Naskah Fort New [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FORTINDONESIA MENELUSURI JEJAK BENTENG-BENTENG PENINGGALAN SEJARAH DI NUSANTARA



PRASETYA RAMADHAN 1



KATA PENGANTAR Benteng secara harfiah adalah bangunan untuk keperluan militer yang dibuat untuk keperluan pertahanan sewaktu dalam peperangan. Indonesia termasuk negara dengan jumlah benteng yang terhitung banyak, namun ironisnya sebagian besar benteng yang dibangun di Indonesia adalah benteng bekas peninggalan kolonialisme, benteng yang benar-benar dibangun oleh rakyat Indonesia sendiri tergolong sedikit dan sudah banyak yang hancur.



Hingga saat ini terdapat kurang lebih 275 benteng pertahanan yang tersebar di seluruh Indonesia dengan kondisi beragam. Benteng Vredeburg Yogyakarta, Benteng Rotterdam di Makassar, dan Benteng Malborough di Bengkulu, merupakan benteng dalam kondisi sangat baik dan menjadi landmark kota yang sangat penting. Namun, ada juga beberapa benteng yang kondisinya menyedihkan dan tak terawat, padahal jika dirunut sejarahnya banyak peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di benteng-benteng tersebut. Namun, karena kurangnya perhatian, akhirnya banyak sejarah yang terkubur bersama dengan bangunan benteng-benteng tersebut.



Dalam buku ini, penulis mencoba mengajak pembaca untuk kembali menelusuri jejak-jejak benteng-benteng yang masih tersisa di Nusantara dengan harapan dapat membangkitkan rasa kepedulian kita terhadap budaya dan sejarah negeri ini. Karena bagaimanapun benteng-benteng tersebut adalah warisan sejarah yang harus dijaga dan dilestarikan. Seperti kata Bung Karno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri”.



Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak keterbatasan informasi yang tercakup. Oleh karena itu, penulis akan sangat menghargai saran 2



dan kritik mengenai buku ini sebagai bahan penyempurnaan di masa mendatang. Akhir kata, penulis berharap mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan kita mengenai sejarah bangsa Indonesia.



Wassalamualaikum



Penulis



3



“ The challenge of history is to recover the past and introduce it to the present “~ David Thelen



This book dedicated to my lovely wife, Ivy and my lovely son, Aka…. for their love and continuing support.



4



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………. 2 DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………….. 5 1. Benteng Pendem…………………………………………………………………………. 6 2. Benteng Van der Capellen……………………………………………………………… 15 3. Benteng Fort de Kock…………………………………………………………………… 22 4. Benteng Fort du Bus……..……………………………………………………………… 28 5. Benteng Nieu Victoria…………………………………………………………………… 34 6. Benteng Fort Malborough……………………………………………………………… 42 7. Benteng Fort Vastenburg………………………………………………………………. 51 8. Benteng Vredeburg……………………………………………………………………... 58 9. Benteng Willem II………………………………………………………………………. 71 10. Benteng Belgica…………………………………………………………………………. 77 11. Benteng Somba Opu……………………………………………………………………. 88 12. Benteng Fort Rotterdam……………………………………………………………….. 105 13. Benteng Keraton Buton……………………………………………..…………………. 113 14. 15. 16. 17.



Benteng Duurstede………………………………………………………………..……. 123 Benteng Hollandia (Tolukko)………………………………………………………….. 130 Benteng Kalamata……..……………………………………………………………….. 137 Benteng Fort Speelwijk……………………………………………..…………………. 143



18. Benteng Van Den Bosch…………………………………………………………..……. 147 19. Benteng Oranje………………………………………………………………………… 157 20. 21. 22. 23. 24. 25.



Benteng Amsterdam……..…………………………………………………………..….. 165 Benteng Portugis……..……………………………………………..…………..………. 170 Benteng Fort Willem I……………………………………………..…………..………. 177 Benteng Otanaha……..……………………………………………..…………..………. 185 Benteng Fort Van der Wijk………………………………………………..…………… 192 Benteng De Verwachting…..…………………………………………………………… 200



26. Benteng Indra Patra....……………………………………………..…………..………. 206 27. Benteng Bernaveld……..……………………………………………..…………..……...210 28. Benteng Nieuw Zeelandia…………………………………………..…………..………. 215 29. Benteng Kalimo’ok…...……………………………………………..…………..………. 220 30. Benteng Hoorn……..……………………………………………..…………..………. …225 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………… 230



5



1 BENTENG PENDEM CILACAP, JAWA TENGAH



“ Benteng multi-fungsi di pesisir selatan Jawa Tengah”



6



Sejarah & Letak Geografis



Benteng Pendem Cilacap atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Cilacap, adalah salah satu benteng peninggalan zaman kolonial Belanda yang terletak di pesisir pantai Teluk Penyu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang dibangun pada tahun 1861. Benteng Pendem secara persisnya terletak di wilayah dusun Kebonjati,desa Cilacap, Kecamatan Cilacap, kabupaten Cilacap. Posisi geo-grafisnya adalah 108 49’08” BT dan 7*40’31”. Benteng ini terletak di puncak sebuah bukit tertinggi di gugusan kepulauan Nusakambangan. Dari puncak benteng ini, dapat dilihat situasi seluruh pulau disekitarnya, Samudera Hindia, Selat Indralaya dan Kota Cilacap.



Bangunan benteng ini memiliki luas 6,5 hektar dan dibangun oleh tentara kerajaan Belanda pada tahun 1862. Benteng ini difungsikan untuk menahan serangan yang datang dari arah laut bersama dengan Benteng Karang Bolong, Benteng Klingker, dan Benteng Cepiring. Benteng ini dijadikan sebagai markas pertahanan Belanda sampai tahun 1942. Pada zaman penjajahan Jepang, tempat ini diambil alih oleh Tentara Jepang untuk berbagai keperluan termasuk sebagai barak pasukan, benteng pertahanan sampai penjara militer.



Pada tahun 1945, saat kota Hirosima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu dan Jepang meninggalkan Indonesia, bangunan yang berada tak jauh dari Pulau Nusakambangan tersebut dikuasai oleh tentara Indonesia dari Banteng Loreng Kesatuan Jawa Tengah. Di tempat itu pula, para tentara berlatih perang dan pendaratan laut.



Pada tahun 1986 dilakukan penggalian terhadap lokasi yang berada di pintu Pelabuhan Cilacap tersebut. Ternyata didalamnya terdapat ratusan ruangan yang antara lain terdiri dari kamar istirahat atau barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, 7



klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira dan ruang peluru. Di lingkungan luar benteng juga terdapat makam orang-orang Belanda seperti makam PH.M. Regena Berg istri JN Lagaar asisten Residen Cilacap yang meninggal 23 Juli 1888. Juga M.Herz Asisten Residen Cilacap yang meninggal 22Mei 1909.



Penemuan benteng ini sebelumnya tidak pernah terduga, karena posisinya yang tertimbun tanah. Menurut salah seorang tokoh warga Cilacap, sebelumnya tak ada yang menyangka jika didalam tanah gundukan yang berada tak jauh dari kilang minyak tersebut, terdapat sebuah bangunan bersejarah. Karena konon tempat tersebut lebih dulu dibuat bangunan, baru setelah itu ditimbun dengan tanah setebal empat meter, sehingga bangunan tersebut tak terlihat.



Pendirian benteng ini oleh Belanda hampir bersamaan dengan munculnya Tanam Paksa yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Pada saat itu Cilacap memang menjadi pelabuhan penting untuk mengangkut hasil perkebunan Tanam Paksa antara lain dari Yogyakarta dan Purworejo. Pada masa jayanya pelabuhan Cilacap pernah menjadi saingan pelabuhan Semarang karena Jawa Tengah selatan dan sebagian Jawa Barat selalu mengirimkan hasil buminya melalui Cilacap. Dengan demikian kedudukan benteng ini bernilai strategis bagi Belanda dalam mengamankan ekspor hasil perkebunan yang telah menyumbangkan dana yang berlimpah bagi negeri Belanda. Pelabuhan Cilacap menjadi sepi karena jalan darat di daerah pedalaman mulai dibangun baik jalan kereta api maupun untuk kendaraan bermotor lainnya. Sehingga barang ekspor maupun impor dapat dikirim atau didistribusikan dari dan ke pedalaman Jawa Tengah melalui pelabuhan Semarang



8



Kondisi Sekarang



Bangunan benteng pendem terdiri dari beberapa ruang yang masih kokoh hingga kini. Namun, sejak awal ditemukan, ruangan dalam benteng belum sepenuhnya diketahui. Ruangan dalam benteng yang umum diketahui terdiri dari barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira, dan ruang peluru. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa dalam benteng tersebut terdapat terowongan menuju benteng-benteng lain dan sejumlah gua di pulau Nusakambangan. Namun, hingga kini hal itu belum sepenuhnya terbukti.



Jalan untuk masuk ke dalam Benteng harus melewati jembatan yang melintasi parit pertahanan benteng. Dulunya, lebar parit sekitar 18 m dengan kedalaman 3 m. Saat ini, lebar parit hanya 5 m dengan kedalaman 1-2 m. Fungsi utama dari parit tersebut adalah menghambat laju musuh yang akan masuk ke dalam benteng. Fungsi lainnya adalah sebagai sarana unuk melakukan patroli keliling menggunakan perahu kecil, serta sebagai tempat pembuangan air dari terowongan. Barak yang dibangun pada tahun 1877 dan terdiri dari 14 ruang. Tiap ruang bisa menampung sekitar 30 prajurit. Dua ruang terakhir yang lebih luas digunakan sebagai ruang untuk para komandan.



9



Barak pasukan di dalam lokasi Benteng Pendem (atas), dan Parit yang berfungsi sebagai penghambat laju musuh dan sarana patroli benteng (bawah) Sumber : hilsya.wordpress.com



di sisi kiri terdapat klinik yang dibangun tahun 1879 oleh Belanda dan difungsikan juga oleh tentara Jepang saat menduduki Indonesia. Bangunan ini terdiri dari ruang tindakan dan perawatan pasien. Di sebelah kanan terdapat ruang penjara I seluas 6 m2 yang dibangun pada 1869. Difungsikan sebagai tempat penahanan pertama atau ruang interogasi. Di dalamnya terdapat lingkar besi yang menempel dinding. Gunanya untuk memborgol tahanan dengan posisi tangan terbentang, atau dengan kaki terbentang.



10



Ruang penjara, salah satu ruangan yang paling banyak ditemui di Benteng Pendem. Selain sebagai benteng pertahanan, Benteng Pendem juga merupakan penjara kolonial. Sumber : hilsya.wordpress.com



Di sebelah kiri dari pintu gerbang utama, terdapat terowongan sepanjang 50 m yang dibangun tahun 1869. Fungsi dari terowongan ini adalah sebagai tempat pengiriman senjata dan jalan rahasia untuk penyelamatan tentara Belanda melalui bawah tanah menuju laut. Lubang sniper (penembak jitu) dibangun pada tahun 1873. Lubang sniper ini dibangun untuk melengkapi sarana penjagaan dan keamanan di benteng dari para penyusup yang memasuki benteng. Di dalam terowongan juga terdapat ruangan untuk mengeksekusi tahanan dengan menggunakan senjata laras pendek. Di sisi lain benteng, tepatnya di suatu gundukan di sebelah atas benteng terdapat benteng lain yang ukurannya lebih kecil yang dibangun tentara Jepang pada tahun 1942. Tempat ini merupakan bunker tempat perlindungan tentara. Di dalamnya ada 7 ruang. Yang terlihat dari atas adalah sebuah lubang besi yang berfungsi sebagai tempat ventilasi, terletak tegak lurus sekitar 3 m ke bawah tanah. Dengan adanya benteng yang dibangun oleh tentara Belanda dan Jepang di satu lokasi ini, dapat dilihat perbedaan utamanya. Benteng Belanda 11



umumnya terdiri dari komponen berupa bata merah, pasir laut, kapur dari kerang laut, tumbukan bata halus, besi, dan tidak memakai semen. Sementara bangunan benteng Jepang menggunakan komponen pasir laut, kapur, batu split, besi, dan semen.



Benteng Pendem memang secara umum merupakan salah satu tipikal Benteng Pertahanan yang memang dirancang sebagai kubu pertahanan untuk melindungi diri dari musuh yang menyerang baik dari laut maupun darat, bila dilihat dari letak geografis dan bentuk bangunnannya. Namun, disamping itu Benteng Pendem juga merupakan tempat untuk memenjarakan para tawanan Belanda pada masa penjajahan, termasuk para rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolnial Belanda khususnya di daerah Cilacap dan Jawa Tengah. Disulap Menjadi Museum Sejak ditemukan dan mulai digali oleh pemerintah Cilacap tahun 1986, benteng ini mengalami beberapa pemugaran di beberapa titik. Namun pemugaran tersebut tidak sampai merubah bentuk asli dari benteng. Pemugaran tersebut terkait rencana pemerintah Kabupaten Cilacap yang akan menjadikannya sebagai salah satu obyek wisata sejarah. Saat ini, Benteng Pendem sudah resmi menjadi salah satu obyek wisata andalan Kabupaten Cilacap.



12



Denah asli yang digambar oleh arsitek Belanda yang membangun Benteng Pendem. Disana ditulis denah ini dibuat 22 Maret 1876. Sumber : mahandisyoanata.blogspot.com



13



Obyek wisata ini dilengkapi pula dengan beberapa fasilitas untuk rekreasi seperti : Tempat istirahat, Gazebo, Ayunan, Kolam Pemancingan dan sejumlah patung dinosaurus. Museum ini secara teknis dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Wilayah Cilacap dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Cilacap.



Salah satu sudut Benteng Pendem yang sudah disulap menjadi objek wisata oleh Pemerintah Kab. Cilacap. Sejak diresmikan sebagai objek wisata, Kawasan Benteng Pendem selalu ramai dikunjungi wisatawan ketika musim liburan atau akhir pekan. Sumber : google



14



2 BENTENG VAN DER CAPELLEN BATUSANGKAR, SUMATERA BARAT



“ Benteng pemukul kaum Paderi di Batusangkar”



15



Sejarah Benteng Van der Capellen adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, Indonesia. Fort Van der Capellen sendiri adalah nama lama dari kota Batusangkar (Ibukota Kabupaten Tanah Datar). Sejarah dari benteng ini bermula dari konflik terbuka berupa peperangan fisik antara Kaum Adat dan Kaum Agama (Paderi) yang membuat Kaum Adat meminta bantuan Belanda yang pada waktu itu sudah berkedudukan di Padang. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Kolonel Raff masuk ke Tanah Datar untuk melakukan penyerangan kepada Kaum Paderi. Sesampai di Batusangkar, pasukan Belanda dipusatkan di suatu tempat yang paling tinggi, lebih kurang 500 meter dari pusat kota. Pada tempat ketinggian inilah pasukan Belanda kemudian membangun sebuah benteng yang permanen. Bangunan benteng pertahanan yang dibangun pada tahun 1824 ini berupa bangunan yang memiliki ketebalan dinding 75 cm dan ± 4 meter dari dinding bangunan dibuat parit dan tanggul pertahanan yang melingkar mengelilingi bangunan. Bangunan inilah yang kemudian diberi nama Benteng Van der Capellen, sesuai dengan nama Gubernur Jendral Belanda pada waktu itu yaitu Godert Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen.



Dengan adanya benteng pertahanan yang permanen dan strategis, maka secara militer dan politis memudahkan Belanda untuk menguasai wilayah sekitar Batusangkar. Hal ini menandakan beratnya perjuangan kolonial Belanda di Tanah Datar sehingga harus membuat benteng. Kesempatan demikian akhirnya bukan hanya bertujuan untuk memadamkan gerakan Kaum Agama, tetapi sekaligus untuk menguasai secara politis kawasan Tanah Datar dan sekitarnya. Konflik ini akhirnya berkembang menjadi Operasi Militer Belanda. Kenyataan demikian menyadarkan Kaum adat yang semula mengizinkan Belanda untuk masuk ke Tanah Datar. Tapi semua sudah terlambat. Belanda sudah bercokol



16



Sebuah lukisan sketsa yang dibuat oleh Louis Henri Wilhelmus Merckes de Stuers yang diyakini dibuat antara tahun 1845 dan 1869 memperlihatkan sebuah benteng di atas bukit dengan latar belakang pegunungan. Sebuah lukisan sketsa yang dibuat oleh Louis Henri Wilhelmus Merckes de Stuers yang diyakini dibuat antara tahun 1845 dan 1869 memperlihatkan sebuah benteng di atas bukit dengan latar belakang pegunungan. Di bagian bawah sketsa tertulis Fort van der Capellen Menangerbau Pagaroeyoeng Padangsche Bovenlanden Soematra. Bendera triwarna berkibar pada sebuah tiang tinggi hingga menyentuh awan yang bergelayut rendah. Pada jalan setapak menuju benteng terlihat seorang serdadu dengan seragam biru memacu kudanya menuju ke arah benteng. Sementara di latar depan terlihat seorang bersurban dan berompi merah sedang menunjuk ke satu arah.



17



Benteng Fort van der Capellen, Batusangkar. Foto ini diambil pada tahun 1895. Tampak posisi Benteng yang berada diatas bukit untuk memudahkan observasi terhadap posisi musuh. Sumber : wikipedia



Gambaran dalam sketsa tersebut hampir persis dengan foto yang diambil pada tahun 1895. Kecuali pada bagian latar belakang gunungnya, sepertinya sengaja dibuat untuk efek dramatis saja. Gunungnya tidaklah setinggi itu. Demikian juga kita tidak melihat tembok benteng lagi, mungkin karena perang sudah usai. Tiang bendera di majukan ke depan, tepatnya pada jalan menuju benteng, di dekat gerbang dan pos jaga. Kira-kira hampir sama dengan posisi serdadu berkuda dalam sketsa. Dengan penampakan sekilas seperti ini, rasanya Van der Capellen tidak terlihat seperti sebuah benteng. Pada zaman jepang, benteng van der Capellen kemudian dikuasai oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari tahun 1943-1945. Setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dari pendudukan Jepang, benteng Van der Capellen kemudian dikuasai oleh



18



Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sampai tahun 1947. Pada waktu Agresi Belanda II, benteng Van der Capellen kembali dikuasai Belanda selama dua tahun, yaitu tahun 1948-1950.



Benteng Van der Capellen setelah direnovasi dan beberapa kali mengalami alih fungsi. Sempat menjadi Mapolres Batusangkar, sebelum akhirnya dijadikan Kantor Disbudpar Kab. Tanahdatar Sumber : wikipedia



Benteng Van der Capellen kemudian dimanfaatkan oleh PTPG yang merupakan cikal bakal IKIP Padang untuk proses belajar mengajar sampai tahun 1955 saat PTPG dipindahkan ke Bukit Gombak. Benteng Van der Capellen kemudian dijadikan sebagai markas Angkatan Perang Republik Indonesia. Pada saat meletus peristiwa PRRI tahun 1957, Benteng Van der Capellen dikuasai oleh Batalyon 439 Diponegoro yang kemudian diserahkan kepada POLRI pada tanggal 25 Mei 1960. Oleh POLRI kemudian ditetapkan sebagai Markas Komando Resort Kepolisian (Polres) Tanah Datar dan berlanjut hingga tahun 2000. Sejak tahun 2001, Benteng Van der



19



Gerbang benteng yang baru dibangun oleh Pemerintah Kab. Tanah Datar (kiri) dan bagian belakang benteng Van Der Capellen (kanan). Sekilas tak tamapak kesan Fort Van Der Capellen sebagai sebuah bekas benteng di masa lalu Sumber : Tropen Museum



Capellen dikosongkan karena Polres Tanah Datar telah pindah ke bangunan baru yang berada di Pagaruyung. . Selama menjadi markas Polres inilah beberapa perubahan bangunan dilakukan. Antara lain atap yang semula berupa atap genteng diganti dengan atap seng pada tahun 1974. Pada tahun 1984 dilakukan penambahan ruangan untuk serse dan dibangun pula TK Bhayangkari. Parit yang masih ada disebelah kanan dan kiri bangunan benteng ditimbun dan



20



diratakan pada tahun 1986. Selain itu, ruangan sel tahanan yang semula terdiri dari 4 ruangan, dibongkar satu sehingga tinggal menjadi 3 ruangan. Perubahan bangunan terakhir kalinya terjadi pada tahun 1988, yaitu berupa penambahan bangunan kantin dan bangunan untuk gudang.



Kondisi Sekarang



Benteng ini telah selesai direhab dan dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan sejarah Purbakala (BP3) Kementrian Pariwisata dan Industri Kreatif yang wilayah kerjanya meliputi Sumbar, Riau dan Kepri dan kantornya di Batusangkar. Kini benteng tersebut telah terlihat megah, apalagi halamannya juga sudah direhab pula oleh Kementrian PU melalui Dinas PU Propinsi Sumatera Barat.



Benteng Van der Capellen saat ini selain sebagai kantor Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Tanah Datar, juga digunakan untuk aktifitas seni dan budaya serta sebagai pusat informasi pariwisata (tourism information centre). Di sini juga telah dikelola sebuah museum kecil yang menampilkan berbagai data sejarah Minangkabau dan perjuangan masa lalu.



21



3 BENTENG FORT DE KOCK BUKITINGGI, SUMATERA BARAT



“ Bersama Van der Capellen, Fort de Kock adalah salah satu benteng utama VOC menghadapi kaum Paderi”



22



Fort de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun 1825 pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 1821-1837. Di sekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke 19. Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittingi.



Sejarah Pendirian



Benteng Fort de Kock digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun 18211837 .Semasa pemerintahan Belanda, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat pemerintahan, kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah Kolonial Belanda telah mendirikan sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan tempat pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.



Fort de Kock juga dibangun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil menduduki daerah di Sumatera Barat. Benteng tersebut merupakan tanda penjajahan dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap wilayah Bukittinggi, Agam, dan Pasaman. Belanda memang cerdik untuk menduduki Sumatera Barat, mereka memanfaatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara kelompok adat dan kelompok agama. Bahkan Belanda 23



Lukisan Pelukis Belanda pada tahun 1825 yang melukiskan Benteng Fort De Kock. Sumber : Wikipedia



Persiapan Pasukan Belanda di Benteng Fort De Kock dalam masa Perang Paderi (1803 – 1838). Sumber : Wikipedia sendiri ikut membantu kelompok adat, guna menekan kelompok agama selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga tahun 1837.



24



Belanda yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di puncak Bukit Jirek, yang kemudian diberi nama Fort de Kock. Setelah membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolonial Belanda pun melanjutkan rencananya mengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malambung. Di daerah tersebut juga dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kompleks pemakaman, pasar, sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen wilayah dari lima desa yang dijadikan pusat perdagangan.



Keadaan sekarang



Sejak direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan benteng Fort de Kock kini berubah menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Hingga saat ini, Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat putih-hijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak pepohonan rindang dan mainan anak-anak.



Benteng ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu masuk



25



Bangunan utama Benteng Fort de Kock yang berupa menara setinggi 20 meter dengan 4 meriam di tiap sudutnya. Sekarang benteng ini masuk dalam kawasan wisata terpadu Bukitinggi City Park. Sumber : wikipedia



Salah satu pemandangan Benteng Fort de Kock pada zaman kolonial. Foto ini diambil sekitar tahun 1900-1904. Sumber : wikiwand.com



26



sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukittinggi. Kawasan ini hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya di terusan jalan Tuanku nan Renceh. Benteng ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di sumatera barat , yang satu lagi terletak di Batusangkar dengan nama benteng Fort Van der Capellen karena 2 kota inilah dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat Perang Paderi.



Bila dilihat dari jenis benteng, Fort de Kock terbilang unik, karena tidak seperti benteng-benteng Belanda pada umumnya yang luas, melingkar dan terkesan kokoh. Benteng ini terkesan seperti sebuah menara observasi yang besar dan tujuannya lebih ke tujuan strategis daripada pertahanan, karena letaknya yang berada diatas bukit, sehingga bisa memantau situasi di kota bukitinggi.



27



4 BENTENG FORT DU BUS KAIMANA, PAPUA



“ Benteng pertama yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda”



28



Sejarah



Fort Du Bus merupakan benteng pertama yang dibangun pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 24 Agustus 1828, yang terletak di Teluk Triton di pantai barat daya New Guinea (sekarang propinsi Papua di Indonesia). Awalnya benteng ini didirikan untuk menghambat gangguan dari pasukan kolonial Inggris dari selatan (Australia). Selanjutnya benteng ini menandai dimulainya secara fisik/teknis kehadiran kekuasaan kolonial Belanda di Papua, meskipun daerah tersebut sudah sejak tahun 1823 dianggap oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dari tanah jajahan (koloni) Belanda di Kepulauan Nusantara.



Léonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 4 Februari 1826 sampai dengan 16 Januari 1830). Nama benteng ini diambil dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa saat itu, L.P.J. Burggraaf du Bus de Gisignies



Sebuah plakat di batu dalam Bahasa Belanda yang menunjukkan tahun pembuatan benteng (kiri) Lukisan mengenai Benteng Fort Du Bus pada tahun 1828 (kanan). (Sumber : Wikipedia) 29



Sisa-sisa reruntuhan Fort du Bus. Tampak dinding batu dan bentuk dasar benteng yang masih utuh. Sumber : abdulngayis.blogspot



Léonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies (Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 4 Februari 1826 sampai dengan 16 Januari 1830). Sumber : wikipedia Segera setelah pendirian benteng pertama ini, hubungan antara pihak Belanda dan penduduk pribumi ditentukan dalam surat-surat perjanjian. Surat perjanjian ini ditandatangani oleh Raja 30



Namatote, Kasa (Raja Lokajihia), Lutu (Orang Kaya di Lobo, Mewara dan Sendawan). Mereka diangkat sebagai kepala di daerah masing-masing oleh Belanda dengan diberi surat pengangkatan sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini, diangkat pula 28 kepala daerah bawahan.



Sebelum abad ke-19, New Guinea Belanda (Nederlandsche Nieuw Guinea) diperintah pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkedudukan di Maluku. Meskipun pesisir pulau ini telah dipetakan pada tahun 1825 oleh Lieutenant Commander D.H. Kolff, belum ada upaya serius untuk membangun pemukiman permanen di New Guinea Belanda. Sementara itu, Inggris menunjukkan minat yang tinggi akan daerah ini, dan mulai mengancam untuk mendudukinya. Untuk mengatasi hal tersebut, Gubernur Maluku Pieter Merkus, mendesak pemerintah kolonial untuk membangun pos-pos di sepanjang pantai. Pada 31 Desember 1827, keluarlah surat persetujuan raja Belanda, dan pada 18 April 1828, berangkatlah sebuah tim ekspedisi kecil yang dipimpin Lieutenant Jan Jacob Steenboom, dilengkapi dua kapal, korvet Triton dan sekunar (schooner) Iris, dari pelabuhan Ambon (Maluku) untuk mencari lokasi yang sesuai untuk membangun pemukiman. Dalam tim tersebut, Lieutenant Commander C.J. Boers bergabung untuk melakukan observasi-observasi nautikal bersama lima orang ahli biologi, Dr. H.C. Macklot (ahli zoologi), Gerrit van Raalten (taxidermis), Pieter van Oort (artis), Salomon Müller (ahli zoologi/botani), dan Alexander Zippelius (botani)[3].



Setelah berhenti di Banda pada 25 April 1828, Triton dan Iris melanjutkan pelayaran ke Selat Dourga dan Sungai Oetanata, namun urung dipilih karena berawa dan berkarang. Di suatu lokasi yang tidak dirinci, beberapa perwira dan prajurit terluka akibat serangan penduduk asli. Hingga akhirnya pada awal bulan Juli 1828, Lieutenant Steenboom akhirnya memutuskan memilih lokasi yang layak di hulu teluk yang tertutup yang segera dinamai Teluk Triton (3°42’ Lintang Selatan dan garis meridian 134°15’4” Bujur Timur), yang



31



terletak di timur lokasi yang sekarang menjadi kota Kaimana[4][5]. Penduduk asli teluk menyebut teluk tersebut sebagai Uru Lengguru.



Kapal-kapal Triton dan Iris berlabuh selama dua bulan, para awaknya membantu para pemukim membangun beberapa bangunan kecil yang dikelilingi oleh pagar kayu runcing. Pada 24 Agustus 1828, bertepatan dengan ulang tahun Raja Willem I dari Belanda, bendera triwarna Belanda resmi dikibarkan dan klaim Belanda atas New Guinea diumumkan. Klaim tersebut berbunyi sebagai berikut: “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland, Pangeran Oranje van Nassau, Hertog Agung Luxemburg dan seterusnya, bagian dari Nieuw Guinea, serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis meridian 141° sebelah timur Greenwich di pantai selatan dan dari tempat tersebut ke arah barat, barat daya dan utara sampai ke Tanjung Harapan Baik di pantai utara, selain daerah-daerah Mansarai, Karondefer, Amberpura dan Ambarpon yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai miliknya.”



Beberapa orang kepala suku setempat menyaksikan pengumuman tersebut dan menyatakan kesetiaan kepada Raja Willem I dari Belanda. Upacara pada tangal tersebut di atas dianggap di Eropa sebagai tanda bahwa sejak waktu tersebut Belanda memiliki kedaulatan atas wilayah yang dinyatakan dalam proklamasi tersebut, sehingga wilayah tersebut tidak boleh lagi ditempati oleh kekuasaan-kekuasaan Eropa lainnya.



Orang-orang Belanda di benteng ini segera membuka perdagangan dengan suku-suku pesisir Asmat dan pedalaman Papua, selain dengan pedagang-pedagang dari Seram yang datang dengan perahu-perahu beratap berukuran 15-30 kaki. Mereka menukar (barter) kulit massoia, kayu-kayu beraroma, pala, teripang, burung cendrawasih, dan sarang burung. Namun, para pemukim terjangkit berbagai penyakit, terutama malaria, dan diserang oleh suku-suku dari Seram dan Goram. Pada tahun 1835, keluar perintah dari Ambon, untuk membongkar dan meninggalkan pemukiman tersebut. 32



Pada tahun 1839, penjelajah Perancis Jules Dumont d'Urville mengunjungi tempat ini dan menemukan jalan yang diapit pohon-pohon kelapa, kebun jeruk dan beberapa sisa bangunan. Petugas-petugas kolonial Hindia Belanda terus mengunjungi Teluk Triton secara sporadis setelahnya.



33



5 BENTENG NIEUW VICTORIA AMBON, MALUKU



“ Tempat Eksekusi Mati Kapitan Pattimura sekaligus Basis Militer VOC di Indonesia Timur”



34



Benteng Victoria adalah salah satu benteng peninggalan Portugis terletak di Kecamatan Sirimau, pusat kota Ambon. Benteng Victoria merupakan benteng tertua di kota Ambon. Benteng Victoria dibangun oleh Portugis pada tahun 1775, tetapi kemudian diambil alih oleh Belanda.



Sejarah



Gerbang Depan (kiri) dan Gerbang Belakang (kanan) Benteng Nieuw Victoria. Bentuk gerbang dan bentuk benteng secara keseluruhan mepunyai cirri khas bentuk benteng batu seperti di Eropa. Sumber : tutuwawang.blogspot.com Keberadaan Benteng Nieuw Victoria di Kota Ambon, adalah berawal dari dibangunnya benteng Portugis di pantai Honipopo pada abad ke-16. Batu pertama dari benteng tersebut diletakkan oleh seorang panglima armada Portugis di Maluku, Sancho de Vasconcelos, pada tanggal 23 Maret 1575. Dalam waktu tiga bulan, tembok benteng dan menara-menaranya telah dibangun lengkap dengan sejumlah rumah di dalamnya. Kemudian, benteng itu secara resmi diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”. Pemberian nama tersebut berkaitan dengan hari Kenaikan (“Anunciada”) yang bertepatan dengan peletakan batu pertama pembangunan benteng tersebut. Dari dalam benteng inilah para Misionaris



35



Eropa memulai tugas penginjilan untuk memperkenalkan agama Kristen kepada penduduk local. Tetapi, menurut para saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, baik Rumphius, Valentijn dan Rijali, di kalangan penduduk Pulau Ambon, benteng tersebut lebih dikenal dengan sebutan “Kota Laha”, yang berarti benteng (“Kota”) di teluk (“Laha”). Benteng Kota Laha berbentuk segi empat mengikuti bentuk benteng batu yang umumnya dibangun di Eropa dalam abad pertengahan. Pada keempat sudutnya dibangun empat buah menara bersegi tiga untuk menempatkan meriam. Karena ancaman terbesar akan datang dari laut, maka kedua menara meriam yang mengarah ke laut dibuat lebih kokoh dari yang mengarah ke darat. Dua gerbang utama menjadi pintu masuk ke benteng tersebut, sebuah terletak pada tembok ke arah laut (untuk muatan kapal-kapal) dan sebuah lagi pada tembok ke arah darat. Benteng Kota Laha jatuh dari tangan Portugis ke pihak VOC pada tanggal 23 Maret 1605 dibawah pimpinan Admiral Steven van der Haghen, sehingga benteng tersebut hanya berhasil dipertahankan oleh Portugis selama 30 tahun (1575-1605). Kemudian benteng tersebut berganti nama menjadi “Victoria” (kemenangan) pada tahun 1614, sebagai peringatan atas kemenangan Belanda dari Portugis. Kota Laha menjadi satu dari dua benteng di Asia yang berhasil direbut VOC dari Portugis, selain benteng Malaka yang direbut tahun 1648. Kemudian dalam perkembangannya, pada tanggal 17 Februari 1674 terjadi gempa yang dasyat di Pulau Ambon dan pulau-pulau sekitarnya. Akibatnya, benteng Victoria mengalami kerusakan berat, bahkan beberapa bangunan tidak dapat digunakan lagi. Kerusakan dalam benteng Victoria yang diakibatkan oleh gempa segera dapat diatasi.



