MP 03 - Sistem Informasi Geografis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. ii PENDAHULUAN ........................................................................................ iii A. Pengertian Sistem Informasi Geografis ................................................... 1 B. Data Pada Sistem Informasi Geografis ..................................................... 2 1. Data Spasial .......................................................................................... 2 2. Bentuk Data Spasial ............................................................................. 4 3. Input Data Spasial ................................................................................ 8 C. Operasi Spasial dalam Sistem Informasi Geografis ................................. 11 1. Operasi Layer Tunggal ......................................................................... 11 a. Pengubahan Fitur .................................................................................. 11 b. Pemilihan Fitur ..................................................................................... 13 c. Klasifikasi Fitur .................................................................................... 14 2. Operasi Layer Ganda ............................................................................ 14 a. Tumpang Susun (Overlay) .................................................................... 15 b. Kedekatan Jarak (Proximity) ................................................................. 17 c. Korelasi Spasial ..................................................................................... 18 3. Transformasi Spasial ............................................................................. 19 D. Pemodelan Spasial .................................................................................... 20 RANGKUMAN ............................................................................................ 27 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 28



ii



BIDANG KAJIAN : Perpetaan, Penginderaan Jauh, dan Sistem Informasi Geografis MODUL 3 : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENDAHULUAN Sistem Informasi Geografis merupakan satu metode pengolahan dan analisis data spasial. SIG memiliki kekuatan yang handal dalam pengolahan data spasial. Perkembangan teknologi spasial semakin menempatkan sistem geografis ini pada posisi yang strategis. SIG berbasis aplikasi adalah salah satu bentuk sistem informasi yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Modul ini menjelaskan tentang materi terkait dengan bahasan SIG. Modul ini terdiri dari sub bahasanpengertian SIG, data spasial, operasi spasial, dan pemodelan spasial dalam SIG. PETUNJUK BELAJAR 1. Bacalah modul ini sebaik-baiknya dengan cermat 2. Jika diperlukan saudara boleh mencari informasi tambahan sesuai dengan materi dalam modul ini 3. Setelah membaca kerjakan latihan soal pada bagian akhir modul ini. Saudara harus mendapatkan skor minimal 70. (minimal 7 soal harus dijawab dengan benar) 4. Jika belum tuntas dalam belajar modul ini, jangan beralih ke modul berikutnya CAPAIAN PEMBELAJARAN Dalam substansi keilmuan, setiap guru geografi wajib menguasai pengetahuan geografi yang setara dengan pengetahuan geografi yang dikuasai oleh Sarjana Geografi. SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN Peserta memiliki pengetahuan tentang pengertian SIG, data spasial, operasi spasial, dan pemodelan spasial dalam SIG.



iii



URAIAN MATERI : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS



A. Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan satu sistem yang banyak dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Sistem ini telah berkembang menjadi satu ilmu dan teknologi yang mapan sejalan dengan perkembangan bidang ilmu lain khususnya teknologi informasi (Liu dan Mason, 2009). Perkembangan SIG ini banyak diwarnai oleh latar belakang dari penggunanya yang tercermin dari bervariasinya definisi dari SIG itu sendiri. Teknologi SIG digunakan untuk mengatur dan memanfaatkan data geografis. Secara luas sistem ini dikenal sebagai satu teknik analisis spasial dalam berbagai bidang seperti pengelolaan kehutanan, perencanaan perkotaan, teknik sipil, pengelolaan permukiman, bisnis, dan studi lingkungan hidup. Sejalan dengan luasnya bidang aplikasi dari SIG ini, terdapat banyak definisi dari SIG ini. Namun demikian, di antara keragaman definisi tersebut dapat dilihat adanya kemiripan satu dengan yang lainnya. Kemiripan tersebut dapat dilihat pada kemampuan SIG ini dalam mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial. Definisi konseptual tentang SIG banyak ditemukan pada referensi-referensi lama. Satu contoh dari definisi SIGseperti disebutkan oleh Bernhardsen (1992) adalah bahwa SIG merupakan serangkaian sistem perangkat keras dan lunak komputer yang memiliki fungsi-fungsi untuk perolehan dan verifikasi, kompilasi, penyimpanan, pembaruan dan perubahan, pengelolaan dan peralihan, manipulasi, perolehan ulang dan penampilan, analisis dan kombinasi atas data geografis. Pernyataan lain oleh DeMers (1997) secara lebih sederhana mendefisikan SIG sebagai serangkaian subsistem yang terdiri atas subsistem input data, subsistem penyimpanan dan perolehan ulang data, subsistem manipulasi dan analisis data, dan subsistem pelaporan data. Selanjutnya dinyatakan bahwa SIG merupakan serangkaian peralatan yang berdaya guna untuk pengumpulan, penyimpanan, dan menganalisis data spasial.



1



Berdasar definisi konseptual tersebut dapat dipahami bahwa SIG merupakan satu sistem yang secara garis besar terdiri dari serangkaian perangkat keras dan lunak



serta



data



spasial



sebagai



sumber



informasinya.



Sebuah



SIG



mengintegrasikan perangkat keras, perangkat lunak, dan data spasial untuk perolehan, pengelolaan, analisa, dan menampilkan berbagai bentuk informasi berreferensi geografis. SIG menurunkan berbagai informasi dari dunia nyata di muka bumi yang bersifat kompleks dalam bentuk informasi digital. Informasi yang dihasilkan merupakan informasi spasial yang dapat berupa peta digital ataupun data atributal. Perolehan informasi spasial dapat dilakukan melalui proses analisis spasial yang menjadi kekuatan utama dalam SIG ini dibandingkan dengan sistem informasi lainnya.



B. Data pada Sistem Informasi Geografis 1. Data Spasial Data yang dimaksud dalam definisi-definisi SIG di atas adalah data spasial yang berasal dari berbagai sumber. Data spasial ini merupakan data pokok yang diolah dalam SIG. O'Brien (1992) menjelaskan bahwa data spasial adalah data yang memiliki referensi geografis. Data spasial ini merupakan penyederhanaan dan representasi dari dunia nyata yang diwujudkan dalam objek-objek kartografis, dimana objek ditunjukkan dalam bentuk, ukuran, warna, dan skala yang berbeda sesuai dengan keperluan dan tujuannya (Bernhardsen, 1992; DeMers, 1997). Dunia nyata (real world) adalah segala sesuatu yang terdapat di alam. Dunia nyata memiliki kompleksitas baik dari ukuran, jenis, dan waktu peristiwa. Kenyataan di lapangan berasal dari segala sesuatu yang berukuran atomik hingga masalah benua atau yang lebih luas lagi, dari peristiwa yang terjadi ribuan tahun yang lalu hingga detik ini, dari masalah perubahan bentuk molekular hingga interaksi



sosial.



