokus pada pembahasan apa dan bagaimana motif atau corak ragam hias batik Semarang. Batik Semarangan Motif Lawang Sewu



Sumber: https://warung-raa.blogspot.com Batik Semarang adalah batik yang diproduksi oleh orang atau warga kota semarang dengan motif atau ragam hias yang berhubungan dengan ikon-ikon Semarang. Sebuah pengertian atau definisi yang akhirnya muncul dari pembahasan tersebut. Batik Semarang menggunakan motif flora dan fauna, dan saat ini motif Batik Semarang juga bertambah tidak hanya batik dengan motif flora dan fauna saja tetapi ada juga batik Semarang dengan motif ikon kota Semarang. Misalnya pohon asem, tugu muda, lawang sewu, serta legenda-legenda yang ada di kota Semarang seperti legenda Jatigaleh dan lain sebagainya. Selain itu, warna batik Semarangan tidak semeriah batik Pekalongan. Namun, tidak sekalem warna batik Solo atau Yogya. Batik Semarangan Motif Lawang Sewu Kekiteran Asem



Sumber: https://warung-raa.blogspot.com Motif Batik Semarangan yang telah mendapatkan hak paten adalah Motif Tetenger Kutho, Motif Dlorong Asem Baris, Motif Legenda Banyumanik, Motif Legenda Jembatan Mberok, Motif Tosan Aji,



Motif Puspa Lestari, Motif Legenda Watu Gong, Motif Kuliner Bandeng Presto, Motif Semesta, Motif Merak Bertengger, Motif Legenda Pleburan, Motif Legenda Gedong Songo, Motif Kembang Kipas, Motif Pesona Tugu Muda, Motif Gua Kreo, Motif Legenda Pekojan, Motif Daun Menari, Motif Merak Puspa Rukmi, motif Legenda Sendang Mulyo, Motif Legenda Jatingaleh, Motif Kembang Beras, Motif Samodro Amangku Nagari, Motif Legenda Meteseh, Motif Asem Manis, Motif Wono Segoro, Motif Gombel, Motif Puspita Indah, Motif Wit Asem Ing Tugu, Motif Kuliner Lonpia II, Motif Dlorong Asri, Motif Blekok Ing Laut Marina, Motif Legenda Pasar Johar, Motif Asem Tugu Semarang, Motif Tari Kupu Ing Ron Pring, Motif Kuliner Tahu Gimball. Batik Semarangan Motif Asem Tugu Semarang



Sumber: https://warung-raa.blogspot.com Batik Semarangan Motif Motif Blekok



Sumber: https://produsenbatik.com



Dalam proses membatik, ada keunikan lain dari para pengrajin batik di Semarang. Sebagian besar dari mereka sudah menggunakan canting elektrik. Canting tersebut dihubungkan ke listrik, kemudian potongan-potongan malam dimasukkan ke dalam lubang canting. Malam itu akan mencair dengan sendirinya akibat panas yang dihasilkan dari listrik. Namun penggunaan canting elektrik ini dianggap mengurangi nilai seni dan budaya dari batik itu sendiri. Canting Listrik



Sumber: https://bkbalau.blogspot.com Banyak para peneliti melakukan penelitian terhadap motif Batik Semarang karena keunikan dan kekhasan batik tersebut. Lee Chor Lin, menegaskan Batik Semarang dalam beberapa hal memperlihatkan gaya laseman karakter utama laseman berupa warna merah (bangbangan) dengan latar belakang gading (kuning keputih-putihan). Maria Wonska-Friend, ciri pola Batik Semarang berupa floral, yang dalam banyak hal serupa dengan pola Laseman. Ini mempengaruhi, motif batik di abad ke-20 yang disebut batik Lasem atau Semarang. Artinya, batik-batik tersebut tidak spesifik mewakili kreasi satu kota misalnya batik Lasem saja atau batik Semarang saja namun ada unsur penggabungan. Pepin Van Roojen, motif batiknya seperti papan dan tumpal dengan ornamen berupa bhuta atau sejenis daun pinus runcing asal Kashmir. Motif badannya berupa ceplok, walau motifnya lebih bebas, namun pola-pola baku tetap pula dipakai seperti ditunjukkan pada pola ceplok itu. Robyn Maxwell, motif Batik semarang memiliki dekorasi dari warna alam yang sangat berbeda dengan motif Solo atau Yogyakarta. Batik Semarangan Motif Cheng Hou Neng Klenteng