36



Denah asli Benteng Fort Nieuw Victoria berbentuk segilima dengan penempatan bastion ti tiap sudutnya. Sumber : tutuwawang.blogspot.com



Rumah-rumah kayu yang terdapat dalam benteng tersebut berangsur-angsur diganti dengan bangunan yang lebih baik dan kokoh. Namun pada tahun 1754 terjadi kembali gempa dahsyat yang menimbulkan kerusakan yang sangat parah pada benteng Victoria. Karena kesulitan keuangan, renovasi benteng itu baru selesai akhir tahun 1780-an. Karena perbaikan dan perubahannya sangat banyak, maka sejak saat itu benteng tersebut dinamakan “Nieuw Victoria” (Victoria Baru). Pada tanggal 17 Februari 1795, Walikota Alexander Cornabe menyerahkan benteng ini tanpa perlawanan apa pun kepada Laksamana Inggris Rainier. Tahun 1802, Belanda mendapatkan kembali daerah jajahannya dari Inggris, tetapi pada tanggal 19 Februari 1810 oleh komandan Belanda, seorang kolonel Perancis J.P.F. Filz Ambon dan daerah sekitarnya diserahkan kepada Inggris tanpa perlawanan berarti setelah dikepung sehari sebelumnya. Pada tanggal 25 Maret 1817, benteng ini diserahkan secara resmi kepada Belanda oleh Inggris.



37



Peristiwa RMS dan gugurnya Letkol Slamet Riyadi Awalnya Pada tanggal 25 April 1950, golongan separatis yang dipimpin oleh DR. Robert Steven Soumokil memproklamasikan “Republik Maluku Selatan” (RMS). Uluran tangan pemerintah untuk mencari penyelesaian secara damai ditolak oleh pihak RMS. Karena itu pemerintah RI melancarkan operasi militer ke Maluku yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang. Ikut pula dalam Operasi tersebut Letkol Slamet Riyadi sebagai perwira operasi dan membawahi beberapa batalion pasukan infanteri dan lapis baja. Slamet Riyadi dan pasukannya sampai di garis depan pada tanggal 10 Juli 1950 sebagai bagian dari Operasi Senopati. Untuk merebut kembali Pulau Ambon, Letkol Slamet Riyadi membawa setengah pasukannya dan menyerbu pantai timur, sedangkan sisanya ditugaskan untuk menyerang dari pantai utara. Meskipun pasukan RMS mengobarkan perlawanan dengan sengit, pasukan Letkol Slamet Riyadi mampu mengambil alih pantai tanpa perlawanan; mereka kemudian mendaratkan lebih banyak infanteri dan tank. Pada tanggal 3 Oktober, pasukan Rijadi, bersama dengan Kolonel Alexander Evert Kawilarang, ditugaskan untuk mengambil alih ibu kota pemberontak di Benteng New Victoria, Ambon. Slamet Riyadi dan Kawilarang memimpin tiga serangan; pasukan darat menyerang dari utara dan timur, sedangkan pasukan laut langsung diterjunkan di pelabuhan Ambon. Pasukan Riyadi merangsek mendekati kota melewati rawa-rawa bakau. Beratnya medan membuat perjalanan pasukan ini memakan waktu selama sebulan. Dalam perjalanan, tentara RMS yang bersenjatakan Jungle Carbine dan Owen Gun terus menembaki pasukan Riyadi, sehingga seringkali membuat pasukan Slamet Riyadi terjepit. Setibanya di Benteng New Victoria, pasukan Riyadi diserang dengan gencar oleh pasukan RMS yang mempertahankan Benteng. Nasib malang menimpa sang Komandan pasukan, Letkol Slamet Riyadi. Ketika sedang menaiki sebuah tank menuju markas pemberontak pada tanggal 4 November, berondongan peluru senjata mesin pasukan 38



RMS menembakinya. Rentetan tembakan tersebut mengenainya, menembus baju besi dan perutnya. Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal dan dirawat disana, Letkol Slamet Riyadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran, untuk memimpin langsung pasukannya memberikan pukulan terakhir kepada para Pemberontak RMS yang bertahan di Benteng New Victoria. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Letkol Slamet Riyadi menghembuskan nafas terakhirnya pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir di hari yang sama. Kemenangan yang berasa getir bagi Pasukan Slamet Riyadi karena mereka harus kehilangan pemimpinnya di hari kemenangan mereka. Dengan jatuhnya Benteng New Victoria ke tangan Tentara Indonesia, maka otomatis kota Ambon juga sepenuhnya telah dikuasai, kekuatan Republik Maluku Selatan yang diproklamirkan sebelumnya pada tanggal 25 April 1950 oleh Dr. Robert Steven Soumokil berhasil dipatahkan. Sejak saat itu Benteng Nieuw Victoria dikuasai oleh pemerintah dan dipercayakan pemeliharaannya kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dan saat ini telah dijadikan markas komando (Mako) Detasemen Kavaleri 5/BLC Kodam XVI/Pattimura.



Kondisi Sekitar Benteng Benteng Victoria terletak di jantung Kota Ambon yaitu Kelurahan Hunipopu Kecamatan Sirimau, Kotamadya Ambon, Provinsi Maluku. Berjarak sekitar 300 meter dari Terminal Mardika. Di depan benteng terdapat kafe-kafe tenda yang menjual berbagai makanan kecil khas Ambon. Di dalam benteng dapat ditemui sisa-sisa meriam berukuran raksasa khas kolonial yang memang dilestarikan. Di beberapa kamar terdapat patung berukir terbuat dari kayu pilihan, peta perkembangan kota Ambon dari abad XVII hingga abad IX, dan beberapa koleksi lukisan para administratur Belanda di Maluku. Sedangkan ruas jalan di



39



Meriam pertahanan Benteng Nieuw Victoria yang langsung menghadap pantai. Sumber : tutuwawang.blogspot.com



Salah satu foto benteng Fort Nieuw Victoria, dengan bastion (pos penjagaan) di salah satu sudutnya. Sumber : tropen museum



40



sisi depan benteng yang dulu disebut “Boulevard Victoria” menghubungkan langsung ke arah bibir Pantai Honipopu. Namun, masyarakat sudah lekat menyebutnya dengan nama Taman Victoria akibat adanya taman yang dibuat oleh pemerintah Kota Ambon dan di lokasi ini dulunya sering dijadikan lokasi hiburan masyarakat. Sebenarnya, kondisi di depan benteng dulunya langsung berbatasan dengan bibir pantai Honipopu (sekitar 5-10 meter) berupa jalan setapak di pinggiran benteng di sebelah luar. Namun akibat adanya perkembangan pembangunan sampai dengan saat ini maka telah dilakukan pengeringan sehingga telah dibagun beberapa fasilitas umum dan jalan serta jembatan yang menghubungkan wlayah Honipopu ke arah Timur menuju ke Rijali (Pasar/Terminal mardika). Tepat di belakang benteng terdapat lapangan luas yang dulu disebut “Esplanade” atau “Alun-Alun” saat ini bernama Lapangan Merdeka. Di salah satu sudut di lapangan inilah Pahlawan Nasional Thomas Matulessy alias Pattimura menjalani hukuman gantung oleh pemerintah Belanda (VOC). Di tengah lapangan ini dulu terdapat jalan yang membelah lapangan dan menghubungkan dalam benteng menuju ke jalan “Gorote Olivan Straat” yang skarang bernama Jalan Pattimura. Pada jaman itu, Gorote Olivan Straat adalah jalan utama dalam kota Ambon yang digunakan untuk menghubungkan rumah Resident (Gubernur Jenderal) Belanda yang saat ini menjadi markas komando Korem 151/Binaiya dengan Kantor Resident Belanda yang saat ini di lokasinya telah berdiri Bank Mandiri dan kantor Babin Minvedcad Kodam XVI/Pattimura, serta menuju ke dalam Benteng Nieuw Victoria.



41



6 BENTENG FORT MALBOROUGH BENGKULU



“ Benteng megah peninggalan Kolonialisme Inggris di Nusantara”



42



Sejarah Pendirian Benteng Marlborough tidak lepas dari keberadaan Benteng York yang sudah digunakan sebelumnya. Benteng York didirikan di atas bukit di pinggiran muara Sungai Serut yang dikelilingi oleh rawa-rawa. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai penyakit menular antara lain disentri, kolera, dan malaria. Oleh karena keletakan Benteng York yang kurang menguntungkan bagi bangsa Inggris maka Inggris melakukan pendekatan kembali kepada raja-raja Bengkulu untuk mendapatkan lokasi baru untuk mendirikan benteng sebagai pengganti Benteng York.



Hasilnya, Inggris mendapatkan lokasi baru yang lebih besar dan letaknya yang strategis diantara sebuah bukit kecil di pinggir pantai Tapak Paderi. Pembangunan benteng ini dilakukan secara bertahap selama lima tahun, pembangunanya dikerjakan oleh arsitek dan para pekerja yang sengaja didatangkan dari India. Pemberian nama Fort Malborough adalah sebagai kenangan kepada seorang komandan militer Inggris bernama John Churchill yang terkenal sebagai “The First Duke Of Marlborough”.



Benteng Marlborough merupakan benteng pertahanan Inggris yang didirikan pada rentang tahun 1714-1718 dengan ukuran panjang 240,5 m dan lebar 170,5 m atau sekitar 44.100, m². Selama pendirian tersebut tercatat nama-nama penguasa Bangsa Inggris di Bengkulu yaitu Yoseph Collet (1712-1716), Thiophilus Shyllinge (1716-1717), Richard Farmer (1717-1718), Thomas Coke (1718- ? ).



43



Foto depan Benteng Marlborough antara tahun 1920-1925. Bentuk gapura asli tampak tidak jauh berubah dengan bentuk yang ditemui sekarang, menandakan bahwa kondisi benteng masih terjaga bentuk aslinya. Sumber : kaskus Ketika benteng tersebut hampir selesai dibangun, rakyat bengkulu yang dipimpin oleh Pangeran Jenggalu menyerang Benteng Inggris yang mengakibatkan orang-orang Inggris lari ke Madras (India), penyerangan ini terjadi karena rakyat Bengkulu merasa dirugikan oleh pihak Inggris. Setelah keadaan aman, pemerintah Inggris yang diwakili oleh Gubernur Joseph Walsh datang kembali ke Bengkulu dan membuat perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1724 dengan pihak Kerajaan Sungai Lemau. Selain adanya serangan dari dalam (masyarakat pribumi) Benteng Marlborough juga mendapat serangan dari luar, pada tahun 1760 terjadi penyerangan terhadap benteng Marlborough oleh dua buah kapal Perancis di bawah pimpinan Comte d’Estaing dengan 500 orang awaknya. Setelah ada perjanjian antara pemerintah Perancis dan Inggris di Perancis pada tahun 1763 pihak Perancis membantu memperbaiki kerusakan dan mengembalikan kepada pihak Inggris.



Dalam tahun 1807 terjadi suatu peristiwa bersejarah yang dikenal peristiwa Mount Fellix. Peristiwa ini merupakan gerakan sosial yang terjadi pada masyarakat petani sebagai protes terhadap sistem tanam kopi yang dipaksakan. Pada tanggal 23 Desember 1807 Thomas 44



Parr dibunuh di kediamannya di Mount Fellix yang kemudian dimakamkan di Benteng Marlborough.



Pada tanggal 17 Maret 1824 dilakukan suatu perjanjian antara pemerintahan kerajaan Inggris dan Belanda yang dikenal dengan Traktat London. Akibat dari adanya Taktat London tersebut maka daerah Bengkulu menjadi kekuasaan pemerintah Belanda sejak 1824-1942. Kemudian ketika Jepang masuk ke Indonesia, Benteng Marlborough dikuasai oleh Jepang hingga masa kemerdekaan.



Benteng Fort Marlborough dilihat dari udara, tampak keistimewaan bentuk dan arsitektur benteng di eropa.. Sumber : google



45



Pintu gerbang Benteng Marlborough sekarang. Tidak banyak perubahan yang terjadi dari bangunan asli benteng sejak benteng ini dijadikan cagar budaya oleh Pemerintah. Sumber : kompas.com



46



Arsitektur dan Keistimewaan Benteng Marlborough adalah benteng terbesar yang pernah dibangun oleh Bangsa Inggris semasa kolonialismenya di Asia Tenggara. Konstruksi bangunan benteng Benteng Marlborough ini memang sangat kental dengan corak arsitektur Inggris Abad ke-20 yang ‘megah’ dan ‘mapan’. Bentuk keseluruhan komplek bangunan benteng yang menyerupai penampang tubuh ‘kura-kura’ sangat mengesankan kekuatan dan kemegahan. Detail-detail bangunan yang European Taste menanamkan kesan keberadaan bangsa yang besar dan berjaya pada masa itu. Dari berbagai peninggalan Benteng Marlborough yang masih terdapat di dalam bangunan benteng dapat pula diketahui bahwa pada masanya bangunan ini juga berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan termasuk perkantoran, bahkan penjara. Berbagai catatan sejarah pernah terjadi di Benteng Marlborough ini, diantaranya tentang berbagai kejadian dalam kehidupan bangsa Inggris di Bengkulu saat itu, beberapa pesta perkawinan diantara mereka, berbagai kisah perniagaan rempah-rempah, peperanganpeperangan yang terjadi, hingga kisah gugurnya Hamilton, gugurnya Thomas Parr dan penundukan / penguasaan benteng ini selama lebih kurang enam bulan oleh perlawanan Tobo Bengkulu dengan Rajo Lelo-nya. Keistimewaan Benteng Marlborough terletak pada struktur bangunannya yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat lengkap. Benteng yang berbentuk segi empat ini memilikibastion (gedung jaga) di keempat sudutnya. Untuk memasuki bangunan induk di dalam benteng ini, pengunjung harus melewati pintu masuk utama berbentuk lengkung sempurna yang terletak di sisi barat daya. Namun, sebelum sampai di bangunan induk, pengunjung harus melewati jembatan terlebih dahulu yang menghubungkan antara pintu masuk dengan bangunan induk karena benteng ini dikelilingi oleh parit yang bentuknya mengikuti bentuk bangunan benteng.



47



Gambar Salah satu sudut Benteng Marlborough yang menghadap ke laut lepas pada tahun 1900-an (kiri) dan foto sekarang (kanan). Menunjukkan bahwa kondisi benteng yang masih orisinil dan tidak banyak mengalami perubahan meskipun sudah berumur ratusan tahun. Sumber : kaskus.us Di sebuah lorong sebelum memasuki jembatan, pengunjung dapat menjumpai 4 buah nisan, 2 di antaranya merupakan peninggalan di masa Benteng York (benteng yang dibangun Inggris sebelum Benteng Marlborough).Pada nisan-nisan tersebut tertera nama George Shaw (1704), Richard Watts Esq(1705), James Cune (1737), dan Henry Stirling (1774). Bastion-bastion yang terdapat di keempat sudut Benteng Marlborough berbentuk segi lima. Bastion-bastion tersebut dikelillingi oleh tembok yang dilengkapi dengan celah intai yang berbentuk segitiga. Pada bastion bagian selatan, pengunjung dapat menjumpai sisa rel meriam yang berbentuk lingkaran. Sedangkan pada bastion di bagian selatan dan timur menempel 8 buah cincin besi yang masing-masing berjarak satu meter. Pada setiap bastion di Benteng Marlborough rata-rata memiliki dua kamar. Kamarkamar tersebut memiliki langit-langit yang berbentuk lengkung dan dilengkapi dengan lubang berdiameter 80 cm yang menembus sampai bagian atas bastion. Kamar-kamar di dalambastion ini dulu digunakan sebagai penjara bagi tahanan-tahanan pemerintah Inggris.



48



Selain bastion-bastion tersebut, di dalam Benteng Marlborough juga terdapat beberapa



bangunan lainnya, terletak di



timur, di antara bastion selatan Bangunan yang



terdapat



dan



barat,



antara bastion utara dan di antara bastion selatan



di antarabastion utara



dan



dan dan



timur.



timur berbetuk persegi



panjang, terbagi menjadi dua bangunan, yaitu di sebelah kiri dan di sebelah kanan, yang dipisahkan oleh sebuah lorong yang menghubungkan dengan pintu belakang benteng. Bangunan di sebelah kiri terdiri dari 3 ruangan, sedangkan bangunan di sebelah kanan terdiri dari 4 ruangan. Ruangan-ruangan ini dilengkapi dengan jendela-jendela yang berbentuk persegi panjang. Bangunan yang terletak di antara bastion selatan dan barat juga berbentuk persegi panjang, memiliki dua ruangan, tetapi lorong yang memisahkannya menghubungkan bangunan dengan pintu gerbang utama. Bangunan sebelah kiri terdiri dari 3 ruangan, sedangkan bangunan sebelah kanan memiliki 7 ruangan. Ruangan-ruangan pada bangunan ini dilengkapi dengan jendela yang berbentuk lengkung. Berbeda dengan bentuk bangunan-bangunan lainnya, bangunan yang terletak di antara bastion timur dan selatan berbentuk persegi panjang dan hanya memiliki 1 ruangan, namun ukurannya paling panjang bila



dibandingkan



dengan



ruangan-ruangan



di



bangunan



lainnya. Ruangan ini dilengkapi dengan pintu dan jendela yang bentuknya melengkung. Ruangan ini tidak dilengkapi dengan atap, hanya berupa lantai yang diberi tegel berglasir coklat. Namun, ruangan ini adalah satu-satunya ruangan yang memiliki sumur. Dinding sumur berdiameter satu meter ini terbuat terbuat dari batu bata dengan pola ikat dinding Inggris.



49



Pada zaman dahulu, benteng ini juga memiliki terowongan bawah tanah yang berfungsi sebagai penghubung keluar. Di antaranya adalah terowongan bawah tanah yang menuju ke Pantai Panjang, Tapak Padri, dan Gedung Daerah (Istana Gubernur). Tetapi karena tidak terpelihara, terowongan-terowongan tersebut akhirnya menjadi tertutup dengan sendirinya. Oleh Pemerintah Propinsi Bengkulu, terowongan-terowongan bawah tanah ini rencananya akan difungsikan seperti semula, sehingga keisitimewaan Benteng Marlborough menjadi kian lengkap. Kondisi Sekarang Setelah Belanda pergi tahun 1950 akibat hasil Konfernsi Meja Bundar yang mengharuskan mereka angkat kaki dari Indonesia, benteng Marlborough dijadikan markas pasukan TNI-AD Hingga tahun 1977. Setelah itu, benteng ini kemudian diserahkan kepada Departemen



Pendidikan



dan



Kebudayaan



untuk



dipugar



dan



dijadikan



bangunan cagar budaya hingga sekarang. Kesan sejarah yang kental dan keasrian benteng setelah direvitalisasi oleh pemerintah menjadikan Benteng ini sebagai destinasi wisatawan yang berkunjung ke Bengkulu. Pemandangan pantai yang menawan dari atas benteng merupakan suatu daya tarik tersendiri bagi para pengunjung Benteng Marlborough selain fungsi utamanya sebagai cagar budaya dan sejarah.



50



7 BENTENG FORT VASTENBURG SURAKARTA, JAWA TENGAH



“ Pusat Garnisun VOC di Surakarta sekaligus tempat untuk memata-matai gerak-gerik Keraton di masa penjajahan”



51



Sejarah Benteng Vastenburg adalah benteng peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Gladak, Surakarta, Jawa Tengah. Benteng ini dibangun tahun1745 atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Sebagai bagian dari pengawasan Belanda terhadap penguasa Surakarta, khususnya terhadap keraton Surakarta, benteng ini dibangun, sekaligus sebagai pusat garnisun. Di seberangnya terletak kediaman gubernur Belanda (sekarang kantor Balaikota Surakarta) di kawasan Gladak. Bentuk tembok benteng berupa bujur sangkar yang ujung-ujungnya terdapat penonjolan ruang yang disebut seleka (bastion). Di sekeliling tembok benteng terdapat parit yang berfungsi sebagai perlindungan dengan jembatan di pintu depan dan belakang. Bangunan terdiri dari beberapa barak yang terpisah dengan fungsi masing-masing dalam



militer.



Di



tengahnya



terdapat



lahan



terbuka



untuk



persiapan



pasukan



atau apel bendera. Setelah kemerdekaan, benteng ini digunakan sebagai markas TNI untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada masa 1970-1980-an bangunan ini digunakan sebagai tempat pelatihan keprajuritan dan pusat Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya Kostrad untuk wilayah Karesidenan Surakarta dan sekitarnya.



52



Foto Benteng Fort Vastenburg pada zaman kolonial Belanda. Foto ini diperkirakan diambil sekitar tahun 1890 – 1900. Sumber : welcomesurakarta.weebly.com



53



Sekitar tahun 1750-an benteng ini merupakan tempat pasukan Belanda untuk “mengawasi” Keraton Kasunanan Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III. Tipologi kota kolonial identik ditengarai adanya sebuah benteng. Belanda merias kota sejak era Kerajaan Kartasura. Waktu itu, urusan di wilayah kekuasaan raja pribumi ikut menjadi perhatian Belanda, misalnya keamanan, perniagaan, permukiman, tata kota dan kebijakan (stelsel). Memang benteng yang berlokasi di ujung Jalan Jenderal Sudirman Solo ini, menyimpan banyak sejarah. Awalnya benteng ini diberi nama Grootmoedigheid. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Sedangkan bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Di beberapa titik sekelilingnya ada pula bangunan rumah tinggal para perwira.



Arsitektur Benteng Kondisi benteng ini dikelilingi oleh dinding batu bata setinggi 6 meter, dan parit yang dalam serta lebar dengan penghubung berupa jembatan gantung untuk menuju ke pintu gerbang benteng, yang menghadap ke barat di mana sekarang sudah tidak ada lagi. Yang tinggal hanya parit yang sempit, dan dangkal. Bentuk bangunan tidak berbeda dengan benteng-benteng Belanda di tempat lain, seperti Benteng Vredenburg di Yogyakarta, Benteng Ontmoeting di Ungaran, dan Benteng Herstelling yang sudah hancur. Perbedaannya, biasanya hanya pada ukuran, luas bangunan, dan tebal tipis serta tinggi dindingnya dengan bentengbenteng yang ada di daerah lain. Pagar atau dinding yang mengelilingi berbentuk tepung gelang. Pintu masuk ada 2, yaitu barat dan timur dengan jembatan jungkit (angkat) yang menghadap ke timur dan barat. Sedangkan bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya. Di beberapa titik sekelilingnya ada pula 54



bangunan rumah tinggal para perwira (sekitar 6 – 7 asrama). Struktur bangunan merupakan tembok masif (bearing wall) dengan lubang-lubang jendela/pintu yang bagian atas berbentuk lengkung. Sedangkan, konstruksi lantai pada bangunan tingkat disusun dari papan kayu yang menumpang pada balok-balok kayu. Dalam konteks morfologi perkotaan, benteng ini memiliki peranan penting di Kota Solo dalam periode abad 18 - 19. Kota Solo adalah pusat perdagangan dan ditandai dengan perkembangan kota kolonial. Dalam konteks era kolonial, artefak lain yang terkait dengan keberadaan Vastenburg ialah di antaranya Gereja Santo Antonius Purbayan, bekas gedung Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), kantor pos, rumah Residen, jalan raya poros lurus Solo-Semarang, permukiman Eropa, dan Societet Harmoni. Semua artefak era kolonial ini berada beberapa ratus meter di hadapan Kraton Kasunanan. Sekitar tahun 1750-an benteng ini merupakan tempat pasukan Belanda untuk “mengawasi” Kraton Kasunanan Surakarta sejak pemerintahan Paku Buwono III. Tipologi kota kolonial identik ditengarai adanya sebuah benteng. Belanda merias kota sejak era Kerajaan Kartasura. Waktu itu, urusan di wilayah kekuasaan raja pribumi ikut menjadi perhatian Belanda, misalnya keamanan, perniagaan, permukiman, tata kota dan kebijakan. Dalam konteks sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa, di dalam benteng ini tercatat banyak pejuang kita pernah dipenjara, disiksa, dan dibunuh di era kolonial Belanda. Hal mana berlanjut di jaman Jepang ketika benteng ini dikuasai Bala Tentara Dai Nipon.



Kondisi Sekarang Merunut pada kajian historisnya, benteng yang memiliki luas 31.533 m² ini memang tergolong sebagai salah satu cagar budaya (BCB) yang berada di Kota Solo. Ditetapkan sebagai BCB melalui Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II



55



Salah satu menara penjagaan di salah satu sudut benteng vastenburg (atas) Foto benteng Vastenburg sekitar tahun 1900-an (bawah). Keberadaannya ditengah pusat kota merupakan siasat Belanda untuk mengawasi Keraton Kasunanan Surakarta. Sumber : Suara Merdeka



Surakarta Nomor: 646/116/I/1997, dan tercatat sebagai BCB Kota Surakarta dengan nomor 14-26/C/Pk/2012. Letaknya yang sangat strategis ini sebenarnya bangungan ini bisa dijadikan ikon utama kepariwisataan di Kota Solo dan sekitarnya. Sayangnya, kebesaran historisnya tidak diimbangi dalam hal riwayat kepemilikannya. Semenjak Walikota Hartomo memegang kendali, benteng ini memang dijual (kalau dengan bahasa yang halus adalah ditukargulingkan atau ruislag) ke perseorangan pada tahun 1991. Pemerintah Kota sekarang ketiban sampurnya dari permasalahan ruislag tadi. Benteng itu terus terbengkalai dan kian rusak di tengah tarik menarik kekuatan modal, ahli sejarah, komunitas budaya dan Pemkot Surakarta. Kini situs bersejarah yang hanya beberapa ratus meter dari Kraton Solo dan Balaikota ini, seperti tak terlihat dan diabaikan, berbeda dengan nasib beberapa benteng



56



besar di Indonesia yang bahkan samapai menjadi landmark kota, seperti Benteng Vredeburg atau Benteng Fort Rotterdam di Makassar.



Bagian dalam Benteng Vastenburg yang masih utuh namun tidak terawat. Tidak adanya kepedulian dari Pemerintah setempat membuat Benteng ini terlihat sebagai bangunan tua yang tidak terawat dan tidak terpakai Sumber : warta solo



Benteng yang dulu megah di tengah Kota Bengawan ini, sekarang hanya tinggal seonggok bangunan yang seolah tak berharga dan ditumbuhi rumput ilalang yang lebat. Pada sepetak tanah di halaman depan benteng, berdiri megah sebuah gedung baru yang dijadikan kantor sebuah bank swasta. Sementara di salah satu pojoknya, dijadikan lahan parkir bagi bus-bus wisata yang mengantar wisatawan ke Keraton Solo atau Pasar Klewer. Jarang sekali wisatawan yang berkunjung ke Kraton Surakarta itu tahu, jika tak jauh dari situ terdapat sebuah situs warisan sejarah bangsa. Sebuah bangunan berstatus cagar budaya seluas 31.533 m2, yang seharusnya dilindungi UU No 5 Tahun 1992 tentang Perlindungan Cagar Budaya.



57



8 BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA



“ Lambang supremasi VOC atas kekuasaan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ”



58



Sejarah Benteng Vredeburg terdiri atas beberapa bangunan berupa gedung sebagai barak, hunian, mess, dan tempat tinggal dengan luas 2.3 hektar. Arsitektur bangunan di dominasi gaya Jawa-Eropa yang dikerjakan oleh seorang Belanda ahli ilmu bangunan bernama Ir. Frans Haak. Benteng Vredeburg Yogyakarta berdiri terkait erat dengan lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perseteruan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sultan HB I) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin ikut campur urusan dalam negeri Raja-raja Jawa waktu itu, yaitu Perjanjian Giyanti, karena traktat tersebut disepakati di Desa Giyanti, suatu desa yang terletak di dekat Surakarta.



59



Benteng Vredeburg di tahun 1770 sewaktu masih menjadi markas pasukan infanteri Belanda. Sumber : Wikimapia Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB I adalah memerintahkan membangun kraton. Dengan titah tersebut segera dibuka hutan beringin dimana ditempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan HB I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta. Pembagunan Kraton yang semakin pesat menimbulkan kekhawatiran di pihak Belanda sehingga diajukanlah usul untuk membangun sebuah benteng disekitar wilayah kraton. Besarnya kekuatan dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda termasuk Sri Sultan HB I, oleh karena itu usulan pembangunan benteng dikabulkan. Benteng Vredeburg dibangun tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I atas permintaan Belanda yang pada waktu itu menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara jawa



60



adalah Nicolaas Harting. Dalih yang digunakan adalah agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi maksud sesungguhnya Belanda adalah untuk memudahkan melakukan kontrol perkembangan yang terjadi di kraton. Hal ini bisa dilihat dari letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya menghadap ke jalan utama menuju kraton merupakan indikasi utama bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa beridirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Pada awalnya, Benteng dibangun dengan keadaan yang masih sangat sederhana. Temboknya hanya dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari Kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap hanya berupa rumput ilalang. Bangunan banteng berbentuk persegi dan dikelilingi oleh sebuah parit yang masih bisa dijumnpai sampai sekarang. Benteng mempunyai menara pantau yang atau bastion di keempat sudutnya. Oleh Sultan Jogja, setiap bastion diberi nama Jaya Wisesa, Jaya Purusa, Jaya Prakosaningprang dan Jaya Prayitna. berikutnya dan dengan alasan keamanan, Gubernur Belanda yang dipimpin oleh W.H Van Ossenberg mengusulkan agar benteng dibangun lebih permanen. Pada tahun 1767, pembangunan benteng mulai dilaksanakan di bawah pengwasan seorang ahli bangunan dari Belanda yang bernama Ir. Frans Haak. Pembangunan benteng baru selesai tahun 1787 yang kemudian diberi nama “ Rustenburg “ ( Benteng Peristirahatan 1867 di Jogjakarta terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat sehingga menyebabkan kerusakan pada bangunan benteng. Setelah dilakukan perbaikan, nama banteng kemudian dirubah menjadi “ Vredeburg “ ( Benteng Perdamaian ) yang merupakan manifestasi hubungan antara Belanda dan Keraton yang tidak saling menyerang.



Bentuk



benteng setelah direnovasi tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Pintu gerbang 61



benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunanbangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan paramedis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Sejalan dengan perkembangan politik yang berjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Di dalam Benteng terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang dengan ditandai dengan Perjanjian Kalijati bulan Maret 1942 di Jawa Barat. Benteng Vredeburg pada masa pendudukan Jepang Jatuhnya Singapura ke tahngan Jepang membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai darah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau 62



Bunyu, dan Balikpapan.penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatra, yaitu Dumai, Pakan Baru, dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu, dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Akhirnya, pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia. Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsuing sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah yang semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Mereka menggunakan atraksi pawai di jalanan untuk menarik simpati masyarakat Yogyakarta.



63



Benteng Vredeburg di Tahun 1892 (atas) dan Foto Kanal depan benteng vredeburg. Fungsi Kanal ini selain sebagai sarana pengairan, juga sebagai blokade terhadap serangan musuh (bawah). Posisi Benteng yang berhadapan langsung dengan Keraton Ngayogyakarta di seberangnya membuat Belanda leluasa menjalankan perannya dalam memonopoli dan mengawasi gerak-gerik Keraton Ngayogyakarta. Sumber : taoefiq27.wordpress.com



Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang berlakukan UU Nomor 1 Tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui, tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempetei, yaitu tentara yang terkenal keras dan kejam. Di samping itu Benteng Vredeburg juga dikenal sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo-Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Benteng.