Kompleksitas



ini



mengakibatkan



sulitnya



manusia



menggambarkan dunia nyata tersebut. Penggambaran dunia nyata yang dilakukan merupakan sebuah peristiwa penyederhanaan, klasifikasi, dan simbolisasi sesuai dengan interpretasi masing-masing individu tersebut. Seluruh fenomena dunia



2



nyata ini tidaklah mungkin sekaligus digambarkan secara lengkap, detil, dan sempurna. DeBruin dan Moleenar (2002) menguraikan bahwa sebagai model dari dunia nyata, maka data spasial dibedakan menjadi dua bentuk model, yaitu model objek eksak (the exact object model) dan model medan berrangkaian (the continous field model). Model objek eksak memandang data spasial tersusun atas objek-objek yang dapat dengan jelas ditentukan dan dibatasi entitasnya. Contoh dari model ini adalah data bangunan, jalan, lahan pertanian dan lain-lain. Model medan berrangkaian memahami bahwa ruang geografis adalah suatu rangkaian yang berkelanjutan. Contoh dari model ini adalah data ketinggian tempat, data kemiringan lereng, data nilai indeks vegetasi, dan lain-lain. Data ini merupakan data kontinum yang berkelanjutan dan saling berkaitan satu sama lain. Data spasial mencakup dua komponen yaitu komponen spasial dan komponen tematik. Kedua komponen tersebut saling terkait dan saling memperkuat informasi yang dikandung dalam data tersebut. SIG mendasarkan pada kedua komponen tersebut dalam berbagai analisis spasial yang dilakukan. Komponen spasial dan komponen tematik dapat dianalisis secara bersama ataupun terpisah dari masing-masing komponen tersebut. Komponen spasial dan tematik dapat diwujudkan menjadi sebuah informasi spasial seperti peta-peta digital yang pada saat ini banyak digunakan pada berbagai aplikasi online. Komponen spasial memberikan keterangan tentang lokasi dari keberadaan data tersebut. Terdapat dua bentuk dari aspek komponen spasial ini yaitu lokasi absolut dan lokasi relatif. Lokasi absolut merupakan lokasi yang mendasarkan pada posisi koordinat tertentu dalam sebuah sistem proyeksi. Koordinat menunjukkan lokasi data secara pasti yang tidak akan diterjemahkan berbeda antara satu pengguna dengan pengguna lainnya. Sebagai contoh, terdapat informasi bahwa sebuah obyek gedung terletak pada koordinat 43000 mT, 9156500 mU. Informasi ini menunjukkan secara pasti lokasi gedung tersebut. Para pengguna informasi dapat mencarinya dengan menggunakan peralatan bantu navigasi menuju pada titik tersebut. Lokasi relatif menunjuk suatu lokasi



3



berbanding pada suatu lokasi data lainnya. Misal, kampus Unesa Ketitang terletak di sebelah barat dari jalan Ahmad Yani Surabaya. Informasi ini menunjuk pada arah tertentu yang dibandingkan dengan posisi fitur tertentu yang lain pada sebuah data. Komponen tematik merujuk pada jenis informasi yang terkandung pada data spasial. Data ini dapat berbentuk simbolik, kuantitatif ataupun sebagai data deskribtif dan terrekam sebagai data atribut. Komponen tematik memunculkan informasi tematik yang dimunculkan atas sebuah peta dasar. Penjelasan lain tentang data spasial diperoleh dari Liu dan Mason (2009). Data spasial dicirikan oleh empat hal yaitu : 1. dibentuk oleh keterkaitan yang nyata antara objek geometris dengan atribut yang menjelaskan objek tersebut; 2. data spasial memiliki georeferensi yang nyata di muka bumi; 3. data spasial terkategori dan direpresentasikan sebagai objek titik, garis atau area, sesuai dengan karakter dasar dari objek tersebut dalam dunia nyata; 4. data dikelola menjadi peta-peta tematik sesuai dengan jenis fiturnya dalam dunia nyata. Sejalan dengan karakteristik terakhir tersebut, data spasial yang memuat informasi tertentu yang sering disebut sebagai peta tematik. 2. Bentuk Data Spasial Data spasial sering diwujudkan dalam dua bentuk yaitu data digital dan data analog. Data digital dihasilkan atas suatu proses digital menggunakan perangkat komputer, sedangkan data analog dihasilkan dari proses manual ataupun cetak dari data digital. Data digital dan analog memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan karakteristik ini mencakup bentuk dan ukuran data. Karakteristik data ini memberikan pengaruh terhadap cara pengelolaan dan pengolahannya dalam aplikasi. Data analog pada umumnya memerlukan metode-metode manual, sementara data digital memerlukan metode terotomasi berbantuan komputer. Data digital pada saat ini lebih banyak dimanfaatkan dalam berbagai aplikasi. Berikut karakteristik dari dua bentuk data tersebut.



4



Tabel 1. Karakteristik data spasial Data Digital



Data Analog



 Mudah diperbarui



 Perbaikan harus meliputi seluruh peta



 Mudah dan cepat dipindahkan



 Sulit untuk proses pemindahan data



 Ruang penyimpan kecil



 Diperlukan ruang luas untuk penyimpanan



 Mudah di kelola



 Diperlukan kertas cetak yang terpisah



 Data dilakukan analisis



 Sulit dan kurang akuran dalam proses



terotomasi



analisis Sumber : Bernhardsen, 1992



SIG menggunakan data spasial dalam bentuk data digital. SIG akan mengolah dan memvisualisasikan data spasial dalam bentuk struktur data raster atau vektor. Struktur data ini memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda. Bentuk struktur data ini juga memerlukan metode pengolahan dan teknis analisis yang berbeda.Kedua tipe ini dapat digunakan secara bersamaan ataupun terpisah. Data vektor merupakan data yang lebih umum digunakan dalam berbagai fungsi SIG ini. Sebagian besar operasi spasial dilakukan terhadap data dengan struktur data yang sejenis, namun demikian beberapa operasi dalam SIG dapat digunakan untuk analisis terhadap dua data dengan tipe data yang berbeda (Fotheringham dkk, 2000). Struktur data raster adalah satu bentuk data diskrit. Informasi yang tersimpan pada data tipe raster ini akan menjadi data yang bersifat diskret. Setiap piksel mengandung informasi kuantitatif yang terpisah dengan piksel di sekitarnya. Data diskret tersebut dapat diklasifikasi sehingga dapat dihasilkan data kualitatif yang bersifat kontiyu. Analisis terhadap data raster dapat dilakukan melalui berbagai algoritma terotomasi sehingga dapat dilakukan dengan cepat dan obyektif.



Rangkaian angka digital yang dimuat dalam data raster tersebut



merepresentasikan satu jenis informasi. Struktur data raster tidak memiliki tabel keterangan atau atribut yang menyimpan informasi dari data raster tersebut.



5



SIGmemanfaatkan memanfaatkan data raster yang merepresentasikan kondisi muka bumi, seperti data-data data penginderaan jauh. Format penyimpanan data raster penginderaan jauh ini berupa band interleaved by line line (.bil), band interleaved by pixel (.bip), band sequential (.bsq).. Perkembangan teknik kompresi data raster selanjutnya yang digunakan adalah JPEG, TIFF, MrSID, ECW dan lain-lain lain lain (Liu dan Mason, 2009). Angka digital piksel pada citra satelit dapat menggambarkan menggambarkan nilai panjang gelombang yang dapat digunakan sebagai penciri obyek di muka bumi.