Sumber: https://warung-raa.blogspot.com Produksi batik Semarangan terpusat pada Kampung Batik, yang beralamatkan di kelurahan Rejomulyo, Semarang Timur. Beberapa jenis batik yang terdapat di Semarang yaitu Batik Desa Gemawang, batik ini memiliki ciri khas unsur batik kopi, tala madu dan baru klinting, sedangkan pewarnaan utama menggunakan indigo (indigofera). Batik Franquemont dan Oosterom, dominasi warna hijau sebagai kekhasan, khas dengan pola-pola bermotif Eropa, Cina dan pesisir utara khususnya Madura, pola-pola yang dikembangkan adalah pola keraton, mengadaptasi figur dan atribut dari berbagai dongeng Eropa, pola sedikit rumit dan kompleks. Batik Kampung Batik, yang disebut kampung batik yaitu kampung-kampung yang berada di sekitar kota Semarang tempo dulu. Diantaranya Bugangan, Rejosari, Kulitan, Kampung Melayu, dan Kampung Darat. Kampung batik merupakan sentra batik di Semarang yang pernah mengalami kejayaan pada zaman Belanda. Motif-motif yang dikembangkan, berupa motif naturalis (ikan, kupukupu, bunga, pohon, bukit, dan rumah), Ciri itu dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir, yang lebih terbuka dan ekspresionis. Batik Semarang 16, batik dengan motif yang dikembangkan, terutama motif kekinian yang berhubungan dengan landmark atau tenger kota Semarang seperti Tugu Muda, Lawang Sewu, Pohon Asem, Blekok Srondol dan lainnya. Batik Tan Kong Tien, motif dasar parang yang merupakan motif batik keraton, dipadu dengan motif burung merak, menjadi cirikhas dari “Batikkerij Tan Kong Tien” merupakan hasil akulturasi motif pesisiran yang berkarakter terbuka dan motif keraton. Dan lain sebagainya. Unik dan berbeda dengan batik dari daerah lain kan Sahabat. Silakan jadikan Batik Semarangan menjadi salah satu koleksi anda. Semoga bermanfaat.



Jalan Leluhur Rumah Kopi Semarang by Silvia GalikanoPosted onNovember 26, 2017



R umah Kopi di Jalan Wotgandul Barat, Semarang diperkirakan berdiri pada 1850-an. (Foto Silvia Galikano)



Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi. Oleh Silvia Galikano Rumah dua lantai bercat putih ini berlanggam Indis, berdiri di tengah lahan seluas 2000 meter persegi yang dikelilingi pohon tua dan tanaman perdu yang asri. Kolom-kolom art deco di lantai bawah menopang balkon yang kolomnya bergaya Tuscan dengan baluster besi, fascia kayu, dan verge board (papan berukir di ujung pertemuan dua atap). Rumah ini beralamat di Jalan Wotgandul Barat 12, Kebonkarang, Semarang. Sekarang masuk kawasan Pecinan. Namun pada awal abad ke-20 saat pembatasan wilayah diterapkan ketat, rumah ini berada di luar Pecinan, berjarak tak sampai 100 meter di luar batas. Baca juga Spiegel Tak diketahui siapa pendiri dan kapan didirikannya, namun dari langgamnya dan ketika diurutkan silsilah ke atas, diperkirakan tahun 1850-an.