64



Guna mencukupi kebutuhan senajta, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dulu disimpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan, bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah di saat terjadi perang secara mendadak. Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika Proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunanbangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang, tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan. Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) bangunan Bneteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempetei, gudang mesiu, dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo-Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.



Benteng Vredeburg pada masa kemerdekaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah Jl.Malioboro Yogyakarta). Kepala kantor berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan, kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah, dan Umar Sanusi. Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 yang diterima oleh Kantor Berita Domei cabang Yogyakarta menimbulkan berbagai aksi, diantaranya: pengibaran bendera merah putih,



65



perampasan bangunan dan pelucutan senjata tentara Jepang. Setelah benteng Vredeburg dikuasai oleh pihak RI, selanjutnya diserahkan kepada instansi militer dan dipergunakan sebagai asrama serta markas pasukan dengan kode staf ‘Q’, dibawah komando Letnan Muda I Radio. Tugas pasukan ini mengurusi perbekalan militer. Pada masa Agresi Militer II, 19 Desember 1948, benteng Vredeburg menjadi sasaran bom Belanda sehingga kantor TKR yang ada didalamnya hancur. Tentara Belanda dibawah komando Kolonel Van Langen berhasil menguasai Yogyakarta termasuk benteng Vredeburg, yang selanjutnya benteng digunakan sebagai markas IVG (Informatie Voor Geheimen atau Dinas Rahasia Belanda). Disamping itu benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit dan tempat penyimpanan senjata barat (tank, panser dan kendaraan militer lainnya). Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan di saat perbedaan persepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi. Meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg. Pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) Benteng Vredeburg yang waktu itu dijadikan markas militer RI menjadi sasaran pengeboman pesawat-pesawat Belanda. Kantor Tentara Keamanan Rakyat yang berada di dalamnya hancur. Setelah menguasai lapangan terbang Maguwo, tentara Belanda yang tergabung dalam Brigade T pimpinan Kolonel Van Langen berhasil menguasai kota Yogyakarta, termasuk Benteng Vredeburg. Selanjutnya Benteng Vredeburg dipergunakan sebagai markas tentara Belanda yang tergabung dalam IVG (Informatie voor Geheimen), yaitu dinas rahasia tentara Belanda. Di samping itu Benteng Vredeburg juga difungsikan sebagai asrama prajurit Belanda dan



66



juga dipakai untuk menyimpan senjata berat seperti tank, panser dan kendaraan militer lainnya. Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai usaha untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa RI bersama dengan TNI masih ada, Benteng Vredeburg menjadi salah satu sasaran di antara bangunan-bangunan lain yang dikuasai Belanda seperti kantor pos, stasiun kereta api, Hotel Toegoe, Gedung Agung, dan tangsi Kotabaru. Kurang lebih 6 jam kota Yogyakarta dapat dikuasai oleh TNI beserta rakyat pejuang. Baru setelah bala bantuan tentara Belanda yang didatangkan dari Magelang tiba ke Yogyakarta, TNI dan rakyat mundur ke luar kota dan melakukan perjuangan gerilya. Setelah Belanda meninggalkan kota Yogyakarta, Benteng Vredeburg dikuasai oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Kemudian pengelolaan benteng diserahkan kepada Akademi Militer Yogyakarta. Pada waktu itu, pernah diusulkan agar Benteng Vredeburg dimanfaatkan sebagai ajang kebudayaan. Akan tetapi gagasan itu terhenti karena terjadi peristiwa “Tragedi Nasional” Pemberontakan G 30 S/PKI pada tahun 1965. Waktu itu untuk sementara Benteng Vredeburg digunakan sebagai tempat tahanan politik terkait dengan peristiwa G 30 S/PKI yang langsung berada di bawah pengawasan Tentara dan Kopkamtib, terutama karena Yogyakarta kala itu menjadi salah satu dari basis PKI selain di Jakarta. Tahun 1976 diadakan studi kelayakan bangunan benteng, selanjutnya proses ke arah pelestarian bangunan benteng terus dijalankan. Tanggal 9 Agustus 1980 dilakukan penandatanganan perjanjian antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku pihak I dan Dr. Daud Jusuf (Mendikbud saat itu) sebagai pihak II tentang ‘Pemanfaatan bangunan bekas benteng Vredeburg sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya nusantara’. Tahun 1981 bangunan bekas benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0224/U/1981, tanggal 15



67



Juli 1981. Tanggal 5 November 1984, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (Mendikbud pada saat itu) mengatakan bahwa bangunan bekas benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai Museum Perjuangan Nasional. Dalam perjanjian serta surat Sri Sultan HB IX No. 359/HB/85, tanggal 16 April 1985, disebutkan bahwa perubahan-perubahan tata ruang gedung-gedung dalam kompleks benteng diijinkan sesuai dengan kebutuhan. Untuk selanjutnya dilakukan pemugaran bangunan untuk ditingkatkan fungsinya sebagai Museum. Tahun 1987 Museum dibuka dan dapat dikunjungi umum. 23 November 1992 bangunan bekas benteng Vredeburg resmi menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional berdasarkan SK Mendikbud RI (saat itu dijabat oleh Prof. Dr. Fuad Hasan) No. 0475/O/1992, dengan nama ‘Museum Benteng Yogyakarta’. Untuk meningkatkan fungsionalisasi museum ini maka mulai tanggal 5 September 1997



mendapat



limpahan



untuk



mengelola



Museum



Perjuangan



Yogyakarta



di



Brontokusuman Yogyakarta, dari Museum Negeri Propinsi DIY Sonobudoyo. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala.



Selanjutnya Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : KM 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003 Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mempunyai Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi yaitu sebagai museum khusus merupakan Unit Pelaksana Teknis yang berkedudukan di lingkungan Kementerian dan Kebudayaan Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala yang bertugas melaksanakan pengumpulan, perawatan, pengawetan, penelitian, penyajian, penerbitan hasil penelitian dan memberikan bimbingan edukatif kultural mengenai benda dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di wilayah Yogyakarta. 68



Kondisi Sekarang Benteng Vredeburg ini sejak semula memang masih terawat dan menjadi saksi sejarah pertempuran-pertempuran kemerdekaan Indonesia. Sekarang benteng juga telah diperbaharui terutama semenjak pemerintah menjadikan benteng ini museum. Dengan Rp. 2000 rupiah saja, pengunjung dapat masuk ke benteng yang sekarang sudah menjadi museum. Seperti bentuk-bentuk bangunan eropa, benteng ini mempunyai banyak gedung didalamnya dengan bentuk simetris kiri dan kanan. Terdapat empat ruangan diorama yang dapat dikunjungi dengan dilengkapi pendingin udara yang membuat pengunjung lebih betah. Kebersihan dan keasrian bagian dalam benteng sangat terjaga tanpa mengurangi keaslian dari bentuk pada saat pertama kali dibuat. Diorama dalam benteng ini dibagi menjadi empat ruangan, seperti yang disebutkan diatas. Diorama di dalam tiap ruangan menggambarkan era-era perjuangan kemerdekaan Indonesia mulai dari saat dibangunnya benteng ini hingga pasca kemerdekaan.



69



Benteng Vredeburg yang kini sudah berubah menjadi museum benteng vredeburg atau museum benteng Yogyakarta. Gerbang depan yang sudah dipugar dan dicat sehingga tampak baru dan kokoh (kiri-atas), Patung Pahlawan dan Meriam ditempatkan di sisi dalam benteng (kanan-atas), Revitalisasi jalan dan taman di dalam dan pembangunan sarana wisata seperti tempat duduk wisatawan di area museum (kiri-kanan bawah). Sumber : anekainfounik.wordpress



Salah satu diorama yang terdapat dalam museum Benteng Vredeburg yang menggambarkan suasana di depan Stasiun Besar Yogyakarta pada mas Perang Kemerdekaan Sumber : afastar.wordpress



70



9 BENTENG WILLEM II UNGARAN, JAWA TENGAH



“ Benteng persinggahan Diponegoro sebelum diasingkan ke luar Jawa”



71



Sejarah Benteng Willem II ( Benteng Oengaran) adalah sebuah benteng peninggalan Belanda yang berada di Ungaran. Benteng Willem II Ungaran yang di buat oleh Belanda serta didirikan pada tahun 1786. Nama Benteng ini mengambil nama Benteng Willem II juga menjadi salah satu ikon Kota Ungaran Kabupaten Semarang. Benteng Willem II Ungaran. terletak di Tengah Kota Ungaran (terkenal dengan nama Benteng Ungaran/ Diponegoro) tepat pinggir jalan Semarang-Solo, di depan kantor DPRD kota Ungaran. Benteng ini juga memainkan peran dalam sejarah Indonesia, karena di benteng ini Diponegoro dipenjara sambil menunggu diasingkan ke Makassar Benteng ini didirikan untuk memperingati pertemuan bersejarah antara Pakubuwono II dengan Gubernur Jendral Van Imhoff pada 11 Mei 1746, Ketika penguasa Kraton Mataram Paku Buwono II dipindahkan dari Kartosuro ke Surakarta (Solo). Ketika kraton baru dibangun Benteng "The Generosity " didirikan di depannya. Pada 11 Mei 1746 Gubernur Jenderal Baron van Imhoff Gustavus tiba di Ungaran untuk melakukan pertemuan dengan Pakubuwono II. Untuk memperinati peristiwa dibangun benteng di Ungaran bernama "Fort Outmoeting" ("yang berarti Rapat"). Jalan antara Semarang dan Keraton Surakarta itu sangat penting sehingga dilindungi dengan benteng. Pada September 1811 Umum JW Janssens pensiun di benteng ini Ketika Dia harus melarikan diri untuk tentara Inggris yang menaklukkan Jawa di bawah komando Mayor Jenderal Auchmuty. Tempat itu disebut Oengaran pada masa itu. Beberapa hari kemudian, Jenderal Janssens menyerah di Tuntang dekat Salatiga. Jalan antara Semarang dan Jawa Tengah selalu penting, karena memberikan akses Mataram menuju laut melalui pelabuhan penting dari Semarang. Jalan itu digunakan oleh Rijklof Juga dari Goens Ketika Dia



72



Benteng Willem II di Ungaran,Jawa Tengah dalam bentuk aslinya sebelum dipugar (atas) dan setelah dipugar dan direvitalisasi (bawah). Pemugaran yang terlalu frontal pada benteng ini terkesan menghilangkan nilai historis Benteng Willem II, terutama pada bangunan panggungnya. Sumber ; wikipedia



Bepergian sebagai utusan dari Hindia Belanda (VOC) ke Mataram untuk memberikan penghormatan kepada penguasa Amangkurat 1 pada khususnya. Pada tahun 1849, tanpa perlawanan berarti benteng itu diserahkan ke Inggris karena Jawa waktu itu dikuasai Inggris. Sejak itulah bangunan itu dijadikan rumah istirahat untuk proses penyembuhan pasien. Maka saat itu diangkatlah seorang perwira kesehatan untuk memimpin misi kemanusiaan itu. Karena memang bukan rumah sakit, sehingga bentuk dan struktur bangunan tidak seperti umumnya Rumah sakit.



73



Perang Diponegoro Sejumlah tokoh menyebutkan nama benteng pada awalnya adalah Benteng Oengaran dan bukan Benteng Willem II. Karena itu, banyak tokoh sejarah di Semarang menginginkan nama benteng dikembalikan ke nama awal. Nama Willem II mengesankan benteng ini lebih muda dibandingkan Benteng Willem I di Ambarawa, sementara berdasarkan sejumlah petunjuk,



Willem



II



justru



lebih



dulu



dibangun



dibandingkan



Willem



I.



Sumber lain menyebutkan bahwa Benteng Willem II atau Benteng Oengaran ini dibangun pada 1712 (bukan 1786), sedangkan Benteng Willem I diperkirakan dibangun pada tahun 1800-an. Sumber lain menyebutkan, Benteng Willem II dibangun pada 1740-1742 saat terjadi Perang Cina. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pernah dirawat di benteng ini karena



serangan



pasukan



Surakarta



pada



1742.



Pada 1826 benteng ini diserang pasukan Diponegoro dari arah Rembang dan hampir jatuh ke tangan pasukan Kiyai Mojo setelah dikepung selama dua pekan. Pada Agustus 1830 benteng digunakan sebagai tempat menahan Pangeran Diponegoro selama tiga hari setelah ditangkap di Magelang sebelum dibawa menumpang kapal Pollux di Semarang untuk diadili ke Batavia (Jakarta). Karena histrorinya pernah menjadi tempat tinggal P. Diponegoro, maka tak heran jika dikemudian hari benteng ini sering disebut sebagai Benteng Diponegoro. Ruang sholat yang sampai kini masih asli dan belum pernah dipugar itu, menjadi bukti kebesaran Benteng Willem. Dalam perjalanannya setelah masa kemerdekaan Indonesia, Benteng ini dimanfaatkan sebagai asrama polisi. Pada saat ini benteng digunakan sebagai perumahan bagi 16 keluarga. Kabupaten Semarang telah memutuskan bahwa bangunan akan dikembalikan pada tahun 2007 untuk menjadi sebuah museum lokal. Keluarga akan dibeli dengan kompensasi 20 juta



74



rupiah . Mereka berharap keluarga akan meninggalkan benteng pada bulan Juni 2007. Sebuah studi kelayakan akan dilakukan untuk pemulihan dan konversi benteng ke museum Nama "William II" telah Mengingat ke benteng pada abad ke-19. Mungkin konsisten pembentukan garis pertahanan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Sejarah Benteng Willem II perlu diluruskan Hasil penggalian sejarah dari perpustakaan di Leiden Belanda diketahui pembangunan benteng yang berada di depan kantor Bupati Semarang itu lebih dulu dibanding Benteng Willem I Ambarawa. Data dari perpustakaan di Leiden Belanda, tahun 1712 dibuat sketsa pembangunan



Benteng Willem II Ungaran sementara Benteng Willem I Ambarawa



dibangun 1825. Kenapa



di Ungaran yang dibangun lebih dulu dinamakan Willem II,



sedangkan di Ambarawa Willem I ? mungkin karena kesimpangsiuran informasi dan kurang memadainya sarana komunikasi yang menyebabkan penamaan ini menjadi salah. Kondisi Sekarang Benteng memang direnovasi pada bulan Juni 2007, tetapi tidak ada perabot museum, karena ada konflik tentang hak milik. Polisi telah menggunakan benteng selama bertahuntahun untuk rumah stafnya mengklaim bahwa mereka adalah pemilik bangunan. Pada tahun 2008, pemerintah kabupaten Semarang mengalokasikan Rp 1,53 miliar untuk renovasi benteng , ketika konflik kepemilikan bangunan pecah . Sejak April 2011 benteng ini mulai direnovasi untuk dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat. Pemugaran benteng ini dilakukan oleh pihak Polri selaku pemilik sah benteng, namun dalam Renovasi tersebut, Polri tidak melibatkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), sehingga banyak pemugaran yang dilakukan terhadap bagian-bagan benteng yang tak sesuai kaidah pemugaran suatu cagar budaya.



75



Pemugaran Benteng Willem II yang meskipun tidak mengubah bentuk benteng, namun tetap mengurangi nilai historisnya. Tampak dinding benteng yang diplester dengan semen (kiri atas), rumah panggung yang diganti dan dihias dengan joglo dan ukiran-ukiran modern (kanan atas). Sumber : Ruangkiri.blogspot



Kondisi bagian dalam benteng setelah direnovasi (kiri) dan Bastion timur laut benteng yang sudah dipoles dengan railing dan paving block (kanan). Sumber : Ruangkiri.blogspot



76



10 BENTENG BELGICA PULAU NEIRA, MALUKU



“ Benteng situs warisan dunia dari Banda Neira, Maluku”



77



Sejarah Kehadiran bangsa Belanda di gugus Kepulauan Banda terbukti dengan adanya Fort Belgica. Fungsinya untuk menjaga dan mempertahan kan Fort Nassau yang dibangun Portugis dari serangan pribumi Banda. Benteng ini terletak di Pulau Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.



Kesamaran Dunia Timur di masa lalu telah menggerakkan imajinasi para pelaut Portugis untuk merin tis sebuah perjalanan panjang tak berpeta. Dari dongeng dan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang mereka, para pelaut itu mencoba mencari tanah idaman baru untuk memetik "buah emas" yang masih terpendam di kawasan Dunia Timur Raya. Mungkin darah suku Moor yang mengalir dalam tubuh mereka mewarisi keengganan untuk tinggal dan bermukim di daerah dingin.



Bangsa yang suka berdagang itu segera beranjak mencari daerah-daerah baru, yang hawanya panas di ujung seberang lautan lepas. Setelah melewati Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), rombongan singgah dan terbagi di Calicut, India, sebelum berlabuh dan menetap di tanah idaman Bandar Malaka. Di sinilah para pelaut Portugis mencium wangi rempah-rempah Maluku dari para pedagang Jawa, Cina dan Arab. Wangi dan aromatik yang sama pemah dicium para pelaut Portugis di arena pasar Persia, Konstantinopel dan Venesia, yang juga merupakan bandar-bandar niaga masyhur di dunia. Dongeng tentang harumnya rempah-rempah di Kepulauan Maluku membuat Alfonso de Albuquerque segera menyiapkan armada dan balatentaranya. Ekspedisi dimulai dengan mengArui Laut Jawa, melalui Kepulauan Sunda Kecil, Ambon dan akhirnya berhenti di Ternate, tempat yang diyakini sebagai penghasil pala dan fuli (bunga pala). Dan ketika mendengar bahwa Banda adalah pusat



"tambang



emas"



itu,



ia



mengutus



rombongan untuk mengadakan peninjauan ke sana. 78



Antonio



de



Abreau



beserta



Kedua utusan ini ternyata begitu mudah diterima masyarakat setempat, terutama para pedagang dan Tua-tua Adat yang disegani. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh Pala dan Fuli yang diharapkan. Apalagi harga rempah-rempah di Kepulauan Banda ketika itu sangat murah, sehingga para pedagang Portugis memperkirakan akan memperoleh keuntimgan mendekati 1000 persen di pasaran Lisabon.



Sebagai kebiasaan khas bangsa Portugis untuk meninggalkan kenangan di sebuah tempat persinggahan, mereka selalu mendirikan sebuah benteng yang tidak saja dipakai sebagai pos tetapi juga gudang penyimpanan berbagai kebutuhan dan peralatan. Di Neira (Banda Neira) mereka tak ketinggalan mendirikan sebuah benteng pada 1527 yang disebut Fort Nassau. Benteng ini oleh pendirinya Kapitan Garcia tidak saja dipakai sebagai latar depan gugus kekuatan sesuai dengan letaknya yang strategis di pinggir pantai tetapi sekaligus sebagai gudang penimbunan hasil bumi yang mereka peroleh dari Kepulauan Banda.



Wangi rempah-rempah di Kepulauan Banda, tidak hanya menarik minat bangsa Portugis. Pada tahun 1599, bangsa Belanda di bawah pimpinan Laksamana Muda Jacob van Heemskerk, bersama 200 pedagang, balatentara dan anak buah kapal NederlanddanZeeland, singgah di perairan Orantata, Pulau Lonthor (Banda Besar). Dengan demikian, Kepulauan Banda pada abad ke-16 telah menjadi arena pertemuan bangsa Barat, yang juga merupakan awal proses harmoni Timur-Barat.



Kehadiran Van Heemskerk tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Meskipun secara pribadi ia tak menyukai budaya pribumi yang jarang mandi dan hampir tidak memakai baju, namun dia dan anak buahnya sangat mudah diterima oleh masyarakat pribumi Banda. Simpati itu terwujud dengan pemberian hadiah-hadiah kepada kepala-kepala kampung dan Tetua Adat berupa: cermin, pisau, gelas kristal, mesiu dan sejumlah beludru merah. Daya pikat demikian membuat penduduk pribumi Banda mudah me nyerahkan hasil-hasil bumi yang ada. Bahkan 79



penduduk Banda bersedia memenuhi permintaan pala dan fuli dalam jumlah besar. Bangsa Belanda tampaknya lebih bebas memperoleh pala dan fuli dalam jumlah besar, apalagi harganya yang relatif murah. Belanda membeli pala dengan harga 6,45 real (ringgit perak Belanda) per bahar (522 pon Belanda) dan fuli seharga 60 real per bahar. Meski saat itu terjadi inflasi harga, namun bangsa Belanda agak terhibur dengan keuntungan yang akan diraih (kurang lebih 500 persen) di pasaran Amsterdam.



Kepulauan Banda kemudian menjadi arena niaga yang ramai dengan hadirnya para pedagang Portu gis, Cina, Belanda, Inggris (di bawah pimpinan James Lancaster 1601) dan Melayu. Umumnya para pedagang membawa berbagai barang keperluan penduduk yang cocok dengan keinginan dan iklim Kepulauan Banda. Pedagang Jawa membawa kain batik, India membawa kain belacu, Cina membawa porselin dan berbagai ramuan obat-obatan, Belanda membawa wol dan beludru.



Sebaliknya, kehadiran bangsa Belanda yang cepat akrab dengan penduduk pribumi, membuat rasa iri para pedagang lainnya. Ketika Fort Nassau jatuh ke tangan Belanda dan kemudian disewakan pada seorang pribumi sebagai gudang penyimpan pala dan fuli, kondisi ini menimbulkan perpecahan antara Belanda dan penduduk pribumi Banda. Mengatasi keadaan ini, Belanda lalu mendirikan sebuah benteng di belakang Fort Nassau, sebagai pelindung Fort Nassau apabila ada penyerangan dari penduduk pribumi.



80



Menanggapi itu, di lokasi benteng Portugis tersebut kemudian dibangun kembali sebuah benteng oleh VOC atas perintah Gubernur Jendral Pieter Both pada tanggal 4 September 1611. Benteng tersebut kemudian diberi nama Fort Belgica, sehingga pada saat itu, terdapat dua buah benteng di Pulau Neira yaitu; Benteng Belgica dan Benteng Nassau. Nama Belgica sendiri adalah untuk menghormati tempat asal Pieter Both, yaitu Belgia.



Lukisan benteng belgica di Banda Neira dari abad pertengahan. Tampak letak benteng yang berada diatas bukit sehingga bisa memantau seluruh kegiatan disekitar perairan Banda Neira yang memang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terutama pala. Sumber : flickr.com



Pada tanggal 9 Agustus 1662, benteng ini selesai diperbaiki dan diperbesar sehingga mampu menampung 30 – 40 serdadu yang bertugas untuk menjaga benteng tersebut. Kemudian pada tahun 1669, benteng yang telah diperbaiki tersebut dirobohkan, dan sebagian bahan bangunannya digunakan untuk membangun kembali sebuah benteng di lokasi yang sama. Pembangunan kali ini dilaksanakan atas perintah Cornelis Speelman. Seorang insinyur bernamaAdriaan Leeuw ditugaskan untuk merancang dan mengawasi pembangunan



81



benteng yang menelan biaya sangat besar ini. Selain menelan biaya yang sangat besar (309.802,15 Gulden), perbaikan kali ini juga memakan waktu yang lama untuk meratakan bukit guna membuat pondasi benteng yaitu sekitar 19 bulan. Biaya yang besar tersebut juga disebabkan karena banyak yang dikorupsi oleh mereka yang terlibat dalam perbaikan benteng ini. Akhirnya benteng ini selesai pada tahun 1672.



Pintu Masuk Benteng Belgica, dan salah satu menara observasi di sudut benteng (kiri) Potret Benteng belgica dari ketinggian, berbentuk segilima (pentagon) dengan 5 pos observasi di tiap sudut (kanan). Sumber : banda-naira.cf



Sepuluh tahun kemudian komisaris Robertus Padbrugge ditugaskan untuk memeriksa pembukuan pekerjaan tersebut, tetapi ia tidak berhasil dalam tugasnya tersebut. Hal ini dikarenakan banyak tuan tanah yang beranggapan bahwa biaya tersebut tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan hasilnya, sebuah benteng yang hebat dan mengagumkan. Karena hal tersebut, Padbrugge menghentikan penyelidikannya. Walaupun benteng tersebut dikatakan sangat hebat dan mengagumkan, tetapi masalah bagaimana untuk mencukupi kebutuhan air dalam benteng masih juga belum terpecahkan. Setelah menimbang-nimbang apakah akan menggali sebuah sumur atau membuat sebuah bak penampungan air yang besar 82



atau membuat empat buah bak penampungan air yang lebih kecil, akhirnya diputuskan untuk menggali sebuah sumur di dekat benteng dan menghubungkannya dengan sebuah bak penampung air berbentuk oval yang dibuat ditengah halaman dalam benteng.



Potret benteng Belgica dari bag dalam (atas ki-ka) dan potret landscape Benteng dari kejauhan. Sekilas tampak seperti bangunan kastil di eropa pada abad pertengahan dan tak ada satupun benteng di Indonesia yang memiliki desain serupa dengan Benteng ini.. Sumber : wikipedia



Pada tahun 1795, benteng ini dipugar oleh Francois van Boeckholtz—Gubernur Banda yang terakhir. Pemugaran ini dilaksanakan juga di beberapa benteng-benteng lain sebagai persiapan untuk menghadapi serangan Inggris. Satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Maret 1796, benteng Belgica diserang dan berhasil direbut oleh pasukan Inggris. Dengan jatuhnya benteng ini, Inggris dengan mudah dapat menguasai Banda.



83



Bentuk Benteng Belgica dari ketinggian yang berbentuk Segilima (Pentagon). Fort Belgica sendiri merupakan salah satu bangunan terindah dari abad-17 dengan julukan ‘Mahkota Berpucuk Lima’. Sumber : malukueyes.com



Pada tahun 1803 dilaporkan, setiap kali ada satu kapal yang berlabuh, diadakan upacara band militer setiap jam 5 pagi dan jam 8 malam di benteng Belgica dan Nassau. Setiap hari Kamis dan Senin dilakukan pawai militer pada jam 6.30 pagi. Pergantian jaga dilakukan setiap pagi, siang dan malam pada kedua benteng tersebut, sehingga hampir setiap jam masyarakat yang tinggal dekat kedua benteng tersebut dapat melihat parade militer dan mendengarkan musik dari band militer. Benteng Belgica telah dicalonkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.



Kondisi Sekarang



84



Meskipun berdiri hampir sekitar 400 tahunan, benteng ini masih terawat dengan baik. Tidak tampak adanya grafiti-grafiti di dinding-dinding benteng yang tebalnya mencapai puluhan cm itu, seperti yang sering terjadi pada beberapa bangunan bersejarah di banyak tempat di Indonesia. Selain bangunan yang masih terawat dengan baik, penampilan benteng ini masih terlihat kokoh dan tangguh. Dari luar bangunan, banyak yang mengatakan bahwa Benteng Belgica yang dibangun pada tahun 1611 secara fisik menyerupai bangunan Pentagon di Washington DC, Amerika Serikat. Bahkan, benteng ini mendapat julukan sebagai The Pentagon Indonesia. Karena Benteng Belgica adalah bekas markas alun-alun VOC, mmaka desain arsitektur bangunan berbentuk pentagonal. Menariknya, ketika benteng itu terlihat dari salah satu sudut akan terlihat hanya empat sisi, meskipun sebenarnya memiliki lima sisi seperti bintang persegi. Ciri khas lain dari Benteng Belgica adalah adanya benteng-benteng yang terdapat di dalam gedung diantaranya adalah Benteng Bastion yang celah di dinding benteng difungsikan sebagai tempat untuk meletakkan kanon atau mulut meriam. Sebagian besar, benteng benteng ini menghadap ke laut atau sehadap dengan muka benteng. Disini, para wisatawan yang mengunjungi benteng tidak hanya dapat melihat banyak dinding-dinding raksasa, tetapi juga dapat melihat meriam VOC yang digunakan untuk menghilangkan ‘pemberontak’ oleh penduduk lokal dan beberapa kesultanan Maluku Utara, Sulawesi dan pada saat itu (antara akhir abad 16 ke awal abad 19). Konstruksi benteng terdiri dari dua lapis bangunan (dua lantai). Untuk masuk, pengunjung harus menggunakan tangga hidrolik. Kemudian, di tengah benteng terdapat sebuah ruang terbuka yang sangat luas untuk para tahanan. Di ruang terbuka bagian tengah terdapat dua sumur rahasia dengan bentuk persegi, yang konon menghubungkan benteng dengan pelabuhan dan Benteng Nassau terletak di tepi pantai.



85



Pemandangan Pantai Teluk Banda dari salah satu menara terluar Benteng Belgica Sumber : go-moluccas.blogspot.com



Di setiap sisi kastil terdapat sebuah menara. Dari atas menara pengunjung dapat menikmati panorama dari beberapa daerah di Kepulauan Niera, mulai dari perairan biru Teluk Banda, matahari terbenam (sunset), puncak Gunung Api-sebuah gunung vulkanis di Bandaneira yang mencapai ketinggian hingga 667 meter di atas permukaan laut, sampai ratusan pohon pala yang terdapat di Pulau Banda Besar.



Akses ke benteng Belgica Untuk sampai ke Kepulauan Bandaneira dari Kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku, Anda dapat menggunakan KM Ciremai Kapal Pelni dari Pelabuhan Yos Sudarso. Waktu



86



tempuh yang diperlukan kapal ini adalah 7 jam perjalanan ke arah tenggara dari Ambon. Meskipun terlihat lama, namun dalam perjalanan selama 7 jam anda akan menyaksikan keindahan panorama laut Banda. Sesampainya di Pelabuhan Yos Sudarso, anda dapat mencari angkutan umum menuju ke Benteng Belgica. Salah satu transportasi umum yang dapat membawa Anda ke Benteng Belgica adalah becak, ojek, angkutan umum, atau taksi. Para Wisatawan akan menemukan banyak penginapan dalam berbagai kelas di Kota Bandaneira, Maluku Tengah, Provinsi Maluku, salah satunya terletak di Queen Street Liliselo.



87



11 BENTENG SOMBAOPU GOWA, SULAWESI SELATAN



“ Puing-puing kejayaan dan kepahlawanan Rakyat Sulawesi Selatan melawan kolonialisme”



88



Benteng Somba Opu adalah benteng peninggalan Kesultanan Gowa yang dibangun oleh Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna pada tahun 1525. Benteng ini terletak di Jalan Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang Indonesia (catatan ; sebagian besar benteng yang masih ditemui sekarang adalah sisa peninggalan kolonial, jarang sekali yang dibangun oleh orang Indonesia sendiri.). Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya. Pada pertengahan abad ke-16, benteng ini menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan rempah-rempah yang ramai dikunjungi pedagang asing dari Asia dan Eropa.