Gambar 1. Citra satelit sebagai data spasial dalam SIG



Gambar 1. merupakan contoh dari data spasial jenis raster yang dapat digunakan dalam analisis spasial dalam SIG. Data spasial tersebut berasal dari data citra penginderaan jauh. Data raster tersebut apabila diurai terdiri dari banyak piksel. Masing-masing masing piksel memiliki informasi numeris yang bersifat diskrit sesuai dengan obyek yang diwakilinya di lapangan. Data ta vektor menyimpan bentuk geometris dan lokasi objek dalam bentuk vektor dan tabel atribut. Terdapat keterkaitan yang unik antara masing masing-masing fitur obyek data vektor dengan identitas yang tersimpan pada tabel atributnya. Keterkaitan fitur objek dengan atributnya atributnya tersebut dinamakan sebagai struktur data georelasional. Bentuk keterkaitan lain dalam data vektor adalah keterkaitan logikal antar fitur objek tersebut yang dinamakan dengan topologi. Keterkaitan logikal antar fitur objek ini memungkinkan SIG mengetahui getahui posisi relatif dari masing-masing masing fitur vektor tersebut. Pengubahan-pengubahan Pengubahan pengubahan pada fitur obyek



6



data vektor akan memberikan efek pada identitas atributnya. Demikian pula sebaliknya, pengubahan pada identitas atribut akan memberikan efek pada pengubahan data vektor. Data tipe vektor terdiri dari titik dan garis atau lengkungan (arc) yang dalam penggambarannya, fitur objek data vektor diwujudkan dalam bentuk titik (point), garis (line) dan poligon (polygon). Perwujudan bentuk ini terkait dengan karakteristik objek atau fenomena yang digambarkan dan skala penggambarannya. Sebuah wilayah kota dapat digambarkan dengan poligon jika wilayah kota tersebut secara nyata tergambarkan pada suatu skala tersebut. Jika pada skala tertentu, wilayah kota tidak tergambarkan maka dapat digunakan simbol titik. (Point) (start node)



(End node)



(start node)



(End node) (Vertex)



Gambar 2. Start node, vertex, dan end node sebagai penyusun obyek garis



Gambar 2. merupakan ilustrasi dari bentuk data vektor titik dan garis. Obyek titik tidak memiliki dimensi panjang. Vektor garis memiliki titik awal dan titik akhir dan pada polyline terdapat vertex. Titik adalah fitur objek paling sederhana. Titik atau point adalah sebuah abstraksi data tak berdimensi yang dibentuk dari sebuah koordinat x dan y. Titik biasanya digunakan untuk merepresentasikan fitur yang terlalu kecil dalam konteks skala untuk ditampilkan sebagai sebuah poligon atau garis, misal lokasi dari sebuah gedung, atau juga sebuah kota pada peta skala kecil. Contoh dari fitur



7



objek titik adalah lokasi rumah, pohon, jembatan, dan lain-lain yang tidak memerlukan informasi terkait ukuran panjang dan luas geometrinya. Objek titik yang saling terrangkai akan membentuk fitur garis. Sebuah data vektor garis dibentuk oleh sebuah start node dan diakhiri dengan sebuah end node. Pada garis lengkung, terdapat beberapa node diantara start node dan end node tersebut. Node di antara start node dan end node disebut sebagai vertex. Garis digunakan untuk merepresentasikan fitur memanjang yang terlalu kecil untuk ditampilkan sebagai poligon pada skala tertentu seperti jalan dan sungai. Garis juga digunakan untuk merepresentasikan fitur yang tak memiliki informasi ruang seperti batas administratif desa, kota, atau negara. Contoh dari fitur objek garis ini adalah jalan, sungai, jalur listrik dan objek lain yang hanya memerlukan informasi tekait ukuran panjang geometri. Apabila nilai koordinat dari titik awal dan titik akhir adalah sama maka terbentuk sebuah fitur objek poligon. Fitur objek poligon ini adalah fitur yang memiliki atribut luas geometri. Pada sebuah poligon, start node dan end node berada pada satu koordinat yang sama. Start node dan end node haruslah bertemu pada koordinat yang sama tersebut, karena jika tidak bertemu, maka hanya akan membentuk sebuah arc. Poligon dapat berbentuk sebuah lingkaran, segi empat atau bentuk yang tidak beraturan. Poligon digunakan untuk merepresentasikan sebuah area. Contoh dari fitur objek ini adalah peta-peta tematik yang memiliki informasi luas seperti peta persil, peta tanah, peta penggunaan lahan, dan lain-lain. 3. Input Data Spasial Seperti telah diuraikan dimuka, SIG menggunakan banyak jenis data. Masing-masing jenis data tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini pada akhirnya menentukan cara proses input dan proses pengolahannya. Berapa jenis data yang dapat digunakan dalam SIG secara umum menurut Bernhardsen (1992) adalah : a. data digital dalam berbagai bentuk seperti data vektor, raster, basisdata, tabel spreadsheet, data satelit dan lain-lain



8



b. gambar non digital seperti peta tercetak, foto udara, sketsa dan lain-lain c. dokumen konvensional dan file d. laporan ilmiah dan kompilasinya e. hasil pengukuran survey seperti tabel koordinat atau unit lainnya. Jenis data tersebut merupakan sumber informasi yang dapat digunakan dalam analisis spasial untuk menghasilkan satu kesimpulan melalui SIG. Datadata tersebut memerlukan cara yang tepat dalam proses masukannya mengingat tidak semua metode input adalah tepat untuk setiap jenis data tersebut. Secara umum terdapat beberapa metode input data dalam SIG. Pada bagian ini akan sedikit diuraikan metode input data untuk beberapa jenis data yang banyak digunakan dalam kajian berbasis SIG. Beberapa metode input data dalam SIG adalah : a. digitasi peta eksisting melalui digitizer atau onscreen digitizing. b. penyiaman atau scanning c. entri manual dari tabel hasil pengukuran dan tabel koordinat d. transfer data digital Proses digitasi merupakan proses yang umum dilakukan dalam proses input data spasial. Proses ini dilakukan menggunakan media digitizer atau menggunakan perangkat komputer melalui proses digitasi layar. Proses digitasi secara umum terdiri dari beberapa tahapan yaitu persiapan, proses digitasi, dan editing data hasil digitasi. Tahap persiapan sebelum digitasi ditujukan untuk menyiapkan berbagai data terkait yang diperlukan dalam proses digitasi tersebut. Data pokok yang akan didigitasi harus diperiksa ketersediaan kontrol lapangannya. Kontrol lapangan ini dapat diabaikan jika telah terdapat grid koordinat pada sebuah peta dasar awal yang akan di digitasi. Data terkait dengan data pokok tersebut yang harus diperhatikan adalah tabel-tabel informasi dari obyek akan didigitasi. Sebagai contoh adalah keterangan data kelas jalan, lebar jalan, nama jalan dan lain-lain dalam persiapan pembuatan peta jalan.