Penghuni sekarang adalah Widayat Basuki Dharmowiyono (Tan Tjoan Pie), 72 tahun yang mewarisinya dari sang ayah, Tan Liang Tjay (1907 – 1981). Basuki mengelola penyangraian kopi (coffee roastery) bernama Margo Rejo, usaha keluarga sejak kakeknya, Tan Tiong Ie (1883 – 1949). Itu sebab rumah ini dikenal masyarakat dengan sebutan Rumah Kopi.



Ruang tamu Rumah Kopi. (Foto Silvia Galikano)



Tiga generasi Tan dilahirkan di rumah eklektik ini, terakhir adalah generasi Basuki (kelahiran 8 Oktober 1945) berikut dua kakak dan satu adiknya. Sedangkan anak dan cucunya lahir di rumah sakit. Basuki pun menciptakan budaya baru yang dia sebut “budaya Basuki”, menjadikan pintu tengah—dari tiga pintu—sebagai pintu upacara (ceremonial door). Pintu tengah ini hanya dilewati anggota keluarga untuk pertama kali memasuki rumah dan untuk keluar rumah terakhir kalinya. Baca juga Warisan Ternama di Pecinan Jakarta “Anggota keluarga baru, misalnya setelah menikah atau bayi yang baru lahir di klinik bersalin, begitu pertama kali dibawa pulang, lewatnya pintu ini. Lalu nanti keluarnya peti jenazah, lewat sini juga,” saat dijumpai di kediamannya di Semarang, akhir Oktober 2017. Seperangkat kursi yang ada di tengah ruang tamu masih kursi tamu yang ada di foto lama hitam putih, hanya kain pelapisnya yang sudah diganti. Di ruang tamu itu ada perabot yang menyita perhatian, berada di pojok kiri dari pintu utama, yakni lemari altar.



Kong po atau lemari altar, bergaya art deco. (Foto Silvia Galikano)



Basuki Dharmowiyono. (Foto: Silvia Galikano)



Menariknya, alih-alih dengan ukiran khas Tionghoa, lemari altar ini bergaya art deco dan minim ukiran. Selainsebagai tempat mengenang dan menghormati leluhur, altar ini juga difungsikan sebagai tempat menyimpan sinci (papan arwah) tiga generasi ke atas, hingga Tan Tjien Gwan (1861 – 1914), kakek buyut Basuki. Leluhur Basuki yang pertama datang ke Nusantara adalah Tan Bing atau Juragan Bing, dari Hokkian/Fujian di Tiongkok pada 1790-an. Baca juga Selamat Jalan, Bu Dini Sedangkan keturunan Tan Bing yang pertama menghuni rumah ini adalah Tan Ing Tjong (1837 – 1899, cicit Tan Bing), seorang pemegang pacht garam dan opium pada akhir abad ke-



19. Sebelum dimiliki Tan Ing Tjong, menurut Basuki, rumah ini adalah milik kerabat Tan Ing Tjong yang juga pemilik pacht namun merugi sehingga menjual rumahnya untuk menutup kerugian.



Generasi kedua yang mendiami rumah ini adalah Tan Tjien Gwan, dan diteruskan Tan Tiong Ie, juga pemegang pacht garam. Nahas, Tiong Ie, yang tak lain kakek Basuki, merugi besar hingga keuangannya morat-marit dan terjerat utang. Baca juga Hotel Candi Baru, Arti Sebuah Legitimasi Alexander Claver dalam Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java: Colonial Relationships in Trade and Finance, 1800-1942 (2014) yang merupakan disertasinya di Vrije Universiteit, Belanda, menuliskan, setelah berhasil membayar kembali utang-utang berkat bantuan teman-teman dan kerabat, Tiong Ie memboyong keluarganya ke Cimahi, kota di sebelah barat Bandung, untuk memulai hidup baru. Awalnya dia membuka toko roti kecil – sebagaimana hobi istrinya membuat roti – dan berbisnis kayu, yang membuatnya bisa bernapas longgar walau bukan sukses besar.



Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. (Dok. Basuki Dharmowiyono)



Generasi terdahulu keluarga Tan berfoto di ruang tamu. Tampak kursi tamunya tetap sama dengan sekarang. (Dok. Basuki Dharmowiyono)



Margo Redjo berdiri Keluarga ini menorehkan takdir barunya pada 1916 ketika memutuskan mencoba peruntungan di bidang kopi dengan mendirikan pabrik penyangraian kopi Eerste Bandoengsche Electrische Koffiebranderij “Margo-Redjo” di Cimahi. Margo Redjo, bahasa Jawa yang berarti “jalan kemakmuran”, menjual bubuk kopi ke pedagang grosir dan eceran. Baca juga Mengenang Nh Dini



“Tidak tahu persisnya mengapa Cimahi yang dipilih sebagai tempat usaha, bukan Semarang. Kemungkinan karena gagal di pacht garam, Cimahi tempat pelarian saja,” kata Basuki. Sewaktu perusahaan belum lama berjalan, Tong Ie pulang ke Semarang pada 1925 dan melanjutkan Margo Redjo di Semarang. Alat-alat produksi yang saat itu masih sederhana, dibawa pindah ke Semarang, termasuk alat sangrai besar model pertama yang berbentuk bulat berbahan bakar kayu (versi lebih modern pada 1930-an menggunakan bahan bakar gas).



Duduk depan Tan Tiong Ie dan istri, Kwee Sik Yang. Belakang adalah anak-anak mereka (ki-ka) Tan Liang Hoo, Tan Liang Tjay, dan Tan Sioe Nio. (Dok. Widjajanti Dharmowijono)



Kala itu, ibunda Tong Ie, Goei Joe Nio, masih hidup dan tinggal di Semarang. Ada kemungkinan dia dipanggil pulang ibunya. Sempat Tiong Ie membuka pabrik es juga di Semarang, tapi karena tak memberi banyak keuntungan, dia berfokus pada Margo Redjo. Baca juga Eksotiknya Kuliner Semarangan Ruang belakang rumah Jalan Wotgandul Barat jadi tempat produksi baru kopi Margo Redjo yang segera mendapat sambutan pasar. Karyawannya terus bertambah sampai-sampai perlu sirine sebagai penanda dimulai dan berakhirnya waktu istirahat.



Bangunan di tenggara rumah utama menjadi kantor dan rumah tinggal Tan Liang Hoo, putera sulung Tan Tiong Ie, yang juga aktif mengelola Margo Redjo.



Kong po atau lemari altar, bergaya art deco diletakkan di sudut ruangan.(Foto: Silvia Galikano)



Dua pasang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah. (Foto: Silvia Galikano)



Meski dimulai dari awal lagi, tak sulit bagi Margo Redjo merebut pasar kopi mengingat belum adanya saingan di segmentasi yang sama. Claver menuliskan bahwa kunci sukses perusahaan itu adalah strategi pemasaran yang cerdas, yang dikendalikan dengan keras oleh Tan Liang Hoo. Dia punya ketertarikan besar pada produksi dan teknik pemasaran serta selalu mengikuti informasi mutakhir dunia dengan membeli majalah serta buku-buku terkait. Dia juga punya ide kreatif dan original untuk pemasaran dan kampanye kehumasan.



Baca juga Merawat Marwah Rumah Tjoa Strategi itu di antaranya Margo Redjo memproduksi beragam kualitas kopi dengan merek dan harga berbeda-beda. Tjap Grobak Idjo adalah yang paling murah, sementara Tjap Margo Redjo yang paling mahal. Di antara keduanya ada Tjap Pisau, Tjap Orang-Matjoel, Koffie Sentoso, Koffie Mirama, dan Koffie Sari Roso. Margo Redjo juga membedakan kemasan untuk pedagang grosir dan untuk pelanggan perorangan. Pedagang eceran juga bisa memesan label khusus dengan merek mereka sendiri, strategi yang saat itu belum umum dipraktikkan. Jaringan distribusi Margo Redjo berkembang baik. Selain mencapai Singapura, Makassar, dan Lampung, khusus di Jawa, merek ini masuk sampai tempat-tempat terpencil.