Pintu masuk situs Benteng Somba Opu setelah direvitalisasi, dan masuk dalam kompleks miniatur budaya Sulawesi Selatan. Bangunan asli telah dihancurkan oleh Belanda dan karena faktor alam. Sumber : southcelebes.wordpress.com



89



Sejarah



Pada masa pemerintahan Raja Gowa IX banyak terjadi perang dalam usaha memperluas daerah kekuasaan kerajaan, dalam situasi demikianlah kerajaan Gowa mulai mengenal Benteng pertahanan. Perkembangan Makassar sebagai bandar niaga dan pangkalan pertahanan diawali ketika raja Gowa IX Daeng Matunru Karaeng Tumapakrisik Kallonna (1510-1546) memerintahkan pemindahan ibukota kerajaan dari daerah Tamalate ke daerah Somba Opu dan menetapkan Somba Opu sebagai ibukota dan pusat kegiatan administrasi pemerintahan dan perekonomian kerajaan Gowa. Sejalan dengan berkembangnya pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara akhirnya muncullah kekuatan baru di Asia Tenggara yaitu kerajaa Gowa dengan ibukotanya Somba Opu yang berkembang menjadi kota bandar yang besar. Hal ini didukung dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 dan kemunduran bandar-bandar niaga di daerah Jawa sehingga para pedagang mengalihkan jalur mereka ke Somba Opu. Usaha untuk menjamin keamanan kerajaan dibangunlah benteng-benteng pertahanan. Dalam beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa raja Gowa IX Karaeng Tumaparisik Kallonna yang mengawali pembangunan Benteng Kale Gowa dan Benteng Somba Opu dari gundukan tanah liat. Hal inilah yang mendukung mengapa kerajaan Gowa memiliki benteng pertahanan yang cukup banyak. Sebagai pusat aktivitas kerajaan Gowa pada masa lampau benteng Somba Opu berfungsi sebagai Istana Raja dan Pembesar lainnya. Rumah panggung berarsitektur Makassar dengan menggunakan tiang dan dilindungi dinding serta bastion, arsitektur rumah panggung pada masa lalu terdiri atas tiga tingkatan yaitu pertama atap, kedua badan rumah, ketiga bawah atau kaki bangunan yang disertai umpak, biasanya istananya sangat indah dan megah. Sumber sejarah lokal tidak menunjukkan dengan tepat dimana benteng tersebut



90



Sisa-sisa reruntuhan Benteng Somba Opu. Tampak tembok benteng berbahan batu bata yang sangat tebal. Konon, dulunya tinggi benteng mencapai 7-8 meter. Sumber : southcelebes.wordpress.com



91



berada, kebanyakan sumber sejarah hanya menggambarkan benteng tersebut secara fisik dengan pengagungan dan kebanggaan yang hanya bercerita tentang pertempuran yang dilakukan di sana, bukan deskripsi tentang benteng. Sumber sejarah yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan benteng ini secara objektif hanyalah peta yang dibuat oleh Valentjin dan Schultzen pada tahun 1638. Pada tanggal 24 Juni 1669 benteng pertahanan kebanggaan Makassar ini jatuh ke tangan Belanda dan sekutunya kerajaan Bone dan dibumiratakan dengan tanah. Oleh karena kekurangan tentara di pihak Belanda untuk mendudukinya maka oleh Speelman benteng ini dibumiratakan dengan tanah dengan menggunakan ribuan pon alat peledak. Benteng Somba Opu berdenah segi empat panjang dengan luas 363,00 m2, tinggi dindingnya 7 meter, tebal dinding benteng bervariasi antara 3,66 m - 4,10 m dan 10,3 m – 10,5 m. Pintu benteng terdiri atas dua yaitu terletak di sisi Utara bagian Barat dan pintu lainnya terletak di bagian Selatan (Deskripsi peta VOC 1638 dalam Sonda 1999: 45). Indikasi peletakan pintu berukuran 4,5 meter dengan tinggi 4 meter. Bahan baku kontruksi Benteng Somba Opu terdiri atas tanah liat dibangun pada tahun 1510 oleh raja Gowa IX Karaeng Tumappakrisik Kallonna dan disempurnakan pada masa pemerintahan raja Gowa X Manrigau Daeng Bonto Lakiung (1546-1565). Kontruksi dinding benteng ditingkatkan dengan menggunakan batu-bata, batu padas pada kaki benteng dan bastion dan tanah isian di tengahnya. Ukuran batu padas bervariasi antara lain: ukuran batu padas terbesar yaitu; Panjang 56 cm, lebar 29 cm, tebal 18 cm, dan ukuran batu padasterkecil: Panjang 22 cm, lebar 12 cm, tebal 3 cm, ukuran bata terbesar yaitu panjang 33 cm, lebar 22 cm, tebal 4 cm. Bentuk dan ukuran celah yang ada pada kaki benteng bagian atas berukuran 2,65 cm, tinggi 46 cm, lebar kaki celah 42 cm, dengan kedalaman 56 cm. Tinggi tembok bastion ± 7-8 meter, ketebalan dinding berukuran 3,60 cm. Pada dinding bagian barat terdapat celah yang menyerupai pintu dengan ukuran lebar 3.60 cm bagian dalam, dan 4,80 cm bagian luar, serta



92



tinggi 2,84 cm. Pada bagian luar tedapat lengkungan setengah lingkaran berukuran garis tengah 11,30 m, tebal 3,12 m dengan diameter lengkungan 11,40 m, panjang lengkungan bagian luar 27,50 m dengan tinggi 12,27 m. Keseluruhan barang yang digunakan adalah bata pada bagian atas berukuran panjang 33 cm, lebar 20 cm, tebal 5 cm, dan panjang 20 cm, lebar 15 cm, tebal 2,4 cm. Jenis batu padas yang merupakan dasar bangunan lengkungan berukuran panjang 82 cm, lebar 41 cm, tebal 22 cm, dan panjang 91 cm, lebar 41 cm, tebal 23 ccm, serta panjang 56 cm, lebar 31 cm, tebal 19 cm, jarak celah dari bastion bagian barat adalah 62,65 m. Atau dapat dikatakan bahwa tiap sisi dari Benteng Somba Opu berukuran kurang lebih 2 kilometer dengan tinggi 78 meter, tebalnya rata-rata 12 kaki. Terdapat 4 buah selokoh berbentuk setengah lingkaran untuk menempatkan senjata-senjata berat, seperti meriam. Sebuah selokoh paling besar terdapat pada sudut Barat Laut yang diberi nama Baluwara Agung. Di Baluwara Agung inilah di tempatkan meriam besar dan dianggap sakti yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa yang dikenal dengan nama Meriam Ana’ Mangkasara’ (Anak Makassar). Benteng Somba Opu pada zaman kerajaan silam sangat besar pengaruhnya dalam menjadikan Gowa sebagai kerajaan Maritim terbesar di kawasan timur Indonesia. Benteng tersebut tinggal puing-puing dan menjadi saksi keperkasaan dan kebesaran Gowa dimasa silam, setelah dihancurkan dengan ribuan pon bahan peledak pada serangan Belanda di bawah pimpinan C.J. Speelman. Pada tahun 1980-an, benteng ini ditemukan kembali oleh sejumlah ilmuan, kemudian baru pada tahun 1990, bangunan benteng yang sudah rusak direkonstruksi sehingga



tampak lebih indah.



Ilmuwan



Inggris, William Wallace,



menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara. Benteng ini adalah saksi sejarah kegigihan Sultan Hasanuddin serta rakyatnya mempertahankan kedaulatan negerinya. Pernyataan Wallace bisa jadi benar. Begitu memasuki kawasan Benteng Somba Opu, akan segera terlihat tembok benteng yang kokoh.



93



Menggambarkan sistem pertahanan yang sempurna pada zamannya. Meski terbuat dari batu bata merah, dilihat dari ketebalan dinding, dapatlah terbayangkan betapa benteng ini amat sulit ditembus dan diruntuhkan. Ada tiga bastion yang masih terlihat sisa-sisanya, yaitu bastion di sebelah barat daya, bastion tengah, dan bastion barat laut. Yang terakhir ini disebut Buluwara Agung. Di bastion inilah pernah ditempatkan sebuah meriam paling dahsyat yang dimiliki orang Indonesia. Namanya Meriam Anak Makassar. Bobotnya mencapai 9.500 kg, dengan panjang 6 meter, dan diameter 4,14 cm. Sebenarnya, Benteng Somba Opu sekarang ini lebih tepat dikatakan sebagai reruntuhan dengan sisa-sisa beberapa dinding yang masih tegak berdiri. Bentuk benteng ini pun belum diketahui secara persis meski upaya ekskavasi terus dilakukan. Tetapi menurut peta yang tersimpan di Museum Makassar, bentuk benteng ini adalah segi empat. Di beberapa bagian terdapat patok-patok beton yang memberi tanda bahwa di bawahnya terdapat dinding yang belum tergali. Memang, setelah berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda menghancurkan benteng ini. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut. Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang 2 kilometer dari barat ke timur. Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Benteng Somba Opu selanjutnya direnovasi oleh raja-raja Gowa berikutnya, hingga bentuknya sempurna yang terbuat dari susunan batu merah. Benteng Somba Opu merupakan benteng induk dalam wilayah kerajaan Gowa. Di sepanjang pesisir pantai dibangun anak benteng untuk memperkuat benteng induk. Benteng Somba Opu sebagai ibu kota kerajaan, di 94



situ juga dibangun istana yang dilindungi benteng besar di sebelah timurnya dengan Benteng Anak Gowa. Sedang di sebelah timurnya terdapat Benteng Tamalate. Di depan benteng Somba Opu juga telah dibangun sebuah bandar niaga yang letaknya sangat strategis, karena sering disinggahi oleh pedagang yang mencari rempah-rempah di wilayah Timur nusantara ini.



Lukisan kuno yang menggambarkan denah Benteng Somba Opu di Masa Lampau. Menurut beberapa arkeolog, bentuk asli benteng Sombaopu memang berbentuk persegi empat. Sumber : southcelebes.wordpress.com



Pada dasarnya pemindahan kerajaan Gowa ke pesisir pantai telah mengubah watak kerajaan Gowa yang Agraris menjadi kerjaan Maritim. Obsesi Karaeng Tumapakrisik Kallonna akhirnya menjadi kenyataan, hubungan dengan dunia luar terbuka lebar. Sejalan dengan berkembangnya pelayaran dan perdagangan di Asia Tenggara akhirnya muncullah kekuatan baru di Asia Tenggara yaitu kerajaa Gowa dengan ibukotanya Somba Opu yang berkembang menjadi kota bandar yang besar. Hal ini didukung dengan jatuhnya Malaka ke 95



tangan Portugis pada tahun 1511 dan kemunduran bandar-bandar niaga di daerah Jawa, maka kapal-kapal



dagang



dari



luarnegeri



mengalihkan



perhatiannya



ke



Somba



Opu.



Berdatanganlah pedagang dari Eropa, di antaranya Belanda, Inggris, dan Portugis serta pedagang dari Negara Asia. Ramainya bandar niaga Somba Opu saat itu, sehingga praktis menjadi Bandar Niaga Internasional.



Benteng Sombaopu dan Kisah Perjuangan Sultan Hasanuddin Kedatangan pedagang dari Eropa terutama dari Belanda ternyata punya maksud lain. Mereka tidak saja melakukan perdagangan rempah-rempah tetapi sekaligus ingin menguasai perdagangan. Pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin, Belanda berupaya menguasai perdagangan. Mereka berupaya membujuk



Sultan agar mau melakukan



kerjasama dengannya dalam bentuk perjanjian dagang. Namun, bujukan itu ditolak oleh Sultan, karena Sultan sudah mengetahui akal licik orang-orang Belanda tersebut. Apalagi beberapa isi perjanjian itu sangat merugikan golongan pribumi. Misalnya, Belanda melarang orang-orang Makassar melakukan perdagangan rempah-rempah di Maluku dan Banda. Usul perjanjian itu ditolak keras oleh Sultan. Bahkan Sultan Alauddin pada masa itu mengeluarkan kata-kata: “Kalau Belanda melakukan larangan perdagangan rempah-rempah, maka berarti itu sama saja Belanda mengambil nasi dari mulut kami”. Pada tahun 1607, Belanda memainkan peranan dengan mengutus Abraham Matyz untuk menghadap Raja Gowa dan membujuk agar Sultan mau bekerjasama yang tidak lain pengakuan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Bujukan tersebut ditolak oleh Sultan. Akibatnya timbul perselisihan antara kedua belah pihak. Tahun 1615 Belanda menutup kantor perwakilan dagangannya di Somba Opu. Pada tanggal 10 Desember 1616, datang kapal Belanda De Eendrach sandar di pelabuhan Benteng Somba Opu, juru mudi bersama 15 orang awaknya turun dari tangga kapal memperlihatkan kecongkakannya seakan-



96



akan tidak menghargai petugas pelabuhan. Atas tindakannya itu Sultan marah, petugas pelabuhan dan prajurit kerajaan Gowa menyerang awak tersebut, akibatnya semua awak kapal terbunuh. Atas tindakan itu, Belanda marah dan ingin melakukan serangan balasan. Tahun1620-1630 pecah perang antara Gowa dengan Belanda di perairan Maluku yang menelan banyak korban.Tahun 1632, Antony Coen dan anggota Raad Van Indie (Dewan Hindia) dari Bataviadatang ke Gowa menghadap Sultan untuk membicarakan perdamaian dengan Gowa, tapi upaya itu menemui kegagalan. Tahun 1634, dengan kekuatan prajurit Kerajaan Gowa, telah berhasil menduduki perairan Sulawesi Utara seperti Gorontalo dan Tomini. Gowa juga mengirimkan armadanya ke Maluku untuk membantu perjuangan rakyat Maluku melawan Belanda. Di Maluku Belanda melakukan perbuatan keji, membunuh rakyat yang tak berdosa dan menghancurkan pohon-pohon cengkeh mereka. Tahun 1635 perang kembali berkobar dan menewaskan Van Liet dan 5 orang rekannya. Setelah Sultan Alauddin turun dari tahta, ia digantikan oleh anaknya Sultan Malikkussaid untuk menjadi raja Gowa ke XV. Pada masa pemerintahan beliau, Gowa mencapai puncak keemasannya. Selain kuat, juga didukung oleh kepiawaian Mangkubuminya I Mangada Cinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang yang menguasai berbagai bahasa asing, di antaranya Belanda, Prancis, Latin, dan Portugis. Pada masa itu, pengaruh kerajaan Gowa mencakup beberapa kawasan timur Nusantara ini. Pada bagian timur sampai di kepulaun Marege (Australia), bagian barat sampai di kerajaan Kutai, di bagian Selatan sampai pulau Lombok, Sumbawa dan Timor dan ke utara sampai di pulau Mangindanao (Mindanao) Filipina Selatan. Karaeng Pattingalloang selain menjabat mangkubumi juga merangkap Karaeng Assulukang (Menteri Luar Negeri). Dengan diplomasi yang hebat, Gowa berhasil menjalin hubungan persahabatan dengan beberapa kerajaan dari luar negeri, di antaranya raja muda



97



Portugis, Gowa (India), Marchante di Mosulipatan (India), Gubernur Spanyol. Raja Inggris, Raja Kastilia di Spanyol,serta Mufti Besar Arabia di Mekkah. Belanda yang berupaya menguasai perdagangan di belahan Timur Nusantara ini, sehingga pada tanggal 25 Agustus 1653 Raja Gowa Sultan Malikkussaid mengisyaratkan pada rakyat yang berada di wilayah kekuasaanya untuk tetap siap siaga melawan Pasukan Belanda. Setelah beberapa bulan lamanya beliau mengeluarka seruan, beliau wafat pada 5 November 1653 dan mendapat gelar Anumerta Tumenanga Ri Papan Batunna. Baginda kemudian digantikan oleh putranya, I Mallombasi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin untuk menjadi Raja Gowa XVI. Raja Gowa Sultan Hasanuddin punya kewajiban untuk melindungi kerajaan sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku, Mandar, Toli-Toli, Manado, Gorontalo, Banggai, Ternate, Ambon, Banda, dan Manggarai. Tahun 1655 terjadi perang di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng Pertahanan Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh. Belanda menyadari, dengan kekuatan armada Hasanuddin yang menelan kerugian besar di pihak Belanda, sehingga ia mengutus Williem Van Der Beek (bekas Gubernur Belanda di Maluku) untuk menawarkan perdamaian dengan Raja Gowa. Namun, karena persyaratan isi perjanjian perdamaian itu sangat merugikan Gowa, sehingga Sultan Hasanuddin menolaknya. Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Williem Basting dengan membawa ultimatum berupa ancaman kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas oleh Sultan Hasanuddin dengan surat yang nadanya keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Atas tindakannya itu, Belanda marah, dan memperkuat armadanya untuk menyerang Gowa. 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih yang dipimpin Johan Van Dam dibantu oleh John Truitman. Penyerangan Belanda itu dipersiapkan selama 2 tahun. Pada awal tahun 1660 berangkatlah armada itu menuju Ambon. Maksudnya memancing Sultan Hasanuddin agar meninggalkan



98



pangkalan di Makassar. Setibanya di perairan Makassar pada 6 Juni 1660 Benteng Panakkukang diserang. Belanda kemudian pura-pura berlayar menuju ke Benteng Somba Opu tempat kedudukan Sultan. Pasukan Gowa sebagian besar meninggalkan Benteng Panakkukang menuju Benteng Somba Opu, karena menyangka pemusatan serangan akan dilakukan di Benteng Somba Opu. Pada saat itulah pasukan Belanda menyerang dan merebut Benteng Panakkukang pada 12 Juni 1660. Dengan semangat Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin memilih mati daripada menyerah. Atas serangan itu lebih dari 200 orang Portugis di Makassar diusir dan armadanya dihancurkan. Untuk memudahkan menundukkan pasukan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda memainkan peran politik Devide et Impera. Belanda mengadu domba antara Sultan Hasanuddin dengan saudaranya Aru Palakka dari Bone. Karena sebelumnya sudah ada benih permusuhan antara Aru Palakka dengan Sultan Hasanuddin, itulah yang ditiupkanoleh Belanda, sehingga misinya berhasil. Aru Palakka kemudian bergabung dengan Belanda. Kesempatan itulah dimanfaatkan oleh Belanda untuk menyerang Gowa. Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke bandar Somba Opu. Pengawal pantai mencegatnya dan terjadilah peperangan. 16 pucuk meriam berhasil direbut pasukan Gowa. Untuk menghadapi serangan besar-besaran Belanda itu, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang berhasil masuk bujukan Belanda. Buton harus dibebaskan dengan mengerahkan 700 buah perahu dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang saat itu diangkat menjadi Laksamana muda Kerajaan Gowa memimpin armada tersebut. Tahun 1666 Buton berhasil diduduki oleh Karaeng Bontomarannu. Namun kemudian pasukan Belanda yang dipimpin Speelman dibantu Aru Palakkadan pasukannya, akhirnya berhasil merebut kembali Buton. Rapat yang dilaksanakan Belanda pada 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segera menaklukkan Gowa dan merebut Makassar. Atas keputusan itu



99



Belanda mengerahkan armadanya ke Makassar dengan 21 kapal perang dilengkapi 600 tentara Belanda, ditambah 400 laskar pasukan Aru Palakka dan pasukan Kapten Jongker dari Ambon. Armada merapat di Somba Opu pada 15 Desember 1666. Kondisi di Kota Makassar saat itu terjadi ketegangan menunggu ditaburnya gendang perang. Pedagang asing yang bermukim di sana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Sementara Hasanuddin juga mempersiapkan seluruh Bentengdilengkapi dengan meriam dan makanan untuk beberapa bulan lamanya Sepanjang pantai, pasukan kerajaan Gowa disiapkan. Di Benteng Somba Opu, pusat pertahanan Gowa dipimpin langsung Sultan Hasanuddin bersama Raja Tallo ‘Harun Al-Rasyid’. Karaeng Bonto Sunggu dipercayakan memimpin Benteng Pannyua dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di Benteng Panakkukang. Tanggal 19 Agustus 1667, Benteng Galesong diserang dengan meriam dan pasukan Belanda dibantu sekutunya berhasil membakar persediaan beras di Galesong. Dari darat pasukan Aru Palakka berjumlah 6.000 orang menyerang Galesong dan Barombong. Atas serangan itu, pasukan Gowa berhasil memukul mundur pasukan Belanda dan sekutunya. Terpaksa Belanda minta bantuan dari Batavia dengan mengirim 5 kapal perang dibawah pimpinan Komandan Kapten P. Dupon. Tanggal 22 Oktober 1667 armada Speelman dan Dupon mengepung Pantai Makassar, Benteng Barombong berhasil dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu pasukan Aru Palakka. Somba Opu kemudian di serang dari laut dan dari darat. Di daratan pasukan Gowa bertempur melawan pasukan Bone, Ternate, Buton, dan Maluku. Dalam pertempuran ini banyak menelan korban. Pertempuran yang sangat melelahkan itu, akhirnya memaksa Sultan Hasanuddin untuk menandatangani perjanjian Bungaya, pada tanggal 18 November 1667. Ditandatanganinya Perjanjian Bungaya itu dengan pertimbangan, bahwa yang dihadapi bukan hanya kompeni, tetapi sesama saudara sendiri. Kedua, perlu untuk menyelamatkan generasi supaya ada yang bisa melanjutkan perjuangan kelak. Penandatanganan Perjanjian Bungaya itu tidak diterima oleh para



100



pembesar Gowa. Raja Tallo Sultan Harun Al-Rasyid, Karaeng Lengkese dan Aru MatoaWajo tak mau menerima Perjanjian Bungaya. Tekad mereka tetap, “hanya mayat yang bisa menyerah”. Mangkubumi Karaeng Karunrung mendesak agar Perjanjian Bungaya itu dibatalkan.



Sultan Hasanuddin (kiri) dan Karaeng Galesong (kanan) yang tak lain adalah anak dari Sultan Hasanuddin sendiri. Dua orang inilah yang dengan gigihnya melawan keberadaan VOC yang ingin menguasai Makasar. Setelah Hasanuddin menyerah dalam perjanjian Bongaya, Karaeng Galesong menyeberang ke Jawa untuk melanjutkan perjuangannya menentang VOC. Sumber : Sejarah Gowa,1969



Karena Gowa masih menyimpan kekuatan, pecah perang pada 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang Benteng Pannyua tempat Speelman bermukim. Dalam pertempuran itu, banyak pasukan Belanda yang mati dan luka-luka. Dikabarkan Aru Palakka juga terluka atas serangan Karaeng Karunrung itu. Tiap harinya sekitar 7orang Belanda dikuburkan. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam Benteng Pannyua dan 52 orang tewas di kapal. Tanggal 5 Agustus 1668 Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Benteng Pannyua. Serangan itu hampir menewaskan Aru Palakka.Speelman kemudian minta



101



bantuan dari Batavia. Kapal perang Belanda tiba di Makassar pada April 1669 dengan dilengkapi persenjataan seperti meriam besar dan diarahkan ke Benteng Somba Opu. Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 Speelman memerintahkan untuk menyerang Benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang malam secara terus menerus. Meriam Belanda menembakkan lebih dari 30.000 biji peluru ke Benteng Somba Opu. Patriot Kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda. Kedua belah pihak jatuh korban banyak. Setelah perang selama 10 hari, maka pada 24 Juni 1669 seluruh Benteng Somba Opu dikuasai oleh Belanda. Tak kurang dari 272 pucuk meriam besar dan kecil termasuk meriam Anak Mangkasara’ yang dianggap keramat dirampas oleh Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mundur ke Benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan Istananya di Bontoala dan mundur ke Benteng Anak Gowa. Akhirnya, karena Benteng Somba Opu yang menjadi pusat kekuatan kerajaan Gowa sudah jatuh ke tangan Belanda, Belanda kemudian meledakkan benteng tersebut yang tebalnya 12 kaki. Udara memerah dan tanah seperti gempa bumi, mayatpun bergelimpangan di mana-mana. Seluruh Istana Benteng Somba Opu dibumihanguskan. Sultan Hasanuddin kalah perang, tapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu paling lama yang pernah dialami Nusantara ini. Itulah sebabnya Sultan Hasanuddin mendapat julukan “Ayam Jantan dari Benua Timur” (de haantjes van het Oosten). Walaupun secara DeVacto, Belanda dan sekutunya menguasai Gowa, tetapi pasukan Kerajaan Gowa tetap melanjutkan perjuangan. Mereka berkonvoi melanjutkan perjuangan di Tanah Jawa untuk membantu saudaranya yang sedang berperang melawan Belanda, antara lain Syekh Yusuf ke Banten, Karaeng Galesong dan Karaeng Bonto Marannu membantu Trunojoyo.



102



Kondisi Sekarang



Setelah berhasil mengalahkan pasukan Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, Belanda menghancurkan benteng ini dengan maksud agar tak bisa dipergunakan lagi untuk melawan mereka. Namun, karena konstruksi benteng yang terlalu kuat, sehingga membuat Belanda tak mampu menghancurkan secara keseluruhan Benteng. Benteng inipun kemudian dibiarkan begitu saja. Selama ratusan tahun, sisa-sisa benteng terbenam di dalam tanah akibat naiknya sedimentasi dari laut. Secara arsitektural, begitu menurut peta dokumen di Museum Makassar, benteng ini berbentuk segi empat dengan luas total 1.500 hektar. Memanjang



2



kilometer



dari



barat



ke



timur.



Ketinggian dinding benteng yang terlihat saat ini adalah 2 meter. Tetapi dulu, tinggi dinding sebenarnya adalah antara 7-8 meter dengan ketebalan 12 kaki atau 3,6 meter. Benteng Somba Opu sekarang ini berada di dalam kompleks Miniatur Budaya Sulawesi Selatan. Wisatawan yang berkunjung kesana dapat menikmati bentuk-bentuk rumah tradisional Sulawesi Selatan seperti rumah tradisional Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar tak jauh dari benteng. Kini, Benteng Somba Opu hanya berupa reruntuhan dan tidak berbentuk benteng utuh seperti Benteng-benteng lainnya di nusantara. Benteng yang dulunya kokoh dan gagah itu kini hanya tinggal kenangan. Sebagai gantinya, dibangun sebuah tempat yang digunakan untuk tempat berdoa dan pemujaan bagi masyarakat setempat. Biasanya, tiap warga yang datang memberi sesaji seperti, nasi putih, nasi merah, atau nasi kuning, ayam bakar, dan bunga. Lokasi persis benteng ini sekarang adalah di Jl Daeng Tata, Kelurahan Benteng Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kabupaten Gowa. Jaraknya sekitar enam kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar.



103



12 BENTENG FORT ROTTERDAM MAKASSAR, SULAWESI SELATAN



“ The Best Preserved Dutch Fort in Asia – Benteng Peninggalan Belanda yang paling terawat di kawasan Asia”



104



Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo yang kemudian diambil alih oleh Belanda setelah perjanjian Bongaya dan merubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.



Pintu gerbang Fort Rotterdam di awal abad ke-19. Tampak dalam foto ini adalah pintu masuk terluar Benteng yang dijaga oleh Prajurit pribumi. Sumber : wikipedia



Sejarah Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa,



105



bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.



Foto yang menggambarkan suasana perkampungan di dalam benteng Fort Rotterdam pada awal abad20. Selain sebagai Benteng pertahanan, Fort Rotterdam juga berfungsi sebagai perkampungan, dan pusat perdagangan. Sumber : southcelebes.wordpress



Orang Gowa-Makassar ada yang menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa.



Kedatangan Belanda yang awalnya untuk berdagang di Pelabuhan Makassar kemudian berubah menjadi permusuhan dengan Kerajaan Gow a-Tallo setelah Peristiwa Enckhuyzen –merujuk kapal yang dinahkodai Dirck de Vries dan berlabuh di Pelabuhan Makassar– pada 28 April 1615. Peristiwa itu terjadi ketika acara malam ramah-tamah antara para awak kapal dan para pembesar serta bangsawan Makassar di kapal itu, tanpa diduga pihak VOC melucuti semua persenjataan para undangan. Perlawanan terjadi. Korban jiwa 106



berjatuhan. Syahbandar Makassar Encik Husen dan dua anggota keluarga raja ditawan lalu dibawa ke Banten. Kerajaan Gowa-Tallo yang tidak terima dengan tindakan Belanda tersebut lalu menutup perwakilan VOC di sana. Mereka juga menggiatkan pembangunan benteng di pesisir-pesisir kota. Yang pertama adalah Benteng Tallo di perbatasan utara (selatan muara Sungai Tallo) dan Benteng Panakkukang di perbatasan selatan (selatan muara Sungai Jeneberang). Menyusul kemudian Benteng Ujung Pandang, Barokbaso, Barombong, Garasi, Mariso, dan Ujung Tanah –hanya Benteng Ujung Pandang yang kini masih berdiri kokoh. Di dalam benteng-benteng inilah perdagangan berlangsung. Dalam kelanjutannya, perseteruan antara Gowa-Tallo dan VOC semakin memuncak. Benteng Ujung Pandang yang letaknya strategis dan berada di bibir pantai menjadi salah satu benteng utama dalam peperangan ini. Setelah peperangan Makassar (1666-1667) selesai dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya merugikan pihak Kerajaan GowaTallo, Benteng Ujung Pandang pun akhirnya lepas dari tangan Makassar. Pasal 11 perjanjian itu menyatakan, Makassar harus menyerahkan Benteng Ujung Pandang berikut perkampungan dan lingkungannya kepada VOC. Di tangan Laksamana Cornelis Speelman, pemimpin ekspedisi Makassar yang kemudian jadi gubernur jenderal, benteng yang dibangun kali pertama pada 1545 ini diganti namanya menjadi Fort Rotterdam – untuk mengenang kota kelahiran Speelman di Belanda yaitu Kota Rotterdam. Perbaikan dilakukan di sana-sini. Speelman juga mengubah benteng dan kawasan sekitarnya menjadi kota baru. Cakupannya meliputi benteng pertahanan, kota dagang yang dinamakan Vlaardingen di utara benteng, dan perkampungan di sekitar Vlaardingen. Penguatan benteng juga dilakukan. Yang paling mencolok, penggunaan batu padas berbentuk balok –sebelumnya tembok benteng hanya menggunakan bahan gundukan tanah, 107



lalu batu bata– dan pembangunan lima bastion atau sudut pertahanan (Amboina, Bacan, Bone, Buton, Mandarsyah). Tiap bastion berterap tiga. Tangga menjadi alat untuk naik ke atasnya. Jenis tangganya terbagi dua: yang berjenjang untuk personel dengan senjata ringan, sementara yang datar untuk meriam dan senjata berat. Sejak saat itu Benteng Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah rempah sekaligus pusat pemerintahan Belanda di wilayah Timur Nusantara (Indonesia). Di setiap sudut dan pintu utama dibuat benteng pertahanan yang menonjol ke luar dalam bentuk berlian, membuat benteng sulit ditundukkan sehingga Belanda dapat bertahan di sana selama ratusan tahun. Hingga kini, benteng masih menjaga laut Makassar dan mempertontonkan contoh besar dari hasil renovasi arsitektur kolonial Belanda. VOC, kemudian juga pemerintah Hindia Belanda, juga membangun gedung-gedung bergaya gothik yang masih berdiri hingga kini. Satu di antaranya lalu dipakai sebagai kantor gementee (kotapraja) Makassar. Fungsi Benteng Ujung Pandang sebagai pusat komando pertahanan, perdagangan, pemerintahan, dan permukiman terus berlanjut hingga kekuasaan Hindia Belanda berakhir. Setelah itu, benteng itu menjadi Kantor Pusat Penelitian Pertanian dan Bahasa di masa Jepang, markas tentara KNIL pascaproklamasi hingga 1950, lalu permukiman hingga 1969. Baru tahun 1970 benteng itu diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan guna dipelihara. Empat tahun kemudian, panggung pertunjukan seni dibangun dan Benteng Ujung Pandang ditetapkan sebagai Pusat Budaya Sulawesi Selatan sekaligus tempat wisata budaya.



Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu benteng di Sulawesi Selatan yang boleh dianggap megah dan menawan.Seorang wartawan New York Times, Barbara Crossette 108



pernah menggambarkan benteng ini sebagai “the best preserved Dutch fort in Asia” atau salah satu benteng belanda terbaik yang masih utuh di asia.



Arsitektur Benteng ini memiliki bentuk yang unik.Jika kita perhatikan di maket yang terdapat di dalam benteng, bentuknya menyerupai kura-kura. Terdapat empat bastion utama yang seolaholah menjadi kaki untuk sang kura-kura. Sedangkan pintu masuk utamanya terdapat di bagian kepala.Karena bentuknya itu lah orang Makassar sering menamainya Benteng Panyyua.Pada masa kerajaan Gowa, benteng ini dijadikan markas Pasukan Katak. Tembok di Fort Rotterdam.Tiap bastion di benteng ini dihubungkan oleh tembok kokoh yang konstruksinya disusun menggunakan batu padas yang diambil dari daerah Maros.Di sepanjang tembok ini terdapat jalur menyerupai parit yang digunakan oleh pasukan penjaga benteng untuk berlindung dan berpindah antarbastion.Pengunjung bisa menaiki dan menyusuri tembok ini untuk merasakan sensasi menjadi prajurit penjaga benteng.



109



Potret Fort Rotterdam dari segala sisi: perkampungan di dalam benteng (kiri atas), gapura penghubung yang menghubungkan antar sisi benteng (kanan atas) dan tampak atas benteng dari ketinggian. Tampak jelas denah benteng yang berbentuk penyu (bawah). Sumber : Southcelebes.wordpress



Kondisi Sekarang Setelah diserahkan kepada Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dibangunlah suatu Museum yang diberi nama museum Lagaligo yang diresmikan tahun 1970.



Museum La Galigo sendiri adalah museum yang mempunyai berbagai macam referensi sejarah kebesaran Gowa-Tallo (Makassar) dan beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan. Berada di dalam museum ini, kita seakan-akan sedang menyaksikan kehidupan rakyat Sulawesi Selatan di zaman dulu.



Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda juga pernah mendirikan museum serupa pada 1938, dengan mendirikan Celebes Museum. Letaknya di bekas kediaman Cornelis Speelman. Kemudian ditutup psda saat Jepang masuk. Kini, benteng Fort Rotterdam masih kokoh berdiri. Nasibnya jauh lebih baik daripada benteng-benteng lain di nusantara yang kebanyakan sudah rusak dan tidak terurus. Meskipun Tak lagi berfungsi sebagai pusat pertahanan, politik, niaga, tapi sebagai “pusat sejarah” kota Makassar. Fort Rotterdam merupakan bukti visual yang masih tersisa dari dinamika sebuah peradaban. Revitalisasi, termasuk mengembalikan kanal di luar benteng yang sempat hilang, 110



dimaksudkan untuk tetap menjaga kelestarian Fort Rotterdam beserta kisah-kisah di baliknya. Pengelolaan benteng dan museum kini dipegang oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar (BP3M). Kawasan benteng bebas dikunjungi oleh para wisatawan tanpa membayar karcis untuk masuk. Karcis untuk masuk hanya diwajibkan bila pengunjung atau wisatawan memasuki kawasan museum La Galigo.