9



Proses digitasi adalah proses pengubahan bentuk data dari bentuk analog ke dalam bentuk digital atau data raster ke dalam bentuk vektor (Bernhardsen, 1992). Data vektor merupakan data pokok yang diolah dalam SIG. Oleh karena itu berbagai bentuk data masukan pada umumnya diubah menjadi data vektor dalam bentuk titik, garis, ataupun poligon. Proses masukan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat keras digitizer atau menggunakan layar komputer berbantuan perangkat lunak SIG. Perangkat lunak SIG pada saat ini memiliki fitur digitasi yang lengkap. Proses input juga dilakukan pada data atributnya. Data atribut ini merupakan data-data tabular yang terhubung secara topologi dengan fitur spasial. Proses editing dilakukan setelah proses digitasi selesai. Editing meliputi koreksi kesalahan, input data yang hilang, dan pembangunan topologi. Data hasil digitasi diverifikasi melalui layar ataupun melalui data peta tercetak. Perbaikan dilakukan terhadap kesalahan geometris ataupun posisi fitur. Kesalahan geometris akan lebih mudah dilakukan melalui layan komputer dengan cara memperbesar tampilan fitur. Kesalahan-kesalahan undershoot dan overshoot sering terjadi jika proses digitasi dilakukan dengan menggunakan perangkat keras digitizer atau perangkat lunak CAD. Perbaikan geometri juga dilakukan dengan proses penggeseran vertek untuk memperhalus bentuk fitur dan sesuai dengan data asli. Proses editing juga dilakukan terhadap data atribut fitur. Proses ini dilakukan jika masih terdapat kesalahan atau tidak kesesuaian dengan yang seharusnya. Pada perangkat lunak versi lama pembentukan topologi dilakukan setelah proses digitasi dan editing selesai. Perkembangan teknologi perangkat lunak SIG saat ini, memberikan langkah yang lebih sederhana terhadap proses ini. Topologi secara terotomasi telah terbentuk bersamaan dengan proses input data data. Penyiaman atau scanning adalah bentuk lain dari proses input data dalam SIG. Proses ini mengubah data dalam bentuk raster menjadi data dalam bentuk vektor. Proses pengubahan vektor secara terotomasi dapat dilakukan dengan menggunakan modul raster to vector pada berbagai perangkat lunak SIG. Metode ini sering menimbulkan kesalahan apabila kualitas data raster awal kurang baik,



10



atau terdapat fitur yang kompleks dan saling berdekatan. Proses pengubahan raster ke vektor adalah dilakukan dalam proses pemetaan yang berasal dari data peta dasar analog yang tersiam. Perkembangan teknologi perangkat lunak SIG saat ini telah mendukung proses pengolahan data spasial raster seperti data citra satelit penginderaan jauh. Kemampuan ini mendukung analisis spasial dan pemodelan berbasis data raster tersebut.



C. Operasi spasial dalam Sistem Informasi Geografis Pengolahan data spasial dalam SIG oleh Gao (2008) dijelaskan dengan istilah operasi spasial. Operasi spasial merupakan satu kekuatan yang dimiliki oleh SIG. Pengambilan kesimpulan atas suatu analisis spasial didasarkan pada operasi-operasi spasial ini. Operasi spasial mencakup proses-proses spasial sederhana hingga yang bersifat kompleks dengan melibatkan lebih dari satu data spasial. Operasi spasial secara umum dibagi menjadi tiga yaitu operasi layer tunggal, operasi layer ganda, dan transformasi spasial. Operasi layer tunggal adalah operasi yang dilakukan hanya pada satu layer, sedangkan operasi layer ganda adalah operasi yang dilakukan dengan melibatkan dua layer atau lebih. 1. Operasi layer tunggal Operasi layer tunggal dilakukan pada satu layer data spasial. Operasi spasial yang termasuk pada kategori operasi layer tunggal adalah pengubahan, pemilihan, dan klasifikasi fitur. a. Pengubahan fitur Pengubahan



fitur



meliputi



proses



penambahan,



penghapusan,



penggeseran, pemecahan dan penggabungan, eliminasi, penyatuan objek, dan buffer. Operasi-operasi tersebut menghasilkan perubahan geometri pada data spasial yang diolah atau menghasilkan data spasial baru dari hasil proses tersebut. Operasi pengubahan fitur dilakukan untuk mengubah bentuk fitur pada satu data spasial yang telah ada. Pengubahan dilakukan dengan proses digitasi ataupun



11



penyalinan dari obyek lain pada data tersebut. Operasi ini dapat dilakukan terhadap fitur data bertipe titik, garis ataupun poligon.



Gambar 3. Operasi penggabungan fitur



Gambar 3. menunjukkan ilustrasi proses penggabungan fitur. Fitur yang terpilih ditunjukkan dengan warna kuning. Hasil penggabungan fitur nampak seperti pada Gambar 3. bagian kanan. Buffering adalah satu bentuk proses pengubahan fitur yang terotomasi. Operasi ini menghasilkan satu data baru yaitu bentuk area penyangga (buffer) dari fitur yang telah ada. Area penyangga dihitung dari posisi obyek fitur yang telah ada dalam satuan metrik tertentu. Gambar 4. adalah contoh operasi buffer.



Gambar 4. Buffer fitur garis dari peta jalan



12



Gambar 4. menunjukkan satu bentuk poligon penyangga (buffer) sebagai contoh hasil dari proses buffering. Fitur garis dijadikan sebagai dasar perhitungan area buffer tersebut.Area penyangga dari satu buah fitur titik akan menghasilkan bentuk lingkaran. Jika jarak antar fitur titik tersebut lebih kecil dari pada jarak buffer yang ditentukan, maka area penyangga akan membentuk area yang meliput seluruh titik tersebut. Pada fitur garis dan poligon, area penyangga akan berbentuk menyerupai bentuk garis tersebut. b. Pemilihan fitur Operasi pemilihan merupakan satu operasi yang sering dilakukan dalam SIG. Operasi ini menjadi satu kekuatan yang sangat bermanfaat bagi SIG. Semua perangkat lunak SIG memiliki kemampuan operasi ini. Fitur pada operasi ini pada umumnya mudah dioperasikan dan sering dilakukan terutama pada baris data spasial dengan jumlah yang besar. Operasi pemilihan dengan cara terotomasi akan menghemat waktu yang signifikan dalam proses analisis spasial. Modul operasi pemilihan menjadi satu modul standar pada semua perangkat lunak SIG. Operasi pemilihan fitur sering pula disebut sebagai operasi pencarian. Operasi ini sangat membantu apabila data spasial yang diolah memiliki jumlah rekord yang besar. Proses ini juga akan sangat membantu apabila pencarian didasarkan pada proses multi kondisi. Kecepatan proses pada beberapa perangkat lunak SIG sangat dipengaruhi oleh besarnya data dan tipe data spasial tersebut. Operasi pemilihan fitur dilakukan melalui ekspresi logikal pada tabel atribut ataupun menggunakan perangkat graphical user interface (GUI). Operasi logikal dilakukan dengan memberikan input dalam bentuk perintah logikal pada perangkat lunak. Operasi pemilihan dengan menggunakan ekspresi logikal pada umumnya dilakukan terhadap perangkat database atau tabel atribut data spasial. Hasil pemilihan fitur akan memberikan luaran dengan penandaan warna tertentu pada baris basis data dan fitur GUI. Pemilihan dengan menggunakan GUI dapat dilakukan secara interaktif pada perangkat visual. Proses pemilihan fitur akan saling berkaitan antara GUI dengan



13



tabel atributnya. Pemilihan fitur melalui GUI akan memberikan pemilihan pada tabel atribut, demikian sebaliknya, pemilihan pada tabel atribut akan memberikan pemilihan pada fitur GUI. Gambar 5. merupakan contoh dari hasil proses pemilihan fitur melalui perangkat GUI.