Patung singa bergaya Eropa, diperkirakan dipasang saat renovasi teras. (Foto Silvia Galikano)



Patung singa bergaya Eropa, diperkirakan dipasang saat renovasi teras. (Foto Silvia Galikano)



Margo Redjo juga tak segan-segan menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk mengiklankan produknya yang berberbeda-beda di koran-koran, ikut pameran, memberi bonus, serta mengadakan lomba-lomba berhadiah. Tan Liang Hoo sendirilah yang jadi copy writer sekaligus desainer untuk iklan, flyer, dan poster Margo Redjo. Tan Tiong Ie masuk dalam Orang-orang Tionghoa (1935) yang memuat daftar orang Tionghoa terkaya di Jawa. Dia disebut sebagai pengusaha Tionghoa pertama yang mengekspor kopi ke negara lain dengan jumlah ekspor mencapai satu juta kilogram kopi setiap tahun. Margo Redjo menjadi perusahaan sangrai kopi terbesar di Jawa yang mempekerjakan puluhan pekerja. Tan Tiong Ie akhirnya mampu mengirim Tan Liang Hoo kuliah hukum di Leiden, di salah satu universitas paling bergengsi di Belanda. Baca juga Untuk Lasem, Roemah Oei Buka Gerbangnya Sentuhan art deco Di tengah masa jaya inilah, pada 1927, rumah mengalami renovasi, antara lain penambahan luas teras dari 10×2 meter menjadi 10×4 meter. Empat kolom di lantai bawah, yang sebelumnya sejajar dengan kolom di lantai atas, dimajukan. Bentuk kolom teras bawah pun diubah sesuai zaman, dari bergaya Tuscan menjadi art deco.



Kwitansi pembayaran jasa renovasi Van Oyen (Dok. Basuki Dharmowiyono)



Berita kematian Tan Tiong Ie 31 Mei 1949 di surat kabar. (Dok. Basuki Dharmowiyono)



Renovasi yang juga mencakup ruang produksi di belakang dipercayakan kepada arsitek terkenal masa itu, Liem Bwan Tjie (LBT, 1891-1966), arsitek modern pertama yang berpendidikan Belanda dari kalangan Tionghoa-Indonesia. LBT banyak mengerjakan rumah mewah masyarakat Tionghoa di Semarang. Tiong Ie juga memesan lemari altar, menggantikan lemari altar lama bergaya Tionghoa yang diberikan ke tetangga seberang rumah, sekarang jadi kedai kopi bernama Stasiun Kopi.



Pembuat lemari altar art deco ini tidak main-main, J. Th. van Oyen (1893-1944), arsitek Belanda ternama yang membangun Gereja Gereformeerd (1918) di Semarang, Gereja Santa Theresia (pembangunan 1933-1934) di Jakarta, dan Gereja Katedral Randusari di Semarang (pembangunan 1936-1937). Baca juga Bali Hotel dan Singgahnya Negarawan Dunia Di tengah-tengah lemari altar diukir karakter Mandarin yang berarti “Dapat mengikuti jejak leluhur”. Di kanan dan kiri altar dipasang papan bertuliskan karakter Mandarin, yang jika diartikan, “Walau lumut berukuran kecil, bermanfaat pula” dan “Sebaik-baiknya punya anak berkecukupan, lebih baik lagi kalau anak itu pandai.” Dari kwitansi berangka tahun 1927, sebetulnya Van Oyen juga terlibat dalam renovasi rumah dan pabrik Margo Rejo, namun tidak diketahui apa lagi yang dikerjakan Van Oyen selain membuat lemari altar. Serta apakah Van Oyen dan LBT bekerja pada waktu bersamaan ataukah berselang beberapa tahun.



Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto: Silvia Galikano)



Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto Silvia Galikano)



Setelah Belanda angkat kaki dan Jepang belum mendarat, kondisi keamanan tak stabil. Tan Tiong Ie memutuskan mengganti daun jendela yang sebelumnya adalah kaca patri, menjadi kayu. Daun pintu yang dari kaca patri pun ditambah daun pintu kayu sebagai pelindung, sehingga masing-masing pintu punya dua pasang daun pintu, membuka ke luar dan membuka ke dalam. Daun pintu dari kaca patri dan dari kayu itu sekarang masih terpasang di tempatnya, sedangkan keberadaan daun jendela kaca patri tak diketahui. Suasana yang tak tenang ini juga menyebabkan tak setiap hari karyawan Margo Redjo bisa datang yang berakibat perusahaan tak bisa setiap hari berproduksi. Usaha kopi Margo Redjo pun mulai turun. Ketika perang usai dan Indonesia merdeka, Margo Redjo kesulitan mengembalikan posisinya ke keadaan semula. Pesaing sudah menggantikan posisi lowong yang dulu ditinggalkan. Baca juga Cita Rasa Retro Terus Dirindu Re-branding Margo Rejo Basuki Dharmowiyono melanjutkan Margo Rejo sekaligus Rumah Kopi warisan ayahnya selulus kuliah di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1975. Dia belajar sendiri



teknik sangrai, bukan dari ayahnya. “Ayah banyak mengarahkan saya untuk kuliah hukum, bukan mengarahkan ke kopi,” ujarnya.



Ruang produksi kopi menempati bangunan membujur di barat rumah utama. (Foto Silvia Galikano)



Mesin panggang kopi. (Foto Silvia Galikano)



Margo Rejo belum kembali ke kejayaannya di awal abad ke-20, malah sejak 1990-an Basuki nombok tiap bulan agar produksi berjalan terus. “Saya punya keterikatan emosional dengan Margo Rejo, tidak mungkin saya tutup. Syukurlah sekarang trennya naik,” kata Basuki. Ruang produksi lama sekarang jadi gudang. Ruang produksi sekaligus penjualan biji kopi sekarang ada di bangunan sayap barat. Di sinilah biji kopi mentah dari berbagai daerah di Indonesia diolah dan dipanggang untuk kemudian dipasarkan dalam bentuk biji. Kafe-kafe yang kini menjamur di Semarang tak sedikit mendapat pasokan biji kopi dari Margo Rejo. Sering juga coffee cupping diadakan di sini. Berbeda dengan ayah dan kakeknya yang menjual bubuk kopi, mulai 2017 Basuki hanya menjual biji kopi, dengan alasan usia biji kopi lebih panjang dibanding bubuk kopi. Bubuk kopi hanya tahan delapan jam setelah digiling, setelah itu aromanya menurun tajam, dan sehari kemudian rasanya sudah berbeda. Sedangkan biji kopi tahan delapan hari setelah disangrai, setelah itu aromanya menurun, namun landai. Baca juga Sarang Garuda, Epos Keluarga Oei Selain itu, Basuki ingin mengikuti zaman, bahwa kini pengetahuan tentang kopi sudah dipunyai masyarakat yang lebih luas dibanding dahulu. Kedai kopi yang menjamur hingga kota-kota kecil, umumnya dikelola anak muda, pengunjungnya juga anak muda, dan mereka umumnya tahu bagaimana kopi berkualitas.



“Jadi sekarang paradigma Margo Rejo bukan lagi perusahaan yang menjual kopi bubuk, melainkan perusahaan sangrai kopi yang menjual biji kopi,” ujar Basuki.