Foto Panorama Benteng Fort Rotterdam setelah direnovasi dan dijadikan Museum. Sumber : Kompasiana



111



13 BENTENG KERATON BUTON BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA



“ Benteng terluas di dunia dengan kultur budaya yang masih hidup didalamnya”



112



Benteng Keraton Buton merupakan salah satu benteng peninggalan sejarah di Baubau, Sulawesi Tenggara. Sama halnya dengan Benteng Somba Opu di Gowa, Benteng ini merupakan salah satu benteng non-kolonial alias bukan tinggalan pemerintahan kolonial. Benteng ini merupakan bekas ibukota Kesultanan Buton memiliki bentuk arsitek yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng yang berbentuk lingkaran ini dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektare.



Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam/bastion yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton.



Sejarah Benteng Keraton Buton awalnya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang tersusun mengelilingi komplek istana, tujuannya untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat.Mulai dibangun sejak pemerintahan La Sangaji ke-3 (1591-1597) dan selesai secara keseluruhan pada akhir pemerintahan Sultan ke6, La Buke Gafarul Wadadu (1632-1645). Artinya, benteng ini dibangun dalam kurun waktu sekitar lima puluh tahun, melampaui tiga masa sultan yang berbeda. Pada masa pemerintahan



113



Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen.



Foto salah satu sudut Benteng buton pada tahun 1928. Bangunan tembok benteng masih kokoh berdiri dan melindungi rakyat Bau-bau dari serangan musuh. Sumber : wikipedia



Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian.



Ada satu hal menarik yang patut diketahui mengenai keberadaan benteng Keraton Buton, yakni sebuah benteng yang tidak hanya berdiri dan diam membisu, tetapi di dalam



114



kawasan benteng keraton terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu. Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat sebuah masjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 15911597. Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat. Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu. Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan. Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.



115



Arsitektur Benteng



Benteng ini terdiri dari tiga komponen yaitu Badili, Lawa, dan Baluara



- Badili (Meriam) Badili merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.



- Lawa Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na' menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik "nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama lawa di antaranya : lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu. - Baluara Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (sultan buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan 'godo' 116



(gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton.



Badili (meriam) di salah satu sudut benteng. Dalam satu bastion/pos penjagaan terdapat lebih dari 1 meriam pertahanan yang membuat Benteng ini sangat sulit ditundukkan selain karena letak geografisnya yang berada di puncak bukit. Sumber : wikipedia



16 Nama Baluara yaitu : baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.



117



Kondisi Sekarang Benteng Keraton Buton selain dikenal karena luasnya juga dikenal karena keunikannya yang sampai sekarang masih bisa ditemui. Benteng ini saking besar dan megahnya sampai dijuluki Benteng Seribu Benteng. Sebab, bangunan ini terdiri dari beberapa benteng kecil di dalamnya. Benteng kecil ini menjadi pendukung bangunan induk, diantaranya adalah Benteng Sorawolio dan Benteng Baadia. Setiap benteng dihubungkan oleh jalan-jalan rahasia. Benteng Sorawolio berfungsi sebagai pertahanan, karena tempatnya selain lebih aman juga tanahnya subur sehingga bisa membuat nyaman sebagai tempat bertahan bagi pihak kesultanan bila suatu saat lingkungan benteng induk dikuasai musuh. Sedangkan benteng Baadia fungsinya sebagai pengintaian, dimana berdasarkan letaknya yang stretagi pada ketinggian, di sekelilingnya adalah lembah. Selain itu ada pula daerah yang dijadikan sebagai fungsi penghancuran bagi musuh, yakni sebuah daerah tandus di bagian barat benteng, dikenal dengan nama Katobengke. Di tempat inilah pelaksanaan eksekusi bagi musuh. Di dalam benteng terdapat situs-situs sejarah seperti batu popaua (batu pelantian raja/sultan), malige (rumah adat), masigi (Masjid) dan Sulana Tombi (Tiang Bendera). Situs sejarah batu popau yakni tempat pelantikan raja. Batu ini berbentuk alat vital wanita. Di atas batu inilah setiap sultan yang terpilih dilantik dan diambil sumpahnya. Sulana Tombi terletak di sebelah kanan masigi sebagai peninggalan sejarah yang sedianya adalah sebuah tiang bendera untuk mengibarkan bendera/panji Kesultananan Buton. Tiang bendera dengan tinggi 21 meter tersebut dibangun tahun 1712 di antara masa pemerintahan Sultan keempat Dayanu Iksanuddin dan Sultan kelima La Balawo bergelar Sultan Abdul Wahab atau Mosabuna yi Watole. Sulana Tombi kini disanggah empat tonggak lantaran sudah termakan usia. Tiang dari kayu jati ini pernah tersambar petir, namun masih



118



Tampak Sulana Tombi (Tiang bensera setinggi 21 meter) yang berada di sebelah kanan Masjid agung Keraton Buton (Masigi Ogena). Sulana Tombi ini dulunya dipakai untuk mengibarkan bendera kebesaran kesultanan Buton. Sumber : Indonesiaproud.wordpress



Salah satu rumah penduduk yang terdapat di kawasan benteng Keraton Buton. Sumber : hpgrumpe.de



119



Foto kondisi Benteng Keraton Buton sekarang. Tampak tembok dan bastion dari benteng yang masih utuh dan kokoh meskipun bukan terbuat dari batu bata seperti bentengbenteng kolonial. Keistimewaan aterial yang dipakai dalam pembuatan benteng yang konon membuat benteng ini masih hingga sekarang. Sumber : Indonesiaproud.wordpress



120



terpancang dan pernah mengibarkan banyak bendera, mulai dari bendera Keraton Buton, Belanda, Jepang dan Sang Saka Merah Putih. Di dalam lingkungan keraton juga ada malige, yakni rumah adat bersusun empat yang terbuat dari kayu. Uniknya rumah ini tidak menggunakan paku, melainkan didesain dari gigigigi buatan sebagai pengait antara satu sudut dengan sudut lainnya. Dengan demikian maka rumah ini bisa dibongkar pasang. Rumah-rumah Buton kebanyakan didesain seperti ini, sehingga di Buton kita dapat membeli rumah di satu tempat lalu dipindahkan ke tempat lain atau daerah lain. Rumah yang dibeli akan dibongkar kemudian dipasang kembali di tempat baru. Bisa saja rumah itu didirikan kembali di Jawa atau di luar negeri sekaligus, yang penting bisa mengangkut atau memindahkan bahan-bahan bangunan yang terlebih dahulu dibongkar. Istimewanya lagi bahwa malige bukanlah milik kerajaan, karena setiap raja Buton tidak mempunyai rumah jabatan. Setiap raja membangun rumah sendiri. Masigi Keraton (kini lebih dikenal dengan nama Masjid Agung Keraton Buton) dibangun dua abad setelah masa kesultanan di Buton, tepatnya pada abad 18, pada masa pemerintahan Sultan Sakiuddin Durul Alam. Bangunan segi empat berbentuk tumpeng hingga kini masih berfungsi sebagai tempat ibadah, mampu menampung jamaah hingga 500 orang.Masigi Keraton dibangun berdasarkan arsitektur sederhana namun setiap komponen bangunannya sarat dengan simbol yang kaya akan makna. Menurut Walikota Baubau, MZ Amirul Tamim, rangka masjid menggunakan 313 potongan kayu, sama banyaknya dengan jumlah tulang rangka manusia, serta dilengkapi 12 pintu dan jendela sebagai simbol jumlah lubang dalam tubuh manusia, seperti lubang hidung, telinga, mata, mulut, dan seterusnya.



121



14 BENTENG DUURSTEDE SAPARUA, KEP. MALUKU



“ Tempat terbunuhnya Residen Van den Bergh dan Bukti nyata perlawanan Rakyat Maluku terhadap VOC”



122



Sejarah Benteng ini terletak di kota Saparua, kurang lebih 50 mil dari Ambon. Benteng peninggalan Belanda ini dibangun pertama kali pada tahun 1676 oleh Arnold de Vlaming van Oudshoor dan kemudian tak lama dilanjutkan pembangunanya kembali oleh Nicolaas Schaghe yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Ambonia pada tahun 1690. Diberi nama Duurstede oleh Gubernur Nicolaas Schagen sesuai dengan nama negeri kelahirannya di negeri Belanda. Benteng ini cukup unik, karena benteng ini dibangun diatas batu karang setinggi 20 kaki. Untuk naik ke benteng ini anda harus sanggup untuk melalui tangga yang memiliki 24 buah anak tangga dengan satu pintu masuk pada bagian depan. Didepan benteng tersebut terdapat sebuah “sumur maut” karena ada beberapa serdadu Belanda yang mengambil air dari sumur tersebut mati dicegat pasukan Pattimura.Benteng ini terletak dikawasan pinggir pantai berpasir putih dengan airnya yang jernih. Dari atas benteng ini dapat dilihat pemandangan yang indah dan laut Pulau Saparua yang luas terhampar dengan perahu nelayan yang berlayar di kejauhan



Meriam diatas benteng yang menghadap ke laut Saparua. Dulunya, meriam ini siap menyapu musuh yang mendekat ke arah benteng melalui pantai (kiri) dan Pos Observasi di salah satu sudut benteng Duurstede (kanan). Sumber : Sejarahbudayanusantara.weebly.com



123



Duurstede dan Sejarah Perlawanan Pattimura Perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda diawali dengan tindakan Kapitan Pattimura yang mengajukan daftar keluhan kepada Residen Van den Bergh. Dalam daftar keluhan tersebut berisi tindakan semena-mena pemerintah kolonial yang menyengsarakan rakyat. Keluhan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah Belanda, sehingga rakyat Maluku, khususnya di Saparua di bawah pimpinan Kapitan Pattimura memilih untuk mengangkat senjata dan melawan kekuatan kolonial Belanda. Di Pulau Saparua pertemuan-pertemuan pertama dilakukan di sebuah tempat yang dinamakan Hutan Kayuputih, Sehari sebelum penyerbuan ke benteng Duurstede, mereka berkumpul untuk merundingkannya dan memilih pemimpin perangnya pada tanggal 14 Mei 1817. Para pemuda dan penguasa-penguasa desa(raja atau patih dan orang kaya) memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng Duurstede yang terletak di Pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiahkan ini diteruskan kepada setiap negeri di pulau itu. Selain itu, dalam musyawarah di tempat itu mereka juga memilih Thomas Matulesy sebagai pimpinan perang dengan julukan Pattimura. Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil diduduki oleh barisan Patimura dan kawankawan. Setelah itu, Benteng ini dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg bserta semua penghuni benteng terbunuh, kecuali anak laki-lakinya yang bernama Juan. Perlawanan kemudian meluas ke Ambon, Seram, dan tempat-tempat lainnya. Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan



124



pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lainMelchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh VOC. Tak ingin berlarut-larut, Belanda kemudian melancarkan serangan besar-besaran terhadap Benteng Duurstede setelah terlebih dahulu memusatkan kekuatan mereka di Benteng Zeelandia sebelum memberikan serangan pamungkas terhadap Pattimura dkk, yang mempertahankan benteng. Setelah didesak dengan jumlah pasukan dan persenjataan yang lebih mumpuni, Akhirnya pada awal Agustus 1817 Benteng Duurstede jatuh kembali ke tangan Belanda. Namun demikian, perlawanan Pattimura dkk tetap berlanjut dengan cara bergerilya di hutan sagu. Setelah berbulan bulan melakukan pengejaran terhadap Pattimura dan pejuang lainnya, akhirnya Belanda dapat menangkap Kapitan Pattimura, Anthoni Reebok dan Thomas Pattiwael dan menjatuhinya hukuman gantung. Pattimura beserta teman-temannya diadili di Ambon, pada tanggal 16 Desember 1817 dan dihukum gantung di depan Benteng Nieuw Victoria, Ambon. Kata-katanya yang terkenal sebelum menemui ajalnya di tiang gantungan



125



adalah ” Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan.”



Benteng Duurstede dari kejauhan. Dapat dilihat bentuk benteng yang ideal, yaitu berada di tempat yang lebih tinggi dan berada di bibir pantai. Benteng ini juga menjadi saksi bisu kepahlawanan Pattimura di Saparua.Sumber : aldianlo.wordpress.com



Suasana di dalam benteng Duurstede. Masih terdapat beberapa sisa pondasi dan bangunan dari zaman Belanda (kiri), dan foto di area atas benteng. Meriam yang digunakan sebagai pertahanan benteng masih utuh dan terpasang di tempatnya. Sumber : kompasiana.com



126



Kondisi Sekarang Benteng



Plang yang bertuliskan nama benteng dan beberapa informasi benteng dalam Bahasa Belanda. Orisinalitas atau keaslian benteng masih terjaga meskipun sudah dikelola oleh Pemerintah. Sumber : kompasiana.com



Benteng yang kini berusia lebih dari 400 tahun, bangunan kuno yang menjadi saksi bisu sejarah perlawanan rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura terhadap politik monopoli perdagangan rempah-rempah yang diterapkan Belanda di "negeri raja-raja" itu tidak lagi utuh. Pada benteng berbentuk bulat itu hanya tersisa satu gedung, konon dahulu merupakan tempat pertemuan tentara kompeni, yang sudah rusak pintu maupun jendelanya, satu ruang penjara, satu ruang penjagaan di pintu masuk, menara pengintai, dan beberapa meriam yang moncongnya mengarah ke Laut Banda. Di bagian tengah benteng terlihat fondasi bekas bangunan. Kondisi itu tentu mengundang keprihatinan, mengingat Duurstede adalah salah satu benteng besar peninggalah masa penjajahan di Maluku selain Benteng Amsterdam di Negeri Hila (Pulau Ambon), Benteng Belgica di Pulau Banda, dan Benteng 127



Victoria di Pusat Kota Ambon, yang sepatutnya mendapat perhatian besar pemerintah daerah maupun



pusat



untuk



perawatannya



sebagai



benda



cagar



budaya.



Sebagai situs bersejarah, bisa dikatakan Benteng Duurstede pun tidak dikelola secara baik untuk menarik kunjungan wisatawan, baik lokal, nasional, maupun internasional. Selain bangunannya yang tidak pernah direnovasi kembali sejak 1982, tidak ada loket untuk pengunjung membeli tiket tanda masuk ataupun kios-kios penjual cendera mata dan jajanan. Padahal bila dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah Kabupaten/Provinsi setempat, situs ini punya potensi besar sebagai tempat wisata sejarah maupun rekreasi.



128



15 BENTENG HOLLANDIA (TOLUKKO) TERNATE, KEP. MALUKU



“ Tolukko dibangun untuk mengawasi perdagangan rempahrempah di pelabuhan Ternate sekaligus benteng pertahanan dari musuh”



129



Sejarah Benteng Tolukko adalah benteng peninggalan Portugis yang berada di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, Indonesia. Benteng Tolukko dibangun oleh seorang panglima Portugis yang bernama Fransisco Serao, pada



tahun 1540.



Benteng



ini



dibangun



Portugis



sebagai



pertahanannya



dalam



menguasai cengkih dan juga menguasai dominasinya di antara bangsa Eropa yang lain. Sejarah Benteng Tolukko di Ternate tidak terlepas kaitannya dengan sejarah maluku utara khususnya di ternate. Jauh sebelumnya masuk pengaruh islam pada abad XV dan Eropa pada abad XVI di maluku utara sudah terdapat suatu organisasi pemerintah yang disebut (Buldan ) yang dipimpin oleh seorang (kolano) yaitu Raja. Dengan masuknya islam dan mundurnya kekuasaan majapahit di maluku utara. System tersebut berubah menjadi kesultanan, termasuk Ternate. Kedatangan bangsa eropa di ternate di mulai oleh bangsa portugis pada awal abad ke XVI , karena mereka terpikat dengan kekayaan rempah-rempah yang terdapat di ternate. Pada mulanya untuk kepentingan dagang. Maka upaya untuk mencapai tujuannya portugis memanfaatkan persaingan yang terjadi di maluku utara, yaitu Ternate tengah bersaing dengan Tidore yang bersekutuh dengan bangsa spanyol. Portugis segera menggunakan kesempatan tersebut, dengan cara membantu Ternate.



130



Tampak dalam Benteng Tolukko. Sumber : triptrus.com



Sudah tentunya kehadiran portugis di ternate mendapat simpati dari rakyat ternate terlebih lagi rakyat ternate mengira bahwa portugis merupakan bangsa pedagang yang akan berperan menaikkan harga rempah-rempah. Oleh karena itu, portugis di ijinkan mendirikan Benteng-Benteng di ternate, antara lain :



Benteng Tolukko yang nama aslinya Benteng Santo Lucas yakni Benteng yang pertama di buat pada tahun 1512 oleh Francisco Serraow. Kemudian Benteng-benteng lainya yakni Benteng Nustra Senora del Rosario. Dan Benteng Santo Pedro pada tahun 1522 Benteng-Benteng tersebut sebagai benteng pertahanan. Bangsa portugis ternyata tidak sekedar mendirikan benteng. Mereka pun berhasil mengajukan keinginannya untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah yang di tuangkan dalam suatu perjanjian. Sejak adanya perjanjian tersebut rakyat ternate merasa dirugikan karena harus menjual hasil rempah-rempahnya dengan harga yang sangat rendah kepada



131



bangsa portugis yang baru dikenali sebagai sahabat. Kemudian berubah menjadi pemeras. Oleh karena itu, rakyat Ternate serentak menyatakan permusuhan terhadap bangsa portugis.



Dan pada tahun 1533 rakyat ternate membakar Benteng milik portugis di bawah pimpinan Dajalo. Portugis segera mengirim bala bantuannya dari maluku kembali berjuang mempertahankan wilayahnya dan pada akhir perjuangan Antwio Garvalo berhasil melaksanakan perdamaian dengan rakyat maluku sehingga portugis masih dapat mempertahankan kekuasaannya di wilayah ini. Untuk beberapa saat portugis masih dapat monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Hal ini di perkuat dengan perjanjian yang di buat pada tahun 1570. Antara Gubernur Lopez de Musquita dan Raja ternate Sultan Khairun. Namun tidak berapa lama setelah perjanjian itu Sultan Khairun dibunuh oleh suruhan Lopez de Musquita. Kejadian ini menyulut kemarahan Sultan Baabullah putra Sultan Khairun. Peperangan rakyat ternate melawan portugis segera berkobar, selamah hampir 7 tahun. Satu demi satu benteng-benteng portugis dapat di rebut ternate pada tahun 1577, rakyat ternate dapat mengusir portugis di wilayahnya. Bangsa Belanda baru menyusul datang ke Ternate pada tahun 1605 yang kemudian merebut benteng dari Sultan Ternate. Benteng Tolukko yang oleh Belanda disebut sebagai Benteng Holandia dan pernah diperbaiki pada masa VOC pada tahun 1610 oleh J.P. Both. Pada dinding sebelah kiri pintu masuk terdapat pahatan lambang yang dibuatnya masih ada sampai sekarang.



Selain sebagai benteng pertahanan, Benteng ini juga dijadikan sebagai tempat untuk menggiring rakyat yang melarikan diri dari serangan Spanyol agar mau kembali tinggal di



132



Bentuk Benteng Tolukko dilihat dari ketinggian. Bentuknya yang khas arsitektur benteng Portugis dan berbeda dengan beberapa benteng di Maluku lainnya menandakan bahwa benteng ini dibangun oleh orang Portugis meskipun akhirnya lebih banyak digunakan oleh Belanda. Sumber : kompas.com



Salah satu Bastion dari Benteng Tolukko. Benteng Tolukko ini hanya memiliki 2 Bastion, yaitu di kanan dan kiri. Sumber : kompas.com



133



tempat ini. Saat itu sebagian besar rakyat melarikan diri ke Benteng Malayo. Pada tahun 1612, dilaporkan terdapat 15 hingga 20 tentara di dalam benteng ini, yang dilengkapi dengan sejumlah persenjataan dan amunisi. Di bawah pemerintahan Gubernur Jacques le Febre pada tahun 1627, disebutkan bahwa benteng yang terletak tidak jauh di atas bukit di sebelah Utara Benteng Malayo ini, dilengkapi dengan dua menara kecil.



Ketika itu benteng tersebut dipimpin oleh seorang Korporal yang didatangkan dari Benteng Malayo yang juga menjadi sumber pemasokan bahan pangan untuk 22 orang tentara yang bertugas di dalam Benteng Tolukko. Pada tahun 1661, Dewan Pemerintahan Belanda mengijinkan Sultan Mandarsyah dari Ternate untuk tinggal di dalam benteng ini bersama pasukannya. Menyusul kehadiran Sultan, maka garnizun Belanda di dalam Benteng Tolukko dikurangi hingga hanya 160 orang. Pada tanggal 16 April 1799, pasukan Kaicil Nuku (Sultan Tidore yang ke-19) menyerang benteng Tolukko tetapi mereka berhasil dipukul mundur oleh pasukan gabungan Ternate-VOC. Namun akibat pertempuran dan khususnya pengepungan yang berkepanjangan oleh pasukan Nuku, penduduk kota Ternate yang di bulan Juni 1797 berjumlah 3.307 jiwa, kemudian tinggal 2.157 jiwa. Di bawah pimpinan Residen P. Van der Crab pada tahun 1864, benteng ini dikosongkan karena hampir seluruh bangunan sudah rusak.



Arsitektur



Benteng Tolukko ditinjau dari segi pertahanan terletak ditempat strategis. Karena di buat diatas Bukit Batuan Beku pada ketinggian 620 cm diatas lembah sekitarnya dan kurang lebih 10,50 meter diatas permukaan laut. Letaknya yang mencorok ke laut membuat akses ke laut sangat mudah. Bukit Batuan Beku tempat Benteng Tolukko berdiri memanjang ke arah Barat laut Tenggara. Benteng yang menghadap kearah barat laut dengan sudut 80 derajat nampaknya disesuaikan dengan poros bukit. Bentuk yang kecil sesuai dengan kebutuhan 134



waktu itu, juga menyesuaikan dengan Bukit yang ada sehingga denahnyatidak simetris. Bentuk denah yang walaupun persegi tetapi kesannya tetap cenderung membulat dengan hanya dua bastion di depan dan satu di belakang adalah unik dan khas Portugis. Berbeda dengan benteng-benteng lain buatan Belanda seperti Benteng Orange dan Benteng Kalamata.



Kondisi Sekarang Hingga saat ini Benteng Tolukko masih tetap berdiri dan pernah di renovasi oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku di Ambon pada tahun 1996 dan di jadikan Objek Wisata Sejarah Masa Sekarang.



135



16 BENTENG KALAMATA MALUKU UTARA, KEP. MALUKU



“ Benteng nan indah di seberang Gunung Gamalama”



136



Benteng Kalamata adalah benteng yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1540. Benteng Kalamata disebut juga Benteng Kayu Merah. Disebut Benteng Kayu Merah karena berada kelurahan Kayu Merah, Kota Ternate Selatan. Awalnya benteng ini bernama Santa Lucia, tetapi kemudian terkenal dengan Benteng Kalamata. Kalamata sendiri berasal dari nama Pengeran Kalamata, yakni adik dari Sultan Ternate Madarsyah.



Sejarah



Benteng Kalamata sering juga disebut benteng Santa Lucia atau juga benteng Kayu Merah. Benteng ini semula dibangun oleh Pigafetta (Portugis) pada tahun 1540, kemudian dipugar oleh Pieter Both (Belanda) pada tahun 1609. Pada tahun 1625 benteng ini pernah dikosongkan oleh Geen Huigen Schapenham, kemudian tahun 1672 oleh Gils van Zeist. Benteng yang dikosongkan ini kemudian diduduki oleh bangsa Spanyol hingga tahun 1663. Setelah diduduki oleh Belanda, benteng ini diperbaiki oleh Mayor von Lutnow pada tahun 1799. Nama benteng Kalamata diambil dari nama seorang Pangeran Ternate yang meninggal di Makassar pada bulan Maret 1676. Jika dilihat dari atas, maka bentuk keseluruhannya juga akan menimbulkan multi interpretasi, pada benteng yang terletak di Kelurahan Kayu Merah ini. Dari kondisi fisik saat ini setelah dipugar nampak seperti bangunan baru, sehingga sulit untuk menilai keaslian tinggalannya. Terlebih laporan tentang pemugaran yang dilakukan tidak dapat diakses oleh masyarakat luas, sehingga kelengkapan informasi tentang Benteng Kalamata sangat minim dirasakan.



137



Benteng Kalamata dari dalam dengan latar Gunung Gamalama yang tertutup awan puncaknya. Sumber : triptrus.com



Papan informasi yang menjelaskan mengenai sejarah singkat Benteng Kalamata (kiri) dan Benteng Kalamata dari kejauhan. Foto ini diambil setelah benteng mengalami pemugaran dan Revitalisasi. Sumber : myjourneyphotograph



138



Benteng yang oleh penduduk setempat disebut dengan benteng Kota Janji ini dibangun oleh penguasa Portugis di suatu lokasi pada ketinggian 50 meter dari permukaan laut di sebelah utara Kelurahan Ngade. Di benteng ini pernah bertemu dua kolom pasukan yang dibagi oleh Don Pedro de Acuna, Gubernur Jenderal Spanyol di Filipina yang pada tanggal 15 Januari 1606 mulai berlayar ke Maluku dan pada 26 Maret tiba di Teluk Talangame. Pertemuan dua kolom pasukan yang terkoordinir dengan baik ini adalah dalam rangka serangan gabungan antara orang Spanyol dan orang Tidore terhadap Ternate yang dimulai pada waktu subuh tanggal 1 April 1606. Pada saat serangan terjadi benteng ini baru saja dibangun. Dalam serangan tersebut, Don Pedro mengerahkan prajurit lapangannya pada posisi untuk mengadakan pagar penembakan dan sekaligus mengetahui bahwa orang Ternate banyak mempunyai meriam besar untuk membalas tembakan mereka. Gerakan Spanyol yang menjadi ancaman pada benteng, menjadikan para pembela benteng berspekulasi keluar dari tembok untuk bertempur satu lawan satu. Pada siang harinya prajurit pertahanan tersebut menjadi lelah dan banyak yang menyerah, sehingga orang Spanyol mendapatkan kemenangan. Dari benteng inilah Don Pedro mengalihkan prajuritnya untuk mengepung Kastil dan kota Gammalamma, markas besar dan tempat tinggal Sultan Ternate pada masa itu. Namun sebelum orang Spanyol sampai ke tempatnya (Kastil), Sultan Said (cucu Sultan Khairun) telah pergi . Pada tahun 1610 benteng ini oleh penguasa Spanyol dilengkapi dengan 6 meriam dan dihuni oleh 27 orang Spanyol, 20 orang Portugis dan beberapa orang Filipina. Kondisi benteng saat ini secara fisik struktur batuannya masih dalam keadaan baik, meski pernah terjadi keruntuhan tembok dindingnya (Foto 46). Ini dimungkinkan pernah ada renovasi terhadap benteng San Pedro y San Pablo. Jika telah ada renovasi, yang tidak diketahui kapan tepatnya, maka upaya tersebut telah menghilangkan keaslian bahan baku



139



penunjangnya. Ini dikarenakan bentuk yang ada sekarang secara kasat mata masih sangat kasar, sehingga tidak mencerminkan bangunan benteng bersejarah. Hanya struktur kolam di depan benteng sajalah yang masih terlihat keasliannya. Termasuk lubang sumur dekat dinding barat daya benteng ini.



Konstruksi



Konstruksi benteng Kalamata memperlihatkan bentuk khas arsitektur Portugis. Tembok kelilingnya tidak begitu tebal seperti halnya benteng-benteng buatan Belanda. Ketebalan benteng Kalamata hanya 60 cm, dan tingginya 3 m. Benteng ini merupakan bangunan berbentuk segi empat yang tidak lurus (poligon), memiliki empat bastion yang runcing di ujungnya. Setiap bastion dilengkapi sejumlah lubang bidik. Selanjutnya, pada lapangan dalam benteng terdapat bekas pondasi sejumlah bangunan, terdapat pula bekas jalan, tangga dan sumur.



Kondisi Sekarang Benteng Kalamata pernah dipugar oleh Pemerintah RI tanggal 1 Juli 1994 dan diresmikan purna pugarnya tanggal 25 November 1997 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. Kemudian pada tahun 2005, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate merenovasi benteng ini dengan menambahkan halaman dan rumah untuk penjaga benteng Kalamata. Pada tahun 2013, Balai Pelestarian Cagar Budaya melakukan kegiatan rehabilitasi terhadap benteng Kalamata yang bertujuan untuk memperbaiki bagian-bagian benteng yang mengalami kerusakan. Rehabilitasi itu dilakukan dengan membongkar dan memasang kembali batu pada dinding dan lantai yang mengalami retak-retak, melakukan pemadatan tanah di bawah lantai, membersihkan sumur yang terdapat di dalam benteng, dan sekaligus



140



menata lingkungan benteng. Sehingga, kawasan benteng ini menjadi the spirit of placeyang mengandung nilai heritage yang sesungguhnya.



141



17 BENTENG FORT SPEELWIJK BANTEN, JAWA BARAT



“ Sisa-sisa kekuasaaan VOC terhadap Kesultanan Banten”



142



Benteng Fort Speelwijk adalah benteng pertahanan Belanda di pantai utara Provinsi Banten. Benteng tersebut terletak di Kampung Pamarican, sekitar enam ratus meter dari kompleks Keraton Surosowan, Serang. Benteng Speelwijk yang dibangun pada tahun 1683 ini sekaligus menandai era kejatuhan Kesultanan Banten.



Sejarah Sekitar tahun 1680 terjadi perebutan kekuasaan antara raja yang bertahta tahun 1651 – 1682, Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya yang bernama Sultan Abu Nashar Abdul Qahar ( Sultan Haji ). Perselisihan tersebut dimanfaatkan oleh VOC yang membantu Sultan Haji duduk sebagai pemimpin Kesultanan Banten mulai dari tahun 1683 hingga 1687. Sebagai bentuk pengawasan Hindia Belanda terhadap laju perekonomian dan politik Kesultanan Banten, dibangunlah sebuah benteng di sebelah barat laut Keraton Surosowan. Diberi nama Speelwijk sebagai bentuk penghormatan Gubernur Jenderal Cornelis Janszzon Speelman yang bertugas di Hindia Belanda pada tahun 1681 – 1684. Benteng Speelwijk dibangun di atas reruntuhan tembok Keraton Surosowan pasca penyerangan Sultan Ageng Tirtayasa dengan material yang tidak jauh berbeda dengan bangunan sebelumnya. Batu karang, batu bata merah sebagai material utamanya.



Rancangan Hendrik Lucaszoon Cardeel ini memiliki denah persegi panjang tidak simetris yang dilengkapi dengan bastion di tiap sudutnya, basement untuk gudang logistik, ruang penyimpanan senjata serta dikelilingi oleh kanal guna mencegah dan memperlambat musuh yang akan memasuki area benteng.



143



Pintu masuk basement (kiri), Lubang udara untuk ruang bawah tanah (kanan). Sumber : jejak-bocahilang.wordpress Konon pembangunan yang berlangsung selama 4 tahun ( 1683 – 1686 ) banyak memakan korban termasuk etnis Tionghoa yang diperbudak di sini. Bukti keberadaan pemukiman etnis Tionghoa bisa dilihat di Kelenteng Avalokitesvara yang dibangun bersebelahan dengan Benteng Speelwijk.



Pembangunan benteng di Banten menunjukkan signifikansi kepada Belanda sebagai kontrol daerah yang memungkinkan Belanda untuk mencapai kontrol atas selat Sunda. Lokasi Benteng ini cukup strategis, terletak di delta sungai yang mengarah ke daratan. Arsitektur Benteng Speelwijk dibangun seperti kebanyakan benteng pada abad ke-17. Tebal dinding benteng adalah sekitar 5 meter, dan panjang setiap sisi dinding kuarng lebih 80 meter. Di sekitar Benteng Speelwijk terdapat 4 benteng lainnya yang memiliki bentuk seperti bintang. Benteng ini dahulu dihuni oleh hampir 400 tentara garnisun VOC. Namun, karena kondisi tropis dan kurangnya kebersihan di daerah tersebut, hampir tiga perempat dari pasukan tewas.



144



Salah satu menara pengawas di sudut benteng (kiri), Foto landscape benteng speelwijk yang sudah tidak utuh (kanan). Sumber : google



Kondisi Sekarang Kini benteng dengan tembok setebal satu meter dalam kondisi yang agak memperihatinkan. Belum menjadi cagar budaya yang diperhatikan oleh pihak berwajib, sehingga Benteng Speelwijk bernasib sama seperti kebanyakan benteng–bentengpeninggalan Belanda di Indonesia.