Gambar 5. Operasi pemilihan fitur



Gambar 5. menunjukkan contoh operasi hasil pemilihan fitur. Fitur terpilih akan ditampilkan dengan warna yang berbeda. Baris rekod pada tabel atribut yang memiliki keterkaitan topologis dengan fitur yang terpilih juga akan disorot dengan warna yang berbeda. Hal sebaliknya, jika satu baris rekord pada tabel dipilih maka fitur pada visualisasi peta akan nampak terpilih dengan simbol warna yang berbeda. c. Klasifikasi fitur Operasi klasifikasi pada umumnya didasarkan pada kesamaan atau kelas interval dari suatu nilai atribut. Operasi klasifikasi banyak dimanfaatkan untuk menghasilkan peta-peta tematik tertentu. Operasi klasifikasi dapat dilakukan dengan proses logikal ataupun kategori sederhana menggunakan modul yang telah tersedia pada perangkat lunak. Operasi klasifikasi aritmetik dapat dilakukan pada fitur yang memiliki data numeris, sedangkan operasi klasifikasi kategorikal dapat dilakukan terhadap fitur yang memiliki data baik numeris ataupun karakter. 2. Operasi layer ganda Operasi layer ganda dilakukan dengan menggunakan minimal dua layer data spasial. Operasi ini dapat menghasilkan data spasial baru dengan nilai data yang berasal dari data-data spasial yang dikenai operasi tersebut. Operasi layer ganda



14



dibagi menjadi operasi tumpang susun (overlay), analisis kedekatan jarak (proximity), dan analisis korelasi spasial. a. Tumpang Susun (overlay) Operasi tumpang susun secara umum dilakukan pada data bertipe vektor. Operasi tumpang susun dapat dilakukan pada data bertipe titik dengan poligon, garis dengan poligon, atau poligon dengan poligon (Bernhardsen, 1992). Operasi tumpang susun menghasilkan data spasial baru yang memiliki bentuk geometri baru dan data atributal penggabungan kedua data spasial masukan. Gao (2008) menggambarkan struktur operasi overlay ini sebagai berikut : input theme + overlay theme = output theme Struktur tersebut menunjukkan perlu adanya lebih dari dua layer data spasial dalam operasi tumpang susun ini. Pada beberapa perangkat lunak SIG, operasi tumpang susun hanya dapat dilakukan pada dua layer data spasial. Pada kasus seperti ini, proses tumpang susun dapat dilakukan secara bertahap apabila data spasial yang digunakan adalah lebih dari dua. Gambar berikut adalah contoh diagram yang menggambarkan proses tumpang susun dari beberapa data spasial.



Gambar 6. Diagram proses operasi tumpang susun



15



Diagram dalam Gambar 6. menunjukkan operasi tumpang susun dilakukan secara bertahap. Dua layer data spasial dilakukan pada putaran pertama yang akan menghasilkan data spasial baru dengan nama overlay 1. Proses selanjutnya melakukan operasi tumpang susun kedua pada dua data spasial yang lain yang akan menghasilkan data spasial bernama overlay 2. Tahap terakhir adalah melakukan proses tumpang susun data spasial overlay 1 dan overlay 2 yang akan menghasilkan data spasial baru bernama overlay akhir. Operasi tumpang susun juga dapat dilakukan pada data raster dengan menggunakan operasi matematis. DeMers (1997) menyebut operasi tersebut sebagai operasi mathematically based overlay. Contoh operasi ini adalah proses matematis yang dilakukan dalam pemrosesan data penginderaan jauh seperti pada gambar berikut.



Gambar 7. Proses operasi matematis pada data raster



Gambar 7. merupakan proses operasi matematis pada data raster yang berasal dari data penginderaan jauh dengan menggunakan salah satu perangkat lunak SIG. Operasi matematis ditunjukkan seperti pada baris formula. Operasi ini menghasilkan satu data spasial baru bertipe raster dengan nilai dari masingmasing piksel sebesar hasil perhitungan formula tersebut.



16



b. Kedekatan Jarak (proximity) Analisis kedekatan jarak (proximity) merupakan analisis yang didasarkan pada jarak geometrik untuk menentukan kedekatan jarak dari satu atau lebih objek target. Gambar berikut adalah contoh identifikasi fitur yang didasarkan pada fitur pada layer yang lain. Operasi identifikasi pada peta persil didasarkan pada fitur poligon dan fitur titik yang berada diluar dari peta persil tersebut. Fitur lain hanya digunakan sebagai dasar identifikasi secara spasial. Obyek yang berada sepenuhnya di dalam poligon akan teridentifikasi, atau obyek yang sepenuhnya bertepatan dengan fitur titik akan teridentifikasi. Gambar di atas sebelah kiri, nampak seluruh persil yang berada dalam lingkaran teridentifikasi dan disimbolkan dengan warna yang berbeda. Gambar sebelah kanan nampak, persil yang bertepatan dengan lokasi titik akan teridentifikasi dan disimbolkan dengan warna yang berbeda.



Gambar 8. Operasi pemilihan berbasis layer



Gambar 8. merupakan contoh hasil proses operasi pemilihan berbasis layer. Fitur yang terpilih didasarkan pada bentuk fitur pada layer lain. Layer poligon memberikan luaran pilihan terhadap seluruh fitur yang benar-benar berada dalam poligon. Layer titik memberikan luaran berupa fitur terpilih yang tepat bertumpang susun dengan titik.



17



c. Korelasi Spasial Analisis korelasi spasial banyak digunakan dalam proses pemodelan. Analisis regresi menggunakan modul scatterplot pada SAGA adalah contoh proses korelasi spasial. Fotheringham dkk (2000) menyebut operasi ini dengan istilah spatial regression models. Selain itu, proses formulasi model dapat juga dilakukan melalui analisis statistik multivariat yang kemudian diaplikasikan dengan operasi matematis pada perangkat lunak SIG. Beberapa perangkat lunak SIG telah menyediakan modul-modul untuk operasi korelasi spasial ini. Pengguna dapat menggunakannya untuk analisis tertentu yang sesuai. Proses ini dapat dilakukan pada data vektor dengan vektor, vektor dengan raster atau raster dengan raster. Operasi korelasi spasial vektor dengan vektor atau vektor dengan raster dapat dilakukan apabila pada data spasial vektor terdapat data yang bertipe numeris. Sedangkan pada data spasial dengan tipe raster, operasi akan dapat dilakukan dengan baik. Operasi korelasi spasial ini juga mensyaratkan sebaran data dari kedua data spasial tersebut adalah sama baik lokasi ataupun sistem proyeksi yang digunakannya. Ketidaksamaan lokasi akan mengakibatkan kegagalan proses operasi korelasi spasial ini. Operasi scatterplot dapat dengan mudah diaplikasikan pada data-data spasial seperti disebutkan di atas. Gambar berikut adalah contoh hasil proses analisis korelasi spasial yang dilakukan menggunakan scatterplot.



Gambar 9. Operasi korelasi spasial menggunakan scatterplot



18



Gambar 9. menunjukkan nilai korelasi dari sebagai data kerapatan tutupan lahan dengan nilai indeks vegetasi. Nilai korelasi ditunjukkan pada formulasi yang tertulis di atas grafik tersebut. Formula regresi yang dihasilkan dari proses ini selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar perhitungan dan analisis terkait fenomena yang dikorelasikan tersebut. 3. Transformasi Spasial Operasi lain yang termasuk kategori transformasi spasial adalah digitasi dan generalisasi peta, proyeksi dan transformasi berbasis pada grid. Proses dalam operasi ini pada umumnya menghasilkan data baru dengan satu kondisi yang baru. Beberapa proses membangun data spasial baru seperti pada proses digitasi, sementara proses lain hanya mengubah atribut intrinsiknya seperti proses transformasi dan proyeksi. Pembentukan data vektor dapat dilakukan dengan menggunakan teknik ploting dari suatu data koordinat. Proses ini menghasilkan satu data spasial digital baru yang selanjutnya digunakan dalam berbagai analisis pada SIG. Generalisasi merupakan proses pengubahan geometri data dengan pengurangan vertek sehingga diperoleh bentuk yang lebih sederhana. Proses ini dapat dilakukan secara terotomasi melalui modul yang telah tersedia pada perangkat lunak SIG. Data digital hasil digitasi ini perlu memiliki titik ikat sebagai acuan georeferensi dalam satu sistem proyeksi tertentu. Proses pemasangan titik ikat ini adalah satu contoh dari proses transformasi dan proyeksi. Proses proyeksi dapat pula dilakukan dengan mengubah sistem proyeksi pada data spasial menjadi satu sistem proyeksi yang lain. DeBruin dan Moleenar (2002) menyebutkan bahwa terdapat tiga metode transformasi yang banyak digunakan untuk rektifikasi data raster dalam SIG yaitu nearest neighbor, bilinear interpolation, dan cubic convolution.



19



D. Pemodelan Spasial Bentang lahan dengan berbagai prosesnya adalah fenomena yang sangat kompleks. Satu bentang lahan akan memiliki variabilitas pada penyusun bentang lahan tersebut. Kompleksitas bentang lahan tersebut meliputi keragaman komponen biologi dan fisik yang saling berinteraksi antar ruang dan waktu (Watkins dan Freeman, 2008). Interaksi tersebut membentuk sebuah sistem yang sering disebut sebagai suatu sistem lingkungan. Masing-masing dari unsur pembentuk lingkungan akan saling memberikan pengaruh satu sama lain dalam perputaran sistem lingkungan tersebut. Kompleksitas sistem lingkungan dapat dilihat dari karakteristiknya seperti dijelaskan oleh Letcher dan Jakeman (2009).Karakteristik sistem lingkungan dicirikan oleh beberapa hal yaitu : a. ketergantungannya terhadap interaksi tidak linear yang kompleks dengan sistem-sistem yang lain, variabel penyusun sistem lingkungan pada umumnya adalah sangat heterogen, b. karakteristik dari komponen sistem lingkungan sering tidak selaras dalam skala spasial dan temporal, dan c. terdapatnya beberapa sistem lingkungan yang tidak dapat atau sulit diakses, sebagai contoh adalah sistem sungai bawah tanah. Penyederhanaan-penyederhanaan dalam pengkajian terhadap bentang lahan tersebut



perlu



dilakukan,



berkaitan



dengan



kompleksitas



tersebut.Penyederhanaan-penyederhanaan tersebut terkait dengan pengurangan dimensionalitas sistem, pembatasan atau pengurangan proses-proses yang dianggap tidak penting, dan penyederhanaan makna definisi yang digunakan dalam penjelasan suatu sistem (Aral, 2010). Penyederhanaan fenomena dunia nyata dengan berbagai prosesnya dalam kajian geografi disebut sebagai pemodelan spasial (deBruin dan Molenaar, 2002; Brown dkk, 2005; Griffith dan Peres-Netto, 2006).



20



Teknik geostatistik adalah salah satu bentuk pemodelan spasial yang banyak dilakukan dalam pemodelan spasial menggunakan SIG (Liebhold dkk, 1993; Thonon dan Pose, 2001; Gharbia dkk, 2016). Metode lain adalah dengan memadukan SIGdan teknik statistik multivariat.. Geostatistik adalah statistik terapan yang ditujukan untuk memperkirakan nilai-nilai pada seluruh wilayah dan menjelaskan berbagai pola spasial dengan mendasarkan pada nilai sampel yang ada (Liebhold dkk. 1993; Hengl, 1997). Perkiraan nilai pada seluruh wilayah ini disebut sebagai perkiraan spasial (spatial prediction). Variogram dan krigging adalahmetode yang banyak digunakan dalam geostatistik ini. Metode-metode lain adalah dengan membangun model melalui analisis multivariat. Sebagai contoh adalah dengan menggunakan teknik regresi logistik dan selanjutnya mengaplikasikan model tersebut pada SIG. Satu contoh bentuk pemodelan spasial adalah bentuk formulasi matematis yang digunakan untuk aplikasi spasial tertentu seperti perhitungan erosi, area terdampak bencana, dan lain-lain. Formula berikut adalah satu contoh pemodelan spasial yang dihasilkan melalui analisis statistik multivariat untuk perhitungan analisis kerentanan wilayah karst terhadap pencemaran air bawah tanah (Budiyanto, 2017). ܲ(‫ݕ‬௜ = 1) =



ℯ ೋ೔ ೕ



ଵା∑೔ℯ ೥೔



......................................................(1)



di mana : P(yi)



: nilai logit pada kategori ke-i



zi



: nilai regresi logistik untuk kategori ke-i



e



: angka log alami = 2.718



pada formulasi tersebut, nilai Z ditentukan sebagai berikut : z1 = -2,735 + 104,670(B2) + 6,797(B5) -0,672(IB) - 0,177(IK).....................(2) z2 = -3,078 + 86,004(B2) + 17,366(B5) - 4,268(IB) - 0,337(IK).....................(3) Keterangan z1, z2



: nilai model regresi logistik



21



B2, B5 : nilai spektral band 2 dan band 5 IB



: nilai spektral indeks batuan



IK



: nilai spektral indeks kekasaran permukaan



Formulasi tersebut adalah contoh pemodelan spasial untuk perhitungan tingkat kerentanan wilayah karst terhadap pencemaran air bawah tanah karst. Perhitungan didasarkan dari data-data spasial yang bersumber dari data penginderaan jauh. Tujuan dari pembangunan model spasial dijelaskan oleh beberapa ahli. Taylor dan Karlin (1998) menjelaskan beberapa komponen penting dalam pemodelan. Komponen pemodelan spasial tersebut terdiri atas a. fenomena alamiah yang dikaji, b. sistem logika untuk deduksi fenomena tersebut, c. alur keterkaitan antara fenomena alamiah yang dikaji dengan sistem logika yang dibangun dalam model. Berdasar penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa sebuah model adalah representasi dari fenomena alamiah yang dibangun dengan suatu sistem penalaran tertentu. Hal ini sejalan dengan Skidmore (2002) yang menguraikan tentang model spasial sebagai suatu simplifikasi dari suatu fakta dan diaplikasikan pada suatu lingkungan tertentu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebuah model ditujukan untuk memahami dan mengelola sistem secara berkelanjutan. Bliss dkk (2014) menyatakan bahwa model adalah suatu abstraksi dari realitas sehingga hal tersebut dapat digunakan untuk pengembangan keilmuan, memberikan dasar bagi suatu penemuan baru, dan membantu seorang pemimpin dalam pengambilan keputusan. Sementara itu Aral (2010) menyebutkan tujuan lain dari pembangunan model secara umum adalah untuk mensimulasi karakter lingkungan yang dimodelkan tersebut. Uraian lebih lanjut menjelaskan tentang tujuan yang lebih detil dari pembangunan model, yaitu : a. sebagai pengembangan ilmu pengetahuan terkait pemodelan itu sendiri;