145



16 BENTENG VAN DEN BOSCH NGAWI, JAWA TIMUR



“ Benteng strategis di pertemuan dua aliran sungai, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun”



146



Sejarah



Benteng Van Den Bosch terletak di Kelurahan Pelem, Kecamatan Ngawi, Kabuapten Ngawi, Jawa Timur. Lokasi benteng ini mudah dicapai, karena terletak di Kota Ngawi. Dekat dengan Pasar Ngawi dan Alun-Alun Ngawi, atau ± 2 Km dari Kantor Pemerintahan Kabupaten Ngawi. Benteng ini dinamakan Fort Van Den Bosch karena benteng ini dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Den Bosch pada tahun 1839. Letak benteng Van Den Bosch sangat strategis karena berada di sudut pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun, lokasi benteng sengaja dibuat rendah dari tanah sekitar yang dikelilingi oleh tanah tinggi (tanggul) sehingga terlihat dari luar tampak terpendam. Oleh karena itu, benteng ini oleh masyarakat sekitar dikenal juga dengan sebutan benteng pendem. Dipilihnya lokasi itu sebagai pembangunan benteng mengingat Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun kala itu merupakan jalur lalu lintas sungai yang dapat dilayari oleh perahu-perahu yang cukup besar sampai jauh ke bagian hulu. Perahu-perahu tersebut memuat berbagai macam hasil bumi yang berupa rempah-rempah dan palawija dari Surakarta-Ngawi menuju Bandar Gresik, demikian juga Madiun-Ngawi dengan tujuan yang sama. Pada abad 19, Kota Ngawi menjadi salah satu pusat perdagangan dan pelayaran di Jawa Timur dan dijadikan pusat pertahanan para pejuang di Kabupaten Madiun, Ngawi, dan sekitarnya Perlawanan melawan Belanda yang berkorbar di daerah, dipimpin oleh kepala daerah setempat. Di Kabupaten Madiun, dipimpin oleh Bupati Kerto Dirjo, dan di daerah Ngawi dipimpin oleh Adipati Judodiningrat dan Raden Tumenggung Surodirjo, serta salah satu pengikut Pangeran Diponegoro bernama Wirontani pada tahun 1825, Kota Ngawi berhasil direbut dan dan diduduki.



147



Bagian dalam benteng (atas ) dan Pintu Masuk Benteng. Meskipun tergolong benteng yang nasih utuh, namun benteng ini belum benar-benar dilestarikan terbukti dari belum adanya proses pemugaran terhadap benteng ini hingga sekarang.. Sumber : kekunaan.blogspot.com



Untuk mempertahankan kedudukan dari fungsi strategis Kota Ngawi serta menguasai jalur perdagangan, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membangun sebuah benteng pada tahun 1839, dan selesai pembangunannya pada tahun 1845, yaitu Benteng Van Den Bosch yang 148



dihuni oleh tentara Belanda sebanyak 250 orang bersenjatakan bedil, 6 meriam api, dan 60 orang kavaleri yang dipimpin oleh Van Den Bosch.



Di dalam benteng ini sendiri terdapat makam K.H Muhammad Nursalim, yaitu salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Benteng ini. Konon K.H Muhammad Nursalim ini adalah orang yang menyebarkan agama Islam di Kota Ngawi, karena kesaktiannya beliau tidak mempan ditembak sehingga akhirnya oleh tentara belanda dikubur hidup-hidup didalam benteng tersebut. Arsitektur Benteng Benteng van Den Bosch secara penampakan, dibagi menjadi tiga bagian bangunan utama. Bagian paling depan, tengah, dan belakang dan secara umum memiliki gaya Castle Eropa berpadu corak Indische. Pada bagian depan Benteng, tepat menghadap arah Barat dan memiliki posisi lebih rendah dari tanah sekitarnya. Pada bagian ini (bagian gerbang pintu masuk) tertulis tahun pembuatan benteng yang tertulis angka 1939-1945. Ada hal menarik apabila pengunjung mengamati beberapa sisi luar dari bentang. Dari sisi ini pengunjung akan mendapati adanya gundukan tanah yang notabene dibuat lebih tinggi dari bangunan benteng serta parit sepanjang 15 meter dan dalamnya 2 meter. Menurut sebagian sumber, tujuan dibuatnya gundukan tanah di sekeliling benteng yakni untuk menahan genangan banjir di masa lampau atau bisa jadi digunakan untuk mempersulit musuh memasuki kawasan benteng.



Musibah Banjir dimungkinkan sebab benteng Van den Bosch memang dibangun di sisi pinggiran tempat pertemuan dua aliran sungai besar, yakni Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, dan penduduk sekitar biasa menyebut area tersebut dengan nama Kali Tempuk. Di bagian gerbang masuk ini pula konon dikelilingi oleh parit selebar ± 5 meter



149



yang dahulunya dipelihara buaya buas, sehingga sulit dan berbahaya bagi tawanan dan pekerja rodi yang mencoba melarikan diri maupun pasukan pejuang yang akan menyerang.



Pada pintu gerbang utama, terdapat bekas pondasi jembatan angkat sebagai akses penghubung untuk menuju pintu gerbang depan pertama dan masih terdapat bekas gerigi katrol pengangkat jembatan. Berlanjut di sisi tengah Benteng van Den Bosch, area ini saya rasa merupakan bagian paling luas dan paling penting dari badan Benteng van Den Bosch. Di bagian ini kita akan temui satu gerbang yang dilengkapi dengan sistem kendali kelistrikan yang terlihat sangat jadul. Selain itu terdapat pula bekas kamar-kamar serdadu di masa lalu. Di bagian tengah pula kita dapat menemui bangunan bertingkat dua dengan banyak ruangan semacam kamar besar di beberapa sisi lantai dua terdapat pula semacam jembatan yang menghubungkan tiap bagian ruangan. Namun sayang beberapa bagian dari jembatan kayu sudah rapuh dan sangat berbahaya jika dimuati pengunjung.



150



Bagian Tengah Benteng dengan jembatan penghubung yang menghubungkan tiap gedung, namun kondisi jembatan yang sudah lapuk dan tak terawat sehingga berbahaya untuk dilewati. Sumber : kompasiana.com



Di sebelah selatan dari bangunan, terdapat dua buah sumur yang dahulunya digunakan oleh Belanda untuk membuang jenazah korban penangkapan (tahanan) dan para pekerja rodi sehingga menjadi sebuah kuburan massal. Tentara Hindia Belanda menangkap dan mengumpulkan Pekerja dari sekitar wilayah Ngawi, kemudian dipaksa untuk mengerjakan proyek pembangunan Benteng Van Den Bosch. Gerbang belakang dari benteng van den bosch adalah salah satu bagian yang bisa juga jika diklaim sebagai bagian paling penting dari Benteng van Den Bosch. Sebab bagian belakang Benteng van Den Bosch secara langsung berhadapan dengan dua sungai besar di Jawa, yakni Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Pertemuan dua sungai besar tersebut dipandang sangat strategis sebab di masa lalu fungsi sungai sebagai jalur lalu lintas perdagangan yang cukup penting.



151



Sumur di sisi sebelah selatan benteng yang pada jaman Belanda dijadikan sebagai tempat pembuangan jenazah para tahanan dan pekerja rodi. Sumber : kompasiana.com



Dengan dibangunnya benteng di sisi sungai besar maka dua sisi strategis tujuan pembangunan Benteng van Den Bosch akan didapat: yakni tujuan penahan laju pejuang, serta tujuan pengawasan terhadap laju lalu lintas perdagangan jalur air. Di masa pasca kemerdekaan ada semacam isu bahwa kawasan ini pernah dijadikan kawasan pembuangan pemberontak. Dan dari cerita yang pernah terdengar dari salah satu generasi tua. Dahulu pernah beberapa senjata yang terendam di sisi dalam sungai. Secara garis besar Pintu Gerbang Belakang atau yang berada di bagian paling timur dari benteng Van Den Bosch, menghadap langsung ke arah pertemuan dua sungai besar (Bengawan Solo dan Madiun) yang dahulunya merupakan desa Ngawi Purba sebagai cikal bakal Kabupaten Ngawi. Pada gerbang ini terdapat jeruji pintu besi dan jika sudah keluar dari komplek Benteng, maka terdapat gundukan tanah dan parit.



152



Tampak depan Benteng Van den Bosch pada saat masih aktif digunakan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sebagai basis pertahanan dan barak militer. Sumber : media-kitlv.nl



Foto Bagian dalam benteng Van den Bosch. Sekarang, hanya tersisa tembok dan bagian utama bangunan yang tak beratap. Kurangnya perhatian membuat benteng ini menjadi seperti tak terawat. Sumber : media-kitlv.nl



153



Kondisi Sekarang Bangunan benteng ini masih terlihat kokoh meski telah dimakan usia. Menempati lahan seluas ± 1 hektar, bangunan benteng ini terdiri dari pintu gerbang utama, ratusan kamar untuk para tentara, ruangan untuk seorang kolonel dan ruang komando yang depanya berupa halaman rumput, dan beberapa ruangan yang dulunya diyakini sebagai kandang kuda. Kendati usia benteng ini sudah ratusan tahun lebih, namun bangunan benteng ini belum pernah diperbaharui sama sekali. Letak benteng ini sendiri tidak persis di tepi jalan, melainkan sedikit masuk dan tidak ada penanda lokasi keberadaan benteng tersebut. Sebenarnya letak benteng ini berada di pertemuan Jalan Untung Suropati dan Jalan Diponegoro, atau di seberang Taman Makam Pahlawan Dr. Radjiman Wedyodingrat Ngawi, namun karena di situ ada pintu gerbang Kompleks Batalyon Artileri Medan 12/ KOSTRAD “Angicipi Yudha” maka para wisatawan yang ingin mengunjungi benteng ini akan sedikit bingung, Karena memang setelah tahun 1962, benteng ini pernah dijadikan sebagai markas Yon Armed yang berkedudukan di Rampal, Malang.



Peta Kota Ngawi pada zaman kolonial. Tampak letak Benteng Van den Bosch yang berada di pertemuan antara Kali Bengawan Solo dan Bengawan Madiun. Sumber : kompasiana 154



Dulunya, benteng ini merupakan kawasan yang terlarang karena sempat dijadikan sebagai gudang amunisi. Akan tetapi setelah Yon Armed dipindahkan ke Jalan Siliwangi lantaran kawasan benteng tersebut dipandang sudah tidak representatif lagi sebagai Kompleks Militer, kini kawasan benteng tersebut dibuka untuk umum.



155



17 BENTENG ORANJE TERNATE, KEP. MALUKU



“ Benteng pusat kedudukan resmi VOC pertama di Nusantara”



156



Sejarah Menurut sejarahnya, kehadiran benteng ini tidak terlepas dari hasil bumi yang ada di sana, yaitu rempah-rempah. Diawali dengan kedatangan seorang Laksamana VOC bernama Kornelis Matelief de Jonge pada tahun 1607 yang berdalih ingin membantu Sultan Ternate untuk mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Atas keberhasilannya tersebut, de Jonge mendapat izin dari Sultan Ternate untuk mendirikan sebuah benteng di tempat yang sama dengan Benteng Malayo, sebuah benteng peninggalan Portugis. Selain itu, Sultan Ternate juga memberi izin kepada VOC untuk melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Langkah pertama Laksamana Matelief de Jonge adalah mendirikan sebuah benteng di sekitar Kampung Melayu, dan meminta jogugu Hidayat agar mengerahkan ratusan orang Ternate dan Jailolo untuk bekerja setiap hari membantu membangun benteng tersebut. Benteng Oranje ini didirikan di atas bekas benteng tua yang dulunya dibangun oleh Portugis. Ketika pembangunannya selesai pada tahun 1609, benteng ini dihuni 150 serdadu dengan lima perwira dan merupakan garnisun Belanda pertama di Maluku. Kemudian benteng ini namanya diubah menjadi Benteng Oranje oleh penguasa Belanda kala itu, Francoise Wittert. Namun demikian nama Benteng Malayo masih tetap digunakan hingga beberapa tahun kemudian. Dulu dinamakan benteng Malayo karena lokasi berdiri benteng tersebut berada di kawasan sekitar pemukiman Melayu. Konon, orang Melayu telah berada di Ternate sejak abad ke-14 untuk berdagang. Pada tanggal 17 Februari 1613, ketika Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, Dewan Komisaris VOC di Belanda menetapkan kawasan Maluku sebagai pusat kedudukan resmi VOC dan Benteng Oranje ini menjadi pilihan tempat tinggal resmi para Gubernur Jenderal VOC. Pieter Both dan beberapa Gubernur Jenderal setelahnya pernah tinggal di benteng ini.



157



Selain Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC lainnya yang pernah tinggal di benteng ini antara lain Herald Reynst, Laurenz Reaal, dan Jan P. Coen. Di benteng ini pernah pula dijadikan sebagai markas besar VOC di Hindia Belanda hingga Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memindahkan markas besarnya ke Batavia pada tahun 1619. Benteng ini mampu menunjukkan kemampuan manfaaat daya pertahanannya terhadap serangan Spanyol, ketika Spanyol menyeberang secara diam-diam pada malam hari dari benteng Gammalamma (Kastela) melalui lorong yang sukar dengan 250 orang tiba di benteng Oranje waktu subuh, dapat dipukul mundur oleh Belanda dalam pertempuran seru satu lawan satu. Belanda dengan empat puluh orang prajuritnya yang dibantu oleh sekitar seratus orang Ternate mampu mempertahankan benteng. Perang di benteng Oranje tahun 1606 ternyata merupakan pertempuran serius antara Belanda dan Spanyol di daerah itu.



Arsitektur Benteng Oranje yang berbentuk trapesium ini berdiri di atas lahan seluas 12.680 m² dan mempunyai 4 buah bastion pada setiap sudutnya. Ketinggian tembok benteng ini sekitar 5 meter dengan kemiringan 4 derajat. Ketebalan tembok luar bangunan benteng ini sekitar 1 meter. Sedangkan, tembok bagian dalam benteng memiliki ketebalan 0,75 meter. Di atas tembok benteng ini terdapat rampart atau jalan keliling yang menghubungkan keempat bastion di tiap sudutnya. Rampart ini berada pada ketinggian sekitar 3,5 meter dari tanah dan mempunyai jarak sekitar 1,1 meter dari ketinggian dinding tembok. Pada kedua sudut bagian dalam dari bastion yang terletak di sisi Barat Laut dan Timur Laut terdapat ramp berukuran 15 x 3 meter menuju ke bagian atas bastion. Selain itu terdapat juga 2 buah tangga yang berbentuk setengah melingkar pada bagian dalam pintu gerbang



158



utama dan pada bastion di sisi Barat Daya. Sedangkan, di atas pintu gerbang utama terdapat lonceng besar yang ditopang oleh dua balok kayu besar. Semula lonceng buatan Perio Diaz Bocarro tahun 1603 ini didatangkan langsung dari Portugal, dan ditempatkan di benteng Gamlamo. Akan tetapi, ketika Portugis meninggalkan Ternate, lonceng tersebut sempat dipindahkan VOC dan digantung di pintu masuk benteng Oranje. Hingga 1950 lonceng ini masih terpasang di sana, dan sejak 1951 dipindahkan dan disimpan pada gereja Katolik (Gereja Batu) di Ternate. Didalam benteng oranje ini terdapat infastruktur yang bias dikatakan cukup lengkap dimana didalam benteng ini terdapat kantor,asrama perwira,ruma tahanan gereja, sekolah kecil,gudang rempah-rempah lapangan upacara,gudang senjata dan menara pengintai. Benteng ini memiliki beberapa manara pemantau dimana menara pemantau tersebut dilengkapi dengan beberapa meriam, dan juga bagian depan benteng oranje ini dilengkapi dengan meriam yang dulu sampai sekarang masi terdapat pada tempatnya . Tembok benteng yang berbahan baku batu bata, batu kali, batu karang dan pecahan kaca, ini menyisakan 13 buah meriam yang masih insitu di dalam benteng karena tidak ada bekas aktifitas penempatan baru. Meski dicurigai, beberapa di antaranya telah hilang dari tempat asalnya, ini dikarenakan pada sudut barat laut sama sekali tidak ditemukan meriam. Dilihat dari bentuk bangunan pada sudut tersebut serupa dengan sudut-sudut lainnya sebagai pos penjagaan dan pengintaian. Hilangnya meriam juga diketahui dari bekas pondasi meriam di lantai II tepat di atas pintu gerbang. Ruang-ruang pada lantai I yang terdapat di sepanjang tembok berada dalam kondisi memprihatinkan. Pada sudut barat laut bahkan telah tertimbun tanah sekitar, sehingga sulit untuk diidentifikasi.



159



Gerbang Benteng Oranje, Ternate saat masa penjajahan. Sumber : bentengmalut.blogspot.com



Meriam-meriam pertahanan benteng yang masih terpasang pada sudut-sudut benteng. Total ada 13 meriam yang melindungi benteng ini dari serangan musuh. Sumber : tropenmuseum.nl



160



Ilustrasi yang menggambarkan Benteng Oranje pada masa lampau. Seperti kebanyakan benteng di Indonesia bagian Timur, Benteng ini terletak di bibir pantai yang berfungsi untuk mengawasi perdagangan rempah-rempah di Ternate.



Pada ruang sepanjang 15,80 m di pintu gerbang dan pada dinding sisi luarnya terdapat tumpukan batako, yang tidak ada konteksnya dengan benteng. Begitu pula kondisi bangunan penjagaan di belakang pintu gerbang, yang tersisa hanyalah puing. Benteng ini sebenarnya amat sangat terkenal di masa lalu. Menjadi Pusat Pemerintahan VOC di Nederlansch Indie, sebelum dipindahkan oleh Jan Pieterszon Coen ke Batavia di abad-17. Kekuatan benteng Oranje telah teruji dalam menahan serbuan Portugis/Spanyol di awal masa kolonialisme. Mampu menjadi pusat kontrol kegiatan perdagangan rempah-rempah VOC dan menjadi barometer kemakmuran penjajahan di masa lalu. VOC membangunnya dengan sangat hebat. Memenuhi standar kekuatan, mutu dan berorientasi jangka panjang, terbukti sudah lebih dari 400 tahun benteng ini berdiri dan belum ada tanda-tanda keretakan dinding meski wilayah Ternate termasuk wilayah yang rawan gempa.



Kondisi Sekarang 161



Revitalisasi benteng telah dilakukan oleh pemerintah kota Ternate demi menyelamatkan warisan sejarah ini. Hal yang sama juga dilakukan terhadap benteng-benteng lain di Ternate seperti Benteng Tolukka, Kalamata,dll. Sekilas, Tampak depan Benteng Oranje yang telah direnovasi menyerupai tampilan Benteng Fort Rotterdam di Makassar. Anggaran penataan dan revitalisasi benteng, semuanya bersumber dari APBN melalui Kementerian



Pekerjaan



Umum



serta



Kementerian



Pendidikan



dan



Kebudayaan.



Sebelumnya juga, Pemkot Ternate telah merelokasi warga yakni dari anggota TNI/Polri yang selama ini berdiam di dalam Benteng Oranje.



Potret Fort Oranje setelah direvitalisasi oleh Pemerintah setempat. Revitalisasi ini juga diikuti dengan relokasi warga yang dulunya tinggal didalam benteng, sehingga status benteng sekarang benar-benar menjadi cagar budaya sekaligus objek wisata sejarah di kota Ternate. Sumber : kompas



162



18 BENTENG AMSTERDAM MALUKU TENGAH, KEP. MALUKU



“ Loji rempah-rempah yang beralih fungsi menjadi Benteng Pertahanan”



163



Sejarah



Benteng Amsterdam adalah benteng peninggalan Belanda yang letaknya di perbatasan antara Negeri Hila dan Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sekitar 42 km dari kota Ambon. Letak benteng ini tepat di samping pantai Negeri Hila dan Negeri Kaitetu. Benteng Amsterdam adalah bangunan kedua yang didirikan oleh Belanda setelah Casteel Vanveere di Negeri Seith hancur. Benteng Amsterdam merupakan salah satu bangunan tua yang berusia ratusan tahun dan merupakan bagian dari sejarah penguasaan VOC di Ambon, Maluku.



Sebelum



menjadi



benteng,



tempat



menyimpan rempah-rempah (pala dan cengkih).



ini



adalah loji milik Portugis untuk



Benteng ini sangat berarti bagi Portugis



karena pada masa itu, Teluk Ambon merupakan jalur keluar-masuk kapal-kapal dagang di Maluku. Daerah ini dijadikan Portugis sebagai pusat perdagangan rempah-rempah dan basis pertahanan dalam menghadapi serangan kapal asing. Pada tahun 1512 bangunan utama dari benteng Amsterdam pertama kali dibangun oleh Portugis yang dipimpinFransisco Serrao. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Maluku merasa dirugikan oleh keserakahan Portugis dalam memperoleh keuntungan atas rempah-rempah diNusantara. Akhirnya hingga akhir abad ke-16 rakyat Maluku melakukan perlawanan terhadap Portugis.



Situasi ini



dimanfaatkan oleh Belanda untuk memenangkan hati masyarakat Maluku dan menjejakkan riwayatnya di tanah Maluku. Setelah Belanda datang dan menguasai Pulau Ambon pada tahun 1605, mereka mengalahkan Portugis dan mengambil alih loji Portugis tersebut. Mereka mengubahnya menjadi kubu pertahanan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jaan Ottens pada tahun 1637. Hal ini juga didukung dengan terbentuknya Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perubahan fungsi loji dilakukan karena saat itu sedang terjadi



164



pertempuran antara Belanda denganKerajaan Tanah Hitu atau Kerajaan Hitu. Pertempuran tersebut terjadi pada tahun 1633-1654 dan dari Kerajaan Hitu dipimpin oleh Kapitan Kakialy



Tampak depan Benteng Amsterdam, Ambon. Atap benteng yang berwarna merah bukanlah atap aslinya, melainkan hasil pemugaran. Sumber : geolocation.ws



Jenderal Jaan Ottens menghancurkan loji milik Portugis dan membangun rumah batu yang berbentuk sebuah benteng pada tahun 1637. Pembangunan benteng ditambah dengan pagar yang mengelilingi. Perubahan fungsi ini tak lain karena pada saat itu Belanda sedang berperang dengan Kerajaan Hitu yang dipimpin oleh Kapitan Kakialy pada rentang 16331654.



Pada



tahun 1642 benteng



diperbesar



oleh Gerrard



Demmer dan



kemudian



pembangunannya dilanjutkan pada tahun 1649 oleh Gubernur Jenderal Anthony Caan. Pembangunan benteng diselesaikan pada tahun 1649-1656 oleh Arnold De Vlaming Van Ouds Hoorn (tokoh antagonis menurut orang Ambon danLease) dan menamakannya Benteng Amsterdam.



165



Arsitektur Konstruksi Benteng Amsterdam seperti sebuah rumah, sehingga oleh bangsa Belanda menyebutnya Blok Huis. Bangunan benteng terdiri dari tiga lantai dan menara pengintai di puncak atap. Lantai satu berbata merah dan lantai dua dan lantai tiga berkayu. Di lantai bawah ada penjara dan mesiu. Di setiap sisi bangunan terdapat jendela. Di depan benteng



Bangunan utama benteng yang dulunya oleh Portugis difungsikan sebagai Loji perdagangan sebelum diubah menjadi menara pertahanan oleh VOC yang merebutnya (atas). Bagian luar benteng yang menghadap ke laut yang berfungsi sebagai pertahanan benteng dari serangan yang berasal dari laut(kanan). Sumber : wikipedia



166



terdapat prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



Prasasti itu



bertuliskan: BENTENG AMSTERDAM. Mulai Dibangun Oleh: Gerrard Demmer pada tahun 1642. Benteng Amsterdam termasuk benteng yang terpelihara di Maluku yang memiliki museum kecil sebagai tempat penyimpanan barang-barang peninggalan masa lalu. Lantai satu, dua dan tiga digunakan sebagai tempat tinggal tentara Belanda. Lantai satu digunakan sebagai tempat tidur para serdadu, lantai dua untuk tempat pertemuan para perwira dan lantai tiga digunakan untuk pos pemantau. Atap benteng ini berwarna merah dan tidak asli lagi. Benteng Amsterdam berada di samping lautan yang menghadap ke pulau Seram. Benteng ini ditinggalkan oleh Belanda dalam keadaan rusak dan telah ditumbuhi sebatang



pohon Beringin besar



bulan Juli tahun 1991 hingga



pada



awal



tahun 1900.



bulan Maret tahun 1994, Departemen



Dari Pendidikan



awal dan



Kebudayaan Republik Indonesia (Kantor Wilayah Provinsi Maluku) melakukan pemugaran atas Benteng Amsterdam. Di benteng Amsterdam terdapat perlengkapan perang dan barang pecah belah yang berusia ratusan tahun Benteng Amsterdam adalah saksi bisu perjalanan seorang naturalis asal Jerman yang bernama Georg Everhard Rumphius. Rumphius pernah tinggal di benteng ini pada tahun1627-1702. Ia mempelajari dan meneliti tentang flora dan fauna di Pulau Ambon. Rumphius juga mengisahkan tentang gempa dan tsunami yang terjadi di Pulau Ambon dan sekitarnya pada tahun 1674. Walaupun pernah tertimpa gempa dan tsunami, Benteng Amsterdam masih tetap berdiri hingga sekarang Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli sejarah dari Jerman (1627 – 1702). Selain menulis tentang flora dan fauna Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam bukunya yang berjudul ‘ Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’. Gempa dan tsunami itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram. Buku-buku karya G.E. Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan 167



Rumphius yang dikelola oleh Andreas Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon.



168



19 BENTENG PORTUGIS JEPARA, JAWA TENGAH



“ Satu-satunya Benteng sisa Peninggalan Portugis di Jawa”



169



Benteng Portugis terdapat di Desa Banyumanis Kecamatan Donorojo atau 45 km di sebelah timur laut Kota Jepara. Dilihat dari sisi geografis benteng ini nampak sangat strategis untuk kepentingan militer khususnya zaman dahulu yang kemampuan tembakan meriamnya terbatas 2 s/d 3 km saja. Benteng ini dibangun di ats sebuah bukit batu di pinggir laut dan persis di depannya terhampar Pulau mondoliko, sehingga praktis selat yang ada di depan benteng ini berada di bawah kendali Meriam Benteng sehingga akan berpengaruh pada pelayaran kapal dari Jepara ke Indonesia bagian timur atau sebaliknya.



Sejarah Pada tahun 1619, kota Jayakarta / Sunda Kelapa dimasuki VOC Belanda, dan saat ini Sunda Kelapa yang diubah namanya menjadi Batavia dianggap sebagai awal tumbuhnya penjajahan oleh Imperialis Belanda di Indonesia. Sultan Agung Raja Mataram sudah merasakan adanya bahaya yang mengancam dari situasi jatuh nya kota Jayakarta ke tangan Belanda. Untuk itu Sultan Agung mempersiapkan angkatan perangnya guna mengusir penjajah Belanda. Tekad Raja Mataram ini dilaksanakan berturut-turut pada tahun 1628 dan tahun 1629 yang berakhir dengan kekalahan di pihak Mataram. Kejadian ini membuatSultan Agung berpikir bahwa VOC Belanda hanya bisa dikalahkan lewat serangan darat dan laut secara bersamaan, padahal Mataram tidak memiliki armada laut yang kuat, sehingga perlu adanya bantuan dari pihak ketiga yang juga berseteru dengan VOC yaitu Bangsa Portugis.



170



Pintu Gerbang Benteng Portugis, Jepara. Pintu gerbang ini sebenarnya hanya pintu masuk menuju area benteng. Reruntuhan bangunan benteng yang sebenarnya tersebar di bukit-bukit sekitar.. Sumber : Wikipedia



Pada waktu Jepang menampakkan kakinya di bumi Nusantara, benteng ini kembali digunakan. Jepang memanfaatkannya sebagai tempat pengintai laut. Dengan tenaga-tenaga kerja paksa yang diambil dari desa-desa sekitar, semak belukar itu dibersihkannya, jalan menuju puncak bukit diperlebar. Di kaki bukit menghadap ke laut dibangun tembok-tembok pengintai yang dilengkapi meriam-meriam kecil. Menara yang sudah hancur dibangun kembali dan dibuat lebih tinggi. Bekas bangunan rumah yang berada di tengah benteng juga dibangun lagi sebagai tempat tinggal pengintai. Menurut penuturan bekas para pekerja paksa Jepang (Romusha), di bawah menara dibuatkan lorong bawah tanah yang tembus ke pantai di kaki bukit. Lorong ini dimaksudkan untuk mempercepat petugas yang kerja di benteng hendak turun ke pantai. Demikianlah Benteng Portugis dimanfaatkan oleh Jepang sampai akhirnya mereka kalah dalam Perang Dunia II dan harus angkat kaki dari bumi Nusantara ini.



171



Arsitektur



Benteng Portugis dibangun diatas sebuah bukit yang menjorok ke arah laut (tanjung) yang diapit oleh dua teluk disebelah barat dan timur. Tebing bukit sisi barat, dan utara merupakan tebing yang terjal dengan beberapa singkapan batuan padas. Sedangkan sisi timur agak landai dan jalan masuk ke benteng melalui tebing bukit sisi selatan yang secara morfologinya tidak terlalu terjal. Secara geologi bukit tersebut merupakan bukit padas dengan lapisan tanah permukaan yang tipis berkisar 20 hingga 30 cm yang merupakan hasil pelapukan batuan padas tersebut.



Benteng Portugis dibangun pada bagian puncak bukit sisi utara. Benteng ini sekarang hanya tinggal pagarnya yang terbuat dari batu padas yang disemen (semen ini masih perlu diteliti campurannya, apakah semen sekarang atau semen dahulu). Benteng tersebut memiliki 3 buah pintu yang terdiri dari satu pintu utama di sisi selatan benteng, satu pintu di sisi barat dan satu pintu di sisi utara. Pada benteng sisi utara terdapat 3 buah lubang berbentuk huruf u yang dimungkinkan merupakan tempat meletakkan meriam dengan arah hadap ke laut. Di tengah-tengah benteng terdapat struktur berbentuk persegi empat yang terbuat dari tumpukan fragmen batu padas. Diatas struktur ini pada waktu kini telah dibangun jalan setapak dari paving blok. Di dalam benteng pojok barat laut telah dibangun sebuah gardu pandang yang berbentuk segi delapan. Di belakang lobang berbentuk U pada dinding benteng sekarang dibangun diorama meriam kecil menghadap ke arah laut.



Kondisi Sekaarang Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata Jepara, panjang benteng sisi timur 33,50 meter, sisi barat 37 meter. Lebar sisi selatan 28,50 meter, sisi utara 20,30 meter.Tinggi sisi timur dan barat masing-masing 0,70 meter, tinggi sisi selatan 2,10 meter dan tinggi sisi utara 0,70 172



meter. Benteng ini sekarang hanya berupa reruntuhan tembok berbentuk persegi empat yang terletak di atas bukit tepat di seberang selatan Pulau Mandalika. Di dalam tembok hanya berupa lahan kosong yang ditumbuhi beberapa pohon yang sengaja dibiarkan untuk tempat berteduh pengunjung. Di area dalam sebelah utara terdapat satu bangunan yang juga digunakan sebagai temat berteduh pengunjung. Selain itu terdapat beberapa replika meriam yang ditempatkan di sisi utara dan timur benteng yang langsung berbatasan dengan laut lepas.



173



Di Bagian dalam kawasan benteng, terdapat puing bangunan benteng dan meriam tua yang masih asli. Namun, secara keseluruhan hanya sedikit sisa reruntuhan dari benteng portugis ini. Sumber : Kompas



174



20 BENTENG FORT WILLEM I AMBARAWA, JAWA TENGAH



“ Barak KNIL yang berubah menjadi Rumah Tahanan”



175



Sejarah Benteng Fort Willem I terletak di Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Ambarawa merupakan salah satu kota kecamatan yang ada di Kabupaten Semarang. Selain dikenal dengan kemacetannya, kota ini juga dikenal karena memiliki sejarah yang cukup signifikan di Jawa Tengah. Pada tahun 1840an ketika VOC berkuasa di Jawa Tengah, Ambarawa merupakan titik sumbu strategis antara Semarang dan Surakarta. Pada awal abad 18, VOC membangun benteng benteng di sepanjang jalur Semarang – Oengaran (sekarang Ungaran) – Salatiga – Surakarta (Solo). Rancangan ini dimaksudkan untuk pengembangan hubungan dengan Kerajaan Mataram. Kamp kamp militer juga dibangun di kota kota yang dilalui, tak terkecuali Ambarawa.