22



b. digunakan untuk mengkarakterisasi area yang diteliti seperti dalam kajian kebumian; c. digunakan



untuk



merekonstruksi



fenomena



masa



lalu



dan



untuk



memperkirakan kondisi yang akan datang; d. digunakan sebagai satu prediktor dalam sebuah perencanaan induk yang lebih besar; e. digunakan untuk membantu pengambilan keputusan secara teknis. Konsep pemodelan spasial oleh Brown (2005) dibagi menjadi dua yaitu model data spasial (spatial data model) dan model proses spasial (spatial process model). Model tersebut didasarkan pada karakter fitur alamiah dan proses-proses yang terjadi dalam sistem lingkungan. Model data dan proses spasial ini memfasilitasi kebutuhan proses analisis spasio-temporal dalam kasus-kasus tertentu. Terdapat dua sudut padang pada model data spasial, yaitu berdasar sudut pandang lapangan (field view) dan sudut pandang objek (object view). Sudut pandang lapangan melihat data spasial sebagai variabel-variabel geografis yang yang tersebar bervariasi secara kontinyu. Model membagi fitur alamiah secara diskret dan merentangkannya dalam satu interval tertentu. Model data spasial ini memiliki bentuk raster. Contoh dari model data spasial ini adalah data penginderaan jauh seperti citra satelit dan foto udara digital. Data spasial dalam bentuk tiga dimensional dapat dibangun dengan mendasarkan informasi ketinggian yang terskala pada satu interval tertentu. Contoh data dalam hal ini adalah digital elevation model (DEM). Sudut pandang obyek berfokus pada entitas diskret yang memiliki informasi lokasi yang diwujudkan dalam fitur spasial seperti titik, garis, dan poligon. Perwujudan dari model data spasial ini adalah dalam bentuk data vektor. Fitur alamiah diwujudkan sebagai satu simbol titik, garis atau poligon tergantung pada karakter fitur serta skala visualisasi data tersebut.



23



Tabel 2. Taksonomi model dalam SIG Model berbasis lojik Model



Deterministik



Model Empiris



berbasis



Deduktif



Induktif



model induktif termodifikasi



model statistik, geostatistik, algoritma genetis



proses dan metode



Model berbasis sistem pakar pengetahuan Model Proses



Stokastik



sistem pakar bayesian, sistem fuzzy



model hidrologi, model ekologi



modifikasi model berbasis data lokal



simulasi



klasifikasi neural network



Sumber : Skidmore (2002)



Model proses spasial berfokus pada perubahan karakter obyek dan perpindahannya secara spasial. Skidmore (2002) menguraikan klasifikasi model berdasar pada cara karakteristik penalaran dan metode prosesnya. Klasifikasi model berdasar pada karakteristik penalarannya dikenal adanya model induktif dan model deduktif. Model induktif dan deduktif ditunjukkan dalam logika pengambilan kesimpulannya. Model induktif mengacu pada data-data parsial yang selanjutnya diaplikasikan kepada seluruh populasi yang ada, sementara itu model deduktif



mengacu



dari



kebenaran-kebenaran



umum



yang



selanjutnya



diaplikasikan kepada satu fenomena yang spesifik. Klasifikasi model berdasar pada metode proses dikenal adanya model deterministik dan stokastik. Model deterministik dan stokastik dalam aplikasinya dapat menggunakan pendekatan induktif, deduktif, ataupun campuran dari kedua pendekatan tersebut. Taylor dan Karlin (1998) menyatakan bahwa model deterministik memperkirakan hasil outcome dari serangkaian variabel tertentu, sedangkan model stokastik memperkirakan beberapa kemungkinan hasil outcome dari nilai kemungkinannya atas suatu nilai variabel.



24



Model deterministik oleh Essink (2000) disebut sebagai model yang dihasilkan oleh keterkaitan sebab-akibat. Model deterministik memiliki hasil yang pasti atas variabel input tertentu. Model ini sebagian besar disusun atas pengukuran lapangan secara empiris dengan mendasarkan atas hukum-hukum yang disusun untuk pembangunan model tersebut. Model deterministik terbagi menjadi model empiris, model berbasis pengetahuan (knowledge driven model), dan model berbasis proses (process driven models). Model empiris dikenal sebagai model berbasis data-data numeris dan statistik (Skidmore, 2002). Model didasarkan atas data dan dianalisis melalui perangkat statistik, yang selanjutnya akan membawa sifat lokalitas yang kuat pada model tersebut. Hal ini sejalan dengan karakteristik sistem lingkungan seperti disampaikan oleh Letcher dan Jakeman (2009) terkait dengan heterogenitas komponen penyusun sistem lingkungan. Penjelasan lain oleh Essink (2000) adalah bahwa model empiris dibentuk dengan mendasarkan pada hasil pengamatan dan eksperimen. Contoh dari model ini adalah Residual krigging model (Holdaway, 1996), Ordinary Least Square (OLS) model (Lichstein dkk, 2002) dan eigenfunction spatial analysis (Griffith dan Peres-Neto, 2006). Tiga model spasial tersebut dibentuk dengan mendasarkan analisis spasial statistik regresi multi variabel. Model berbasis pengetahuan menggunakan berbagai hukum untuk membentuk model keterkaitan antara variabel bebas dengan variabel tidak bebas dalam sistem lingkungan. Bousquet dkk (1999) menyebut model ini sebagai cognitive model dan mendesain sebuah model untuk merepresentasikan dinamika ekologis dan sosial yang dinamakan dengan multi-agent modelling. Desain model ini terdiri atas tahap konstruksi, restitusi, dan simulasi. Tahap pertama bertujuan menyusun pengetahuan awal tentang pokok permasalahan yang akan dimodelkan hingga alternatif penyelesaiannya melalui berbagai kajian dan literatur. Tahap kedua merupakan tahap pengujian dan validasi. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil proses dari model dengan berbagai fakta dan hukum yang



25



ada dan diyakini kebenarannya. Tahap simulasi dilakukan dengan mencobakan model dengan beberapa skenario yang telah dirancangkan dalam model tersebut. Model berbasis proses dibentuk melalui penyusunan rangkaian proses dengan mendasarkan pada konsep-konsep yang telah mapan. Model berbasis proses ini juga dikenal sebagai model konsepual. Madhok dan Landgrebe (2001) mendesain model proses untuk analisis data penginderaan jauh menjadi delapan langkah yang dibagi dalam tiga fase yaitu fase definisi permasalahan, fase definisi penyelesaian masalah, dan fase implementasi penyelesaian masalah. Model matematis adalah satu bentuk model empiris yang banyak digunakan dalam pemodelan sistem air tanah melalui SIG seperti dilakukan oleh Leblanc dkk (2003), Marinov dan Moldoveanu (2005) dan Slesicki (2009). Model matematis dalam pemodelan sistem air tanah pada umumnya terkait dengan masalah pengaliran air tanah dan masalah pengangkutan bahan terlarut dalam air tanah tersebut. Secara ringkas Taylor dan Karlin (1998) menyebut model matematis adalah sebuah deskribsi kuatitatif dari suatu fenomena alamiah. Sejalan dengan hal tersebut, Aral (2010) mendefinisikan model matematis sebagai suatu abstraksi dari sistem lingkungan yang didasarkan atas pemahaman prinsip-prinsip fisik yang menyusun sistem tersebut. Kompleksitas sistem yang dimodelkan dapat secara signifikan disederhanakan dan diaplikasikan analisis secara berulang dengan



menggunakan



model



matematis



ini



(Madhok



dan



Landgrebe,



2002).Tahapan dalam pembentukan model matematis diuraikan oleh Essink (2000), Holzbecker dan Sorek (2005), Slesicki (2009), dan Aral (2010). Tahapan pembentukan model matematis tersebut secara umum terdiri dari langkahlangkah: a. Persiapan Tahap persiapan terdiri atas penetapan tujuan pembentukan model, pemahaman permasalahan yang akan dimodelkan, dan evaluasi terhadap model-model sejenis yang telah ada.



26



b. Penyusunan model dan kalibrasi Tahap penyusunan model terdiri atas penetapan cakupan model, penetapan batasan model, penetapan area yang dimodelkan, dan penetapan parameter model. Tahap kalibrasi dilakukan untuk mendapatkan tetapan nilai dari parameter yang digunakan dalam model. c. Validasi Validasi adalah tahap pembandingan hasil model dengan hasil amatan independen atau dari lapangan (Holzbecker dan Sorek, 2005). Validasi ini dimakudkan untuk mendapatkan keyakinan bahwa model yang dibangun dapat menggambarkan proses atau sistem yang dimodelkan. d. Aplikasi model Model diaplikasikan apabila model memiliki tingkat validasi yang dapat diterima dan dianggap dapat mewakili proses dan sistem yang dimodelkan tersebut.



RANGKUMAN Banyak pengertian tentang SIG. Satu pengertian tentang SIG tersebut adalah sistem yang secara garis besar terdiri dari serangkaian perangkat keras dan lunak serta data spasial sebagai sumber informasinya. Sistem ini mengintegrasikan perangkat keras, perangkat lunak, dan data spasial untuk perolehan, pengelolaan, analisa, dan menampilkan berbagai bentuk informasi berreferensi geografis.Data spasial ini merupakan data pokok yang diolah dalam SIG. Data spasial ini merupakan penyederhanaan dan representasi dari dunia nyata yang diwujudkan dalam objek-objek kartografis, dimana objek ditunjukkan dalam bentuk, ukuran, warna, dan skala yang berbeda sesuai dengan keperluan dan tujuannya. Data spasial memiliki bentuk digital dan analog. Data spasial digital ada dalam bentuk vektor dan raster. Pengolahan data spasial dilakukan melalui operasi-operasi spasial. Operasi spasial terdiri dari operasi layer tunggal dan operasi layer ganda. Operas layer tunggal berupa pengubahan fitur, pemilihan fitur, dan klasifikasi



27



fitur. Operasi layer ganda terdiri dari tumpang susun, kedekatan jarak, dan korelasi spasial. Operasi spasial lainnya adalah transformasi spasial yang terdiri dari proses digitasi, generalisasi, dan proyeksi. Selain analisis spasial, SIG digunakan untuk pemodelan spasial. Pemodelan spasial dalam SIG dapat dibentuk dengan menggunakan teknik geostatistik, analisis statistik multivariat, atau model matematis lainnya. DAFTAR PUSTAKA Aral, M.A., 2010. Environmental modeling and health risk analysis, Springer, Hal. 37-61. Bernhardsen, T. 1992. Geographic information system, Viak IT, Arendall, Norway. Bliss, K.M., Fowler, K.R., Galluzzo, B.J., 2014. Math modeling, getting started & getting sollutions, Society for Industrial and Applied Mathematics (SIAM), Philadelia. Bousquet, F., Barreteau, O., Page, C.L., Mullon, C., Weber, J., 1999. An environmental modelling approach. The use of multi agent simulation, Advances in Environmental and Ecological Modeling, Hal. 113-122. Brown, D.G., Riolo, R., Robinson, D.T., North, M., Rand, W., 2005. Spatial process and data models: toward integration of agent-based models and GIS, J.Geograph. Syst., Vol. 7, hal. 25-47. Budiyanto, E., 2017. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Penilaian Kerentanan dan Risiko Pencemaran Air Tanah Karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta de Bruin, S., Molenaar, M., 1999. Remote sensing and geographical information systems, dalam : Stein, A., 1999. Spatial statistics for remote sensing, Kluwer academic publishers, Netherland, Hal. 41-45. de Mers, M.N., 1997, Fundamentals of geographic information system, John Willey & Sons, New York. Essink, G.H.P.O., 2000. Groundwater modelling, Department of Geophisic, Interfaculty Center of Hydrologu Utrecht Institute of Earth Sciences, Utrecht University. Fotheringham, A.S., Brunsdon, C., Charlton, M., 2000. Quantitative Geography. Perspective on Spatial Data Analysis, SAGE Publication, London. Gao, Y., 2007. Spatial operation in a GIS-based karst feature database, Environ. Geol., Vol. 54, Hal. 1017-1027.



28



Gharbia, A.S., Gharbia, S.S., Abushak, T., Wafi, H., Aish, A., Zelenakova, M., Pilla, F., 2016. Groundwater quality evaluation using GIS based geostatistical algorithm, Journal of geoscience and environment protection. Vol. 4, Hal. 89 - 103. Griffith, D., Peres-Neto, P.R., 2006. Spatial modeling in ecology: the flexibility of eigenfunction spatial analysis, Ecology, Vol. 87, No. 10, hal. 2603-2613. Hengl, T., 2007. A practical guide to geostatistical mapping of environmental variables, Institute for the Environment and Sustainability, Italy. Holdaway, M.R., 1996. Spatial modeling and interpolation of monthly temperatur using kriging, Climate Research, Vol. 6, hal. 215-225. Holzbecher, E., Sorek, S., 2005. Numerical models of groundwater flow and transport, Encyclopedia of Hydrological Sciences, Hal. 2401 - 2414. Leblanc, M., Leduc, C., Razack, M., Lemoalle, J., Dagorne, D., Mofor, L., 2003. Application of remote sensing and GIS for groundwater modelling of large semiarid areas : example of the Lake Chad Basin Africa, Hydrology of Mediterranean and Semiarid Region, Proceeding, IAHS Publication, No. 278, Hal. 186-192. Letcher, R.A., Jakeman, A.J., 2009. Types of environmental models. dalam : Marquette, C.M., 2009. Water and DevelopmentVolume 2, Encyclopedia of life support system, EOLSS Publisher, United Kingdom. Liu, J.G., Mason, P.J., 2009. Essential image processing and GIS for remote sensing, John Willey & Sons, Hoboken, USA. Lichstein, J.W., Simon, T.R., Shriner, S.A., Franzreb, K.E., 2002. Spatial autocorrelation and autoregressive models in ecology, Ecological Monographs, Vol. 2, Nomor 3, hal. 445-463. Liebhold, A.M., Rossi, R.E., Kemp, W.P., 1993. Geostatistics and geographic information systems in applied insect ecology, Annual review of Entomology, Vol. 38, No. 1, Hal. 303-327. Madhok, V., Landgrebe, D.A., 2002. A processing model for remote sensing data analysis, IEEE Life Fellow. Marinov, A.M., Moldoveanu, V., 2005. A mathematical model describing vulnerability to pollution of groundwater in the proximity of Slatina Town, Mathematical modelling of environmental and life science problems, Proceeding, Hal. 123-134. O'Brien, L., 1992. Introducting quantitative geography, Routledge, New York. Skidmore A., 2002. Environmental Modelling with GIS and Remote Sensing, Taylor & Francis, London.



29



Slesicki, M., 2009. Aplication of mathematical modelling methods in the protection of groundwater environment, Journal of water and land development, No. 13b, Hal. 31-39. Thonon, I., dan Pose, C.M., 2001. Geostatistical interpolation of topographical field data in order to obtain a DEM of small forest catchment in Norstwest Spain, Coruna, Vol. 26, Hal. 179-190. Taylor, H.M., dan Karlin, S., 1998. An Introduction to Stochastic Modeling, Third Edition, Academic Press, New York. Watkins, N.W., Freeman, M.P., 2008. Natural Complexity, Science, Vol. 320. hal. 323-324.



30