Pada masa kekuasaan Kolonel Hoorn, tahun 1827-1830, sempat ada barak militer dan penyimpanan logistik militer, dan pada tahun 1834 dibangunlah sebuah benteng modern di Ambarawa yang kemudian diberi nama Benteng Willem I yang pembangunannya berakhir pada tahun 1845. Pembangunan benteng ini hanya berselang 4 tahun setelah Perang Jawa (1825-1830) berakhir.



Benteng Willem I adalah benteng terbesar di Jawa. Ia merupakan kompleks militer yang dapat memuat 12.000 tentara lengkap dengan tangsi, gudang senjata, perbengkelan, lapangan tembak, lapangan latihan dan rumah sakit. AM Djuliati Suroyo dalam Eksploitasi Kolonial Abad XIX: Kerja Wajib di Karesidenan Kedu 1800-1890 menulis “Selama 18 tahun benteng ini telah menelan biaya f.4.436.698,13, atau rata-rata f.246.483,- setiap tahun, suatu jumlah yang melebihi bangunan apapun pada masa itu,”. Jadi bisa dibayangkan kemegahan benteng ini pada masa itu. Untuk membangunnya, diterapkanlah kerja wajib. Tak jarang pemimpin setempat protes. Bupati Temanggung Sumodilogo, misalnya, terang-terangan



176



keberatan atas pembangunan benteng ini. Alasannya, selain pekerjaan yang berat, para pekerja yang dikirim ke sana tidak pernah kembali. Dalam 1 hari, diperkirakan sekitar 1.200 pekerja yang bekerja membangun benteng ini. Para pekerja tersebut tak hanya berasal dari daerah Ambarawa saja, melainkan dari berbagai daerah yang jauh. Susasana ini tak berbeda jauh dengan proses pembuatan jalan Anyer-Panarukan pada jaman Daendels.



Pada umumnya benteng dibangun dengan prinsip defensif dan kuat yang dimaksudkan untuk pertahanan dari serangan musuh. Sering dijumpai pula dibangun parit mengelilingi benteng untuk memaksimalkan pertahanan.



Namun Benteng Willem I ini



ternyata memiliki desain yang berbeda. Dengan banyak jendela, benteng ini tentunya bukan di desain untuk pertahanan terhadap serangan musuh, terlebih lagi pada saat benteng ini dibangun frekuensi perlawanan dari rakyat Jawa Tengah tidak seheroik di daerah lain seperti Aceh atau Makassar yang membuat Belanda harus membangun sebuah benteng untuk Pertahanan diri. Menurut beberapa sumber, fungsi utama benteng ini adalah untuk barak militer dan penyimpanan logistik militer. Di benteng ini juga tidak dilengkapi bangunan sebagai tameng. Dan tidak ada bekas bekas lobang di puncak puncak dinding seperti halnya pada benteng benteng peninggalan Portugis yang dirancang untuk memasang meriam. Dari tahun 1853 sampai tahun 1927 Benteng ini digunakan sebagai barak militer KNIL. Hal ini cukup beralasan, mengingat Ambarawa adalah sebuah tempat penting saat itu, letaknya yang berada di persimpangan 3 kota besar di Jawa tengah – Semarang-SurakartaYogyakarta – membuat Belanda perlu untuk mendirikan barak militer disini untuk mengantisipasi pengerahan pasukan atau support logistik yang memadai andai terjadi sebuah perang di beberapa kota penting tersebut.



177



Foto Fort Willem I yang diambil sekitar tahun 1927. Tampak kondisi bangunan berkamar-kamar yang memang difungsikan sebagai barak militer (atas) dan Bangunan utama yang merupakan kediaman komandan benteng (bawah) Sumber : wikipedia



178



Foto tampak atas Benteng Willem I dari ketinggian. Berbeda dengan kebanyakan benteng Belanda di Nusantara, Fort Willem lebih banyak difungsikan sebagai barak militer dan gudang logistik. Benteng ini juga dikenal sebagai basis tentara KNIL semasa jaman penjajahan Belanda. Sumber : wikipedia



Beberapa catatan mengenai sejarah benteng ini adalah sebagai berikut : Pada tahun1865 Terjadi gempa bumi besar yang mengakibatkan beberapa bagian bangunan benteng hancur. Lalu pada tahun 1927 Benteng Willem I disesuaikan dari penjara tawanan anak anak menjadi penjara tahanan politik dan tahanan dewasa. Tahun 1942 – 1945 Ketika Dikuasai Jepang, benteng ini dipergunakan sebagai kamp militer. Tahun 1945, setelah kemerdekaan benteng ini difungsikan sebgai Markas besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Benteng ini juga pernah digunakan untuk menahan para interniran Belanda ketika zaman kemerdekaan 14 Oktober – 10 Desember 1945. Jumlah tahanan Belanda kal itu mencapai



179



3.500 orang. Pasca meletusnya pemberontakan PKI di tahun 1965 yang menyeret banyak simpatisannya kedalam penjara , Benteng Willem I juga ikut menjadi penjara bagi tapol PKI. Kondisi Sekarang Kondisi Benteng Willem I sekarang terlihat tidak begitu terawat. Bangunan luar ruangan dan dinding benteng yang dipenuhi lumut dan tanaman liar. Jika terus mengelilingi benteng, terdapat benteng lainnya yang letaknya di tengah sawah, terpisah dari bagian benteng utama. Namun, kini benteng tersebut sengaja diberi pagar kayu yang membuat tidak bisa masuk ke dalamnya. Ada dua cara sebenarnya untuk bisa masuk ke dalam area Benteng Willem I. Cara pertama adalah masuk melewati pintu gerbang Batalyon Kavaleri 2/ Tank Ambarawa. Sedangkan cara kedua adalah masuk melalui area belakang benteng, dengan melewati gapura Desa. Letak gapura Desa Beteng tidak sulit untuk ditemukan. Gapura ini letaknya dekat dengan RSU Ambarawa.



Salah satu Bangunan benteng yang dulu merupakan barak militer dan kini sebagian difungsikan sebagai rumah oleh penduduk sekitar dan pegawai lapas kelas I ambarawa Sumber : jejak-bocahilang.com



180



Benteng dengan luas lokasi sekitar 8hektar ini di bagi menjadi beberapa blok. Sisi selatan di gunakan sebagai Lapas Kelas II A dan sisi utara sebagai barak militer atau perumahan pegawai lapas.



Dari beberapa bangunan asli benteng ini, hanya tiga buah gedung yang masih terjaga keasliannya, bangunan pertama berfungsi sebagai ruang “Pengayoman Kementerian Hukum dan HAM RI” dengan plakat bertuliskan “1838-1844″ di atas bangunan, lalu bangunan kedua merupakan ruang pertemuan dan kantor Kalapas ( kepala lapas ), dan bangunan paling ujung berfungsi sebagai ruang penerimaan tamu dengan tulisan ” 1838-1845″ di atasnya. Dua bangunan lainnya hanya tersisa puing-puing saja tanpa kejelasan apa fungsi bangunan tersebut dahulunya.



Sebagian dari bangunan memang difungsikan sebagai lapas kelas 2A Ambarawa, namun status lapas hanya sewa. Pemilik dan pengelola asli Benteng ini sekarang adalah Kodam IV/Diponegoro. Minimnya dana operasional yang dialokasikan untuk merawat benteng sebesar ini menjadi salah satu faktor penghambat untuk mengembangkan dan melestarikan Benteng Belanda terbesar di Indonesia ini.



181



Kondisi Benteng yang kini juga difungsikan sebagai hunian warga dan lapas. Hal ini juga bertujuan untuk melestarikan fungsi benteng yang memang terlampau luas dan memakan biaya yang tidak sedikit dalam perawatannya. Sumber : jejak-bocahilang.com



182



20 BENTENG OTANAHA Gorontalo



“ Benteng indah di tepi Danau Limboto dengan perlindungan berlapis”



Sejarah 183



Kompleks Benteng Otanaha yang terletak di atas bukit desa Dempe, Gorontalo merupakan peninggalan bersejarah yang dibangun oleh Portugis pada abad ke 15. Bangunan yang keseluruhannya terdiri dari tiga buah benteng (Benteng Otanaha, Benteng Otahiya, dan Benteng Ulupahu) ini dibangun sebagai wujud kerjasama antara Portugis dengan Raja Ilato yang tengah berkuasa pada tahun 1505 – 1585.



Benteng Ulupahu yang menjadi landmark dari komplek Benteng Otanaha di Gorontalo yang dibangun oleh Raja Ilato pada abad ke-15 dengan bantuan dari Portugis. Nantinya benteng ini juga dijadikan sebagai basis untuk berperang melawan Portugis yang ingin menguasai wilayah Gorontalo. Sumber : Google



Dikisahkan, suatu saat kapal orang Portugis singgah di Gorontalo. Perwakilan orang Portugis itu kemudian menemui Raja Ilato dan mewarkan kerjasama untuk memperkuat sistem pertahanan dan keamamanan kerajaan. Sebagai tanda kesepakan, Portugis bersedia membangun tiga benteng yang terletak di atas bukit. Benteng ini dibuat dari bahan-bahan berupa pasir, batu kapur dan telur burung maleo sebagai semen atau bahan perekatnya.



184



Benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu dibangun sekitar tahun1522 atas prakarsa Raja Ilato dan para nakhoda Portugal.Benteng Otanaha terletak di atas sebuah bukit, dan memiliki 4 buah tempat persinggahan dan 348 buah anak tangga ke puncak sampai ke lokasi benteng. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan I terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan II terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan III terdapat 53 anak tangga, dan ke persinggahan IV memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348. Pada tahun 1525, Raja Ilato dan permaisurinya yang bernama Tilangohula memiliki dua orang putri dan seorang putra, yaitu Ndoba, Tiliaya dan Naha. Ketika berusia remaja, Naha pergi merantau ke negeri seberang, sedangkan kedua saudara perempuannya tinggal di wilayah Kerajaan Gorontalo. Tahun 1585, Naha kembali ke negerinya dan memperistri Ohihiya. Hasil perkawinan mereka melahirkan Paha (Pahu) dan Limonu. Suatu ketika, terjadi pergolakan yang berlanjut dengan peperangan melawan kaum dipimpin oleh



transmigran yang



Hemuto. Saat itu juga terkuaklah akal bulus Portugis. Rupanya, upaya



pendekatan Portugis dengan Raja Ilato pada masa lampau hanyalah strategi untuk menyerang Gorontalo. Pada saat terjadi serangan dari Hemuto, Portugis sama sekali tidak membantu Gorontalo, namun justru memihak Hemuto untuk menyerang Gorontalo. Naha dan Paha gugur dalam perang tersebut, Sehingga hanya menyisakan Limonu sendirian meneruskan peperangan. Limonu yang tidak terima dengan kematian ayah dan kakaknya bertekad menuntut balas. Dalam peperangan tersebut ia menggunakan ketiga benteng yang dibangun oleh Raja Ilato dulu sebagai benteng pertahanan. Setelah beberapa kali mengepung benteng Otanaha, Hemuto dan pasukannya harus berjibaku menghadapi pasukan Limonu yang mempertahankan benteng dengan gigih. Setelah banyak pasukannya yang tewas dalam



185



pengepungan yang tiada hasil tersebut akhirnya Hemuto dan pasukannya memilih untuk mundur dan melarikan diri karena terus dihujani batu dari atas benteng oleh pasukan Limonu. Untuk mengenang perjuangan ayah dan kakanya, ketiga benteng ini kemudian oleh Limonu dinamai Naha, Pahu, dan Hiya. Sementara itu penambahan kata Ota merupakan bahasa daerah setempat yang berarti Benteng.



Arsitektur Kompleks Benteng Otanaha yang sekarang merupakan kompleks yang terdiri dari 3 benteng, yaitu Benteng Otanaha, Benteng Otahiya dan Benteng Ulupahu. Induk benteng, yaitu benteng Otanaha, dibuat berbentuk angka delapan, letaknya memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Kedua bulatan itu berbentuk lonjong atau bulat panjang. Garis tengah ruangan dalam menurut panjang, pada bulatan besar 17 meter dan pada bulatan kecil 4,9 meter. Bagian dalam dibuatkan teras dengan jarak dari dinding benteng 1,1 meter, tinggi 10 cm dari langit. Pintu masuk pada benteng ini terdapat pada bagian bulatan kecil, menghadap ke Barat Laut. Lebarnya 1,5 meter dan tingginya 1,8 meter. Jarak antara mulut pintu sebelah luar dan dalam 2,1 meter. Pada benteng induk ini terdapat 7 buah jendela, dengan ukuran tidak sama pada masing-masing jendela. Jendela yang terdapat pada bulatan kecil, mempunyai lebar 0,35 meter dan tingginya 1 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, kecuali pada jendela tebal dinding hanya 1 meter. Tinggi dinding dari lantai sebelah ruangan 1,8 meter, sedangkan bagian luarnya 4,75 meter. Bangunan benteng yang kedua, yang saat ini disebut benteng Otahiya didirikan setelah benteng induk selesai. Sebagaimana pada benteng induk, benteng ini juga mempunyai pintu yang berfungsi sebagai pintu masuk. Bentuk benteng bulat panjang atau lonjong, letaknya membujur dari Barat Laut ke Tenggara. Garis tengah ruangan dalam, mempunyai 186



Benteng Otanaha yang merupakan benteng induk dari kompleks Benteng Otanaha, Dari Benteng Otanaha ini kita dapat menyaksikan keindahan panorama Danau Limboto yang meskipun mengalami pendangkalan, perbukitan hijau kehitaman disapu terik matahari yang sebagian tertahan awan seperti lukisan natural yang mengagumkan, sawah-sawah terbentang luas dan hijau, serta lanskap Kota Gorontalo. . Sumber : way2east.com



Benteng Otahiya yang dibangun setelah Benteng Otanaha selesai dibangun. Letaknya berada di atas Benteng Otanaha. Sumber : way2east.com



187



panjang 15 meter dan lebar 13 meter. Pintu gerbang atau pintu masuk dibuat menghadap ke Barat Laut. Pintu ini berbentuk terowongan yang panjangnya 6,15 meter, dengan lebar 1,7 meter, dan tinggi ruangan 2,25 meter. Tebal beton yang menutupi dinding pintu gerbang sebelah atas 0,8 meter, dan tebal dinding samping 0,65 meter. Benteng Otahiya mempunyai tujuh buah jendela dengan lebar 0,55 meter dan tingginya 0.9 meter. Tebal dinding pada jendela ini 0,6 meter. Sebagaimana benteng induk, ukuran jendela-jendela ini tidak sama. Salah satu dari jendela-jendela yang lain, yaitu yang menghadap ke tenggara. Di bagian dinding sebelah dalam terdapat beton bertingkat dan yang difungsikan sebagai bangku. Pada tingkat pertama bangku itu tebal 0,7 meter, dan pada tingkat dua tebal dan lebar 0,5 meter. Di bawah bangku yang bertingkat dua itu terdapat saluran air yang dimanfaatkan sebagai alat pembuangan kotoran. Benteng yang ketiga disebut Benteng Ulupahu. Benteng ini lonjong atau bulat panjang, dengan ukuran panjang 16,5 meter dan lebar 14 meter. Sebelah dalam sekeliling dinding terdapat semacam trotoar dengan lebar 1,65 meter dan tinggi 0,5 meter dari lantai. Pintu masuknya menghadap ke Barat Laut, dengan lebar 1,3 meter dan tinggi 1,9 meter. Pada benteng ini terdapat Sembilan buah jendela, dengan lebar 0,5 meter dan tinggi 0,9 meter. Tebal dinding rata-rata 1,6 meter, tinggi dinding dari atas lantai 1,65 meter sedangkan tingginya sebelah luar 4,5 meter.



188



Kondisi Sekarang Sebagai cagar budaya yang patut dijaga kelestariannya, kompleks Benteng Otanaha ini sudah dipugar pada tahun 1978 – 1981 melalui proyek pemugaran dan pemeliharaan peninggalan sejarah dan purbakala provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah setempat juga membangun anak tangga untuk memudahkan wisatawan menjangkau kompleks benteng. Sedikitnya kita harus mendaki 353 anak tangga untuk mencapai benteng utama, yaitu Benteng Otanaha. Sementara itu untuk mencapai Benteng Otahiya terdapat sekitar 245 anak tangga dan 59 anak tangga menuju Benteng Ulupahu. Ketiga benteng yang berada di atas perbukitan tersebut, yaitu benteng Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu, menjadi kesatuan nilai jual dalam kepariwisataan di Gorontalo dengan label “Taman Purbakala Benteng Otanaha”, dan lokasi tersebut telah ditetapkan sebagai Situs Benda Cagar Budaya. Dalam upaya pelestariannya, sebuah peninggalan sejarah tidak diperkenankan dirubah atau dimodifikasi karena akan merubah nilai estetika atau historis yang telah ada sebelumnya.



Plakat yang menunjukkan Benteng Otanaha sebagai Cagar Budaya yang pengelolaannya dibawah pengawasan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sumber : Google



189



21 BENTENG FORT VAN DER WIJK GOMBONG, JAWA TENGAH



“ Benteng yang lebih difungsikan sebagai sekolah taruna militer (pupillen school)daripada benteng pertahanan”



190



Sejarah Benteng Van Der Wijck adalah benteng pertahanan Hindia-Belanda yang dibangun pada abad ke 18. Benteng seluas 3606,625 m2 dan tinggi 9,67 m ini terletak di Gombong, sekitar 21 km dari kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, atau 100 km dari Candi Borobudur, Magelang.



Sebelum tahun 1844, Benteng Van der Wijck merupakan bangunan kantor Kongsi Dagang VOC di Gombong. Bangunan tersebut sama sekali bukan berupa benteng. Besarnya kekuatan Dipanegara yang berpusat di bagelen selatan (sekarang kabupaten Kebumen) pada tahun 1825 – 1830, mengakibatkan Belanda mendatangkan bala bantuan pasukan VOC dalam jumlah besar dari Batavia dan menempati kantor Kongsi Dagang VOC di Gombong. Tempat tersebut kemudian dijadikan pertahanan militer Belanda dalam melawan kekuatan Dipanegara di Bagelen Selatan hingga masa penyerangan besar – besaran Belanda serta pembumihangusan pendopo kota raja kabupaten Panjer yang menjadi pusat kekuatan terakhir (1832). Peristiwa tersebut merubah status kantor Kongsi Dagang Gombong menjadi markas pertahanan Belanda di Gombong. Meski demikian, bangunan tersebut belum diubah menjadi benteng.



Pada tahun 1844 dibangunlah sebuah benteng Pertahanan Belanda di bekas kantor kongsi dagang VOC di gombong. Bangunan ini bertujuan untuk pertahanan dalam rangka persiapan perang melawan Kesultanan Yogyakarta. benteng ini dibangun selama 4 tahun (selesai pada tahun 1848: sayang angka tahun di atas gerbang utama benteng yang dahulu disisi selatan telah hilang). Benteng ini kemudian diberi nama Fort Cochius/ Fort Generaal Cochius, diambil dari nama Letnan Jenderal Frans David Cochius, seorang komandan di Hindia Belanda yang memimpin pasukan Belanda di Gombong pada masa perang



191



Dipanegara 1825 – 1830. Benteng ini dibangun oleh tentara corp. Zeni Belanda. Dari 1400 buruh yang bekerja dalam proyek tersebut, 1200 orang di antaranya berasal dari Kabupaten Bagelen, sedangkan sisanya berasal dari Kabupaten Banyumas. Para buruh yang diawasi oleh pengawas yang diambil dari daerah masing – masing. Para buruh dibayar 15 sen / hari, sedangkan Pengawas mendapat 1 florin / hari. Bahan baku bangunan seperti kalsit dan kayu berasal dari kabupaten sekitar Bagelen, sebagian besar dari Banyumas. Berbeda dengan pemahaman umum mengenai keberadaan Benteng Van der Wick yang dianggap sebagai benteng pertahanan, menurut informasi, keberadaan benteng yang didirikan tahun 1817 atau 1818 (menurut tulisan di benteng) dahulunya adalah benteng tempat menaruh persediaan pangan (logistik) untuk kebutuhan ekonomi dan perdagangan.



Asal Nama Van Der Wijck Jhr. Johan Cornelis van der Wijck lahir pada tanggal 11 Januari 1848 di Buitenzorg (kawasan Istana dan Kebun Raya Bogor). Ia adalah adalah seorang Letnan Jenderal dari Militer Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang menjabat sebagai Gubernur Aceh. Van der Wijck dididik di Koninklijke Militaire Academie dan pada tahun 1869 dan dipromosikan menjadi Letnan Dua. Pada tahun 1874 ia dipromosikan menjadi Letnan Satu dan menjadi Komandan Departemen Militer III. Van der Wijck menjadi Kapten pada tahun 1888, Mayor di tahun 1892 dan Letnan Kolonel pada tahun 1894. Pada 1895 dan 1898 ia menjadi Komandan militer di Palembang. Selanjutnya pada tahun 1880 ia menjadi Komandan Infanteri di Magelang. Pada tahun 1898 Van der Wijck dipromosikan menjadi Kolonel dan pada tahun 1900 ia berpangkat Mayor Jenderal dan menjadi Komandan Utama dari Departemen Militer II di Jawa. Kemudian ia menjadi Kepala Persenjataan Infanteri serta Kepala Departemen II Kementerian Perang Belanda di Hindia Belanda.



192



Foto J.C. Van der Wijck yang berasal dari tahun 1850. Sumber : KITLV.nl



Karena kualitasnya, Pemerintah Belanda mengangkat Van der Wijck menjadi Kepala KNIL pada tahun 1903. Pada tahun 1904 Van der Wijck menjadi Gubernur Sipil dan Militer sementara di Aceh. Setahun kemudian ia diberhentikan dari tugasnya di Aceh. Pada tahun 1905 Van der Wijck menjadi Letnan Jenderal, Komandan Tentara dan Kepala Departemen Perang di Hindia Belanda. Pada tahun yang sama ia menjadi anggota Komite Palang Merah Pusat Hindia Belanda. Atas permintaannya sendiri Van der Wijck pensiun dari militer pada tahun 1907. Ia mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Belanda atas jasa – jasanya. Dia mendapat gelar Kesatria Singa Belanda dan menerima Medali Aceh untuk prestasi militernya di Kraton selama Perang Aceh. Dia juga mendapat Gelar Kehormatan atas aksi militernya di XII dan XXVI Mukims di Aceh pada tahun 1879.



193



Van der Wijck meninggal dunia pada tanggal 12 Oktober 1919 dan dimakamkan di Algemene Begraafplaats (General Cemetery) di Den Haag. Atas jasa-jasanya itulah kemudian yang menjadikan Pemerintah Hindia Belanda menyematkan namanya pada Benteng mereka di Gombong yang dulunya bernama Fort Cochius. Namun, merunut lebih jauh bahwa nama yang pernah disandang benteng tersebut dihubungkan dengan nama David Cochius (17871876), seorang Jenderal yang bertugas di daerah barat Bagelen. Cochius sendiri adalah salah satu panglima perang Tentara Belanda dalam Perang Jawa. Benteng ini sendiri merupakan salah satu rangkaian benteng yang dipergunakan untuk memadamkan perlawanan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa, sama seperti dengan benteng Willem I di Ambarawa, Belanda lainnya di Jawa Tengah seperti Benteng Willem I, Benteng Willem II, Benteng Vastenburg dan Benteng Van den Bosch di Ngawi. Sistem Benteng Stelsel ini terbukti ampuh melumpuhkan gerak-gerik pasukan Diponegoro yang selalu berpindah-pindah dalam melakukan gerilya melawan Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, kompleks Benteng Van Der Wijck dijadikan sebagai tempat untuk melatih anggota PETA ( Pembela Tanah Air). Organisai ini merupakan Tentara Sukarela Indonesia bentukan Jepang yang fungsinya sebagai pasukan pembantu untuk menghadapi Sekutu. Para anggota Peta diasramakan di barak-barak militer yang terdapat di depan benteng, sedangkan benteng itu sendiri dijadikan sebagai pusat penyimpanan bahan makanan dan senjata-senjata Jepang. Jumlah anggota Peta saat itu kurang lebih 720 orang, terdiri dari dua bataliyon yaitu Bataliyon 1 (Daichi Daidan) dan Bataliyon 3 (Daisan Daidan). Pada masa itu Jepang sengaja mengecat hitam tulisan Belanda yang terdapat dibenteng dengan tujuan untuk menghilangkan pengaruh Belanda, sehingga tulisan tersebut sulit untuk dibaca.



194



Sebelum Belanda kembali ke kota Gombong, kompleks benteng sempat dijadikan markas BKR (Badan Keamanan Rakyat). Kemudian dijadikan pula tempat untuk menampung para staf dan anggota Inspektorat Infantri Bandung serta Jawatan Kereta Api Bandung. Pada saat itu mereka hanya memanfaatkan barak-barak militer di depan Benteng. Sedangkan benteng itu sendiri dibiarkan kosong. Dengan adanya Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947, Belanda berhasil meluaskan wilayah pendudukannya dan Gombong merupakan daerah pendudukan terdepan Belanda di Jawa bagian Selatan, yang jatuh kepada Belanda pada tanggal 27 Juli 1947. Selanjutnya Belanda menciptakan garis demokrasi atau yang dikenal dengan sebutan Garis Demokrasi Van Mook. Untuk wilayah Jawa bagian Selatan Belanda mengambil sungai Kemit sebagai batas kekuasaan Belanda-Indonesia. Sebelah Barat adalah wilayah Belanda, sebelah Timur adalah wilayah Republik Indonesia. Adapun kompleks Benteng Van Der Wijck oleh Belanda dijadikan Markas pertahanan terdepan untuk menghadapi kekuatan RI yang berada di sebelah Timur Sungai Kemit. Benteng ini pernah jatuh ke tangan Jepang dan ketika Jepang berhasil ditundukkan Belanda, maka keberadaan benteng ini dijadikan sekolah KNIL. Mantan Presiden ke-2 RI, Soeharto pernah merasakan sekolah militer di Benteng ini pada era kemerdekaan.



Benteng Van der Wijk pada jaman dahulu (kiri) dan Sekarang (kanan). Bangunan masih sama dan utuh meskipun sudah berumur ratusan tahun. Sumber : kebumenkab.go.id



195



Benteng Van der Wijck sekitar tahun 1930 (kiri atas), Foto para murid Pupillen School yang menempati Benteng Van der Wijk sedang beristirahat. Van der Wijk pada tahun 1930-an memang difungsikan sebagai sekolah taruna militer (pupillen school) oleh Militer Belanda (kanan atas), Para penjaga di depan Benteng Van der Wijk (kiri bawah), Bagian dalam Benteng Van der Wijk kala dipakai sebagai Pupillen School (kanan bawah). Sumber : kebumen2013.com



196



Arsitektur Struktur bangunan, benteng ini terdiri dari 2 lantai yaitu atas dan bawah. luas lantai atas atau bawah dari bangunan ini adalah 3606,625 m2 dengan tebal dinding 1,4 m dan mempunyai ketinggian 9.67 m dari tanah serta ditambah cerobong 3,3 meter. adapun lantai bawah Benteng Van Der Wijck Gombong Kebumen memiliki 4 pintu masuk utama dan 16 kamar besar dengan panjang 18 x 6,5 m serta 27 kamar lain dengan beragam ukuran dan total jendela sebanyak 72 buah. dari lantai bawah ke lantai atas dihubungkan dengan anak tangga yang berjumlah 8 buah dan 2 tangga darurat. sedangkan lantai atas terdapat 16 kamar besar dengan ukuran sama dengan lantai bawah ditambah 25 kamar lain yang bervariasi ukurannya dengan total ada 84 jendela. dilengkapi dengan 4 tangga yang menuju ke atap benteng. untuk pintu ada 2 macam pintu utama dan kamar. Kondisi Sekarang Sekarang, benteng ini menjadi kompleks museum benteng yang bisa dikunjungi oleh siapapun meskipun letaknya berada di dalam kawasan militer Sekolah Calon Tamtama (SECATA TNI-AD Gombong). Ada pula bangunan yang difungsikan sebagai hotel dan ruangan serba guna. Namun bukan hanya itu saja, benteng ini juga menjadi obyek wisata andalan daerah Gombong dan sekitarnya. Tak Cuma sekedar benteng tua, kini pihak pengelola juga melengkapi obyek wisata ini dengan taman bermain anak seperti kincir putar, perahu angsa, mobil-mobilan dll. Selain itu, pihak pengelola juga menyediakan kereta mini yang mengangkut pengunjung dari pintu gerbang utama menuju benteng yang memang jaraknya agak jauh. Salah satu andalan dari benteng ini yang menarik minat wisatawan adalah adanya kereta mini di sisi atas benteng. Dengan kereta tersebut, pengunjung bisa menyaksikan suasana sekeliling benteng dari atas.



197



22 BENTENG DE VERWACHTING KEP. SULA, MALUKU UTARA



“ Benteng pelindung perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Sula”



198



Benteng De Verwachting terletak di Kelurahan Sanana, Kecamatan Sanana Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara. Lokasi benteng ini berada tepat di depan pelabuhan Sanana yang berada di pusat kota. Pulau Sanana merupakan salah satu gugusan kepulauan Sula yang lokasi berada di sebelah selatan Pulau Mangola. Kepulauan Sula sendiri secara administratif masuk ke dalam Maluku Utara.



Sejarah



Dari sebuah catatan yang terdapat di benteng tersebut, dijelaskan bahwa pada tahun 1623, warga Ternate diperkirakan membangun satu benteng kecil yang dikenal dengan nama Het Klaverblad. Namun, baru pada tahun 1688 ada catatan sejarah tentang benteng Het Klaverblad



yang



letaknya



di



Kepulauan



Sulu,



tepatnya



di



Pulau



Sanana.



Kemudian pada 24 Desember 1736, yaitu masa pemerintahan Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin (1714-1751), benteng kecil Het Klaverblad diperbaharui dan kemudian diberi nama De Verwachting. Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin – putra tertua Rotterdam dari istri keempatnya, Sayira – adalah Sultan Ternate ke-14. Amir Iskandar Zulkarnain Saifuddin lahir di Ternate pada 1680 dan lebih dikenal dengan nama Raja Laut, yang diberikan ayahnya. Ia juga dikenal dengan nama Kaicil Sehe. Seorang Belanda bernama Valentijn yang pernah bekerja di benteng ini antara th 1724-1726 pernah menceritakan bahwa benteng de Verwachting dibangun di atas pondasi benteng Het Klaverblad yang sudah ada sebelumnya .



199



Foto para meneer Belanda di depan Benteng Fort de Verwachting (atas) dan foto bagian dalam benteng saat masih digunakan oleh Pemerintah Belanda (bawah). Pelabuhan Sanana merupakan salah satu pelabuhan penting di zaman penjajahan. Sumber : Swara Kalibata



200



Tulisan-tulisan pada gerbang dan dinding benteng juga dalam bahasa Melayu. Pada tahun 1790-an, catatan sejarah VOC di akhir abad ke-18 menyebut benteng ini sebagai benteng Alting, menurut nama seorang wali VOC yang memegang tampuk pimpinan antara 17801797. Dari data yang berhasil digali, hanya sedikit sekali informasi yang berhasil didapatkan mengenai peran benteng ini di masa lalu. Namun, yang jelas pelabuhan Sanana yang berada di dikat benteng de verwachting ini adaalah salah satu pelabuhan perdagangan yang poenting di masa lalu, terutama di kawasan maluku utara. Sehingga, dimungkinkan pembangunan benteng ini adalah untuk melindungi pelabuhan Sanana dari serangan musuh.



Arsitektur Benteng dengan luas 2.750 meter persegi ini terbilang masih relatif utuh dengan 4 bastion dan 2 menara pengintai. Tinggi dinding benteng kurang lebih 4 meter. Pintu masuk benteng ini berbentuk lengkung. Benteng De Verwachting pernah dipugar oleh Pemerintah RI melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Maluku Utara pada tahun 2007. Kemudian direnovasi lagi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate pada tahun 2013 yang pemugarannya dilaksanakan pada September sampai dengan Desember. Renovasi yang dilakukan masih sebatas mengarah ke fisik bentengnya saja, seperti perbaikan plester dinding, perbaikan dudukan meriam, pemasangan paving blok pada jalur patrol, pembuatan rabat beton pada dinding luar benteng, dan perbaikan dua buah bangunan penunjang yang ada di dalam benteng.



201



Kondisi Sekarang Dulu, benteng ini pernah dipakai sebagai markas Koramil dan Kodim Sanana, namun sekarang ini sudah dikosongkan. Lalu, dua bangunan penunjang yang ada di dalam benteng tersebut saat ini digunakan sebagai Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Sula, dan di depan benteng menjadi sarana olahraga penduduk sekitar benteng. Sempat dipugar pada 2007 oleh Pemerintah Maluku,



beberapa bagian benteng



kembali mengalami kerusakan dan perlu segera dipugar. Balai Pelestarian Cagar Budaya Ternate menindaklanjutinya dengan melakukan Studi Teknis pada tanggal 5 – 12 Mei 2013 untuk mengumpulkan data teknis; arsitektural, struktural dan keterawatan benteng sebagai acuan dalan menetapkan prioritas, langkah kerja, dan metode pelaksanaan pemugaran.



Pemugaran benteng dilaksanakan pada September sampai dengan Desember 2013. Pekerjaannya meliputi; perbaikan plesteran dinding, rekonstruksi ruang jaga (guardiola) yang terdapat pada bastion sebelah Utara, perbaikan dudukan meriam, pemasangan paving blok pada jalur patroli, pembuatan rabat beton pada dinding luar benteng, dan perbaikan dua buah bangunan penunjang (saat ini dipakai sebagai kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sula Kepulauan) yang terdapat di dalam benteng.



Penataan lingkungan benteng untuk pemugaran tahun anggaran 2013 belum dikerjakan karena lapangan tenis di depan benteng dan rumah penduduk di sekeliling benteng belum ada titik temu penyelesaiannya.



202



Pintu Gerbang benteng De Verwachting, di Pulau Sanana, Kep.Sula. Pelestarian dan pemugaran yang dilakukan oleh pemerintah membuat benteng yang terletak di pulau kecil ini masih utuh hingga sekarang. Sumber : kekunaan.blogspot.com



Tampak bagian atas benteng dengan meriam yang masih terpasang pada tempatnya. Benteng ini dipersenjatai dengan 4 meriam dan 2 menara observasi. Jalan diatas benteng sudah terpasang paving block yang merupakan hasil pemugaran oleh pemerintah. Sumber : kebudayaan.kemdikbud.go.id 203



23 BENTENG INDRA PATRA ACEH BESAR, N.A.D



“ Bukti kebudayaan & kejayaan Aceh di masa lampau”



204



Sejarah Benteng Indra Patra ini dibangun pada masa Pra-Islam, yaitu oleh Raja Kerajaan Lamuri yang adalah merupakan Kerajaan Hindu Pertama di Aceh, tepatnya pada abad ke VII Masehi.



Dalam



bahasa



Sagoe. Keurajeun berarti



Aceh,



Kerajaan



kerajaan, Lhee berarti



Lamuri tiga,



disebut Keurajeun



dan Sagoe berarti



segi.



Lhee Secara



keseluruhan, Keurajeun Lhee Sagoe berarti Kerajaan Tiga Segi. Disebut tiga segi karena dulunya kerajaan ini tidak hanya berpusat di satu tempat saja, melainkan berada di tiga titik yang berbeda: Indrapatra, Indrapurwa, dan Indrapuri. Benteng Indra Patra terdiri dari sebuah benteng utama berukuran 4900 meter persegi dan tiga benteng lain yang dua diantaranya telah hancur. Situs arkeologi ini didirikan sekitar tahun 604 M oleh Putra Raja Harsya yang berkuasa di India, yang melarikan diri dari kejaran Bangsa Huna. Namun tulisan ini hanya berfokus pada satu titik dari tiga titik sentral peninggalan tempo dulu di Aceh, yaitu pada titik Indrapatra. Indrapatra terletak di kecamatan Mesjid Raya, Jalan Krueng Raya, sekitar 19 km dari pusat kota Banda Aceh menuju pelabuhan Krueng Raya. Di situ terdapat sebuah benteng yang biasa disebut sebagai Benteng Indrapatra. Menurut catatan sejarah, benteng ini dibangun pada abad ke-7 Masehi semasa pemerintahan Kerajaan Lamuri. Kala itu, benteng Indra Patra ini dibangun dengan maksud utama untuk membendung sekaligus membentengi masyarakat kerajaan Lamuri dari gempuran meriam-meriam yang berasal dari Kapal-kapal Perang Portugis. Disamping itu, benteng ini juga dipakai sebagai tempat beribadah Umat Hindu Aceh saat itu. Karena alasan demi pertahanan & keamanan 205



kerajaan, maka benteng ini dibangun di tempat yang sangat strategis, yakni di bibir pantai yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka. Peran dan fungsi serta kejayaan Benteng Indra Patra ini bahkan berlangsung hingga masa Islam di Aceh tiba. Dimasa Sultan Iskandar Muda, dengan laksamananya yang sangat terkenal dan disegani, yaitu Laksamana Malahayati (laksamana wanita pertama di dunia), benteng ini



juga dipergunakan sebagai



benteng pertahanan bagi Kerajaan Aceh



Darussalam dari serangan musuh yang datang dari arah laut. Benteng ini juga berperan besar sebagai salah satu garis pertahanan dalam menghadapi Portugis. Benteng ini direbut dari Portugis oleh Darmawangsa Tun Pangkat (Iskandar Muda). Semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) benteng ini, bersama Benteng Inong Balee, Benteng Kuta Lubok dan beberapa benteng lainnya menjadi pusat pertahanan Aceh terutama dalam menghadang serangan dari arah laut. Posisi benteng yang berhadapan dengan Benteng Inong Balee di seberang timur Teluk Krueng Raya berperan strategis dalam mencegah armada Portugis memasuki Aceh melalui teluk ini.



Arsitektur Pada awalnya, Kompleks Benteng ini terdiri dari 3 bangunan, namun saat ini, tinggal dua dari tiga benteng yang masih berdiri kokoh. Benteng Utama berukuran 70m X 70m; dengan ketinggian 4 meter, serta ketebalan dinding mencapai sekitar 2 meter. Untuk masuk ke dalam benteng, di salah satu sisinya terdapat tangga. Dengan berdiri di sisi tangga benteng tersebut, akan terlihat permukaan bagian dalam benteng yang ditumbuhi rumput dengan beberapa bangunan di atasnya. Di bagian dalam benteng utama (yang paling besar), terdapat bangunan berbentuk kubah. Jika kita masuk ke dalam kubah tersebut, akan kita temui sebuah sumur di dalamnya. Konon, sumur itu dulunya digunakan sebagai tempat penyucian sebagai bagian dari ritual umat Hindu.



206



Arsitekturnya yang Unik, Besar, terbuat dari "beton kapur" (: susunan batu gunung, dengan perekatnya (perkiraan) dari campuran Kapur, Tanah Liat, dan alusan Kulit Kerang, serta juga telur). Didalam benteng Utama terdapat dua buah "stupa" ataubangunan yang menyerupai kubah yang mana didalamnya / dibawah kubah tersebut terdapat sumur / sumber air bersih, yang (pada saat itu) dimanfaatkan oleh umat Hindu untuk penyucian diri dalam rangkaian peribadahannya. Selain itu, di dalam benteng terdapat juga bunker untuk menyimpan meriam serta bunker untuk menyimpan peluru dan senjata. Salah satu keunikan yang dimiliki benteng ini terletak pada susunan konstruksinya yang kokoh. Kekokohan benteng ini terbentuk oleh struktur penyusunnya yang terbuat dari bongkahan batu gunung yang saling merekat kuat satu sama lain. Rahasianya terletak pada adonan yang merekatkan bongkahan-bongkahan batu gunung tersebut. Adonan tersebut dibuat dari campuran kapur, tumbukan kulit kerang, tanah liat dan putih telur. Penggunaan putih telur sebagai perekat bangunan seperti ini juga dapat kita temukan di beberapa bangunan kuno lain di Nusantara seperti bangunan Benteng Kesultanan Buton.



207



23 BENTENG BERNAVELD BACAN, MALUKU UTARA



“ Saksi bisu persaingan antara Spanyol – Belanda –Inggris di Bumi Bacan”



208



Sejarah Benteng Bernaveld terletak di Desa Labuha, Kec. Bacan, Kabupaten Halmahera, Provinsi Maluku Utara Pada akhir abad ke-15 tepatnya tahun 1558, Portugis membangun sebuah benteng kecil yang mereka gunakan untuk menahan serangan dari Spanyol di wilayah ini. Saat itu, Spanyol dn Portugis sedang berebut wilayah Maluku untuk bisa mnguasai hasil rempahrempah. Tak lama setelah itu, benteng ini berhasil direbut oleh Spanyol. Tahun 1609, Laksamana Muda Simon Hoen yang bekerja sama dengan Sultan Ternate meminta Spanyol untuk menyerahkan benteng tersebut ke tangan mereka. Karena sadar akan kekuatannya yang tak sebesar Belanda, akhirnya Spanyol menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Benteng ini kemudian dinamakan Benteng Barneveld oleh Belanda. benteng inipun kemudian dipugar pada tahun 1609. Pemugaran ini ditandai dengan penambahan 4 bastion di setiap sudutnya untuk penempatan meriam dan pasukab penjaga benteng. Di tengah-tengah benteng dibangun sebuah rumah yang dilengkapi ruangan bawah tanah dengan dinding setebal 1 kaki. Kisah Pendudukan Bacan oleh Nuku dan Inggris Pada 15 Maret 1797, pasukan Nuku berhasil menyita muatan sebuah perahu pinisi yang berisi logistik dan dokumen-dokumen penting dari Makassar untuk Gubernur Maluku. Pada saat yang sama, pasukan Nuku telah menguasai seluruh Tidore, Bacan, Mare dan Makian. Persekutuan Tidore-Inggris semakin kukuh dan Nuku menyatakan kesiapsediaannya membebaskan Ternate bahu-membahu dengan Inggris. Tidore dan Inggris memulai kembali upaya pembebasan Maluku Utara dengan mengancam Bacan. Laporan tentang ancaman Inggris atas Bacan diterima Budach dari Posthouder Bacan dalam suratnya tertanggal 15 Maret 1797, yang sampai ke Ternate tiga hari kemudian.



209



Lukisan benteng Bernaveld dari abad ke-18 setelah benteng ini jatuh ke tangan Belanda. Lukisan ini berjudul “Fort Oldebarneveld te Batjan, Molukken” yang artinya Benteng Tua Barneveld di Bacan, Maluku. Sumber : tropenmuseum.nl Di dalamnya diungkapkan bahwa pada 13 Maret tahun itu telah tiba di Bacan sebuah kapal layar Inggris. Posthouder Kompeni, Alanus Gerardus van Dienst, mengirim dua perahu kecil untuk menanyakan maksud kedatangan kapal tersebut. Tetapi, kapal Inggris menyambut perahu-perahu itu dengan tembakan gencar, yang memaksa keduanya kembali ke darat. Masih pada hari yang sama, Sekretaris Kesultanan Bacan, Atiatun, mendatangi kapal Inggris dengan menumpang sebuah perahu kecil. Ia diizinkan naik dan komandan kapal Inggris bertanya kepadanya tentang kekuatan pasukan Kompeni yang ada di dalam Benteng Barneveld, tentang pertahanannya serta hal-ihwal penduduk. Komandan Inggris juga memintanya menyerahkan kunci gerbang Benteng Bacan paling lambat 16 Maret 1797. Sekretaris Atiatun dengan tegas menjawab bahwa, sebagaimana Ternate yang belum menyerahkan kunci Benteng Oranje, Bacan juga akan berbuat hal yang sama. Pernyataan ini



210



ditanggapi komandan Inggris dengan mengajukan ultimatum bahwa bila kunci tidak diserahkan, ia akan mengambilnya dengan paksa. Selanjutnya ditambahkan bahwa ia akan tinggal di Bacan sambil menunggu kedatangan dua kapal Inggris dan sejumlah juanga Nuku. Ia berharap agar Sultan Bacan dan rakyatnya tidak melakukan hal-hal buruk, sebab kedatangannya di daerah itu adalah sebagai teman. Atiatun menanggapi semua itu dengan mengemukakan bahwa ia akan menyampaikan permintaan Inggris kepada posthouder Kompeni. Petugas Belanda ini, setelah mendengarkan laporan Atiatun, menyatakan bahwa Gubernur Budach telah melimpahkan kewenangan kepadanya untuk bertindak pada waktu yang tepat. Tetapi ia harus menunggu perkembangan selanjutnya dan instruksi yang akan datang dari Ternate. Sejak saat itu, tidak ada lagi hubungan dan komunikasi antara Bacan dan Ternate, karena armada Nuku telah mengisolasi Ternate dengan memblokadenya secara ketat. Baru pada 22 April 1797, seorang serdadu VOC, Herbert Keegel, tiba di Ternate serta memberitakan pendudukan Bacan kepada Gubernur Budach: Benteng Barneveld, seperti telah diumumkan kapten kapal Inggris, dituntut untuk diserahkan pada 16 Maret. Dari perundingan antara Posthouder dan Sultan Bacan, Iskandar Alam, diputuskan menyerahkan benteng itu kepada Inggris, sebab empat hari sejak tuntutan diajukan, telah tiba di Bacan dua kapal Inggris dan 50 juanga Nuku dalam berbagai ukuran. Setelah melakukan pendaratan, semua anggota pasukan mengambil posisi di depan benteng dan menuntut agar Sultan Bacan, para bobato-nya, serta Kimalaha Loulou segera menyerahkannya. Pada waktu yang sama, pasukan Nuku semakin banyak mendarat, dan tidak ada tindakan apapun dari orang Bacan maupun Kompeni untuk mencegahnya. Pasukan yang baru mendarat mengambil posisi di belakang benteng dan mulai menembaki kota disertai tuntutan penyerahan benteng. Kapal-kapal Inggris juga melepaskan tembakan untuk mendukung tuntutan tersebut.



211



Akhirnya, pasukan Inggris mendobrak gerbang Benteng Barneveld dengan kekerasan. Pada sorenya, pasukan Nuku membakar habis rumah penduduk, setelah merampoki isinya. Banyak rakyat Bacan yang tewas dalam penyerbuan ini. Setelah benteng diduduki, penghuni benteng yang berasal dari Eropa – terdiri dari seorang kopral, seorang penembak kanon, dan 5 prajurit – dibawa ke kapal Inggris. Sementara prajurit yang berasal dari kalangan pribumi beserta keluarganya dan orang sakit ditempatkan di rumah Posthouder Bacan. Arsitektur Benteng ini berbentuk segiempat dengan tembok pertahanan yang rendah. Pintu gerbang utama dibangun berbentuk melengkung dan menghadap sungai amasing yang konon menjadi pintu masuk menuju teluk Labuha yang menghadap ke selat bacan. Benteng ini dikelilingi oleh parit seperti halnya benteng-benteng eropa sehingga disebut-sebut sebagai salah satu benteng paling menarik di Maluku. Dari atas benteng ini, dapat dilihat pemandangan teluk dengan rumah-rumah kayu di atas air khas suku Bajo, serta pemandangan air laut yang sangat jernih.



Kondisi sekarang Kondisi benteng ini masih utuh dan pernah dipugar oleh pemerintah, namun tidak menyeluruh. Keseluruhan benteng masih dalam kondisi bagus meskipun kurang terawat. Begitu kita masuk kedalam kawasan benteng,



ada sebuah sumur tua yang sudah tidak



terpakai dan ada tangga yang menuju ke lantai atas. Di atas benteng Bernevald kita bisa berkeliling melihat-lihat pemandangan pantai dan perkampungan penduduk. Ada beberapa Meriam yang umurnya sudah ratusan tahun teronggok pinggir didinding benteng. Jika di pugar dengan serius pastilah lokasi benteng Bernevald menjadi lokasi wisata sejarah yang menarik.



212



24 BENTENG NIEUW ZEELANDIA HARUKU, MALUKU UTARA



“ Salah satu Benteng yang menjadi Basis Pasukan VOC selama Perang Maluku ”



213



Sejarah Benteng Nieuw Zeelandia adalah bangunan cagar budaya yang merupakan peninggalan Belanda di Haruku, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Benteng yang dibangun Gubernur Van Gorkum pada tahun 1626 ini semula berukuran kecil dengan nama Zeelandia. Benteng ini berubah nama menjadi Nieuw Zeelandia pada tahun 1655 setelah diperluas dan disempurnakan. Tadinya, bentangan tembok bentengnya sejajar dengan garis daratan yang memisahkan pulau Haruku dengan lautnya. Namun wilayah tersebut sebagian besar telah tertimbun dalam lautan karena proses abrasi yang terjadi di pantainya.



Puing pintu gerbang Benteng Nieuw Zeelandia. Letaknya yang kurang strategis membuat benteng ini hanya tersisa sedikit puing-puing bangunannya karena faktor alam seperti badai dan abrasi air laut yang naik ke permukaan. Sumber : sejarahbudayanusantara.weebly



214



Renovasi yang oleh Belanda yang dilakukan pada tahun 1655 untuk mencegah kehancurannya menjadikan benteng ini selanjutnya di beri nama ‘Nieuw Zeelandia’ atau ‘benteng Zelandia baru’. Seusai renovasi, Belanda menempatkan seorang sersan dan 24 anak buahnya untuk menjaganya. Naiknya pasang air laut di wilayah ini menyebabkan benteng harus kembali hancur. Bahkan meriam yang ditempatkan di benteng ini menjadi tak berfungsi akibat terjangan ombak lautan. Kegiatan pertahanan pun harus berhenti seketika. Meski demikian, lebih dari 100 orang tenatara Belanda masih tetap menjaganya. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari 50 tentara regular dan garnisun. Seorang letnan diangkat oleh pemerintah Belanda untuk memimpin pasukan ini. Benteng ini pernah menjadi basis militer Pasukan VOC sewaktu masa Perang Maluku. Perebutan Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku memantik reaksi dari VOC. Para petinggi VOC yang tidak terima bentengnya direbut dan residennya, Van den Bergh dibunuh segera mengirimkan pasukan dari Ambon dan dipusatkan di Benteng Zeelandia, karena letaknya yang tidak negitu jauh dari Duurstede pada 19 Mei 1987. Bantuan tersebut berkekuatan 200 pasukan dan dipimpin seorang Mayor. Mengetahui bahwa pemusatan bala bantuan VOC di Benteng Zeelandia, para raja-raja negeri dan rakyat Maluku lainnya yang mendukung gerakan perlawanan Pattimura segera mengrahkan pasukan untuk mengepung dan menyerang Benteng Zeelandia. Beruntung pasukan VOC tersebut bisa meloloskan diri dari kepungan rakyat dan melanjutkan perjalanan ke Duurstede di Saparua untuk melaksanakan misi mereka. Tepat setahun kemudian (1818), badai dahsyat meluluh lantakkan benteng Nieuw Zeelandia. Air laut dari perairan Haruku menyapu bersih dan merusak sebagian besar bangunan benteng. Gubernur Jendral di Maluku pun segera mengirimkan sebuah surat pemberitahuan kepada Residen haruku akan rencana perbaikan dan perluasan benteng. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 27-April-1820. Sebagai respon dari surat tersebut, Residen



215



Haruku di harapkan mengumpulkan bahan bangunan yang di perlukan sebelum para ahli tiba di pulau Haruku. Maka pada tahun 1822, benteng ini pun terbangun kembali. Dindingdinding ini juga dilubangi sebagai corong meriam dan senapan. Pada tahun 1862, benteng Nieuw Zeelandia sempat ditinggalkan oleh pasukan yang menjaganya dan bangunannya berubah menjadi tempat tinggal para pengawas yang tugasnya mengawasi serah terima hasil panen cengkeh. Secara tidak langsung benteng ini berubah fungsi menjadi tempat penimbunan hasil cengkeh. Bahkan, pada tahun 1921, kebun-kebun jagun dan kelapa bisa terlihat tumbuh di lapangan yang lokasinya berada di dalam benteng, lengkap dengan keberadaan gubuk-gubuk kayunya.



Salah satu bagian benteng zeelandia yang masih tersisa. Ruangan ini adalah ruang tahanan yang diujungnya terdapat bastion untuk penjagaan. Sumber : sejarahbudayanusantara.weebly



216



Arsitektur



Benteng yang memiliki kesamaan nama dengan Fort Zeelandia di Suriname ini berbentuk segi empat dengan dua bastion. Tinggi dinding benteng sekitar empat meter. Dindingnya yang tebal dibangun dengan ketinggian hingga 5 kaki. Bahannya pembuatnya adalah batu karang yang banyak terdapat di sekitaran pantai.



Kondisi Sekarang



Letak benteng yang berada di tepi selat Haruku membuat benteng ini termakan oleh arus abrasi laut selama bertahun-tahun sehingga sekarang kondisinya sudah tidak utuh lagi. Pemerintah Provinsi Maluku (kala itu) mencoba memugar kembali beberapa bagian benteng yang hancur dan memasukkan Benteng Nieuw Zeelandia kedalam salah satu situs cagar budaya yang dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Kini, sebagian benteng sudah hilang karena abrasi dan termakan usia, sehingga hanya menyisakan bidang benteng di bagian timur.



Meskipun sudah tak utuh lagi, masih banyak para pengunjung yang datang mengunjungi benteng ini. Selain untuk mengunjungi benteng, kebanyakan para pengunjung juga ingin menikmati keindahan laut pulau haruku yang bisa dilihat dari kawasan benteng.



217



25 BENTENG KALIMO’OK KALIANGET, MADURA



“ Benteng kedua VOC di Kalianget, setelah kegagalan pembangunan Loji Kanthang -benteng yang pertama-”



218



Sejarah



Dalam catatan sejarah Sumenep, pada mulanya benteng yang dibangun VOC ini tidak dibangun di daerah kalimo'ok (seperti yang kita lihat sekarang ini) melainkan di daerah yang berbatasan langsung dengan daerah perairan Kalianget (tepatnya dikawasan kantor BMKG Kalianget sekarang) namun karena tempatnya yang kurang strategis dan datarannya terlalu rendah maka pembangunan benteng yang pertama tersebut gagal dilanjutkan, maka oleh masyarakat sekitar sisa bekas bangunan tersebut dinamakan "loji kanthang".



Mengingat Kalianget dipandang oleh VOC memiliki nilai komoditas garam yang bagus dan banyak Negara yang membutuhkan, maka VOC akhirnya membangun lagi sebuah benteng di lokasi yang sekarang ini. pembangunan diarahkan ke arah tenggara atau kurang lebih 500 meter ke arah barat dari bangunan benteng yang pertama (seperti yang dilhat saat ini). di lokasi ini benteng berhasil dibangun dengan sempurna, arsitekturnya sama halnya dengan arsitektur benteng pada umumnya terdiri dari bastion pada keempat sudutnya, pintu utama dan ketebalan temboknya yang kurang lebih dua meteran. Di dalam benteng ini juga ada penjara dan asrama prajurit yang dipimpin langsung oleh seorang letnan.



Benteng ini dibangun tak lain tujuannya sebagai area untuk mempertahankan wilayah Sumenep agar tidak direbut/jatuh ke tangan Inggris dsb. Selain itu benteng ini ditujukan untuk dipergunakan oleh tentara-tentara Barisan karaton Sumenep dalam mempertahankan wilayahnya. Maklum daerah fasal kerajaan Sumenep ini mempunyai hubungan yang baik dengan VOC kala itu. sehingga VOC pun memberikan keistimewaan dengan memberikan persenjataan dan melatih prajurit-prajurit Barisan dalam menjalakan tugas mempertahankan wilayahnya. Disinilah bisa kita lihat, VOC sudah memerintah Sumenep secara tidak langsung



219



namun masih bisa mengatur penuh kekuasaan para adipati dengan batasan-batasan tertentu. misalnya dalam hal mengangkat/menggantikan adipati yang akan berkuasa harus seizin pemerintahan Hindia Belanda. Benteng yang terletak 7 km ke arah barat pelabuhan Kalianget ini juga mempunyai saksi bisu dalam mempertahankan wilayah Sumenep, betapa tidak ketika tentara Inggris datang melalui perairan Kalianget, Ki Mangundiredjo, Patih Sumenep dan beberapa Menteri Keraton serta prajuritnya tewas di loji ini akbat besutan senjata milik tentara inggris tsb ketika menyerang benteng ini. Jadi tak salah jika saat ini kita masih bisa mendengar "papareghan" / pribahasa dikalangan masyarakat Sumenep seperti berikut “jimbrit baceng kamarong kellana marongghi – Ingris ḍateng Kè Mangon matè è lojhi” . Isi dari papareghan tersebut jelas mengingatkan kisah beliau ketika berpegang teguh menjalankan tugas kenegaraan demi mempertahankan wilayah Sumenep meskipun ajal datang menjemputnya. dan sesengguhnya ini yang harus kita sadari sebagai bawahan untuk selalu berpegang teguh dalam menjalankan tugas apapun dan kesetiaan kita terhadap seorang pimpinan dan juga wilayah yang kita tempati saat ini.



Arsitektur



Benteng ini berdiri di atas lahan seluas 12.765 m² dengan luas bangunan sekitar 1.500 m². Dari fisik bangunan benteng yang ada, diperkirakan bahwa tinggi tembok yang mengelilingi benteng sekitar 3 meter dalam kondisi tidak terawat, ditumbuhi oleh lumut dan semak belukar. Di setiap sudut bangunan benteng yang berbentuk area persegi panjang, dulunya membentuk empat bastion dengan lebar sekitar 5 meter.



220



Pintu gerbang Benteng Kalimo’ok kini. Tampak arsitektur eropa yang kental dengan pintu lengkung khas eropa (atas), Kondisi tembok depn benteng (tengah kiri) bekas masjid yang kini sudah tak terawat (kanan-tengah) dan Tembok samping benteng yang kondisinya sudah memprihatinkan (bawah).



221



Kerkhoff (kuburan Belanda) yang terletak tak jauh dari Benteng Kalimo’ok dan salah satu makam orang Belanda yang terdapat di dalamnya. Dalam nisan tersebut tertera nama Pieter Gysbert Volborth yang meninggal 3 November 1935. Sumber : jejak-bocahilang.com Kondisi Sekarang



Benteng yang berjarak 4 kilometer dari Pelabuhan Kalianget, dan 7 kilometer dari Kraton Sumenep atau 1 kilometer dari Bandar Udara Trunojoyo ini, semenjak 2003 menjadi salah satu cagar budaya di bawah pengawasan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojokerto. Namun entah mengapa, benteng ini di dalamnya sekarang masih dimanfaatkan Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai karantina hewan dan sapi perah kendati hal itu sudah berlangsung sejak belum ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya. Seandainya bangunan benteng ini dilihat dengan kecermatan dan ketelitian sejarah oleh pemangku pemerintahan daerah, sesungguhnya kawasan benteng ini bisa dijadikan kawasan wisata sejarah. Lebih-lebih, sekitar 300 meter arah benteng tersebut juga terdapat kherkof (kuburan Belanda) yang dibangun pada tahun 1933.



222



26 BENTENG HOORN HARUKU, MALUKU UTARA



“ Benteng yang awalnya dibangun oleh Belanda sebagai pertahanan terhadap bajak laut Papua”



223



Benteng Hoorn atau Fort Hoorn adalah salah satu benteng peninggalan Belanda yang terletak di Pulau Haruku, Maluku Tengah. Tepatnya di Desa Pelau, Kec. Haruku, Kab. Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Nama lain dari benteng ini adalah Benteng Pelauw, mengacu pada nama desa tempat benteng ini terletak.



Sejarah Pada tahun 1656 Arnold de Vlaming membangun satu rumah sederhana dari nipah yang diberi pagar. Rumah ini dihuni sekitar 20 orang di bawah komando seorang sersan. Biaya pembangunan benteng ketika itu adalah 360 gulden. Pada awalnya, penduduk setempat tidak bersedia tunduk pada VOC, tetapi akhirnya mereka bersedia juga dan menjadi kawula di bawah perintah Sultan Kecil Hamzah dari Ternate. Pada tahun 1785 rumah ini dipugar menjadi benteng oleh de Vlaming. Benteng ini dibangun menurut gambar seorang letnan artileri Strick, atas perintah Gubernur Van Pleuren, untuk memenuhi permintaan para Residen dari Holalieu, Karieuw, Pelauw, Kaylolo dan Romomy sebagai pertahanan terhadap bajak laut Papua. Biaya pembangunan benteng yang kemudian terbuat dari batu alam ini ditanggung bersama para Residen tersebut. Benteng ini lebih dikenal dengan nama Post Pengintaian Hoorn dilengkapi dengan 4 meriam dan dijaga oleh seorang kopral bersama 6 tentara. Pada tahun 1817, ketika terjadi pemberontakan penduduk di kawasan ini, Benteng Hoorn diperkuat dan dilengkapi dengan sejumlah persenjataan. Selama pemberontakan, Desa Pelauw tidak dirusak, karena Raja Pelauw berperang di sisi VOC. Penduduk yang melarikan diri ke pegunungan dihimbau agar kembali. Sekitar empat ratus keluarga akhirnya bersedia kembali ke desa, sementara itu sekitar 20 pemberontak yang menolak kembali akhirnya dihukum tembak mati. Pada tahun 1918-1921 benteng mendapat perawatan yang cukup baik oleh Letnan Molenaar. Duapuluh



224



Foto Tampak depan Benteng Hoorn (atas), dinding samping benteng yang kondisinya masih bagus (bawah-kiri), Bagian kiri benteng (tengah) dan pintu gerbang yang mengarah ke laut (kanan-bawah)



225



Salah satu bastion (menara pengawas di benteng Hoorn yang menghadap ke laut). Awalnya pembangunan benteng ini untuk pertahanan diri terhadap bajak laut papua. Sumber : detiktravel.com



tahun kemudian, yaitu pada tahun 1941-1945 ketika masa pendudukan Jepang, benteng ini digunakan sebagai pertahanan perang. Pada tahun 1955 selama pembrontakan RMS, benteng ini sempat dijadikan rumah tinggal pasukan Brimob yang dikerahkan untuk ikut membantu memadamkan pemberontakan yang berpusat di Ambon.



Arsitektur Benteng Hoorn berbentuk empat persegi panjang dengan bastion di setiap sudutnya. Benteng tebuat dari batu alam dengan spesi kalero. Gerbang terdapat di sisi selatan dan utara. Selain itu, di benteng ini juga tedapat meriam.



226



Kondisi sekarang Meskipun sudah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui UU RI, No. 5, Tahun 1992, Tentang Benda Cagar Budaya dan terdaftar di Subdit Regtap, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Depbudpar Tahun 2003, namun belum ada pihak yang secara umum mengelola benteng ini. Sungguh disayangkan mengingat kondisi benteng yang masih bagus dan layak untuk dijadikan destinasi wisata. Hanya warga sekitar yang secara sukarela terkadang menjadi guide atau pemandu bagi wisatawan yang datang. Disini peran pemerintah setempat sangat dibutuhkan selain untuk melestarikan cagar budaya yang dimiliki, juga untuk turut memajukan daerah melalui sektor pariwisata.



227



Daftar Pustaka Anonim, Trail Map Benteng Wolio Buton, Bau-Bau, Sulawesi Tenggara Abdul Rasak Daeng Patunrung, 1969, Sedjarah Gowa, Yayasan Kebudayaan. Makassar Abdullah, Taufik, 1961, Adat dan Islam, Modern Indonesian Project, New York Amal, Adnan.,Kepulauan Rempah-rempah : Perjalanan sejarah Maluku Utara 1250-1950. Dumadi, S.M., 1985. Sultan Hasanuddin menentang V.O.C. Depdikbud.Gowa GF Mees. Vogel medical examination in New Guinea in 1828. Ornithological results of the journey of Corvette Triton to the southwest coast of New Guinea Museum Perjuangan Yogyakarta, 2011, Buku panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Kemenbudpar, Yogyakarta. Notosusanto, Nugraha. 2008.Sejarah Nasional Indonesia.Penerbit Balai Pustaka.Jakarta Sumber Internet : http://www.detiktravel.com http://tutuwawang.blogspot.com/2014/03/benteng-nieuw-victoria-cikal-bakal-kota.html https://trimurcahyo21.wordpress.com/2011/12/18/benteng-vastenburg-surakarta/ http:// www.wartasolo.com http://www.kompasiana.com https://southcelebes.wordpress.com/2008/06/24/sekilas-sejarah-tentang-benteng-rotterdam/ http://kekunaan.blogspot.com/2013/05/benteng-van-den-bosch.html http://jejak-bocahilang.com/2013/08/18/benteng-van-den-bosch/ http://www.komunitashistoria.com http://bentengmalut.blogspot.com/ http://www.kebumenkab.go.id http://www.wikipedia.org http://www.wikiwand.com http://www.kaskus.us http://www.kompas.com http://www.Wikimapia.org http://www.banda-naira.cf http://www.malukueyes.com http://southcelebes.wordpress.com http://www .kompasiana.com http://Sejarahbudayanusantara.weebly.com http://Indonesiaproud.wordpress http://www jejak-bocahilang.wordpress http://media-kitlv.nl http://kekunaan.blogspot.com http://www.geolocation.ws http://www.way2east.com http://www.kebumen2013.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id 228